Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan...

157

Transcript of Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan...

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Merumuskan Skema Penyediaan Jaminan Pelayanan Kesehatan

yang Sesuai untuk Daerah

Penulis: Ari Nurman

Ana Westy Martiani(Divisi Reformasi Kebijakan Publik)

Perkumpulan Inisiatif

Desember 2008

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

MerUMUSKAn SKeMA PenyeDiAAn JAMinAn PelAyAnAn KeSehAtAn yAng SeSUAi UntUK DAerAh

Penulis: ari nurman dan ana Westy Martiani, Perkumpulan inisiatif, 2008, xviii + 138 ;15x23cm

isBn: 978-979-25-2105-4

Editor: alamsyah, diding sakriCover dan Reka Letak: Prawoto setra

Cetakan pertama, Desember 2008

Diterbitkan oleh:Perkumpulan inisiatifJl. guntursari iV no. 16, Bandung 40264telp./fax. 022-7309987email: [email protected]: www.inisiatif.org

Didukung oleh:Ford Foundation

iv

Sambutan gubernur Jawa Barat

v

Begitu ada kampanye Pilkada provinsi maupun kabupaten/kota, hampir dipastikan salah satu atau bahkan semua kandidat akan menjanjikan “kesehatan gratis bagi semua”.

Begitu terpilih salah satu di antara kandidat, setelah itu pula realisasinya berubah menjadi “kesehatan gratis bagi keluarga miskin”. Jadi sebenarnya tidak ada hal baru yang dilakukan para kandidat terpilih, sebab jaminan pelayanan dasar bagi keluarga miskin sudah ada sejak bergulirnya program Jaring Pengaman sosial Bidang kesehatan pada tahun 1998. Pertanyaannya mengapa janji-janji “kesehatan gratis bagi semua” tidak direalisasikan?

tentu saja ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini, namun secara umum mari “kita sangka saja” karena ketidakseriusan kandidat dengan janjinya atau ketidakmampuan untuk memahami “berbagai perkara teknis” sebagai cara untuk mewujudkan gagasan itu. Buku yang ada di tangan anda ini, mencoba memberikan jawaban atas “sebagian” persoalan konseptual dan teknis dari sebuah gagasan mewujudkan “kesehatan gratis bagi semua”. termasuk tentu saja pembahasan mengenai apa pengertian “gratis” yang dimaksud.

secara umum, buku ini mencoba menyajikan penjelasan dan beberapa perdebatan mengenai mengapa penyediaan akses dan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian lebih, mengapa pula harus disediakan secara universal, seberapa jauh peran pemerintah daerah, dan apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil.

Pada bagian pertama -from knowledge-, buku ini memperkenalkan konteks dimana kemiskinan dan kerentanan sangat terkait dengan kesehatan. lalu akan dipaparkan juga bagaimana, secara teori, kebijakan publik seharusnya merespon hal tersebut. Berikutnya,

Kata Pengantar

vi

akan diperlihatkan juga bagaimana kebijakan publik di indonesia merespon hal tersebut. Bagian pertama ini diakhiri dengan kesimpulan mengenai bagaimana seharusnya peran daerah dalam penyediaan jaminan layanan kesehatan bagi warga.

kemudian pada bagian kedua -to action-, buku ini mengupas bagaimana pemerintah daerah bisa menyediakan pelayanan kesehatan yang bisa diakses oleh masyarakat miskin. dengan kata lain, bagaimana pemerintah daerah bisa menjamin akses warga pada pelayanan kesehatan dari hambatan biaya pelayanan yang harus mereka tanggung. di sini akan diperkenalkan beberapa inovasi yang bisa, telah dilakukan, dan sedang diimplementasikan oleh beberapa daerah di indonesia yang dianggap berhasil menyediakan akses dan pelayanan kesehatan secara universal. Manfaat utamanya, daerah-daerah tersebut berhasil menghilangkan hambatan ekonomi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan.

di akhir bagian kedua, buku ini akan bercerita mengenai advokasi jaminan pelayanan kesehatan universal di kabupaten Bandung. Cerita ini agak berbeda dengan daerah lain yang umumnya reformasi dalam pelayanan kesehatan diinisiasi oleh kepala daerah. di kabupaten Bandung, inisiatif penyediaan jaminan pelayanan kesehatan diinisiasi oleh masyarakat sipil. gagasan, alasan-alasan, tahapan yang ditempuh, perdebatan, proses dan dinamika serta pengalamannya akan memberikan gambaran mengenai berat dan panjangnya perjuangan mewujudkan jaminan pelayanan kesehatan secara universal.

Buku ini sedianya merupakan buku pertama dari tiga buku seri advokasi universalisasi pelayanan kesehatan. Buku ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan inspirasi bagi berbagai

vii

pemangku kepentingan, khususnya pemerintah daerah dan para pelaku advokasi, yang ingin dan sedang berusaha meningkatkan derajat kesehatan warganya.

sementara buku kedua nanti, insya allah, sedianya akan berisi hal yang lebih fokus dan sifatnya lebih teknis, yaitu bagaimana mempersiapkan sistem, bagaimana menghitung besaran anggaran (social budgeting), dan lain-lain. Buku ketiga, sedianya akan berisi bagaimana cara melakukan evaluasi proses serta melakukan penyesuaian pada sistem yang sedang dibangun.

Buku ini dapat ditulis dan diterbitkan karena adanya dukungan dari berbagai pihak. Ford Foundation memberikan dukungan dana yang memungkinkan semua proses riset dan advokasi dapat dilakukan. kelompok masyarakat yang tergabung dalam Forum diskusi anggaran (Fda) yang memiliki semangat untuk menjadi pionir dalam gerakan masyarakat yang menuntut pemenuhan hak dasarnya dari negara. serta berbagai pihak yang seiring-sejalan dengan kelompok masyarakat di kabupaten Bandung yang percaya bahwa perubahan sangat mungkin dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat.

akhirnya penerbit mengucapkan selamat membaca dan lebih penting lagi, selamat mencoba mengadvokasikannya menjadi kebijakan di wilayah kerja masing-masing.

Bandung, desember 2008Perkumpulan iniSiAtiF

viii

sambutan gubernur Jawa Barat ~ v kata Pengantar ~ vidaftar isi ~ ixdaftar tabel ~ xdaftar Box ~ xidaftar gambar ~ xi

Prologselangkah kecil Menuju Jaminan kesehatan untuk semua ~ xii

___________________________________________________________

Bagian 1 - FROM KNOWLEDGE… ~ 2Bab 1- Kemiskinan dan Kesehatan ~ 3kasus-kasus ~ 4kemiskinan dan kerentanan ~ 7Mengapa kesehatan ~ 10

Bab 2 - Penyediaan Layanan Publik Kesehatan ~ 13Pelayanan universal dan akses universal ~ 13Stakeholder dalam sistem Pelayanan kesehatan ~ 15

Bab 3 - Jaminan Layanan Kesehatan ~ 21Jaminan sosial ~ 21Peran stakeholder dalam Penyediaan Jaminan Pelayanan kesehatan ~ 23Pendekatan Penyediaan Jaminan Pelayanan kesehatan ~ 24System of Cover di indonesia: normatif ~ 31System of Cover di indonesia: Praktik ~ 42

Bab 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan Kesehatan di Daerah ~ 49Peluang daerah dalam Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan ~ 51

Menuju Universal Access: Penyediaan Jaminan dengan Pendekatan universal ~ 54

Daftar isi

ix

alternatif Pembiayaan Penyediaan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah ~ 55

Metode-Metode Pembiayaan Jaminan Pelayanan kesehatan ~ 55

Peran Stakeholder dan alternatif Bentuk Pembiayaan ~ 57

Menuju Universal Service ~ 63

___________________________________________________________

Bagian 2…TO ACTION ~ 66Bab 5 - Kisah Sukses Inovasi Beberapa Daerah ~ 67kabupaten sumedang, Provinsi Jawa Barat ~ 67kabupaten sleman, Provinsi daerah istimewa yogyakarta ~ 70kota Banjar, Provinsi Jawa Barat ~ 74kabupaten sukoharjo, Provinsi Jawa tengah ~ 77kabupaten Jembrana, Provinsi Bali ~ 80kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa tengah ~ 82kota yogyakarta, Provinsi daerah istimewa yogyakarta ~ 86

Bab 6 - Pengalaman Advokasi di Kabupaten Bandung ~ 89Starting Point ~ 89kondisi awal kabupaten Bandung: kondisi kesehatan ~ 91tahapan Penyusunan naskah akademik ~ 96

a. Menganalisis Permasalahan (Membaca gejala) ~ 96B. Mengidentifikasi kapasitas ~ 104C. Menyusun strategi dan rencana tindak ~ 105

___________________________________________________________ Penutup ~ 127The End of The Beginning is a New Beginning ~ 127

Lampiran - Bagan rencana tahapan kerja Penyusunan naskah akademik ~ 128

Daftar Pustaka ~ 129

Profil Perkumpulan Inisiatif dan Penulis ~ 137

___________________________________________________________

daFtar taBeltabel 1. kasus demam Berdarah di indonesia tahun 1999-2003 ~ 6tabel 2. Peran Masing-masing Stakeholders dalam

sektor kesehatan ~ 19tabel 3. Pro-kontra Pendekatan dalam Penyediaan Pelayanan ~ 26

x

tabel 4. Contoh Perbandingan tarif dan Premi Pelayanan kesehatan dalam skema JPkM tahun 2000 ~ 43

tabel 5. Peran Stakeholders dan alternatif Bentuk Jaminan Pelayanan kesehatan ~ 59

tabel 6. keluarga Miskin di kabupaten Bandung (2007) ~ 103tabel 7. aspek Pertimbangan Pemilihan Pendekatan ~ 105tabel 8. kelebihan dan kekurangan Masing-masing alternatif ~ 113tabel 9. Jumlah anggaran yang diperlukan ~ 117

___________________________________________________________

daFtar BoxBox 1. angka kemiskinan dan Mass(ive) Entitlement Failure

di indonesia ~ 9Box 2. seberapa Besar komitmen untuk Meningkatkan kesehatan

Masyarakat? ~ 27Box 3. Bagaimana tingkat rasa saling Percaya di Masyarakat? ~ 28Box 4. Bagaimana ketersediaan Biaya? ~ 29Box 5. siapkah institusi Pemerintah di sektor kesehatan? ~ 30Box 6. Menciptakan Permintaan (Creating Demand) atau Melayani

Permintaan (Serving Demand) ~ 30Box 7. desain advokasi kesehatan gratis

di kabupaten Bandung ~ 90Box 8. tahapan Penyusunan naskah akademik ~ 97Box 9. Menentukan Fokus layanan Berdasarkan Jenis Penyakit ~ 99Box 10. Menghitung Biaya Pelayanan Berdasarkan Biaya

Pelayanan Penyakit ~ 102Box 11. analisis Potensi Penghematan anggaran dinas kesehatan

kabupaten Bandung ~ 105

___________________________________________________________

daFtar gaMBargambar 1. skema Jaminan kesehatan indonesia ~ 43gambar 2. Peran Stakeholders dalam Pembiayaan ~ 59gambar 3. Penelusuran kesenjangan Pelayanan kesehatan

di kabupaten Bandung ~ 95gambar 4. skema Jaminan kesehatan yang ditawarkan ~ 126

___________________________________________________________

xi

Prolog

Selangkah Kecil Menuju Jaminan Kesehatan untuk Semua

setiap tahun selalu ada momentum sejarah yang penting untuk dikenang. Pada tahun 2008 ini, 100 tahun kebangkitan nasional, 10 windu sumpah Pemuda, dan 10 tahun reformasi

adalah 3 momentum yang baik untuk merefleksikan tentang betapa besarnya Bangsa indonesia sekaligus betapa banyaknya tantangan kebangsaan yang sedang dihadapinya. indonesia dengan jumlah penduduk 234,693,997 jiwa (2007) adalah negara terbesar di dunia setelah Cina, india, dan amerika1). namun sayang sekali, pada tahun 2000, 38.7 juta jiwa di antaranya adalah penduduk miskin. kondisi ini tidak banyak berubah, yakni pada tahun 2007 penduduk miskin di indonesia berjumlah 37.1 juta jiwa2). indikator lain yakni indeks Pembangunan Manusia menunjukkan bahwa indonesia pada tahun 2005, menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan indeks 0.697, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia (urutan 61/0.796), thailand (urutan 73/0.778), Philipina (urutan 84/0.758) dan Vietnam (urutan 108/0.704)3).

Jelas kiranya, indonesia adalah bangsa besar yang sedang menghadapi tantangan besar bencana kemanusiaan yaitu kemiskinan. Bahkan pemenang nobel Perdamaian tahun 2007, dr. Muhammad yunus dari Bangladesh, dalam pidato penerimaan nobel menyampaikan pesan bahwa di zaman sekarang kemiskinan

� http://www.aneki.com/populated.html.� Lihat hal �5 buku ini.� http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia#Indonesia

xii

bahkan merupakan ancaman nyata terhadap perdamaian dunia. saat ini, 94% pendapatan dunia dinikmati oleh 40% penduduk dunia sementara 60% penduduk dunia sisanya hidup hanya dengan 6% pendapatan dunia. separuh penduduk dunia hidup hanya dengan us$2 sehari. lebih dari satu miliar orang hidup dengan kurang dari us$1 sehari4). dunia dan utamanya indonesia saat ini dihadapkan pada peperangan nyata untuk menjadikan kemiskinan sebagai sejarah masa lalu (make poverty history).

Bagaimana cara memerangi kemiskinan? Berbagai konsep diajukan oleh para pakar. United Nations Department for Economic and Social Affairs (UNDESA) pada Juni 2007 merilis sebuah Policy Notes yang direkomendasikan untuk dirujuk oleh negara anggotanya5). Policy Notes yang berfokus pada pengutamaan kebijakan sosial dalam pembangunan ini memberikan evaluasi bahwa sejak tahun 1982-1990-an kebijakan sosial terpinggirkan karena kuatnya mainstream yang menentang intervensi negara di satu sisi dan lebih menyukai peneguhan peran pasar dalam pembangunan ekonomi di sisi lain. hampir dua dekade kemudian, terbukti bahwa kebijakan yang menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi pembangunan sosial, hanyalah menciptakan ketimpangan yang semakin jauh. akhirnya Policy Notes yang disusun oleh para pakar pembangunan dunia tersebut, mengusulkan agar setiap anggota PBB segera menerapkan kebijakan pembangunan sosial yang seimbang dengan kebijakan pembangunan ekonomi.

� DR. Mohammad Yunus. Bank Kaum Miskin: Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan. September, �007.

5 United Nations Department for Economic and Social Affair (UNDESA). Social Policy. �007.

xiii

kebijakan sosial yang dimaksud dalam Policy Notes tersebut adalah suatu instrumen yang diterapkan pemerintah untuk mengatur dan melengkapi keterbatasan fungsi mekanisme pasar dan struktur sosial di masyarakat. kebijakan sosial antara lain berupa instrumen intervensi pemerintah terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial. dengan kata lain pembangunan ekonomi yang notabene lebih diakselerasi oleh mekanisme pasar, harus disertai dengan kebijakan negara dalam sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial. Jangan biarkan keempat sektor ini diserahkan (sepenuhnya) kepada mekanisme pasar.

Menarik memang mengamati kesadaran baru internasional tentang pentingnya peran negara mengoreksi pasar. Bahkan kita baru saja menyaksikan pemilu bersejarah di usa yang dimenangkan oleh Barack obama dengan kampanye antara lain gagasan untuk merevitalisasi peran negara dalam empat sektor di atas, plus sektor energi dan lingkungan. di usa misalnya, era kembali pada peran negara disinyalir akan mengakhiri era Reaganomics yang disebut sebagai era small-government dan deregulasi, yang intinya memanja dan memuja pasar6).

Bagaimana dengan indonesia? Pada dasarnya indonesia mengalami fase yang sama dengan cerita di atas, yaitu lebih mempercayai bahwa pembangunan ekonomi sebagai solusi utama dalam penanggulangan kemiskinan. digenjotlah kebijakan pertumbuhan ekonomi dengan harapan ada tetesan sedikit demi sedikit bagi kelompok miskin dan marjinal. kebijakan sosial hanyalah pelengkap penderita. Bisa diibaratkan bahwa kebijakan ekonomi membuka peluang bagi setiap orang untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan mengakses pasar. Baik itu pendidikan swasta, layanan kesehatan swasta, dan lain-lain. sayang sekali akses pasar semakin sulit dijangkau karena kendala moneter maupun kendala informasi, dan berbagai sebab lainnya. Muncullah ungkapan sinis yang mewakili kenyataan saat itu, dan masih relevan hingga sekarang, seperti: “orang miskin dilarang sakit” atau “orang miskin dilarang sekolah”. ini menggambarkan betapa mahalnya layanan kesehatan dan pendidikan di sektor swasta mengakibatkan pasar menjadi kejam, si miskin termarjinalkan.

� Time. Vol. �7�. No. �9. �7th November �008.

xiv

situasi di atas memicu reaksi, bukannya antisipasi, dari pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan katup pengaman bagi mereka yang tersingkir dari mekanisme pasar yang kejam. tidak heran kita mengenal proyek Jaring Pengaman sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. seperti yang telah kita duga, jalan ceritanya jelas, proyek-proyek itu menguap tanpa bekas. angka kemiskinan bukannya berkurang malah meningkat atau setidaknya stagnan dari tahun 2000 ke 2007. di sisi lain, indonesia tidak pernah memiliki kerangka institusional dalam penanggulangan kemiskinan dan kebijakan sosial lainnya, kecuali tentu saja pada tataran normatif konstitusi uud 1945.

Pada awal tahun 2000-an mulai ada kesadaran untuk membuat kerangka institusional yang kuat dalam penanggulangan kemiskinan. Maka muncullah beberapa peraturan perundangan yang mengarah pada sistem dan mekanisme tanggung jawab negara yang menyeluruh terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Maka akhirnya indonesia memiliki peraturan perundangan untuk keempat sektor sosial yang telah disinggung dalam paragraf di atas. sektor ketenagakerjaan diatur oleh uu no. 13/2003, ada pula uu no. 20/2003 tentang sistem Pendidikan nasional, uu no. 23/1992 tentang kesehatan, dan terakhir adalah uu no. 40/2004 tentang sistem Jaminan sosial nasional (sJsn) yang berisi jaminan kesehatan; jaminan kecelakaan kerja; jaminan hari tua; jaminan pensiun; dan jaminan kematian. Bahkan indonesia mulai tahun 2005 memiliki dokumen strategi nasional Penanggulangan kemiskinan (snPk) yang diturunkan juga pada dokumen strategi Penanggulangan kemiskinan daerah (sPkd).

namun sayang lagi-lagi masalahnya ada pada implementasi. Misalnya, amanat uu no. 23/2003 untuk alokasi minimal 20% aPBn/aPBd untuk sektor pendidikan baru diterapkan lima tahun kemudian yaitu pada aPBn 2008. Bahkan sampai tahun 2008, empat tahun setelah diundangkan, uu sJsn belum memiliki Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan petunjuk pelaksanaannya. untuk jaminan kesehatan misalnya, Pemerintah hanya menjalankan program jaminan pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin. secara politis hal ini nampak popular namun di lapangan terjadi banyak kerancuan7). Bahkan evaluasi terhadap program-program yang sifatnya tertentu targetnya seperti itu

7 Kartono Mohammad. Sistem Jaminan Nyaris Terlupakan. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/0�/opini/�795���.htm.

xv

(residual-targeted approach), terbukti menimbulkan banyak masalah daripada maslahat.

sejarah penanggulangan kemiskinan bukanlah sejarah pendek. Berbagai pendekatan telah dicoba, pada akhirnya dijelaskan bahwa pendekatan pemenuhan hak warga oleh negara, merupakan pendekatan mutakhir dalam penanggulangan kemiskinan8). dalam buku yang sedang anda baca ini, pemenuhan hak atas hidup sehat dan khususnya jaminan pelayanan kesehatan dinilai dapat meretas jalan menuju kebebasan dari kemiskinan.

struktur persoalan kemiskinan tentu saja kompleks. Buku ini mencoba mengurai kompleksitas ini dengan berfokus pada hubungan antara kemiskinan dengan kesehatan, hasil diagnosis permasalahan, dan disertai dengan rekomendasi alternatif kebijakan sosial dalam kasus pelayanan kesehatan. struktur persoalan layanan kesehatan di indonesia, secara sederhana dapat digambaran berikut ini.

ada tiga pihak yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pertama adalah pihak swasta yang berorientasi profit, sehingga memiliki adagium “jika ingin memperoleh pelayanan yang baik maka harus mau dan mampu membayar mahal”. Pelayanan pihak swasta jelas memberikan barrier to access kepada masyarakat kebanyakan, dalam hal ini adalah kendala moneter. Pihak kedua adalah pelayanan oleh struktur sosial fungsional yang bekerja di komunitas-komunitas tertentu. adagiumnya pelayanan murni, tanpa tendensi profit. namun sayang ada keterbatasan kapasitas, yakni praktik-praktik pelayanan komunitas hanya terjadi dalam hitungan kasus yang sangat sedikit.

Pihak yang ketiga adalah pemerintah. Praktik yang dikembangkan pemerintah ternyata memiliki jangkauan yang sangat rendah (persoalan coverage), di banyak tempat terpencil juga ada persoalan aksesibilitas fisik (karena remote area), secara umum memiliki persoalan kualitas layanan, dan lebih parah lagi adalah banyak daerah yang berperilaku swasta dengan menjadikan layanan kesehatan sebagai sumber pendapatan asli daerah melalui pengenaan biaya terhadap setiap jenis layanan yang diberikan.

8 Perkumpulan Inisiatif. Kebijakan Pro-poor: Dari Konsep ke Tindakan. �andung,�andung, �008.

xvi

dari situasi ini, tepat kiranya jika sudah waktunya pemerintah mereformasi sistem layanan kesehatan dengan paradigma kebijakan sosial yang dikonsepkan dalam Policy Notes oleh undesa dan sebenarnya telah lebih dahulu ada pada uu no. 40/2004 tentang sJsn.

Mengapa indonesia masih menerapkan pola residual dalam sistem jaminan pelayanan kesehatan? atau mengapa amanat uu no. 40/2004 sJsn belum diterapkan? kartono Mohammad (2007) mensinyalir ada 3 (tiga) hal yang menghambat pelaksanaan uu sJsn. Pertama, pemerintah pusat (Presiden) yang tidak kunjung mengeluarkan peraturan pelaksanaan. Kedua, pemerintah daerah yang merasa peluang untuk menghimpun dana lokal akan terhalangi. dan ketiga, pengelola asuransi kesehatan, baik swasta maupun BuMn, yang khawatir wewenangnya akan terbatasi9). untuk factor pertama dan ketiga, nampaknya argumentasi kartono cukup kuat, tidak demikian dengan faktor kedua. sebab sejak tahun 2003 telah dikeluarkan kepMenkes ri no. 004/Menkes/sk/i/2003 tentang kebijakan dan strategi desentralisasi Bidang kesehatan yang mana dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa tujuan desentralisasi bidang kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas nasional dalam mencapai Indonesia Sehat 2010.

salah satu bagian dari buku ini secara khusus membahas mengenai peluang yang diberikan negara melalui pemerintah pusat kepada daerah untuk menjalankan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerahnya, yang antara lain ditegaskan oleh kepMenkes ri di atas. dasar hukum yang lebih kuat tentunya desain konsep desentralisasi yang tercantum dalam uu no. 32/2004 tentang Pemerintahan daerah dan turunannya yaitu PP no. 38 tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah kabupaten/kota. semua dasar hukum itu menjadi dasar yang kuat bagi daerah, sebagai bagian dari negara, untuk menjalankan sistem jaminan pelayanan kesehatan.

9 Kartono Mohamad. Sistem Jaminan Sosial Nasional dan “Welfare State”. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/0�/opini/�795���.htm.

xvii

apakah kemudian daerah tergerak untuk menjalankan tugas mulia ini? kenyataan berbicara lain, salah satu pejabat di sebuah daerah pernah berpendapat kepada penulis bahwa “Mengapa daerah harus mengembangkan sistem jaminan pelayanan kesehatan universal kalau pemerintah pusat saja hanya mengembangkan sistem jaminan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin?”. Begitulah kira-kira pendapat yang boleh jadi mencerminkan sikap sebagian besar daerah. Beruntung, di antara ratusan kabupaten/kota di indonesia telah ada beberapa daerah yang berpendapat dan bersikap lain. sikap daerah-daerah tersebut mungkin dapat digambarkan dengan kalimat “mengapa harus menunggu pemerintah pusat kalau daerah mau mengembangkan sendiri sistem jaminan pelayanan kesehatan universal?”. Beberapa daerah tersebut di antaranya adalah kota Banjar, kabupaten Jembrana, kabupaten sukoharjo, kabupaten sumedang, kabupaten Purbalingga, kota yogyakarta dan kabupaten sleman. Masing-masing daerah ini memiliki variasi teknis mengenai langkah menuju sistem jaminan kesehatan universal, bahkan beberapa di antaranya sampai tulisan ini dibuat, belum mewujudkan sistem jaminan universal tadi. namun semuanya sama dalam hal kesadaran bahwa sistem jaminan universal adalah sistem yang harus dipromosikan dan dikembangkan oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah.

Bagaimana persisnya langkah yang harus diambil daerah untuk mewujudkan itu dan apa variasi teknisnya? Buku ini secara gamblang mengajak anda untuk menjawab pertanyaan di atas dengan tuntas. oleh karena itu, tidak berpanjang lebar lagi, kami persilakan anda untuk membaca dan kemudian menerapkannya di daerah masing-masing. selamat memulai langkah kecil untuk mewujudkan jaminan pelayanan kesehatan bagi semua warga negara. sebuah langkah kecil memerangi kemiskinan sebagai ancaman abad ini. Wassalam.

Diding SakriPerkumpulan inisiatiFketua Badan Pelaksana

xviii

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 1 - kemiskinan dan kesehatan

AAda berbagai alasan untuk menuntut adanya penyediaan jaminan pelayanan kesehatan secara

universal oleh Daerah. Baik secara kontekstual, akademis, maupun secara normatif.

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Bagian 1

FROM KNOWLEDGE…

FoTo

SET

RA

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 1 - kemiskinan dan kesehatan

indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat di dunia setelah China, india dan amerika serikat. Jumlah penduduk yang banyak tersebut menciptakan tantangan

tersendiri bagi Pemerintah indonesia untuk menyediakan pelayanan publik secara baik. termasuk juga pelayanan kesehatan bagi seluruh warga. hal ini terlihat bahwa sejak awal pembangunan, kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pembukaan konstitusi negara ini1).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. sejak tahun 1950an, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tujuannya adalah menyediakan pelayanan publik kesehatan sebaik-baiknya bagi masyarakat. Pentingnya kesehatan ini semakin ditekankan pada perubahan kedua uud 1945, pasal 28a, 28B, 28C, 28h dan 34. khususnya pada pasal 28h ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

� Tujuan nasional �angsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD �9�5 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Bab 1

Kemiskinan dan Kesehatan

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Pada pelaksanaannya, sejak otonomi daerah diberlakukan di tahun 1999 pemerintah pusat telah mendesentralisasikan berbagai urusan pemerintahan pada daerah provinsi dan kabupaten/kota. Melalui undang-undang otonomi daerah, urusan kesehatan dan penyediaan layanannya menjadi salah satu urusan yang juga didesentralisasikan.

Kasus-Kasusdi indonesia, ada berbagai kesulitan yang dihadapi untuk menyediakan pelayanan kesehatan. Mulai dari kondisi geografis daerah yang tidak mendukung, sebaran penduduk yang tidak merata, kurangnya pembiayaan, kurangnya tenaga kesehatan, korupsi, penyalahgunaan, dan lain-lain. hampir 10 tahun setelah desentralisasi dari pemerintah pusat, sepertinya sedikit sekali tanda-tanda perbaikan kondisi penyediaan layanan kesehatan dan kondisi kesehatan warga menjadi lebih baik2).

indikasinya dapat dengan mudah kita lihat dari liputan media. Banyak sekali berita mengenai kasus-kasus yang terkait dengan pelayanan kesehatan. kutipan-kutipan berikut bisa memberikan gambarannya.

Di tahun 2005, seorang bayi yang lahir prematur, Muhammad Zulfikri, dengan bobot hanya 1,4 kilogram dan menderita keracunan bilirubin dalam darahnya, telah ditolak oleh satu puskesmas dan enam rumah sakit yang berbeda karena kemiskinan yang diderita orang tuanya. sebelum akhirnya, sebuah rumah sakit akhirnya menerima bayi yang sekarat tersebut dan menyelamatkan nyawanya3). kasus lain penolakan pasien miskin oleh rumah sakit dilaporkan dalam website dPrd Jakarta pada tanggal 21 april 20064).

2 Namun ternyata beberapa daerah berhasil mengatasi berbagai hambatan tersebut dan mampu menyediakan akses dan pelayanan kesehatan bagi warganya dengan baik. Misalnya Kabupaten Jembrana, Kabupaten Sleman, Kabupaten Sukoharjo, Kota �anjar, Kabupaten Musi �anyuasin, dan beberapa kabupaten lain. Sehingga berhasil meningkatkan derajat kesehatan warganya.

� RS Tolak �ayi Dikecam - �7/07/�005, 09:�0 WI� - KoMPAS Cyber Media, www.kompas.com/metro/news/0507/�7/09���7.htm

� Kasus ini dilaporkan oleh Ahmad Husin Alaydrus, anggota komisi E DPRD Jakarta. Dia mengatakan bahwa pihak rumah sakit mengaku bahwa mereka menolak pasien miskin karena semua ruang perawatan telah penuh. Namun setelah dia mengecek langsung, ternyata bahwa banyak ruangan di rumah sakit yang tidak terpakai.

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 1 - kemiskinan dan kesehatan

departemen kesehatan melaporkan bahwa di tahun 2001, 47% anak Indonesia kelompok umur 0-5 tahun mengalami anemia. Penderita anemia pada anak-anak usia sekolah mencapai 26,5%; wanita usia subur: 40%. lebih jauh lagi, dalam periode 2001-2003, setiap tahun 2 juta wanita hamil menderita anemia (nutrisi), 350.000 dari 4 juta bayi yang lahir mempunyai berat badan kurang, 5 juta dari 18 juta anak di bawah usia 5 tahun menderita kekurangan gizi, 8,1 juta dari 31 juta anak dan 3,5 dari 10 juta remaja putri dan wanita usia subur menderita anemia (kekurangan zat besi), 11 juta anak mempunyai tinggi badan yang kurang dari standar, dan 30 juta dari 118 juga pria dan wanita pada usia produktif kekurangan energi5).

dalam periode 2002-2003, angka kematian bayi mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup, sementara angka kematian di bawah 5 tahun 46 per 1000 bayi; angka kematian ibu melahirkan 307 per 100.000. angka harapa hidup di tahun 2000 di bawah 70 tahun, atau tepatnya hanya mencapai 67,97 tahun6).

Beberapa angka lainnya yaitu bahwa Rubeola (Measles atau Campak) setiap tahunnya membunuh lebih dari 30.000 anak di Indonesia7). diabetes, berdasarkan survey yang dilakukan oleh badan kesehatan dunia (World health organization/Who) menyebutkan bahwa indonesia menduduki rangking ke empat dunia dalam angka kejadian diabetes setelah india, China dan amerika serikat, dengan angka prevalensi mencapai 8,6% dari populasi8).

5 Anemia Gizi Anak Salah Satu Masalah Gizi Utama di Indonesia (5 agus �005), Departemen Kesehatan, Indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle (diakses �/�7/�007 �:�0 PM), Gizi Tentukan Kualitas Hidup (�9 Jan �007), Departemen Kesehatan, Indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle (Diakses �/�7/�007 �:�0 PM)

� Sehat Itu Gaya Hidup (�� Nov �00�), Departemen Kesehatan, Indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle (Diakses �/�7/�007 �:�9 PM)

7 �0.000 Anak-Anak Meninggal Setiap Tahun Akibat Campak (�� Feb �007), Departemen Kesehatan, Indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle (Diakses �/�7/�007 �:�� PM)

8 Jumlah Penderita Diabetes Indonesia Ranking ke-� di Dunia (05 Sep �005), Departemen Kesehatan, Indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle (Diakses �/�7/�007 �:�7 PM)

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

kasus lainnya adalah tingginya angka kejadian demam berdarah sebagaimana dilaporkan oleh departemen kesehatan9). data di bawah menunjukan bahwa angka kejadiannya meningkat lebih dari dua kali lipat dalam waktu lima tahun.

Tabel 1. Kasus Demam Berdarah di Indonesia 1999-2003

Tahun 1999 2000 2001 2002 2003

kasus 21.134 33.443 45.904 40.377 50.131

tingkat fatalitas n.a. n.a. n.a. n.a. 743

kasus lainnya yang menyita perhatian adalah penyebaran anthrax di 11 provinsi (Jawa Barat, Jawa tengah, di yogyakarta, nusa tenggara Barat, nusa tenggara timur, sumatera Barat, Jambi, sumatera selatan, lampung, sulawesi tenggara dan dki Jakarta) pada tahun 200410).

kondisi ini diperparah dengan adanya temuan komersialisasi kartu miskin. ada kasus dimana orang miskin harus mengeluarkan uang antara 100-300 ribu rupiah (menyuap) pada pegawai yang korup untuk mendapatkan kartu miskin, padahal seharusnya dia mendapatkannya secara gratis11).

kasus-kasus di atas hanyalah contoh. Masih banyak kasus lain yang terjadi, baik yang diberitakan atau tidak diberitakan media. dari kasus-kasus diatas, sepertinya kita bisa melihat bahwa (1) orang miskin sangat rentan untuk terkena berbagai wabah atau penyakit dan (2) orang miskin sangat mudah menjadi korban atas kegagalan akses atas pelayanan kesehatan. sejalan dengan temuan Who (1999) yang menyebutkan bahwa anak orang miskin diperkirakan

9 Kejadian Luar �iasa Demam �erdarah Dengue di Indonesia (�� Feb �00�), Departemen Kesehatan, Indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle (Diakses �/�7/�007 �:5� PM)

�0 Kewaspadaan Dini Untuk Mencegah Antraks (� Nov �00�), Departemen Kesehatan, Indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle (diakses �/�7/�007 �:�9 PM)

�� Tempointeraktif.com - Kartu Miskin di Kabupaten Majalengka Dikomersilkan. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/�005/0�/0�/brk (Diakses �/��/�007 ��:0� AM)

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 1 - kemiskinan dan kesehatan

mempunyai resiko lima kali lebih tinggi daripada anak orang tidak miskin untuk meninggal di lima tahun pertama kelahirannya. orang miskin juga mempunyai resiko dua setengah kali lebih besar untuk meninggal di antara usia 15-59 tahun. ada apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana sebenarnya kondisi kemiskinan di indonesia?

KemisKinan dan Kerentananuntuk memahami kemiskinan dan kerentanan, kita bisa memanfaatkan konsep yang dikembangkan oleh sen (1995) yaitu endowment dan entitlement. Endowment mengacu pada kepemilikan atas aset individu dan kemampuan bekerja dengan badan sendiri (individual’s labour power)12). sementara entitlement adalah kemampuan orang untuk menggunakan barang, baik hasil buatan sendiri atau memperolehnya dengan cara jual-beli di pasar.

lebih dari endowment, entitlement mengacu pada kepemilikan atas sumber daya dan kemampuan penggunaan sumber daya tersebut untuk menggunakan barang. seseorang bisa saja mempunyai aset dan bisa bekerja, itu semua tidak berguna (entitlement failure) bila asetnya tidak bisa digunakan/dijual atau tidak ada lapangan pekerjaan. untuk itu kegagalan pemanfaatan aset dan tenaga (entitlement failure) merupakan ketidakmampuan rumah tangga untuk mempertahankan kehidupan yang paling minimal dengan sumberdaya seadanya yang dimiliki terhadap kondisi pasar yang dihadapinya.

di negara berkembang, dengan sistem ekonomi pasar, buruh (pabrik, tani, dan pekerja dengan upah rendah lainnya), dan pekerja sektor informal adalah sesuatu yang sangat umum. tidak sedikit dari mereka mempunyai sedikit aset, baik berupa kendaraan roda dua atau sepetak kecil rumah atau lahan garapan. Mereka mendapatkan penghasilan dengan menjual tenaga mereka.

Mereka adalah orang-orang yang rentan (vulnerable) terhadap terjadinya kegagalan penggunaan aset dan tenaga (entitlement failure). Mereka bisa saja mempunyai aset, sehingga dikategorikan

�� Aset bisa bermacam-macam, mulai dari uang kontan, lahan, bangunan, peralatan, tabungan, dan lainnya. Kemampuan untuk bekerja dengan sendirinya adalah aset yang sangat penting.

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

tidak miskin. Mereka juga berbadan sehat kuat, sehingga dianggap bisa bekerja dan tidak perlu ditanggung. tetapi seringkali aset dan tenaga yang mereka miliki tidak bisa mereka gunakan untuk mempertahankan kehidupan minimal yang layak.

ada berbagai hal yang bisa menyebabkan terjadinya entitlement failure. Misalnya kenaikan harga bahan pokok (terutama makanan), pengurangan jam kerja (penghematan, sakit) atau kehilangan pekerjaan. ketika upah mereka yang kecil sebagian besarnya hanya bisa untuk membeli makanan, maka kenaikan harga bahan makan akan sangat memukul mereka. Berkurangnya jam kerja, atau kehilangan pekerjaan (dipecat), juga akan mengurangi nilai pendapatan mereka.

dari sisi demografi, sebagian besar penduduk indonesia adalah pekerja upahan (buruh) di sektor industri, pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan jasa. Beberapa profesi yang mereka jalani diantaranya buruh pabrik, buruh tani dan petani kecil, penggarap lahan, buruh perkebunan negara dan swasta, nelayan kecil, peternak kecil, pekerja transportasi (tukang ojek, sopir angkot, tukang delman, tukang becak, dan lain-lain). selain itu, pekerja informal di berbagai sektor juga jumlahnya sangat banyak.

Mereka hidup dengan mengandalkan tenaganya. Mereka menjual tenaga, kesehatan dan kekuatan badannya untuk mendapatkan upah atau untuk berproduksi. Mereka adalah orang-orang dalam posisi rentan (vulnerable). dari sisi kepemilikan (endowment) aset dan tenaga, rata-rata mereka mempunyai endowment asset yang relatif kecil. Mungkin hanya sepetak rumah/lahan atau barang dagangan, dan biasanya tanpa tabungan. kadang dari mereka ada yang cukup beruntung memiliki jaminan kesehatan, misalnya Jamsostek bagi buruh pabrik, atau askeskin bagi warga yang miskin. tapi itu hanya sedikit mengurangi tingkat kerentanan mereka dari kemiskinan. Entitlement failure bisa terjadi kapan saja. Mereka bisa saja dipecat karena bangkrut, digusur karena tidak legal, sakit berat, dan lain-lain.

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 1 - kemiskinan dan kesehatan

Box 1.

Angka Kemiskinan dan mass(ive) entitlement Failure di Indonesia

angka kemiskinan di indonesia masih cukup tinggi. datanya bisa kita lihat dari figur di bawah. di tahun 1976 angka kemiskinan sekitar 40,1% (setara dengan 54,2 juta jiwa waktu itu). angka ini terus berkurang, sehingga di tahun 1996 angka kemiskinan hanya sekitar 11,3% (sekitar 22,5 juta jiwa). data menunjukan bahwa setiap tahun kemiskinan terus menurun, baik dalam hal jumlah maupun persentase.

tapi peningkatan tajam terjadi di periode 1996-1998 dikarenakan krisis ekonomi. saat itu terjadi sebuah mass(ive) entitlement failure yang memporakporandakan sendi-sendi perekonomian bangsa ini. sejak tahun 1998, lambat tapi pasti, trend penurunan angka kemiskinan terjadi lagi. Walaupun demikian, angka kemiskinan tetap saja tinggi.

