Sekolah Rumah (Homeschooling)

download Sekolah Rumah (Homeschooling)

If you can't read please download the document

Transcript of Sekolah Rumah (Homeschooling)

SEKOLAH RUMAH: HISTORISITAS, PERKEMBANGAN, DAN BEBERAPA PANDANGAN TERHADAPNYA

Gunawan Widiyanto PPPPTK Bahasa [email protected]

Latar Wacana tentang sekolah rumah (SR) alih-alih sekolah formal dalam jagat pendidikan kita telah banyak mengundang beragam pandangan dari para peminat dan pengamat pendidikan. Tengoklah misalnya, pandangan yang dikemukakan oleh Widya Ayu Puspita. Ia memaparkan dua perkara yang berkenaan dengan SR sebagai salah satu bentuk pendidikan alternatif, yakni latar sosial tentang mengapa SR bisa muncul dan basis yuridis yang dijadikan tumpuan adanya SR (Widya, Volume 2 Nomor 24 Edisi 24 Juni 2007). Sementara itu, Daoed Joesoef mengusung pendapatnya tentang maraknya pelaksanaan SR. Ia berpandangan bahwa munculnya SR ini merupakan implikasi dari kegagalan pendidikan formal di negeri ini. Secara lebih spesifik, ia mengatakan bahwa praktik SR ini merupakan reaksi personal terhadap pelaksanaan pendidikan sekolah formal yang dewasa ini serba kacau dan penuh ketidakpastian (Kompas, 9 Juni 2007). Berkaitan dengan aktivitas SR ini, secara verbal, Arif Rahman, yang pakar pendidikan itu, mempersyaratkan tiga perkara yang mesti dipenuhi manakala orang tua hendak menjalankan pendidikan rumah. Yang pertama adalah syarat akademis, yakni orang tua memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Yang kedua adalah syarat psikologis, yakni orang tua memiliki jiwa pendidik. Dan yang ketiga berkenaan dengan syarat pedadogis, yakni orang tua sepatutnya memiliki keahlian menularkan pengetahuan kepada orang lain. Sebetulnya manakala ditilik secara historis, fenomena SR ini bukanlah perkara baru. Geliat pertumbuhan dan perkembangannya pun menampakkan wujud di beberapa negara, baik di kawasan serantau (regional) maupun global. Selain itu, pandangan terhadap kehadiran SR ini masih menunjukkan adanya pertelingkahan (mutual disagreement). Tulisan ini mengulas ketiga isu tersebut. Batasan dan Terminologi Sebagai pengantar pemahaman, SR dalam tulisan ini dibatasi sebagai pendidikan bagi anak-anak yang dilaksanakan di rumah oleh orang tua atau liyan (others) yang ditunjuk atau dipercaya oleh orang tua. Hal ini bermakna bahwa orang tua atau liyan itu memikul tanggung jawab utama bagi pendidikan anak-anaknya. SR secara tipikal memang lebih merupakan pendidikan alternaltif daripada pendidikan konvensional sebagaimana yang diselenggarakan di sebuah sekolah negeri (publik) atau swasta (privat). Selanjutnya, SR dan pendidikan rumah dalam tulisan ini pun dianggap bersinonim. Pemakaian frasa SR mengikuti istilah yang digunakan Depdiknas dan merupakan preferensi pengindonesiaan dari empat istilah frasal Inggris, yakni homeschooling, school at home, home education, dan home-based learning. Historisitas SR Lahirnya pendidikan wajib belajar sekolah ditandai dengan permulaannya di dunia Barat pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 di negara bagian Gotha Jerman, 1

