Sejarah PKI

340
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010 1 | Page

description

Sejarah Pergerakan PKI di Indonesia

Transcript of Sejarah PKI

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1 | P a g e

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

2 | P a g e

Dalam Rangka Memperingati 45 Tahun

( 1 Okt. 1965 – 1. Okt. 2010)

Tragedi Nasional Kemanusiaan

di Indonesia

Kata Pengantar

e-Book jilid II ini adalah bunga rampai tulisan-tulisan mengenai "Gerakan Satu Oktober

1965" (Coup d´État ´65), yang saya baca dan kumpulkan selama bulan September 2010 dari

berbagai Mailinglist di Internet dalam rangka Membuka Tabir Sejarah Republik Indonesia "45

Tahun Tragedi Nasional Republik Indonesia" (01.10.1965 - 01.10.2010). Jilid I bisa dilihat di

http://www.wirantaprawira.net/pakorba/

Sebagai generasi muda yang lahir tahun 1983 dan hidup di luar Indonesia, saya ingin

mengetahui sebab-sebab, mengapa Bapak saya yang tercinta, Willy R. Wirantaprawira,

yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diberi tugas untuk belajar di Eropah Timur (1963 -

1968), sejak umur 24 tahun sampai saat ini, lebih dari 47 tahun terpaksa kelayaban di

mancanegara.

Tulisan-tulisan dalam buku ini disajikan se-adanya, tanpa di-modifikasi dan tanpa komentar

dari saya pribadi. Hak cipta dari pada tulisan-tulisan tersebut adalah milik penulis yang

bersangkutan. Penerbitan buku ini saya biayai sendiri dan disebar-luaskan secara gratis

kepada perpustakaan-perpustakaan diseluruh Indonesia dan kepada mereka yang tidak

mempunyai akses ke Internet.

Dipersembahkan kepada seluruh "anak bangsa, - korban rezim OrBa Jendral Soeharto -

yang terpaksa kelayaban di mancanegara" (Gus Dur 2000)

Freiburg, Jerman, 30 September 2010

CynthaWirantaprawira

[email protected]

http://www.wirantaprawira.net/privat/cyntha/

http://www.facebook.com/?ref=mb&sk=messages#!/profile.php?id=1500631766&ref=ts

Hak Masyarakat Dapat Informasi Peristiwa Gerakan Satu Oktober ´65

secara Benar

Kesalahan Orang Yang Terlibat "Gestok" Jangan Sampai Ditanggung Anak dan Cucu

JasMerah = Jangan Melupakan Sejarah (Sukarno)

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

3 | P a g e

Forgive – but Not Forget Nurdiana ([email protected]):

NUSANTARA BULAN SEPTEMBER (6)

45 Tahun Peristiwa 65.

Bung Karno mengajar kita:

Sekali-kali jangan lupakan sejarah.

Sepertiga abad Nusa gelita kelam,

Orba kuasa liwat fitnah dan pembunuhan,

Fitnah lebih kejam,

dari pembunuhan.

Begitu terjadi G30S,

PKI dituduh,

difitnah dalang.

Pakai TAP MPRS Dua Lima,

Hukum fasis anti-demokratis,

Landasan kuasa semena-mena

Yang sampai kini dipegang orba,

PKI dilarang,

anggotanya dibunuh,

dibantai, dibuang.

Aidit, Lukman, dan Njoto,

Menteri pembantu Bung Karno,

Tanpa makam dibunuh keji,

Sampai kini tak diketahui.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

4 | P a g e

Wanita-wanita Gerwani difitnah,

Lakukan “upacara harum bunga”,

Tidak bermoral,

Menyiksa para jenderal,

Dilarang lah Gerwani,

Anggotanya dibunuh dibasmi

PKI difitnah dalang,

Dan sewenang-wenang,

Anggota PKI dibunuh disiksa,

Oleh Suharto dan rezim orba.

Memfitnah Gerwani menyiksa jenderal;

Adalah Suharto dan rezim orba.

Yang bertanggungjawab

Membunuh anggota Gerwani,

Juga Suharto dan rezim orba.

Memfitnah dan membunuh,

Oleh sosok yang sama,

Melakukan dua-duanya,

Suharto dan rezim orba.

Jelas-jemelas tiada tara,

Mentari cerah menjadi suluh,

Suharto dan rezim orba

Adalah pemfitnah dan pembunuh.

Dengan pembunuhan dan fitnah,

Sepertiga abad orba kuasa,

Terbina zaman jahiliyah,

Nusa jelita jadi neraka.

Mampus dan terkutuklah,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

5 | P a g e

Suharto dan rezim orba !!!.

30 September 2010.

Pada tanggal 2-3 Oktober 2010, bertempat di Diemen Amsterdam telah

dilangsungkan peringatan 45 tahun Tragedi Nasional 1965/1966. Tragedi berdarah

pelanggaran HAM berat ini dilakukan oleh rejim ORBA dibawah pimpinan Jendral

Soeharto. Peringatan ini diadakan oleh sebuah Panitia yang didukung berbagai

organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda. Disamping dari negeri Belanda,

dalam pertemuan ini juga hadir dari Jerman, Perancis dan Swedia. Saya akan

berusaha menyajikan berbagai sambutan dalam peringatan ini. Kali ini kita

tampilkan sambutan M.D.Kartaprawira, Ketua Panitia Peringatan Tragedi

Nasional 65-66 di Negeri Belanda.

Salam: Chalik Hamid.

============================================================

TUNTASKAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DEMI KEBENARAN, KEADILAN

DAN REKONSILIASI NASIONAL

(Pidato sambutan pada “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965” di Diemen,

Nederland pada tanggal 02 Oktober 2010) Oleh MD Kartaprawira*

Hari ini kita memperingati peristiwa tragedi nasional 1965, yang harus menjadi

pelajaran bagi kita semua dan generasi mendatang, agar peristiwa tersebut tidak

terulang lagi. Peristiwa G30S 1965 adalah suatu lembaran sejarah hitam bagi bangsa

Indonesia. Sebab dampak peristiwa tersebut telah merobah 180 derajat peta politik

dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik negara yang digariskan Bung

Karno untuk membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat dan mandiri

berdasarkan Trisakti, melawan nekolimisme-neoliberalisme dirobah oleh rejim Suharto

menjadi politik pembudakan kepada kekuatan neoliberalisme, sehingga Indonesia

praktis tidak berdaulat lagi. Inilah tragedy tata politik dan tata negara Indonesia. Di

sisi lain peristiwa G30S berdampak terjadinya malapetaka yang mengerikan --

pelanggaran HAM berat yang memakan korban jutaan manusia tak bersalah, di

mana langsung atau tidak langsung terlibat rejim Suharto. Inilah kejahatan

kemanusiaan yang kekejamannya hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan

Nazi Hitler pada Perang Dunia ke II.

Kalau kita kilas balik peristiwa timbulnya G30S 1965 yang terjadi 45 tahun yang lalu

maka tampak fakta kejadian-kejadian a.l. sebagai berikut.

Pada pagi hari 01 Oktober 1965 terjadilah suatu gerakan dari satuan Angkatan

Darat (Cakrabirawa) yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Tigapuluh

September melakukan penculikan terhadap beberapa jenderal, yang akhirnya

mereka dibunuh di Lubang Buaya. Kemudian melalui RRI diumumkan berdirinya

Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan bersamaan itu pula

diumumkan pendemisioneran kabinet Bung Karno oleh Dewan Revolusi. Dalam

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

6 | P a g e

waktu singkat kegiatan G30S dapat dihancurkan oleh tentara KOSTRAD di bawah

pimpinan Jenderal Suharto.

Peristiwa selanjutnya adalah maraknya gerakan anti Sukarno dari mahasiswa dan

pelajar aliran kanan (KAMI dan KAPI) yang dibelakangnya adalah tentara

KOSTRAD- Suharto. Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga jenderal utusan Suharto

(Brigjen. M.Jusuf, Brigjen. Amirmachmud, Brigjen. Basuki Rahmat) berhasil memaksa

Presiden Soekarno untuk menanda tangani Surat Perintah yang terkenal dengan

sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Mayjen.

Suharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu

demi pemulihan keamanan dan ketertiban. Dengan Supersemar di tangannya

Suharto berhasil melakukan kudeta merangkak, yang bermuara pada penggusuran

kekuasaan presiden Soekarno oleh MPR ala Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal

Nasution..

Dari fakta-fakta sejarah tersebut timbul bermacam-macam versi tentang G30S, yang

terus berkembang sampai sekarang. Meskipun demikian kita yakin kepada hukum

logika bahwa kebenaran hanya satu, sedang lainnya kebohongaan. Para pakar

sampai sekarang masih berdebat tentang apa dan siapanya G30S, siapa yang

bertanggung jawab dan siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Sampai

dewasa ini belum ada kebulatan pendapat dalam soal tersebut di atas. Sementara

tercatat beberapa versi antara lain G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA,

G30S/Soekarno dan lain-lain variasinya. Sampai kapan perdebatan tersebut berakhir

dengan satu kesimpulan, kita tidak tahu. Meskipun demikian, banyak fakta yang

menjurus kepada kesimpulan bahwa Suharto bertanggung jawab atas timbulnya

peristiwa G30S dan terjadinya tragedI nasional selanjutnya. Maka dari itu, terus

menerus melakukan pencermatan masalah G30S demi pelurusan sejarah adalah

mutlak penting Tanpa menunggu terbukanya isi kotak Pandora-G30S dan tanpa

menunggu kesimpulan siapa yang bersalah dalam peristwa G30S kita sudah bisa

menyatakan tanpa ragu-ragu tentang terjadinya tragedy nasional yang maha

dahsyat, yaitu kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran-pelanggaran HAM

berat pada tahun 1965-66, yang dilakukan langsung atau pun tidak langsung oleh

rejim militer Suharto.

Pelanggaran HAM berat tersebut terjadi di banyak daerah di Indonesia yang

berwujud antara lain pembunuhan massal jutaan manusia yang tak bersalah tanpa

proses hukum yang berlaku, penahanan ribuan orang di pulau Buru,

Nusakambangan, dan di banyak rumah tahanan lainnya. Pembunuhan-

pembunuhan massal tersebut tidak akan terjadi kalau ABRI (RPKAD) tidak berdiri

dibelakangnya. Sedang penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan,

penjara Plantungan dan lain-lainnya jelas-jemelas dilakukan oleh ABRI. Inilah

tragedy kemanusiaan, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada abad XX yang

merupakan abad kemajuan peradaban manusia dalam segala bidang, termasuk

bidang hukum dan HAM.

Setiap manusia yang jujur akan heran melihat kenyataan terjadinya kasus

kekejaman luar biasa tersebut di atas di negara Indonesia yang di dalam

konstitusinya tercantum filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara. Setiap hati nurani

yang berkemanusiaan akan terperanjat mengapa pelanggaran HAM berat

demikian tak mendapat perhatian dari penyelenggaran negara, khususnya institusi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

7 | P a g e

penegak hukum Indonesia. Setiap manusia beradab akan bertanya mengapa suatu

tindak pidana – kriminal/kejahatan, setelah kwalikasinya menjadi kejahatan

kemanusiaan - pelanggaran HAM berat, penanganannya malah dipinggirkan

sampai tidak ada batas kepastian sama sekali.

Indonesia menurut konstitusi adalah negara hukum, tapi kenyataan menunjukkan

lain,yang menyangsikan bahwa Indonesia adalah betul-betul negara hukum. Sebab

law enforcement-nya sangat menyimpang dari tuntutan keadilan layaknya di

negara hukum: di mana terjadi kejahatan/pelanggaran hukum maka kasusnya

diproses di pengadilan untuk mendapatkan keadilan sesuai bukti-bukti yang ada.

Kesangsian kita akan hal tersebut tidak tanpa dasar, sebab fakta-fakta yang

merupakan bukti sah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan penguasa

rejim Suharto sudah lebih dari cukup untuk melakukan proses hukum terhadap kasus

tersebut. Terutama, fakta penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan

dan rumah-rumah tahanan lainnya yang tanpa dibuktikan kesalahannya sesuai

hukum yang berlaku, dilakukan oleh penguasa militer/ABRI. Di kawasan-kawasan

tempat tahanan tersebut ABRI jugalah yang melakukan pengawasan dan

penjagaan ketat. Kemudian pembebasan mereka, setelah dunia internasional

mengecam keras tindakan pelanggaran HAM yang memalukan tersebut, dilakukan

oleh ABRI juga. Banyak para korban berhasil membuat kesaksian tentang

pengalamannya sebagai korban pelanggaran HAM, yang berwujud buku, artikel,

interview, foto, video dan lain-lainnya. Kalau penegak hukum di Indonesia mau

melaksanakan tugasnya secara jujur seharusnya sudah menemukan setumpuk bukti

dokumen keterlibatan ABRI dalam pelanggaran HAM dari arsif KOPKAMTIB dan

MBAD. Tidak ada dasar dan alasan untuk mengingkari terjadinya pelanggaran HAM

berat 1965-66. Sebab bukti-bukti ada di depan mata.

Fakta-fakta pelanggaran HAM tersebut, tidak boleh tidak, harus dijadikan materi

bagi usaha-usaha pelurusan sejarah yang selama 32 tahun dimanipulasi oleh rejim

Orde Baru Suharto. Dari fakta-fakta tersebut negara harus mengakui bahwa telah

terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto. Dan oleh

karenanya pemerintah harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya

atas kejadian tersebut dan atas terabaikannya penuntasan kasus tersebut selama

45 tahun ini. Setelah itu pemerintah harus dengan segera mengambil kebijakan-

kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut secara

adil dan manusiawi, terutama yang menyangkut masalah pemulihan kembali hak-

hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-lainnya yang bersangkutan

dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan yang dialamai para korban.

Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang ideal adalah melalui proses

pengadilan. Tetapi tampak akan dipaksakan oleh penguasa negara

penuntasannya melalui proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang

sesungguhnya tidak akan menghasilkan keadilan sebenarnya. Sebab KKR adalah

suatu cara penuntasan kasus pelanggaran HAM secara kompromistik, melalui proses

“take and give” – setelah para pelaku mengakui kesalahannya dan meminta maaf,

mereka diberi amnesti. Sedang di pihak lain, para korban dipulihkan hak-hak sipil

dan politiknya beserta restitusi dan kompensasi. Oleh karena itu keadilan yang

ditimbulkan oleh proses KKR adalah keadilan kompromistik, yang sama sekali tidak

melikwidasi impunitas terhadap para pelanggar HAM. Maka para korban

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

8 | P a g e

pelanggaran HAM dan para peduli HAM perlu sangat kritis terhadap RUU KKR yang

baru, sebab RUU KKR ini tidak lebih baik dari pada UU KKR-lama yg telah dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, keadilan kompromistik tersebut

mungkin akan bisa membantu tercapainya rekonsiliasi nasional, apabila KKR

dilakukan secara adil dan manusiawi. Secara adil berarti bahwa para korban yang

telah lama menderita harus terpenuhi kepentingan-kepentingannya yang berkaitan

dengan pemulihan hak-hak sipil-politik, kompensasi, restitusi dan lainnnya. Manusiawi

berarti terhadap para korban yang telah lama menderita tersebut tidak akan

diterapkan aturan berokrasi yang berliku-liku dan bertele-tele, agar mereka tidak

merasa tersiksa karenanya. Jadi kepentingan para korban harus menjadi titik

perhatian yang dominan.

Selama 45 tahun ini tidak ada pernyataan pemerintah secara resmi tetang

terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Keadaan yang demikian memberikan bukti bahwa negara telah mengabaikan

Pancasila dan UUD 1945 – mengabaikan pelaksanaan tugas dan kewajiban

menegakkan hukum dan keadilan, membiarkan terus berjalannya impunitas

terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan dengan demikian menghindarkan

tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat 1965-66.

Sungguh kenyataan yang sangat memalukan, sebab norma-norma hukum tentang

HAM yang tercantum di dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan

HAM (ad hoc), kovenan-kovenan PBB dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi

Parlemen Indonesia tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat

1965-66. Jelas hal demikian membuktikan bahwa hukum dan keadilan tidak

ditegakkan secara jujur dan konsekwen, tetapi secara sangat manipulatif dan

diskriminatif. Kita merasa bangga atas kesuksesan proses penegakan kebenaran

dan keadilan di negara-negara Amerika Latin (misalnya Argentina dan Peru),

dimana pengadilan-pengadilan nasional (tanpa menggantungkan kepada

bantuan PBB) berhasil melaksanakan proses hukum terhadap para pelaku

pelanggaran HAM berat.

Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchner (yang terpilih dalam

pemilu 2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan

keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30

tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan

Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal

Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal

lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo

memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan

maaf kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya. Kemudian mantan

presiden Fujimori oleh pengadilan Lima divonis hukuman penjara 25 tahun.Tetapi

penegak hukum di Indonesia ternyata tidak tergugah hati nuraninya atas korban

tragedi nasional 1965-66 dan membuta atas kesuksesan penuntasan kasus-kasus

pelanggran HAM berat di Argentina dan Peru tersebut.

Maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, rekonsiliasi nasional dan pelurusan

sejarah, para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 berhak penuh untuk

MENUNTUT kepada penyelenggara negara, cq. Pemerintah agar mengakui

terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

9 | P a g e

meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, secepatnya melakukan

kebijakan-kebijakan untuk penuntasan kasus-kasus tersebut di atas beserta kasus2

HAM pada umumnya secara adil dan manusiawi tanpa diskriminasi -- tidak

tergantung agama, ideology, etnik, suku, kepartaian dari para pelaku dan korban,

dan selanjutnya mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif

terhadap para korban.

Semoga Tuhan YME meridhoi dan membuka hati nurani para penyelenggara

negara agar mampu melihat jalan benar menuju ke kebenaran dan keadilan.

Amien.

Diemen, Nederland 02 Oktober 2010

* Ketua Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965

Rakyat Merdeka Online

Inilah Petisi Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 untuk SBY

Minggu, 03 Oktober 2010 , 19:37:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Pada Sabtu (2/10) di Diemen, tepatnya pinggir kota Amsterdam, Belanda,

panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965, yang terdiri dari para wakil

dari berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Nederland, menggelar pertemuan

untuk memperingati peristiwa tersebut.

Acara peringatan ini sekaligus sebagai upaya untuk ikut serta dalam usaha

pelurusan sejarah yang berkaitan dengan “Peristiwa Tragedi Nasional 1965” demi

penegakan kebenaran dan keadilan, demikian panitia.

Pertemuan dihadiri oleh lebih dari 90 peserta, yang sebagian besar adalah

“orang-orang yang terhalang pulang” atau mereka yang dicabut paspornya oleh

rezim Orba. Beberapa di antaranya sengaja datang dari Swedia, Jerman, Perancis.

Termasuk sastrawan yang juga aktivis kemanusiaan, Putu Oka Sukanta, sang

penghuni ”Pulau-Buru” era rezim Orde Baru, diundang datang sebagai salah

seorang pembicara utama dalam pertemuan tersebut.

Menutup pertemuan pada hari Sabtu (2/10) tersebut, Panitia Peringatan Tragedi

Nasional 1965 mengeluarkan sebuah Pernyataan yang ditujukan kepada Presiden

Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dengan tembusan ke berbagai

instansi, seperti DPR, Kejagung, Mahkamah Agung, Dephuk dan HAM, Komisi

Nasional HAM RI, dan juga Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Amnesti Internasional.

Berikut ini pernyataan dimaksud secara lengkap.

Setelah terjadi peristiwa Gerakan Tigapulu September (G30S) 1965, di banyak

daerah di Indonesia terjadi pembunuhan massal atas jutaan manusia, penahanan

ribuan orang selama bertahun-tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan di

berbagai rumah tahanan, penganiayaan dan lain-lainnya yang dilakukan oleh

rezim Orde Baru Suharto tanpa proses hukum. Semua tindakan tersebut tidak bisa

lain dinilai selain merupakan pelanggaran HAM berat - kejahatan kemanusiaan

yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun dan kapan pun. Kasus besar tersebut

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

10 | P a g e

sudah semestinya harus dituntaskan seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang

berlaku di Indonesia dan yurisprudensi hukum internasional.

Sudah 45 tahun berlalu kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca peristiwa

G30S) hingga dewasa ini belum/tidak pernah ditangani secara serius dan tuntas

oleh penyelenggara negara. Hal ini membuktikan bahwa penyelenggara negara

cenderung cenderung untuk membiarkan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66

dilupakan, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tampak dengan jelas adanya

rekayasa untuk untuk menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku

pelanggaran HAM tersebut. Tapi kapan pun lembaran-lembaran sejarah tidak

mungkin bisa dihapus begitu saja, dan tidak mungkin dimanipulasi yang hitam

diputihkan dan yang putih dihitamkan.

Kenyataan bahwa sudah 45 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak

dituntaskan. Hal ini membuktikan bahwa norma-norma hukum yang tercantum di

dalam UUD 1945, perundang-undangan tentang hak asasi manusia, termasuk

konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh Parlemen Indonesia, tidak

diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggran HAM berat 1965-66. Dengan demikian

membuktikan juga bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan oleh

penyelenggara negara secara jujur dan konsekuen, tetapi sangat diskriminatif.

Adalah suatu hal yang wajar bahwa para korban menuntut ditegakkannya hukum

dan keadilan baginya tanpa diskriminasi, sebab hukum dibuat dengan tujuan untuk

menegakkan keadilan bagi semua warga bangsa, tidak tergantung agama,

ideologi, suku, etnik dan kepartaian mereka.

Di samping itu, tanpa diselesaikannya kasus pelanggaran HAM berat 1965-66

berarti membiarkan langgengnya proses impunitas di Indonesia. Dan dengan

demikian membuktikan kegagalan kebijakan penguasa Indonesia dalam

menegakkan hukum dan keadilan. Norma-norma hukum HAM nasional maupun

internasional hanya dijadikan pajangan saja untuk mengelabui massa luas seolah-

olah Indonesia adalah negara hukum yang peduli HAM.

Kondisi tersebut di atas tentu akan menjadi penghalang bagi terjadinya

rekonsiliasi nasional, yang sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara untuk pembangunan Indonesia yang demokratik, sejahtera, adil,

makmur, aman dan damai.

Atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas, pertemuan “Peringatan 45 Tahun

Tragedi Nasional 1965”, yang diselengarakan oleh organisasi-organisasi

masyarakat Indonesia di Negeri Belanda dan didukung oleh para korban

pelangaran HAM 1965 di negeri-negeri Eropa, menuntut kepada penyelengara

negara c.q. Pemerintah Indonesia agar:

1. Mengakui bahwa tlah terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca

peristiwa

G30S), yang mengakibatkan jatuhnya korban yang luar biasa besar

jumlahnya tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku.

2. Meminta maaf kepada para korban dan keluarganya atas terjadinya

pelanggaran HAM tersebut dan atas terbengkalainya penanganan kasus-

kasus tersebut yang sudah berlangsung 45 tahun.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

11 | P a g e

3. Segera melakukan kebijakan-kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus-

kasus tersebut secara adil dan manusiawi, terutama menyangkut masalah

pemulihan kembali hak-hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-

lainnya yang bersangkutan dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan

yang mereka alami.

4. Bagi para korban yang telah dinyatakan bersalah dalam pengadilan

sandiwara rezim Orba diberi rehabilitasi nama baiknya.

5. Tidak diskriminatif dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang berkaitan

dengan penuntsan kasus-kasus pelanggaran HAM pada umumnya dan

mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif.

Pernyataan tersebut di atas atas nama Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi

Nasional 1965 ditandatangani oleh M.D. Kartaprawira (Ketua) dan S.Pronowardojo

(Sekretaris).

Acara “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965” yang diselenggarakan selama

dua hari berturut-turut di Diemen, di pinggir kota Amsterdam, yang dimulai pada

Sabtu (2/10) tersebut ditutup hari ini (Minggu, 3/10) dengan pemutaran dua film

dokumentasi: Cidurian 19 dan Forty Years of Silence. [wid]

MENYAKSIKAN FILM "TJIDURIAN 19"

Ada tiga buah film ( dvd/vcd atau entah apalagilah namanya) yang diputar di

Diemen-Amsterdam hari ini oleh penyelenggara atau panitia dari PERSAUDARAAN

dengan bekerja sama dengan berbagai organisasi lainnya. Saya mulai dengan film

"TJIDURIAN 19" yang berdurasi 41 menit. Ada dua muka yang penting sebagai

bagian dari sebuah medali yang berbeda nilai setiap bilahnya.

Bilah pertama: NILAI DOKUMENTASI( SEJARAH).

Nilai dokumentasi film ini saya nilai tinggi, berguna dan bermanfaat bagi setiap

peneliti sejarah maupun orang awam yang punya minat terhadap sejarah

bangsanya di masa lalu. Saya tidak mau berpanjang-panjang memberikan nilai

positip segi dokumentasi film ini, tapi dengan tulus saya bisa menghargai para

pembuat film ini yang telah menyumbang barang berharga ini di segi

dokumentasi dan pengetahuan sejarah.

Bilah ke dua: NILAI IDEOLOGI (semangat revolusioner).

Di bilah ini saya sangat kecewa. Para tokoh tingkat sesepuh "LEKRA"dengan nada

dan nafas yang sama tapi dengan kata-kata yang berbeda melampiaskan

penyesalan mereka terhadap PKI (saya kecualikan Sabar Anantaguna). Bahkan

Oey hay Djoen dengan nada bersemangat menuduh PKI memaksakan Lekra untuk

diKOMUNISkan, membikin organisasi WANITA KOMUNIS karena katanya beberapa

pimpinan inti PKI tidak berhasil memaksa GERWANI menjadi organisasi wanita

Komunis. Tuduhan Oey hay Djoen (OHD) tentu saja tidak bisa dibuktikan, tidak ada

dokumennya dan hanyalah tuduhan lisan berlapis emosi kemarahan dan

kekecewaan terhadap PKI. Demikian pula para tokoh Lekra lainnya yang tidak

usahlah saya sebut namanya satu persatu di sini karena kalau memang tertarik,

haruslah melihat sendiri film ini. Sebuah ironi lain adalah bahwa sebagian terbesar

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

12 | P a g e

para tokoh pengarang terkermuka Lekra yang di wawancarai dalam film ini pada

umumnya punya "ÍJAZAH" atau sertifikat PULAU BURU sebagai sebuah jaminan

pengalaman buangan dan penjara serta siksaan rezim suharto yang tidak bisa

diragukan kekejamannya. Ketika berpuluh tahun lalu semasa saya masih berada di

Vietnam untuk belajar pengalaman revolusi rakyat Vietnam mengusir kaum

penjajah atau kaum Imperialis Perancis, Jepang dan Amerika Serikat, para kader

Partai Pekerja Vietnam dari mulai yang paling rendah hingga kader tertinggi mereka

yang pernah mengalami siksaan-siksaan di penjara musuh, telah menceritakan

pengalamannya secara jujur dan tulus kepada kami dan kesan yang kami dapat

cuma satu: penderitaan yang tak terperikan, tanpa menyerah, tanpa kompromi,

hidup atau mati melawan musuh dan tanpa satu kata penyesalan terhadap Partai,

terhadap perjuangan meskipun dalam keadaan kalah dan perjuangan sedang

menurun dan terpukul sangat hebat oleh musuh. Jadi pantasan saja mereka ahirnya

bisa merebut kemenangan. Tapi sebagian terbesar para pengarang Lekra dalam

film ini seolah berlomba-lomba dengan caranya sendiri melampiaskan penyesalan

mereka terhadap Partai yang dulu mereka junjung tinggi, terhadap perjuangan

revolusioner yang pernah mereka sokong tanpa pamrih. Tapi begitu Partai

mengalami kekalahan berat dan perjuangan revolusioner mengalami kekandasan

dan bahkan kehancuran total, semangat revolusioner sebagian terbesar orang-

orang Lekra setelah menerima pendidikan musuh dalam buangan dan penjara-

penjara menjadi merosot hingga titik nol. Ternyata sebagian terbesar dari para

pengarang dan seniman Lekra bukanlah orang revolusioner sejati, bukan para

pejuang rakyat yang bisa dipercaya, bukan pengemban misi sejarah di bidang

sastra dan seni yang akan membawa rakyat Indonesia ke gerbang kebebasan

yang akan menuju sosialisme, bukan patriot terdepan dalam front sastra dan

kebudayaan kiri Indonesia atau dalam satu kata yang dipersingkat: MENTALITAS.

Mereka tidak mempunyai mentalitas pejuang revolusioner yang teruji dan bila mau

berkata lebih jujur lagi, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka telah menjadi

orang-orang anti komunis, melepaskan perjuangan dan mencari kehidupan baru:

ketenangan dan kesentosaan hidup pribadi dengan cara melepaskan dendam

klas(apa pernah mereka punyai?), "berdamai dengan diri sendiri" (kata-kata Putu

Oka Sukanta) atau dengan kata lain; PASIFISME dengan musuh-musuh mereka untuk

selama-lamanya (abadi). Rakyat tidak lagi memerlukan mereka dan merekapun

telah meninggalkan rakyat. Dan alangkah indahnya. Semua itu telah

terdokumentasi yang mereka buat sendiri dalam film-film maupun dalam

pernyataan-pernyataan lisan serta tulisan-tulisan mereka sendiri.

ASAHAN.

Ilham Aidit : No Future Without Forgiveness

http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/101002174557/limit/0/I

lham-Aidit--No-Future-Without-Forgiveness.html

SATURDAY, 02 OCTOBER 2010

Testimoni Ilham Aidit, Putra Ketua CC PKI DN Aidit, juga mengisahkan kondisi

traumatis yang dialaminya. Warisan "dendam" menghantui hidupnya. Pada suatu

pagi, saat usianya menginjak 6,5 tahun, ia melihat sebuah tulisan besar di tembok

"Gantung Aidit, Bubarkan PKI". "Saya kaget melihat tulisan itu. Tubuh saya bergetar.

Dan saya merasa, sejak pagi itu, hidup saya akan sulit dan gelap. Sejak saat itu pula,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

13 | P a g e

saya tidak berani menyematkan nama "Aidit", nama ayah, di belakang nama saya,"

tutur Ilham pada acara yang sama. Ia merasa, ayahnya sudah menjadi musuh

besar bangsa Indonesia.

Menginjak pendidikan di SMP, masa-masa sulit dialaminya. Ilham remaja kerap

berkelahi karena ejekan rekan-rekan sebaya terhadap ayahnya. "Setiap ada orang

yang mengejek ayah saya, saya selalu melawan dan selalu kalah karena yang

mengeroyok saya puluhan orang," ujarnya.

Semua berlalu hingga suatu saat sejumlah penggagas dan pendiri FSAB mengajak

Ilham mendeklarasikan forum tersebut pada tahun 2003. Awalnya, ia enggan dan

bertanya-tanya apa yang akan dilakukan forum silaturahim itu. Ketakutan terhadap

sepak terjang sang ayah membuat Ilham merasa tak diterima. "Tapi, sejak itu pula,

saat FSAB dideklarasikan, kali pertama saya kembali memakai nama Aidit di

belakang nama saya, dan saya tetap hidup. Terima kasih kepada FSAB," kata Ilham.

Melalui FSAB, ia berharap, upaya rekonsiliasi dengan keluarga korban Gerakan 30

September akan terjadi. "Ini adalah forum silaturahim kebangsaan. Saya berharap

bisa menjadi jembatan untuk sebuah proses rekonsiliasi. Meski sulit, harus kita lalui

karena ini akan menjadi proses yang bermanfaat bahwa mereka yang pernah keliru

punya jiwa besar untuk meminta maaf dan para korban juga bisa memaafkan,"

harap Ilham. Dan ia mengingat sebuah kalimat dari tokoh Afrika Desmond Tutu

sebagai penutup testimoninya yaitu “No future without forgiveness,” atau masa

depan tak kan tercapai tanpa pengampunan.

Kasih Itu Hadir Di Rekonsilisasi Nasional G30S

http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/101002153915/limit/0/

Kasih-Itu-Hadir-Di-Rekonsilisasi-Nasional-G30S.html

SATURDAY, 02 OCTOBER 2010

Sebuah langkah bersejarah menyatukan kekuatan anak bangsa terjadi Jumat

kemarin (01/10), dalam Rekonsilisasi Silaturahmi Nasional yang digelar Forum

Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, dihadiri oleh putra-

putri tokoh yang terlibat konflik Gerakan 30 September 1965 (G30S) dan masa

perjuangan revolusi fisik.

Dalam acara ini mereka menyatakan komitmen untuk mengakhiri konflik yang

diwariskan orang tuanya dan siap menyongsong Indonesia ke depan yang damai.

Bahkan pada acara tersebut mereka berpelukan, menyampaikan pendapat, dan

membulatkan tekad untuk melupakan dendam di masa lalu. Putra bungsu mantan

Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Suharto,dan putra Central

Committee (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, Ilham Aidit, terlihat

berpelukan. “Kita tidak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa mengubah masa

depan. Forum ini harus dilanjutkan untuk membina hubungan sosial ekonomi dan

membangun bangsa,” kata Tommy.

Dalam acara yang digagas FSAB dan jajaran pimpinan MPR itu,putra-putri tokoh

Pahlawan Revolusi dan korban G30S/PKI yang hadir antara lain putri Jenderal

Ahmad Yani, Amelia Yani; putri Mayjen Pandjaitan, Chaterine Pandjaitan; dan putra

Mayjen Sutoyo, Agus Widjojo. Lainnya, anak Laksamana Madya Oemardani, Feri

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

14 | P a g e

Omar Nursaparyan; serta anak Wakil CC PKI Nyoto, Svetlana. Selain itu, hadir juga

putra tokoh DI/TII Kartosoewiryo, yaitu Kartono Kartosoewiryo, putri mantan Presiden

Soekarno,Sukmawati Soekarnoputri. Tokoh nasional Adnan Buyung Nasution, Akbar

Tandjung. Lalu Ketua MPR Taufik Kiemas didampingi dua Wakil Ketua MPR, yakni

Lukman Hakim Saifuddin dan Ahmad Farhan Hamid. Acara berlangsung cukup

dinamis dan sering kali diwarnai tepuk tangan ratusan hadirin yang memenuhi

Ruang Sidang Gedung Nusantara IV Gedung MPR/DPR.

Menurut Taufik Kiemas, mereka sudah saling menyadari bahwa konflik yang pernah

terjadi pada orang tua masing masing tidak seharusnya diwariskan kepada anak

cucunya. “Yang paling berat dalam hidup ini adalah memaafkan sehingga ini

menjadi momentum yang harus dipelihara,” ungkap Taufik.

PERNYATAAN BERSAMA SILATURAHMI NASIONAL ANAK BANGSA

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Kami menyatakan:

1. Memegang teguh dan mengamalkan secara utuh dan konsekuen Pancasila

sebagai satu-satunya Ideologi Negara.

2. Menjunjung tinggi Konstiusi Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

3. Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Menerima keberagaman dalam bingkai “Bhineka Tunggal Ika”.

5. Menanggalkan sikap-sikap yang dapat memicu konflik, yang mengakibatkan

perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi.

Amin.

Jakarta 1 Oktober 2010

FRIDAY, 01 OCTOBER 2010

Putra bungsu mantan Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, menghadiri acara

silahturahmi elemen Eksponen Angkatan 66 dan keluarga korban Tragedi G 30 S di

Gedung Nusantara V DPR, Jakarta pada hari ini Jumat (1/10). Acara ini digelar oleh

Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) bersama MPR.

Acara ini digelar dalam rangka memperingatri hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober.

Dalam acara tersebut, ketua MPR Taufiq Kiemas mengatakan momen ini

diharapkan bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan rekonsiliasi antar anak

bangsa. “Momen ini diharapkan bisa menjadi momen memperkuat persaudaraan

anak bangsa,” kata Taufiq.

Selain Tommy, ikut hadir Sukmawati Soekarnoputri, Amelia Yani yaitu putri pahlawan

Jenderal Anumerta Achmad Yani, Nani yang merupakan putri Mayjen TNI Anumerta

DI Panjaitan dan beberapa tokoh lainnya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

15 | P a g e

Presiden Tak Wajib Peringati Hari Kesaktian Pancasila di Lubang

Buaya http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/100930105943/limit/0/

Presiden-Tak-Wajib-Peringati-Hari-Kesaktian-Pancasila-di-Lubang-Buaya.html

THURSDAY, 30 SEPTEMBER 2010

Presiden RI tidak wajib mengikuti peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen

Lubang Buaya, Jakarta Timur, setiap tanggal 1 Oktober. Sebaiknya presiden

menggelar peringatan tahunan itu di Istana Negara yang dibarengi dengan

rekonsiliasi nasional atas peristiwa G30S. "Tidak ada dasar hukumnya presiden harus

menghadiri peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, karenanya ia

tidak wajib. Ini penting diingatkan, karena kita negara hukum," kata ahli peneliti

utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, Kamis

(29/9/2010).

Asvi lantas mengungkapkan riwayat digelarnya upacara peringatan Hari Kesaktian

Pancasila di Lubang Buaya. Upacara tersebut diwajibkan pertama kali oleh

Panglima Angkatan Darat (AD) Jenderal Soeharto melalui Surat Keputusan tanggal

14 Oktober 1966. Sebagai peserta adalah seluruh matra angkatan perang, yaitu AD,

AL, dan AU.

Karena tidak diikutkan, Panglima Angkatan Kepolisian lantas mengirim surat kepada

Soeharto. Akhirnya, pada tanggal 20 Oktober Soeharto selaku Menteri Utama

Pertahanan meralat SK yang telah diterbitkan dengan memasukkan kepolisian

sebagai aparat yang wajib mengikuti upacara 1 Oktober. "Jadi untuk presiden itu

tidak wajib. Hanya saja, Soeharto yang memerintahkan upacara itu kemudian

menjadi presiden. Ahirnya dia datang terus pada saat upacara," lanjut Asvi.

Asvi mengatakan, kehadiran presiden dalam di Lubang Buaya sangat menyulitkan,

terutama pada saat Megawati Seokarnoputri memimpin. Bagi Megawati, menurut

Asvi, peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu adalah hal yang menyakitkan, karena

sejak terjadinya prahara pada 1965, kekuasaan Presiden Soekarno mulai dilucuti. "Itu

bisa dilihat dari upacara yang dipersingkat pada zamannya Megawati. Dan

inspektur upacaranya adalah ketua MPR, bukan Megawati sendiri selaku presiden,"

kata doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales, Paris, ini.

Karena itu, Asvi mengusulkan agar presiden memperingati hari bersejarah tersebut di

Istana Negara sambil mengukuhkan agenda rekonsiliasi nasional atas peristiwa

G30S. Sebab, korban jiwa dalam tragedi kemanusiaan 45 tahun silam itu bukan

hanya 7 jenderal, yang kemudian diangkat menjadi pahlawan revolusi, melainkan

ratusan ribu warga negara Indonesia. "Saya mengusulkan lebih baik di Istana saja,

juga sebagai hari untuk rekonsiliasi nasional. Kalau mengadakan upacara di Lubang

Buaya, biarlah khusus TNI saja. Sebab dasar hukumnya keputusan menteri utama

pertahanan Soeharto," tutupnya.

Kegiatan rekonsiliasi konstruktif terhadap Tragedi Nasional yang melibatkan antar

keluarga para korban ini lebih tepat diselenggarakan sehingga dapat membuat

masyarakat lebih memahami dan juga mensyukuri apa yang harus dilakukan

terhadap momentum ini, bukan mencari dan meributkan kembali tentang siapa

yang melakukan dan bertanggungjawab.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

16 | P a g e

YPKP 65 Menolak Peringatan G 30 S

Jakarta, Bingkai Merah – Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65)

menggelar konferensi pers (29/9). YPKP 65 menyatakan menolak segala bentuk peringatan

Gerakan 30 September (G 30 S) yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut mereka

bangunan sejarah G 30 S/PKI versi Orde Baru yang masih dilanggengkan oleh negara

sampai saat ini memuat kebohongan publik.

Fakta-fakta sejarah terkini yang diungkapkan beberapa peneliti sejarah menguak

keterlibatan Amerika Serikat dengan Central Intelligence Agency (CIA) dan Angkatan Darat

di bawah komando Mayor Jenderal Suharto. Mereka sejak jauh hari telah merencanakan

aksi konspiratif yang akan menggulingkan Presiden Sukarno secara tdak langsung dengan

mengarahkan tuduhannya ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekaligus, membasmi gerakan

revolusioner pendukung setia Sukarno dan mematahkan faksi Jenderal Ahmad Yani dan

Jenderal Nasution. Hal itu membuat Amerika Serikat dapat melalangbuana menghisap

kekayaan sumber daya Indonesia dan Suharto naik ke puncak kepemimpinan nasional.

Dalam rangka menyongsong diadakannya peringatan 45 Tahun Tragedi berdarah tahun

1965/1966 yang akan dilangsungkan pada tanggal 2-3 Oktober 2010 di Diemen, Amsterdam,

saya berusaha menyiarkan ulang beberapa tulisan yang menyangkut peristiwa kejam

pelanggaran HAM berat tsb. Kali ini kita kutip tulisan tentang data-data kasus pelanggarah

HAM semasa ORBA, yang pernah dimuat dalam website http://umarsaid. free.fr/ . Seperti

diketahui peringatan ini akan dihadiri oleh berbagai kalangan dari negeri Belanda, Jerman,

Perancis, Swedia, Rep.Ceko dan Indonesia.

Slm: Chalik Hamid.

Bahan renungan ini juga disajikan di website http://umarsaid. free.fr/

Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru

(bahan renungan ke-4 untuk memperingati 44 tahun 30 September 1965)

Mohon sama-sama kita renungkan,apakah kiranya dalam sejarah bangsa Indonesia sampai

kini ada pemerintahan atau kekuasaan yang sudah begitu banyak, begitu lama dan juga

begitu luas melakukan berbagai macam kejahatan kemanusiaan, perusakan moral,

penyalahgunaan kekuasaan untuk KKN, seperti yang dilakukan selama 32 tahun oleh rejim

militer Orde Barunya Suharto ? Tidak !

Mudah-mudahan, sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia di kemudian hari pun

tidak akan ada lagi pemerintahan yang begitu banyak dosanya terhadap rakyat banyak.

Pemerintahan rejim militer Suharto adalah masa panjang kediktatoran militer yang gelap

bagi kehidupan demokrasi dan kehidupan normal bagi sebagian terbesar dari rakyat kita,

yang tidak boleh terulang lagi

Oleh karena itu, adalah kewajiban kita semua untuk selalu -- atau sesering mungkin --

mengingatkan sebanyak mungkin orang kepada masa-masa yang telah mendatangkan

kesengsaraan dan kerusakan bagi rakyat dan negara kita ini. Ulangtahun ke-44 peristiwa 30

September 1965 adalah kesempatan yang ideal untuk bersama-sama mengingat kembali

kejahatan pimpinan militer di bawah Suharto yang mengkhianati pemimpin besar revolusi

rakyat Indonesia, Bung Karno, dan menghacurkan kekuatan kiri pendukungnya, termasuk

golongan PKI. Kebetulan sekali, Munas Golkar yang akan diadakan secara besar-besaran di

Riau di bulan Oktober juga bisa merupakan peristiwa penting untuk memblejedi apakah itu

sebenarnya Golkar, yang bersama-sama golongan militer di bawah Suharto sudah membikin

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

17 | P a g e

berbagai kejahatan dan pengrusakan yang menyengsarakan begitu banyak orang dan

selama puluhan tahun pula. Dalam rangka ini jugalah maka dibawah berikut ini disajikan

catatan pribadi seorang (yang menamakan dirinya Ithum), yang secara pokok-pokok atau

serba singkat dan dengan baik sekali menyusun data-data tentang berbagai kejahatan

dan pelanggaran HAM di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru. Data-data tersebut

bisa membantu kita semua untuk mengingat kembali berbagai peristiwa-peristiwa tersebut,

dan memudahkan kita untuk melengkapinya lebih lanjut dengan bahan-bahan lainnya.

A. Umar Said

Paris, 11 September 2009

== == == ==

Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru

Oleh Ithum , 28 Februari 2008

Sebuah bahan refleksi bagi diriku pribadi, melihat perjalanan bangsa yang penuh luka dan

darah. Catatan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 dan masa

pemerintahan orde baru yang ada dalam catatanku. Masih ada pelanggaran-

pelanggaran HAM yang belum tercatat di sini, semoga cukup waktu untuk melengkapinya.

1965

Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat.

Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang

diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat

aktif maupun pasif dalam kejadian ini.

1966

Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung,

banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan

intimidasi di penjara.

Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan

Desember.

Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.

1967

Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.

April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di

Jakarta .

Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.

1969

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

18 | P a g e

Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke

sana .

Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.

Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil

akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum

mewakili suara seluruh rakyat Papua.

Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas

politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut

bukan termasuk partai politik.

1970

Pelarangan demo mahasiswa.

Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.

Sukarno meninggal dalam „tahanan‟ Orde Baru.

Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.

1971

Usaha peleburan partai- partai.

Intimidasi calon pemilih di Pemilu ‟71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.

Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang

layak.

Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang

di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang

kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.

1972

Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.

1973

Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .

1974

Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang

meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa

Malari. Sebelas pendemo terbunuh.

Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain „Indonesia Raya‟ pimpinan

Muchtar Lubis.

1975

Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.

Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

19 | P a g e

1977

Tuduhan subversi terhadap Suwito.

Kasus tanah Siria- ria.

Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik

seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas

bayaran yang kurang dari si hakim.

Kasus subversi komando Jihad.

1978

Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak

di Indonesia.

Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya

pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.

Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di

atas.

1980

Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang ,

Pekalongan dan Kudus.

Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka

dipersulit, dilarang ke luar negeri.

1981

Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok.

Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.

1982

Kasus Tanah Rawa Bilal.

Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah

memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat

ganti rugi yang memadai.

Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden

terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta . Kampanye

massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh

korban jiwa tadi.

1983

Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak

secara misterius di muka umum.

Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

20 | P a g e

1984

Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.

Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.

Tuduhan subversi terhadap Dharsono.

Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur

1985

Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986

Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga

dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi

kalangan elit.

Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.

Kasus subversi terhadap Sanusi.

Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.

1989

Kasus tanah Kedung Ombo.

Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.

Kasus tanah Kemayoran.

Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan

dengan peristiwa Talang sari.

Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.

Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku.

Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.

1991

Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda-

pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.

1992

Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaan-nya

Tommy Suharto.

Penangkapan Xanana Gusmao.

1993

Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei

1993

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

21 | P a g e

1994

Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberita-an kapal

perang bekas oleh Habibie.

1995

Kasus Tanah Koja.

Kerusuhan di Flores.

1996

Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan

Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 19962. Kasus tanah Balongan.

Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai

pencemaran lingkungan.

- Sengketa tanah Manis Mata.

Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika

mereka memprotes penggusuran tanah mereka.

Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamung-kas

berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkun-jung di sana.

Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.

Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada

tanggal 27 Juli.

Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.

1997

Kasus tanah Kemayoran.

Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.

1998

Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan

membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta

benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.

Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta , dua hari sebelum

kerusuhan Mei.3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi

menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998

dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.

1999

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

22 | P a g e

Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi

24 Juli 1999. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi

pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.

Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam

demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan

Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal

sebagai peristiwa Semanggi II.

Ditulis dalam indonesia, pojok santai | Tag: 1965, ham, indonesia

Diambil dari http://ithum. wordpress. com/2008/ 02/28/data- data-kasus- pelanggaran- ham-

semasa- orde-baru)

**************

Pernyataan Sikap

UNGKAP KEBENARAN, REHABILITASI KORBAN

Konstruksi sejarah G 30 S yang diasosiasikan oleh pemerintah sebagai pemberontakan Partai

Komunis Indonesia (PKI) terbukti manipulatif. Fakta-fakta sejarah yang dikemukakan peneliti-

peneliti sejarah terkini berkata lain. Mereka membeberkan adanya kudeta merangkak oleh

Suharto terhadap pemerintahan Sukarno dengan memasang suatu aksi konspiratif yang

dirancang untuk memusnahkan gerakan revolusioner sebagai pendukung setia Sukarno.

Manifestasinya diawali dengan pembunuhan perwira-perwira Angkatan Darat pada 30

September 1965. Aksi-aksi konspiratif mereka didalangi oleh CIA (Amerika) dan Angkatan

Darat di bawah faksi Suharto.

Pembunuhan para perwira pada 30 September 1965 menjadi dalih penahanan, penyiksaan,

dan pembunuhan massal pendukung setia Sukarno. Mereka yang tidak tahu soal aksi G30 S,

tepatnya menurut istilah Sukarno, Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok), telah mengalami

pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia.

Kondisi pelanggaran HAM berat berlangsung sekian lama hingga kini karena konstruksi

sejarah yang manipulatif itu. Akibatnya, terjadi stigmatisasi terhadap korban dan keluarga

korban. Stigma yang melekat pada korban dan keluarga korban membuat mereka

mengalami diskriminasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang seharusnya dilindungi oleh

negara.

Sejalan dengan UUD 1945 Amademen Keempat Tahun 2002 Bab XA tentang Hak Asasi

Manusia, Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) yang menyebutkan negara memiliki fungsi sebagai

perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai prinsip hukum dan

demokrasi dan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, seharusnya negara segera

merehabilitasi hak-hak korban dengan terlebih dahulu melakukan terobosan dengan

membongkar konstruksi sejarah palsu buatan rejim Orde Baru dengan mengakomodir

fakta-fakta sejarah terkini.

Atas dasar itu, YPKP 65 menyatakan:

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

23 | P a g e

1. Menolak konstruksi sejarah palsu buatan rejim Orde Baru soal G 30 S yang

masih

digunakan negara sampai saat ini

2. Menolak segala peringatan yang dilakukan pemerintah perihal G 30 S yang

diasosiasikan dengan pemberontakan PKI

Selain itu, YPKP 65 menuntut:

1. Ungkap kebenaran sejarah soal Gerakan 1 Oktober 1965 yang

didalangi oleh CIA dan Angkatan Darat faksi Suharto

2. Presiden harus mengeluarkan permintaan maaf kepada korban atas

kesalahan negara yang pernah melakukan penahanan, penyiksaan,

dan pembunuhan jutaan orang terkait dengan kejahatan

kemanusiaan 1965

3. Pulihkan hak-hak korban

4. Negara harus bertanggung jawab di hadapan hukum

5. Negara harus menjamin agar kejahatan kemanusiaan serupa tidak

terulang kembali di masa depan dengan cara menegakan HAM dan

demokrasi kerakyatan

Jakarta, 29 September 2010.

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65)

ISTIQLAL (11/5/2000)#

MEMPERTAHANKAN TAP MPRS XXV/1966 = KEMBALI KE ZAMAN

JAHILIAH

Oleh: Alam Tulus

Berbagai cara telah dilakukan kaum fasis Indonesia guna menentang dicabutnya kembali Tap

MPRS No XXV/1966, yang melarang berdirinya PKI dan penyebaran ajaran marxisme-leninisme-

komunisme. Di antaranya ada yang melalui pernyataan pada media massa, ada yang melalui demo

sampai membakar bendera palu arit. Membakar bendera palu arit dalam hal ini, sesungguhnya

mereka membakar bendera Gus Dur (NU) yang mengusulkan dicabutnya Tap MPRS tsb, serta

bendera PKB yang mendukung pencabutan tsb.

Kaum fasis mengharamkan komunisme, itu sudah hal yang umum. Suharto sebagai seorang fasis,

besar sekali sumbangannya bagi pengembangan ideologi fasis di Indonesia. Di mulainya dengan

melahirkan Tap MPRS No XXV/1966 dan kemudian ditingkatkannya ke penggulingan Presiden

Sukarno dari kekuasaannya.

Setelah kekuasaan berada di tangannya, maka siapa saja yang berani terang-terangan mengecam

akal-akalan Suharto untuk memperkaya diri serta anak-anaknya melalui KKN, akan dijebloskannya

ke dalam penjara.

Dengan Tap MPRS yang melarang komunisme itu, Suharto leluasa untuk menuduh setiap orang

sebagai komunis, subversif bila berbeda pendapat dengan dirinya, terutama bila berani menentang

perbuatannya yang tidak adil. Dan orang-orang yang diuntungkan oleh Tap MPRS tsb selama 32

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

24 | P a g e

tahun Suharto berkuasa, berkepentingan benar untuk mempertahankan tetap berlakunya Tap

MPRS teb. Kaum fasis dan pendukung fasis Suharto itulah yang kini bergerak menentang

pencabutan tap MPRS tsb. Kefasisannya Tap MPRS itu diakui Sekneg melalui "buku putih "(G.30-S

pemberontakan PKI), bahwa fasisme adalah ideologi otoriter yang memuja superioritas nasional!

Anti komunisme dan liberalisme. Marilah kita menoleh kebelakang sejenak.

TIGA DIMENSINYA SUKARNO

Sebelum meletus apa yang dinamakan Peristiwa G.30-S, masalah perbedaan ideologi politik

tidaklah begitu gencar dipermasalahkan. Bahkan NASAKOM-nya Bung Karno, Presiden pertama

RI, yang awalnya dicetuskan pada tahun 1926, tidak diberi label ideologi sekuler dan menganut

atheisme. Karena Bung Karno memiliki tiga kualifikasi sekaligus, yaitu:

1. Kehidupan kerohaniaannya (spritual way of lifenya) adalah seorang muslim taat, jadi

agamis, Theis, bahkan menjadi anggota Muhammadiyah Bengkulu, yang Konsul PB-nya

seorang muslim Tionghoa, Oei Cheng Hien;

2. Seorang nasionalis, yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan tanah air, dan anti

penjajahan (kolonialisme dan imperialisme);

3. Filsafat visi politik, ekonomi, menganut paham demokrasi dan sosialisme, yang memakai

senjata sosial ekonomi paham marxisme, yaitu filsafat dialektika, ideologi mazhab sejarah

materialisme, dan teori ekonomi politik evolusisme Darwin.

Dalam dimensi spritual, Bung Karno adalah mukmin, bertauhidi, mengakui Keesaan Tuhan, jadi

penganut monotheimse. Sebagai insan kelahiran dan putera Nusantara yang mengalami penjajahan

dan penindasan kolonialisme dan imperialisme, Bung Karno berjiwa nasionalisme. Untuk

memerdekakan rakyat, masyarakat, bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan mendirikan

negara RI yang ber-Pancasila. Dalam dimensi politik ekonomi, sosial, Bung Karno memakai metode

analisa ilmiah filsafat dialektika, yang dirintis oleh Hegel, Fauerbach (thesa, anti thesa dan

synthesa). Dalam menganalisa perkembangan masyarakat (sosiologi), Bung Karno memakai metode

yang dikembangkan oleh Darwin, yaitu historis materialism (dari primitif komunisme, pemilikan

budak, feodalisme, kapitalisme, imperialisme, sosialisme dan modern komunisme).

Ketiga-tiganya dijadikan trilogi (Nasamar-Nasionalisme, Agama dan Marxisme). Teori-teori itu

adalah lahir di Eropa barat, setelah era Pencerahan dan Kebangkitan (renaisance) dan pemisahan

bidang antara gereja dan Negara, atau antara agama dengan politik, antara masalah ukhrowi dan

duniawi sehingga dipakai istilah profaan (agama) dan sekuler untuk urusan keduniaan. Bila

mengatur dan mempermasalahkan ukhrowi memakai filsafat Theisme dan jika mempermasalahkan

duniawi, memakai filsafat Non Theisme (Atheisme), tanpa mempermasalahkah urusan ilahiah.

NON THEISME TIDAK ANTI TUHAN DAN AGAMA

Di Jawa, sebelum peresmian pemakaian istilah Santri dan Abangan oleh Clifford Geertz, oleh

rakyat biasa dipakai folklore "Mutihan", yang berasal dari bahasa Arab "Muthii" atau man athaa'a

dan qauman atau ummatan/kaumatan. Sedang istilah Abangan dipakai untuk mereka yang non

muthi yaitu Abaa Ya'baa, mengabaikan tidak mentaati, tidak menjalankan penuh syariah agama.

Para Santri biasanya menyenangi pakaian yang berwarna putih, sehingga juga disebut kaum yang

berpakaian putih.

Walaupun kaum Abangan tidak menjalankan syariah, namun mereka tetap merasa sebagai muslim,

karena ketika menginjak dewasa, dikhitan (diislamkan), atau nikah di serambi masjid, dengan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

25 | P a g e

menirukan pembacaan syahadatain sebagai pernyataan muslimin, berkeimanan kepada Allah dan

rasulullah Muhammad Saw. Mereka disebut muslim cacah jiwa (statistik).

Mereka yang diindikasikan, dengan praduga-salah, sebagai terlibat G.30-S, pada umumnya percaya

kepada hal-hal yang ghaib dari hari kemudian (kiamat) atau yukminuuna bil ghaibi wabil akhirati

hum yuqginuun. Jadi, tidak benar bahwa para penganut ideologi politik marxisme adalah didentikan

dengan atheis atau penganut atheisme, hanya karena mereka mempermasalahkan masalah politik,

sosial, ekonomi, dianggap sebagai murni "kedaulatan" dan bukan masalah agama atau Ketuhanan.

Padahal mereka itu berpedoman kepada sabda Nabi Muhammad Saw:" Antum A'lamu biumuuri

dunyakum" (Kalian lebih mengerti utusan keduniaan atau masalah sekuler). Jadi, bukan anti Tuhan

dan anti agama.

Jika dikaji lebih mendalam teori-teori marxisme, ternyata yang dinamakan atheisme adalah

paham yang memilah antar bidang agama dan bukan agama, antara negara dan gereja, sehingga

ada teori dua pedang atau dua kedaulatan. Yaitu kedaulatan Tuhan/Agama/Gereja dan kedaulatan

Negara/sekuler. Gods sovereignity dan Kings sovereignity dan teori Teocratis dan Aristocratis.

Jadi huruf "A" dalam atheisme adalah tidak mengkait-kaitkan dalam pemecahan masalah politik,

ekonomi, sosial dan kebudayaan, dengan hal-hal yang berada dalam bidang keagamaan dan

Ketuhanan. Tetapi adalah salah kaprah yang terjadi di ndonesia, yaitu non theisme (atheisme)

dinyatakan sebagai pandangan hidup anti dan tanpa Tuhan.

Bukti sejarah empirik menunjukkan titik temu (kalimatin sawaa) antara Sosialisme dan Islam:

1. Buku karangan HOS Tjokroaminoto, pimpinan Pusat Partai Syarikat Islam yang berjudul

"Islam dan sosialisme";

2. Semaun, Darsono, Alimin dan Musso adalah mantan-mantan anggota SI dan murid HOS

Tjokroaminoto, demikian pula Bung Karno, salah satu diantara founding fathers RI. Tentu

dalam ajaran sekuler yang dianut para marxis dan ajaran Islam yang bermazhab kultural,

yaitu persamaan, keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan politik, sosial, ekonomi dan budaya.

3. Pernyataan-pernyataan almarhum pemimpin-pemimpin Masyumi pada era RI Yogyakarta

(1946-1948) Mr Muhammad Roem, Mr Syafruddin Prawiranegara, Mr Yusuf Wibisono

bahwa Masyumi dan Islam kultural dan substansial berasaskan Sosialisme religius.

Tentang Syafruddin Prawiranegara menganggap dirinya sosialis Religius, dapat diketahui dengan

membaca dalam sebuah buku kecil yang berjudul "Politik dan Revolusi Kita", Yogyakarta 1948.

Dalam buku Syafruddin itu antara lain dikatakan: "Apabila unsur-unsur sosialisme tidak ada,

revolusi Indonesia tidak ada artinya bagi kami, karena ia tidak memberikan harapan baru kepada

kami. Bersama dengan para pemimpin partai-partai lain, ia menganggap pasal 33 UUD 45 sebagai

pernyataan sosialisme.

Karena itu mengkait-kaitkan para mantan tapol/napol G.30-S digebyah uyah sebagai atheist, anti

Tuhan, anti Pancasila adalah kezaliman dan tirani mental dan character assasination.

ARTI MEMPERTAHANKAN TAP MPRS XXV/1966

Sesungguhnya mempertahankan tetap berlakunya Tap MPRS XXV/1966, adalah untuk membela

lembaga MPRS yang cacat hukum, karena dikotori oleh 136 orang anggota MPRS yang diangkat

Suharto dari kalangannya sendiri, tanpa hak. Ia bukan Presiden, 136 anggota MPRS yang diangkat

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

26 | P a g e

Suharto itu, ialah untuk mengganti anggota MPRS dari PKI dan PNI yang dipecatnya. MPRS yang

cacat hukum itulah yang mengeluarkan Tap MPRS No XXV/1966 itu.

Mempertahankan Tap MPRS No XXV/1966 adalah untuk mempertahankan suatu Tap yang

bertentangan dengan UUD 1945 (pasal 27 dan 28), bertentangan dengan Pancasila. Menurut

pidato Bung Karno dalam "Lahirnya Pancasila", negara RI didirikan bukan untuk satu golongan,

melainkan dari semua buat semua. Jadi termasuk bagi kaum komunis. Dengan kata lain Tap MPRS

tsb isinya menentang UUD 45 dan Pancasila. Jadi, tidak konstitusional.

Mempertahankan Tap MPRS XXV/1966 adalah dengan tujuan untuk kembali ke zaman Suharto

berkuasa, yang atas nama Demokrasi Pancasila dibunuhnya demokrasi, diinjak-injaknya hak-hak

asasi manusia. Lihatlah diantaranya pembantaian di Tanjung Priok, di Aceh dsb.

Mempertahankan Tap MPRS No XXV/1966, sama artinya dengan kembali keabad pertengahan

(zaman jahiliah), dimana tidak ada kebebasan pikiran, keinsyafan batin (human consience) dan hati

nurani manusia. Perbedaan cara berpikir, keinsyafan batin, hati nurani, ideologi, politik semestinya

memperkaya khazanah alam pikiran dan budaya sprituai dan menjadi rahmat bagi bangsa dan

Negara Republik. Tentu saja harus dia dakan dialog, komunikasi, rekonsialisasi atas dasar saling

memahami dan mengerti, mencari titik temu (platform) untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan

dan meniadakan penindasan, penghisapan manusia oleh manusia. ***

KONSPIRASI DAN GENOSIDA[1]

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Oleh Bonnie Triyana[2]

Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka

Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari

berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan Darat.

Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati ke hadapan

Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah dihadapkan kepada

Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal

tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.Parman, Mayjen. Haryono M.T.,

Brigjen. D.I Padjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal

Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak

yang terletak persis disebelah kediamannya.

Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui corong

Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang

terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi

coup d‘ etat. Menurut mereka, coup d‘ etat ini sejatinya akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal

dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20.

Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di sebuah

sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban,

Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis PKI didukung oleh

Angkatan Udara.

Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto

jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di luar

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

27 | P a g e

prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.[3] Pemakaman korban dilakukan secara besar-besaran

pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia sendiri

kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa

dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.[4]

Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan sumbangan

besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak habis-habisnya

membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-

perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan memotong kemaluannya.[5]

Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita

tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di

Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang pemimpin

PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran.

Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan.

Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya

seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring.

Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan

mematikan[6]. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ―maju‖ itu

kocar-kacir.

Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan

surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan

organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d‘etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai

drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia.

Ganjang Komunis!:

Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Daerah.

Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan

pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi massa

yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal serupa.

Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang Islam

atau lainnya.[7] Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban

propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat

memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya,

aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali

melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini

berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi

sasaran utama kebencian yang terpendam sekian lama.[8]

Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri.

Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh umat

Islam telah mengobarkan ―Jihad‖ untuk membunuh orang komunis dan mempertahankan tanah

miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI)

melakukan penghinaan terhadap agama Islam.[9] Saling tuduh ini merupakan manifestasi konflik

kepentingan diantara dua kelompok.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

28 | P a g e

Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk menyerang

kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim menggunakan isu

ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada

kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok ini berhasil

membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan.

Keduanya sama-sama ngotot.

Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat

dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di daerah

lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang

kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan aktif dalam

pembunuhan massal.

Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang. Purwodadi

ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis komunis terbesar di

Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948,

pun tertangkap di daerah ini.

Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis

kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche Courant

dan E. Van Caspel,[10] Princen meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal

yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali pertama

menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut

pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra)

yang turut dalam pembunuhan massal.[11]

Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah

diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya konflik

horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk melakukan

pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi

kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungan-dukungan baik dalam

penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan PKI.

Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam dua

periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada peristiwa

ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi

anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.

Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi

penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI atau

apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling

efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak.

Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap

penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.[12] Dari sudut pandang

manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa

aroma komunisme sedikitpun.

Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini,

ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya karena

menjadi anggota Partai Nasional Indonesia – faksi Ali Sastroamidjojo-Surachman – militer sudah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

29 | P a g e

dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno – Sentris

atau dikenal sebagai SS.[13]

Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim)

0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama Operasi Kikis.

Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap.

Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami

sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang

berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan

anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.

Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa

mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik

tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),[14] namun suara

mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep massa mengambang

sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro

Jawa Tengah.

Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies

(CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali

Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan

Soeharto.[15]

Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genocide

menurut Helen Fein[16] adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan semata-mata karena

benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk

meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para pembunuh.

Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak

mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Contohnya seperti

apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:

―saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya dianggap

memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di Penjara Nusa

Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya

anggota PKI.‖[17]

Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan oleh

Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah sebuah

konsekuensi dalam sebuah operasi militer.[18]

Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam mengontrol,

memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat. Operasi ini kerap

dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat

(Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan

sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam

masyarakat tradisional.[19] Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga

kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.

Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717 sendiri

sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal sebagai

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

30 | P a g e

orang yang keras dan berambisi.[20] Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap selama tahun

1968.

Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968.

Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan

Purwodadi: ―saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus

orang tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa

hanya saya dan dua teman saya‖,[21] di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang

itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi

mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap

kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer

Purwodadi.

Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari uang

sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika seorang

penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia

dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa militer

setempat.[22] bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar.

Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki pengaruh yang

cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim)

diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi

ABRI.

Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi perwira

militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karir yang lebih

tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru

menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwira-perwira mentok ini.[23]

Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat

Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan stabil.

Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali

kekuatan komunisme di Indonesia.[24]

Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri.

Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah Orde

Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir

32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan.

Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau

G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya.

Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas

inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan

stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996

memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan masyarakat akan

komunisme.[25]

Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 – 1980-an (dalam

beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah

penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan

dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya. Segera

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

31 | P a g e

setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional, pemerintah Orde

Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B dan C.[26]

Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan

simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa pelepasan

tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.[27]

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah

kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka

dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan

berontak.[28] Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya,

keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri

dan anak-anaknya.[29] Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk

mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat itu

di dalam Kamp di Purwodadi.

Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam[30] bagi

mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di

Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan

terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di sebuah

desa di Purwodadi, dikenal sebagai ―kampung janda‖ karena suami-suami mereka diciduk oleh

militer.

Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam

peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen

mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 – 1000 orang. Sementara itu menurut

perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000

jiwa.

Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni. Maka

penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa.

Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik

Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di

pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan

pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau

Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada

tahun 1979.

―Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa

dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Namun karena hal

tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk diinterogasi‖[31]

Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah satu

cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk memberi

tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik.

Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan

memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan

Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

32 | P a g e

Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya

bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ―elek terus‖ (Indonesia: Jelek Terus).

Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun

diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah orde yang

dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan sendirinya.*

****

<< Dimuat dalam Jurnal MESIASS Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah Semarang, Jawa Tengah

>>

----------------------------------------------------------

[1] Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for In-

Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002.

[2] Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah

(Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis skripsi

tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi.

[3] Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian

yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2000) Hal. 8

[4] Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai

skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes dalam

Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138.

[5] Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Wanita di

Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498.

[6] Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah

mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat Kolonel

A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 129.

[7] John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal.

457.

[8] Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi dalam

Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001)

[9] ―Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI

telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum Muslim dituduh

telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ―kaum atheis‖ dan mempertahankan milik

mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo dalam op.cit., hal. 146

mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party and Landreform, 1959-1965

(Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash University, 1972), hal. 48.

[10] Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969.

[11] A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the

massacre from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense

Corp, who had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The

Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

33 | P a g e

[12] Memorandum Intelejen CIA, ―Indonesian Army Attitudes toward Communism‖ Directorate

of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119, Doc. 119, butir 1.

[13] Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA) Stasiun

Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S., mengatakan bahwa

penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun 1968. Tentara dapat

menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali Sastroamidjojo – Surachman

(PNI-ASU) atau motif dendam lainnya.

[14] General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and

unity necessary for development. Far better to let the population ‗float‘ without party contact in

the five year period during elections….diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald dalam Suharto‘s

Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109.

[15] Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ―Think – Tanks‖ dalam Richard W.

Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS and

KITLV, 1999), hal. 237.

[16] Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders

in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam Contemporary

Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813. Dikutip dari Hermawan

Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246

[17] Wawancara dengan Bapak Sp.

[18] Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969.

[19] Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan dua

hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna menghindarkan

ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik berada di bawah harus

dieksploitasi sedemikian rupa…lebih lanjut periksa Onghokham dalam Rakyat dan Negara (

Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103.

[20] ―Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering berceramah

kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak‖. Wawancara dengan Bapak A

[21] Wawancara dengan Bapak Wt

[22] Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik,

kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam TNI di

Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch dalam

General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76.

[23] Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara politik

sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah tingkat I dan

II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga jabatan politik

(Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B setengah rawan, dapat

diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh militer. Sedangkan kriteria C

adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil tetapi kenyataannya justru

sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M. Riefqi Muna dalam Persepsi

Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

34 | P a g e

et.al.., dalam Hubungan Sipil – Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS,

1999), hal. 50.

[24] Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar

negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat Uni

Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang hampir-hampir

melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh menteri luar legeri

dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat negeri komunis itu. Untuk

hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1999), hal. 376.

[25] Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada Partai

Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut. Hingga kini,

kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum tuntas.

[26] Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa

Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu 1965

dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara langsung atau

tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada wartawan bahwa jumlah

tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B menurut Pangkopkamtib sekitar 29.

470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk

perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam Indonesia an Amnesty International Report

(London: Amnesty International Publication, 1977), hal. 31-44.

[27] Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220.

[28] Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969.

[29] Wawancara dengan Bapak S.

[30] Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It‘s the Military, Stupid! Dalam Freek

Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV, 2002),

hal. 199.

[31] Wawancara dengan Bapak Rk.

SUDAH 44 TAHUN MASIH TERUS BERLANGSUNG IMPUNITY

ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (1/4)

(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN

KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR

NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Peristiwa G30S yang meletus pada pagi hari 01 Oktober 1965 adalah suatu fakta sejarah yang

berbuntut tragis bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebab kekuatan militaris kanan di bawah

pimpinan jenderal Suharto dengan dalih menumpas G30S menegakkan kekuasaan diktatur-militer-

fasis, melakukan pelanggaran HAM berat tak berperikemanusiaan, menggulingkan pemerintahan

Soekarno, membuka lebar-lebar pintu bagi neoliberalisme untuk menguras kekayaan alam

Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

35 | P a g e

Dalam tulisan ini tidak akan dikupas tentang sejarah peristiwa G30S, sebab sudah banyak ditulis

dengan berbagai macam versi, yang satu sama lain tidak bisa ketemu dalam satu kesimpulan. Tapi

satu hal yang tidak dapat diingkari yaitu rejim Orde Baru Suharto bertanggung jawab penuh atas

terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 dan penguasa negara pasca jatuhnya rejim Suharto

juga bertanggung jawab atas penuntasan kasus tersebut demi tegaknya kebenaran dan keadilan.

Sebab berlangsungnya impunity (kebal hukuman) di dalam negara hukum tidak bisa dibiarkan

terus, apalagi yang menyangkut pelanggaran HAM berat 1965-66 – kejahatan kemanusiaan

terbesar kedua sesudah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Jerman Nazi pada Perang

Dunia II. Toleransi terhadap impunity adalah bencana terhadap tatanan negara dan hukum di

Indonesia. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menyoroti beberapa aspek kasus pelanggaran

HAM berat 1965 yang sudah 44 tahun tidak dijamah oleh penyelenggara negara.

Perang Dingin dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia

Di seluruh dunia beradab dewasa ini tidak ada bangsa yang ketinggalan bicara tentang penegakan

hak asasi manusia (HAM), meskipun dalam perjalanan sejarah masa lalu bangsa-bangsa beradab

tersebut adalah pelanggar HAM berat yang sangat memalukan. Mereka inilah yang menangkapi

orang-orang Afrika kemudian dijadikan budak sebagai barang dagangan di Amerika dan bagian

dunia lainnya. Mereka tidak hanya merampas hak asasi, tapi juga hak atas kekayaan alam bangsa-

bangsa Asia dan Afrika, Indian Amerika dan pribumi Australia dalam rangka politik kolonialisme

dan imperialismenya.

Sesuai hukum perkembangan masyarakat setelah Perang Dunia II akhirnya pandangan mereka

mengenai hak asasi manusia mengalami perubahan/kemajuan positif.

Maka pada tahun 1948 di PBB dicetuskan Deklarasi Sedunia Hak Asasi Manusia, meskipun

sasaran tembaknya terarah ke medan konfrontasi politik Perang Dingin antara Blok Barat

(kapitalis) dan Blok Timur (Sosialis). Dengan tak henti-hentinya bombardemen dari Blok Barat

ditujukan kepada negara-negara sosialis (terutama Uni Soviet), yang dituduh telah menginjak-

injak HAM rakyat di negara-negara tersebut. Tetapi Blok Barat diam seribu bahasa mengenai

pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka lakukan di negara-negara jajahannya di benua Asia

dan Afrika saat itu. Begitu juga sikap politiknya terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan

langsung atau tak langsung oleh rejim militer Suharto, setelah berhasil merebut kekuasaan dari

pemerintahan Soekarno pasca peristiwa G30S 1965. Blok Barat menutup mata rapat-rapat

seakan-akan di Indonesia tak terjadi apa-apa – tak terjadi pelanggaran HAM berat – kejahatan

kemanusiaan.