Perkembangan Penduduk Miskin 1976-2006

sumber: Pungki sumadi, Ph.d *). (2008)

*) Sumadi (�008), MENGKAJI KE�IJAKAN PRo-PooR MASA LALU DAN MASA KINI, Seminar “Perumusan Awal Gagasan dan Kerangka Implementasi Kebijakan Publik Daerah yang �erpihak kepada Rakyat Miskin”. Diselenggarakan oleh Perkumpulan Inisiatif bekerjasama dengan Gedung Indonesia Menggugat dengan dukungan dari The Ford Foundation. Aula Gedung Indonesia Menggugat, �andung �� Februari �008. Pungky Sumadi, Ph.D. (Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat �APPENAS. Email: [email protected])

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

krisis ekonomi tahun 1997-1998 telah memberikan kita banyak pelajaran. Mass(ive) entitlement failure bisa terjadi kapan saja di indonesia. Bila ini terjadi, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan harga-harga bahan pokok meroket secara bersamaan. inilah yang terjadi di indonesia beberapa waktu lalu. dimana sebagian besar warga dalam posisi rentan, seperti buruh tani, pekerja pabrik, pekerja sektor informal, menjadi jatuh miskin hampir seluruhnya pada waktu yang bersamaan.

dengan angka kemiskinan yang masih tinggi, dan juga sebagian besar penduduk indonesia hidup dalam keadaan rentan secara ekonomi, sepertinya kita layak memberi perhatian lebih pada kesehatan.

mengapa Kesehatandari paparan di atas dapat kita simpulkan bahwa kesehatan penting bagi orang miskin. Mereka mengandalkan badan yang sehat untuk mencari penghasilan dari hari ke hari. Misalnya mereka yang bekerja sebagai kuli, buruh pabrik, buruh tani, nelayan, dan yang lainnya. ketika mereka sakit, mereka tidak dapat bekerja sehingga otomatis mereka juga kehilangan penghasilan. selain itu, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, mereka harus mengeluarkan sejumlah uang yang mungkin tidak mereka punyai. sehingga sangat wajar bila orang miskin sangat tergantung pada kesehatan dan sangat rentan terhadap dampak dari hilangnya kesehatan.

orang miskin juga menghadapi berbagai masalah kesehatan penyebab kematian yang berasal dari pilihan-pilihan “salah” yang sangat dekat dengan keseharian kemiskinan mereka. seperti misalnya kekerasan, alkohol, tembakau dan penyalahgunaan obat terlarang yang semakin hari semakin banyak memakan korban (Murray and lopez, 1996).

selain masalah kasus-kasus di atas, secara akademik, ada beberapa alasan lain untuk fokus pada kesehatan. Bloom and Canning (2001)13) menyebutkan setidaknya ada tiga alasan besar yang

�� David E. �loom and David Canning, A New Health Opportunity, Health and Poverty in a Social Context Development. Copyright © �00� The Society for International Development. SAGE Publications (London, Thousand oaks, CA and New Delhi), �0��-��70 (�00�0�) ��:�; ��–��; 0��55�.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 1 - kemiskinan dan kesehatan

menjadi justifikasi mengapa kita harus meningkatkan pelayanan kesehatan. ketiga alasan tersebut adalah: (1) kesehatan adalah hak dasar manusia (health is a human right); (2) kesehatan adalah tujuan sosial yang vital (it is a vital social goal); dan (3) kesehatan penting untuk kesuksesan ekonomi (it is important to economic success).

ketiganya sejalan dengan deklarasi alma-ata di tahun 1978 yang berkomitmen untuk menyediakan “kesehatan untuk semua (health for all)”. Pada deklarasi tersebut, kesehatan adalah sesuatu yang membuat orang mempunyai arti. selain itu kesehatan juga sesuatu yang sangat penting untuk terciptanya sebuah masyarakat yang kuat. tanpa kesehatan, kesejahteraan masyarakat tidak akan tercipta.

sementara Freedman (2005)14) menyebutkan bahwa kesehatan sangat penting bagi pembangunan pengentasan kemiskinan. ada dua penjelasan terhadap hal itu. Pertama, karena kesehatan sendiri secara instrinsik adalah sesuatu yang sangat berharga. sebagaimana menurut (sen, 2001), kesehatan membuat seseorang mempunyai “kapabilitas” untuk berusaha dan mencapai tujuan pembangunan sebenarnya. Kedua, karena kesehatan adalah “instrumen” yang sangat berharga. kajian yang dilakukan narayan (2001)15) juga menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu bahwa kesehatan dan badan yang sehat bagi orang miskin hampir merupakan segalanya karena mereka mengandalkan hal tersebut untuk hidup.

ekonom juga berpendapat bahwa kesehatan penduduk sebuah negara adalah prasyarat kondisi yang harus dipenuhi untuk adanya pertumbuhan ekonomi (World Bank, 1993; Commission on Macroeconomics and Health, 2001). Freedman (2005) juga menambahkan bahwa sistem kesehatan harus menjadi inti dari institusi sosial karena kondisi kesehatan seseorang/sekelompok orang adalah hasil dari interaksi seseorang/sekelompok orang dengan struktur kekuasaan.

�� Lynn P. Freedman, Achieving the MDGs: Health systems as core social institutions, Upfront, Development, �005, �8(�), (�9–��) r �005 Society for International Development �0��-��70/05 www.sidint.org/development

�5 Deepa Narayan (�00�), ‘Consultations with the Poor’ from a Health Perspective, Development ��(�): Health and Poverty in a Social Context, ��:�; �5–��.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

sebagai penutup, dari sini kita semakin mengetahui bahwa kesehatan sangat penting bagi orang miskin (dan pengentasan kemiskinan), pembangunan dan kemanusiaan. [ ]

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 2 - Penyediaan layanan Publik kesehatan

Pada bab pertama dipaparkan beberapa kasus yang menggambarkan bahwa ternyata korban paling rawan adalah mereka yang miskin dan rentan. kondisi kasus-kasus

tersebut tentu saja sangat terkait erat dengan kebijakan publik di bidang kesehatan. lalu bagaimana kebijakan publik merespon kondisi tersebut?

pelayanan universal dan aKses universal dalam penyediaan layanan publik dasar dari pemerintah, ada 2 (dua) istilah yang merupakan refleksi dari tujuan yang harus dicapai. yaitu pelayanan universal (universal service) dan akses universal (universal access).

yang dimaksud dengan pelayanan universal adalah pelayanan yang “ditujukan untuk melayani masyarakat secara keseluruhan dan ini berarti semua anggota masyarakat yang hidup di dalamnya”. tujuan dari penerapan konsep pelayanan universal adalah agar ‘semua orang -satu per satu- mempunyai akses pada pelayanan penting tertentu dengan kualitas tinggi dan harga yang terjangkau (everyone has access to certain essential services of high quality at prices they can afford)’. konsep pelayanan universal ini pertama kali diperkenalkan tahun 1907 oleh theodore Vail dalam konteks infrastruktur telekomunikasi. namun akhirnya konsep ini diadopsi untuk pelayanan publik lainnya, termasuk kesehatan.

Bab 2

Penyediaan Layanan Publik Kesehatan

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan universal adalah sebuah konsep besar yang telah diimplementasikan dengan berbagai cara. Cara yang paling umum adalah dengan pemerintah bertindak untuk menyediakan dan memperluas akses pada pelayanan kesehatan seluas mungkin. Banyak negara mengimplementasikan pelayanan kesehatan universal dengan menerapkan berbagai legislasi, peraturan dan perpajakan. legislasi dan peraturan secara langsung mengatur pelayanan apa yang harus disediakan, untuk siapa, oleh siapa dan atas dasar apa. Biasanya ada biaya yang harus ditanggung oleh pasien, namun disubsidi oleh pajak dan dikompensasi oleh pemerintah. Banyak program memanfaatkan kewajiban untuk asuransi untuk mencapai pelayanan universal ini. sementara yang lainnya langsung membayar pelayanan kesehatan ini dari pajak dan secara otomatis mencakup seluruh warga.

tidak seperti negara maju, negara berkembang menghadapi banyak tantangan untuk menyediakan pelayanan universal bagi warganya. akhirnya, digunakanlah konsep universal access to service, yang pertama kali digagas oleh unCtad, juga masih dalam bidang telekomunikasi.

Jika konsep pelayanan universal mengacu pada pelayanan yang diberikan pada setiap orang/rumah tangga satu per satu, maka konsep pelayanan akses universal adalah menyediakan akses pada semua orang baik secara individu ataupun secara kolektif. akses universal diperlukan untuk memperbaiki kegagalan pasar, menyediakan barang publik dan menyelesaikan isu pemerataan. Peran pemerintah di sini bisa menjadi penyedia layanan, bisa juga menjadi regulator.

setidaknya ada empat elemen dalam akses pelayanan publik yaitu elemen ekonomi, fisik, sosial dan geografis. yang dimaksud dengan elemen ekonomi yaitu bahwa akses yang disediakan harus terjangkau secara ekonomi oleh seluruh masyarakat. sementara fisik, bahwa akses yang disediakan harus bisa digunakan semua orang terlepas dari kondisi fisiknya (tua, cacat, anak anak, dan lain-lain). lalu yang dimaksud elemen sosial, bahwa tidak ada seorang pun orang menerima diskriminasi dan pengecualian secara sosial dalam mengakses pelayanan. elemen geografis berarti bahwa di manapun lokasinya orang bisa mengakses pelayanan yang dimaksudkan.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 2 - Penyediaan layanan Publik kesehatan

demikian juga dalam penyediaan layanan publik kesehatan. Penyediaan layanan kesehatan harus juga memenuhi tuntutan universal akses. dari sisi geografis, penyediaan layanan kesehatan tidak boleh terhalang oleh kondisi geografis. Misalnya untuk menyediakan layanan puskesmas atau puskesmas pembantu di daerah terpencil di pedalaman. dari sisi sosial, tidak boleh ada diskriminasi pelayanan dari penyedia layanan pada masyarakat pengguna. semua konsumen (pasien) harus dilayani sebaik-baiknya dan mendapatkan perlakuan yang sama.

sementara dari sisi fisik, tidak boleh ada satu pun hambatan fisik bagi siapapun yang memerlukan layanan, baik berupa pintu yang tertutup, pagar, tangga, kondisi bangunan, dan lain sebagainya. sehingga semua orang, baik yang normal maupun yang cacat, anak-anak, dewasa atau pun lansia, laki-laki atau perempuan semua harus bisa mengaksesnya. dan dari sisi ekonomi, walaupun penyediaan layanan kesehatan memerlukan biaya, tidak boleh ada satu orang pun terhalangi aksesnya untuk mendapatkan layanan kesehatan karena alasan ekonomi. retribusi pelayanan kesehatan merupakan salah satu contoh hambatan akses dari sisi ekonomi. sekecil apapun retribusi, pasti ada saja sekelompok warga yang tidak mampu untuk membayarnya.

Jika menurut teori harus ada usaha untuk mewujudkan pelayanan universal dan akses universal, bagaimana peran stakeholder di dalamnya?

staKeholder dalam sistem pelayanan Kesehatandalam kebijakan publik, penyediaan pelayanan kesehatan di indonesia diatur melalui banyak sekali peraturan dan perundangan. kesemua peraturan tersebut membentuk sistem penyediaan pelayanan kesehatan.

sistem kesehatan adalah sistem yang sangat luas dan kompleks. Who mendefinisikan sistem kesehatan sebagai semua aktivitas yang tujuan utamanya untuk mempromosikan, mengembalikan dan mempertahankan kesehatan (WHO, 2001). Menurut keputusan Menteri kesehatan no. 131/Menkes/sk/ii/2004 tentang sistem kesehatan nasional,16) sistem kesehatan terdiri dari enam

�� Kepmenkes ���/MENKES/SK/II/�00� tentang Sistem Kesehatan Nasional

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

subsistem: (1) sub-sistem upaya kesehatan, (2) sub-sistem pembiayaan kesehatan, (3) sub-sistem sumber daya manusia, (4) sub-sistem manajemen logistik dan obat-obatan, (5) sub-sistem pemberdayaan masyarakat, dan (6) sub-sistem manajemen kesehatan. ini termasuk di dalamnya sistem berbasis fasilitas, intervensi di tingkat rumah tangga dan komunitas, sampai intervensi pada lingkup publik yang lebih luas lagi (seperti kontrol kualitas makanan, kampanye anti merokok, dan lain-lain). ini juga meliputi berbagai kategori penyedia layanan: publik dan privat, formal dan informal, profit dan non-profit, dan lain-lain. ini juga meliputi berbagai mekanisme seperti asuransi, atau sistem lainnya yang dibiayai oleh berbagai stakeholder lainnya.

sistem kesehatan bukan hanya sebuah struktur mekanis untuk menyediakan layanan kesehatan. sistem kesehatan berfungsi sebagai penghubung antara orang dan struktur kekuasaan yang membentuk masyarakat lebih luas17). sistem kesehatan tidak hanya memproduksi kesehatan dan pelayanan kesehatan, tapi juga penyedia nilai dan norma sosial yang lebih luas (gilson, 2003).

dalam sistem kesehatan, semua stakeholder mempunyai peran masing-masing. Stakeholder yang terlibat termasuk di antaranya rumah tangga/keluarga, komunitas, sektor swasta, lsM dan juga pemerintah. dengan mengetahui peran stakeholder saat ini, serta potensi peran stakeholder yang belum optimal, akan menjadi masukan berarti dalam penyusunan strategi pemenuhan penyediaan layanan kesehatan secara universal.

o Rumah tangga/Keluargarumah tangga dan keluarga sangat penting perannya dalam pemenuhan pelayanan kesehatan. Peran ini mulai dari pencegahan, penyembuhan, dan rehabilitasi. dalam kasus kesakitan, anggota keluarga berbagi resiko satu sama lainnya.

�7 Pengabaian, penyalahgunaan dan pengucilan oleh sistem kesehatan terhadap individu/kelompok sering kali dirasakan oleh masyarakat miskin (Mackintosh, �00�). Tindakan kesehatan, pilihan-pilihan dan alat-alat yang memungkinkan individu dan masyarakat untuk mengontrol kesehatan mereka, untuk berpartisipasi sebagai agen dalam membentuk sendiri kehidupan mereka adalah inti kapabilitas individu dan kenikmatan hak-hak individu.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 2 - Penyediaan layanan Publik kesehatan

ketika salah seorang anggota keluarga ada yang sakit, anggota keluarga yang lain mengurusnya. ketika kesakitan tersebut semakin memburuk, anggota keluarga yang lain akan berusaha membawanya berobat, baik ke dokter umum, klinik swasta atau pun publik, dan lain-lain. ketika si sakit tidak mempunyai uang untuk membayar pelayanan, anggota keluarga yang lain akan berusaha untuk menyediakannya. di sini, anggota keluarga berbagi resiko satu sama lainnya.

o KomunitasPeran komunitas saat ini dalam pemenuhan kebutuhan pelayan kesehatan tidak terlalu signifikan. namun sebuah riset yang dilakukan oleh Miller et.al. (2006)18) menunjukan bahwa modal sosial masyarakat mempunyai korelasi positif dengan kondisi kesehatan orang-orang dalam komunitas. ada beberapa temuan bahwa sekelompok rumah tangga berbagi resiko dengan rumah tangga lainnya. Contohnya, ketika ada anggota komunitas yang sakit, dan keluarganya tidak lagi mampu membantu, anggota komunitas lainnya membantu mereka dengan mengumpulkan sejumlah uang atau sumber daya lainnya dan mendonasikannya pada yang membutuhkan.

Bukti lain yang ditemukan juga bahwa komunitas bisa membentuk aksi kolektif untuk menekan stakeholder lainnya, misalnya pemerintah, untuk menyediakan komunitas tersebut dengan pelayanan kesehatan. Misalnya dalam kasus di kecamatan Majalaya beberapa tahun lalu, ketika mereka memaksa pemerintah untuk menyediakan puskesmas dan mereka berhasil melakukannya.

o Sektor swastaPeran sektor swasta sangat signifikan dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan. dokter umum atau dokter gigi swasta sangat mudah untuk diakses, terutama di daerah perkotaan. tarif mereka bervariasi, dari yang murah sampai yang mahal.

Peran sektor swasta lainnya adalah menyediakan klinik dan rumah sakit. Biasanya kedua fasilitas ini mudah ditemukan di daerah

�8 Douglas L.Miller, Richard Scheffler, Suong Lam, Rhonda Rosenberg, Agnes Rupp (�00�), Social Capital and Health in Indonesia, World Development Vol.��, No.�, pp.�08� –�098,�00� (doi:�0.�0��/j.worlddev.�005.��.00�)

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

perkotaan, dan jarang ditemukan di daerah pedesaan (rural). Mereka menyediakan dokter dan perawat, juga spesialis, dan pelayanan kesehatan lainnya seperti rawat inap, vaksinasi, dan konsultasi kesehatan. tarifnya pun bervariasi, dari yang murah sampai yang mahal.

Peran sektor swasta lainnya adalah menjadi pihak ketiga dalam menyediakan pelayanan asuransi kesehatan. Pelayanan mereka bervariasi, dari mulai menyediakan klaim untuk pelayanan dasar saja sampai ke pelayanan lainnya. setiap perusahaan asuransi menerapkan tarif premium yang berbeda-beda. tapi hampir sebagian besar dari mereka tidak menutup keseluruhan (100%) biaya pelayanan kesehatan.

sektor swasta lainnya yang signifikan adalah pengusaha dan perusahaan. tidak sedikit dari mereka yang menyediakan jaminan kesehatan, atau menyediakan langsung klinik kesehatan bagi pekerjanya. lainnya, ada juga yang menyediakan asuransi kesehatan dan menanggung pembayaran preminya. selain itu, ada juga yang menyediakan pembayaran langsung atas klaim biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh pekerjanya. sayangnya, sektor informal yang begitu besar di indonesia hampir semuanya tidak punya jaminan kesehatan untuk pengusahanya atau pun pekerjanya.

o Lembaga Swadaya Masyarakathanya sedikit temuan yang menyebutkan bahwa lsM bisa menyediakan pelayanan kesehatan. salah satu yang bisa disebutkan adalah asosiasi mahasiswa kedokteran dari beberapa universitas. Mereka biasanya secara rutin memberikan pelayanan kesehatan gratis dan operasi kecil (katarak, sunatan masal) pada komunitas tertentu. Mereka juga menyediakan jasa konsultasi dan pendidikan bagi masyarakat. sayangnya, skala layanan mereka masih sangat kecil.

o PemerintahPemerintah adalah stakeholder yang sangat penting dalam penyediaan layanan kesehatan. Mereka menyediakan berbagai jenis layanan kesehatan, mulai dari penyediaan dokter, infrastruktur, sampai menanggung biaya pelayanan bagi orang miskin. Biasanya

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 2 - Penyediaan layanan Publik kesehatan

tarif yang mereka terapkan cukup murah, bahkan tidak jarang digratiskan untuk yang tidak mampu misalnya melalui penyediaan jamkesmas, askeskin, dan askeskinda, kartu sehat, dan lain-lain.

Pada tabel berikut, kita bisa lihat ringkasan peran stakeholder saat ini dalam penyediaan layanan kesehatan.

Tabel 2. Peran Masing-masing Stakeholders dalam Sektor Kesehatan

Stakeholder Employer Provider Arranger Funding

keluarga Merawat orang sakit

Menabungkan sebagian uang untuk ‘jaga-jaga’ bila ada yang sakit

Menyediakan sejumlah uang untuk menanggung pelayanan kesehatan anggota keluarga yang sakit.

Masyarakat /lingkungan

Menyewa/ mempekerjakan dokter

Pressure group pada pemerintah

Menyediakan sejumlah uang untuk membayar pelayanan kesehatan.

sektor swastaMempekerjakan dokter, perawat, dll.

Menyediakan praktik dokter, klinik, rumah sakit, dll.

Menyediakan jaminan kesehatan (asuransi)

lsMMenyediakan pelayanan kesehatan gratis

Mengontrol implementasi standar kesehatan, memonitor distribusi kartu sehat, dll.

PemerintahMempekerjakan dokter, perawat, dll.

Menyediakan praktik dokter, klinik, rumah sakit, dll.

Menetapkan standar minimal kesehatanMendistribusikan dan mengalokasikan dokter dan perawat, bidan, dll.

Menyediakan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, dll.

Memang harus diakui bahwa hampir semua stakeholder mempunyai potensi kontribusi yang signifikan dalam usaha pencapaian pelayanan universal dan akses universal penyediaan pelayanan kesehatan. tanpa mengabaikan peran stakeholder yang

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

lainnya, baik sebagai employer, provider, arranger atau funder, masalah terbesar sepertinya terletak pada peran stakeholder dalam pembiayaan. ini karena dalam peran apapun, semua penyediaan dan konsumsi layanan kesehatan membutuhkan biaya. sementara kemiskinan masih menjadi masalah yang pelik di indonesia.

seperti juga layanan publik lainnya, layanan kesehatan harus diarahkan pencapaian tujuannya untuk mencapai pelayanan universal dan akses universal. semua stakeholder bisa berperan di dalamnya. dan dalam kasus konsumen tidak mampu mengaksesnya, stakeholder juga bisa menyediakan berbagai jenis jaminan sosial. [ ]

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

sebelumnya telah disebutkan bahwa setiap stakeholder mempunyai potensi untuk terlibat dalam pembiayaan penyediaan layanan kesehatan. tapi karena suatu hal,

misalnya kemiskinan atau rakyat dalam kondisi rentan (vulnerable) yang bisa membuat mereka miskin setiap saat, membuat rakyat tidak bisa ikut berpartisipasi penuh. untuk itu, pemerintah biasanya mengembangkan sistem jaminan sosial (social security)19) yang memberikan keamanan sosial bagi warganya dalam mengakses pelayanan dasar, seperti halnya kesehatan.

Jaminan sosialsecara umum, yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah sekumpulan manfaat yang diterima (atau tidak diterima) dari negara, pasar, masyarakat sipil dan rumah tangga, atau melalui kombinasi dari stakeholder-stakeholder tersebut, untuk mengurangi penderitaan seseorang atau rumah tangga. sedangkan penderitaan tersebut bisa terkena pada siapapun, baik orang yang aktif secara sosial, atau pun yang tidak aktif (orang tua, cacat, anak-anak, dan lain-lain).

Jaminan sosial ini biasanya berbentuk layanan kesejahteraan sosial yang terkait dengan perlindungan sosial, atau perlindungan

�9 Selain istilah jaminan sosial (social security) sering juga digunakan istilah perlindungan sosial (social protection). Istilah jaminan sosial biasanya mengacu pada pelayanan kesejahteraan sosial yang terkait dengan perlindungan terhadap kondisi-kondisi yang sudah diketahui secara sosial, termasuk kemiskinan, usia tua, cacat, pengangguran, dan lain sebagainya.

Bab 3

Jaminan Layanan Kesehatan

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

terhadap kondisi-kondisi yang sudah mafhum seperti kemiskinan, usia tua, cacat, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Jaminan ini untuk melindungi individu dari “bencana” yang tidak terduga dengan “menyebarkan” resiko tersebut pada seluruh warga lainnya sehingga tidak ada satu individu atau rumah tangga pun yang harus menghadapi bencana tersebut sendirian.

Mengapa jaminan sosial diperlukan? dalam konteks negara kesejahteraan, pemerintah ikut bertanggung jawab ketika ada warganya yang tidak mampu. Bahkan dari pendekatan pemenuhan hak dasar, kesehatan adalah hak dasar yang pemenuhannya wajib dilakukan oleh pemerintah. orang merasa aman bila mereka bisa memperoleh akses pada segala sesuatu yang mereka perlukan untuk bertahan hidup.

Pertumbuhan pasar cenderung menciptakan pergolakan ekonomi, menjauhkan orang dari jaminan keamanan yang tradisional, memperbanyak orang yang semakin tergantung pada upah harian, dan semakin banyak orang dalam posisi rentan. Baik tinggal di negara miskin maupun kaya, individu atau rumah tangga tanpa pekerjaan dan aset hanya akan mendapatkan masalah. hanya intervensi di luar pasar20), baik dengan bantuan negara (dalam bentuk jaminan sosial), keluarga, tetangga, atau aktor lain yang bisa membantunya.

lalu bagaimana institusi di luar pasar bisa melakukan intervensi untuk mengurangi kerentanan dan kemiskinan karena buruknya kesehatan melalui penyediaan jaminan sosial? salah satu bentuk paling umum adalah melalui penyediaan secara bersama/umum (public provisioning) jaminan pelayanan kesehatan (health care security) oleh pemerintah.

�0 Kemiskinan adalah masalah kerentanan dan pemiskinan, yang mana pasar sama sekali tidak bisa memecahkannya sendiri. Hal ini karena:

Pasar hanya merespon permintaan yang didukung oleh adanya sumber daya/uang (cash) untuk ditukarkan, bukan adanya kebutuhan. oleh karena itu, kemampuan orang untuk menyediakan dan mengakses sesuatu dari pasar dibatasi oleh kepemilikan orang tersebut terhadap aset dan oleh kondisi pasar.

�ekerjanya pasar berjalan seiring dengan tingkat kerentanan banyak orang, terutama mereka yang hanya memiliki sedikit sumber daya atau hanya mempunyai tenaga untuk bekerja. oleh karena itu, jangan berharap pasar bisa menghilangkan pemiskinan.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

Penyediaan oleh pemerintah ini akan mengurangi kerentanan dalam dua cara: (1) belanja untuk orang yang rentan agar terlindungi dari berbagai “bencana kesehatan” sehingga (2) akan meningkatkan kemampuan orang tersebut untuk bertahan hidup (dari penyakit dan kemiskinan) dan bangkit (dari kemiskinan). Biasanya, pemerintah menyediakan belanja ini dengan dukungan pemasukan dari pajak.

peran staKeholder dalam penyediaan Jaminan pelayanan Kesehatantapi banyak kasus-kasus dimana pemerintah tidak lagi mampu menyediakan jaminan pelayanan kesehatan. atau misalnya, pemerintah karena anggarannya tidak efisien sehingga tidak bisa membiayai penyediaannya. lalu bagaimana nasib sistem jaminan pelayanan kesehatan tersebut? di sinilah stakeholder lain ikut berperan. Peran stakeholder dan mekanismenya dalam pembiayaan adalah sebagai berikut: konsumen (out of pocket, premi, iuran, dan lain-lain), belanja pemerintah, dan lainnya (lembaga amal, service provider, insurance).

o Konsumen (out of pocket, premi, iuran, dan lain-lain)dari kacamata bisnis, konsumen layanan kesehatan tentu saja adalah orang yang sudah seharusnya berpartisipasi penuh dalam pembiayaan pelayanan (out of pocket). tapi pada faktanya, tidak semua orang mampu untuk membayar. selain itu dari kacamata pemenuhan hak dasar, layanan kesehatan adalah hak semua orang dan tidak ada satu orang/institusi yang diperkenankan untuk menghilangkan hak orang untuk mendapatkan layanan ini.

Mengingat keterbatasan kemampuan membayar (ability to pay/ATP), konsumen mempunyai alternatif untuk bekerjasama dengan orang lain. Mereka bisa mengandalkan solidaritas mengembangkan dana bersama/kelompok. dana ini dikumpulkan secara rutin untuk kemudian digunakan ketika sewaktu-waktu ada anggota yang memerlukannya. atau mereka bisa menggunakan dana ini untuk menyewa dokter bersama. Bentuk lain yang lebih advance adalah berpartisipasi dalam asuransi.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

o Belanja Pemerintahsebagai bentuk jaminan sosial dan upaya pemenuhan hak warga, negara membiayai penyediaan layanan kesehatan universal dengan sumber dari pajak atau pendapatan negara lainnya. Penyediaan pembiayaan layanan universal ini bisa disalurkan dalam bentuk (1) hibah atau pembiayaan jaminan kesehatan untuk mengganti biaya seluruh layanan atau layanan tertentu saja. Pemerintah bisa juga (2) turun tangan langsung menyediakan seluruh layanan dan pembiayaannya. atau melalui (3) subsidi dan insentif lainnya pada konsumen dan/atau penyedia layanan untuk mensubsidi biaya layanan.

o Lainnya (lembaga amal, penyedia layanan, perusahaan asuransi)

Penyedia layanan kesehatan (service provider) bisa saja menyediakan jaminan layanan kesehatan gratis yang memungkinkan semua orang, atau orang dari kelompok tertentu, untuk mengaksesnya tanpa kecuali. Misalnya rumah Bersalin gratis, yang dikelola oleh sebuah yayasan islam.

institusi lain yang bisa menyediakan dana untuk penyediaan jaminan layanan universal adalah penyedia jasa layanan asuransi (perusahaan asuransi). Memang perusahaan asuransi tidak secara langsung menyediakan dana, tapi mereka memungut premi dari peserta asuransi. dana ini mereka kelola untuk membiayai pelayanan kesehatan.

selain itu, pemberi kerja juga seringkali terlibat dalam pembiayaan. Misalnya, ada yang memberikan reimburse klaim biaya kesehatan, pengasuransian pekerja (misalnya melalui program jamsostek), atau bahkan ada yang membuka klinik kesehatan sendiri untuk pekerjanya.

pendeKatan penyediaan Jaminan pelayanan Kesehatansecara umum, ada dua pendekatan utama dalam distribusi beban/manfaat pelayanan publik, yaitu secara universal dan residual. awal perbedaan ini dapat ditelusuri kembali dari perdebatan di dekade 70-an. Marshal (1963), dalam tulisannya ‘Citizenship and Social Class’ memandang bahwa individu-individu manusia adalah bagian dari sebuah komunitas tertentu (biasanya komunitas dalam lingkup

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

negara). dan karena statusnya tersebut, negara menyediakan dan menjamin berbagai barang barang sosial yang disediakan untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka. dari sini, muncullah pandangan universal, dimana semua orang sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata negara.

titmuss, (1963) tidak sependapat dengan Marshal. tidak seperti Marshal, dia berpendapat bahwa penyediaan kesejahteraan (welfare) oleh negara adalah bukan untuk mengganti peran pasar, namun untuk memperbaiki bias di pasar. sampai titik ini, dia secara konsisten berusaha memaksimalkan peran negara untuk mencapai kesetaraan sosial (social equality) terutama di area jaminan sosial. namun dia juga mempromosikan gagasan mengenai ‘masyarakat kesejahteraan (welfare society)’, dimana altruism dan reciprocity menjadi intinya, tapi dampak dari pasar yang kompetitif sangat dikurangi dengan peran negara. dari sini muncullah pendekatan residual, dimana sudut pandang pluralis yang digunakan memandang bahwa penyeragaman (pendekatan universal) menghilangkan atau mengurangi ‘perbedaan identitas’, pengalaman, ketertarikan, dan kebutuhan penyediaan kesejahteraan (Williams, 1992: 206–7).

di sini kita akan menyaksikan para pendukung pendekatan universal menuntut keadilan dan kesetaraan sosial yang lebih baik. Mereka juga menuntut adanya alokasi barang sosial yang lebih ‘adil’ untul mencegah dampak dari pasar yang tidak egaliter dan untuk meningkatkan kohesi sosial. Mereka umumnya dari sisi pengguna sosial-demokrat.

sementara itu, dari sisi liberal, lebih mendukung pendekatan lebih selektif (residual). dan mereka menuntut adanya pengakuan atas keragaman dan perbedaan. selain itu mereka juga menuntut adanya alokasi, distribusi dan re-distribusi sumber daya yang lebih efisien dan ‘adil’

dalam hal kesehatan, walaupun tujuannya sama yaitu untuk memaksimalkan manfaat sosial, kedua pendekatan ini berlawanan dalam berbagai hal. hal ini dapat di lihat pada tabel berikut:

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Tabel 3. Pro-Kontra Pendekatan dalam Penyediaan Pelayanan

Beberapa Pendapat PendukungPendekatan universal

Beberapa Pendapat Pendukung Pendekatan residual

• Pelayanan kesehatan adalah hak dasar manusia, sehingga harus disediakan dan dijamin negara.

• Menjamin kesehatan seluruh warganya sangat menguntungkan negara secara ekonomi

• sistem pembayaran tunggal (single payer system) lebih menguntungkan, dan menghemat biaya overhead dan administratif lainnya.

• Penyediaan pelayanan kesehatan secara universal lebih banyak mendapat dukungan dari masyarakat

• ketidakefisienan dalam penyediaan pelayanan kesehatan akan sangat dikurangi.

• Bukti: seluruh negara maju, kecuali amerika, menyediakan pelayanan kesehatan secara universal dengan biaya yang lebih sedikit dibanding amerika yang menggunakan pendekatan residual

• sistem universal sejalan dengan tujuan investasi jangka panjang di bidang kesehatan: produktifitas, preventif, dan manajemen yang lebih baik untuk kondisi pelayanan penyakit kronis

• Pelayanan kesehatan universal bisa menjadi insentif/subsidi bagi bisnis. dengan pelayanan kesehatan universal, pengusaha tidak perlu menyediakan jaminan sendiri dan pekerjanya akan juga selalu produktif karena sehat.

• Motif untuk mendapatkan profit secara langsung berdampak pada biaya dan kualitas pelayanan kesehatan.

• adanya berbagai perantara (asuransi, dll) menyebabkan biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi untuk membiayai hal-hal yang tidak langsung berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang diterima. sistem universal, yang non profit dan ramping, akan meningkatkan efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan.

• Universal system tidak menghalangi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pembiayaan. Misalnya asuransi, yang bisa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar pelayanan dasar sebagaimana yang disediakan pemerintah.

• Pendekatan residual berpotensi menimbulkan konflik (terutama dalam proses seleksi) dan hanya akan membuat orang yang miskin sulit mendapatkan akses.

• Pelayanan kesehatan bukan hak. Menjaga kesehatan pribadi adalah tanggung jawab pribadi. sehingga bukan tanggung jawab negara menyediakan pelayanan kesehatan.

• Pelayanan universal hanya akan meningkatkan waktu antrian karena banyaknya pengguna yang sebenarnya tidak memerlukan pelayanan kesehatan. sehingga bisa berakibat fatal bagi yang memerlukan pelayanan kesehatan yang benar benar sakit.

• ketidakmerataan akses dan pelayanan kesehatan akan tetap ada dalam sistem pelayanan kesehatan universal

• Pendekatan universal akan meningkatkan over regulation, sentralisasi, padahal dokter lebih tahu apa yang terbaik bagi pasien nya.

• Pasar bebas bagi pelayanan kesehatan berpotensi untuk meningkatkan kualitas layanan dan cakupan/coverage.

• Pelayanan universal memerlukan biaya yang tinggi, dan akan terus meningkat.

• Pelayanan universal sangat mudah disalahgunakan oleh pasien, dengan mengakses pelayanan kesehatan walau sebenarnya tidak memerlukannya

• Fee for service (yang kecil dan merata) yang digunakan akan membuat dokter berusaha melayani pasien sebanyak mungkin untuk mendapatkan insentif yang besar. akibatnya, perhatian pada setiap pasien bisa berkurang, dan akibatnya bisa fatal.

• Pendekatan universal tidak efisien karena tidak fokus memberikan layanan pada mereka yang memang membutuhkannya.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

lalu apa saja yang harus dipertimbangkan untuk memilih pendekatan universal atau residual? untuk membuat pilihan tersebut, ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan. Beberapa aspek tersebut adalah:

A. Komitmen dari Pembuat Kebijakan & Stakeholder lainkomitmen pembuat kebijakan adalah unsur yang sangat penting dalam perumusan kebijakan penyediaan jaminan pelayanan kesehatan. dengan komitmen yang tinggi, hambatan sebesar apa pun hanya akan menjadi tantangan yang akan berusaha untuk ditaklukan. sebaliknya, tanpa adanya komitmen, kebijakan sekecil apa pun akan selalu mendapat hambatan yang sangat besar.

Bukan tidak mungkin komitmen tinggi dari pembuat kebijakan ini akan mendapat tantangan dari stakeholder lainnya. untuk itu, sangat penting bagi pelaku advokasi untuk aware terhadap interest dari berbagai stakeholder di sektor kesehatan.

Box 2. Seberapa Besar Komitmen Untuk Meningkatkan Kesehatan Masyarakat?

tanpa ada komitmen, pendekatan apapun akan banyak menemui hambatan. Pendekatan universal dalam penyediaan pelayanan kesehatan menuntut komitmen yang sangat besar dari pembuat kebijakan dan stakeholder lainnya. hal ini karena pendekatan universal menuntut banyak pengorbanan seperti pemerintah yang diminta untuk menyediakan anggaran yang cukup tinggi, penyedia layanan yang harus bersedia ditempatkan di lokasi yang jauh (remote area) dengan bayaran yang rendah, dan lain-lain.

sementara pendekatan residual pun menuntut komitmen dalam pembuatan dan pelaksanaannya. Walau pun tidak sebesar tuntutan pendekatan universal, pendekatan residual menuntut adanya kesungguhan dalam menentukan penerima manfaat. Penyeleksian harus dilakukan sebaik mungkin untuk menghindari adanya potential abuse, seperti kemungkinan orang tidak berhak yang menerima subsidi, atau sebaliknya.

B. Kepercayaan (trust)sejalan dengan temuan studi yang dilakukan Miller et.al. (2006), alamsyah (2008) dalam paparannya di sebuah

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

seminar yang diselenggarakan oleh Perkumpulan inisiatif21) menjelaskan bahwa rasa saling percaya di antara masyarakat menjadi prasyarat dan modal sosial yang penting. tanpa adanya rasa saling percaya, kebijakan apapun hanya akan menjadi sumber konflik baru. termasuk dalam penyediaan layanan kesehatan.

Pendekatan residual menuntut adanya kebijakan yang selektif. terkait dengan penyediaan pelayanan kesehatan, pendekatan ini menuntut adanya beberapa kebijakan turunan yang mungkin sangat rentan konflik bila rasa saling percaya di antara anggota masyarakat rendah. Misalnya kebijakan mengenai jenis pelayanan kesehatan apa yang ditanggung, siapa yang mendapatkan pelayanan gratis, siapa yang mendapat manfaat, dan lain-lain.

Box 3. Bagaimana Tingkat Rasa Saling Percaya di Masyarakat?

Jika rasa saling percaya sangat rendah, jangan harap bisa menerapkan sistem residual dalam penyediaan pelayanan kesehatan dengan mudah. segala kebijakan akan dengan mudah menjadi ajang perdebatan. hasilnya, kebijakan yang muncul tidak menyelesaikan masalah, namun berlarut-larut dalam perdebatan.

namun tidak adanya rasa saling percaya tidak menjadi halangan bagi sistem universal, dimana dengan pendekatan universal, tidak ada pembedaan penerima manfaat. semua orang mendapat perlakuan yang sama, juga manfaat yang sama. dengan mengadopsi sistem universal, semua potensi konflik akibat rasa saling tidak percaya dan rasa saling curiga tidak lagi berpengaruh apa-apa.