Calemberg dan Prussia. Dalam pada itu, di Amerika Serikat, negara bagian pertama yang memberlakukan undang-undang pendidikan wajib belajar sekolah ini adalah Massachusetts pada tahun 1789. Namun, tidak sampai tahun 1852 negara bagian itu menerapkan sistem modern persekolahan wajib. Selama periode ini, pada umumnya para orang tua di AS menggunakan buku-buku untuk mendidik anak-anaknya, seperti Fireside Education, karangan Griswold pada tahun 1828, dan Helps to Education in the Homes of Our Country, karangan Burton pada tahun 1863, dan McGuffey Readers, yang tersohor itu. Jika ada kesempatan, acapkali penggunaan buku-buku tersebut disokong oleh hadirnya para guru lokal sebagai pembimbing. AS sendiri telah dinyatakan berada pada puncak literasi nasional di bawah pengawasan sistem informal ini. Pada tahun 1912 A.A. Berle dari Universitas Tufts, yang juga delegasi Konferensi Perdamaian Paris, menyatakan dalam bukunya yang bertajuk The School in Your Home, bahwa pendidikan massal selama 20 tahun silam adalah bukti sebuah kegagalan. Ia pun ditanyai oleh ratusan orang tua tentang bagaimana mereka harus mengajar anak-anaknya di rumah. Gerakan SR modern berawal pada tahun 1964, yang dipelopori oleh John Caldwell Holt, seorang guru dan pengamat masalah anak dan pendidikan. Ia menerbitkan karya pertamanya yang bertajuk How Children Fail. Holt menyatakan bahwa kegagalan akademis anak-anak sekolah tidaklah disebabkan oleh usaha-usaha yang telah dilakukan sekolah, tetapi disebabkan oleh sekolah itu sendiri. Tak pelak, karya pertama Holt ini memercikkan api kontroversi. Kendatipun demikian, dia tampil pada acara-acara utama televisi, menulis ulasan buku untuk majalah Life dan menjadi tamu pada acara televisi bertajuk To Tell The Truth. Dalam karya lanjutannya yang bertajuk How Children Learn, pada tahun 1967, dia mencoba mendemonstrasikan proses pembelajaran anak-anak. Dalam kertas kerjanya yang lain dia memberikan alternatif selain sekolah formal-institusional. Selain itu, dia berharap memulai gerakan pemikiran yang mendalam tentang pendidikan untuk membuat sekolah lebih ramah terhadap anak-anak. Seiring berjalannya masa, tahun demi tahun, dia pun menjadi yakin bahwa hakikat sekolah adalah apa yang dibutuhkan masyarakat. Selanjutnya, Holt meninggalkan kegiatan mengajarnya untuk mengejawantahkan ide-idenya tentang pendidikan. Pada saat yang bersamaan dia menjumpai banyak buku yang ditulis oleh pengarang lainnya, yang mempertanyakan kelebihan persekolahan wajib, seperti Deschooling Society yang ditulis oleh Ivan Illich pada tahun 1970, dan No More Public School yang ditulis oleh Harold Bennet pada tahun 1972. Selanjutnya, pada tahun 1976 ia menerbitkan Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better. Dalam kesimpulannya ia mengusulkan suatu cara lain, sebagaimana yang dia sebut, yakni Children's Underground Railroad, untuk membantu anak-anak supaya tidak mengikuti kegiatan persekolahan wajib. Gayung pun bersambut, dia pun dihubungi oleh banyak keluarga di Amerika Serikat. Keluarga itu memberitahukan padanya bahwa mereka mendidik anak-anaknya di rumah. Pada thun 1977, selepas mengadakan surat-menyurat dengan sejumlah keluarga tersebut, Holt mulai menerbitkan majalah yang ia dedikasikan untuk pendidikan rumah, yakni Growing Without Schooling. Dari karya-karyanya Holt sebenarnya memiliki filosofi yang cukup sederhana, yakni bahwa binatang manusia adalah binatang yang belajar; kita ingin belajar; kita mahir untuk itu; kita tidak perlu dipertontonkan bagaimana kita belajar dan mengapa kita berhasil untuk itu. Yang menghambat proses belajar itu adalah orang-orang yang mencampurinya, mencoba mengaturnya, atau mengendalikannya. Tidaklah sulit untuk melakukan kegiatan SR. Selanjutnya, pada tahun 1980 Holt menjelaskan bahwa dia tidak melihat SR sebagai suatu jawaban terhadap buruknya sekolah formal, tetapi dia