Tentu saja secara logika sikap politik mereka yang demikian itu tidaklah mengherankan. Sebab

rejim Suharto yang berpolitik anti komunisme berdiri dalam satu front politik Perang Dingin

waktu itu menghadapi Blok Sosialis. Jutaan rakyat tak berdosa dibantai, dibuang ke pulau Buru

dan kamp-kamp lainnya, diteror, dihilangkan dengan tuduhan anggota PKI atau simpatisannya tidak

mendapatkan reaksi negatif. Bahkan sebaliknya dianggap sebagai kesuksesan dari mata rantai

strategi politik menghancurkan komunisme di Asia Tenggara dan untuk menjatuhkan Pemerintahan

Sukarno yang berpolitik persatuan nasional NASAKOM. Begitu juga ketika rejim Suharto

melakukan agresi terhadap Timor Leste (Timtim), negara-negara blok Barat secara diam-diam

merestuinya. Sebab Timor Leste di bawah Fretilin akan menjadi benteng kekuatan kiri

(marxisme) yang membahayakan keamanan kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

36 | P a g e

Tetapi ketika tingkah rejim Suharto sudah keliwat batas dari nilai-nilai kemanusiaan, negara-

negara barat pun tidak bisa lain kecuali terpaksa harus membuka lampu kuning, sebagai peringatan

dan tekanan terhadap rejim Suharto untuk melakukan sesuatu perubahan politik terhadap para

korban pelanggaran HAM tersebut. Dengan lampu kuning tersebut rejim Suharto pada tahun

1970-an terpaksa melepaskan para tahanan politik dari pulau Buru dan penjara-penjara lainnya

setelah belasan tahun meringkuk di dalamnya. Sedang bagi para LSM di tanah air dan luar negeri

terbukalah lampu hijau yang bisa memungkinkan melakukan aktivitasnya di bawah kibaran bendera

HAM.

Baik lampu kuning maupun lampu hijau tersebut memang harus mereka buka, sebab teriakan

pelanggaran HAM yang ditujukan secara gencar siang dan malam terhadap negara-negara sosialis

akan terdengar sumbang apabila tanpa diimbangi dengan tekanan politik terhadap rejim Suharto

agar mengadakan perbaikan kebijakan terhadap para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia

pasca peristiwa G30S: yaitu dengan pembebasan para tahanan politik. Dan rejim Suharto yang

tergantung ekonomi dan politiknya dari negara-negara blok barat - anti komunis, tidak mungkin

bisa menolak tekanan politik tersebut. Maka pada kurun waktu tahun 1970-an dilepaskanlah para

tapol dari pulau Buru dan penjara-penjara lainnya.

Tapi ternyata pembebasan para tapol tersebut hanya suatu langkah permainan politik belaka,

sebab setelah pembebasan dari tahanan mereka tetap tidak mengalami pembebasan dari tindak

pelanggaran HAM sesuai yang dimaksud dalam Deklarasi Sedunia Hak Asasi Manusia (1948) dan

peraturan-peraturan HAM lainnya. Mereka masih mengalami diskriminasi dalam banyak segi

kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Mereka dalam kurun waktu panjang tetap diinjak-injak

hak asasinya: misalnya di dalam KTPnya diberi label ―ET‖ (Ex Tapol) yang mengakibatkan

kesulitan besar dalam kehidupannya, mereka antara lain tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak

boleh menjadi guru. Mereka dan keluarganya tambah mengalami penderitaan berat ketika

penguasa melakukan kebijakan tentang bersih lingkungan. Sedang ribuan/jutaan manusia yang

dilibas sedikitpun belum menjadi perhatian para penegak hukum, meskipun sudah ditemukan

beberapa kuburan massal. Dan di luar negeri para OTP (Orang Terhalang Pulang, karena dicabut

paspornya) sampai saat ini masih belum mendapat penyelesaian sesuai statusnya sebagai korban

pelanggaran HAM. Bahkan di dalam UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 tampak jelas politik

hukum penyelenggara negara yang berusaha menutup masalah yang berkaitan dengan keadilan

bagi para OTP.**

Demikianlah Perang Dingin yang sudah berakhir dengan kemenangan Blok Barat dan runtuhnya

negara-negara komunis/sosialis di Eropa, tapi masih meninggalkan sisa-sisa pengaruh negatif

dalam kehidupan politik di Indonesia sampai dewasa ini. Sebab masalah penuntasan kasus

pelanggaran HAM berat 1965-66 secara langsung atau tidak, sengaja atau tidak selalu dikait-

kaitkan dengan isu komunisme (bahaya komunisme, come back PKI dsb.). Maka tidak

mengherankan masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 meskipun sudah 44

tahun lamnya, masih tetap berlarut-larut tanpa kesudahan.

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Negeri Belanda. **)

Lihat: - MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan U.U. Kewarganegaraan R.I 2006 (1):

Tidak Serius, Mengapa?,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

37 | P a g e

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/andi-mattalata-sosialisasikan-u.html

- MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 (2):

Menyembunyikan masalah pokok yang prinsipiil,

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/md-kartaprawira-andi-mattalata.html

- MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 (3):

Berhadapan Statement LPK‘65 (27.04.2007), http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/md-kartaprawira-andi-mattalata_19.html

SUDAH 44 TAHUN MASIH TERUS BERLANGSUNG IMPUNITY

ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (2 / 4)

(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN

KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR

NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Penggelapan terhadap kebenaran dan keadilan terus berlanjut

Penyelenggara negara sampai dewasa ini secara resmi belum mengakui adanya pelanggaran HAM

berat yang dilakukan oleh penguasa negara pada masa lalu yang dilakukan Rejim Suharto. Hal itu

berarti penguasa negara sampai dewasa ini masih melakukan penggelapan terhadap kebenaran dan

keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965-66 (khususnya).

Di Afrika Selatan dalam proses rekonsiliasi pelaku pelanggaran HAM berani minta maaf atas

tindakannya. Di Peru Presiden Toledo atas nama negara meminta maaf kepada para korban dan

keluarganya. Juga di Peru mantan presiden Fujimori telah dijatuhi hukuman 25 tahun penjara atas

pelanggaran HAM yang hanya menewaskan 25 orang. Di Spanyol tahun 2008 Parlemen telah

mengakui adanya tindakan pelanggaran HAM oleh rejim Franco, maka karena itu parlemen

mengesahkan UU tentang pemberian kompensasi/restitusi kepada para korban pelanggaran HAM

tersebut.

Tapi di Indonesia pelanggaran HAM berat 1965-66 sampai sekarang belum mengalami kemajuan

yang berarti. Akibatnya penegakan kebenaran dan keadilan bagi para korban di atas belum pernah

mendapatkan penyelesaian. Mengapa demikian keadaannya? Jawabannya tentu tidak mudah dan

tidak sederhana. Meskipun demikian, untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan di atas

setidak-tidaknya dua kondisi berikut ini bisa dijadikan bahan pertimbangan.

Pertama, sisa-sisa sampah politik Perang Dingin yang bermuatan anti komunisme masih

bertumpukan di Indonesia. Tidak mengherankan kalau semua yang dianggap berbau

komunis/komunisme akan tetap selalu ―diwaspadai‖. Kekhawatiran terhadap come backnya Partai

Komunis Indonesia beserta ideologi Marxisme masih sangat kental sekali. Sehingga para

Tapol yang telah dibebaskan dari tahanan pulau Buru dan penjara-penjara lainnya masih juga

dianggap berbahaya dan perlu diwaspadai. Semua kegiatan demokratik massal yang berbau kiri

selalu dicurigai dan diwaspadai.

Sesungguhnya di dalam TAP MPR No. XXV/1966 secara tekstual tidak ada yang bisa dijadikan

dasar untuk melegalkan penumpasan orang-orang anggota PKI dan simpatisannya. Sebab TAP

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

38 | P a g e

tersebut hanya melarang berdirinya Partai Komunis Indonesia dan ajaran komunisme/marxisme-

leninisme, bukan ketetapan yang memberi perintah untuk membasmi mereka. Meskipun demikian

rejim Suharto tidak ragu-ragu membasmi kurang lebih 3 juta orang yang dituduh anggota PKI,

baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pelanggaran HAM tersebut sejak jaman kekuasaan rejim Orba sampai pada jaman ―reformasi‖

dewasa ini didiamkan saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa, artinya dibiarkan terus

berlangsungnya impunity atas pelanggaran HAM yang megaberat dalam negara hukum Indonesia.

Tapi sebaliknya terus digaungkan seruan kewaspadaan terhadap come backnya PKI oleh alat

negara dan tokoh masyarakat tertentu.

Anehnya ketika Perang Dingin telah berakhir dengan kemenangan Blok Kapitalis di negara-negara

Barat yang merupakan benteng anti komunis, tidak ada larangan terhadap ajaran marxisme dan

keberadaan partai-partai komunis. Tetapi di Indonesia dari jaman Suharto sampai dewasa ini

masih tetap dipertahankan TAP MPRS No.XXV/1966 yang melarang ajaran komunisme/marxisme-

leninisme dan berdirinya partai komunis. Berarti demokrasi dan HAM di Indonesia masih belum

sepenuhnya ditegakkan.

Seharusnya hanya mereka yang secara nyata dan terbukti tersangkut dengan G30S yang harus

memikul tanggung jawab hukum, tidak tergantung apakah mereka komunis/anggota PKI atau

bukan. Dengan demikian, siapa saja tidak tergantung apa partainya, ideologinya, agamanya,

kepercayaannya, suku bangsanya, rasnya, kebangsaannya, kedudukan sosialnya dan lain sebagainya

kalau tidak terbukti di pengadilan tersangkut dalam G30S tidak semestinya dijebloskan di

penjara atau kamp tahanan, apalagi dibantai semau-maunya. Inilah suatu pelanggaran HAM berat

yang sesungguhnya terjadi dan menjadi tanggung jawab penguasa negara penuntasaannya.

Kedua, perkembangan intitusi hak asasi manusia yang makin lama makin menunjukkan nilai-nilai

positifnya, sedikit banyak membikin para pelaku pelanggaran HAM berat 1965 (baik oknom

maupun intitusi negara) mendapatkan sorotan kritis yang tajam sehingga terbuka borok-boroknya.

Tentu saja para pelanggar HAM tidak begitu saja menyerah untuk bisa diseret ke pengadilan.

Oleh karenanya sisa-sisa orde baru yang secara nyata masih dominant di dalam kekuasaan negara

selalu berusaha merekayasa agar pertanggungan jawab hukum tidak akan pernah terjadi. Dengan

―didiamkannya‖ kasus pelanggaran HAM berat selama 44 tahun adalah merupakan keberhasilan

dari rekayasa tersebut. Dengan ―didiamkannya‖ kasus tersebut sedemikian rupa para pelaku

pelanggaran HAM dan para korbannya satu demi satu meninggal dunia karena usia lanjut. Akhirnya

tidak ada lagi penuntut dan yang dituntut pertanggung jawaban hukum. Rekayasa tersebut

direalisasikan secara cerdik dan lihai dalam kebijakan negara, termasuk dalam bidang hukum dan

HAM.**

Mereka satu persatu bisa habis meninggal dunia, tapi sejarah masa lalu tentang terjadinya

pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak akan bisa dihapus. Generasi muda berhak mengetahui

sejarah masa lampau. Generasi muda berhak mengetahui kebenaran ( the truth) tentang

terjadinya pelanggaran HA berat 1965 dan mereka berhak mengetahui mengapa keadilan tidak

bisa ditegakkan dalam kurun waktu 44 tahun. Padahal di dalam UUD 45 sudah dimasukkan banyak

pasal-pasal tentang hak asasi manusia, yang atas dasar itu lahir undang-undang organiknya (UU

HAM, UU Pengadilan HAM) dan telah diratifikasi konvensi-konvensi tentang HAM internasional.

Bahkan dalam Kabinet telah dibentuk Departemen yang khusus menangani masalah Hukum dan

HAM. Masih kurang apa lagi?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

39 | P a g e

Maka dari itu perjuangan untuk tegaknya kebenaran dan keadilan harus berjalan terus.

Semboyan Persatuan yang selalu diserukan Bung Karno dalam melaksanakan perjuangan demi

kemajuan bangsa dan negara, dewasa ini masih tetap relevant diterapkan dalam perjuangan untuk

menegakkan HAM dan keadilan di Indonesia. Oleh karenanya, harus dicegah usaha pecah belah

dari orang-orang/kelompok-kelompok tertentu yang secara sadar atau tidak sadar telah

merugikan perjuangan. Kita tentu menyadari bahwa sisa-sisa orde baru sangat lihai dalam intrik

dan penyusupan di kalangan para korban dan kekuataan kiri (pejuang penegak HAM) untuk

memainkan politik pecah belah. Para pejuang HAM baik berwujud organisasi maupun perorangan

menyadari bahwa antara mereka ada perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah tertentu,

tetapi hal itu suatu hal wajar dalam alam demokrasi. Yang lebih penting adalah mencari kesamaan-

kesaamaan yang harus terus dikembangkan secara berkesinambungan dalam perjuangan

penegakaan HAM. Bukan membesar-besarkan perbedaan yang bisa mengakibatkan retaknya

persatuan kekuatan pejuang penegak HAM. Siapa yang diuntungkan dengan terpecah-belahnya

kekuatan pejuang HAM? (Jawab sendiri dengan hati jujur!).

Memang dalam situasi di mana semenjak jatuhnya Suharto peta politik masih belum ada

perubahan mendasar, perjuangan tersebut sangat berat. Sebab sisa-sisa orba menggunakan

segala jalan dan cara yang begitu lihay dan licik, sehingga penggalangan persatuan di antara para

korban pun menjadi labil, tidak memuaskan. Bahkan di kalangan para peduli HAM beserta

organisasinya tidak sepenuh hati membela korban pelanggaran HAM berat 1965. Sehingga terasa

adanya diskriminasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak HAM. ―Berbahagia‖lah para

korban selainnya korban 1965-66, yang mendapat solidaritas luas di arena nasional maupun

internasional secara lancar. Para korban 1965 ikut gembira atas kesuksesan tersebut. Tapi di

samping itu akan terus maju berjuang untuk menegakkan HAM di Indonesia tanpa diskriminasi

dan budaya tebang pilih. Dengan persatuan kita akan bisa menegakkan HAM di Indonesia,

menghapus impunitas dalam kehidupan bernegara serta berbangsa dan menghentikan penggelapan

terhadap kebenaran serta keadilan.

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Negeri Belanda**) MD

Kartaprawira: Semakin gelap, jalan ke kebenaran dan keadilan (Menyambut

Peringatan 42 Tahun Tragedi Nasional 1965),

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/md-kartaprawira-semakin-gelap-jalan-

ke_15.html

SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS

PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (3/4)

(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN

KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR

NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Usaha-usaha menerobos celah-celah tembok penghalang pelaksanaan HAM

Ada suara kritis yang mengatakan bahwa para korban 1965 sendiri kurang gigih melakukan

perjuangan di arena nasional maupun internasional. Mungkin suara tersebut mengandung

kebenaran, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebab para korban pelanggaran HAM 1965 baik di tanah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

40 | P a g e

air maupun di luar negeri sesuai kondisi, situasi dan kemampuannya sudah lama tak henti-hentinya

berjuang untuk menerobos celah-celah tembok penghalang realisasi pelaksanaan hak asasi

manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk tujuan tersebut organisasi-organisasi

para korban (Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Pakorba, LPR KROB, YPKP, LPK65 Nederland,

dll.) telah lama dengan gigih menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, misalnya seminar,

pertemuan, temu wicara, interview, pernyataan dan sebagainya, baik dengan tema khusus

mengenai HAM, mau pun suatu bagian tema HAM dalam kegiatan umum.

Para korban yang bermukim di luar negeri, terutama di Negeri Belanda, sejak di masa jaya-

jayanya rejim orde baru melakukan perjuangan politik untuk menelanjangi hakekat rejim tersebut

dan di masa reformasi dilanjutkan dengan perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan

bagi para korban pelangggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan rejim Orba/Suharto. Seperti

halnya di tanah air kegiatan para korban di luar negeri di berbagai kesempatan berupa

seminar-seminar yang dihadiri juga wakil-wakil pers dan wakil-wakil organisasi asing peduli HAM,

membuat pernyataan-pernyataan, memutar film-film dokumenter dan lain-lainnya.

LPK‘65 Nederland sebagai satu-satunya organisasi di Eropa yang berjuang di lapangan HAM

dengan visi dan missi yang berkaitan langsung membela kepentingan para korban pelanggaran

HAM 1965-66 demi tegaknya kebenaran dan keadilan terus melakukan kegiatan demi cita-cita

tersebut di atas, meskipun mengalami banyak kendala yang dihadapi. Saya kira LPK‘65 meskipun

tidak akan mencapai sukses besar dalam perjuangannya, tapi paling tidak bisa memberi andil

dalam perjuangan untuk pelurusan sejarah yang telah dibengkokkan oleh rejum Orde Baru selama

32 tahun. Pelurusan sejarah inilah yang maha penting bagi generasi yang lahir di era Rejim Orde

Baru/Suharto dan generasi mendatang.

Untuk pertama kalinya di Nederland diadakan simposium besar khusus bertemakan masalah HAM,

yang berlangsung di Amsterdam-RAI pada 11 Desember 1999. Simposium tersebut berjalan

sukses berkat kerjasama organisasi Indonesia Forum for Human Dignity (INFOHD) dengan

ILRWG dan beberapa organisasi peduli HAM di Nederland lainnya. Sangat tepat sekali topik yang

dipasang dalam simposium ―Against Impunity‖, sebab tanpa penghapusan praktek impunitas

kebenaran dan keadilan tidak akan mungkin ditegakkan.. Simposium tersebut dihadiri a.l

M.Hasballah Saad (Menteri Negara Urusan HAM), Sulami (YPKP), Prof. Daniel S.Lev (University

of Washington), Rachlan Nashidik (PBHI), Carmel Budiardjo (TAPOL) dan lain-lainnya.**

Apresiasi tinggi perlu diberikan kepada para mahasiswa Indonesia di Belgia (a.l. terdiri dari para

romo muda), yang telah sukses mengadakan sarasehan satu hari pada tahun 2000 di Leuven

(Belgia) dengan judul ―Mawas Diri: Peristiwa September ‘65 dalam Tinjauan Ulang‖, sebagai tanda

kepedulian dan keprihatinannya terhadap malapetaka tragedi nasional pasca peristiwa G30S.

Tampil sebagai nara sumber a.l. Sitor Situmorang (korban, ex tapol, Lembaga Kebudayaan

Nasional), Hersri Setiawan (korban, ex tapol pulau Buru, Lembaga Kebudayaan Rakyat), Mr. Paul

Moedikdo (ex-dosen Universitas Utrecht), Nany Sutoyo (psikholog UI, putri jendral Sutoyo yang

dibunuh di Lubangbuaya). Penulis, sebagai tamu sarasehan, kagum atas keseriusan para pemuda

dan mahasiswa Indonesia (nota bene bukan korban) yang dalam kesibukannya bergulat dalam ilmu

pengetahuan masih menyempatkan diri melakukan kegiatan (sarasehan) demi pelurusan sejarah

tragedi nasional 1965. Bahkan pejabat-pejabat KBRI Den Haag (di masa Dubes Abdul Irsan) pun

menyempatkan hadir dalam sarasehan tersebut.

Setelah Sarasehan Leuven, pada tanggal 29 September 2001 kelompok eksilan yang tergabung

dalam Indonesia Legal Reform Working Group (ILRWG) bekerja sama dengan organisasi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

41 | P a g e

masyarakat Indonesia lainnya di Negeri Belanda mengadakan sarasehan ―Peristiwa 30 September

1965 dan Pembantaian Massal 1965-1966‖ yang menampilkan nara sumber dari Indonesia Hasan

Raid (Korban, Jakarta), Murtini (Korban, Palembang) dan dari Negeri Belanda: Dr. Coen

Holtzappel (pakar, Universiteit Leiden), Paul Moedikdo S.H. (pakar, Universiteit Utrecht).

Pada tahun 2003 delegasi para korban 1965 dari Indonesia dengan segala kendala finansial dan

prosedural yang tak ringan telah berhasil menghadiri sidang Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa.

Delegasi tersebut terdiri dari Bp. Setiadi Reksoprodjo (mantan menteri dalam pemerintahan

Soekarno), Mbak Ribka Ciptaning (ketua Pakorba, sekarang Anggota DPR RI dari Fraksi PDI

Perjuangan) dan Bp. Heru Atmodjo (LPR KROB), diperkuat dengan beberapa orang korban (―Orang

Terhalang Pulang‖) yang berdiam di Negeri Belanda. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya

datang juga delegasi-delegasi serupa serupa. Tapi semuanya tidak menghasilkan sesuatu yang

diharapkan oleh para korban pelanggaran HAM berat 1965. Sebab tidak mendapat dukungan dari

Komisi HAM PBB, yang tampaknya punya strategi ―bisu-tuli‖ untuk tidak melakukan sesuatu yang

berkaitan pelanggaran HAM berat 1965-66 di Indonesia. Dan strategi tersebut ternyata

tercermin juga di Indonesia, seperti yang kita lihat kenyataan dewasa ini belum ada perubahan

sedikitpun ke arah kemajuan terhadap masalah kasus tersebut di atas dalam tingkat nasional.

Sedang pada 15 Oktober 2005 dalam rangka memperingati 40 Tahun Korban Pelanggaran HAM

berat 1965-66 organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda yang dipelopori

oleh Lembaga Pembela Korban 1965 berhasil mengadakan pertemun/seminar besar yang dihadiri

tidak hanya para korban yang bermukim di Negeri Belanda, tapi juga dari Jerman, Perancis,

Swedia dan Belgia. Sebagai narasumber tampil Bk. Cipto Munandar ( ), C. Panggidaey ( ) dan

ditambah Sdr. Hilmar Farid ( ). Di dalam seminar tersebut selain di selenggarakan pameran buku

dan foto berkaitan pelanggaran HAM, juga disediakan makalah MD Kartaprawira: ―Gelapnya Jalan

Menuju ke Kebenaran dan Keadilan‖.

Di antara organisasi peduli HAM di Indonesia (a.l. YPKP, LPR KROB) memandang penting

pengumpulan data-data/fakta pelanggaran HAM berat 1965-66 sebagai salah satu bentuk

perjuangan untuk menerobos celah-celah menuju ke kebenaran dan keadilan. Memang harus

diakui bahwa data-data tersebut sangat penting sekali, baik sebagai alat bukti dalam proses

pengadilan maupun sebagai fakta sejarah yang akan menjadi bahan pembelajaran bagi generasi

muda agar tidak terjadi pelanggaran HAM semacam tersebut. Meskipun demikian semuanya

terpulang kepada Penyelenggara Negara (Penguasa Negara), artinya mereka punya nyali atau tidak

menuntaskan masalah tersebut di atas, masih adakah di dalam jiwa mereka semangat Pancasila:

keadilan dan perikemanusiaan?

Setiap orang yang pernah duduk di bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi tentunya

mengerti bahwa data-data/fakta tersebut penting sekali bagi institusi penegak hukum, yang

berkewajiban mengumpulkannya dan menggunakannya dalam melaksanakan tugas-kewajibannya.

Tapi apa lacur, di Indonesia pada kenyataannya sudah berjalan 44 tahun kasus tersebut belum

pernah dijamah oleh institusi penegak hukum. Seharusnya Presiden, Kapolri dan Kejagung secara

resmi memberi penjelasan kepada para korban mengapa kasus tersebut terbengkelai. Dan jangan

lupa, bahwa sesungguhnya pengumpulan data kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 bukanlah

tugas dan kewajiban organisasi-organisasi kemasyarakatan (YPKP, LPR KROB, LPK‘65 dll.),

melainkan intitusi penegak hukum.

Mengenai masalah data bukti tentang terjadinya pelanggaran HAM berat sesungguhnya sudah

lebih dari cukup. Tapi akan lebih berbobot apabila bukti-bukti yang ada dilengkapi dengan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

42 | P a g e

dokumen-dokumen dari arsip yang tersimpan dalam institusi yang bersangkutan (MBAD, ex-

KOPKAMTIB, BAKIN). Hal tersebut dapat dimengerti, ambil contoh puluhan ribu orang yang

dibuang/ditahan di pulau Buru. Siapa pun tidak bisa menyangkal fakta penahanan ribuan orang di

pulau Buru tanpa melalui proses hukum. Dari arsip di institusi-institusi tersebut akan

jelas siapa pelaksananya dan siapa yang memerintahkannya.

Dalam kaitan tersebut di atas, maka KOMNASHAM harus diberi pintu masuk untuk melakukan

penyelidikan arsip tersebut. Tanpa itu KOMNAS.HAM hanya merupakan intitusi pajangan saja.

Seperti tulisan saya yang lalu, saya tetap berpendapat bahwa KOMNASHAM harus diberi

kewewenangan yang lebih berbobot seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa

melakukan penyelidikan ke intitusi-institusi negara lainnya. Kalau KOMNASHAM tidak bisa

melihat arsip intitusi ABRI (MBAD, KOPKAMTIB, BAKIN) maka sangat diragukan tegaknya

kebenaran dan keadilan bisa terlaksana di Indonesia.

Contoh lain, tentang ditemukannya kuburan massal di berbagai daerah, berkaitan peristiwa pasca

G30S. Fakta adanya kuburan massal tersebut seharusnya sudah cukup bagi negara c.q. institusi

penegak hukum memikul beban kewajiban untuk menindak lanjuti sehingga kasus tersebut bisa

digelar di pengadilan. Tapi kenyataan ditemukannya kuburan massal yang mengindikasikan

terjadinya kejahatan besar (pelanggaran HAM berat 1965) tidak pernah menjadi perhatian serius

dari intitusi penegak hukum sesuai peraturan hukum yang berlaku. Jadi untuk apa dibuat Kitab UU

Hukum Pidana dan Kitab UU Hukum Acara Pidana? Dan untuk apa UU Pengadilan HAM?

Jadi sesungguhnya sudah tidak sedikit gerak dan usaha para korban untuk menggugah dan

membangkitkan Penguasa Negara Indonesia dan Insitusi PBB (Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa)

untuk berbuat sesuatu bagi penegakan Kebenaran dan Keadilan berkaitan korban pelanggaran

HAM berat 1965-66 di Indonesia. Tidak masuk akal kalau Penguasa RI dan institusi-institusi PBB

tidak mengetahui adanya pelanggaran HAM berat 1965-66.

Sangat memalukan dan memilukan bahwa di era reformasi tindak kejahatan besar tersebut di

atas dibiarkan terbengkalai begitu saja selama 44 tahun. Mengapa para penegak hukum hanya

berpangku tangan, tidak melakukan tugasnya secara aktif, padahal kasus pelanggaran HAM berat

1965-66 tersebut jelas kasus pidana, bukan kasus perdata. Akhirnya demi keterbukaan (glasnost)

perlu dipertanyakan: mengapa RI sebagai negara hukum yang memiliki bertumpuk-tumpuk

peraturan tentang hak asasi manusia (UUD 1945, UU, Konvensi Internasional dan lain-lainnya)

sudah 44 tahun tidak mempergunakannya untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM berat

1965-66?

Bahwasanya sudah 44 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak pernah dijamah oleh

penegak hukum membuktikan tembok penghalang pelaksanaan norma-norma dan nilai-nilai hak

asasi manusia masih berdiri kokoh sekokoh pada jaman jaya-jayanya rejim orde baru Suharto

dulu. Dan hal tersebut adalah akibat rekayasa kebijakan kekuatan orde baru yang masih belum

berubah dalam peta politik Indonesia selama ini. Dan akhirnya semuanya terpulang kepada

Penyelenggara Negara (Penguasa Negara): mereka punya nyali atau tidak untuk menuntaskan

masalah tersebut di atas, dan masih adakah di dalam jiwa mereka semangat Pancasila: keadilan

dan perikemanusiaan?

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK‘65), Nederland. **) Programme for the

human rights symposium ―AGAINST IMPUNITY‖, December 11th. 1999: Welcom speech by Mr.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

43 | P a g e

Rafendi Djamin (INFOHD), Opening by Mrs. Martha Meijer (HOM), Testimony of Mrs. Sulami

(YPKP): "Jailed without a fair trial", Keynote speaker Mr. Hasballah Saad (Min. Of Human Rights

Affairs, Rep. Of Indonesia): "The prospects of human rights improvement within the Indonesian

emerging civil society", Keynote speaker Prof. Dr. Daniel S. Lev (University of Washington):

"Strengthening civil society", Keynote speaker Mr. Rachland Nashidik (PBHI): "Pattern of human

rights violations in Indonesia", Keynote speaker Mrs. Suraiya Kamaruzzaman (Flower Aceh):

"Humanitarian crisis and humanitarian aid", Keynote speaker Mrs. Carmel Budiardjo (TAPOL, UK):

"Measures against impunity: A review of international responses".

===========================================================

SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS

PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (4/4)

(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN

KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR

NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-66 Melalui Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR)

Seperti pernah penulis nyatakan di media cetak dan internet bahwa penyelesaian kasus

pelanggaran HAM berat 1965 lewat KKR adalah suatu jalan kompromi untuk menerobos jalan

buntu yang sudah berjalan puluhan tahun. Dengan KKR diharapkan akan dicapai penyelesaian yang

bisa diterima oleh kedua belah pihak – korban dan pelaku --, di mana pelaku tidak dituntut

pertanggungan jawabnya atas kejahatannya, sedang korban mendapatkan pemulihan kembali hak-

hak politik dan sipilnya, restitusi dan kompensasi, meskipun dengan demikian pihak korban akan

kehilangan bagian tuntutan yang sangat mendasar dalam perjuangan untuk keadilan, yaitu masalah

berkaitan impunitas yang harus dibrantas. Artinya para pelaku pelanggaran HAM mendapatkan

keuntungan lebih besar, sebab tidak akan dituntut pertanggung- jawabannya di pengadilan. Maka

masalah ini harus mendapat perhatian serius demi penegakan kebenaran dan keadilan yang optimal

dan untuk pelurusan sejarah.

Dari teks UU KKR (UU No.27 Tahun 2004) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan

RUU KKR yang sekarang sedang menunggu proses pembahasan di DPR masih diragukan akan

menghasilkan sesuatu keadilan bagi para korban. Sebab dalam RUU KKR tidak jelas apakah

―Institusi/Negara‖ termasuk dalam kategori ―Pelaku‖, di samping pelaku ―Oknum/Individu‖ (lih.

Pasal 8 1b dan Pasal 13/3 RUU KKR). Bahkan dalam Bagian Penjelasan Pasal-pasal RUU KKR, pasal-

pasal tersebut di atas dianggap cukup jelas. Seperti telah diuraikan di atas intitusi negara yang

kala itu berada di tangan rejim Suharto jelas terlibat dalam pelanggaran HAM berat 1965-66

baik secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai ―dader‖ (pelaku) maupun ―mededader‖

(pelaku peserta).

Kalau dalam KKR hanya dititik beratkan kepada tanggung jawab oknum/individu saja, dapat

dipastikan masalahnya akan menjadi hambar, kabur dan tidak akan menghasilkan keadilan bagi

korban. Dan hal tersebut tentu bisa ditafsirkan sebagai rekayasa pengalihan tanggung jawab

negara kepada tanggung jawab oknum/individu. Seharusnya kedua-duanya - oknom dan negara -

harus bertanggung jawab. Sebab tanpa turun tangannya negara dalam pelanggaran HAM berat

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

44 | P a g e

1965-66 tidak mungkin terjadi pembantaian jutaan manusia tidak berdosa, tidak mungkin puluhan

ribu manusia di jebloskan dalam berbagai tempat tahanan (p.Buru, p. Nusakambangan, berbagai

rumah penjara) sampai belasan tahun. Maka adalah kekurangan serius apabila RUU KKR tidak

mempertimbangkan masalah tersebut di atas secara jujur, agar memberikan penyelesaian

rekonsiliasi nasional secara adil. Padahal dengan dilaksanakannya modes operandi rekonsialiasi

(melalui KKR) saja para korban sudah kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan penuh.

Demikianlah gambaran yang bisa ditangkap dalam RUU KKR.

Berdasarkan logika hukum yang benar, karena institusi negara (dalam hal ini rejim Suharto)

tersangkut pelanggaran HAM maka penguasa negara dewasa ini secara resmi harus mengakui

telah melakukan pelanggaran HAM berat dan meminta maaf kepada para korban dan keluarganya

atas pelanggaran HAM tersebut. Berdasakan keadilan maka negara harus mengembalikan semua

hak-hak politik dan sipil sepenuhnya tanpa diskriminasi dan marginalisasi terhadap para korban

serta memberikan restitusi dan kompensasi. Bagi para korban yang telah divonis ―bersalah‖ oleh

pengadilan orde baru, harus mendapatkan rehabilitasi nama baiknya.

Syarat mutlak untuk suksesnya KKR, pemerintah harus berani menyelesaikan lebih dahulu masalah

yang mendasari timbulnya pelanggaran HAM berat 1965-66. Untuk itu pemerintah pasca rejim

Suharto harus mengakui keterlibatan negara di bawah rejim orde baru dalam pelanggaran HAM

berat 1965-66 sebagai tahap awal kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno. Boleh

saja tidak setuju dengan ideologi komunisme dan ajaran Soekarno ( Marhaenisme, yang anti

nekolim), tapi pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan kiri lainnya adalah kesalahan besar

– kejahatan kemanusiaan, suatu politik barbarisme jahiliah. Atas dasar hal-hal tersebut di atas

maka pemerintah secara resmi harus meminta maaf kepada para korban dan keluarganya.

Kemudian langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh penyelenggara negara, c.q. pemerintah

ialah melaksanakan rekonsiliasi yang jujur, adil dan berkemanusiaan, bukannyaRekonsiliasi untuk

menang-menangan sendiri.

Seyogyanya penyelenggara negara Indonesia bercermin pada praktek penegakan hukum/HAM di

Peru, dimana Presiden Alberto Toledo dengan tegas secara resmi minta maaf kepada para korban

dan keluarganya atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim Fujimori (mantan presiden

Peru). Perlu dicatat bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Fujimori tidak

membebaskan dia dari pertanggungan jawabnya di muka pengadilan, sehingga divonis 25 tahun

penjara. Praktek impunitas dalam kasus pelanggaran HAM di Peru bisa dicegah. Tampak jelas di

Indonesia akan diterapkan pola-pola praktek KKR Afrika Selatan, di mana impunitas tidak

diganggu gugat. Mengingat kondisi penegakan hukum di Indonesia sudah begitu parah karena

kuatnya mafia hukum dan mafia HAM maka modus operandi penyelesaian kasus pelanggaran HAM

berat melalui jalan KKR adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Bahkan mungkin sekali

Rekonsiliasi Nasional yang dirancang dalam RUU KKR ini pun masih bisa kandas lagi. Sebab tetap

saja ada golongan yang tidak menginginkan adanya rekonsiliasi nasional.

Dalam RUU KKR yang akan dibahas di DPR pada persidangan waktu mendatang ini hanya diatur

masalah-masalah bersifat sangat umum. Dengan demikian penjabaran pasal-pasalnya untuk

pelaksanaan UU KKR akan diserahkan pada peraturan-peraturan hukum turunan di bawahnya.

Dalam tingkat inilah kemungkinan besar terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, sebab peraturan-

peraturan turunan tersebut akan memungkinkan adanya usaha-usaha pengakomodasian

kepentingan- kepentingaan yang merugikan korban. Pemberian chek kosong demikan ini sangat

berbahaya bagi penegakan hukum dan keadilan. Mestinya kita harus ingat ketika UUD 1945 yang

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

45 | P a g e

karena singkat dan supel dengan amat mudah disalah-gunakan oleh penguasa Orba demi

kelanggengan hegemoni kekuasaan dan kepentingan- kepentingan lainnya. Sehingga semua institusi

tertinggi negara (MPR, DPR, BPK, Depernas, DPA, MA) kala itu praktis telah menjadi kepanjangan

tangan rejim orde baru melalui peraturan-peraturan organik. Dengan demikian kalau terjadi

penyalah-gunaan UU KKR tentu kepentingan para korban tidak akan terpenuhi.

Maka dari itu RUU KKR perlu disempurnakan secara serius, sehingga bisa menjawab dengan jelas

masalah-masalah penting antara lain:

- Mengapa tidak diadakan pembedaan antara kategori ―pelaku sebagai oknum‖ dan ―pelaku

sebagai negara/institusi‖ (Lih. Pasal 8 1b dan Pasal 13/3 RUU KKR ). Hal tersebut penting, sebab

dalam kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 terdapat bukti kuat bahwa negara/institusi telah

bertindak sebagai pelaku.

- Bagaimana kalau pelaku menolak mengakui tindakannya yang melanggar HAM. Apakah

kasusnya bisa dilanjutkan ke pengadilan HAM.

- Bagaimana kalau pelaku mengakui telah melakukan pelanggaran HAM, tetapi tidak mau

minta maaf,

- Bagaimana kalau pelaku mengakui melakukan pelanggaran HAM dan bersedia minta maaf,

tapi karena alasan tertentu korban tidak bersedia memberi maaf,

- Mengapa dalam RUU KKR tidak diatur pokok-pokok tentang amnesti, rehabilitasi,

kompensasi dan restitusi dalam kaitannya dengan rekonsiliasi berdasarkan UU KKR. Ketentuan-

ketentuan tentang hal tersebut di atas, harus dituangkan di dalam UU KKR, bukannya di dalam

peraturan-peraturan organik.

Meskipun proses kasus pelanggaran HAM dalam RUU KKR hanya merupakan kompromi untuk

tercapainya rekonsiliasi nasional perlu diperhatikan beberapa hal mendasar berikut:

1. Titik berat kepentingan Korban Pelanggaran HAM harus diposisikan dominan. Sebab para

korban adalah pihak yang telah menanggung penderitaan yang ditimpakan oleh para

pelanggar HAM selama puluhan tahun. Dengan diselenggaarakannya KKR mereka tidak

akan menerima keadilan penuh sesuai hukum yang berlaku. Maka keadilan ala RUU KKR

harus obyektif dan riil bisa dirasakan secara jasmaniah dan rohaniah oleh para korban.

Kalau tidak demikian, maka keadilan tersebut hanya bersifat semu, dan karenanya

rekonsiliasi nasional juga akan bersifat semu pula.

2. Masalah para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 harus tidak dicampur adukkan

dengan kasus para pelaku G30S. Kasus pelaku G30S secara hukum harus dituntaskan

melalui proses pengadilan, dimana sanksi hukum harus dijatuhkan kepadanya kalau

terbukti kesalahannya.

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland [email protected]

===========================================================

Dalam rangka menyongsong diadakannya peringatan 45 Tahun Tragedi berdarah tahun 1965/1966

yang akan dilangsungkan pada tanggal 2-3 Oktober 2010 di Diemen, Amsterdam, saya berusaha

menyiarkan ulang beberapa tulisan yang menyangkut peristiwa kejam pelanggaran HAM berat

tsb. Ini merupakan bagian (4/4) tulisan M.D.Kartaprawira, Ketua Lembaga Pembela Korban 65

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

46 | P a g e

(LPK65) negeri Belanda. Seperti diketahui peringatan ini akan dihadiri oleh berbagai kalangan dari

negeri Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Rep.Ceko dan Indonesia.

Slm: Chalik Hamid.

***********

From: gri. mhmd <[email protected]>

Subject: G30S ATAU GESTOK?

To: [email protected], "Dian Su" <[email protected]>,

[email protected], "iqbal putra" <[email protected]>, "grirolis" <[email protected]>,

"christian ginting" <[email protected]>, "griindonesia" <[email protected]>

Date: Monday, September 27, 2010, 10:13 PM

SEPTEMBER ATAU OKTOBER?

Apakah G30S yang sesuai dengan nama yang digunakan oleh para pelaku gerakan dan dibakukan

oleh Soeharto dengan tambahan ―/PKI‖ ataupun versi nama yang dimunculkan oleh Bung Karno

dengan nama GESTOK yang didasarkan pada kegiatan pembunuhan para jenderal dan langkah

terbuka yang dilakukan sebagai awal kemenangan Soeharto, kemudian sebagai momentum untuk

menghancurkan musuh-musuhnya. Itu pula sebabnya Soeharto menjadikan tanggal 1 Oktober

sebagai ―Hari Kesaktian (Hapsak) Pancasila‖. Dengan demikian, patutlah mereka memperingatinya.

Jika saya menggunakan kata G30S, maka buat saya bukan hal yang patut saya peringati, tapi

sebagai kenangan pahit dalam suasana keprihatinan, karena berjuta rakyat tidak berdosa menjadi

korban peristiwa itu. Untuk itu, maka bagi saya lebih mengedepanan renungan keprihatinan dan

melakukan koreksi, dimanakah kesalahan yang terjadi? Mengapa korban hingga begitu besar?

Adakah andil saya terhadap kesalahan didalam keluarga besar dari ―rumah tua‖ kita? Dapatkah

kita merasa bersih dari kesalahan pimpinan keluarga besar itu?

Saya juga salah seorang korban yang mengalami penangkapan, penyiksaan, penjara selama belasan

tahun. Bahkan sesudah lepas dari penjara lokal itupun saya masih harus mengalami penjara yang

lebih luas ditanah air dengan segala kesulitan dan rintangan yang harus dihadapi untuk bisa

bertahan hidup dan membangun keluarga. Tentu semua memahami, ―apa yang harus dikerjakan‖

dalam keadaan seperti itu tak perlu diucapkan disini. Tetapi saya tidak merasa sebagai ―korban

istimewa‖ dibanding dengan penderitaan seluruh rakyat di tanah air yang menjadi korban sistim

yang diciptakan orde baru bersama imperialisme hingga saat ini.

Apakah dengan mundurnya Soeharto dari singgasana kepresidenan dan kemudian dengan gerakan

reformasi lantas kita merasa bukan di era orde baru lagi? Saya berpendapat, sekarang ini kita

berada dalam era Orde Baru Babak Kedua, karena yang berubah hanyalah bentuknya, taktiknya.

Bukan pada perubahan sistim dan strateginya sebagai perkembangan dari imperialisme. Yang

berbeda hanyalah Soeharto dengan tindakan fasis militernya, sedangakan sekarang melalui

demokrasi kapitalisnya (semu, bukan demokrasi bagi Rakyat) dan negeri ini tetap menjadi neo-

kolonialisme/imperialism, dan sekarang juga masih begitu. Pemerintahan Soeharto adalah antek

atau boneka imperialis, lalu, apakah sekarang bukan antek atau boneka imperialis? Kalaupun

sekarang ini (demokrasi kapitalis) terdapat peluang bagi mereka yang berambisi menjadi bagian

dari penguasa di lembaga-lembaga Negara boneka imperialis, hal itu p a s t i tidak bisa

mengganti sistim pengabdi modal imperialis menjadi negeri dan masyarakat yang merdeka

sepenuhnya bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pikiran dan tindakan itu hanyalah untuk memperkaya

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

47 | P a g e

diri, menurut pendapat saya, bukankah justru mengajarkan kepada generasi muda menjadi kaum

oportunis? Mampukah mereka mencabut TAP MPRS 25 dan 30? Mampukah menghapus Undang-

undang Penanaman Modal Asing? Mampukah membuat Undang-undang yang menetapkan upah layak

dan hapusnya sistim kerja kontrak bagi kaum buruh?

Berjuang itu mutlak, tapi berharap bahwa penguasa boneka imperialis akan memenuhi tuntutan-

tuntutan para korban (istimewa?) mengenai masalah-masalah rehabilitasi, HAM, apalagi keadilah

bagi si penuntut, termasuk juga masalah impunity, maaf.., bagi saya sama saja saya bermimpi di

siang bolong.

Kebebasan dan kemenangan itu tidak akan dating, jika kita tidak mampu merebutnya.

Mengenang tragedi nassional 30 September sebagai keprihatinan atas kebiadaban orde baru dan

dan imperialism yang menjadikan Indonesia negeri dan masyarakat jajahan model baru. Itu

berarti bahwa setiap patriot harus berusaha membangun kembali nasionalisme dan patriotism

untuk membangkitkan kesadaran massa Rakyat, mengorganisasi Rakyat dan selanjutnya

memobilisasi Rakyat untuk mampu menghancurkan benteng penjajahan. Hal itu berarti harus ada

pemimpin-pemimpin baru yang lahir dari perjuangan Rakyat itu sendiri, bukan mengidam-idamkan

sosok pemimpin masa lalu.(nurman*)

**********

REFLEKSI : Seiring dengan 42 tahun Tragedi Nasional 1965, masalah pelanggaran berat HAM

menjadi masalah yang utama. Kita dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah seperti : G30S,

Pealanggaran berat HAM 1965 dan TAP MPRS No.XXV/1966, dan masalah ―reformasi― 1998

(tambahan dari saya); yang semuamnya itu membahayakan kehidupan bangsa dan negara dalam

bentuk-bentuk yang sangat mengejutkan, yaitu bentuk penjajahan model baru oleh imperialisme

neoliberal terhadap NKRI, yang dalam waktu singkat tak dapat dikembalikan lagi. Kita mempunyai

dokumentasi yang cukup tentang jangkauan yang hendak dicapai oleh masalah-masalah tersebut

diatas, yang antara lain seperti yang tercermin dalam tulisan yang berjudul : SEMAKIN GELAP,

JALAN KE KEBENARAN DAN KEADILAN oleh MD Kartaprawira.

Semakin kita pelajari masalah-masalah utama dizaman ―reformasi― kita, semakin kita sadari

bahwa masalah-masalah seperti G30S, Pelanggaran berat HAM 1965, TAP MPRS No.XXV/1966,

kudeta mearngkak dari jendral TNI AD Soeharto, dan masalah ―reformasi― 1998, semuanya itu

tidak dapat dimengerti secara terpisah antara satu sama laian. Masalah-masalah itu merupakan

masalah sistemik, artinya bahwa semuanya itu saling terkait dan tergantung satu sama lain.

Atas dasar semuanya itu, pelanggaran berat HAM di Indonesia, hanya mungkin dapat di

tuntaskan apa bila bangsa Indonesia mau melaksanakan Reformasi Sosial yang fundamental atau mendasar. Artinya merombak atau menjebol (Reetollin menurut istilah BK) semua tatanan-tatanan

sosial-politik yang bobrok, yang anti rakyat, anti Demokrasi dan anti pembangunan suatu

masyarakat yang adil dan makmur; warisan rezim otoriterisme militer Soeharto. Tatanan sosial

yang bobrok itu tercermin dalam badan-badan sbb:

1.Badan legislatif, yaitu DPR. Eksekutif (Pemerintahan) dan Judikatif (badan penegak hukum).

2.Alat-alat-kekuasaan negara-Angkatan Darat, Laut, Udara dan Polisi

3 Alat-alat produksi, dan distribusi

4.Organisasi-organisasi masyarakat, partai-partai politik, badan-badan sosial dan badan-badan

ekonomi yang lainnya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

48 | P a g e

Hanya dengan melakukan Reetooling tatanan sosial (dari 1 sampai 4) secara fundamental dan

sungguh-dungguh, barulah bisa diharapkan DPR akan benar-bnar bisa menjadi alat pembangunan

dan alat perjuangan dalam proses reformasi sosial yang fundamental atau mendasar, sehingga

memberikan kemungkian untuk membuka titik terang bagi kebenaran dan keadilan yang selama ini

gelap gilita.

Alat-alat kekuasaan negara seperti polisi dan militer harus di control; Karena militer dapat

menumbuhkan kekuasaan dwifungsi yang anti demokrasi, bisnis militer yang menumbuhkan oligarki

ekonomi dan konglomerasi, dan otoriterisme militer seperti yang kita alami dan hayati di era

rezim orde baru jilit ke I, yang telah memakan banyak korban manusia, yang merefleksikan

dirinya dalam bentuk; genosida, penyiksaan, pembuangan ke pulau Buru, penjebloskan ke penjara-

penjara, penghilangkan tanpa diketahui di mana rimbanya dan yang di luar negeri pencabutan

paspor - yang semuanya dilakukan tanpa proses hukum, seperti yang sudah diungkapkan oleh bung

MD Kartaprawira dalam tulisannya, yang terkait dibawah ini.

Sistem neoliberal yang dianut oleh rezim SBY di era ―reformasi― sekarang ini secara umum sama

sekali tak dapat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, kasus korupsi kakap seperti

skandal Bannk Century, tapi justru menumbuhkan bermacam-macam Mafia, seperti mafia

hukum,mafia pajak dan entah apalagi. Yang dampaknya tekah menjadikan hukum dan

ketatanegaraan di negara ini ambrul-adul, yang sangat menguntungkan bagi para pelanggar berat

HAM dan para koruptor kakap yang telah merampok uang negara dan rakyat.

Kesimpulam akhir, buang ilusi terhadap rezim SBY, dan siap berjuang untuk melakukan reformasi

sosial yang fundamental atau mendasar, sebagai syarat mutlak untuk menuntaskan pelanggaran

berat HAM dan KKN di selurh nusantara, dan untuk selanjutnya membuka jalam kesrah Demokrasi

termimpin yang mengikuti keteraturan-keteraturan Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 45 naskah

aseli, yang sudah kita setujui bersama.

Roeslan.

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr yang sampai sekarang sudah

dikunjungi lebih dari 645 480 kali = = = = = = = = = =

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/md-kartaprawira-semakin-gelap-jalan-

ke_15.html

SEMAKIN GELAP,

JALAN KE KEBENARAN DAN KEADILAN

(Menyambut Peringatan 42 Tahun Tragedi Nasional 1965)

Oleh MD Kartaprawira*

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

49 | P a g e

Amburadulnya sistim hukum peradilan HAM

Adalah sangat memprihatinkan bahwa telah berlalu 42 tahun tragedi nasional 1965 belum juga

mendapat perhatian dari penyelenggara negara untuk menuntaskannya. Bagaimana pun

kompleksnya masalah tragedi tersebut kita perlu memisahkan masalah-masalah lain yang

bersinggungan dengannya. Pencampur adukan masalah-masalah yang sangat kompleks, hanya akan

menambah ruwet benang yang sudah begitu ruwet untuk diuraikan. Akibatnya kita akan sukar

menampilkan solusi tepat demi penegakan kebenaran dan keadilan.

Maka dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965

paling tidak ada 3 hal yang perlu ditegaskan:

Pertama, masalah siapa dalang G30S

Sampai dewasa ini belum tuntas pembuktian siapa dalang G30S. Dari literatur-literatur yang

sudah terbit terdapat bermacam-macam versi tentang dalang G30S: PKI/Aidit, Suharto, CIA-

Dinas Intel. Inggris, Soekarno dll. Menurut pendapat saya siapa saja yang bersalah dalam

peristiwa tersebut harus bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku.

Kedua, masalah Pelanggaran HAM berat 1965 sendiri

Tidak tergantung siapa dalang G30S, dan lepas masalah G30S tuntas atau belum, pembunuhan

massal dan pembuangan serta penahanan ribuan orang tanpa dibuktikan kesalahannya adalah

pelanggaran HAM berat. Maka demi keadilan yang dijamin dalam UUD 45 masalah pelanggaran

HAM berat tersebut harus diselesaikan.

Ketiga, masalah TAP MPRS No.XXV/1966

Adalah kesalahan besar menjadikan TAP MPR XXV/1966 sebagai dasar untuk menghalalkan

pembantaian massal dan pembuangan/penahanan massal 1965-1967. Sebab TAP tersebut dengan

jelas hanya menyatakan pembubaran PKI serta onderbouwnya dan pelarangan ajaran marxisme-

leninisme, yang tidak dapat diartikan sebagai perintah pembantaian massal tersebut di atas.

Bahkan kalaupun PKI terbukti bersalah, pembantaian massal dan semacamnya tetap tidak dapat

dibenarkan dan merupakan kejahatan kemanusiaan. Watak otoriter rejim Orde Baru berbeda

seperti bumi dan langit dibandingkan dengan kebijakaan Soekarno, di mana ketika Partai Sosialis

Indonesia dan Masyumi dibubarkan karena terbukti tersangkut dalam pemberontakan PRRI-

Permesta, toh tidak terjadi pembunuhan terhadap anggota-anggota kedua partai tersebut,

apalagi pembantaian massal.

Pelanggaran HAM berat masa lalu (dari kasus pembantaian 1965 sampai kasus trisakti) adalah

suatu fakta yang tak terbantahkan oleh siapa pun. Namun kasus pelanggaran HAM 1965 perlu

digaris-bawahi berhubung korbannya berjumlah jutaan manusia -- dibunuh, disiksa, dibuang ke

pulau Buru, dijebloskan ke penjara-penjara, dihilangkan tanpa diketahui di mana rimbanya dan

yang di luar negeri dicabuti paspornya - yang semuanya dilakukan tanpa proses hukum. Tapi

kenyataannya pelanggaran HAM berat masa lalu (1965) tersebut sampai saat ini tidak mendapat

penyelesaian dari penegak hukum negara Indonesia yang berdasarkan UUD dinyatakan sebagai

negara hukum.

Maka dari itu, seharusnya penyelenggara negara RI , terutama organ yudikatif, di era ―reformasi‖

merasa malu besar atas ketidak-mampuannya berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah

pelanggaran HAM berat tersebut dan atas ketidak mampuannya membuktikan bahwa Indonesia

negara hukum. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan UU Pengadilan HAM ad Hoc No.26 Tahun

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

50 | P a g e

2002 yang sampai detik ini tidak diterapkan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM

berat berkaitan peristiwa 1965. Padahal pasal 43 menyatakan tentang berlakunya prinsip

retroaktif terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Tapi mengapa kasus pelanggaran HAM berat

1965 tidak pernah diajukan ke pengadilan oleh kejaksaan?

Apalagi kejahatan (pelanggaran) HAM berat 1965 bukanlah delik aduan, sehingga penuntutannya

bisa dilakukan kejaksaan/jaksa agung tidak tergantung dari adanya aduan pihak korban.

Kenyataannya telah 42 tahun kasus tersebut diterbengkalaikan oleh penegak hukum, meskipun

telah banyak dilancarkan kritikan di media massa dan tuntutan dari para korban mengenai kasus

tersebut. Penegak hukum tetap membisu dan membuta. Apakah hal tersebut bukan tragedi hukum

dan keadilan? Jawabnya tegas: Tragedi hukum dan keadilan. Pantaskah mereka disebut penegak

hukum kalau nyatanya berperi laku mempertahankan impunitas? Jawabnya tegas: Tidak

pantas!.Penyelesaian di pengadilan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara fakta telah macet

(atau sengaja dimacetkan?).

Maka perlu direkayasa jalan keluar yang indah kedengarannya - Jalan Rekonsiliasi. Dengan

Rekonsiliasi tersebut diharapkan ditemukan keadilan yang "menguntungkan" kedua belah pihak

(pelaku dan korban), di mana pelaku mendapat amnesti - tidak dihukum, sedang korban

mendapatkan rehabilitasi hak-hak politik-sipil dan kompensasi. Rekonsiliasi yang demikian intinya

adalah suatu modus win-win - jalan kompromis dua kepentingan yang direkayasa dengan aroma

machiavelistik untuk menyelamatkan impunitas. Dengan dikeluarkannya UU No.27/2004 tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) sesungguhnya usaha penegakan keadilan sejati telah

gagal. Sebab keadilan yang timbul adalah keadilan yang tidak utuh, di mana sebagian keadilan

terpaksa harus dikorbankan untuk kompromi.

Berkaitan dengan masalah rekonsiliasi, timbul teori ―transitional justice‖ (keadilan transisional),

yaitu keadilan yang timbul dalam masa transisi dari era diktatur-totaliter ke masa demokrasi.

Tapi benarkah keadilan pada masa peralihan dari era diktatur-totaliter ke masa demokrasi mesti

lahir dari rekonsiliasi, dan karenanya keadilan yang lahir dari rekonsiliasi tersebut suatu keadilan

yang dikehendaki korban? Dari hal tersebut di atas penulis menolak teori transitional justice, di

mana seakan-akan rekonsiliasi merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Sebab

dalam apa yang dinamakan masa transisi tersebut tidak selalu timbul modus rekonsiliasi untuk

mencapai keadilan. Contoh, pada masa transisi setelah rejim Nazi Jerman jatuh tidak diperlukan

adanya rekonsiliasi. Tapi keadilan diwujudkan melalui pengadilan Neurenberg terhadap semua

tokoh-tokoh Nazi. Bahkan sampai dewasa ini tokoh-tokoh Nazi yang masih bersembunyi terus

dicari dan dikejar untuk ditangkap dan diadili. Tidak ada Rekonsiliasi sebagai modus timbulnya

transitional justis. Begitu juga tidak ada rekonsiliasi terhadap Slobodan Milosovic dan tokoh-

tokoh lainnya, yang masih terus dalam perburuan oleh pengadilan internasional Yugoslavia.

Memang kita perlu menyadari bahwa peta politik orde baru di Indonesia secara esensi belum

berubah, meskipun Suharto sudah turun panggung. Sehingga penyelesaian ala pengadilan

Neurenberg dan Pengadilan Yugoslavia tidak mungkin dilakukan, meskipun sudah dibentuk UU

tentang Pengadilan HAM. Bahkan UU KKR yang demikian wujudnya pun sesungguhnya tidak

diterima dengan lapang dada oleh ―mayoritas‖ kekuatan politik. Hal itu tampak dari pembentukan

dan pelaksanaan UU KKR yang tersendat-sendat , sampai akhirnya dibatalkan oleh Mahkmamah

Konstitusi. Padahal UU KKR tidak sepenuhnya menjamin keadilan bagi para korban, hanya sebagai

celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh para korban.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

51 | P a g e

Kenyataannya rekonsiliasi yang machiavelistik tersebut hanya sebagai alat manuver politik orba

dalam masa transisi untuk konsolidasi kekuatan dan memacetkan upaya menegakkan kebenaran

dan keadilan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa UU KKR sesungguhnya bisa digunakan oleh

para korban sebagai celah-celah untuk memperjuangkan keadilan tertentu.Memang benarlah

pepatah: kalau tidak ada nasi, singkong pun jadi. Para peduli HAM dan para korban (tidak

semuanya) melihat realitas tersebut. Pengungkapan Kebenaran dan Penegakan Keadilan

(bersamaan dengan itu korban mendapatkan rehabilitasi hak-hak sipil dan politiknya, rian

restitusi, kompensasi,dll) dijdikan kunci menuju rekonsiliasi, sebagai sisi positif. Maka UUKKR

tersebut diterima sebagai salah satu jalan yang relatif bisa memberi keadilan, lebih dari itu sukar

untuk dicapai mengingat peta politik dewasa ini masih berjiwa orde baru.

Kemenangan yang identik kekalahan total

Seperti kita ketahui di dalam UUKKR yang lalu terdapat pasal-pasal yang merugikan kepentingan

para korban, terutama Pasal 27 UUKKR di mana restitusi, kompensasi dll. bisa diberikan kepada

korban kalau pelaku mendapat amnesti. Seharusnya kalau kebenaran sudah terungkap: pelaku

telah mengakui melakukan pelanggaran HAM dan minta maaf, maka korban otomatis harus

mendapat restitusi-kompensasi-rehabilitasi, tidak tergantung adanya amnesti kepada pelaku.

Pasal-pasal yang merugikan korban inilah yang oleh para LSM dan para korban diajukan kepada

Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review.Tapi di samping itu terdapat kelompok lain

yang juga mengajukan judicial review terhadap Pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka melihat bahwa pelaku pun tidak mendapatkan kepastian hukum untuk mendapat amnesti,

meskipun dia telah mengakui melakukan pelanggaran HAM dan telah meminta maaf atas

perbuatannya. Sebab pemberian amnesti adalah hak presiden (setelah menerima pendapat DPR),

yang mana belum tentu presiden memutuskan memberikannya. Jadi disimpulkan UUKKR tidak

menjamin adanya kepastian hukum dan hal itu akan berakibat macetnya UUKKR secara

operasional. Maka MK memutuskan UUKKR bertentangan dengan UUD 45 dan menyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dengan pembatalan UUKKR keseluruhannya timbul pertanyaan: apakah MK tidak melakukan

keputusan di luar apa yang dituntut oleh pemohon yudicial review? Jawabannya jelas: MK telah

membuat putusan di luar tuntutan pemohon yudicial review. Putusan tersebut adalah cacat hukum,

harus dianggap tidak sah. MK seharusnya hanya membatalkan pasal-pasal tertentu sesuai yang

dimintakan untuk direview.Hal tersebut sangat berbahaya sekali dalam sistem hukum di

Indonesia. Apalagi keputusan MK adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, tidak ada instansi

yuridis yang lebih tinggi berhak memeriksa dan mengontrol atas putusannya. Tidak salah orang

mengatakan MK adalah diktator dalam sistem hukum di Indonesia.

Masalahnya, pembatalan UUKKR oleh Mahkamah Konstitusi tersebut menguntungkan atau

merugikan korban?Ternyata dengan pembatalan UU KKR timbangan menunjukkan bahwa yang

diuntungkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut: yaitu para pelaku pelanggaran HAM,

bukannya para korban. Nasib sial telah menimpa para korban yang sesungguhnya hanya

menginginkan supaya pasal-pasal tertentu yang merugikan kepentingannya saja yang dimintakan

judicial review dan dibatalkan. Tapi Mahkamah Konstitusi justru membatalkan keseluruhan

UUKKR. Hapuslah secercah harapan para korban untuk mendapatkan Kebenaran dan Keadilan. Dan

gagallah hukum di Indonesia membela keadilan dan berlanjutlah untuk berapa tahun lagi para

korban harus menanggung derita. Dengan demikian perjuangan untuk menegakkan Kebenaran dan

Keadilan terpaksa harus dimulai dari NOL lagi.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

52 | P a g e

Tidak salah kalau dikatakan bahwa keputusan MK tersebut kebablasan (atau memang ada

rekayasa untuk dibablaskan?), meskipun dengan alasan pro bono publico – untuk kepentingan

umum, suatu klausul yang selalu dipakai penguasa dengan akibat kerugian bagi rakyat. Kalau

mengingat peta politik Indonesia dewasa ini, maka jalan menuju ke Kebenaran dan Keadilan

menjadi tambah lebih gelap dan lebih panjang sekali. Dan bertepuk tangan bahagialah para

pelanggar HAM berat 1965.

Bom waktu Pasal 28(I) UUD 45 (Amandemen)

Tetapi masalah tersebut tidak berhenti di situ saja. Kekalahan total akibat pembatalan UU KKR

tersebut para korban tragedy nasional 1965 masih menghadapi bayang-bayang ―kekalahan‖ lagi

berhubung dengan dicantumkannya azas nonretroaktif dalam pasal 28 (i) UUD 45 (Amandemen).

Tepatlah kalau Pasal 28 (i) tersebut dikatakan sebagai bom-waktu yang meledak pada waktu yang

mereka tentukan. Bahkan ditegaskan dalam pasal tersebut bahwa pemberlakuan asas retroaktif

adalah suatu pelanggaran HAM.

Asas non-retroaktif adalah suatu ketentuan imperatif dalam konstitusi yang tidak dapat

dilanggar. Jadi berdasarkan pasal 28 (i) UUD 45 kasus-kasus pelanggaran HAM yang timbul

sebelum pasal tersebut timbul (berkaitan Peristiwa 1965, Tanjung Priok, Jalan Diponegoro,

Semanggi dan lain-lainnya) secara yuridis tidak dapat diadili. Banyak orang masih berilusi dan

bermimpi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa diselesaikan melalui Pengadilan

HAM ad hoc berdasarkan Pasal 43 ayat 1 yang memberlakukan asas retroaktif. Mereka tidak

menyadari(atau tidak mau tahu) bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 45

(Amandemen), yaitu Pasal 28(i). Jadi kalau sampai kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu

diproses di pengadilan, maka pelaku pelanggaran HAM (cq. advokatnya) tentu akan melakukan

pembelaan berdasarkan asas non-retroaktif dalam pasal 28(i) UUD 45. Bahkan kalau keputusan

pengadilan memenangkan korban, pelaku pelanggaran HAM akan mengajukan judicial review ke

Mahkamah Konstitusi. Dan Mahkamah Konstitusi tentunya akan membatalkan UU No. 26 Tahun

2000 Pengadilan HAM ad hoc, setidak-tidaknya Pasal 43 ayat 1, yang memberlakukan asas

retroaktif, sebab jelas bertentangan dengan UUD 45. Jadi Pasal 28(I) UUD 45 tersebut praktis

merupakan bom waktu yang akan meledak untuk membumi hanguskan tuntutan korban pelanggaran

HAM berat masa lalu baik di pengadilan, maupun di Mahkamah Konstitusi sebagai putusan judicial

review.

Perlu ditekankan, baik pengadilan biasa maupun pengadilan ad hoc tidak boleh bertentangan

dengan UUD 45 - pasal 28 (i). Jadi apabila Pasal 28(i) tidak dirubah, -- seperti yang saya usulkan

dalam artikel "Gelapnya jalan menuju ke Kebenaran dan Keadilan", Milis Nasional (nasional-list) 02

Oktober 2005 --, dengan menambah klausul: "kecuali pelanggaran HAM berat yang diatur

selanjutnya dengan UU", maka kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara yuridis tidak

mungkin bisa diselesaikan melalui pengadilan.

Tapi masalah Pasal 28 (i) UUD 45 tersebut sejak dari Rancangan Amandemen UUD 45 sampai

disahkannya sebagai pasal resmi bagian UUD 45 oleh para peduli HAM dan para pakar hukum

tidak (kurang sekali) dijadikan obyek bahasan serius. Padahal implikasinya terhadap sistem hukum

di Indonesia besar sekali, sehingga impunity tetap tidak mendapat gangguan sedikitpun, dan

pelaku pelanggaran HAM berat terus tidur nyenyak dan jalan leha-leha ke mana mau. Nah

mengapa terjadi demikian?Dari hal-hal tersebut di atas kiranya nampak jelas bahwa dalam

masalah penuntasan pelanggaran HAM berat 1965 digunakan skenario sandiwara siluman lihai, di

mana korban disetting selalu kalah:- Ada UU Pengadilan HAM, tapi kasus pelanggaran HAM berat

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

53 | P a g e

1965 tidak pernah diangkat dan diproses di pengadilan. - Kalau akhirnya kasus tersebut diproses

juga di Pengadilan HAM, maka akan diruntuhkan dengan memakai Pasal 28 (i) UUD 45 oleh MK

atas permohonan yudisial review dari pelaku.-

Karena penyelesaian melalui Pengadilan HAM sudah dimacetkan, maka dibuatkanlah UU KKR yang

juga di-setting untuk macet pula, karena banyak kelemahannya. Makanya MK dengan mudah

membatalkan UU KKR. Nah, dengan demikian korban terus menerus mengalami kekalahan. Yang

perlu kita perjuangkan saat ini:

Jangka panjang:

Dengan ulet dan tegas memperjuangkan perubahan peta politik yang sampai dewasa ini masih

bermental orba – anti HAM dan demokrasi -- menjadi peduli HAM, keadilan dan demokrasi sesuai

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian Pancasila tidak hanya di bibir saja,

tapi diwujudkan perbuatan konkrit dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Inilah yang

perlu dengan sadar diperjuangkan seluruh rakyat Indonesia, apalagi kita sudah tidak mempunyai

Soekarno, sedang orang-orang seperti Mandela, Chaves, Morales belum nampak di kancah

perpolitikan di Indonesia.Memperjuangkan agar Pasal 28 (i) UUD 45 dirubah (diamandir) sehingga

berbunyi sebagai berikut:"......hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,

kecuali mengenai pelanggaran HAM berat yang diatur dalam undang-undang adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Jangka pendek:

Sebelum UU KKR baru terbentuk, maka presiden harus segera mengeluarkan "Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tentang KKR" dengan memperhatikan Keputusan

Mahkamah Konstitusi agar wacana KKR bisa menjadi kenyataan dan berfungsi menegakkan

Kebenaran dan Keadilan. Inilah celah-celah legal dan jalan singkat yang mungkin bisa

diperjuangkan secara riil. Sebab kalau menunggu dibentuknya Undang-undang tentang KKR tentu

membutuhkan waktu panjang bertele-tele.

Di samping mengeluarkan PERPU tentang KKR, Presiden sebagai pemegang hak prerogative

tentang pemberian amnesti, harus juga mengeluarkan Keputusan Presiden tentang pemberian

amnesti umum kepada para pelaku yang telah dengan jujur mengungkap dan mengakui bersalah

melakukan perbuatan melanggar HAM dan menyatakan minta maaf kepada korban di dalam Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dengan demikian proses dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

akan berjalan baik.Masyarakat peduli HAM, demokrasi dan keadilan terutama lembaga-lembaga

yang berkecimpung dalam masalah HAM, harus proaktif mendukung segala upaya tentang

terbentuknya PERPU KKR dan kemudian UU KKR.

Dengan pengalaman keputusan MK tentang pembatalan UU KKR kiranya para korban dan kalangan

LSM perlu mawas diri dan brtindak cermat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di

masa mendatang, sehingga dengan demikian tuntutan-tuntutannya tidak menjadi boomerang

terhadap diri sendiri yang merugikan secara total.

Diemen, Nederland, 30 September 2007

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban '65, Nederland.

Mengenang peristiwa 30 September 1965

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

54 | P a g e

Suharto tidak patut diberi gelar pahlawan nasional

Mohon ma‘af terlebih dulu kepada para pembaca bahwa dalam tulisan untuk mengenang peristiwa

30 September 1965 kali ini, banyak digunakan ungkapan-ungkapan yang barangkali kedengaran

terlalu kasar, tidak sepatutnya, atau bahkan kelewatan tidak senonohnya. Sebab, tulisan ini

memang merupakan ledakan emosi atau letupan kemarahan setelah membaca berita bahwa daerah

Jawa Tengah akan mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada

Suharto.

Berita tersebut disiarkan oleh Suara Pembaruan tanggal 23 September 2010 (artinya, seminggu

sebelum tanggal peristiwa 30 September), yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

« Tim penilai pengkaji gelar pahlawan pusat tengah mengkaji 19 dari 30 tokoh yang diusulkan

daerah untuk diberi gelar pahlawan nasional. Di antara deretan nama tersebut, Gus Dur dan

Soeharto masuk nominasi pemberian gelar pahlawan. Tim penilai pengkaji gelar pahlawan tersebut,

terdiri dari 13 orang yang berasal dari kalangan Masyarakat Sejarah Indonesia, akademisi,

Arsip Nasional, dan Pusat Sejarah TNI.

Direktur Kepahlawanan Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Kementerian Sosial (Kemsos),

Suyoto Sujadi mengatakan, nama-nama tersebut, masih dikaji mendalam oleh tim, lalu diverifikasi

Menteri Sosial untuk selanjutnya diserah ke Dewan Gelar di bawah naungan Presiden."Semua

nama tersebut, masih dalam proses penggodokan di antaranya mantan presiden Gus Dur,

Soeharto, Johanes Leimena, dan Ali Sadikin.

Gus Dur, tambah Suyoto, diusulkan dari daerah Jawa Timur, Soeharto dari Pemerintah Jawa

Tengah. Sedangkan Jawa Barat mengusulkan lima nama, di antaranya Laksmi Ningrat. Nama-nama

lain yang juga dinominasikan adalah Pakubowono X dan Kraeng Galengsong. Kriteria penting dalam

menobatkan gelar pahlawan nasional menurutnya, sang tokoh harus memiliki bobot perjuangan

yang terukur, baik skala lokal maupun nasional » (kutipan selesai).

Suharto tidak patut disebut pahlawan nasional.

Mungkin banyak orang yang terheran-heran membaca dalam berita di atas bahwa masih ada

orang-orang yang menganggap bahwa Suharto pantas diberi penghargaan dengan gelar pahlawan

nasional. Terlepas dari apakah orang-orang yang mengusulkan supaya Suharto diberi gelar

pahlawan nasional itu waras nalarnya, ataukah sehat jiwanya, usul itu sendiri adalah betul-betul

gila !

Sebab, sekarang makin banyak orang dari berbagai kalangan atau golongan yang makin sadar atau

bahkan yakin bahwa Suharto adalah petinggi Angkatan Darat, yang melakukan insubordinasi

(pembangkangan) terhadap Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, dan mendongkel Presiden

Sukarno dari kedudukannya melalui kudeta, kemudian membunuh pemimpin bangsa ini dengan

menterlantarkannya secara tidak manusiawi dalam keadaan sakit parah selama dalam tahanan.

Orang yang semacam ini tidaklah pantas sama sekali disebut sebagai pahlawan bangsa !

Banyak orang masih belum lupa bahwa selama sedikitnya 32 tahun Suharto sudah memalsu dan

menyalahgunakan Pancasila, sehingga Pancasila dibenci orang banyak (ingat Penataran P4). Ia juga

sudah melarang disebarkannya ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Dengan politiknya « de-

Sukarnoisasi » yang menyeluruh ia sudah membunuh jiwa revolusi rakyat Indonesia, dan merusak

jiwa revolusioner bangsa. Ini berarti bahwa ia sudah mengkhianati bangsa. Karenanya, ia tidaklah

pattut sama sekali disebut sebagai pahlawan bangsa !

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

55 | P a g e

Kalau kita amati situasi negara dan bangsa dewasa ini, yang penuh dengan kebejatan moral,

korupsi yang mengganas di kalangan atas dan juga kalangan bawah, maka nyatalah bahwa keadaan

yang membusuk ini adalah akibat langsung atau produk Orde Baru di bawah pimpinan Suharto.

Suharto adalah perusak Republik Indonesia. Ia bukanlah seorang pahlawan nasional. Melainkan

pengkhianat nasional.

Apakah Suharto memang punya bobot perjuangan?

Disebutkan (dalam berita itu) bahwa « Kriteria penting dalam menobatkan gelar pahlawan nasional

sang tokoh harus memiliki bobot perjuangan yang terukur, baik skala lokal maupun nasional ». Lalu,

apakah memangnya Suharto memiliki bobot perjuangan yang terukur, baik skala lokal maupun

nasional Apakah pengkhianatannya terhadap Bung Karno bisa dikategorikan sebagai bobot

perjuangan skala nasional ?

Bobot perjuangan Suharto sama sekali tidak nampak ketika ia memimpin Orde Baru. Perjuangan

apa atau terhadap siapa ? Terhadap kolonialisme atau imperialisme ? Sama sekali tidak ! Yang

jelas dan pasti adalah banwa ia gigih dalam perjuangan terhadap seluruh kekuatan yang

mendukung Bung Karno, yang terdiri dari golongan revolusioner, termasuk golongan PKI. Puluhan

juta orang di antara mereka telah diterror, diintimidasi, dibunuhi, dipenjarakan, didiskriminasi,

disengsarakan (termasuk keluarga-keluarganya). Jadi, Suharto bukanlah pemersatu bangsa,

melainkan sebaliknya, ia adalah perusak persatuan bangsa.

Mengingat itu semua, usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Suharto jelas bisa

menyakitkan hati banyak orang, yang pernah menjadi korban rejim militer yang dipimpinnya.

Terutama dari kalangan pendukung politik Bung Karno dan dari golongan kiri pada umumnya. Hal

yang demikian adalah wajar, atau adalah manusiawi.

