Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di...
Transcript of Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di...
Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar
Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Pendidikan
Catatan Kebijakan Juli 2016
Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan
pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai
bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan
statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i
yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai
angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang
sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan
kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen
kependudukan dan identitas hukum yang dihasilkan melalui
sistem CRVS memfasilitasi akses ke layanan dasar, termasuk
pendidikan. Beberapa studi yang telah dilakukan, misalnya,
menemukan bahwa kepemilikan akta kelahiran di beberapa
daerah di Indonesia dapat dikaitkan dengan tingkat partisipasi
di sekolah dan tingkat keberlanjutan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi.1 Dokumen kependudukan dan identitas hukum
tidak hanya sering digunakan untuk persyaratan masuk sekolah,
namun interaksinya dengan sistem sekolah di Indonesia juga
membuka peluang untuk mendorong dan mendukung pencatatan
kelahiran. Memo ini disusun berdasarkan berbagai temuan dari
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan
i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan2
Pembangunan Nasional/BAPPENAS yang bekerja sama dengan
PUSKAPA dan Program Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan
untuk Kesejahteraan (KOMPAK) mulai dari akhir 2015 hingga
awal 2016. Salah satu tujuan penelitian ini ialah untuk menjajaki
berbagai cara agar sektor pendidikan di Indonesia dapat turut
mewujudkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki sistem
CRVS di Indonesia. Studi ini juga merekomendasikan cara-cara
yang dapat ditempuh agar program pendidikan dapat turut andil
untuk mencapai solusi yang berkesinambungan.
CRVS di Indonesia
Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang
terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan
kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih
diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.
Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian
dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun
beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam
kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak
pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan
data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting
kependudukan.
Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)
memiliki akta kelahiran,2 dan Indonesia termasuk negara dengan
jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya
tidak tercatat.3 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan
data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan
sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.4,5
Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,
banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu
melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan
layanan secara akurat.6,7
Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua
lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah
dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai
contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas
hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian
setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan
sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber
daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah bagi
bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan
perlindungan untuk anak.8 Berbagai studi di Indonesia telah
menemukan bahwa kepemilikan identitas hukum berkaitan
dengan partisipasi di sekolah dan keberlanjutan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi.1
Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen
memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses pada
layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan, pendidikan,
perlindungan sosial, infrastruktur, serta pencatatan sipil dan
identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi kemiskinan di
Indonesia.9 Sebagai bagian dari rencana ini, Presiden menargetkan
sebanyak 85 persen anak sudah memiliki akta kelahiran di tahun
2019. Dalam beberapa tahun ini, pemerintah telah menerbitkan
beberapa peraturan yang menyederhanakan prosedur pencatatan
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan 3
kelahiran, memfasilitasi upaya penjangkauan masyarakat
terpencil, dan mendorong upaya kerjasama antarkementerian
untuk memperbaiki pencatatan kematian. Kementerian Dalam
Negeri telah melakukan penguatan yang menjanjikan dalam
modernisasi basis data kependudukan Indonesia melalui sistem
informasi administrasi kependudukan (SIAK) yang saat ini sudah
dalam versi kelima. Meskipun demikian, berbagai inisiatif ini
kerap belum terkoordinasi dengan baik, dan dalam konteks
desentralisasi, implementasi secara baku di berbagai daerah
terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat ini, masih belum
ada rencana nasional yang memerinci strategi pemerintah untuk
mengintegrasikan pencatatan sipil dalam satu sistem yang
menyeluruh dan yang mampu menyediakan dokumen yang tepat
serta menghasilkan statistik hayati yang akurat, sinambung,
sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai sektor pemerintahan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
BAPPENAS menjajaki berbagai cara agar berbagai sektor yang
berkepentingan atas penguatan CRVS dapat dikerahkan untuk
bekerja sama untuk mewujudkan sistem yang terpadu, lengkap
dan dapat diandalkan. Sekolah dan sektor pendidikan secara
umum berpeluang memainkan peran yang penting dalam
memperkuat sistem CRVS Indonesia, khususnya berkaitan
dengan pencatatan kelahiran bagi anak usia sekolah yang
berusia antara empat sampai dengan 17 tahun.
Meskipun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.
20/2003) tidak mengindikasikan bahwa dokumen identitas hukum,
seperti akta kelahiran, dibutuhkan dalam pendaftaran sekolah,
pimpinan daerah memiliki kewenangan untuk menerbitkan
peraturan daerah mereka sendiri, yang mewajibkan kepemilikan
akta kelahiran untuk mendaftar masuk sekolah, dan kepala
sekolah juga dapat membuat kebijakan serupa di tingkat sekolah.1
Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan
agar sekolah menggunakan akta kelahiran sebagai acuan utama
identitas anak dalam menerbitkan ijazah kelulusan, sebagaimana
dinyatakan dalam petunjuk teknis terbaru tentang penulisan ijazah
(tahun ajaran 2014/2015).10 Sebagai pengganti akta kelahiran,
sekolah diarahkan untuk meminta dokumen resmi lainnya, yang
kadang termasuk kartu keluarga dan surat keterangan lahir.
Pada praktiknya, meskipun beberapa sekolah secara aktif
mensyaratkan adanya akta kelahiran untuk pendaftaran siswa, baik
atas dasar kebijakan kabupaten maupun kebijakan sekolah, namun
sebagian besar sekolah masih menerima kartu keluarga jika anak
tersebut tidak memiliki akta kelahiran. Sebagian lagi sekolah tetap
menerima siswa yang kelahirannya masih belum tercatat, namun
siswa tersebut tidak diizinkan mengikuti lomba ekstrakurikuler
di tingkat kabupaten atau provinsi.11 Alih-alih memberi ganjaran
bagi siswa yang tidak memiliki akta kelahiran, beberapa kota
mulai memberi insentif bagi kepemilikan akta kelahiran dengan
memberikan kelebihan-kelebihan tertentu. Di Surakarta, misalnya,
orangtua anak yang memiliki akta kelahiran berhak atas kartu
insentif anak yang bisa digunakan untuk membeli barang dan
jasa yang berkaitan dengan pendidikan dengan potongan harga.12
Daerah lain juga mulai menggunakan sekolah dalam upaya
penjangkauan layanan, seperti menggunakan sekolah sebagai titik
pencatatan saat pelaksanaan layanan terpadu keliling.12
Bagian administrasi sekolah umumnya menggunakan dokumen
identitas anak untuk membuat profil siswa di dalam data pokok
pendidikan (Dapodik) yang merupakan acuan utama dalam
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan4
pengalokasian anggaran sekolah dan bantuan yang berbasis
kebutuhan sekolah. Saat ini Dapodik merekam nomor induk
kependudukan (NIK) siswa, namun belum mampu melacak
kepemilikan akta kelahiran. Hal ini dapat dijadikan peluang
berharga untuk menemukenali siswa-siswa yang masih belum
tercatat kelahirannya dan merujuk mereka ke penyedia layanan
pencatatan sipil.
Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya
Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS yang
telah dipublikasikan, kami menemukan bahwa kebanyakan
negara-negara tersebut masih bergelut dengan sistem CRVS
yang kurang berkembang. Pun begitu dalam beberapa tahun
terakhir terlihat banyak pemerintah menjajaki strategi inovatif
untuk memperkuat sistem CRVS yang mereka miliki. Sebagian
di antaranya sudah bekerja sama dengan sektor pendidikan
untuk meningkatkan pencatatan sipil di kalangan penduduk
usia sekolah, khususnya yang berkaitan dengan akta kelahiran.
Antara tahun 2007 dan 2008, misalnya, UNICEF bermitra dengan
Kementerian Pendidikan di dua belas negara untuk memasukkan
kampanye pencatatan kelahiran di sekolah, termasuk di negara-
negara seperti Timor-Leste, Papua Nugini, dan Filipina.12
Di beberapa negara, persyaratan kepemilikan akta kelahiran untuk
pendaftaran sekolah, atau untuk berbagai kegiatan sekolah lainnya,
dianggap sebagai satu pendekatan untuk memberikan insentif bagi
pencatatan kelahiran. Di Kenya, misalnya, berdasarkan kebijakan
nasional di sana, seorang anak harus menunjukkan akta kelahiran
sebagai syarat mengikuti ujian nasional. Namun, dengan tingkat
pencatatan yang rendah yang hanya mencapai 60 persen,
kebijakan ini mengakibatkan sekelompok besar anak muda
secara de facto terhalang kesempatannya untuk melanjutkan
pendidikan mereka. Dalam kondisi cakupan pencatatan jauh lebih
tinggi sekalipun seperti di Vietnam (95 persen), kebijakan yang
mensyaratkan adanya akta kelahiran untuk masuk ke pendidikan
prasekolah dan sekolah dasar masih berisiko menyisihkan anak-
anak dari kelompok yang paling terpinggirkan dari layanan
pendidikan, yang nantinya akan menciptakan rantai kerentanan.13
Untuk menghindari hal tersebut, Filipina mengambil pendekatan
unik dalam kebijakan pendaftaran masuk sekolah. Sekolah-sekolah
negeri masih meminta akta kelahiran saat pendaftaran, namun
karena cakupan kepemilikan akta kelahiran masih rendah, sekolah
tidak menolak anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran.
Pegawai sekolah justru mulai memberi informasi dan dorongan
bagi orang tua murid mengenai prosedur pencatatan kelahiran
dan menunda pemberlakuan syarat akta kelahiran sampai dengan
kelulusan. Mekanisme ini telah menjadi komponen penting bagi
upaya penguatan CRVS di Filipina.14
Kolaborasi antara sektor yang terkait juga menjadi langkah penting
untuk meningkatkan CRVS di beberapa negara. Dalam kasus
Ghana, saat masa pendaftaran siswa, banyak sekolah di berbagai
wilayah secara aktif menemukenali siswa yang masih belum
tercatat dan kemudian merujuk orang tua untuk mendatangi
pejabat pencatatan sipil. Meski demikian, sistem ini bergantung
pada kemauan pejabat pencatatan sipil daerah, yang banyak di
antaranya tidak secara aktif menindaklanjuti rujukan dari sekolah,
dan hanya menunggu sampai orang tua murid menghubungi
mereka. Salah satu dari sekian faktor yang menyebabkan sifat
pasif ini adalah karena Kementerian Pendidikan tidak memiliki
mandat resmi untuk mendukung pelaksanaan pencatatan
kelahiran, dan tidak memiliki kesepakatan bersama dengan
Kantor Pusat Catatan Sipil.15
Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016
Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas
hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah
secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat
menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang
mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian
nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen
kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak
konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki
akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,
atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak
memiliki akta perkawinan.
Meskipun petugas sekolah dan anggota masyarakat di ketiga provinsi mengemukakan bahwa akta kelahiran merupakan syarat mendaftar sekolah, kebijakan tersebut tidak diterapkan secara tegas di kecamatan mana pun yang termasuk dalam studi ini, dan anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran tetap dapat diterima bersekolah dengan menggunakan dokumen alternatif, seperti kartu keluarga. Sebagian pegawai pemerintahan meyakini bahwa syarat
adanya akta kelahiran untuk pendaftaran sekolah merupakan cara
penting untuk menciptakan nilai penting atas akta kelahiran di
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan 5
bertindak lebih jauh, yaitu menyediakan formulir pendaftaran
yang dibutuhkan, menawarkan untuk membantu mengisi
ataupun mengirimkan formulir tersebut mewakili orang tua
murid, atau gabungan dari bantuan tersebut. Staf sekolah dasar
juga dilaporkan memfasilitasi pencatatan kelahiran. Akan tetapi,
kebanyakan tenaga pendidik dan bagian administrasi sekolah
meyakini bahwa pencatatan sipil berada di luar lingkup tanggung
jawab mereka, dan banyak yang menyatakan bahwa mereka
tidak memiliki sumber daya untuk turut memperkuat pencatatan
sipil, atau tidak mau melangkahi mandat Kementerian Dalam
Negeri. Secara keseluruhan, penyedia layanan di semua lokasi
penelitian, termasuk tenaga pendidik, hanya berkontribusi kurang
dari lima persen bagi pencatatan kelahiran yang terjadi dalam
sampel.
Meskipun kebanyakan sekolah meminta akta kelahiran saat masa pendaftaran masuk sekolah (walaupun tidak mewajibkannya), sekolah tidak secara sistematis mencatat status kepemilikan akta calon siswa, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga tidak mengharapkan data tersebut. Sebagian besar sekolah yang
dikunjungi di tiga kabupaten sudah memiliki Dapodik, yang
mendorong bagian administrasi sekolah untuk mencatat NIK
siswa. Secara teori, ini memungkinkan data siswa dicocokkan
dengan data SIAK, termasuk status pencatatan kelahiran.
Sebagian kecil pegawai dinas pendidikan menganggap bahwa
Dapodik seharusnya bisa digunakan untuk mengidentifikasi anak-
masyarakat. Sementara itu petugas lainnya beranggapan bahwa
yang lebih penting adalah siswa dapat bersekolah, terlepas dari
status catatan sipil mereka. Meski demikian, terdapat hubungan
erat antara capaian pendidikan dengan kepemilikan akta kelahiran.
Orang dewasa yang pernah duduk di sekolah dasar atau sekolah
menengah pertama memiliki kemungkinan dua kali lebih besar
memiliki akta kelahiran dibandingkan dengan mereka yang
tidak pernah bersekolah, dan mereka yang pernah mengenyam
pendidikan SMA atau pendidikan tinggi memiliki kemungkinan
empat kali lebih besar memiliki akta kelahiran dibandingkan dengan
mereka yang tidak pernah bersekolah. Anak-anak usia sekolah
yang saat penelitian ini dilakukan tengah mengenyam bangku
sekolah memiliki kemungkinan dua kali lebih besar memiliki akta
kelahiran dibandingkan dengan mereka yang tidak bersekolah.
Meskipun sektor pendidikan tidak memiliki hubungan formal dengan Disdukcapil di ketiga wilayah tersebut, dan tidak berperan resmi dalam memfasilitasi pencatatan kelahiran, beberapa petugas sekolah kadang membantu orang tua murid mengurus pencatatan kelahiran anak-anak mereka. Satu dari lima ibu yang anaknya lulus dari
pendidikan anak usia dini (PAUD) melaporkan bahwa mereka
telah menerima informasi atau bantuan untuk mencatatkan
kelahiran anak mereka dari pengurus PAUD. Yang biasa terjadi
adalah pengajar PAUD menjelaskan pentingnya pencatatan
kelahiran, atau menyampaikan berbagai informasi lain bagi orang
tua. Pada lebih dari seperempat kejadian, tenaga pengajar juga
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan6
anak yang memerlukan layanan identitas hukum. Seorang guru
sekolah dasar yang kami temui sudah membuat buku catatan
manual yang berisi nama siswa yang diterima masuk sekolah
tanpa akta kelahiran.
Informan lain dari sektor pendidikan menyatakan adanya kebutuhan akan data kelahiran yang lebih baik secara umum. Satu informan menjelaskan bahwa data yang andal
mengenai populasi usia sekolah dapat membantu sekolah dan
dinas pendidikan untuk merencanakan dan mengalokasikan
sumber daya secara lebih efektif. Hal ini akan berkontribusi pada
pemenuhan standar pelayanan minimum, serta memastikan
agar layanan pendidikan memang menjangkau seluruh anak usia
sekolah, sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang.
