Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re
-
Upload
kodrat-alam -
Category
Documents
-
view
232 -
download
2
description
Transcript of Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re
Politik AgrariaGerakan Serikat Petani Pasundan dalam Perjuangan Reforma Agraria
Anugerah Krisnovandi 12/335561/SP/25265Azizah Noor Laily 12/328754/SP/25129Rahmat Fajri Rinanda 12/328622/SP/25007Katrin Dian Lestari 12/328707/SP/25082Oktiviani Primardianti 12/335686/SP/25349Ridho Nurwantoro 12/335610/SP/25291Riska Agustin 12/335487/SP/25246Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217
Jurusan Politik dan Pemerintahan
FISIPOL UGM
2014
Gerakan Serikat Petani Pasundan dalam Perjuangan Reforma Agraria
Latar Belakang
Reforma agraria bertujuan untuk mengubah sistem agraria secara kolonial
menjadi sistem agraria secara nasional yang lebih mengakomodasi kebutuhan
masyarakat dan negara. Perbaikan tersebut berupa perbaikan hubungan antara subyek
dengan obyek agraria, hak milik agraria, dan pemanfaatan sumber daya. Salah satu
caranya adalah restrukturisasi, yaitu pendataan kepemilikan, penguasaan, dan penguatan
sumber-sumber agraria, salah satunya tanah. Dalam menjalankan fungsinya ini, sesuai
dengan tataran operasional, reforma agraria dapat dilakukan dengan dua langkah.
Pertama, penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA). Kedua, penyelenggaraan land reform
plus, yaitu mekanisme penataan ulang aset tanah untuk masyarakat terhadap sumber-
sumber ekonomi dan politik yang bertujuan agar masyarakat dapat memanfaatkannya
dengan baik.1
Dalam proses reforma agraria ini banyak sekali diantara kita yang salah kaprah.
Reforma agraria seolah adalah sebuah reforma yang berlangsung bottom up dari negara
kepada masyarakat terutama petani pemilik dan penggarap lahan. Petani dianggap
sebagai entitas yang tidak berdaya, pasrah, lemah secara politik dan intelektualitas.
Sehingga tidak memiliki peran vital dalam reforma agraria. Padahal menurut Clammer
dalam Sadikin kelompok petani adalah kelompok yang tidak mudah ditaklukan dan
berperan penting dalam perubahan politik,2
“proporsi terbesar populasi pedesaan di dunia (dan oleh karena itu populasi
terbesar secara total) adalah “petani”, dan kelompok manusia yang luar biasa
besarnya ini sekalipun merupakan proletariat pasif dan homogen, namun sebaliknya,
telah dibuktikan oleh gerakangerakan petani yang signifikan di Asia Selatan, Amerika
Latin, Afrika, dan bahkan di Eropa (di mana banyak orang telah lupa jika petani masih
eksis di sana). ”
Berangkat pada latar belakang tersebut maka akan menjadi menarik bagi kita
untuk menelaah lebih jauh mengenai gerakan petani di Indonesia. Serikat Petani
1 Sekilas Reforma Agraria, h tt p :/ / ww w . bp n . g o .i d / P ro g r a m - P r i or ita s / R e f o r m a - A g r a r ia yang diakses pada 5 juni 2014.2 Sadikin. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial. Bandung: Akatiga. Jurnal AnalisisSosial Volume 10 No 1 Juni 2005
Indonesia (SPI) dikenal sebagai forum koordinasi serikat petani se-indonesia. Salah satu
anggota dalam SPI yang populer karena perjuangan dan pemberitaannya adalah Serikat
Petani Pasundan (SPP). Oleh sebab itu akan semakin menarik apabila dalam melihat
serikat petani di Indonesia kita berfokus pada SPP.
Serikat Petani Pasundan sebagai Pelaku Reforma Agraria
Serikat Petani Pasundan (SPP) dideklarasikan di Garut pada tanggal 24 Januari
2000. Serikat ini diprakarsai oleh para aktivis dari berbagai kelompok di Garut, yaitu
Forum Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Garut (FPPMG), Forum Pemuda dan
Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) di Tasikmalaya, dan Forum Aspirasi Rakyat dan
Mahasiswa Ciamis (Farmaci) adalah tiga organisasi gerakan mahasiswa yang
mengorganisasi penduduk desa untuk melakukan perlawanan di kasus-kasus konflik
agraria yang Jawa Barat. SPP sangat identik dengan tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu
Garut, Tasik, dan Ciamis. Ketiga kabupaten tersebut memiliki anggota dan fokus
terhadap berbagai aktivitasnya.3
Serikat Petani Pasundan lahir karena mayoritas rakyat Indonesia hidup dari
sektor agraria dan khususnya bermatapencaharian sebagai petani. Namun, perhatian dan
kemampuan pemerintah untuk mengakomodasi nasib kehidupan petani sangat rendah.