C. Ketersediaan biayauang memang bukan segalanya, tapi memang memegang peranan yang sangat penting. kebijakan apa pun tanpa adanya dukungan finansial untuk melaksanakannya tidak akan dapat berfungsi. keterbatasan biaya seringkali menjadi

�� Seminar “Perumusan Awal Gagasan dan Kerangka Implementasi Kebijakan Publik Daerah yang �erpihak Kepada Rakyat Miskin”. Diselenggarakan oleh Perkumpulan Inisiatif bekerjasama dengan Gedung Indonesia Menggugat dengan dukungan dari The Ford Foundation. Aula Gedung Indonesia Menggugat, �andung �� Februari �008

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

hambatan bagi penyedia layanan kesehatan. namun begitu, dengan adanya komitmen yang sejalan untuk menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat, bukan tidak mungkin keterbatasan biaya hanya akan menjadi masalah kecil saja.

Box 4. Bagaimana Ketersediaan Biaya?

semakin sedikit biaya yang tersedia, semakin sulit menerapkan sistem universal. dari pengalaman berbagai negara, penyediaan layanan kesehatan secara universal cukup menguras anggaran. hal ini dikarenakan berbagai hal, mulai dari penyalahgunaan oleh penerima layanan sampai kenaikan berbagai harga dan biaya barang dan layanan kesehatan (obat, gaji, dan lain-lain).

yang sering kemudian sering menjadi solusi dari berbagai negara tersebut adalah dengan menggeser sistem penyediaan secara universal ke arah residual, baik secara parsial maupun keseluruhan. namun hal ini hanya merupakan escape strategy, karena mengalihkan dari universal ke residual tidak memecahkan akar permasalahan. seharusnya, pemecahan masalah meningkatnya beban penyediaan secara universal yaitu dengan memecahkan akar masalahnya. Misalnya menghentikan komersialisasi industri obat, melarang iklan obat, menyediakan tenaga kesehatan melalui pemberian beasiswa pendidikan kedokteran, menyediakan obat generik, dan lain-lain.

hal lain yang bisa, dan telah, dilakukan yaitu mengalokasikan lebih besar lagi anggaran kesehatan, melalui efisiensi belanja anggaran. tapi lagi, hal ini pun hanya escape strategy karena tidak menyelesaikan masalah sebenarnya. Walau begitu, setidaknya strategi ini bisa mempertahankan keberadaan sistem universal.

D. Kesiapan institusi/strukturalreformasi pelayanan kesehatan, tanpa disertai dengan kesiapan institusi pelaksananya, hanya akan berakhir sia-sia. dalam penyediaan layanan kesehatan yang begitu birokratis seperti saat ini, tujuan utama pelayanan kesehatan seringkali di”kalahkan” oleh batasan-batasan administratif. tidak jarang kita mendengar pasien miskin yang begitu membutuhkan pelayanan ditolak oleh pemberi layanan karena alasan administratif.

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Box 5. Siapkah Institusi Pemerintah di Sektor Kesehatan?

semakin siap atau semakin mudah untuk menyiapkan institusi pelaksana kebijakan, maka reformasi penyediaan layanan kesehatan akan semakin mudah. Baik ke arah universal maupun residual. kondisi kaku birokrasi, sebagaimana yang ada di hampir seluruh daerah di indonesia seringkali menjadi batu sandungan bagi pelaku advokasi.

namun secara umum, karena kondisi birokrasi sistem penyediaan layanan kesehatan kita sangat liberal dimana orang langsung mengakses layanan kesehatan dan langsung membayar dari kantongnya sendiri (out of pocket), sistem ini lebih dekat ke sistem residual. hasilnya, kondisi birokrasi yang kaku dan lembam ini akan sedikit lebih mudah untuk melakukan reformasi ke arah sistem residual. sementara untuk melakukan reformasi ke arah sistem universal akan sangat jauh lebih sulit.

e. Ketersediaan infrastruktur dan SDMketerbukaan akses tidak akan ada artinya tanpa adanya ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan dan sumber daya manusia pendukungnya. ketersediaan ini menjadi prasyarat peningkatan layanan kesehatan pada masyarakat.

Box 6. Menciptakan Permintaan (Creating demand) atau Melayani Permintaan (serving demand)?

dari karakteristik penyediaan prasarana dan sumber daya manusia, pendekatan universal lebih bersifat menciptakan permintaan. ini berarti, penyediaan infrastruktur dan sumber daya manusia ini harus merata, agar cakupannya (coverage of service) menjadi luas dan dapat melayani sebanyak mungkin masyarakat. konsekuensinya, infrastruktur dan sumber daya manusianya harus disediakan walaupun secara ekonomis tidak efisien.

sebaliknya, karakteristik penyediaan prasarana dan sumber daya manusia dalam pendekatan residual menuntut penyediaan yang lebih efisien secara ekonomi. hal ini karena pendekatan ini lebih mengandalkan mekanisme pasar dalam penyediannya. dimana ada permintaan yang tinggi, maka pasar akan meresponnya dengan menyediakannya sesuai permintaan. konsekensinya, permintaan yang dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi tidak akan dilayani oleh pasar. di sini terjadi kegagalan pasar, dimana pasar gagal menyediakan infrastruktur dan sdM kesehatan. ini banyak terjadi pada kasus orang miskin, dimana menyediakan infrastruktur dan sdM kesehatan untuk mereka dianggap tidak menguntungkan sehingga orang miskin tidak terlayani.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

system oF Cover di indonesia: normatiFPenyediaan jaminan pelayanan kesehatan di indonesia diatur melalui banyak peraturan, baik yang sifatnya perundangan atau pun bukan22), mulai dari undang-undang dasar sampai keputusan Menteri, bahkan Peraturan daerah. Mulai dari yang hanya mengamanatkan, sifatnya umum dan prinsipil, sampai yang sifatnya teknis mendetail.

secara normatif, penyediaan jaminan sosial umumnya telah diamanatkan dalam perundangan tertinggi, uud 1945. Pada bagian pembukaan disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah negara indonesia adalah untuk

�� �eberapa yang masih berlaku diantaranya:

o Undang-Undang Nomor �� Tahun �99� Tentang Kesehatan.

o Undang-Undang Nomor �0 Tahun �00� Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

o Undang-Undang Republik Indonesia Nomor �� Tahun �005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan �udaya)

o Peraturan Pemerintah Nomor 7� Year �99� Tentang Pendirian Perusahaan Asuransi, dan �erbagai Revisinya.

o Peraturan Pemerintah Nomor �8 Tahun �00� Tentang Subsidi Pemerintah dan Kontribusi dalam Implementasi Asuransi Kesehatan �agi Pegawai Negeri Sipil dan Pensiunan

o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor �� Tahun �005 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor �� Tahun �99� Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja

o Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor �0 Tahun �00� Tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional

o Permenkes Nomor 57�/MENKES/PER/VII/�99� Tentang Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan Perubahannya Permenkes Nomor 5�8/Menkes/Per/Vi/�99� Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57�/Menkes/Vii/�99�

o Keputusan �ersama Menteri Kesehatan dan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 999A/MENKES/SK�/VIII/�00� dan Nomor �7a Tahun �00� Tentang Perubahan Atas Keputusan �ersama Menteri Kesehatan dan Menteri dalam Negeri Nomor �0��/MENKES/SK�/IX/�00� dan Nomor �� Tahun �00� Tentang Tarip dan Tatalaksana

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

memajukan kesejahteraan umum23). kemudian pada pasal 28a, 28C ayat (1), 28h ayat (1) dan (2), menekankan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, sejahtera, adil dan berkualitas24).

Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah �agi Peserta PT. (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia dan Anggota Keluarganya

o Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: ���/MENKES/SK/II/�00� Tentang Sistem Kesehatan Nasional

o Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor ��57/MENKES/SK/X/�00� Tentang Standar Pelayanan Minimal �idang Kesehatan di Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal �idang Kesehatan

o Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor �09�/MENKES/SK/X/�00� Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal �idang Kesehatan di Kabupaten/Kota

o Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor ���/MENKES/SK/V/�00� Tentang Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun �005–�009

o Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 00�/MENKES/SK/I/�00� Tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi �idang Kesehatan

o Keputusan Menteri Kesehatan Nomor ��0�/MENKES/SK/VIII/�00� Tentang Indikator Indonesia Sehat �0�0 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat

�� Pada bagian pembukaan, paragraf ke empat:…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…

�� Pasal �8A.

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. **)

Pasal �8C

(�) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. **)

Pasal �8H

(�) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. **)

(�) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. **)

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

kemudian, uud1945 juga mengamanatkan bahwa penyediaan jaminan sosial merupakan hak sebagai warga negara, dan kewajiban negara untuk menyediakannya secara menyeluruh, tanpa diskriminasi. Bahkan terkait dengan kemiskinan dan kerentanan warga, pada pasal 34 ayat (1) dan (2) lebih ditekankan lagi bahwa negara harus memberikan perhatian lebih pada warga negara yang kurang beruntung25).

khusus pada pasal 28h ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. kemudian, berdasarkan Pasal 34 ayat (3) pelayanan ini merupakan tanggung jawab negara sepenuhnya untuk menyediakannya26).

Pada tingkatan undang undang, paling tidak ada beberapa produk hukum di indonesia yang terkait dengan penyediaan pelayanan kesehatan dan jaminan pelayanannya.

yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan international Covenant on economic, social and Cultural rights. dalam undang-undang ini, ditegaskan hak-hak ecosoc warga yang di antaranya adalah hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12). hak-hak tersebut sangat terkait dengan penyediaan layanan kesehatan dan jaminan pelayanannya.

�5 Terkait dengan penyediaan jaminan sosial ada beberapa pasal yang menegaskannya, di antaranya:

Pada pasal �8H ayat (�) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)”

Pasal �� ayat (�) disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. ****)”

Pasal �� ayat (�) disebutkan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. ****)”

�� Pasal �� ayat (�)

(�) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

kemudian yang kedua adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. dalam undang-undang ini disebutkan bahwa setidaknya ada lima jenis jaminan sosial yang terdiri dari jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun dan kematian. dalam hal kepesertaan, secara umum, peserta jaminan sosial adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran (Pasal 1 angka 8). kemudian secara implisit, lebih spesifik, peserta di antaranya adalah pekerja dan pemberi kerja (Pasal 13 ayat (1))27) serta fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai penerima bantuan pemerintah (Pasal 14 ayat (1) dan (2))28).

dalam undang-undang ini disebutkan bahwa penyelenggaraan jaminan kesehatan didasarkan pada prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas (Pasal 19 ayat (1)). Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip asuransi sosial meliputi : (a) kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang beresiko tinggi dan rendah; (b) kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; (c) iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; (d) bersifat nirlaba. sedangkan prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.

dari sisi kepesertaan, kepesertaan seseorang dan/atau keluarga dalam jaminan kesehatan kemudian ditentukan oleh sudah atau belumnya dia membayar iuran, baik melalui pemberi kerja atau sebagai penerima bantuan pemerintah (Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3)). kepesertaan ini terus berlanjut, sampai 6 bulan peserta yang bersangkutan diberhentikan kerja. Bila tidak mendapatkan

�7 Pasal �� ayat (�):

Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta kepada �adan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.

�8 Pasal �� ayat (�) dan (�)

(�) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada �adan Penyelenggara Jaminan Sosial.

(�) Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (�) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

pekerjaan berikutnya dan tidak mampu, peserta ini dibayarkan iurannya oleh pemerintah (pasal 24 ayat (1), (2) dan (3)).

sedangkan manfaat layanan kesehatan untuk peserta jaminan dapat diperoleh dari penyedia layanan kesehatan (misal, rumah sakit) yang bekerja sama dengan badan penyelenggara (atau yang tidak ada kerja sama, hanya dalam keadaan tertentu) (pasal 23 ayat (1) dan (2). dalam hal pembiayaan layanan, menurut undang undang ini, Badan Penyelenggaraan Jaminan sosial bisa melakukan negosiasi biaya pelayanan dengan penyedia layanan kesehatan (Pasal 24 ayat (1)).

ada beberapa hal yang perlu dicermati lebih dalam terkait dengan substansi yang dibahas dalam undang undang ini. yang pertama adalah prinsip asuransi sosial. Prinsip ini sangat sosial dan sangat universal, dimana seluruh warga tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi, baik secara wajib atau pun sukarela, gotong-royong saling bantu dan saling menanggung resiko atas kesehatan. yang kedua adalah prinsip ekuitas. Prinsip ini menjamin bahwa seluruh peserta berhak mendapatkan pelayanan yang sama sesuai dengan kebutuhan medis yang bersangkutan tanpa terikat besaran iuran yang dibayarkan. Prinsip ini mengamanatkan adanya standar pelayanan dengan kualitas tertinggi yang diberikan pada semua peserta tanpa kecuali.

namun pada sistem yang berjalan saat ini, melalui askeskin misalnya, peserta jaminan kesehatan saat ini memperoleh pelayanan “sesuai dengan pembayaran”, bukan sesuai kebutuhan medis. Pelayanan yang mereka terima kualitasnya jauh lebih rendah daripada pelayanan yang diterima oleh pasien yang membayar langsung (out of pocket). Bahkan tidak jarang peserta jaminan kesehatan ini mendapatkan diskriminasi pelayanan dari penyedia layanan.

hal lain yang perlu diperhatikan adalah sisi kepesertaan. undang -undang ini mengamanatkan kepesertaan “hanya” untuk pemberi kerja dan pekerjanya serta fakir miskin dan orang tidak mampu. Bila kita melihat kondisi demografis penduduk, banyak sekali pekerja dan pemberi kerja di sektor informal. Misalnya petani dan buruh tani, pengusaha kerajinan dan buruh, pengusaha transportasi dan buruh transportasi (delman, ojeg, angkot, dan lain-lain). atau juga

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

juragan dan pedagang kecil (kaki lima, asongan, pasar, dan lain-lain). Bagi mereka pemberi kerja dalam sektor ini, mereka bukan fakir miskin dan mereka mampu sampai pada batasan tertentu. sementara bagi pekerjanya, mereka bukan fakir miskin tapi biasanya hidupnya pas-pasan dan penghasilannya hanya cukup untuk makan. sifat yang pekerjaan informal menyulitkan mereka untuk terlibat dalam sistem jaminan pelayanan kesehatan.

hal lainnya adalah jenis pelayanan yang dijamin dan yang tidak dijamin. dalam undang-undang ini sama sekali belum tegas. Bahkan, udang undang ini mengamanatkan agar jenis pelayanan yang dijamin dan yang tidak dijamin ini dijelaskan lagi oleh peraturan perundangan yang lain, tanpa menyebutkan jenis peraturan perundangannya.

hal lain yang menjadikan jaminan kesehatan ini “sedikit” rumit adalah iuran peserta. ini menjadi penting karena iuran menentukan kepesertaan. dalam hal iuran yang ditanggung oleh pemerintah, tidak ada kejelasan apakah iuran ini ditanggung seluruhnya atau hanya sebagian saja. hal lain yang membuat lebih rumit adalah penentuan besaran iuran yang didasarkan pada persentase penghasilan. dimana untuk peserta yang tidak menerima upah, besaran iuran ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala. dengan besarnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal, hal ini akan sangat sulit dilakukan.

Peraturan perundangan berikutnya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. undang undang ini merupakan pengganti undang-undang kesehatan sebelumnya, uu ri no.8 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok kesehatan. Bila pada uu8/60 hanya ada dua ayat yang menyebut soal jaminan kesehatan29), maka pada uu23/92 diatur lebih jelas lagi.

�9 UU RI No.8 Thn.�9�0 Tentang Pokok-Pokok Kesehatan (LEM�ARAN NEGARA NoMoR ��� TAHUN �9�0 DAN TAM�AHAN LEM�ARAN NEGARA NoMoR �0�8 TAHUN �9�0)

Pasal 8

(�) Pemerintah melakukan usaha-usaha khusus untuk menjamin kesehatan pegawai, buruh dan golongan-golongan karya lain beserta keluarganya sesuai dengan fungsi dan lingkungan hidupnya.

(5) Pemerintah mengatur dan menggiatkan usaha-usaha dana sakit.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

dalam undang-undang ini sangat disadari bahwa kesehatan merupakan modal dasar bagi pembangunan30). sementara penegasan hak setiap orang akan kesehatan menjadi intro dari batang tubuh undang undang ini, dengan menyebutkan bahwa “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal” (Pasal 4). dan kewajiban (tanggung jawab) pemerintah untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang baik, merata, dan terjangkau bagi seluruh warga, termasuk mereka yang kurang mampu (pasal 7, pasal 8 dan pasal 9).

Pada bagian pembiayaan kesehatan disebutkan bahwa pembiayaan kesehatan dibiayai oleh pemerintah dan atau masyarakat (pasal 65 ayat (1)). dan pemerintah diamanatkan untuk membantu upaya kesehatan masyarakat, terutama bagi mereka yang rentan (pasal 65 ayat (2)).

dalam hal penyediaan jaminan kesehatan, undang-undang ini mengamanatkan pemerintah untuk mengembangkan, membina dan mendorong jaminan pelayanan kesehatan masyarakat (pasal 66 ayat (1)). Jaminan kesehatan, atau Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat, sebagaimana dimaksud pada pasal 1 nomor 15, adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya. Jaminan ini pembiayaannya dilaksanakan secara praupaya, berazaskan usaha bersama dan kekeluargaan (pasal 66 ayat (1)). dari sisi sifat kepersertaan jaminan, kepesertaan dalam jaminan pelayanan kesehatan sifatnya aktif (pasal 66 ayat (3)). Jadi untuk dapat menjadi peserta, setiap orang yang mengajukan diri pada penyelenggara jaminan.

Beberapa hal yang harus dicermati dalam undang-undang ini terkait dengan penyediaan jaminan kesehatan yaitu, pertama, kesehatan adalah hak semua orang, termasuk yang miskin dan

�0 dalam UU��/�99� tentang Kesehatan pada bagian menimbang disebutkan bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan. dan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

rentan, dan pemerintah berkewajiban menyediakannya. di sini kita melihat adanya kesamarataan perlakuan bagi warga dan penegasan tanggung jawab pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan.

hal kedua yang harus dicermati adalah dalam penyediaan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat. dalam undang-undang ini ada kesan bahwa peran pemerintah tidak berkewajiban menyediakan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah hanya berperan untuk mengembangkan, membina dan mendorong jaminan pelayanan kesehatan masyarakat. tidak pula ditegaskan mengenai siapa yang berkewajiban menyediakan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat.

Memang saat ini pada kenyataannya masyarakatlah yang langsung membiayai pelayanan kesehatan. sementara peran pemerintah masih rendah, kurang efektif, dan kurang adil terutama untuk mereka yang miskin31).

Peraturan berikutnya adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang standar Pelayanan Minimal Bidang kesehatan di kabupaten/kota dan Keputusan

�� dalam dokumen Sistem Kesehatan Nasional �00� (Kepmenkes ���/MENKES/SK/II/�00�), pada bab II Analisis Situasi dan Kecenderungan Sistem Kesehatan Nasional, disebutkan bahwa

… Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya rata-rata �,�% dari Produk Domestik �ruto (PD�) atau rata-rata antara USD ��-�8 per kapita per tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran organisasi Kesehatan Sedunia yakni paling sedikit 5% dari PD� per tahun. Tiga puluh persen dari pembiayaan tersebut bersumber dari pemerintah dan sisanya sebesar 70% bersumber dari masyarakat termasuk swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif.

Pengalokasian dana bersumber pemerintah belum efektif. Dana pemerintah lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif dan sementara itu besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat terbatas. Pembelanjaan dana pemerintah belum cukup adil untuk mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan bantuan untuk keluarga miskin.

Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih terbatas serta bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni kurang dari �0% penduduk. Metoda pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi oleh pembayaran tunai sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian pelayanan kesehatan secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan…

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

Menteri Kesehatan RI Nomor 1091/MENKES/SK/X/2004 tentang Petunjuk teknis standar Pelayanan Minimal Bidang kesehatan di kabupaten/kota. dalam standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten/kota, disebutkan bahwa salah satu dari lima tujuan strategis sPM adalah terlindunginya kesehatan masyarakat, khususnya penduduk miskin, kelompok rentan dan daerah miskin (tujuan strategis ke-3). salah satu standar pelayanan minimal yang ditetapkan dalam dokumen tersebut adalah bahwa dalam (1) cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan pra-bayar (JPk) dalam penyelenggaraan pembiayaan untuk pelayanan kesehatan perorangan harus mencapai 80 persen. kemudian (2) cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga Miskin dan masyarakat rentan (JPk gakin) dalam penyelenggaraan pembiayaan untuk keluarga Miskin dan masyarakat rentan harus mencapai 100 persen.

hal tersebut diulang dan ditegaskan lagi dalam petunjuk teknisnya (Juknis). dalam juknis tersebut, pada bagian penjelasan, dijelaskan bahwa keluarga miskin yang dimaksud adalah keluarga yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Tim Koordinasi Kabupaten/Kota (TKK) dengan melibatkan Tim Desa dalam mengidentifikasi nama dan alamat Gakin secara tepat, sesuai dengan Gakin yang disepakati. dan masyarakat rentan adalah masyarakat yang tergolong dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), mencakup 27 jenis antara lain: anak balita terlantar, anak terlantar, anak korban kekerasan, anak nakal, anak jalanan, anak cacat, wanita rawan sosial ekonomi, wanita korban tindak kekerasan, lanjut usia terlantar, lanjut usia korban tindak kekerasan, penyandang cacat, penyandang cacat bekas penyakit kronis, tuna susila, bekas narapidana, pengemis dan gelandangan, keluarga fakir miskin, keluarga dengan rumah tak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, komunitas adat terpencil, masyarakat rawan bencana, korban penyalahgunaan NAPZA,pengidap HIV/AIDS, korban bencana alam, korban bencana sosial / pengungsi, pekerja migran terlantar.

dalam kedua dokumen kepmenkes ini setidaknya ada tiga hal yang bisa kita cermati. Pertama, bahwa ada keinginan pemerintah untuk mencapai sesuatu yang sangat ideal dalam bidang kesehatan seperti 80% capaian JPk pra-bayar dan 100% capaian JPk gakin. hal ini harus dihargai setinggi-tingginya.

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

hal kedua yang bisa dicermati adalah penentuan keluarga miskin, yang dilakukan sangat detail dan bottom-up. detailnya informasi mengenai keluarga miskin akan sangat membangu efisiensi penggunaan alokasi dana untuk keluarga miskin. namun di sini ada masalah yang cukup besar, yaitu mengenai pendefinisian keluarga miskin. dalam juknis ini tidak ditetapkan definisi yang jelas. tanpa definisi yang jelas, bukan tidak mungkin orang yang tidak seharusnya dikategorikan sebagai keluarga miskin dianggap sebagai keluarga miskin, atau sebaliknya.

hal ketiga yaitu definisi masyarakat rentan. di sini departemen kesehatan mengadopsi definisi masyarakat rentan yang digunakan oleh departemen sosial, yaitu Penyandang Masalah kesejahteraan sosial (PMks) dengan 27 kelompoknya. definisi ini berlainan sekali dengan pengertian akademis masyarakat rentan, yang melihat dari lemahnya endowment asset dan entitlement yang dimiliki. Memang ke 27 kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial juga sangat memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan. tapi definisi yang resmi digunakan ini telah mengecualikan (exclude) masyarakat rentan dalam pengertian akademis32).

kemudian, masih berupa keputusan menteri, adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 131/MENKES /SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional. dalam sistem kesehatan nasional, disebutkan bahwa saat ini alokasi dana pemerintah belum cukup adil33) untuk mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan bantuan untuk keluarga miskin. untuk itu, terkait dengan pembiayaan, salah satu prinsip yang digunakan dalam subsistem pembiayaan kesehatan adalah bahwa “dana pemerintah diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi masyarakat rentan dan keluarga miskin”.

dalam hal sumber dananya untuk upaya kesehatan perorangan, sumber dana berasal dari masing-masing individu dalam satu kesatuan keluarga. sementara pemerintah berperan membantu masyarakat rentan dan keluarga miskin melalui mekanisme jaminan

�� Pengertian mengenai kerentanan telah dibahas pada bab sebelumnya.�� �ab II Analisis Situasi dan Kecenderungan Sistem Kesehatan Nasional, bagian

pembiayaan kesehatan.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

pemeliharaan kesehatan wajib yang sumber dananya berasal dari pemerintah. Besaran dana ini ditetapkan berkisar antara 5-15% dari total belanja pembangunan dalam anggaran tahunan.

salah satu hal yang patut dipuji dari dokumen sistem kesehatan nasional ini adalah adanya pengakuan bahwa saat ini peran pemerintah masih kurang dalam pembiayaan kesehatan. sehingga salah satu upayanya adalah meningkatkan peran pemerintah melalui peningkatan alokasi anggaran untuk kesehatan, baik dari pemerintah pusat maupun dari Pemda. namun dalam hal pengalokasiannya, dana pemerintah lebih difokuskan dalam penyediaan upaya kesehatan masyarakat. sementara dalam upaya kesehatan perorangan difokuskan hanya untuk warga miskin dan rentan.

sebenarnya masih banyak peraturan lainnya. tapi dari hasil kajian di atas kita sudah bisa membuat penilaian mengenai penyediaan jaminan kesehatan di indonesia secara umum.

dari berbagai peraturan yang ada, pada tingkat tertinggi, sudah sangat dipahami bahwa kesehatan adalah hak seluruh warga. kesehatan juga diakui sangat penting dan mendasar bagi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan. demikian juga dalam hal tanggung jawab negara dalam menyediakannya. negara (pemerintah) diamanatkan untuk bertanggung jawab penuh dalam menyediakan pelayanan kesehatan dan menjamin akses warga padanya. dan untuk menjamin akses warga tersebut, pemerintah wajib juga menyediakan jaminan sosial, yang dalam hal ini jaminan pelayanan kesehatan, bagi setiap warga tanpa membeda-bedakan.

namun bila melihat peraturan perundangan dan peraturan lain di bawahnya, sepertinya ada pergeseran secara substansial. Pergeseran ini terkait dengan masalah pembiayaan penyediaan layanan kesehatan, dan termasuk di dalamnya penyediaan jaminan pelayanan kesehatan. dalam hal pembiayaan, pada tingkatan undang-undang sudah sangat jelas bahwa pemerintah tidak diamanatkan untuk bertanggung jawab dalam pembiayaan upaya kesehatan perorangan secara umum. tapi pemerintah menyediakan bantuan pembiayaan upaya kesehatan perorangan khusus bagi yang miskin dan rentan melalui skema Jaminan

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan. dan peraturan lain di bawahnya secara konsisten mengikutinya.

system oF Cover di indonesia: praKtiKsejarah jaminan pelayanan kesehatan dalam bentuk asuransi dari pemerintah sebenarnya dimulai pada Juli 1968, atau delapan tahun setelah munculnya uu no. 8/1960. Pada waktu itu presiden mengeluarkan Peraturan Presiden no. 230 tentang dimulainya asuransi kesehatan Wajib bagi Pegawai negeri sipil dan Pensiunan. dan pada waktu itu juga merupakan titik awal dibentuknya Pt. askes sebagai pelaksana jaminan. tapi itu baru untuk pegawai negeri sipil.

undang-undang no. 32/1992 menandai dimulainya era baru jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. undang-undang ini mengamanatkan untuk diselenggarakannya Jaminan Pelayanan kesehatan (JPk) bagi masyarakat. kemudian di tahun 1993, melalui Permenkes no. 571/Menkes /Per/Vii/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan kesehatan Masyarakat34). Program ini adalah program besarnya, dan tidak mengkhususkan bagi warga miskin. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa program ini diperuntukan bagi (1) pekerja, (2) rumah tangga, (3) pelajar/mahasiswa, (4) organisasi sosial dan kemasyarakatan.

Melalui program ini peserta akan memperoleh pelayanan kesehatan dan berjenjang dari Pemberi Pelayanan kesehatan (PPk)35) dengan pelayanan tingkat pertama sebagai ujung tombak.

�� Kemudian Permenkes ini dirubah dengan Permenkes nomor 5�8/Menkes/Per/VI/�99� tentang perubahan atas peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57�/Menkes/VII/�99�. Sebenarnya masih ada beberapa peraturan lain yang terkait penyediaan jaminan pelayanan kesehatan, seperti misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 7� Tahun �99� tentang pendirian perusahaan asuransi, dan berbagai revisinya.

�5 Jaringan pelayanan berjenjang terdiri atas pelayanan tingkat pertama/Primer, sekunder dan tertier. Pemberi pelayanan tingkat pertama (PPK-�) dapat berupa dokter umum/dokter keluarga, dokter gigi, bidan praktik, puskesmas, balkesmas, maupun klinik yang dikontrak oleh bapel JPKM yang bersangkutan. Selanjutnya bila diperlukan akan dirujuk ke tingkat sekunder (PPK-�), yakni praktik dokter spesialis, kemudian dapat dilanjutkan ke tingkat tertier ( PPK-� ) yaitu pelayanan spesialistik di rumah sakit untuk pemeriksaan atau rawat inap.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

Gambar 1. Skema Jaminan Kesehatan Indonesia

Melalui program ini, PPk diikat dengan kontrak oleh bapel untuk menyediakan layanan bagi peserta. PPk dilarang menarik pembayaran dari peserta sepanjang pelayanan yang diberikan sesuai dengan paket yang disepakati bersama (pasal 27). PPk juga tidak boleh menolak peserta yang membutuhkan pelayanan kesehatan (pasal 28). PPk dilarang menghentikan perawatan dalam suatu proses karena alasan administratif (pasal 29). Peserta tidak perlu membayar sepanjang pelayanan sesuai dengan kesepakatan bersama yang tertuang dalam kontrak.

dalam program ini peserta diminta membayar sejumlah premi/iuran dengan jangka waktu tertentu yang ditetapkan (pasal 10). sistem pembiayaannya dikelola dengan cara kapitasi, dimana bapel membayarkan sejumlah uang (biaya rata-rata per peserta dalam unit waktu tertentu) pada PPk untuk seluruh peserta yang terdaftar pada PPk tersebut.

Pada 1998, Program Jaring Pengaman sosial Bidang kesehatan (JPs-Bk) diluncurkan. Program ini khusus untuk masyarakat miskin. Masyarakat miskin bisa mengakses pelayanan kesehatan dasar secara gratis dari penyedia layanan kesehatan publik dengan menunjukan kartu kepesertaan (kartu sehat). Pada 2001, pemerintah melakukan ujicoba program JPk gakin (JPk untuk keluarga miskin). tidak banyak perbedaan dengan program sebelumnya, namun dalam program ini peran Pemda menjadi lebih besar dalam menentukan kepesertaan dan pembiayaan.

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

42

melalui Permenkes nomor 571/Menkes /Per/VII/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat35. Program ini adalah program besarnya, dan tidak mengkhususkan bagi warga miskin. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa program ini diperuntukan bagi (1) pekerja, (2) rumah tangga, (3) pelajar/mahasiswa, (4) organisasi sosial dan kemasyarakatan.

Melalui program ini peserta akan memperoleh pelayanan kesehatan dan berjenjang dari Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)36

dengan pelayanan tingkat pertama sebagai ujung tombak.

35 Kemudian permenkes ini dirubah dengan Permenkes nomor 568/Menkes/Per/VI/1996 tentang perubahan atas peraturan Menteri Kesehatan Nomor 571/Menkes/VII/1993. Sebenarnya masih ada beberapa peraturan lain yang terkait penyediaan jaminan pelayanan kesehatan, seperti misalnya Peraturan Pemerintah nomor 73 Year 1992 tentang pendirian perusahaan asuransi, dan berbagai revisinya.

36 Jaringan pelayanan berjenjang terdiri atas pelayanan tingkat pertama/Primer, sekunder dan tertier. Pemberi pelayanan tingkat pertama (PPK-1) dapat berupa dokter umum/dokter keluarga, dokter gigi, bidan praktek, puskesmas, balkesmas, maupun klinik yang dikontrak oleh bapel JPKM yang bersangkutan. Selanjutnya bila diperlukan akan dirujuk ke tingkat sekunder (PPK-2), yakni praktek dokter spesialis, kemudian dapat dilanjutkan ke tingkat tertier ( PPK-3 ) yaitu pelayanan spesialistik di rumah sakit untuk pemeriksaan atau rawat inap.

Gambar 3-1. Skema Jaminan Kesehatan Indonesia

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Tabel 4. Contoh Perbandingan Tarif dan Premi Pelayanan Kesehatan dalam Skema JPKM di Tahun 2000

Tarif Pelayanan Kesehatan Tahun 2000

PuskesmasRumah

Sakit UmumRumah

Sakit Swasta

rawat Jalan tingkat Pertama 2.200 3.850 44.000

rawat Jalan tingkat lanjutan 13.200 27.500 143.000

rawat inap (per orang per hari) 99.000 192.500 1.375.000

Pelayanan gawat darurat 27.500 55.000 110.000

Premi Bulanan JPKM Tahun 2000

PuskesmasRumah

Sakit UmumRumah

Sakit Swasta

rawat Jalan tingkat Pertama 1.131,50 1.980,12 22.629,90

rawat Jalan tingkat lanjutan 785,22 1.635,88 8.506,56

rawat inap (per orang per hari) 740,88 1.440,59 10.289,95

gawat darurat 22,88 45,76 91,52

Besaran Premi Bulanan 2.680,47 5.102,35 41.517,93

Perubahan lainnya terjadi di tahun 2005, pasca munculnya undang -undang 20/2004 tentang sistem Jaminan sosial nasional. Menteri kesehatan mengeluarkan keputusan Menteri kesehatan (kepmen no.1241/Menkes /sk/xi/2004) yang menyebutkan bahwa JPk-gakin harus dikelola oleh Pt. askes (Persero) (melalui skema asuransi kesehatan untuk rakyat Miskin/askeskin) yang bertindak sebagai monopoli pemerintah, sesuai dengan uu no. 40/2004 mengenai sistem Jaminan sosial nasional yang baru disahkan. dalam kaitan ini Pt. askes telah ditugaskan untuk mengelola Program Pemeliharaan kesehatan bagi Masyarakat Miskin mulai 1 Januari 2005 di fasilitas kesehatan strata i, ii dan ii; dan layanan rawat inap kelas iii rumah sakit pemerintah.

Beberapa modifikasi terus terjadi, seperti misalnya di akhir tahun 2007, pemerintah mengganti nama program menjadi Jaminan kesehatan Masyarakat/JaMkesMas, dan mengurangi peran Pt. askes. dana askeskin untuk Puskesmas ditarik dari Pt. askes dan langsung dipegang depkes. sementara dana askeskin untuk

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

rumah sakit tetap dikelola Pt. askes36). dan di tahun 2008, mulai 1 Februari 2008, Pt. askes tidak lagi ditugasi melakukan pengelolaan keuangan program dan hanya dibebani tugas mengelola kepesertaan, praverifikasi peserta dan pelayanan program. untuk itu Pt. askes menerima ongkos pengelolaan sebesar 2,5% dari total dana yang dikelola sejumlah 4,6 triliun (2008).

Mempunyai endowment yang mencukupi, dalam bentuk uang, waktu, dan lain-lain, adalah sebuah kemewahan bagi kebanyakan orang, terutama mereka yang miskin dan rentan. Mempunyai badan yang sehat bahkan sebuah kemewahan tersendiri yang sangat mahal bagi kebanyakan orang miskin karena mereka mengandalkan hidupnya dari badan yang sehat. narayan (2001) menyebutkan bahwa “Inadequate access to timely and affordable health care is one primary reason for insecurity (ketidakcukupan akses pada pelayanan kesehatan yang terjangkau secara tepat waktu adalah salah satu penyebab terbesar kerawanan)”. Pernyataan ini mengingatkan kita betapa pentingnya pelayanan kesehatan bagi mereka yang miskin dan rentan. JPk-gakin (askeskin) diluncurkan untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.

Berbagai masalah akhirnya menghambat efektifitas askeskin. Beberapa tahun berjalan, program penyediaan jaminan kesehatan bagi warga miskin (askeskin) ini mulai menghadapi berbagai masalah. keluhan terdengar dari semua stakeholder yang terlibat di dalamnya. Beberapa di antaranya:o Selama pelaksanaan program, dana Askeskin rawan

untuk disalahgunakan (korupsi). salah satu contohnya seperti yang terjadi di sebuah rumah sakit di Bali37), atau klaim yang dilakukan rumah sakit di luar batasan kewajaran, baik jumlahnya juga peruntukannya38).

�� Dari temuan Zuber Safawi, anggota DPR RI komisi IX, menyebutkan bahwa pengambilalihan ini telah meningkatkan unit cost dari Rp.�0�.��9 di tahun �00� menjadi Rp.���.88� di tahun �008.

�7 kormonev.menpan.go.id - Dugaan Korupsi Askeskin Diusut <http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index.php?option=co...(accessed: 9/�0/�008 �:08 AM)>

�8 Dana Askeskin Rawan Manipulasi, news.okezone.com : Menkes: Dana Askeskin Rawan Manipulasi <http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/�008/0�/09/�/99��� (accessed:9/�0/�008 �:�0 AM)>

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

o Belum bisa dinikmati masyarakat miskin. Program askeskin belum menyentuh dan belum bisa dinikmati secara maksimal oleh masyarakat miskin. selain itu program ini juga seringkali tidak tepat sasaran dalam realisasi di lapangan39).

o Rentan moral hazard. dalam berita yang dikeluarkan oleh depkes40), disebutkan bahwa banyak orang yang pura-pura miskin dengan menggunakan surat keterangan tanda Miskin (sktM). akibatnya banyak terjadi penyimpangan penggunaan sktM, dimana banyak masyarakat yang tidak miskin menggunakan askeskin. hal ini tentu sangat merugikan hak-hak masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena “jatah”nya sudah digunakan oleh masyarakat yang tidak miskin. Masalah lain yang diungkapkan adalah kurangnya penyediaan dana dan rendahnya partisipasi pemerintah daerah dalam menyediakan pendamping.

o Jumlah masyarakat miskin yang terus meningkat juga meningkatkan beban pembiayaan. Pada awal tahun 2005 sasaran program berjumlah 36,1 juta jiwa penduduk miskin di seluruh indonesia. Pada tahun 2007 sasaran disesuaikan dengan jumlah rumah tangga miskin penerima subsidi tunai langsung (slt) yaitu 19,1 juta atau sekitar 76,4 juta jiwa. Pemanfaatan rumah sakit untuk rawat jalan pun semakin meningkat. Bila di tahun 2005 “hanya” 1,4 juta kunjungan, maka di tahun 2006 menjadi 6,9 juta kunjungan. dan rawat inap meningkat hampir lima kali lipat, yaitu dari 1,4 juta kunjungan pada tahun 2005 menjadi 6,9 juta kunjungan pada tahun 2006. sedangkan untuk rawat inap meningkat hampir tiga kalinya.

o Keterbatasan sarana. Masih dalam berita yang sama, banyak masyarakat miskin yang belum terlayani karena keterbatasan sarana pelayanan. sementara pada saat yang sama terjadi peningkatan pembiayaan klaim rumah sakit karena pemberian pelayanan yang berlebihan, penggunaan obat yang tidak terkendali, serta belum optimalnya pengawasan dan pengendalian pelayanan medis rumah sakit.

�9 Memperjuangkan Askeskin (Selasa, �0 November �007), yappika.or.id - Memperjuangkan Askeskin <http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=vie...(accessed: 9/�0/�008 �:07 AM)>

�0 �erita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Setjen Depkes pada tanggal �� september �007. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 0��-5�� �00� atau alamat e-mail [email protected].