Menolak gelar pahlawan untuk Suharto adalah adil

Menolak atau menentang diberikannya gelar pahlawan kepada Suharto bukanlah sikap yang salah

atau buruk, baik dilihat dari segi moral atau adat-istiadat maupun dari segi apa pun lainnya. Tidak

juga berarti bahwa tidak menghargai jasa-jasanya kepada bangsa dan negara. Menolak atau

menentang diberikannya gelar pahlawan nasional adalah adil, dan berdasarkan nalar yang waras,

dan bersumber dari hati nurani kemanusiaan.

Sebab, menyetujui diberikannya gelar pahlawan kepadanya akan berarti mengakui bahwa apa yang

dilakukan Suharto adalah benar. Pemberian gelar pahlawan kepadanya berarti bahwa

pendongkelannya terhadao kedudukan Bung Karno, dan perusakannya terhadap Pancasila dan

tujuan revolusi 45 adalah tindakan-tindakan yang baik. Yang lebih parah lagi, adalah bahwa

pembunuhan massal terhadap jutaan orang tidak bersalah serta pemenjaraan begitu banyak orang

lainnya (yang tidak bersalah apa-apa juga !!!) adalah tindakan Suharto yang dianggap tidak salah

sama sekali. Wajarlah, kalau karenanya, ada orang-orang yang ngomel : « Orang yang begitu kok

disebut pahlawan ! »

Kalau sudah begini, apa sajakah yang harus dikatakan mengenai jiwa atau hati nurani orang-orang

Indonesia ? Bukankah ini menunjukkan jiwa yang sakit, atau nalar yang tidak beres, atau hati yang

sudah membusuk ? Atau, dengan kalimat lain, lalu negara apa namanya yang begini ini ? Orang yang

embunuh -- atau menyuruh bunuh -- begitu banyak orang, apalagi bangsanya sendiri, diangkat

sebagai pahlawan !!! Sungguh, sulit dimengerti bagi orang yang waras otaknya dan bersih hatinya.

Apakah betul rakyat Jawa Tengah mengusulkannya ?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

56 | P a g e

Pengangkatan Suharto sebagai pahlawan nasional juga akan berarti bahwa praktek KKN yang

sudah begitu terkenal di Indonesia dan juga di luarnegeri sudah dianggap tidak soal lagi atau

dima‘afkan saja. Meskipun sebagian besar rakyat Indonesia, sebenarnya, tidak akan bisa lupa

kepada dosa-dosa besarnya. Jadi wajarlah bahwa rakyat tidak akan membiarkan orang yang

begitu itu dijadikan pahlawan nasional.

Soal lainnya lagi, adalah pernyataan bahwa daerah Jawa Tengah mengusulkan supaya Suharto

diberi gelar pahlawan nasional. Apakah betul rakyat Jawa Tengah mengusulkannya ? Siapa-siapa

saja yang katanya mengusulkannya ? Sebab, sejarah sudah membuktikan bahwa dalam masa-masa

yang lalu Jawa Tengah adalah daerah basis utama kekuatan pendukung Bung Karno dan juga

kekuatan revolusioner umumnya, termasuk golongan PKI. Itu sebabnya, korban penindasan Orde

Baru (antara lain : pembunuhan massal, pemenjaraan, persekusi-persekusi lainnya) juga besar

sekali di Jawa Tengah. Karena itu pula, patut sekali diragukan bahwa rakyat Jawa Tengah

mengajukan usul yang begitu aneh itu.

Kalau Suharto dijadikan pahlawan, maka akan merupakan soal yang bisa dipertanyakan oleh

generasi-generasi yang akan datang, karena mereka toh akan tahu juga bahwa era rejim militer

Orde Baru yang 32 tahun itu adalah era yang merupakan noda hitam dalam sejarah bangsa. Jadi

mereka bisa menjadi malu bahwa orang yang begitu kualitasnya toh bisa dihormati sebagai

pahlawan oleh generasi pendahulunya.

Kalau Suharto diangkat sebagai pahlawan, maka banyak orang akan mengutuk atau menghujat

orang-orang yang terlibat dalam proses pengusulan dan pemutusannya, baik di tingkat daerah

maupun tingkat pusat. Pengutukan atau penghujatan terhadap orang-orang yang terlibat dalam

kasus yang bisa menjadi skandal besar bangsa ini adalah benar, adil dan luhur. Sebab, rakyat atau

bangsa kita haruslah bersikap adil terhadap kasus Suharto, tetapi juga harus adil terhadap

mereka yang sudah paling sedikitnya 32 tahun menderita berbagai politiknya.

Suharto tidak mempunyai moral perjuangan untuk rakyat

Sekarang kita sama-sama melihat dari sejarah, bahwa berlainan sama sekali dengan Bung Karno,

maka Suharto bukanlah seorang yang mempunyai gagasan-gagasan besar atau karya-karya penting

bagi perjuangan bangsa. Suharto juga tidak memiliki moral perjuangan untuk rakyat setinggi

moral Bung Karno.

Kalau Bung Karno sudah menyumbangkan kepada bangsa Indonesia karya-karya besarnya seperti

Indonesia Menggugat, pidatonya tentang lahirnya Pancasila, kumpulan pidato-pidatonya dalam

buku Dibawah Bendera Revolusi, Konferensi Bandung, Trisakti, pidato di PBB To build the World

Anew, maka Suharto dalam 32 tahun tidak menghasilkan karya atau pemikiran yang benar-benar

berbobot bagi sejarah bangsa.

Kalau Bung Karno sudah terbukti dalam sejarah bahwa ia pemersatu bangsa, dan dengan gigih

berjuang untuk nation and character building, patriotisme dan internasionalisme revolusioner,

maka Suharto sudah terbukti sebagai perusak persatuan rakyat, sebagai pembusuk character

building bangsa, dan pengkhianat internasionalisme revolusioner.

Mengingat itu semua, maka gagasan atau usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada

Suharto haruslah ditentang atau dilawan besar-besaran oleh berbagai golongan dalam masyarakat

Indonesia. Usul semacam itu hanya akan mendatangkan berbagai hal negatif bagi rakyat.

Karenanya, perlawanan ini perlu dilakukan demi kebaikan bangsa kita seluruhnya, termasuk bagi

anak cucu kita di kemudian hari.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

57 | P a g e

Gelar pahlawan untuk Suharto tidaklah mendatangkan kebaikan bagi persatuan bangsa. Sebagian

besar dari rakyat tidak merasa perlu dengan adanya penamaan yang begitu tinggi terhadap orang

yang telah begitu besar membikin kerusakan, pembusukan, dan kebobrokan kepada bangsa dan

negara. Bahkan, sebaliknya, yang justru pantas diberikan kepada Suharto adalah pengkhianat

bangsa !

Paris, 26 September 2010

1.. Umar Said

= = = = == =

Dalam rangka mengenang peristiwa 30 September 1965 mohon pendapat Anda terhadap tulisan di

atas. Pendapat Anda bisa Anda sampaikan melalui E-mail dan siarkan di berbagai mailing-list untuk

diketahui publik secara luas, atau hanya disalurkan melalui japri (jalur pribadi) untuk pengetahuan

saya pribadi saja, dan tidak untuk disiarkan. Apa pun atau bagaimana pun pendapat Anda mengenai

soal yang dibahas dalam tulisan di atas adalah berguna untuk diketahui.

Terimakasih,

Sumber: http://pemudaindonesiabaru.blogspot.com/2009/09/renungan-tentang-g30spki-dan-

orde-baru.html

Kamis, 10 September 2009

Renungan Tentang G30s/PKI dan Orde Baru

Renungan Tentang G30s/PKI dan Orde Baru - Rejim militer Orde Baru yang dikepalai Suharto

selama 32 tahun telah memerintah dengan mentrapkan berbagai macam "peraturan perundang-

undangan gila ", yang ditujukan bagi para eks-tapol atau orang-orang yang pernah ditahan, yang

menurut Kopkamtib berjumlah 1.900 000 orang. Peraturan perundang-undangan yang paling

sedikitnya ada 30 macam ini, memang terutama sekali berlaku bagi seluruh anggota PKI dan

ormas-ormas yang bernaung di bawah PKI. Namun, dalam prakteknya banyak sekali orang yang

tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI pun ikut-ikut menderita kesulitan dengan adanya berbagai

peraturan yang aneh-aneh itu.

Seperti kita ingat atau kita ketahui ada peraturan " Surat bebas G30S "bagi orang yang melamar

pekerjaan. Bahkan, ada yang untuk sekolah pun diharuskan punya surat ini. Ada pula peraturan

yang gila juga, yaitu apa yang dinamakan "bersih lingkungan " Artinya, kalau ada orang yang salah

satu saja di antara sanak-saudaranya yang diduga atau dituduh dekat dengan PKI atau organisasi-

organisa si kiri maka ia akan mendapat berbagai kesulitan.

Istilah « tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi

G30S/PKI » merupakan momok yang mengancam banyak orang selama puluhan tahun. Bahkan, yang

lebih gila lagi, adalah bahwa ancaman ini berlaku juga bagi anak-cucu mereka, walaupun mereka

jelas-jelas sekali tidak tahu menahu sama sekali dengan G30S.

Dengan membaca kembali bahan dari LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim

Orde Baru) di bawah ini kita melihat bahwa rejim militer Suharto sudah melakukan kejahatan

besar sekali, dengan membikin peraturan atau perundang-undangan yang diskriminatif dan

menyusahkan banyak orang, dan selama puluhan tahun pula ! Dalam hal ini peran Golkar adalah

sama saja busuknya atau jahatnya dengan golongan militer. Dosa-dosa besar Golkar tidak bisa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

58 | P a g e

dipisahkan dengan dosa para pimpinan militer pendukung Suharto. Golkar dan kontra-revolusi yang

dibenggoli oleh Suharto adalah satu dan senyawa.

Silakan para pembaca menyimak kembali dan merenungkan dalam-dalam berbagai hal yang

diutarakan oleh dokumen LPR KROB bulan September 2006, yang berikut di bawah ini.

Tragedi 65/66

Tragedi 65/66 terjadi 41 tahun yang lalu. Rangkaian peristiwa yang saling berkaitan antara yang

satu dengan lainnya. Dilaksanakan tahap demi tahap untuk memuluskan tercapainya tahapan

terakhir. Terkenal dengan kudeta merangkak.G30S 1965. Dalam peristiwa ini mengakibatkan

korban dibunuh, 6 orang jenderal dan 1 orang perwira.

Tragedi 65/66, Pembantaian Massal

Tanggal 17 Oktober 1965 pasukan elite RPKAD dipimpin Kolonel Sarwo Edhi Wibowo menuju Jawa

Tengah. Tanggal 22 Oktober 1965 terjadi pembantaian massal selama dua minggu di Jawa

Tengah; diteruskan di Jawa Timur selama satu bulan dan kemudian beralih di Bali. Di Sumatera

Utara pembantaian dilaksanakan 1 Oktober 1965. Pembantaian yang sama terjadi di daerah lain di

Indonesia.

Penyalahgunaan SP (Surat Perintah) 11 Maret 1966

Penerima SP, Soeharto menyalahgunakan SP 11 Maret 1966 oleh pemberinya, Soekarno. SP 11

Maret 1966 adalah pendelegasian kekuasaan (delegation of authority) tetapi ditafsirkan oleh

penerimanya, Soeharto, sebagai pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Beranjak dari

pengertian yang salah ini, digunakan oleh Soeharto untuk menangkap menteri, pembantu setia

Bung Karno, dengan alasan diamankan. Tidak hanya para menteri, tetapi pengikut Bung Karno dari

partai-partai nasional dan Islam, 125 ormas buruh, tani, wanita, pemuda, pelajar/mahasiswa,

seniman/sastrawan, guru, pamong desa, etnis Tionghoa, semuanya dilibas.

Kudeta terhadap Presiden RI yang sah, Soekarno Tahapan akhir rangkaian peristiwa ini adalah

tujuan sebenarnya yang dituju. Kudeta Presiden RI yang sah, Soekarno. Melalui MPRS yang sudah

dibongkar-pasang agar dianggap konstitusional, Soeharto diangkat menjadi Presiden RI pada

tahun 1967.Kudeta merangkak ini didukung sepenuhnya oleh CIA (AS).

Sukses di Jakarta ada kemiripan dengan kejadian di Cile 1970. Ketika itu CIA melaksanakan misi

amat rahasia, melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Schneider, Kepala Staf AD Cile yang

telah menolak melakukan kudeta untuk menghalangi pemilihan Salvador Allende sebagai presiden.

Selanjutnya, CIA mendukung komplotan AD Cile melakukan kudeta berdarah terhadap Presiden

Allende yang telah terpilih secara demokratis. Jenderal Pinochet naik tahta. Bandingkan nasib

Jenderal Schneider dan Jederal A Yani, Allende dengan Bung Karno. Salah satu operasi

penyesatan

CIA untuk meningkatkan suhu politik di Cile dengan menyebarkan kartu-kartu kepada tokoh

serikat buruh kiri maupun para perwira militer kanan dengan tulisan Djakarta ce acerca (Jakarta

sedang mendekat).

Tap MPRS 25/1966 tentang Pembubaran dan Pelarangan PKI merupakan instrumen politik bagi

Soeharto dan pendukungnya untuk "membersihkan " mereka yang loyal terhadap Soekarno di

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

59 | P a g e

kabinet Dwikora, MPRS, DPRGR. Kemudian melalui UU No 10/1966 tentang Kedudukan MPRS dan

DPRGR, Soeharto mengangkat orang-orang kepercayaannya untuk menduduki jabatan anggota

MPRS, DPRGR dan kabinet tandingan yang disebut kabinet Ampera terutama dari golongan

militer.

Dalam UU No 10/1966 untuk pertama kali muncul istilah tidak terlibat baik langsung maupun tak

langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI dan atau organisasi terlarang/terbubar lainnya,

terutama menyangkut persyaratan untuk menduduki jabatan politik atau publik.

Peristiwa 1965 merupakan tahun pembatas zaman. Zaman berubah antara sebelum 1965 dan

sesudahnya. Perubahan itu terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya secara

serentak. Ajaran Bung Karno untuk menentukan rah revolusi Indonesia dihancurbinasakan.

Sesudah tahun 1965, politik luar negeri berubah total. Dari nonblok menjadi pro barat, menjadi

pengikut AS. Ekonomi Indonesia yang dulunya berdikari berubah menjadi ekonomi yang

tergantung pada modal asing. Dalam bidang kebudayaan, sebelum 1965, bebas berpolemik;

sesudah 1965 budaya seolah-olah satu, menjadi monolitik. Tidak ada lagi perbedaan, semua

seragam.

Tindakan Keji

Tragedi 65/66, kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan warga negara tak bersalah

menurut keterangan almarhum Jenderal Sarwo Edhi Wibowo Komandan Resimen RPKAD kepada

Permadi SH berjumlah 3 juta orang. Kuburan massal berserakan di berbagai tempat di Jawa

Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Utara dan tempat-tempat lain. Belum lagi mayat-mayat yang

dimasukkan luweng dan dibuang di sungai-sungai.

Penahanan/pengasingan/dihukum berjumlah 1.900.000 orang menurut keterangan resmi

Kopkamtib. Penjara di seluruh Indonesia dijadikan tempat tahanan. Bila penjara sudah penuh,

gedung lainnya dipergunakan seperti Gudang Padi di Bojonegoro (Jawa Timur).

Pulau Nusakambangan, Pulau Buru, Plantungan, Pulau Kemarau (Sumatera Selatan) dijadikan

tempat pengasingan/ konsentrasi kam. Dengan mengerjapaksakan tapol didirikan tempat-tempat

isolasi di beberapa daerah seperti Argosari (Kalimantan Timur), Loe Mojong (Sulawesi Selatan),

Nanga-Nanga, Kendari (Sulawesi Tenggara), Wadas Lintang, Brebes Jawa Tengah.

Penangkapan dan penahanan seringkali disertai dengan perampasan harta benda seperti rumah,

tanah, uang, perhiasan, surat-surat berharga. Selama masa penahanan tapol mengalami interogasi

yang disertai penyiksaan, dipukuli dengan tangan kosong, atau dengan alat, digunduli, disetrum dan

dipaksa menyaksikan penyiksaan tahanan lainnya.

Bagi tapol perempuan mengalami pelecehan seksual bahkan ada yang diperkosa berkali-kali. Ibu-

ibu tapol yang mengandung terpaksa melahirkan dalam tahanan/penjara. Isteri tapol laki-laki

dijadikan sasaran rayuan gombal aparat negara. Sebagian dari mereka yang ditahan dalam usia

sangat muda sehingga kehilangan kesempatan untuk menikmati masa muda, terpaksa putus sekolah

dan bereproduksi.

Setidaknya ada dua cara yang digunakan dalam proses "pembersihan " terhadap mereka yang

dituduh sebagai orang komunis.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

60 | P a g e

Pertama: cara nonformal, yaitu operasi "pembersihan: tanpa proseduryang oleh pihak militer

dengan memobilisasi organisasi-organisa si paramiliteryang bernaung di berbagai organisasi.

Kelompok ini diberi kewenangan untuk bertindak menjadi hukum dan hakim sekaligus.

Kedua: secara formal penangkapan dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dituduh komunis

dilakukan oleh sebuah sistem atau lembaga di bawah Kopkamtib atau Pelaksana Khusus Daerah

(Laksusda). Di tingkat pusat, disebut Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu); di daerah disebut Tim

Pemeriksa Daerah (Teperda). Tim diberi otoritas untuk melakukan proses screening terhadap

semua orang yang dituduh sebagai komunis, kemudian membuat klasifikasi dan penggolongan.

Setelah melalui screening para tahanan dikirimkan ke kam-kam tahanan. Tidak ada jaminan

kepastian hukum terhadap jutaan tahanan yang dituduh komunis.

Dengan demikian "pembersihan" terhadap mereka yang dituduh komunis dijalankan sangat

sistematis dengan menggunakan hirarki kekuasaan, melalui penerbitan peraturan maupun tindakan

aparat; dan terjadi secara meluas di seluruh wilayah RI. Kopkamtib tak lain seperti mesin

penggilas yang digunakan untuk melumatkan siapapun di persada tanah air Indonesia tercinta yang

hendak melawan kekuasaan Soeharto, kekuasaan Orde Baru.

Perlakuan Yang Diskriminatif

Sampai tahun 1979, datang tekanan dari dunia internasional, terutama dari Amnesti Internasional

dan negara-negara donor. Mereka mendesak Indonesia untuk mengeluarkan para tahanan politik

dari kam-kam tahanan sebagai prasyarat untuk cairnya bantuan internasional bagi pemerintah

Indonesia.

Tahun 1979, tapol secara formal dibebaskan. Dalam Surat Pembebasan / Pelepasan dinyatakan

bahwa mereka tidak terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Dalam kenyataannya, pembebasan bukan

berarti kebebasan tanpa syarat bagi mantan tapol, mereka masih dikenakan « " wajib lapor"

kepada pejabat dan lembagakemiliteran yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Tindakan demikian dianggap belum cukup. Mantan tapol diberlakukan berdasarkan peraturan yang

diskriminatif. Tidak kurang dari 30 peraturan perundang-undangan yang diskriminatif

diterbitkan, antara lain:

Surat Edaran BAKN No 02/SE/1975 tentang tidak diperlukan Surat Keterangan Tidak Terlibat

dalam G30S/PKI bagi pelamar calon pegawai negeri sipil yang pada tanggal 1 Oktober 1965 calon

ybs masih belum mencapai 12 tahun penuh.

Keppres No 28/1975 tentang Perlakuan terhadap mereka yang terlibat PKI Golongan C. Golongan

C dibagi menjadi Golongan C1, C2, dan C3. Terhadap pegawai tindakan administratif sbb: Golongan

C1 diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri; Golongan C2 dan C3 dikenakan

tindakan administratif lainnya dengan memperhatikan berat ringannya keterlibatan mereka.

SK No 32/ABRI/1977 tentang Pemecatan sebagai Pegawai TNI karena dituduh terlibat PKI.

Inmendagri No 32/1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana

G30S/PKI. Larangan menjadi pegawai negeri sipil, anggotan TNI/Polri, guru, pendeta dan lain

sebagainya bagi mereka yang tidak bersih ingkungan. Pada KTP mantan tapol dicantumkan kode

ET.

Keppres No 16/1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri RI. Penelitian khusus bukan

hanya ditujukan kepada korban langsung tetapi berlaku uga bagi anak dan/atau cucu korban yang

dituduh terlibat G30S/PKI.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

61 | P a g e

Kepmendagri No 24/1991 tentang Jangka Waktu berlakunya KTP bagi penduduk berusia 60 tahun

ke atas. KTP seumur hidup tidak diberlakukan bagi warga negara Indonesia yang terlibat langsung

atau pun tidak langsung dengan Organisasi Terlarang (OT).

Permendagri No 1.A/1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam rangka Sistem

Informasi Manajemen Kependudukan. KTP yang berlaku seumur hidup hanya berlaku bagi WNI

yang bertempat tinggal tetap dan tidak terlibat langsung atau pun tidak langsung degnan

Organisasi Terlarang (OT).

Inmendagri No 10/1997 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana

G30S/PKI. Inmendagri ini sebagai pengganti Inmendagri No 32/1981. Ketentuan dan larangan

masih tetap sama seperti Inmendagri No 32/1981. Perubahannya adalah kode ET tidak

dicantumkan lagi pada KTP mantan tapol, tetapi pada KK (Kartu Keluarga) tetap dicantumkan kode

ET.

UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi/Kabupaten/ Kota. Syarat anggota DPR, DPD, DPD Provinsi / Kabupaten/Kota bukan bekas

anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat

langsung dalam G30S/PKI.

Kekerasan struktural berupa peraturan yang diskriminatif tidak hanya tertuju kepada mantan

tapol korban Tragedi 65/66 tetapi juga terhadap anak dan cucu mereka. Perlakuan demikian telah

memporakporandakan harapan dan masa depan jutaan warga negara Indonesia termasuk ribuan

warga negara Indonesia di luar negeri yang dicabut paspor mereka secara paksa oleh KBRI

setempat. Dampak peristiwa ini dirasakan oleh korban Tragedi 65/66 baik berupa stigmatisasi

sebagai orang yang tidak "bersih lingkungan " atau pun diskriminasi dalam hak politik, sosial dan

ekonomi.

Secara umum proses diskriminasi terhadap korban Tragedi 65/66 dimulai etika secara sepihak

keputusan politik dikeluarkan oleh Jenderal Soeharto yang ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib

oleh Presiden Soekarno. Keputusan politik dikeluarkan Jenderal Soeharto tanggal 12 Maret 1966

untuk membubarkan dan melarang PKI dan semua organisasi yang dicurigai berasas/berlindung/

bernaung di awahnya dari pusat sampai di seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintahan Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) membatasi hak politik mantan tapol dan

keluarganya terutama untuk partisipasi politik di tingkat lokal. Jabatan Kepala Desa hingga

anggota legislatif tingkat daerah mengharuskan calonnya "bebas G30S/PKI"

Setelah rezim Soeharto tidak lagi berkuasa beberapa peraturan dan kebijakan yang

mendiskriminasikan mantan tapol dan keluarganya dicabut. Badan Koordinasi Keamanan dan

Stabilitas Nasional (Bakorstanas) lembaga pengganti Kopkamtib pada pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid telah dibubarkan melalui Keppres No 38/2000. Dinas Sosial Politik

(Dissospol) lembaga sipil yang diberi otoritas melakukan proses "penelitian khusus"(litsus)

terhadap masyarakat sipil telah dihapuskan. Tetapi pergantian rezim ternyata bukan jaminan

bahwa praktik diskriminasi tidak lagi diberlakukan.

Perjuangan menuntut Rehabilitasi, Kompensasi, Restitusi, dan Penghapusan Diskriminasi Warga

negara Indonesia korban Tragedi 65/66 tidak pernah dihukum bersalah berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Setelah dibebaskan diperlakukan

secara diskriminatif.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

62 | P a g e

Rehabilitasi menjadi tuntutan utama bagi mantan tapol Tragedi 65/66 setelah beberapa tahun

dibebaskan tanpa kebebasan. Setelah terbentuknya lembaga yang menghimpun dan menyatukan

korban Tragedi 65/66 perjuangan menuntut rehabilitasi, kompensasi, restitusi dan menghapus

diskriminasi berjalan lebih terorganisasi.

Berbagai jalan dan cara telah ditempuh; 6 (enam) kali mengajukan permohonan kepada Presiden

RI, menemui Ketua MA RI, mengajukan gugatan class action kepada Pengadilan Negeri,

mengajukan pengujian (judicial review) terhadap Pasal-Pasal UU yang bertentangan dengan UUD

Negara RI 1945, membeberkan Tragedi 65/66 dalam sidang Komisi Tinggi HAM PBB, mengirim

surat kepada Sekjen PBB.

Hasil yang Bisa Dicapai

Perjuangan untuk menuntut rehabilitasi umum, kompensasi, restitusi serta penghapusan

diskriminasi cukup lama dan tak kenal lelah telah dilakukan; baik melalui lembaga korban sendiri

maupun dengan menggalang kerja sama dengan LSM dan semua pihak yang sama-sama

memperjuangkan terwujudnya demokrasi, kebenaran, keadilan dan HAM. Dan jerih payah yang

sudah dilakukan hasil yang bisa dicapai tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Tetapi memang

masih belum memenuhi harapan.

Persyaratan Rehabilitasi Umum

Dan hasil pertemuan antara delegasi mantan tapol Tragedi 65/66 yang dipimpin Sumaun Utomo,

Ketua Umum DPP LPR-KROB dengan Ketua MA RI (14/3/2003) maka Ketua MA RI mengirim surat

kepada Presiden RI tentang permohonan rehabilitasi Korban Tragedi 65/66. Kemudian disusul

surat Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Komnas HAM kepada Presiden RI tentang masalah yang

sama. Dengan demikian rehabilitasi umum dengan adanya pertimbangan tersebut dilihat dari segi:

Hukum

Surat Ketua MA RI No KMA/403/VI/2003, 12/6/03, Perihal permohonan rehabilitasi.

Politik Surat Wakil Ketua DPR RI No KS.02/37.47/ DPR RI/2003

Sifat: Penting,

Derajat: Segera, 25/7/2003,

Perihal Tindak Lanjut surat MA RI.

Kemanusiaan

Surat Komnas HAM No 147/TUA/VII/ 2003, 25/8/2003,

Perihal Rehabilitasi terhadap para korban G30S/PKI 1965.

Surat Komnas HAM No 33/TUA/II/2005, 8/2/2005, Perihal Pemulihan mantan tahanan politik

yang dikaitkan dengan Peristiwa G30S/PKI

Maka tak ada alasan bagi Presiden RI untuk tidak menggunakan hak prerogatifnya menurut Pasal

14 ayat (1) UUD 1945 mengeluarkan Keppres Rehabilitasi Umum terhadap korban Tragedi 65/66.

Penghapusan Diskriminasi

Putusan MK RI, 24/2/2004

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

63 | P a g e

Permohonan pengujian (judicial review) Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 yang diajukan oleh DPP

LPR-KROB kepada MK RI (17/11/2003) yang sebelumnya masalah yang sama diajukan oleh Deliar

Noor dkk, menghasilkan: Putusan Perkara No 011-017/PUU- I/2003, 24/2/2004 yang menyatakan

bahwa Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

Dengan putusan ini hak politik korban Tragedi 65/66 telah dipulihkan dan hak kewarganegaraan

korban Tragedi 65/66 telah dikembalikan, yang selama 39 tahun telah dirampas secara sewenang-

wenang tanpa dasar hukum.

Sebagai warga negara korban Tragedi 65/66 tidak hanya sebagai pemilih aktif tetapi sekaligus

pemilih pasif. Akses untuk dicalonkan sebagai anggota badan legislatif baik di pusat maupun di

daerah terbuka. Putusan ini dinilai bersejarah, karena sebelum putusan diterbitkan sebagai warga

negara korban Tragedi 65/66 diperlakukan secara diskriminatif dan dikucilkan. Dampak dari

putusan MK RI ini beberapa peraturan yang diskriminasi dicabut, peraturan baruditerbitkan.

Permendagri No 28/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan

Pencatatan Sipil di Daerah Pasal 16 ayat (5), KTP untuk penduduk WNI yang berusia 60 tahun ke

atas berlaku seumur hidup.

Pasal 74, dengan berlakunya Peraturan ini Peraturan Kepala Daerah mengenai penyelenggaraan

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil agar disesuaikan.

Pasal 77 ayat (3), Permendagri No 1.A/1995 dinyatakan tidak berlaku.

Sebelum berlakunya Kep Mendagri No 24/1991 dan Permendagri No 1.A/1995. Mengenai

Kepmendagri No 24/1991 sesuai dengan surat jawaban Mendagri kepada DPP LPR-KROB

dinyatakan sudah diganti dengan Permendagri No 28/2005 (surat Mendagri No 474.4/874/MD,

27/3/2006).

Sejak terbitnya Permendagri No 28/2005 maka status kewarganegaraan korban Tragedi 65/66

setara dengan warga negara Indonesia lainnya. UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia Asas yang digunakan UU No 12/2006 menganut asas persamaan dalam hukum

dan asas nondiskriminatif yang berhubungan dengan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan

jender.

Dengan diterbitkannya UU No 12/2006, UU No 62/1985 tentang Kewarganegaraan tidak berlaku

dan tidak ada lagi warga negara keturunan karena semua adalah WNI.

Penjelasan Pasal 2, bahwa yang dimaksud ?Bangsa Indonesia Asli? adalah orang Indonesia yang

menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima ewarganegaraan lain atas kehendak

sendiri. UU No 12/2006 tidak mensyaratkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik

Indonesia) dan sejenisnya, cukup akta lahir.

Dengan demikian warganegara korban Tragedi 65/66 dari etnis apapun termasuk etnis Tionghoa

tidak didiskriminasikan. Pasal 42, warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah

negara RI selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada Perwakilan RI sebelum

UU ini diundangkan dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya dengan mendaftarkan diri di

Perwakilan RI dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini diundangkan sepanjang tidak

mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

64 | P a g e

Sejak Putusan MK RI bahwa Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 bertentangan dengan UUD 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (24/2/2004) maka terbit Permendagri No

28/2005 (5/7/2005) tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan

Sipil di Daerah dan UU No 12/2006 (1/8/2006) tentang Kewarganegaraan RI.

Tetapi masih ada peraturan yang diskriminatif belum dihapus seperti Keppres No 28/1975, Surat

Edaran No 02/SE/1975, Inmendagri No 10/1997. Utamanya yang bersangkutan dengan masalah

pelanggaran HAM berat yang terjadi 41 tahun yang lalu, Tragedi 65/66 belum ada upaya untuk

dituntaskan. Penghapusan diskriminasi hanya sebagian dari keseluruhan penyelesaian masalah

korban Tragedi 65/66, belum merupakan pemecahan secara esensiil.

Penyelesaian masalah korban Tragedi 65/66 ialah:

Negara harus mengakui bahwa Tragedi 65/66 adalah pelanggaran HAM berat oleh negara. Negara

harus minta maaf pada korban dan rakyat Indonesia. Penanggung jawab pertama dan utama harus

diadili.

Negara harus memenuhi hak korban seperti yang tertera dalam Konvenan PBB,yaitu rehabilitasi,

kompensasi, restitusi yang merupakan hak melekat pada korban tanpa mempermasalahkan

pelakunya teridentifikasi atau tidak. Negara harus menjamin bahwa peristiwa serupa seperti itu

tidak akan terjadi lagi.

Peraturan perundang-udangan sebagai landasan untuk menyelesaikan masalah korban Tragedi

65/66 sudah tersedia. Yang pasti, peraturan itu bukan sekedar hiasan pada lembar tumpukan

kertas. Pemerintah harus berlapang dada, menunjukkan kemauan baik dan niat yang sungguh-

sungguh.

41 tahun telah berlalu, nasib korban Tragedi 65/66 masih tak menentu. Teringat selalu kata-kata

mutiara Bung Karno (17 Agustus 1960), "Hak tak dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya

dapat diperoleh dengan perjuangan"

***

Sumber:http://sejarahsosial.org/ltp/2005/07/25/perempuan-korban-menggugat-senyap-

sebuah-catatan-pandangan-mata/

Perempuan Korban Menggugat Senyap: Sebuah Catatan Pandangan

Mata

Posted on 07/25/2005 by issi

Pada 24 Juli 2005 Lingkar Tutur Perempuan mendapat kehormatan menjadi saksi sejarah reuni para perempuan korban Tragedi 1965 di Yogyakarta. Acara yang diberi nama ―Temu Rindu Menggugat Senyap‖ ini berlangsung selama kurang lebih 5 jam tanpa ada gangguan yang berarti dan membuka ruang pengungkapan kebenaran tentang salah satu tragedi kekerasan paling berdarah di negeri ini. Di bawah ini adalah catatan pengamatan kami selama acara berlangsung. Selamat membaca!

Membuka Ruang Jumpa dan Mengungkap Rasa

Sekitar pukul 10.00 pagi, hari Minggu, 24 Juli 2005, satu persatu hadirin memasuki pelataran

SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), Bugisan, Yogyakarta. Sebagian besar dari

mereka adalah perempuan lanjut usia yang berjalan perlahan dari pelataran parkir yang cukup luas

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

65 | P a g e

menuju meja penerima tamu. Mereka kemudian disambut oleh sejumlah perempuan muda, petugas

among tamu, dan dibimbing memasuki pendopo berukuran sekitar 20×20 meter. Di pendopo sudah

tergelar tikar-tikar untuk duduk lesehan dan tersedia pula belasan kursi untuk para perempuan

yang tidak bisa lagi duduk lesehan.

Para perempuan lanjut usia itu adalah korban tragedi 1965 yang berasal dari berbagai kota di

Jawa, antara lain Yogyakarta, Solo, Semarang, Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Klaten, Boyolali,

Blitar, Surabaya, dan Jakarta. Mereka datang dengan bus-bus sewaan, kendaraan-kendaraan

pribadi, dan kereta api, ada yang dalam kelompok kecil, ada pula yang diantar bapak-bapak korban

dari daerah masing-masing. Para ibu ini, yang tertua diantara mereka berusia 96 tahun, hadir

tanpa embel-embel organisasi, baik organisasi di masa lalu maupun di masa sekarang. Mereka

hanya punya satu tujuan: berjumpa teman-teman yang telah bertahun-tahun terpisah.

Begitu para ibu ini berjumpa dengan kawan-kawan lama, untuk beberapa saat yang tampak dan

terdengar hanyalah mereka yang berpelukan erat, hamburan pertanyaan bercampur tangis, ujaran

lega bersahut-sahutan dalam bahasa Jawa pun Indonesia, dan sentuhan hangat di wajah dan

bagian tubuh masing-masing untuk memastikan bahwa kawan yang dihadapi memang hadir dalam

kenyataan.

Di tengah keriuhan ungkapan rasa rindu, puluhan perempuan muda seperti terhenyak. Mereka yang

bertugas sebagai among tamu tidak tahu persis harus berbuat apa selain menyaksikan perjumpaan

bersejarah ini dengan rasa haru. Sehari sebelumnya kawan-kawan muda yang berasal dari jaringan

Syarikat Indonesia dan fakultas psikologi beberapa universitas di Yogya mengikuti lokakarya

Trauma Healing yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) di

Universitas Sanata Darma. Beberapa dari mereka sudah pernah bertemu dengan korban tragedi

1965 dalam kegiatan-kegiatan sosial Syarikat yang bertujuan mewujudkan rekonsiliasi antara para

korban dan pelaku, khususnya dari kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Tapi ada juga yang baru

pertama kali bertemu muka dengan para korban. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa suasana

pertemuan akan menjadi sedemikian cair dan mengharukan!

Menjelang pukul 11.00, lebih dari 300 perempuan lanjut usia sudah memenuhi pendopo, sedangkan

di sisi-sisi pendopo berkumpul bapak-bapak dan hadirin lain yang diundang panitia. Para eks-tapol

LP Plantungan segera saja berkumpul di sudut kanan belakang pendapa saling berpeluk-cium,

menitikkan air mata, sambil mensyukuri,―Oalah…kowe ki isih urip to. Tak daraki wis mati!‖ (Oalah

kamu ini masih hidup to. Aku kira sudah mati!). Lalu, mereka saling bertukar kabar singkat tentang

kehidupan masing-masing selepas pengasingan. Sejak pembebasan massal 1978/79, ini adalah kali

pertama mereka bisa berkumpul kembali. Seorang perempuan eks-Plantungan memberi tahu

rekan-rekannya, ia sekarang sudah punya tiga anak. Rekan-rekannya terharu. Mereka tak

menyangka si ibu masih bisa melahirkan anak setelah mengalami penyerangan seksual selama masa

interogasi. Sementara itu, istri-istri dan anak-anak eks-tapol yang tak punya teman khusus yang

ingin mereka jumpai mendapat pengalaman baru berjumpa langsung dengan perempuan-perempuan

yang selama ini hanya mereka dengar namanya lewat cerita. ―Senang berjumpa banyak teman

senasib,‖ kata seorang ibu.

Acara resmi dibuka dengan sepatah kata dari 2 pembawa acara, Bondan Nusantara, seniman

ketoprak dari Bantul yang juga anak korban, dan Ruth Indiah Rahayu (Yuyud), salah satu aktifis

Lingkar Tutur Perempuan dari Jakarta. Mereka menjelaskan maksud diadakannya acara ini dan

mempersilakan panitia memberikan sambutan. Berturut-turut ketua panitia acara, Ibu

Sumarmiyati, eks-tapol dari Yogyakarta, dan Imam Aziz, ketua Syarikat Indonesia, menyampaikan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

66 | P a g e

ucapan selamat datang singkat. Setelah acara formal dibuka, ibu-ibu lansia secara bergantian

membacakan puisi dan menyanyi dengan iringan permainan organ tunggal bersama dengan seorang

penyanyi perempuan muda. Lagu-lagu yang didendangkan, keroncong dan pop, kebanyakan berasal

dari periode 60an. Ada pula seorang simbah mempersembahkan tembang Jawa dengan suara yang

masih merdu. Kami duga dulu pastilah suaranya jauh lebih bagus. Mungkin ini untuk pertama

kalinya sejak puluhan tahun ia nembang lagi di depan umum. Beberapa anak korban juga mendapat

kesempatan membacakan puisi. Pada saat makan siang kelompok ketoprak Mas Bondan

menampilkan sebuah fragmen tentang tragedi 1965. Sayang sound system kurang memadai untuk

gedung seluas pendopo itu sehingga ucapan-ucapan para pemain kurang terdengar. Ditambah lagi

dengan riuhnya suara ibu-ibu yang asyik ngobrol dengan kawan-kawannya.

Yang paling menarik dari rangkaian acara kesenian ini adalah ketika sang penyanyi profesional

membawakan lagu Jawa yang cukup rancak sehingga ibu-ibu tergerak untuk berjoget! Siapa

anggota Gerwani atau yang dicap Gerwani masih berani menari dan menyanyi di acara-acara publik

setelah geger 65? Ada seorang ibu pemeran Petruk di LP Bulu yang ‗memprovokasi‘ ibu-ibu lain

untuk joget. Lalu, muncul ibu pemeran Gareng yang asyik dengan gaya jogetnya yang kocak.

Tampak bagaimana beberapa ibu yang memang penari masih lentur melenggak-lenggok gaya

tradisional. Spontan kawan-kawan muda dari pasukan among tamu bergabung dengan para ibu yang

sedang asyik berjoget. Sungguh suatu pemandangan yang mengundang tawa sekaligus rasa lega!

Sambil menyaksikan ibu-ibu menari dan berjoget di pendapa SMKI kami berusaha memahami

bagaimana para perempuan ini merepresi ekspresi seninya selama ini. Kami dengar banyak diantara

para ibu yang hadir dulunya adalah aktivis Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) atau setidaknya tidak

pernah ketinggalan ikut dalam acara-acara kebudayaan di tingkat kampung. Tapi, seperti

diungkapkan seorang ibu: siapa yang bisa melarang kecintaan pada seni? Di LP Bulu Semarang di

mana ia pernah ditahan, para tapol perempuan tetap ketoprakan, biarpun yang menonton hanya

warga LP. Karena tinggi tubuh dan mancung hidungnya, ia selalu diposisikan sebagai Petruk. Carmel

Budiardjo juga menceritakan dalam bukunya bagaimana para tapol di LP Bukit Duri diam-diam

menghibur diri dengan ketoprak.

Acara tidak terpusat di pendopo saja. Para ibu tidak henti-hentinya mencari kawan-kawan

mereka, berjalan dari satu sisi pendopo ke sisi lainnya, berbincang-bincang, berkelompok di

bagian-bagian lain seluruh areal SMKI. Ketika salah satu dari kami antre memakai kamar kecil,

seorang perempuan setengah baya menghampiri seorang perempuan tua bertubuh pendek agak

gemuk dengan rambut sudah memutih semua. Si perempuan setengah baya memegangi pundak si

ibu tua sambil berkata dalam bahasa Jawa yang artinya kira-kira seperti ini, ―Ibu masih ingat

saya? Saya……(menyebut namanya). Saat di Plantungan dulu saya masih semuda mbak ini (sambil

menunjuk ke arah penulis)‖. Si ibu tua langsung memegang pipinya dan berusaha memastikan

kebenaran ucapannya, ―Apa iya kamu itu? Kok beda sekali. Wah, kamu juga masih hidup ya?‖ Lalu

si perempuan setengah baya bercerita tentang perempuan lain yang menurutnya sudah mati.

Mereka berdua lantas berpelukan dan bertangisan.

Mereka juga berusaha mengenal kawan-kawan muda yang bukan korban maupun anak korban dan

menceritakan pengalaman mereka. Seorang ibu yang berasal dari Semarang, bertanya kepada

penulis, ―Anak ini putra korban yang tinggal di daerah mana?‖ Ketika penulis menjawab bukan anak

korban, ia berkata, ―Oh…syukurlah kalau begitu‖. Lantas ia bercerita bahwa dia adalah isteri

tentara yang ditembak mati. Si ibu ini hidup bersama enam anaknya. Saat suaminya ditangkap,

anak terbesar masih kelas 4 SD sementara anak terkecilnya berusia 1 bulan. Rumahnya hampir

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

67 | P a g e

saja dibakar massa yang juga tetangga-tetangga sekitarnya. Ia berusaha bertahan bersama

keenam anaknya, tidak keluar dari rumah tsb. Akhirnya, massa tidak jadi membakar rumahnya. Ia

berujar, ―Pokoknya, peristiwa 1965 itu kejam sekali, tentara itu kejam sekali, tidak punya

perikemanusiaan‖. Lalu ia menunjuk ke seorang ibu berkulit hitam, bertubuh pendek dengan

punggung tampak membungkuk, sambil berucap, ―Ibu itu badannya habis disiksa. Ya diperkosa

berkali-kali dan punggungnya dipukuli dengan bambu hingga hancur. Habis paling tidak satu bambu

hancur untuk memukuli punggung ibu itu‖. Lantas ia melanjutkan beberapa cerita yang cukup

menggetarkan hati. Ia pun menutup kisahnya dengan ungkapan, ―Ibu ini cukup beruntung karena

tidak mengalami hal itu. Ibu hanya harus berusaha apa saja agar anak-anak bisa hidup dan terus

sekolah‖.

Acara kesenian yang berlangsung kurang lebih 2 jam diakhiri dengan sambutan ibu-ibu mewakili

delegasi dari kota masing-masing. Selain memperkenalkan diri, ibu-ibu ini juga menyatakan

keinginan mereka untuk berkumpul lagi dan membicarakan soal-soal yang berkenaan dengan

masalah mereka sebagai korban. Kalau dalam bahasa ibu-ibu dari Solo, ―Ini nanti kesimpulannya

apa, mbak?‖ Kami hanya bisa menyampaikan bahwa bukan kami yang akan membuat ‗kesimpulan‘

tetapi ibu-ibu korban sendiri. Diantara ibu-ibu wakil daerah ini juga ada yang menyampaikan

kesaksian agak panjang tentang penderitaan yang dialaminya. Ibu-ibu memang masih butuh banyak

ruang untuk menuturkan pengalaman hidupnya.

Dua kawan dari kelompok non-korban, Ita F. Nadia dari Komnas Perempuan dan Atnike Sigiro dari

Lingkar Tutur Perempuan juga diminta memberikan sambutan singkat sebagai wakil dari generasi

muda. Tiga hal yang ditekankan kedua kawan ini adalah: pertama, bahwa tragedi 1965 bukan hanya

persoalan korban tragedi itu sendiri tetapi juga persoalan kita semua sebagai bangsa. Kedua,

pentingnya bagi generasi muda untuk memahami pengalaman para pendahulunya baik sebagai

korban maupun sebagai orang-orang yang aktif dalam pergerakan supaya tumbuh suatu kesadaran

sejarah baru yang lebih sehat. Dan yang terakhir, perlunya korban dari berbagai kasus dan

periode untuk bertemu dan bertukar pikiran agar ada pemahaman bersama tentang kejahatan

yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap rakyatnya.

Kurang lebih pukul 2 siang pembawa acara memutuskan untuk menutup acara. Ibu-ibu yang sudah

sangat lanjut usianya mulai tampak kelelahan, dan rombongan dari luar Yogyakarta harus segera

pulang agar tidak kemalaman di jalan. Ibu-ibu kemudian memimpin acara penutupan dengan

membentuk lingkaran yang terbentuk dari jajaran para korban dan anak-anak muda yang saling

bergandengan dan menyanyikan lagu-lagu perpisahan. Sulit untuk sama sekali menghentikan acara

karena ibu-ibu dan kawan-kawan muda tak putus-putus berdendang. Nyanyian baru sama sekali

berhenti ketika seorang kawan muda dari jaringan Syarikat tiba-tiba jatuh pingsan. Iin, begitu ia

biasa dipanggil, adalah putri seorang anggota Banser dari Kebumen yang pernah terlibat dalam

pembantaian orang-orang yang dianggap terlibat G30S. Sejak ia bergabung dengan Syarikat ia

ikut mendampingi para perempuan korban tragedi 1965. Anak yang pada dasarnya penggembira

dan ramah ini rupanya tak tahan menanggung rasa bersalah setiap kali ia mendengarkan kisah-

kisah korban yang memang memilukan.

Segera para ibu yang asyik bernyanyi menghampiri Iin yang sudah siuman dan menangis

sesenggukan di pelukan Hersri Setiawan, sastrawan dan eks-tapol Pulau Buru. Ibu-ibu ini

menghibur Iin dengan mengatakan bahwa bukan dia yang harus bertanggung jawab terhadap

tragedi di masa lalu itu. Seorang ibu dari Blitar mengatakan, ―Sudah jangan menyalahkan diri

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

68 | P a g e

sendiri. Yang penting sekarang kamu tahu bahwa kami-kami ini bukan pelacur, perempuan bejat

yang membunuhi para jendral.‖

Kejadian ini membuat kami berpikir lebih jauh tentang peliknya soal berbagai upaya pengungkapan

kebenaran, rekonsiliasi dan pemulihan di tingkat akar rumput. Dalam wacana pelanggaran HAM

kita berpegang pada kategori-kategori ‗korban‘ dan ‗pelaku‘ sementara di luar kategori-kategori

itu ada anggota keluarga, sanak saudara, yang mungkin tidak tahu menahu atau tidak mau tahu

tentang pengalaman ‗korban‘ dan ‗pelaku‘. Seperti yang dialami kawan-kawan dari Syarikat, mereka

pun harus dipersiapkan untuk menghadapi kenyataan sejarah yang paling pahit dalam kehidupan

mereka agar ketika kita bicara tentang rekonsiliasi menjadi jelas siapa yang sesungguhnya perlu

berdamai dengan apa/siapa.

Kisah di Balik Ruang Jumpa

Gagasan acara ―Temu Rindu Menggugat Senyap‖ muncul di kalangan para ibu eks-tapol di

Yogyakarta sejak beberapa bulan lalu. Mereka kemudian membentuk panitia yang diketuai Ibu

Sumarmiyati (Bu Mamiek) dengan koordinator acara Bondan Nusantara. Kepanitiaan jadi meluas

dengan terlibatknya kawan-kawan dari kelompok Syarikat dan jaringannya, serta para peneliti

dari Pusdep Sanata Dharma. Sejak awal panitia ini sudah sepakat bahwa acara akan dilangsungkan

tanpa perlu mengatasnamakan satu kelompok/organisasi korban atau kepentingan politik tertentu.

Tujuan pertemuan semata-mata membuka ruang bagi para ibu untuk saling melepas kangen dan

mengatasi ketakutan berbicara. Banyak perempuan korban yang baru mulai bangkit dari

kesenyapan panjang sehingga panitia tidak mau membebani acara ini dengan terlalu banyak

agenda.

Awalnya yang berniat untuk bertemu hanya perempuan-perempuan korban dari Yogyakarta saja

dan jumlah yang diperkirakan hadir 150 orang. Ternyata, berita menyebar sampai ke daerah-

daerah lain dan mendapat sambutan luar biasa. Sampai satu hari sebelum acara diperoleh kabar

akan ada 300 orang yang hadir. Kenyataannya, jumlah ibu-ibu yang datang, berikut para pengantar

dan hadirin lainnya, mencapai 500 orang. Beberapa petugas among tamu harus berbagi satu nasi

bungkus dengan 2-3 kawan lain untuk menahan rasa lapar. Untunglah ibu-ibu yang mengurus

konsumsi cukup sigap bergerak sehingga baik peserta maupun panitia akhirnya bisa menikmati

hidangan makan siang dengan menu sederhana.

Menariknya, dalam mempersiapkan acara panitia tidak menghadapi hambatan yang berarti dari

pihak penguasa, tapi justru dari kelompok-kelompok lain yang ingin menggunakan kesempatan ini

untuk agenda politik tertentu. Bahkan sempat beredar proposal acara dengan nilai dana yang jauh

berbeda dan menimbulkan kebingungan di kalangan pihak-pihak yang sudah bersedia membantu

kelangsungan acara ini. Dari kedua pembawa acara, Bondan dan Yuyud, didapat juga cerita di balik

panggung. Ada tetamu tertentu yang hadir begitu terkesan melihat besarnya jumlah perempuan

yang hadir dan ingin ‗memberi arahan politik‘ versi masing-masing. Para tamu ini meminta waktu

khusus dari MC tapi setelah berkonsultasi dengan panitia diputuskan bahwa waktu diutamakan

untuk para ibu-ibu untuk mengungkapkan keinginan mereka, apa pun bentuknya. Di sini lah

kebijaksanaan Bu Mamiek sebagai ketua panitia, dan Syarikat sebagai penyelenggara di lapangan

patut diberi acungan jempol sehingga tidak terjadi ketegangan yang merusak suasana.

Setelah acara usai, panitia berkumpul untuk membicarakan kesan-kesan yang diperoleh dan

merencanakan kegiatan selanjutnya. Dari catatan kesan dan pesan yang ditulis di secarik kertas

yang diedarkan panitia disimpulkan bahwa para perempuan korban ingin agar acara seperti ini

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

69 | P a g e

diadakan kembali, paling tidak setahun sekali. Bagi mereka, acara ini sangat berarti terutama bagi

mereka yang sudah sakit-sakitan dan berusia sangat lanjut. Bahkan, saat panitia mengontak

beberapa perempuan yang akan hadir di acara ini, ada sekitar 4 orang yang sudah meninggal

walaupun saat kontak pertama kali (hanya berselang 2 bulan sebelumnya) mereka masih hidup.

Beberapa kawan yang baru pertama kali bertemu korban mengungkapkan kelegaannya karena para

ibu ternyata tidak mencurigai mereka dan bersedia berbincang-bincang dengan hangat. Memang

tidak semua ibu dengan serta merta mau bercerita; banyak dari mereka yang hanya ingin melepas

rindu dengan kawan-kawan mereka di penjara dahulu. Tapi paling tidak dengan bertemu kawan-

kawan muda ini para ibu menjadi lebih percaya diri bahwa kisah bohong tentang kejahatan mereka

yang diciptakan Orde Baru akan mendapat sanggahan justru dari generasi muda.

Kami juga membicarakan kemungkinan membuka ruang-ruang yang lebih kecil di wilayah yang

berbeda-beda dimana ibu-ibu bisa mencurahkan isi hatinya, menuturkan pengalaman hidup yang

selama ini mereka tutup rapat. Kegiatan ini sebenarnya sudah dimulai oleh jaringan Syarikat dan

Lingkar Tutur Perempuan di berbagai kota. Tapi diperlukan lebih banyak lagi ruang-ruang

bercerita untuk perempuan korban. Selain untuk keperluan pemulihan dan penguatan bagi korban,

ruang-ruang seperti ini akan membantu generasi muda merekonstruksi sejarah gerakan

perempuan yang digelapkan selama ini.

Dari acara di Yogya ini kami juga bisa melihat bagaimana kesenian menjadi sangat penting bagi

proses pemulihan dan penguatan. Sebagian besar korban bercerita bahwa di masa sebelum tragedi

1965 terjadi mereka terlibat dalam berbagai kegiatan kesenian di tingkal lokal sampai nasional.

Ketika mereka di penjara kegiatan kesenian pula yang membuat hari-hari mereka terasa lebih

ringan. Kiranya inilah tugas organisasi-organisasi korban dan kemanusiaan untuk membayangkan

kegiatan-kegiatan kesenian serupa apa yang bisa menjadi medium pertemuan berbagai kalangan

untuk membicarakan tragedi ini.***

Yogyakarta, 25 Juli 2005

Tim Penulis Lingkar Tutur Perempuan

Ayu Ratih

B.I. Purwantari

Th. J. Erlijna

http://www.jawapos.co.id/mingguan/index.php?act=detail&nid=157122

[ Minggu, 26 September 2010 ]

Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965

TRAGEDI 1965 berlalu, ingatan tak menghilang, trauma masih tersisa, dan stigma terus

menghantui. Sejarah berdarah itu memang luka besar, aib untuk Indonesia. Kita mengenang

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

70 | P a g e

dengan gambaran tentang kekerasan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Gambaran buruk,

kelam, hitam ditampilkan Orde Baru dalam produksi buku sejarah, buku pelajaran, film, pidato,

atau penataran. Propaganda Orde Baru ingin membuat ''hitamnya hitam'' PKI, kendati harus

mengorbankan jutaan orang: dipenjara, diasingkan, didiskriminasikan, atau dimatikan.

Episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tapi model sebaran dan internalisasi stigma

atas peristiwa 1965 masih mengendap dalam diri masyarakat. Stigma seolah mau diabadikan.

Segala bentuk penghitaman disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber

untuk memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang, atau pahlawan. Peristiwa 1965 mirip

pementasan teater. Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik, atau latar memang sengaja ditampilkan

pemilik otoritas tertinggi atas nama dominasi kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater

sejarah itu dengan menakjubkan sekaligus mengenaskan.

Jejak-jejak sejarah kelam, ulah Orde Baru, konsekuensi indoktrinasi atas ingatan sejarah

mendapatkan penjelasan apik dan kritis dalam buku Kuasa Stigma dan Represi Ingatan garapan Tri

Guntur Narwaya. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai kajian sejarah. Penulis sekadar menempuhi

''jalan sejarah'' untuk menguak pelbagai manipulasi sejarah oleh rezim Orde Baru. Sorotan

hermeneutika digunakan dengan kemauan mencari terang tafsiran, menyingkap dominasi politis,

dan penyadaran atas pelbagai kepalsuan sejarah.

***

Penulis mengingatkan, publik selama ini terpaku pada puncak kisah pembunuhan dan kudeta pada

peristiwa 1965. Padahal, itu sekadar bagian kecil dari narasi besar sejarah. Pandangan tersebut

seolah mengabaikan episode-episode lanjutan usai tragedi. Produksi stigma atas para anggota dan

simpatisan PKI menjadikan mereka menanggung dosa sejarah selama puluhan tahun. Orde Baru

sengaja menciptakan mitos, membangun monumen, dan menulis ''sejarah resmi'' untuk menghabisi

PKI. Represi ingatan pun dilakukan untuk menjamin lakon politik Orde Baru. Narasi-narasi

tandingan dibungkam, dihancurkan, dan dipinggirkan dengan dalih subversi, anti-Pancasila, atau

anti-NKRI.

Monopoli sejarah berlangsung sejak Orde Baru dilahirkan dan setelah kejatuhan. Hari ini kita

masih merasa segala stigma dan represi ingatan, kendati haluan politik berubah dan penyadaran

ideologis digulirkan dengan spirit reformasi. Kondisi ganjil itu membuat penulis mengajukan

perspektif hermeneutik untuk menggenapi, mengimbangi, mengkritisi pelbagai kajian tentang

tragedi 1965. Kerja atau model penafsiran sejarah tersebut diacukan pada kegelisahan, empati,

dan motivasi ilmiah atas problem korban arogansi-politik Orde Baru. Penulis menginginkan riset

(kerja penelitian) tidak sekadar memenuhi hasrat akademik, tapi sanggup mengantarkan orang

untuk menyentuh realitas sosial. Interpretasi kritis pun mesti disadari bakal dihadapkan pada

politik kepentingan dominan. Kutipan atas pemikiran Paul Ricouer merepresentasikan spirit buku

ini: ''Interpretasi selalu akan membuka ruang untuk perbedaan dan konflik.''

***

Pergumulan tafsir memerlukan penelisikan dan pembongkaran ideologi. Penulis mendasarkan

analisis ideologi dengan memakai konsepsi besar John B. Thompson dalam mengolaborasi pelbagai

ideologi mutakhir. Mekanisme sebaran dan penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan

sasaran untuk mengetahui stigmatisasi atas para korban, PKI, dan komunisme. Jadi, kerja

tafsiran ada dalam pelbagai tahap dan memerlukan kejelian. Penulis mesti bergulat untuk memilih,

memilah, dan menilai pelbagai data. Hasrat pembongkaran ideologis itu bisa terepresentasikan

melalui model kebijakan, pengetahuan publik, dan permainan simbol.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

71 | P a g e

Contoh pelik dari ketegangan tafsir adalah pemunculan simbol palu dan arit. Simbol itu terus

termaknai secara politik, identik dengan ulah PKI, kudeta, juga menandai kebangkitan komunisme.

Jadi, bentuk pelarangan buku dan aksi kekerasan gara-gara penggunaan simbol palu dan arit biasa

terjadi setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Dominasi ideologi dan stigmatisasi terjadi dalam

pembacaan dan tafsir simbol. Thompson menjelaskan bahwa konsep ideologi menunjukkan usaha

mobilisasi makna. Simbol jadi lahan pertarungan untuk kepentingan dominasi atas segala resistansi

dalam tafsir dan tindakan. Ungkapan dari Kathryn Tanner bisa jadi acuan: ''Sejarah penafsiran

adalah sejarah pergulatan.''

***

Buku ini seolah ingin menarik pembaca pada pergulatan intim dalam membaca dan menafsirkan

narasi besar sejarah 1965. Dominasi politik Orde Baru kentara memberikan efek ideologis

mendalam, efek berkepanjangan, dan menghuni dalam bawah sadar publik kendati rezim berganti.

Baskara T. Wardaya dalam pengantar menjelaskan: ''Jika korban pembunuhan masal mencapai

sekitar setengah juta orang, buku ini mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya lebih

banyak dan kurun waktunya lebih panjang.'' Jadi, buku ini bisa menjadi pemicu penyadaran untuk

menilik ulang cara membaca dan menafsirkan tragedi 1965 dan ulah Orde Baru.

Stigmatisasi adalah model penghancuran dan pembinasaan sistematis. Kita kerap mengabaikan itu

karena indoktrinasi Orde Baru, represi politik, dan keburaman ingatan. Metafor komunis, orang

kiri, Gestapu telah menciptakan gambaran kejam dalam sejarah Indonesia. Pemaknaan politis oleh

Orde Baru membuat kita terjebak pada stigmatisasi dengan pamrih ideologis. Buku ini menyapa

kita untuk mengoreksi, mengkritisi, dan mengubah tafsiran agar ada pemahaman komprehensif

tentang sejarah 1965 dan efek-efek lanjutan. Buku ini mengingatkan kita untuk peka sejarah dan

melawan tafsir dominasi ideologis. Begitu. (*)

*) Bandung Mawardi , pengelola Jagat Abjad Solo

Judul Buku: Kuasa Stigma dan Represi Ingatan

Penulis : Tri Guntur Narwaya

Penerbit: Resist Book, Yogyakarta

Cetakan: September 2010

Tebal: xlii + 250 halaman

PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI NASIONAL

Teman-teman,

Membaca secuwil tulisan Ikranegara di bawah ini, saya jadi ingat peribahasa Indonesia

yang berbunyi: ―Tungau diseberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata nggak

nampak‖. (tungau=mite that infests fowls, mite).Saya rasa, begitulah keadaan si ―penulis terkenal‖

Ikranegara itu. Begitu lamanya tertidur kemudian mimpi untuk menulis hal-hal yang barangkali

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

72 | P a g e

bisa dihembus-hembus dengan harapan untuk bisa menjadi api besar menyala membakar

kesana kemari. Yang bermain dalam pikiran dan kayalan beliau yang dikembangkannya menjadi

propaganda picisan itu tidak lain adalah kejelekan komunis. Seperti saya katakan diatas, gajah di

pelupuk matanya, nggak kelihatan.

Matanya tertutup dan hatinya buta akan kebenaran sejarah . Si penulis, penyair, penyajak, ahli

reklame dan propaganda yang punya ambisi mengatasi propaganda Suharto ini, nampaknya tidak

pernah baca apalagi mempelajari sejarah. Mata dan hatinya buta akan kebenaran. Yang ada dalam

kepalanya cuma kejelekan dan kebencian akan komunis. Memang ada baiknya-dan juga ada tidak

baiknya-ucapan pak Asahan yang mengatakan: ‖……biarkan Ikranegara teriak-teriak dengan

tulisan-tulisan anti Komunisnya ke media manapun yang dia sukai. Dengan demikian dia akan mudah

dicatat dan diingat sejarah dan juga ditelanjangi isi otaknya yang berpihak pada fitnah dan

kebohongan durjana kaumnya suharto dan orbanya yang kadang-kadang pura-pura dia cela. Siapa

yang tidak tahu gerombolan pengarang anti Komunis sejenis Ikranegara di masa lalu. Menghadapi

Ikranegara tidak sulit dan kadang-kadang juga tidak perlu‖. Mengapa saya katakan ada baiknya

ucapan pak Asahan itu? Karena Ikranegara kan seniman Manikebu, tentunya sudah tua, dan

sebentar lagi tentu mati sendiri! Jadi biarkan saja!

Namun saya pikir, ada juga tidak baiknya membiarkan propaganda itu karena mengingat sifat

bangsa kita yang pelupa akan sejarah, propaganda picisan Ikanagara itu bisa saja dianggap benar

oleh fihak-fihak yang malas mempelajari kebenaran sejarah. Seperti segala fitnah dan rekayasa

Suharto tentang komunis tahun 1965. Karena fitnah dan rekayasa itu disiarkan berulang-ulang

siang malam pagi sore selama 32 tahun, bagi orang-orang yang tidak mau repot-repot menggali

kebenaran sejarah, menganggap bahwa apa yang dipropagandakan rezim Suharto itu sebagai suatu

kebenaran. Maka terciptalah pembodohan massal oleh rezim Suharto. Semua cuma ―inggih ndoro‖

dan ―nrimo ing pandum‖.

Justru inilah yang menjadi isi pikiran ―yang terhormat‖ seniman Ikranegara. Dengan

propagandanya, dia mencoba membuat rakyat terutama generasi muda bangsa menjadi malas

menyelidiki sejarah, cuma ―nrimo pandum‖ sebodo amat, dan cuma meng-amini dan menjadi buta

seperti Ikranegara sendiri, yang bisa melihat tungau di seberang lautan tapi tidak bisa melihat

gajah di pelupuk matanya.

Kalau saja, (saya ulangi: kalau saja) Ikranegara mau membaca dan mempelajari sejarah tentang

bagaimana dan berapa banyak orang komunis yang dibunuh oleh kaum reaksioner anti komunis dan

anti Sukarno, barangkali pikirannya bisa menjadi jernih. Sebagai contoh, kalau memang

Ikranegara mau belajar sejarah, beliau mesti tahu bahwa begitu berdiri Dewan Banteng/PRRI di

Sumatra tahun 1958, semua pimpinan dan anggota komunis ditangkap dan dimasukkan ke dalam

tahanan di seluruh tempat dan kota di seluruh Sumatra Barat, padahal orang-orang komunis

itu tidak berbuat apa-apa. Hal ini disebabkan karena kecemburuan politik, di mana PKI menang

dan masuk menjadi partai besar ke-4 dalam Pemilu 1955. Dalam tahanan, orang-orang komunis

yang tanpa salah itu disiksa dengan berbagai cara. Wanita-wanita muda yang ditahan diperkosa,

dipaksa mengandung anak-anak haramnya para militer dan pejabat PRRI dalam rahim mereka. Dan

ribuan mereka yang ditahan oleh PRRI mengalami akhir nasib yang sangat mengenaskan,

diberondong dengan senapan-mesin, dibakar dan dibulldozer, didorong kedalam lobang besar yang

digali sebelumnya dan ditimbun oleh tentara PRRI. Ini terjadi hampir di setiap desa dan kota di

Sumatera Barat, seperti di Simun, Situjuh, Atar, Gunung Sago dan banyak tempat lainnya. Sampai

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

73 | P a g e

hari ini, kalau mau mencari dan menyelidiki, masih ada saksi hidup yang bisa bicara tentang

peristiwa kebiadaban di Sumatera Barat ini.

Kemudian di tahun 1965, Jenderal Suharto yang meneruskan cita-cita dan praktek PRRI yaitu

anti Komunis dan Anti Sukarno, menggunakan para perwira muda Angkatan Darat yang tergabung

dalam apa yang disebut G30S, menghabisi lawan-lawannya yaitu 6 jenderal yang enjatuhkankannya

dari kedudukan sebagai Pangdam VII Diponegoro di tahun 50-an karena kejahatan kriminal yaitu

penyelundupan yang dilakukannnya. Dengan merekayasa dan memfitnah bahwa G30S itu

sepertinya dilakukan oleh PKI (ucapan Yogasugama di pagi hari 1 Oktober 1965), Jenderal

Suharto dengan licik menggunakannya untuk membakar semangat segolongan massa. Dengan

dibredelnya semua surat kabar dan media-massa kecuali Harian Angkatan Bersenjata dan Berita

Yudha (Koran Militer), maka rakyat tidak bisa mendapatkan informasi yang benar dan dipaksa

menerima dan menelan ―kebenaran‖ dari apa yang dikarang dan disiarkan oleh Angkatan Darat dan

antek-antek imperialis. Rakyat dibutakan matanya, tidak bisa mencari kebenaran. KAMI/KAPPI

yang dibentuk dan menjadi alat imperialis AS menjadi tenaga demonstrator yang besar yang

setiap harinya dijatah 5000 nasi bungkus lengkap dengan lauk pauknya dan jaket

kuning dari kedutaan Amerika, bertindak sebagai alatnya Suharto untuk membela dan

mengembangkan rekayasa dan fitnah yang diciptakan, demi tujuan Suharto menuju singgasana

kekuasaan.

Dengan alasan G30S, dengan alasan pembunuhan keji atas 6 jenderal, Suharto dengan dibantu

oleh Sarwo Edhi Wibowo (bapak mertuanya SBY), Sumitro, Sudomo, Kemal Idris, Yasir Hadibroto

dan para jenderal serta petinggi Angkatan Darat lainnya, dengan massa yang dijadikan sebagai

anjing pelacak AD, menyalahgunakan rasa keagamaan untuk menghasut dan menanam kebencian

terhadap komunis, dan melakukan pembunuhan massal atas bangsa Indonesia yang tak berdosa

dan tak tahu apa-apa. Diseluruh bumi persada darah rakyat tumpah. Pembantaian sadis terjadi di

mana-mana atas orang yang dituduh komunis. Mereka dilenyapkan, dihabiskan, ditahan tanpa

peradilan bahkan sampai mati, dibuang ke pulau Buru, wanita-wanita muda diperkosa beramai-

ramai kemudian dibunuh. Sungai-sungai, selokan dan paya-paya penuh dengan mayat-mayat tak

berkepala. Rumah dan gedung-gedung milik orang-orang yang dituduh komunis, dirampas dan

dijarah oleh militer dan komando aksi.

Para Mahasiswa yang dikirim belajar ke luarnegeri, para duta dan perwakilan Indonesia, dicabut

paspornya hingga mereka menjadi orang yang kleleran dan mencari-cari gantungan di negeri asing.

Semua ini dilakukan Suharto demi menghabiskan kaum komunis sebagai pengikut-pengikut Sukarno

. Dan setelah para pendukung Sukarno yang setia ini semua habis dan dilumpuhkan, sasaran

Suharto selanjutnya adalah Sukarno. Suharto dengan licik berhasil menahan dan secara perlahan-

lahan membunuh Sukarno. Presiden dan Bapak Bangsa Indonesia, Penemu dan Pejuang

Kemerdekaan, Bapak Pancasila dan Peyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sukarno mati di tangan

perwira Angkatan Darat yang pernah diselamatkannya! Kemudian manusia militer fasis Suharto ini

melenggang masuk ke Istana Merdeka, jadi presiden mengangkangi Indonesia selama 32 tahun,

dengan topangan bedil dan bayonet (AD) serta dukungan partainya yaitu Golkar. Rakyat dibikin

bodoh dan tidak bisa atau berani berpikir karena diancam dengan tuduhan murahan yaitu ―PKI‖,

sehingga sampai 7 termen Suharto menjadi calon tunggal dan menjadi presiden, seolah-olah

jutaan bangsa Indonesia semua bebal, goblok, dan dungu nggak ada yang pinter dan bisa menjadi

presiden selain Suharto!

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

74 | P a g e

Mestinya, rakyat Indonesia—terutama yang terhormat Ikranegara—mempelajari sejarah secara

benar dan teliti. Jangan cuma ―dengar‖, atau ―menurut cerita‖ dan ngarang sejengkal jadi sedepa.

Harus dikemukakan fakta-fakta kebenarannya. Rakyat Indonesia sekarang tidak lagi hidup di

jaman Suharto yang bisa di takut-takuti dengan ancaman atau tuduhan sebagai komunis dsb.

Tentang jumlah Korban Pembunuhan Massal 1965/1966 di Indonesia, kalau yang terhormat

bapak Ikranegara mau tahu, saya cuplikkan beberapa potongan berita tentang itu sbb.: Dr.

Robert Cribb, Dosen Sejarah pada Universitas Nasional Australia di Melbourne, memperkirakan

jumlah korban berkisar antara 78.000 hingga 2 juta jiwa. John Hughes dalam bukunya

―Indonesian Upheaval‖ (1967), memprediksikan antara 60.000 hingga 400.000 orang. Donald

Hindley dalam tulisannya, ―Political Power and the October Coup in Indonesia‖ (1967),

memperkirakan sekira setengah juta orang.Prof. Guy Pauker, agen CIA yang sangat dikenal dan

tidak asing lagi di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat), dalam tulisannya ―Toward

New Order in Indonesia‖ memperkirakan 200.000 orang yang dibunuh.

Yahya Muahaimin dalam bukunya ―Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966‖,

memprediksikan sekira 100.000 orang. Ulf Sundhaussen, dalam bukunya ―The Road to Power:

Indonesian Military Politic 1945-1967‖ (1982), khusus untuk Jawa Barat, tanpa menyebut angka,

mengatakan bahwa dari seluruh anggota komunis yang dibunuh di Jawa Barat, bisa jadi hampir

seluruhnya dibantai di Subang.

Kolonel Sarwo Edi Wibowo, Komandan RPKAD, pembunuh berdarah dingin dengan 400 orang anak

buahnya yang melakukan pembersihan di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, kepada

Panitia Pencari Fakta, dengan bangga mengaku ―telah membunuh 3 juta komunis‖. Sedang,

Bertrand Russel,pemikir besar Liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang

amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia. (Perang Urat Syaraf…Kompas 9

Pebruari 2001) ―Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah

korban perang Vietnam selama 12 tahun‖ (―In four months, five times as many people died in

Indonesia as in Vietnam in twelve years‖).

(Maafkan pak Ikra, kalau saya mesti mengucapkan ―Masyaallah dan Astagafirullah…….karena

Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang

Vietnam selama 12 tahun‖!) Di samping itu semua, Pramudya Ananta Toer, Sastrawan dan bekas

tapol dari Pulau Buru, dalam ucapannya sebelum meninggal dunia, yang direkam dalam film

dokumen ―Shadow Play‖ mengatakan: ―Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang

dibunuh. Soedomo [Kopkamtib] mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie [RPKAD]

mengatakan 3 juta yang dibunuh. Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang‖.

Pembunuhan Massal 1965/1966 inibenar-benar ibarat ‗gajah di pelupuk mata‖ yang coba dilupakan

begitu saja! Buat sekedar tambahan pengetahuan pak Ikra, bersama ini saya cuplikkan Telegram

Green, Dutabesar AS di Jakarta ke Washington tanggal 20 Oktober 1965 yang mengatakan:

Beberapa ribu kader PKI dilaporkan telah ditangkap di Jakarta….beberapa ratus diantaranya

telah dibunuh. Kami mengetahui hal itu….pimpinan PKI Jakarta telah ditangkap dan barangkali

telah dibunuh… RPKAD tidak mengumpulkan tawanan, mereka langsung membunuh PKI. Green

melanjutkan: ―pembersihan oleh AD berlanjut di kampung dan tempat-tempat lain di daerah

Jakarta. Pemuda Muslim ―membantu‖ mengawani pasukan militer. Sumber mengatakan ―beberapa‖

pembunuhan merupakan hasil dari pembersihan ini. Fakta lebih jauh tentang hubungan militer

dengan kumpulan yang terorganisir dalam kampanye anti PKI ini, dapat dilihat dari pertemuan

antara Kolonel Ethel ( CIA ) dan pembantu dekat Jenderal Nasution, yang mengatakan bahwa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

75 | P a g e

demonstrasi anti PKI akan meningkatkan pengganyangan menjadi anti Tionghoa. Dan pengrusakan

dan pendudukan kantor perdagangan Kedutaan Tiongkok di Cikini, bukan dilakukan oleh AD akan

tetapi oleh ―mereka yang bertindak untuk kita‖, yaitu Muslim dan Ansor. Hanya 3 bulan semenjak

kampanye anti PKI , CIA melaporkan: Hampir semua anggota Politbiro PKI ditangkap, banyak

diantara mereka telah dibunuh, termasuk tiga pimpinan tertinggi partai. Berita besar hari ini,

adalah: ditangkap dan dibunuhnya Ketua PKI D.N. Aidit. Sedang pembunuhan terhadap anggota

dan simpatisan PKI di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terus berlangsung…….‖

Bagi AS dan sekutunya, keberhasilan Angkatan Darat Indonesia menghancurkan PKI adalah

merupakan suatu kemenangan besar‖ Demikian Marian Wilkinson menulis dalam Sydney Morning

Herald, July 10, 1999

Dalam tulisannya, pak Ikra ngarang dan menyusun kalimat: ―…….seorang kiyai dikroyok oleh orang

PKI sampai babak belur tak berdaya dan bahkan kemudian dikencingi oleh salah seorang anggota

Gerwani.‖

Seperti kata pak Asahan, propaganda picisan Ikra diatas ini, sungguh mau mencoba mengatasai

propaganda anti komunisnya Suharto, yang menipu,memitnah,merekayasa dan menghasut massa

dengan mengindentikkan dan mengingkari kemusiaan orang komunis, penggambaran mereka

sebagai mahkluk kejam, asusila dan ateis, dan musuh Tuhan dan penyalah gunaan rasa keagamaan

untuk menghasut, dan menanam kebencian terhadap komunis. Pandangan ini mengabaikan

kenyataan bahwa hampir semua anggota PKI , seperti juga semua bangsa Indonesia beragama.