Peran yang tidak maksimal dari pemerintah bisa dilihat dari minimnya kontribusi APBN
dan APBD di masing-masing kabupaten yang mayoritas rakyatnya bergantung pada
sektor agraria. Adanya ketimpangan penguasaan kepemilikan dan pemanfaatan sumber
daya agraria, seperti tanah, hutan, laut dan sebagainya. Perlu dilakukan upaya untuk
mengubah keterpurukan rakyat dengan membangun ‘kekuatan pelopor’ di kalangan
petani maupun aktivis gerakan sosial dari kalangan akademis lainnya. Melalui serikat
ini, dilakukan upaya penyebaran gagasan melalui kampanye dan bimbingan kepada
petani.
Dalam makalah ini, kami akan memaparkan lebih jauh bagaimana gerakan
reforma agraria yang dilakukan oleh SPP. Kami juga akan menganalisis seberapa
berhasilnya serikat ini dalam menjalankan reforma agraria dan bagaimana relasinya
dengan negara.
3 Faizah, Nurul. 2004. Serikat Petani Pasundan (SPP): Advokasi Petani dengan Berdikari. Jakarta :
Piramedia
Terbentuknya Serikat Petani Pasundan4
Reforma agraria yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan berawal dari
5 Ibid
adanya konflik yang terjadi di Desa Dangiang, Desa Sukamukti, dan Desa Mekarmukti.
Konflik ini melibatkan dua pihak, yaitu petani ketiga desa dengan Perkebunan Teh
PTPN VIII Nusantara Dayeuh Manggung. Ketegangan antara dua aktor tersebut muncul
karena PTPN masuk dan menguasai lahan-lahan yang digarap oleh petani dari tiga desa.5
Sesungguhnya, peristiwa penguasaan tanah tersebut sudah terjadi sejak tahun
1958. Namun, kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak mereka baru muncul setelah
reformasi 1998. Munculnya gerakan itu membuat kondisi ekonomi masyarakat di ketiga
desa tersebut berubah. Awalnya dengan bekerja menggarap lahan pertanian, warga
sekitar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi, semua berubah ketika HGU
dimiliki oleh PTPN. Untuk membuat dapur mereka ngebul, petani harus bekerja ekstra
keras dengan mencari mata pencaharian lain di desa tetangga. Menjajakan kayu bakar
dan daun pembungkus merupakan usaha yang dilakoni masyarakat ketiga desa untuk
sekadar membeli beras.
Pada tahun 1997, ketika Indonesia dilanda krisis moneter, petani dipaksa untuk
menggarap lahan yang diokupasi PTPN tanpa memperoleh izin. Akhirnya, PTPN
memberikan izin dengan sistem sewa per 6 bulan atau 1 musim. Lahan PTPN digarap
sejak Mei 1998 hingga Juni 1999, dengan jumlah penggarap penyewa tanah sebanyak
77 orang. Pertengahan 1999, PTPN mereklaim tanah yang tadinya telah disewakan
kepada warga. Warga merasa dikhianati, namun mereka masih segan untuk melakukan
perlawanan besar atas nasib yang menimpa mereka. Perjuangan warga sekitar
memperoleh titik terang ketika warga bertemu dengan FPPMG (Forum Pemuda Pelajar
Mahasiswa Garut) dan YAPEMAS yang membantu untuk memperjuangkan hak atas
tanah. Kedua organisasi masyarakat sipil tersebut memberikan penyadaran sistem
4 Sub-bab ini merupakan review singkat dari tulisan Nissa Wargadipura “Bekerja Bersama Anggota Serikat Petani Pasundan dalam Mempengaruhi Kebijakan Reforma Agraria: Studi Kasus Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan di Desa Mekarmukti, Sukamukti, dan Dangiang, Cilawu Garut” diunduh dari<http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/Serikat%20Petani%20Pasundan.pdf.> diakses tanggal 7 Juni 2014 pukul 13:45 WIB
pertanahan Indonesia dan menyebarluaskan isi UU Pembaruan Agraria tahun 1960. Tak
luput juga kedua organisasi tersebut memaparkan analisis kedudukan perkebunan dan
8 Ibid
analisa HGU, yang menyatakan bahwa negara harus menyediakan tanah perkebunan
untuk masyarakat meskipun korporasi telah mengantongi HGU dari negara. Pada bulan
yang sama, warga mendirikan SPP (Serikat Petani Pasundan) sebagai alat perjuangan.