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 3 - Jaminan layanan kesehatan

o Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) banyak yang menolak pasien miskin peserta Askeskin. Misalnya seperti yang terjadi di sukoharjo41). ini karena PPk tersebut mengaku belum dibayar klaimnya oleh Pt. askes. klaim tersebut bahkan jumlahnya ada yang mencapai milyaran rupiah. Bahkan kasus ini terus terjadi sampai saat ini, seperti yang dilaporkan oleh salah seorang anggota dPr42).

o PT. Askes menyalahkan pemerintah atas keterlam-batan pembayaran klaim. Pemerintah dianggap terlambat mengucurkan dana untuk bantuan iuran premi bagi keluarga miskin. selain itu jumlah dana yang disalurkan terlalu kecil dibanding dengan jumlah klaim yang harus dibayar43). Premi yang sekarang berjalan pun dinilai terlalu kecil.

o Pendataan peserta keluarga miskin rumit, dan data yang ada pun tidak bisa diandalkan. ini menyebabkan banyak perbedaan data yang akhirnya memperlambat pelaksanaan program, seperti misalnya yang terjadi di riau44).

o Pemberian obat di luar standar resep. dokter, baik secara terpaksa atau tidak, juga secara sadar atau tidak, banyak memberikan resep pada pasien gakin di luar formula yang ada dalam skema obat obatan dan pelayanan yang ditanggung oleh askeskin. akibatnya dana klaim juga semakin membengkak, terutama tagihan untuk obat-obatan. Pemerintah meresponnya dengan mengurangi jumlah obat-

�� Rumah Sakit Tolak Askeskin - harian joglosemar <http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=...(accessed: 9/�0/�008 �:0� AM)>

�� Rumah Sakit Sudah �erani Tolak Pasien Askeskin, Zuber Safawi, Anggota Komisi IX DPR-RI, Senin, �0/0�/�008 ��:0�:�� Fraksi PKS DPR RI - Rumah Sakit Sudah �erani Tolak Pasien Askeskin <http://fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=�5�� (accessed:9/�0/�008 �:09 AM)>

�� Dana Askeskin Menipis, Gakin Akan Kian Menderita, dilaporkan dalam situs resmi menkokesra. (Dana Askeskin Menipis, Gakin Akan Kian Menderita, .:: Situs Resmi Kementerian Koordinator �idang Kesejahteraan Rakyat ... <http://www.menkokesra.go.id/content/view/�5�8/�9/(accessed: 9/�0/�008 �:0� AM)>

�� Askeskin Terkendala Data Peserta, riau.go.id :: �erita :: Askeskin Terkendala Data Peserta <http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&pti...(accessed: 9/�0/�008 �:0� AM)>

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

obatan yang di-cover 45). sementara seorang dokter umum di surabaya, dalam webblog46) pribadinya, menyebutkan bahwa hal ini dilakukan karena kebutuhan pasien dan karena tidak mau membedakan perlakuan antar pasien miskin dan pasien kaya.

o Pelayanan yang diterima dari PPK seringkali berkualitas rendah, dan diskriminatif. Perilaku PPk seringkali mendiskreditkan pasien dari keluarga miskin. hal ini misalnya ditemukan oleh anggota dPr dalam kunjungan ke kalimantan selatan47).

o Mekanisme penanganan keluhan tak jelas. tidak jelasnya mekanisme keluhan dan pengaduan dari konsumen juga menjadi masalah tersendiri. selama ini keluhan masyarakat “terpaksa” disalurkan konsumen melalui media massa.

desain JPk-gakin yang kurang baik, kurangnya sumber daya (terutama manusia dan finansial), lemahnya koordinasi dan manajemen pelaksanaan, serta distrust yang terjadi di antara stakeholder yang terlibat, menjadikan JPk-gakin menghadapi banyak masalah. Modifikasi yang terus dilakukan pun sepertinya kurang memberikan manfaat pada rakyat miskin. Mereka masih sering kita dengar kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan. [ ]

�5 Seperti berita ini: Menkes Keluhkan Program Askeskin | Eramuslim - �erita Nasional<http://www.eramuslim.com/berita/nas/770���09�9-menkes-keluhkan-...(accessed: 9/�0/�008 �:05 AM)>

Untuk mengantisipasi hal ini, mulai � september �007 diberlakukan skema INA-DRG. INA-DRG merupakan pola pembayaran yang bersifat prospektif. Dengan skema ini, tarif di semua RS pemerintah akan disamakan. Penyamarataan ini akan menjadi acuan bagi PT. Askes untuk melakukan verifikasi klaim. Pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RS No. 989/Menkes/SK/IX/�007 berencana memberlakukan INA-DRG mulai � September �007 untuk kelas III di RS pemerintah di seluruh Indonesia dan � oktober untuk kelas lainnya.

�� Kutukan Askeskin(Jawa Pos, �� Agt �007) « �elajar menjadi daun… <http://dokterpenulis.wordpress.com/�007/08/�8/kutukan-askeskinjaw...accessed (9/�0/�008 �:07 AM)>

�7 Tenaga Medis Abaikan Pasien Askeskin, Majalah Parlementaria - SoSIALISASI ASKESKIN KALSEL PERLU ... <http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_c...(accessed: 9/�0/�008 �:0� AM)>

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

apa yang bisa kita simpulkan dari pembahasan panjang pada tiga bab sebelumnya? seperti dalam ilmu ekonomi, di sini kita melihat adanya mismatch antara sisi permintaan dan

sisi sediaan jaminan layanan kesehatan. dari sisi permintaan, kita melihat banyak sekali kasus kesehatan yang dialami oleh warga miskin terkait dengan terhambatnya akses mereka pada pelayanan kesehatan dari sisi ekonomi.

Memang jumlah penduduk miskin di indonesia masih tinggi, walaupun memang data menunjukan bahwa jumlah tersebut menurun setiap tahunnya. namun dari sisi kerentanan, penduduk indonesia yang rentan juga sangat tinggi. Mereka hidup mengandalkan kesehatan mereka, menjual tenaga untuk mendapatkan nafkah. Mereka bekerja sebagai buruh di berbagai sektor perekonomian, baik yang formal maupun (bahkan lebih banyak lagi) di sektor informal. Masyarakat miskin dan rentan ini sangat mudah terkena musibah, seperti mass(ive) entitlemen failure yang pernah terjadi satu dekade lalu.

sangat disadari bahwa kesehatan individu sangat penting, baik individunya, keluarga, masyarakat juga bangsa dan negara. kesehatan menjadi modal untuk bertahan hidup. kesehatan warga juga menjadi modal sebuah negara untuk membangun dan mencapai tujuan nasionalnya. untuk itulah, pelayanan kesehatan menjadi sesuatu yang sangat vital.

Pelayanan kesehatan harus diupayakan untuk mencapai suatu titik dimana terjadi universal service dan universal access. sayangnya,

Bab 4

Menyediakan Jaminan Pelayanan Kesehatan di Daerah

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

untuk mencapai hal tersebut, seringkali muncul berbagai hambatan. hambatan paling besar yang dihadapi oleh warga adalah hambatan ekonomi untuk mengakses layanan.

Memang mekanisme pasar menjanjikan bahwa bila ada permintaan pasti akan direspon oleh sediaan. namun yang sering dilupakan, bahwa hanya permintaan yang didukung dengan keberadaan sumber daya (uang) lah yang direspon oleh pasar. dalam hal ini, warga miskin dan rentan, dengan segala keterbatasan endowment dan entitlement nya menjadi korban.

Jaminan sosial muncul sebagai salah satu alternatif untuk membantu mereka yang miskin dan rentan. dari berbagai pertimbangan, peran pemerintah di sini menjadi sangat menentukan dalam menyediakan jaminan sosial, termasuk jaminan pelayanan kesehatan.

dalam mendistribusikan jaminan sosial, pemerintah bisa memilih dua pendekatan: universal atau residual. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan untuk memilihnya. namun secara normatif, sepertinya indonesia lebih memilih pendekatan residual. selain di uud 1945, seluruh peraturan perundangan mengarahkan pada pendekatan residual-selektif ini. demikian juga pada praktiknya, melalui JPk, pendekatan residual ini telah digunakan.

Bila melihat gagasan awalnya, pendekatan residual dipilih karena sumber daya yang dimiliki negara sepertinya tidak akan cukup membiayai penyediaan jaminan layanan kesehatan. sehingga ada harapan, sumber daya yang “sedikit” ini bisa dimanfaatkan sebaik- baiknya, dengan mengarahkan langsung alokasinya hanya untuk warga yang membutuhkannya (miskin dan rentan).

sayang, yang terjadi adalah berbagai penyalahgunaan dan munculnya rasa saling curiga dan tidak percaya (distrust) di antara stakeholder yang terlibat. Banyak juga masalah yang timbul muncul dari desain yang kurang baik. hasilnya, masih banyak warga miskin yang tidak mendapatkan akses yang memadai pada pelayanan kesehatan. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak di antara mereka sampai kehilangan nyawa.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

lalu apa lagi yang bisa dilakukan untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi warga miskin dan rentan? karena sampai saat ini masyarakat miskin belum terjamin aksesnya. tanpa adanya perbaikan dalam jaminan pelayan kesehatan saat ini, orang miskin dan rentan saat ini bisa jadi hanya akan semakin menderita di masa depan.

* * * * *kita telah melihat berbagai alasan untuk memperbaiki atau bahkan mengganti jaminan pelayanan kesehatan yang ada saat ini. tapi sayang, kita tidak bisa terlalu banyak berharap bisa ikut berkontribusi menuju perbaikan. ini karena sistem jaminan pelayanan kesehatan yang ada saat ini diatur di tingkat nasional. tapi apakah kita harus menunggu perubahan yang terjadi di tingkat nasional? tidak adakah yang bisa dilakukan?

peluang daerah dalam menyediaKan Jaminan pelayanan KesehatanBerdasarkan undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah pada pasal 14 ayat (1) huruf e disebutkan bahwa Penanganan Bidang kesehatan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. dengan undang undang ini, daerah wajib untuk menangani bidang kesehatan dan karenanya daerah menjadi leluasa dalam menciptakan sub-sistem pelayanan, pembiayaan asuransi kesehatan sosial dan pendidikan.

sebenarnya kebijakan desentralisasi bidang kesehatan ini sudah diluncurkan sejak awal otonomi di tahun 2001. namun baru di tahun 2003, Menteri kesehatan mengeluarkan kebijakan desentralisasi (kepMenkes ri no. 004/Menkes/sk/i/2003 tentang kebijakan dan strategi desentralisasi Bidang kesehatan) yang mana dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa tujuan desentralisasi bidang kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas Nasional dalam mencapai Indonesia Sehat 2010.

disaat kebijakan pusat berjalan kurang efektif di daerah, karena berbagai permasalahan daerah yang begitu unik, sudah selayaknya

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

daerah melakukan inovasi yang bisa mendukung kebijakan pusat. Peluang daerah untuk berinovasi pun sudah begitu terbuka dengan adanya kebijakan-kebijakan pusat yang memberikan keleluasaan pada daerah. hal ini dapat dilihat pada kebijakan-kebijakan desentralisasi bidang kesehatan yang dituangkan dalam dokumen tersebut48).

�8 Untuk mencapai tujuan desentralisasi tersebut ditetapkan Kebijakan Desentralisasi �idang Kesehatan sebagai berikut:

A. Desentralisasi bidang kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. dalam hal ini desentralisasi bidang kesehatan harus dapat:

�. Memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan, termasuk perannya dalam pengawasan sosial.

�. Menyediakan pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan merata, tanpa membedakan antara golongan masyarakat yang satu dengan lainnya, termasuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan bagi kelompok rentan dan miskin.

�. Mendukung aspirasi dan pengembangan kemampuan Daerah melalui peningkatan kapasitas, bantuan teknik, dan peningkatan citra.

�. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan didasarkan kepada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. dalam hal ini maka:

�. Daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk menyelenggarakan upaya dan pelayanan kesehatan dengan Standar Pelayanan Minimal yang pedomannya dibuat oleh Pemerintah Pusat.

�. Daerah bertanggung jawab mengelola sumber daya kesehatan yang tersedia di wilayahnya secara optimal guna mewujudkan kinerja Sistem Kesehatan Wilayah sebagai bagian dari Sistem Kesehatan Nasional.

C. Desentralisasi bidang kesehatan yang luas dan utuh diletakkan di Kabupaten dan Kota, sedangkan desentralisasi bidang kesehatan di Provinsi bersifat terbatas.

D. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah. dalam hal ini maka:

�. Desentralisasi bidang kesehatan tidak boleh menciptakan dikotomi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat berwenang dalam pengembangan kebijakan, standarisasi, dan pengaturan. Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan kebijakan, standar dan aturan tersebut. Sedangkan Pemerintah Provinsi melakukan pengawasan dan pembinaan atas pelaksanaan upaya kesehatan oleh Daerah Kabupaten/Kota.

�. Desentralisasi bidang kesehatan diselenggarakan dengan membangun jejaring antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Pemerintah Daerah yang saling melengkapi dan memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Indonesia.

E. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan kemandirian

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

dalam kebijakan-kebijakan yang dituang dalam dokumen desentralisasi bidang kesehatan, disebutkan bahwa desentralisasi bidang kesehatan dilakukan dengan memperhatikan keadilan, pemerataan, potensi, dan keragaman daerah. daerah didukung untuk mengembangkan aspirasi dan kemampuannya. daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk menyelenggarakan upaya dan pelayanan kesehatan dengan standar Pelayanan Minimal yang pedomannya dibuat oleh Pemerintah Pusat. daerah juga diharuskan bertanggung jawab mengelola sumber daya kesehatan yang tersedia di wilayahnya secara optimal. kemudian, peran dan fungsi Badan legislatif daerah, baik dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran bidang kesehatan harus meningkat. hal ini karena kebijakan desentralisasi bidang kesehatan yang utuh dan luas diletakkan di tingkat kabupaten/kota.

tuntutan adanya kebijakan penyediaan jaminan pelayanan kesehatan yang lebih baik sudah begitu nyata. Peluang bagi daerah pun sudah sangat terbuka untuk melakukan inovasi. tinggal bagaimana penyikapan daerah dalam meresponnya. idealnya, daerah aktif menyediakan jaminan pelayanan kesehatan untuk menutupi kekurangan yang ada pada praktik selama ini.

lalu apa yang bisa daerah lakukan? Banyak hal yang bisa dilakukan oleh daerah dengan kewenangan yang begitu luas. Mengingat kemiskinan dan kerentanan yang begitu jelas dan begitu dekat

Daerah otonom. Pemerintah Pusat berkewajiban memfasilitasi pelaksanaan pembangunan kesehatan Daerah dengan meningkatkan kemampuan Daerah dalam pengembangan sistem kesehatan dan manajemen kesehatan.

F. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan peran dan fungsi �adan Legislatif Daerah, baik dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran.

G. Sebagai pelengkap desentralisasi bidang kesehatan dilaksanakan pula Dekonsentrasi bidang kesehatan yang diletakkan di Daerah Provinsi sebagai wilayah administrasi. Azas dekonsentrasi ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Daerah Provinsi untuk melaksanakan kewenangan tertentu di bidang kesehatan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

H. Untuk mendukung desentralisasi bidang kesehatan dimungkinkan pula dilaksanakan Tugas Pembantuan di bidang kesehatan, khususnya dalam hal penanggulangan kejadian luar biasa, bencana, dan masalah-masalah kegawat-daruratan kesehatan lain.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

pada pemerintah daerah, daerah bisa membuat jaminan pelayanan yang didesain lebih baik untuk menjangkau seluruh penduduk. daerah juga bisa mendesain skema pembiayaan yang lebih sesuai dengan kondisi sumber daya daerah.

menuJu universal aCCess: penyediaan Jaminan dengan pendeKatan universalsalah satu inovasi yang paling mungkin, dan paling rasional adalah penyediaan jaminan layanan kesehatan secara universal di daerah. Mengapa universal?

dari sisi teori, kebijakan pengentasan kemiskinan secara residual (selektif/targeting) adalah agar sumber daya yang diberikan lebih mencapai orang miskin, tidak terbuang-buang, dan berbiaya rendah dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai. ini masalah efektifitas biaya dalam menjamin ketersediaan manfaat alokasi sumber daya tersebut. atau dengan kata lain, ini adalah upaya untuk memaksimalkan sebesar-besarnya manfaat dari sumber daya yang diberikan hanya untuk orang miskin. Bila kebijakan pengentasan kemiskinan ditujukan untuk mengurangi kemiskinan secara efektif, maka berdasarkan argumen ini, akan sangat masuk akal bila seluruh sumber daya yang dialokasikan bisa mencapai orang miskin dan hanya untuk orang miskin. tidak yang lain. tapi apakah demikian?

amartya sen (1995)49) dalam kritiknya menyebutkan bahwa argumen tersebut sangat tidak masuk akal. Masalah akan muncul terkait dengan identifikasi orang miskin yang menjadi target, tindakan kebijakan serta reaksi masyarakat miskin terhadap kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan. Masalah tersebut di antaranya adalah (1) distorsi informasi, (2) distorsi insentif, (3) stigma dan disutility, (4) kerugian administratif yang terus membesar, (5) rendahnya kualitas dan keberlanjutan secara politis.

dari sisi kontekstual, dari paparan di atas dan mempertimbangkan kondisi masyarakat indonesia di banyak tempat dengan rasa saling percaya yang rendah, dan secara ekonomi masyarakat kita banyak yang tidak mampu, maka tidak salah bila kita memilih pendekatan universal. Belum lagi, kondisi sebagian besar masyarakat yang

�9 Sen, A (�995) Political economy of targeting

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

rentan kehilangan endowment dan entitlement-nya, serta massive entitlement failure yang terjadi di tahun 1997-1998 semakin menguatkan kita untuk memilih pendekatan universal.

Memang kita akui bahwa perlu komitmen dan usaha yang sangat besar untuk menghadapi tantangan penyediaan biayanya dan mempersiapkan institusi. tapi di sinilah tantangan untuk melakukan inovasi di daerah, terutama bagi pelaku advokasi dan pembuat kebijakan.

namun bila tantangan tersebut dirasa terlalu sulit untuk dihadapi, bukan hal yang salah untuk bergeser ke arah pendekatan residual. Walau pun bila mempertimbangkan kritik dari sen (1995), sepertinya tidak ada alasan untuk beralih. tapi, sepertinya, bila terpaksa dan selama ada jaminan bahwa pendekatan residual tersebut tetap bisa melayani masyarakat yang termarginalkan dan masyarakat miskin lainnya yang selama ini “diabaikan” oleh pasar, tidak ada salahnya untuk memilih pendekatan residual-selektif.

di sini kita bisa berprinsip penyediaan layanan kesehatan secara universal bila memungkinkan, dan secara residual bila terpaksa.

alternatiF pembiayaan penyediaan Jaminan pelayanan Kesehatan di daerahPada bagian sebelumnya disebutkan bahwa semua aktor dapat berperan dalam pembiayaan penyediaan jaminan pelayanan kesehatan di daerah. Peran ini disalurkan dalam bentuk (1) pembiayaan langsung secara kontan pada penyedia layanan atas layanan yang diterima atau (2) pembiayaan penyediaan jaminan pelayanan kesehatan.

Metode-Metode Pembiayaan Jaminan Pelayanan Kesehatandalam konteks metode pembayaran penyediaan jaminan pelayanan kesehatan, anne drouin (2007)50) menyebutkan setidaknya ada tiga kategori besar metode pembiayaannya. yang

50 Anne Drouin (�007) Methods of Financing Health Care, The International Social Security Association (ISSA) Technical Report No.5, Technical Commision on Statistical, Actuarial, and Financial Studies, World Social Security Forum, Moscow, �0-�5 September �007

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

pertama adalah pembiayaan ditanggung seluruhnya oleh pajak yang dikelola negara. kelebihan metode ini di antaranya adanya pooling resiko atas seluruh populasi. ini berarti distribusi resiko juga bisa menjangkau seluruh populasi. dan terakhir, metode ini berpotensi meningkatkan efisiensi administrasi dan kontrol atas biaya.

namun metode ini beresiko dalam beberapa hal. resiko pertama adalah tidak stabilnya sumber pendanaan dari pajak karena alokasinya harus “berkompetisi” dengan belanja publik lainnya. selain itu, metode ini beresiko kurang bisa memberikan insentif bagi penyedia layanan dan pengawas publik.

Metode pembiayaan yang kedua adalah melalui asuransi yang dibiayai oleh pengguna terkait. Metode ini bisa jadi kebalikan metode pertama. kelebihan metode ini adalah bahwa besaran pembayaran langsung terkait dengan layanan yang diterima. kemudian bagi mereka yang mampu membayar, metode ini juga memberikan ruang lebih bagi mereka menentukan pilihan penyedia layanan. dan metode ini juga dapat memberikan insentif untuk peningkatan kualitas dan efisiensi penyedia layanan kesehatan.

namun sayangnya, kekurangan metode ini adalah tingginya biaya administratif. Metode ini kurang efektif dalam menangani tekanan biaya dan sistem pembiayaan pelayanan kesehatan publik. dan tanpa adanya subsidi dari pemerintah, metode ini sulit mencapai pemerataan pelayanan bagi rakyat yang tidak mampu. kelemahan lainnya, dari sisi administrasi dan pembiayaan, metode ini membutuhkan kapasitas dan infrastruktur yang tinggi.

Metode pembiayaan yang ketiga adalah melalui asuransi yang dibiayai secara bersama dalam sebuah kelompok sosial. Metode ini bisa berupa asuransi sosial, micro-insurance, juga skema-skema pembiayaan jaminan lainnya yang berbasis komunitas. kelebihan skema ini ada beberapa. di antaranya, metode ini biasanya memperoleh dukungan yang kuat dari populasi. selain itu, metode ini juga mampu menyediakan akses pada pelayanan kesehatan yang cukup luas. dalam skema ini, pooling dan distribusi resiko ditanggung sesama anggota kelompok sosial.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

namun metode ini juga tidak lepas dari berbagai kelemahan. dalam skema ini biasanya orang miskin menjadi tersisihkan. atau dengan kata lain, ada pengucilan sosial (social exclusion) di dalam kelompok sosialnya. selain itu, individu lain di luar kelompok sosialnya tidak akan pernah bisa mendapatkan manfaatnya (exclusive). Masalah lainnya, metode ini biasanya sulit untuk dikelola karena sangat tergantung pada kondisi governance dalam kelompok tersebut dan akuntabilitasnya. selain itu, tanpa ada dukungan subsidi finansial dari pemerintah, keberlanjutannya rentan karena tergantung pada kapasitas finansial anggota kelompok tersebut.

Peran Stakeholder dan Alternatif Bentuk Pembiayaan selama ini, dikaitkan dengan alternatif metode pembiayaan yang ada, selalu ada kesan bahwa penyediaan secara universal selalu berarti pembiayaannya ditanggung seluruhnya oleh pemerintah (single atau unitary payer). Padahal tidak demikian. di banyak negara, pembiayaan penyediaan layanan kesehatan secara universal dibiayai dari berbagai jenis sumber51). secara umum, memang pajak adalah sumber utama pembiayaan.

5� Tapi di banyak negara, ada juga sebagian biaya yang harus ditanggung oleh individu/pemberi kerja atau pembayaran oleh swasta (langsung atau asuransi) untuk pelayanan di luar yang di-cover oleh sistem publik. di Kuba, Portugal, �runei atau negara-negara Scandinavia, pelayanan kesehatan terutama masih dibiayai seluruhnya oleh negara (dari pajak atau pendapatan lainnya). Mereka cukup mengandalkan anggaran negaranya untuk membiayai seluruh penyediaan layanan dan akses kesehatan universal bagi warganya. Sementara di Jerman, Perancis, atau �elanda, dibiayai secara kombinasi dari pajak dan kontribusi konsumen melalui asuransi.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Model lainnya adalah pembedaan pembayaran oleh pemerintah berdasarkan jenis layanan dan tingkatan pemerintah. Misalnya, pemerintah daerah bertanggungjawab untuk mendanai layanan kesehatan tertentu, sementara layanan lainnya oleh pusat. kemudian sisanya, oleh individu/rumah tangga. Pada intinya, dalam penyediaan pembiayaan ini kita dituntut untuk kreatif mencari sumber dan mengalokasikannya untuk pencapaian penyediaan layanan kesehatan secara universal.

seperti juga racikan beberapa obat untuk menyembuhkan suatu penyakit yang semua harus pas takarannya. kelebihan/kekurangan takaran satu jenis obat, bisa tidak menyembuhkan, bahkan bisa membahayakan. demikian juga pembiayaan jaminan pelayanan kesehatan universal kesehatan di daerah.

Memang berbeda dengan konteks negara-negara yang disebut di atas yang mencirikan dominannya peran negara. dalam buku ini kita akan menyoroti apa saja peran yang bisa dilakukan oleh stakeholder daerah dalam penyediaan jaminan pelayanan kesehatan secara universal di daerah. Pertimbangannya karena daerah di indonesia mempunyai posisi yang lebih strategis daripada pusat karena lebih dekat dengan masyarakat.

lalu apa saja alternatif skema yang dapat digunakan oleh daerah untuk menyediakan jaminan pelayanan kesehatan pada (seluruh atau sebagian) warganya? dalam hal ini kita harus kreatif.

* * * * *

Pada gambar dan tabel berikut, situasi saat ini, kita bisa lihat bahwa tiga aktor governance bisa saja ikut berpartisipasi dalam menyediakan jaminan pelayanan kesehatan. Mereka bisa melakukannya secara sukarela atau diwajibkan secara hukum atau moral. setiap aktor tersebut bisa melakukannya secara sendiri atau bekerjasama dengan aktor lainnya.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

Gambar 2. Peran Stakeholders dalam Pembiayaan

Tabel 5. Peran Stakeholders dan Alternatif Bentuk Jaminan Pelayanan Kesehatan

Penyedia Jaminan

Penerima Jaminan

Warga Miskin Warga Rentan Warga Mampu

a. Pemerintah Full subsidi pemerintah (universal)

B. Warga masyarakat & Pemerintah

disubsidi seluruhnya oleh pemerintah/ warga

disubsidi sebagian oleh pemerintah/ warga

Membayar penuh atau disubsidi sebagian kecil oleh pemerintah

C. Warga masyarakat

urunan/ iuran yang rutin atau pun spontan, sifatnya sukarela.

d. lain-lainnya Bakti sosial, jaminan sosial tenaga kerja, dan lain-lain.

Pemerintahyang dimaksud pemerintah di sini adalah pemerintah dalam pengertian umum, dan pemerintah daerah dalam pengertian khusus. kondisi saat ini, pemerintah daerah berpartisipasi juga dalam penyediaan layanan kesehatan. hal ini dilakukan melalui

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

penyediaan tenaga kesehatan, rumah sakit daerah, puskesmas, dan lain-lain. Pemerintah membiayai penyediaan layanan tersebut melalui anggaran daerah (aPBd). dan untuk dapat mengaksesnya, pada umumnya masyarakat dikenakan pungutan retribusi jasa layanan kesehatan. hasilnya, ada sebagian kelompok masyarakat yang aksesnya pada layanan kesehatan publik terhambat secara ekonomi. alih-alih membuka akses, sekecil apapun penerapan retribusi malah menciptakan hambatan bagi masyarakat yang miskin.

Pemerintah daerah seharusnya kembali pada fungsinya sebagai pelayan masyarakat. untuk menghilangkan hambatan akses, juga secara bersamaan menyediakan jaminan pelayanan kesehatan, baik secara universal maupun residual, pemerintah daerah bisa melakukan beberapa hal berikut:

(1) Pemerintah daerah menanggung langsung seluruh biaya pengobatan seluruh warga (universal). dalam skema ini, seluruh biaya sektor kesehatan di tanggung pemerintah. Pemerintah menyediakan prasarana dan sdM-nya, serta menyediakan anggaran untuk biaya berobat.

(2) Pemerintah daerah menghilangkan retribusi kesehatan: (a) seluruh warga, seluruh layanan termasuk rujukan (universal). retribusi pelayanan kesehatan adalah salah satu retribusi yang tidak manusiawi, sekecil apapun nilai retribusi tersebut. Penghilangan retribusi seluruh layanan kesehatan akan sangat membantu rakyat. Bila pemerintah terlalu lemah untuk membantu rakyat, setidaknya jangan membebani rakyat. untuk itu, penghilangan retribusi kesehatan adalah pilihan yang tidak buruk sama sekali; (b) seluruh warga, layanan puskesmas dan rumah sakit saja, dan tanpa rujukan (universal). dalam skema ini, rakyat hanya diberi penghibur, fasilitas berobat gratis (tanpa harus bayar retribusi) untuk penyakit-penyakit “kecil” dengan layanan kualitas rendah di puskesmas dan rumah sakit pemerintah.

(3) Pemerintah daerah mengasuransikan seluruh warga. dalam skema ini, pemerintah daerah mengasuransikan (dan membayarkan premi asuransi) seluruh warganya baik pada pihak ketiga atau dengan membentuk badan khusus untuk mengelola dana.

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

(4) Pemerintah daerah hanya mengasuransikan (membayarkan premi) warga yang rentan, dan memberi subsidi pembayaran premi untuk mereka yang mampu (selektif-residual). sementara warga miskin diasumsikan sudah di-cover oleh Pemerintah pusat melalui askeskin.

Warga Masyarakat & Pemerintahskema ini, pemerintah tidak menyediakan jaminan pelayanan kesehatan secara universal, melainkan residual. Bahkan pemerintah juga menerapkan retribusi bagi pelayanan kesehatan yang mereka sediakan untuk kelompok warga tertentu (misal, yang mampu). Pemerintah hanya menyediakan jaminan pelayanan, dan menghilangkan hambatan akses, hanya bagi kelompok tertentu. Misalnya, mereka yang miskin dan/atau yang rentan saja.

sisanya, warga harus juga berpartisipasi. dalam hal ini, warga yang tidak ter-cover oleh skema jaminan pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah bisa dicover oleh warga lainnya dalam komunitas. Misalnya melalui urunan, dan lain-lain.

ada beberapa skema dimana pemerintah menyediakan jaminan pelayanan kesehatan untuk kelompok tertentu di masyarakat, dan menyisakan kelompok lainnya, misalnya:

(1) Pemerintah daerah menanggung langsung seluruh biaya pengobatan kelompok warga tertentu, misal yang miskin dan/atau rentan saja (selektif-residual)

(2) Pemerintah menghilangkan retribusi kesehatan: (a) hanya warga tertentu (misal: orang miskin dan/atau rentan saja), seluruh layanan termasuk rujukan (selektif-residual); (b) hanya warga tertentu (misal: orang miskin dan/atau rentan saja), layanan puskesmas dan rumah sakit saja, dan tanpa rujukan (selektif-residual). skema ini bisa kita sebut sebagai skema “selemah-lemahnya” keberpihakan pada rakyat. tapi masih lebih baik daripada tidak sama sekali.

(3) Pemerintah mengasuransikan penduduk miskin dan/atau rentan saja (selektif-residual). Pemerintah menyediakan sejumlah subsidi untuk membayar premi asuransi atau iuran kontribusi pada resource pool.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Warga Masyarakatyang dimaksud warga masyarakat di sini adalah semua warga, baik secara individu, rumah tangga maupun kelompok/komunitas. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan, misalnya berupa iuran rutin atau spontan untuk membantu anggota komunitas yang terkena musibah (sakit). di indonesia banyak sekali contoh anggota komunitas saling bantu untuk meringankan beban salah satu anggota komunitasnya yang sakit. atau bila kebetulan ada anggota komunitas yang mempunyai kemampuan pengobatan, bisa jadi bisa langsung mendapatkan bantuan. dalam bentuk yang lebih formal, warga juga bisa membentuk semacam community based health insurance) seperti yang banyak dipromosikan di negara-negara afrika Barat52).

Lain-lainyang dimaksud lain-lain di sini adalah pihak swasta, mulai dari pengusaha pemberi kerja, produsen obat, penyedia layanan kesehatan, dan lain-lain. Memang mereka bukan stakeholder utama dalam pembiayaan penyediaan jaminan pelayanan kesehatan. tapi mereka, baik secara sendiri atau bekerja sama dengan pemerintah dan/atau masyarakat bisa menyediakan jaminan ini. umumnya, mereka memberikan jaminan pelayanan kesehatan secara selektif-residual, dengan persyaratan tertentu.

secara sendiri-sendiri, para pengusaha pemberi kerja bisa saja menyediakan asuransi bagi pekerjanya. Bahkan ada juga yang menyediakan langsung layanan kesehatan bagi pekerjanya, misalnya klinik. ada juga yang menyediakan reimbursement atas biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan pekerjanya. Masih banyak bentuk lainnya. Bersama masyarakat, mereka juga bisa menyediakan bakti sosial untuk warga yang memerlukannya, dan lain-lain.

5� �eberapa studi telah dilakukan di sana. Di antaranya oleh Smith dan Sulzbach (�008) < Kimberly V. Smith, Sulzbach, S., Community-based health insurance and access to maternal health services: Evidence from three West African countries, Social Science & Medicine (2008), doi:�0.�0��/j.socscimed.�008.0�.0��> dan juga oleh �asaza et.al., (�008) < �asaza R, et al., Community health insurance in Uganda: Why does enrolment remain low? A view from beneath, Health Policy (2008), doi:�0.�0��/j.healthpol.�007.��.008>

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 4 - Menyediakan Jaminan Pelayanan kesehatan di daerah

Beberapa alternatif tadi mungkin bisa memberikan inspirasi bagi pelaku advokasi di daerah. tapi perhatian harus tetap diberikan pada pendekatan dari setiap skema penyediaan jaminan pelayanan kesehatan tersebut, apakah universal atau selektif-residual.

dalam konteks advokasi penyediaan jaminan pelayanan kesehatan universal, banyak alternatif lain yang bisa dieksplorasi oleh para pelaku advokasi di daerah. Beberapa alternatif ini telah berhasil diimplementasikan di beberapa daerah, sebagaimana telah dilakukan di beberapa kabupaten. namun begitu, penekanan lebih besar diharapkan terjadi inovasi di daerah sehingga skema apa pun yang diterapkan akan sesuai dengan konteks lokal dan juga peraturan perundangan yang berlaku. di sinilah tantangan terbesarnya bagi para pelaku advokasi kesehatan.

menuJu universal serviCe

“... adilkah bila anak balita dari seorang buruh tani mendapatkan layanan vaksinasi seadanya di posyandu? sementara anak balita dari seorang pejabat Pemda bisa mendapatkan layanan vaksinasi paripurna di rumah sakit mewah. Padahal mereka tidak memilih dari orang tua mana mereka dilahirkan …”

Penyediaan jaminan kesehatan bukan hanya satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh daerah. daerah juga bisa menyelesaikan masalah besar lainnya yaitu meningkatkan kualitas pelayanan pada pengguna. ini untuk mencapai terwujudnya pelayanan kesehatan yang universal, yang mana dimaksudkan untuk memberikan layanan terbaik bagi seluruh warga satu per satu tanpa pengecualian.

lalu bagaimana cara mewujudkan pelayan kesehatan yang universal? dengan asumsi bahwa tidak ada (lagi) masalah akses pada pelayanan kesehatan, penerapan standar pelayanan bisa menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan kualitas layanan.

Pertanyaan berikutnya, standar apa yang bisa digunakan? ada dua jenis standar yang sebaiknya diadopsi. standar yang pertama

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

yaitu standar output/keluaran pelayanan. Contoh standar ini di antaranya adalah yang sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri kesehatan (kepmenkes) nomor 1457/Menkes/sk/x/2003 tentang standar Pelayanan Minimal Bidang kesehatan di kabupaten/kota. dalam kepmenkes tersebut, pada pasal 2 ayat (2) diatur mengenai hasil/output pelayanan kesehatan yang harus dicapai oleh setiap kabupaten/kota. sayangnya, kepmenkes tersebut tidak menyebutkan waktu kapan dan berapa lama output tersebut harus dicapai.

standar kedua yang sebaiknya diadopsi yaitu standar operasional/proses pelayanan. standar iso bisa digunakan sebagai salah satu alternatif. Contoh penerapan standar ini telah dilakukan di kabupaten sleman, di yogyakarta yang menerapkan iso 9001/9002 di 8 dari 24 puskesmas-nya. dan hasilnya, sleman mendapatkan penghargaan Citra Pelayanan Publlik Prima dan iPM tertinggi se-indonesia. [ ]

��

BAGIAN 1 : FROM KNOWLEDGE... BaB 1 - kemiskinan dan kesehatan

PPengetahuan, disertai dengan keinginan dan tekad yang kuat untuk berubah, diwujudkan melalui kerja keras,

maka penyediaan jaminan pelayanan kesehatan secara universal oleh daerah sangat mungkin untuk dilakukan

dan diwujudkan untuk kesejahteraan warga.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Bagian 2

... tO ActION

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

Bab 5

Kisah Sukses Inovasi Beberapa Daerah

dalam bagian sebelumnya, telah dipaparkan beberapa hal akademis yang memberikan alasan-alasan mengapa kita harus fokus pada kesehatan, dan mengapa juga harus ada

jaminan kesehatan. dipaparkan pula peluang yang terbentang bagi daerah untuk melakukan inovasi. tinggal yang diperlukan oleh daerah adalah keberanian mereka untuk melangkah tanpa adanya panduan, pengarahan, atau petunjuk dari pemerintah pusat.

di tengah berbagai masalah yang menghadang, beberapa daerah telah berhasil melakukan inovasi. dengan gagasan yang cemerlang, niatan yang baik dan kerja keras, mereka berhasil menyediakan jaminan layanan kesehatan secara universal. seluruh, atau setidaknya sebagian besar, warganya mempunyai jaminan akses untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Kabupaten sumedang, provinsi Jawa baratUpaya Masyarakat Sipil Mendorong Keberpihakan Pemerintahkebijakan ini dilatarbelakangi adanya aspirasi masyarakat tentang mahalnya biaya pelayanan kesehatan di sumedang dan harapan agar pelayanan puskesmas digratiskan. selain itu juga merupakan upaya untuk meminimalisasi “moral hazard” pengelolaan retribusi. kebijakan ini juga didukung oleh data susenas tahun 2005 yang menunjukkan pola pencarian pengobatan di kabupaten sumedang yakni 54% penduduk bila sakit cenderung berobat sendiri dan 57,4% menggunakan sarana lain di luar Puskesmas dan

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

jaringannya untuk pengobatannya. sasaran kebijakan ini adalah penduduk kabupaten sumedang yang tidak dijamin oleh jaminan kesehatan apapun sejumlah 761.326 jiwa (data tahun 2006).

kebijakan ini diimplementasikan melalui Program Pembebasan Biaya Pelayanan kesehatan dasar di uPtd Puskesmas kabupaten sumedang. Program ini dilaksanakan melalui Perda nomor 8 tahun 2006 yang isinya antara lain: Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, Puskesmas dtP, Puskesmas Pembantu, Polindes/Bidan di desa terhadap penduduk kabupaten sumedang dibebaskan dari biaya retribusi.

selain itu didukung pula oleh Peraturan Bupati nomor 2 tahun 2007 tentang standar operasional Prosedur Program Pembebasan Biaya Pelayanan kesehatan dasar di uPtd Puskesmas kabupaten sumedang dan Peraturan Bupati nomor 38 tahun 2006 tentang kartu sehat dan Buku Catatan kesehatan Program Pembebasan Biaya Pelayanan kesehatan di unit Pelaksana teknis dinas Pusat kesehatan Masyarakat.