Akan tetapi, hasutan-hasutan itu memang bukan bermaksud menggambarkan kebenaran, melainkan

menanamkan kebencian, menabur gagasan bahwa memerangi PKI adalah wajib hukumnya, bahkan

tidak haram untuk mengalirkan darah orang komunis. Itulah yang ada di dalam hati dan pikiran

Ikranegara!

Dengan Peristiwa Pembunuhan Massal 1965, ―hasil‖ hasutan, fitnah, kelicikan dan rekayasa

Suharto itu menyebabkan massa yang beragama, massa yang berkebudayaan dan berpribadi dan

mengaku ―melaksakan Pancasila secara murni dan konsekwen‖, menjadi serigala atas sesama

manusia, lupa kepada Ketuhanan, lupa kepada Kemanusiaan dan lupa kepada Pancasila yang

di‖agungkannya‖. Sehingga dengan bantuan dan tulangpunggung AD, terjadilah Peristiwa

Pembunuhan Massal 1965/1966 itu. Nah berapa ribu ―kiyai‖ yang dituduh PKI yang ikut menjadi

korban, bukan saja sekedar dikencingi tapi dibunuh dengan kejam oleh pengikut-pengikut fasis

Suharto.

Silahkan pak Ikra membaca cuplikan berita dari wartawan asing yang menjadi saksi, betapa ―gajah

nongkrong di pelupuk mata‖ golongannya pak Ikra.

―Penduduk Muslim di Aceh sangat gairah dalam menghabiskan kaum komunis. Mereka memotong

leher orang-orang PKI dan menancapkan kepalanya disepanjang jalan buat tontonan. Pimpinan

organisasi Pemuda Pancasila mengatakan kepada pejabat Konsulat Amerika di Medan bahwa

organisasi mereka (Pemuda Pancasila) akan membunuh setiap anggota PKI yang dapat mereka

tangkap. Organisasi itu tidak akan menyerahkan orang PKI itu kepada penguasa/pemerintah,

sebelum mereka mati atau hampir mati. Kantor-kantor PKI , toko, dan rumah-rumah dibakar.

Ratusan dan mungkin ribuan kader dan aktivis PKI (yang belum sempat dibunuh-pen) ditahan

dipenjara atau ditempat-tempat yang dijadikan tempat tahanan‖ .(Marian Wilkinson, Sydney

Morning Herald, July 10, 1999).

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

76 | P a g e

Di Sumatra Utara korban buruh perkebunan, sedikitnya 100.000 tewas Sedang di Tapanuli, Utara,

Selatan dan Simalungun tatanan adat terjungkal setelah milisi Komando Aksi Penumpasan G30S

mulai bergerak mengganyang elemen-elemen komunis. Mereka tidak peduli apakah korban adalah

paman, satu marga atau keluarga istrinya. Mereka tidak peduli kendatipun hubungan yang

dibentuk hirarki adat itu adalah simpul keutuhan sosial. Bahkan Brigjen Kemal Idris, Komandan

RPKAD mengatakan: ―Soeharto memberi perintah untuk membersihkan semua …..maka ini yang

saya lakukan. Saya perintahkan semua prajurit saya untuk patroli dan menangkap setiap orang

PKI. Selama masih ada satu orang komunis di Indonesia, akan ada operasi militer melawan satu

orang itu‖ (Silahkan lihat film dokumen Shadow Play).

Nah, kalau pak Ikra punya keberanian, silahkanlah melihat ―Gajah yang dipelupuk mata‖ ini.

Silahkan bongkar dan selidiki, berapa juta manusia komunis yang dibunuh rezim Suharto dan

antek-anteknya. Berapa puluh juta bangsa Indonesia, keluarga para korban yang dibuat sengsara

oleh kezaliman rezim Suharto selama berkuasa 32 tahun (bahkan masih menderita sampai

sekarang kendatipun telah beberapa kali tukar presiden!) dengan menggunakan segala macam

hukum dan peraturan diskriminatif dan tidak manusiawi, serta tebang pilih. Silahkan menggali dan

belajar, menggali sejarah yang benar, jangan sampai peristiwa besar ditanah air yaitu

pembunuhan massal 1965/1966 ditutup-tutupi dan dimasukkan ke keranjang sampah atau disapu

di bawah karpet supaya orang tidak bisa melihat. Tragedi Pembunuhan Massal 1965/1966 adalah

Dosa dan Aib Bangsa yang tidak bisa dilupakan begitu saja yang coba ditutupi dengan propaganda-

propaganda picisan seperti ―kiyai dikencingi‖ dsb.! Ingatlah selalu akan pepatah Jawa: ―Becik

ketitik olo ketoro!‖ Sepandai-pandai menutup bangkai, lambat laun terbau juga!

Selamat memperingati 45 tahun Peristiwa Pembunuhan Massal 1965/1966. Salam buat sanak

saudara korban pembunuhan massal Suharto dan semua Korban Rezim Orde Baru.

Australia-15 Pebruari 2010

=======================

Re:: [wahana-news] Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI

TRAGEDI NASIONAL...

Sat, February 13, 2010 5:56:40 PM

From: MiRa <[email protected]> ...View Contact

To: [email protected]

________________________________

Benar adanya, bahwasanya sosok sejenis "Ikranagara" akan tetap bertahan melakukan kampanye

reklame murahan ditambah fitnahan picisan. Tapi saya percaya bahwa rakyat Indonesia bukanlah

orang bodoh yang gampang di manipulasi informasi kebohongan selama lebih dari 32 tahun lamanya

hidup dalam penjara besar nusantara, ditambah dengan kondisi represi dan penindasan kekuasan

rejim militer Soeharto.

Di masa rejim Soeharto yang secara sistimatis dan struktural melakukan represi dan menindas

rakyatnya, juga memperdagangkan reklame picisan melalui media massa, seni dan budaya baik

dengan cara terbuka maupun dengan cara terselubung, yang kesemuanya mendapat dukungan dari

rejimnya dan di sponsori oleh kepentingan kapital asing di pimpin oleh USA.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

77 | P a g e

Di paska reformasi, tentu masih banyak sosok-sosok loyalis rejim militer soeharto yang mengatas

namakan sebagai seorang intelektual, seorang sutradara dan penyair, misalnya dari Groups

Berkely di pimpin oleh Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961,BBPN

Director), Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964), Arifin C. Noer dan para penanda

tangan manikebu menganggap peristiwa sejarah berdarah 1965/1966 merupakan tindakan halal

yang tetap menunjukan sikap dan tindakan loyalitasnya terhadap warisan rejim kediktatoran

militerism Soeharto dan antek-anteknya. ..

Dan mereka2 itu juga masih punya anak-anak buahnya yang tetap keleleran di bumi pertiwi, atau

seusai melakukan pendidikan konsolidasinya dari USA, yang melakukan penipuan sejarah

kebenaran, dengan secara sukarela atau pun di pelihara dan di biayai oleh para pendukung-

pendukung loyalis warisan rezim Seharto buat mempertahankan model kehidupan jaman rezim

Militer untuk tetap melestarikan propaganda budaya fitnah picisan.

Tapi ada pula generasi muda yang bergelut di dunia intelektual, sutradara, penyair memiliki

kesadaran pada Sejarah kebenaran Peristiwa Berdarah 1965/1966, yang pula menjadi sosok

berpengaruh di lingkungan masyarakat di Indonesia, dengan memiliki visi dan missi kemanusiaan

dan keadilan sosial.

Sekali lagi aku percaya pada rakyat Indonesia yang sampai saát ini hidupnya semakin terpuruk

kehidupan sosial-ekonominya, bukanlah rakyat bodoh yang gampang dimanipulasi oleh sisa2 sampah

loyalis rejim militer warisan Soeharto sejenis "Ikranagara" ....

Akan ada saátnya, Sejarah kebenaran Peristiwa berdarah 1965/1966 Bersaksi di hadapan

pengadilan rakyat...

Tetap semangat, perjuangan rakyat tertindas pasti akan menang!

Info sehubungan dengan Groups berkeley, click: http://en.wikipedia .org/wiki/ Berkeley_ Mafia

Info sehubungan dengan Manikebu versus LEKRA, silahkan click:

http://books.coffee-cat.net/2006/11/pramoedya-sastra-realisme-sosialis/

http://asepsambodja.blogspot.com/2009/09/goenawan-mohamad-dan-manikebu.html

http://id.shvoong.com/social-sciences/1711504-soal-naskah-musibah-manikebu/

Selamat menikmati malam minggu,and HAPPY VALENTINE DAY!

================================

>----- Original Message -----

From: iwamardi

To: [email protected]

Cc: [email protected] > ; [email protected]

Sent: Saturday, February 13, 2010 9:05 AM

Subject: [temu_eropa] Re:: [wahana-news]

Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI NASIONAL

Setelah membaca tulisan Sdr. Ikranagara dibawah, lepas dari masalah manikebu atau bukan

manikebu, saya punya kesan, kok begitu dangkal propaganda yang dituliskan oleh seorang

sutradara dan penyair pula. Padahal sudah ada berratus ratus buku buku sejarah yang authentik

yang membuktikan bahwa semua fitnahan fitnahan murahan itu bohong semua. (Misal tulisan Ben

Anderson, John Roosa, Hersutejo dan lain lainnya).

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

78 | P a g e

Sepertinya kaya membaca (ini kalau saya lho) reklame murahan ditambah fitnahan picisan. Terus

terang saya mengharapkan tulisan yang lebih bermutu dari seorang intelektuil, seorang sutradara

dan penyair. Anehnya pula, ada juga teman teman kita yang (pernah) mengaguminya lagi......

Saya tidak mengatakan apa yang ditulis Sdr. Ariprati itu benar semua ( terutama bentuknya ),

tapi juga tidak salah semua isinya, maknanya. Ya, terserah pembaca yang lain, bagaimana penilaian

terhadap tulisan Sdr. Ikranagara tersebut dibawah. Saya kira ada baiknya, jika teman teman

semilis memberikan pendapatnya, jangan berdiam diri karena menunggu pendapat yang lain dahulu,

ber "silence is golden" saja. Kebiasaan yang kurang baik saya kira.

salam

iwamardi

____________ _________ _________ __

From: Halim Akbar <halimakbar38@ yahoo.co. id>

To: AKSARA SASTRA <aksarasastra@ yahoogroups. com>; artculture-indonesi a@yahoogroups.

com; GELORA45 <gelora45@yahoogroup s.com>; mimbar-bebas@ yahoogroups. com;

Pembebasan_Papua@ yahoogroups. com; SANTRI KIRI <santrikiri@yahoogro ups.com>;

SASTRA PEMBEBASAN <sastra-pembebasan@ yahoogroups. com>; wahana-news@ yahoogroups.

com

Cc: BDG KUSUMO <bdgkusumo@volny. cz>; gm <goenawan_mohamad@ hotmail.com>;

gustafd <gustafd@cbn. net.id>; harsutejo <harsonos@cbn. net.id>; hersri setiawan <hersri@yahoo.

com>; Hilmar Farid <hilmar_farid@ yahoo.de>; tatiana lukman <jetaimemucho@ hotmail.com>;

> kohar_be@yahoo. fr; la_luta@yahoo. com; Sulistya Dewi <lies3t@hotmail. com>; [email protected];

sangumang kusni <meldiwa@yahoo. com.sg>; PUTU OKA SUKANTA <poskanta@indosat. net.id>;

> SAMIAJI <samiaji@free. fr>; Ambon <sea@swipnet. se>; Siauw <[email protected]>;

siswa99@yahoo. com; May Teo <subang@singnet. com.sg>; sudharsono <tambora@club- internet.

fr>; taufiqism500@ hotmail.com; teddy sunardi <teddysunardi@ gmail.com>; DR Alexander

Tjaniago LLM yskp45@lycos. com

Sent: Fri, February 12, 2010 10:39:02 PM

Subject: [GELORA45] Bls: [wahana-news]

Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI NASIONAL

Saya pernah baca pak Ikra ini salah seorang penandatangan Manikebu. Anehnya, teman-temannya

sudah banyak yang tobat dan mengakui eksistensi Lekra dalam periode 1950-1965 dan

memberikan sumbangannya dalam pengembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Kasihan juga pak

Ikra ini malah kembali ke belakang ditinggalkan teman-temannya satu Manikebu.

Pada Jum, 12/2/10, ASAHAN a.alham@kpnplanet. nl menulis:

Dari: ASAHAN a.alham@kpnplanet. nl

Judul: [wahana-news] Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI

TRAGEDI NASIONAL

Kepada: "AKSARA SASTRA" <aksarasastra@ yahoogroups. com>, artculture-

indonesia@yahoogroups. com, "GELORA45" <gelora45@yahoogroup s.com>, mimbar-

bebas@yahoogroups. com, Pembebasan_Papua@ yahoogroups. com, "SANTRI KIRI"

<santrikiri@yahoogro ups.com>, "SASTRA PEMBEBASAN" <sastra-pembebasan@ yahoogroups.

com>, wahana-news@ yahoogroups. com

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

79 | P a g e

Tanggal: Jumat, 12 Februari, 2010, 1:14 PM

Ikranegara adalah seorang penyair anti Komunis yang cukup terkenal dan termasuk yang

berbahagia bisa menikmati demokrasi di antara musuh-musuhnya yang lama hingga sekarang ini.

Mungkin dia menggunakan semua media untuk menyebarkan sajak-sajaknya, reklame untuk diri

sendiri sebagai "bintang film"yang merasa laku dan terkadang menulis-nulis sesuatu yang bernada

anti Pemerintah. Tapi dari semua itu yang terpenting adalah propaganda anti Komunisnya yang

ingin menggantikaan propaganda anti Komunisnya suharto dan orba yang semakin tidak laku, tidak

dihiraukan orang-orang. Ikranegara merasa bebas terbang ke mana saja yang dia ingini bagi

meneriakkan lagu lama anti Komunisnya yang dia sangka masih manjur dengan mengulang-ulang

fitnahan suharto terhadap PKI yang bahkan John Roosa sendiri yang jauh lebih lihai dari dia,

gagal dan cuma dibela segelintir intelektuil yang satu ideologi dengannya: anti komunis dalam

berbagai selubung, dalam berbagai tipuan dan metode demagogi dan munafik.

Tapi Ikranegara berani main kasar, blak-blakan anti Komunis bahkan di media yang dia tahu

sendiri, dia sesungguhnya tidak punya tempat di sana namun masih dibiarkan orang entah sampai

kapan. Saya sendiri, pribadi, punya pendirian, biarkan Ikranegara teriak-teriak dengan tulisan-

tulisan anti Komunisnya ke media manapun yang dia sukai. Dengan demikian dia akan mudah

> dicatat dan diingat sejarah dan juga ditelanjangi isi otaknya yang berpihak pada fitnah dan

kebohongan durjana kaumnya suharto dan orbanya yang kadang-kadang pura-pura dia cela. Siapa

yang tidak tahu gerombolan pengarang anti Komunis sejenis Ikranegara di masa lalu. Menghadapi

Ikranegara tidak sulit dan kadang-kadang juga tidak perlu. Anjing menggonggong, Komunis

bersatu.

ASAHAN.

Subject: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI

NASIONAL

Dear all!

Salah satu kebiadaban itu adalah teror yang dilakukan PKI di Kanigoro atas sejumlah anak-anak

remaja Pelajar islam Indonesia yang sedang melakukan mental training, pada Januari 1965.

Kekerasan ini dibukukan dengan baik oleh korban Anis Abiyoso dan penyais Ahmadun Y. Herfanda.

Bahkan diungkapkan juga kejadian-kejadian lain di Jawa Timur pada masa itu, menjelang 1

Oktober. Yang antara lain disaksikan oleh seorang tokoh pemuda organisasinyya PNI berupa

kejadian bagaimana seorang kiyai dikroyok oleh orang PKI sampai babak belur tak berdaya dan

bahkan kemudian dikencingi oleh salah seorang anggota Gerwani. Dll. Bacalah buku "Teror

Subuh di Kanigoro" itu. Dan sejumlah buku lainnya lagi.

Masa itu adalah masa "Jor-joran Manipolis" sesuai anjuran Bung Karno lewat pidatonya, tetapi

yang terjadi di lapangan (di Yogya, Jawqa Tengah, Jawa Timur dan Bali) adalah gontok-gontokan.

Jadi, isi pidato itu maksudnya baik, tetapi efeknya di masyarakat adalah perpecahan berupa bara

di balik sekam.

Yang terjadi di Jakarta (baca: Lobang Buaya) pada 1 Oktober adalah pembunuhan atas beberqapa

orang jenderal AD, dan itu sangat luar biasa, maka patutlah tanggal 1 Oktober 1965 itu

diperingati sebagai Hari Tragedi Nesional! Pembunuhan yang sama modus opreransinya, yakni

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

80 | P a g e

menjebeloskan mayat korban ke dalam sumur, dilakukan orang-orang PKI, Pemuda Rakyat cs

terjadi juga di banyak daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rentetan itu terjadi karena

adanya instruksi agar di seluruh daerah dibentuk Dewan Revolusi Daerah oleh CDB PKI dan

underbownya.

Saya sendiri sedang menulis novel yang berlatar belakang peristiwa teror PKI di Kanigoro itu.

Setelah ini nanti, akan saya tulis sebuah novel yang berlatar belakang zaman "Jor-joran

Manipolis" di Bali. Sebuah drama sudah saya tuliskan dan pentaskan di TIM berjudul "Agung"

tentang "perang tanding" antara PKI vs PNI di Bali.

Dalam novel yang akan saya tulis setelah yang sedang saya tulis ini adalah berangkat dari drama

saya itu, mengungkapkan apa yang terjadi menjelang 1 Oktober dan sesudahnya, terutama yang

terjadi di kota kelahiran saya pada 30 Nopember ketika CDB PKI angkat senjata di sana. Maka

saya akan ungkapkan korban di kedua belah fihak, baik difihak PKI maupun yang bukan PKI.

Marilah kita jangan setengah-setengah dalam mengungkapkan pejadian sejarah kita.

Ikra.-

http://www.contradictie.nl/1965cc/archive/2005/12/051218JomaEngl.html

Reflections on the 1965 Massacre in Indonesia

By Prof. Jose Maria Sison

Chairperson International League of Peoples‘ Struggle

Amsterdam, Netherlands, 18 December 2005

I wish to thank the 1965 Commemoration Committee for inviting me to speak. It is an honor for

me to be with other speakers very knowledgeable about the subject and very distinguished in

the struggle to seek justice for all the people victimized by the 1965 massacre in Indonesia.

I have become acquainted with Indonesian history and current affairs since 1961 when I took a

scholarship from the Jajasan Siswa Lokantara. I stayed in Indonesia during the first half of

1962 to study bahasa Indonesia and translate the poems of Chairil Anwar. I went back to

Indonesia twice in 1963 and 1964 as a correspondent of the London-based Eastern World and as

member of the Afro-Asian Journalists‘ Association.

I had the opportunity to meet Yusuf Isak in 1963. He was then an officer of the Indonesian

journalists‘ association. I admire him for his longrunning fight for human rights in connection

with the 1965 massacre and other barbarities of the so-called New Order of the US-directed

Suharto military fascist dictatorship.

Since 1962 I have been exceedingly close to Indonesia and the Indonesian people. As general

secretary of the Philippine-Indonesian Friendship and Cultural Association up to 1965, I

arranged quite a number of cultural exchanges between the Philippines and Indonesia. I also met

officers and members of Indonesian progressive forces, including communists, nationalists and

religious believers, and gained some insights into the factors and events before, during and after

the 1965 massacre. US and Other Imperialist Forces Behind the 1965 Massacre

The US and other imperialist powers were behind the 1965 massacre in Indonesia. They had the

largest interest in and strongest motive for using the Suharto military clique to end the Sukarno

government and the national united front that were opposed to colonialism, imperialism and

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

81 | P a g e

neocolonialism. They provided the most decisive means for the Suharto military clique to do

their brutal bidding. And they got what they wanted through the puppet instrumentality of the

Suharto military fascist dictatorship.

In the aftermath of World II, the US emerged as the strongest imperialist power and coveted

Indonesia as a rich source of cheap raw materials, a large market and a wide field for

investments. It regarded control of the country as necessary for having hegemony over the

entire Southeast Asia. It wished to have Indonesia as a semi-colony in the face of the

determination of the Indonesian people to uphold and fight for their national independence as

proclaimed in 1945 as well as the failed attempts of the British and Dutch imperialists to bring

back the old colonial times.

The sense of national unity among the Indonesian people was strong against colonialism and

imperialism, particularly because of the revolutionary role of the Communist Party of Indonesia

(PKI) and the constant willingness of this party to be in alliance with the nationalists and

religious believers against foreign domination. The US, Dutch and British imperialists saw the

PKI as an obstacle even only to making a semi-colonial or neocolonial arrangement.

Thus, the US and its Indonesian stooges were always seeking to suppress the PKI. In fact, the

Madiun incident of 1948 was the first serious provocation aimed at eliminating the PKI and its

followers through mass arrests and mass murder after World War II. It pushed the communists

out of the government and paved the way for the neocolonial compromise like the Round Table

Conference Agreement of 1949. The US, British and Dutch held on like mad to their oil interests

and plantations in Indonesia.

Under the Eisenhower administration, the US National Security Council had already adopted by

1953 a series of documents whose essential line called for ―appropriate action, in collaboration

with other countries, to prevent communist control of Indonesia.‖ Military training of Indonesian

officers was planned as a means of increasing US influence. At the same time, the CIA

concentrated on undertaking and developing relations with the right-wing political parties and

organizations, including the Masjumi, the pseudo-socialist parties, the SOKSI trade unions and

certain Islamic youth organizations. And it provided them with funds.

The ceaseless attempts of the US and other imperialist powers to press their neocolonial

demands eventually compelled the nationalist Sukarno to seek alliance with the PKI against US-

lining political opponents like Hatta and Sumitro, the Partai Socialis Indonesia and Masjumi up to

the mid-1950s and the regional rebellions like those of Permesta-PRRI and the Darul Islam-TNI

in 1958. The US supplied arms and money to the regional rebellions through various channels,

including Filipino military agents, and even openly launched an assassination attempt on Sukarno

in 1957 by airplane from the US Clark Air Base in the Philippines.

But all the hostile US maneuvers and intrigues resulted in the intensified resistance of the

Indonesian people and in the strengthening of the PKI and the NASAKOM, which was the united

front of the nationalists, religious believers and communists. Failing with using blatantly crude

methods, the US used a wide range of methods of subversion.

While robbing Indonesia of its oil wealth through the operations of Stanvac and Caltex, in

exchange for paltry amounts of royalty payment, the US offered economic and military aid in

grants and loans. It promoted exchanges between US and Indonesian universities and the Ford

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

82 | P a g e

Foundation used research, study and travel grants in order to influence the academics and

indirectly some students.

The most subversive activities of the US were undertaken by the Pentagon, the CIA, the US air

force, RAND corporation and the Ford Foundation and were aimed at generating influence within

the Indonesian military officer corps. The US military assistance program offered and provided

arms, communications and transport equipment. Indonesian military officers were induced to

undertake US-designed military training program locally and in American military forts.

Under US influence, Generals Nasution and Suwarto established the Indonesian Army Staff and

Command School in Bandung (SESKOAD) to convert the Indonesian army fully into a

counterrevolutionary organization under the strategic doctrine of ―territorial warfare‖ or

―counterinsurgency‖ and developing civic mission or ―civic action‖ programs. The main thrust of

the training was supposedly to prevent a PKI seizure of power, by preparing military officers to

take over functions in administration and in the economy and cooperate with civilian officials and

anti-communist organizations at all levels.

The Ascendance of the Suharto Military Fascist Dictatorship

It was at SESKOAD that Colonel Suharto became the protégé of General Suwarto and took a

prominent part in the early 1960s in the formation of the Doctrine of Territorial Warfare and

Civic Mission. CIA agents like Guy Pauker and assets like Colonel Jan Walandouw spotted Suharto

as an excellent puppet officer, one who was clever and corrupt. The latter had wormed his way

into the confidence of Sukarno and became the commanding general of the Strategic Reserve

Command.

He quietly focused on counterintelligence and became prominent by playing both ends in the

rivalry between Generals Nasution and Yani and eventually making in the army seminar of April

1965 the SESKOAD doctrine as the compromise army doctrine Tri Ubaya Cakti, touting the

independent political role of the army. Under the pretext of counterintelligence and loyalty to

Sukarno, he was able to spread intrigue in his favor and gained advantage at having access to and

using elements and parts of the presidential guards and the Diponegoro Division. His main

collaborators were officers associated with the US-lining PSI.

Suharto and his military clique became the key instrument of the US in preparing the

destruction of the PKI, the NASAKOM and the Sukarno government to allow the US neocolonial

takeover of Indonesia. They rapidly developed in that role from 1961 to 1965. Although Nasution

had been publicly perceived since the Madiun massacre as the principal Indonesian military agent

of the US, the CIA was disappointed with him in 1961 for failing to make a coup against Sukarno

on a number of occasions and for going along with him on the line against Britain, especially with

regard to Malaysia.

During the 1961-65 period, the Indonesian people pressed hard for the realization of their

national democratic rights and interests. The MANIPOL-USDEK was the guiding light within the

NASAKOM framework. The people, especially the workers, pushed for the nationalization of

imperialist-owned enterprises and plantations. The PKI deepened peasant support for the

Indonesian revolution by undertaking a campaign of rural research, mass organizing and land

reform.

The people compelled the Dutch to leave Irian Barat under Indonesian sovereignty. They induced

the foreign oil monopolies to agree to the production-sharing agreement. They mobilized in

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

83 | P a g e

opposing the British neocolonial creation of Malaysia. The US-inspired Maphilindo initiative of

the Manila government could not stop the ―ganyang Malaysia‖ campaign of Indonesia. The

Sukarno government became active in pursuing a policy of nonalignment and anti-imperialism and

demanded the dismantling of US military bases in the region. It developed closer relations with

the Soviet and Chinese governments.

After Sukarno declared, ―To Hell with US Aid‖, the US government suspended non-military aid

and the CIA instigated and manipulated currency speculation and the scarcity of goods,

especially food. But it continued to deliver military assistance to the Indonesian army in the

form of arms, communications equipment, land vehicles and 200 aero commander planes from

Lockheed.

Apart from receiving secret CIA funds, the Suharto military clique received money for

counterrevolutionary operations and self-enrichment from the Lockheed payoffs and the royalty

payments of US oil companies to the army‘s oil company Permina run by General Ibnu Sutowo and

another oil company Pertamin run by Chaerul Saleh, head of the pseudo-proletarian and pro-US

Murba party.

The intelligence agencies of the US, British, Dutch, Japanese, German and Australian

governments collaborated in sharing their intelligence stock with the Suharto military clique

before, during and after the process of eliminating the PKI, NASAKOM and Sukarno. As early as

December 1964, a Pakistani ambassador in Europe wrote to foreign minister Ali Bhutto that a

Dutch intelligence officer with NATO had told him the following: Western intelligence agencies

would organize what would appear as a premature PKI coup, provide the army the opportunity to

crush the PKI and make Sukarno the army‘s prisoner of goodwill. In early 1965, Sukarno himself

complained to Lyndon Johnson‘s special envoy Michael Forrestal about the letter of British

Ambassador Gilchrist referring to the planned coup against Sukarno.

The so-called Gerakan September Tigapuluh (Gestapu) was neither a movement nor a coup

against ―Rightist generals‖ by the PKI and leftists, as claimed by Suharto and his imperialist

masters. All the generals that the so-called Gestapu targeted were pro-Sukarno, with the

possible exception of defense minister General Nasution who had the reputation of being

Rightist and anti-Sukarno. The army chief of staff General Yani and the other five generals

murdered were either pro-Sukarno or followed state policy as put forward by Sukarno.

The so-called Revolutionary Council supposedly headed by Colonel Untung of the presidential

guards had no more reality than the press statement issued in his name. It was used by the

Suharto military clique to give the Gestapu a semblance of reality and to implicate Sukarno

inasmuch as Colonel Untung allegedly claimed that he was acting in defense of Sukarno against a

―Council of Generals‖. Even Sjam the former PSI member and double agent in the PKI special

bureau was used merely as a conduit for the tale about the ―Council of Generals‖ and as a tool

for giving a semblance of truth to the claim that PKI had foreknowledge of the Gestapu and

participation in it.

Suharto used the Gestapu to frame up the PKI and to eliminate the army generals who outranked

him and who could stop his rise to power or even counter the plan to massacre the PKI and other

stalwarts of the NASAKOM. He directed some army units to arrest and murder the six generals

in the name of the illusory Gestapu and then put himself in command of the entire armed forces

under the pretext of stabilizing the situation and defending the leadership of Sukarno. He

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

84 | P a g e

proceeded to direct the mass arrests and massacre of the PKI and other people. Government

officials and the mass media of the imperialist countries kept quiet as most of the carnage was

done by the Indonesian army and its irregular recruits.

Suharto pretended to protect Sukarno and systematically removed the pro-Sukarno and pro-Yani

officers from key army positions. In carrying out the massacre and rendering Sukarno impotent,

he was assisted mainly by pro-Suharto and anti-Yani generals, like Basuki Rachmat and Sudirman

and other officers from SESKOAD. He capitalized on Nasution‘s support for the anti-PKI

pogrom but he also undercut and boxed him out eventually.

Sukarno apparently trusted Suharto until it was too late. In March 1966 Suharto demanded and

got from him the presidential authority to exercise martial law powers. In March 1967 he made

the Provisional People‘s Consultative Assembly name him as the acting president Sukarno

remained under house arrest until his death in 1970. The US gained full control over Indonesia

as a semi-colony or neocolony through the instrumentality of the Suharto military fascist

dictatorship.

It seemed as if this dictatorship would stay in power forever. It proceeded from one anti-

national and anti-people socio-economic policy after another. In the 1960s and 1970s, it seemed

to have stabilized the Indonesian economy by using its oil export and other natural resource

income and rising level of foreign debt to allow imperialist superprofit taking, bureaucratic and

military corruption, consumption-oriented imports and infrastructure-building.

Then with the oil income declining, it shifted into export-oriented semi-manufacturing and into a

foreign-funded program of private construction that boomed in the 1980s and 1990s. These

were excuses for a cash flow to favor conspicuous consumption (cars and palaces) and were in

fact sustained by ever more onerous foreign borrowing. Came the 1997 financial collapse in

Southeast Asia, the protest mass actions spread, became bigger and intensified. The Suharto

dictatorship was ripe for a fall in 1998.

The economic, social and political conditions in Indonesia continue to deteriorate. They are

indicated by Indonesia‘s having become a net oil importer since 2004, by its severe difficulties in

serving the foreign debt and by the US imposition of the ―war on terror‖ or a ―strategy of

tension‖ calculated to stir up religious and ethnic conflicts and to justify US hegemony over

Indonesia and the rest of Southeast Asia.

Seeking Justice for the Massacre Victims+

The army officers and troops of the Suharto military clique could easily communicate,

coordinate and go around to massacre people in the regions of Indonesia in 1965 because of the

US-supplied communications equipment, land vehicles and planes. In sharp contrast, the people

being massacred by the military and their paramilitary collaborators had no way of knowing the

Gestapu nor the killing of the six generals because in extensive areas they did not even have

radio sets.

As clear proof that it had no accountability for Gestapu, the PKI did not mobilize its own large

following among the people and within the Indonesian state and the armed forces either to

advance the supposed objectives of the Gestapu or defend themselves against the massacre. In

November 1965, there was a Philippine delegation attending a conference against US military

bases. An Indonesian comrade delivered to a Filipino comrade a half sheet of paper bearing the

most recent decision of the PKI Politburo in effect calling on the PKI rank and file to stay calm

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

85 | P a g e

and let Sukarno solve the internal problem of the Indonesian army. By this token, we in the

Philippines were convinced that the PKI had no accountability for the Gestapu.

Regarding the number of victims in the 1965 massacre, I prefer to take the face value of the

statement of General Sarwo Edhie that three million were killed, in the absence of a more

accurate accounting by more credible entities. He should know what he was talking about

because he was the commanding general of the command in charge of the massacre. The problem

with being too indeterminate in the estimates, from the low of 300,000 to 1.5 million, is that the

imperialists and their press are playing down the number and trying to induce the people to

forget about the butchery. At the same time, they busy themselves with upping the number of

supposed victims of revolutionary forces in other countries.

Bourgeois journalists, writers and academics usually claim that the victims in the 1965 massacre

were PKI members. I do not agree with limiting the range of victims to PKI members. The

victims were communists and other people. There were a lot of noncommunist victims of the

massacre in view of the fact that the PKI was good at building mass organizations and doing

united front work. The sweeping massacre done by the military and its irregulars, included many

noncommunists who were mistaken as communists because they were known as friends or

relatives of communists.

At any rate, whether communists or noncommunists, the victims had inherent and inalienable

human rights. The imperialists and their puppets had no license to violate the human rights of

anyone. Moreover, they are reprehensible for ordering the murder of three million people and

the indefinite detention of 750,000 more people in exchange for the murder of six generals. In

the first place, the latter were the victims of Suharto‘s crack raiders and not by PKI women and

youth, contrary to the psywar of Suharto and the US. It is utterly absurd that the imperialists

and their puppets are so vituperative about their false claims of human rights violations by

communists but keep silent about or even condone the 1965 massacre, which is one of the most

horrendous crimes in the 20 century and is comparable to the US acts of aggression in Korea,

Vietnam and Iraq in terms of the death toll.

The Indonesian people and their institutions, nongovernmental organizations, people‘s

organizations, professional associations and personages concerned with human rights are the

most reliable in establishing and documenting the facts about the victims of the 1965 massacre,

locating the remains of the dead and the surviving family members, identifying the human rights

violators, seeking justice for the victims and their families, rehabilitating and indemnifying them

and conducting mass meetings and mass movement in furtherance of seeking truth and justice.

The people of the world and their organizations can and should extend their solidarity and

support to and cooperation with the Indonesian people in their struggle for justice for and in

behalf of the victims in the 1965 massacre. They can provide moral and material support. They

can spread the findings and conclusions of human rights organizations in Indonesia. They can help

the victims and their survivors run after the human rights violators by filing the possible and

necessary cases against them and somehow holding responsible the Indonesian reactionary state.

They can denounce the imperialists, the multinational firms and banks that benefited from the

1965 massacre and the resultant Suharto military fascist dictatorship.

Not only the great number of victims of mass arrests and massacre in 1965 and thereafter were

victims of the Suharto fascist dictatorship and its imperialist masters, but the entire

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

86 | P a g e

Indonesian people who were subjected to increased oppression and exploitation, to national

humiliation and deeper underdevelopment and poverty, because of the suppression of the

movement for national liberation and democracy.

The Indonesian people must therefore strive to carry out the new democratic revolution against

imperialism, feudalism and bureaucrat capitalism. The best way to seek justice for the martyrs

of 1965 is for the Indonesian people to continue the revolutionary struggle under the revived

leadership of the PKI.

###

14 Juni 1999

Wawancara Wisnu Djajengminardo:

"Saya Serigala Terbesar dari Halim..."

Wisnu Djajengminardo, 70 tahun, mantan Komandan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma,

Jakarta, menyebut dirinya serigala terbesar dari Halim. Serigala adalah sebutan orang luar

terhadap anggota Angkatan Udara RI periode 1965-1966. Sebutan "menyalak" itu berkait erat

dengan peristiwa Gerakan 30 September-Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI), yang menyeret

pamor angkatan itu dalam sebuah episode sejarah yang disebut "kabut Halim".

Versi resmi rezim Orde Baru menyebutkan bahwa AURI terlibat dalam peristiwa pemberontakan

komunis itu. Ada beberapa indikasi yang dimajukan: pelatihan sejumlah sukarelawan yang dipimpin

Mayor Udara Sujono sejak Juli 1965 di Desa Lubangbuaya, Jakarta; kenyataan bahwa

Menteri/Panglima AU Laksamana Madya Udara Omar Dhani telah sebelumnya mengetahui rencana

penculikan sejumlah jenderal Angkatan Darat (AD) yang kemudian disebut tujuh pahlawan

revolusi; dan fakta bahwa Dipa Nusantara Aidit, tokoh PKI, bisa melenggang terbang dari

Pangkalan Halim ke Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 dini hari.

Namun, karena sebagian sejarah bisa dimanipulasi di bawah sepatu lars kekuasan Orde Baru, kini

pada era reformasi banyak pihak yang ingin membuka topeng sejarah yang bopeng. Salah satunya

adalah Wisnu Djajengminardo itu dan Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara

(PPAU)?organisasi mantan anggota Angkatan Udara (AU), yang didirikan pada 1998. Sejak Januari

lalu, mereka telah merintis penulisan semacam buku putih sejarah AURI, khususnya menyangkut

peristiwa seputar G30S-PKI di Pangkalan Halim. Wisnu sebelumnya telah menerbitkan buku

Kesaksian: Memoir Seorang Kelana Angkasa (Penerbit Angkasa Bandung, 1997).

Wisnu kini kakek enam cucu. Namun, tubuhnya masih tegap. Raut wajahnya menyiratkan jejak

kegantengan masa silamnya. Ceplas-ceplos bila berbicara (kadang sebelah kakinya jegang di atas

kursi), purnawirawan marsekal muda itu berpenampilan muda: berjas biru gelap dengan kemeja

tanpa dasi, berkacamata hitam, dan bertopi kulit warna cokelat. Kepada wartawan TEMPO Ardi

Bramantyo dan Kelik M. Nugroho, Wisnu mengungkapkan sebagian isi buku itu dan detik-detik

bersejarah seputar G30S-PKI di Pangkalan Halim.

Wawancara berlangsung dua kali, di kantor PPAU di kawasan Kebayoran, Jakarta, dan di rumahnya

yang megah berarsitektur mediteranian di kawasan Pejaten Barat, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Pada wawancara pertama, Saleh Basarah (mantan KSAU), A. Andoko (Sekretaris Jenderal PPAU),

dan Omar Dhani mendampingi Wisnu. Berikut petikannya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

87 | P a g e

Mengapa buku ini disusun? Apa gambaran isi secara umum?

Buku ini ingin menyajikan peristiwa seputar 1 Oktober 1965 berdasarkan fakta-fakta. Buku ini

digarap tidak asal-asalan dan berdasarkan informasi saksi hidup yang masih banyak. Ia juga

diaudit oleh ahli sejarah Asvi Marwan Adam dari LIPI. Kita harus berusaha mengungkap "kabut

Halim", demi sejarah, demi keutuhan ABRI. Menepuk air didulang tepercik muka sendiri. Kalau

Angkatan Udara ternoda, rusaklah pula angkatan-angkatan lain.

Menjelang peristiwa G30S-PKI, sejumlah sukarelawan dilatih di Halim. Sebagai komandan

pangkalan, Anda mengetahuinya waktu itu?

Saya tahu. Tapi mereka latihan di Desa Lubangbuaya, bukan di Pangkalan Halim. Saya hanya tahu

bahwa di situ ada latihan. Saya tidak tahu lebih jauh dari itu.

(Latihan itu dilakukan untuk menyiapkan pembentukan "angkatan kelima", gagasan PKI untuk

mempersenjatai rakyat sebagai angkatan tersendiri setelah Angkatan Darat, Udara, Laut, dan

Kepolisian)

Siapa yang melatih?

Mereka gabungan beberapa angkatan, termasuk AD. Latihan itu berlangsung sejak Juli hingga

September 1965. Jumlah mereka 2.000 orang. Pimpinannya Mayor Udara Sujono, Komandan

Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) yang bermarkas di Kramatjati, Jakarta. Dulu, selain

PPP, AURI memiliki Pasukan Gerak Tjepat (PGT). Keduanya kini bergabung dalam satuan

Kopaskhas (Komando Pasukan Khas) TNI AU.

Apa tujuan pelatihan di Lubangbuaya itu?

Untuk menghadapi neokolonialisme-imperialisme (nekolim), dulu kita berusaha agar pangkalan-

pangkalan vital dijaga dengan baik. Istilah Bung Karno (Presiden RI-1) dulu kan "Inggris kita

linggis, Amerika kita setrika". Mengingat pasukan kita tidak banyak, ada ide untuk melatih

masyarakat. Itu yang dilaporkan Sujono. Itu sebenarnya mirip Rakyat Terlatih (Ratih) sekarang.

Ternyata kemudian Sujono melampaui kewenangannya. Dia ambisius dalam mengejar karir dan

pangkat. Dia berbuat sesuatu yang ingin bisa disebut wah.

(Menurut A. Andoko, Sekretaris Jenderal PPAU, pelatihan di Pondokgede itu inisiatif Sujono.

Akhir September, pimpinan AURI telah memerintahkan agar pelatihan itu dihentikan karena

tujuannya dianggap tidak jelas. Juga ditemukan bahwa mereka yang dilatih itu kebanyakan orang

dari PKI. Padahal, mereka semestinya direkrut dari berbagai unsur kaum nasionalis, agama, juga

komunis. Karena ketidakseimbangan itu, pelatihan tersebut diperintahkan untuk dihentikan.)

Apa tindakan Anda setelah mengetahui pelatihan itu?

Itu bukan wilayah kekuasaan saya. Apa wewenang saya untuk menghentikannya? Waktu itu Markas

Besar AU juga menanyakan, apakah Halim sudah mengadakan latihan bersenjata. Jawabannya:

saya baru di sini dan belum menyelami keadaan masyarakat di sini. Saya dilantik sebagai Komandan

Pangkalan Halim pada 24 Mei 1965, sekitar empat bulan sebelum peristiwa G30S-PKI.

Sebenarnya apa ancaman untuk pangkalan itu?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

88 | P a g e

Dulu, suatu peristiwa peledakan tempat amunisi pernah terjadi di Pangkalan Udara Iswahyudi,

Madiun. Kejadian itu mengandung unsur subversi. Momentumnya beberapa waktu setelah peristiwa

pembakaran Kedutaan Inggris di Jakarta. Apakah ini bentuk balas dendam oleh pihak Inggris,

saya tidak bilang begitu. Yang jelas, waktu itu Angkatan Udara kita terkuat di Asia Tenggara,

sementara banyak perlengkapan AU dipasok dari Rusia. Inggris dan Amerika Serikat iri dan

khawatir.

Apa yang Anda alami pada peristiwa 30 September 1965?

Malam itu, saya berada di rumah saya di Jalan Madura, Menteng. Ajudan Omar Dhani mendatangi

saya pada pukul 22.00. Kata dia, saya harus segera pergi ke Pangkalan Halim karena Komodor Leo

Watimena, Panglima Komando Operasi (Koops) AU, akan mengadakan briefing penting. Sesampai di

Halim, saya bertemu Leo. Komandan-komandan skuadron bawahan saya dan perwira-perwira staf

Koops AU sudah berkumpul di sana. Leo menyampaikan briefing singkat yang diberikan Omar

Dhani sebelumnya. Kata dia, Omar Dhani mengatakan akan terjadi sesuatu di kalangan AD.

Beberapa jenderal yang dikatakan kontrarevolusioner akan ditangkapi dan diculik oleh grup yang

menamakan diri progresif revolusioner.

Dalam briefing diberitahukan nama-nama jenderal itu?

Tidak. Dalam briefing, saya menanyakan siapa jenderal yang akan diculik, juga siapa yang

menamakan diri progresif revolusioner itu. Leo mengatakan bahwa dia memberikan briefing tidak

lebih dan tidak kurang dari yang dia dengar dari Omar Dhani. Bahwa itu (soal penculikan jenderal

dan kelompok progresif revolusioner) adalah urusan intern AD. Kata Leo, kita tidak usah ikut

campur, kita adalah AURI, tapi kita siap siaga saja. Dia kelihatan marah saya tanya itu.

Setelah itu, apa yang Anda lakukan?

Lalu saya mengumpulkan semua staf: perwira intel, komandan skuadron, perwira operasi, dan lain-

lain. Saya laksanakan perintah Pangkoops untuk menyiagakan penjagaan Halim. Saya minta warga

sekitar juga dijaga. Setelah itu, saya ingin pulang ke rumah untuk mengganti pakaian sipil dengan

pakaian militer. Dalam perjalanan pulang, saya berpikir terus mempertanyakan siapa yang disebut

progresif revolusioner itu. Kalau kita mau mengadakan operasi, kan info intel harus jitu. Tapi, ini

infonya tidak lengkap.

(Dalam buku Kesaksian, Wisnu mencoba bertanya ke kakak iparnya, Kolonel CPM Drajad, soal

briefing dari Leo itu, tapi Drajad mengaku tidak tahu-menahu soal itu. Juga jawaban setali tiga

uang diperoleh Wisnu ketika dia menanyakannya ke Letnan Kolonel Sugianto, staf intelijen dari

CPM.)

Jadi, sebenarnya AD sudah mengetahui rencana penculikan tersebut karena Anda sudah

bertanya ke Drajad dan Sugianto?

Mereka berdua tidak tahu, lalu mereka kasak-kusuk setelah itu. Jawaban yang mereka terima

juga sangat rahasia.

Soal kepergian Presiden Soekarno ke Halim, apakah itu berkaitan dengan standar

pengamanan presiden?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

89 | P a g e

Oh, ya. Begitu ada berita presiden akan masuk ke Halim, kita langsung menyiapkan tempat Leo

untuk istirahat.

Apa alasan Bung Karno ke Halim?

Menurut Kolonel Saelan, mantan ajudan Presiden RI 1, Bung Karno sendiri yang menentukan untuk

pergi ke Halim. Mungkin itu jalan yang lebih dekat daripada ke Pelabuhan Tanjungpriok. Mungkin

juga karena Omar Dhani ada di situ sehingga Bung Karno merasa lebih aman.

Apakah setelah Bung Karno datang di Halim, keamanan lebih ditingkatkan?

Harus.

Siapa yang mengamankan Pangkalan Halim?

Ya, ada sebagian dari anggota PGT. Jumlah personelnya mungkin tidak mencapai satu kompi. Juga

ada Polisi AU yang berkekuatan tidak mencapai satu kompi. Karena kejadiannya bertubi-tubi, kita

tidak bisa menjalankan perintah operasi yang jitu. Dalam peristiwa itu, dua orang PGT tertembak.

Berapa lama Soekarno di Halim?

Dari sekitar pukul 10.00 hingga pukul 22.00. Tetapi, akhirnya diputuskan lewat darat menuju

Bogor.

Apakah ada pasukan pemberontak di Halim?

Siapa? Mungkin kita dicap sebagai pasukan pemberontak. Padahal, justru kita yang loyal pada

Panglima Tertinggi.

Bagaimana peristiwa baku tembak itu terjadi?

Itu terjadi pada 2 Oktober. Resimen Para-Komando Angkatan Darat (RPKAD) sebenarnya

mengejar batalyon dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batalyon itu lari masuk ke dalam pangkalan

dan dikejar. Lalu, terjadi pertempuran di Jalan Pondokgede. Tapi, dua prajurit kita yang

tertembak itu sebelum RPKAD perang dengan batalyon tersebut.

Apa alasan RPKAD memaksa masuk Halim?

Ya, itu perintah dari Soeharto (Panglima Komando Cadangan Strategis AD waktu itu). Katanya,

mereka mau membersihkan Halim dari pasukan komunis dan orang-orang komunis yang di dalam

pangkalan.

Siapa pasukan komunis yang dimaksud?

Tidak tahu. Mungkin pasukan Sujono itu. Tapi mereka tidak tahu latihan itu di luar pangkalan.

RPKAD tidak mengontak Anda sebelum masuk Halim?

Oh, tidak. Pokoknya, kejar saja itu Wisnu.

Kenapa dua batalyon itu ada di sana?

Katanya, mereka akan ikut parade Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober.

Kenapa mereka ditempatkan di sekitar Halim?

Sebetulnya di jalan by pass (dari Cawang ke Tanjungpriok). Mungkin agar mereka lebih leluasa ke

Senayan bila ingin latihan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

90 | P a g e

Apakah senjata chung yang dilaporkan Soeharto ke Bung Karno itu milik AURI?

Bukan hanya milik AURI, Angkatan Darat juga punya. Yang jelas, itu bukan dari gudang di Halim.

Saya tidak menyimpan chung.

Siapa saja tokoh yang datang ke Halim?

Aidit. Jangan lupa, waktu itu dia Menko (D.N. Aidit adalah menteri koordinator dalam Kabinet

Dwikora). Waktu itu saya diminta untuk menyiapkan pesawat untuk menerbangkan dia ke Jawa

Tengah.

Atas perintah siapa?

Saya memperoleh perintah dari Leo. Sebenarnya, dia juga memperoleh perintah dari atasannya.

Kenapa Aidit bisa terbang dari Halim?

Dia kan Menko. Waktu itu, kita kan belum mengetahui yang terlibat (peristiwa 30 September) itu:

Aidit, PKI, atau agen rahasia AS?

Jadi, bukan hal yang aneh bila Aidit terbang dari Halim?

Menurut saya tidak. Kita belum tahu, apakah Aidit ini bajingan atau bukan.

Kapan Aidit terbang?

Tidak lama setelah Presiden Soekarno ke Bogor. Sekitar pukul 00.00, 2 Oktober. Katakanlah

karena itu kita bersalah. Tapi, dari sudut kacamata siapa kita bersalah? Kita loyal kepada Pangti.

Kita profesional.

Bagaimana soal keterlibatan orang-orang AURI, seperti Heru Atmodjo dan Gathut

Soekrisno?

Tidak ada anggota AURI yang menyiksa (tujuh pahlawan revolusi). Kolonel Heru Atmodjo (waktu

itu Asisten Direktur Produksi Intelijen Departemen AU, berpangkat kolonel) itu intel kita. Dia

bergerak ke mana saja, kok dimasukkan sebagai salah satu penggerak? Dia sendiri tidak merasa.

Sedangkan keterlibatan Gathut Soekrisno (waktu itu mayor udara yang diperbantukan pada

Inspektur Jenderal Politik Ekonomi Sosial AURI) jelas. Dia anak buah Sujono.

Apakah Anda diperiksa juga? Berapa lama?

Oh, ya. Sebentar. Saya diperiksa oleh anak buah Leo (Komando Operasi AU). Sebelum saya

menjadi Atase Militer Kedutaan RI di Washington D.C., kan harus ada semacam clearance

(penjernihan).

Anda lulus pemeriksaan Teperpu?

Oh, ya! Saya diperiksa Teperpu (Team Pemeriksa Pusat) Komando Operasi Pemulihan Keamanan

dan Ketertiban hanya beberapa jam. Mungkin hanya tiga sampai empat jam. Pertanyaannya sama

dengan apa yang diajukan anak buah Leo kepada saya.

Kenapa Anda tidak dijadikan saksi dalam persidangan Omar Dhani?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

91 | P a g e

I'm the biggest wolf of Halim (Saya serigala paling besar dari Halim).

Apakah waktu itu ada usaha dari AURI untuk mencarikan saksi kunci yang bisa meringankan

Omar Dhani?

Yah, terus terang saja, AURI waktu itu sudah keple (lembek). Mereka semua sudah takut kepada

Soeharto.

Apakah perintah harian Omar Dhani sebagai reaksi waktu itu gambaran umum sikap AURI?

Ya, itu, kita loyal. Kejadian itu memang bertubi-tubi, terus ada ralat, kan.

Bisa jadi AURI terkena imbas G30S-PKI karena sikap itu salah satunya?

Mungkin, atau bisa juga sudah ada suatu rekayasa sebelumnya, kan (Wisnu dan yang lain-lain

tertawa).

Apa yang dimaksud dengan rekayasa?

Ya, sudah ada skenario sebelumnya. Ini mungkin, lo, ya, ha-ha-ha.... AURI jadi kambing hitam.

Kok, AURI dijadikan kambing hitam? Apa sebelum itu AURI "musuh" AD?

Omar Dhani dan A. Yani (Letnan Jenderal TNI AD waktu itu) itu kawan dekat dan akrab.

Lalu, kenapa AURI dijadikan kambing hitam?

Yang di Pak Yani itu siapa?

Bagaimana perasaan Anda dituduh komunis?

Ketika buku putih pertama sejarah G30S-PKI diterbitkan, anak saya yang kuliah di Universitas

Padjadjaran Bandung membacanya. Di buku itu, nama saya ditulis sebagai komunis. Wow, saya

kejar si Domo (Sudomo, mantan Panglima Kopkamtib waktu itu, yang menyusun buku putih). Saya

bilang, "Ini ada apa?" Domo itu kan begitu. Dia dangkal sekali. Jawaban dia, "Ya, kalau tidak benar,

kan tidak apa-apa.?" Terus saya mengatakan, "Lo, kalau tidak benar tidak apa-apa bagaimana?

Kalau cucuku bilang, oh, eyangku itu komunis, bagaimana?" Setelah itu, buku putih itu diganti dan

nama saya sudah tidak disebut lagi.

Jadi, apa inti buku yang kini tengah Anda susun bersama teman-teman?

Intinya adalah "you listen to us, we're telling you a story". Mbok kita sekali-kali didengerin, dong.

Seperti iklan di TV itu, lo, ha-ha-ha.? Nah, baru setelah itu, Anda yang menilai, kita bohong atau

tidak. Buku itu akan kami terbitkan Agustus nanti.

14 Juni 1999

Sesudah Pius Bicara

PIUS LUSTRILANAG: MENOLAK BUNGKAM

Penulis : F. Sihol Siagian

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

92 | P a g e

Penerbit : Grasindo, Jakarta, 1999

Tebal : 98 halaman

Memahami Pius. Itulah yang ditawarkan buku ini. Isinya bukan hanya kesaksian atas penculikan

yang dilakukan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), tapi juga ide-ide Pius tentang

tentang gerakan mahasiswa, hak atas tanah, agama, sampai pluralitas partai politik. Judul Menolak

Bungkam bertitik tolak dari kesaksian Pius setelah dilepaskan penculiknya pertengahan April

1998. Kesaksiannya tentang pengalamannya sebagai korban penculikan menggegerkan Tanah Air

terutama karena, secara tersirat, terungkapnya keterlibatan penguasa yang menggunakan militer

sebagai alat represi terhadap rakyatnya. Pius ternyata berhasil melawan rasa takutnya dari

ancaman pembunuhan atas dirinya. Karena keberhasilan melawan rasa takut itulah Pius eksis. Kalau

bukan karena penculikan dan kesaksiannya, Pius akan seperti para aktivis lain, yang hampir tanpa

nyawa—karena tak berani bersaksi—setelah dizalimi. Sebenarnya, bukan hanya Pius yang pernah

melakukan kesaksian seperti itu. Aktivis Pijar, Hendrik Sirait, yang pernah disiksa oleh aparat

militer, pernah mengungkapkan kekejaman aparat Orde Baru. Dan kesaksian itu dimuat di media

massa. Hanya, bedanya, pengakuan Pius menjadi sorotan karena terjadi tepat pada masa

keruntuhan Soeharto (sebulan sebelum Soeharto berhenti sebagai presiden), sehingga kesaksian

Pius menjadi catatan sejarah. Tampaknya, Pius telah dijemput sejarah. Ariel Heryanto, dalam

kata pengantar buku ini, menunjukkan bahwa kekerasan politik di tahun-tahun terakhir kekuasaan

Orde Baru tak berawal dari penculikan Pius dan kawan-kawan seperjuangannya. Pembredelan tiga

media massa di Jakarta pada 1994, penyerbuan brutal kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia

di pusat Ibu Kota pada 1996, dan kekerasan politik pada era menjelang kejatuhan Soeharto

seperti roda raksasa yang menggelinding di sebuah lembah curam, melindas apa saja yang ada di

depannya. Dan pengakuan Pius menjadi salah satu pemicu pengungkapan bobroknya Orde Baru.

Sayangnya, buku yang dibuat dengan dengan gaya tanya jawab ini tampak dipaksakan untuk

menonjolkan sisi keimanan Pius.

Padahal, selama ini, keimanannya tak pernah menonjol dalam aktivitasnya, sehingga Pius sebagai

sosok yang "kembali ke pangkuan Tuhan" sebetulnya bukan sebuah bagian yang dominan dari

karakterisasinya. Keberanian Pius, menurut dia, memang bersumber dari keimanan, tapi bukan

bagian ini yang sebetulnya paling dominan dari sosok aktivis itu.

Buku

Sesudah Pius Bicara

Kisah dari Balik Jeruji

salam

iwa

iwamardi wrote:

Aduh mak, Omie dear !

Tulisanmu ini sangat menggugah hatiku.

Sekali pukul 3 lalat :

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

93 | P a g e

1) Membongkar kembali, bagaimana kebiadaban "budaya" orba yang meracuni bangsa

Indonesia ini, sampai anak anak kecilpun terlanda arus lumpur busuk ini dan ikut

menteror phisik dan psichik kepada sesamanya , anak anak teman bermain mereka .

Aku sangat kagum akan ketegaran dan keberanianmu ,Omie ! Tak kurang jasa dan

penghargaanku terhadap pendukung utama keutuhan dan kebulatan tekad dan jiwamu :

ibundamu yang Omie paling sayangi !

Pukulan mematikan kepada para (yang masih buta) pembela rejim orba, yang masih

saja menutup nutupi dosa besar dan kebangkrutan rejim itu dan bahkan ada yang

memimpikan kembalinya rejim biadab itu !

2) Tindakan tegasmu : melawan ! adalah tindakan yang membutuhkan keberanian. Dan alhasil,

dengan berlawan, berlarianlah anak anak ("teman teman"??) sebayamu yang tak sedar

terracuni ideologi rejim orba dan orang tua mereka !

3) Bukti ini sekaligus menyapu bersih pendapat yang hanya "menunggu, harus tenang, jangan

terprovokasi, jangan ber emosi" dan lain lainnya seperti chotbah pendeta yang tak tahu

situasi, bagaimana harus membalas serangan musuh dengan tepat dan yang membikin

mereka kocar kacir, bukan hanya berpikir dan berpikir berpikir sampai......badan remuk

dilempari batu "teman teman" mu itu !

Seperti seorang teman milis yang melukiskan : "Tenang, sabar, jangan melawan kekerasan

dengan kekerasan.....sehingga achirnya Hitler berkuasa dan membantai berjuta juta ( k.l.

16 juta!) orang orang tak bersalah yang melawan atau tidak setuju ideologi Nazi di

Jerman saat itu !".

Pengalamanmu sangat berharga yang patut dishare seluas luasnya ,Omie !

salam

iwa

--- In [email protected], ati gustiati <hatiku_rumahku@...> wrote:

Ketika saya masih kecil, setiap hari pulang sekolah saya ditimpukin kerikil sama anak2 jahil krn

saya anak PKI, saya diam kan saja, ibu pun menasehati utk tidak melawan, lari saja secepatnya

nak, begitu nasehatnya, lalu saya sering melamun, saya diamkan anak2 itu semakin dasyat

menimpuki saya, bahkan menyiram saya dengan air comberan, saya tidak pernah menangis dgn

kekerasan, tetapi membuat saya berfikir mencari akal krn dorongan kemarahan, lalu saya

membuat bandring (ketepel), berbekal batu kerikil disetiap kantong serta tas sekolah sampe

berat oleh kerikil, kadang membawa tongkat kayu sebagai tambahan senjata saya, pulang sekolah

saya kencangkan ikat tali sepatu krn saya siap utk bertempur dan berlari sekencang kencangnya.

Di tikungan itu, saya mulai sibuk menjepret siapa saja dikerumun anak2 'bully' itu, saya memang

lincah bergerak kian kemari sehingga banyak anak2 yg sampe luka kepalanya, tidak puas saya

hampiri anak yg berhasil meluncurkan batunya dgn telak ke jidat saya, saya hajar tubuh anak itu

dgn kayu lalu saya lari ter-birit2 pulang, esok harinya para bully ini semakin berkurang jumlahnya,

saya semakin berani krn jumlah mrk semakin berkurang setiap hari hingga akhirnya menghilang.

Untuk menjadi seorang reaksioner di Indonesia memang membutuhkan pengorbanan karena ini

bukan sikap bangsa dan landasan hidup disana, musyawarah, cari jalan damai, yg penting boss

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

94 | P a g e

senang, yg penting suami terpuaskan kebutuhan sex nya, nah yg terakhir ini sangat menganggu

sekali bagi saya (smile little...), ada kebanyakan suami di tanah air menganggap tugas istri adalah

memuaskan kebutuhan sex suami, what ? emangnya ini lobang nenek moyangmu?

hahahahaha.....(kidding..), no its NOT, kita harus membela hak kita, kecuali kita hidup di negara2

yg tidak berdaulat, dimana rakyatnya tidak berdaya utk menolong dirinya sendiri, kalau kita

berdiam diri menerima perlakukan yg tidak senonoh, berarti kita menerima dan membenarkan

sikap mereka yg jelas salah, betul katamu pak Dan, inilah kelemahan kita, sikap nerimo dan

helpless ini sudah menjadi budaya masyarakat disana, and its very frustrating indeed !

Salam

Omie

From: Arya Agastya arya.agastya@...

--- In [email protected], "Marcopolo" <comoprima@> wrote:

TETAP TENANG DAN - JANGAN TER "PROFOKASI " DAN JANGAN UMBAR EMOSI. KEPALA

TETAP HARUS DINGIN agar KITA BISA TETAP BERPIKIR DAN BERTINDAK DNG TEPAT!

**** Inilah tragisnya!

Yang tetap tenang, sangat tenang, dan tak menghindarkan kekerasan sesama umat..tenaaaanngg

Yang tak terprovokasi juga tenang, seolah tak ada apa apa.. termasuk pemerintah

Business goes on like usual.. business as usual..mal mal jalan terus, penuh pengunjung..

Yang berkepala dingin, sangat dingin, tanpa emosi melihat apa yang terjadi..terutama para elitis...

emang gue pikirin?

Ujung ujungnya kekerasan membudaya, kian men-jadi jadi..

65 tahun sejak kemerdekaan..

Atau?

Ini pernah terjadi di Jerman antara 1936 sampai 1939. Para elit, partai demokratis tetap

tenaaangg.. dari hari ke hari timbul kekerasan dari kelompok Nazi... menghancurkan kaca toko

toko Yahudi, memmaki maki, berbuat kekerasan..

rakyat Jerman jalan teerus, tak melihat... sampai sudah terlambat... kelompok kecil ini mengambil

alih kekuasaan..Hitler naik takhta... secara konstitutional..

ha ha ha

yang sampai sekarang sudah dikunjungi lebih dari 641 640 kali

Mengenang peristiwa 30 September 1965 Korban rejim Suharto (Orde Baru) berhak menuntut

keadilan !

Dalam mengenang peristiwa 30 September 1965 satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah masalah

para korban kekuasaan militer Suharto atau rejim Orde Baru. Sebagai akibat atau dampak

peristiwa 30 September 1965 ini puluhan juta orang telah menjadi korban, yang terdapat di

banyak kalangan atau golongan dan dalam berbagai bentuk atau macam-macam keadaan.

Di antara para korban yang banyak sekali itu ada yang terdiri dari anggota atau simpatisan PKI,

tetapi juga banyak sekali yang tak ada hubungannya sama sekali dengan PKI. Yang jelas adalah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

95 | P a g e

bahwa di antara para korban Orde Baru itu banyak sekali (bahkan sebagian terbesar) yang

menjadi pendukung politik Bung Karno, baik yang aktif sekali maupun hanya ikut-ikutan saja.

Karena Bung Karno adalah pemimpin revolusioner bangsa yang paling terkemuka dan Presiden

Republik Indonesia yang dicintai rakyat banyak, maka dengan sendirinya pendukungnya juga amat

banyak. Dan karena Bung Karno sejak muda sudah menunjukkan dirinya sebagai pejuang

revolusioner, maka dengan sendirinya pula, berbagai golongan yang berhaluan revolusioner (atau

golongan kiri) mendukung politiknya yang anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme dan

pro-sosialisme.

Di antara berbagai golongan kiri itu PKI beserta puluhan ormas-ormasnya merupakan pendukung

utama politik Bung Karno, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah dalam negeri (nasional)

maupun luar negeri (internasional). Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa dukungan yang kuat dari

PKI terhadap Bung Karno adalah karena adanya persamaan pandangan revolusioner dalam

perjuangan untuk kepentingan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur, yang bebas dari

penindasan manusia oleh manusia dan penindasan bangsa oleh bangsa.

Berbagai peristiwa anti Bung Karno dan anti-PKI di masa lalu

Sebenarnya, kaum reaksioner dalam negeri (antara lain : sebagian dari kalangan Masyumi, PSI,

dan sebagian dari Angkatan Darat) sudah sejak lama mempunyai sikap yang anti-Bung Karno dan

anti-PKI, jauh sekali sebelum peristiwa 30 September 1965. Di antara tonggak-tonggak sejarah

anti-Sukarno dan anti-PKI adalah (yang pokok-pokok atau yang besar) : RMS, peristiwa Kahar

Muzakkar, peristiwa Andi Azis, DI-TII, peristiwa 3 Selatan, PRRI-Permesta.

Dalam berbagai peristiwa anti-Bung Karno dan anti-PKI itu sudah terlibat campur-tangan

kepentingan imperialisme (terutama Belanda, Inggris dan Amerika Serikat) yang bersekongkol

dengan agen-agennya di dalam negeri, secara langsung atau tidak langsung. Campur-tangan

kekuatan gelap Amerika Serikat yang langsung adalah ketika terjadi masalah PRRI/Permesta,

yang kemudian disusul dengan bantuan -- dengan bermacam-macam cara – kepada kudeta

merangkaknya Suharto terhadap Bung Karno melalui peristiwa 30 September 1965.

Sekadar untuk menyegarkan ingatan kita bersama, patutlah disebutkan di sini bahwa dalam

berbagai peristiwa anti Bung Karno dan anti-PKI di masa-masa lalu telah terjadi banyak

penahanan atau pemenjaraan anggota-anggota atau simpatisan PKI (antara lain dalam peristiwa 3

Selatan, yaitu di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan). Pembunuhan dan

pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI (atau yang dianggap PKI) juga banyak terjadi

selama berlangsungnya peristiwa PRRI/Permesta antara tahun 1958-1960.

Tetapi pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran yang paling luar biasa hebatnya dalam

sejarah Republik Indonesia adalah sesudah terjadinya peristiwa 30 September 1965. Sekitar 3

juta orang kiri (atau hanya diduga berhaluan kiri) dan menjadi anggota atau simpatisan PKI atau

pendukung Bung Karno dibantai secara massal dan biadab oleh pasukan militer atau oleh

berbagai kalangan (terutama sebagian dari kalangan Islam yang anti-Bung Karno, atas dorongan,

pimpinan, atau petunjuk pimpinan militer).

Seharusnya mereka semuanya tidak bisa dipersalahkan. Walaupun terjadi pembunuhan sebegitu

banyak orang, dan di berbagai tempat di seluruh negeri pula, namun selama 32 tahun rejim militer

Suharto berkuasa tidak banyak yang diketahui tentang apa sebenarnya yang terjadi dan sampai

di mana luasnya atau berapa besarnya pembunuhan massal itu.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

96 | P a g e

Karena, semua orang takut bicara terang-terangan, walaupun tahu serba sedikit, tentang apa yang

terjadi atas pembunuhan bapaknya, ibunya, anak-anaknya, atau saudara-saudaranya. Kebanyakan

di antara mereka hanya berani bicara bisik-bisik kepada keluarga terdekat yang bisa dipercaya.

Keadaan yang semacam itu banyak sekali yang berlangsung selama puluhan tahun, sampai hari

jatuhnya Suharto dan runtuhnya Orde Baru dalam tahun 1998.

Tidak dapat dibayangkan betapalah besarnya penderitaan keluarga yang punya saudara dibunuhi

secara biadab seperti itu, sedangkan mereka tidak bersalah apa-apa kecuali menjadi anggota

(atau simpatisan PKI) atau hanya menjadi pendukung Bung Karno. Dan sekalipun menjadi anggota

PKI atau simpatisannya, mereka seharusnya tidak bisa dipersalahkan, karena waktu itu PKI adalah

partai yang sah dan legal, punya wakil dalam parlemen dan pemerintahan, dan menjadi pendukung

utama Presiden RI, Bung Karno, yang juga PBR (Pemimpin Besar Revolusi, menurut keputusan bulat

MPRS).

Selama puluhan tahun korban tindakan Orde Baru ini tidak bisa berbuat apa-apa, karena

menghadapi kekuasaan militer yang terus-menerus melakukan terror, persekusi dan intimidasi,

yang hebat sekali intensitasnya. Mereka tidak bisa mengadu atau minta perlindungan dan

pembelaan kepada siapapun. Dan kebanyakan orang pun tidak berani membela mereka.

Korban lainnya rejim militer Suharto adalah ratusan ribu tahanan politik golongan A, B, dan C,

yang ditahan atau dipenjarakan atau dimasukkan kamp-kamp tahanan yang terdapat hampir di

seluruh pulau-pulau yang penting, sampai bertahun-tahun, tanpa diadili, dan terbukti tidak

bersalah apa-apa juga. Di antara tapl-tapol itu ada yang dibuang ke dalam tahanan di pulau

Buru sampai kurang lebih 10 tahun. Mereka juga harus meninggalkan keluarga mereka, yang

kebanyakan terpaksa hidup sulit sekali karena berbagai macam penderitaan.

Pelanggaran HAM yang jarang bandingannya di dunia

Sampai sekarang adalah sulit sekali diperkirakan jumlah anggota-anggota keluarga yang

ditinggalkan para korban yang dibunuh, dan para tapol yang dipenjarakan berkepanjangan ini, yang

terdiri dari istri atau suami, atau anak-anak dan saudara-saudara terdekat mereka, yang ikut

dalam penderitaan.

Kalau diingat itu semua, maka nyatalah bahwa dosa-dosa Suharto bersama Orde Baru-nya akibat

kejahatan-kejahatannya yang begitu besar dan tidak manusiawi itu merupakan pelanggaran HAM

yang jarang bandingannya di dunia, kecuali yang dilakukan oleh Hitler. Namun, yang lebih biadab

lagi adalah bahwa Suharto -- beserta pendukung-pendukungnya dari berbagai golongan – telah

melakukan macam-macam kejahatan atau pelanggaran HAM besar-besaran itu terhadap

bangsanya sendiri !

Dan lagi, kalau diingat bahwa jumlah orang yang dibunuh secara sewenang-wenang dan membabi-

buta itu begitu banyak, maka dosa Suharto (dan pendukung-pendukungnya) adalah juga besar

sekali. Sebab kalau membunuh satu orang yang tidak bersalah saja sudah harus dihukum lebih dari

10 tahun, maka membunuh atau menyuruh bunuh (atau harus bertanggung jawab atas pembunuhan)

jutaan orang tidak bersalah, berapa besarkah hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada

Suharto atau pendukung-pendukung setianya.

(Dalam kaitan ini, baiklah kita ingat bersama bahwa Antasari Azhar dijatuhi hukuman 18 tahun

penjara, karena dinyatakan oleh pengadilan telah membunuh Direktur PT Putra Rajawali, Nasrudin

Zulkarnain. Juga bahwa Tommy Suharto divonnis 15 tahun penjara karena terlibat dalam

pembunuhan hakim agung Syafiudin Kartasasmita)

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

97 | P a g e

Jutaan orang dibunuh, namun tidak seorangpun dikenakan hukuman

Kita sama-sama tahu bahwa meskipun sudah ada jutaan orang yang sama sekali tidak bersalah

apa-apa telah dibunuh secara sewenang-wenang dan biadab pula, namun tidak seorang pun yang

dituntut atau dikenakan hukuman. Inilah yang keterlaluan luar biasanya !!! Seolah-olah

pembunuhan begitu banyak orang itu dianggap tidak ada saja, atau dianggap soal remeh yang bisa

« dicuekin » saja. Sungguh keterlaluan, sungguh ! Satu ayam, atau satu kambing, atau satu sapi

mati saja ada artinya, apalagi kalau jumlahnya jutaan. Apalagi, sekali lagi apalagi ( !), yang mati

(dibunuh) adalah jutaan manusia-manusia yang tidak bersalah apa-apa sama sekali. Marilah

sama-sama kita renungkan dalam-dalam masalah yang begini besar dan menyedihkan ini.

Dosa-dosa yang sudah berat dari pembunuhan massal yang berskala besar di seluruh negeri itu

ditambah lebih berat lagi dengan pemenjaraan ratusan ribu orang lainnya (yang sama sekali juga

tidak bersalah apa-apa !!!) dengan sewenang-wenang, dan dalam jangka lama sekali pula. Mereka

semua itu juga dipaksa harus meninggalkan keluarga mereka dalam penderitaan yang

berkepanjangan.

Pendidikan politik dan pendidikan moral untuk bangsa

Sebagian kecil dari bermacam-macam kisah tentang anggota-anggota keluarga yang ditinggalkan

oleh mereka yang dibunuh dan dipenjarakan sebagai tapol itu sudah banyak ditulis sebagai artikel

dalam majalah-majalah atau sebagai buku, atau ada juga yang dibikin film, walaupun tidak banyak.

Karena itulah, maka sedikit demi sedikit, dan hanya sebagian kecil saja dari masalah korban

tindakan penguasa militer Suharto itu mulai diketahui oleh masyarakat.