SPP lahir disebabkan oleh jalur-jalur formal tak lagi efektif.6
SPP hadir untuk merespon permasalahan petani dari segi eksternal, maupun
internal. Dari segi eksternal, SPP melakukan reforma agraria melalui dua aspek, yaitu
aspek landreform dan aspek non-landreform. Aspek landreform membahas mengenai
penataan ulang dan penguasaan kembali tanah petani. Aspek ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti demografi, hukum (negara atau adat), dan ekonomi.
Permasalahan yang sering dihadapi oleh SPP dalam aspek ini adalah inkonsistensi
hukum dan lemahnya penguasaan petani terhadap tanah. Sedangkan, aspek non-
landreform membahas mengenai segala hal yang mendukung terjadinya landreform,
seperti dukungan sarana prasarana, teknologi, dan pendampingan organisasi petani.7
Dari segi internal, SPP menghadapi minimnya kesadaran petani terhadap hak-hak
mereka atas penguasaan tanah.
Dalam UUD 1945 pasal 3 ayat 3, disebutkan bahwa “bumi, air, udara, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh pemerintah, sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sayangnya, hingga saat ini peraturan ini hanya
sekadar wacana. Tanah kini dikuasai oleh para kapitalis dan rakyat tidak mendapat
kesejahteraan dari bumi Indonesia yang kaya. Di sisi lain, kesadaran petani terhadap
pentingnya reforma agraria juga masih minim. Oleh karena itu, SPP hadir untuk
memperjuangkan kepentingan petani dalam hal agraria.
Bentuk-Bentuk Perjuangan Serikat Petani Pasundan
Sebagai bentuk penguatan internal dan juga penguatan petani, SPP memiliki
beberapa agenda, antara lain8:
6 Ibid7 Sosiologi Pertanian – Serikat Petani Pasundan dalam Gerakan Pembaruan Agraria
9 Ibid
1. Memberikan dorongan kepada petani agar dapat lebih aktif menjaga
lingkungannya, seperti Poskamling dan kerja bakti.
2. Memberikan pendidikan kepada petani, mengenai peningkatan produksi
pertanian.
3. Dukungan moral kepada petani yang diwujudkan dengan diadakannya syukuran
atas hasil panen petani.
Poin-poin di atas adalah bentuk sistem pertanian SPP yang dilakukan secara
kebersamaan. Walaupun sifat kebersamaan diutamakan, SPP tidak melupakan tata
kelola produksi. SPP menyatukan sistem pengelolaan lahan, pembudidayaan tanaman,
pemanfaatan hasil pertanian dengan sistem lain, seperti peternakan dan pengolahan hasil
produk pertanian menjadi produk lain. Harapannya, simbiosis mutualisme dapat terjalin.
Selain itu, penjualan hasil panen dilakukan melalui sistem koperasi. Hal ini dilakukan
agar stabilitas harga terjaga dan petani terhindar dari rugi.9
Selain itu, SPP juga melakukan berbagai bentuk upaya demi memperjuangkan
hak-hak mereka, beberapa upaya yang paling masif yang pernah dilakukan diantaranya:
1. Pada tahun 2000, SPP mendatangi DPRD I Jawa Barat untuk mempertanyakan
status 5 perkebunan di Garut karena HGU dari perkebunan tersebut sudah
melewati waktu tenggang.
2. Pada peringatan Hari Agraria, SPP mendesak DPRD untuk segera mengeksekusi
Tap MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan SDA dengan
melakukan demonstrasi besar-besaran.
3. Melakukan long-march bersama LSM dan Organisasi Petani lainnya akibat
disahkannya RUU Perkebunan yang nyatanya merugikan pihak para petani.
Walaupun pada akhirnya RUU tersebut berhasil di sahkan.
Dengan menggunakan prinsip ‘senasib dan sepenanggungan’, SPP
menggunakan strategi-strategi dalam memperjuangkan nasib petani dan reforma agraria.
Melakukan demonstrasi sebesar-besarnya; melakukan pendidikan melalui diskusi-
diskusi dari satu kampung ke kampung yang lain; serta mempererat kesolidan SPP itu
sendiri merupakan strategi yang diterapkan. Pada awalnya, masyarakat masih
menggunakan jalur-jalur formal untuk mendapatkan legalitas hukum atas tanah garapan.