Biaya yang timbul akibat pembebasan dibebankan pada anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (aPBd) kabupaten sumedang dengan sistem Budgeting (rak) Berdasarkan kepmendagri 13/2006. sehingga dengan sistem ini tidak perlu menerbitkan kartu peserta, cukup dengan ktP atau kartu keluarga. sistem ini juga memudahkan masyarakat karena tidak terikat kepada 1 puskesmas dalam memperoleh pelayanan.

upaya mewujudkan kebijakan ini dimulai dengan penerbitan sk Bupati tentang tim kajian Pembebasan Biaya Pelayanan dasar di Puskesmas (april 2006). dilanjutkan dengan rapat materi dan proses pengkajian dengan target selesai pada Bulan september 2006. setelah itu dilaksanakan survey atau penjajakan awal kepada masyarakat dan petugas Puskesmas pada Mei 2006.

untuk memperkaya pengetahuan dan pengalaman tim kajian melakukan studi banding ke kota Banjar dan kabupaten Jembrana tentang Pelayanan kesehatan dasar gratis di Puskesmas pada Bulan Juni dan Juli 2006. setelah itu menyusun raperda dan melakukan diseminasi raperda oleh Bagian hukum. diseminasi diikuti oleh organisasi Profesi, lsM, tokoh Masyarakat, dinas,

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

Badan, dan lembaga Pemerintahan, pada agustus 2006. kemudian diselenggarakan rapat Draft akhir raperda di Bagian hukum pada september 2006.

Proses ini berlanjut dengan Penyerahan raperda dari eksekutif kepada legislatif pada september 2006. kemudian diteruskan dengan Pembahasan raperda dengan Pansus dPrd (minggu pertama Bulan oktober tahun 2006). kemudian pembahasan Perda oleh Pleno dPrd (oktober 2006) hingga disahkannya Perda .

Penghitungan ini dilakukan dengan dua cara, yaitu: Perhitungan kapitasi askeskin untuk pelayanan dasar di Puskesmas tahun 2005 dan Perhitungan riil utilisasi Puskesmas tahun terakhir dengan standar biaya yang ada di Perda no. 5 tahun 2004. Penghitungan Biaya Penunjang juga harus dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan pasien, seperti Belanja obat dan reagen tahun 2005/2006 rp. 1,5 Milyar. Pada tahun 2007 dengan asumsi peningkatan kunjungan 200%, diperlukan biaya penunjang pelayanan (belanja obat dan reagen) sebesar rp. 3,5 M serta Biaya Penunjang alat kesehatan rp. 4,6 M.

total anggaran yang dibutuhkan untuk kegiatan Pembebasan Biaya retribusi Pelayanan dasar di Puskesmas rp. 14,9 M / 43,6 M (30%) yang terdiri atas: operasional Puskesmas 6,8 M, Pengadaan obat dan reagen lab 3,5 M, dan Pengadaan alkes 4,6 M (dak).

ketika kebijakan ini diterapkan pemerintah daerah melaksanakan sosialisasi lintas Program & sektoral di 32 wilayah kerja puskesmas disertai dengan Pelatihan kepala Puskesmas dan Bendahara Puskesmas sebagai Pengelola keuangan. untuk monitoring dan evaluasi, dinas kesehatan membentuk tim Pembina Puskesmas dan melakukan pembinaan ke 32 puskesmas serta pembuatan sk renumerasi Jasa untuk menambah insentif para staf puskesmas yang melakukan Pendistribusian kartu Pasien sebanyak 285.000 buah dan Buku status kesehatan Pasien sejumlah 800.000 buah.

sejak kebijakan ini digulirkan, dinas kesehatan melaksanakan survey kepuasan Masyarakat sebanyak 2 kali dengan hasilnya 74,6% menyatakan puas dan 25,4% menyatakan tidak puas.

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

inovasi di kabupaten sumedang ini agak berbeda dari sisi pelaku yang umumnya diinisiasi oleh pemerintah daerah. aktor kunci dalam kebijakan ini adalah CSO (Civil Society Organization atau organisasi Masyarakat sipil), media massa, dan dPrd. Peran masyarakat sipil sangat besar khususnya yang diinisiasi oleh P3Ml (Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat lokal) yang telah lama menjadi mitra pemerintah daerah.

gagasan pembebasan biaya pelayanan kesehatan ini muncul dari masyarakat, kemudian beragam kepentingan difasilitasi dan dipertemukan oleh Cso, diserap oleh dPrd, dan disebarluaskan oleh media massa. Media massa berperan besar untuk membesarkan isu pelayanan kesehatan gratis dan memberi tekanan kepada bupati untuk segera merealisasikan kebijakan tersebut. gagasan tersebut segera menjadi bahasan hangat di media lokal. di sisi lain, Bupati setempat sedang bersiap-siap mengikuti Pilkada sumedang. Momen ini menjadi faktor penting yang memicu digulirkannya kebijakan puskesmas gratis di sumedang.

seperti halnya di sukoharjo, di sumedang kebijakan ini juga baru seumur jagung, namun, penggratisan puskesmas hanyalah langkah awal menuju jaminan kesehatan universal seperti di Jembrana. saat ini kabarnya, tim kajian sedang menyusun segala hal yang berkaitan dengan sistem jaminan kesehatan daerah terlebih di tengah situasi politik dimana Bupati yang menggratiskan puskesmas terpilih kembali. kita tunggu saja. semoga!

Kabupaten sleman, provinsi daerah istimewa yogyaKartaMenjawab Tantangan Kualitas: Konsep dan Implementasi Manajemen Mutuyang agak berbeda adalah inovasi yang dilakukan oleh kabupaten sleman, daerah istimewa yogyakarta. Mereka melakukan peningkatan pelayanan kesehatan dengan memandirikan puskesmas. evolusinya sendiri didasarkan pada teori Managing Change (Woodruff dan Jowett 2002).

Berdasarkan hasil survey tentang pandangan dan harapan masyarakat terhadap puskesmas yang dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten sleman pada tahun 2000. secara umum didapatkan hasil bahwa > 60% masyarakat menyatakan setuju dan

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

sangat setuju agar mutu pelayanan di puskesmas lebih diutamakan. sedangkan tarif puskesmas tidak harus murah. selain itu, hampir 90% masyarakat menginginkan pelayanan di puskesmas dilakukan oleh dokter. dan > 60% masyarakat menginginkan puskesmas buka jam pelayanan pada sore hari. Citra buruk atas pelayanan puskesmas di era desentralisasi sekarang ini, menjadi tantangan besar bagi pemegang kebijakan di kabupaten/kota.

tahapan pertama yang dilakukan adalah identifikasi Masalah dan analisis situasi. identifikasi masalah sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan berbagai masukan dan mencari permasalahan utama dalam kegiatan pengembangan kemandirian puskesmas. kegiatan yang dilakukan antara lain (1) survey harapan Masyarakat atas Pelayanan Puskesmas, (2) survey kemauan Bayar (WtP) dan kemampuan Bayar (atP) Masyarakat, (3) studi komparasi/Bench Marking, (4) analisis kebutuhan sumber daya kesehatan (tenaga, keuangan, dan Peralatan).

dari hasil identifikasi masalah dan analisis situasi ini diketahui bahwa dari sisi permintaan, masyarakat menuntut adanya peningkatan mutu pelayanan. Walaupun sadar bahwa mutu berjalan seiring dengan biaya, ternyata kesediaan masyarakat untuk membayar tarif masih lebih rendah. Padahal mereka sebenarnya mampu untuk membayarnya.

dari sisi sediaan, hasil studi menunjukan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelayanan, baik dalam hal kualitas maupun kualitas, baik prasarana dan sarana, pendanaan, juga sumber daya manusia kesehatan. Pemerintah daerah kabupaten sleman menunjukkan komitmennya melalui penyediaan sarana prasarana kesehatan yang sesuai dengan rasio standar yaitu meliputi: rumah sakit umum (rsu) pemerintah sebanyak 3 buah, rs khusus pemerintah 1 buah, rsu swasta 5 buah, rs khusus swasta 1 buah, rumah Bersalin 19 buah, Balai Pengobatan 18 buah, dan apotik 122 buah.

dilengkapi juga dengan Puskesmas 24 buah, dan 4 buah di antaranya Puskesmas dengan tempat perawatan. Puskesmas pembantu 75 buah, puskesmas keliling 37 buah, dokter praktik umum 200 orang, dokter gigi praktik 79 orang, dokter spesialis praktik 95 orang, bidan praktik 214 orang, praktik dokter bersama 4 buah, dan toko obat berizin 12 buah.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

ketersediaan berbagai sarana dan tenaga kesehatan cukup memadai yaitu jumlah puskesmas per 100.000 penduduk sebesar 3,5 jumlah dokter per puskesmas 2,4. angka rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yakni 1 dokter: 24.250 jiwa, 1 paramedis/bidan: 1.780 jiwa, dan setiap puskesmas rata-rata melayani 36.863 jiwa.

tahap kedua adalah pemecahan masalah. upaya perbaikan yang dilakukan yaitu meningkatkan mutu pelayanan di puskesmas sesuai dengan harapan masyarakat melalui aplikasi kemandirian puskesmas. Pemecahan permasalahan difokuskan di semua ruang yang mungkin untuk diintervensi dalam kapasitas pemda. hal ini dilakukan dengan penghilangan rangkap jabatan kepala puskesmas sebagai tenaga fungsional, rasionalisasi tarif dan biaya pelayanan puskesmas, perbaikan manajemen keuangan di puskesmas, pembuatan dan pemberlakuan standar (jumlah dokter dan perawat, operasional, mutu pelayanan, manajemen kinerja), pemberian pendidikan bagi pemberi layanan, dan monitoring dan evaluasi kinerja yang terus-menerus. semua itu diikuti dengan penganggaran yang baik yang dilakukan langsung oleh puskesmas, puskesmas sebagai skPd.

tahapan untuk mempersiapkan kemandirian puskesmas dilakukan melalui (1) Perubahan organisasi puskesmas, (2) Penyusunan dan pelaksanaan peraturan daerah tentang tarif pelayanan puskesmas, (3) Penerapan anggaran berbasis kinerja, (4) Penambahan tenaga dokter di puskesmas, (5) Penyusunan Pedoman tugas yankesmas dan yanklinik Puskesmas sebagai acuan untuk Pelaksanaan Fungsi organisasi, (6) Perbaikan Manajemen Mutu, (7) Pelatihan Pengelolaan obat di Puskesmas, (8) Monitoring dan evaluasi Pencapaian kinerja Puskesmas dengan instrumen indikator kinerja, (9) implementasi sistem Pengembangan Manajemen kinerja klinik (sPMkk) Bagi Perawat dan Bidan, dan (10) Penyusunan anggaran melalui rask/dask dinas kesehatan dan Puskesmas.

tahapan ketiga adalah implementasi pelayanan kesehatan yang bermutu. Perwujudan akan kualitas pelayanan yang bermutu menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk dapat mewujudkannya. Pemerintah kabupaten sleman melalui dinas kesehatan telah mempunyai komitmen yang tinggi untuk dapat mewujudkan apa yang telah menjadi impian dari banyak

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

masyarakat terutama pelayanan kesehatan yang terstandar dan bermutu.

oleh karena itu sejak tahun 2004 beberapa Puskesmas di kabupaten sleman telah menerapkan sistem Manajemen Mutu iso 9001:2000, dan dari 24 puskesmas yang ada telah 6 puskesmas dan 1 dinas kesehatan yang sudah tersertifikat iso 9001:2000 dari lembaga sertifikasi sgs. adapun 6 (enam) Puskesmas tersebut yaitu: Puskesmas ngemplak i, Puskesmas depok i, Puskesmas Mlati ii, dan Puskesmas Minggir. serta dua Puskesmas lagi yaitu Puskesmas sleman dan Puskesmas godean ii baru lulus sertifikasi iso 9001:2000 pada awal tahun 2007. sedangkan untuk dinas kesehatan kabupaten sleman, sertifikat iso tersebut diperoleh pada tahun 2006.

Pembenahan dalam pembiayaan kesehatan diawali dengan pengkajian terhadap pembiayaan pelayanan kesehatan di puskesmas melalui peninjauan kembali terhadap perda tarif puskesmas. Pengkajian ini selain untuk memenuhi harapan masyarakat sesuai hasil survey juga dalam rangka memanfaatkan puskesmas secara optimal khususnya dalam pelayanan klinik.

Perhitungan unit cost pelayanan puskesmas dilakukan agar dapat diketahui besarnya biaya tiap jenis pelayanan sehingga pasien mendapatkan pelayanan yang bermutu tanpa membedakan status. Pembiayaan bersumber dari aPBn, aPBd i (Provinsi), aPBd ii (kabupaten/kota), masyarakat, dan swasta atau pihak ketiga.

komitmen dan kerja keras Pemerintah daerah di kabupaten sleman ini diganjar dengan beragam prestasi di antaranya: (1) sertifikasi sMM iso 9001:2000 dari Pt. sgs untuk 8 Puskesmas di kabupaten sleman, (2) sertifikasi sMM iso 9001:2000 dari Pt. sgs untuk dinas kesehatan kabupaten sleman, (3) Penghargaan Citra Pelayanan Prima terbaik tingkat nasional dari Presiden kepada Puskesmas depok i pada tahun 2004, (4) Penghargaan ksatria Bakti husada arutala dari departemen kesehatan kepada Bupati sleman pada tahun 2004, (5) Penghargaan Manggala karya Bakti husada kartika dari departemen kesehatan kepada Pemerintah kabupaten sleman pada tahun 2005, (6) Penghargaan Pencapaian index Pembangunan Manusia (iPM) tertinggi tahun 2005 bagi kabupaten sleman pada tanggal 9 november 2006.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Kota banJar, provinsi Jawa baratPotret Pemenuhan Hak Warga Tanpa Diskriminasidi tengah polemik tentang siapa yang miskin dan siapa yang kaya dan siapa yang berhak mendapat pelayanan kesehatan, angin segar desentralisasi menghembuskan gelombang universalisme kalau boleh dibilang sebuah potret pemenuhan hak warga tanpa diskriminasi. ironi melihat korupsi yang marak dilakukan oleh kepala daerah, cukup terobati dengan hadirnya sejumlah bupati dan walikota yang pro rakyat.

kota Banjar adalah salah satunya. kota yang terletak di Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan Jawa tengah ini sudah empat tahun melaksanakan kebijakan puskesmas bebas biaya bagi seluruh penduduk. inisiatif ini pertama kali dicetuskan oleh Walikota Banjar, dr. herman sutrisno ketika ia mencalonkan diri dalam Pilkada pertama kota Banjar.

Perhatian utama pada pemenuhan hak warga di kota Banjar ini diarahkan pada dua hal. Perhatian pertama yaitu tentang puskesmas bebas biaya. seperti yang dikemukakan sebelumnya, pelayanan kesehatan dasar adalah merupakan hak warga yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Puskesmas atau pusat kesehatan masyarakat merupakan institusi yang berperan sebagai pemberi pelayanan primer. dengan adanya sk Walikota yang kemudian diperkuat dengan Perda, penduduk yang memiliki ktP dan kk kota Banjar dibebaskan dari biaya berobat di puskesmas.

kebijakan yang populis ini memang masih langka. karena di banyak kabupaten/kota, retribusi kesehatan di puskesmas dijadikan komoditas target Pendapatan asli daerah (Pad). sedikit daerah yang menyadari itu artinya mengeruk keuntungan dari orang yang sakit. Bahkan ada daerah yang menaikkan retribusi puskesmas-nya dan retribusi inilah yang kemudian dijadikan tulang punggung Pad. Puskesmas dibebani target pendapatan yang harus naik jumlahnya setiap tahun. Bisa dibayangkan, dengan beban yang demikian bagaimana mungkin puskesmas berfungsi sebagai institusi pelayanan kesehatan?

selain itu, sebelum digratiskan pemanfaatan puskesmas di kota Banjar relatif rendah. Masyarakat cenderung mengobati sendiri

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

penyakitnya dengan obat warung ataupun ke mantri kesehatan. Menyadari hal tersebut, dalam upaya meningkatan utilisasi dan akses masyarakat kepada puskesmas, kebijakan puskesmas bebas biaya ini diterapkan oleh Pemerintah kota Banjar. retribusi puskesmas yang hanya rp. 2.000 memang tidak besar, sehingga alangkah baiknya dihapuskan saja dan dibiayai melalui dana aPBd. setidaknya pemerintah daerah sudah dapat membantu mengurangi beban penduduk.

Perhatian kedua yaitu tentang kebijakan ini yang ditujukan bagi seluruh penduduk. studi yang dilakukan Pusat Pengembangan Jaminan kesehatan depkes ri menunjukkan bahwa ada banyak daerah yang telah menerapkan kebijakan puskesmas gratis tapi minim yang ditujukan bagi seluruh penduduk. dari 60 kabupaten/kota di indonesia, hanya kota Medan, kota Batam, kota Bandar lampung, kabupaten Banjarnegara, dan termasuk kota Banjar yang menerapkan kebijakan ini tanpa ”peng-kasta-an” penduduk.

Mengimplementasikan kebijakan tanpa pengkastaan penduduk memang belum populer di benak para eksekutif maupun legislatif. Wajar saja, karena pemerintah pusat sekalipun tidak menganut universalisme dalam pemenuhan hak warga atas kesehatan. dengan menggunakan indikator yang disusun BPs, pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah hanya ditujukan bagi penduduk miskin. Penetapan subsidi bagi yang miskin saja pun bukannya tidak menimbulkan masalah. salah sasaran, diskriminasi layanan, dan penyalahgunaan dana adalah isu yang sudah diketahui bersama.

Pemerintah seolah menutup mata bahwa sesungguhnya banyak penduduk negeri ini yang rentan menjadi miskin dan setiap saat bisa jatuh miskin karena berbagai sebab. inilah sebabnya berbagai intervensi tetap saja tak mampu mengurangi angka kemiskinan. Program-program pembangunan hanya ditujukan untuk mengatasi yang miskin tetapi lupa untuk mencegah orang jatuh miskin.

Patut disyukuri bahwa banyak daerah tidak mengulangi kegagalan yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah pusat. kota Banjar adalah salah satu yang belajar dari pengalaman tersebut. tak mau dipusingkan dengan polemik siapa yang kaya dan siapa yang miskin atau siapa yang rentan dan siapa yang hampir miskin,

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Pemerintah kota Banjar menerapkan kebijakan puskesmas bebas biaya ini bagi seluruh penduduk.

selain itu pemahaman bahwa kesehatan merupakan hak warga negara tampak melalui aturan yang menyatakan bahwa setiap penduduk yang memiliki ktP (kartu tanda Penduduk) dan kk (kartu keluarga) kota Banjar dapat memperoleh pelayanan puskesmas bebas biaya. tidak ada diskriminasi dalam pemenuhan hak dari pemerintah terhadap warganya. Bagi Pemerintah kota Banjar yang penting pihaknya sudah menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi seluruh warga. Masyarakat bebas memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan.

Program Puskesmas Bebas Biaya di kota Banjar ini merupakan model penggratisan biaya pelayanan, dengan mengganti biaya pelayanan yang diperlukan oleh puskesmas dari aPBd. Model ini dirasakan lebih praktis tidak perlu menggunakan sistem asuransi/premi atau yang dinamakan JaMkesda. Pemerintah daerah langsung membiayai pelayanan kesehatan untuk warganya.

selain itu, Program Bebas Biaya ini memberikan otonomi penuh pada puskesmas di kota Banjar untuk melaksanakan konsep ”Perencanaan dan Penganggaran kesehatan terpadu (P2kt)”. P2kt ini memuat analisis situasi, analisis kinerja proses dan output, analisis risiko lingkungan dan perilaku, penentuan kegiatan dan program serta anggaran.

langkah pertama yang diambil untuk mewujudkan penggratisan tersebut adalah menghitung biaya operasional dasar bagi setiap Puskesmas untuk bisa beroperasi. saat itu program Puskesmas Bebas Biaya belum masuk dalam aPBd namun program tetap harus berjalan. Walikota yang sangat komitmen kemudian menyediakan dana talangan untuk mendanai biaya operasional bagi 7 puskesmas yang ada di wilayah kota Banjar. Walikota Banjar merelakan dana tunjangannya selama 1 tahun (2004) sebesar rp 80.000.000 untuk menutupi kebutuhan dana talangan tersebut, yaitu pada tahun pertama pelaksanaan Puskesmas Bebas Biaya tersebut.

langkah berikutnya adalah persiapan dari pihak penyedia layanan, yang dalam hal ini adalah puskesmas. setidaknya perlu tiga

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

bulan untuk mensosialisasikan program ini kepada kepala-kepala puskesmas dan seluruh tenaga medisnya. tidak mudah melakukan sosialisasi ini, karena penggratisan merupakan hal yang baru dan akan berpengaruh terhadap perilaku penyedia layanan (dokter, bidan, dan paramedis).

selanjutnya puskesmas diharuskan mempersiapkan pelaksanaan program Puskesmas Bebas Biaya tersebut. Puskesmas diminta untuk menghitung biaya yang dibutuhkan agar bisa memberikan layanan secara gratis. kebutuhan pendanaan program ini akan dimasukan dalam struktur aPBd kota Banjar pada tahun berikutnya (2005).

hasil perhitungan dari puskesmas, rata-rata biaya yang dibutuhkan per orang per tahun (unit cost/orang/tahun) untuk berobat di puskesmas sebesar rp 230.000 per orang per tahun. namun karena kemampuan aPBd kota Banjar terbatas, maka yang bisa ditanggung hanyalah biaya operasional (retribusi) dan kebutuhan obat.

Pada awal pelaksanaan, dari aPBd kurang lebih 300 milyar dialokasikan 2.6 milyar untuk subsidi program pelayanan kesehatan gratis tersebut. Peruntukannya yaitu 600 juta untuk biaya operasional 7 puskesmas dan 800 juta untuk persediaan obat/tahun bagi 7 puskesmas tersebut. dampak kebijakan ini, iPM kota Banjar selalu di atas rata-rata Provinsi Jawa Barat.

universalisme dalam pelayanan kesehatan di kota Banjar ini merupakan sebuah langkah awal dalam pemenuhan hak warga. namun sesungguhnya masih ada tantangan yang harus dijawab oleh kota Banjar khususnya mengenai kualitas dan cakupan pelayanan. karena tanpa peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan, universalisme pelayanan kesehatan bisa diibaratkan menggarami air laut.

Kabupaten suKoharJo, provinsi Jawa tengahPotret Birokrat Berparadigma Pemenuhan Haksukoharjo tadinya merupakan kabupaten yang gemanya jarang terdengar seantero nusantara. namun, sejak dipimpin oleh Bupati Bambang riyanto, s.h, M.hum segera saja daerah yang berbatasan

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

dengan solo dan karanganyar ini mendapat perhatian penuh dari berbagai khalayak. sejumlah kebijakan yang pro rakyat digulirkan. termasuk puskesmas bebas biaya bagi seluruh penduduk.

satu hal yang menarik dari kabupaten sukoharjo, pemahaman bahwa kesehatan merupakan hak warga tidak hanya ada dalam benak kepala daerah namun juga menjadi persepsi yang dianut bersama oleh para birokrat. suatu hal yang langka terjadi pada birokrat di daerah, bahkan ketika pemerintah pusat sekalipun tidak berpandangan demikian. Pertemuan tim Peneliti inisiatiF dengan jajaran dinas kesehatan menegaskan hal tersebut.

Mulai dari kepala dinas kesehatan, kepala Bidang Pelayanan kesehatan dasar, staf dinas kesehatan, dan kepala Puskesmas di kabupaten sukoharjo menyatakan hal yang sama. alasan menggratiskan pelayanan puskesmas dilandasi oleh pemikiran untuk membuka askes yang seluas-luasnya bagi masyarakat berobat di sarana kesehatan khususnya milik pemerintah. hal ini dikarenakan pelayanan kesehatan adalah hak setiap warga negara dan pemerintah wajib memenuhinya.

kebijakan ini pertama kali muncul dalam pembahasan hasil kajian yang dilakukan oleh tim dari dinas kesehatan. saat itu, tim melakukan pengkajian ulang terhadap tarif puskesmas di kabupaten sukoharjo. kemudian tim terbagi dua kubu. kubu pertama ingin agar tarif puskesmas dinaikan sehingga mendekati satuan biaya yang riil dan taraf kesejahteraan pegawai puskesmas meningkat. disepakati untuk menaikkan tarif dari rp. 2.000,- menjadi rp. 5.000,-. sedangkan kubu yang kedua berpendapat, kenaikan tarif puskesmas akan menambah beban rakyat khususnya yang miskin. sementara kalau kenaikannya hanya rp.3.000,- saja, bukankah aPBd kabupaten sukoharjo yang berjumlah ratusan milyar setiap tahunnya mampu menanggung biaya tersebut.

selanjutnya, kedua tim tersebut melaporkan hasil kajian kepada Bupati dan dPrd. Bupati menyetujui usulan agar puskesmas digratiskan saja. Biaya operasional puskesmas yang selama ini dibebankan kepada masyarakat diganti oleh aPBd. sehingga sejak tahun 2007, puskesmas di kabupaten sukoharjo tidak lagi dikenai target pendapatan. selain itu, untuk memotivasi dan meningkatkan kinerja pegawai puskesmas, dinas kesehatan mengajukan

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

penambahan insentif melalui aPBd. total dana yang dialokasikan untuk membebaskan retribusi di 21 puskesmas adalah sebesar 2,1 Milyar pada tahun 2007 dan 1,9 milyar pada tahun 2008 berikut pengadaan obat sebesar 1,3 milyar.

Memang sempat ada kekuatiran bahwa penggratisan ini akan menurunkan kualitas layanan puskesmas. tapi hal ini ditampik oleh bupati dengan alasan sudah mengalokasikan sejumlah dana dari aPBd untuk membiayai operasional. selain juga tingkat kesehatan masyarakat sukoharjo yang cenderung tinggi, pada praktiknya, pengobatan yang diberikan Puskesmas sukoharjo dilakukan hingga pasien sembuh total dari penyakit, sehingga intensitas orang berobat juga rendah.

tidak seperti daerah lain yang memulai kebijakan puskesmas gratis dengan surat keputusan Bupati/Walikota, kabupaten sukoharjo merespon secara progresif dengan langsung menyusun Peraturan daerah no. 15 tahun 2007 tentang Pembebasan Pungutan retribusi Pelayanan kesehatan rawat Jalan tingkat dasar baik di puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling di kabupaten sukoharjo.

siapa yang berhak menerima layanan tersebut? di banyak daerah hal ini sering menjadi polemik, tentang siapa yang berhak menerima layanan kesehatan gratis yang disediakan oleh pemerintah. di sukoharjo tidak demikian, pemenuhan hak tidak memandang kaya ataupun miskin. semua penduduk kabupaten sukoharjo bahkan seluruh penduduk indonesia berhak menggunakan layanan kesehatan gratis tersebut. tim Peneliti inisiatiF yang notabene merupakan warga kabupaten Bandung sudah membuktikan hal tersebut dengan mencoba berobat gratis di Puskesmas sukoharjo i.

dau (dana alokasi umum) yang diterima dari pemerintah pusat dan merupakan dana aPBd menurut Bupati sukoharjo-Bambang riyanto, adalah dana nasional yang semestinya bisa dinikmati juga oleh penduduk indonesia. sebuah paradigma yang unik untuk seorang kepala daerah. oleh karena itu, sejak puskesmas digratiskan banyak penduduk di daerah perbatasan yang berobat ke sukoharjo.

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

kebijakan di sukoharjo ini memang baru berjalan dua tahun dan aspek keberlanjutan masih menjadi pertanyaan besar. akan tetapi, langkah masif telah dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten sukoharjo. harapan mengenai potret birokrat berparadigma pemenuhan hak yang masih menjadi barang langka, setidaknya dapat ditemui di kabupaten yang terkenal dengan industri rotan ini. sehingga bolehlah kita semua berharap dalam kurun waktu dua dekade ini, separuh dari 440 kabupaten/kota di indonesia telah menjelma menjadi negara kesejahteraan dalam konteks lokal. amin.

Kabupaten Jembrana, provinsi baliWujud Negara Kesejahteraan dalam Konteks Lokaltahun 2001 kabupaten Jembrana mulai mengevaluasi program kesehatan puskesmas dan rumah sakit terutama dari segi kualitas pelayanan dan biaya pelayanan kesehatan. evaluasi dilaksanakan untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit negara kurang diminati oleh masyarakat karena kualitas pelayanannya mengecewakan. Masyarakat menilai pelayanan swasta lebih meyakinkan, kualitasnya lebih baik, obatnya lebih baik, petugasnya ramah serta gedungnya lebih baik dan bersih.

dalam pengamatan di lapangan bahwa pemanfaatan rumah sakit negara tidak begitu optimal rata-rata Bor dibawah 60 %. di Puskesmas pun kunjungan tidak begitu banyak sekitar 30-40 orang sehari. dalam pemanfaatan aPBd, subsidi obat untuk rumah sakit dan Puskesmas dari tahun ke tahun cukup besar (3,5 milyar rupiah setahun) sementara pendapatan dari sektor kesehatan, tercatat subsidi selalu lebih besar dari pendapatan. dalam pengamatan dari tahun ke tahun seberapa besarpun subsisdi yang diberikan tidak mampu mendongkrak pemasukan dari sektor kesehatan.

dari hasil pengamatan tersebut maka pemerintah mengambil langkah yaitu mengalihkan subsidi yang semula diberikan untuk biaya obat-obatan rsud dan Puskesmas dan diberikan kepada masyarakat melalui satu lembaga asuransi yang dibangun Pemerintah kabupaten Jembrana, yaitu lembaga Jaminan kesehatan Jembrana (JkJ) dengan keputusan Bupati nomor 31 tahun 2003.

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

kemudian pada tanggal 24 Mei 2006 diubah dengan Peraturan daerah kabupaten Jembrana nomor 7 tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan sosial daerah (JaMsosda) kabupaten Jembrana. JaMsosda ini memiliki tugas pokok yaitu melaksanakan upaya pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat kabupaten Jembrana melalui Pemberi Pelayanan kesehatan (PPk) serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar pelayanan dengan standar biaya yang terkendali.

subsidi ini diberikan kepada seluruh masyarakat Jembrana dalam bentuk premi untuk biaya rawat jalan tingkat pertama di unit pelayanan kesehatan yang mengikat kontrak kerja dengan Bapel/Badan Penyelenggara JkJ. Pada saat yang bersamaan Puskesmas dan rumah sakit diwajibkan untuk mencari dana sendiri untuk kebutuhan rutin termasuk obat-obatan, hanya obat-obatan khusus/program khusus yang dibantu oleh Pemerintah (Program imunisasi, Malaria, tBC, demam Berdarah, diare, dan kusta serta Program gizi).

subsidi untuk premi ditetapkan sebesar rp 3,3 milyar untuk tahun 2003, 6,7 milyar untuk tahun 2004, dan tahun 2005 subsidi sebesar 8 milyar rupiah. dengan subsidi premi ini masyarakat Jembrana berhak memiliki kartu keanggotaan JkJ yang dapat digunakan untuk biaya berobat rawat jalan di setiap PPk-1 baik milik pemerintah maupun swasta (dokter/dokter gigi/Bidan/Praktik swasta/Poliklinik rs swasta kelas d) tanpa dipungut bayaran. khusus untuk di Bidan hanya berlaku pelayanan Ante Natal Care (Pemeriksaan ibu hamil/sebelum melahirkan) dan Pelayanan kB.

untuk pelayanan di PPk-1 premi masyarakat disubsidi penuh oleh pemerintah, dimana klaim oleh dokter umum PPk-1 maksimal sebesar rp. 27.000,- per kali kunjungan yang terdiri dari biaya jasa medis sebesar rp. 10.000,- obat suntik rp. 2.000,- dan obat-obatan lainya maksimal rp. 15.000,- sesuai perhitungan harga obat yang digunakan. kunjungan ulang dengan diagnose sama hanya boleh diklaim kalau tenggang waktu kunjungan pertama dengan berikutnya minimal 3 hari. apabila sebelum 3 hari pasien datang lagi dengan kasus yang sama maka segala biaya pengobatan menjadi tanggungan PPk-1 bersangkutan.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Manajemen keuangan JkJ menggunakan sistem pra-upaya seperti pada JPkM, tetapi pra-upaya dilakukan di tingkat Bapel, bukan di tingkat PPk-1. subsidi pemerintah disalurkan dan diterima oleh Bapel JkJ dan Bapel JkJ membayar kepada PPk-1 sesuai klaim yang diajukan. klaim dikoreksi oleh tim verifikasi dan setelah koreksi dilaksanakan klaim baru dibayar.

JkJ dibangun sebagai satu inovasi pilihan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat kabupaten Jembrana. JkJ merupakan satu kreasi atau pengalihan subsidi pembiayaan kesehatan dari subsidi kepada unit pelayanan kesehatan menjadi subsidi kepada masyarakat melalui lembaga Jaminan kesehatan Jembrana (JkJ), dengan demikian pemerintah tidak membuat anggaran baru hanya mengalihkan biaya yang sudah ada bahkan dicoba mengalokasikan di bawah alokasi semula.

JkJ akan mengelola pembiayaan kesehatan sedangkan biaya operasional kesehatan lainnya tetap disubsidi seperti semula terutama program yang sifatnya khusus, preventif, dan rehabilitatif. dengan program JkJ dimungkinkan terjadinya demokratisasi di bidang kesehatan karena masyarakat dapat secara bebas menggunakan sarana pelayanan kesehatan yang ada di seluruh kabupaten Jembrana.

dengan adanya program JkJ ini masyarakat tidak perlu menyediakan uang untuk biaya rawat jalan sehingga pemanfaatan kesehatan oleh masyarakat menjadi tinggi dan dapat menekan angka pemakaian rumah sakit (rawat inap) karena sakit yang belum begitu parah sudah terobati. Pemenuhan hak warga dan standar kesejahteraan minimum secara universal oleh negara melalui tangan pemerintah daerah sudah terjadi di Jembrana, dengan demikian layaklah ia disebut wujud negara kesejahteraan dalam konteks lokal.

Kabupaten purbalingga, provinsi Jawa tengah Model Partisipasi Masyarakat dalam Pembiayaan Kesehatan di DaerahProgram JPkM (Jaminan Pemeliharaan kesehatan Masyarakat) adalah suatu program yang berasal dari inisiatif Pemerintah kabupaten Purbalingga. Program yang merupakan program pengganti JPs-Bk (Jaring Pengaman sosial-Bidang kesehatan) ini

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

pertama kali dirumuskan pada tahun 2000. setelah program JPs-Bk berhenti di tahun 2000, Pemerintah kabupaten Purbalingga menganggap penting untuk meneruskan program tersebut dengan versi yang lain. Program JPs-Bk diberikan kepada keluarga miskin (gakin), sedangkan pada program JPkM Pemerintah kabupaten Purbalingga merancang skema yang mengikutsertakan keluarga non miskin.

Program JPkM di kabupaten Purbalingga juga dilatarbelakangi oleh sebab lain seperti: 1) Belum terpadunya peran pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam upaya penyelenggaraan kesehatan; 2) terbatasnya pengalokasian dana dari pemerintah yang diutamakan untuk upaya kuratif; 3) Pelayanan kesehatan terasa mahal karena menggunakan sistem fee for service; 4) Pembiayaan kesehatan masih belum mengungkit masalah subsidi silang.

sehingga Program JPkM dirancang sebagai suatu program yang dibuat untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat di kabupaten Purbalingga dengan sistem pembayaran pra upaya (seperti asuransi). Program ini mempunyai motto yaitu membangun pelayanan kesehatan berkualitas dan berkelanjutan yang bertumpu pada keswadayaan dan kemandirian masyarakat.

dengan adanya JPkM, masyarakat mengeluarkan biaya ringan karena adanya azas kebersamaan, kekeluargaan/kegotong-royongan (subsidi silang sehingga masyarakat terlindungi dan merasa aman dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan utamanya yaitu rawat jalan dan kebutuhan khususnya yaitu rawat inap. selain itu, pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan secara komprehensif melalui rintisan model pelayanan dokter keluarga yang mengakibatkan meningkatnya kinerja dan profesionalisme lembaga-lembaga pelayanan kesehatan pemerintah. Pembiayaan pelayanan kesehatan juga menjadi lebih efisien dan efektif karena adanya pembayaran pra-upaya.

dari sisi masyarakat, JPkM merubah perilaku cara bayar dari out of pocket menjadi pra bayar (masyarakat dan provider) serta terjadinya subsidi silang (si sehat dan Mampu membantu si sakit dan kurang Mampu). Pelaksanaan Program JPkM di kabupaten Purbalingga

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

ini dipayungi oleh Perda no. 15 tahun 2003 tentang JPkM. serta berbagai sk Bupati dan surat edaran Bupati yang mendukung pelaksanaan program ini seperti kepBup no. 29 tahun 2003 tentang kriteria keluarga Miskin.

di kabupaten Purbalingga, program JPkM telah berjalan sejak tahun 2001. adapun tahap-tahap dalam pengembangan program JPkM di kabupaten Purbalingga adalah: 1) tahun 2001–2005: sosialisasi dan inisiasi; 2) tahun 2006–2009: Penguatan instalasi; 3) tahun 2010–2012: kemantapan; dan 4) tahun 2012–dan seterusnya: kemandirian.

dalam program JPkM, masyarakat adalah komponen terbesar yang menjadi obyek kebijakan dan menentukan keberhasilan program JPkM. Masyarakat yang menjadi peserta JPkM terbagi dalam tiga kategori berdasarkan penghasilannya, yaitu:1. strata 1 keluarga Miskin; bebas biaya dan biasanya anggota

gakin (keluarga miskin). Peserta strata i bekerja sebagai pekerja serabutan atau petani gurem. kriteria peserta JPkM strata i (sekarang askes gakin) ada dalam keputusan Bupati Purbalingga no. 29 tahun 2003 tentang kriteria gakin.

2. strata ii keluarga gakin; keluarga yang pernah miskin. tingkat penghasilan dan kondisi hidupnya di atas keluarga miskin, membayar 50% dari total premi (saat ini rp. 40.000). umumnya mereka adalah pekerja informal seperti tukang ojek dan penarik becak.

3. strata iii keluarga non gakin; keluarga non miskin atau keluarga kaya. Mereka yang tergolong mampu atau yang dapat membayar premi penuh yaitu 100% dari total premi (saat ini rp. 80.000). umumnya adalah pedagang eceran, menengah, atau besar.

Peserta JPkM terdiri dari keluarga inti yaitu: ayah, ibu, dan anak. keanggotaan JPkM apabila satu atau lebih anggota keluarga menikah diberi hak menjadi anggota JPkM baru dengan mendaftar pada koordinator JPkM di Puskesmas atau di kantor Pra Bapel JPkM dan membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang ada. selain itu juga wajib membawa kartu JPkM orang tuanya yang masih berlaku dan melampirkan fotokopi surat nikah paling lambat 2 minggu setelah pernikahan.

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

Pendaftaran kepesertaan dimulai dari Bulan agustus sampai Bulan desember setiap tahunnya. Peserta dapat mendaftar pada kader kesehatan di desa setempat atau di puskesmas terdekat. Pemilik askes dan Jamsostek dapat mendaftar sebagai anggota JPkM. Peserta dapat mempergunakan dua kartu sekaligus dalam berobat di Puskesmas maupun di rsud Purbalingga. Petugas perekrutan Peserta JPkM adalah kader kesehatan desa, koordinator tingkat desa, dan koordinator tingkat Puskesmas.

awalnya program JPkM didanai oleh anggaran dari pemerintah pusat di bidang kesehatan. kemudian oleh Pemerintah kabupaten Purbalingga dana tersebut dijadikan modal awal bagi penyelenggaraan program JPkM. setelah program tersebut mulai berjalan, Pemerintah kabupaten Purbalingga kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada Pt. sadar sehat Mandiri.

Pt. sadar sehat Mandiri merupakan pengelola program yang disebut dengan Bapel (Badan Penyelenggara). Bapel ini dibentuk dengan sk. Bupati no. 40/63/2003 yang berlaku efektif pada 7 april 2003. namun, skema ini telah berjalan sejak tahun fiskal 2001/2002 karena Pemerintah kabupaten Purbalingga menganggap penting untuk menjalankan skema ini terlebih dahulu, kemudian mengurus aturan pelaksanaannya di kemudian hari.