Tetapi, masih banyak sekali ( !) masalah yang sebenarnya tentang korban rejim militer Orde Baru

yang belum diketahui oleh rakyat kita, karena belum bisa terungkap akibat berbagai sebab. Di

samping sisa-sisa Orde Baru masih berusaha untuk menghalanginya, juga masih banyak orang yang

takut atau enggan berbicara terus terang. Dan sebagian di antara mereka yang memilih diam saja,

dan membiarkan apa yang sudah terjadi mereka tanggung sendiri saja, untuk tidak menimbulkan

persoalan atau kesulitan.

Padahal, segala penderitaan yang diakibatkan oleh berbagai kejahatan penguasa militer dan Orde

Baru terhadap para korban beserta keluarga (dan saudara-saudara mereka itu ) perlu sekali

diketahui sebanyak-banyaknya dan sejelas-jelasnya oleh rakyat kita. Ini untuk kepentingan

sejarah bangsa kita dan anak cucu kita di kemudian hari. Juga untuk pendidikan politik dan

pendidikan moral bagi generasi muda dewasa ini serta generasi-generasi yang akan datang, supaya

pengalaman bangsa yang begitu menyedihkan dan begitu tidak manusiawi itu tidak akan terulang

lagi untuk kedua kalinya.

Karena itu, para korban kejahatan rejim militer Suharto itu patut berusaha terus, dengan macam-

macam jalan dan cara, untuk selalu mengangkat masalah besar bangsa ini setiap ada kesempatan

atau kemungkinan. Kegiatan semacam itu tidaklah sekadar karena dendam dan membalas sakit

hati, walaupun jutaan orang sudah dibunuhi secara biadab dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan

sebagai tapol. Kegiatan semacam itu perlu sekali dilakukan, sesering mungkin atau sebanyak

mungkin, demi dihargainya rasa keadilan oleh seluruh bangsa, termasuk mereka yang tadinya

pernah mendukung Suharto beserta Orde Barunya.

Para korban rejim Orde Baru berhak menuntut keadilan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

98 | P a g e

Mengingat itu semuanya, patutlah kiranya sama-sama kita hargai -- dan kita dukung -- segala

usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan dan golongan (umpamanya, antara lain :

oleh LPR-KROB, YPKP, Pakorba, Komnas HAM) untuk selalu menyegarkan ingatan bangsa kita

kepada tragedi besar yang telah menimbulkan begitu banyak korban. Apa yang mereka lakukan itu

sangatlah perlu dan juga mulia bagi keseluruhan bangsa, termasuk bagi anak cucu kita di kemudian

hari.

Para korban rejim militer Suharto yang begitu banyak itu -- terutama sekali yang dari golongan

kiri dan pendukung politik Bung Karno -- sudah terlalu lama ( kebanyakan sudah sekitar 45 tahun),

mendapat berbagai perlakuan yang melanggar HAM dari penguasa (dan juga dari sebagian

masyarakat). Mereka itu berhak menuntut dan berjuang bersama-sama untuk memperoleh hak

mereka sebagai warganegara yang lain atau direhabilitasi sepenuhnya.

Mereka juga berhak sepenuhnya – dan sudah seharusnya pula – untuk menuntut diperbaikinya

kesalahan-kesalahan yang begitu besar dan ditebusnya dosa-dosa berat yang sudah dilakukan

begitu lama oleh Orde Baru beserta para penerusnya. Diperbaikinya kesalahan dan ditebusnya

dosa-dosa terhadap para korban itu akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bangsa, yang

sampai sekarang masih tercabik-cabik, atau tersayat-sayat, sehingga melukai Pancasila dan

merusak Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak ada kebaikannya memperpanjang penderitaan para korban

Penyelesaian secara tuntas dan integral masalah korban rejim militer Orde Baru ini akan

merupakan salah satu dari langkah-langkah penting menuju persatuan bangsa, yang sejak

pemerintahan Orde Baru dirusak atau dibusukkan oleh berbagai masalah besar lainnya.

Sebaliknya, kalau masalah para korban Orde Baru ini tetap tidak ditangani secara baik, maka akan

tetap terus menjadi duri dalam daging bangsa, yang sekarang sudah dalam keadaan sakit

parah ini.

Jelaslah kiranya bagi kita semua, bahwa bangsa dan negara kita tidak akan mendapat keuntungan

apa-apa sama sekali dengan adanya berbagai penderitaan para korban rejim militer, yang masih

terus berlangsung puluhan tahun, sampai sekarang ! Demikian juga bagi para pendukung Suharto

dan Orde Barunya ( atau sisa-sisanya dan penerusnya sekarang), tidak ada kebaikannya sama

sekali untuk melanjutkan -- terus-menerus -- kesalahan dan dosa besar yang sudah berlangsung

berkepanjangan itu.

Sebaliknya, masih terkatung-katungnya nasib para korban begitu lama itu hanya menunjukkan

bahwa para penguasa, yang bertanggung jawab di masa yang lalu dan sekarang, adalah orang-orang

yang sama sekali tidak mempunyai rasa kemanusiaan, yang rusak moralnya, yang sesat imannya,

dan yang menyalahi perintah-perintah agama atau Tuhan. Orang-orang yang macam inilah yang

juga membikin negara kita penuh dengan koruptor, orang-orang munafik, yang suka bersekongkol

dengan kaum reaksioner di dalam negeri dan luar negeri, termasuk dengan kekuatan neo-

liberalisme.

Dalam makamnya di Blitar, pastilah Bung Karno marah sebesar-besarnya melihat begitu banyak

orang kiri pendukungnya dibunuhi secara besar-besaran dengan cara-cara yang sama sekali

bertentangan dengan kebiasaan dan kepribadian bangsa Indonesia, dan dengan Pancasila serta

Bhinneka Tunggal Ika.

Keadilan bisa ditegakkan dengan Meneruskan Revolusi Rakyat

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

99 | P a g e

Oleh karena itu, maka para korban rejim militer Orde Baru, berhak sepenuhnya berjuang terus

untuk ditegakkannya keadilan bagi mereka dan juga bagi bangsa seluruhnya. Namun, sekali lagi

namun, kita semua tahu bahwa keadilan bagi para korban rejim militer Suharto tidak mungkin

ditegakkan selama kekuasaan masih terus ada di tangan kaum reaksioner yang anti ajaran-ajaran

revolusioner Bung Karno atau anti-kiri pada umumnya. Sebaiknya, ilusi bahwa kekuasaan

reaksioner bisa menegakkan keadilan bagi bangsa haruslah dibuang jauh-jauh saja.

Keadilan bagi semua golongan, termasuk para korban rejim Suharto barulah bisa ditegakkan di

negeri kita hanya melalui perubahan-perubahan besar dan fundamental. Dan untuk mewujudkan

perubahan-perubahan besar dan fundamental itu, jalan yang terbaik atau cara yang paling tepat

adalah jalan Meneruskan Revolusi Rakyat, yang sudah ditunjukkan oleh Bung Karno berulangkali

melalui ajaran-ajaran revolusionernya

Paris, 15 September 2010

A. Umar Said

= = = =

Bung Achmad yb,

Kalau boleh saya memberikan sedikit pendapat atas kebingunan anda. Pertama, sejarah adalah

catatan kenyataan yang terjadi dimasa lampau, yang dicatat sebagaimana adanya. Jadi, sejarah

tidak seharusnya dimanipulasi sesuai kehendak yang berkuasa. Menghilangkan yang tidak disukai

dan mengadakan yang tiada, memutar balikkan kenyataan yang terjadi, menghitamkan yang putih

dan memutihkan yang hitam, ... sebagaimana terjadi selama jenderal Soeharto berkuasa lebih 32

tahun itu. Oleh karena itu, dimasa demokrasi dan reformasi belasan tahun terakhir ini setelah

Soeharto lengser, dimana orang mempunyai kebebasan untuk bersuara, banyak orang

berkesempatan mengungkap kenyataan dan kebenaran yang disembunuyikan, yang selama ini

diputarbalik oleh penguasa. Dimasa Soeharto berkuasa, rakyat hanya diperbolehkan dan bisa

mendengarkan apa yang suarakan penguasa, hanya suara Soeharto-lah yang dianggap sebagai satu-

satunya "kebenaran".

Kedua, melihat kenyamanan hidup dari masa kemasa, hendaknya melihat faktor objektif ketika itu

dan bagaimana pemerintah berkuasa menangani masalah. Coba kita lihat dimasa Presiden

Soekarno berkuasa, 20 tahun pertama setelah Merdeka, benar-benar Republik ini dilahirkan

dalam kemiskinan sangat parah, itulah peeninggalan koloni Belanda. Sudah begitu Desember tahun

49 hasil Perundingan KMB, ternyata RI diharuskan membayar "KERUGIAN" yang diderita Belanda

dalam perang Agresi I/II. Padahal perang itu justru dilancarkan Sekutu bersama Belanda dalam

usaha merebut kembali Nusantara ini untuk dijadikan jajahan Belanda kembali. Sungguh tidak adil.

Sudah sangat miskin masih harus "ganti-rugi", tapi itulah kenyataan yang dihadapi RI.

Kemudian kita juga harus melihat kenyataan lain, akibat politik Presiden Soekarno yang

menghendaki kebebasan Bangsa Indonesia untuk menentukan sendiri politik dan ekonomi,

menentang dicocok-hidung oleh imperialisme AS, menuruti kehendak yang hanya menguntungkan

AS semata. Akibatnya, AS melancarkan usaha mendukung mati-matian kaum reaksioner di dalam

negeri untuk menggulingkan dan mengganti Presiden Soekarno, ... berulangkali mencoba membunuh

Presiden Soekarno, bahkan juga melancarkan PEMBERONTAKAN DI/TII dan PRRI/Permesta.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

100 | P a g e

Dalam keadaan objektif yang dihadapi RI ketika itu, bisa dimengerti pembangunan ekonomi untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat tertangguhkan, karena harus dahulukan mengatasi keamanan

negara, ... dan tahun 63 usaha membebasakan Irian Barat yang masih saja dikangkangi Belanda.

Setelah G30S meletup ditahun 65, kemudian jenderal Soeharto berhasil merebut kekuasaan

dengan kekejaman yang luar biasa menebas PKI dan membantai pengikut Bung Karno, dan dengan

menjalankan politik yang berlawanan dengan Presiden Soekarno, tidak hanya membiarkan modal

asing masuk menanamkan modal, tapi juga mengobral harta kekayaan alam bumi Nusantara secara

besar-besaran, ... menguras habis-habisan kekayaan minyak, batubara, besi, emas, ikan-laut

bahkan hutan belukar juga menjadi gundul. Dan melihat di tahun 70 sampai dengan awal 90

ekonomi dunia sedang menanjak naik, maka dengan sendirinya ekonomi Indonesia yang kebetulan

dibawah kekuasaan Soeharto juga terangkat naik. Alhasil, kesejahteraan rakyat dilapisan

menengah diarasakan lebih baik. Serba berkecukupan dirasakan banyak orang. Sekalipun tidak

bisa dipungkiri dilapisan rakyat terbawah yang belasan juta bahkan puluhan juta tetap dalam

kehidupan papa-miskin, ...

Tapi ingat, selama 32 tahun lebih Soeharto berkuasa, yang menjalankan kebijaksanaan

persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, yang disatu pihak melahirkan segelintir

konglomerat sebagai gelembung-gelembung sabun gemerlapan yang menyilaukan mata, dipihak lain

merusak hancurkan sistem ketata-negaraan. Telah terjadi korupsi dan manipulasi dalam birokrasi

Pemerintahan, boleh dikatakan telah membusukan birokrasi Pemerintah yang sangat parah, karena

aparat HUKUM juga sudah terjadi korupsi dan manipulasi kasus/perkara. Kebobrokan yang

terjadi sangat parah demikian ini, tentu tidak mudah dibenahi. Siapapun Presiden berikut yang

berkuasa akan kewalahan dan sulit untuk mengatasi masalah berat ini, kecuali berani mendobrak

birokrasi lama untuk membangun birokrasi Pemerintahan yang baru sama sekali, lepas dan jauh

dari pencoleng-pencoleng yang selama ini masih saja bercokol.

Sudah bisa dipastikan, dengan birokrasi Pemerintah yang masih saja dipenuhi koruptor,

perampok-perampok kekayaan negara, dengan sendirinya kesejahteraan rakyat tidak akan bisa

dientaskan dengan baik. Rakyat banyak tetap saja dibiarkan dalam kemiskinan, ...

Salam,

ChanCT

----- 原始郵件-----

寄件者: achmad fatoni

收件者: [email protected]

傳送日期: 2010年9月27日 10:21

主旨: Re: [inti-net] Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965

Mudah2an buku ini bisa jadi referensi menguak sejarah, tapi yg saya bingung ( pendapat pribadi

yg ga tau apa2 ), kalo memang orde baru sejahat itu dgn segala propagandanya, tapi kok rakyat

waktu masa orde baru merasa aman, nyaman, sembako terjangkau, tdk sulit mencari kerja...beda

dgn jaman sekarang jaman reformasi ..kebalikannya...apakah ada penulis buku yg ingin menguak

kemana arah reformasi indonesia ini...untu rakyat atau segelintir orang saja, banyak bukti di

mana2 dengungan perbaikan ekonomi tercapai tapi mereka yg di pelosok atau yg di pinggir ibukota

banyak yg hidup di bawah garis kemiskinan....mari kembali kepada nilai2 Pancasila dan UUD 45 ,

Bhineka Tunggal Ika....majulah indonesiaku.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

101 | P a g e

Achmad Fatoni ( Tony )

________________________________

From: sunny <[email protected]>

To: [email protected]

Sent: Mon, September 27, 2010 2:26:15 AM

Subject: [inti-net] Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965

http://www.jawapos.co.id/mingguan/index.php?act=detail&nid=157122

[ Minggu, 26 September 2010 ]

Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965

TRAGEDI 1965 berlalu, ingatan tak menghilang, trauma masih tersisa, dan stigma terus

menghantui. Sejarah berdarah itu memang luka besar, aib untuk Indonesia. Kita mengenang

dengan gambaran tentang kekerasan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Gambaran buruk,

kelam, hitam ditampilkan Orde Baru dalam produksi buku sejarah, buku pelajaran, film, pidato,

atau penataran. Propaganda Orde Baru ingin membuat ''hitamnya hitam'' PKI, kendati harus

mengorbankan jutaan orang: dipenjara, diasingkan, didiskriminasikan, atau dimatikan.

Episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tapi model sebaran dan internalisasi stigma

atas peristiwa 1965 masih mengendap dalam diri masyarakat. Stigma seolah mau diabadikan.

Segala bentuk penghitaman disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber

untuk memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang, atau pahlawan. Peristiwa 1965 mirip

pementasan teater.

Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik, atau latar memang sengaja ditampilkan pemilik otoritas

tertinggi atas nama dominasi kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater sejarah itu

dengan menakjubkan sekaligus mengenaskan.

Jejak-jejak sejarah kelam, ulah Orde Baru, konsekuensi indoktrinasi atas ingatan sejarah

mendapatkan penjelasan apik dan kritis dalam buku Kuasa Stigma dan Represi Ingatan garapan Tri

Guntur Narwaya. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai kajian sejarah. Penulis sekadar menempuhi

''jalan sejarah'' untuk menguak pelbagai manipulasi sejarah oleh rezim Orde Baru. Sorotan

hermeneutika digunakan dengan kemauan mencari terang tafsiran, menyingkap dominasi politis,

dan penyadaran atas pelbagai kepalsuan sejarah.

***

Penulis mengingatkan, publik selama ini terpaku pada puncak kisah pembunuhan dan kudeta pada

peristiwa 1965. Padahal, itu sekadar bagian kecil dari narasi besar sejarah. Pandangan tersebut

seolah mengabaikan episode-episode lanjutan usai tragedi. Produksi stigma atas para anggota dan

simpatisan PKI menjadikan mereka menanggung dosa sejarah selama puluhan tahun. Orde Baru

sengaja menciptakan mitos, membangun monumen, dan menulis ''sejarah resmi'' untuk menghabisi

PKI. Represi ingatan pun dilakukan untuk menjamin lakon politik Orde Baru. Narasi-narasi

tandingan dibungkam, dihancurkan, dan dipinggirkan dengan dalih subversi, anti-Pancasila, atau

anti-NKRI.

Monopoli sejarah berlangsung sejak Orde Baru dilahirkan dan setelah kejatuhan. Hari ini kita

masih merasa segala stigma dan represi ingatan, kendati haluan politik berubah dan penyadaran

ideologis digulirkan dengan spirit reformasi. Kondisi ganjil itu membuat penulis mengajukan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

102 | P a g e

perspektif hermeneutik untuk menggenapi, mengimbangi, mengkritisi pelbagai kajian tentang

tragedi 1965. Kerja atau model penafsiran sejarah tersebut diacukan pada kegelisahan, empati,

dan motivasi ilmiah atas problem korban arogansi-politik Orde Baru. Penulis menginginkan riset

(kerja penelitian) tidak sekadar memenuhi hasrat akademik, tapi sanggup mengantarkan orang

untuk menyentuh realitas sosial. Interpretasi kritis pun mesti disadari bakal dihadapkan pada

politik kepentingan dominan. Kutipan atas pemikiran Paul Ricouer merepresentasikan spirit buku

ini: ''Interpretasi selalu akan membuka ruang untuk perbedaan dan konflik.''

***

Pergumulan tafsir memerlukan penelisikan dan pembongkaran ideologi. Penulis mendasarkan

analisis ideologi dengan memakai konsepsi besar John B. Thompson dalam mengolaborasi pelbagai

ideologi mutakhir. Mekanisme sebaran dan penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan

sasaran untuk mengetahui stigmatisasi atas para korban, PKI, dan komunisme. Jadi, kerja

tafsiran ada dalam pelbagai tahap dan memerlukan kejelian. Penulis mesti bergulat untuk memilih,

memilah, dan menilai pelbagai data. Hasrat pembongkaran ideologis itu bisa terepresentasikan

melalui model kebijakan, pengetahuan publik, dan permainan simbol.

Contoh pelik dari ketegangan tafsir adalah pemunculan simbol palu dan arit. Simbol itu terus

termaknai secara politik, identik dengan ulah PKI, kudeta, juga menandai kebangkitan komunisme.

Jadi, bentuk pelarangan buku dan aksi kekerasan gara-gara penggunaan simbol palu dan arit biasa

terjadi setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Dominasi ideologi dan stigmatisasi terjadi dalam

pembacaan dan tafsir simbol. Thompson menjelaskan bahwa konsep ideologi menunjukkan usaha

mobilisasi makna. Simbol jadi lahan pertarungan untuk kepentingan dominasi atas segala resistansi

dalam tafsir dan tindakan. Ungkapan dari Kathryn Tanner bisa jadi acuan: ''Sejarah penafsiran

adalah sejarah pergulatan.''

***

Buku ini seolah ingin menarik pembaca pada pergulatan intim dalam membaca dan menafsirkan

narasi besar sejarah 1965. Dominasi politik Orde Baru kentara memberikan efek ideologis

mendalam, efek berkepanjangan, dan menghuni dalam bawah sadar publik kendati rezim berganti.

Baskara T. Wardaya dalam pengantar menjelaskan: ''Jika korban pembunuhan masal mencapai

sekitar setengah juta orang, buku ini mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya lebih

banyak dan kurun waktunya lebih panjang.'' Jadi, buku ini bisa menjadi pemicu penyadaran untuk

menilik ulang cara membaca dan menafsirkan tragedi 1965 dan ulah Orde Baru.

Stigmatisasi adalah model penghancuran dan pembinasaan sistematis. Kita kerap mengabaikan itu

karena indoktrinasi Orde Baru, represi politik, dan keburaman ingatan. Metafor komunis, orang

kiri, Gestapu telah menciptakan gambaran kejam dalam sejarah Indonesia. Pemaknaan politis oleh

Orde Baru membuat kita terjebak pada stigmatisasi dengan pamrih ideologis. Buku ini menyapa

kita untuk mengoreksi, mengkritisi, dan mengubah tafsiran agar ada pemahaman komprehensif

tentang sejarah 1965 dan efek-efek lanjutan. Buku ini mengingatkan kita untuk peka sejarah dan

melawan tafsir dominasi ideologis. Begitu. (*)

*) Bandung Mawardi , pengelola Jagat Abjad Solo

Judul Buku: Kuasa Stigma dan Represi Ingatan

Penulis : Tri Guntur Narwaya

Penerbit: Resist Book, Yogyakarta

Cetakan: September 2010

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

103 | P a g e

Tebal: xlii + 250 halaman

Peristiwa 1965, Sebuah tragedi Kemanusiaan Dalam Sejarah Bangsa

―Apakah masih perlu kita memperingati hari tersebut berdasarkan penulisan sejarah yang

dilakukan orde baru yang penuh rekayasa?‖

(Refleksi dari generasi X)

Ketika kita berbicara mengenai peristiwa 65, maka yang terbayang dalam benak kita adalah

peristiwa ‗pemberontakan PKI‘ pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30

September (G30 S/PKI). Sejarah yang ditulis orde baru tentang peristiwa 65 ini adalah Partai

Komunis Indonesia (PKI) saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan

berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu

memakan korban 7 orang jendral di kalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di

Yogyakarta.

Pembunuhan sadis dan kejam terhadap para jendral tersebut, serta kepahlawanan Soeharto

dalam mengatasi situasi yang ‗genting‘ saat itulah yang ditonjolkan oleh film G30S PKI karya

sutradara besar Arifin C Noer. Setiap tanggal 30 September kita diwajibkan menonton film itu

sehingga tanpa tersadar kita didoktrin oleh pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto atas

peristiwa yang terjadi tahun 1965 tersebut.

Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 65 tidak hanya menimbulkan korban dari

kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai

peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI.

Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, dibuang, diasingkan, dianggap

bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak

asasi manusia (HAM).

Pengakuan Sarwo Edhi (mantan komandan RPKAD) yang bertanggungjawab atas operasi

pembasmian orang-orang yang dianggap terlibat dalam ‗kudeta‘ 1965, tercatat sekitar 3 juta

orang yang telah di‘lenyapkan‘nya. Jumlah ini belum termasuk yang ditahan di berbagai penjara di

daerah-daerah Beberapa lembaga korban peristiwa 1965 seperti Lembaga Penelitian Korban

Peristiwa 65 (LPKP ‘65), Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) atau Yayasan Penelitian Korban

Peristiwa 1965 (YPKP) mencoba melakukan penyusuran kembali data orang-orang yang ditangkap,

ditahan, dianggap hilang dan dibunuh. Namun sampai saat ini belum ada angka pasti berapa jumlah

korban peristiwa 1965 dari kalangan rakyat sipil yang dianggap terkait dengan PKI. Peristiwa 65

merupakan peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Begitu banyak pertanyaan yang timbul

berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Terdapat banyak skenario peristiwa yang dipaparkan oleh berbagai pihak yang menjadi saksi dan

korban pada tahun 1965. Pemerintah orde baru pun mengeluarkan sebuah buku berjudul ―Gerakan

30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,‖ sebagai dokumen resmi yang

menjelaskan latar belakang, aksi dan penumpasannya. Dokumen yang dikeluarkan oleh Sekretariat

Negara Republik Indonesia tahun 1994, berhasil memberikan pemahaman pada generasi muda

terutama yang lahir setelah 1965, bahwa peristiwa 1965 semata-mata peristiwa pemberontakan

Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Pada jaman Soekarno berkuasa, PKI merupakan partai yang memiliki massa yang besar. Terutama

berhasil mendapat posisi dalam empat besar pada pemilu 1955. Apalagi terdapat kebijakan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

104 | P a g e

Soekarno dengan politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) sebagai upaya mempersatukan

bangsa Indonesia yang saat itu terbagi dalam tiga kekuatan yaitu kaum nasionalis, agamais dan

komunis. Politik nasakom memberi ruang bagi ketiga kekuatan tersebut untuk saling

mengembangkan diri dan menyatukan ideolgi dalam wadah-wadah partai politik. Ketiga kekuatan

inilah yang mendukung ide-ide dan perjuangan Soekarno untuk melanggengkan kekuasaannya

selama bertahun-tahun. Di dalam perkembangannya, ide dan perjuangan Soekarno banyak

didukung oleh kaum komunis dan sosialis, terutama dengan konsep marhaenisme, yang dekat

dengan ide sosialis dan komunis. Soekarno sebagai pendukung utama ekonomi kerakyatan dapat

dijawab dengan keberadaan PKI.

Tahun 1960-an Soekarno mengambil kebijakan anti nekolim (anti neo kolonialisasi, liberalisme dan

imperalisme), yang artinya ketergantungan ekonomi kepada negara-negara blok barat diputuskan.

Indonesia pun mulai melirik ke blok-blok timur. Soekarno membentuk hubungan poros Jakarta-

Peking-Moscow. Negara-negara timur yang sosialis dan komunis. Akibatnya ajaran sosialis,

komunis, marxis, dibebaskan. Bukannya salah untuk mempelajari semua ideologis yang ada, namun

cita-cita luhur Soekarno yang ingin mempersatukan Indonesia dengan semua ideologinya tidak

mungkin ketika ideologi itu saling bertentangan. Kalangan agama menuduh kalangan komunis tidak

bertuhan, lalu kalangan komunis menuduh kalangan nasionalis pro dengan liberalisme dalam hal ini

Amerika dan Inggris.

Ketika ‗perang‘ ideologis saling tarik menarik dikalangan masyarakat Indonesia saat itu, pihak-

pihak yang memang menghendaki kekuasaan Soekarno diakhiri karena dianggap sesudah terlalu

lama berkuasa, mencoba memanfaatkan situasi tersebut. Peristiwa 1965 merupakan puncak dari

segala pertentangan ideologis tersebut. Skenario-skenario politik berbagai pihak dimainkan dalam

sandiwara perang ‗Bharatayudha‘, sebuah perang saudara dalam pewayangan Jawa. Yang timbul

kemudian adalah korban dari rakyat sipil yang tidak mengetahui sama sekali skenario-skenario

politik yang tengah dimainkan. Para rakyat hanyalah menjadi wayang, yang siap di‘korbankan‘ oleh

dalangnya. Intinya, peristiwa 30 september 1965 merupakan trigger factor bagi operasi paling

efektif pembasmian sebuah ideologi.

Namun uraian diatas hanyalah sebagian cukilan kecil dari penelitian, riset dan kajian yang telah

banyak dilakukan untuk mengurai skenario peristiwa 30 September1965. Beberapa hasil dan teori

bahkan telah diuraikan dalam buku-buku dapat dibagi dalam 6 teori yaitu :

1. Skenario yang disetujui oleh pemerintah orde baru bahwa pelaku utama G 30 S

adalah PKI dan Biro Khusus, dengan memperalat unsur ABRI untuk merebut

kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia.

2. Skenario kedua yakni G 30 S merupakan persoalan internal AD, yang merupakan

kudeta yang dirancang mantan presiden, Soeharto

3. Sedangkan untuk skenario ketiga bahwa CIA-lah yang bertanggungjawab dengan

menggunakan koneksi di kalangan AD bertujuan menggulingkan Soekarno dan

mencegah Indonesia menjadi basis komunisme

4. Skenario yang dibuat oleh Inggris dan Amerika bertujuan menggulingkan Soekarno

5. Merupakan skenario yang paling kontroversial dengan menempatkan Soekarno

sebagai dalang dari G 30 S untuk melenyapkan pemimpin oposisi dari kalangan AD

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

105 | P a g e

6. Teori chaos, gabungan dari nekolim, pemimpin PKI yang keblinger dan oknum ABRI

yang tidak benar

Teori atau skenario apapun yang dijalankan saat itu oleh pihak-pihak yang masih dianggap

misterius, dikarenakan belum adanya kesepakatan untuk menunjuk satu pihak yang

bertanggungjawab dalam peristiwa 1965, peristiwa tersebut telah menorehkan luka yang sangat

dalam bagi sebagian besar warga Indonesia. Sekitar 500.000 juta jiwa telah menjadi korban,

tewas dibunuh hanya karena diduga menjadi kader, simpatisan atau anggota PKI. Tragedi ini juga

telah mengakibatkan penderitaan bagi 700.000 orang rakyat Indonesia termasuk keluarganya.

September tanggal 30, memang sudah lewat, namun ada yang perlu dicermati ketika memasuki

bulan Oktober. Tanggal 1 Oktober yang disebut sebagai hari Kesaktian Pancasila, ternyata masih

dirayakan dengan upacara di kawasan Lubang Buaya. Upacara tersebut ditujukan untuk

memperingati ‗kesaktian‘ dari Pancasila, sebagai lambang negara yang menurut sejarah Orde Baru

akan digantikan oleh Palu Arit sebagai lambang komunis. Singkatnya, para komunis yang waktu itu

tergabung dalam Partai Komunis Indonesia berencana mengkudeta pemerintahan Soekarno dan

mengkomuniskan Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan dalam benak saya, ―apakah masih perlu kita memperingati hari tersebut

berdasarkan penulisan sejarah yang dilakukan orde baru yang penuh rekayasa?‖ Sementara

penulisan sejarah akan selalu bersikap subjektif karena ditulis oleh pihak yang berkuasa. Memang

benar ketika peristiwa 1965 beberapa jendral angkatan darat terbunuh. Memang benar telah

terjadi korban dalam peristiwa tersebut, dan korbannya tidak hanya dari golongan agama atau

nasionalis tapi juga komunis. Semua pihak merupakan korban. Lalu apa yang harus dikritisi

kembali?

Yang harusnya dikritisi yaitu pandangan-pandangan yang masih saja menganggap peristiwa 1965,

terbunuhnya para jendral dan korban-korban lain dari non komunis dikarenakan golongan komunis

ingin berkuasa. Tidak ada dokumen yang pasti yang menunjukkan komunislah dalam hal ini PKI yang

bertanggungjawab atas semua. Bahwa kemudian yang terjadi adalah pembantaian dan penangkapan

para anggota, simpatisan ataupun orang yang dekat dengan PKI, bukanlah suatu tindakan yang

dapat dibenarkan.

Peristiwa 1965 merupakan peristiwa yang masih mengundang banyak pertanyaan bagi semua orang.

Dan kenyataannya tidak ada satu dokumenpun yang dapat ditunjukkan oleh pemerintahan orde

baru mengenai peristiwa tersebut sebagai upaya kudeta oleh PKI ataupun usaha penggantian

Pancasila sebagai lambang negara. Karena bukti yang baru didapatkan bahwa pada dalam sidang

penentuan Pancasila tahun... sebagai simbol negara, justru dari PKI lah yang memiliki suara

terbanyak dan mendukung Pancasila. Golongan agama justru ingin memberlakukan syarikat islam

dan mengganti lambang Pancasila dengan simbol islam.

Jadi, ketika dikatakan PKI sebagai anti Tuhan, kita harus mulai kritis dengan membedakan

komunisme sebagai ideologi dengan marxisme atau leninisme karena sebagai ide atas penghapusan

sistem kelas dalam masyarakat, semuanya berbeda. Orde barulah yang menjadikan semua ideologi

diatas sebagai larangan, yang artinya sama dengan anti agama.

Oleh : Diyah Wara, Anggota Sidang Redaksi Sekitarkita dan Ruang Ganti.

Sumber :

http://www.facebook.com/l/c4770k4_S3cuJLlon5uXREJg_bw;dev.progind.net/modules/smartse

ction/makepdf.php?itemid=93

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

106 | P a g e

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA

(Bagian 1)

Setiap tahun, bulan September adalah satu bulan yang tidak bisa dilupakan begitu saja bagi

bangsa dan rakyat Indonesia. Karena, akhir bulan ini, dan awal Oktober membuat berbagai

kalangan di Indonesia teringat kembali kepada tragedi kemanusiaan 45 tahun yang lalu yaitu

dibunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat oleh kaum militer yang tergabung dalam Gerakan 30

September, yang menjadi alasan dan membuka kesempatan buat Jenderal Suharto menghabisi

orang-orang komunis dan golongan kiri pendukung Bung Karno. Suharto dengan licik dan tipu daya

memanipulasi keadaan dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang tiada taranya, hingga

memuluskan jalan bagi nya buat mengambil dan merebut kekuasaan Presiden RI dari tangan Bung

Karno.bahkan secara perlahan membunuhnya. Semua itu dilakukan Suharto dengan alas an

"menumpas G30S"

Semenjak 1 Oktober 1965, Angkatan Darat dan Suharto melakukan kejahatan kemanusiaan

dengan melakukan genosida, pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang yang tidak

bersalah, yang tidak berdosa apa-apa sama sekali. Di Jakarta, Jateng, Jatim, Bali, Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara

dan tempat-tempat lainnya di seluruh Indonesia, buminya bersimbah darah orang-orang yang

dibunuh secara kejam dan biadab karena dituduh komunis atau ada indikasi dengan komunis, dan

diberi cap sebagai "terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S" yang diembel-embeli

dengan kata "PKI" di belakangnya.

Indonesia tercinta dibanjiri oleh darah dari orang-orang tak bersalah, darah bangsa Indonesia

sendiri, di mana segolongan manusia yang mengaku beragama dan berkebudayaan menjadi algojo-

algojo barbar dan bertindak melebihi serigala buas atas sesamanya sebangsa dan se tanah air.

Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan dengan pimpinan, atau pengarahan, atau hasutan

militer di bawah Jenderal Suharto dalam tahun-tahun 1965-1966 itu merupakan kejahatan yang

luar biasa besarnya terhadap peri kemanusiaan dan merupakan aib besar serta dosa maha-berat,

dan tidak bisa dilupakan begitu saja, sebab, mereka yang dibunuh ini kebanyakan adalah anggota

atau simpatisan PKI dan berbagai organisasi massa buruh, tani, nelayan, prajurit, pegawai negeri,

wanita, pemuda, mahasiswa, pelajar, pengusaha dan berbagai kalangan masyarakat lainnya, yang

jumlahnya tidak kurang dari 3 juta nyawa. Pengakuan Mantan Komandan RPKAD Kol. Sarwo Edhi

Wibowo sendiri didepan Komisi Pencari Fakta, bahwa dia sendiri dan 400 orang anak buahnya-

anggota RPKAD- telah membunuh 3 juta orang komunis. Hal ini dilakukannya ketika RPKAD

dibawah pimpinannya melakukan operasi pembunuhan atas orang-orang kiri di Jakarta, Jawa

Tengah, Jawa Timur dan Bali, mulai Oktober 65 - Januari 1966.

(Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang

dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri sat itu, Mayjen Dr. Soemarno, dengan angota-anggota

Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi (ex. Brigade XVII/TP) dan seorang lagi dari

tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto

sekitar 500 ribu orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie

Wibowo kepada Permadi SH, jumlahnya mencapai sekitar tiga juta orang. "Itu yang ia suruh bunuh

dan ia bunuh sendiri" kata sumber ini.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

107 | P a g e

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html)

Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan begitu kejam tanpa perikemanusiaan. Di Sumatra,

terutama Aceh, para korban dipenggal dan kepalanya ditancapkan diatas sepotong kayu/bambu

dan dipajangkan disepanjang tepi jalan untuk tontonan. Di Sumut, para wanita diperkosa beramai-

ramai kemudian tubuhnya dicincang dan dibuang ke kali. Di Sumbar, korban dalam keadaan hidup,

diikat dan ditarik oleh dua buah pedati/kereta lembu, hingga tubuh dan kepala bercerai berai.

Di Painan, Sumbar, seorang gadis SMP, yang melindungi ayahnya yang dituduh PKI oleh pihak

militer, ditangkap dan dimasukkan kedalam karung, diikat kemudian dilempar ke sungai dan

meronta-ronta di dalam karung sampai menghembuskan napas terakhirnya. Di Jawa, kepala atau

leher korban yang dalam keadaan masih hidup, diikat ke sebatang pohon, dan kakinya diikat

kesebuah truk kemudian truk dijalankan hingga tubuh korban hancur berkecai. Di Surakarta, para

korban diikat berjejer diatas rel kereta-api dimalam hari untuk dilindas hancur oleh keretapi

yang datang melaju. Bahkan, diceritakan, bahwa yang melakukan hal itu konon adalah pihak

punggawa dalam keraton. Di Timor Barat, korban dipancung didepan anak dan istri hingga

darahnya memercik membasahi sekujur tubuh anak dan istri yang menjadi histeria. Di Bali, para

korban yang diambil dari dalam tahanan dibunuh dan tubuh serta bagian tubuhnya dicincang,

dipotong-potong.

Sungguh, perbuatan-perbuatan biadab yang pasti saja direstui dan juga dianjurkan secara diam-

diam oleh Suharto, (karena tiada pencegahan dari Suharto), telah menelan sangat banyak korban

bangsa Indonesia yang tak bersalah, tak melawan dan tak bersenjata, di tangan militer Angkatan

Darat dan gerombolan milisia pendukung Suharto. Demikian banyaknya korban pembunuhan itu,

sampai-sampai Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyatakan "Dalam empat bulan,

manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun"

("In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years")

(Perang Urat Syaraf.Kompas 9 Pebruari 2001). Dia menyebut bahwa pembunuhan massal ini

sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh "manusia".

Di samping itu juga telah ditahan atau dipenjarakan hampir 2 juta orang yang juga sudah terbukti

dengan jelas tidak bersalah apa-apa sama sekali dalam jangka waktu yang berbeda-beda, yang

ditahan sampai puluhan atau belasan tahun, di setiap kota dan pelosok tanah air, di antaranya 12

ribu orang dibuang dan dikerjapaksakan membuka lahan, hutan belantara di Pulau Buru, di bagian

Timur Kepulauan Indonesia untuk kepentingan penguasa militer. Dan disebabkan kerja paksa di

hutan belantara itu, banyak yang mati karena malaria, busung, disentri dan kurang makan Dan

yang masih hidup, setelah bertahun-tahun, para tahanan yang ratusan ribu itu dikeluarkan dari

tahanan begitu saja tanpa proses pengadilan. Tanpa adanya proses hukum dan pengadilan atas

mereka ini, jelas membuktikan bahwa mereka semua tidak bersalah. . Mereka dilepas dari tahanan

begitu saja setelah meringkuk belasan tahun, seperti ayam yang lama dikurung dan dikeluarkan

dari kandangnya untuk mencari makan.

Disebabkan oleh pembunuhan massal dan pemenjaraan jutaan orang-orang yang umumnya adalah

pendukung Bung Karno itu, maka puluhan juta istri para korban kekejaman Suharto/Ordebaru ini

(beserta anak-anak mereka) terpaksa hidup dalam kesengsaraan atau penderitaan yang

berkepanjangan, dikucilkan oleh pemerintahan militer yang berkuasa. Bahkan, banyak di antara

mereka yang sampai sekarang , walaupun presiden sudah silih-berganti, masih tetap menderita

akibat tindakan militer warisan Suharto itu. Banyak orangtua yang pernah ditahan oleh rezim

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

108 | P a g e

Militer, takut mendekat kepada anak-anaknya yang telah menjadi manusia dewasa, demi menjaga

jangan sampai mereka menjadi korban intimidasi dan pengucilan masyarakat yang sudah begitu

lama diracuni ordebaru.. Dan tidak sedikit anak-anak yang takut dan tidak mengakui orangtua

mereka, karena orangtuanya pernah menjadi tapol rejim Suharto ataupun simpatisan komunis.

Kebudayaan bangsa Indonesia menjadi rusak karena politik "bersih lingkungan", suatu politik

meneruskan pembunuhan massal tanpa bedil seperti yang tercantum dalam Peraturan Mendagri

Amir Mahmud No: 32/1981, yang diskriminatif dan tidak manusiawi, yang membatasi dan melarang

semua kegiatan dan gerak orang-orang kiri, pengikut Bung Karno yang dianggap "tidak bersih".

"Karenanya, memperingati tragedi 1965 adalah perlu sekali. Sebab, menurut agama apapun di

dunia ini dan juga menurut nalar yang beradab, membunuh hanya satu orang yang tidak bersalah

saja sudah merupakan kejahatan yang mengandung dosa berat dan juga harus dihukum, maka

mengapa justru pembunuhan jutaan orang tidak bersalah itu didiamkan saja? Siapa-siapa sajakah

yang melakukan pembunuhan atau menyuruh bunuh begitu banyak orang itu? Dan siapa sajakah

yang harus bertanggung-jawab terhadap pemenjaraan begitu banyak orang tidak bersalah belasan

tahun lamanya itu? Semua ini juga merupakan aib besar sekali bagi bangsa, yang dibikin oleh

Suharto beserta para pendukungnya" (silahkan baca: Suharto bersama Orde Barunya adalah Najis

Bangsa. http://umarsaid.free.fr/))

Tentang Peristiwa dinihari 1 Oktober 1965, rasanya perlu dilakukan pencerahan, refreshing,

mengingat kembali apa yang terjadi yang merupakan titik tolak garis mundur dan kehancuran

bangsa. Sebagaimana diucapkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, menurut

Rakyat Merdeka Minggu, 01 Oktober 2006 di Jakarta. "Pengungkapan kembali tentang apa yang

terjadi saat itu memang perlu, Meski begitu, sejarah, terutama penggambaran suasana pada saat

itu, memang layak direnungkan. Sebab, peristiwa itu diyakini sebagai salah satu titik balik

pemerintahan Indonesia". Sadar atau tidak sadar, jubir Kepresidenan ini juga mengakui bahwa

kejadian Peristiwa 1965 sebagai titik balik pemerintah Indonesia.

Apa dan bagaimana Peristiwa 1965 itu, mari sedikit kita telusuri kembali , agar ingatan dan pikiran

senantriasa segar akan sejarah yang telah melanda bumi persada 45 tahun yang lalu, yang

mengakibatkan, kerusakan dan kemunduran bangsa sampai sekarang.

Pada subuh dinihari 1 Oktober 1965, sekelompok perwira muda Angkatan Darat seperti Letkol.

Untung, Kolonel A. Latief dan Brigjen Supardjo, melalui suatu gerakan yang mereka beri nama

Gerakan 30 September, bertindak melakukan penculikan dan penangkapan terhadap para perwira

tinggi Angkatan Darat yang mereka duga tergabung dalam organisasi "dewan jenderal" yang akan

melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Penangkapan dan penculikan yang katanya untuk

menghadapkan para jenderal kepada Presiden Sukarno itu, ternyata berakir dengan pembunuhan

para Jenderal, yang jenazahnya dibuang di sumur tua yang disebut Lubang Buaya . Enam Jenderal

dan seorang Perwira menengah menjadi korban di malam naas itu. Hal ini, semua mahkluk yang

bernama manusia di Indonesia tahu, karena selama 32 tahun pihak Orba Suharto mencekokkan

kepada bangsa Indonesia-dari anak taman kanak-kanak sampai kakek-kakek- bahwa G30S yang

katanya di dalangi oleh PKI, melakukan pemberontakan dan membunuh enam jenderal Indonesia.

Semua suratkabar dilarang terbit. Radio, TV, sk.Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang

dikuasai militer Suharto bicara tentang kebiadaban dan kekejaman G30S dan meyiarkan segala

fitnah dan rekayasa rejim Suharto. Bahkan Orba sengaja membuat sepesial film untuk itu,

tentang kekejaman, kebiadaban dan para para korban yang "bersimbah darah" yang setiap saat

selama Suharto berkuasa diputar, dipertonton dan dijejalkan kepada publik, sehingga lama

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

109 | P a g e

kelamaan, karena diputar terus-terusan, publik yang apatis dan masa bodohb dan mengganggap

bahwa apa yang dipertunjukkan dan ditayangkan itu "sebagai benar".

Namun, apakah yang dipropagandakan oleh Orba itu sesuatu hal yang benar, ataukah suatu taktik

politik berupa fitnah dan rekayasa untuk memancing kemarahan rakyat, guna memudahkan

Suharto dan pihak Angkatan Darat melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Indonesia

Bung Karno?

Tidak banyak orang yang tahu, bahkan tidak pernah disiarkan atau diberitahukan kepada umum

bahwa menjelang 30 September 1965 telah datang ke Jakarta, Batalyon dari Jawa Timur, Jawa

Tengah untuk mendukung gerakan yang bakal dilangsungkan pada malam harinya. Begitu juga

Batalyon Kujang Siliwangi dari Bandung.

Siapakah yang memanggil kesatuan militer dari Jatim, Jateng dan Jabar ini ke Jakarta? Apakah

Letkol Untung Samsuri yang hanyalah Komandan Batalyon I Pasukan Pengawal Presiden,

Cakrabirawa, yang menjadi Ketua G30S serta Kolonel A. Latief yang hanyalah Komandan Brigade

Infantri 1 Kodam V Jaya? Apakah mereka berdua yang memanggil Batalyon itu? Apakah mereka

berdua begitu berkuasa hingga bisa memanggil Batalyon dari Diponegoro dan Brawijaya dengan

peralatan siap tempur ke Jakarta? Sudah pasti, tidak! Yang memanggil Batalyon dari Jatim dan

Jateng untuk mendukung Gerakan 30 September serta Batalyon RPKAD dari Bandung yang

kemudian digunakanuntuk menumpas Batalyon yang mendukung G30S adalah Panglima Komando

Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), yaitu Mayor Jenderal Angkatan Darat Suharto! Jenderal

Suharto yang memanggil kesatuan militer itu untuk membantu G30S itu, sekaligus memanggil

Batalyon untuk menumpas G30S. Persis seperti pemain catur yang mempersiapkan dua pion yang

berlawanan dan bermain di kedua sisi. Dua pion (biji catur) yang berlawanan, untuk saling

menghabisi, namun satu pemainnya! Disinilah kelicikan Suharto!

Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal

15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September

1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa

Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad

diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal29 September 1965.

Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00

Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan

gerakan pada malam harinya.

Pemanggilan pasukan ini sesuai dengan janji dan ucapan Suharto kepada Letkol Untung. Sebelum

"gerakan" itu melancarkan aksinya, Letkol. Untung yang tidak asing bagi Soeharto, mendatanginya

dan melaporkan rencananya. Soeharto mengatakan sikap itu sudah benar. "Bagus kalau kamu punya

rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu". Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu.

Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah"

Kolonel A. Latief dalam kesaksiannya kemudian mengatakan bahwa dia mengunjungi Suharto di

kediamannya di Jl Agus Salim, Jakarta dan membicarakan soal gerakan, tanggal 18 September 65,

tanggal 28 September 65. Dan pada 29 September 65 antara jam 9-10 pagi A. Latief menemui

Jenderal Suharto di RSPAD untuk mematangkan rencana. Dan pada 30 September 65 , jam 11.00

malam hari, Kolonel Latief mengunjungi Jenderal Soeharto lagi di RSPAD Gatot Subroto untuk

melaporkan situasi "gerakan" yang bakal dimulai empat jam lagi. .

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

110 | P a g e

Melihat situasi dan pertemuan Kolonel A. Latief dan Jenderal Suharto sedemikian, lantas

bagaimana dan sampai di mana "kedudukan" Jenderal Suharto dalam G30S? Melihat situasi yang

demikian, maka tidak bisa dibantah bahwa Jenderal Suharto mengetahui rencana sebelumnya dan

memberikan bantuan militer kepada G30S untuk melaksanakan gerakannya. Dus, menurut

standard hukum Orba, Suharto mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S! Dan sekali lagi,

menurut jatah hukuman Orba, yang mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S, yaitu

Suharto, harus dihukum mati!

Dan seperti apa yang dilaporkan Kolonel A. Latief kepada Jenderal Suharto, maka dinihari 1

Oktober 1965, berlakulah penculikan dan pembunuhan atas 6 orang jenderal Angkatan Darat.

Pagi harinya, sebelum orang tahu apa yang terjadi, sebelum ada pemeriksaan, penyelidikan dan lain

sebagainya, mendengar berita tentang diculiknya para jenderal kanan Angkatan Darat itu, Yoga

Sugama yang tahun 50-an pernah dikirim oleh Zulkifli Lubis mengikuti pendidikan Intel pada MI-6

Inggris, pada pagi hari 1 Oktober 65 itu, mengaku lebih dahulu sampai di Kostrad. Sebagai

Asisten I Kostrad/Intelijen, atas kejadian pagi subuh 1 Oktober itu, serta merta Yoga Sugama

dan disokong oleh Ali Murtopo begitu saja mengatakan bahwa "hal itu pasti perbuatan PKI".

Selanjutnya, kalangan militer di bawah koordinasi Pangkostrad Mayjen. Soeharto melakukan

gerakan penumpasan sambil memperkenalkan "teorinya" tentang keberadaan PKI sebagai dalang

G30S. Isu keterlibatan PKI sebagai aktor utama G30S yang dikembangkan Soeharto ternyata

mampu menumbuhkan simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang

dipimpinnya, apalagi setelah semua suratkabar dilarang terbit sejak 1 Oktober itu, kecuali koran

militer yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang merupakan terompet militer untuk

menebar luaskan teori, rekayasa serta fitnah yang diciptakan. Jam malam diberlakukan dari 6

sore sampai 6 pagi atas perintah Pangdam Jaya Letjen Umar Wirahadikusumah.

Para pengikut Soeharto membuat rekayasa tentang keberadaan anggota-anggota Gerwani dan

Pemuda Rakyat di Lubang Buaya jauh sebelum peristiwa, karena tempat itu adalah tempat latihan

Sukarelawan Ganyang Malaysia, namun ditutup sejak 26 September 1965. Dan ditebarkanlah isu

dan fitnah bahwa anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menyiksa para jenderal sebelum

dibunuh di Lubang Buaya.

"Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya,

maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan

propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Soeharto tentang

penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi

dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil

menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil

visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Soeharto sendiri yang diserahkan kepadanya

pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara

berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI

yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain

diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan

dalam studi Dr. Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk

menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang

dimanipulasi sebagai "pelacur bejat moral". Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki

dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. ( Harsutejo: Jejak

Hitam Soeharto, Sejarah Gelap G30S dan Sekitar G30S http://kontak.club.fr/index.htm)

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

111 | P a g e

Rakyat dihasut dan dipaksa memamah biak segala cekokkan fitnah dan rekayasa pihak militer

Suharto melalui surat-kabar militer.. Rakyat tidak sempat berpikir bahwa kekuatan Batalyon

Militer yang mendukung G30S dan kekuatan Batalyon Militer yang menghancurkan G30S itu

adalah Batalyon Militer yang datang dan hadir di Jakarta pada 30 September 1965 karena

dipanggil pertelegram oleh Pangkostrad Mayjen. Suharto. Lantas, dalam hal ini, di mana dan

bagaimana kedudukan Suharto di dalam G30S? Tidakkah sesugguhnya bahwa dia bermuka dua,

atau berlayar diatas dua buah perahu? Atau seperti ditulis diatas, pemain catur yang

menggunakan dua pion yang berlawanan?

Namun, fitnah dan rekayasa yang dilancarkan Angkatan Darat dengan menanamkan kebencian,

mengalahkan segala pikiran sehat. Para pengikut dan kaum milisia yang tergabung dalam segala

macam bentuk Komando Aksi di bawah naungan Angkatan Darat dan Angkatan 66 yang dibiayai

oleh kedutaan AS di Jakarta dengan jatah 5000 nasi bungkus setiap harinya dengan mengenakan

jaket kuning, berdemonstasi mendongkel Bung Karno dan mengharu birukan kota Jakarta, bahkan

menjalar sampai keseluruh pelosok tanah air.

Api menyala. Darahpun tumpah. Ketika kemarahan dan kebencian sudah meluas, pembunuhan

massal diorganisir dan terjadi secara sangat sistematis, seiring dengan pergerakan RPKAD. Di

Jakarta-begitu juga di seluruh pelosok tanah air- rumah dan gedung-gedung yang diduga milik

anggota atau simpatisan komunis dirusak dan dibakar. Orang-orang yang dituduh komunis,

ditangkap dan diarak oleh demonstran, dan dalam keadaan tak berdaya, di tengah-tengah massa

demonstran, korban ditusuk dan dibunuh dengan pedang sedang pihak militer hanya melihat dan

menonton. (Lihat film dokumen Australia Broad Casting: Riding The Tiger).

Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan Himpunan

Mahasiswa Islam di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan

dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban. "Awas kalau kau berani ngrumat

jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai,

dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati."

Setiap tokoh baik dalam dan luar negeri berbicara mengenai jumlah korban pembunuhan massal

yang dibiarkan dan dijadikan alasan Suharto menghancurkan G30S itu. Setiap tokoh memberikan

data dan analisa. Namun si jago jagal Jenderal Suharto, bungkam tidak berkomentar mengenai

begitu banyaknya korban bangsa Indonesia yang dibunuh, bakan dia sendiri memerintahkan

Kolonel Jasir Hadibroto untuk "membereskan", memburu dan membunuh Ketua PKI D.N.Aidit.

(bersambung ke bagian 2)

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA

(Bagian 2)

Sampai matinya karena kerusakan otak (gila?-pen) dan mesti dirawat oleh 40 orang dokter ahli,

Suharto tetap bungkam atas pembunuhan massal terhadap bangsa Indonesia yang dijadikannya

alasan menghancurkan G30S, dan melakukan kudeta merangkak memreteli kekuasaan Presiden R.I.

Bung Karno.

Tiga puluh dua tahun selama kekuasaan Suharto, rakyat dipaksa dan dijejali dengan sejarah

plintiran, ditipu dan diperbodoh melalui sejarah ciptaan dan karangan penjilat-penjilat Suharto.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

112 | P a g e

Sekarang, setelah 65 tahun semenjak kejadian genosida bangsa Indonesia tahun 1965/1966 itu,

keadaan rakyat dan bangsa Indonesia tidak ada perobahan. Sisa-sisa kaum milisia Orba yang

bertindak semaunya, masih berkeliaran di mana-mana dan tampil dengan berkedokkan organisasi

agama, pancasila dll., melakukan terror terhadap rakyat. Kehidupan rakyat makin hari makin

bertambah sengsara. Diperkirakan, 60% rakyat Indonesia adalah melarat, berpendapatan di

bawah minimum. Sedang sebagian menjadi kaya raya melewati batas. Politikus, Kapitalis, Pejabat

dan para Menteri Pemerintah, kekayaannya makin hari makin gendut dan melambung . Indonesia

jauh melencong dari yang dicita-citakan oleh founding fathers/mothers dan pejuang

kemerdekaan.

Kekayaan Indonesia dijarah dan dibagi-bagi oleh dan untuk para penguasa. Rakyat makin

dilupakan, dianggap seolah-olah sampah yang tak tahu apa-apa, terutama mereka yang semenjak

tahun 1965 menjadi korban fitnah dan rekayasa Suharto, yang keluarganya dibunuh, ditahan

belasan tahun, dibuang, dicabut kewarganegaraannya dan dikucilkan dari masyarakat dan dibatasi

ruang hidupnya. Mereka dianggap sebagai manusia berpenyakit kusta, harus dijauhi dan dianggap

sebagai pariah.

Setelah 65 tahun, mereka satu persatu meninggal dunia dalam kepapaan, dalam kemelaratan,

tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah tentang nasibnya. Bahkan keturunan dan sanak

saudara mereka sampai sekarang masih hidup menderita karena politik diskriminasi Pemerintah.

Janji-janji perhatian, rekonsiliasi dan rehabilitasi cumalah lip-service, cuma hiasan bibir.

Semboyan "dari rakyat untuk rakyat" hanyalah sekedar coretan di atas kertas. Tidak heran kalau

ada seorang ibu dengan 2 anaknya rela bunuh diri karena tidak bisa membayar "hutang" yang cuma

kurang dari 2 dollar. Beginilah kenyataan Indonesia kita sekarang!

Setelah Suharto si raja fitnah dan rekayasa ditumbangkan oleh para pemuda dan mahasiswa yang

heroik, dan KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI dalam Era Reformasi, nampak sedikit

cahaya terang menyinari bumi persada. Pertama-tama sekali, beliau yang adalah Ketua dan

sesepuh Nahdhatul Ulama (NU) berani meminta maaf kepada semua korban Suharto/Ordebaru,

orang-orang komunis yang dibantai, dimana NU dan anggota-anggotanya ikut arahan Suharto

menumpahkan darah orang-orang yang tak bersalah yaitu golongan progresip yang dituduh

komunis. Keberanian Gus Dur meminta maaf kepada para korban ini sangat dipujikan. Bukan itu

saja, bahkan Gus Dur berusaha untuk menghapus peraturan-peraturan Pemerintah atau MPR yang

salah kaprah, dibuat-buat oleh rezim Suharto, guna menopang dan menjadikan Suharto sebagai

penguasa di Indonesia, seperti TAP MPRS No: XXV/MPR/1966. Banyak usaha-usaha baik lainnya

yang dilakukan Gus Dur. Akan tetapi, karena hal ini, pihak lawan politiknya tidak suka, terutama

Golkar dan cecunguk Ordebaru yang masihberkuasa di pemerintahan dan MPR. Gus Dur didongkel

dan dijatuhkan. Dinaikkanlah wakil Presiden Megawati Sukarnaputri menjadi Presiden. Pihak

reaksioner, pembela-pembela Suharto/orba berasumsi bahwa Mega bisa didikte, dan tidak akan

berbuat hal-hal yang mereka tidak sukai. Asumsi dan harapan mereka ternyata memang betul

karena Mega tidak bisa berbuat banyak. Bahkan sebagai presiden, "tidak sempat" memulihkan

nama baik Bung Karno, ayahnya, yang dengan sengaja sudah ditumpuki najis oleh Suharto. Mega

gagal dan rakyat kecewa. Akibatnya, dalam pemilu 1999, Mega tidak terpilih. SBY yang pernah

menjadi menterinya Mega dan keluar karena disebut sebagai anak kecil oleh suami Mega, dan juga

sebagai Menteri yang dipecat Gus Dur, menang Pemilu dan jadi Presiden! Dia tampil sebagai idola!

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

113 | P a g e

Rakyat meletakkan harapan kepada Presiden SBY, seorang militer yang gagah, ganteng dan

dianggap berwibawa dan bisa membela rakyat. Sebagai Presiden, SBY mulai mengumbar kata-kata

dan janji manis.

Tahun 1984, Eks . Komandan RPKAD Letjen. Sarwo Eddi Wibowo, pernah bertemu dengan Ilham

Aidit, putra bungsu D.N. Aidit, Ketua PKI, di puncak Gunung Tangkubanperahu Jabar. Saat itu,

kepada Ilham, Sarwo Edhi berkata mengenai pembunuhan yang dilakukannnya, bahwa dirinya

hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah

peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo

mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan.

Perkataan, pernyataan dan uluran tangan Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit ini jelas

merupakan expressi, pernyataan "menyesal" dari Sarwo Edhi atas "perbuatannya" membunuhi

manusia seenaknya.

Akan tetapi, kendatipun Sarwo Edhi Wibowo "menyesal" dan menyatakan "sadar bahwa yang

dilakukannya itu salah", apakah kasus pembantaian tiga juta manusia itu bisa dianggap selesai

dengan "permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham?

Kasus G-30-S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Bukanlah kasus Sarwo Edhi dan Ilham Aidit,

tetapi adalah masalah bangsa dan negara, yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.

Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada tahun 2004, Ilham mengikuti silaturahmi yang

digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo "SBY" Bambang

Yudhoyono.

Dalam pertemuan itu Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo Edhi Wibowo

(yang adalah bapak mertua SBY), pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.

"Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus

menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif," kata Ilham. Ketika itu, SBY yang berbaju

batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham mengenakan kemeja lengan

panjang. (Silahkan baca tulisan wartawan Bersihar Lubis: Pertemuan Sarwo Edhie-Ilham Aidit)

Pada permulaan kekuasaannya, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, rakyat merasa

mempunyai harapan karena ucapan beliau yang akan "mensejahterakan eks. tahanan politik",

bahkan berkunjung ke Pulau Buru tempat 12.000 tapol dikerjapaksakan, diromushakan, dirodikan

oleh rejim Suharto untuk membuka hutan belantara menjadi perkebunan/ladang padi.. Akan tetapi

sayang, sampai para eks tapol Pulau Buru pada mati satu persatu seperti Pramudya Ananta Toer,

Oei Hay Djoen dll., ucapan Presiden SBY pada 1 Oktober 2006 itu tidak pernah terlaksana.

Seharusnya, momentum," permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit, bisa menjadi

contoh dan pendorong buat SBY melakukan rekonsiliasi para korban rejim Suharto yang jutaan

jumlahnya. Namun, sayang, SBY sebagai penguasa, nampaknya tidak punya keberanian untuk itu.

Terlalu lembek dan mengikut arus para pendukung dan pembelaOrba Suharto.Bahkan kemudian

tindakannya menjadi berbalik 180 derajat, kembali mengikuti pola pikiran dan membela Suharto

dengan mengatakan bahwa membicarakan masalah yang berkaitan dengan G30S/1965 sebagai hal

"yang tidak produktif" dan rakyat supaya jangan terjebak dengan hal itu. (Silahkan baca RM-

Online 1/10/2006).

Betapa sedih dan kecewanya jutaan Rakyat akan penyataan SBY itu. Membicarakan mengenai

derita 20 juta sanak keluarga korban rejim Suharto sebagai "tidak produktif". Nampak dan jelas

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

114 | P a g e

sekali bahwa Presiden dan Pemerintah, cenderung untuk nelupakan begitu saja, menghilangkan dan

menghapus sejarah yang terjadi atas bangsa dan tanah air Indonesia. Rakyat, bukan saja kecewa

dengan SBy, namun juga menjadi takut karena menganggap bahwa SBY dan Suharto adalah satu!

Yang lebih jelek lagi, dalam mengungkapkan masalah HAM, dua tahun yang lalu ada mantan

jenderal yang juga coba menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa "tak ada jenderal yang

bunuh rakyatnya". Kalau boleh kita bertanya, bagaimana dengan pengakuan Jenderal Sarwo Edhi

Wibowo yang telah membunuh 3 juta jiwa? Bahkan lebih munafik lagi, ada juga Mantan Jenderal

terkenal yang juga beriktikad menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa di Indonesia

tidak ada Genosida. "Kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal, termasuk

genocida itu seperti yang terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman". Sang Mantan Jenderal

terkenal ini jelas sekali menutup mata dan menyembunyikan serta menghilangkan fakta sejarah

Pembunuhan Massal atau Genosida yang terjadi di Indonesia pada tahun 65/66. Sedangkan

Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang

amat mengerikan: "Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah

korban perang Vietnam selama 12 tahun." (Perang Urat Syaraf.Kompas, 9 Februari 2001). Dan

tidak ketinggalan, bahkan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang dibanggakan bangsa

Indonesia karena beliau pernah dibesarkan dan bersekolah di Indonesia, mengatakan: "According

to estimates, between 500.000 and one million people were slaughtered during the purge, with

750.000 others imprisoned or forced to exile.".

Nah, bagaimana mantan Jenderal terkenal Indonesia itu menanggapi pernyataan Barack Obama

ini?

Telah banyak ditulis buku-buku, baik oleh sarjana-sarjana luar maupun dalam negeri yang

menceritakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Peristiwa Tragedi Nasional 1965/di

Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan tulisan dan artikel telah muncul mengenai derita dan aniaya

yang menimpa bangsa dan tanah air di bawah rejim Suharto/Orba dan Peristiwa Pembantaian

Masal 1965. Puluhan buku hasil penelitian dan studi telah ditulis oleh banyak pakar dan

cendekiawan luar dan dalam negeri, mengenai Peristiwa 1965, kudeta Jendral Suharto,

penggulingan Presiden Sukarno dan Genosida 1965 . Baik dalam bentuk artikel, wawancara, prosa

ataupun puisi yang menggambarkan tentang derita dan sengsara rakyat dalam Peristiwa 1965.

Para sarjana dari Amerika, Belanda dan Kanada seperti Prof. Br. Ben Anderson , Dr. Mc. Vey,

Lambert Giebel, John Hughes, Dr. Henk Schulte Nordholt dan banyak lagi lainnya, semua menulis

tentang Tragedi Nasional 1965 di Indonesia. Tak ketinggalan juga Prof. John Roosa yang menulis

buku: "Dalih Pembunuhan Massal-G30S dan Kudeta Suharto" yang merupakan panduan penting

untuk generasi muda Indonesia untuk mengerti tentang Kudeta Suharto, yang coba ditutupi dan

disembunyikan oleh para pendukung dan pengikut Suharto yang masih duduk di lembaga-lembaga

pemerintahan dan kejaksaan sampai sekarang. Bahkan, seorang penulis Indonesia, Harsutejo juga

pada 2003 telah berhasil menulis dan menerbitkan hasil penelitiannya yang berjudul : "G30S --

Sejarah yang Digelapkan" -- Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto".

Begitu banyaknya buku dan tulisan yang membukakan kepada bangsa dan generasi muda Indonesia

tentang Peristiwa Tragedi Nasional dan Kudeta Suharto, sampai-sampai sebuah lembaga

dokumentasi penting di Amsterdam Negeri Belanda, "Perkumpulan Dokumentasi Indonesia ", di

bawah asuhan Saudara Sarmaji (seorang yang paspor Indonesianya dicabut Suharto), telah

berhasil menyusun sebuah perpustakaan dan koleksi yang jumlahnya tidak kurang dari 231

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

115 | P a g e

(duaratus tigapuluh satu) judul buku dan dokumen mengenai "Gerakan 30 September 1965 dan

Dampaknya". (dari: Catatan Ibrahim Isa, Negeri Belanda)

Juga tidak bisa dilupakan segala usaha dan jerih payah Saudari Cyntha, yang ayahnya Dr.

Wirantaprawira mendapat tugas belajar di Eropah Timur (1963-1968), namun kemudian

paspornya dicabut oleh rejim Suharto hingga hampir 47 tahun terpaksa "kelayaban" di

mancanegara. Sebagai generasi muda yang lahir tahun 1983 dan hidup di luar Indonesia,

Cyntha telah berhasil mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai "Gerakan Satu Oktober

1965" (Coupd´État ´65), yang telah disusunnya sebagai sebuah e-Book dengan judul

"Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 - Mencari Keadilan ("Lifting the Curtain on

the Coup of October 1st 1965 - Suing for the Justice") Ini bisa dilihat dan dibaca

dengan mengklik situs: http://www.wirantaprawira.net/pakorba/

Namun, dengan jumlah buku dan dokumen yang begitu, masih terasa belum mencukupi. Indonesia

telah terlalu lama dicekoki dengan sejarah dan plintiran fakta oleh rejim Suharto. Sepertiga abad

lamanya, setiap hari bangsa kita dijejali dongeng dan cerita rekayasaciptaan rejim Orba, sehingga

menjadi muak dan apatis dan akhirnya menjadi masa bodoh dan sebagian menganggap bahwa

semua cerita itu sebagai suatu yang benar. Generasi muda Indonesia, pewaris-pewaris masa depan

bangsa dan negara, perlu lebih banyak mengetahui, perlu lebih banyak bahan dan dokumentasi

untuk dipelajari guna menelanjangi Pemerintah sekarang dan para pejabatnya yang cenderung

untuk menghilangkan dan menghapus secara diam-diam sejarah Tragedi Nasional 1965, tentang

Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto.

Kita berterimakasih kepada Penerbit Ultimus Bandung yang pada 1 Agustus 2010 telah

menerbitkan sebuah buku kecil yang berjudul "Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia". Buku

setebal 256 halaman ini yang diberi kata pengantar oleh Prof. Jakob Sumardjo, berisi kumpulan

informasi dan tulisan dari para ahli sejarah dan penulis-penulis lainnya sekitar 'sejarah hitam'

yang coba disembunyikan, dihilangkan dan dihapus atau ibarat "abu" yang coba disiram , coba

dimusnahkan oleh pihak penguasa. Dan abu sejarah hitam yang berserakan di mana-mana ini,

dikumpulkan menjadi satu catatan yang berkesinambungan dan dijadikan buku, agar menjadi

pegangan dan panduan kaum muda Indonesia.

Di samping menceritakan secara urutan-kronologis-tentang sejarah hitam Indonesia dari masa

sesudah Proklamasi Kemerdekaan sampai kepada wafatnya Bung Karno karena sengaja dibunuh

secara perlahan oleh Suharto, buku ini memuat sebagian kecil (lebih dari seribu nama) Daftar

Korban Genosida 1965-1968, yaitu nama para /tapol yang ditahan dan dihilangkan, dibunuh tanpa

proses hukum oleh penguasa militer, di Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Jogyakarta dan Sumut,

Sumbar, Riau serta Daftar Pemerkosaan Perempuan di Indonesia tahun 66-67 yang dilakukan oleh

Penguasa dan kakitangannya. Daftar ini diperoleh dari Bagian Data Lembaga Perjuangan

Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR-KROB), yang merupakan sebagian kecil dari Daftar

Genosida 65 yang oleh LPRKROB telah diserahkan kepada Komnas HAM. Setiap orang dianjurkan

untuk mendapatkan buku kecil ini sebagai pegangan guna membantah omongan yang mengatakan

"tidak ada jenderal yang membunuh rakyatnya" atau omongan yang mengatakan bahwa "genosida

itu cuma terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman" tanpa menyinggung sedikitpun tentang

Pembunuhan Massal 3 juta orang di Indonesia oleh rejim Suharto. Bagi sanak saudara keluarga

para korban, mungkin bisa menemukan nama ayah, ibu, saudara atau kakeknya dalam Daftar

Genosida dan Perkosaan yang terlampir dalam buku tersebut.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

116 | P a g e

Menurut Harian Sinar Harapan tanggal 10 Maret 2004, Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda

Nusantara telah mengucapkan pernyataan yang antara lain menyebutkan bahwa : "Perlu diteliti

siapa aktor dan berapa jumlah korban pembantaian 1965. Negara telah membiarkan korban

selama puluhan tahun tanpa proses pengadilan, maka negara harus minta maaf dan memberikan

keadilan pada korban".

Dan Ifdhal Kasim Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM dalam mimbar bebas untuk memperingati

Hari HAM se-Dunia di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta (Kamis, 10/12/2009).

menilai "kebijakan SBY tidak serius dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia

(HAM) di Indonesia". Jadi, nampaknya, selama masih Presiden Indonesia adalah SBY, mungkinkah

bakal ada penyelidikan dan pemeriksaan atas drakula-drakula yang menumpahkan banyak darah

bangsa Indonesia dalam Pembunuhan Massal 1965? Rasanya jauh panggang dari api, karena

mbahnya drakula, si pembunuh manusia yang terbesar jumlahnya adalah Komandan RPKAD, Letnan

Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang adalah bapak mertua SBY sendiri! "Jangan Sekali-kali

Melupakan Sejarah" kata Bung Karno! Karenanya, tanpa ada keberanian SBY melakukan gebrakan,

sebagai pimpinan negara untuk meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan

pemerintahan rejim Suharto, dan melakukan rekonsiliasi atas para korban rejim Suharto, rasanya

sulit bagi rakyat yang telah menderita selama 45 tahun untuk mengakui SBY sebagai pemimpin

mereka; Tidak bakal ada arti samasekali bagi rakyat yang menderita, karena mereka akan

menganggap Suharto dan SBY sami mawon!

Hendaknya, SBY berani belajar akan keberanian Paus John Paul II yang meminta maaf kepada

Dunia karena keikutsertaan Katolik atas Nazi Hitker; berani belajar atas keberanian Perdana

Menteri Australia Kevin Rudd yang meminta maaf atas perilaku pemerintahan masa lalu yang

melakukan "stolen generation atas" anak-anak Aborigin Australia; berani belajar atas keberanian

Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, yang meminta maaf atas kesalahan pemerintahan masa

lalu yang menculik anak-anak Inggris dan membuangnya - mentransmigrasikannya- ke

Australia.Alangkah bagusnya kalau SBY mencontoh keberanian pemimpin-pemimpin dunia

tersebut.

Mengingat semuanya itu, patutlah kiranya sama-sama kita hargai dan kita dukung segala usaha dan

kegiatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan dan golongan seperti LPR-KROB, YPKP, Pakorba,

Komnas HAM, Kontras, dan organisasi-organisasi Kemanusiaan lainnya, baik di dalam maupun

luarnegeri, yang selalu menyegarkan ingatan bangsa kita kepada tragedi besar yang telah

menimbulkan begitu banyak korban. Apa yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut diatas

itu sangatlah perlu dan juga mulia bagi keseluruhan bangsa, termasuk bagi anak cucu kita di

kemudian hari. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah", pesan pemimpin kita Bung Karno.

Para korban rejim militer Suharto yang begitu banyak itu - terutama sekali yang dari golongan

kiri dan pendukung politik Bung Karno - sudah terlalu lama, semenjak 1965, mendapat berbagai

perlakuan yang melanggar HAM dari penguasa bahkan juga dari sebagian masyarakat. Mereka itu

berhak menuntut dan berjuang bersama-sama untuk memperoleh hak mereka sebagai

warganegara yang lain atau direhabilitasi sepenuhnya.

Mereka juga berhak sepenuhnya - dan sudah seharusnya pula - untuk menuntut diperbaikinya

kesalahan-kesalahan yang begitu besar dan ditebusnya dosa-dosa berat yang sudah dilakukan

begitu lama oleh Orde Baru beserta para penerusnya. Diperbaikinya kesalahan dan ditebusnya

dosa-dosa terhadap para korban itu akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bangsa, yang

sampai sekarang masih tercabik-cabik, atau tersayat-sayat, sehingga melukai Pancasila dan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

117 | P a g e

merusak Bhinneka Tunggal Ika. (silahkan baca tulisan A.Umar Said, Paris dalam Mengenang

peristiwa 30 September 1965 dengan judul "Korban rejim Suharto berhak dan harus menuntut

keadilan !".- http://umarsaid.free.fr/)

Kawan-kawan para korban rejim Suharto, di manapun berada, baik yang belum maupun yang sudah

tergabung dalam organisasi apapun jua, dalam mengenang, mengheningkan cipta dan memperingati

45 tahun Peristiwa Tragedi Bangsa 1965 ini, mari bersatu teguh dan harus menggunakan hak kita

sebagai bangsa Indonesia, menuntut keadilan kepada Pemerintah yang berkuasa! Jangan sampai

tertipu dengan usaha-usaha licik para penerus rejim Orba (baca Suara Pembaruan 23/9/2010)

yang ingin mengangkat Suharto sebagai "Pahlawan Nasional". Tuntaskan terlebih dahulu masalah

Peristiwa 1965 dan Pembunuhan Massal 3 juta manusia tahun 1965/1966 itu, masalah Pembunuhan

perlahan-lahan terhadap Bung Karno, Bapak Bangsa dan Pemimpin Revolusi Indonesia dan Kudeta

merangkak Suharto, Cabut TAP No. XXV/MPR/1966 dan TAP XXXIII/MPR/1967, perjelas

kebenaran sejarah Indonesia yang digelapkan selama ini, baru kemudian dipikirkan, apakah pantas

untuk menganugerahi "koruptor/maling besar, penyelundup kawakan, penjahat kemanusian

terbesar abad 20, sersan KNIL (serdadu kolonialis Belanda) yang jadi penguasa Indonesia dan

mengangkangi Indonesia selama sepertiga abad lamanya , menjadi "pahlawan nasional"?.