Perjuangan SPP dilakukan mulai dari pemerintahan desa, camat, Pemda, baik DPRD
kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI hingga ke BPN Pusat. Namun, perjuangan ini tidak
memberikan hasil hingga pada akhirnya jalur informal yang dipilih. Tekanan-tekanan
dilancarkan oleh SPP untuk mendapatkan legitimasi hukum atas tanah garapan terutama
DPRD Jawa Barat. Pada akhirnya, melalui lobi hingga aksi besar-besaran, SPP berhasil
mendesak Tap MPR RI No. IX/2001 yang menjadi alat hukum kedua bagi para
penggarap setelah UUPA tahun 1960.
Dalam melakukan berbagai perjuangannya. SPP memiliki manajemen aksi yang
tertata raih. Misal ketika SPP hendak melakukan aksi ke BPN Pusat, maka SPP akan
melakukan konsolidasi aksi massa mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi, DPR RI hingga ke BPN Pusat. Koordinasi ini dapat dilakukan karena SPP
selalu berusaha menjalin hubungan baik dengan beberapa kepala desa, pejabat birokrat,
pejabat eksekutif dan legislatif di berbagai jenjang.
Koodinasi juga dapat berjalan dengan baik sebab SPP merupakan induk dari
OTL-Organisasi Tani Lokal yang berkedudukan di lingkup wilayah yang lebih kecil.
Total setidaknya pada tahun 2004 telah berdiri 70 OTL dengan jumlah 120.000 petani
terdaftar sebagai anggota. Jumlah ini meningkat berlipat-lipat pada tahun 2008 dengan
jumlah 420.000 petani sebagai anggota dari SPP.
Kontrak dengan Pemerintah yang Sering Berujung pada Kekecewaan
Kerja keras SPP sempat membuahkan hasil dengan terbentuknya Tim Terpadu
Penanganan Masalah Tanah Perkebunan dan Kehutanan di Kabupaten Garut. Tim ini
terbentuk setelah SPP bersusah payah berkonsultasi dan memberikan aspirasi kepada
DPRD Garut, DPRD Jawa Barat hingga BPN Pusat.10 Tim ini bertugas untuk :
10 Tim tersebut terdiri atas ketua Direktur Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, BPN Pusat, Wakil Ketua I, Direktur Pengukuran dan Pemetaan, BPN Pusat, Wakil II, Direktur Pengurusan Hak Atas Tanah, BPN Pusat. Sekretaris I, Kasubdit Penyelesaian Sengketa Hukum, Dit PTIP, BPN Pusat, Sekretaris II, Kasi HGU Perkebunan Besar, Subdit HGU, Dit.PHAT, BPN Pusat, Anggotanya : Bupati Ciamis, Asisten Tata Praja Sekda Kabupaten Ciamis, Kasi HHT, Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis , Kasubsi Penyelesaian Masalah Pertanahan, Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis, Staff Khusus Bidang Agraria, Direksi Perum Perhutani Jakarta, Kasi Hukum dan Perundang – undangan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Ciamis, Ketua Komisi A dan Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Ciamis, Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Barat, Kepala Bagian Ketertiban Setda Garut, Anggota DPRD Kabupaten Garut, Sekretaris Jendral Serikat Petani Pasundan - SPP , Depkeuc.q Biro TU BUMN, Kasubdit Kelembagaan Usaha Wilayah B, Dirjen Perkebunan. Kasubdit Kelembagaan Wilayah B, Dirjen
1. Melakukan peninjauan lokasi pada daerah – daerah yang ditetapkan.
2. Melakukan pertemuan dengan warga masyarakat setempat dengan tetap
mengupayakan terwujudnya ketenangan dan ketertiban.
3. Melakukan penelitian berkas/alas hak baik warga masyarakat maupun pada
kantor pertanahan kabupaten Ciamis dan Kabupaten Garut.
4. Membuat evaluasi dan merumuskan kebijakan berdasar peraturan perundangan
yang berlaku.11
Sayangnya, tim tersebut tidak berfungsi dengan baik. Akhirnya di tahun 2001
dibentuklah Tim Penanganan Masalah Pertanahan Buni Sari Lendradan Dayeuh
Manggung
Kabupaten Garut. Tim bertugas untuk mengumpulkan data sekunder yang meliputi, a)
Data Fisik penggunaan dan penguasaan tanah, b) Data sosial ekonomi, c) Data hukum,
dan d) Riwayat tanah.12 Dan sangat disayangkan, tim kedua ini juga tidak terlalu
memberikan efek berarti.