Pemerintah kabupaten Purbalingga memilih membentuk BaPel yang terpisah untuk mengelola dana JPkM-nya karena menginginkan pengelolaan skema yang lebih independen dan tidak bergantung pada dinas kesehatan. sehingga program ini dapat terlaksana dengan lebih efisien dan bertanggungjawab. BaPel JPkM sendiri melaksanakan tiga fungsi, yaitu fungsi kepesertaan, fungsi keuangan, dan fungsi pemeliharaan kesehatan.

Bapel JPkM membayar kepada PPk secara kapitasi (di muka) yang digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta JPkM. pembayaran kapitasi ke rsud yang nilainya dihitung berdasarkan jumlah seluruh peserta JPkM dikalikan kapitasi per tahun per kk. hal ini dikarenakan setiap peserta memiliki kemungkinan yang sama untuk sakit dan kemudian dirujuk ke rsud setelah puskesmas setempat tidak mampu menanganinya.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Program JPkM menjadi salah satu upaya guna mewujudkan Purbalingga sehat 2010. Berkaitan dengan hal tersebut dalam waktu dekat (2009) program JPkM akan diwajibkan sehingga cakupan menyeluruh akan tercapai di kabupaten Purbalingga. hal ini sebenarnya sudah tertuang dalam PerMenkes no.40 tahun 2004 dimana setiap warga negara wajib memberikan perlindungan bagi kesehatannya. namun setiap kabupaten harus berupaya menyiasati agar kewajiban tersebut tidak memberatkan masyarakat, khususnya yang miskin. Purbalingga mengatasinya dengan implementasi subsidi silang yang konkrit, di saat daerah lain masih berwacana. sesuatu yang patut diapresiasi.

Kota yogyaKarta, provinsi daerah istimewa yogyaKartaJAMKESDA: Bukti Nyata Keberpihakan Kepada Rakyat MiskinPemerintah kota yogyakarta telah mengupayakan berbagai macam jaminan kesehatan yang dilaksanakan sejak tahun 2004 hingga sekarang dan setiap tahunnya berkembang sesuai kebutuhan dan prioritasnya. tahun 2010 Pemerintah kota yogyakarta berupaya untuk mencapai tingkat kepesertaan semesta yaitu 80% penduduk kota yogyakarta telah menjaminkan kesehatannya, baik secara individu maupun secara kelompok.

untuk mencapai kepesertaan 80%, masyarakat kota yogyakarta diharapkan yang tidak tergolong Miskin untuk bisa berperan serta aktif ikut dalam Program Jaminan Pemeliharaan kesehatan Masyarakat dengan menyisihkan biaya untuk kesehatannya. sedangkan masyarakat miskin menjadi tanggung jawab pemerintah.

JaMkesda atau Jaminan kesehatan daerah merupakan sebuah istilah yang sering diucapkan dan didengarkan warga kota yogyakarta. Melalui program Jamkesda ini semua warga kota yogyakarta berhak mendapatkan pelayanan di bidang kesehatan dan biayanya ditanggung oleh Pemerintah. selama ini program Jamkesda mendapatkan respon yang sangat baik dari masyarakat karena mampu memberikan jaminan kepada masyarakat yang kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah atau swasta dan puskesmas.

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 5 - kisah sukses inovasi Beberapa daerah

selain itu, program Jamkesda juga mampu menutup kekurangan yang belum diakomodir askeskin dari pemerintah pusat. respon yang sangat baik dari masyarakat terhadap program JaMkesda ini tidak terlepas dari gencarnya sosialisasi yang dilakukan unit Pelaksana teknis Penyelenggara Jaminan kesehatan daerah (uPt-PJkd) kota yogyakarta.

Pelaksanaan Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) ini secara teknis diatur melalui Peraturan Walikota yogyakarta no. 66 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Jaminan kesehatan daerah Bagi Masyarakat kota yogyakarta. Perwal (Peraturan Walikota) ini mengatur aspek-aspek penyelenggaraan bantuan pembiayaan kesehatan yang ditujukan kepada: (1) Masyarakat Miskin; (2) kader kesehatan; (3) Pengurus rt/rW/lPMk/Pkk rW; (4) Ptt/gtt di lingkungan Pemerintah kota yogyakarta; (5) kelompok khusus; dengan biaya yang berasal dari aPBd kota yogyakarta.

Munculnya PP 38 tahun 2007 mendorong berbagai daerah saat ini untuk mengembangkan sistem jaminan kesehatannya sendiri. kota yogyakarta merupakan contohnya. sistem jaminan kesehatan di daerah ini dimulai dengan menjamin masyarakat miskin. Walaupun secara nasional pemerintah pusat sudah menjamin masyarakat miskin lewat skema askeskin, namun di beberapa daerah mereka juga dijamin lewat mekanisme aPBd melalui tambahan penjaminan, atau daerah menjamin masyarakat miskin “lain” yaitu mereka yang tidak terdaftar sebagai peserta askeskin karena berbagai alasan.

Menarik untuk dicermati bahwa pembentukan jaminan kesehatan daerah ini juga dipicu oleh semacam ”ketidakpuasan” daerah dengan sistem jaminan nasional. dengan adanya Jamkesda di beberapa daerah, terdapat harapan baru bahwa pengelolaan penjaminan akan lebih baik dari yang saat ini sudah berjalan. seperti diketahui berbagai masalah saat ini mengemuka dalam sistem penjaminan kesehatan masayarakat miskin oleh pemerintah. yang paling menonjol adalah masalah pendataan penduduk miskin, pembayaran terlambat ke rumah sakit yang dikontrak, serta adanya kecenderungan pelayanan berlebihan oleh rumah sakit.

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

sejarah pengembangan Jamkesda di kota yogyakarta dapat dirunut sejak tahun 1999 yaitu ketika terdapat program Jaminan Pemeliharaan kesehatan Masyarakat – Jaring Pengaman sosial Bidang kesehatan (JPkM-JPsBk) yang disponsori oleh departemen kesehatan sebagai bagian dari penanggulangan krisis moneter waktu itu. Pengembangannya dimulai dengan dibentuknya Pra Badan Penyelenggara (Pra Bapel) di tingkat kabupaten kota berupa unit Pelaksana teknis daerah JPkM.

selanjutnya pada tahun 2000, Provinsi di yogyakarta mendapatkan dana Provincial Health Project (PhP) i dari Bank dunia yang salah satu programnya adalah reformasi Pembiayaan kesehatan untuk usaha kesehatan Perorangan (ukP). dalam dokumen rekomendasi reformasi Pembiayaan kesehatan ini disebutkan bahwa reformasi akan dapat dicapai bila pembiayaan kesehatan menerapkan Prinsip asuransi/Jaminan kesehatan. Pengembangan konsep reformasi pembiayaan kesehatan ini dimulai dengan berbagai workshop mengenai asuransi dan jaminan kesehatan di masing-masing kabupaten dan kota yogyakarta.

kota yogyakarta terlihat memilih pendekatan residual selektif karena hanya menjamin masyarakat miskin saja dan kelompok tertentu. namun, studi inisiatiF menunjukkan ini hanyalah permulaan saja. karena cita-cita besar sesungguhnya adalah jaminan kesehatan dengan cakupan menyeluruh bagi seluruh penduduk kota yogyakarta. tentu ini sebuah awal yang baik. [ ]

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

Bab 6

Pengalaman Advokasi di Kabupaten Bandung

tertarik dengan keberhasilan daerah lain dalam melakukan inovasi penyediaan jaminan pelayanan kesehatan, adanya kebutuhan yang nyata dari masyarakat akan adanya jaminan

pelayanan kesehatan, adanya potensi sumber daya (anggaran) yang potensial untuk diefisienkan penggunaan belanjanya, serta keprihatinan melihat kenyataan bahwa pelayanan kesehatan masih rendah kualitas dan kuantitasnya, Perkumpulan inisiatiF tertarik untuk melakukan advokasi-advokasi kesehatan gratis53) di kabupaten Bandung. Pemilihan kata “gratis” ini dimaksudkan untuk menyederhanakan pengertian bagi masyarakat awam. advokasi ini diinisiasi oleh Perkumpulan inisiatiF bekerjasama dengan Forum diskusi anggaran.

starting pointtitik awal proses advokasi ini dimulai menjelang akhir tahun 2006, dengan presentasi Perkumpulan inisiatiF tentang kebijakan daerah pro rakyat miskin di depan Badan Perencanaan daerah kabupaten Bandung di Bulan november. diskusi diisi dengan membahas tantangan terbesar pengentasan kemiskinan di kabupaten Bandung. di akhir acara diskusi, Perkumpulan inisiatiF “menantang” Pemda kabupaten Bandung untuk “menggratiskan” layanan kesehatan agar masyarakat yang rentan bisa mendapatkan

5� Tidak ada layanan kesehatan gratis, ini dari sisi penyedia layanan termasuk dari pihak pemda. Ini karena penyediaan layanan kesehatan membutuhkan biaya. Tapi bagi masyarakat pengguna, penyediaan jaminan kesehatan oleh pemda bisa diartikan penggratisan layanan.

�0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

perlindungan untuk tidak jatuh miskin karena sakit. dengan kata lain, menyediakan jaminan pelayanan kesehatan secara universal. dan tantangan ini dijawab dengan “tantangan balik” dari Bapeda dengan meminta konsepnya melalui pengajuan naskah akademik.

Jawaban atas tantangan balik Bapeda tersebut muncul dengan disampaikannya konsep “penggratisan” yang dituangkan dalam sebuah naskah akademik. naskah akademik ini disampaikan pada Bupati, bapeda, dinas kesehatan, dan dPrd pada Bulan Juli 2007. dan sejak saat itu roda advokasi pun berjalan sampai saat buku ini dibuat.

Box 7. Desain Advokasi Kesehatan Gratis di Kabupaten Bandung

• Persiapan rencana kerja advokasi kesehatan gratis

• Penyusunan tor konsep kesehatan gratis

• Pengumpulan argumen kesehatan gratis

Proses ini dilakukan oleh Perkumpulan inisiatif bekerja sama dengan universitas. kegiatan yang dilakukan adalah studi dokumen, analisis kebijakan dan anggaran kesehatan, dan user based survey yang dilakukan di Puskesmas di 30 kecamatan dan 2 rumah sakit daerah yang ada di kabupaten Bandung. survey bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan pengguna layanan Puskesmas dan rumah sakit daerah.

• Perumusan konsep kesehatan gratis

tahapan yang dilakukan dalam perumusan konsep kesehatan gratis ini adalah Penghitungan Prevalensi tiap Penyakit/layanan, Penghitungan nilai Moneternya (Monetize), Penghitungan resiko dan Sorting Besarannya, analisis anggaran dan skema alternatif (kebutuhan & kapasitas), Penentuan Stakeholder yang Membiayai kesehatan, dan Pemilihan skema & Budget alternatif ). tahapan ini adalah tahapan awal sebelum memasuki advokasi, tahapan ini dikhususkan pada kajian untuk menyusun naskah akademik kesehatan gratis.

• konsolidasi dukungan Masyarakat terhadap kesehatan gratis

konsolidasi dukungan ini dilakukan dengan bekerjasama dengan elemen kelompok masyarakat. salah satu bentuk konkrit dukungan adalah pengumpulan tanda tangan dan fotokopi ktP penduduk kabupaten Bandung. sementara kegiatan lainnya yaitu seminar tentang advokasi Jaminan Pelayanan kesehatan gratis, Publikasi Media Massa (sewa kolom di Media Massa untuk membangun opini publik), Penyebaran Buku saku, Pembuatan spanduk, untuk mensosialisasikan advokasi jaminan pelayanan kesehatan gratis ke seluruh penduduk kabupaten Bandung.

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

• advokasi kesehatan gratis ke Pemda

tahapan ini terdiri atas 2 kegiatan, yaitu:

o Penyiapan Materi & rencana kerja advokasi: di sini kita membuat rencana audiensi dengan Pemda dan dPrd, pemetaan stakeholder yang mendukung gagasan kesehatan gratis, dinamika advokasi itu sendiri, dan lainnya.

o Penyerahan naskah akademik ke Pemda dan dPrd: Penyusunan naskah akademik akan dilaksanakan selama Bulan Juli 2007. setelah naskah akademik selesai disusun, substansi dan penyempurnaan naskah akademik tersebut dilakukan.

• Pengawalan legislasi kesehatan gratis

o audiensi dengan dPrd & dinas kesehatan: Penyerahan naskah akademik dilanjutkan dengan audiensi dengan dPrd dan dinas kesehatan. audiensi bertujuan untuk mensosialisasikan konsep dan menggalang dukungan dari Pemda dan dPrd, menuntut hak inisiatif dPrd untuk mengusung konsep pelayanan kesehatan gratis ini dalam bentuk Peraturan daerah, dan menuntut pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

o Pengawalan legislasi di dewan & Pengawalan Proses Penganggaran (Budget alternatif ): kedua proses ini akan mulai berlangsung ketika konsep Jaminan Pelayanan kesehatan gratis ini masuk dalam Program legislatif daerah (Prolegda). Pengawalan ini dimaksudkan agar tidak ada perubahan substansi dalam usulan kebijakan Penggratisan kesehatan ini. Proses ini bertujuan Jaminan Pelayanan kesehatan gratis ini diakomodir oleh Peraturan daerah.

• kampanye kesehatan gratis

kampanye ini ditujukan untuk mensosialisasikan Perda tentang Jaminan Pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat sebagai penerima manfaat dan stakeholders lain.o Penyiapan Materi Publikasi (rakom, poster, & koran)o Publikasi & Promosi kesehatan gratis; kegiatan ini ditempuh

dengan Penayangan iklan layanan Masyarakat melalui radio-radio komunitas dan sewa kolom di koran.

Kondisi awal Kabupaten bandung: Kondisi Kesehatansebelum proses advokasi dimulai, di kabupaten Bandung telah dilaksanakan beberapa studi yang hasilnya sangat bermanfaat sebagai “bahan dasar” substansi advokasi. studi tersebut di antaranya adalah analisis data sekunder yang dilakukan oleh Perkumpulan inisiatiF. analisis ini dilakukan dengan berbekal data yang diperoleh dari Proposal evaluasi diri-Program Pendanaan

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

kompetitif untuk pencapaian iPM (Ped PPk-iPM) yang disusun tahun 2005 oleh Badan Perencanaan daerah kabupaten Bandung. studi yang kedua adalah hasil survey pengguna layanan (user based survey)54) kesehatan publik yang dilakukan oleh Perkumpulan inisiatiF bekerjasama dengan universitas komputer indonesia di tahun 2007.

dari data yang diperoleh dari kedua studi tersebut, diperoleh gambaran mengenai kondisi sisi permintaan layanan kesehatan dan juga kondisi sediaannya. dari sisi permintaan, beberapa informasi penting mengenai karakter konsumen kita peroleh dari kedua studi di atas. karakter tersebut meliputi penghasilan, pekerjaan, tingkat kerentanan ekonomi dilihat dari kemampuan untuk membayar (ability to pay/ATP) dan kesediaan untuk membayar (willingness to pay/WTP), angka ketergantungan, lokasi & sebaran, kebutuhan, jender, usia, kondisi tempat tinggal, dan lain-lain. kemudian dari sisi sediaan, kita juga memperoleh informasi mengenai infrastruktur, tenaga medis dan non medis dalam hal jumlah, sebaran, kondisi infrastruktur, kecukupan, dan lain-lain. hal yang penting dalam memperkuat argumen kita dalam melakukan advokasi adalah proyeksi kondisi sediaan dan permintaan di masa depan bila tidak dilakukan intervensi.

dari hasil analisis data kesehatan yang bersumber dari data Proposal evaluasi diri-Program Pendanaan kompetitif untuk pencapaian iPM (Ped PPk-iPM) yang disusun tahun 2005 oleh Badan Perencanaan daerah kabupaten Bandung, ada beberapa permasalahan kesehatan yang berhasil teridentifikasi. temuan pertama dari sisi kondisi kesehatan masyarakat kabupaten Bandung. kondisi kesehatan masyarakat dalam beberapa hal umum cukup baik dan merata. angka harapan hidup rata-rata di atas 64,5 tahun, cakupan desa uCi mendekati 100%, cakupan kunjungan neonatus melebihi 65%, serta angka pneumonia dan diare pada balita mengalami penurunan.

namun di balik kesuksesan tersebut, ada beberapa hal mengkhawatirkan yang sangat perlu diperhatikan. hasil kajian data

5� Proses studi ini dilakukan mulai awal bulan Mei sampai akhir Juni �007. Survey ini dilakukan di �0 puskesmas yang tersebar di �0 kecamatan dan di dua rumah sakit daerah.

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

menunjukan bahwa kondisi kesehatan masyarakat di kecamatan-kecamatan yang berkarakter perindustrian cukup memprihatinkan. kecamatan-kecamatan tersebut di antaranya Majalaya, rancaekek, Ciparay, Banjaran, dayeuhkolot, soreang, dan lain-lain. Beberapa indikator, seperti angka kematian bayi di bawah 1 tahun cukup tinggi. demikian juga dengan kasus Berat Badan lahir rendah (BBlr), jumlah balita dengan status gizi buruk dan kurang, angka anemia di kalangan ibu, angka kejadian penyakit isPa, diare, dan tBC. semuanya menunjukan angka kejadian yang cukup tinggi.

temuan lain dari kajian data tersebut yang agak kontras, masyarakat yang tinggal di kecamatan-kecamatan yang terletak agak jauh di perbatasan, juga menghadapi masalah kesehatan. indikator adanya masalah tersebut adalah angka persalinan dibantu tenaga kesehatan masih rendah, angka kematian ibu bersalin masih tinggi, angka kematian bayi di bawah 1 tahun yang tinggi, cakupan neonatus rendah, dan lain-lain. kecamatan-kecamatan yang harus mendapat perhatian dalam hal ini adalah Pasir Jambu, rancabali, Ciwidey, kertasari, Pangalengan, ibun, nagreg, dan lain-lain. dalam kasus ini kembali, perempuan dan anak anak dalam posisi yang rentan. Jarak dan jumlah prasarana dan sdM kesehatan yang kurang menjadi penghambat utama mereka mendapatkan pelayanan yang memadai.

saat ini jumlah prasarana kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, klinik, dan lain-lain, bisa dibilang masih sangat kurang. data yang ada menunjukan bahwa jumlah tersebut tidak bertambah sejak beberapa tahun terakhir (setidaknya dari tahun 2000). artinya, cakupan pun tidak bertambah sejak beberapa tahun terakhir. kurangnya jumlah ini terkait juga dengan rasio terhadap jumlah penduduk yang harus dilayani. saat ini tidak ada satu pun kecamatan yang memiliki jumlah puskesmas dengan jumlah yang memenuhi rasio standar. demikian juga dengan prasarana kesehatan lainnya.

dalam hal sebaran, prasarana dan sdM penyedia layanan kesehatan sangat terkonsentrasi di kecamatan-kecamatan dengan karakter “kota”. kecamatan-kecamatan tersebut di antaranya Bojongsoang, Cileunyi, katapang, Baleendah, Margaasih, Margahayu, Cangkuang, dayeuhkolot, Paseh, Banjaran, rancaekek, Cicalengka, dan Majalaya. di kecamatan-kecamatan tersebut luas area yang dilayani

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

oleh sebuah prasarana (misalnya puskesmas) atau sdM kesehatan (misalnya bidan atau dokter) cukup kecil .

sementara di kecamatan dengan karakter “ndeso”, seperti rancabali, Pasirjambu, kertasari, Pangalengan, nagreg, atau Pacet, luas area yang dilayani sebuah prasarana kesehatan (misalnya puskesmas) atau sdM kesehatan (misalnya bidan atau dokter) sangatlah luas.

informasi lainnya mengenai kondisi kesehatan di kabupaten Bandung dapat dilihat dari hasil survey pengguna layanan (user based survey) kesehatan publik yang dilakukan oleh Perkumpulan inisiatif bekerjasama dengan universitas komputer indonesia di tahun 2007. hasil survey tersebut menunjukan bahwa persentase terbesar pengguna layanan puskesmas dan rumah sakit adalah perempuan dengan karakteristik aktivitas sebagai ibu rumah tangga, yang diidentikkan dengan kelompok tidak produktif. ditinjau dari derajat kesehatan dapat diketahui bahwa ibu rumah tangga lebih rentan terhadap penyakit (derajat kesehatan masih rendah) karena persentase terbesar kebutuhan pelayanan kesehatan adalah untuk berobat.

ditinjau dari persepsi mengenai kebutuhan yang perlu ditingkatkan berdasarkan uji crosstab, diketahui bahwa 62% pengguna layanan kesehatan termasuk ke dalam cluster lainnya (ibu rumah tangga, buruh, petani, dan pengangguran) menyatakan perlunya peningkatan krusial terhadap upaya penambahan waktu operasional puskesmas, penambahan jumlah tenaga medis (dokter, bidan, dan perawat), upaya peningkatan keramahan pelayanan tenaga kesehatan terhadap pasien, serta perlunya perbaikan gedung/sarana prasarana.

Jumlah anggota keluarga sebanyak empat orang ditunjang dengan jumlah pendapatan kurang dari rp. 500.000, dengan angka tanggungan 3 orang per kk. Jika dikaitkan dengan jumlah pengeluaran, untuk tiap kk dengan jumlah anggota keluarga empat orang, beban pengeluaran per bulan adalah rp. 500.000, artinya kemampuan saving dapat dikatakan tidak ada. terdapat keterkaitan yang cukup erat antara jumlah anggota keluarga dengan frekuensi kunjungan ke puskesmas, dimana dari 285 pengguna layanan kesehatan dengan jumlah anggota keluarga

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

Gambar 3. Penelusuran Kesenjangan Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Bandung

empat orang, sebesar 57% nya memiliki frekuensi kunjungan ke puskesmas lebih dari empat kali dalam setahun.

dengan frekuensi kunjungan ke puskesmas yang masih tinggi, kebutuhan berobat adalah yang terbanyak, artinya derajat

HASIL KAJIAN SISISEDIAAN

PELAYANANKESEHATAN DI

KABUPATENBANDUNG

JUMLAH CUKUP?

ADA HAMBATANEKONOMI?

ADA HAMBATANSOSIAL?

ADA HAMBATANFISIK?

SEBARANCUKUP?

Sarana, prasarana dan tenagakesehatan ternyata lebih

terkonsentrasi di daerah urban,sementara di daerah yang jauh

(remote area) dan rural jumlahnyakurang

Baik sarana, prasarana jugatenaga kesehatan yang

disediakan pemda ternyatajumlahnya masih kurang di hampir

seluruh kecamatan

HASIL KAJIAN SISIPERMINTAANPELAYANAN

KESEHATAN DIKABUPATENBANDUNG

Di beberapa kecamatan,masyarakat banyak kesulitan

untuk mengakses karena masalahketerbatasan fisik (geografis dan

transportasi)

Relatif tidak ada masalah aksessosial. Masalah sosial yang ada

(perbedaan perlakuan, dll) hampirselalu karena masalah ekonomi.

Walau murah, tarif pelayanandasar di puskesmas tidakterjangkau oleh beberapa

kelompok penduduk. Jaminanyang ada (jamkesmas, askeskin,

dll) tidak mempermudah

Y

T

Y

Y

Y

Y

T

T

T

T

STOP

REKOMENDASI:Penambahan sarana,prasarana juga tenagamedis dan non medis

REKOMENDASI:Redistribusi tenaga

medis dan non mediske daerah yg kurang.Pembangunan sarana

dan prasarana

REKOMENDASI:Revitalisasi Polindes

di seluruh desa

REKOMENDASI:- - -

REKOMENDASI:? ? ?

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

kesehatan masyarakat kabupaten Bandung masih belum optimal. kesimpulan dari survey tersebut adalah masyarakat kabupaten Bandung sebagian besar adalah masyarakat yang rentan untuk jatuh miskin, mudah terkena penyakit, dan akses mereka pada layanan kesehatan yang disediakan pemerintah banyak yang terhambat masalah biaya karena keterbatasan kemampuan ekonomi.

tahapan penyusunan nasKah aKademiKsalah satu bagian terpenting dalam advokasi adalah keberadaan naskah akademik. dan isi terpenting pada naskah akademik yang disampaikan adalah paparan mengenai masalah yang dihadapi, apa konsekuensinya bila tidak segera ditangani dan apa usulan solusi yang ditawarkan serta langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan solusi tersebut. dalam upaya menyusun naskah akademik itulah tahapan-tahapan penyusunan kebijakan pro-rakyat miskin digunakan.

sedikit berbeda dengan tahapan sebagaimana dipaparkan oleh alamsyah (2008) sebelumnya. Pada proses advokasi “penggratisan pelayanan kesehatan” yang dilakukan oleh Perkumpulan inisiatiF di kabupaten Bandung terdiri dari beberapa tahapan:

A. Menganalisis Permasalahan (Membaca Gejala)pertama, dilakukan oleh tim advokasi adalah mencari tahu apa saja cakupan layanan yang ada sekarang ini, apa saja layanan dasar yang sudah diberikan, layanan apa yang masih kurang, serta layanan kesehatan apa saja yang akan digratiskan. Penting sekali bagi kita untuk mengetahui itu semua karena nanti kita akan dihadapkan pada pilihan, apakah hanya penyakit dasar (penyakit rakyat!), atau penyakit berat atau penyakit rujukan? atau semuanya?

Penyakit dasar biasanya sering dan banyak diderita orang. tapi biasanya penyakit penyakit jenis ini mudah untuk sembuh atau disembuhkan. orang cukup pergi ke warung, atau ke apotek untuk membeli obat bebas/umum dengan harga murah. Penyakit-penyakit jenis ini mungkin tidak akan menimbulkan “bencana” yang membuat penderita dan keluarganya jatuh miskin. dan dengan pengobatan yang baik, tepat dan cepat, maka penyakit-penyakit kecil ini tidak akan menjadi penyakit berat.

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

Box 8. Tahapan Penyusunan Naskah Akademik

a. Menganalisis PerMasalahan (MeMBaCa geJala)1. Penentuan Cakupan layanan2. Penghitungan data Penyakit3. Penghitungan nilai uang (Monetize!) untuk setiap penyakit dan total.4. Penghitungan tingkat kerentanan

B. MengidentiFikasi kaPasitas5. analisis anggaran (kebutuhan Biaya dan kapasitas keuangan Pemda)

C. Menyusun strategi dan renCana tindak6. Pemilihan Pendekatan dan Penentuan Financiers7. Penentuan skema Pembiayaan8. Pelembagaan/Pendampingan

lain halnya dengan penyakit-penyakit berat, atau penyakit rujukan, yang bisa membuat penderitanya sakit dalam waktu lama dan kehilangan entitlement-nya karena penyakit tersebut. Penyakit-penyakit ini bisa membuat orang/keluarga jatuh miskin. ketika seseorang dalam posisi rentan menderita penyakit berat, orang tidak bisa lagi bekerja dan tidak mendapatkan upah. selain itu orang itu harus mengeluarkan uang banyak untuk menutup biaya pengobatan penyakit beratnya tersebut. Bagi mereka yang miskin, bukan tidak mungkin mereka akan menjual endowment asset yang mereka miliki. dan ini bisa jadi titik awal orang/keluarga terjerumus dalam lingkaran setan kemiskinan (viscious circle of poverty).

Berbekal informasi dari user based survey, dikenali karakteristik penduduk kabupaten Bandung yang rentan dan sangat mudah terkena penyakit. Baik penyakit besar juga penyakit dasar. temuan ini didukung dengan data dari dinas kesehatan yang menyatakan bahwa hanya 8% penduduk yang melaksanakan Perilaku hidup Bersih dan sehat (PhBs). dari data yang kita peroleh dari dinas kesehatan kabupaten Bandung, selama tahun 2006 ada sekitar 120 jenis penyakit baik berat mau pun ringan, serta layanan kesehatan yang ditangani di tempat pelayanan kesehatan publik (puskesmas dan rumah sakit daerah).

��

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

atas pertimbangan tersebut, ditetapkan prioritas yang akan diadvokasi penggratisannya: (1) semua penyakit, baik penyakit dasar juga penyakit berat (2) penyakit dasar saja, karena diderita banyak orang, dan (3) penyakit berat saja, karena memiskinkan.

Kedua, mendalami kasus-kasus kesakitan yang terjadi di kabupaten Bandung. yang kita kaji adalah angka kejadian atau jumlah penderita per tahun, pelayanan kesehatan apa saja yang diperlukan penderita agar sembuh, berapa lama waktu yang diperlukan untuk sembuh, dan lain sebagainya. kita melakukan analisis berbekal data yang angka kesakitan yang diperoleh dari dinas kesehatan. analisis dilakukan dengan bantuan beberapa dokter yang berpengalaman yang bisa memberikan informasi mengenai karakteristik penyakit-penyakit tersebut55) yang terkait dengan biaya. Misalnya, perawatan yang diperlukan, lama perawatan, obat dan lain-lain.

ada beberapa alternatif kriteria yang bisa digunakan untuk memilih fokus penyakit yang akan dikaji, misalnya: (i) insiden/prevalensi tinggi; (ii) Case fatalities tinggi; (iii) tingkat penyebaran tinggi; (iv) Biaya perawatan/penyembuhan tinggi (tidak bisa diobati oleh obat bebas); (v) tingkat bahaya kedepan tinggi (misalnya gigi berlubang, bisa sampai ke jantung); (vi) Mengurangi produktivitas manusia. kriteria-kriteria tersebut bisa digunakan sendiri-sendiri, juga secara kombinasi, tergantung kebutuhan informasi, ketersediaan data dan juga kemampuan menganalisis. (lihat Box 9)

Ketiga, menghitung nilai moneter dari biaya yang timbul akibat dari penyakit-penyakit tadi. dengan menghitung ini kita akan bisa melihat (1) dampak penyakit tersebut terhadap kondisi ekonomi penderita dan keluarganya, serta (2) dampak penyakit terhadap beban yang harus ditanggung pemerintah ketika pemerintah bertanggungjawab membiayai penyediaan jaminan kesehatan.

55 Untuk informasi yang lebih akurat mengenai karakteristik penyakit atau layanan kesehatan, bila memiliki waktu dan kemampuan, bisa dengan melihat buku text book kedokteran. Tapi ini membutuhkan waktu yang sangat lama, apalagi bila dilakukan hanya oleh seorang pelaku advokasi yang tidak mempunyai latar belakang pengetahuan kedokteran.

Box 9. Menentukan Fokus Layanan Berdasarkan Jenis Penyakit

��

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

Box 9. Menentukan Fokus Layanan Berdasarkan Jenis Penyakit

Dari 120 penyakit dan layanan kesehatan yang terdata, diputuskan untuk lebih fokus pada penyakit dan layanan dengan angka kejadian yang cukup tinggi (>500 kasus), guna memudahkan penghitungan berapa biaya yang dibutuhkan untuk penyembuhan suatu penyakit atau pemberian suatu layanan kesehatan. Data menunjukan setidaknya ada 44 kasus penyakit dan layanan dengan angka kejadian lebih dari 500 kasus per tahun.

NO. PENYAKIT/LAYANAN ANGKA KEJADIAN

1. Imunisasi balita 243.995 2. Penyakit infeksi saluran pernapasan atas akut tidak spesifik 105.426 3. Influenza 94.752 4. Diare dan gastroenteritis tidak dapat dikelompokkan a00-a08 65.366 5. Penyakit pulpa dan jaringan periapikal 65.059 6. Batuk 58.607 7. Melahirkan/persalinan 57.957 8. Penyakit infeksi saluran pernapasan atas lainnya 56.835 9. Penyakit lainnya 56.217

10. Hipertensi 51.749 11. Dermatitis lain, tidak spesifik (eksema) 38.911 12. Gastroduodenitis tidak spesifik 31.950 13. Conjunctivitis 29.220 14. Sakit kepala 28.031 15. Demam yang tidak diketahui sebabnya 27.938 16. Skabies 21.322 17. Demam tifoid 20.218 18. Nasofaringitis akuta (common cold) 18.701 19. Penyakit gusi dan periodontal 16.542 20. Gangguan gigi dan jaringan penunjang lainnya 15.802 21. Hipertensi primer (esensial) 15.031 22. Pneumonia 10.220 23. Myalgia 8.741 24. Tukak lambung 7.844 25. Rematisme 4.247 26. Tb paru 4.127 27. Bronchitis 3.833

28. Gangguan lain pada kulit dan jaringan sub kutan yang tidak terklasifikasikan 3.536

29. Ispa 3.484 30. Penyakit infeksi saluran pernapasan bawah tidak spesifik 3.469 31. Faringitis akuta 2.673 32. Asma 2.176 33. Febris & febris convulsive 2.120 34. Bronchopneumonia tidak spesifik 2.048 35. Artritis lainnya 1.722 36. Otitis media nonsupurativa 1.721 37. Schizofrenia, gangguang schizotypal dan psikosa akut 1.545 38. Neuralgia dan neuritis tidak spesifik 1.465 39. Demam berdarah dengue 1.278 40. Otitis media dan gangguan mastoid 1.147 41. Gizi buruk 1.116

42. Bayi lahir hidup 778 43. Vulnus 652 44. Katarak dan gangguan lain lensa 605

�00

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Memang sulit untuk menghitung secara pasti berapa dampak biaya dari sebuah penyakit. namun untuk mendekatinya, dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, secara sederhana kita melakukan perhitungan dengan formula sebagai berikut:

Biaya sakit per hari =

biaya layanan kesehatan yang diterima per hari (misalnya: biaya obat + biaya konsultasi dokter + biaya operasi + biaya rawat inap + biaya ambulance + biaya lainnya yang diperlukan untuk pengobatan).

Biaya per kejadian = (rata-rata lama sakit x biaya layanan per hari) + biaya lainnya.

total rupiah = total jumlah kejadian per tahun * biaya per kejadian

Keempat, melihat siapa saja orang yang potensial menerima dampak dari penyakit. siapa yang paling rentan/rentan? yang paling rentan untuk menerima dampak dari kejadian penyakit tentu saja mereka yang miskin. Mereka yang berprofesi dengan resiko tinggi dan income yang rendah. Juga mereka yang sudah lanjut usia, pengangguran, anak-anak, dan lain-lain. dengan mengkaji data demografis, kita bisa mengetahui jumlah orang yang berada dalam posisi rentan terkena resiko penyakit.

data lain yang bisa kita gunakan adalah data jumlah keluarga miskin yang biasanya dimiliki pemda, baik data Badan kB daerah (BkBd) atau Biro Pusat statistik (BPs). Walaupun data ini banyak diragukan keshahihannya dan rentan manipulasi, tapi sampai saat ini belum ada data lain dengan informasi yang cukup lengkap, meliputi nama rumah tangga miskin, kondisi, sampai alamatnya.

Walau tanpa ada seorang pun yang memiliki latar belakang pendidikan medis, para pelaku advokasi memberanikan diri untuk mencoba melakukan perhitungan matematis sederhana. Penghitungan biaya dilakukan dengan menggunakan standar jenis dan tarif pelayanan kesehatan yang digunakan oleh Pt. askes Persero untuk Peserta askeskin. hasil perhitungan terhadap dampak biaya yang timbul akibat terjadinya penyakit di tahun 2006 menunjukan angka yang sangat mencengangkan. angka

�0�

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

yang dihasilkan secara total mencapai 4,4 triliun rupiah. Padahal ini hanya memperhitungkan penyakit dengan jumlah kasus yang cukup besar. sementara penyakit dengan jumlah kasus di bawah 500 kasus per tahun tidak diperhitungkan. Padahal, bukan tidak mungkin penyakit-penyakit tersebut memakan biaya yang cukup besar untuk penyembuhannya (lihat Box 19).

dari hasil kajian kedua dan ketiga, kita bisa menyimpulkan bahwa resiko yang timbul akibat kejadian (setidaknya 44 jenis) penyakit sangat signifikan. Baik dari sisi jumlah penderita, juga dari sisi nilai uang kerugian langsung. kerugian lainnya akibat kehilangan produktivitas, belum dihitung, dan jumlahnya pasti cukup besar juga. sehingga nilai total kerugian bisa dipastikan jauh lebih besar lagi.

langkah selanjutnya adalah melihat tingkat kerentanan ekonomi penduduk terhadap serangan penyakit tersebut. atas dasar pertimbangan strategis, advokasi dalam kasus ini memerlukan data yang dianggap paling valid dan sama-sama diacu oleh lawan. untuk itu digunakan data dari BkBd mengenai data keluarga miskin. data ini dipercaya sebagai data yang paling valid oleh hampir seluruh skPd. selain itu informasi mengenai data keluarga miskin yang ada cukup detail (lihat tabel 6).

Walaupun hal ini sangat tidak ideal untuk tujuan melihat kerentanan penduduk, tapi ini jauh lebih baik dari pada kita menggunakan referensi data yang berbeda. Bila referensi data yang digunakan berbeda, maka sangat mungkin dalam proses advokasi akan didominasi perdebatan tiada akhir mengenai data. Pertimbangan lain dari digunakannya data ini adalah definisi yang digunakan dalam pendataan. definisi yang digunakan cukup menggambarkan kerentanan dan kemiskinan penduduk, walaupun dengan definisi yang sama ada beberapa kelompok penduduk yang tidak masuk kategori. Padahal penduduk tersebut, bila menggunakan definisi kemiskinan yang lain, maka termasuk kategori penduduk rentan atau miskin.

dalam pelaksanaan, ternyata tidak ada data demografis yang cukup valid. data yang ada terdiri dari berbagai versi, misalnya versi Bapeda, Biro Pusat statistik (BPs), Badan keluarga Berencana daerah (BkBd), dinas kependudukan dan Catatan sipil (disdukcasip) dan masing-masing versi dengan angka yang berbeda-beda.

�0�

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Box 10. Menghitung Biaya Pelayanan Berdasarkan Biaya Pelayanan Penyakit

Box 10. Menghitung Biaya Pelayanan Berdasarkan Biaya Pelayanan Penyakit

Walau tanpa seorang pun yang memiliki latar belakang pendidikan medis, para pelaku advokasi memberanikan diri untuk mencoba melakukan perhitungan sederhana dengan menggunakan standar jenis dan tarif pelayanan kesehatan untuk peserta ASKESKIN. Hasil perhitungan terhadap dampak biaya yang timbul akibat terjadinya penyakit di tahun 2006 menunjukan angka yang sangat mencengangkan. Angka yang dihasilkan secara total mencapai 4,4 triliun rupiah. Padahal ini hanya memperhitungkan penyakit dengan jumlah kasus yang cukup besar. Sementara penyakit dengan jumlah kasus di bawah 500 kasus per tahun tidak diperhitungkan. Padahal, bukan tidak mungkin penyakit-penyakit tersebut memakan biaya yang cukup besar untuk penyembuhannya.