"Jika Suharto pahlawan nasional, maka semua koruptor dan perusak negara Indonesia ini, yang tak

lain adalah anak anak didik dan anak anak kesayangan Suharto, adalah putera putera bangsa yang

berjasa ! Karena mereka ini adalah produk dari orba selama Suharto berkuasa memerintah

Indonesia .Jika Suharto pahlawan nasional , maka sebagai konsekwensi Bung Karno adalah

dianggap penghianat Republik Indonesia , bukan pendiri dan proklamator RI, bukan penggali

Pancasila, bukan pemimpin Revolusi Indonesia, bukan ketua BPPKI dan bukan salah satu perancang

UUD 1945 . Dan Bung Karno adalah seorang berstatus tahanan atau pesakitan yang masih

dipenjara-rumahkan ! Kenyataan lebih biadab lagi, Bung Karno telah dibunuh perlahan perlahan

oleh rejim Suharto !

Konsekwensinya? Indonesia bukanlah lagi Republik Indonesia yang lahir dari Revolusi Agustus

1945 yang telah dibayar dengan waktu, pikiran, tenaga dan jiwa para founding mothers dan

fathers kita selama periode dari tahun 1928 (Sumpah Pemuda) sampai Revolusi 1945 !"

(Iwamardi-Jerman)

Mengangkat Suharto menjadi 'pahlawan nasional' adalah merupakan sebuah lelucon, dagelan-jawa

yang tidak lucu, yang bukannya membuat rakyat tertawa dan gembira tetapi muntah!!!

YTTaher

Australia-30 September 2010.

Melawan Lupa

Rabu, 29 September 2010 | Editorial

Mulai hari selasa 28 September 2010 kemarin, sampai 4 Oktober 2010, sejumlah kalangan dari

organisasi massa, LSM, dan seniman mengadakan rangkaian kegiatan bertemakan Pekan Melawan

Lupa. Kegiatan ini dilangsungkan di berbagai tempat di Jakarta, untuk mengingkatkan kita

semua pada berbagai tragedi kemanusiaan di Indonesia sejak "kudeta merangkak" oleh Soeharto

di tahun 1965 sampai penculikan aktivis tahun 1998. Tragedi-tragedi tersebut terjadi di dalam

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

118 | P a g e

iklim perjuangan, baik saat melawan imperialisme (neokolonialisme) maupun melawan

kediktatoran militer—yang juga menjadi kepanjangan tangan (komprador) imperialis.

Keadaan sebelum Gerakan 30 September 1965 menunjukkan gelombang pasang revolusioner dalam

kepemimpinan Bung Karno; yang di satu sisi berjuang menghadapi imperialisme Barat, dan di sisi

lain berjuang mendirikan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan mandiri. Namun setelah

tanggal tersebut jutaan orang pengurus dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau

pendukung Bung Karno dibunuh secara terencana dan terorganisir. Ratusan ribu lainnya

dipenjarakan dan dibuang tanpa pengadilan. Jutaan orang menanggung stigma PKI sebagai pendosa

atau "pengkhianat bangsa" sehingga harus hidup terkucil dari masyarakat. Bahkan Bung Karno

dikenakan tahanan rumah sampai wafatnya tahun 1971. Inilah kontra-revolusi oleh militer

(khususnya faksi dalam AD), yang sekaligus membawa masuk dan mengawal beroperasinya modal

Barat lewat kroninya.

Perjuangan membuka ruang demokrasi, atau ruang bagi kelahiran kembali ide-ide dan gerakan

revolusioner, tak lain merupakan kelanjutan perjuangan menghadapi sistem penindasan yang

dibangun pasca kudeta merangkak. Sistem yang menjadikan rakyat Indonesia sebagai kuli di

negeri sendiri dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa. Tak luput, perjuangan melawan kekuasaan

rezim Soeharto yang berpuncak di tahun 1998 menuntut pengorbanan dari Putra-Putri terbaik

bangsa ini oleh tangan brutal yang sama.

Banyak di antara rakyat Indonesia yang sempat menjadi saksi atau mengalami sendiri kekejaman

massal yang terjadi tahun 1965-1966 dan kekejaman lain sesudahnya oleh aparatus yang sama.

Narasi-narasi baru pun terus lahir untuk menjernihkan pengetahuan kita tentang berbagai

kejadian di waktu itu. Namun, dari pihak penguasa selalu menutup-nutupi kejadian sebenarnya, dan

sekaligus memutarbalikkan fakta selama turun temurun. Permintaan maaf yang disampaikan

(Almarhum) KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terhadap korban dan keluarga tragedi 1965 harus

dibayar mahal dengan kejatuhannya. Buku-buku yang coba mengungkap narasi yang berbeda

seputar tragedi ini (yang tidak sejalan dengan propaganda penguasa) dilarang dengan beragam

cara. Sekolah-sekolah hanya mengajarkan satu versi sejarah yang sempit dan sarat manipulasi.

Kami tidak ingin generasi sekarang maupun yang akan datang dibutakan oleh pelajaran sejarah

yang salah dan bohong. Oleh karena itu wajiblah kami mendukung segala upaya mengungkap

kejahatan di masa lalu, yang juga merupakan bagian dari upaya mengungkap keadaan bangsa ini

sekarang dari sudut pandang sejarah. Pembakaran buku-buku sejarah yang isinya tidak sesuai

dengan kehendak rezim merupakan tindakan biadab yang harus dikecam oleh seluruh rakyat yang

masih mencintai bangsa ini. Sejalan dengan itu, kami kembali menuntut dibentuknya pengadilan

HAM ad hoc sebagaimana yang direkomendasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

sejak setahun lalu.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di : [email protected]

http://berdikarionline.com/editorial/20100929/melawan-lupa.html

<http://berdikarionline.com/editorial/20100929/melawan-lupa.html>

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

119 | P a g e

INDONESIA-L

Date: Tue, 24 Sep 1996 08:19:24 -0400 (EDT)

To: [email protected]

BEN ANDERSON

TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65

Ben Anderson adalah profesor ilmu politik di Cornell. Sekarang dia sedang menjadi dosen tamu di

Yale. Bagaimana jenderal-jenderal itu dibunuh? "Tentara atau pimpinan tentara tahu betul bahwa

jenderal-jenderal itu dibunuh oleh sesama tentara. Sama sekali tidak ada siksaan, tidak ada

penganiayaan, dsb." Mengapa media massa menyiarkan kabar bohong? "Saya yakin itu justru

diperintahkan oleh Suharto bersama orang yang dekat-dekat dia seperti Ali Murtopo. Mereka

dengan darah dingin sekali membuat kampanye fitnah untuk kepentingan politik."

BAGAIMANA JENDERAL-JENDERAL ITU DIBUNUH?

T: Untuk studi tentang pembunuhan 6 orang jenderal dan seorang letnan pada tgl 1 Oktober 1965,

Pak Ben menggunakan laporan otopsi jenasah mereka. Studi Pak Ben diterbitkan dalam majalah

Indonesia nomor 43, April 1987, berjudul "How did the generals die?" Kami ingin mengetahui hasil

studi itu. Apakah laporan otopsi itu asli? Dari mana Pak Ben mendapat laporan otopsi itu?

J: Asli. Ini suatu kebetulan. Waktu itu kira-kira awal tujuh puluhan. Atas desakan dari Pak Kahin,

saya, dsb, akhirnya disampaikan, oleh orang-orang CSIS-nya Benny Murdani, beberapa kilo

berkas-berkas Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang pernah diadakan oleh pemerintah

Indonesia. Setiap proses verbal itu tebalnya bukan main. Sekarang ini saya tidak ingat persis

proses verbal yang mana, tapi di dalamnya ada serentetan lampiran yang panjang sekali. Pada kira-

kira halaman 700 atau 800 saya temukan laporan otopsi itu sebagai dokumen resmi yang ditanda-

tangani oleh dokter-dokter Universitas Indonesia. Mereka disuruh Suharto untuk mengadakan

pemeriksaan mayat-mayat yang ditemukan di Lubang Buaya. Jadi jelas sumbernya dari berkas

yang diserahkan kepada kami oleh pemerintah Indonesia. Jadi itu sama sekali bukan barang palsu,

tanda tangan semuanya ada di situ, dan laporannya cukup mendetail.

T: Apakah laporan otopsi ini pernah dijadikan barang bukti di pengadilan?

J: Kalau masuk berkas Mahmilub itu berarti termasuk dokumen yang dipakai di pengadilan. Tetapi

saya tidak tahu apakah dokumen ini memang pernah dibacakan di pengadilan. Tapi jelas termasuk

barang-barang yang seharusnya dipikirkan oleh para hakim.

T: Siapa yang memerintahkan para dokter untuk melakukan otopsi?

J: Itu jenderal Suharto. Pemeriksaan diadakan atas perintah dari pejabat Kasad saat itu, yaitu

Suharto. Dan tanda-tangan Suharto memang ada di situ.

T: Tanggal 7 Oktober 65 koran Angkatan Bersenjata bilang, "Matanya dicongkel." Apakah

memang ditemukan bukti-bukti penganiayaan sebelum mereka dibunuh? Apa ada yang dicukil

matanya atau disayat-sayat badannya?

J: Sama sekali tidak ada. Itu yang menarik buat saya sewaktu membaca. Karena jelas mereka

semua mati karena ditembak. Dan kalau ada luka-luka lain itu karena kena pinggiran sumur atau

terbentur batu-batu di dalamnya. Jenasah itu dilemparkan ke dalam sumur yang dalamnya lebih

dari 10 meter. Jadi sama sekali tidak ada tanda siksaan. Dan dokter tidak pernah menyebutkan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

120 | P a g e

ada bekas-bekas siksaan. Jadi matanya, oke. Kemaluannya juga utuh, malah disebut 4 disunat dan

3 nggak disunat.

T: Bagaimana pemberitaan koran dan TV pada bulan Oktober dan Nopember 1965? Misalnya

Angkatan Bersenjata 5 Oktober 65 itu bilang, "Perbuatan biadab berupa penganiayaan yang

dilakukan di luar batas perikemanusiaan." Berita sejenis ini muncul setiap hari selama beberapa

minggu baik di koran, radio maupun di TV.

J: Itu jelas direkayasa. Karena pimpinan tentara tahu betul bahwa tidak ada siksaan. Tapi ini

salah satu strategi untuk menimbulkan suasana yang tegangnya bukan main. Ini sudah biasa. Di

mana saja di dunia, kalau mau diadakan pembataian massal, harus diciptakan suasana di mana

orang merasa apa saja boleh. Karena calon korban sudah berbuat hal-hal diluar peri kemanusiaan.

T: Otopsi selesai tgl 5 Oktober sekitar jam 12 siang. Karena Suharto yang memerintahkan, tentu

dia orang pertama yang diberi tahu hasil otopsi itu. Suharto tahu tidak ada bukti-bukti

penyiksaan di Lubang Buaya. Mengapa Suharto membiarkan koran-koran -- terutama Angkatan

Bersenjata dan Berita Yudha, koran Angkatan Darat yang bisa dia kontrol -- menyiarkan kabar

bohong tentang penyiksaan, kekejaman, dsb?

J: Saya tidak mengatakan bahwa Suharto membiarkan. Saya yakin itu justru diperintahkan oleh

Suharto bersama orang yang dekat-dekat dia seperti Ali Murtopo. Ini jelas justru untuk

membantu mereka dalam hal menghancurkan PKI dan pada akhirnya mengambil kekuasaan dari

tangan Bung Karno. Yang bisa menjadi penyokong Bung Karno yang paling kuat dan paling

terorganisir adalah PKI. Kalau PKI sudah tidak ada, Bung Karno tidak punya kekuatan konkrit yang

terorganisir yang bisa melawan tentara.

T: Apakah Suharto, sebagai Pangkopkamtib pada tahun 1965 itu, pernah menjelaskan pada

masyarakat umum tentang bagaimana sebenarnya jenderal-jenderal itu dibunuh, siapa yang

membunuh, dsb?

J: Saya nggak yakin Suharto saat itu sudah menjadi Pangkopkamtib. Saya lupa persis kapan dia

menjadi Pangkopkamtib. Yang paling penting ketika itu adalah pidato Jenderal Nasution sewaktu

anaknya yang malang itu dikuburkan. Jadi Suharto sendiri pada waktu itu tidak menonjol sebagai

tukang pidato. Tetapi media massa yang dikuasai oleh Suharto dkk terus menerus mengatakan itu

PKI yang menjadi dalang dari peristiwa. Suharto itu sendiri juga memberi pidato. Tapi saya

merasa yang penting bukan pidato dia sendiri tapi suasana yang diciptakan media massa yang

direkayasa oleh kelompok Suharto.

T: Bagaimana dengan kabar ditemukannya alat-alat pencukil mata? Misalnya dalam berita di koran

Api Pancasila tgl 20 Oktober, "Alat cukil mata ditemukan di kantor PKI di desa Haurpanggang di

Garut."

J: Saya yakin ini bikin-bikinan. Masa orang menyimpan alat pencukil di Garut? Juga apa yang

disebut sebagai alat pencukil, saya kurang tahu persis. Rasanya ini sebenarnya cuma satu alat

yang dipakai oleh petani untuk urusan sehari-hari. Atau mungkin alat untuk buruh yang kerja di

perkebunan. Jadi bukan alat khusus pencukil mata. Mungkin kalau anda sendiri lihat gambarnya

bisa menjelaskan sebenarnya itu alat apa.

T: Bagaimana dengan berita tentang pengakuan dari saksi mata yang dimuat dalam Angkatan

Bersenjata tgl 10 Oktober, "Korban dicungkil matanya. Ada yang dipotong alat kelaminnya dan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

121 | P a g e

banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan." Apakah 'pengakuan'

saksi mata itu benar? Atau bikinan tentara?

J: Saya kira nggak. Waktu itu ada dua saksi penting. Yang paling penting itu seorang gadis

berumur 15 tahun yang jelas sudah diteror habis-habisan. Buktinya kedua wanita ini, yang pernah

mengaku ikut mencukil mata, tidak pernah diadili. Jadi ini jelas bikin-bikinan.

T: Jadi mereka dituduh ikut menyiksa tetapi tidak ada bukti?

J: Sama sekali tidak ada bukti. Kalau ada bukti ini akan menjadi kasus yang bagus untuk pihak

pimpinan tentara. Tapi ini cuma dibikin untuk memanaskan suasana. Setelah itu gadis ini tidak

pernah kedengaran namanya lagi.

T: Apa kesimpulan studi tentang pembunuhan di Lubang Buaya ini?

J: Apa yang sebenarnya terjadi di Lubang Buaya itu lain soal. Yang penting ialah sebelum

kampanye media massa, tentara atau pimpinan tentara tahu betul bahwa jenderal-jenderal itu

dibunuh oleh sesama tentara. Sama sekali tidak ada siksaan, tidak ada penganiayaan dsb. Jadi

mereka dengan darah dingin sekali membuat kampanye fitnah untuk kepentingan politik. Dan itu

bisa dibuktikan oleh dokumen yang berasal dari tokoh itu sendiri, juga oleh dokter-dokter dari

fakultas kedokteran Universitas Indonesia yang kejujurannya dalam hal ini tidak disangsikan.

T: Apakah Pak Ben mendapatkan data baru yang merubah kesimpulan atau hasil studi yang ditulis

tahun 1987 ini?

J: Tidak ada (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-1965 (2)

Dalam versi sejarah dan juga film yang dibuat Orde Baru, pembunuhan para jenderal itu dilakukan

oleh orang-orang PKI. Tetapi sebenarnya siapa yang membunuh para jenderal itu? "Jelas oleh

kelompok tentara sendiri. Sama sekali tidak ada bukti bahwa orang sipil ikut."

SIAPA YANG MEMBUNUH

T: Siapa yang membunuh 3 jenderal (Yani, Panjaitan dan Haryono) di rumahnya?

J: Sepengetahuan kami sampai sekarang pembunuhan yang terjadi di rumah jenderal-jenderal

dilakukan oleh kesatuan dari Cakrabirawa yang dipimpin langsung oleh letnan Dul Arief yang

sampai sekarang nggak ada bekasnya. Bagaimana nasibnya, ke mana larinya, dibunuh di mana, itu

tidak diketahui. Jadi jelas oleh kelompok tentara sendiri. Jenderal Nasution sendiri dalam

pengakuannya mengatakan memang rumahnya diserang oleh tentara.

T: Siapa yang melakukan pembunuhan 3 jenderal (Parman, Suprapto dan Sutoyo) dan letnan

Tendean di Lubang Buaya?

J: Kalau yang terjadi di Lubang Buaya itu saya kira sama juga. Mungkin bukan orang-orang dari

Cakra saja, tetapi juga dapat bantuan dari kelompok kecil dari AURI. Sampai sekarang tidak

jelas, karena bagaimanapun waktu itu Halim dalam kekuasaan AURI. Sama sekali tidak ada bukti

bahwa orang sipil ikut.

T: Jadi bunuh-membunuh itu antara tentara sendiri.

J: Oh iya. Justru itu menjadi faktor yang sangat menentukan. Karena perpecahan di kalangan

tentara ini justru sesuatu yang menjadi skandal besar yang bisa menghancurkan nama ABRI di

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

122 | P a g e

mata umum. Jadi kalau ada ABRI membunuh ABRI, ya bagaimana? Sangat diperlukan dalang yang

bukan ABRI.

T: Apakah ada anggota PKI, atau ormasnya seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani, yang ikut

melakukan pembunuhan di Lubang Buaya?

J: Tidak ada bukti.

T: Apakah semua pembunuh diajukan ke pengadilan?

J: Ya, satu dua. Malah masih ada satu yang dulu sersan dari Cakra. Kalau nggak salah dia sampai

sekarang masih nongkrong di -- yang dalam bahasa Inggris dinamakan -- "Death Row." Dia divonis

hukum mati 25 tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang belum dijalankan. Tapi sebagian besar dari

kelompok Cakra itu hilang tanpa bekas. Kita nggak tahu bagaimana nasibnya mereka. Untung

sendiri ditangkap dan diadili. Tapi dia sendiri tidak langsung memimpin kesatuan yang menyerbu

rumah jenderal dan sebagainya.

T: Apakah kesaksian yang pernah diadili itu konsiten dengan otopsi?

J: Saya tidak ingat lagi. Kami tidak pernah menerima berkas proses verbal dari sersan-sersan

Cakra. Yang kami terima cuma berkas-berkas dari perkaranya orang-orang yang dianggap tokoh

dalam G-30-S dan beberapa orang sipil seperti Subandrio, dll. Kalau yang dianggap orang kecil,

seperti sersan ini dan sersan itu, tidak pernah disampaikan.

T: Apakah ada orang yang mempermasalahkan tentang hilangnya para pelaku pembunuhan di

Lubang Buaya yang tanpa bekas ini?

J: Tidak pernah. Yang lebih mengherankan adalah bahwa kelompok pimpinan Kodam Diponegoro

yang mendukung G-30-S, Kolonel Suherman asiten satu, Kolonel Maryono asisten tiga, Letkol

Usman asisten empat, dsb, untuk selama kira-kira 48 jam, menguasai hampir seluruh Jawa

Tengah, kemudian mereka juga hilang. Tidak pernah diantara mereka ada yang diadili, diajukan ke

pengadilan, dsb. Mereka hilang tanpa bekas. Itu tidak pernah diisukan. Malah kalau membaca

laporan dari Buku Putih apa yang terjadi di Jawa Tengah sama sekali tidak menjadi masalah. Jadi

semua perhatian dengan sengaja dipusatkan pada apa yang terjadi di Jakarta.

T: Sebenarnya yang tahu soal orang hilang ini siapa?

J: Ya, harus tanya pada pemerintah di Indonesia. Suherman di mana? Maryono, Usman di mana?

Dsb. Banyak sekali tokoh-tokoh dari G-30-S hilang tanpa bekas. Yang tahu bagaimana nasibnya, ya

tentara sendiri.

T: Kemudian bagaimana Pak Ben menjelaskan kehadiran anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di

Halim?

J: Ini dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Memang ada kebijaksanaan dari pemerintah.

Selain dari anggota ABRI ada juga orang sipil yang dilatih sebagian sebagai sukarelawan untuk

dikirim ke perbatasan. Tapi ada sebagian juga yang dilatih untuk membantu seandainya Ingris

melakukan serangan udara ke Jakarta sebagai pembalasan terhadap aksi dari pihak Indonesia.

Dan pada umumnya Angkatan Darat tidak begitu antusias. Tapi AURI di bawah pimpinan Omar

Dhani yang dekat dengan Bung Karno, rupanya mulai suatu sistim latihan itu di beberapa pangkalan

udara. Dan mereka minta dari parpol-parpol dan ormas-ormas supaya anggota-anggota mereka

dilatih. Dan yang paling antusias pada waktu itu, ya PKI. Jadi kalau ada Gerwani dan Pemuda

Rakyat di Halim itu karena mereka dikirim oleh pimpinan PKI di Jakarta untuk latihan. Dan karena

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

123 | P a g e

tugasnya setengah militer, mereka ini harus yang muda-muda. Mereka bisa dilatih oleh petugas-

petugas dari AURI, dalam hal ini ya mayor Suyono. Bukan PKI saja, juga ada PNI dan NU dilatih.

T: Apa yang dilatih di Halim itu tidak hanya PKI tetapi juga PNI dan NU.

J: NU saya nggak jelas apakah dilatihnya di Halim. Tetapi di pangkalan lain jelas ada.

T: Kalau begitu keberadaan mereka secara kebetulan saja?

J: Tidak kebetulan. Memang ada program dari pemerintah. Tetapi tidak dilatih untuk membunuh

jenderal. Mereka dilatih untuk mempertahankan pangkalan kalau diserang oleh Inggris.

T: Bagaimana Pak Ben menjelaskan kehadiran DN Aidit, ketua PKI, di Halim? Apa yang dia lakukan

selama di Halim pada tanggal 1 Oktober itu?

J: Sampai sekarang ini menjadi teka-teki yang besar. Karena sepengetahuan kami tidak ada bukti

bahwa DN Aidit berbuat apa-apa. Justru ini yang aneh. Seolah-olah dia dijemput oleh kelompok

tertentu, dibawa ke Halim, terus ditaroh di salah satu rumah di situ sepanjang hari. Pada akhirnya

dia dapat pesan, mungkin ada kurir atau apa dari Bung Karno, dia disuruh pergi ke Jawa Tengah

untuk menenangkan situasi. Jadi tidak ada bukti kalau dia ketemu dengan pimpinan G-30-S. Tidak

ada bukti bahwa dia memberi instruksi apa-apa. Malah ada kemungkinan juga dia mau

disembunyikan di Halim di bawah perlindungan AURI. Seandainya ada usaha menculik dia dari

rumahnya atau dari kantor PKI.

T: Tadi dikatakan bahwa dia disuruh pergi ke Jawa Tengah untuk menenangkan situasi. Jadi ke

Jawa Tengahnya bukan inisiatif dia sendiri?

J: Tidak ada bukti. Yang jelas setelah Bung Karno melihat situasi pada malam hari tanggal 1

Oktober, dia tahu bahwa situasi itu sangat berbahaya. BK juga tahu situasi di Jawa Tengah. Dia

merasa mungkin ini bisa menjadi permulaan dari suatu perang saudara. Dia juga takut jangan-

jangan PKI merasa harus berbuat sesuatu, padahal mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka

kan tidak punya senjata. Saya kira Aidit juga takut jangan-jangan ada kelompok di daerah yang

tidak mengerti keadaan lantas membuat sesuatu yang bisa dipakai sebagai provokasi oleh lawan.

ita harus sadar bahwa dalam ingatan orang-orang PKI, Peristiwa Madiun tahun 1948 itu menjadi

trauma yang besar. Waktu Madiun, orang-orang tingkat lokal membuat sesuatu yang kemudian

menyeret pimpinan partai dan akhirnya menghancurkan partai pada waktu itu. Jadi seperti, ya

sudah ada ide dalam partai, itu jangan terjadi lagi, jangan sampai bisa diprovokasi sekali lagi

(bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (3)

Pada bulan Januari 1966 Ben Anderson dan Ruth McVey, waktu itu masih mahasiswa S-3, menulis

makalah yang kemudian dikenal luas dengan nama "Cornell Paper." Dalam makalah itu Pak Ben

menyatakan, "Tokoh-tokoh utama dari gerakan ini baik di Jawa Tengah maupun Jakarta sendiri

adalah perwira-perwira dari kodam Diponegoro. Mereka semuanya bekas bawahan dari Suharto

sendiri." Bagaimana peranan PKI dan Bung Karno? "Sampai sekarang sama sekali tidak ada bukti

bahwa Bung Karno ada di belakangnya. Masalah PKI lebih ruwet. Setelah tahun 66 ada beberapa

data yang masuk seolah-olah ada orang PKI yang terseret. Saya tidak bisa mengatakan bahwa

sama sekali PKI tidak ada sangkut pautnya. Tapi saya masih tetap berpendapat mereka bukan

pencipta utama G-30-S."

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

124 | P a g e

CORNELL PAPER

T: Tiga bulan setelah pembunuhan para jenderal, Pak Ben dan Ibu Ruth menyusun hasil studi

berjudul "A preliminary analysis of the October 1, 1965, coup in Indonesia." Studi itu selesai

ditulis tgl 10 Januari 1966 dan semula cuma diedarkan di kalangan terbatas. Baru diterbitkan

untuk umum, tanpa perubahan, pada tahun 1971. Studi itu kemudian dikenal dengan nama "Cornell

Paper." Apa pokok pikiran dalam Cornell Paper? Dan apa bukti-bukti utama yang menunjang pokok

pikiran itu?

J: Pada waktu itu kami ingin mengecek sampai kemana versi resmi dari apa yang terjadi itu masuk

di akal. Versi resmi bunyinya, "Ini suatu komplotan jahat, yang didalangi oleh PKI." Pada waktu itu

kami ingin mengecek apa ini cocok dengan informasi dan data-data yang masuk. Laporan itu selesai

ditulis tanggal 10 Januari. Tapi saya kira bahan-bahan itu makan waktu tiga minggu untuk

penulisan. Jadi bahan-bahan yang masuk itu hanya sampai pertengahan Desember. Nah, kebetulan

kira-kira tiga minggu setelah peristiwa, situasi belum 100% bisa dikontrol oleh Suharto. Jadi

masih banyak koran beredar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Medan, dsb. Dan kebetulan Cornell

punya koleksi koran Indonesia yang paling lengkap di dunia. Pada waktu itu memang luar biasa kami

dapat segala macam koran dari Surabaya, Semarang, Yogya, Solo, dll. Dan ternyata dari laporan-

laporan itu banyak yang tidak cocok dengan versi resmi.

Selain itu kami punya arsip tentang tentara. Dari situ kami bisa juga sedikit banyak mengecek

siapa sebenarnya orang-orang seperti Suherman, Usman, dsb. Dari situ kami bisa mengetahui

bahwa umpamanya Suherman baru kembali dari latihan di Amerika. Dia dilatih sebagai orang

inteljen oleh AS. Untuk kita tidak masuk di akal bahwa ada seorang PKI bisa menjadi lulusan

latihan AS dan dikasih jabatan sebagai tokoh intel di Jawa Tengah. Selain dari itu juga ada

beberapa informasi dalam bentuk surat dari teman-teman yang kebetulan jalan-jalan di Jawa

Tengah dan Jawa Timur pada waktu itu. Mereka menulis apa yang mereka lihat dengan mata

sendiri.

T: Cornell Paper dibuka dengan kalimat ini, "The weight of the evidence so far assembled and the

(admittedly always fragile) logic of probabilities indicate that the coup of October 1, 1965, was

neither the work of PKI nor of Sukarno himself." Apa yang Pak Ben maksud dengan "logic of

probabilities" itu?

J: Ini kesimpulan dari dua sudut logika. Bung Karno sama sekali tidak dapat keuntungan dari

peristiwa berdarah ini. Justru beliau bisa berdiri di atas segala kelompok di Indonesia karena

bisa mengimbangi kelompok ini dengan kelompok itu. Kalau politik sudah bergeser dari politik sipil,

yaitu omong-omong, organisasi, dsb, ke lapangan kekerasan, BK nggak bisa apa-apa. Jadi jelas G-

30-S membahayakan dia, bukan membantu dia.

Dari sudut PKI, kami merasa selain dari faktor trauma-48, PKI pada waktu tahun 1965 cukup

sukses dalam politiknya. Yaitu politik damai. Di mana dia semakin lama semakin berpengaruh.

Justru karena mereka tidak mengambil jalan seperti Ketua Mao dengan perang gerilya, dsb.

Mereka pakai strategi sipil. Justru mereka akan jadi susah kalau mulai konflik bersenjata. Karena

mereka tidak punya senjata, tidak punya kesatuan-kesatuan yang bersenjata. Jadi logika dua

kelompok ini, BK dan PKI, menuntut supaya politik tetap politik normal bukan politik bedil.

Logika ini diperkuat dengan hal-hal yang kongkrit. Banyak hal yang aneh dalam G-30-S. Pertama,

pengumuman-pengumuman dari G-30-S itu nggak mungkin disusun oleh tokoh-tokoh PKI yang

cukup berpengalaman dalam bidang politik. Saya kasih dua contoh. Pertama, yang dikatakan Dewan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

125 | P a g e

Revolusi yang diumumkan G-30-S, itu suatu Dewan yang sama sekali tidak masuk di akal. Karena

banyak tokoh-tokoh yang penting, seperti Ali Sastroamidjojo, yang tidak masuk. Tapi banyak

tokoh-tokoh yang hampir tidak dikenal namanya justru masuk. Malahan banyak orang kananpun

masuk, itu umpamanya Amir Machmud. Jadi ini bukan suatu Dewan Revolusi yang meyakinkan. Jadi

rasanya kacau.

Yang kedua, yang lebih meyakinkan lagi, adalah pengumuman dari Untung kepada sesama tentara,

bahwa mulai saat itu tidak akan ada lagi pangkat dalam tentara yang lebih tinggi dari pangkatnya

Letkol Untung sendiri. Nah itu jelas membuat setiap kolonel, brigjen, mayjen, letjen, dsb,

jengkelnya bukan main. Dan ini suatu move yang membuat semua pimpinan tentara akan anti

dengan gerakan ini. Nggak mungkin ada orang yang punya otak politik akan membiarkan suatu

pengumuman seperti itu. Itu jelas suatu pengumuman yang keluar dari hati nurani Letkol Untung

sendiri. Karena dia jengkel dengan atasannya. Atau bisa juga itu provokasi yang diatur oleh dalang

sebenarnya dari peristiwa ini. Yang memakai Untung, yang jelas bukan orang pinter, sebagai

pionnya.

T: Setelah 30 tahun, apakah Pak Ben tetap berpegang pada pendapat itu?

J: Kalau Sukarno jelas. Sampai sekarang sama sekali tidak ada bukti bahwa Bung Karno ada di

belakangnya. Masalah PKI lebih ruwet. Setelah tahun 66 ada beberapa data yang masuk seolah-

olah ada orang PKI yang terseret. Saya sendiri pernah ikut persidangan Mahmilub Sudisman pada

tahun 1967, dan mendengar pidato uraian tanggung jawabnya. Dalam pengadilan itu yang

dinamakan Ketua Biro Khusus yaitu si Kamaruzaman, atau Syam, nongol sebagai saksi. Di sana

cukup jelas bahwa Syam ini adalah orang yang dikenal betul oleh Sudisman. Bagaimanapun Syam

ada hubungan langsung dengan pimpinan PKI. Jadi apa ada sebagian dari orang-orang PKI ikut-

ikutan, apa ada sebagian dari PKI yang dibodohin oleh kelompok ini-itu, masih tidak jelas. Jadi

saya tidak bisa mengatakan bahwa sama sekali PKI tidak ada sangkut pautnya. Tapi saya masih

tetap berpendapat mereka bukan pencipta utama G-30-S.

T: Kalimat terakhir dalam alinea pertama "Cornell Paper" itu, "The actual originators of the coup

are to be found not in Djakarta, but in Central Java, among middle-level Army officers in

Semarang, at the headquarters of the Seventh (Diponegoro) Territorial Division." Apa bukti-

bukti utama dari pernyataan ini?

J: G-30-S hanya sukses bisa menguasai daerah di Jawa Tengah. Dan tokoh-tokoh utama dari

gerakan ini baik di Jawa Tengah maupun Jakarta sendiri adalah perwira-perwira dari kodam

Diponegoro, kecuali Supardjo. Mereka semuanya bekas bawahan dari Suharto sendiri, termasuk

Supardjo. Yang paling menonjol tentu pada waktu itu adalah fakta bahwa Untung dan Latif kedua-

duanya dekat sekali dengan Suharto. Suharto sendiri pada tahun 64 pergi jauh-jauh ke salah satu

desa di Jawa Tengah untuk ikut menghadiri perkawinan bawahannya yang tercinta, yaitu Untung.

Jadi itu yang pertama.

Kedua, fakta bahwa apa yang terjadi di Jawa Tengah sampai sekarang 100% ditutupi oleh versi

resmi. Ini aneh. Karena nggak ada pengadilan, nggak ada cerita apa yang terjadi di Semarang.

Terus kesatuan-kesatuan utama yang ikut gerakan di Jakarta itu sebagian besar juga dari

Diponegoro. Itu yang penting.

T: Apa motivasi perwira-perwira Diponegoro itu?

J: Ini jelas tentara yang belum berbintang. Otaknya seolah-olah pangkat mayor, letkol, kolonel,

dibantu oleh kapten, letnan, sersan, dsb. Kalau kita membaca pengumuman G-30-S, seolah-olah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

126 | P a g e

masalahnya itu masalah intern. Mereka menuduh jenderal-jenderal ikut serta dengan CIA dalam

rangka mendongkel Bung Karno. Menuduh jenderal-jenderal orang yang hidup mewah, orang yang

suka main perempuan, yang tidak menghiraukan nasib dari bawahannya, dsb.

Jadi terasa sekali ada semacam konflik antara tentara yang bawahan, yang pada umumnya miskin-

miskin, dan tokoh jenderal-jenderal yang berduit. Pada waktu itu di Jakarta cuma ada satu mobil

Lincoln Continental yang putih. Dan pemiliknya siapa? Jenderal Yani, kan? Padahal Indonesia saat

itu miskinnya bukan main. Jadi sangat menyolok. Jadi kalau motivasinya dikatakan sebagai

kecemburuan sosial, juga bisa.

T: Apa ada hubungan antara motivasi itu dengan lingkungan para perwira Diponegoro pendukung G-

30-S itu?

J: Sebagian karena Jawa Tengah terkenal sebagai daerah yang paling miskin dibandingkan dengan

Jawa Barat dan Timur. Juga kultur di Jawa Tengah di mana patriotisme kejawa-jawaan itu paling

kuat. Dari dulu ada persaingan antara Diponegoro dan Siliwangi. Perwira Siliwangi dianggap orang

yang statusnya lebih tinggi, biasa pakai bahasa Belanda diantara mereka sendiri dan biasa

kebarat-baratan, dan paling dekat dengan Amerika.

Perwira Jawa Tengah sebagian besar berasal dari Peta, bikinan Jaman Jepang. Waktu revolusi

mereka merasa diri sebagai orang Jogya lah. Orang yang mempertahankan nilai-nilai dari revolusi

45, patriotisme Jawa, dsb. Pokoknya kalau jenderal-jenderal Bandung omong, mereka tidak

pernah pakai --ken, --ken. Tapi ini bukan masalah suku. Karena tokoh utama dari semuanya itu

orang Jawa dan sasaran utamanya juga orang Jawa.

T: Pada minggu pertama Oktober 1965, dari 5 pucuk pimpinan PKI, 3 orang ada di Jawa Tengah

(Aidit, Lukman dan Sakirman). Nyoto sedang berada di Sumatra Utara sedangkan Sudisman di

Jakarta. Kemudian Lukman dan Nyoto menghadiri Rapat Kabinet di Bogor tgl 6 Oktober. Apa yang

dilakukan para pimpinan PKI selama berada di Jawa Tengah setelah 1 Oktober?

J: Dari informasi yang masuk, dari laporan sopirnya Lukman, dsb, ya mereka putar-putar. Aidit

dan Lukman menghubungi cabang dan ranting-ranting PKI, memberi tahu apa yang sedang terjadi,

dan diminta untuk waspada dan jangan sampai bisa diprovokasi. Dalam hal ini kita belum tahu

banyak. Karena sampai sekarang kebanyakan orang PKI yang masih hidup, di dalam maupun di luar

negeri, belum sempat menulis secara jujur, terang-terangan, tentang kehidupan intern partai

pada saat itu (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (4)

Munculnya tokoh Syam, Ketua Biro Khusus PKI, membuat pendapat Ben Anderson bergeser.

Tentang tokoh itu, "Syam ini orangnya cukup misterius." Tentang Biro Khusus, "Banyak hal yang

masih belum jelas." Tentang peranan RPKAD, "Pembunuhan juga baru mulai di Jawa Timur setelah

RPKAD berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Bali, pembunuhan massal baru mulai

setelah RPKAD pindah dari Jawa Timur ke Bali."

BIRO KHUSUS

T: Tadi Pak Ben bilang, munculnya tokoh Syam itu membuat pendapat Pak Ben bergeser?

J: Ya. Maka itu kami menamakan "Laporan Sementara." Dan sampai sekarang status sebagai

laporan sementara tetap dipertahankan. Karena bagaimanapun sebagian besar tokoh-tokoh yang

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

127 | P a g e

paling penting sudah dibunuh, atau sudah hilang. Dan ada juga yang berkaitan langsung tetapi

belum mau ngomong. Jadi harus nunggu.

T: Ini bukan bahan dari Cornell Paper, tapi dari Buku Putih yang diterbitkan Sekretariat Negara

tahun 1994. Dalam Buku Putih soal Biro Khusus PKI dibahas panjang lebar. Menurut Pak Ben

sendiri seberapa besar peranan Biro Khusus PKI ini dalam G-30-S?

J: Dalam hal Biro Khusus ini ada beberapa sisi yang sampai sekarang sulit dimengerti. Pertama,

pada umumnya partai komunis, di manapun juga di dunia, punya format yang sama. Susunan

organisasinya sangat standard. Dan sampai sekarang belum ditemukan partai komunis lain yang

pernah menciptakan semacam Biro Khusus. Ini tidak mustahil. Tetapi cukup aneh.

Kedua, istilah atau bahasa yang dipakai oleh orang-orang yang dianggap tokoh Biro Khusus ada

juga yang mencurigakan. Umpamanya mereka pakai istilah "pembina." Jadi, untuk menggambarkan

aktivitas mereka, ada para pembina yang mengadakan pembinaan-pembinaan. Sepanjang

pengetahuan saya, ini bukan bahasa marxist dan bukan bahasa komunis. Tapi dari dulu ini

bahasanya tentara. Rada aneh kalau waktu itu PKI berlawanan dengan tentara, kok yang dianggap

organisasi rahasia PKI itu justru pakai istilah teknis dari tentara?

Yang ketiga, sampai sekarang identitas dan nasibnya Kamaruzaman alias Syam itu masih menjadi

teka-teki. Setelah memeriksa beberapa dokumen di Amerika, di Indonesia dan di Belanda,

ternyata si Syam ini pernah menjadi anggota PSI. Dalam majalah resmi dari PSI namanya pernah

disebut pada tahun 1951 sebagai ketua ranting. Kalau tidak salah di Rangkasbitung, Banten. Selain

itu ditemukan juga dokumen dalam arsip Belanda di mana Kamaruzaman ini pada waktu revolusi

pernah diangkat sebagai orang intelnya Recomba Jawa Barat. Recomba itu pemerintah federal

buatan Belanda. Itu bisa juga. Karena pada waktu itu ada juga patriot-patriot yang pura-pura jadi

pegawai Belanda untuk mengetahui rahasianya Belanda. Tapi toh rada aneh. Terus di koran-koran

Indonesia ada informasi bahwa pada akhir tahun 50-an Kamaruzaman nongol sebagai informan

dari komandan KMK (Komando Militer Kota) Jakarta.

Jadi Syam ini orangnya cukup misterius. Jelas dia dikenal baik oleh pimpinan PKI. Tetapi dia juga

pegang peranan di Recomba, di PSI, di tentara, dsb. Sampai sekarang serba misterius. Di mana

kesetiaannya? Buat saya tidak jelas. Walaupun pemerintah mengumumkan bahwa Syam sudah

dieksekusi, itu masih disangsikan kebenarannya. Mungkin dia cuma disimpen saja.

Yang terakhir, ini kesan saya waktu mengikuti pengadilan Sudisman. Di sana Syam diberi

kesempatan untuk omong panjang lebar. Saya bisa membandingkan kesaksiannya dengan kesaksian

Sudisman. Itu sangat berbeda. Kesaksian Sudisman itu mengesankan, jelas, mendalam dan

bahasanya teratur. Sedangkan kesaksian Syam itu bukan main kacau-balaunya. Dia banyak

memakai bahasa-bahasa dari jaman revolusi yang sudah tidak berlaku lagi. Malahan seolah-olah

orangnya itu agak sinting. Jadi sulit masuk di akal kalau orang seperti ini menjadi kepala biro yang

sangat rahasia dan penting. Jadi banyak hal yang masih belum jelas.

T: Pak Ben mengikuti sendiri pengadilan Sudisman. Dia satu-satunya pucuk pimpinan PKI yang

diadili. Apa kesimpulan Pak Ben dari pengadilan Sudisman itu?

J: Dari kesaksian Sudisman saya dapat kesan bahwa dia merasa diri dalam keadaan di mana partai

yang ikut dia pimpin itu dihancurkan secara mengerikan. Ratusan ribu yang mati. Dan dia sebagai

seorang pemimpin dan sebagai seorang Jawa merasa bertanggung-jawab. Bagaimanapun, kalau

pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi. Karena itu dia menamakan

pembelaannya itu "Uraian Tanggung Jawab."

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

128 | P a g e

Dia tidak mau debat tentang soal ini-itu. Dia cuma bilang, "Bagaimanapun juga, sebagai pimpinan

tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang

terjadi." Sudisman tidak pernah bilang bahwa dia ikut merencanakan G-30-S. Dia cuma bilang

bahwa rupanya ada unsur-unsur PKI yang terseret Dia tidak membicarakan soal Biro Khusus.

Tidak membenarkan dan juga tidak membantah adanya. Waktu Syam memberi kesaksian,

Sudisman tidak mau melihat mukanya dan tidak mau menjawabnya. Yang jelas, untuk sebagian

besar dari saksi-saksi waktu itu informasi tentang adanya Biro Khusus itu sesuatu yang

mengejutkan sekali. Jelas mereka sama sekali tidak tahu menahu.

PERANAN RPKAD

T: Ini catatan dalam Cornell Paper. Pasukan RPKAD sampai di Semarang tgl 19 Oktober.

Bentrokan pertama dengan ormas PKI terjadi di Boyolali tgl 21 Oktober. Selama 3 minggu, tgl 1

sampai 21 Oktober, tidak ada bentrokan berdarah. Walaupun pemberitaan di koran, TV dan radio

tentang Lubang Buaya sangat memanaskan suasana, menyebarkan ketakutan, dst. Bagaimana Pak

Ben menjelaskan 3 minggu tanpa bentrokan ini?

J: Saya kira sebagian karena kekuatan sosial pada tingkat sipil cukup seimbang. Jadi orang

merasa bahwa organisasi PKI dan keluarga besar PNI itu kira-kira seimbang. Di Jawa Tengah NU

itu tidak begitu berpengaruh. Pertama orang merasa tidak ada kelompok yang dominan. Dan

walaupun suasana tegangnya bukan main, saya nggak yakin bahwa orang Jawa Tengah, kalau tidak

ada orang yang mengipasi mereka, mau cepat-cepat membantai tetangganya.

Kita harus ingat di desa-desa, di kota-kota, orang PKI itu bukannya bergerak di bawah tanah.

Mereka itu tetangga, yang saban hari ketemu, masih famili, dsb. Banyak anggota PNI yang punya

saudara PKI, dsb. Kalau tidak dibikin suasana yang luar biasa tegangnya tidak akan terjadi apa-

apa, dalam arti pembantaian.

Justru pentingnya kedatangan RPKAD adalah orang-orang anti PKI merasa bahwa angin sudah

berada di pihak mereka. Mereka yang mau netral dapat petunjuk dari RPKAD kalau membuktikan

kamu bukan orang PKI maka kamu harus membunuh PKI. Ini khususnya ditujukan kepada pemuda-

pemuda, pemuda Islam, pemuda Banteng, pemuda Kristen, Katolik, dsb. Jadi kalau tidak ada

pembantaian sebelum RPKAD datang. Itu justru menunjukan apa yang terjadi tidak spontan. PKI

sendiri juga takut.

T: Kesatuan-kesatuan yang mendukung G-30-S itu dari Diponegoro, lalu mereka menguasai Jawa

Tengah. Lalu RPKAD datang. Bukankah kedua kekuatan itu seimbang?

J: Itu benar pada hari-hari pertama. Tetapi jangan lupa bahwa Suherman, Maryono, Usman, dkk,

itu hanya berkuasa selama kira-kira 48 jam. Setelah itu Pangdamnya, Suryosumpeno, sempat

ambil kembali posisi sebagai panglima. Lalu orang-orang ini hilang entah ke mana. Bahwa ada

kesatuan-kesatuan di Jawa Tengah yang bersimpati pada PKI, itu mungkin sekali. Karena sebagai

kelompok teritorial bagaimanapun mereka berada di tengah masyarakat Jawa Tengah. Tentara ini

sedikit-banyak akan membantu PKI. Tapi kira-kira mulai tanggal 3 Oktober, pimpinan Diponegoro

tidak lagi di tangan perwira-perwira yang pro G-30-S. Dan kesatuan-kesatuan yang dicurigai itu

langsung ditarik ke daerah lain.

Tapi, ini dapat dibuktikan, pembunuhan juga baru mulai di Jawa Timur setelah RPKAD berpindah

dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Bali, pembunuhan massal baru mulai setelah RPKAD pindah

dari Jawa Timur ke Bali. Kalau membandingkan tiga propinsi ini, tiga minggu yang tenang di Jawa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

129 | P a g e

Tengah itu aneh. Lebih aneh lagi karena ada enam minggu yang tenang di Jawa Timur. Dan malahan

ada dua bulan yang tanpa pembunuhan di pulau Bali (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (5)

Bagaimana pembunuhan massal itu dilaksanakan? "Faktor yang pertama adalah policy atau

kebijaksanaan dari pimpinan tentara di Jakarta yang diwujudkan dengan pengiriman RPKAD ke

Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Senjata, latihan, perlindungan, kendaraan, dsb, dikasih kepada

kelompok-kelompok pemuda yang mereka hubungi." Mengapa orang mau disuruh membunuh? Mau

dipakai sebagai alat? "Itu mungkin menunjukan gejala yang lebih mendasar. Buat saya faktor yang

utama adalah keadaan ekonomi. Mulai kira-kira tahun 1961-62 inflasi di Indonesia melejit secara

mengerikan." Tentang konflik antara kelompok agama dengan PKI, "Ini timbul sebagai akibat

Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil."

PEMBUNUHAN MASSAL

T: Sekarang (1996) hampir semua koran di dunia melaporkan orang PKI yang dibunuh pada tahun

1965 itu jumlahnya sekitar 500 ribu. Misalnya dalam editorial New York Times (1 Ags), The

Economist (3 Ags) dan editorial Washington Post (20 Ags). Dalam pemberitaan media di

Indonesia, jumlah korban ini jarang diungkapkan. Dan siapa yang jadi korban itu juga tidak

dijelaskan. Tahun 1985, dalam majalah Indonesia nomor 40, Pak Ben bilang, "Probably between

500.000 and 1.000.000 Indonesians died at the hands of other Indonesians."

J: Pertama harus dikatakan bahwa tidak ada orang yang tahu persis berapa jumlahnya orang yang

dibunuh pada waktu itu. Angka 500 ribu itu diambil dari pernyataan Adam Malik dan pernah juga

dari Soedomo. Tapi apa mereka sendiri tahu? Itu nggak jelas. Itu cuma perkiraan.

T: Menurut Pak Ben apa sebab terjadinya pembunuhan massal selama akhir 1965 itu?

J: Kalau sebab-sebab ada dua faktor. Faktor yang pertama adalah policy atau kebijaksanaan dari

pimpinan tentara di Jakarta yang diwujudkan dengan pengiriman RPKAD ke Jawa Tengah, Jawa

Timur dan Bali. Mereka ingin supaya PKI dihancurkan dan mereka ingin juga bahwa ini tidak hanya

dikerjakan oleh tentara tapi juga oleh kelompok-kelompok yang mau dijadikan sekutu untuk

membangun apa yang belakangan dinamakan Orde Baru. Jadi mereka menyertakan warga Banteng,

NU, Katolik, Protestan, dsb. Karena itu senjata, latihan, perlindungan, kendaraan, dsb, dikasih

kepada kelompok-kelompok pemuda yang mereka hubungi. Jadi kalau policy pimpinan tentara ini

tidak ada, kemungkinan terjadi pembunuhan massal itu saya kira tidak besar.

Tetapi mengapa orang mau disuruh membunuh? Mau dipakai sebagai alat? Itu mungkin menunjukan

gejala yang lebih mendasar. Buat saya faktor yang utama adalah keadaan ekonomi. Mulai kira-kira

tahun 1961-62 inflasi di Indonesia melejit secara mengerikan. Saat itu saya sendiri ada di

Indonesia. Saya lihatsaban minggu itu harga barang bisa berlipat ganda. Duit tidak ada arti sama

sekali. Khususnya bagi orang-orang gajian itu menimbulkan suasana yang panik. Kalau pejabat

gajinya tidak berarti lagi, mereka cepat-cepat lari ke dunia korupsi, catut, dsb. Orang melarikan

duitnya untuk beli tanah. Karena tanah dianggap sesuatu yang bisa mempertahankan harganya.

Keadaan ekonomi waktu itu menimbulkan suatu kegelisahan di seluruh Indonesia. Orang merasa

masa depannya sangat gelap, tidak normal dan serba tak tentu. Ini yang penting.

Terus, ada kemiskinan yang luar biasa. Saya ingat waktu itu jalan-jalan di Yogya-Solo, banyak

orang yang geleparan di pinggir jalan. Orang yang mati karena busung lapar. Bung Karno sendiri

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

130 | P a g e

tidak malu untuk bikin propaganda supaya orang makan tikus sawah. Dan dia sendiri mengaku

pernah makan tikus sawah. Saya sendiri nggak percaya. Tapi itu penting.

Ketiga, konflik antara kelompok agama dengan PKI. Ini timbul sebagai akibat Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). PKI memperjuangkan Land

Reform justru ketika tanah menjadi sangat penting, beras menjadi sangat penting, pembagian

hasil menjadi sumber konflik yang luar biasa. Apalagi dalam hal Land Reform salah satu

pengecualian yang penting adalah tanah-tanah yang menjadi milik dari lembaga agama –

umpamanya mesjid, surau, gereja dsb -- tidak boleh diganggu gugat. Dalam suasana seperti itu

orang-orang yang punya tanah lebih, supaya bisa tetap pegang tanahnya, lebih sering justru

menyerahkannya kepada wakaf, kalau Islam. Dan lembaga yang seperti itu juga untuk yang

Kristen. Di mana dia bisa ikut sebagai pimpinan.

Jadi seperti dilaporkan oleh Lance Castles dalam artikelnya dalam majalah Indonesia pada tahun

1966 itu, kita ambil contoh pesantren Gontor. Dalam satu tahun tanah yang dimiliki oleh Gontor ini

bisa bertambah sepuluh kali. Jadi dengan mendadak lembaga agama menjadi tuan tanah yang

terbesar. Kalau orang-orang kiri, orang-orang yang pro-Land Reform, mau ribut soal tanah ini,

mereka langsung berhadapan bukan dengan individu tuan tanah tapi langsung menghadapi lembaga

agama. Banyak orang tergugah untuk membela. Mereka bukannya mau melindungi tuan tanah tapi

bagaimanapun mereka pasti mau melindungi atau membela lembaga agama mereka.

T: Pembunuhan massal terjadi di desa-desa Jateng, Jatim dan Bali. Di Jateng yang dominan itu

Islam abangan. Di Jatim Islam santri, dan di Bali itu semuanya Hindhu. Tapi di Jawa Barat, tidak

ada pembunuhan besar-besaran. Padahal Jabar adalah daerah yang Islamnya paling taat,

daerahnya Masyumi. Pemenang Pemilu-55 dan Pemilu Daerah-57 di Jabar adalah Masyumi.

Bagaimana Pak Ben memahami hubungan antara pembunuhan massal ini dengan agama penduduk

setempat?

J: Isu agama ini gampang dipakai selama PKI dapat dianggap sebagai kelompok anti agama. Dan

harus diingat bahwa paman Karl Marx pernah mengatakan bahwa agama itu candu supaya

masyarakat tidak menghadapi realitas siapa yang menindas. Ini sulit dicabut oleh PKI, walaupun

mereka berusaha supaya tidak confrontational terhadap agama. Tapi isu agama ini gampang

dipakai. Apalagi di negara komunis pimpinan agama diusir, Uni Soviet itu atheis, dsb. Jadi

bagaimanapun isu agama ini salah satu alat pemukul di kalangan lawan PKI.

Tetapi waktu mengikuti pengadilan Sudisman, saya lihat banyak saksi-saksi dari pihak PKI. Dan

hanya sedikit -- Sudisman sendiri, mungkin satu-dua lagi -- yang tidak mau ambil sumpah secara

agama, menggunakan Al Qur'an, Al Kitab, dsb. Jadi saya yakin sebagian besar dari orang-orang

PKI itu sebenarnya juga orang beragama. Itu faktor penting.

Soal perbedaan antara daerah-daerah memang menarik. Karena pembunuhan ini tidak terjadi di

mana-mana secara merata di seluruh Indonesia. Di sini kami bisa melihat betapa menentukan

faktor pimpinan tentara lokal. Ambil contoh umpamanya Jabar. Pada tahun 68 saya sempat

mewawancara jenderal Ibrahim Adjie yang pada waktu peristiwa dia menjadi Pangdam Siliwangi.

Pada waktu itu dia dianggap sebagai saingannya Suharto, lalu dibuang ke London jadi Dubes di

sana. Saya ngomong lama sama beliau.

Saya tanya, kenapa kok tidak ada pembunuhan besar-besaran di Jawa Barat? Sebenarnya memang

ada, umpamanya di Indramayu, tetapi tidak meluas. Dia bilang, "Itu sebabnya karena saya tidak

ingin ada pembantaian di Jawa Barat. Karena merasa bagaimanapun ini sebagian besar orang biasa,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

131 | P a g e

orang-orang kecil. Akan mengerikan kalau mereka itu dibunuh. Saya sudah kasih perintah kepada

semua kesatuan di bawah saya, orang ini ditangkap, diamankan. Tapi jangan sampai ada macem-

macem." Ternyata kewibawaan si Adjie yang terkenal jenderal kanan, yang dekat dengan Amerika,

itu berlaku penuh.

Sebaliknya di Jawa Timur pimpinan tentara pada waktu itu lemah. Saya lupa nama panglimanya.

Mungkin Sunaryadi? Tapi jelas kolonel-kolonel, komandan Korem merasa bisa bergerak dangan

sendirinya. Umpamanya Danrem di Kediri yang masih famili dengan salah satu jenderal yang

dibunuh di Jakarta, itu mengambil inisiatif sendiri. Sebagian timbul karena perpecahan. Kalau

RPKAD sudah masuk orang merasa bahwa untuk selamat mereka harus berbuat sesuatu. Di Bali

juga begitu. Ini menarik dan penting. Karena di Jawa Barat, di mana RPKAD tidak pernah putar-

putar, justru tidak terjadi pembantaian.

T: Mengapa tidak ada perlawanan dari orang PKI?

J: Ya karena mereka tidak punya senjata. Mau apa?

PENGARUH LUAR NEGERI? BUDAYA?

T: Bagaimana pengaruh faktor luar negeri?

J: Daftar orang PKI yang dibikin orang kedutaan Amerika itu?

T: Ya. Orang kedutaan AS itu kan bikin daftar 5 ribu orang PKI, lalu dia serahkan ke Suharto.

J: Saya juga kenal dengan orang Amerika itu. Karena waktu di Jakarta saya kadang-kadang ke

Kedutaan Amerika dan ini orang memang punya obsesi yang aneh. Mungkin karena dia dididik

sebagai Kremlinologist, dia sibuk bikin daftar dari orang-orang PKI. Pada waktu itu menjadi bahan

ketawaan pegawai di kedutaan sendiri. Seolah-olah tentara Indonesia tidak pernah bikin daftar.

Padahal mereka jauh lebih mengikuti seluk beluknya politik di Indonesia dari pada orang Amerika.

Pada waktu itu orang kedutaan Amerika yang dapat berbahasa Indonesia dengan fasih, boleh

dikatakan baru satu-dua. Saya tidak percaya bahwa tentara memerlukan daftar yang dibuat oleh

pegawai kedutaan Amerika. PKI itu tidak di bawah tanah.

T: Salah satu studi Pak Ben yang lain adalah tentang "Mitologi dan Toleransi Orang Jawa," terbit

tahun 1965. Bagaimana Pak Ben menjelaskan pembunuhan massal itu dari pemahaman tentang

budaya Jawa?

J: Saya merasa kita harus membedakan kebudayaan dalam keadaan normal, ketika tidak ada

ketegangan mencekam, tidak ada suasana ketakutan yang luar biasa. Kalau melihat kehidupan

sehari-hari dari orang Jawa, apalagi orang Jawa Tengah, mereka berusaha menghindari konflik

yang terbuka, dsb.

Tapi dalam masyarakat apapun juga -- kalau kita lihat sejarah dunia modern -- pembantaian,

pembunuhan yang luar biasa kejamnya, bisa timbul dalam suasana ketika orang merasa situasi

sudah tidak ada ketentuan. Saya ambil contoh, umpamanya Yugoslavia. Pada akhir kesatuan

Yugoslavia orang makin merasa bahwa hukum tidak berlaku, alat negara jelas terpecah, sebagian

ikut ini sebagian ikut itu. Situasi ekonomi sudah mulai hancur. Dalam situasi seperti itu orang akan

coba menyelamatkan diri sendiri dengan cara apapun. Mereka harus berbuat sesuatu yang dalam

keadaan normal tidak mungkin terjadi.

Kita lihat umpamanya di Yugoslavia banyak sekali terjadi perkawinan antara orang Serbia dan

Bosnia. Dan memang bahasanya sama. Jadi selama tiga puluh tahun sebelum terjadi huru-hara

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

132 | P a g e

nggak ada masalah. Tapi kalau ketakutan besar sudah mulai, ya bisa terjadi bahwa si bapak yang

Serbia terpaksa – supaya tidak dianggap antek karena bininya sebagai orang Bosnia calon

penghianat -- dia harus berbuat sesuatu yang kejem, demi keselamatan diri sendiri. Bisa juga dia

malah membunuh istrinya sendiri. Dan ini bener-bener terjadi.

Kita lihat situasi yang sama umpamanya ketika terjadi pembagian India dan Pakistan oleh Inggris.

Dan terjadi juga di tempat-tempat yang lain. Saya yakin di Amerikapun, kalau dalam situasi

ketakutan seperti itu, akan banyak kekejaman yang bisa terjadi. Jadi saya merasa ini tidak

kontradiktif dengan toleransi sehari-hari orang Jawa. Kekejaman ini harus dikaitkan dengan

situasi yang serba tidak tentu.

Kita lihat bagaimana setelah peristiwa terjadi tidak pernah ada orang yang nongol di depan umum

dengan bangga ngaku bahwa saya telah membunuh seratus lima puluh orang PKI. Malah propaganda

dari pemerintah seolah-olah korban dari pihak pemerintah dan dari PKI kira-kira samalah. Jadi

tidak ada kebanggaan atas pembantaian. Jaman sekarang istilah yang paling sering disebut adalah

trauma. Itu jelas bukan trauma untuk yang mati, karena mereka sudah mati. Trauma justru untuk

yang menang dan yang membunuh. Banyak orang yang membunuh akhirnya menjadi gila.

T: Orang Jawa sangat dipengaruhi cerita wayang. Dalam cerita wayang, Mahabarata itu diakhiri

dengan Perang Baratayuda. Ramayana juga diakhiri dengan perang besar menyerbu Alengka.

Apakah ada pengaruh dari budaya wayang ini?

J: Mahabarata dan Ramayana itu berasal dari India. Kalau orang Jawa itu pantang menggelarkan

lakon Baratayuda karena sangat bahaya. Lakon itu dianggap dapat membawa malapetaka. Jadi itu

pantang sekali. Setahu saya cuma ada satu desa di Delanggu, entah karena apa, setiap setahun

sekali Baratayuda itu harus digelar. Tapi itupun harus dengan macam-macam upacara sebelumnya.

Jadi sulit juga kalau dikatakan bahwa orang Jawa suka Baratayuda (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (6 - habis)

Siapa yang bertanggung-jawab? "Suharto dan pimpinan Angkatan Darat itu bertanggung jawab

atas pembunuhan ini, itu jelas." Tentang kesalahan PKI, "Bisa dikatakan bahwa pimpinan PKI yang

bertanggung-jawab atas politik partai itu mungkin memang ada salahnya." Lalu Pak Ben membuat

catatan panjang tentang kesalahan pimpinan PKI. Tentang anak muda sekarang, "Kalau anak muda

mengerti apa yang terjadi, mereka tidak bisa melihat situasi secara hitam-putih. Mereka harus

melihat ke depan, jangan cuma menengok kebelakang." Pelajaran apa yang bisa ditarik, "Kita

sebagai manusia dalam situasi tertentu bisa menjadi pembunuh. Jadi kita harus berusaha keras

supaya tidak timbul situasi di mana sifat binatang di dalam diri kita masing-masing bisa ke luar."

PELAJARAN SEJARAH

T: Pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan jenderal-jenderal itu?

J: Saya tidak tahu pelajaran apa yang diambil dari pembunuhan jenderal. Kecuali bahwa orang

yang hidup dari kekerasan akan dihancurkan oleh kekerasan. Jadi Untung, Supardjo, Latif, dll,

harus bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan. Bagaimanapun kalau orang tidur di

rumah tahu-tahu dibrondong mitraliyur itu mengerikannya bukan main.

T: Kalau orang Indonesia tahu kebohongan tentang Lubang Buaya, lalu tahu ada pembunuhan

massal, bagaimana sejarah akan menilai Suharto?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

133 | P a g e

J: Banyak sejarah yang hilang. Ratusan ribu orang yang jadi korban itu tidak bisa bicara lagi.

Berapa sebenarnya jumlah yang dibunuh, itu mungkin kita tidak akan bisa tahu dengan pasti. Dan

dalam sejarah memang banyak peristiwa pembunuhan atau kekejaman yang kemudian tidak bisa

diungkapkan. Misalnya saja sejarah perdagangan budak di Afrika. Kita tidak tahu berapa yang

dibunuh, bagaimana dibunuhnya, siapa yang membunuh, dst. Jadi jangan terlalu yakin bahwa

seluruh sejarah 1965 ini akan bisa diungkapkan.

Sekarang memang banyak sejarah yang dihapus. Kita juga harus ingat bahwa Orba selama ini

justru melakukan apa yang suka saya sebut "kebijaksanaan pembodohan" masyarakat Indonesia

sendiri. Bukan hanya tentang pembunuhan tahun 65. Tetapi juga tentang bagaimana munculnya

kesadaran nasional, sejarah Jaman Pergerakan yang sebenarnya, tentang Jaman Jepang, Jaman

Revolusi, dsb. Karena yang mau dijadikan pahlawan itu cuma ABRI. Padahal ABRI kan belum lahir

waktu orang lain sudah berjuang puluhan tahun. Tapi toh sekarang mulai terlihat usaha anak-anak

muda untuk mencari informasi, untuk menggali kembali sejarah bangsanya. Seperti terlihat dalam

buku "Bayang-Bayang PKI" itu, antara lain. Dan memang ini tugas anak muda, kan? Untuk tidak mau

dibodohi.

Tapi bahwa Suharto dan pimpinan Angkatan Darat itu bertanggung jawab atas pembunuhan ini, itu

jelas. Dan bukan pembunuhan ini saja. Mereka juga bertanggung jawab atas ratusan ribu korban

pembunuhan di Timtim, dan ribuan lagi orang yang dibunuh dalam kasus-kasus Irian Jaya, Aceh,

Petrus, dsb. Sepanjang sejarah Indonesia, termasuk selama Jaman Belanda dan Jaman Jepang,

belum pernah ada kelompok penguasa yang tangannya begitu berlumuran darah. Ya, itu fakta.

T: Tadi Pak Ben bilang soal pembunuhan di Kediri yang luar biasa kejam. Tapi ada juga propinsi

seperti Jabar, di mana pembunuhan tidak meluas. Apa yang bisa dipelajari dari fakta-fakta

seperti itu?

J: Laporan Cornell itu topik utamanya bukan pembunuhan massal. Tetapi apa yang terjadi dalam

Gerakan 30 September. Apa sebabnya terjadi pembunuhan massal? Itu soal lain lagi. Untuk tahu

tentang pembunuhan massal itu kita sudah tahu politik dari tentara di pusat. Tapi itu tidak selalu

dilaksanakan pada tingkat lokal. Mengapa di Kediri pembunuhan meluas, tadi sudah dibicarakan,

karena Danremnya saudara dari jenderal yang dibunuh. Kenapa di Jabar pembunuhan tidak

meluas, juga sudah kita bicarakan. Pembunuhan di Aceh juga sangat kejam. Dan di Aceh juga

banyak sekali orang Cina yang dibunuh.Itu juga karena inisiatif Pangdam Aceh waktu itu, Ishak

Juarsa. Jadi ada dua tingkat. Kebijaksanaan pusat dan kebijaksanaan lokal dari pangdam, danrem,

dsb. Studi yang lengkap memang belum ada.

T: Ini soal media. Sebelum pembunuhan massal, media massa -- koran, radio, TV -- dipakai

Suharto untuk menyebarkan kabar bohong tentang kekejaman PKI di Lubang Buaya. Akibatnya

masyarakat jadi tegang, ketakutan, saling curiga. Apa yang bisa kami pelajari dari pengalaman

dengan media ini?

J: Kita harus belajar menghadapi media massa. Apalagi kalau sudah dimonopoli oleh suatu

kelompok. Kita harus skeptis, curiga, jangan cepat percaya. Harus bisa membandingkan informasi

dari media yang dikontrol penguasa itu dengan informasi lain, dengan pengalaman diri sendiri,

dengan media luar negeri, internet, dll.

Karena media massa itu jelas alat penguasa yang dipakai untuk kepentingan penguasa. Bukan hanya

di Indonesia, di Amerika juga begitu. Kalau lihat TV di sini selalu saya punya sikap curiga.

Pokoknya belum tentu benar. Apalagi kalau media itu condong menghasut si penonton untuk jadi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

134 | P a g e

fanatik, untuk membenci, dsb. Kita harus skeptis. Belajar menjaga diri supaya nggak ikut

terseret.

Saya sudah mengalami keadaan demikian di beberapa negara. Bukan cuma di Indonesia saja. Saya

lihat bagaimana media massa di Inggris waktu Perang Malvinas. Media massa di Amerika waktu

Perang Vietnam juga begitu. Jadi ini bukan sifat khusus media massa di Indonesia. Tetapi sifat

khusus dari penguasa yang kalang kabut atau yang punya maksud jelek.

Kalau sekarang, kita bisa lihat umpamanya dalam Peristiwa 27 Juli. Tahu-tahu dicarikan kambing

hitam. Sekelompok anak muda yang nggak sampai 200 orang jumlahnya. Ini jelas suatu usaha

untuk bikin suasana panik. Untuk menutupi sebab-sebab sebenarnya dari peristiwa itu.

T: Menurut Pak Ben apa kesalahan PKI?

J: Saya tidak mau bilang bahwa PKI punya salah. Karena PKI itu suatu keluarga besar yang isinya

jutaan orang. Saya tidak percaya kalau suatu organisasi yang begitu banyak manusianya, yang

begitu beraneka warna, itu punya salah. Tapi bisa dikatakan bahwa pimpinan PKI yang

bertanggung-jawab atas politik partai itu mungkin memang ada salahnya.

Pertama, pimpinan PKI mungkin tidak betul-betul mengerti atau tidak mempertimbangkan dengan

matang kontradiksi yang ada antara strategi politik -- yang berdasarkan pemilihan umum,

aktivitas terbuka yang legal, keanggotaan partai yang jutaan -- dengan retorika yang sangat

radikal. Retorika PKI waktu itu cocok untuk dipakai dalam perang gerilya. Di mana pada akhirnya

perjuangan akan ditempuh dengan jalan kekerasan.

PKI menganjurkan banyak sekali orang-orang biasa untuk ikut. Dan mereka jelas tidak pernah ada

pikiran bahwa sewaktu-waktu bakal ada pembunuhan besar-besaran. Kalau mau mengajak jutaan

orang biasa yang kerja di kantor, di desa, di kampung, untuk ikut suatu partai yang legal, di atas

tanah, memakai lembaga-lembaga parlemen, pemilu, dsb. Tetapi sekaligus juga memakai retorika

bahwa seolah-olah sewaktu-waktu bakal terjadi krisis yang revolusioner, di mana ini mau

dihancurkan, itu mau dihancurkan, maka itu menimbulkan kontradiksi yang lumayan bahayanya.

Karena lawan politik yang mendengar retorika seperti itu -- bahwa sekali waktu kamu akan

dihancurkan, akan dibeginikan-dibegitukan -- tentu merasa pada akhirnya akan terjadi suatu

konflik fisik yang luar biasa dahsyatnya. Jadi dengan sendirinya mereka akan mempersiapkan diri.

Dan pada waktu itu justru lawan PKI lah yang punya senjata.

Saya pernah dengar-dengar, Mao Tse Tung pernah mengatakan begini kepada pimpinan PKI, "Ini

nggak bener. Kalau kamu mau menghancurkan ini, menghancurkan itu, ya itu nggak bisa di kota-

kota, nggak bisa di parlemen, nggak bisa di tengah orang ramai. Itu harus di gunung, harus bikin

perang pembebasan rakyat. Dan sebaliknya kalau kamu betul-betul mau pakai cara parlementer,

maka retorika dan analisamu harus cocok dengan situasi dan strategi yang kamu pakai." Jadi

dengan demikian ada kemungkinan pimpinan PKI juga ikut membuka kesempatan untuk apa yang

kemudian terjadi. Tapi, ya tentu ini cuma pendapat orang luar, seorang outsider.

Saya juga merasa, kadang-kadang PKI juga terlalu mencari musuh yang nggak perlu. Umpamanya

kampanye terhadap Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Itu bukan kelompok yang penting, cuma

beberapa orang yang sama sekali tidak berbahaya. Padahal lawan sebenarnya dari PKI itu, ya

konglomerat, pimpinan tentara, dsb. Tetapi PKI tidak berani langsung menghadapi mereka. Lalu

dicarikan target yang lebih gampang. Secara taktis ini tidak baik. Dan menimbulkan kesan PKI

selalu ingin menang sendiri.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

135 | P a g e

Pada waktu ada pemilihan umum yang bebas di Indonesia, partai yang paling besarpun tidak bisa

dapat pendukung lebih dari 25% dari masyarakat. Tidak mungkin ada suatu organisasi yang bisa

menang secara mutlak. Bagaimanapun Indonesia baru akan bisa maju dengan baik kalau ada

persekutuan, ada aliansi antara kelompok-kelompok yang beraneka ragam.

Selain itu saya juga dapat kesan begini. Ini kesan yang timbul ketika mengikuti pengadilan

Sudisman. Pada waktu Sudisman menghadapi kematiannya sendiri, dia tahu bahwa pengadilan itu

adalah saat terakhir dia bisa ngomong. Dia banyak melepaskan diri dari bahasa resmi, bahasa

formal, bahasa standard dari partainya. Lalu dia mulai ngomong sebagai manusia. Ya tentu bahasa

partainya juga cukup banyak. Tetapi pidatonya itu mengesankan justru karena tidak pakai bahasa

resmi. Dia ngomong sebagai orang Jawa, sebagai orang Indonesia, orang yang pernah ikut revolusi,

yang ikut berjuang, dsb. Itu mengesankan. Jadi sepertinya PKI terlalu mengajak orang untuk

ngomong dengan bahasa yang terlalu distandarisasikan, terlalu monoton, terlalu uniform. Sehingga

bisa dibilang itu membunuh atau mengurangi kreatifitas.

T: Apakah rasa dendam dari mereka yang keluarganya dibunuh itu mungkin bakal muncul sekali

waktu nanti?

J: Ada kemungkinan bakal muncul individu-individu yang demikian. Tapi jangan lupa bahwa

peristiwa ini terjadi 30 tahun yang lalu. PKI sudah hancur selama 30 tahun. Dan kemenangan

tentara adalah kemenangan yang mengerikan. Tetapi, dan ini perlu dimengerti juga, bahwa dalam

proses membunuh, menyiksa, dsb, ternyata ada juga sebagian anggota partai, malahan juga di

kalangan atasnya, yang kemudian ikut jadi penyiksa dan pembunuh. Jadi PKI tidak hanya

dihancurkan oleh lawannya. Tetapi sebagian juga dihancurkan oleh anggotanya sendiri. Nah ini

suatu luka yang sangat dalam.

Kalau anak muda mengerti apa yang terjadi, mereka tidak bisa melihat situasi secara hitam-putih.

Dan toh Indonesia sudah banyak berubah. Masalah Indonesia sudah lain dan dunia juga sudah lain.

Mereka harus melihat ke depan, jangan cuma menengok ke belakang. Harapan ada di depan. Tidak

pernah ada di belakang.

T: Dalam periode sejarah yang serem ini, apakah Pak Ben melihat orang-orang yang bisa dianggap

pahlawan?