berpandangan bahwa rumah merupakan tempat yang sesuai untuk meneroka (explore) dunia yang kita sebut pembelajaran atau pendidikan. Baginya, rumah adalah tempat terbaik dari sebaik-baik sekolah formal. Holt sebenarnya hanya menulis sebuah buku yang bertalian dengan SR, yakni Teach Your Own, pada tahun 1981. Ia melanjutkan harapannya untuk mereformasi pendidikan secara ekspansif hingga akhir hayatnya pada tahun 1985. Sementara itu, hampir secara bersamaan, pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, dua orang profesional bidang pendidikan, Ray dan Dorothy Moore mulai melakukan penelitian tentang kesahihan akademis mengenai gerakan pendidikan anak usia dini (Early Childhood Education) yang tumbuh begitu pesatnya. Penelitian ini mencakupi kajian-kajian independen oleh peneliti lainnya dan ulasan (review) lebih dari 8000 kajian yang bertali-temali dengan pendidikan anak usia dini dan perkembangan fisik dan mental anak. Keduanya menyimpulkan bahwa sungguh berbahaya menyekolahformalkan anak yang berusia sebelum 812 tahun, utamanya anak lelaki, karena ia bisa lamban kedewasaannya. Keduanya mulai menerbitkan temuannya, yang menyimpulkan bahwa sekolah formal sungguh merusak anak-anak, baik secara akademis, sosial, mental maupun psikologis. Mereka menunjukkan bukti bahwa masalah anak seperti kenakalan remaja, meningkatnya siswa yang terdaftar pada kelas pendidikan khusus, dan masalahmasalah perilaku lainnya merupakan akibat dari meningkatnya jumlah siswa yang terdaftar sebelumnya. Tambahan pula, keduanya mengutip kajian yang menunjukkan dua perkara. Pertama, anak-anak yatim piatu yang diasuh oleh ibu wali (pengganti) ternyata lebih cerdas, dalam jangka panjang, meskipun ibunya berusia belasan tahun dan mengalami keterbelakangan mental. Kedua, ibu-ibu anggota suku yang tidak melek huruf (illiterate) di Afrika memiliki anak yang secara sosial dan emosional lebih baik daripada anak-anak Barat. Keduanya juga menegaskan bahwa perkembangan dan ikatan emosional yang dialami anak di rumah dengan orang tuanya tidak bisa digantikan oleh kehadiran sekolah formal-institusional. Dengan mengakui perlunya perhatian terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus, mereka juga berpendapat bahwa mayoritas anak jauh lebih baik disituasikan di rumah bahkan dengan orang tua yang sedang-sedang (cukupan) sekalipun daripada dengan guru yang berbakat di sekolah formal. Mereka menggambarkan perbedaan itu demikian: "Perkara ini bak pepatah, apabila Anda membantu seorang anak yang kedinginan dengan cara mengambilnya dan memindahkannya ke sebuah tenda yang hangat, semestinya disediakan juga tenda hangat untuk semua anak. Mirip dengan apa yang dilakukan Holt, Ray dan Dorothy Moore menyinggung sentuh perkara SR setelah karya pertamanya terbit, yakni Better Late Than Early, pada tahun 1975 dan meneruskan kerjanya untuk menjadi penasihat dan konsultan SR yang cukup penting dengan diterbitkannya buku-buku seperti Home Grown Kids, pada tahun 1981, Home School Burnout, dan lainnya. Selain itu, ada satu kesamaan tema dalam filosofi SR antara Holt dan Ray dan Dorothy Moore, yakni bahwa SR mestinya bukanlah sebuah usaha untuk membawa konstruk sekolah ke rumah sebagai permulaan akademis sebuah kehidupan. Mereka memandang SR sebagai sebuah aspek kehidupan yang alamiah dan eksperiensial, yang terjadi sebagaimana anggotaanggota keluarga melibatkan diri satu sama lain dalam kehidupan keseharian. Perkembangan SR Pertumbuhan SR di berbagai negara dunia boleh dikatakan relatif cukup pesat. Boleh jadi, hal ini karena kehadirannya sebagai model pendidikan yang menjadi alternatif pendidikan konvensional dinilai berhasil dan dapat dipraktikkan oleh banyaknya 3