NO. PENYAKIT/KASUS BIAYA LAYANAN/ PENGOBATAN

1. Penyakit infeksi saluran pernapasan atas akut tidak spesifik 1.205.651.736.000 2. Penyakit infeksi saluran pernapasan atas lainnya 649.965.060.000 3. Melahirkan/persalinan 581.598.495.000 4. Diare dan gastroenteritis tidak dapat dikelompokkan a00-a08 417.558.008.000 5. Demam tifoid 233.437.028.000 6. Hipertensi 227.022.863.000 7. Gastroduodenitis tidak spesifik 125.371.800.000 8. Penyakit pulpa dan jaringan periapikal 115.479.725.000 9. Batuk 99.690.507.000

10. Hipertensi primer (esensial) 65.940.997.000 11. Tb paru 63.766.277.000 12. Pneumonia 59.040.940.000 13. Nasofaringitis akuta (common cold) 50.436.597.000 14. Rematisme 48.568.692.000 15. Conjunctivitis 39.680.760.000 16. Penyakit infeksi saluran pernapasan bawah tidak spesifik 39.671.484.000 17. Dermatitis lain, tidak spesifik (eksema) 38.833.178.000 18. Skabies 36.375.332.000 19. Imunisasi balita 29.279.400.000 20. Schizofrenia, gangguang schizotypal dan psikosa akut 28.086.555.000 21. Influenza 27.478.080.000 22. Neuralgia dan neuritis tidak spesifik 26.608.795.000 23. Myalgia 23.679.369.000 24. Bronchitis 22.143.241.000 25. Ispa 20.127.068.000 26. Demam yang tidak diketahui sebabnya 17.517.126.000 27. Tukak lambung 16.895.976.000 28. Penyakit lainnya 1.630.293.000 29. Faringitis akuta 15.441.921.000 30. Bronchopneumonia tidak spesifik 11.831.296.000 31. Demam berdarah dengue 11.039.364.000 32. Otitis media nonsupurativa 9.942.217.000 33. Artritis lainnya 7.554.414.000 34. Otitis media dan gangguan mastoid 6.626.219.000 35. Gizi buruk 5.498.532.000 36. Febris & febris convulsive 5.486.560.000 37. Bayi lahir hidup 5.470.118.000 38. Asma 4.972.160.000 39. Gangguan lain pada kulit dan jaringan sub kutan yang tidak terklasifikasi 2.393.872.000 40. Sakit kepala 2.242.480.000 41. Penyakit gusi dan periodontal 2.150.460.000 42. Gangguan gigi dan jaringan penunjang lainnya 2.054.260.000 43. Vulnus 1.077.104.000 44. Katarak dan gangguan lain lensa 821.590.000

Total perkiraan biaya se-kabupaten 4.432.968.027.000

�0�

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

Tab

el 6

. Kel

uar

ga

Mis

kin

di K

abu

pat

en B

and

un

g (2

00

7)

keCa

Mat

an

JuM

lah

JuM

lah

JuM

lah

Ju

Mla

h

ga

kin

20

06

JuM

lah

kl

gPe

rsen

g

aki

nkl

g P

rase

Jah

tera

JiW

akl

gse

Jah

tera

i

JiW

akl

gse

Jah

tera

ii

klg

seJa

hte

ra

iii

klg

seJa

hte

ra

iii P

lus

iBu

n3.

429

11.7

509.

702

33.9

415.

262

1.22

916

313

.131

19.7

8566

,37%

nag

reg

2.99

911

.032

4.41

416

.817

3.05

51.

112

304

7.41

311

.884

62,3

8%ke

rta

sari

3.27

49.

840

6.57

122

.545

4.18

22.

170

488

9.84

516

.685

59,0

1%Ci

Para

y9.

773

33.6

549.

308

33.4

1210

.391

4.39

658

319

.081

34.4

5155

,39%

Pase

h4.

749

18.4

749.

750

34.8

439.

422

3.24

415

914

.499

27.3

2453

,06%

PaCe

t5.

066

22.4

677.

226

29.2

3610

.102

1.50

920

712

.292

24.1

1050

,98%

Cika

nCn

g2.

179

9.48

17.

216

29.4

316.

508

2.65

334

49.

395

18.9

0049

,71%

Pasi

r Ja

MBu

3.92

714

.906

6.18

921

.078

6.33

83.

275

951

10.1

1620

.680

48,9

2%M

aJa

laya

4.76

717

.817

12.3

8149

.526

13.1

224.

366

421

17.1

4835

.057

48,9

1%so

loka

n Je

ruk

1.13

03.

684

7.28

725

.621

6.77

22.

523

626

8.41

718

.338

45,9

0%Pa

ng

ale

ng

an

7.43

424

.775

9.93

031

.463

10.6

719.

428

717

17.3

6438

.180

45,4

8%ra

nCa

Bali

416

1.60

25.

471

16.3

113.

345

3.24

852

25.

887

13.0

0245

,28%

Bale

en

da

h11

.321

27.1

508.

706

25.9

2115

.816

10.2

6513

220

.027

46.2

4043

,31%

PaM

eun

gPe

uk

2.58

39.

079

4.42

615

.581

6.20

12.

555

722

7.00

916

.487

42,5

1%a

rJa

sari

3.01

111

.175

6.35

721

.668

8.64

04.

377

529.

369

22.4

1241

,80%

CiCa

len

gka

3.61

814

.419

5.70

722

.903

10.4

552.

544

473

9.32

522

.797

40,9

0%so

rea

ng

4.23

214

.074

8.98

629

.401

13.8

159.

083

392

13.2

1836

.508

36,2

1%Ca

ng

ku

an

g2.

223

7.97

93.

300

11.4

324.

583

4.03

11.

275

5.52

315

.412

35,8

4%Bo

Jon

gso

an

g2.

503

9.71

95.

063

19.6

826.

122

5.54

71.

933

7.56

621

.168

35,7

4%ra

nCa

ekek

5.03

420

.158

7.98

531

.107

14.2

967.

617

1.69

713

.019

36.6

2935

,54%

CiW

idey

2.51

98.

496

4.21

613

.675

6.09

36.

343

351

6.73

519

.522

34,5

0%Ba

nJa

ran

3.30

711

.744

5.66

020

.131

9.74

57.

069

859

8.96

726

.640

33,6

6%d

ayeu

hko

lot

2.50

79.

353

5.33

720

.285

9.57

76.

135

758

7.84

424

.314

32,2

6%Ci

leu

nyi

2.97

110

.710

6.87

827

.074

9.77

28.

347

2.56

89.

849

30.5

3632

,25%

CiM

aun

g53

71.

637

5.13

516

.158

8.25

43.

851

141

5.67

217

.918

31,6

6%Ci

Men

yan

1.74

65.

234

5.20

717

.472

9.48

75.

942

1.06

86.

953

23.4

5029

,65%

Cile

ng

kra

ng

1.51

84.

299

1.46

36.

012

4.56

63.

053

451

2.98

111

.051

26,9

7%M

arg

aa

sih

00

6.31

422

.008

9.21

66.

713

1.92

16.

314

24.1

6426

,13%

kata

Pan

g3.

281

15.2

244.

350

15.2

2414

.676

7.63

366

57.

631

30.6

0524

,93%

Ma

rga

hay

u19

075

81.

715

6.89

07.

881

11.0

102.

861

1.90

523

.657

8,05

%

�0�

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

dari data kita bisa melihat bahwa jumlah penduduk kabupaten Bandung yang miskin dan dalam posisi cukup rentan cukup besar. Jumlah keluarga pra sejahtera mencapai 102 ribu keluarga (360 ribu jiwa). kemudian jumlah keluarga sejahtera 1 mencapai 192 ribu keluarga (687 ribu jiwa). Jumlah ini mencapai 40,45% dari total jumlah keluarga di kabupaten Bandung. enambelas dari tiga puluh kecamatan angka kemiskinannya berada di atas rata-rata. dan hanya ada satu kecamatan saja dengan angka kemiskinan kurang dari 10%.

B. Mengidentifikasi Kapasitashal pertama adalah melakukan analisis anggaran. hal ini terkait dengan kapasitas keuangan pemda dan menentukan besaran kontribusi stakeholder lainnya. selain itu, kajian ini dilakukan untuk menentukan sumber pembiayaan mana saja yang bisa digunakan.

Berapa biaya yang dihabiskan saat ini untuk menyediakan layanan kesehatan? angka ini bisa dengan mudah dilihat dari dokumen anggaran pemda. apakah dengan alokasi anggaran tersebut pelayanan kesehatan pada masyarakat secara baik sudah terpenuhi? Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat dari kondisi pelayanan saat ini. kemudian, apakah anggaran yang terbatas tersebut penggunaannya sudah efisien? Bila belum efisien, berapa efisiensi yang bisa diperoleh dan bagaimana melakukannya?

dengan hanya mempertimbangkan hubungan antara dana dengan kualitas pelayanan, asumsinya, bila dana yang dialokasikan dalam anggaran cukup56), seharusnya pelayanan kesehatan pada masyarakat akan cukup baik. namun bila ternyata pelayanan kesehatan kualitasnya masih rendah, berarti ada dua kemungkinan: (1) anggaran dibelanjakan secara tidak efisien atau (2) anggaran yang ada memang terlalu kecil.

5� Memang sampai saat ini tidak ada standar mengenai “kecukupan” anggaran untuk belanja pelayanan kesehatan. Mungkin dengan membandingkan anggaran kesehatan dengan anggaran sektor lain akan bisa membantu. Atau bisa juga menggunakan tuntutan peraturan perundangan yang mengharuskan setidaknya 5% dari AP�D.

�0�

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

C. Menyusun Strategi dan Rencana Tindak

C.1 Langkah pertama adalah mengidentifikasi beberapa pendekatan. Melakukan kajian dalam penyediaan layanan kesehatan dan penentuan financiers penting sebagai perspektif awal untuk melakukan advokasi.

Tabel 7. Aspek Pertimbangan Pemilihan Pendekatan

AspekPendekatan

Universal Residual

komitmen

Perlu komitmen dan keberpihakan yang sangat tinggi pada masyarakat. hal ini berpengaruh pada dedikasi mereka untuk mewujudkan pelayanan universal.

Bila komitmen dan keberpihakan pada masyarakat tidak terlalu tinggi, biasanya sangat sulit memaksaksakan pendekatan universal.

Box 11. Analisis Potensi Penghematan Anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung

Dengan melihat potensi penghematan yang ada maka dapat diperkirakan jumlah anggaran yang tersedia untuk merealisasikan advokasi pelayanan kesehatan gratis. Dari hasil penghitungan, dapat disimpulkan penghematan anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung pada Tahun 2007 berdasarkan modus adalah sebagai berikut:

NO MODUS JUMLAH 1. Accress melebihi standard 820.508.262 2. Belanja dan kuantitas ketinggian 9.900.000 3. Harga ketinggian 1.781.500 4. Item tidak jelas 6.305.160.500 5. Item tidak sesuai program 13.053.793.500 6. Jumlah pembelian kebanyakan 1.050.000 7. Kegiatan pengulangan 14.636.948.185 8. Kegiatan tidak jelas 168.000.000 9. Kegiatan tidak sesuai program 354.009.990

10. Ketinggalan zaman 226.200 11. Pemborosan 953.980.000 12. Pemborosan item buku 1.040.000 13. Rician anggaran dan sasaran kegiatan tidak jelas 10.000.000 14. Tidak perlu 51.400.000 15. Uraian tidak jelas 14.100.000 16. Volume dan harga ketinggian 12.313.300 17. Volume dan harga tidak jelas 931.970.000 18. Volume ketinggian 43.741.100 19. Waktu pelaksanaan tidak jelas 246.015.000

Total Potensi Penghematan 37.615.937.537

Box 11. Analisis Potensi Penghematan Anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung

�0�

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

AspekPendekatan

Universal Residual

kepercayaan

tinggi atau rendah tingkat kepercayaan antar masyarakat tidak jadi masalah, karena semua diperlakukan sama.

Bila tingkat kepercayaan antar masyarakat tinggi, baru pendekatan residual bisa diperhitungkan untuk diterapkan.

ketersediaan biaya

Biasanya perlu ketersediaan biaya yang cukup tinggi. tapi biaya yang tidak terkait langsung dengan pelayanan kesehatan (administrasi, dan lain-lain) sangat rendah.

Biasanya biaya yang diperlukan memang tidak terlalu tinggi. tapi biaya yang tidak terkait langsung dengan pelayanan kesehatan cukup tinggi (administrasi, verifikasi penerima, pelaksana seleksi penerima, dan lain-lain).

kesiapan institusi

dengan sistem birokrasi yang berlaku saat ini, penerapan pendekatan universal akan banyak mendapat tantangan dari institusi yang ada.

dengan sistem birokrasi yang berlaku saat ini, penerapan pendekatan residual tidak akan banyak mendapat tantangan institusi yang ada. hal ini karena sistem yang sekarang berlaku pun sistem residual selektif.

ketersediaan infrastruktur dan sdM

semakin banyak infrastruktur dan sdM yang tersedia, semakin baik. Bila tidak cukup tersedia, maka penyediaan pelayanan secara universal akan sulit terlaksana dengan baik. Walaupun permintaan pelayanan kesehatan yang ada sangat kecil, dan penyediaannya dianggap tidak efisien, pemerintah tetap harus menyediakannya sehingga prinsip universal bisa tercapai.

semakin banyak infrastruktur dan sdM yang tersedia, semakin baik. dalam pendekatan residual, bila prasarana tidak cukup tersedia, selama ada permintaan, maka “pasar” akan merespon permintaan tersebut.

tingkat kerentanan masyarakat

tingkat kerentanan masyarakat untuk jatuh miskin semakin tinggi, maka kebutuhan adanya jaminan yang universal semakin tinggi pula.

Pendekatan residual seringkali tidak bisa menyentuh orang dalam kondisi rentan. Pendekatan ini hanya melayani yang miskin saja. sementara yang tidak miskin, walaupun rentan, tidak bisa tersentuh.

Pendekatan mana yang akan dipilih? universal atau residual selektif? ditanggung seluruhnya oleh pemerintah atau kerjasama atas berbagai stakeholder? di sini kita harus mempertimbangkan hal-hal yang sudah disebut pada bagian sebelumnya: (1) komitmen dari pembuat kebijakan dan stakeholder lainnya, (2) kepercayaan, (3) ketersediaan biaya (4) kesiapan institusi, (5) ketersediaan

�0�

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

infrastruktur dan sdM, (6) tingkat kerentanan yang digambarkan dari kerentanan endowment dan potensi entitlement failure.

dari sisi permintaan: kondisi kesehatan masyarakat belum terlalu memuaskan. Masyarakat kualitas kesehatannya masih rendah. di beberapa kecamatan, penyakit yang disebabkan karena lingkungan dan perilaku hidup yang tidak bersih dan tidak sehat sangat menonjol. selain itu, dari sisi ekonomi, tingkat kerentanan dan kemiskinan masyarakat terbilang masih tinggi. dengan rata-rata angka kemiskinan 40,45%, tingkat kerentanan masyarakat dipastikan lebih tinggi lagi. sementara dari sisi penyediaan: prasarana, sarana dan sumber daya manusia saat ini masih kurang, baik secara kuantitas, kualitas dan juga sebaran. sehingga, di daerah daerah rural cakupan (coverage) pelayanan satu unit penyedia layanan seringkali terlalu luas. untuk itu dilakukan analisa dengan enam aspek pertimbangan di atas.

Komitmen. Pada awal advokasi, semangat pemerintah daerah dan stakeholder penyedia layanan (puskesmas, rumah sakit, ikatan dokter) untuk menyediakan layanan kesehatan secara universal bagi seluruh masyarakat bisa dibilang tinggi. namun sayang, komitmen ini bertolak belakang seratus delapan puluh derajat ketika berbicara tentang konsekuensinya pada sumber daya (anggaran) yang harus dialokasikan. hal ini terlihat dari argumen tanpa data yang mereka ungkapkan bahwa (1) aPBd tidak akan cukup, (2) tidak adil bila orang kaya menikmati layanan kesehatan gratis. dari kondisi ini kita sebagai pelaku advokasi tetap memutuskan untuk berusaha mendorong ke arah pelayanan secara universal. Perlawanan dari pemda harus didukung dengan argumen yang kuat disertai dengan data mengenai pendanaan.

Tingkat kepercayaan. tingkat kepercayaan sesama stakeholder dalam penyediaan jaminan layanan kesehatan di lokasi advokasi tidak terlalu tinggi. Mulai dari tingkat desa, hingga tingkat pemda. Banyak kasus yang terjadi akibat rasa saling tidak percaya yang muncul di antara komponen masyarakat dan pemerintah. Misal, dalam hal distribusi kartu gakin dan kartu askeskin, dimana masyarakat menuduh aparat pemerintah tidak adil dan korup, dan pemerintah menuduh banyak oknum masyarakat mengambil keuntungan. kemudian, penyedia layanan (puskesmas, dan lain-lain) menuduh masyarakat mengaku miskin untuk mendapatkan

�0�

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

pelayanan gratis, dan masyarakat menuduh penyedia layanan mempersulit mereka mendapatkan layanan kesehatan, dan lain-lain. untuk menghindari rasa saling curiga, maka disimpulkan bahwa pendekatan yang akan kita gunakan adalah universal, karena akan berdampak pada peningkatan kepercayaan yang akan mempengaruhi efektivitas pelayanan.

Ketersediaan biaya. hasil analisis menunjukan bahwa ada potensi inefisiensi dari anggaran yang ada saat ini sebesar 37 milyar. Belum lagi angka inefisiensi dari skPd lain yang bisa dialihkan untuk penyediaan jaminan layanan kesehatan secara universal. di akhir tahun anggaran lalu, terdapat silPa yang besarnya lebih dari rp. 200 milyar. atas pertimbangan tersebut, sepertinya ada sejumlah uang yang cukup besar yang mungkin cukup untuk membiayai penyediaan jaminan layanan kesehatan secara universal.

Kesiapan institusi. dilihat dari jenis dan jumlah cukup siap untuk menyediakan layanan kesehatan secara universal. namun dari sisi sistem dan kesiapan sdM pelaksana, masih cukup jauh dari harapan karena sistem saat ini menggunakan sistem residual dan para pelaksana pun sudah sangat terbiasa dengan sistem ini. Perlu dorongan yang kuat untuk ‘memaksakan’ perubahan ke arah universal.

Ketersediaan infrastruktur dan SDM. Belum terlihat kesiapan, baik secara kuantitas maupun kualitas, untuk bergerak kearah universal. tapi secara residual pun, seperti sistem yang berjalan saat ini, sama sekali tidak ada peningkatan yang berarti dalam hal ketersediaan infrastruktur dan sdM-nya. dari sejak tahun 2000 sampai saat tulisan ini dibuat, tidak ada investasi baru dari Pemda dalam penyediaan infrastruktur dan sdM-nya.

Tingkat kerentanan masyarakat adalah pertimbangan yang paling menentukan dalam advokasi. Masyarakat dalam kondisi miskin mencapai 44,45% di tahun 2006. sementara masyarakat rentan bisa dipastikan lebih banyak lagi. ini karena sebagian besar penduduk kabupaten Bandung bekerja mengandalkan kekuatan fisik —seperti buruh pabrik, buruh tani, pekerja transportasi (tukang ojek, angkot, delman, becak, dan lain-lain), pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan lain-lain. sementara mereka semua sedikit sekali yang mempunyai jaminan akses pelayanan kesehatan.

�0�

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

Analisa atas enam aspek menunjukkan urgensi dan kemampuan untuk memilih pendekatan universal. atas pertimbangan-pertimbangan di atas, disepakati oleh para pelaku advokasi- untuk memperjuangkan penyediaan jaminan akses layanan kesehatan secara universal. strategi yang akan kami lakukan untuk itu: (i) Mengembangkan beberapa alternatif skema pembiayaan (beserta konsekuensi biayanya) untuk penyediaan jaminan layanan kesehatan secara universal; (ii) Melakukan advokasi untuk realokasi inefisiensi yang terjadi untuk pembiayaan alternatif skema terpilih; (iii) Melakukan negosiasi dan mencari dukungan dari dPrd. selain itu mencari dukungan tertulis berupa pengumpulan tanda-tangan dari masyarakat; (iv) Membuat beberapa tulisan di media masa yang ‘menyentil’ pelayanan kesehatan masyarakat dan mem-blow up kasus-kasus pendukung; (v) Mengawal proses perencanaan dan penganggaran di tahun berikutnya, dengan fokus pada anggaran sektor kesehatan, terutama terkait dengan penyediaan sarana, prasarana, sumber daya manusia, dan obat-obatan; (vi) Mengembangkan wacana untuk mengurangi peran dinas kesehatan dan menyerahkan pengelolaan puskesmas secara mandiri. ini karena intervensi dinas kesehatan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan.

C.2 Langkah kedua, mengembangkan beberapa alternatif skema pembiayaan penyediaan jaminan layanan kesehatan. Pada saat advokasi dimulai, tidak terbayang sama sekali skema apa yang akan dikembangkan. alternatif yang ada adalah sistem askeskin yang sedang berjalan dan Jaminan kesehatan Jembrana di kabupaten Jembrana-Bali. sedikitnya informasi yang dimiliki memaksa para pelaku advokasi untuk memikirkan beberapa alternatif yang dianggap rasional. Pada saat itu, pelaku advokasi harus mengembangkan alternatif yang: (i) relatif tidak terlalu sulit diwujudkan; (ii) Biayanya rasional, sesuai dengan kemampuan aPBd. kalau aPBd tidak mampu, fokuskan hanya pada rakyat miskin; (iii) tidak merubah sistem birokrasi pelayanan kesehatan saat ini secara radikal karena akan menciptakan resistensi yang lebih besar lagi; (iv) tidak terlalu jauh berbeda dengan sistem yang ada saat ini sehingga tidak perlu pembentukan institusi baru yang hanya akan menambah rumit dinamika advokasi. selain itu juga mengurangi efek kejut pada stakeholder yang ada saat ini.

��0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Alternatif pertama: pemerintah daerah menanggung langsung seluruh biaya pengobatan. alternatif ini menawarkan dua model skema pembiayaan, yakni: untuk seluruh penduduk atau hanya untuk penduduk miskin saja.

seluruh penduduk (model 1a). dalam skema ini, seluruh biaya sektor kesehatan ditanggung pemerintah. Pemerintah menyediakan prasarana dan sdM-nya, serta menyediakan anggaran untuk biaya berobat. kelebihan skema ini adalah masyarakat seluruh masyarakat dapat berobat kapanpun mereka sakit tanpa harus memikirkan biaya yang harus keluar.

kemudian karena masyarakat bisa kapan pun datang untuk berobat dan memeriksakan kesehatan, resiko terjadinya penyakit berat pada seseorang dan resiko terjadinya epidemi besar-besaran pada komunitas dapat dihindari (preventif). sehingga pada akhirnya, biaya yang dikeluarkan akan sangat wajar bila dibandingkan dengan resiko biaya yang harus dikeluarkan bila terjadi penyakit berat/wabah besar. sebagai contoh, bila setiap kali rakyat sakit gigi rakyat dapat berobat secara gratis, maka rakyat dapat sembuh saat itu juga. namun bila ternyata rakyat tidak bisa mengobati sakit giginya karena tidak mampu membayar, maka penyakit giginya akan menimbulkan penyakit lainnya di jantung, otak, ginjal, dan lain-lain. tentu saja biaya yang ditimbulkan akan beratus kali lipat.

kelemahan besar skema ini adalah membutuhkan anggaran yang sangat besar. terlebih bila dibandingkan dengan kemampuan anggaran daerah saat ini. kelemahan lainnya, penyedia layanan kesehatan (dokter, bidan, puskesmas, rumah sakit, dan lain-lain) tidak akan terpacu untuk meningkatkan layanan. Merasa bahwa mereka terjamin penghasilannya, mereka tidak terpacu untuk memberikan layanan yang terbaik pada rakyat. apalagi di negara yang sebagian besar aparatnya pemalas. kekurangan lainnya, pihak penyedia layanan swasta akan sangat sulit untuk dilibatkan, karena biasanya skema ini tidak menyediakan ruang untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka. dan permasalahan terakhir, skema ini hanya bisa melibatkan penyedia layanan yang ada di wilayah administratif sendiri (misal di kabupaten x saja).

Penduduk miskin saja (model 1B). skema ini adalah modifikasi pada skema di atas (skema model 1a). kelemahan terbesar skema

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

di atas adalah anggaran yang sangat besar. Maka dalam skema ini, anggaran tersebut difokuskan hanya pada orang miskin. kelebihan skema ini adalah orang miskin akan tetap dapat berobat secara gratis, sementara rakyat yang tidak miskin terpaksa tetap harus membayar. kelebihan lain, tuntutan anggaran yang diperlukan untuk skema ini akan lebih kecil dan lebih fokus.

Permasalahan skema ini muncul ketika jumlah orang miskin sangat banyak. dengan angka persentase orang miskin yang besar, tentu saja anggaran yang dibutuhkan dalam skema ini besar juga. selain itu, dalam permasalahan lain, akan sangat sulit melibatkan pihak swasta dalam skema ini. dan permasalahan terakhir, skema ini hanya bisa melibatkan penyedia layanan yang ada di wilayah administratif sendiri (misal di kabupaten x saja)

Alternatif kedua: pemerintah daerah mengasuransikan (membayarkan premi asuransi) warganya. alternatif ini juga menawarkan dua model skema pembiayaan, yakni: untuk seluruh penduduk atau hanya untuk penduduk miskin saja.

Mengasuransikan seluruh warga (model 2a). kelebihan skema ini adalah (1) biaya total yang dibutuhkan lebih sedikit dibanding skema, (2) subsidi dari pemerintah akan langsung pada rakyat bukan pada penyedia layanan dan bukan juga pada dinas kesehatan, (3) memaksa penyedia layanan kesehatan, baik swasta atau pun pemerintah, untuk berlomba-lomba meningkatkan kinerja. karena bila kinerja mereka rendah, mereka tidak akan didatangi pasien, dan tidak akan bisa mengklaim ke perusahaan asuransi. lalu (4) rakyat yang diasuransikan dapat berobat ke manapun dan di manapun, baik di dalam wilayah administratif maupun di luar wilayah administratif. kelebihan terakhir adalah (5) retribusi kesehatan bisa dihilangkan, karena penyedia layanan, baik puskesmas maupun rumah sakit, baik publik atau pun swasta, mendapatkan bayaran dari perusahaan asuransi.

kelebihan lain dari skema ini adalah multiplier effect-nya. Perusahaan asuransi yang bekerjasama akan mendapatkan banyak keuntungan. Mereka akan (1) mendapatkan peserta asuransi dalam jumlah besar sekali dalam waktu sangat singkat, tanpa harus keluar biaya marketing dan biaya lainnya. kemudian, (2) seiring dengan besarnya peserta asuransi, resiko akan sangat mudah disebarkan

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

pada peserta dan mengurangi resiko kerugian bagi perusahaan. dan (3) dengan didapatnya premi yang dibayar di muka dalam jumlah besar dalam waktu singkat, perusahaan asuransi dapat dengan mudah menginvestasikannya dalam usaha lain dan akan menambah keuntungannya. kelebihan lain, bila perusahaan asuransi wan-prestasi atau ingkar, maka pemerintah tidak dalam posisi bersalah dan dapat mengadukan perusahaan asuransi tersebut ke pengadilan. lalu pemerintah dapat dengan mudah mencari perusahaan asuransi lainnya, karena skema ini tidak akan mudah ditolak oleh perusahaan asuransi manapun.

kekurangan dari skema ini adalah adanya potensi resistensi dari penyedia layanan. untuk ukuran penyedia layanan di negeri ini, yang terkenal berkinerja rendah, paksaan untuk meningkatkan kinerja tentu saja akan memberatkan.

Penduduk miskin saja (model 2B). skema ini merupakan modifikasi dari skema model 2a, dan digunakan oleh pemerintah melalui model askeskin/JPkM. hampir semua kelebihan skema di atas juga ada dalam skema ini. kecuali bahwa dalam skema ini hanya orang miskin dan rentan yang dijamin/diasuransikan.

Begitu juga seluruh permasalahan dalam skema model 2a ada dalam skema ini. tambahan permasalahan lainnya dalam skema ini adalah potensi penyimpangan dan penyelewengan oleh aparat seperti yang selama ini terjadi. Penyimpangan yang sering terjadi adalah penentuan orang miskin sebagai penerima asuransi.

selama ini banyak cerita mengenai orang yang tidak berhak (orang kaya, keluarga aparat desa, dan lain-lain) yang malah mendapatkan asuransi kesehatan. kelemahan lain, adalah diskriminasi pelayanan pada pengguna asuransi karena penyedia layanan lebih mengutamakan mereka yang mampu membayar dan tidak menggunakan asuransi.

Alternatif kedua: pemerintah menghilangkan retribusi kesehatan. Penghapusan retribusi dapat dilakukan untuk: (i) seluruh penduduk, seluruh layanan termasuk rujukan, atau (ii) untuk seluruh penduduk, tapi hanya pada layanan puskesmas dan rumah sakit saja, dan tanpa rujukan.

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

seluruh penduduk, seluruh layanan termasuk rujukan (model 3a). retribusi pelayanan kesehatan adalah salah satu retribusi yang tidak manusiawi, sekecil apapun nilai retribusi tersebut. Penghilangan retribusi seluruh layanan kesehatan akan sangat membantu rakyat. Bila pemerintah terlalu lemah untuk membantu rakyat, setidaknya jangan membebani rakyat. untuk itu, penghilangan retribusi kesehatan adalah pilihan yang tidak buruk sama sekali.

Tabel 8. Kelebihan dan Kekurangan Masing-masing Alternatif

KriteriaAlternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3

1A 1B 2A 2B 3A 3B

KELEBIHAN

100% rakyat tidak perlu kuatir lagi dengan kesehatan mereka, sehingga negara menjalankan kewajibannya dengan baik (anggaran pro rakyat)

rakyat miskin tidak perlu khawatir dengan kesehatan mereka

100% penduduk terjamin, biaya yang dibutuhkan lebih sedikit

subsidi pemerintah langsung pada rakyat, bukan pada penyedia layanan dan bukan juga pada aparat

Penyedia layanan dipaksa untuk meningkatkan kinerja dan kualitas layanan

rakyat yang diasuransikan dapat berobat ke manapun, di manapun, kapanpun —tidak hanya di kabupaten Bandung

retribusi kesehatan tidak lagi relevan, karena pendapatan penyedia layanan didapat dari claim pada perusahaan asuransi

Bila perusahaan asuransi wan-prestasi, pemerintah mudah menuntut ke pengadilan dan mencari alternatif perusahaan asuransi pengganti

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

KriteriaAlternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3

1A 1B 2A 2B 3A 3B

keuntungan bagi perusahaan asuransi:- Jumlah peserta besar, biaya

marketing nol - resiko lebih mudah disebar,

potensi kerugian rendah- Premi dibayar di muka,

kesempatan untuk memutar uang lebih tinggi

indikasi keberpihakan pada rakyat mulai dapat dirasakan oleh warga yang menggunakan jasa pelayanan

Biaya relatif kecil. Walau tidak meringankan, setidaknya tidak menambah beban rakyat.

hanya kehilangan sedikit pendapatan daerah

KEKURANGAN

Memerlukan dana yang sangat besar, sehingga pendapatan negara harus besar

Membutuhkan dedikasi tinggi, karena tak ada insentif/ paksaan untuk meningkatkan kinerja pelayanan.

Pasien hanya bisa berobat di kabupaten Bandung

Pasien hanya bisa berobat di kabupaten Bandung, dan hanya bisa di penyedia layanan kesehatan milik pemerintah

Jika jumlah penduduk miskin yang besar membuat biaya tetap besar

sulit melibatkan pihak penyedia layanan swasta

sulit menentukan siapa yang miskin, sehingga rentan penyimpangan.

tak ada insentif untuk meningkatkan kinerja pelayanan

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

KriteriaAlternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3

1A 1B 2A 2B 3A 3B

Potensi resistensi besar dari penyedia layanan (puskesmas, rumah sakit), baik negeri atau swasta, yang malas. Pasien kemudian bisa jadi tidak dilayani.

Potensi diskriminasi tinggi, seperti selama ini terjadi orang miskin dipersulit mendapatkan layanan menggunakan askeskin

rakyat miskin berpotensi meningkat karena tidak bisa menjangkau pelayanan untuk penyakit yang berat (seperti yang selama ini terjadi)

kelemahan dari skema ini adalah hanya dapat melibatkan penyedia layanan publik pemerintah saja. selain itu, potensi resistensi dari penyedia layanan juga cukup tinggi dan akan berpotensi menurunkan kinerja dan kualitas layanan yang diberikan pada masyarakat.

seluruh penduduk, layanan puskesmas dan rumah sakit saja, dan tanpa rujukan (model 3B). skema ini bisa kita sebut sebagai skema “selemah-lemahnya” keberpihakan pada rakyat. tapi masih lebih baik daripada tidak sama sekali. semua kelemahan pada model 3a ada dalam skema ini. tambahannya bahwa dalam skema ini, rakyat hanya diberi penghibur, fasilitas berobat gratis untuk penyakit penyakit “kecil” dengan layanan kualitas rendah di puskesmas dan rumah sakit pemerintah.

sementara, seringkali yang menyebabkan seseorang atau sebuah keluarga jatuh miskin mendadak adalah bila dia atau anggota keluarganya sakit berat dan membutuhkan layanan kesehatan yang mahal. Misalnya, seorang tukang becak, atau buruh tani dan buruh pabrik sebagaimana kebanyakan penduduk, sakit berat seperti kecelakaan yang menyebabkan lumpuh, diabetes, atau melahirkan dengan keharusan dioperasi caesar. Mereka yang miskin akan tambah miskin, yang tidak miskin bisa mendadak jatuh miskin, yang sudah sangat miskin bisa meninggal.

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

setelah melihat kelebihan dan kekurangan berdasarkan berbagai alternatif, analisa dilanjutkan dengan membandingkan kebutuhan anggaran masing-masing alternatif skema pelayanan jaminan kesehatan. tabel 9 menunjukkan perbandingan kebutuhan anggaran tersebut.

dari keenam alternatif tersebut, alternatif yang dianggap paling rasional untuk konteks kabupaten Bandung (juga merupakan alternatif yang paling direkomendasikan oleh para pelaku advokasi), adalah alternatif ke lima (model 3a) dan keenam (model 3B). namun pilihan skema mana yang akan diperjuangkan dan dikembangkan, diserahkan sepenuhnya pada hasil negosiasi pelaku advokasi dengan dPrd dan Pemda.

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

Tabel 9. Jumlah Anggaran yang Diperlukan

Alternatif Anggaran Keterangan

Pemerintah menanggung langsung seluruh biaya pengobatan seluruh penduduk, Contoh: Brunei (Model 1a)

rp. 4,43 trilyun

untuk 44 penyakit, seluruh kasus di Bandung induk dan Bandung Barat selama setahun (2006)

Pemerintah menanggung langsung seluruh biaya pengobatan Penduduk miskin saja (Model 1B)

rp. 1,8 trilyun

untuk 44 penyakit, seluruh kasus di Bandung induk dan Bandung Barat selama setahun, dengan angka penduduk miskin 40,65% (2006)

Pemerintah mengasuransikan seluruh penduduk dengan mekanisme klaim, contoh: Jembrana (Model 2a)

rp. 431.884.650.000

dengan jumlah penduduk 2.879.231 jiwa. dan premi asuransi yg ditanggung rp. 12.500/bulan seperti di Jembrana. dengan jumlah peserta lebih banyak, angka premi ini bisa jauh lebih kecil lagi

Pemerintah mengasuransikan penduduk miskin saja, dibiayai dari anggaran. Contoh: askeskin/JPkM (Model 2B)

rp. 175.561.110.225

dengan penduduk miskin 40%. dan premi asuransi yg ditanggung rp. 12.500/bulan seperti di jembrana. dengan jumlah peserta lebih banyak, angka premi ini bisa jauh lebih kecil lagi

Pemerintah menghilangkan retribusi kesehatan seluruh penduduk, seluruh layanan termasuk rujukan (Model 3a)

rp. 22.173.054.000 (2005)rp.18.105.450.000 (2006)rp. 21.894.660.000 (2007)

angka ini diambil dari besar potensi retribusi pelayanan kesehatan yang dihilangkan

Pemerintah menghilangkan retribusi kesehatan seluruh penduduk, layanan puskesmas dan rumah sakit saja, dan tanpa rujukan. Contoh: sumedang (Model 3B)

kurang dari rp. 9 milyar (2007)

Besar potensi retribusi pelayanan kesehatan yang dihilangkan dari pasien yang tidak dirujuk

C.3 Langkah ketiga, pelembagaan dan pendampingan proses. Puncak advokasi dalam mereformasi pelayanan adalah pelembagaan dan pendampingan proses. semua tahapan yang sudah dilakukan sebelumnya sesungguhnya hanya awal dari sebuah proses advokasi: menyiapkan amunisi !

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

sangat disadari, advokasi sendiri merupakan sebuah proses persuasif, dimana pada saat pembuat kebijakan berusaha mencari solusi dan inovasi, pelaku advokasi berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan untuk membuat alternatif dan keputusan terbaik. advokasi dapat dilakukan secara langsung, dengan mempengaruhi langsung pembuat kebijakan. atau dengan melibatkan publik, dengan membuat kepedulian dan mencari dukungan masyarakat. atau juga dengan melibatkan media, dengan menyampaikan pesan-pesan melalui media agar dibaca oleh masyarakat juga pembuat kebijakan. di kabupaten Bandung, semua cara advokasi ini dilakukan.

untuk lebih efektif, advokasi harus jelas tujuan yang keinginannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. strategi yang baik mempertimbangkan berbagai kondisi sosial, ekonomi dan politik agar langkah dan hasil yang didapat lebih mempermudah pencapaian tujuan. di sini, substansi advokasi kita menjadi sangat penting dan harus sensitif dengan kondisi-kondisi tersebut. selain itu, agar lebih efektif, agenda dan rencana kerja advokasi disusun sefleksibel mungkin. dan memang pada praktiknya banyak perubahan rencana. dan kita juga sadari, bahwa yang paling penting, semua tindakan harus dilakukan secara rapi dan terorganisir.

dalam konteks advokasi penyediaan layanan kesehatan secara universal ini ada beberapa tahap yang dilakukan. yang pertama adalah mengidentifikasi masalah. ini dilakukan melalui berbagai studi dan survey. langkah kedua yaitu dengan melakukan analisis yang baik terhadap masalah yang ditemukan. dan ketiga, disusun sebuah strategi yang akan dikerjakan untuk menyelesaikan dan amerespon masalah tersebut. ini semua sudah tercantum dalam naskah akademik.

langkah keempat yang dilakukan adalah melakukan mobilisasi dukungan masyarakat, pembuat dan pengambil kebijakan, melalui berbagai cara. Baik secara langsung juga dengan memanfaatkan media massa. Penguatan masyarakat dan pendidikan juga tidak lupa dilakukan melalui Fgd-Fgd, mulai dari tingkat desa sampai tingkat daerah pemilihan. Pengorganisasian dukungan menjadi langkah yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya proses advokasi.

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

selama perjalanan advokasi, evaluasi terus dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian yang sudah dilakukan. semakin cepat kita tahu masalah yang dihadapi dalam advokasi semakin cepat juga kita meresponnya. dan kelima, pendokumentasian, sebagaimana buku ini juga, merupakan hal yang penting sehingga orang lain bisa mereplikasi.

pelembagaan dan pendampingan proses: apa yang terjadi?setelah proses panjang persiapan yang memakan waktu lebih dari delapan bulan, proses advokasi dimulai dengan diserahkannya naskah akademik yang telah disusun pada dPrd kabupaten Bandung, Bappeda kabupaten Bandung, dinas kesehatan kabupaten Bandung, dan Bupati kabupaten pada tanggal 27 Juli 2007. setelah beberapa waktu, dari keempat instansi yang dikirimi naskah akademik, tidak ada satu pun yang langsung memberi tanggapan atas naskah akademik tersebut. setelah lebih dari satu bulan, surat permintaan audiensi disampaikan pada komisi d dPrd (tertanggal 2 agustus 2007). Pengiriman surat ini atas pertimbangan bahwa ketua dPrd telah memberikan disposisi pada komisi d dan momen saat itu merupakan momen yang sangat tepat untuk memasukan rencana pembahasan mengenai penggratisan layanan kesehatan di kabupaten Bandung dalam Prolegda 2008. Audiensi-nya sendiri diagendakan tanggal 9 agustus 2007.