Rekomendasi
Mengingat layanan identitas hukum saat ini masih belum dapat diakses oleh sebagian besar penduduk, sekolah sebaiknya tidak menetapkan akta kelahiran sebagai syarat wajib untuk pendaftaran sekolah, kecuali bila dibarengi dengan usaha sekolah untuk menemukenali kebutuhan/permintaan akan identitas hukum serta memfasilitasi akses untuk mendapat layanan identitas hukum. Penerapan syarat akta kelahiran secara kaku sebagai syarat pendaftaran sekolah mengingkari hak dasar anak atas pendidikan, dan karena anak yang tidak tercatat cenderung berasal dari keluarga berpendapatan rendah, hal tersebut berisiko memperburuk kesenjangan sosial.
• Kabupaten/kotaatausekolahyangmensyaratkankepemilikan
akta kelahiran untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan
sekolah, seperti ujian, lomba ekstrakurikuler, atau kelulusan,
sebaiknya menawarkan sesi informasi bagi orang tua anak-
anak yang kelahirannya masih belum dicatatkan dengan cara
yang mudah diterima dan peka budaya.
• Sekolah setidaknya dilengkapi dengan materi-materi baku
yang menjelaskan prosedur pencatatan kelahiran, dan materi
ini dibagikan kepada orang tua siswa yang anaknya masih
belum tercatat.
• SekolahhendaknyabekerjasamadenganDisdukcapiluntuk
membentuk jalur rujukan yang dapat menghubungkan
orang tua secara langsung dengan pihak yang berwenang
melakukan pencatatan. Jalur rujukan ini harus dibuat
sedemikian rupa agar informasi yang ada dapat disampaikan
tanpa membuat siswa atau orang tua merasa malu, tersudut,
atau mendapat perlakuan buruk lainnya.
Selain mencatat NIK, sekolah hendaknya secara sistematis mencatat status kepemilikan akta kelahiran untuk seluruh siswa mereka dalam Dapodik, dan sebaiknya menggunakan data tersebut sebagai basis untuk menemukenali kebutuhan layanan identitas hukum dan memantau perkembangannya.
• Dapodik harus diselaraskan dengan SIAK agar Disdukcapil
dapat merencanakan kegiatan penjangkuan dengan
menggunakan sistem sekolah. Dengan data yang ada,
Dapodik sudah dapat menghasilkan statistik mengenai
cakupan NIK di kalangan siswa berdasarkan sekolah atau
berdasarkan kecamatan, sebagai indikasi atas ketiadaan
akses kepada layanan identitas hukum. Hal ini akan
memungkinkan Disdukcapil untuk menargetkan area-area
yang cakupannya masih rendah dengan melakukan layanan
keliling dan terpadu, serta kemungkinan menggunakan
sekolah sebagai titik lokasi pencatatan.
• Sekolah tanpa Dapodik aktif hendaknya diberikan formulir
pencatatan manual yang turut mencakup kolom isian untuk
NIK dan status pencatatan kelahiran, dan data ini hendaknya
dilaporkan bersama-sama dengan mekanisme pelaporan
rutin lainnya ke Dinas Pendidikan.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan 7
Untuk meningkatkan efektivitas dua hal di atas, Kemen-terian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Dalam Negeri hendaknya mempertimbangkan menjalin kerja sama resmi untuk mengatasi kesenjangan cakupan kepemilikan akta kelahiran di Indonesia yang masih terus terjadi. Dukungan bagi koordinasi ini bisa dalam bentuk:
• Prosedurpengagihandata secara rutindijalankandi setiap
kabupaten. UPT Pendidikan bisa diberi mandat untuk mela-
porkan data bulanan mengenai anak-anak yang tidak memi-
liki NIK dan akta kelahiran untuk masing-masing sekolah di
wilayah mereka, yang kadang-kadang mencakup beberapa
kecamatan. Pelaporan ini kemudian hendaknya ditindak-
lanjut i lewat kerjasama dengan Disdukcapil untuk memper-
siapkan layanan terpadu keliling di sekolah. Sekolah juga bisa
berkontribusi dalam kampanye peningkatan kesadaran warga
dan sosialisasi informasi.
• KementerianDalamNegeri hendaknya berkolaborasi dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembang-
kan prosedur standar pelaksanaan (SOP) untuk pelaksana an
layanan terpadu keliling di sekolah.
• KementerianDalamNegeridanKementerianPendidikandan
Kebudayaan hendaknya menyusun paket informasi yang
mudah diakses mengenai pencatatan kelahiran, dan mungkin
juga mengenai pencatatan peristiwa kehidupan lainnya, untuk
disebarkan dan disampaikan kepada orang tua oleh guru dan
bagian administrasi sekolah secara berkala dalam tiap kegiatan
rapat orang tua murid dan guru (misalnya, saat pendaftaran
masuk sekolah, pembagian rapor, dan sebagainya).
Materi Rujukan
1 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing
millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,
Indonesia: DFAT.
2 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan].
3 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s
birth right: Inequities and trends in birth registration. New
York: UNICEF.
4 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,
Pangaribuan, L., ... Lopez, A. D. (2010). Mortality in Central
Java: Results from the Indonesian mortality registration
system strengthening project. BMC research notes, 3(1),
325.
5 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,
newborn and child health: Understanding key progress
indicators. Geneva: WHO Document Production Services.
6 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as
appropriate for health mapping in a low resource setting:
A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.
7 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat
Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
8 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,
legal identity, and the post-2015 agenda. Center for Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.
9 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan
Presiden No 2 Tahun 2015.
10 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015). Petunjuk
Teknis Penulisan Ijazah Tahun Pelajaran 2014/2015
No.2380/H/TU/2015
11 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing
discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.
12 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth
registration into health systems (2000–2009): Case
studies: Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New
York, UNICEF.
13 Apland, Kara and others (2014). Birth registration and
children’s rights: A complex story. Surrey, United Kingdom:
Plan International, Coram Children’s Legal Centre, and the
International Observatory on Statelessness.
Catatan Kebijakan Juli 2016
5
KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]
Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)
Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,
Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182
www.puskapa.org
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan8
14 Marskell, J. (2014). The Philippines civil registration and
vital statistics case study and indicative investment plan
2015–2019. Draft for consultation at CRVS technical consultation meeting, Addis Ababa, 28–29 April, 2014. A
CRVS project sponsored by Canadian DFATD and World
Bank.
Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).
Penulis:
Wenny Wandasari, Bahrul Fuad, Cyril Bennouna, Clara Siagian, dan Santi Kusumaningrum.
Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan
daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih
berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian
PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten
Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan
pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.
Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap
pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai
upaya validasi atas temuan yang diperoleh.
Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222
responden.
Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.
15 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and policy
coordination the case of birth registration in Ghana. Office of Research Working Paper, UNICEF.
Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar
Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Kesehatan
Catatan Kebijakan Juli 2016
Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan
pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai
bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan
statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i
yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai
angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang
sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan
kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi
terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi
kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami
desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi dan
tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di Indonesia
memerlukan pendekatan dua arah yang mencakup tidak hanya
perubahan dalam kebijakan dan penyediaan layanan, namun juga
dalam partisipasi masyarakat. Memo ini disusun berdasarkan
berbagai temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
yang bekerja sama dengan PUSKAPA dan Program Kolaborasi
Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) mulai
dari akhir 2015 hingga awal 2016. Penelitian ini bertujuan untuk
i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan2
menjajaki berbagai cara agar sektor kesehatan di Indonesia dapat
turut mewujudkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki
sistem CRVS di Indonesia. Studi ini juga merekomendasikan
cara-cara yang dapat ditempuh agar program kesehatan dapat
turut andil untuk mencapai solusi yang berkesinambungan.
CRVS di Indonesia
Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang
terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan
kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih
diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.
Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian
dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun
beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam
kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak
pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan
data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting
kependudukan.
Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)
memiliki akta kelahiran,1 dan Indonesia termasuk negara dengan
jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya
tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan
data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan
sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4
Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,
banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu
melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan
layanan secara akurat.5,6
Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua
lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah
dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai
contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas
hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian
setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan
sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber
daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada
bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan
perlindungan bagi anak.7 Sebuah studi global belum lama
ini menemukan, bahkan setelah mengontrol faktor-faktor
seperti pendapatan dan kapasitas sistem kesehatan, bahwa
negara-negara yang memiliki sistem CRVS yang berfungsi baik
cenderung memiliki capaian hasil kesehatan yang lebih baik,
termasuk tingkat harapan hidup yang lebih tinggi serta angka
kematian ibu dan anak yang lebih rendah.8 Berbagai studi di
Indonesia sendiri telah menemukan bahwa kepemilikan identitas
hukum berkaitan dengan keberlanjutan pendidikan di sekolah9
dan naiknya penggunaan layanan kesehatan.10
Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen
memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses
pada layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan,
pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, dan pencatatan
sipil dan identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi
kemiskinan di Indonesia.11 Sebagai bagian dari rencana itu,
Presiden menargetkan sebanyak 85 persen anak sudah
memiliki akta kelahiran pada 2019. Dalam beberapa tahun
ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan yang
menyederhanakan prosedur pencatatan kelahiran, memfasilitasi
upaya penjangkauan masyarakat terpencil, dan mendorong upaya
kerjasama antarkementerian untuk memperbaiki pencatatan
kematian. Kementerian Dalam Negeri telah melakukan penguatan
yang menjanjikan dalam modernisasi basis data kependudukan
Indonesia melalui sistem informasi administrasi kependudukan
(SIAK) yang saat ini sudah dalam versi kelima. Meskipun demikian,
berbagai inisiatif itu kerap belum terkoordinasi dengan baik,
dan dalam konteks desentralisasi, implementasi secara baku
di berbagai daerah terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat
ini, masih belum ada rencana nasional yang memerinci strategi
pemerintah untuk mengintegrasikan pencatatan sipil dalam
satu sistem yang menyeluruh dan yang mampu menyediakan
dokumen yang tepat serta menghasilkan statistik hayati yang
akurat, sinambung, sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai
sektor pemerintahan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
BAPPENAS menjajaki berbagai cara agar berbagai sektor yang
berkepentingan atas penguatan CRVS dapat dikerahkan untuk
bekerja sama mewujudkan sistem yang terpadu, lengkap, dan
dapat diandalkan. Jika kelahiran dan kematian merupakan
peristiwa hayat kependudukan, maka sistem kesehatan perlu
dijadikan komponen inti dalam penguatan CRVS. Dokter, bidan,
perawat, kader fasilitas kesehatan di tingkat desa, penyuluh KB,
dan profesi kesehatan lainnya, serta dukun bayi, memiliki posisi
unik untuk mendokumentasikan peristiwa penting kehidupan,
yang sekaligus memberikan informasi dan bantuan bagi keluarga
yang mereka layani mengenai layanan pencatatan sipil. Sebagai
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan 3
pihak yang bertanggung jawab atas statistik penyebab kematian
di tingkat nasional, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki
kepentingan khusus dalam memperoleh data kesuburan dan
kematian yang lengkap, bermutu, dan sewaktu, yang penting
untuk menafsirkan penyebab kematian di tingkat populasi dan
kebutuhan layanan kesehatan di berbagai wilayah.
Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya
Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS
yang telah dipublikasikan, kami menemukan bahwa negara-
negara berkembang telah mengujicobakan beragam strategi
untuk mengintegrasikan upaya penguatan CRVS dalam sektor
kesehatan dengan berbagai level keberhasilan. Pendekatan
yang lazim ditempuh adalah menempatkan pejabat catatan
sipil di fasilitas kesehatan, seperti misalnya rumah sakit, agar
warga dapat langsung mengurus akta segera setelah terjadinya
peristiwa penting kehidupan. Meskipun pendekatan itu berhasil
mendorong kepemilikan akta kelahiran di berbagai tempat seperti
di Brasil, Afrika Selatan, dan Papua Nugini, pendekatan tersebut
mensyaratkan adanya taraf pemanfaatan fasilitas kesehatan
yang tinggi oleh penduduk, adanya penanaman upaya penguatan
secara rutin bagi para staf unit pencatatan di fasilitas kesehatan,
serta kemauan politik untuk melimpahkan wewenang pada
petugas-petugas tersebut.12 Ada beberapa kota di Indonesia yang
telah mulai mengujicobakan model ini. Di Bireun, misalnya, ketika
terbit peraturan di kabupaten yang mendorong kolaborasi antara
dinas kesehatan dengan dinas catatan sipil, tenaga kesehatan
membantu orangtua menyiapkan formulir permohonan untuk
memperoleh akta kelahiran bagi bayi mereka yang baru lahir,
dan petugas catatan sipil secara rutin mengunjungi fasilitas
kesehatan untuk mengumpulkan formulir permohonan tersebut
dan menyerahkan kembali akta yang sudah rampung.13 Di
Solo (Surakarta), naiknya cakupan kepemilikan akta kelahiran
yang terjadi belum lama ini sebagian disebabkan oleh adanya
perjanjian kerja sama formal antara kantor pencatatan sipil,
rumah sakit dan tempat persalinan, yaitu agar tenaga kesehatan
tidak hanya memberikan informasi kepada pasien mengenai
pencatatan kelahiran, tetapi juga secara langsung memasukkan
informasi kelahiran ke dalam SIAK yang telah dimodifikasi.14
Untuk menjangkau masyarakat perdesaan atau populasi yang
tidak banyak menggunakan fasilitas kesehatan, banyak negara
melibatkan penyedia layanan kesehatan setempat—seperti
bidan, dukun bayi yang telah dilatih, dan tenaga kesehatan
masyarakat—dalam upaya menjangkau warga untuk keperluan
pencatatan kelahiran secara terpadu melalui kampanye kesehatan
masyarakat. UNICEF bekerja di banyak negara dalam program
expanded program on immunization (EPI), atau perluasan program
imunisasi, yang menyelenggarakan kampanye vaksinasi massal
bagi anak secara rutin. Kampanye itu dimanfaatkan sebagai
peluang untuk melakukan pencatatan kelahiran. Di Bangladesh,
misalnya, tenaga kesehatan pada program EPI itu mengumpulkan
informasi standar terkait kelahiran selama berlangsungnya
kegiatan vaksinasi, dan menyerahkan data tersebut ke pejabat
pencatatan sipil setempat, yang kemudian akan menerbitkan
akta kelahiran.12 Petugas desa kemudian mengirimkan akta
kelahiran tersebut ke pos EPI untuk kemudian diserahkan
kepada pihak pemohon. Banyak negara, seperti misalnya Kenya
dan Ghana, sudah memanfaatkan tenaga kesehatan masyarakat
untuk memperluas pelaporan kelahiran dan kematian, kerap kali
dengan menggunakan SMS atau teknologi berbasis jaringan
internet untuk meningkatkan tidak hanya kelengkapan tetapi
juga ketepatan waktu penyampaian informasi peristiwa penting
kehidupan di tingkat masyarakat.15 Dengan turut melatih tenaga
kesehatan masyarakat untuk mencatatkan kelahiran selama
berlangsungnya kampanye rutin, sekaligus membina para
relawan yang turun ke lapangan sebagai bagian dari strategi
yang lebih besar, Ghana mampu meningkatkan pencatatan
kelahiran balita dari 44 persen menjadi 77 persen hanya dalam
lima tahun. Akan tetapi, evaluasi lanjutan terhadap sistem
pencatatan sipil di Ghana itu menunjukkan bahwa agar capaian
tersebut dapat dipertahankan, staf lapangan yang melakukan
kegiatan penjangkauan harus terus dibina dan diberi insentif
yang memadai, karena kegiatan pencatatan lazimnya bukanlah
tanggung jawab utama penyedia layanan kesehatan.16 Model itu
juga berisiko menyita waktu dan sumber daya yang semestinya
digunakan untuk memenuhi tanggung jawab utama di bidang
kesehatan, yang kerap kali sudah sangat terbatas.16 Namun
demikian, pendekatan ini terbukti efektif dalam berbagai situasi,
dan berpotensi diadaptasi untuk pencatatan kematian, seperti
yang dicoba oleh India.17
Berbeda dengan pencatatan kelahiran, pencatatan kematian
dan khususnya pencatatan penyebab kematian lazimnya
menjadi tanggung jawab sektor kesehatan. Kemenkes biasanya
memainkan peran aktif memimpin upaya memperkuat komponen
CRVS itu.18,19 Karena rumitnya metode yang digunakan untuk
menandai penyebab kematian berdasarkan international classification of disease (ICD), yaitu klasifikasi penyakit yang
berlaku di tingkat internasional, upaya ini sangat tergantung
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan4
pada kegiatan pelatihan yang dikhususkan untuk meningkatkan
kemampuan dokter dan staf yang bertugas menetapkan kode
penyebab kematian, sebagaimana yang terjadi di Maladewa dan
Sri Lanka.20 Kajian global atas sistem CRVS menemukan bahwa
pelatihan dan kualifikasi petugas ICD memiliki skor rata-rata
terendah, khususnya di Asia dan Pasifik.20 Untuk mengatasi hal
tersebut, bahan pelatihan yang telah dibakukan dan perangkat
pengodekan ICD yang sederhana juga telah tersedia. Beberapa
negara, seperti India, telah menguji coba dengan cara melatih
tenaga kesehatan nondokter untuk melakukan otopsi verbal,
yang nantinya akan disampaikan kepada para dokter untuk
penetapan kode ICD yang sesuai.21 Di Indonesia, bidan-bidan di
kabupaten yang masuk dalam sample registration system (SRS)
telah menerapkan otopsi verbal, meskipun skala kegiatan upaya
ini masih harus ditingkatkan secara sistematis di luar SRS. Makin
banyak negara menerapkan upaya otomasi sistem klasifikasi ICD,
seperti automated classification of medical entities (ACME), yang
dapat mengurangi kebutuhan pelatihan untuk petugas ICD.19
Masih banyak negara berpendapatan rendah berurusan dengan
data yang terkotak-kotak di berbagai kementerian, namun
beberapa negara seperti Bangladesh, Iran, dan Thailand telah
mampu menghubungkan register kependudukan mereka
dengan basis data kesehatan melalui penggunaan nomor
identifikasi unik. Proses tersebut juga tengah dijalani Indonesia
saat ini. Selain diterbitkannya berbagai peraturan yang secara
formal mengukuhkan hubungan antara Kementerian Kesehatan
dan Pencatatan Sipil, strategi lain yang biasa diterapkan di
tempat-tempat seperti Fiji dan India adalah membentuk tim
koordinasi, baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk
mendapat dukungan terhadap pencapaian visi bersama sembari
menghilangkan tumpang tindih dalam memantau peristiwa hayat
penting.18,22
Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016
Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas
hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah
secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat
menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang
mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian
nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen
kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut
tidak konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden
memiliki akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam
kartu keluarga mereka, atau dicatat dengan status “menikah” di
kartu keluarga mereka, tapi tidak memiliki akta perkawinan.