Konflik Serikat Petani Pasundan dengan Negara13
Sebagai sebuah bentuk gerakan ekstra parlemen yang tidak menjadi bagian dari
negara. Tentunya dalam keberlangsungannya SPP sering kali bergesekan/berkonfil
dengan negara. Banyak sekali terjadi konflik antara SPP dengan pihak lain terutama
dengan perusahaan negara atau perusahaan swasta yang berlindung dibalik negara.
Setidaknya ada tiga konflik hebat yang terjadi antara SPP dengan negara sejak
berdirinya SPP sampai sekarang. Yaitu adalah peristiwa tahun 1999 mengenai
penyerobotan lahan garapan petani oleh Perhutani, tahun 2003 mengenai operasi
Wanalaga Lodaya, dan tahun 2008 mengenai Operasi Cigugur oleh Polda Jawa Barat.
Perkebunan. Kasubdit Ketertiban Daerah, Dir, Pemerintahan Umum Daerah, Depdagri. Kasudit Penyelesaian Sengketa Hukum, Direktorat Pengurusan Hak Atas Tanah BPN Pusat. Kasubdit Pendaftaran Tanah, Dir, HAT, BPN Pusat. Kasubdit Perencanaan Teknis, Bina Program, BPN Pusat, Kasubdit Perencanaan Program, Bina Program BPN Pusat, Kasi Keagrariaan, Subdit Ketertiban Daerah, Dir. Pemerintahan Umum Daerah, Depdagri. Kasi Kerangka Dasar Kadasteral, Subdit Pengukuran dan Pemetaan Terrestris, BPN Pusat. Kasi Kerangka Dasar Fotogrametris, Subdit Pengukuran dan Pemetaan Fotogrametris, BPN Pusat. Dan tiga orang wakil dari Serikat Pekerja Perkebunan (SP_BUN) Wilayah Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.11Ibid.12 Ibid. Hal 1613 Noer Fauzi . Dari Okupasi Tanah Menuju Pembaruan Agraria : Konteks dan Konsekuensi dari SerikatPetani Pasundan (SPP) di Garut, Jawa Barat . dalam Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola PenguasaanTanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.(2008) Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Mengenai konflik tahun 1999 kiranya telah dijelaskan diatas. Konflik inilah
yang kemudian melahirkan gerakan dari SPP itu sendiri pada tahun 2000.
Sedangkan pada tahun 2003, SPP harus berurusan dengan “Operasi Wanalaga
Lodaya”14. Operasi ini berlangsung sejak 11 Agustus 2003 hingga 23 September 2003
dan terdiri atas 320 polisi serta 67 polisi hutan. Konflik ini adalah konflik
berkepanjangan yang terjadi antara petani Pasundan dengan Perhutani, perkebunan-
perkebunan besar, dan pengelola kawasan konservasi. Perhutani mengklaim bahwa
petani yang tergabung dalam SPP telah menggarap tanah yang telah dikuasai oleh
Perhutani, yaitu Talagabodas, Papandayan, dan Sancang. Operasi ini menuai kritik dari
pemerhati HAM karena banyak petani ditangkap dan ditahan aparat keamanan. Yang
dianggap melakukan pembalakan liar.15
Operasi Wanalaga Lodaya dapat disebut sebagai aksi okupasi tanah atau
reclaiming. Reclaiming dilakukan atas tanah-tanah yang pernah menjadi tanah garapan
penduduk, tapi akibat praktek penindasan, tanah tersebut menjadi bagian dari hutan
Perhutani, perkebunan besar, atau perusahaan. Aksi rakyat yang ingin mengambil
kembali tanah tersebut biasanya disebut dengan aksi “penjarahan”. Penjarahan ini
dianggap sebagai perilaku negatif dan dianggap hanya menimbulkan kerugian negara.
Oleh karena itu, dengan kekuasaan yang dimilikinya, negara menganggap aksi Operasi
Wanalaga Lodaya sebagai jalan formal yang digunakan untuk “menertibkan” rakyat.
Operasi Wanalaga Lodaya ini di provokasikan juga oleh Solihin GP, mantan Gubernur
Jawa Barat pada masa Orde Baru. Solihin GP memprakararasi dibentuknya DPKLTS
(Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tataran Sunda). SPP menganggap
bahwa Solihin GP yang sejak Orde Baru selalu memarjinalkan petani, tidak hentinya
menyurutkan perjuangan gerakan petani di Jawa barat.