Pada saat yang bersamaan proses advokasi berjalan terus dengan adanya pemantauan terhadap seluruh instansi yang telah dikirim surat. selain itu dilaksanakan juga proses persiapan sebuah seminar besar57) dengan tujuan untuk (1) memperoleh kesepahaman mengenai pentingnya isu penyediaan kesehatan gratis ini,

57 Penyelenggaraan seminar ini bekerja sama dengan Forum Diskusi Anggaran (FDA), sebuah kelompok masyarakat sipil yang mempunyai perhatian terhadap masalah anggaran di Kabupaten �andung. Perhatian mereka saat ini juga sama yaitu untuk lebih mengefisienkan anggaran dan merealokasikannya untuk anggaran yang lebih pro rakyat miskin, yang dalam hal ini untuk penyediaan layanan kesehatan secara gratis bagi masyarakat. Pada pembahasan ini muncul istilah yang berikutnya menjadi istilah umum dalam proses advokasi ini, yaitu Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Istilah yang sama dengan yang digunakan oleh pemerintah untuk menyediakan jaminan pelayanan kesehatan secara gratis yang saat ini dilakukan secara residual selektif.

��0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

(2) memperoleh dukungan massa dan memberikan tekanan politik pada Pemda, dan (3) memaksakan terjadinya Mou antara Pemda kabupaten Bandung, dPrd kabupaten Bandung, dan elemen-elemen masyarakat kabupaten Bandung yang juga diundang untuk hadir dalam seminar tersebut. seminar ini sedianya akan dilaksanakan di sebuah hotel di soreang, di samping kompleks Pemda kabupaten Bandung. narasumber yang diundang untuk hadir di antaranya akademisi, anggota dPrd kabupaten Bandung, Bupati sumedang dan Bupati Jembrana, —dua daerah yang telah sukses menyediakan jaminan pelayanan kesehatan secara gratis bagi warganya.

itu semua proses advokasi di tingkat kabupaten. sementara di tingkat masyarakat bawah pun proses advokasi terus bergerak. Penggalangan dukungan pun dijalankan dengan melakukan Fgd-Fgd di tingkat desa, kecamatan dan tiap daerah pemilihan. Bersamaan dengan proses Fgd ini, juga dilakukan proses pengumpulan tanda tangan dari masyarakat.

audiensi dengan dPrd baru terlaksana bulan 28 agustus 2007. audiensi ini dilaksanakan di ruang komisi d, dengan dihadiri oleh anggota komisi d dan oleh staf dinas kesehatan. dalam diskusi ini terjadi perdebatan yang cukup sengit, antara kami pelaku advokasi dengan dinas kesehatan, dimediasi oleh anggota komisi d. Perdebatan ini berkisar mengenai penggunaan istilah penggratisan, pendekatan universal-residual, keadilan, skema asuransi-penghilangan retribusi, kecurigaan penyalahgunaan (abuse), dan lain-lain. Pihak pemerintah sangat menentang konsep yang diadvokasikan. Mereka memandang penyediaan pelayanan kesehatan secara universal sebagai hal yang tidak mungkin dan tidak masuk akal. Walau pun berbagai argumen dan alasan akademik disampaikan, tetap mereka menolak. audiensi berakhir dengan tidak ada kesepakatan antara pihak pelaku advokasi dengan pihak pemda. sementara pihak komisi d menyatakan mendukung sepenuhnya yang kami advokasikan.

satu bulan setelah audiensi pertama, pada tanggal 1 oktober 2007 kembali dilakukan audiensi dengan komisi d dPrd. tujuan audiensi ini untuk melihat progress yang terjadi di pihak Pemda. Pada audiensi ini, diperlihatkan juga hasil proses penggalangan dukungan di tingkat masyarakat dengan berhasil dikumpulkannya

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

2000 tanda tangan disertai dengan photocopy kartu tanda penduduk. secara substansi, kami pelaku advokasi meminta agar dilakukan penghilangan retribusi pelayanan kesehatan untuk tahun 2008, dan selama tahun 2008 merumuskan skema jaminan pelayanan kesehatan secara universal yang lebih baik dari sekedar penghilangan retribusi untuk diimplementasikan di tahun 2009.

Pada audiensi ini, dPrd meminta pemda, khususnya dinas kesehatan, untuk serius melakukan pengkajian bagaimana mewujudkan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat. dinas kesehatan menanggapinya dengan menyatakan akan membentuk tim khusus pengkaji dan akan melakukan studi banding ke sumedang dan Jembrana. dan dPrd mendukung penuh advokasi ini dan menyatakan hanya tinggal menunggu political will dari Bupati Bandung.

Pasca audiensi ini, dinas kesehatan kemudian membentuk sebuah tim untuk melakukan kajian tentang kebijakan jaminan pelayanan kesehatan. Bersama dengan beberapa anggota komisi d dPrd, tim ini melakukan studi banding ke kabupaten sumedang dan Purbalingga. dua daerah yang telah menerapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan dengan pola yang berbeda. sumedang dengan menghilangkan retribusi pelayanan kesehatan di puskesmas sedangkan Purbalingga menerapkan sistem asuransi sosial.

seminar besar untuk menggalang dukungan publik, juga dilakukan untuk memberikan tekanan secara tidak langsung pada Pemda dan dPrd dilaksanakan pada 5 november 2007. seminar ini bertajuk Mendukung Penyediaan Pelayanan Kesehatan Gratis Bagi Seluruh Penduduk Kabupaten Bandung. seminar ini menghadirkan narasumber dari dinas kesehatan kabupaten Jembrana dan dinas kesehatan kabupaten sumedang. seminar ini diikuti oleh sekitar dua ratus orang perwakilan 54 organisasi, perseorangan, anggota dPrd, dan staf Pemda. dari Pemerintah kabupaten Bandung sendiri, tidak ada satu pun pejabat yang diundang hadir, baik sebagai narasumber maupun sebagai peserta. seminar ini melahirkan Petisi Antik yang memuat tuntutan warga untuk mewujudkan pelayanan kesehatan gratis ini. dan seminar ini juga memberikan tenggat waktu 6 bulan pada pihak eksekutif dan legislatif untuk segera mewujudkannya.

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

hari berikutnya, tanggal 6 november 2007, petisi tersebut di sampaikan pada Bupati Bandung, ketua drPd, para ketua fraksi, panitia anggaran, ketua komisi d dan juga pada pemimpin skPd di lingkungan Pemda kabupaten Bandung. Pada hari itu juga, dua harian besar memberitakan seminar hari sebelumnya. dukungan terhadap petisi antik bertambah lagi sebanyak 59 organisasi yang diserahkan kepada dPrd pada tanggal 7 november 2007.

sebagai respon, pada tanggal 9 november, kepala Bappeda kabupaten Bandung mengundang pelaku advokasi untuk bertemu. dari pihak pemerintah, hadir kepala Bappeda dan perwakilan tim dinas kesehatan yang hari itu juga menyampaikan hasil-hasil studi bandingnya ke sumedang dan Purbalingga.

Pada pertemuan ini sempat terjadi ketegangan karena masing-masing pihak baik Forum diskusi anggaran sebagai pelaku advokasi maupun pemerintah kabupaten Bandung (dinkes) bersikukuh pada pendapatnya. diskusi tidak berjalan dengan mudah dan mengalami kebuntuan. ketika itulah kepala Bappeda menyatakan agar semua pihak membuka pikirannya (open mind) terhadap berbagai pendapat atau pemikiran tentang pelayanan kesehatan tersebut. semua bentuk atau model pelayanan kesehatan yang sudah diterapkan di daerah-daerah lain seperti sumedang, Jembrana, Purbalingga, dan lain-lain, —harus dilihat sebagai alternatif yang harus dikaji sebelum diadopsi atau diterapkan di kabupaten Bandung. dari situlah muncul gagasan pembentukan sebuah tim pengkaji yang bertugas melakukan kajian secara komprehensif konsep jaminan pelayanan kesehatan yang sesuai untuk kabupaten Bandung. karena urusan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab dinas kesehatan, maka disepakati tim yang akan dibentuk akan melibatkan lintas sektoral termasuk keterlibatan masyarakat.

hasil pertemuan itu sebenarnya tidak memuaskan kami sebagai pelaku advokasi. Pada hemat kami, sebenarnya sudah cukup jelas apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemda. daerah-daerah yang disebutkan tadi sudah melakukan kajian dan menerapkannya serta berhasil meningkatkan pelayanan kesehatan. kabupaten Bandung cukup mengadopsinya dan melakukan penyempurnaan/penyesuaian dengan kondisi setempat. tetapi ada semacam

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

“gengsi” kalau akan mengadopsi tanpa sebuah proses kajian. tentu sudah dapat diduga, bahwa penerapan jaminan pelayanan kesehatan gratis di kabupaten Bandung akan tertunda hingga tim ini selesai bekerja merumuskan konsep “ideal” untuk kabupaten Bandung.

namun demikian, ada catatan penting yang bisa dianggap sebagai sebuah ‘kemenangan kecil.’ terlepas dari model jaminan pelayanan kesehatan seperti yang akan dirumuskan oleh tim tersebut, proses kajian itu sendiri menandai masuknya sebuah agenda baru dalam rencana kerja pemerintah yang sebelumnya tidak ada. tim ini tentu saja tidak bisa bekerja jika tidak didukung oleh anggaran, karena itu hal yang menjadi perhatian kami waktu itu adalah bagaimana memastikan ada alokasi anggaran untuk mendanai kerja-kerja tim. Peluang pengalokasian anggaran masih terbuka karena proses penyusunan aPBd tahun anggaran 2008 waktu itu sedang berlangsung. Pada akhirnya, kegiatan kajian tersebut masuk dalam rencana kerja dan anggaran (rka) dinas kesehatan ta 2008.

Masuknya kegiatan tersebut dalam rencana kerja dinas, menandai proses advokasi kebijakan telah memasuki ruang formal perumusan kebijakan. sebuah usulan kebijakan yang telah diwacanakan di ruang publik pada akhirnya harus dirumuskan di ruang formal dengan menjadi agenda pemerintah untuk bisa dijalankan. Pada dasarnya, perumusan kebijakan di ruang formal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan dPrd. namun demikian, kami sebagai pelaku advokasi dari unsur masyarakat menganggap perlu melibatkan diri dalam proses formal tersebut dengan tujuan untuk memastikan proses kajian/perumusan kebijakan itu berjalan dan mengawal substansi kebijakan yang akan dirumuskan tersebut. keterlibatan lintas sektor dan unsur masyarakat dalam keanggotaan tim pengkaji secara administratif harus dikukuhkan oleh suatu keputusan Bupati. terbitnya keputusan Bupati tentang Pembentukan tim Pengkaji Jaminan Pelayanan kesehatan Masyarakat (JPkM) kabupaten Bandung menandai dimulainya perumusan kebijakan secara formal.

akan tetapi persoalan kemudian muncul ketika sk Bupati tentang Pembentukan tim tidak segera muncul. dinamika yang sedang terjadi di internal Pemkab Bandung saat itu tidak kondusif. Penyusunan struktur organisasi dan tata kerja (sotk) sesuai

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

peraturan yang baru sedang dilakukan. namun demikian, proses penetapan jabatan untuk sotk baru ini demikian lambat hingga melahirkan suasana kerja yang tidak kondusif. draf sk Bupati yang disusun tim sudah masuk sejak oktober 2007 ke Bagian hukum setda, namun draf tersebut urung diproses karena belum adanya kepastian penempatan jabatan struktural di seluruh skPd. alasan yang dikemukakan Bagian hukum, sk ini tidak akan berjalan efektif karena bisa jadi pejabat atau staf pemerintah yang ada dalam sk tersebut berubah kedudukan/posisinya dan tidak sesuai lagi dengan konteks kebutuhan tim.

Pada masa ‘kemandegan’ proses advokasi selama sekitar 6 bulan, baik di internal Forum diskusi anggaran maupun Pemerintah masing-masing melakukan penguatan. Penguatan yang dilakukan Forum diskusi anggaran antara lain dengan membangun kembali soliditas tim advokasi dan pendalaman materi tentang konsep jaminan kesehatan masyarakat. serangkain diskusi, pelatihan, workshop, dan penelitian dilakukan untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang jaminan kesehatan baik dari sisi regulasi maupun konsep-konsep yang telah dipraktikkan di berbagai daerah. di sisi lain, Pemkab Bandung juga melakukan serangkaian kegiatan penelitian dengan mengundang konsultan dari universitas Padjadjaran. Pada akhir bulan Maret 2008, Pemkab Bandung menyelenggarakan sebuah sarasehan Jaminan Pemeliharaan kesehatan Masyarakat (JPkM). kegiatan ini tidak menghasilkan keputusan apa pun tentang substansi kebijakan JPkM hanya sekedar sosialisasi kepada publik bahwa Pemkab Bandung akan merumuskan kebijakan tentang JPkM. setelah sarasehan itu, terjadi beberapa kali pertemuan tim JPkM namun tidak cukup efektif sehingga tidak ada kemajuan yang dicapai.

Baru pada agustus 2008, sk Bupati tentang Pembentukan tim JPkM turun dengan perubahan formasi keanggotaan dari unsur pemerintah. unsur masyarakat pelaku advokasi tetap masuk dalam sk sesuai dengan draf awal yang diajukan. Pertemuan pertama dilakukan pada 25 agustus 2008 untuk konsolidasi tim. kemudian pada 27 agustus 2008, tim JPkM melakukan audiensi dengan komisi d dPrd kabupaten Bandung. dalam audiensi tersebut, dPrd menyatakan kekecewaannya karena tim bekerja sangat

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

lambat dan tidak ada kemajuan yang berarti yang disampaikan oleh tim. dPrd mendesak agar tim bekerja lebih cepat dan menghasilkan raperda tentang jaminan kesehatan masyarakat yang akan dibahas oleh dPrd. sejak itu, tim JPkM mulai bekerja membahas materi raperda.

secara substansi, konsep jaminan kesehatan yang akan diterapkan mengarah pada sistem asuransi sosial yang pada dasarnya telah menjadi kebijakan Pemerintah sesuai dengan undang-undang no. 40 tahun 2004 tentang sistem Jaminan sosial nasional di mana di dalamnya ada satu subsistem jaminan sosial yaitu Jaminan kesehatan. dengan demikian, gagasan atau model jaminan kesehatan dengan menghilangkan retribusi kesehatan tidak lagi menjadi alternatif. sejak awal, Pemkab Bandung memang tidak berkehendak untuk mempraktikkan penghilangan retribusi dengan alasan tarif retribusi sebesar rp. 2.000,- sudah sangat kecil dibandingkan dengan biaya pelayanan kesehatan yang sebenarnya. Menurut dinkes, tarif yang cukup ideal untuk retribusi puskesmas itu sekitar rp. 8.500,-. Jadi, selama ini pemerintah telah memberikan subsidi biaya kesehatan dasar.

Pendapatan daerah dari retribusi kesehatan puskesmas sekitar rp. 6 milyar. angka ini sebenarnya sangat kecil dalam proporsi pendapatan daerah. kepada para pejabat pemerintah maupun dPrd sering disampaikan bahwa karena kecil Pad dari retribusi kesehatan puskesmas, mengapa tidak dihilangkan saja sekalian, tetapi pemerintah akan mendapatkan citra sebagai yang berpihak kepada masyarakat.

secara politis ini sebenarnya menguntungkan pemerintah. ketua dPrd kabupaten Bandung dan beberapa anggotanya pernah menyatakan bahwa dirinya malu digaji dari uang rakyat yang sakit. Para pejabat pemerintah sendiri sepertinya tidak peduli dengan soal citra atau nilai politis, yang mereka pedulikan adalah uang yang mengalir ke “kas daerah” dengan berlindung di balik ungkapan yang sering dikemukakan oleh mereka bahwa tidak mendidik masyarakat kalau segala sesuatu digratiskan.

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Gambar 4. Skema Jaminan Kesehatan yang Ditawarkan

PEMDA KAB.BANDUNG

(JPKM)

PENYEDIA LAYANAN(PUSKESMAS &RUMAH SAKIT

DAERAH)

PEMERINTAH PUSAT(ASKESKIN)

WARGA MISKIN WARGA MAMPUWARGA RENTAN

PIHAK KETIGA:BAPEL / ASURANSI

LAYANAN LAYANAN

LAY

AN

AN

JAM

INA

N(A

SK

ES

KIN

)

JAM

INA

N(J

PK

M)

JAM

INA

N(J

PK

M)

JAM

INA

N(J

PK

M)

PR

EM

I / IU

RA

N(B

ER

SU

BS

IDI)

PR

EM

I / IU

RA

N(B

ER

SU

BS

IDI)

PE

MB

AY

AR

AN

KLA

IM

PEMBAYARANKLAIM

SUBSIDI PREMI /IURAN JPKM

aneh memang, setiap tahun pemerintah menargetkan pendapatan sebesar itu dari orang yang berkunjung ke puskesmas dimana setiap puskesmas diberi target “setoran” yang harus dipenuhi. dengan jumlah puskesmas sebanyak 61 buah berarti rata-rata puskesmas ditarget sekitar rp. 100 juta. untuk mencapai target itu berarti harus ada orang sakit yang berkunjung sekitar 50 ribu kunjungan selama setahun atau sekitar 136 kunjungan per hari di setiap puskesmas. Mungkinkah ini terjadi? Padahal laporan survey menyatakan jam pelayanan puskesmas sangat pendek yaitu sekitar 2– 3 jam?

sampai pada tahap ini, upaya advokasi jaminan kesehatan masyarakat difokuskan pada penyelesaian rancangan Perda tentang JPkM. substansi yang diperjuangkan dalam raperda tersebut yang paling krusial terkait jaminan kesehatan universal adalah soal kepesertaan dan pembiayaan premi asuransi. dalam hal kepesertaan yang diupayakan adalah memastikan seluruh penduduk kabupaten Bandung menjadi peserta asuransi dan

���

BAGIAN 2 : ...tO ActION BaB 6 - Pengalaman advokasi di kabupaten Bandung

mendorong pembiayaan premi asuransi didanai dari aPBd. soal besaran premi, cakupan pelayanan, lembaga pengelola dan penyedia layanan kesehatan adalah isu berikutnya.

PEnutuP thE End OF thE BEginning iS A nEw BEginning

“…disadari bahwa advokasi merupakan sebuah power game, the winner doesn’t take all. sampai buku ini ditulis, kecenderungan yang terjadi di tingkat pemda dan dPrd kabupaten Bandung belum dapat disimpulkan, nampaknya akan terjadi bargaining process atas semua alternative yang ada. namun demikian kelompok masyarakat sipil di kabupaten Bandung khususnya yang aktif di Forum diskusi anggaran, dengan didampingi Perkumpulan inisiatif, tidak kenal lelah untuk terus mengadvokasikan berbagai skema yang diyakini lebih ideal, termasuk membebaskan rakyat dari retribusi puskesmas sebagai langkah awal menuju sistem JPkM universal. Babak pertama telah usai, namun segera babak berikutnya menanti untuk ditempuh tanpa kenal lelah. kesemuanya dilakukan demi satu tujuan yakni pemenuhan hak rakyat dan pemenuhan keadilan bagi semua…”

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Lam

pir

an -

Bag

an R

enca

na

Tah

apan

Ker

ja P

enyu

sun

an N

ask

ah A

kad

emik

Mela

hirka

n

Imun

isasi

Ibu

Kont

rol k

eham

ilan

Kese

hata

n Ib

u &

Anak

Pene

ntua

n Ca

kupa

nLa

yana

n

Peny

embu

han

Siap

a Yg

Fina

ncing

?Hi

tung

Pre

valen

si:X

kejad

ian p

er ta

hun

Pem

ilihan

Pen

deka

tan:

Resid

ual?

Unive

rsal?

Biay

a Ob

at

Mon

etize

!(ru

piah

per k

ejadia

n) X

(pre

diksi

# ke

jadian

)

Kont

rol L

ab

Kont

rol r

utin

gigi

Pem

eliha

raan

Kese

hata

n

Epide

mi &

Ben

cana

Peny

akit R

ingan

Peny

akit B

erat

Imun

isasi

Anak

Dan

lainn

ya

# Or

ang

bere

siko

tingg

i(#

ora

ng d

g pr

ofes

i yg

rend

ah in

com

e ny

a)

Peng

hitun

gan

Resik

o

Sorti

ng B

esar

an R

esiko

(Pre

valen

si tin

ggi &

biaya

tingg

i)

Pem

ilihan

Pela

yana

n:Pe

nyak

it ber

at sa

ja?Ri

ngan

saja?

Keha

mila

n sa

ja? A

tau

sem

uany

a?

Biay

a La

innya

Anali

sis A

ngga

ran

(Keb

utuh

an b

iaya

&Ka

pasit

as P

emda

)

Biay

a Am

bulan

ce

Biay

a Op

eras

i

Biay

a Ra

wat I

nap

Biay

a Ko

nsult

asi

Dokte

r

Mas

yara

kat

Pem

erint

ah

Swas

ta

Pene

ntua

n Sk

ema

Grat

is(A

PBD

cove

r lan

gsun

g)

Pelem

baga

an

Jum

lah P

endu

duk

Resik

o pe

r pen

dudu

kpe

r bula

n (T

otal

biaya

/Ju

mlah

pen

dudu

k/12

bulan

Asur

ansi

(APB

D co

ver p

rem

i)

Disk

on b

iaya?

(Sub

sidi p

artia

l?)

Penja

jagan

Kom

itmen

& Ke

rjasa

ma

Pene

mpa

tan

dalam

Pera

tura

n Da

erah

Duku

ngan

DPR

D:An

ggar

an T

ahun

an

Duku

ngan

Ser

vice

Prov

ider

Publi

k: RS

UD ka

b,RS

UD P

ro,

Pusk

esm

as, K

linik,

Labo

rato

rium

, dll

Swas

ta: R

S Sw

asta

,Kl

inik,

Lab,

Dok

ter

Prak

tek,d

ll

Duku

ngan

Fina

nce:

Peru

saha

an A

sura

nsi

���

DAFtAR PUSTAKA

Daftar Pustaka

Books, Journals, Seminar• __, CuBa, health in the americas, 1998 edition, Volume ii (pp.

206-219).• Pt. askes, indonesia.__, (tanpa tahun) Expanding Health

Insurance Membership: A Challenge Towards Universal Coverage,

• Pt. askes, indonesia.__, (tanpa tahun) Experience of PT. Askes on Implementation of Health Care Payment System.

• alamsyah (2008), Merumuskan Kebijakan Pro Poor Daerah, Seminar “Perumusan awal gagasan dan kerangka implementasi kebijakan Publik daerah yang Berpihak kepada rakyat Miskin”. diselenggarakan oleh Perkumpulan inisiatiF bekerjasama dengan gedung indonesia Menggugat dengan dukungan dari the Ford Foundation. aula gedung indonesia Menggugat, Bandung 26 Februari 2008.

• Basaza r, et al., (2008), Community health insurance in Uganda: Why does enrolment remain low? A view from beneath, health Policy (2008), doi:10.1016/j.healthpol.2007.12.008.

• david e. Bloom and david Canning, A New Health Opportunity, Health and Poverty in a Social Context, development. Copyright © 2001 the society for international development. sage Publications (london, thousand oaks, Ca and new delhi), 1011-6370 (200103) 44:1; 36–43; 016554.

• deepa narayan (2001), ‘Consultations with the Poor’ from a Health Perspective, development 44(1): health and Poverty in a social Context, 44:1; 15–21.

��0

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

• donald W. light, Phd (2003), Universal Health Care: Lessons From the British Experience, american Journal of Public health, 93(1): 25–30. PMCid: PMC1447686.

• douglas l.Miller, richard scheffler, suong lam, rhonda rosenberg, agnes rupp (2006), Social Capital and Health in Indonesia, World development Vol.34, no.6, pp.1084 –1098,2006 (doi:10.1016/j.worlddev.2005.11.006).

• drèze, J. and a. sen, 1991, Public Action for Social Security: Foundations and Strategy (Chapter 1) in ahmad, e., J. drèze, J. hills and a. sen (eds.), Social Security in Developing Countries. oxford: Clarendon Press for Wider.

• drouin, anne (2007) Methods of Financing Health Care, the international social security association (issa) technical report no.5, technical Commision on statistical, actuarial, and Financial studies, World social security Forum, Moscow, 10-15 september 2007.

• dr. Mohammad yunus, september, 2007. Bank Kaum Miskin: Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan.

• estevez-abe, M., t. iversen and d. soskice, 2001, Social Protection and the Formation of Skills: A Reinterpretation of State (Chapter) in Hall, P., and d. soskice (eds.), Varieties of Capitalism: The Institutional Foundations of Comparative Advantage. oxford, oxford university Press.

• goodin, r. e., B. headey, r. Muffels and h-J. dirven, 1999, The Real Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Cambridge university Press.

• holzmann r. (2003) 'Risk and vulnerability: The forward-looking role of social protection in a globalising world’, in P. Mosley and E. Dowler (eds) Poverty and Social Exclusion in North and South. Essays on social policy and global poverty reduction. london: routledge.

• kimberly V. smith (2008), sulzbach, s., Community-based health insurance and access to maternal health services: Evidence from three West African countries, social science & Medicine (2008), doi:10.1016/j.socscimed.2008.01.044.

• lin Zinser and Paul hsieh, (2008), Moral Health Care vs. “Universal Health Care”, the objective standard-a Journal of Culture and Politics, Winter 2007–2008, Vol. 2, no. 4

���

DAFtAR PUSTAKA

• lynn P. Freedman (2005), Achieving the MDGs: Health systems as core social institutions, upfront, development, 2005, 48(1), (19–24) 2005 society for international development 1011-6370/05 www.sidint.org/development.

• Michel Vate and david M. dror, To Insure or Not to Insure? Reflections on the Limits of Insurability (Chap) in Social Insurance: A new Approach to Sustainable Community Health Financing.

• Perkumpulan inisiatif, Bandung(2008). Kebijakan Pro-poor: Dari Konsep ke Tindakan.

• ramesh, M., 2000, The Political Economy of Social Policies (Chapter 6) in ramesh, M., with M. g. asher, Welfare Capitalism in Southeast Asia. Social Security, Health and Education Policies. uk: Macmillan Press.

• robert holzmann and steen Jørgensen (2000) Social Risk Management: A new conceptual framework for Social Protection, and beyond, social Protection discussion Paper no. 0006, human development network, the World Bank.

• sen, a. (1981) Poverty and Famines: An Essay on Entitlements and Deprivation. oxford: Clarendon Press.

• sen, a., 1995, The Political Economy of Targeting (Chapter 2) in Walle, d. v. d., and k. nead (eds.), Public Spending and the Poor: Theory and Evidence. Baltimore and london: Johns hopkins university Press for the World Bank.

• sumadi (2008), Mengkaji Kebijakan Pro-Poor Masa Lalu dan Masa Kini, seminar “Perumusan awal gagasan dan kerangka implementasi kebijakan Publik daerah yang Berpihak kepada rakyat Miskin”. diselenggarakan oleh Perkumpulan inisiatif bekerjasama dengan gedung indonesia Menggugat dengan dukungan dari the Ford Foundation. aula gedung indonesia Menggugat, Bandung 26 Februari 2008.

• tendler J. (2004) ‘Why Social Policy is Condemned to a Residual Category of Safety Nets and What to Do About it’ in Mkandawire, t. (ed.), Social Policy in a Development Context. houndsmill: Pelgrave; geneva: unrisd.

• townsend, P., 2004, From Universalism to Safety Nets: The Rise and Fall of Keynesian Influence on Social Development (Chapter 2) in Mkandawire, t. (Ed.), Social Policy in a Development Context. houndsmill: Palgrave Macmillan/unrisd.

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

• time. Vol. 172. no. 19. 17th november 2008.• united nations department for economic and social affair

(undesa). Social Policy. 2007.

Produk Hukum• undang-undang dasar republik indonesia 1945.• undang-undang republik indonesia nomor.8 thn.1960

tentang Pokok-Pokok Kesehatan (lembaran negara nomor 131 tahun 1960 dan tambahan lembaran negara nomor 2068 tahun 1960).

• undang-undang republik indonesia nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan.

• undang-undang republik indonesia nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

• undang-undang republik indonesia nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

• Peraturan Pemerintah republik indonesia nomor 73 tahun 1992 tentang Pendirian Perusahaan Asuransi, dan Berbagai Revisinya.

• Peraturan Pemerintah republik indonesia nomor 28 tahun 2003 tentang Subsidi Pemerintah dan Kontribusi dalam Implementasi Asuransi Kesehatan Bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pensiunan.

• Peraturan Pemerintah republik indonesia nomor 64 tahun 2005 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

• keputusan Presiden republik indonesia nomor 20 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional.

• Peraturan Menteri kesehatan republik indonesia nomor 571/Menkes/Per/Vii/1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan Perubahannya Permenkes Nomor 568/MENKES/PER/VI/1996 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 571/MENKES/VII/1993.

���

DAFtAR PUSTAKA

• keputusan Bersama Menteri kesehatan dan Menteri dalam negeri republik indonesia nomor 999a/Menkes/skB/Viii/2002 dan nomor 37a tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri dalam Negeri Nomor 1013/MENKES/SKB/IX/2001 dan Nomor 43 Tahun 2001 Tentang Tarip dan Tatalaksana Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah Bagi Peserta PT. (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia dan Anggota Keluarganya.

• keputusan Menteri kesehatan republik indonesia nomor: 004/Menkes/sk/i/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan.

• keputusan Menteri kesehatan republik indonesia nomor 1202/Menkes/sk/Viii/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat.

• keputusan Menteri kesehatan republik indonesia nomor 1457/Menkes/sk/x/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.

• keputusan Menteri kesehatan republik indonesia nomor: 131/Menkes/sk/ii/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional.

• keputusan Menteri kesehatan republik indonesia nomor 1091/Menkes/sk/x/2004 tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

• keputusan Menteri kesehatan republik indonesia nomor 331/Menkes/sk/V/2006 tentang Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2005–2009.

• keputusan Menteri kesehatan republik indonesia nomor 125/Menkes/sk/ii/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2008.

Internet Site• __, (2002) The Basics Social Security Reform, A Century Foundation

Guide To The Issues, the Century Foundation Press, new york City.

• __, 30.000 Anak-Anak Meninggal Setiap Tahun Akibat Campak (21 Feb 2007), departemen kesehatan, indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle...(accessed: 2/27/2007 1:26 PM).

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

• __, Anemia Gizi Anak Salah Satu Masalah Gizi Utama di Indonesia (5 agustus 2005), departemen kesehatan, indonesia, http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle...(accessed: 2/27/2007 1:40 PM) .

• __, Dana Askeskin Menipis, Gakin Akan Kian Menderita, .:: situs resmi kementerian koordinator Bidang kesejahteraan rakyat ... http://www.menkokesra.go.id/content/view/4548/39/(accessed: 9/10/2008 6:04 aM).

• __, Dana Askeskin Rawan Manipulasi, news.okezone.com : Menkes: dana askeskin rawan Manipulasi http://news.okezone.com/index.php/readstory/2008/04/09/1/99141 (accessed:9/10/2008 6:10 aM).

• __, Fraksi PKS DPR RI - Rumah Sakit Sudah Berani Tolak Pasien Askeskin http://fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=4531 (accessed:9/10/2008 6:09 aM).

• departemen kesehatan, indonesia__, Gizi Tentukan Kualitas Hidup (29 Jan 2007), http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle... (accessed: 2/27/2007 1:30 PM).

• departemen kesehatan, indonesia__, Jumlah Penderita Diabetes Indonesia Ranking ke-4 di Dunia (05 september 2005), , http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle... (accessed: 2/27/2007 1:37 PM).

• departemen kesehatan, indonesia__, Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue di Indonesia (16 Februari 2004), , http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle... (accessed: 2/27/2007 1:52 PM) .

• departemen kesehatan, indonesia__, Kewaspadaan Dini Untuk Mencegah Antraks (2 nov 2004), , http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle...(accessed: 2/27/2007 1:49 PM).

• __, kormonev.menpan.go.id - Dugaan Korupsi Askeskin Diusut http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index.php?option=co...(accessed: 9/10/2008 6:08 aM).

• __, kutukan askeskin(Jawa Pos, 14 agt 2007) « Belajar menjadi daun… http://dokterpenulis.wordpress.com/2007/08/18/kutukan-askeskinjaw...(9/10/2008 6:07 aM).

• __, Memperjuangkan Askeskin (selasa, 20 november 2007), yappika.or.id – Memperjuangkan askeskin http://www.

���

DAFtAR PUSTAKA

yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=vie... (accessed: 9/10/2008 6:07 aM).

• __, Menkes Keluhkan Program Askeskin | eramuslim - Berita nasional http://www.eramuslim.com/berita/nas/7703120929-menkes-keluhkan-...(accessed: 9/10/2008 6:05 aM).

• __, riau.go.id :: Berita :: Askeskin Terkendala Data Peserta http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&pti...(accessed: 9/10/2008 6:03 aM).

• __, RS Tolak Bayi Dikecam - 27/07/2005, 09:10 WiB - koMPas Cyber Media, http://www.kompas.com/metro/news/0507/27/091237.htm.

• __, Rumah Sakit Tolak Askeskin - harian joglosemar http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=...(accessed: 9/10/2008 6:03 aM) .

• departemen kesehatan, indonesia,__, Sehat Itu Gaya Hidup (12 nov 2004), http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle...(accessed: 2/27/2007 1:49 PM)

• __, tanpa tahun, Social Security: The Real Deal, issue brief #1, the Century Foundation (formerly the twentieth Century Fund), http://www.tcf.org

• __, tempointeraktif.com - Kartu Miskin di Kabupaten Majalengka Dikom... http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/04/06/brk...(accessed: 2/14/2007 11:02 aM).

• Majalah Parlementaria__, Tenaga Medis Abaikan Pasien Askeskin, - Sosialisasi Askeskin Kalsel Perlu ... http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_c...(accessed: 9/10/2008 6:04 aM).

• amanda elliot, (2003), Is Medicare Universal?, research note no. 37 2002-03 <is Medicare universal? http://www.aph.gov.au/library/pubs/rn/2002-03/03rn37.htm (accessed:7/14/2008 12:01 PM)>

• dean Baker, (1998), The Full Returns From Social Security, a Century Foundation/economic Policy institute report.

• greg anrig, Jr. and Bernard Wasow (2005), Twelve Reasons Why Privatizing Social Security Is A Bad Idea, the Century Foundation.

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

• greg anrig, Jr., (2005), 10 Myths About Social Security, the Century Foundation, http://Www.tcf.org

• issue summary: Universal Health Coverage, updated 8/14/2003 <Centrists.org - issue summary: universal health Covergae http://www.centrists.org/issue_summaries/health_universal.html (accessed: 7/15/2008 2:37 PM)>

• robert M. Ball, Meeting Social Security’s Long-Range Shortfall-How We Can Cope—Calmly—With A Readily Manageable Challenge, the Century Foundation, http://Www.tcf.org

• Wynand P. M. M. van de Ven, Ph.d., and Frederik t. schut, Ph.d. (2008), Universal Mandatory Health Insurance in The Netherlands: A Model for the United States? http://www.commonwealthfund.org/publications/publications_show...(accessed: 7/14/2008 2:49 PM).

• http://www.aneki.com/populated.html.• http://id.wikipedia.org/wiki/indeks_Pembangunan_

Manusia#indonesia.• kartono Mohammad. Sistem Jaminan Nyaris Terlupakan. http://

www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/01/opini/3795614.htm.

• kartono Mohamad. Sistem Jaminan Sosial Nasional dan “Welfare State”. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/01/opini/3795614.htm.

���

DAFtAR PUSTAKA

Profil Perkumpulan INISIAtIF dan Penulis

iniSiAtiF-institute for innovation, Participatory development, and governance (www.inisiatif.org), a research based advocacy institution, was established by several scholars and activists from various background such as Urban and Regional Planning, Communication, Education, Economic, and Social Works. INISIATIF aims to promote people participation and local governance reform in local development process in the context of Indonesian democracy and decentralization age. INISIATIF activities are focused on four areas which are public policy reform, planning and budgeting reform, community development, and knowledge management and resource center. To achieve its goal, INISIATIF cooperates with local government, local parliament, civil society and media, university, and international development and donor agency. Three examples of INISIATIF success stories are: (1) formulation on fiscal decentralization from Kabupaten/Kota (District/Municipality) to Desa (Village); (2) reform on a universal public health service in Kabupaten Bandung, West Java Province; and (3) reform on local planning and budgeting process in Kabupaten Bandung and Kabupaten Sumedang, West Java Province. The general approaches used are participatory, innovative, and multidisciplinary.

���

MeruMuskan skeMa Penyediaan JaMinan Pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah

Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan

Ari Nurmanaktif di dunia ngo sejak tahun 2001, ari nurman banyak mendalami soal kebijakan publik dan kemiskinan. Berbekal pengalaman yang diperolehnya dari pelaksanaan berbagai kegiatan inisiatiF dan pengetahuan dari bangku kuliah di dalam dan luar negeri, ia pun menjadi salah satu penopang Perkumpulan inisiatiF. selain melaksanakan berbagai kegiatan, ia rajin menyegarkan pemahaman dan menyebarkan gagasan melalui penelitian dan menulis. karya tulisnya tersebar baik berbentuk buku, artikel maupun makalah. salah satu makalahnya antara lain study on the relation between the structure of public policy and poverty alleviation at regency level: shall we optimistic? - promoting poverty alleviation through structural Change in public policy, yang ditulis bersama-sama dengan diding sakri dan saeful Muluk untuk konferensi internasional Empowering Regional Economic Development Toward Sustainable Poverty Alleviation: Good Governance, Financing Development, and the Environment. selain meneliti dan menulis, ari juga masih menyempatkan diri menularkan ilmu sebagai pengajar paruh waktu di sebuah universitas swasta di Bandung. kini ia menjabat sebagai kepala divisi Pengelolaan Pengetahuan dan Pengembangan Pusat sumber daya-Perkumpulan inisiatiF.

Ana Westy Martianitamat dari jurusan kesejahteraan sosial FisiP-unpad pada tahun 2006, Westy kemudian bergiat memantapkan diri menjalankan profesi sebagai pekerja sosial. Pemudi kelahiran Mempawah yang kini berkampung halaman di singkawang ini, memaknai pekerja sosial sebagai peran dengan 3 kegiatan yang menyatu, yaitu meneliti, mengadvokasi dan menulis. sosok peneliti dan pengadvokasian merupakan perwujudan hidup Westy sebagai makhluk yang bermanfaat. Pusat perhatiannya terutama menyangkut ihwal kebijakan publik, jender dan uMkM (usaha Mikro, kecil dan Menengah). sedangkan sebagai penulis, kelahiran 3 Maret 1985 ini memandang peran itu membantu mengekspresikan dan menyebarluaskan banyak hal yang terjadi pada dirinya; berbagai rasa, pengalaman, ekspektasi (pengharapan) bahkan perjuangan. Januari 2008, buku Perempuan dalam Rantai Kekerasan dari Penerbit erlangga memuat tulisan Westy tidak akan Kalah. terakhir, ia menjadi penulis pendamping Menemukan Skema Penyediaan Jaminan Pelayanan Kesehatan di Daerah, terbitan Perkumpulan inisiatiF-Ford Foundation. selain menulis untuk buku, Westy juga aktif menulis di harian tribun Jabar dan Pikiran rakyat. [ ]