Tidak seperti pihak pencatatan data kependudukan yang berkedudukan hanya sampai di tingkat kabupaten/kota, penyedia layanan kesehatan primer dapat menjangkau sampai ke sebagian besar desa, dan umumnya memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat yang dilayaninya. Meskipun survei menemukan bahwa kurang dari sepertiga ibu-ibu
melahirkan anak bungsu mereka di fasilitas kesehatan, sebanyak
95 persen meminta bantuan dari penolong persalinan yang
terampil atau dari dukun bayi.ii Sebanyak 86 persen ibu-ibu telah
melakukan setidaknya satu kali pemeriksaan kehamilan (ANC)
dalam masa kehamilan mereka, dan sebanyak 84 persen anak
telah diimunisasi setidaknya satu kali. Tiap interaksi dengan sistem
kesehatan merupakan peluang untuk mencatatkan anak sejak
dini, terutama mengingat bahwa bidan memang bertanggung
jawab menerbitkan surat keterangan lahir, yang diperlukan untuk
mengajukan permohonan mendapatkan akta kelahiran.
Para penyedia layanan dasar memperantarai kurang dari lima persen akta kelahiran yang tercatat dalam sampel penelitian ini. Petugas kesehatan kebanyakan menganggap pencatatan kelahiran dan kematian tidak termasuk dalam tanggung jawab mereka, dan banyak yang menyatakan bahwa mereka kekurangan sumber daya untuk bisa memberikan bantuan layanan pencatatan, atau tidak mau melangkahi wewenang Kemendagri dan mandat Disdukcapil. Kendati demikian, rumah sakit
menyediakan informasi mengenai akta kelahiran kepada 32
persen ibu-ibu yang mereka layani yang ada dalam sampel,
bandingkan dengan bidan, Puskesmas, klinik swasta, dan klinik
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan 5
Rekomendasi
Proses pencatatan sipil hendaknya dibuat agar lebih mudah diakses masyarakat melalui layanan terpadu keliling yang menyasar titik-titik terdepan pemberian layanan kesehatan, termasuk: klinik kesehatan di tingkat desa dan di tingkat warga, Posyandu, klinik KB, rumah sakit, serta klinik swasta.
• Bidan, kader Posyandu, penyuluh KB, dan dukun bayi
hendaknya diberi pelatihan untuk (1) menemukenali peluang
bagi pencatatan kelahiran dan kematian; (2) memberi
informasi yang berguna bagi pasien dan keluarganya
mengenai keuntungan dari pencatatan kelahiran dan
kematian; dan (3) menawarkan bantuan bagi pasiennya untuk
mengurus pencatatan kelahiran dan kematian, termasuk
merujuk mereka ke pejabat yang berwenang menerbitkan
akta. Kader dan petugas kesehatan hendaknya diberikan
petunjuk yang baku mengenai pencatatan kelahiran dan
kematian di lingkup pelayanan kesehatan dasar
• Prosedur untuk memperoleh akta kelahiran dan kematian
hendaknya juga dimasukkan ke dalam bahan pelatihan
kesehatan yang dibakukan, dan bahan-bahan itu harus
tersedia bagi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia.
• Kemendagri perlu bekerja sama dengan sektor kesehatan
untuk menyediakan insentif bagi tenaga kesehatan primer agar
mendukung pemerolehan akta kelahiran dan akta kematian,
terutama di daerah terpencil yang tidak memungkinkan warga
bertemu dengan penyedia layanan pencatatan sipil. Di saat yang
sama, dukungan bagi pencatatan itu tidak boleh mengganggu
pelaksanaan pemberian layanan kesehatan primer. Penelitian
ini menemukan adanya kebutuhan yang mendesak untuk
menanamkan upaya yang lebih besar bagi penguatan sumber
daya manusia dan dalam menjaga terus tersedianya staf layanan
kesehatan primer yang mumpuni di daerah terpencil.
• Bilamana tenaga kesehatan mencatatkan kelahiran dan
kematian, mekanisme yang digunakan harus mendukung
keterhubungan dengan proses lain yang didasarkan pada
nomor induk kependudukan (NIK). Tujuannya agar data
kelahiran dan kematian yang diperoleh dari tenaga di sektor
kesehatan dapat dihubungkan dengan SIAK.
kesehatan di tingkat desa, yang masing-masing memberikan
informasi hanya kepada 16–22 persen ibu-ibu yang mereka
layani dalam sampel. Dukun bayi, petugas vaksinasi, dan kader
Posyandu masing-masing memberi informasi bagi kurang dari
10 persen ibu-ibu yang mereka layani dalam sampel.
Bidan bertanggung jawab mencatatkan seluruh kelahiran dan kematian yang terjadi dalam wilayah kerjanya dan melaporkannya kepada atasan mereka di bidang kesehatan. Jalur pelaporan itu berbeda dengan mekanisme pencatatan kelahiran dan kematian yang digunakan Disdukcapil. Laporan-laporan tersebut tidak mencakup variabel
perorangan, yang berarti bahwa begitu data terkirim, data tersebut
umumnya tidak bisa lagi dipilah atau disandingkan dengan
kumpulan data lainnya. Sektor kesehatan tidak secara sistematis
mengagihkan data dari pelaporan kelahiran atau kematian pada
Kemendagri, dan banyak pejabat pemerintah yang ikut serta
dalam penelitian ini tidak menyadari adanya Peraturan Bersama
No. 15 tahun 2010 yang menyatakan bahwa Kemendagri dan
Kemenkes harus berbagi data kematian. Namun, beberapa desa
saling berbagi data secara informal, yaitu bidan dan dukun bayi
melaporkan kelahiran atau kematian yang mereka tangani ke
kantor desa mereka. Di seluruh kecamatan, mayoritas (84 persen)
kematian terjadi di rumah, dan hal ini mempersulit bidan membuat
laporan kematian yang sewaktu. Karena di ketiga lokasi penelitian
tidak ada bidan yang terlatih untuk menjalankan otopsi verbal,
pelaporan penyebab kematian nyaris tidak ada. Bidan juga tidak
memiliki peran resmi dalam akta kematian, yang saat ini masih
berada di bawah kewenangan Disdukcapil.
Akta kelahiran dan kematian tidak menjadi persyaratan untuk mengakses asuransi/jaminan kesehatan atau program bantuan sosial di ketiga kecamatan. Para informan
inti melaporkan bahwa fasilitator dan administrator program
bantuan sosial dan program jaminan kesehatan tidak bertanggung
jawab menawarkan bantuan atau dukungan untuk mencatatkan
kelahiran atau kematian penerima manfaat. Anak-anak responden
yang tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah memiliki
kemungkinan dua kali lipat memiliki akta kelahiran dibandingkan
dengan anak-anak yang orangtuanya merupakan penerima
manfaat bantuan sosial. Hal itu sebagian mungkin didorong oleh
adanya keterkaitan positif antara kepemilikan akta kelahiran dan
tingkat kesejahteraan, sebagaimana ditemukan dalam berbagai
studi sebelumnya.9
ii Catatan kebijakan ini tidak mendorong dukun bayi untuk menggantikan pemberian layanan kesehatan reproduksi, melainkan menunjukkan peluang dukun bayi untuk dilatih membantu perluasan pencatatan sipil.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan6
• Layanan pencatatan sipil harus diintegrasikan dengan
kampanye/sosialisasi kesehatan masyarakat seperti Pekan
Imunisasi Nasional dan Hari Kesehatan Nasional.
• Peraturandaerahyangmendorongkolaborasiantarasektor
pencatatan sipil dan sektor kesehatan sebaiknya dipelajari
sebagai bagian dari upaya menyusun contoh/model peraturan
bagi daerah-daerah lain di Indonesia.
Upaya memperkuat pelaksanaan pencatatan kematian perlu dikoordinasikan dengan berbagai upaya lainnya agar bisa meningkatkan kepastian informasi penyebab kematian. Hal ini memerlukan kerja sama lebih erat antara Kemenkes dan Kemendagri serta kesadaran bahwa kedua statistik tersebut sangat berkaitan erat.
• Semua kematian yang dicatat oleh tenaga kesehatan
hendaknya dirujuk kepada pihak yang berwenang melakukan
pencatatan tersebut. Kematian dan penyebab kematian harus
dicatat lengkap dengan NIK agar penyebab kematian dapat
disandingkan dengan data SIAK. Karena jaminan kesehatan
nasional (JKN) berlaku secara nasional di Indonesia dan
terintegrasi dengan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda)
yang ada di tingkat daerah, maka basis data kepesertaan
program juga hendaknya dibuat terhubung dengan SIAK.
• Diperlukan penanaman upaya penguatan yang lebih besar
bagi pelatihan untuk dokter dan profesi kesehatan lainnya
dalam menentukan penyebab kematian menggunakan ICD-
10. Bidan hendaknya dilatih untuk melakukan otopsi verbal
dan sosial untuk memperluas pantauan atas penyebab
kematian yang terjadi di wilayah yang tingkat penggunaan
fasilitas kesehatannya rendah. Pelatihan hendaknya tidak
diberikan sekali saja, namun juga harus ditindaklanjuti
dengan pembinaan yang sesuai, pelatihan penyegaran, dan
juga peluang tambahan untuk meningkatkan kemampuan
profesional. Insentif khusus juga hendaknya diberikan bagi
penyedia layanan kesehatan yang mau bekerja di tempat
terpencil. Rencana untuk menggunakan program pencatatan
penyebab kematian yang terotomasi, atau inovasi teknologi
lain yang bertujuan meningkatkan pemberitahuan kematian
dan pemastian penyebab kematian, hendaknya juga menakar
kapasitas fasilitas, sumber daya manusia, dan peralatan yang
tersedia di masyarakat yang menjadi sasaran.
• Diperlukan upayamencari tahu lebih lanjut dalammenjajaki
model insentif yang potensial untuk membangun permintaan
atas akta kematian. Sebagai contoh, literatur yang ada
menunjukkan bahwa menjadikan akta kematian sebagai
syarat untuk memperoleh izin pemakaman bisa jadi efektif
meningkatkan pencatatan kematian di perkotaaan.15 Meski
demikian, hal itu mungkin tidak relevan pada banyak konteks
di Indonesia, terutama bagi pemakaman orang yang beragama
Islam, yang harus dilakukan dalam waktu 24 jam sesudah
kematian. Model insentif lainnya yang melibatkan BPJS
Kesehatan dan skema jaminan kecelakaan kerja dan hari tua
seperti BPJS Ketenagakerjaan hendaknya juga ditelaah.
• Kampanye peningkatan kesadaran berbasis masyarakat
yang dilakukan secara massal perlu diluncurkan di
Indonesia agar masyarakat menjadi lebih peka akan nilai
penting dan kegunaan akta kematian serta prosedur untuk
mendapatkannya.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan 7
Materi Rujukan
1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan].
2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s
birth right: Inequities and trends in birth registration. New
York: UNICEF.
3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,
Pangaribuan, L., ...& Lopez, A. D. (2010). Mortality in
Central Java: Results from the Indonesian mortality
registration system strengthening project. BMC research notes, 3(1), 325.
4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,
newborn and child health: Understanding key progress
indicators. Geneva: WHO Document Production Services.
5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as
appropriate for health mapping in a low resource setting:
A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.
6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat
Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,
legal identity, and the post-2015 agenda. Center for
Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.
8 Phillips, D. E., AbouZahr, C., Lopez, A. D., Mikkelsen, L., de
Savigny, D., Lozano, R., ... Setel, P. W. (2015). Are well
functioning civil registration and vital statistics systems
associated with better health outcomes?. The Lancet, 386(10001), 1386–1394.
9 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing
millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,
Indonesia: DFAT.
10 Jackson, M., Duff, P., Kusumanigrum, S., & Stark, L. (2014).
Thriving beyond survival: Understanding utilization of
perinatal health services as predictors of birth registration:
A cross-sectional study. BMC international health and human rights, 14(1), 306.
11 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan
Presiden No 2 Tahun 2015.
12 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth
registration into health systems (2000–2009): Case
studies: Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New
York, UNICEF.
13 Abu Iskandar. (2014). Sudah Digratiskan, Akte Kelahiran
Bayi Baru Lahir. Diunduh dari http://www.koranbireuen.
com/?p=6274
14 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing
discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.
15 Abouzahr, C., Azimi, S. Y., Bersales, L. G. S., Chandramouli,
C., Hufana, L., Khan, K., . . . & Sauyekenova, L. (2014).