Sedangkan pada kasus tahun 2008, pola dan motif kasusnya kurang lebih
sama.16 Pada tanggal 14 Juni 2008, Kapolda Jawa Barat menurunkan tiga kompi Brimob
untuk turun ke lapangan menangkap beberapa anggota SPP yang dianggap melakukan
pembalakan liar di Cigugur. Aktor yang terlibat kali ini tidak lepas juga dari Solihin GP,
mantan Gubernur Jawa Barat. Namun kali ini Solihin berkaloborasi dengan Kapolda
14 Operasi ini terdiri atas Polisi Daerah Jawa Barat, satuan Brigade Mobil, Polisi Resor Garut, Polisi HutanPerhutani, dan aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam.15 Noer Fauzi . Op Cit hal 434-43616 http://indoprogress. com/2010/07/hari-hari-operasi-cigugur.html
Jawa Barat yaitu Susno Duadji. Penyergapan satuan Brimob di Cigugur inipun sangat
membabi buta. Mereka melakukan razia/operasi dengan memeriksa semua warga di
daerah-daerah strategis Cigugur. Satuan Brimob akan segera menahan semua warga
yang memiliki KTA SPP, lebih-lebih anggota SPP yang masuk dalam daftar DPO.
Beberapa hari kemudian, operasi Cigugur semakin membabi buta. Sekjen SPP,
Agustiana ditetapkan sebagai DPO karena dianggap sebagai dalang dari pembalakan liar
di Cigugur. Agustianapun sangat kaget atas statusnya tersebut, ia meminta bantu dari
LBH dan Komnas HAM mengenai kasus hukumnya. Agustiana bersikeras bahwa
pembalakan liar yang terjadi adalah bukan dilakukan oleh anggota SPP tetap yang
terdaftar. Adapula para warga yang melakukan pembalakan hanyalah menjadi tersuruh
dari otak pelaku yang dilakukan oleh pengusaha dan bahkan pejabat pemerintah sendiri.
Agustiana juga menyebutkan bahwa operasi ini adalah sebuah pengalihan isu dari isu
manajemen Perhutani yang tidak becus dalam mengelola hutan. Hal ini dikuatkan
dengan pernyataan dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang mendatangi posko
SPP di desa Jayasari.
Agustianapun sempat di tahan beberapa hari oleh Polda Jawa barat hingga
akhirnya dibebaskan setelah adanya mediasi dari Komnas HAM dan LBH. Lagipula
tuduhan atas Agustianapun tidak cukup bukti, sehingga statusnya tidak dapat
dilanjutkan. Bahkan pada saat pembebasannya tersebut, Sekjen SPP tersebut berjanji
akan membentuk 6000 laskar penyelamat hutan dari anggota-anggota SPP. Sedangkan
beberapa petani juga dibebaskan dengan alasan salah tangkap dan tidak cukup bukti.
Adapula beberapa warga diproses kasus hukumnya karena memiliki indikasi kuat
terlibat dalam pembalakan liar.
Selain dari tiga kasus tersebut apabila kita kuantifikasi dan rekapitulasi lebih
lanjut, ada banyak sekali konflik dan reclaiming antara SPP dengan Perhutani. Hal itu
dapat kita lihat pada tabel dibawah ini:17
17 Bachriadi, Dianto. Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma Agraria. 2005. Bandung: Akatiga. Jurnal Analisis Sosial Vol 15 No 1 Juni 2010
Reforma Agraria yang Digagas Negara VS Reforma Agraria yang Dimotori
Kesadaran Kolektif : Sebuah Perbandingan
Reforma A gr aria ya n g D il akukan N e ga ra
Reforma agraria oleh negara melibatkan aktor dari beberapa lembaga. Reforma
agraria oleh negara dapat berbentuk sebuah kebijakan atau regulasi yang di dalamnya
memuat pembatasan, pengambilalihan, restitusi dan redistribusi. Maksud dari
pembatasan adalah membatasi kepemilikan tanah. Untuk restitusi dapat diartikan
sebagai kompensasi atau ganti kerugian atau pembayaran kembali terhadap korban yang
dirampas tanahnya. Redistribusi diartikan sebagai pembagian tanah. Reforma agraria
yang dilakukan oleh negara merupakan pengimplementasian dari kebijakan reforma
agraria atau Tap MPR No IX/ MPR/ 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan
sumberdaya alam. Reforma agraria oleh negara yang menghasilkan output kebijakan
berarti diakui secara legal. Secara legal, reforma agraria juga disebut sebagai
pembaruan agraria atau proses restrukturisasi kepemilikan, penguasaan dan penggunaan
sumber agraria, khususnya tanah18
Dari pernyataan di atas, adapun karakteristik reforma agraria yang dilakukan
oleh negara adalah: 1. Output berupa kebijakan; 2. Legalitas terjamin karena berbentuk
kebijakan; 3.dilakukan oleh kerjasama antar lembaga pemerintah; 4. Adanya
ketimpangan peraturan antara lembaga pemerintah yang satu dengan yang lain; 5.
