SENIN, 27 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus Politik ... filekasus penggelapan pajak yang...
Transcript of SENIN, 27 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus Politik ... filekasus penggelapan pajak yang...
PEMUTARAN rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi lembaga
penegak hukum bisa jadi menjadi momen yang sangat bersejarah bagi dunia penegakan hukum di Indonesia.
Rekaman yang diputar di persidangan Mahkamah Kon
stitusi pada 3 November 2009 itu membuka ta
bir gelapnya sisi pene
g a k a n hukum
di Ind o
nesia. Bagaimana tidak, rekaman itu memperdengarkan mudahnya petinggipetinggi lembaga hukum dilumpuhkan segepok duit panas untuk menuruti kemauan si bos, Anggodo Widjojo.
Berbagai rekayasa pun dibuat aparat kejaksaan dan kepolisian agar kasus yang tengah didalangi Anggodo, yang saat itu tengah berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bisa berhasil sesuai dengan order sang dalang. Dan mulai saat itulah kepercayaan publik kepada institusi hukum menurun drastis ke titik nadir.
Praktik mafia hukum yang dilakukan segelintir polisi dan jaksa menjadi bulanbulanan cemoohan masyarakat. Di berbagai demonstrasi yang digelar masyarakat, banyak
spandukspanduk y a n g m e m u a t
foto Anggodo berseragam
p e r w i r a
tinggi Polri.Menangkap gelagat yang
kurang baik di tengah masyarakat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Desember 2009 berinisiatif membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (satgas). Tujuan pembentukannya untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar upaya pemberantasan mafia hukum dapat berjalan efektif.
Tak lama setelah dibentuk lewat Keputusan Presiden No 37/2009, satgas langsung mengeluarkan jurus maut dengan mengungkap fasilitas bak istana yang diterima terpidana Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu. Publik pun memberi apresiasi kepada lembaga yang diawaki Kuntoro Mangkusubroto (ketua), Denny Indrayana (sekretaris), Darmono, Herman Effendi, Mas Achmad Santosa, dan Yunus Husein itu.
Namun setelah satu tahun berselang, apa manfaat yang dirasa keberadaan yang punya wewenang potong kompas itu bagi penegakan hukum?
Rabu (22/12) lalu, seluruh anggota satgas, kecuali ketuanya sendiri, berkumpul di Istana Bogor, Jawa Barat, untuk menggelar rapat kerja (raker) guna mengevaluasi kinerja mereka. Sejumlah pimpinan lembaga terkait pun hadir menjadi anggota dalam raker itu, di antaranya Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Ketua KPK Busyro Muqoddas, Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, dan Ketua Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD.Para peserta raker menyoroti
kinerja satgas selama setahun. Mahfud MD, misalnya, yang menyebut satgas harusnya selalu menjelaskan kepada publik akan tindak lanjut dari setiap laporan yang masuk. Karena selama ini, laporan dari masyarakat yang jumlahnya 3.845 pengaduan itu, tidak jelas tindak lanjutnya.
“Supaya setiap laporan harus jelas. Jangan yang melapor tidak tahu nasibnya. Kalau orang lapor sebaiknya diberi tahu progresnya,” ujar Mahfud.
Ia sendiri mengaku pernah mengadukan sebuah kasus ke satgas di masamasa awal pembentukan satgas. Namun hingga kini, ia mengaku belum tahu sama sekali apa perkembangan dari aduannya itu.
“Saya pernah kasih info ke satgas. Ada orang yang dijatuhi hukuman penjara, hartanya sudah disita, lalu ditagih lagi hartanya. Ini saya kasih nomor telepon orangnya (ke satgas). Saya tidak tahu benar salahnya, tapi ada orang yang mau kasih testimoni. Buka saja ke publik bagaimana perkembangannya,” tuturnya seraya menambahkan, keterbukaan kepada publik bisa dilakukan dengan tetap berpegang asas praduga tak bersalah.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua KPK Busyro Muqoddas menambahkan, temuantemuan satgas seharusnya dapat langsung di akses secara cepat oleh lembaga penegak hukum lainnya. Jika satgas masih suka bekerja sendiri seperti saat ini, lembaga penegak
hukum tak akan pernah bisa memperbaiki integritasnya.
“Ini penting bagi aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan dan melakukan evaluasi. Apakah kebijakan yang ada pada kepolisian, kejaksaan, KPK, dan lembaga peradilan sudah on the track atau belum? Janganjangan penegakan hukum ini tidak ada
22 | SENIN, 27 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus Politik & HAM
SatgaS Hukum Cara InStan menutupI raSa malu
SEJAK awal keberadaannya Satgas Pembe rantasan Mafia Hukum (PMH) sudah mendapat banyak penolakan.
Tak sedikit yang mencibir dan mengaitkannya dengan kelumpuhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menangani anak buahnya. Padahal, tiga institusi penegakan hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan, tepat berada di bawah jangkauannya.
Gebrakan muncul saat tim yang memadukan kekuatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan lingkaran Istana, menguak tabir hitam pengelolaan Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta.
Pujian datang, tapi segera menguap karena sampai sekarang, Satgas PMH tidak juga bisa menjangkau pembenahan struktur rutan yang lebih mumpuni.
Tak ingin kehilangan panggung, tim mulai roadshow ke daerahdaerah. Tapi, itu hanya bertahan sementara. Puncaknya saat tim berhasil mengungkap kasus penggelapan pajak yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak Gayus HP Tambunan.