J: Saya bukan orang yang gampang mencari pahlawan. Tapi saya tahu ada orang-orang yang

semangat dan achlaknya memang saya kagumi. Saya kasih contoh 3 orang. Pertama, Pak Pram

tentunya. Yang dengan segala penderitaannya toh bisa menciptakan karya sastra yang luar biasa

dan tidak pernah mau tunduk kepada penindasnya. Saya juga angkat topi kepada teman saya yang

sudah lama meninggal, si Soe Hok Gie. Yang walaupun aktif melawan PKI, tetapi pada waktu

pembantaian massal, penangkapan dan pengiriman ke Buru, dia satu-satunya orang yang pada

waktu itu berani mengatakan di pers bahwa ini salah. Dia satu-satunya orang yang menyatakan

begitu pada tahun 60-an.

Yang ketiga, tentunya almarhum Pak Yap. Dia bersedia membela orang-orang yang sudah pasti

akan dihukum mati. Yang notabene adalah lawan politiknya. Tapi dia berusaha keras membela

mereka sebagus mungkin. Walaupun karena itu dia sendiri tentu rugi. Karena jadi dibenci oleh

penguasa. Apakah mereka ini bisa dianggap pahlawan? Mungkin belum tentu. Tetapi sebagai orang

yang punya karakter, punya moralitas, punya integritas, saya mengagumi mereka.

T: Kalau di antara politikus?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

136 | P a g e

J: Sorry ya, nggak ada yang saya kagumi.

T: Kalau di kalangan orang-orang biasa? Pahlawan saya itu orang-orang biasa, pak. Tentu banyak

juga orang-orang biasa yang sudah berani ambil resiko untuk menolong korban waktu itu. Atau

menolong keluarga dan anak-anak orang yang dibunuh, dipenjara atau dibuang. Atau orang seperti

Ibu Pram, dalam memoar Pak Pram di P. Buru, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu." Atau seperti Ibu Oey

dalam "Memoar Oey Tjoe Tat." Mereka itu istri yang setia luar biasa dan tabah bukan main.

Mereka bisa terus mengurus keluarga ketika suaminya dibuang belasan tahun, waktu anaknya

masih kecil-kecil. Mereka kan orang biasa. Mungkin lebih gampang buat jadi contoh.

J: Ya. Tentu banyak orang yang bisa kita jadikan contoh. Cuma kita tidak tahu nama mereka. Tapi

saya tahu dua contoh. Waktu pengadilan Sudisman saya masih ingat banyak saksi dari PKI, dari

atas sampai bawah. Banyak sekali dari golongan atas yang sebenarnya memalukan sekali

kesaksiannya. Mereka jelas-jelas mau mencoba mencuci tangan, melarikan diri dari tanggung-

jawab sebagai atasan.

Tapi ada dua orang yang sikapnya bagus. Yang pertama Sri Ambar dari Gerwani. Dan yang paling

mengesankan itu seorang anak Cina yang masih muda. Saya tidak ingat namanya. Dia menjadi

kurirnya Sudisman waktu dalam persembunyian. Anak muda itu orangnya polos, berani, sopan, dan

tidak pernah mau bertekuk lutut terhadap pengadilan. Tentu dia bukan orang yang penting, bukan

orang yang dikenal namanya. Tetapi sikapnya hebat.

T: Secara umum, pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan massal-65?

J: Kalau tentang pembunuhan massal, ada perasaan umum di Indonesia yang seolah-olah peristiwa

serem semacam itu jangan sampai terjadi lagi. Ini suatu yang mengerikan dan memalukan.

Pelajaran satu lagi, bahwa kita sebagai manusia dalam situasi tertentu bisa menjadi pembunuh.

Jadi kita harus berusaha keras supaya tidak timbul situasi di mana sifat binatang di dalam diri

kita masing-masing bisa ke luar (Habis).

***

(Wawancara tgl 20 & 23 September 1996).

Received on Thu Oct 3 06:10:31 MES 1996

From: [email protected]

INDONESIA-L

Date: Wed, 02 Oct 1996

To: [email protected]

Tulisan ini merupakan penuturan seseorang yang kala itu masih duduk di bangku SMP, dibesarkan

di kalangan PNI di kodya Yogya. Terutama membicarakan peristiwa-peristiwa di sekitar tahun

1965 berkatitan dengan kegiatan PNI dan PKI. Cerita ini didasarkan ingatan semata. Sumber

berita ada yang dari koran lokal waktu itu, ada pula dari omongan-omongan orang-orang dewasa di

sekitarnya. Semoga cerita-cerita berikut ini menambah gambaran sejarah para apakabarian

mengenai masa di seputar masa peralihan itu yang sampai sekarang masih banyak memiliki sisi-sisi

gelap. Semoga ada netters lainnya yang memiliki cerita sejaman yang berkaitan dapat

melayangkan cerita atau pengalaman-pengalaman pribani mereka. Barangkali saja ada sejarawan,

atau mahasiswa jurusan sejarah yang tertarik mengangkat salah satu cerita untuk diteliti sesuai

dengan kaidah-kaidah penulisan sejarah.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

137 | P a g e

Sejak setahun sebelum peristiwa 1965, saya mulai merasakan ketegangan di antara para pemuda

di kampung saya. Terjadi persaingan antara para pemuda Marhaenis dengan Pemuda Rakyat-nya

PKI. Konflik langsung memang tidak terjadi. Mading-masing bergaya dengan seragam hitam-hitam.

Para pemuda ramai-ramai mewenter baju dan celana panjang menjadi hitam. Para pendukung PNI

berseragam celana baju hitam dengan gambar banteng dengan cat putih dipunggungnya dan

berbaret merah. Sedangkan PR dengan seragam hitam dengan gambar skorpio atau cancer atau

binatang sejenis berdasrkan kelompok dari kampung masing-masing. Para pemuda Marhaenis dari

kampung kami sempat berguru kekebalan secara kolektif dan instant. Setelah diwejang oleh

seorang guru dan dimandikan di sungai pada malam hari, mereka bisa setiap saat mendapatkan

kekebalan sesaat hanya dengan cara berdoa dan memutar badannya bagai baling-baling. Seorang

pemuda tetangga menunjukkan caranya ingin jadi banteng dan memang badannya menjadi keras

dan bernafas mirip banteng. Tetapi belum pernah terdengar ada konflik antar kedua kubu

sehingga perlu memakai ilmu tersebut. Sebagai tetangga, mereka tetap sebagaimana orang Jawa

dalam kehidupan ketetanggaan.

Di bulan (kalau tak salah) Juni 1965 ada Longmarch Klaten Yogya dalam rangka memperingati

ulang tahun PNI. Seperti biasanya waktu itu, para Pemuda Marhaenis meneriakkan "Marhaen

Menang". Di tengah jalan, peserta berpapasan dengan seorang anggota Angkatan Darat. Diteriaki

"Marhaen Menang" dia balas dengan "Marhaen Bajingan". Rupanya jawaban itu membuat para

pemuda marah. Si tentara dihajar di tempat. Akibat dari peristiwa itu, Batalyon 451 dari asal di

tentara kroco itu marah. Mereka konon sempat menciduk beberapa pemuda Marnaenis dari rumah

masing-masing untuk di hajar di tnagsi mereka. Sehingga waktu itu di Yogya banyak para tokoh

PNI dan pemudanya yang setiap malam mengungsi tidur di luar kota untuk menghindari

pencidukan. Ternyata, batalyon itulah yang bermarkas di Kenthungan yang kemudian terlibat

dalam penculikan Kolonel Katamso, Danrem Pamugkas DIY. Satu hal menarik, istilah ciduk

terdengar pertama kali justru dilakkan leh para simpatisan PKI terhadap musuh-musuhnya.

Stelah pristiwa 30 September 1965 ketegangan antara aktivis PNI dan PKI memuncak. Beberapa

hari setelah tanggal 30 September 1965, salah seorang tokoh Pemuda Rakyat sesumbar bahwa

dia telah menyediakan kuburan untuk orang "lor". Dugaan kami, yang dimaksud adalah ketua PNI

ranting kampung setempat yang rumahnya tepat di sebelah utara rumah si anggota PR tersebut.

Dia sendiri akhirnya diciduk bersama teman-teman lainnya. Anehnya, ketua PKI ranting setempat

justru tidak diciduk. Kami, para tetangga tidak berbuat apa-apa. Kami hanya berusaha memaklumi,

barangkali dia tidak diciduk karena dia terlihat menaburkan kembang-kembang di atas genteng

rumahnya. Juga aneh bagi kami, ternyata salah seorang aktivis PR perempuan, Gerwani, akhirnya

menikah dengan seorang anggota Brimob di Jakarta. Kamipun tidak meributkannya.

Kami membaca kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh PR dan PKI di kota terdekat, Solo. Yang

masih teringat misalnya berita tentang PKI yang membunuh seorang PNI dengan memaku

kepalanya agar mirp banteng Memang pembunuhan yang dilakukan terhadap para pendukung PKI

tidak diberitakan. Kami hanya dengar berita dari mulut-kemulut. Misalnya pembunuhan-

pembunuhan terhadap PKI di Kali Wedi, sebuah sungai yang hanya beraliran pasir, yang berhulu di

gunung Merapi. Sebagai akibat berita itu, pada saat itu orang tidak mau makan kangkung dan

genjer-genjer yang tumbuh di aliran sungai. Juga terdengar pembunuhan terhadap para tokoh PKI

di Gunung Kidul. Menurut kabar burung, mereka diikat jempol tangannya dengan kawat di

belakang. Dengan mata tertutup mereka disuruh jalan untuk masuk ke terjerumus masuk ke

aliran-aliran sungai di bawah tanah yang banyak terdapat di Gunung Kidul. Berita-berita yang

dimuat koran di Yogya memang tidak memberitakan pembunuhan dari pihak manapun yang terjadi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

138 | P a g e

di DIY. Di kecamatan Prambanan yang terbelah menjadi dua, sisi barat merupakan bagian DIY dan

sisi timur bagian Surakarta, Jawa Tengah, pembagian administrasi ini berarti banyak.

Pembunuhan-pembunuhan (atau pembantaian) hanya terjadi di bagian propinsi Jawa Tengah.

diberitakan, orang-orang PKI yang sebagian besar petani melawan panser dengan pentungan-

pentungan kayu dan senjata seadanya. Tidak terjadi di bagian DIY yang jaraknya 17 km dari

kodya Yogya. Mungkin hal ini dapat dikaitkan dengan telaah Ben Anderson tentang keberadaan

RPKAD yang bermarkas di Kartasura, kabupaten Surakarta, yang tidak dikirim ke DIY. Kami

waktu itu secara awam memahami gejala ini dengan mengkaitkannya dengan keberadaan kraton

Yogya. Barangkali peristiwa saling membunuh itu terhindar dari DIY karena wibawa Sri Sultan HB

IX.

Peristiwa aneh sering terjadi hampir setia pagi pada beberapa saat pada tahuhn 1967. Kami yang

berada di bagian utara Yogya, setiap pagi sekitar jam 6:30 sering mendengarkan suara latihan

drumband di arah timur. Seolah di arah RS Panti Rapih. Ternyata orang yang tinggal di sekitar RS

itu, mendengar juga dari arah timur lagi. Apakah dari arah Meguwo dimana berada kampus Akabri

Udara? hampir tak mungkin karena jaraknya berkilo-kilometer. Tak pernah ada yang tahu persis

dimana arah datangnya suara drumband sayup-sayup itu, kecuali dari arah timur. Orang menduga-

duga jangan-jangan itu arwah mereka yang terbunuh di arah timur kota.

Orang-orang di lingkungan kami yang sempat konfrontatif dengan jauh sebelum peristiwa 30

September 1965 merasa sakit hati difitnah membela PKI. Para mahasiswa KAMI dan KAPPI yang

datang dari Jakarta dikawal RPKAD berdemntrasi di Yogya seolah-olah menduduh warga PNI

beraliansi dengan PKI. Tahun 1967-an muncul ketegangan baru antara para warga PNI dengan

KAMI dan KAPPI yang di motori oleh orang-orang Kauman. Sepat terjadi perkelahian berdarah

antara warga PNI dengan 'orang-orang Kauman' pendukung KAMI. Bahkan ada seorang pelari pagi

yang tidak jelas kaitannya dengan PNI dibunuh di belakang RS Muhamadiyah, yang terletak di

sebelah utara kampung Kauman. Seorang teman yang dulu tinggal di kauman menceritakan

bagaimana kakaknya ikut menusuk si pelari pagi itu dengan sebilah keris kecil. Mayatnya tergolek

di RS tersebut dan walaupun beritanya masuk koran lokal, tetapi kasusnya tidak pernah diusut.

Nama korban pernah diabadikan para tetangganya menjadi sebuah nama gang di selatan setasiun

kereta api Tugu, Yogya.

Pada waktu itu peta yang ditangkap masyarakat adalah RPKAD mendukung ormas Islam yang

bermarkas pusat di Kauman. Sedangkan KKO lebih mendukung pendukung PNI. Pernah terjadi duel

antara bersenjata AK antara seorang anggota RPKAD dengan seorang anggota KKO di Kauman.

Konon, si RPKAD berada di (loteng) salah satu rumah di jalan KHA Dahlan menantang seorang

anggota KKo yang lewat di depannya. Duel dimenangkan oleh si RPKAD dengan kematian si KKO.

Para warga PNI juga sakit hati ketika di cap bahwa mereka pnegikut PNI ASU (A-li

Sastroamidjojo sebagai ketua dan Ir. SU-rachman, yang di cap bekas PKI, sebagai sekretaris

jenderal). Melalui semacam kongress, akhirnya PNI Osa Usep-lah yang tandingan yang direstui

pemerintah Orde Baru. Rumor yang berdedar waktu itu mengatakan bahwa delegasi dari DIY dan

Kodya diwakili oleh orang-orang dari Kauman, artinya dari ormas Islam, berkedok sebagai anggota

'PNI Osa Usep' berangkat ke kongres nasional dengan dukungan dari Korem dan Kodim. Kalau ini

benar, maka praktek-praktek penggembosan PDI tahun ini, dan mungkin juga pada tahun-tahun

sebelumnya, sudah dilakukan oleh ABRI sejak hampir 30 tahun lalu dengan modus operandi serupa

terhadap PNI. Hanya berbeda obyek penderitanya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

139 | P a g e

Pada masa yang bersamaan, konon juga banyak terjadi peristiwa saling bunuh- membunuh antara

warga PNI dan NU di Jawa Timur. Bukannya membunuh warga PKI. Banyak mayat hanyut di sungai

Brantas. Juga terdengar kabar adanya seorang anggota RPKAD (?) yang pulang dari tugas Dwikora

mendapatkan keluarganya habis dibantai. Dia yang pulang membawa senjata api otomatis

mengamuk membabat tetangganya.

Peristiwa berdarah yang cukup terbuka pada waktu itu, adalah penyerbuan markas Mbah Suro di

Randublatung, sekitar Boyolali (?). Si Mbah ini konon dianggap sakti sehingga banyak orang

berguru padanya. Katanya pula banyak murid si mbah yang ABRI. Dari sisi pemerintah si mbah ini

dianggap komunis sehingga perlu ditindak. Tetapi padepokannya dijaga oleh orang-orang

bersenjata AK di atas menara-menara pengintai. Seorang anggota RPKAD yang kesatuannya

menumpas padepokan itu menceritakan bahwa untuk berangkat dari Semarang (?) ke

Randublatung kesatuannya terpaksa menyamar sebagai orang sipil bersarung. Karena penjaga

menara bersenjata api tidak mau menyerah akhirnya padepokan dan markas mbah Suro diserbu.

Waktu itu kiranya masyarakat tidak ada keraguan mengenai perlunya aksi penyerbuan itu.

Memang, seperti kata Ben Anderson, apapun bisa terjadi pada masyarakat Jawa jika keadaan

dibuat memaksa mereka berlaku diluar batas-batas normal. Akankah kejadian-kejadian seperti

tersebut cukup dikubur saja dalam ingatan sebuah bangsa?

Tunggal Pratomo

Anatomi Dibalik G30S

Oleh: Arnold Lukito

http://www.indonesiamedia.com/2009/8/mid/sejarah/Anatomi.htm part 1

http://indonesiamedia.com/2009/08/30/anatomi-dibalik-g-30-s-2/

http://indonesiamedia.com/2009/09/23/anatomi-dibalik-g30s-%e2%80%93-bagian-ke-3/

Dimulai dengan adanya politikal konfrontasi antara Sukarno dengan Malaysia, yang didukung oleh

Australia dan Inggris, saat itu memiliki investasi modal yang sangat besar di Indonesia. Lalu

dilanjutkan tindakan ―nasionalisasi‖ atau penyitaan perusahaan-perusahaan Inggris mencapai

jumlah total US$400 million.

Saat itu seluruh investasi modal Amerika juga terancam akan disita, bahkan hampir separuhnya

sudah direbut oleh PKI. Tindakan ini adalah balasan atas serangan Amerika terhadap komunis di

Vietnam Selatan, setelah G-30-S di padamkan perusahaan-perusahaan itu kemudian dikelolah oleh

pimpinan militer sebagai ―bisnis ABRI‖.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

140 | P a g e

Setelah terjadi G30S, Indonesia mulai mengembalikan seluruh perusahaan investasi asing yang

bergerak didalam sumber bahan mentah dan hasil alam, dari minyak, karet, kopi, dan teh, kepada

negara seperti Belanda, Inggris dan Amerika, dll.

Kudeta dengan menggunakan G30S berjalan lancar, dan bersamaan dengan pembantaian PKI,

dilihat oleh pihak asing berhasil melancarkan kembali bisnis investasi modal. Bahkan Indonesia

menciptakan ―UU Investasi Asing pada Januari 1967″, yang menjamin seluruh penanaman modal

luar negeri di Indonesia, termasuk adanya bantuan militer, dan perlindungan Armada 7 dari

ancaman masuknya ideologi komunisme.

Perusahaan perusahaan konglomerat Amerika sangat berpengaruh, menyadari potensi strategis

dari Indonesia, dengan menggunakan kekuatan lobby, mereka mendiktekan mandat politik luar

negeri Amerika di Washington untuk Indonesia.

Hasilnya mendorong terjadinya kudeta G30S yang berhasil memperkuat posisi investasi modal

kapitalisme dan kekuatan militer Amerika di Asia Tenggara, setelah PKI ditaklukan. Dari Chase

Manhattan Bank, Freeport di Irian Barat, kebun karet ban mobil Goodyear di Sumatra, Unilever,

Palmolive dan Lux di Jakarta, Uniroyal, Union Carbide, pabrik mesin jahit Singer dan National

Cash Register, Tenneco, menerima kembali hak miliknya. Tidak ketinggalan hampir seluruh

perusahaan minyak dari Arco, Caltex, Exxon, Chevron, Shell. Mobil Oil, keuntungan perusahaan-

perusahaan ini berlipat ganda sejak Presiden Suharto berkuasa.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

141 | P a g e

Karena adanya ancaman kehilangan investasi modal yang sangat besar atas sikap politik Sukarno

yang sedang kampanye ganyang Malaysia dan anti barat, maka masalah ini dibahas oleh Attorney

General Kennedy pada tahun 1961. Lalu dilanjutkan dengan aksi politik dimulai sejak bulan March

4, 1964. Komite 303 memberikan aksi proposal untuk merencanakan ―covert action‖ melibatkan

para individual dan group yang telah disiapkan untuk melakukan gerakan darurat di Indonesia.

Beberapa bulan kemudian aksi proposal ini dilanjutkan pada musim panas 1964, berkerjasama

dengan Foreign Office, mengesahkan aksi politik resolusi untuk Indonesia. Tujuan pemerintah

Amerika menciptakan koalisi dan mendukung individual-individual dan golongan-golongan anti-

komunis sebagai kaki tangan dan ujung tombak di Indonesia.

Kemudian propaganda inipun diikuti dengan kampanye anti-pemerintah China, dan juga anti suku

Tionghoa Indonesia yang saat itu diasosiasikan dengan pro komunis, maksudnya dengan melakukan

demonisasi terhadap seluruh golongan Tionghoa tujuannya memperkecil perlawanan dari mereka

baik secara physical maupun ideologi, agar pembantaian PKI berjalan lancar.

Program ini dikoordinasikan di Washington Foreign Office bagian Asia Tenggara dan juga dengan

U.S. Ambassador untuk Indonesia pada saat itu, Marshall Green. Rencana ini melibatkan

individual yang akan ditunjuk sebagai liason antara US Embassy dan golongan anti komunis,

pemberian dana untuk covert-action.

Dari aksi politik dilanjutkan dengan aksi militer dilapangan: Seorang anggota pasukan dari US

Marines Fleet Forces pada tahun 1986, pernah bercerita setelah terjadinya penculikan G30S di

Jakarta, bersama Armada 7 sekitar tahun 1965 mendarat di Tanjung Priok kurang lebih

seminggu dalam tugas ―search and rescue‖, untuk menyelamatkan warga Amerika didalam keadaan

krisis di Jakarta. Juga bersamaan dengan pemberian bantuan M-16 untuk menumpas gerakan

komunis.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

142 | P a g e

CIA mengakui kejadian G30S adalah aksi yang paling berhasil dan seringkali dijadikan contoh

model untuk kegiatan insurgency di Asia dan beberapa negara Amerika Latin. (Southwood and

Flanagan: Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, # 36)

Beberapa ahli menekankan cara pola rencana CIA di Laos, Guatemala, Philipine, Argentina, Brazil,

Pre-Sandanista Nicaragua, Chile, Zaire, dan di Indonesia dalam G30S pun terlihat adanya

persamaan taktik ―menciptakan friksi adu domba‖ diantara beberapa kekuatan badan politik dan 4

golongan kekuatan yang mendukung Jenderal Yani/Nasution vs PKI, pendukung kubu dukungan

CIA: Jenderal Soeharto, dan kubu kekuatan terakhir Presiden Sukarno.

Langkah-langkah skenario badan intelijen asing:

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

143 | P a g e

1. Dengan psychological propaganda membuat rumor bahwa komunis semakin berambisi,

lawan politik Sukarno, yang sangat tinggi nasionalismnya. Digunakan oleh negara China

untuk menguasai negara Indonesia.

2. Memberikan bantuan terhadap individual-individual dan kelompok-kelompok yang mampu

dan siap untuk menghancurkan golongan komunis.

3. Mendukung kelompok anti Komunis (Dewan Jenderal) didalam lingkungan Presiden Sukarno

dengan konsep jelas, yang akan menyatukan kelompok yang tidak mendukung fraksi-fraksi

komunis dan menciptakan jurang antara PKI dan majoritas warga Indonesia.

4. Menunjuk dan membimbing calon pemimpin Indonesia yang telah ditunjuk untuk mengambil

kuasa setelah ―military covert action‖: Kudeta G30S selesai, PKI dihancurkan, dan siapa

yang akan memimpin Indonesia bila Sukarno tewas, maupun disingkirkan dari posisi

kedudukan sebagai Presiden Indonesia.

5. Meneliti, memberikan evaluasi, dan memonitor kegiatan kelompok yang anti Sukarno,

gunanya untuk mempengaruhi group itu agar selanjutnya, mendukung Presiden anti

komunis yang Amerika sudah persiapkan.

6. Secara publik Amerika mendukung group I: Perwira-perwira tinggi pro Western sebagai

kelompok anti komunis, dirumorkan sebagai Dewan Jenderal, yang akan melakukan kudeta

pada 5 Oktober 1965.

7. Namun dibalik group I, secara rahasia badan intelijen asing juga mendanai group II,

tanpa sepengetahuan Dewan Jenderal, maupun publik, menunjuk Suharto sebagai pewaris

kuasa negara Indonesia, untuk menggantikan Presiden Sukarno. Dibalik layar Suharto

berkerjasama dengan US mendukung diciptakannya Dewan Revolusi bersama orang

kepercayaanya yaitu: BrigJen Supardjo sebagai Teknikal Komando, Kolonel Suherman,

Kolonel Marjono, LetKol Usman Sastrodibroto, Mayor Sujono, Kolonel Latief, LetKol

Untung, didukung 5 dari 7 batalion Diponegoro dan juga Brawijaya. Dikemudian hari

Suharto menyiapkan TNI RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibisono,

berkerja sama dengan 4 Ketua Nadhatul Ulama, dan pemuda Ansor, sebagai bagian dari

pembersihan komunis Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

144 | P a g e

8. Setelah CIA berhasil mengontrol 4 kubu kekuatan yang berlawanan, maka dilanjutkan

dengan menciptakan ―trigger-point untuk menciptakan Domino effects‖‖ agar terjadi

konflik perebutan kekuasaan didalam negara Indonesia, dengan cara membocorkan sebuah

―dokumen penting‖ pada September 14, 1965. Intinya bahwa Dewan Jenderal akan

melakukan Kudeta pada 5 Oktober 1965. Kemudian pemimpin ABRI melakukan rapat

emergency pada tanggal 18 September membahas kebenaran rumor dan tindakan apa yang

harus dilakukan, dan rapat terakhir dilakukan pada September 30.

9. Dewan Revolusi yang dikepalai oleh LetKol Untung diberikan lampu hijau untuk melakukan

counter-kudeta terhadap Dewan Jenderal pada 30 September, dengan menggunakan nama

Presiden Sukarno sebagai alasan untuk menculik.

10. Melibatkan keberadaan ―2000 low level PKI‖ di Halim, didalam kejadian G30S, sebagai

alasan keterlibatan komunis dalam G30S, diikuti oleh propaganda, fitnah dan

penghianatan.

Pada bulan November 1965, Suharto mengesahkan Tim Pembersih Khusus dipimpin Kolonel

Sarwo Edhie Wibowo untuk menumpas PKI, dilanjutkan dengan pembataian masal yang dimulai

dengan pemberian ―5000 hit lists‖ dari pihak Amerika. Dimana dikatakan adanya pengecekan

daftar nama yang sudah dieliminasi. Pemberian sejumlah radio telekomunikasi dari Amerika dan

British, tanpa sepengetahuan pihak Indonesia, bahwa frequenzynya secara rahasia dimonitor.

Seluruh percakapan dalam radio, selama perencanaan, serta perintah komando dan pembantaian

PKI terjadi, didengarkan oleh British inteligen. Komunikasi itu dimonitor selama setahun, dan

diterjemahkan oleh British MI6 di Phoenix Park, Singapore, dan British Hong Kong Head

Quarters. G30 S telah berlalu, komunism dan sosialism dihancurkan, tembok Berlin telah

diruntuhkan pada 1989, Soviet Union terpecah belah, Presiden Boneka Suharto pun akhirnya telah

digulingkan.

Walaupun CIA telah mengeluarkan ‖blacked-out‖ dokumen pada 1998 mengenai kejadian 30

September, dan pada tahun 2007, Presiden Suharto Authorized Biography pun memberikan opini

mengenai Kudeta G30S, namun inti tulisan dari seluruh sumber buku itu terjadi ―conflict of

interests‖, bertentangan dengan banyak fakta bukti-bukti dilapangan yang ada dan telah dianalisa

oleh para ahli dokter forensik, bahkan buku dan kesaksiannya mudah sekali dituduh sebagai

lanjutan fabrikasi dari kejadian yang sebenarnya. Terutama buku Suharto‘s Authorized Biography

lebih menitik beratkan bahwa dirinya sebagai pahlawan bangsa dan kuatnya keterlibatan PKI

didalam G30S, akan tetapi kurang dapat memberikan bukti-bukti keterlibatan PKI secara

langsung, selain hanya alegasi politikal motive, bahkan Suharto dalam buku itu terlihat berusaha

keras menutupi keterlibatan dirinya didalam aksi rencana awal G30S. Sedangkan hampir selusin

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

145 | P a g e

buku yang ditulis diluar Indonesia intinya adalah hypothesis yang mejelaskan bahwa PKI dan

Presiden Sukarno adalah pihak yang menjadi korban perebutan kekuasaan didalam negara

Indonesia, dengan MayJen Suharto sebagai pewaris kuasa satu-satunya, yang mengenal dengan

baik seluruh pelaku konspirator G30S, dan secara rahasia terlibat dari awal sampai akhir didalam

melaksanakan sinkronisasi rencana US untuk menggulingkan Presiden Sukarno.

Pada tanggal 30 September 1965, Presiden Sukarno memberikan pidato Musyawarah Besar

Teknik(Mubestek) di Stadium Senayan, setelah itu pulang menemui Dewi Sukarno. Menurut

informasi yang didapat LetKol Untung mengejar kendaraan Presiden, dan membawa Presiden

keliling melewati Istana Merdeka dengan memberikan informasi bahwa Istana Merdeka sudah

dikelilingi oleh pasukan-pasukan dari luar daerah, padahal mereka adalah pasukan Tjakrabirawa.

Lalu mengusulkan untuk ke Halim dengan alasan keselamatan dan nyawanya terancam. Akan tetapi

banyak yang spekulasi bahwa LetKol Untung mencoba memenuhi rencana awal yang akan

mengindikasikan bahwa Presiden Sukarno adalah bagian dari perencana G30S, dan menggunakan

Halim sebagai Markas Operasi.

Beberapa urutan kejadian pada October 1, 1965 dan bulan-bulan berikutnya terlihat sangat jelas

tetapi cerita detail penculikan masih tetap menjadi misteri, artikel ini akan berusaha

merekonstruksi kejadian semaksimal mungkin, walaupun banyak data yang telah hilang didunia

politik Indonesia. Yang pasti para Dewan Jenderal telah diculik dan dibunuh pada malam

September 30, 1965. Dilanjutkan dengan tuduhan terhadap warga Indonesia termasuk etnis

Tionghoa (Southwood and Flanagan: Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, # 53) sebagai

anggota PKI, tanpa adanya pengadilan resmi, majoritas dibantai menggunakan pisau dan golok,

sebagaian dianiyaya, ada yang dipaksa menggali kuburan masal, dan juga ada yang dilemparkan

kedalam goa, namun banyak korban yang dibuang kekali, kejadian ini berlaku diseluruh pelosok

Indonesia akan tetapi kebanyakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, dan Bali. Kudeta ini sangat

mudah dilakukan, karena terjadinya legitimasi propaganda media dan badan inteligen.

Pagi hari 1 Oktober satu group pimpinan TNI melakukan pelanggaran manusia, melakukan summary

executions, pembunuhan systematic, penyiksaan, untuk mendukung kekuatan politik Suharto dan

dalam usaha mengambil alih kuasa ABRI saat itu (Southwood and Flanagan: Indonesia: Law,

Propaganda, and Terror, 1983, # 49)

Counter Kudeta ini menggunakan kekuatan militer dengan alasan menghancurkan kaum komunis,

yang sangat kritikal dengan terjadinya korupsi didalam tubuh Bisnis TNI pada tahun 60an. Akan

tetapi Suharto dengan cepat menyusun kekuatan dalam waktu 4 bulan didalam sejarah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

146 | P a g e

pembantaian rakyat Indonesia yang sangat keji.(Chomsky, Noam and Herman16581231, Edward S.

The Washington Connection and Third World Fascism, 1979, #206)

Sejarah politik Indonesia sejak 1965 adalah politik pelanggaran HAM, warga menghilang diculik,

mahasiswa meninggal secara misterious seperti kecelakaan, dan segala macam kejadian. Kekejian

teror yang membuta bukanlah cara efektif negara untuk menaklukan warga Indonesia sendiri.

Bahkan rezim yang paling brutal akan memanipulasi hukum seperti Nazi Germany, dan Stalin di

Russia tidak terkecuali, termasuk Suharto. Akan tetapi UU negara melegalisasikan ―martial law‖

KOMKAMTIB (Bunge, Frederica M: Indonesia: A Country Study. Wasington HQ, Dept of the

Army 1983) sebagai Dwi-Fungsi ABRI ―organisasi state teror‖ memang dimaksudkan untuk

mendukung kebijaksanaan Suharto. Total jumlah korbanpun tidak dapat dipastikan tapi

diperkirakan dari 1-3 juta korban, sebagai Genocide kedua terbesar setelah korban Nazi dalam

Perang Dunia II.

Sukarno seorang kharismatik, Bapak Kemerdekaan Indonesia, sudah memimpin hampir 20 tahun.

Sukarno secara politik bermain mata diantara 2 ideologi: dunia barat dan blok sosialis/komunis.

Dengan cerdiknya menciptakan ideologi baru; Nasakom, singkatan dari nationalism, agama dan

komunis. Saat itu Partai Komunis Indonesia sangat kuat. Dikatakan memiliki 3 juta anggota dengan

10 juta pendukung, menjadikan PKI nomor 4 di Indonesia dan partai komunis yang berpengaruh

diluar China dan USSR. PKI secara umum mendapat dukungan politik Presiden Sukarno, akan

tetapi tidak membuat dirinya sebagai seorang komunis sejati.

Walaupun Sukarno adalah Presiden seumur hidup namun tidak memiliki kekuatan untuk menjadikan

dirinya seorang diktator. Pihak militer dan pemegang elite politik mampu membatasi langkah

kekuasannya. Lebih lanjut para pemegang kuasa militer seperti loose cannon ―mereka dapat

bertindak tanpa persetujuan dari Presiden Indonesia‖, seperti menghentikan demonstrasi,

menutup penerbitan surat kabar, menculik, dan melakukan penyiksaan didalam interogasi terhadap

pemimpin oposisi politik dan ketua PKI.

Sukarno mendirikan PNI ditahun 1927, partai ini dilarang Belanda. Sebagai ketua partai,

dipenjarakan oleh pemerintah pada tahun 1930, setahun kemudian dibebaskan. Partai ini lalu

dibubarkan tahun 1945, setelah Indonesia merdeka, karena adanya perbedaan pendapat, dianggap

kurang diperlukan?

Kemudian pada tahun 1947-1948 PNI diaktifkan kembali. Kepemimpinan PNI tidak lagi diurus oleh

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

147 | P a g e

Sukarno, dan para pemimpin PNI didaerah-daerah, majoritas mendukung ideologi komunis, pada

1965 sekretaris jenderal PNI dan banyak dari para anggota menjadi target dan korban

pembunuhan masal, dianggap pendukung PKI.

Sebagai Presiden Indonesia yang dikatakan memiliki IQ sangat tinggi, tetapi Sukarno tidak

memiliki partai politik, dan tergantung terhadap keberadaan PKI untuk kebijaksaan politik di

Indonesia, badan intelijen asing pun menilai MenLu Dr Subandrio adalah pewaris kuasa Sukarno

yang tidak disukai Amerika karena mendukung ideologi komunisme. Sukarno seringkali mengatakan

setelah Indonesia merdeka dari Belanda bukan berarti akhir dari pergolakan politik didalam tanah

air. Selalu didalam pidatonya mengingatkan seluruh rakyat Indonesia perlunya kelanjutan dari

kemerdekaan untuk menciptakan negara adil sejahtera, dan makmur. Namun orasinya

meninggalkan persepsi dan definisi berlainan diantara seluruh rakyat Indonesia juga terhadap

badan intelijen asing yang selalu melakukan analisa politik terhadap apa yang diucapkan dan apa

yang akan dilakukan oleh Presiden Sukarno selanjutnya. Tingkah laku Sukarno sangat meresahkan

pemimpin-pemimpin negara barat, bahwa PKI akan menjadikan Indonesia berideologi

Sosialisme/Komunisme (―ekonomi kerakyatan‖ sosialisme/komunisme dijanjikan oleh Mega/

Prabowo dalam Pemilu 2009).

Sukarno berhasil mengalahkan PKI dalam konfrontasi ditahun 1948. Namun PKI dapat meraih

sukses simpatisan didalam eleksi Presiden tahun 1955. Kemudian PKI naik menjadi partai yang

sangat berpengaruh pada pemilihan partai legislatif tahun 1957 (US Army‘s 1983 Areas Studies

Handbook on Indonesia), tentu sebagai politisian Sukarno menyadari ada baiknya berkerja sama

untuk kebaikan bersama. Karena PKI telah membentuk SOBSI organisasi buruh hampir diseluruh

daerah dan memiliki anggota sangat besar yang dapat membuka jalan untuk memberikan keadilan

serta kesejahteraan terhadap seluruh rakyat. Bahkan Sukarno mengharuskan pegawai negeri

mempelajari prinsipal Nasakom dan teori Marxis untuk studi banding.

Diawali kunjungan Sukarno menemui Mao Tse Tung ke Peking pada November 1964, kemudian Dr

Subandrio menerima kunjungan ketua partai komunis China, Zhou En-Lai, di Istana Bogor April

20, 1965. Setelah itu Sukarno pada bulan Augustus memberikan pidato diperlukannya sebuah

pasukan kelima, diluar seluruh pasukan militer dan polisi. Pemerintah Amerika dan media barat

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

148 | P a g e

memberitakan bahwa Sukarno membeli 100,000 AK-47 dari China untuk mempersenjatai pasukan

milisia, semua senjata disimpan didalam gudang senjata TNI-AU di Halim Perdana Kusumah.

Ketika 2000 Gerwani dan Pemuda Rakyat mendapatkan latihan militer terutama dalam cara baris-

berbaris, sejak bulan July 1965, didalam persiapan untuk mengikuti pawai hari angkatan

bersenjata pada 5 Oktober 1965 di Monas. Tujuan utamanya juga dipersiapkan untuk menyerbu

Malaysia. Namun anggota level bawahan komunis ini “hanya diijinkan menggunakan senapan

kayu!” Juga keberadaan mereka di Halim, secara politik sengaja ―being set-up‖ untuk melibatkan

seluruh nama PKI secara langsung kedalam penculikan dan pembunuhan dalam kasus G30S.

Dalam pidatonya dibulan Augustus 1964, Sukarno mengucapkan bahwa dirinya menghendaki suatu

group revolusi, tidak keberatan apakah mereka berasal dari kaum nasionalis, kelompok agama,

atau komunis, dan menambahkan ―Saya adalah kawan Komunis, sebab Komunis adalah rakyat yang

tidak gentar melakukan aksi revolusi‖ Lalu pada hari peringatan PKI, April 1965, Sukarno berkata

―Saya mencintai PKI sebagai saudara setanah air, dan bila saya meninggal saya akan merasa

kehilangan seorang saudara kandung‖.

Sukarno menyetujui konfrontasi dengan Malaysia atas masalah Sabah, 29 December, 1963,

pasukan gerilya Indonesia menyerang Kalakan, 50 km didalam daerah Sabah. Hasilnya pasukan

Ghurka Inggris dan Malaysia menghancurkan seluruhnya kecuali 6 gerilya menjadi tawanan. Juga 7

Maret 1964 mengirim ABRI dan pasukan Marinir untuk memata-matai kedalam negara itu, namun

beberapa tertangkap dan dihukum mati di Malaysia. Sejak tahun 1963 Sukarno mulai melakukan

propaganda anti Amerika, seperti melakukan pelarangan mendengarkan lagu Beatles dan group

KoesPlus, pelarangan dansa Agogo, dan segala macam apapun yang berbau Amerika.

Ketika US Ambassador untuk Indonesia menghadiri acara pawai, Presiden Sukarno dalam

pidatonya katakan dalam bahasa Inggris ―go to hell with your aids‖, mengakibatkan US President

Johnson pada December 1963 memotong dana bantuan sandang pangan terhadap negara

Indonesia. Akan tetapi bantuan militer tetap diberikan untuk menghadapi komunisme.

Kemudian pada Januari 1965 Sukarno mengejutkan dunia sebagai negara Asia pertama yang keluar

dari PBB, sebagai reaksi protes karena Malaysia mendapatkan kedudukan didalam UN Security

Council. Dilanjutkan pada August 1965 Sukarno dalam pidatonya mengatakan akan mengaktifkan

pasukan kelima dalam keadaan darurat karena adanya konfrontasi dengan Malaysia. Keadaan

ekonomi di Indonesia saat sebelum terjadinya Kudeta G30S sangat parah sekali. Bahkan Sukarno

dirumorkan menderita penyakit keras, serta adanya kecemasan dan pelemparan psy-op

propaganda dan rumor bila Sukarno meninggal maka PKI akan dihancurkan oleh kekuatan militer.

Segala rumor propaganda ini sengaja diciptakan oleh badan intelijen untuk menciptakan krisis

politik dan kecurigaan dari setiap lapisan badan negara. Badan intelijen analis dari beberapa

negara menilai Sukarno sudah berada diluar jalur dan keputusan bersama diambil bahwa “dirinya

harus disingkirkan secepatnya.”

Saat itu perang di Vietnam melawan Komunis sedang berlangsung, dunia barat menyadari

demokrasi dan sistim kapitalism di Asia Tenggara sangat terancam dengan keadaan politik

domestik Indonesia, bahkan PKI berkembang sangat pesat kedalam kabinet negara Indonesia

tanpa adanya perlawanan berdarah seperti dinegara-negara Asia Tenggara lainnya. Itulah

persepsi yang berlangsung terhadap PKI.

Psy-Op Black Propaganda: Tujuan utama kampanye ini, melakukan character assassination/

demonization “memberikan persepsi bahwa kaum komunis adalah mahluk tidak beragama” ini

adalah langkah awal untuk mempersiapkan ―hati nurani dan pikiran seluruh warga Indonesia‖

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

149 | P a g e

sebagai brain-wash, mengisi dan mempengaruhi cara pola berpikir majoritas didalam usaha

melancarkan “physical koordinasi” dan kerjasama bagi seluruh group dan individual yang akan

melakukan aksi pembantaian PKI. Dalam sensus dari jumlah 40 juta, paling sedikitnya 1/4

sejumlah 10 juta adalah anggota pendukung PKI. Sejumlah 10 juta warga Indonesia, ditambah

sanak keluarga, saat itu dibawah ancaman pembunuhan langsung (Southwood and Flanagan:

Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, # 74).

Provokasi dan hasutan melalui pamplet disebarkan melalui helicopter, radio, koran-koran di

Indonesia, dilakukan menggunakan unsur nasionalism, etnis, dan agama seperti: ―Bunuh atau

dibunuh, bunuh atau tanah dirampas, Cina Komunis adalah Kafir, bunuh dan habiskan mereka demi

kebesaran Islam‖. (Southwood and Flanagan: Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, #

67). Dilanjukan dengan pembantaian masal terhadap 1-3 juta korban yang dilakukan oleh Pasukan

RPKAD, direstui oleh 4 ketua NU, dan pemuda milisia Ansor.

Hubungan diantara Dewan Revolusi: Karena kerasnya rumor yang didengungkan oleh CIA selama

beberapa tahun. Perwira-perwira muda ―percaya‖ dan berkesimpulan bahwa adanya Dewan

Jenderal telah melakukan korupsi dan menerima uang sogok dari Amerika. Dengan kehidupan yang

sangat mewah dimana seluruh rakyat sedang mengalami kesulitan ekonomi, ditambah bahwa Dewan

Jenderal telah menghianati dan akan melakukan Kudeta terhadap Presiden Sukarno pada October

5, 1965. Menurut catatan sejarah pergolakan dimulai dari perwira-perwira yang berasal dari Jawa

Tengah, namun di Jakarta dibelakang layar sebuah rencana kudeta dipimpin oleh Jenderal

Soeharto, Jenderal Supardjo, Kol Latief, dan LetKol Untung ―kebetulan‖ dipindahkan pada

January 1965, ditugaskan memimpin 3 unit Tjakrabirawa, pengawal Istana Presiden Merdeka.

Singkatnya dalam hari D-Day ketika semua berkumpul di Halim Perdana Kusumah, Kolonel Latief

dan LetKol Untung mengatakan kepada seluruh pasukan bahwa: Malam itu adalah saatnya

bertindak terhadap para Dewan Jenderal karena mereka akan melakukan Kudeta terhadap

Presiden Sukarno pada Oktober 5, yang akan didukung oleh US, cerita ini dipercayai oleh seluruh

anggota pasukan. Mereka diperintahkan untuk menciduk para Dewan Jenderal dengan

menggunakan nama Sukarno ―Presiden memanggil dan menunggu di Istana‖. Aksi G30S dilakukan

tanpa sepengetahuan Presiden Sukarno secara detail. Karena hampir tidak mungkin seorang

Presiden Indonesia memerintahkan untuk menculik dan membunuh seluruh 7 Jenderal. Sebagai

aparat negara bertugas mempertahankan kedaulatan negara, mematuhi perintah atasan, dan

sangat percaya apa yang mereka lakukan akan mengembalikan Negara Indonesia, dan akan

menyelamatkan Presiden Sukarno. Seluruh anggota TNI malam itu yakin bahwa rencana Kudeta

Dewan Jenderal benar akan terjadi, maka LetKol Untung yang diwakili oleh Letnan Satu Doel

Arief melakukan operasi militer yang dikenal dengan peristiwa G30S. Hubungan diantara para

konspirator perlu diketahui: Jenderal Soeharto secara pribadi mengenal LetKol Untung sebagai

anak buah, begitupun terhadap Kolonel A. Latief, Major Bambang Supeno.

Dua tahun lalu pada 10 Juli 1963 Suharto diangkat menjadi PangKostrad, dan beberapa hari

sebelum 30 September 1965 memerintahkan kedatangan pasukan dari luar daerah ke Jakarta,

dan harus diingat Suharto melakukan inspeksi kesiagaan siap tempur, terhadap seluruh unit dari

―pasukan penculik‖ pada 29 September 1965, sehari sebelum kejadian aksi G30S.

Bahkan pada 10pm malam itu, beberapa jam sebelum terjadinya aksi penculikan terhadap para

Dewan Jenderal, Kolonel A. Latief menemui Suharto, ketika Tommy berada dirumah sakit, untuk

memberikan laporan terakhir bahwa rencana yang mereka ketahui bersama akan dilakukan dalam

beberapa jam, dan semua berjalan lancar. Namun dalam buku Autobiographynya Suharto

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

150 | P a g e

mengatakan Kolonel Latief hanya lewat tanpa mengucapkan sepatah katapun, bahkan dalam

interviewnya dimuat di media Malaysia, Suharto pernah menuduh Kolonel Latief mencoba untuk

menculik dan membunuh dirinya pada malam itu tanpa pasukan, dirumah sakit????

Apakah MayJen Suharto Penghianat: Badan intel asing menghianati para Dewan Jenderal

sebagai umpan-pancingan agar G30S terjadi, sedangkan Suharto sebagai pewaris kuasa dalam

covert action ini menghianati seluruh sahabat dan para pelaku G30S dan kemudian secara

sistematis mengambil alih kuasa ABRI, dengan cara mencuci tangan keterlibatan dirinya dari

rencana awal, dan mengeksekusi hampir seluruh Perwira yang melakukan aksi G30S untuk

keuntungan dirinya. Yang sangat menarik dan perlu diingat LetKol Untung; didalam sidang Militer

berkata ―Bapak(Suharto) telah menghianati saya‖.

Setelah Dewan Revolusi berhasil menghancurkan Dewan Jenderal. Pada March 1966, Suharto

mengutus 2 Jenderal menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor, menghasilkan Super Semar,

namun bukti surat itu tidak pernah ditemukan, dan dikatakan hilang???

Pasukan-pasukan TNI-AD yang terlibat dalam aksi penculikan berasal dari:

* 1 regu dari Tjakrabirawa diketuai oleh LetKol Untung.

* 1 regu dari 454 Jawa Tengah diketuai oleh Major Sukino.

* 1 regu dari 530 Jawa Timur diketuai oleh Major Bambang Supeno.

* 1 regu Brigade Infantri I diketuai oleh Kolonel A. Latief

Awalnya PKI tidak diganggu, untuk melakukan seperti apa yang sudah direncanakan dengan detail

dari semula, dan juga untuk mencuci nama semua yang terlibat, Suharto memulai propaganda

hitam dengan memberikan bukti-bukti fabrikasi dan mengatakan bahwa PKI beserta Gerwani

telah menculik dan membunuh para Jenderal. Walaupun tak satupun terbukti bahwa adanya

penduduk sipil yang terlibat dalam aksi penculikan, dan pembunuhan, karena didalam aksi operasi

militer, mereka semua berseragam TNI-AD, dan mengendarai kendaraan TNI-AU. Pasukan-

pasukan dikerahkan menjadi 7 unit, setiap unit bertugas untuk menciduk satu jenderal. Jumlah

mereka tidak sama tergantung rumah Jenderal mana yang akan mereka akan kunjungi, bagi yang

dikerahkan untuk menciduk Jenderal Nasution dan Jenderal Yani, memiliki lebih banyak anggota

pasukan dari unit yang lain. Karena kedua Jenderal ini memiliki anggota pasukan bersenjata

didepan rumah mereka, dan mengantisipasi bahwa perlawanan mungkin akan terjadi.

Pertemuan di Lubang Buaya dimulai pada 2:00 pagi, persiapan logistik selesai sekitar 3:00 pagi,

kemudian satu persatu mereka naik kedalam kendaraan yang telah diperintahkan. Sekitar 3:15

kira-kira selusin bus dan truk yang membawa seluruh pasukan berangkat dari Halim Perdana

Kusumah dan tiba 45 menit kemudian, didaerah kawasan Menteng, perumahan elite di Jakarta.

Mereka tiba ditarget lokasi sekitar pukul 4:00 pagi.

Penculikan terhadap Jenderal Yani: Regu penciduk untuk Jenderal Yani berangkat dari Lubang

Buaya dibawah pimpinan Letnan Satu Mukijan, menggunakan 2 Bus dan 2 Truck, dengan pasukan

sebanyak 1.5 Kompi. Melewati Jakarta Bypass, kemudian memotong jalan melalui Jalan

Rawamangun menuju Salemba, Jalan Diponegoro dan Jalan Mangunsakoro, mereka tiba dirumah

Jenderal Yani di Jalan Lembang.

Pasukan dibagi menjadi 3 group, yang pertama menjaga belakang rumah, yang kedua menjaga

didepan rumah, dan group ketiga dibawah pimpinan Letnan Satu Mukijan dan Sersan Dua Raswad,

memasuki perkarangan rumah dan menghampiri rumah. Mereka berdua menyapa pasukan penjaga

bahwa mereka menyampaikan pesan penting dari Presiden Sukarno. Melihat seragam Tjakrabirawa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

151 | P a g e

mereka tidak menaruh curiga sama sekali, kemudian diikuti oleh group penyerang dengan cepatnya

melucuti senjata mereka. Menjawab ketukan dipintu, pembatu rumah tangga membuka pintu, dan

secepatnya didorong kesamping. Setelah mereka masuk kedalam rumah, group yang dipimpin oleh

Sersan Raswad menjumpai anak laki berumur 7 tahun; Eddy putra Jenderal Yani yang sedang

mencari Ibunya.

Eddy diminta membangunkan Jenderal Yani, kemudian keluar mengenakan pakaian pajama, Raswad

mohon agar Jenderal Yani menemui Presiden sekarang juga. Jenderal Yani meminta tunggu untuk

mandi, akan tetapi Raswad katakan tidak perlu mandi, dan tidak perlu tukar pakaian. Karena sadar

apa yang terjadi kemudian Jenderal Yani memukul salah satu prajurid, dan masuk kedalam

kamarnya secepatnya untuk mengambil senjata, dan menutup pintu berjendela gelas dibelakang-

nya. Raswad kemudian perintahkan Sersan Gijadi untuk lepaskan tembakan. Sejumlah 7 peluru

menembus pintu dan menewaskan Jenderal Yani saat itu juga. Sebagian dari group, yang terdiri

dari Raswad dan Gijadi, juga Korporal Djamari, Prajurid Kepala Dokrin, dan Prajurid Satu

Sudijono, menyeret jenasahnya keluar dan melemparkan kedalam salah satu bus yang sedang

menunggu. Kemudian mereka semua kembali melalui Jatinegara menuju Lubang Buaya, disana

Mukidjan melaporkan hasil tugasnya kepada Doel Arief.

Penculikan terhadap Jenderal Soeprapto: Karena rumah Jenderal Soeprapto tidak dijaga, maka

hanya diperlukan pasukan dalam jumlah kecil. Dengan menggunakan pasukan yang dimuati dalam

satu Toyota Truk dibawah pimpinan Sersan Dua Sulaiman dan Sukiman. Jumlah mereka sebanyak

19 orang, dipersenjatai dengan Sten guns, Garrand, dan Senapan Chung.

Walaupun Letnan Doel Arief sudah membawa Sersan Sulaiman malam sebelumnya dimana lokasi

rumah ini, namun menyasar 2 kali kealamat yang salah di Jalan Besuki. Regu kecil ditempatkan

dikiri dan kanan rumah, sementara regu utama memasuki halaman rumah. Kemudian pecah menjadi

3 kelompok, yang pertama dan kedua menjaga pintu masuk utama, dan garasi. Lalu yang ketiga

memasuki rumah dipimpin oleh Sulaiman.

Malam itu Jenderal Soeprapto tidak dapat tidur, dan diganggu oleh suara anjingnya, lalu

Soeprapto berjalan keluar dengan T-Shirt, sarung, dan sandal jepit. Korporal Dua Suparman

menjawab sapaan Jenderal Soeprapto, dengan memberikan salut dan katakan Presiden ingin temui

dirinya. Tanpa memberi kesempatan untuk berpakaian, menutup pintu secepatnya Suparman

menyeret Jenderal Soeprapto ke Toyota Truk. Istri dari Jenderal Soeprapto yang menyaksikan

kejadian itu melalui jendela sangat kaget dan kecewa, dan percaya bahwa suaminya ditahan.

Kemudian mencoba menghampiri suaminya namun dihalangi oleh pasukan pimpinan Sersan Dua

Sulaiman, yang membawa Soeprapto ke Lubang Buaya.

Penculikan terhadap Jenderal Parman: Pagi itu kira-kira jam 4:00 pagi, ketika satu group

dengan jumlah 20 tentara muncul diluar rumah Parman dijalan Serang. Mendengar suara diluar,

Jenderal Parman dan istri yang sedang bergadang keluar kehalaman kebun mereka, mengira ada

maling dirumah tetangga. Kemudian melihat group dari Tjakrabirawa didalam halamannya, lalu

bertanya; ada apa?

Mereka katakan diperintahkan untuk menjemput untuk menemui Presiden. Tanpa curiga dan tanpa

berikan tanda kecurigaan, Parman masuk kedalam rumah diikuti oleh sebagian Tjakrabirawa dan

berhasil ganti pakaian dinas Walaupun sebagai istri sangat tersinggung dan merasa mereka sangat

kurang sopan, namum Parman diberikan kesempatan untuk ganti pakaian dinas, sebelum jalan

membisikan istrinya untuk hubungi Jenderal Yani secepatnya. Jenderal Parman berpikir dirinya

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

152 | P a g e

ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Tapi begitu mereka akan pergi salah satu anggota

Tjakrabirawa mencabut dan membawa telephone rumahnya.

Walaupun Jenderal Parman sadar apa yang terjadi namum tidak melakukan perlawanan dalam

perjalanan ke Lubang Buaya. Lima belas menit kemudian Ibu Harjono datang menangis mengatakan

suaminya telah ditembak mati, menyadarkan apa yang telah terjadi. Namum, istri dari Jenderal

Parman terganggu oleh anggota Tjakrabirawa yang sering kali menjemput suaminya pada waktu

diluar jam kerja, yang menjabat sebagai Kepala Angkatan Darat Intelijen atas perintah Presiden

tidak sadar apa yang terjadi saat itu.

Penculikan terhadap Jenderal Sutoyo Siswomiharjo: Pasukan penyerang dipimpin oleh Sersan

Mayor Surono yang menerima perintah langsung dari Doel Arief secara pribadi. Kelompok ini

memulai dengan menutup jalan Sumenep dimana korban tinggal. Ketika itu kebenaran ada Hansip

yang sedang patrol, senjata mereka dilucuti satu persatu. Kemudian seperti halnya dengan modus

operandi terhadap penculikan Jenderal lainnya, group ini dibagi tiga squads, yang pertama

menempatkan diri didepan, yang kedua dibelakang rumah dan yang ketiga melakukan penculikan.

Dengan membujuk Jenderal Sutoyo membuka pintu kamarnya dengan alas an akan memberikan

surat dari Presiden. Kemudian mengikat tangannya dibelakang kepala dan menutup kedua matanya

lalu mendorong kedalam truk yang sedang menunggu, kemudian mereka mencapai Lubang Buaya

secepatnya.

Penculikan terhadap Jenderal Pandjaitan: Tidak seperti para Jenderal lainnya, Pandjaitan

tinggal di Kebayoran Baru, didaerah Blok M, dijalan Hasanudin. Rumahnya seperti typical model

Kebayoran, mempunyai 2 lantai, tidak seperti rumah yang model klasik di Menteng. Kamar

keluarga Pandjaitan semuanya berada dilantai 2. Disebelah rumah tapi dalam satu komplek,

terdapat ruangan kecil dimana ada 3 saudara laki-laki yang tinggal. Dua truk penuh dengan

tentara muncul dijalan Hasanuddin, dan yang satu memarkir didepan dan yang kedua dibelakang.

Setelah melewati pagar besi disekitar rumah, pasukan penculik memasuki ruangan dibawah tangga,

membanguni pembantu rumah tangga yang sudah tua. Sangat ketakutan mengatakan majikan tidur

diatas. Keributan didalam rumah telah membuat seluruh keluarga bangun, mengira rumahnya

sedang dikunjungi oleh pencuri lalu merampas pistol dari para penculik. Mereka segera ditembak

oleh pasukan penculik. Salah satunya Albert Silalahi, kemudian tewas di rumah sakit dari luka

tembakan. Sementara itu dilantai dua istri Jenderal Pandjaitan dalam kepanikannya bertanya

apakah hal ini semacam latihan? Tapi mengatakan hal ini bukan latihan sama sekali.

Melihat seragam Tjakarabirawa dilantai satu, dirinya mengira pasti ada pesan dari Istana, tetapi

ancaman yang berlangsung meyakinkan bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat janggal. Prajurid

dibawah sangat nervous untuk tidak naik kelantai dua, lalu berteriak dan memerintahkan Jenderal

Pandjaitan untuk turun kebawah, tapi ditolaknya. Pertama Jenderal Pandjaitan mencoba

menghubungi Polisi, tetangga, kemudian Kolonel Samosir, tapi gagal. Karena telephone line sudah

dipotong. Lalu mencoba menggunakan Stengun untuk menghalau penyerang, tapi senjatanya macet.

Kemudian dirinya dipaksa turun karena adanya ancaman terhadap keluarganya. Ketika dirinya

berada dihalaman dia mencoba untuk lari dan pertahankan dirinya, namun penculik menembaknya.

Walaupun istrinya memohon paling tidak untuk memakamkan jenazahnya, namun mayatnya

dilemparkan kedalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya. Yang sangat menarik pada saat itu polisi

bersepeda bernama Sukitman setelah mendengar tembakan menuju lokasi, menempatkan dirinya

pada posisi diantara sejumlah pasukan penculik. Senjatanya dilucuti dan dipatahkan oleh pasukan

Tjakrabirawa, Sukiman diangkut bersama mayat Jenderal Panjaitan ke Lubang Buaya, didalam

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

153 | P a g e

truk tentara. Setelah itu dirinya menjadi saksi mata terhadap kejadian penculikan dan

pembunuhan.

Penculikan terhadap Jenderal Haryono: Serangan terhadap rumah Jenderal Harjono di Jalan

Prambanan 8, mengikuti taktik sama seperti yang disebutkan semua diatas. Sejumlah 18 anggota

pasukan TNI-AD dibawah Sersan Kepala Bungkus mengelilingi rumah. Bertindak atas Doel Arief

instruksi, kelompok ini memecahkan diri menjadi 3 group. Group pertama masuk kedalam rumah

mencoba melihat apakah dapat menjumpai korban dengan taktik sama bahwa korban dipanggil oleh

Presiden.

Harjono sadar apa yang akan terjadi, dia perintahkan istri dan anaknya sembunyi dikamar

belakang dan matikan semua lampu, lalu Harjono menunggu pasukan penculik, ketika mereka masuk

kedalam kamar, dirinya mencoba merampas salah satu senjatanya, namun tidak mampu melawan

semua dan Jenderal Harjono langsung ditembak mati ditempat. Tubuhnya dilemparkan kedalam

truk dan dibawa ke Lubang Buaya. Selama ini pasukan penculik melakukan dengan sangat brutal

dan sukses. Tiga dari enam telah dibunuh, tiga ditawan tanpa kesulitan. Tapi percobaan terhadap

Jenderal ke 7, Menteri Pertahanan,Jenderal Abdul Haris Nasution, terbukti yang paling gagal.

Penculikan terhadap Jenderal Nasution: Penyerangan kerumah Jenderal Nasution dilakukan

dengan cara sama, tapi dalam skala yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penyerangan

terhadap para Jenderal lainnya. Seluruhnya sekitar 100 anggota pasukan terlibat, diangkut

dengan 4 truk, satu power wagon dan satu kendaraan jenis Gaz(semacam power wagon). Seperti

dalam penyerangan terhadap Jenderal Soetojo, group penyerang menutup jalan Teuku Umar

dimana Jenderal Nasution tinggal, melucuti pasukan bersenjata diseluruh jalan itu, Kebenaran

saat itu rumah Dr Johannes Leimena(nomor 36) mempunyai tiga penjaga bersenjata, sebagai

kehormatan menjadi Perdana Menteri ke 2.

Pasukan keamanan ini dengan mudah dilucutkan, namun salah satunya dari Brimob ditembak mati

dalam perkelahian. Sama sekali tidak ada maksud untuk memasuki rumahnya Dr Leimena. Karena

goal utama adalah agar penjaga dari Dr Leimena tidak akan datang mencampuri kerumah Jenderal

Nasution yang beda dua rumah yaitu nomor 40, saat itu seluruh nya berhasil diamankan. Turun

dari truk banyak sekali pasukan-pasukan dari Tjakrabirawa, Kompi dari 454, dan kemungkinan

Pemuda Rakyat dalam seragam TNI.

Keempat penjaga keamanan dipusat rumah jaga dihampiri oleh 4 anggota Tjakrabirawa, yang

memulai pembicaraan, kemudian 30 anggota pasukan lainnya melucuti para penjaga satu persatu.

Senjata penjaga kelima pun dikuasai dengan mudah oleh sekitar 30 anggota pasukan penyerang.

Satu squad sekitar 30 orang memasuki rumah dari belakang dari situ mengelilingi menuju garasi.

Squad yang lain sebanyak 15 orang memasuki pintu depan, yang lain mengawasi dari rumah

penjaga, dimana sekitar 30 anggota lainnya mengawasi jalanan. Didalam rumah Jenderal Nasution

telah bangun. Mendengar pintu dibuka istri Jenderal Nasution ingin tahu siapa yang masuk. Dari

pintu kamar tidurnya dia dapat melihat seorang Tjakrabirawa berdiri menhadapi dengan senapan,

diseberang ruangan. Karena takut dan kagetnya dia menutup pintu sekerasnya, dan menyadari

bahwa ada percobaan untuk menculik suaminya. Jenderal Nasution kurang yakin maka dia

membuka pintu, pada saat yang sama dirinya harus menghindari semburan peluru.

Istri Nasution mencoba menyelamatkan diri dari serangan 3 anggota Tjakrabirawa yang dipimpin

oleh Korporal Hargyono. Sementar itu Ibu dari Jenderal Nasution masuk kedalam kamar yang

berhubungan, mengira anaknya Jenderal Nasution luka parah kena tembak. Istri Nasution

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

154 | P a g e

ingatkan jangan beritahu bahwa Nasution ada dalam kamar. Kemudian Mardiah, adik dari Jenderal

Nasution dimana ruangan tidurnya berada disisi dimana Tjakrabirawa melepaskan tembakan, ingin

lari menyeberangi ruangan menuju kamar tidur Jenderal Nasution, dengan membawa anak terkecil

yaitu Ade Irma, dalam gendongannya. Begitu Mardiah lari menyeberangi ruangan Corporal

Hargyono mulai melepaskan tembakan lagi yang mencederai Ade Irma. Mardiahpun tertembak dua

peluru dilengannya.

Ketika anggota Tjakrabirawa masih berusaha membuka pintu, istri Nasution menunjukkan jalan

keluar menuju rumah kediaman Iraq Ambassador (no 38). Ketika mulai naik melalui tembok

pemisah dirinya ditembak oleh salah satu pasukan penyerang dari pos pengawas keamanan. Namun

dirinya berhasil melompat kerumah sebelah dengan patah tumit kaki. Ternyata penembak tidak

tau siapa yang dia tembak kecuali hanya menembak setiap adanya bayangan. Mencoba menutupi

dan menekan sumber pendarahan Ade Irma dipangkuannya, Ibu Nasution secepatnya menelphone

seorang doktor, tapi beberapa anggota TNI-AD merusak dan mencoba memasuki pintu belakang

dengan melepaskan beberapa tembakan sebelum memasuki rumah. Mereka menuntut jawaban

dimana Jenderal Nasution saat itu.

Dijawab bahwa beliau sedang berada diluar kota, mereka tidak percaya dan memeriksa setiap

ruangan dan kamar dirumah itu. Suitan-suitan terdengar dari luar yang meminta mereka semua

kumpul diluar rumah, Ibu Nasution pun tidak dilarang pergi bersama pembantu rumah tangga,

membawa Ade Irma kerumah sakit Angkatan Darat, yang kemudian dinyatakan meninggal dunia

sekitar jam 6:00 pagi.

Sementara itu didalam 2 pavilion dibelakang rumah terjadi kepanikan. Penjaga keamanan yang

telah dilucuti lari kebelakang dan memberi tahu sopir apa yang telah terjadi. Janti anak tertua

Jenderal Nasution mendengar tembakan melarikan diri keruangan Letnan Pierre Tendean,

Adjudant Jenderal Nasution yang berada di ruangan depan. Pierre minta Janti sembunyi dibawah

ranjang, dan dia keluar menghadapi pasukan penculik, namun sekejap saja sudah dilucuti.

Tampaknya Pierre Tendean dalam kegelapan figurenya mempunyai kesamaan. Walaupun beberapa

anggota TNI-AD meragukan namum karena waktu yang minimal, akhirnya mereka membawa ke

Lubang Buaya, saat itu jam 4:08. Namun pada jam 4:09 salah satu anggota keluarga yang tinggal

dirumah, Hamdan menghubungi Jakarta Teritorial Komandan Jenderal Umar Wirahadikusumah,

melalui alat komunikasi khusus, dan menceritakan apa yang telah terjadi. Sekitar 4:30 Umar tiba

dirumah Nasution, lalu diikuti oleh 5 tank, 2 digunakan menjaga rumah dan 3 dikerahkan memburu

mereka yang terlihat menggunakan jalan menuju Bogor atau Bekasi. Sesaat kemudian Pasukan

Marinir tiba memperkuat penjagaan dirumah Nasution.

Tapi hanya pada jam 6:30 Jenderal Nasution merasa aman untuk menampakan dirinya dari

persembunyiannya bahkan kepada Jenderal Umar Wirahadikusumah. Dengan sekejap Nasution

dibawa ketempat persembunyian, untuk mencegah percobaan kedua terhadap keselamatan dirinya.

Lalu malam harinya Nasution sekitar 19:00 dirinya baru merasa aman untuk kembali kedalam

pasukan TNI yang terbukti mendukung dirinya. Ketiga Tank tidak berhasil membuntuti kecepatan

Truk yang sudah menghilang menuju Lubang Buaya, seluruh pasukan penculik berhasil sampai

ditempat tujuan pada 5:15 pagi, mereka melihat seluruh pasukan bergabung kembali dan

melaporkan bahwa operasi militer yang bernama G30S telah berhasil dilaksanakan.

Kejadian di Lubang Buaya: Para Gerwani dan Pemuda Rakyat dibangunkan pagi-pagi oleh para

pelatihnya, mereka diperintahkan untuk bersiap siaga untuk menerima perintah darurat. Ketika

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

155 | P a g e

seluruh truk tiba membawa 6 Jenderal dan Letnan Tendean, pembuangan mayat-mayat dan

pembunuhan terhadap mereka dimulai. Mayat para Jenderal: Yani, Pandjaitan, Harjono

dilemparkan kedalam Lubang Buaya, yang mencapai kedalaman 10 meter. Sisanya ketiga Jenderal

dikatakan diludahi, dan disiksa oleh Gerwani dan Pemuda Rakyat yang telah diindoktrinasikan

bahwa mereka itu adalah musuh dari Presiden Sukarno. Jenderal Soeprapto ditembak dari

belakang oleh Prajurid Kepala Nurchajan, ketika berdiri dipinggir sumur.

Kemudian tembakan berikutnya dilanjutkan ketika tubuh Soeprapto jatuh diatas mayat didalam

sumur. Tembakan ini dilakukan berulang kali, diberikan contoh oleh Kopral Djauri, yang kemudian

diikuti oleh voluntir lainnya. Jenderal Parman ditembak dari belakang oleh Prajurid Kepala

Athanasius Buang, atas perintah Sersan Dua Sulaiman, yang memimpin penyerbuan kerumah

Jenderal Soeprapto. Kemudian dilanjutkan dengan tiga tembakan berikutnya, tubuhnya dibuang

kedalam Lubang Buaya. Jenderal Soetojo pun ditembak dalam cara yang sama. Cerita detail

terhadap kematian Letnan Tendean tidak begitu jelas, tapi dikatakan disiksa sampai tewas.

Keterlibatan Pemuda Rakyat dan Gerwani: Para Gerwani diberikan pisau silet, dan pisau, mereka

diharuskan berbaris dan dipaksa untuk mengiris tubuh mereka, dan tidak diberi kesempatan

bertanya, siapakah diri mereka. Dari hasil autopsi yang dilakukan oleh para ahli dokter forensik,

tidak ada bukti bahwa mata, dan kelamin para Jenderal dimutilasi seperti yang Suharto ucapkan,

namun seluruh surat kabar ditutup hanya yang mempropagandakan fabrikasi kebohongan diijinkan

untuk disebarkan keseluruh rakyat Indonesia, sebagai pretext pembantaian masal terhadap PKI.

Dari pengakuan seorang Gerwani yang sedang hamil 3 bulan, berumur 15 tahun, mulutnya ditampar

oleh seorang Sersan TNI-AU ketika bertanya siapa mereka. Setelah seluruh korban dibunuh dan

dibuang kedalam Lubang Buaya, kemudian ditutup oleh daun-daun, sampah, kemudian seluruh

Gerwani dan Pemuda Rakyat diperintahkan untuk kembali ketenda mereka masing-masing

menunggu perintah berikutnya.

Terbukti bahwa pemuda-pemudi ini sengaja diterlibatkan dan diperintahkan untuk menjadi dari

aksi bagian dari skenario yang sudah direncanakan sejak awal tanpa adanya tahu menahu apa yang

sedang terjadi. Begitupun kemungkinan dengan sengaja melibatkan beberapa Pemuda Rakyat

kedalam kelompok penculikan dengan memerintahkan mereka memakai seragam TNI-AD, dengan

begitu posisi PKI secara langsung sengaja dilibatkan kedalam kegiatan G30S. Bahkan ketua PKI

meminta para Pemuda Rakyat dan Gerwani mematuhi perintah para pelatih dari TNI-AU, namun

keberadaan mereka dijadikan kedalam permainan politik dalam Kudeta G30S.

Kata akhir: Kudeta G-30-S telah berlalu sekian lamanya, komunisme dan sosialisme telah

dihancurkan atau hancur sendiri, tembok Berlin telah diruntuhkan pada 1989, Soviet Union

terpecah belah, Presiden Suharto pun akhirnya telah disingkirkan dan telah berpulang. Apakah

kita sebagai bangsa masih tetap ingin ―diadu domba‖? Bagaimanapun kita masih tetap bersaudara,

apakah rekonsiliasi total bisa terlaksana?

Sumber dan Intisari dari:

1. Chomsky, Noam and Herman Ed: The Washington Connection and Third World Facism. Boston:

Southend Press, 1979

2. Southwood, Julie and Flanagan, Patrick: IndonesiaL Law, Propaganda, and Terror. London:

Zed Press, 1984

3. Weinstein, Francklin. Indonesia Foreign Policy and Dilemma of Dependency. London: Cornell

University Press, 1976

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

156 | P a g e

4. Benedict R. Anderson and Ruth T. Mc Vey: A Preliminary Analysis of October 1, 1965 Coup in

Indonesia.

5. Bunge, Fregrica M. Indonesia: A Country Study, Washington: Department of the Army, 1983.

6. Herman Ed. An Overview: US Sponsorship of State Terrorism‖ Covert Action Information

Bulletin

7. McGehee, Ralph. Deadly Deceits: My 25 years in the CIA, New York: Sheriden Square

Publications Inc, 1983

8. Tornquist, Olle. Dilemmas of Third World Communism: The Destruction of the PKI in

Indonesia

9. CIA 1998 declassified documents

10. CIA: Indonesia-1965; The Coup That Backfired

11. Weinstein, Franklin B. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From

Sukarno to Soeharto. London: Cornell University Press 1976

12. The United States Army and Human Rights in Indonesia: A Joint Statement by the South

East Asian Resource Center and the Pacific Service Center 25 February 1978

Categories: Business - Community Event - Humanity - Indonesian Politic - Military

Tags: Dewan Jenderal vs Dewan Revolusi - G30S - Gerwani dan Pemuda Rakyat - Partai Komunis

Indonesia - Suharto dan CIA - Suharto fabrikasi bukti

27 June 2009 at 10:39 - Comments

Wisata Sejarah : Anatomi Dibalik G30S « Jakarta 45 at 20:55 on 2 October 2009

[...] Anatomi Dibalik G30S [...]

Kontra-Kudeta Yang Dirancang Gagal

Rabu, 29 September 2010 | Opini

Oleh : Rudi Hartono

TIDAK seperti biasanya ketika Bung Karno menyampaikan pidato. Ketika berpidato di hadapan

Musyawarah Nasional Teknik (Munastek), di Istora Senayan, pada malam 30 September 1965,

Bung Karno tiba-tiba berhenti dan meninggalkan podium, dan selang beberapa menit kemudian,

Bung Karno muncul kembali dan menceritakan "Mahabharata", yaitu soal perang saudara Kurawa

dan Pandawa.

Ada yang mengatakan, Bung Karno saat itu sedang sakit dan pergi ke belakang untuk mendapat

suntikan dari tim dokternya. Sementara versi lain menyebutkan, Bung Karno diminta untuk

menerima sebuah informasi yang sangat penting. Apa itu? Semua masih tidak diketahui.

Pada malam itu, yang telah memutar-balikkan haluan ekonomi, politik, dan kebudayaan Indonesia

sampai sekarang ini, telah terjadi gerakan yang disebut "Gerakan 30 September", demikian

pemimpin gerakan ini menamai gerakannya melalui siaran RRI pada pagi hari 1 Oktober.

Sekarang ini, segala hal mengenai "gerakan 30 September" masih merupakan sesuatu yang gelap

dan menyimpan misteris, meskipun ada banyak sejarahwan dan akademisi yang berusaha membuat

"terang" kejadian ini.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

157 | P a g e

Saya hanya hendak menjelaskan satu hal, bahwa gerakan kudeta sebetulnya bukanlah pada malam

30 september itu, tetapi sudah dirancang dan dijalankan berulang kali dan kejadian pada 30

September hanya merupakan satu bagian dari rangkaian rencana kudeta tersebut.