Strengthening civil registration and vital statistics in the
Asia-Pacific region: Learning from country experiences.
Asia-Pacific Population Journal, 29 (1) 39–73.
16 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and policy
coordination the case of birth registration in Ghana. Office
of Research Working Paper, UNICEF.
17 Singh, P. K., Kaur, M., Jaswal, N., & Kumar, R. (2012). Impact
of policy initiatives on civil registration system in haryana.
Indian J Community Med, 37(2), 122–125.
18 Naidu, S., Buttsworth, M., & Aumua, A. (2013). Strengthening
civil registration and vital statistics systems in the Pacific:
The Fiji experience (No. 35). Working Paper Series.
19 Danel, I., & Bortman, M. (2008). An assessment of LAC’s vital
statistics system: The foundation of maternal and infant
mortality monitoring (Discussion Paper). Washington, D.C:
World Bank.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan5
KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]
Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)
Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,
Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182
www.puskapa.org
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan8
20 Mikkelsen, L. (2012). Improving civil registration and vital
statistics systems: Lessons learnt from the application
of health information tools in Asia and the Pacific. Health Information Systems Knowledge Hub’s Working Paper Series, 24.
21 Joshi, R., Praveen, D., Jan, S., Raju, K., Maulik, P., Jha, V., &
Lopez, A. D. (2015). How much does a verbal autopsy
based mortality surveillance system cost in rural India?.
PloS one, 10(5), e0126410.
22 Office of the Registrar General. (2013). Vital Statistics of India
Based on the Civil Registration System 2011.
Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).
Penulis:
Cyril Bennouna, Clara Siagian, dan Santi Kusumaningrum.
Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan
daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih
berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian
PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten
Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan
pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.
Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap
pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai
upaya validasi atas temuan yang diperoleh.
Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222
responden.
Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.
Juli 2016
Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan
pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai
bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan
statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i
yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai
angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang
sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan
kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi
terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi
kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami
desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi dan
tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di Indonesia
memerlukan pendekatan dua arah yang tidak hanya mencakup
perubahan dalam kebijakan dan penyediaan layanan, namun juga
dalam partisipasi masyarakat. Memo ini disusun berdasarkan
berbagai temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
yang bekerja sama dengan PUSKAPA dan Program Kolaborasi
Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK)
mulai dari akhir 2015 hingga awal 2016. Salah satu tujuan
i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.
Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Peran Pemerintah Daerah
Catatan Kebijakan
Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah2
penelitian ini adalah untuk menjajaki berbagai cara agar
desentralisasi di Indonesia dapat turut mewujudkan komitmen
pemerintah untuk memperbaiki sistem CRVS di Indonesia. Studi
ini juga merekomendasikan cara-cara yang dapat ditempuh agar
pemerintah daerah dapat turut andil untuk mencapai solusi yang
berkesinambungan.
CRVS di Indonesia
Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang
terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan
kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih
diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.
Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian
dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun
beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam
kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak
pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan
data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting
kependudukan.
Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)
memiliki akta kelahiran,1 dan Indonesia termasuk negara dengan
jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya
tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan
data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan
sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4
Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,
banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu
melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan
layanan secara akurat.5,6
Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua
lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah
dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai
contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas
hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian
setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan
sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber
daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada
bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan
perlindungan bagi anak.7 Sebuah studi global belum lama ini
menemukan, bahkan setelah mengendalikan faktor-faktor seperti
pendapatan dan kapasitas sistem kesehatan, negara-negara
yang memiliki sistem CRVS yang berfungsi baik cenderung
memiliki capaian hasil kesehatan yang lebih baik, termasuk
tingkat harapan hidup yang lebih tinggi serta angka kematian ibu
dan anak yang lebih rendah.8 Berbagai studi di Indonesia sendiri
telah menemukan bahwa kepemilikan identitas hukum berkaitan
dengan keberlanjutan pendidikan di sekolah9 dan naiknya
penggunaan layanan kesehatan.10
Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen
memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses
layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan, pendidikan,
perlindungan sosial, infrastruktur, serta pencatatan sipil dan
identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi kemiskinan
di Indonesia.11 Sebagai bagian dari rencana ini, Presiden
menargetkan sebanyak 85 persen anak sudah memiliki akta
kelahiran pada 2019. Dalam beberapa tahun ini, pemerintah
telah menerbitkan beberapa peraturan yang menyederhanakan
prosedur pencatatan kelahiran, memfasilitasi upaya
penjangkauan masyarakat terpencil, dan mendorong upaya
kerjasama antar kementerian untuk memperbaiki pencatatan
kematian. Kementerian Dalam Negeri telah melakukan penguatan
yang menjanjikan dalam modernisasi basis data kependudukan
Indonesia melalui sistem informasi administrasi kependudukan
(SIAK) yang saat ini sudah dalam versi kelima. Meskipun demikian,
berbagai inisiatif ini kerap belum terkoordinasi dengan baik,
dan dalam konteks desentralisasi, implementasi secara baku
di berbagai daerah terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat
ini, masih belum ada rencana nasional yang memerinci strategi
pemerintah untuk mengintegrasikan pencatatan sipil dalam
satu sistem yang menyeluruh dan yang mampu menyediakan
dokumen yang tepat serta menghasilkan statistik hayati yang
akurat, sinambung, sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai
sektor pemerintahan.
UU Desa (2014) dan perubahan terakhir atas UU Pemerintahan
Daerah (2014) yang menghidupkan kembali tata kelola
pemerintahan di tingkat kecamatan memberikan peluang
yang sangat baik agar desentralisasi dapat menguntungkan
masyarakat melalui penyediaan layanan bermutu di tingkat
lokal—termasuk layanan identitas hukum dan pencatatan sipil.
Jika kelahiran dan kematian merupakan peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, maka perencanaan dan penganggaran
serta pemberian layanan dasar dan pemantauannya yang
kini bergeser ke tingkat desa dan kecamatan memerlukan
pencatatan sipil yang andal yang mampu menghasilkan statistik
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah 3
hayati yang akurat dan dapat dengan mudah diakses oleh para
penyelenggara pemerintahan yang berada di lini terdepan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
menjajaki berbagai cara agar pemerintah daerah dan berbagai
sektor yang berkepentingan atas penguatan CRVS dapat
dikerahkan untuk bekerja sama dalam mewujudkan sistem yang
terpadu, lengkap, dan dapat diandalkan di Indonesia.
Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya
Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS yang telah
dipublikasikan, kami menemukan bahwa jangkauan pencatatan sipil
di daerah-daerah yang miskin sumber daya kerap terhambat oleh
jauhnya jarak tempuh, medan yang sulit, serta buruknya sarana dan
prasarana transportasi antara penyedia layanan dari pihak pemerintah
dan populasi yang menjadi sasaran. Untuk menanggapi hal itu,
pemerintah biasanya menerapkan tiga strategi. Strategi pertama
adalah pencatatan keliling, seperti yang telah dilakukan di Filipina12
dan Ghana,13 sebagai contoh, yaitu dengan jalan penyedia layanan
mendatangkan layanan pencatatan sipil ke masyarakat. Melalui
pencatatan keliling, orang tua dapat mengajukan permohonan agar
anak mereka mendapat akta kelahiran melalui pihak yang berwenang
melakukan pencatatan keliling di desa mereka secara cuma-cuma
dan dengan jadwal yang teratur.
Kedua, beberapa pemerintah melimpahkan fungsi pencatatan ke
tingkat pemerintahan yang lebih rendah dengan jalan mendirikan unit
layanan terpisah, seperti yang diterapkan di India, Argentina, Meksiko,
dan Brasil.14,15 Akan tetapi mendirikan dan menjaga kelangsungan
kantor khusus di tingkat kecamatan atau desa memerlukan SDM
dan sumber dana yang besar. Oleh karenanya, beberapa pemerintah,
termasuk Ghana dan Myanmar, memilih untuk mengalihkan tanggung
jawab pencatatan ke pranata lain, seperti misalnya kepala desa atau
tenaga kesehatan.16 Hal ini dapat memotong biaya operasional untuk
kegiatan penjangkauan dan— ketika ada upaya tambahan untuk
memfasilitasi kolaborasi antar sektor, misalkan penyediaan sumber
daya dan mekanisme akuntabilitas—model pendelegasian kerja ini
bisa mendorong tercapainya cakupan yang lebih baik.
Ketiga, beberapa pemerintah, seperti Brasil dan Iran,
menggunakan kampanye yang peka budaya dan peka bahasa
untuk melayani masyarakat asli dan terpinggirkan.16 Dalam
situasi masih rendahnya pengetahuan mengenai pencatatan sipil,
strategi yang paling umum digunakan ialah bekerja sama dengan
pemimpin masyarakat dan pemuka agama untuk meningkatkan
kesadaran. Di India, misalnya, suatu kampanye/upaya sosialisasi
dilakukan dengan cara mengirim relawan ke rumah-rumah
penduduk untuk bertemu warga yang tidak memiliki dokumen
catatan sipil dan melakukan sosialisasi mengenai keuntungan
pencatatan sipil dari segi administratif dan dari segi hukum,
sekaligus mendorong mereka untuk mencatatkan kelahiran dan
kematian yang terjadi.17 Di Afghanistan, para mullah (imam)
setempat mendorong warga untuk melaporkan terjadinya
peristiwa penting dalam kehidupan, sedangkan di Filipina, gelar
wicara di radio lokal dan pusat layanan telepon (call centre)
digunakan untuk menyebarkan informasi. Di Ghana, relawan
setempat dikerahkan untuk mendukung upaya penjangkauan.13
Gabungan dari berbagai model tersebut telah diterapkan di
Indonesia. Sebagai contoh, PEKKA (Pemberdayaan Perempuan
Kepala Keluarga) memimpin jalannya program pelayanan keliling
dan terpadu (Yandu) di 17 provinsi di mana paralegal dari
lembaga ini memberi layanan konsultasi bagi keluarga terkait
permasalahan yang mereka hadapi dalam mengakses layanan
identitas hukum, mengidentifikasi kebutuhan mereka, serta
memfasilitasi pelaksanaan layanan keliling di tingkat desa.
Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016
Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas
hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah
secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat
menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang
mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian
nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen
kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak
konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki
akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,
atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak
memiliki akta perkawinan.
Terlepas dari berbagai kebijakan baru yang telah diterbitkan untuk menghilangkan hambatan dalam memperoleh akta kelahiran dan memberikan mandat untuk saling berbagi data lintas sektor, upaya-upaya yang dilakukan kerap terkendala oleh implementasi yang tidak konsisten, kekurangan sumber daya, dan masih terkotak-kotak di dalam konteks desentralisasi. UU No.
24 Tahun 2013 mengenai revisi UU Administrasi Kependudukan
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah4
(23/2006) menandai pergeseran paradigma dalam pencatatan
sipil di Indonesia. UU tersebut menghapuskan biaya administrasi
di tingkat nasional untuk memperoleh akta kelahiran dan
memandatkan pemberian layanan penjangkauan warga.
Pencatatan sipil yang dulunya dianggap merupakan kewajiban
warga negara kini berubah menjadi hak yang perlindungannya
mewajibkan pemerintah untuk melakukan tindakan. Sayangnya,
perubahan perspektif ini tidak terjadi secara merata di berbagai
lembaga pemerintah, baik secara horisontal yaitu antar sektor,
ataupun secara vertikal yaitu di antara berbagai tingkat
pemerintahan. Pejabat pemerintah di berbagai lokasi penelitian
memiliki sentimen yang sama, yaitu mengaitkan rendahnya
cakupan dengan ketidakpatuhan warga terhadap standar
yang ada, yang membuat sebagian pejabat mengusulkan
digunakannya pendekatan penegakan dan pemberian hukuman
untuk meningkatkan cakupan, meskipun bukti yang ada
menunjukkan bahwa, berdasarkan pelembagaan yang sudah
terjadi, pendekatan tersebut tidak efektif.
Selain revisi UU Administrasi Kependudukan, beberapa peraturan
yang dimaksudkan untuk meningkatkan CRVS ternyata masih
belum diterapkan secara menyeluruh. Peraturan Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) No. 4 Tahun 2010, misalnya,
memberikan mandat bagi seluruh kecamatan untuk menerapkan
Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (Paten) pada 2015. Hal
ini berarti akan terjadi pelimpahan pemberian izin dan kewenangan
administratif dari kabupaten ke kecamatan, kemungkinan termasuk
wewenang menerbitkan akta kelahiran dan kematian, yang akan
membawa layanan identitas hukum lebih dekat lagi dengan banyak
kelompok masyarakat. Dari tiga kabupaten yang dikunjungi dalam
penelitian ini, tidak ada satupun yang sudah menerapkan Paten,
meskipun Petungkriyono sedang dalam proses per Desember
2015. Selain itu, tidak ada satupun lokasi penelitian yang sudah
mendirikan Unit Pelaksana Teknis (yang dahulu dikenal dengan
nama UPTD, dan sekarang disebut UPT) untuk pelaksanaan
pencatatan sipil di tingkat kecamatan, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri No. 18 Tahun 2010
sebagai cara untuk meningkatkan akses pada layanan di daerah
terpencil. UU No. 24 Tahun 2013 mengatur bahwa Kemendagri
harus dijadikan sumber utama data populasi bagi semua proses
perencanaan dan penganggaran pembangunan, sekalipun banyak
kementerian dan lembaga pemerintah daerah terus menggunakan
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk keperluan tersebut
Petugas catatan sipil di tingkat kabupaten melaporkan bahwa kurangnya pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan proses penganggaran, merupakan hambatan utama dalam pencatatan sipil. Akibatnya, dinas yang ada kekurangan sumber daya untuk menyelenggarakan layanan keliling, melakukan pengadaan alat-alat yang diperlukan, mempekerjakan staf, atau memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Diadopsinya teknologi
yang canggih seperti SIAK menjadi bagian penting dalam
peningkatan pemberian layanan pencatatan sipil di tingkat
daerah. Meski demikian, keberhasilan dari berbagai upaya
tersebut menjadi tertekan karena kurangnya fasilitas dan
peralatan yang diperlukan, sambungan internet, serta kejelasan
mengenai aturan pengadaan fasilitas atau alat oleh pemerintah
daerah, dan kurangnya kapasitas sumber daya manusia.
Potensi untuk bekerja sama dengan melibatkan sektor-sektor
lain untuk membantu pencatatan sipil masih belum dimanfaatkan
secara efektif; dan di banyak tempat, strategi itu bahkan belum
dipertimbangkan. Sektor administrasi kependudukan merasa
ragu berbagi tanggung jawab, dengan asumsi bahwa hal
tersebut akan memperbesar galat/kesalahan dan memungkinkan
terjadinya penipuan/kecurangan, sedangkan sektor lain enggan
menanggung beban tambahan dan takut dianggap melanggar
batas wewenang Disdukcapil.