Inilah yang menjadi ujung pangkal nadanada sumbang satgas. Gayus berkoar soal uang yang diterimanya dari Grup Usaha Bakrie. Golkar pun mulai gerah. Pasalnya, nama itu melekat erat bagai lem dengan nama Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. Tak heran jika disangkutpautkan karena roda partai tak bisa bergerak jika tidak disokong dana kuat. Sebutan alat kosmetik pun mampir di satgas.
“Satgas hanya sebagai alat kosmetik presiden dan panggung popularitas anggota sat
gas, jauh menyimpang dari tujuan pembentukannya. Satgas pilih–pilih kasus,” ujar anggota Komisi III DPR RI dari FraksiPG Bambang Susatyo kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (23/12).
Pandangan senada dikemukakan anggota Komisi III DPR dari FPKS Nasir Jamil. “Satgas saat ini sudah setahun dan lebih banyak menampilkan image ketimbang ‘kapasitas’.”
Komisi III DPR yang membidangi hukum, selama ini memang mendapat panggung luas di mata masyarakat. Ini memicu partai untuk lebih unjuk gigi. Mungkin di benaknya, siapa tahu bisa mengundang simpati lebih. Dan akhirnya, keberadaan satgas membuat panggung itu terbagi.
Partai Demokrat (PD) termasuk salah satu fraksi di DPR yang mengecam kerja
satgas yang tidak terstruktur dan akhirnya malah mendiskreditkan kinerja Presiden. “Kerja satgas sebagai tangan kanan presiden ini kerja diamdiam. Tapi, periksa orang tidak diumumkan ke publik. Malah panggil televisi untuk ngomong. Apa itu?” sahut Ketua Komisi III DPR dari FPD Benny K Harman.
MomokSaat ini, gerakgerik satgas
yang tidak terarah dan tidak memiliki mandat kuat, akhirnya menjelma menjadi momok. Ketiadaan dasar hukum menjadikan satgas tak terjangkau Komisi III sebagai pemangku tugas soal hukum di DPR. Dari itulah, diperlukan evaluasi total terhadap satgas.
Fraksi Hanura dan Fraksi PDIP bahkan menyatakan satgas tak ubahnya ancaman
politik. Jika sekarang bisa digunakan menyerang Golkar, bisa saja partai lain mengalami nasib serupa.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari FPAN Tjatur Sapto Edy berpendapat, satgas harus direposisi dengan menempatkan institusi ini di bawah supervisi Meko Polhukam.
Dukungan malah ditunjukkan Fraksi Partai Gerindra, melalui anggotanya di Komisi III DPR, Martin Hutabarat. Menurutnya, satgas tetap diperlukan dan sebaiknya diatur agar lebih efektif melaksanakan tugasnya. “Bahkan sepuluh satgas lain pun diperlukan, asal pemberantasan korupsi dan mafia hukum dapat terwujud. Rakyat menunggu hasil,” tukasnya.
Dalam kacamatanya, anggota Komisi III DPR dari FPPP, Ahmad Yani menilai seringnya presiden membentuk lembaga
ad hoc untuk menutupi kegagalan Polri ataupun Kejaksaan Agung, dinilai sebagai langkah yang justru kontraproduktif terhadap penegakan hukum.
Wajar jika memang pada akhirnya menguat desakan pembubaran Satgas PMH. Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya membeberkan dua alasan munculnya desakan ini. ”Pertama, karena secara sistemik, satgas tidak jelas posisinya dan terlalu dekat dengan eksekutif.”
Alasan kedua, pembubaran Satgas PMH tidak bisa dilepaskan dari isuisu panas seperti kasus mafia pajak Gayus HP Tambunan. “Satgas menjadi alat politik tertentu. Isu pembubaran pun dimainkan sebagian partai,” ujarnya merujuk kepada salah satu pemimpin parpol yang namanya kerap dikaitkan dengan kasus Gayus.
Ke depannya, Yunarto menegaskan memang satgas yang dipimpin mantan Kuntoro Mangkusubroto itu, harus dibubarkan. “Tidak perlu ada, karena secara sistemik memang rancu. Tidak boleh ada yang terlalu dekat dengan pemegang kekuasaan. Semua dikembalikan sebagaimana mestinya,” sahutnya.
Tidak berjalannya penegakan hukum di Tanah Air itu juga ikut disumbang dari sikap DPR yang tidak kritis. “Komisi III DPR tidak ada kontribusi, contohnya dalam kriminalisasi KPK, DPR tidak bersikap. Komisi III stagnan dan cenderung tidak mengambil sikap. Dan di sisi lain, satgas juga menunjukkan sudah layaknya dibubarkan. Mereka juga belum bekerja secara maksimal. Selama setahun terakhir malah jadi sosok kontroversial,” tutupnya. (Din/CC/*/P4)
Sekadar Alat Kosmetik Presiden
Anggodo Widjojo berhasil mempermalukan Presiden di hadapan rakyatnya. Dan tugas Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengembalikan wibawa Presiden lewat pencitraan.
Nurulia Juwita Sari
SIDAK SATGAS: Tiga anggota satgas menginterogasi Artalyta Suryani yang kedapatan punya ruang tahanan khusus pribadi dengan berbagai fasilitas di Rutan Pondok Bambu, Jakarta, Minggu (10/1).
MELAPOR KE PRESIDEN: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto (tengan) dan anggota satgas Darmono di Kantor Kepresidenan, Jakarta, saat sa. Satgas melaporkan hasil kerja triwulannya kepada Kepala Negara.
RUMGAPRES/ ABROR