keluarga dari latar yang berbeda. Secara yuridis, penyelenggaraan SR ini dilegalkan di beberapa negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat. Akan tetapi, ada juga negara yang mengilegalkan kehadirannya, Jerman misalnya. Di negara yang SR tidak diakui legalitasnya, ada banyak gerakan gelap (underground) yang tetap berusaha menjauhkan anak-anak dari sistem pendidikan wajib sekolah dan mendidiknya dengan sebuah pertaruhan. Australia, yang mengakui keabsahan praktik SR, tidak menunjukkan adanya jejak keluarga SR dari data sensusnya. Sebuah organisasi bernama Home Education Association secara kasar membuat taksiran bahwa ada 15.000. Sementara itu, pada tahun 1995, Roland Meighan dari Nottingham School of Education memperkirakan ada 20.000 keluarga yang mempraktikkan SR di negeri kanguru ini. Lain lagi yang terjadi di Kanada. Mengenai pertumbuhan SR di negara ini, Meighan membuat estimasi bahwa jumlah keseluruhan anak yang bersekolah rumah pada tahun 1995 adalah 10.000, yang resmi dan 20.000, yang tidak resmi. Berkenaan dengan hal ini, sebuah laporan jurnalistik menunjukkan bahwa pada tahun 1995 terdapat kira-kira 1 persen anak usia sekolah disekolahrumahkan. Sementara itu, pada April 2005, jumlah keseluruhan siswa SR yang terdaftar di British Columbia adalah 3068. Di Manitoba, anak yang bersekolah rumah (homeschoolers) diwajibkan mendaftar ke Manitoba Education, Citizenship and Youth. Jumlahnya mencecah lebih dari 1500 pada tahun 2006; 0.5% dari siswa yang masuk sekolah negeri. Di China, tidak ada perhitungan statistik yang akurat tentang SR. Akan tetapi, semakin banyaknya laporan mengenai SR di media menunjukkan bahwa jumlahnya mengalami peningkatan. Dalam undang-undang pendidikan wajib dinyatakan bahwa masyarakat, sekolah, dan keluarga harus menjaga dan melindungi hak pendidikan wajib bagi anak usia sekolah dan remaja. Satu-satunya pendidikan wajib adalah sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, segala bentuk dan model pendidikan di luar pendidikan wajib, termasuk SR, dianggap ilegal dan liar. Perkara tersebut menjadi sumber kontroversi besar di negeri tirai bambu ini. Rupanya praktik SR tidaklah bebas hambatan laksana jalan tol. Di Jerman, misalnya, penyelenggaraan SR dilarang pemerintah melalui Germany's Compulsory Education Law. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa semua anak di negara ini mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kurikulum resmi. Selain itu, munculnya kebijakan ini dilatari oleh kekhawatiran para orang tua akan kurang bermutunya SR. Akan tetapi, dalam undang-undang ini juga dinyatakan bahwa penyelenggaraan SR dibenarkan apabila ia menyangkut dua perkara kondisional berikut ini: orang tua bekerja di luar negeri dan anak tidak bisa bersekolah karena menderita sakit atau cacat. Sementara itu di Republik Irlandia, hak untuk menyelenggarakan SR dijamin oleh undang-undang. Data statistik menunjukkan bahwa dari tahun 2004 hingga 2006 terdapat 225 anak yang telah terdaftar di Ireland's National Education Welfare Board, yang memperkirakan ada 1500 hingga 2000 lebih yang tidak terdaftar. Di Selandia Baru, dalam sebuah program televisi yang bertajuk "Sixty Minutes" dinyatakan bahwa pada tahun 1996 terdapat 7000 anak usia sekolah yang disekolahrumahkan. Philip Strange dari Australian Home Education Association Inc. mengutip, ada 5274 siswa SR yang terdaftar dari 3001 keluarga pada tahun 1998 di Kementerian Pendidikan Selandia Baru. Di Inggris, estimasi yang dibuat oleh Nottingham School of Education pada tahun 1995 adalah bahwa ada hampir 10.000 keluarga SR. Dalam pada itu, London Evening Standard pada tahun 1996 menyatakan ada 15.000 keluarga SR. Ini bermakna bahwa ada peningkatan sebesar 50 persen. Maklumat yang diperoleh seorang penasihat SR