Secara umum, pemberian layanan dasar di daerah di tiga lokasi
penelitian masih terkendala oleh kurangnya staf yang mumpuni
yang berkomitmen untuk tinggal dan melayani daerah-daerah
tersebut. Penghargaan dalam bentuk uang adalah satu-satunya
insentif yang ditawarkan pada staf lapangan ini; akan tetapi
mereka beranggapan insentif tersebut masih belum dapat
mengompensasi beratnya kondisi yang harus mereka jalani, dan
insentif tersebut menjadi tidak efektif apabila tidak diiringi dengan
insentif non-finansial, seperti misalnya peluang karier di masa
depan. Menurut para informan, petugas pemberi layanan yang
ditempatkan di daerah terpencil sering dipindahkan ke tempat
yang lebih makmur tanpa konsultasi dengan atau persetujuan
terlebih dahulu dari penanggung jawab di lapangan (yakni kepala
puskesmas di kecamatan dan Kepala Disdukcapil). Mencari
pengganti mereka pun sulit, sehingga keadaan menjadi makin
buruk bagi mereka yang masih bertahan. Tidaklah mengherankan
jika penduduk desa sering dilayani oleh relawan atau staf yang
tidak terampil.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah 5
• Pembangunan kapasitas secara menyeluruh dan
pengembangan model insentif, yang memprioritaskan operator
Disdukcapil dan petugas di kecamatan dan desa. Upaya
peningkatan kapasitas hendaknya turut mencakup pelatihan
khusus terkait penganggaran, penerbitan akta, entri data dan
manajemen data, serta penggunaan data. Untuk melengkapi
pelatihan yang diberikan, para petugas harus diberi materi
ajar yang sudah dibakukan serta tindak lanjut melalui
pembinaan. Untuk memotivasi petugas, kenaikan gaji dan
jabatan hendaknya dikaitkan secara bermakna dengan kinerja
yang ada. Diperlukan lebih banyak upaya untuk memberikan
insentif bagi petugas yang berkualitas agar mau berkomitmen
bekerja di lokasi terpencil. Untuk itu, tingkat kesulitan bekerja
di wilayah yang masih belum banyak mendapatkan layanan
harus diperhitungkan dalam penyusunan model insentif,
yaitu dengan mengaitkan besarnya remunerasi yang diterima
dengan komitmen jangka panjang.
• Informasi mengenai pentingnya dokumen identitas hukum
dan prosedur pemerolehannya perlu dibuat agar mudah
diakses, tidak hanya untuk populasi yang dijadikan sasaran,
namun juga bagi penyedia layanan dan pekerja di lini depan
yang memfasilitasi proses tersebut.
Dukcapil hendaknya berkolaborasi dengan titik terdepan dalam pemberian layanan kesehatan dan pendidikan, terutama: klinik kesehatan di tingkat warga dan desa, Posyandu, klinik KB, rumah sakit, dan klinik swasta, PAUD, dan sekolah dasar, baik dalam pencatatan kelahiran dan dalam kasus tertentu, maupun pencatatan kematian. Penyedia layanan di lini terdepan itu juga perlu melihat manfaat jelas yang diperoleh dari kerja sama dengan Disdukcapil, dan tidak memandangnya sebagai beban yang memberatkan pemberian layanan primer. Disdukcapil juga harus bekerja sama dengan Kantor Kementerian Agama di daerah dan penyelenggara sidang keliling untuk memperbaiki akses ke layanan seputar pencatatan perkawinan.
• Pemimpin kementerian, provinsi, dan kabupaten sebaiknya
menekankan hubungan antara pencatatan sipil dan capaian
utama penyedia layanan. Penyedia layanan di lapangan
hendaknya lebih ditekankan agar merasa berkepentingan
dalam memastikan bahwa klien mereka sudah tercatatkan.
Ketika mereka mengidentifikasi anggota masyarakat yang
tidak memiliki NIK yang lantas tidak berhak mendapatkan
Rekomendasi
Membawa layanan lebih dekat ke masyarakat sembari terus mengembangkan mutu sumber daya manusia, menyiapkan sarana-prasarana pencatatan sipil dan penanaman dana hendaknya dijadikan bagian dari upaya yang terus berjalan untuk merevitalisasi tata kelola di tingkat kecamatan dan desa.
• Penjangkauan masyarakat secara teratur melalui layanan
pencatatan keliling yang menyeluruh hendaknya dijadikan
prioritas Disdukcapil, khususnya di daerah terpencil. Layanan
tersebut harus mencakup pencatatan dan penerbitan akta
untuk semua peristiwa penting dalam kehidupan, hendaknya
dijalankan pada tanggal dan waktu yang konsisten dan
dapat diprediksi, sehingga memungkinkan tindak lanjut
jika diperlukan. Layanan keliling yang dilakukan secara
rutin itu hanya mungkin diselenggarakan jika terdapat
mekanisme pembiayaan yang jelas serta tersedianya
sumber dana, sumber daya manusia, dan sarana operasional
yang diperlukan. Disdukcapil harus berkonsultasi dengan
pemerintah kecamatan dan desa untuk menyepakati delegasi
kewenangan dan tanggung jawab terkait pembiayaan,
perencanaan, serta pelaksanaan layanan keliling dan
terpadu. Semua pihak ini juga hendaknya bekerja sama
untuk menentukan di mana dan bagaimana dana desa dapat
berkontribusi untuk menutup biaya terkait pencatatan sipil.
• Dalam rangka mendekatkan layanan ke masyarakat,
Disdukcapil hendaknya mendirikan UPT untuk pencatatan
sipil di semua kecamatan, sebagaimana disarankan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2010. Selain
itu Disdukcapil dan UPT ini nantinya harus bekerja sama
dengan UPT sektor lain seperti kesehatan dan pendidikan
untuk menyebarkan informasi seputar pencatatan sipil dan
menemukenali hambatan serta peluang pencatatan sipil
• Kabupaten/Kota hendaknya menimbang kemungkinan
pendelegasian kewenangan pencatatan kelahiran dan
kematian ke kecamatan melalui Paten sesuai dengan
Peraturan Kementerian Dalam Negeri No. 4 Tahun 2010.
Efektivitas pendekatan ini rencananya akan dinilai melalui uji
coba di beberapa kecamatan percontohan dalam program
pemerintah.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah6
perlindungan sosial, para penyedia layanan harus secara
sistematis merujuk mereka ke petugas pencatatan dan
menawarkan informasi serta bantuan. Selain itu, dalam kasus-
kasus di mana individu kehilangan dokumen identitas mereka
dalam jenis apa pun juga harus dirujuk ke penyedia layanan
yang sesuai.
• Upaya juga harus diambil untukmeningkatkan pengetahuan
serta kesadaran para pemegang otoritas lokal dan warga
terhadap diskresi persyaratan buku nikah/akta perkawinan
untuk mendapatkan akta kelahiran yang mencantumkan nama
ayah dan ibu, sesuai Permendagri No. 9 Tahun 2016. Untuk
itu, diperlukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran
mengenai hak tiap anak atas identitas yang menjelaskan
bukti hubungan dengan kedua orangtua. Akan tetapi, selama
peraturan ini sepenuhnya dijalankan dan pemerintah setempat
masih meminta akta perkawinan untuk menuliskan nama ayah,
kasus-kasus di mana orangtua tidak tercatat perkawinannya
harus dirujuk ke layanan terpadu yang menyediakan sidang
keliling untuk penetapan perkawinan dan layanan Kantor
Urusan Agama (KUA) atau Disdukcapil keliling untuk pencatatan
perkawinan dan kelahiran.
Untuk memungkinkan penggunaan data terpadu untuk keperluan perencanaan dan penganggaran, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional, para pengelola data kependudukan, termasuk pencatatan kelahiran dan kematian, perlu meningkatkan sistem pencatatan mereka, yang di banyak tempat masih dilakukan secara manual. Saat hal itu diberlakukan,
pemerintah pusat perlu memastikan agar solusi teknologi yang
akan menggantikan mekanisme manual yang menggunakan
kertas dapat terintegrasi, terstandarisasi, dan didukung
oleh infrastruktur dan SDM yang memadai. Upaya di bidang
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) harus memastikan
adanya kaitan intersektoral antara berbagai basis data agar data
dapat lebih mudah digagihkan dan diperiksa kembali dengan
mencocokkannya dengan data di berbagai platform, tanpa
mengnyampingkan aspek kelengkapan atau kegunaannya.
Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan kerancuan
tentang acuan data yang resmi dan standar yang digunakan
untuk keperluan penyusunan program, seperti apakah harus
menggunakan data SIAK atau BPS sebagai acuan utama.
Isu tentang versi mana yang perlu dipakai sebagai wadah/
platform manajemen informasi administrasi kependudukan
juga hendaknya diselesaikan, dan perbaikan versi mendatang
sebaiknya diluncurkan termasuk dengan dukungan yang
memadai bagi dinas yang menjalankan.
Selain itu, pemerintah daerah hendaknya didukung dalam hal:
• Memastikan NIK sebagai sebuah penanda identitas yang
unik untuk mengakses layanan, hendaknya dibuat mudah
dan sebagai kunci meningkatkan interoperabilitas sistem
manajemen informasi yang berkaitan dengan layanan dasar
untuk menghasilkan statistik hayati yang lebih akurat dan
lengkap.
• Peraturan,kebijakan,danproseduruntukmengagihkandata
di berbagai tingkatan antarsektor hendaknya dibuat sejelas
mungkin. Pegawai kabupaten serta staf di lapangan yang
bekerja dengan data sebaiknya mendapat pelatihan agar
dapat menjalankan aturan tersebut dengan benar.
• Prinsip perencanaan dan evaluasi berbasis bukti perlu
dimantapkan di semua tingkat pemerintahan. Petugas yang
diberi mandat untuk merencanakan kebijakan dan program
sebaiknya dilatih untuk mengenali data yang berkualitas dan
untuk menggunakannya secara efektif. Hal ini penting untuk
meningkatkan akuntabilitas tata kelola kepemerintahan di
tingkat daerah.
• Meningkatkan partisipasi dalam musrenbangdes, dan
mekanisme serupa lain di desa dan mendorong berbagai
proses diskusi ini menjadi kian inklusif. Pemantauan yang
efektif atas peristiwa penting kehidupan tergantung pada
dukungan masyarakat dan pimpinan mereka. Jika dilakukan
dengan tepat, proses perencanaan dan penganggaran di
tingkat desa bisa menjadi peluang bagi petugas desa untuk
mempunyai rasa memiliki atas pencatatan dan pengumpulan
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah 7
data, dan bagi warga masyarakat untuk mengusulkan
peningkatan layanan.
• Merampungkan proses entri data dari semua pencatatan
yang masih menggunakan berkas manual ke dalam versi
tunggal SIAK dengan menanamkan lebih banyak upaya
pengembangan SDM. Pengubahan data menjadi bentuk
digital khususnya data yang pencatatannya masih tertunggak
sejak 1997 perlu dijadikan prioritas, sehingga semua data
anak di bawah 18 tahun tersedia.
• Data kependudukan terkait statistik hayati hendaknya siap
diakses oleh lembaga pemerintah terkait, dengan upaya
yang tepat untuk menjaga keamanan data rahasia. Statistik
agregat disampaikan kepada masyarakat dengan cara-cara
yang memudahkan akses warga sehingga akuntabilitas
sosialnya menjadi lebih baik.
Materi Rujukan
1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS). [Dataset tidak di publikasikan].
2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s
birth right: Inequities and trends in birth registration. New
York: United Nations Children’s Fund.
3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,
Pangaribuan, L., ...& Lopez, A. D. (2010). Mortality
in Central Java: results from the Indonesian mortality
registration system strengthening project. BMC Research Notes, 3(1), 325.
4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,
newborn and child health: understanding key progress
indicators. Report.
5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as
appropriate for health mapping in a low resource setting:
a case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.
6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat
Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,
legal identity, and the post-2015 Agenda. Center for Global Development Policy Paper, (46).6.
8 Phillips, D. E., AbouZahr, C., Lopez, A. D., Mikkelsen, L., de
Savigny, D., Lozano, R., ... & Setel, P. W. (2015). Are well
functioning civil registration and vital statistics systems
associated with better health outcomes? The Lancet, 386(10001), 1386-1394.
9 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing
millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,
Indonesia: DFAT.
10 Jackson, M., Duff, P., Kusumanigrum, S., & Stark, L. (2014).
Thriving beyond survival: Understanding utilization of
perinatal health services as predictors of birth registration:
A cross-sectional study. BMC International Health and Human Rights, 14(1), 306.
11 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan
Presiden No 2 Tahun 2015..
12 Marskell, J. (2014). The Philippines civil registration and vital
statistics case study and Indicative Investment Plan
2015–2019. Draft for consultation at CRVS technical consultation meeting, Addis Ababa, 28–29 April, 2014.
Proyek CRVS yang disponsori oleh Canadian DFATD dan
Bank Dunia.
13 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and Policy
Coordination The Case of Birth Registration in Ghana. Office of
Research Working Paper, UNICEF.
14 Office of the Registrar General. (2013). Vital Statistics of India
Based on the Civil Registration System 2011.
15 Danel, I., & Bortman, M. (2008). An Assessment of LAC’s Vital Statistics
System: The Foundation of Maternal and Infant Mortality
Monitoring (Discussion Paper). Washington, D.C: World Bank.
16 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth
registration into health systems (2000–2009): Case
studies: Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New
York, UNICEF.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah5
KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]
Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)
Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,
Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182
www.puskapa.org
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah8
Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).
Penulis:
Santi Kusumaningrum dan Clara Siagian.
Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan
daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih
berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian
PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten
Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan
pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.
Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap
pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai
upaya validasi atas temuan yang diperoleh.
Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222
responden.
Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.
17 Mony, P., Sankar, K., Thomas, T., & Vaz, M. (2011). Strengthening
of local vital events registration: lessons learnt from a
voluntary sector initiative in a district in southern India.
Bulletin of the World Health Organization, 89(5), 379-384.
Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar
Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Program Perlindungan Sosial
Catatan Kebijakan Juli 2016
Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan
pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai
bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan
statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i
yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai
angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang
sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan
kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi
terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi
kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami
desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi dan
tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di Indonesia
memerlukan pendekatan dua arah yang mencakup tidak hanya
perubahan dalam kebijakan dan penyediaan layanan, namun juga
dalam partisipasi masyarakat. Memo ini disusun berdasarkan
berbagai temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
yang bekerja sama dengan PUSKAPA dan Program Kolaborasi
i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial2
Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) mulai
dari akhir 2015 hingga awal 2016. Penelitian ini bertujuan untuk
menjajaki berbagai cara agar program perlindungan sosial, yang
turut mencakup program bantuan sosial (Bansos) dan program
jaminan sosial di bidang kesehatan, dapat turut mewujudkan
komitmen pemerintah untuk memperbaiki sistem CRVS di
Indonesia. Studi ini juga merekomendasikan cara-cara yang
dapat ditempuh agar program perlindungan sosial dapat turut
andil pada tercapainya solusi yang berkesinambungan.
CRVS di Indonesia
Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang
terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan
kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih
diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.
Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian
dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun
beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam
kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak
pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan
data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting
kependudukan.
Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)
memiliki akta kelahira,1 dan Indonesia termasuk negara dengan
jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya
tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan
data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan
sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4
Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,
banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu
melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan
layanan secara akurat.5,6
Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua
lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah
dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai
contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas
hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian
setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan
sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin pada sumber
daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada
bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan
perlindungan bagi anak.7
Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen
memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses
pada layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan,
pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, dan pencatatan sipil
dan identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi kemiskinan
di Indonesia.8 Sebagai bagian dari rencana itu, Pemerintah
RI berencana memperluas cakupan program bantuan sosial
dan program jaminan kesehatan nasional (JKN). Pada 2019,
pemerintah berencana menambah jumlah penerima manfaat
program keluarga harapan (PKH), yang merupakan program
bantuan tunai bersyarat, dari 2,8 juta keluarga di tahun 2014
menjadi delapan juta keluarga, menambah jumlah Penerima
Bantuan Iuran (PBI) dalam program jaminan kesehatan nasional
(KIS/PBI-JKN) dari 86,4 juta orang menjadi 107,2 juta orang,
serta penerima beasiswa bagi siswa dari keluarga berpenghasilan
rendah (KIP/BSM) dari 11,9 juta siswa usia sekolah menjadi 21,6
juta. Selain target tersebut, pemerintah berencana memperluas
cakupan kepemilikan akta kelahiran menjadi 85 persen anak
pada populasi umum dan 77,4 persen anak pada 40 persen
populasi termiskin di tahun 2019.