Lobbying ada, namun tidak terlalu intes seperti yang dilakukan oleh gerakan reforma
agraria yang dilakukan oleh masyarakat/LSM; 6. Rentan memunculkan berbagai
kepentingan elit untuk menguasai sumber daya alam yang ada.
Reforma A gr aria ya n g D il akukan Atas Das ar K esadaran Kolekti f
Ada perbedaan mendasar antara reforma agraria yang dimotori oleh negara
dengan yang digagas oleh kesadaran kolektif masyarakat. Input reforma agraria yang
digagas oleh kesadaran kolektif masyarakat berasal dari keinginan-keinginan di akar-
rumput, bukan berasal dari pertimbangan-pertimbangan rasional para teknokrat
layaknya pada reforma agrarian negara. Realita serupa dapat dijumpai pada kasus desa
Sukamukti, Mekarmukti, dan Dangiang. Masyarakat yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani merasa tak memperoleh haknya ketika PTPN mengantongi
HGU dikarenakan semakin sempitnya bahkan hilangnya lahan pertanian mereka.19
Adanya sebuah nilai kolektif yang menjadi pemererat. Semboyan “senasib
sepenanggungan” yang menjadi prinsip utama Serikat Petani Pasundan merupakan nilai
kolektif yang menjaga ikatan antar anggota SPP tetap erat.
Kriteria kedua yang dapat ditemui ialah adanya sifat kritis ataupun pengawasan
pelaksanaan reforma agraria oleh masyarakat sebagai pemasok input kebijakan. Sikap
kritis SPP, pihak yang dalam konteks ini adalah pemasok input kebijakan, menentang
RUU perkebunan. Pihak mereka menganggap bahwa RUU tersebut tidak pro terhadap
18 Sekilas Reforma Agraria dalam h t t p :/ / ww w . bp n . g o .i d / P ro g r a m - P r i or ita s / R e f o r m a - A g r a r ia akses tgl 7Juni 201419NisaWargadipura. Op Cit Hal 8
petani dikarenakan RUU tersebut mungkinkan petani dipenjarakan dalam sebuah
sengketa tanah.20 Selain itu, SPP juga mengingikan pembaruan dalam UU Agraria
khususnya dalam bidang penguasaan dan tata guna lahan. Singkatnya, reforma agraria
yang digagas oleh kesadaran kolektif masyarakat secara tidak langsung memperingan
kerja dari teknokrat selaku perumus kebijakan.
Kriteria ketiga adalah memungkinkan terlahirnya lembaga-lembaga yang
bertugas mengawal jalannya kebijakan di bidang pertanahan. SPP mengajak pemerintah
lebih concern terhadap isu-isu agraria. Kerja keras SPP membuahkan hasil dengan
terbentuknya Tim Terpadu Penanganan Masalah Tanah Perkebunan dan Kehutanan di
Kabupaten Garut.
SPP sebagai Gerakan Petani Akar Rumput
Dari penjelasan mengenai SPP sebagai gerakan yang sering bergesekan dengan
negara. Maka meminjam argumen Sadikin, bahwa di sini kelompok tani setidaknya
berperan dalam tiga hal. Pertama, perlawanan petani dalam menentang bentuk kebijakan
pemerintah yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/pemilikan lahan mereka
merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial ini adalah upaya yang
dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan atau setidaknya
mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
petani. Kedua, konflik agraria menampilkan gejala dan peristiwa yang timbul dari
perlawanan petani dan masyarakat yang mendukungnya terhadap pihak yang
bertentangan yaitu pemerintah, aparat keamanan, militer, pengusaha dan masyarakat
yang bertentangan. Ketiga, jika kita meletakkan konflik agraria dalam kerangka
reformasi agraria. Maka konflik agraria adalah merupakan bagian dari proses
berlangsungnya reformia agraria tersebut.