menyatakan bahwa ada 50.000 anak yang disekolahrumahkan pada tahun 2005. Di Amerika Serikat, secara tipikal orang tua yang menyelenggarakan SR adalah mereka yang berkulit putih dan secara purata mereka memiliki tiga anak atau lebih. Menurut laporan Departemen Pendidikan AS tentang SR di negara ini pada tahun 2003, ada peningkatan jumlah siswa SR dari 850.000 siswa pada tahun 1999 (1,7 persen dari total populasi siswa yang ada) menjadi 1,1 juta siswa pada tahun 2003 (2,2 persen dari total populasi siswa yang ada). Menurut pernyataan dari National Home Education Research Institute, diperkirakan ada 1,9 sampai 2,4 juta anak disekolahrumahkan dalam rentang 2005-2006. Dalam rentang itu, tingkat praktik SR meningkat di kalangan siswa yang orang tuanya berpendidikan rendah dan menengah, dari 2.0 naik menjadi 2,7 persen di kalangan siswa berkulit putih; dari 1.6 naik menjadi 2.4 persen di kalangan siswa kelas 6-8; dan dari 0,7 naik menjadi 1,4 persen di kalangan siswa yang berorang tua tunggal. Pandangan tentang SR Eksistensi SR secara praksis rupanya disikapi secara beragam. Keberagaman sikap itu mewujud dan mengerucut ke arah dua kelompok yang masih bersilang pendapat mengenainya, yakni kelompok yang bersetuju dan kelompok yang tidak bersetuju. Keduanya mendasarkan pandangannya pada hasil riset yang dilakukannya. Kalangan yang tidak bersetuju dengan praktik SR mengusung pendapat bahwa SR berbahaya bagi anak karena ia mengisolasikannya dari anak lainnya dalam komunitasnya. Lebih lanjut, kelompok ini berpendapat bahwa stereotipe seorang anak yang bersekolah rumah sering kali digambarkan sebagai anak yang malu, pasif, dan malas-malasan karena terisolasikannya ia dari sosialisasi umumnya yang ada pada sekolah formal. Berkenaan dengan sosialisasi bagi anak yang bersekolah rumah, kelompok yang bersetuju berpandangan bahwa anak-anak yang disekolahrumahkan bisa mendapatkan kemahiran, pengetahuan, dan sikap yang diperlukan dalam masyarakat sebagaimana yang diperoleh oleh anak-anak yang bersekolah konvensional. Hal ini didasarkan atas temuan dengan cara membandingkan 30 keluarga yang bersekolah rumah dengan 32 keluarga yang bersekolah formal konvensional. Kedua kelompok keluarga tersebut memiliki anak yang berusia antara 7 sampai 14 tahun. Selanjutnya kelompok ini berpandangan bahwa dalam sistem pendidikan formallah anak-anak kali pertama melakukan sosialisasi yang negatif dan mendapatkan tekanan dari teman sejawat. Tuduhan yang dilontarkan kelompok yang tidak menyetujui SR kepada kelompok yang menyetujuinya adalah bahwa pendidik rumahan, dalam hal ini orang tua atau liyan yang ditunjuk, terlalu berlebihan melindungi anaknya dari keterdedahan (exposure) dunia nyata. Akibatnya, anak menjadi kurang gaul dan kurang kontak dengan teman sejawatnya, yang sangat mungkin berbeda latar etnisitas dan religinya. Berbeda dengan pandangan kalangan yang tidak bersetuju dengan praktik SR. Kelompok yang bersetuju berpandangan, praktik SR tidak senantiasa bermakna bahwa ia dilakukan dengan mengisolasi anak secara total. SR ini secara praksis bisa dilakukan di luar rumah dengan melakukan kegiatan rekreasional. Memang, manakala ditilik dari namanya, SR secara prosesif mengambil rumah sebagai pusat belajarnya. Namun, SR dapat pula secara fleksibel dilaksanakan di luar rumah. Berkenaan dengan perkara ini, patut disimak tema favorit yang diusung oleh anak-anak yang bersekolah rumah, yakni Dunia adalah ruang kelas kami (The world is our classroom). Gambaran mudahnya, maklumat edukasional tidak diperoleh dari komunitas sekolah formal, tetapi dari multisumber, sesuai dengan kebutuhan anak. Sekadar contoh konkret, orang tua bisa bertanya kepada teman, berkonsultasi dengan ahli, pergi ke toko buku, 5