Sebagai dasar bagi upaya-upaya menurunkan angka kemiskinan, Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)ii menyim-
pan data 40 persen warga paling miskin di Indonesia (basis data
terpadu atau BDT) yang terdiri dari informasi di tingkat individu
dan rumah tangga. Banyak program bantuan sosial, baik dari pe-
merintah nasional maupun daerah, menggunakan BDT sebagai
acuan utama untuk menentukan penerima manfaat. Walaupun
saat ini BDT terakhir masih berdasarkan pendataan program
perlindungan sosial (PPLS) tahun 2011, pemerintah baru saja
merampungkan suatu survei nasional (PBDT 2015) untuk memu-
takhirkan BDT pada akhir tahun 2015.
Pelaksanaan program bantuan sosial di Indonesia sering
terhambat oleh adanya galat/kesalahan terkait penerima manfaat
program akibat salah-masuk (inclusion error) dan salah-luput
(exclusion error).9 Walaupun banyak faktor berkontribusi pada
kedua jenis galat tersebut, kurangnya prosedur yang berkelanjutan
untuk memutakhirkan BDT menjadi salah satu penyebab utama.9
ii Pada saat catatan kebijakan ini ditulis, pengelolaan BDT sedang dipindahkan ke Kementerian Sosial.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial 3
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan beberapa
program rintisan untuk membuat dan menguji sebuah sistem
pemutakhiran yang tepat untuk BDT di tingkat kabupaten. Prinsip
dasar dari model ini adalah untuk mendapatkan masukan dari
masyarakat dan menangkap adanya perubahan kondisi pada
pihak penerima manfaat yang dapat berpengaruh pada status
kelayakan mereka sebagai penerima manfaat. Melalui model ini,
apabila status kelayakan seseorang berubah, kasus mereka akan
dirujuk ke tingkat nasional dan kabupaten, sehingga menciptakan
sumber data yang lebih berkelanjutan untuk penetapan sasaran
penerima manfaat bantuan sosial.
Dalam upaya menyelaraskan BDT dengan sistem informasi
administrasi kependudukan (SIAK), TNP2K sudah menggunakan
nomor induk kependudukan (NIK) Indonesia untuk
menghubungkan entri individu yang ada di berbagai basis
data. Teorinya, individu akan diberikan NIK saat kelahirannya
dicatatkan, atau ketika didaftarkan di SIAK lewat pencatatan
sipil lainnya. NIK ini kemudian tertera di akta kelahiran, kartu
keluarga, dan kartu tanda penduduk (KTP) yang diterbitkan oleh
Kementerian Dalam Negeri. Penyelarasan BDT hasil PPLS 2011
dengan SIAK memakai NIK oleh TNP2K menemukan 15 persen
penerima manfaat yang terdaftar di BDT tidak memiliki NIK,
sebuah indikasi kebutuhan layanan identitas hukum bagi populasi
rentan ini.iii Walaupun BDT sebelumnya tidak memasukkan data
mengenai kepemilikan dokumen identitas, pemutakhiran di tahun
2015 turut memasukkan entri informasi KTP, kartu keluarga, akta
kelahiran, dan akta perkawinan.
Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya
Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS, kami
menemukan beberapa pendekatan yang digunakan oleh negara-
negara berkembang untuk membangun hubungan antara sistem
CRVS dan bantuan sosial. Cara yang umum dilakukan adalah
menggunakan tanda pengenal nasional atau dokumen identitas
hukum lainnya sebagai syarat untuk mengakses program,
seperti yang telah dilakukan di Vietnam, Filipina, Bolivia, dan
Ekuador.10,11,12 Hal itu khususnya mengemuka di negara-negara
yang menyelenggarakan program bantuan sosial berdasarkan
uji kemiskinan (means-tested), di mana akses kepada manfaat
program kaku terikat pada status kewarganegaraan dan domisili
(tempat tinggal). Akibatnya, dalam keadaan di mana pencatatan
sipil tidak dapat diakses secara universal, persyaratan kepemilikan
dokumen identitas hukum bisa menyisihkan kelompok penduduk
yang paling terpinggirkan secara sistematis, yang pada hakikinya
adalah warga yang paling membutuhkan bantuan sosial.
Namun demikian, di negara-negara di mana bantuan sosial
tidak terkoordinasi satu sama lain, upaya perampingan program-
program yang sudah tersegmentasi tersebut akan bergantung
pada adanya penanda tunggal identifikasi individu sebagai dasar
untuk menggabungkan berbagai basis data yang memuat informasi
seluruh penerima manfaat.13 Seturut dengan ini, beberapa
negara telah menggunakan pencatatan sipil sebagai jalan untuk
menemukenali warga yang layak untuk menerima manfaat
bantuan sosial. Di Uganda, misalnya, individu yang dianggap
layak mendapatkan dalam program social assistance grants for empowerment dimasukkan ke daftar penerima manfaat secara
otomatis saat pencatatan kelahiran.14 Pun demikian jika terjadi
iii Wawancara dengan TNP2K, 16 Maret 2016 di kantor pusat TNP2K, Jakarta.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial4
kematian pada penerima manfaat, mendiang juga dihapus dari
daftar penerima manfaat segera setelah kematian dicatatkan. Model
ini tentu saja memiliki kekurangan, karena model ini memerlukan
sistem pencatatan sipil yang kokoh dengan cakupan yang luas
dan pemutakhiran yang tepat waktu. Upaya untuk menggunakan
pencatatan sipil sebagai basis data tunggal penerima manfaat juga
membutuhkan pembakuan (standarisasi) dalam taraf tertentu atas
beragam konteks yang ada di satu negara. Ini adalah tantangan
yang dihadapi oleh Brazil yang memiliki sistem federal dengan
kewenangan pencatatan sipil jatuh di tangan pemerintah negara
bagian. Di Brazil, misalnya, hal ini menjadi tantangan, karena di
bawah sistem pemerintahan federal, negara bagian menjadi pihak
yang bertanggung jawab atas pencatatan sipil.15
Untuk menghindari terciptanya hambatan struktural bagi mereka
yang tidak memiliki identitas hukum namun berhak mendapatkan
bantuan sosial, negara-negara melakukan uji coba dengan
cara memasukkan layanan akta kelahiran ke dalam layanan
bantuan sosial nasional. Sebagai contoh, pencatatan kelahiran
dijadikan bagian dari manfaat program bantuan tunai di negara-
negara seperti Panama, Madagaskar, Mozambik, dan Peru.16
Pendekatan serupa juga diusulkan dalam konteks Indonesia, di
mana bantuan sosial memiliki jangkauan yang lebih luas dan
lebih besar dibandingkan dengan pencatatan sipil; walaupun
hal ini memerlukan adanya koordinasi yang lebih kuat antara
berbagai sektor pemerintah.17
Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016
Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas
hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah
secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat
menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang
mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian
nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen
kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak
konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki
akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,
atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak
memiliki akta perkawinan.
Masyarakat dalam penelitian ini memiliki cukup banyak akses
kepada program bantuan sosial, dengan sekitar 95 persen rumah
tangga memperoleh manfaat dari setidaknya satu program
bantuan sosial dalam periode dua tahun sebelum pengumpulan
data dilakukan. Anak-anak dari responden yang tidak menerima
bantuan sosial dari pemerintah (oleh karenanya diasumsikan
berlatar belakang sosial ekonomi lebih baik) memiliki kemungkinan
dua kali lipat memiliki akta kelahiran dibandingkan dengan anak-
anak yang orangtuanya merupakan penerima manfaat bantuan
sosial (oleh karenanya diasumsikan berlatar belakang sosial
ekonomi lebih buruk). Hal ini sebagian mungkin didorong oleh
keterkaitan positif antara kepemilikan akta kelahiran dan tingkat
kesejahteraan, sebagaimana ditemukan dalam studi sebelumnya.18
Pada saat penelitian ini dilakukan, sekitar dua pertiga responden melaporkan bahwa mereka memiliki jaminan kesehatan, dan dari angka tersebut, 93 persen di antaranya menerima jaminan kesehatan yang disubsidi pemerintah daerah atau pusat, atau keduanya. Akan tetapi, responden kerap bingung dengan status jaminan kesehatan mereka, dan banyak yang mengaku tidak memiliki asuransi walaupun sebenarnya menerima layanan kesehatan cuma-cuma di fasilitas kesehatan dalam setahun belakangan ini dengan menunjukkan bukti kependudukan. Bahkan mereka yang mengaku memiliki
asuransi sering tidak tahu apakah asuransi mereka ditanggung
oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Seiring dengan
berjalannya integrasi skema jaminan kesehatan daerah ke
dalam jaminan kesehatan nasional (JKN), penyedia layanan
melaporkan bahwa penduduk desa sering tidak menyadari jenis
layanan apa saja yang menjadi haknya.
Saat ini hanya penerima jaminan kesehatan yang disubsidi pemerintah (seperti PBI-JKN, JKRA di Aceh dan Jamkesda di Sulawesi Selatan) yang perlu memiliki NIK, nomor induk kependudukan yang dihasilkan SIAK dan tercantum dalam KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran. Sebagai bagian dari perluasan PBI-JKN ke populasi
rentan, Dinas Sosial Jawa Tengah telah membantu Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti tunawisma, untuk
mendapatkan NIK dengan merujuk mereka ke layanan identitas
hukum. Namun pemerintah kabupaten juga mengidentifikasi
adanya kelompok PMKS tanpa NIK yang tidak bisa memenuhi
berbagai persyaratan dasar untuk dapat memperoleh dokumen
identitas hukum. Akibatnya, sistem yang ada sekarang berpotensi
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial 5
menyisihkan orang-orang ini lebih jauh lagi dari berbagai layanan
kesehatan yang sebenarnya sangat mereka butuhkan.
Ada laporan mengenai terjadinya salah-masuk (inclusion error) dan salah-luput (exclusion error) dari petugas lapangan yang melakukan verifikasi data penerima manfaat dan memberikan layanan. Tidak ada satu jalur pelaporan yang jelas dan mekanisme pemutakhiran yang rutin untuk program bantuan sosial, karena tiap program yang memang berbeda-beda mengatur prosedur pelaporan dan pemutakhiran data mereka secara terpisah. Saat
seorang penerima manfaat PBI-JKN mendapat anggota keluarga
baru, maka bayi yang baru lahir tersebut, misalnya, tidak secara
otomatis ditambahkan sebagai penerima manfaat baru. Bayi yang
baru lahir harus masuk dalam daftar tunggu peserta, dan orang
tua diminta membayar iuran asuransi terlebih dahulu sambil
menunggu persetujuan agar bayi tersebut dinyatakan sebagai
penerima subsidi (bantuan iuran). Secara teori, daftar penerima
manfaat PBI-JKN dimutakhirkan sekali per semester, namun pada
saat pengumpulan data, tidak ada satupun lokasi penelitian yang
memutakhirkan daftar penerima manfaat mereka serutin itu. Dari
segi penyedia, ketiadaan mekanisme pemutakhiran yang jelas
untuk kepesertaan JKN dapat mengganggu sistem pembiayaan
untuk layanan kesehatan primer. Berdasarkan sistem kapitasi
yang berlaku saat ini, fasilitas layanan kesehatan primer seperti
Puskesmas akan mendapat dana berdasarkan jumlah peserta
JKN yang terdaftar di Puskesmas tersebut, bukan berdasarkan
diagnosa atau jenis perawatan. Tanpa kemampuan untuk
memutakhirkan kepesertaan berdasarkan peristiwa kelahiran
dan kematian di basis data JKN dengan dinamis dan sewaktu,
pemerintah berisiko melakukan kesalahan dalam penaksiran dan
penghitungan alokasi dana kapitasi ini.
Pelaporan kematian bahkan lebih jarang lagi terjadi dan lebih tidak konsisten dibandingkan dengan pelaporan kelahiran. Keluarga dan individu yang menerima berbagai jenis bantuan sosial yang berbeda-beda harus melaporkan peristiwa kematian ke masing-masing program melalui mekanisme yang terpisah. Karena kurangnya cara
untuk memperbarui daftar penerima manfaat, atau untuk
menyelaraskan data antarprogram, setiap kali sebuah program
bantuan sosial baru diluncurkan, atau apabila program lama
diperluas, maka program tersebut terpaksa menggunakan
sumber dayanya untuk memperbarui informasi mengenai
penerima manfaat mereka secara langsung dari masyarakat.
Hal ini membuang-buang sumber daya, padahal berbagai
program mengumpulkan data penerima manfaat yang sama,
sering kali dengan indikator yang saling bersinggungan. Ini juga
menyulitkan Kementerian Sosial dalam memastikan bahwa
semua orang yang memang perlu menerima manfaat telah
dijangkau secara efektif.
Rekomendasi
Layanan pencatatan sipil hendaknya dimasukkan sebagai komponen utama dalam program bantuan sosial, khususnya dalam program-program yang memiliki banyak interaksi langsung dengan penerima manfaat, seperti misalnya PKH, KIS, dan KIP.
• Programrintisan/percontohanyangsaat ini tengahberjalan
untuk memperbaiki BDT dan penentuan sasaran program
bantuan sosial daerah, di beberapa kabupaten dapat mulai
memasukkan pemberian layanan identitas hukum sebagai
bagian dari manfaat layanan sosial bagi masyarakat miskin.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial6
Selain itu program rintisan itu juga bisa dimanfaatkan untuk
mengetahui siapa saja orang yang berhak namun masih
belum terdaftar sebagai peserta program bantuan sosial
sebagai akibat ketiadaan NIK dan identitas hukum lainnya.
• Berbagai kampanye untuk meningkatkan pemahaman
mengenai hak atas identitas hukum hendaknya memasukkan
informasi mengenai bagaimana pencatatan sipil dapat secara
langsung maupun tidak langsung memfasilitasi pemenuhan
hak atas kesejahteraan dan bantuan sosial. Sejalan dengan ini,
kampanye program bantuan sosial juga perlu menyebarkan
informasi seputar proses pengurusan pencatatan sipil
termasuk bagaimana menyiasatinya serta informasi rujukan
ke kantor layanan pencatatan sipil atau layanan publik yang
tepat.
• Secara umum, hubungan antara pencatatan sipil dengan
capaian utama para administrator dan pendamping
program bantuan sosial hendaknya lebih ditekankan, agar
staf program bantuan sosial merasa berkepentingan untuk
memastikan bahwa peristiwa penting dalam kehidupan klien
mereka telah tercatat. Untuk itu, Kementerian Sosial harus
menyusun sebuah pedoman mengenai pencatatan sipil dan
meningkatkan kapasitas para administrator dan pendamping
untuk menyampaikan informasi mengenai pencatatan sipil
bagi penerima manfaat, merekam data mengenai peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupan (termasuk kematian),
menemukenali para penerima manfaat yang tidak memiliki
identitas hukum yang selayaknya, dan merujuk informasi
ini kepada penyedia layanan pencatatan sipil. Informasi ini
hendaknya ditindaklanjuti dengan upaya penjangkauan
layanan pencatatan sipil.