Masih meminjam argumen Sadikin, mengingat bahwa konflik agraria adalah
bagian dari proses reformis agraria. Hal itu berartikan konflik agraria bukanlah sekadar
primordial matter namun pada dasarnya adalah Manufactured product. Oleh sebab itu
konflik agraria tidaklah semestinya diredam ketika konflik benar-benar bersambut.
Namun konflik harus terus dikobarkan sampai reforma agraria itu telah tercapai. Pada
konteks ini tentu saja konflik memiliki makna yang sangat luas. Konflik tidak hanya
20 Ibid.
terbatas pada hukum pidana atau perseturuan fisik. Namun berdemonstrasi, judicial
review, bahkan perang opini publik/propagandapun termasuk dalam konflik.
Apabila kita telaah lebih jauh, akan kita dapati pula bahwa SPP sebagai sebuah
gerakan tidak terlalu relevan untuk dinilai menjadi gerakan sosial lama ataupun gerakan
sosial baru. Pada sisi gerakan sosial lama, kita dapat melihat dari latar belakang
munculnya SPP adalah karena represi negara oleh Perhutani. Kemudian kita juga dapat
melihat bagaimana operasi Wanaloga Lodaya dan Operasi Cigugur yang dilakukan oleh
satuan kepolisian hingga militer yang disponsori juga oleh Perhutani. Namun pada sisi
yang lain kita dapat cermati bahwa pada beberapa kesempatan, SPP juga sangat serius
dalam menjalin relasi dengan beberapa pejabat negara, mulai dari kepala desa, bupati,
anggota DPRD, dan Gubernur Jawa Barat (Ahmad Heryawan). SPP juga saat serius
dalam negosiasi pembuatan kebijakan pemerintah mengenai HGU. Hal ini cukup
berbuah manis dengan diperolehnya pendudukan lahan 600 Ha eks HGU Perhutani
yang diberikan Pemda Garut. SPP juga berperan penting dalam bernegoisasi dalam
PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional). Bahkan pada penyelesaian Operasi
Cigugur, Agustiana juga berikrar akan membantu aparat dalam pengawasan pembalakan
liar dengan membentuk 6000 laskar dari anggota SPP.
Kesimpulan
Pemaparan diatas membawa kita pada kesimpulan bahwa gerakan serikat petani
seperti SPP telah menjadi gerakan yang sangat strategis perjuangannya. Ia berkeyakinan
bahwa konflik agraria merupakan bagian dari reforma agraria. Sebab itu konflik (dalam
arti luas) dengan negara sebagai pengampu kebijakan merupakan sebuah keniscayaan.
Demi memperoleh hak-hak dan reforma agraria yang adicita-citakan SPP bergerak
dengan cara sangat taktis. Ia tidak menjadikan negara sebagai aktor tunggal yang vis a
vis dengan dirinya. Namun ia menganggap negara sebagai multi aktor yang harus
bermain dengannya secara taktis sehingga apa yang diperjuangkan dapat membuahkan
hasil.
Daftar Pustaka
Bachriadi, Dianto. Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma
Agraria. 2005. Bandung: Akatiga. Jurnal Analisis Sosial Vol 15 No 1 Juni 2010
Faizah, Nurul. 2004. Serikat Petani Pasundan (SPP): Advokasi Petani dengan Berdikari.
Jakarta : Piramedia
Sadikin. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial. Bandung: Akatiga.
Jurnal Analisis Sosial Volume 10 No 1 Juni 2005
Sekilas Reforma Agraria, ht t p: / /ww w .bpn. g o.id /P ro g r a m - P rio r i t a s/ R e fo r m a - A g raria
diakses pada 5 juni 2014.
Tjondronegoro (ed) . 2008 . Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Wargadipura, Nissa . 2005 . Bekerja Bersama Anggota Serikat Petani Pasundan dalam
Mempengaruhi Kebijakan Reforma Agraria: Studi Kasus Organisasi Tani Lokal Serikat
Petani Pasundan di Desa Mekarmukti, Sukamukti, dan Dangiang, Cilawu Garut.
(Diunduh dari
<ht t p: / /w e b.iain c ir e bon. a c .id / e book/ m oon/ R ur a l & Vil l a g e / S e ri k a t%20P e ta n i%20P a sund
a n.pd f .> diakses tanggal 7 Juni 2014 pukul 13.45 WIB.
w w w.kp a .or.id/.../ N F - R a c hman - 2012 - D a ri - Ko n fli k - A g rari a- k e - R e fo r m a diakses pada 7
juni 2014.