membaca literatur, menonton VCD, datang ke perpustakaan, mencari informasi di internet, aktif terlibat di forum, menghadiri seminar, mengikuti kursus, dan sebagainya. Kelompok yang menentang praktik SR berpandangan, SR cukup potensial hanya memberi satu sudut pandang kepada siswa ketika siswa melihat sebuah masalah. Hal ini membuat siswa tidak mampu berpikir untuk dirinya sendiri atau untuk menyesuaikan diri dengan berbagai sudut pandang. Penutup Pada dasarnya, keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan SR bergantung pada berhasil tidaknya jalinan relasi interpersonal dalam keluarga. Isu SR merupakan isu yang komplek dan merepresentasikan komitmen yang besar dari sebagian orang tua, yakni bahwa seorang ayah harus berfungsi sebagai pencari nafkah tunggal (sole breadwinner), dan seorang ibu harus meluangkan masanya untuk mengajar anak(anaknya). SR lebih mengedepankan peran orang tua untuk bergiat aktif dalam proses belajar anak-anaknya, tetapi tidak menuntut orang tua menjadi guru layaknya guru dalam ruang kelas. Orang tua cukup mendorong anak untuk menumbuhkan pengalaman belajar dalam balutan cinta, kasih sayang, dan kehangatan keluarga. Sementara itu, prevalensi tumbuhnya SR dan preferensi para orang tua kepada SR pada dasarnya lebih digerakkan oleh pemahaman bahwa SR memiliki fleksibilitas dalam hal tempat, masa, dan kurikulum. Akhirnya, tulisan ini masih menyisakan dua perkara pelik yang memerlukan jawaban solutif. Pertama, sebagai sebuah model pendidikan, SR bisa diduga memiliki kekurangan selain kelebihan. Di antara kekurangannya adalah bahwa bagi sebagian kalangan, praktik SR secara ekonomis bisa dikatakan relatif cukup mahal. Kedua, bagaimana praktik SR di Indonesia setakat ini? Pemerhati masalah anak Seto Mulyadi mempraktikkan jenis pendidikan informal ini bagi anak-anaknya. Pesohor setenar Sophia Latjuba pun demikian. Tambahan pula, sebagai seorang educator-cumentertainer, Dewi Hughes berusaha memberdayakan anak-anak melalui SR-el (e-home schooling). Semakin tumbuh suburkah praktik SR? Manakala demikian, adakah alasanalasan lain yang lebih spesifik mengapa para orang tua menyekolahrumahkan anakanaknya? Diperlukan sebuah riset mendalam untuk menjawabnya. Sumber Rujukanwww.homeschool.com/ diakses 10 Juli 2007 http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling diakses 10 Juli 2007 www.kidsource.com/kidsource/content2/homeschooling.k12.3.html diakses 10 Juli 2007 The Jakarta Post, Weekender Magazine, Nopember 2007, halaman 14

7