• Untuk meredam risiko adanya warga yang luput terdaftar
sebagai peserta, maka sebagai bagian dari mekanisme
pemutakhiran, operator dan fasilitator program bantuan sosial
hendaknya dapat menemukenali siapa saja orang yang bukan
penerima manfaat yang tidak memiliki NIK (dan identitas
hukum), yang sebenarnya berhak mendapat bantuan sosial,
lantas merujuk informasi ini ke penyedia layanan pencatatan
sipil.
Karena BDT yang baru dimutakhirkan akan memuat informasi mengenai kepemilikan identitas hukum sekitar 40 persen penduduk termiskin, data ini hendaknya digunakan untuk mengidentifikasi dan melayani individu
yang tidak memiliki dokumen identitas hukum dan kependudukan yang layak.
• Sebagaiawal,pemerintahhendaknyamenganalisissebaran
masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas hukum
berdasarkan beberapa indikator layanan yang memang
bermanfaat, seperti misalnya kuintil kemiskinan, wilayah
geografis, usia, dan gender. Berdasarkan analisis ini,
pemerintah pusat dan daerah dari berbagai sektor hendaknya
bekerja sama untuk memberikan layanan pencatatan sipil
yang sesuai, serta mengusahakan perubahan kebijakan.
Misalnya, di tempat-tempat yang jumlah pasangan yang
menikah secara agama namun tidak memiliki akta perkawinan
begitu besar, program yang dijalankan harus dimulai dengan
layanan terpadu yang melibatkan Pengadilan Agama dan
Negeri, Kantor Urusan Agama, dan Disdukcapil.
• Saatorang-orangyangtelahdiidentifikasiinidiberiidentitas
sebagai warga sipil yang sesuai, informasi tersebut harus
disinkronkan dengan BDT dan dengan register kepesertaan
program yang sifatnya spesifik. Informasi ini akan menjadi
masukan bagi para administrator program bantuan sosial
bahwa individu yang baru saja terdaftar kini telah berhak atas
berbagai manfaat perlindungan sosial.
Sebagai bagian dari tujuan menciptakan mekanisme
pemutakhiran data penerima manfaat berbagai program
bantuan sosial, pemerintah harus menanamkan upaya
penguatan dalam membangun interoperabilitas antara
berbagai register penerima manfaat bantuan sosial, BDT, SIAK,
dan sistem informasi lainnya.
• Semuabasisdataprogrambantuansosialharusmenggunakan
NIK sebagai dasar dari keterhubungan ini, karena NIK merupakan
sarana yang sederhana dan efisien untuk mengurangi duplikasi
entri individu. Penggunaan NIK dalam BDT adalah hal yang perlu
disambut baik dan upaya berkesinambungan harus terus dilakukan
untuk membangun keterhubungan antara BDT yang termutakhirkan
dengan SIAK. Hal ini diharapkan mampu menyumbang kepada
perbaikan penentuan sasaran bantuan sosial secara signifikan,
dan pada saat yang sama mampu mendorong harmonisasi data
peristiwa kelahiran, kematian, dan perpindahan yang terekam oleh
BDT, basis data bansos daerah, dan SIAK.
• SIAK hendaknya diintegrasikan dengan register yang dimiliki
oleh program seperti data induk (Master File) BPJS Kesehatan
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial 7
yang memuat data peserta JKN. Interkonektivitas antara
SIAK, BDT, dan Master File dapat membantu BPJS Kesehatan
mendaftarkan peserta baru PBI-JKN, menghapus peserta
yang sudah tidak lagi berhak karena telah meninggal dunia,
dan menyesuaikan perkiraan proyeksi penerima manfaat
karena adanya perpindahan masuk dan ke luar wilayah. Hal
ini juga memungkinkan BPJS Kesehatan menghitung anggaran
kapitasi untuk fasilitas layanan kesehatan primer secara akurat.
• Karena banyak programbantuan sosial dikelola dan dibiayai
oleh pemerintah daerah, register lokal untuk program bantuan
sosial hendaknya juga terhubung dengan SIAK.
• Seluruh upaya pengintegrasian ini akan membutuhkan
kepemimpinan yang kokoh dari seluruh sektor pemerintahan
yang terlibat. Selain itu dibutuhkan pula advokasi yang
gigih mengenai keuntungan dari pengagihan data serta
keterhubungan sumber data baik antar sektor maupun
antara tingkat administrasi pemerintahan termasuk pembuat
kebijakan, pengelola data, dan penyedia layanan.
Materi Rujukan
1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan]
2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s
birth right: Inequities and trends in birth registration. New
York: UNICEF.
3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y., Pangaribuan,
L., ... Lopez, A. D. (2010). Mortality in Central Java:
Results from the Indonesian mortality registration system
strengthening project. BMC research notes, 3(1), 325.
4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,
newborn and child health: Understanding key progress
indicators. Geneva: WHO Document Production Services.
5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as
appropriate for health mapping in a low resource setting:
A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.
6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat
Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,
legal identity, and the post-2015 agenda. Center for Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.
8 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan
Presiden No 2 Tahun 2015.
9 Schmitt, V., Mulyanto, R., & van Langenhove, T. (2014).
Rancangan sistem rujukan terpadu untuk perluasan
program perlindungan sosial di Indonesia. Jakarta,
Indonesia: ILO and Japan Fund.
10 Marskell, J. (2014). The Philippines civil registration and vital
statistics case study and indicative investment plan 2015–
2019.
11 Apland, K., Blitz, B. K., Calabia, D., Fielder, M., Hamilton, C.,
Indika, N., … Yarrow, E. (2014). Birth registration and
children’s rights: a complex story. Plan International:
Policy Advocacy and Campaign Department.
12 Harbitz, M. E., & Tamargo, M. del C. (2009).The significance of
legal identity in situations of poverty and social exclusion:
The link between gender, ethnicity, and legal identity.
Inter-American Development Bank.
13 Barca, V., & Chirchir, R. (2014). Single registries and integrated
MISs: De-mystifying data and information management
concepts (Social Protection and Growth: Research
Synthesis) (hal. 1–68). Department of Foreign Affairs and
Trade, Australia.
14 Republic, U. (2012). Social assistance grant for empowerment
implementation guidelines national. Diunduh dari www.
socialprotection.go.ug/pdf/SAGE%20Implementation%20
Guidelines%20National-District%20V%2020%20
Feb%202012.pdf.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial8
KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]
Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)
Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,
Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182
www.puskapa.org
15 Barca, V. (2016). Integration, in practice: Key pillars,
international challenges and solutions. Presented at the
International Seminar on Integration of Databases and
Information Systems for the Improvement of Public Policy,
Rio de Janeiro, Brasillia. Diunduh dari https://www.wwp.
org.br/sites/default/files/ppt/Semina%CC%81rio%20
Internacional%20Base%20de%20Dados%2C%205%20
e%206%20abril%20-%20Valentina%20Barca%2C%20
Integration%20%28English%29_0.pdf.
16 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth
registration into health systems (2000–2009): Case studies:
Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New York: UNICEF.
17 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing
discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.
18 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Australia-Indonesia
Partnership for Justice’s baseline on legal identity:
Indonesia’s Missing Millions, Jakarta, Indonesia: DFAT
Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).
Penulis:
Clara Siagian, Cyril Bennouna, & Santi Kusumaningrum.
Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan
daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih
berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian
PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten
Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan
pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.
Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap
pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai
upaya validasi atas temuan yang diperoleh.
Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222
responden.
Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.
Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar
Juli 2016
Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan
pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai
bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan
statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)
yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai
angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang
sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan
kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi
terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi
kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami
desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi
dan tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di
Indonesia memerlukan pendekatan dua arah yang mencakup
tidak hanya perubahan dalam kebijakan dan penyediaan
layanan, namun juga dalam partisipasi masyarakat. Memo ini
disusun berdasarkan berbagai temuan dari sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/BAPPENAS yang bekerja sama dengan PUSKAPA
i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.
Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Keterlibatan Masyarakat
Catatan Kebijakan
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat2
dan Program Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk
Kesejahteraan (KOMPAK) mulai dari akhir 2015 hingga awal
2016. Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki berbagai cara
agar pelibatan masyarakat dapat turut mewujudkan komitmen
pemerintah untuk memperbaiki sistem CRVS di Indonesia. Studi
ini juga merekomendasikan cara-cara yang dapat ditempuh agar
program pemberdayaan dan partisipasi warga negara dapat
turut andil untuk mencapai solusi yang berkesinambungan.
CRVS di Indonesia
Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang
terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan
kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih
diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.
Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian
dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun
beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam
kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak
pula yang mengumpulkan, menganalisis, serta menggunakan
data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting
kependudukan.
Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)
memiliki akta kelahiran,1 dan Indonesia termasuk negara dengan
jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya
tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan
data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan
sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4
Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,
banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu
melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan
layanan secara akurat.5,6
Meskipun lazimnya pencatatan hanya merupakan urusan satu
atau dua lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS
yang lemah dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor
lain. Sebagai contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan
identitas hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian
setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan
sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber
daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada
bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan
perlindungan bagi anak.7 Sebuah studi global belum lama ini
menemukan, bahkan setelah mengendalikan faktor-faktor
seperti pendapatan dan kapasitas sistem kesehatan, bahwa
negara-negara yang memiliki sistem CRVS yang berfungsi baik
cenderung memiliki capaian hasil kesehatan yang lebih baik,
termasuk tingkat harapan hidup yang lebih tinggi serta angka
kematian ibu dan anak yang lebih rendah.8 Berbagai studi di
Indonesia sendiri telah menemukan bahwa kepemilikan identitas
hukum berkaitan dengan keberlanjutan pendidikan di sekolah9
dan naiknya penggunaan layanan kesehatan.10
Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen
memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan
Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses
pada layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan,
pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, serta pencatatan
sipil dan identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi
kemiskinan di Indonesia.11 Sebagai bagian dari rencana ini,
Presiden menargetkan sebanyak 85 persen anak sudah
memiliki akta kelahiran pada 2019. Dalam beberapa tahun
ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan yang
menyederhanakan prosedur pencatatan kelahiran, memfasilitasi
upaya penjangkauan masyarakat terpencil, dan mendorong upaya
kerjasama antar kementerian untuk memperbaiki pencatatan
kematian. Kementerian Dalam Negeri telah melakukan penguatan
yang menjanjikan dalam modernisasi basis data kependudukan
Indonesia melalui sistem informasi administrasi kependudukan
(SIAK) yang saat ini sudah dalam versi kelima. Meskipun demikian,
berbagai inisiatif itu kerap belum terkoordinasi dengan baik,
dan dalam konteks desentralisasi, implementasi secara baku
di berbagai daerah terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat
ini, masih belum ada rencana nasional yang memerinci strategi
pemerintah untuk mengintegrasikan pencatatan sipil dalam
satu sistem yang menyeluruh dan yang mampu menyediakan
dokumen yang tepat serta menghasilkan statistik hayati yang
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat 3
akurat, sinambung, sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai
sektor pemerintahan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
BAPPENAS menjajaki berbagai cara agar berbagai sektor yang
berkepentingan atas penguatan CRVS dapat dikerahkan untuk
bekerja sama mewujudkan sistem yang terpadu, lengkap,
dan dapat diandalkan. Sejalan dengan pendekatan utama
pemerintah dalam memperkuat kapasitas pemerintah daerah
untuk menyediakan layanan dasar, pemerintahan di tingkat
kecamatan dan kelurahan/desa diharapkan dapat melibatkan
masyarakat untuk secara aktif menemukenali kebutuhannya.
Lebih lanjut lagi, pelibatan masyarakat harus diperluas untuk
mengembangkan dan melaksanakan program sesuai konteks
sehingga dapat mengatasi masalah-masalah mendesak terkait
akses masyarakat ke layanan dasar. Pejabat dan warga desa
juga diberi rasa memiliki yang lebih besar untuk ikut memberi
masukan bagi perencanaan dan pemanfaatan dana desa dengan
lebih baik. Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 yang belum
lama disahkan, serta Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014
yang terkait, misalnya, membuka peluang bagi warga desa untuk
terlibat dalam pembangunan masyarakat melalui pendamping
desa, lembaga setempat, seperti misalnya Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa, dan kegiatan tertentu, seperti musyawarah
desa. Selain itu, revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah No.
23 Tahun 2014 juga menghidupkan kembali peran kecamatan
dalam pemerintahan dan penyediaan layanan.
Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya
Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS yang telah
dipublikasikan, kami menemukan bahwa kegiatan peningkatan
kesadaran melalui keterlibatan masyarakat sudah dijalankan di
sejumlah negara berpendapatan rendah dan menengah demi
meningkatkan pencatatan kelahiran.12,13 Kegiatan-kegiatan
tersebut membangun komunikasi dan pertukaran informasi
antar pemerintah dan populasi yang menjadi sasaran. Mereka
juga bisa mendorong perubahan-perubahan yang diperlukan
dari segi sikap dan perilaku, contohnya, dengan mendorong
pemanfaatan layanan pencatatan sipil. Pendekatan yang
melibatkan masyarakat dengan efektif sering kali bergantung
pada kemitraan dengan tokoh agama dan pemimpin daerah
lainnya yang dipercaya warga dan mampu mengarungi norma-
norma sosial dan budaya.14 Di Afghanistan, misalnya, di mana
banyak sekali kelahiran dan kematian terjadi di luar fasilitas
kesehatan, Kementerian Kesehatan Masyarakat bekerja dengan
para mullah (imam) setempat untuk mendorong masyarakat agar
melaporkan peristiwa-peristiwa hayat penting.
Pendekatan lain adalah dengan menjadikan warga sebagai
relawan, atau bermitra dengan organisasi masyarakat sipil
(OMS) agar dapat secara cepat memperbanyak kader untuk
penjangkauan. Di India, misalnya, relawan dikirim ke rumah-
rumah penduduk untuk bertemu warga yang tidak memiliki
dokumen identitas hukum dan melakukan sosialisasi mengenai
keuntungan pencatatan sipil dari segi administratif maupun
hukum, sekaligus mendorong mereka untuk mencatatkan
kelahiran dan kematian yang terjadi.15 Di Mali, relawan masyarakat
(kebanyakan perempuan tanpa pendidikan formal) dilatih oleh
tenaga kesehatan masyarakat untuk rutin mengumpulkan data
kematian balita di tingkat warga sebagai bagian dari kegiatan
rapid mortality monitoring (pemantauan cepat kematian).16
Pembinaan secara rutin dari para tenaga kesehatan masyarakat,
pemberian tunjangan bulanan untuk transportasi dan pulsa
telepon seluler merupakan kunci keberhasilan program tersebut.
Di Ghana, sebaliknya, warga yang dilatih untuk melakukan
pencatatan kelahiran di area terpencil tidak diberi upah dan
kerap tidak mendapat pembinaan. Mereka sempat berkontribusi
pada tercapainya peningkatan besar-besaran dalam cakupan
kepemilikan akta kelahiran, namun seiring dengan waktu, terjadi
kemandekan karena banyak relawan kehilangan motivasi dan
sebagian mulai meminta bayaran tidak resmi dari masyarakat
yang dilayani.17,18
Di Indonesia, upaya memperkuat berbagai aspek dalam CRVS
beberapa kali telah memanfaatkan pendekatan yang melibatkan
masyarakat. Di beberapa kabupaten, kampanye layanan
terpadu keliling melibatkan paralegal melalui OMS seperti
PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) untuk
memberi panduan bagi keluarga yang mengajukan permohonan
memperoleh akta kelahiran dan akta nikah.19 Model serupa
telah diterapkan di 17 provinsi dan baku prosedur pelaksanaan
(Standard Operational Procedures) telah dikembangkan untuk
membantu penerapan model ini di tempat lain. Dalam skala
yang lebih kecil, sebuah model yang melibatkan kader PKK untuk
menemukenali kebutuhan pencatatan sipil dan memutakhirkan
basis data kependudukan juga telah dikembangkan di Surakarta.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bagaimana anggota
masyarakat dapat berperan dalam pemantauan peristiwa
hayat penting. Salah satu yang menonjol adalah metode yang
diujicobakan dalam program initiative for maternal mortality
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat4
programme assessment di Provinsi Banten. Dalam uji coba ini
ketua Rukun Tetangga dan kader Posyandu mendokumentasikan
dan melaporkan kematian ibu di lingkungan mereka.20 Uji coba
metode berbiaya rendah itu terbukti berhasil memperkirakan
kematian ibu di dua kabupaten di Banten.
Pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan kapasitas
adalah langkah awal yang perlu diambil untuk memastikan
keberhasilan proses pelibatan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat juga bisa difasilitasi oleh pemerintah, misalnya oleh
fasilitator desa sebagaimana tercantum dalam UU Desa. Organisasi
Masyarakat Sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
memiliki ikatan erat dengan masyarakat juga dapat secara efektif
menjembatani pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan
pencatatan peristiwa-peristiwa hayat penting. Sebuah LSM di India,
misalnya, mampu membentuk kemitraan dan pelatihan dengan
dinas setempat yang terkait dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
hayat penting, sekaligus memberikan pelatihan dan pembinaan
bagi warga untuk melakukan kegiatan peningkatan kesadaran
dan pengumpulan data.21 Upaya itu turut memanfaatkan cara-cara
lokal yang sesuai untuk penyebaran informasi, seperti misalnya
melalui kelompok musik tetabuhan dan iklan televisi.
Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016
Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas
hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah
secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat
menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang
mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian
nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen
kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak
konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki
akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,
atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak
memiliki akta perkawinan.
Tingkat kesadaran akan manfaat mencatatkan peristiwa hayat penting dan kepemilikan identitas hukum di daerah penelitian masih cukup rendah, khususnya pencatatan kematian. Kesadaran masyarakat terkait proses resmi untuk
memperoleh dokumen kependudukan dan identitas hukum
juga rendah. Biasanya warga hanya mengurus akta kelahiran
dan akta kematian ketika dokumen tersebut diperlukan untuk
tindakan khusus, yang jarang terjadi. Hal itu khususnya terjadi
untuk akta kematian. Banyak keluarga cenderung menunggu
munculnya peristiwa hayat penting lainnya, seperti kelahiran
atau perpindahan domisili, untuk menghapus nama anggota
keluarganya yang telah meninggal dari KK. Akibatnya ada selang
waktu yang lama antara terjadinya kematian dan ditutupnya
data seseorang dalam basis data kependudukan. Kurang lebih
15 persen responden tidak tahu apakah akta kelahiran dapat
diperoleh tanpa akta perkawinan, dan hal ini menunjukkan
kurangnya pemahaman akan proses resmi. Saat pengumpulan
data, akta kelahiran dapat dibuat tanpa akta perkawinan orang
tua, namun akta kelahiran tersebut hanya mencantumkan
nama ibunya, dan hal ini merampas hak anak atas identitas
yang lengkap.ii
ii Peraturan Kementerian Dalam Negeri No. 9 Tahun 2016 belum lama mengubah kebijakan ini, memungkinkan dicantumkannya nama kedua orang tua dalam akta kelahiran selama mereka dapat menunjukkan KK yang menunjukkan mereka sudah menikah.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat 5
dilibatkan dalam proses perencanaan di tingkat desa melalui
musrenbangdes, kegiatan yang mempertemukan warga dan
pejabat desa untuk bersama-sama menyepakati prioritas kegiatan
dan pemanfaatan dana desa. Akan tetapi, saat pengumpulan data,
musrenbangdes di semua lokasi penelitian mengesampingkan
keterlibatan segmen warga terbesar. Tidak sampai sepertiga (30
persen) rumah tangga yang disurvei di tiap kecamatan menyatakan
ikut hadir dalam musrenbangdes pada tahun sebelumnya. Jumlah
yang kurang lebih sama (28 persen) tidak pernah menghadiri
pertemuan tersebut, dan lebih dari sepertiga (35 persen) belum
pernah mendengar tentang musrenbangdes.
Rekomendasi
Melibatkan masyarakat dalam upaya penguatan CRVS dapat memperbesar rasa memiliki mereka atas upaya tersebut dan meningkatkan keberlanjutannya. Pemerintah di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa harus mengoordinasikan usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas haknya memiliki dokumen kependudukan dan identitas hukum. Nilai penting dan kegunaan dokumen-dokumen juga harus dikomunikasikan dengan cara yang tepat dan dapat dengan mudah diakses.
• Pihakyangberwenangmelakukanpencatatansipilhendaknya
secara rutin membagikan informasi pada warga mengenai
persyaratan, proses, dan tantangan terkait pencatatan sipil.
Mereka hendaknya siap dengan jawaban atas pertanyaan
yang berkaitan dengan pencatatan sipil sebagai bagian dari
standar pelayanan minimum (SPM). Semua penerima manfaat
hendaknya memiliki peluang untuk memberi masukan terkait
layanan yang mereka peroleh (atau yang tidak mereka
peroleh), dan para penyedia layanan diharapkan dapat rutin
mengkaji dan menanggapi masukan tersebut.
• Prinsip dasar perencanaan dan evaluasi berbasis bukti
perlu ditegaskan di tiap tingkat administrasi pemerintahan.
Petugas pemerintah yang bertanggung jawab untuk
merumuskan kebijakan dan program harus dilatih dalam
menilai kualitas data dan menggunakan data secara efektif.
Hal ini sangat penting untuk meningkatkan akuntabilitas tata
kelola pemerintahan daerah. Sejalan dengan itu, kegunaan
statistik hayati sebaiknya dikomunikasikan pada masyarakat
dari mana data tersebut bersumber demi meningkatkan
transparansi dan dukungan masyarakat.
Dalam menanggapi rendahnya kesadaran ini, pegawai pemerintah di tiga lokasi lapangan meluncurkan sosialisasi agar warga masyarakat menjadi semakin paham akan pentingnya akta kelahiran, dan ini dilakukan melalui pegawai kecamatan, pengumuman di radio, dan penyebaran poster. Upaya-upaya ini cenderung berisi penyampaian informasi
tentang sudah dihapuskannya biaya kepengurusan akta kelahiran
di tingkat nasional. Saat pengumpulan data, Disdukcapil Pangkep
mengumumkan perihal pencatatan sipil melalui siaran radio
publik dan penyebaran brosur. Di Pekalongan, kader PKK dilatih
dan dimobilisasi untuk mengumpulkan data mengenai cakupan
kepemilikan akta kelahiran dan menyebarkan informasi mengenai
pentingnya kepemilikan akta. Beberapa pegawai kabupaten di
Arongan Lambalek, Aceh, menganggap metode tidak langsung
seperti ini tidak efektif. Menurut mereka, akan lebih efektif jika
penyebaran informasi memanfaatkan media budaya dan ekspresi
tradisi untuk menjangkau masyarakat. Penting juga untuk dicatat
bahwa tidak satu pun pemerintah daerah di lokasi penelitian yang
melakukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang nilai
penting pencatatan kematian.
Ketiga lokasi penelitian seluruhnya memiliki sistem informal untuk mendukung warga memperoleh dokumen kependudukan dan identitas hukum. Lebih dari setengah
(57 persen) akta kelahiran warga di seluruh sampel diperoleh
dari pegawai desa. Jarang sekali warga memperoleh akta
kelahiran secara langsung dari kantor kabupaten, yaitu hanya
16 persen; kebanyakan terjadi di daerah yang terletak dekat
ibukota kabupaten. Namun, tanpa dukungan dan pembinaan
dari pemerintah, terkadang para petugas desa dan perantara
terpaksa meminta biaya dalam jumlah besar sebagai pengganti
biaya transportasi.
Desa-desa di wilayah penelitian telah memulai proses pengumpulan dan pelaporan data peristiwa hayat penting; meski demikian, upaya tersebut belum dijalankan secara sistematis atau terus-menerus. Meskipun UU Desa memberi wewenang perencanaan bagi desa—yang mensyaratkan adanya sistem data yang andal untuk menyusun prioritas dan sasaran— kepala desa dan pegawainya tidak serta-merta memanfaatkan data yang sudah mereka miliki untuk keperluan tersebut. Disdukcapil di Aceh Barat adalah satu-
satunya wilayah dari tiga kabupaten penelitian yang memiliki rencana
melibatkan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) dalam
upaya meningkatkan kepemilikan dokumen kependudukan dan
identitas hukum. Berdasarkan UU Desa, masyarakat hendaknya
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat6
• Pemerintah desa harus mempromosikan musrenbang dan
mekanisme diskusi serupa lainnya di komunitas mereka
serta berupaya membuat wadah rembug dan pengambilan
keputus an warga ini lebih inklusif. Upaya pelibatan pejabat
daerah dan masyarakat setempat sebaiknya difasilitasi pe-
merintah melalui BPMD dan dengan melibatkan pendamping
desa secara terus-menerus. Pemantauan peristiwa penting
yang tepat juga sangat bergantung pada dukungan dan
kepemilikan dari warga dan pemimpinnya. Jika dilakukan
dengan tepat, perencanaan dan penganggaran di tingkat
desa bisa membuka kesempatan bagi petugas desa untuk
mendapatkan manfaat dari pencatatan dan pengumpulan
data serta bagi warga untuk mengusulkan perbaikan layanan.
• Kampanyepeningkatankesadaranharusdijalankanselama
program penguatan CRVS demi mencapai perubahan perilaku
yang lestari dalam pencatatan kelahiran dan kematian.
Saat perencanaan program penguatan CRVS, hendaknya dilakukan konsultasi dengan masyarakat mengenai ke-butuhan dan preferensi mereka terkait pencatatan sipil. Program-program tersebut sebaiknya dapat dijalankan dalam sistem administratif dan sistem kemasyarakatan yang sudah ada, alih-alih sebagai intervensi yang sifatnya paralel.
• Praktikbudayayangmembuatkegiatanpencatatanmenjadi
rumit hendaknya disadari dan dihormati. Penyedia layanan
dan pembuat kebijakan perlu mengajak masyarakat sasaran
untuk mengembangkan strategi yang mengakomodasi
pencatatan sipil dan pelaporan peristiwa hayat penting yang
lebih baik seturut praktik budaya yang ada.
• Melalui implementasi dana desa dan UU Desa, kegiatan
kajian dan perencanaan yang berjalan di masyarakat harus
inklusif dan terbuka bagi seluruh anggota masyarakat dan
diselenggarakan secara rutin. Anggota masyarakat dari
seluruh lapisan hendaknya diundang untuk ikut serta dalam
kegiatan ini.
• Strukturkepemimpinandanpembagianwilayahadministrasi
sebaiknya juga dimasukkan dalam rencana penguatan
sistem CRVS. Hal ini dapat mencakup RK, RW, dasawisma,
dan mukim (unit semi-informal antara kecamatan dan desa
di Aceh), juga PKK dan kelompok informal lainnya.
• Organisasi Masyarakat Sipil dan LSM yang memiliki
jaringan kuat di masyarakat hendaknya menjadi katalis
untuk memperkuat keterlibatan pemerintah dan masyarakat
melalui advokasi, fasilitasi pelatihan dan perencanaan, serta
dukungan untuk pelaksanaan kegiatan masyarakat.
• Masyarakat sipil dan organisasi-organisasi relawan dapat
membantu membangun dan menemukenali kebutuhan
pencatatan sipil, melakukan koordinasi kegiatan pencatatan,
dan memantau peristiwa-peristiwa hayat penting untuk
meningkatkan pelaporan. Jika warga bersedia menjadi
relawan dalam kegiatan-kegiatan tersebut, mereka harus
mendapatkan pelatihan terlebih dahulu.
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat 7
Materi Rujukan
1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan].
2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013).Every child’s
birth right: Inequities and trends in birth registration. New
York: United Nations Children’s Fund.
3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,
Pangaribuan, L., ... Lopez, A. D. (2010). Mortality in Central
Java: Results from the Indonesian mortality registration
system strengthening project. BMC research notes, 3(1),
325.
4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,
newborn and child health: Understanding key progress
indicators. Geneva: WHO Document Production Services.
5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as
appropriate for health mapping in a low resource setting:
A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.
6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat
Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,
legal identity, and the post-2015 agenda. Center for Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.
8 Phillips, D. E., AbouZahr, C., Lopez, A. D., Mikkelsen, L., de
Savigny, D., Lozano, R., ... Setel, P. W. (2015). Are well
functioning civil registration and vital statistics systems
associated with better health outcomes?. The Lancet, 386(10001), 1386–1394.
9 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing
millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,
Indonesia: DFAT.
10 Jackson, M., Duff, P., Kusumanigrum, S., & Stark, L. (2014).
Thriving beyond survival: Understanding utilization of
perinatal health services as predictors of birth registration:
A cross-sectional study. BMC international health and human rights, 14(1), 306.
11 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan
Presiden No 2 Tahun 2015.
12 Fagernas, S., & Odame, J. (2013). Birth registration and access
to health care: An assessment of Ghana’s campaign
success. Bulletin of the World Health Organization.
13 Mikkelsen, L. (2012). Improving civil registration and vital
statistics systems: Lessons learnt from the application
of health information tools in Asia and the Pacific. Health
Information Systems Knowledge Hub’s Working Paper
Series.
14 Abouzahr, C., Azimi, S. Y., Bersales, L. G. S., Chandramouli,
C., Hufana, L., Khan, K., . . . Sauyekenova, L. (2014).
Strengthening civil registration and vital statistics in the
Asia-Pacific region: Learning from country experiences.
Asia-Pacific Population Journal, 29 (1) 39–73.
15 Mony, P., Sankar, K., Thomas, T., & Vaz, M. (2011). Strengthening
of local vital events registration: Lessons learnt from a
voluntary sector initiative in a district in southern India.
Bulletin of the World Health Organization, 89(5), 379–384.
16 Munos MK, Koffi AK, Sangho H, Traoré MG, Diakité M, et al.
(2015). Strengthening community networks for vital event
reporting: Community-based reporting of vital events in
rural Mali. PLoS ONE 10(11): e0132164.
17 Fagernäs, S., & Odame, J. (2013). Birth registration and access
to health care: An assessment of Ghana’s campaign
success. Bulletin of the World Health Organization, 91(6),
459–464.
18 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and policy coordination the case of birth registration in Ghana. Office
of Research Working Paper, UNICEF
Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat5
KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]
Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)
Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,
Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182
www.puskapa.org
Catatan Kebijakan Juli 2016
Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat8
19 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing
discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.
20 Qomariyah, Siti Nurul, et al. “An option for measuring maternal
mortality in developing countries: A survey using
community informants.” BMC pregnancy and childbirth 10.1 (2010): 1.
21 Mony, P., Sankar, K., Thomas, T., & Vaz, M. (2011). Strengthening
of local vital events registration: Lessons learnt from a
voluntary sector initiative in a district in southern India.
Bulletin of the World Health Organization Bull. , 89(5),
379-384. doi:10.2471/blt.10.083972
Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).
Penulis:
Ni Luh Putu Maitra Agastya, Rahmadi Usman, Harriz Jati, Cyril Bennouna, Clara Siagian, dan Santi Kusumaningrum.
Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan
daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih
berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian
PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten
Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan
pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.
Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap
pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai
upaya validasi atas temuan yang diperoleh.
Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222
responden.
Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.