Konteks Yang Lebih Luas

Dalam rapat pimpinan AD di Jakarta pada 28 Mei 1965, Soekarno telah mengatakan: "Mereka

akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka punya teman-teman di sini".

Maksud Soekarno adalah kekuatan imperialisme, khususnya AS dan Inggris yang sudah lama

mengincar untuk melikuidasi kekuasannya.

Ya, sejak gejolak revolusi agustus 1945 mulai menggugurkan banyak kepentingan kolonialis, kaum

imperialis mulai menyadari, bahwa mereka bisa kehilangan apa yang disebutnya "permata asia"

kapan saja. Karena itu, mereka mulai melibatkan diri dalam usaha-usaha merebut kembali

Indonesia dari pengaruh kebangkitan gerakan revolusioner, yang sejak awal memang sangat anti-

kolonial.

Untuk itu, pada tahun 1947, Bank Dunia telah memberi pinjaman sebesar 195 juta dolar ke

Belanda, yang sebagian besar dipergunakan untuk menggempur Republik Indonesia. Setahun

berikutnya, pada September 1948, tangan imperialis AS dinyatakan terlibat dalam menyokong

sebuah proposal untuk membasmi "kaum merah" di Indonesia.

Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin

ke kiri, intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam "Journal of American

History", bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya "coup" yang gagal terhadap Soekarno

tahun 1958.

"Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA

dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat

udara transport dan Bomber B-26," kata Brands.

Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS) mengakui betapa jelas campur tangan

pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington

tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Pendek kata, pihak imperialis dan kekuatan sayap kanan di dalam negeri tidak pernah berhenti

untuk mencari segala usaha melikuidasi pemerintahan Soekarno.

Kontra Kudeta

Menjelang tahun 1965, di Indonesia telah tersebar desas-desus akan terjadinya perebutan

kekuasaan negara, yang konon dipersiapkan oleh apa yang disebut "dewan jenderal", sebuah group

dari sekelompok pimpinan tentara yang tidak segaris dengan politik Bung Karno. Ada yang

mengatakan, isu ini berasal dari Waperdam/Menlu/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio,

dan kemudian tersebar hingga Soekarno dan PKI.

Berhembusnya isu seperti ini adalah sah dalam konteks saat itu, terlepas apakah itu benar atau

tidak, mengingat bahwa situasi politik benar-benar sudah pada "titik didihnya" dan segala

kemungkinan bisa terjadi.

Soekarno, berdasarkan kesaksian ajudannya, Bambang Widjanarko, terus mendapatkan pasokan

informasi mengenai kebenaran "dewan jenderal" itu, dan memerintahkan pasukan pengawalnya

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

158 | P a g e

untuk langkah-langkah antisipasi untuk mengamankan keselamatan Presiden kalau muncul situasi

berbahaya.

Mungkin saja, itulah yang ditangkap oleh salah seorang komandan pasukan pengamanan presiden,

Kolonel Untung, dan diterjemahkan dalam sebuah upaya untuk menjalankan operasi "kontra-

kudeta" terhadap dewan Jenderal.

Karena penjelasan ini pula, maka menjadi masuk akal bagi saya, seorang perwira berkarier

cemerlang seperti Brigjend Supardjo harus mendukung gerakan ini, meskipun dia hanya

berpartisipasi Cuma tiga hari dalam gerakan ini.

Setelah melakukan penculikan terhadap para Jenderal, pimpinan Gerakan 30 September telah

berusaha meminta kepada Bung Karno, untuk mendukung aksinya menyingkirkan jenderal-jenderal

yang berusaha menjatuhkan beliau. Namun, pada saat disodori surat pernyataan dukungan oleh

Brigjend Soepardjo, maka Bung Karno telah menolaknya.

Bung Karno telah mengambil tindakan sendiri, yaitu memberhentikan gerakan kedua belah pihak

(dengan keterangan kalau perang saudara berkobar, maka yang untung adalah nekolim). Dengan

"absennya" dukungan Bung Karno, maka boleh jadi ini yang menjadi penyebab kenapa Gerakan 30

September tidak memperlihatkan "semangat menyerang" lanjutan, atau setidaknya mengantisipasi

serangan balik Soeharto-Nasution.

Kalaupun ada upaya disinformasi mengenai "dewan jenderal", maka ini bisa dianggap sebagai

rangkaian usaha untuk menciptakan "jebakan", yang nantinya dapat dipergunakan untuk

menjalankan tindakan tertentu.

"Kudeta Yang Dirancang Gagal"

Setelah membaca dokumen Brigjend Supardjo tentang "Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi

Gagalnya G-30-S Dipandang Dari Sudut Militer", saya mendapatkan kesan bahwa memang ada

pihak dalam gerakan ini yang merancang supaya gerakan ini mengalami kegagalan. Namun, untuk

menjelaskan siapa orang itu, saya belum bisa untuk memastikannya.

Dalam dokumen Brigjend Supardjo disebutkan, menjelang pelaksanaan operasi ini, ternyata masih

banyak yang hal yang belum terselesaikan, misalnya, persiapan pasukan belum jelas, beberapa

perwira mengundurkan diri, penentuan sasaran dan gambaran pelaksanaan aksi belum jelas, dan

masih banyak lagi.

Sejak awal, menurut Brigjend Supardjo, didalam gerakan ini sudah timbul "keragu-raguan", namun

segera ditimpa dengan semboyan "apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi." Demikian pula

dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi paska pelaksanaan gerakan, yang kacau balau dan tidak

sesuai dengan rencana.

Supardjo menulis, "strategi yang dianut gerakan secara keseluruhan adalah semacam strategi

"bakar petasan"; maksudnya, jika sumbunya dibakar di Jakarta, maka mercon-merconnya dengan

sendirinya mengikuti di daerah.

Pada kenyataannya, tahap persiapan dan penggambaran umum gerakan tidak mencerminkan

"obsesi" tersebut, bahkan kacau-balau saat dipraktekkan di lapangan. Sumbu yang terbakar bukan

memicu mercon di daerah, melainkan membakar "tangan dan badan sendiri".

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

159 | P a g e

Menurut saya, ada pihak-pihak dalam gerakan ini yang memang merancang "gerakan untuk

mengalami kegagalan", dan selanjutnya menjadi dalih untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok

politik tertentu.

Ada benarnya juga, setelah melihat rangkaian upaya kudeta terhadap Bung Karno sejak akhir

1950-an, bahwa "kontra-kudeta yang dirancang gagal ini" dimaksudkan untuk menciptakan dalih

guna melumpuhkan Soekarno. Sebab, dengan menghancurkan PKI yang menjadi sekutu paling loyal

Bung Karno dalam melawan imperialisme, maka pemerintahan Soekarno kehilangan kaki

penyangganya".

Bukankah "Gerakan 30 September" telah menjadi alasan yang cukup kuat, dan sangat ditunggu-

tunggu oleh kekuatan kanan saat itu, untuk mengobarkan kampanye anti-komunis dan mencari

segala macam cara untuk melibatkan Soekarno dalam kasus tersebut, sebagai jalan untuk

mengakhiri "pemerintahan anti-imperialis" ini.

Bukankah fakta menunjukkan, bahwa, meskipun Soekarno tidak cukup bukti untuk dilibatkan dalam

"G.30.S", tetapi sayap kanan yang dikomandoi Soeharto terus mencari usaha untuk menjerat

"proklamator bangsa ini", hingga mengasingkannya pada suatu tempat dan membiarkannya mati

perlahan di sana.

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dijawab!

http://berdikarionline.com/opini/20100929/kontra-kudeta-yang-dirancang-g\

agal.html

<http://berdikarionline.com/opini/20100929/kontra-kudeta-yang-dirancang-\

gagal.html>

"Tragedi 65 dan Rekolonialisme

Kamis, 30 September 2010 |Editorial

Tragedi 65, yang terjadi 45 tahun yang lalu, menjadi titik balik bagi rekolonialisme di Indonesia.

Terlepas dari perdebatan sejarahwan mengenai tragedi tersebut, namun kenyataan yang tak

terbantahkan adalah, bahwa tragedi itu telah menjadi "pembuka jalan" untuk melikuidasi

pemerintahan anti-imperialis Soekarno dan mengembalikan status Indonesia sebagai koloninya

negeri-negeri imperialis.

"Gerakan 30 September" tidak hanya menjadi alasan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh

kelompok kanan untuk mengorbankan kampanye anti-komunis, tetapi juga menjadi "senjata" untuk

melikuidasi keseluruhan kekuatan-kekuatan anti-imperialis di dalam negeri. Boleh dikatakan,

bahwa sasaran utama penumpasan dan pemusnahan adalah kekuatan-kekuatan anti-imperialis dan

pendukung Soekarno.

Dalam November 1967, setelah golongan Soekarnois dan PKI benar-benar telah dilumpuhkan,

perwakilan rejim Soeharto telah bertemu dengan para kapitalis terbesar dan paling berkuasa di

dunia, seperti David Rockefeller, di Jenewa, Swiss. Hadir dalam pertemuan tersebut raksasa-

raksasa korporasi barat, diantaranyaGeneral Motor, Imperial Chemical Industries, British

Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemen, Goodyear, The International

Paper Corporation, dll.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

160 | P a g e

Dan, sebagai bonus tambahan dari pertemuan itu, pemerintah Indonesia telah bersedia

mengundangkan UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang begitu ramah dan

baik hati terhadap "perampokan sumber daya" alam Indonesia.

Juga, setelah PKI dan ormas-ormasnya dihancurkan, terbitan-terbitan berbau kiri dan nasionalis

dilarang, rejim Soeharto telah menciptakan sebuah kehidupan politik yang tidak mengijinkan

"oposisi" untuk hidup.

Dan, apa yang tak kalah pentingnya, adalah bahwa rejim Soeharto telah melakukan kejahatan

kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia, konon itu adalah kedua terbesar setelah kekejian

NAZI-Hitler. Ada yang mengatakan, jumlah korban kemanusiaan dalam tragedy 65 mencapai 500

ribu hingga 1 juta orang. Ratusan ribu orang dipenjara dan dibuang tanpa proses hukum atau

pengadilan.

Indonesia, yang luasnya hampir sama dengan Britania raya, Perancis, Jerman barat, Belgia,

Belanda, Spanyol, dan Italia kalau digabungkan menjadi satu, merupakan "permata asia" dalam

pandangan kolonialis dan imperialis. Mereka tidak menginginkan republik baru ini benar-benar

merdeka, apalagi jika dikendalikan oleh kekuatan progressif atau anti-kolonialisme, maka

disusunlah serangkaian dukungan terhadap Belanda untuk menggempur Republik Indonesia yang

masih baru.

Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin

ke kiri, intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam "Journal of American

History", bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya "coup" yang gagal terhadap Soekarno

tahun 1958. Campur tangan asing sangat nyata dalam menyokong pemberontakan PRRI/permesta,

upaya pembunuhan terhadap Bung Karno, dan lain sebagainya.

Dampak jangka panjang dari "tragedi 65″ adalah rekolonialisme. Segera setelah Bung Karno

berhasil digulingkan, seluruh tatanan hukum, politik, ekonomi, dan budaya yang berbau

kolonialisme, telah dipulihkan dan bertahan hingga kini. Sebagai misal, praktek-praktek

neo-kolonialisme sangat nyata dalam pengelolaan ekonomi Indonesia, seperti lahirnya berbagai

ketentuan (perundang-undangan) yang memudahkan pihak asing mengeruk kekayaan alam

Indonesia, menghancurkan pasar di dalam negeri, mengeksploitasi tenaga kerja, dan lain-lain.

Pendek kata, "tragedi 1965" adalah usaha kolonialisme untuk menemukan pintu masuk guna

menjajah kembali negeri ini. Tragedi ini telah merestorasi kekuatan-kekuatan dan praktik-praktik

neo-kolonialisme di dalam negeri, misalnya semakin dominannya modal asing, tersingkirnya rakyat

dari kehidupan politik, eksploitasi tenaga kerja murah, dan lain sebagainya.

Tragedi 1965 adalah tragedy kemanusiaan yang menandai pembunuhan keji, pembuangan paksa dan

pemenjaraan tanpa proses pengadilan, dan pelecehan terhadap ratusan ribu hingga jutaan orang

yang dituding sebagai anggota atau simpatisan komunis. Sebagain besar korban tragedi 1965

adalah buruh, petani, aktivis perempuan, guru sekolah, guru mengaji, pegawai negeri, dan seniman.

Oleh karena itu, tragedi 65 adalah luka bangsa yang perlu disembuhkan sebelum melangkah jauh

ke depan, yaitu dengan mengungkap tabir yang menutupi kejadian ini. Persoalan rekonsilisasi

nasional pun hanya dapat berjalan dengan baik, jikalau proses ini sudah didahului dengan

pengungkapan fakta dan pengadilan terhadap para pelakunya.

Dengan begitu, kita berharap bisa bersatu kembali untuk melawan imperialisme dan

neokolonialisme secara bersama-sama.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

161 | P a g e

Anda dapat menanggapi Editorial kami di : [email protected]

http://berdikarionline.com/editorial/20100930/tragedi-65-dan-rekoloniali\

sme.html

<http://berdikarionline.com/editorial/20100930/tragedi-65-dan-rekolonial\

isme.html>

**************

Luruskan Sejarah Kelahiran Soekarno

Minggu, 29 Agustus 2010 | 02:05 WIB

Mario Blanco dan Soekarno Dok OZIP Magazine

SURABAYA, KOMPAS.com--Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono akan mengirim surat ke

Sekretaris Negara (Sekneg) terkait pelurusan sejarah tempat kelahiran proklamator RI

Soekarno (Bung Karno) yang berasal dari Surabaya dan bukan dari Blitar.

"Kami akan mengirim surat ke Sekneg terkait itu," kata Bambang di acara Seminar Pelurusan

Sejarah Tempat Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.

Bahkan dalam pidato Bung Karno, lanjut dia, dikatakan Bung Karno sendiri mengaku sebagai warga

Surabaya. Namun, lanjut dia, sejarah tersebut diputarbalikkan, sehingga seolah-olah Bung Karno

lahir di Blitar.

Menurut dia, gambaran menghargai kepahlawan di Indonesia hingga saat ini masih kurang.

"Bung Karno Arek Suroboyo"

Sabtu, 28 Agustus 2010 18:31 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 573 kali

Surabaya (ANTARA News) - "Banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa semangat

perjuangan dan jiwa seni Sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Soekarno (Bung Karno) adalah

juga `Arek Suroboyo` (pemuda asal Kota Surabaya)," kata Peneliti dan pengajar di Universitas

Trisakti Jakarta, Yuke Ardhiati.

Yuke mengatakan bahwa setiap bulan Juni dan Agustus, hampir dapat dipastikan "ruh Soekarno"

hadir di bumi Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

162 | P a g e

"Bulan Juni menjadi bulan khusus baginya (hari kelahirannya), bulan Agustus adalah bulan

diproklamasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia," katanya di acara Seminar Pelurusan

Sejarah Tempat Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.

Menurut dia, si Arek Suroboyo itu telah lama "Kondur Sowan ing Ngarsaning Gusti Allah"

(berpulang ke Rahmatullah atau wafat, red), namun suaranya yang menggelegar di setiap

kesempatan menyapa rakyatnya, masih selalu bergema menggaungkan resonansi di setiap sudut

hati.

Eksplorasi Yuke untuk mengungkapkan semangat "Arek Suroboyo" yang terpantul dari jiwa

Soekarno, diterapkan dalam teori arketipe tentang konsep diri dari gagasan Carl Gustav Jung.

Arketipe, sebagai refleksi sifat dominan dari karakteristik manusia. Dalam diri Soekarno

tertanam gabung dari berbagai arketipe yaitu "mother", "hero" dan "mona" berpadu sekaligus.

"Soekarno memiliki sifat menyerupai rahim ibu. Sebagai penyedia sebuah kehadiran, ada semangat

patriotik. Namun sekaligus memiliki daya pesona yang luar biasa dari dirinya," paparnya.

Pengalaman dan kebiasaan Soekarno sejak usia muda, kata dia, dijelaskan dalam lima hal, yakni

timangan (kekudangan orang tua), kecintaan terhadap unsur air, menolak nuansa kolonialisme,

cinta romantisme terhadap negara, citra kemegahan budaya Jawa Kuno.

"Dan terakhir pemuda berjiwa patriot," katanya.

Dalam semua punulisan biografi Soekarno sebelum tahun 1970, semuanya menulis Bung Karno lahir

di Surabaya.

Akhir tahun 1900, R.Soekani Sosrodiharjo (ayahanda Soekarno) dipindahtugaskan dari Singaraja

Bali sebagai guru sekolah rakyat Sulung, Surabaya.

Di Surabaya itulah istrinya, Nyoman Rai Srimben melahirkan seorang putera yang diberi nama

Kusno yang kemudian menjadi Soekarno pada 6 Juni 1901. (A052/C004)

Beda Pemakaman Pak Harto dan Bung Karno Oleh Asvi Warman Adam *

Pada 27 Januari 2008 pukul 13.10, mantan Presiden Soeharto wafat. Jenazahnya disemayamkan di

kediamannya, Jalan Cendana, dan dilayat pejabat tinggi negara, mulai presiden, wakil presiden,

sampai para menteri. Masyarakat umum berjubel di sepanjang Jalan Cendana menonton para

tetamu.

Senin pagi, 28 Januari 2008, ini jenazah mantan orang nomor satu RI itu diterbangkan ke

pemakaman keluarga di Astana Giribangun. Ketua DPR Agung Laksono akan bertindak secara resmi

dalam pelepasan jenazah di Jalan Cendana, Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin pelepasan di

Halim Perdanakusumah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi inspektur upacara di Astana

Giribangun.

Astana Giribangun yang diperuntukkan keluarga Nyonya Suhartinah Soeharto didirikan di Gunung

Bangun yang tingginya 666 meter di atas permukaan laut. Cangkulan pertama dilakukan Tien

Soeharto Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah Jemakir 1905, bertepatan dengan 27 November 1974.

Dengan menggunakan 700 pekerja, bangunan yang merupakan gunung yang dipangkas tersebut

diselesaikan dan diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Jadi 30 tahun sebelum meninggal,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

163 | P a g e

Soeharto telah mempersiapkan tempat peristirahatan yang terakhir. Hal itu dilakukan Soeharto

agar ―tidak menyusahkan orang lain‖.

Soeharto memperoleh hak dan fasilitas sebagai seorang mantan kepala negara. Namun, hal yang

berbeda dialami mantan Presiden Soekarno. Sewaktu mengalami semacam tahanan rumah di

Wisma Yaso (sekarang Gedung Museum Satria Mandala Pusat Sejarah TNI) di Jalan Gatot

Subroto, Jakarta, Soekarno tidak boleh dikunjungi masyarakat umum.

Pangdam Siliwangi H.R. Dharsono mengeluarkan perintah melarang rakyat Jawa Barat untuk

mengunjungi dan dikunjungi mantan Presiden Soekarno. Kita ketahui, H.R. Dharsono kemudian juga

menjadi kelompok Petisi 50 dan meminta maaf kepada keluarga Bung Karno atas perlakuannya

pada masa lalu itu.

Putrinya sendiri, Rachmawati, hanya boleh besuk pada jam tertentu. Pada 21 Juni 1970, Bung

Karno wafat setelah beberapa hari dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Beberapa waktu

sebelumnya, Rachmawati menanyakan kepada Brigjen Rubiono Kertapati, dokter kepresidenan,

kalau Soekarno menderita gagal ginjal, kenapa tidak dilakukan cuci darah? Jawabannya, alat itu

sedang diupayakan untuk dipesan ke Inggris.

Itu jelas sangat ironis. Pada masa revolusi pasca kemerdekaan, Jenderal Sudirman menderita

penyakit TBC. Ketika itu, obatnya baru ditemukan di luar negeri, yakni streptomycin. Pemerintah

Indonesia dalam keadaan yang sangat terbatas dan berperang menghadapi Belanda berusaha

mendapatkan obat tersebut ke mancanegara, tetapi nyawa Panglima Sudirman tidak tertolong lagi.

Hal itu tidak dilakukan terhadap Ir Soekarno.

Bung Karno dibaringkan di Wisma Yaso setelah wafat di RSPAD Gatot Subroto dan di situ pula dia

dilepas Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto. Situasi saat itu memang sangat tidak

kondusif bagi Soekarno dan keluarganya. Beberapa hari sebelumnya, yakni 1 Juni 1970,

Pangkopkamtib mengeluarkan larangan peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni. Soekarno

sedang diperiksa atas tuduhan terlibat dalam percobaan kudeta untuk menggulingkan dirinya

sendiri. Pemeriksaan tersebut dihentikan setelah sakit Bung Karno semakin parah.

Pada 22 Juni 1970, jenazah sang proklamator dibawa ke Halim Perdanakusumah menuju Malang. Di

Malang disediakan mobil jenazah yang sudah tua milik Angkatan Darat, demikian pengamatan

Rachmawati Soekarnoputri (di dalam buku Bapakku Ibuku, 1984) yang membawanya ke Blitar.

Sepanjang jalan Malang-Blitar, rakyat melepas kepergian sang proklamator di pinggir jalan. Di sini

Soekarno dimakamkan dengan Inspektur Upacara Panglima ABRI Jenderal Panggabean pada sore

hari. Sambutan dibacakan sangat singkat.

Soekarno hanya dimakamkan di pemakaman umum di samping ibunya. Seusai acara resmi, rakyat

ikut menabur bunga. Karena banyaknya tanaman itu, sampai terbentuk gunung kecil di atas pusara

Sang Putra Fajar tersebut. Namun tak lama kemudian, rakyat yang tidak kunjung beranjak dari

makam kemudian mengambil bunga-bunga itu sebagai kenangan-kenangan. Dalam tempo singkat,

makam Bung Karno kembali rata sama dengan tanah.

Pemakaman di Blitar itu berdasar Keputusan Presiden RI No 44/1970 tertanggal 21 Juni 1970.

Keputusan tersebut diambil dengan berkonsultasi bersama pelbagai tokoh masyarakat. Padahal,

Masagung dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru terbit pada 1998) mengungkapkan bahwa

sebetulnya Soekarno telah menulis semacam wasiat masing-masing dua kali kepada Hartini (16

September 1964 dan 24 Mei 1965) dan Ratna Sari Dewi (20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962). Di

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

164 | P a g e

dalam salah satu wasiat itu dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan

rindang di Kebun Raya Bogor.

Di dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman

Soekarno, dirinya mengundang pemimpin partai. Jelas Soeharto menganggap itu masalah politik

yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tidak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan elite

politik.

Kemudian, Soeharto melalui keputusan presiden menetapkan pemakaman di Blitar konon dengan

alasan tidak ada kesepakatan di antara keluarga. Apakah betul demikian? Sebab, pendapat lain

mengatakan bahwa hal itu dilakukan Soeharto demi pertimbangan keamanan. Jika dikuburkan di

Kebun Raya, pendukung Bung Karno akan berdatangan ke sana dalam rombongan yang sangat

banyak, sedangkan jarak Bogor dengan ibu kota Jakarta tidak begitu jauh. Hal tersebut dianggap

berbahaya, apalagi saat itu menjelang Pemilu 1971.

Pemugaran makam Bung Karno juga penuh kontroversi. Pemugaran dilakukan pada 1978 dengan

memindahkan makam-makam orang lain itu. Menurut Ali Murtopo di depan kader PDI se-Jawa

Timur, ide tersebut berasal dari Presiden Soeharto. Masyarakat tentu bisa menduga bahwa itu

dilakukan dalam rangka mengambil hati para pendukung Bung Karno menjelang pemilu. Dalam

pemugaran tersebut, keluarga tidak diajak ikut serta. Bahkan, dalam peresmian pemugaran itu,

putra-putri Soekarno tidak hadir.

Dalam prosesi pemakaman di Blitar, Megawati tidak hadir karena sedang berada di luar negeri.

Namun, kabarnya putra tertua Bung Karno, Guntur Sukarno Putra, mewakili keluarga mantan

Presiden Soekarno akan datang ke Astana Giribangun. Ketika Soeharto di Rumah Sakit Pertamina,

Guruh juga berkunjung. Ini suatu pelajaran sejarah berharga bagi bangsa kita. Jangan lagi

kesalahan masa lalu diulang dan marilah kita berjiwa besar.

* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI

Sumber : Jawa Pos,

====

Rachmawati: Bung Karno Dibunuh Pelan-pelan

Rakyat Merdeka, Jumat, 12 Mei 2006,

Jakarta, Rakyat Merdeka. Terbongkar sudah. Teka-teki perlakuan Soeharto kepada Soekarno

selama sekarat ternyata menyakitkan. Proklamator itu dibiarkan digerogoti penyakit akutnya

hingga meninggal secara mengenaskan.

―Yang saya bawa ini adalah catatan medis selama setahun, dari 1967 hingga 1968 saat Bung Karno

mulai sakit. Jelas telihat bahwa Bung Karno tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Bung

Karno dibiarkan mati karena semua obat yang diberikan harus disetujui Soeharto,‖ ujar

Rachmawati dengan penuh emosi. Rachma membuka catatan medis ini di Yayasan Pendidikan

Soekarno, Kampus UBK Cikini, Jumat sore.

Dijelaskan, catatan medis yang dibawa dalam bentuk sebelas buntelan itu telah disimpannya sejak

tahun 1969.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

165 | P a g e

―Ketika itu ada upaya menghapus jejak Bung Karno. Dokter perawat Bung Karno kemudian

memindahkan catatan medis yang disimpan secara pribadi itu ke rumah saya,‖ lanjut Rachma.

Dokter yang dimaksud adalah dr. Surojo.

Adik Megawati ini yakin, Soeharto telah melakukan tindakan sistematis dan terencana untuk

mencabut secara berlahan nyawa Bung Karno.

―Dalam medical record ini Bung Karno jelas sakit gagal ginjal. Seharusnya ada tindakan pencucian

darah secara berkala. Tapi itu tidak diberikan. Saat itu semua obat yang masuk harus disetujui

Soeharto. Bahkan Soeharto juga menolak keinginan keluarga agar Bung Karno mendapat

pengobatan di luar negeri,‖ lanjutnya.

Akibat tidak diobati secara layak, menjelang wafatnya, tubuh Bung Karno bengkak-bengkak dan

penyakit ginjalnya tidak dapat disembuhkan lagi. Nasib bapak bangsa ini berakhir tragis di tangan

Soeharto.

Rachma sendiri akan menyerahkan rekaman medis ini kepada pemerintah SBY dalam waktu dekat.

―Tidak ada tujuan lain, agar mereka tahu, betapa sangat buruknya perlakuan Soeharto kepada

Bung Karno,‖ katanya.

=== ===

Benarkah Soeharto membunuh Soekarno...?

Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan

Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang

hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk

ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari

ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini

terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara

semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan

seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.

Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke

mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang

dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya

terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya

yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang

kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi

ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua

mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang

paling dicintainya ini.

"Pak, Pak, ini Ega..."

Senyap.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

166 | P a g e

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang

telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri

sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka

matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi

tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam

lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan

kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak

kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan

senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim

dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini.

Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati.

Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.

Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

"Hatta.., kau di sini..?"

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini

mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik

hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

"Ya, bagaimana keadaanmu, No?"

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut

tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang

sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa

Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi

Tunggal.

"Hoe gaat het met jou...?" Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan.

Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga

tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah.

Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan

Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu

yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

"No..."

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

167 | P a g e

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya

bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak

bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu

sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot.

Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi.

Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan

puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah

sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan

seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono

memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,

Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia

memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan

tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi

dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno

menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka.

Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang

biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus

menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang

menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah

seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad.

Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama

kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi.

Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim

penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan

status tahanan rumah. Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat

prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya.

Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:

Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan

manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar

seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa

saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

168 | P a g e

airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah.

Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia

sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana.

Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno

meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di

Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).

Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad

Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-

benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno

terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi

Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian

dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya,

isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.

Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya

sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang

berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri

berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara

dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah

diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di

mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan

rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.

Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik

kepada saya: "There goes a very great man!!" Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans

(mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti

beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan

pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari

Bali.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan

dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke

Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?

Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan

tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke

pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh

kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi

saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau

rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat.

Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat

biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

169 | P a g e

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM.

Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya

terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan

saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol.

Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan

kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa

mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak,

yang mungkin hanya sekitar tiga meter.

Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri,

merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila,

memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak

memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu

kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah

ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di

udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata,

saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung

Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka.

Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya

dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan

Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara

pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden

Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini

membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas

mengunjunginya.

Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan

obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk

mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit

dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat

kematiannya.

Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun

dilarang oleh Presiden Soeharto. "Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang

sakit, harus seizin dia, " demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.

(Dari website Andi Santoso, 1 Februari 2010)

* * *

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

170 | P a g e

Memperingati wafatnya Bung Karno 21 Juni 1970

Jasa-jasa besar Bung Karno tak terlupakan

Ajaran-ajaran revolusionernya patut dihayati oleh kita semua

Memperingati wafatnya Bung Karno 40 tahun yang lalu, yaitu pada tanggal 21 Juni 1970, adalah

hal yang penting bagi kalangan atau golongan yang ingin meneruskan perjuangan besarnya demi

revolusi rakyat Indonesia dan demi cita-cita bersama untuk menciptakan masyarakat adil dan

makmur.

Wafatnya Bung Karno merupakan kehilangan yang besar sekali bagi bangsa Indonesia, terutama

bagi yang mencintainya, menghormatinya, mengaguminya, sebagai bapak bangsa, dan sebagai

pemersatu bangsa yang paling agung sepanjang sejarah Indonesia..

Agaknya bagi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia tidak adalah pemimpin yang bisa

menyumbangkan jasa-jasa sebesar jasa Bung Karno, atau yang bisa mencetuskan gagasan-gagasan

serevolusioner dan sebanyak dia.

Namun, ada orang atau kalangan yang berpendapat bahwa memperingati wafatnya Bung Karno,

yang sudah terjadi 40 tahun yang lalu adalah sesuatu yang sudah kedaluwarsa, atau sesuatu yang

tidak perlu lagi « dikunyah-kunyah terus-menerus ». Ada juga yang mengatakan « biarkanlah masa

yang lalu, jangan diutik-utik lagi, yang penting adalah masalah depan kita ».

Orang-orang atau golongan yang mengatakan seperti tersebut di atas, sebaiknya diajak untuk

secara serius merenungkan berbagai hal yang yang berkaitan erat dengan sakitnya atau wafatnya

Bung Karno. Sebab, masalah ini sama sekali bukanlah hal yang sudah kedaluwarsa, dan bukannya

pula sesuatu yang tidak perlu dikunyah-kunyah terus-menerus atau tidak pelu diutik-utik

lagi.

Berbagai akibat wafatnya Bung Karno

Wafatnya Bung Karno merupakan satu rentetan rantai yang tidak bisa dipisahkan dari

penggulingannya secara khianat oleh pimpinan Angkat Darat (waktu itu) di bawah Suharto. Dan

akibat yang menyedihkan dari penyerobotan kekuasaan Bung Karno itu adalah lumpuhnya revolusi

rakyat Indonesia dan rusaknya negara dan bangsa seperti yang kita saksikan dewasa ini. Jadi

membicarakan sebab-sebab dan akibat-akibat wafatnya Bung Karno, justru ada hubungannya yang

erat sekali dengan berbagai hal masa kini.

Banyak soal di masa kini yang merupakan akibat -- secara langsung atau tidak langsung -- dari

berbagai persoalan yang menyebabkan wafatnya Bung Karno dalam tahun 1970 itu . Jelaslah

bahwa masalah-masalah yang menyebabkan dan akibat wafatnya Bung Karno sama sekali bukanlah

hal yang sudah kedalu warsa untuk diingat kembali atau ditelaah lagi untuk kepentingan masa kini

dan untuk masa depan negara dan bangsa kita.

Wafatnya Bung Karno bukanlah seperti wafatnya pemimpin atau tokoh-tokoh Indonesia lainnya.

Peristiwa besar ini bukan saja menimbulkan dukacita yang dalam dan luas bagi banyak orang,

melainkan juga membangkitkan kemarahan, rasa brontak atau protes terhadap segala perlakuan

buruk sebelumnya, yang sunguh-sungguh biadab dan tidak manusiawi yang menyebabkan wafatnya

Mempunyai rasa duka terhadap wafatnya Bung Karno, meskipun sudah 40 tahun berlalu, adalah

wajar dan bisa dimengerti, mengingat besarnya arti Bung Karno bagi bangsa Indonesia. Selain itu,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

171 | P a g e

bersikap marah besar atau gusar sekali terhadap perlakuan yang begitu ganas dan keji atas

dirinya adalah sah, serta benar dan bahkan sudah seharusnya.

Mengutuk perlakuan biadab terhadap Bung Karno

Sebaliknya, tidak marah atau tidak mengutuk perlakuan yang keterlaluan biadabnya dari pimpinan

Angkatan Darat (waktu itu) terhadap Bung Karno adalah sikap yang salah, yang berdasarkan moral

yang rendah atau akhlak yang rusak. Sedang mengutuk atau menghujat segala hal yang tidak

manusiawi yang diperlakukan terhadap Bung Karno adalah benar, sah, adil, dan juga luhur.

Siapapun yang beradab, yang berhati-nurani, yang bernalar sehat, yang bermoral, akan tidak

menyetujui siksaan fisik dan bathin yang sudah dikenakan terhadap Bung Karno. Dan siapapun

yang merasa gembira, atau yang menyetujui, atau yang membenarkan perlakuan tidak manusiawi

pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) terhadap pemimpin besar bangsa kita adalah orang-orang

yang patut diragukan kesehatan jiwanya atau kewarasan nalarnya.

(Untuk mendapat sedikit gambaran tentang betapa biadabnya perlakuan terhadap Bung Karno

sebelum wafat, harap disimak kumpulan berbagai bahan yang sudah disajikan tersendiri melalui

berbagai milis dan juga website)

Pendidikan politik dan moral yang penting

Peringatan tentang hari wafatnya Bung Karno tidak saja patut menjadi sumber pelajaran yang

sangat berharga bagi para pendukungnya atau pencintanya yang jumlahnya besar sekali, melainkan

juga bagi mereka yang pernah anti-Bung Karno, atau bagi mereka yang tidak begitu mengenal

sejarahnya dan perjuangannya.

Peringatan sekitar peristiwa ini tidak saja bisa menjadi sumber pendidikan politik yang penting

sekali bagi banyak orang, melainkan juga sebagai sumber pendidikan moral yang ideal sekali bagi

rakyat luas, dan sekaligus juga menjadi sumber inspirasi perjuangan revolusioner bagi berbagai

golongan, terutama bagi generasi muda bangsa.

Dengan mendengar atau membaca kembali macam-macam bahan tentang wafatnya Bung Karno

dalam keadaan yang tidak normal, maka orang banyak bisa menilai sendiri betapa besar kejahatan

pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) yang berupa cara-cara biadab yang tidak bisa dima‘afkan

oleh nalar yang sehat, atau tidak bisa diterima oleh hati-nurani yang bersih, atau juga tidak bisa

dibenarkan oleh iman yang benar.

Bulan Juni dijadikan « Bulan Bung Karno »

Mengingat itu semuanya, maka dicetuskannya Pancasila oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945,

dan Hari Kelahirannya pada tanggal 6 Juni 1901 serta Hari Wafatnya pada tanggal 21 Juni 1970

adalah tiga hari sangat bersejarah yang untuk selanjutnya di kemudian hari patut diperingati oleh

bangsa kita secara selayaknya.

Tiga hari bersejarah ini membuat tiap bulan Juni sebagai « Bulan Bung Karno », yang dapat

digunakan oleh berbagai golongan rakyat untuk mengenang kembali keagungan satu-satunya

pemimpin besar bangsa yang telah berjuang dengan konsekwen selama seluruh hidupnya demi

kepentingan rakyat.

Mengenang kembali Bung Karno berarti juga mengingat kembali berbagai ajaran-ajaran

revolusionernya, yang sekarang ini terasa sekali dibutuhkan oleh banyak golongan sebagai

pedoman atau sumber inspirasi untuk mengadakan perubahan-perubahan besar dari keadaan serba

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

172 | P a g e

bejat akibat sistem pemerintahan Orde Baru dan politik pro-neoliberalisme yang dijalankan oleh

pemerintahan-pemerintahan pasca-Suharto sampai sekarang.

Sudah lama banyak orang melihat -- serta merasakan sendiri -- bahwa bangsa dan negara kita

sedang menghadapi kekosongan pedoman besar dan pimpinan nasional yang kuat dan dicintai

rakyat dan berwibawa seperti Bung Karno, sejak Suharto memerintah dengan Orde Barunya.

Keagungan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno

Kita semua ingat bahwa kalau Bung Karno telah berjasa dengan banyak sumbangan-sumbangan

besarnya untuk negara dan bangsa yang berupa berbagai ajaran-ajaran revolusionernya, maka dari

Suharto beserta para enderalnya -- atau tokoh-tokoh sipil pendukungnya -- sama sekali tidak

ada (atau sedikit sekali, itu kalau pun ada !) pedoman atau ajaran yang berharga yang bisa jadi

panutan bangsa.

Kalau kita perhatikan bersama, maka nyatalah bahwa selama Suharto bersama Orde Barunya

berkuasa (bahkan juga sesudahnya) tidak ada dokuman atau karya yang mengandung pemikiran-

pemikiran besar serta cemerlang yang sudah disajikan kepada bangsa, yang setingkat dengan

kebesaran ajaran-ajaran Bung Karno, seperti, antara lain : Indonesia Menggugat, Lahirnya

Pancasila, Manifesto Politik, Trisakti, Berdikari, pidato di Konferensi Bandung, Panca Azimat

Revolusi, pidato di PBB « To build the world Anew » dll dll.

Dari pengamatan sesudah Bung Karno digulingkan secara khianat oleh Suharto beserta para

jenderalnya, maka di Indonesia hanya terdapat sosok-sosok yang kerdil, atau tokoh-tokoh politik

yang « bonsai », yang jauh sekali perbedaannya dengan kebesaran sosok atau keagungan

ketokohan revolusioner Bung Karno. Sampai sekarang !

Sosok-sosok yang kerdil atau « bonsai »

Padahal, seperti yang kita saksikan bersama dewasa ini, negara dan bangsa kita sedang

menghadapi banyak persoalan-persoalan besar, yang berupa kerusakan moral yang sudah parah

sekali, dan kebejatan akhlak atau pembusukan mental yang disebabkan oleh korupsi, dan situasi

ekonomi dan sosial yang buruk akibat sistem politik yang busuk oleh kalangan-kalangan

« atas » yang bersikap dekaden, dan berkolaborasi dengan kekuatan neoliberalisme.

Sebagian kecil dari kerusakan-kerusakan parah itu tercermin dalam kegaduhan sekitar peristiwa

Bank Century, persoalan Bibid Chandra, kasus Gayus Tambunan, kasus pajak perusahaan-

perusahaan Aburizal Bakri, hiruk-pikuk usul « dana aspirasi » Rp 15 miliar untuk tiap anggota DPR

setahun, dan tersangkutnya para pembesar Polri, Kejaksaan, dan pengadilan dalam soal

korupsi dan berbagai kejahatan dll dll dll )

Di tengah-tengah kerusakan-kerusakan berat dan parah di bidang moral dan politik itu semualah

sebagian dari masyarakat kita memperingati Hari Wafatnya Bung Karno tanggal 21 Juni. Dan kita

semua tahu bahwa segala yang rusak parah yang sedang terjjadi dewasa ini, adalah hasil atau

kelanjutan dari produk yang dibikin oleh sistem politik dan praktek-praktek rejim Orde Barunya

Suharto beserta para jenderal pendukungnya.

Rejim Suharto adalah pengubur revolusi rakyat

Sekarang sudah terbukti, dengan jelas pula, bahwa rejim militer Orde Baru pada dasarnya telah

merusak cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Makin terang juga bagi banyak orang, bahwa pada

hakekatnya Suharto (beserta para jenderal pendukungnya) adalah pengkhianat Pancasila. Sudah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

173 | P a g e

tidak bisa dibantah oleh siapa pun yang berhati jujur bahwa Suharto bukanlah penyelamat

Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945 melainkan, sebaliknya, malahan merusaknya.

Jelasnya, Suharto bersama para jenderal pendukungnya adalah pengubur revolusi rakyat

Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno.

Dengan mengingat hal-hal itu semualah kita bisa menjadikan Hari Wafatnya Bung Karno sekarang

ini sebagai kesempatan yang baik sekali untuk mengangkat kembali tinggi-tinggi sejarah

perjuangannya serta ajaran-ajaran revolusionernya,

Hari wafatnya Bung Karno bisa kita jadikan bagian dari « Bulan Bung Karno » selama bulan Juni

tiap tahun yang mencakup juga tanggal lahirnya Pancasila ( 1 Juni) dan hari lahirnya Bung Karno (6

Juni).

Dengan cara begini kita semua dapat bersama-sama mengisi setiap bulan Juni dengan berbagai

kegiatan untuk memperingati tiga hari bersejarah yang berkaitan dengan Bung Karno.

Oleh karena dalam sejarah sudah dibuktikan dengan gamblang sekali bahwa perjuangan Bung

Karno adalah untuk kepentingan semua golongan bangsa Indonesia, maka seyogianya « Bulan Bung

Karno » ini juga menjadi urusan semua golongan yang mendukung berbagai gagasannya yang

revolusioner untuk menyatukan bangsa dan meneruskan revolusi yang belum selesai.

Dengan mengisi « Bulan Bung Karno » dengan berbagai kegiatan -- dan melalui berbagai macam

cara dan bentuk -- untuk mengangkat kembali ajaran-ajaran revolusioner dan gagasan-gagasan

agung Bung Karno, maka kita semua bisa menjadikan « Bulan Bung Karno » sebagai bulan

pendidikan politik, dan pendidikan moral, atau pemupukan semangat pengabdian kepada rakyat.

Ajaran-ajaran Bung Karno perlu disebarluaskan

Karena sudah lebih dari 45 tahun ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno telah dilarang, atau

disembunyikan, atau dibuang dengan berbagai cara oleh rejim Suharto (dan oemerintahan-

pemerintahan oenerusnya) maka segala macam kegiatan untuk menyebarkannya kembali adalah

penting sekali bagi kehidupan bangsa , termasuk bagi generasi muda dewasa ini dan anak cucu kita

dikemudian hari.

Sejarah bangsa sudah membuktikan bahwa ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno merupakan

gagasan-gagasan politik yang paling bisa mempersatukan bangsa, dan merupakan pedoman moral

revolusioner, serta sumber inspirasi perjuangan bagi rakyat yang mau berjuang, teutama bagi

kaum buruh, tani, perempuan, kalangan muda, dan rakyat miskin pada umumnya.

Bangsa Indonesia patut merasa bangga mempunyai ajaran-ajaran revolusioner dan gagasan-

gagasan agung yang telah disumbangkan oleh Bung Karno. Oleh karena itu ajaran-ajaran atau

gagasan-gagasan besarnya itu perlu disebarluaskan seluas-luasnya untuk dipelajari dan dihayati

oleh sebanyak mungkin orang dari berbagai golongan yang mau berjuang.

Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah senjata yang ampuh sekali bagi semua golongan

yang mau berjuang melawan ketidakadilan, penindasan, dan penghisapan dari semua kalangan

reaksioner di Indonesia, dan juga untuk melawan neo-liberalisme. Sari pati atau inti jiwa

revolusioner ajaran-ajaran revolusionernya itu dapat digali oleh siapa saja dalam berbagai

bukunya, terutama dalam « Dibawah Bendera Revolusi » dan « Revolusi Belum Selesai ».

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

174 | P a g e

Dengan semangat untuk menjunjung tinggi-tinggi ajaran-ajaran revolusionernya dan jasa-jasanya

yang besar kepada bangsa Indonesia inilah kita peringati Hari Wafatnya Bung Karno pada tanggal

21 Juni ini.

Paris, 14 Juni 2010

Umar Said

Menjelang Wafatnya Soekarno (1)

Berkas yang Hilang

Oleh Wahyu Dramastuti

Copyright © Sinar Harapan

Diposkan 27/07/2009

JAKARTA – Sembilan buku besar tertumpuk rapih di salah satu ruangan di rumah Rachmawati

Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta Selatan. Buku bertuliskan tangan

itu berisi medical record (catatan medis) mantan Presiden Soekarno selama sakit di Wisma Yaso,

Jakarta.

Ada pula tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan. Ini juga menjadi

bukti riwayat penyakit Bung Karno. Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas

Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Tapi yang lebih

membuat dahi ini berkernyit keras, nama pasien disamarkan. Misalnya, ada yang tertera namanya

Taufan (salah seorang putra Soekarno).

Menguak peristiwa yang terjadi tahun 1965-1970 itu memang tidak mudah. Pada masa lalu

membicarakan masalah ini secara terbuka menjadi hal tabu. Maka tak heran jika sekarang banyak

orang, terutama generasi muda, tak mengetahui kebenaran sejarah tersebut. Namun kini, ketika

semua mata dan seluruh perhatian tertumpah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sehubungan

dengan sakitnya mantan Presiden Soeharto sejak 4 Januari 2008, rasa ingin tahu tentang masa

lalupun kembali mengusik. Itu semata-mata karena Soeharto dan Soekarno sama-sama mantan

kepala negara.

Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri ketiga Soekarno, yang sangat ingin menyerahkan catatan

medis ayahnya kepada pemerintah. ―Ini kalau pemerintah butuh data-data pendukung dan ingin

melihat dari segi kebenaran, bukan hanya cerita fiktif,‖ tutur Rachmawati kepada SH di

kediamannya, Sabtu (19/1) sore. Maklum, seorang mantan menteri Orde Baru pernah berkomentar

bahwa perlakuan terhadap Soekarno ketika sakit tidak sekejam itu. ―Saya tak mau gegabah. Ini

bukan make up story, karena Kartono Mohamad saja (saat itu Ketua Ikatan Dokter

Indonesia/IDI-red), mengatakan perawatan terhadap Bung Karno seperti perawatan terhadap

keluarga sangat miskin,‖ kata Rachmawati.

Di sore hari itu, Rachmawati tidak sanggup bercerita banyak. Ia hanya tersedu sedan, hal itu

sudah menggambarkan betapa getir kenangan yang dialaminya. Tetapi sebuah artikel yang pernah

dimuat SH pada 15 Mei 2006, memberikan gambaran lebih lengkap. ―Seorang perempuan muncul di

Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an,‖ demikian kalimat pertama artikel tersebut. Perempuan itu

ingin bertemu Kartono Mohamad untuk menyerahkan 10 bundel buku berisi catatan para perawat

jaga Soekarno.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

175 | P a g e

Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter yang pernah merawat

Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa Soekarno ―hanya‖ mengalami stroke ringan

akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus

1965, dan sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi

bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari

proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-detik

proklamasi 17 Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.

Diperiksa Dokter Hewan

Setelah kembali lagi ke Jakarta, Kartono menemui Mahar Mardjono, dokter yang tahu banyak soal

stroke. Rupanya Kartono tak hanya bercerita soal stroke, tapi juga rentetan kejadian yang

dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Maka bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin

menguatkan kegelisahan Kartono.

Namun Indonesia di awal 1990-an, kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Maka bundel

buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, krisis

moneter meledak.

Rakyat turun ke jalan dan Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dipaksa

meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kartono pun teringat onggokan buku itu.

Ia bergegas ke RSPAD, rumah sakit yang mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso.

Kartono berharap dapat menemukan mereka, agar bangsa Indonesia mendapat cerita yang lengkap

tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun menemukan Dinah, Dasih, J. Sumiati, dan

Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain

sudah pensiun.

RSPAD pun mendadak tak memiliki file atau berkas dari para perawat ini. Kartono kehilangan

jejak. Upayanya untuk mencari medical record Soekarno gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa

keluarga Soekarno telah membawanya. Ketika ini ditanyakan kepada Rachmawati, ia hanya geleng-

geleng kepala. ―Tidak, tidak,‖ jawabnya lirih.

Yang membuatnya semakin terenyuh, sebelum dibawa ke Jakarta, Soekarno ditangani oleh dokter

Soerojo yang seorang dokter hewan. Jejak ini terlihat dari berkas berkop Institut Pertanian

Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi. Bahkan setelah dipindah ke RSPAD

karena sakit ginjalnya semakin parah, upaya untuk melakukan cuci darah tidak dapat dilakukan

dengan alasan RSPAD tidak mempunyai peralatan. Catatan medis juga menyebutkan obat yang

diberikan hanya vitamin (B12, B kompleks, royal jelly) dan Duvadillan, obat untuk mengurangi

penyempitan pembuluh darah perifer. Perihal tekanan darah tinggi yang juga disebutkan dalam

catatan medis, juga menyisakan tanya pada diri Rachmawati.

Setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi makanannya, masakan selalu terasa asin. ―Saya

kecewa dengan semua perawatan itu. Ini sama saja dengan membiarkan orang berlalu,‖ lanjut

Rachmawati.

Seorang mantan pejabat di era Presiden Soekarno membenarkan terjadinya fakta seputar masa

sakit Soekarno yang tersia-sia. ―Tidak seperti sekarang ini, perawatan terhadap Soeharto.

Sangat berbeda, padahal seharusnya semua mantan presiden berhak dirawat secara all out dan

diongkosi oleh negara,‖ katanya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

176 | P a g e

Purnawirawan perwira tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan seragam terhadap

Soekarno berasal dari sebuah instruksi. ―Yang memberi instruksi ya orang yang sekarang sedang

dirawat itu,‖ katanya.

Namun pria ini enggan dituliskan namanya. ―Wah, kalau ditulis di koran saya pasti digangguin…,‖

tuturnya dengan nada serius.

Menjelang Wafatnya sang Proklamator (2-Habis)

Mengistimewakan Soeharto, Menyia-nyiakan Soekarno

JAKARTA – Selembar foto hitam putih menguak penderitaan Soekarno ketika tergolek sakit di

Wisma Yaso, Jakarta, 15 hari sebelum ia wafat. Kedua pipinya terlihat bengkak, gejala fisik

pasien gagal ginjal.

Matanya sedikit terbuka, tapi tanpa ekspresi. Raut wajahnya menampak kepasrahan yang begitu

dalam. Soekarno terlihat berbaring di atas sofa berukuran sempit dengan sebuah bantal.

Kedua tangannya dicoba ditangkupkan. Siapa sangka, pria gagah inilah sang proklamator yang

mengantarkan Negara Indonesia ke pintu kemerdekaan hingga detik ini.

Gambar ini dibuat secara diam-diam oleh Rachmawati Soekarnoputri bersama Guruh

Soekarnoputra, 6 Juni 1970. Sebuah momentum bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno

yang ke-69.

Dik, ikut yuk, saya mau motret bapak,‖ tutur Rachmawati kepada adiknya, Guruh, kala itu.

Rupanya foto tersebut kemudian dikirimkan Rachmawati ke Kantor Berita AP dan dimuat di

Harian Sinar Harapan.

Maka gemparlah, dan Rachmawati diinterogasi oleh Corps Polisi Militer (CPM). Rachmawati pun

bertanya, ‖Mengapa dilarang memotret, memangnya status Bung Karno apa?‖

Tetapi tak pernah ada jawaban tentang apa status Soekarno, sampai detik ini. ‖Jadi semua

serbasumir. Tak ada kejelasan tentang status bapak sampai bapak meninggal,‖ kata Rachmawati

kepada SH di kediamannya di Jl. Jati Padang Raya No. 54A, Pejaten, Jakarta Selatan, Sabtu

(19/1) sore.

Di saat kondisi penyakit ayahnya semakin kritis dan putra-putri ingin membesuknya, mereka tetap

harus melapor dulu ke Pomdam Jaya, sehingga tidak dapat menengok setiap hari. Wisma

Yaso yang terletak di Jl. Gatot Subroto, Jakarta, itu padahal merupakan kediaman istri

Soekarno, yakni Dewi Soekarno. Begitu pula Soekarno sendiri, dalam kondisi sakit masih tetap

harus menjalani pemeriksaan oleh Kopkamtib tiga bulan sekali.

Situasi seperti itu semakin menambah kalut keluarga Soekarno, setelah sebelumnya didera

cobaan bertubi-tubi. Pada pertengahan 1965, sebuah rumor mengabarkan Soekarno mengalami

koma sehingga diperkirakan tidak bisa menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan

Proklamasi 17 Agustus 1965. Tetapi nyatanya, Soekarno hadir pada peringatan detik-detik

proklamasi tersebut di Istana Merdeka, lengkap dengan pakaian kebesaran dan tongkat

komandonya.

Tahun berikutnya, setelah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) diteken 11 Maret 1966,

keluarga Soekarno mendapat kiriman radiogram pada tahun 1967, berupa perintah supaya mereka

keluar dari Istana Bogor.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

177 | P a g e

Maka kemudian di tahun 1968, Soekarno pindah dari Istana Bogor ke Batu Tulis, masih di wilayah

Bogor. Ternyata hawa dingin di Bogor membuat penyakit rematik Bung Karno semakin parah. Saat

itu Soekarno ditangani oleh dokter Soerojo, dokter hewan. Bukti ini dikuatkan dengan dokumen

riwayat penyakit Bung Karno di atas tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar

kecokelatan.

Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan bagian Bakteriologi,

Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Menurut Rachmawati, penanganan dokter Soerojo saat itu pun

hanya bersifat insidental.

Lantaran rasa sakit makin tak tertahankan, akhirnya Soekarno mengutus Rachmawati untuk

menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Jakarta.

Saya diterima Pak Harto di Cendana, menyampaikan permintaan agar bapak dipindah ke Jakarta.

Saya harus menunggu jawabannya dua minggu, aduh…,‖ tutur Rachmawati tak habis pikir.

Akhirnya, Soekarno dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta, yang sekarang menjadi Museum Satria

Mandala.

Beberapa minggu kemudian dibentuklah tim dokter dengan ketua Mahar Mardjono. Tetapi karena

Wisma Yaso hanya rumah biasa, tentu saja fasilitas medis yang tersedia sangat berbeda dengan

jika dirawat di rumah sakit.

Tidak Cuci Darah

Hari-hari berikutnya, kondisi Soekarno menurun drastis. Seperti yang terdokumentasi dalam

foto Rachmawati tersebut, pipi Soekarno sudah membengkak, pertanda mengalami gagal ginjal.

Kondisi makin kritis. Hingga akhirnya pada 11 Juni 1970 mantan Presiden I RI itu dilarikan ke

Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.

Rupanya pindah perawatan ke rumah sakit tidak seluruhnya menyelesaikan masalah. Perawatan

yang diberikan tetap tidak maksimal dan peralatan medis seadanya. Pada saat dokter

memastikan harus dilakukan cuci darah, upaya satu-satunya ini tidak dapat dilaksanakan.

Alasannya, RSPAD tidak memiliki peralatan untuk cuci darah. ‖Ini sama saja membiarkan orang

cepat berlalu…,‖ tutur Rachmawati.

Begitu pula dengan obat-obatan, tidak tersedia di RSPAD sehingga putra-putri Soekarno

membelinya sendiri di apotek di Kebayoran. ‖Ada satu periode di mana saya tidak boleh

menengok bapak,‖ ungkap Rachmawati. Dalam keadaan genting seperti itu, keluarga masih tetap

tidak diizinkan tidur di rumah sakit untuk menunggui sang ayah. Mereka hanya boleh menunggu di

dalam mobil di tempat parkir.

Tak ada pula teman-teman yang bisa menjenguknya, kecuali Mohammad Hatta. Rachmawati

mengakui, selepas tahun 1965 memang terjadi de-Soekarno-isasi. Semua hal yang berbau

Soekarno harus disingkirkan sejauh mungkin.

Hingga akhirnya pada 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Jenazahnya kemudian disemayamkan di

Wisma Yaso dan dilepas oleh Presiden Soeharto untuk diterbangkan ke Blitar, Jawa Timur. Itulah

kali pertama Soeharto melihat fisik Soekarno setelah disingkirkan dari Istana Kepresidenan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

178 | P a g e

Yang menjadi inspektur upacara pada pemakaman itu Jenderal TNI M Panggabean, tanpa

kehadiran Presiden Soeharto di Blitar.

Mengapa pusara mantan Presiden I RI itu berada di kompleks pemakaman Desa Bendogerit,

Blitar? Lokasi itu dipilihkan oleh negara dengan alasan dekat dengan makam kedua orangtua

Soekarno. Pihak keluarga sebenarnya mengajukan permintaan sesuai wasiat Soekarno, yaitu

dimakamkan di Batu Tulis atau di lokasi lain di Bogor.

Juga ketika gaung agar Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang KKN mantan Presiden Soeharto

dikumandangkan kembali tatkala Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),

Rachmawati meminta dicabutnya Tap MPRS No. XXXIII/1967.

Tap MPRS itu intinya adalah mencabut mandat MPRS dari Soekarno dan mengangkat Soeharto

sebagai Pejabat Presiden. ‖Secara pribadi saya berharap ada rehabilitasi. Dan Tap MPRS harus

dicabut karena beban politik berbeda dengan beban pidana atau perdata,‖ lanjut Rachmawati.

Putri ketiga Soekarno itu pun hanya geleng-geleng kepala, ketika mengetahui kondisi kesehatan

Soeharto yang sedang dirawat di RSPP mulai membaik. Semua orang juga tahu, betapa

luar biasa dan istimewanya fasilitas untuk Soeharto.

Tetapi Rachmawati sama sekali tidak menaruh rasa dendam. Yang ia inginkan hanyalah,

kebenaran sejarah.

=== === = ===

Soekarno - Sejarah yang tak memihak

Oleh : Iman Brotoseno, 13 January 2008

Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya.

Selain rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya juga ingin ia bercerita mengenai

Presiden Soekarno. Ketika semua mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat

berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengar penuturan saat berpulang Sang

proklamator.

Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama tama bisa melihat secara langsung

jenasah Soekarno. Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan

Bapak ( almarhum ) sedang menangis sesenggukan. ― Pak Karno seda ― ( meninggal )

Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi.

Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu KKO ). Saat

itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO

Hartono - Panglima KKO – pernah berkata, ―Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata

Bung Karno, merah kata KKO―

Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, dia dengan

mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh

KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi

dengan panglimanya May. Jend Ibrahim Ajie.

Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi

pertumpahan darah sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia memilih

sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

179 | P a g e

The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi

mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke istana Bogor. Tak berapa lama

datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjend Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang

meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang. Buru buru Bu Hartini, istri

Bung Karno mengumpulkan pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya

dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.

― Het is niet meer mijn huis ― – sudahlah, ini bukan rumah saya lagi, demikian Bung Karno

menenangkan istrinya.

Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum akhirnya dimasukan

kedalam karantina di Wisma Yaso. Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim

Adjie diasingkan menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh

di rumahnya.

Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka

masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang suram,

terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial

Belanda. Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin – Gubernur Jakarta –

yang juga berasal dari KKO Marinir.

Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah serta baju hem coklat.

Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak. Kita tidak membayangkan kamar yang

bersih, dingin berAC dan penuh dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya

termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik

seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari dalam bisa

terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia !.

Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai di ruang tengah.

Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenasah, sebelum akhirnya

Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.

Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator.

Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor. Pihak

militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibu

kota. Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir. Tentu saja Presiden

Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.

Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa, ― Bung karno diinterogasi oleh

Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar,

dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung

Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya

diberikan.― ( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )

Dr. Kartono Muhamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari

1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi

penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi

penyempitan darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin

cuci darah tidak diberikan. ( Kompas 11 Mei 2006 )

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

180 | P a g e

Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut, ― Bung Karno justru dirawat oleh dokter

hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad ―

( Kompas 13 Januari 2008 ) dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap

hari tersedia dokter dokter dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih

didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Sekalipun

Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus

datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang

Presiden !

Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin bertambah sesak. Saya

membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah

mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ? Kisah

tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah menjadi hakiki karena selalu ada

tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban dari mereka yang

mempertentangkan benar atau salah. Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.

Mengasihani Soeharto, Mengasingkan Soekarno

Oleh : Fransisca Ria Susanti

Dimuat di Sinar Harapan, 15 Mei 2006

JAKARTA – Seorang perempuan muncul di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, awal

1990-an. Di tangannya, 10 bundel buku berisi catatan para perawat jaga. Ia ingin bertemu Kartono

Mohammad (Ketua IDI saat itu). Tak banyak percakapan di antara mereka. Perempuan itu

kemudian menghilang.

Jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping (dokter yang merawat mantan

Presiden Soekarno) di Hong Kong. Dari Wu, Kartono tahu bahwa Soekarno ―hanya‖ mengalami

stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal

Agustus 1965. Ia sama sekali tak mengalami koma.

Penasaran dengan keterangan ini, sampai di Jakarta, ia menemui Mahar Mardjono. Ia meyakini

satu-satunya dokter yang tahu banyak soal stroke saat itu hanya Mahar. Ia tak pernah

menyangka bahwa Mahar tak hanya berkisah soal stroke itu, tapi juga rentetan kejadian yang

membuatnya berkesimpulan bahwa ada pihak yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno.

Kartono gelisah.

Bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono. Namun,

Indonesia di awal 1990-an bukanlah negeri yang ramah. Kebenaran hanya boleh ditentukan oleh

penguasa. Bundel buku itupun terpaksa teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun.

Hingga kemudian, krisis ekonomi Asia meledak. Rakyat turun ke jalan dan Soeharto dipaksa

meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kebenaran tiba-tiba muncul dalam banyak versi.

Kartono pun teringat onggokan bukunya. Ia bergegas ke RSPAD, institusi yang mempekerjakan

empat perawat di Wisma Yaso, tempat di mana Soekarno dirawat dan meninggal sebagai

pesakitan. Ia berharap dapat menemukan mereka. Ia ingin bangsa Indonesia bisa mendapatkan

cerita lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno.

Namun menemukan Dina, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di

antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak memiliki

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

181 | P a g e

file dari para perawat ini. Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record

Seoekarno pun gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya.

Kartono, saat itu, tak yakin.

Hingga pekan lalu, di hadapan pers, Rachmawati Soekarnoputri berterus terang. Ia memiliki

catatan medis Soekarno dari tahun 1967-1968. Mirip dengan kesimpulan Kartono, Rachmawati

mengatakan bahwa Soekarno tak mendapat perawatan semestinya.

Medical record tersebut menyebut bahwa Soekarno mengalami gagal ginjal. Wu Jie Ping pun,

kepada Kartono, mengatakan bahwa Soekarno menderita batu ginjal dan tekanan darah tinggi

sebagai komplikasi.

Yang mengejutkan, kepada pers, Rachmawati mengatakan bahwa semua obat yang diberikan

kepada Soekarno harus mendapat persetujuan Soeharto. Soeharto juga menolak keinginan

keluarga agar Soekarno mendapat perawatan di luar negeri.

Pengakuan Rachmawati ini seolah membenarkan ―kemarahan‖ Mahar Mardjono saat ia menemukan

resep obat yang dibuatnya untuk Soekarno ternyata tetap tersimpan di laci seorang dokter di

RSPAD. Kepada Kartono, Mahar mengaku bahwa penyimpanan resep ini dilakukan atas sebuah

instruksi.

Dan dari catatan para perawat tersebut, Kartono menemukan bahwa tak ada dokter spesialis yang

memeriksa Soekarno. Satu-satunya dokter yang datang adalah Sularyo, seorang dokter umum.

Sementara itu, obat yang diberikan melulu vitamin (B12, B kompleks, dan royal jelly) serta

Duvadillan yang merupakan obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer.

Tak ada obat untuk menurunkan tekanan darah Soekarno saat mencapai 170/100 dan tak ada pula

obat untuk memperlancar kencing sewaktu terjadi pembengkakan. Dalam kondisi seperti inilah,

Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya pada 21 Juni 1970 di bumi yang ia perjuangkan

kemerdekaannya.

Tak Adil

Rachmawati berniat menyerahkan medical record ini ke pemerintah. Ia ingin menunjukkan fakta

bahwa negeri ini tak cukup adil dalam memperlakukan mantan presiden.

Berpuluh tahun, Soekarno diperlakukan sebagai seorang pecundang dengan keberadaan Tap MPRS

XXXIII/1967 yang mengaitkannya dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia tak pernah

diadili, meski tap tersebut jelas-jelas menyebut bahwa perlu ditempuh jalur hukum untuk

membuktikan tudingan ini.

Soeharto lebih memilih menyingkirkan Soekarno dengan mengasingkannya dan menjadikannya

sebagai pesakitan. Tak pernah ada niat untuk membuktikan tudingannya di pengadilan.

Sebagai gantinya, Soekarno mendapat pengadilan lewat citraan (image) sepihak yang dirancang

oleh media massa yang berada di bawah kendali kekuasaan, juga melalui kurikulum yang dipasokkan

ke generasi pasca-1960-an. Berpuluh tahun, Soekarno menjadi momok. Ada suatu masa, di mana

memasang gambarnya pun dicurigai sebagai makar.

Kini, saat publik ramai-ramai mempersoalkan pengadilan Soeharto—atas tudingan korupsi—

mendadak nama Soekarno kembali disebut. Para pejabat Negara beramai-ramai bicara soal

pengampunan. Tak hanya untuk Soeharto, tapi juga bagi Soekarno. Mereka menyebutnya:

rehabilitasi.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

182 | P a g e

Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut solusi ini semacam ―sogok‖ untuk meredam kemarahan

kaum Soekarnois saat belas kasihan yang ditunjukkan sejumlah pejabat negara kepada Soeharto

tampak begitu berlebihan.

Namun rehabilitasi, menurut Asvi, hanya cocok untuk Soekarno yang selama puluhan tahun

dituding berada di balik G30S. Sebuah tudingan yang kental dengan nuansa politis. Sementara

tudingan yang diarahkan ke Soeharto menyangkut soal korupsi, penyalahgunaan uang rakyat, yang

sama sekali tak berkaitan dengan tudingan politis.

Bagaimana mungkin ―obat‖ yang diberikan untuk Soeharto disamakan dengan Soekarno?

Barangkali ada kekhawatiran bahwa tudingan kepada Soeharto akan merembet pada kasus lain,

termasuk G30S yang ia tudingkan pada Soekarno dan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) yang terjadi di bawah kekuasaannya.

Jika toh ini terjadi, sebaiknya negeri ini belajar bersikap adil. Keadilan, menurut Asvi, tak hanya

cukup dilihat dari ―pengampunan‖ kepada Soekarno dan Soeharto, tapi juga mempertimbangkan

rasa keadilan mayoritas korban. Mereka yang kehilangan orang-orang terdekatnya, dimatikan

kebebasannya, dan dinjak-injak harga dirinya selama berpuluh tahun akibat kebijakan politis

yang dibuat Soeharto.

Ribuan orang dibuang di Pulau Buru dan disekap di penjara-penjara Indonesia tanpa pernah diadili,

ratusan ribu orang yang meregang nyawa hanya karena aspirasi politiknya, dan jutaan lainnya yang

menjadi tumbal atas nama legitimasi kekuasaan, dari Tanjung Priok, Talang Sari, hingga Papua.

Kita harus berdamai dengan masa lalu, bukan dengan melupakannya, tapi melihatnya secara lebih

jernih, sehingga masa depan tak lagi tampak menakutkan.

= = = = = = = = =

Soeharto Tindas Bung Karno

Oleh : Achmad Subechi, 10-9-2007

21 JUNI 1970… Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar yang memiliki kharisma dan

intelektual yang tak tertandingi di antara para pemimpin-pemimpin bangsa di Asia. Dialah

Soekarno. Ia pergi meninggalkan bumi pertiwi tanpa status hukum yang jelas. Akankah Soeharto

bernasib sama dengan Soekarno? Bagaimana cara Soeharto memperlakukan Soekarno?

SOEHARTO kini terbaring lemas di RS Pusat Pertamina (RSPP). Status hukumnya juga masih

belum jelas. Sama seperti apa yang dialami Soekarno 36 tahun yang lalu. Bedanya, status hukum

Soeharto lebih jelas. Artinya, ia pernah diseret ke Kejaksaan Agung dengan status sebagai

tersangka. Namun, di tingkat pengadilan –menyandang status terdakwa– Soeharto sama sekali tak

menyentuh karpet hijau hingga detik ini –dengan alasan kondisi kesehatannya tidak memungkinkan

untuk diadili.

Perbedaan lainnya, ketika Soeharto sakit, wartawan dengan leluasa boleh melaporkan hasil

liputannya melalui medianya masing-masing. Wajar saja kalau Siti Hardiyanti Indra Rukmana alia

Mbak Tutut mengucapkan rasa terima kasihnya kepada para kuli tinta. ―Atas nama keluarga, saya

juga berterima kasih kepada semua artawan yang sudah datang menjenguk dan mengabarkan

kondisi terakhir Bapak,‖ kata putri sulung Soeharto, dalam jumpa pers 7 Mei 2006 malam.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

183 | P a g e

Bagaimana dengan Soekarno? Pria asal Blitar itu sama sekali tak tersentuh oleh pers. Bukannya

pers tak tertarik untuk meliput kondisi kesehatan Bung Karno di Wisma Yaso, tetapi penguasa

Orde Baru, Soeharto sangat sangat ketat mengawasi Soekarno dengan menggunakan militer

sebagai alat untuk mengisolasi Bung Karno.

Awal tahun 1968, Bung Karno dipindahkan ke Istana Batutulis, Bogor. Sejak saat itu, praktis Bung

Karno dikarantina dan tidak bisa ditemui wartawan. Namun atas permintaan keluarganya, karena

udara disana terlalu dingin, maka Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso –kini Museum Mandala

Bhakti, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

Di tempat itu Bung Karno diinterograsi dan ditahan. Sejak itu Bung Karno benar-benar terisolasi

dari dunia liar. Suatu hari terdengar kabar bahwa kesehatan Soekarno makin memburuk. Seorang

fotografer Associated Press, Piet Warbung, nekat mengambil gambar Bung Karno. Pria itu

berhasil mengambil foto Bung Karno. Selama beberapa hari, Piet Warbung berjaga di bawah

pohon di depan masjid kecil yang waktu itu ada di samping Wisma Yaso. Dengan tele-lens, ia

kemudian berhasil memotret Bung Karno yang sedang berdiri, tanpa peci, di depan pintu Wisma

Yaso. Foto itulah yang kemudian tersebar ke seluruh dunia.

Upaya memotret Bung Karno tidak hanya dilakukan wartawan AP. Tanggal 6 Juni 1970 ketika

kondisi kesehatan Bung Karno makin memburuk –pas di hari ulang tahunnya ke 69 — Rachmawati

dan Guruh dengan sembunyi-sembunyi memotret bapaknya yang terbaring di tempat tidur. Foto

itu lalu dibocorkan keluar. Dan tampaknya foto-foto tersebut merupakan foto terakhir Bung

Karno semasa masih hidup yang dimuat pers dunia.

Beberapa hari kemudian –11 Juni 1970– Bung Karno dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat

(RSPAD) karena kesehatannya yang kian parah. Sang Proklamator itu akhirnya meninggal pada 21

Juni 1970, pukul 07.00 pagi. Dunia hari itu berduka, karena kehilangan seorang tokoh yang

memiliki kharisma di mata rakyat Indonesia.

SELAMA ditahan di Wisma Yaso tanpa kepastian hukum yang jelas, Bung Karno menderita tekan

psikis berkepanjangan. Istri keempat Bung Karno, Ratna Sari Dewi memberikan kesaksian, disaat-

saat terakhir suaminya hendak pergi meninggalkan alam fana ini, ia berada disampingnya. ‖Saya

ada disamping Bapak ketika beliau begini: kekhh… kekhh… kekkh..,‖ kata Ratna Sari Dewi

suatu hari, sambil memperagakan suara Soekarno yang sedang sekarat.

Bapak sudah mulai begitu pukul empat sore, sampai meninggal pukul empat pagi. Jadi dua belas

jam, ini luar biasa.‖ Suatu hari kata Ratna Sari Dewi, ia bertemu dengan lima orang anggota tim

dokter untuk meminta penjelasan terhadap kondisi kesehatan suaminya. Namun seorang di antara

mereka mengatakan, tim dokter tak boleh memberikan laporan apa pun tanpa seizing atasan. ‖Ya,

itu berarti Jenderal Soeharto kan?‖ ujarnya ketika ditanya siapa yang dimaksud atasan. Dari hasil

konsultasinya dengan dokter di AS, Prancis, dan Jepang, ada dugaan Bung Karno meninggal akibat

kelebihan dosis obat tidur. Hal itulah yang mengherankan Dewi, karena Bung Karno tidak pernah

minum obat tidur.

Tetapi para dokter yang dihubunginya menjelaskan, obat tidur juga dapat diberikan dengan cara

injeksi. Jadi, tambah Dewi, Bung Karno dibunuh secara perlahan dengan suntikan oleh tim dokter

atas perintah Soeharto. ‖Saya kira begitu. Mungkin Soeharto kesal, kok Bapak tak juga

meninggal.‖

Dewi juga menduga, suaminya dibiarkan cepat mati agar tidak sempat lagi berbicara dengannya.

Ia juga menyatakan, kisah Bung Karno yang jatuh koma dan harus dilarikan ke RSAD adalah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

184 | P a g e

bohong besar. Buktinya, ketika Dewi bertanya kepada penjaga Wisma Yaso, tempat Soekarno jadi

tahanan rumah, diperoleh jawaban bahwa sebelum dibawa ke RSAD, Bung Karno sama sekali tidak

sedang mengalami koma berat.

Penjaga wisma itu mengatakan, sebelum dibawa ke RSAD, ada tentara tak dikenal yang memaksa

bapak, agar bersedia ditandu dan dibawa ke rumah sakit. Waktu itu Bapak tidak mau dibawa ke

rumah sakit,‖ tutur Dewi dengan mata berkaca-kaca.

Penahananan dan pengisolasian yang teramat kejam oleh rezim Orba, kemudian siksaan lahiriah – –

penahanan rumah, sangat tidak memadainya pengurusan kesehatan, dan isolasi politik serta

mental–mempercepat proses kematian Bung Karno. Saksi sejarah Roeslan Abdoelgani pernah

mengatakan, ―Bung Karno dalam keadaan terasing dan terkungkung.‖

ZAMAN telah berubah. Salah satu putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi

Wapres mendampingi Gus Dur. Namun, Megawati bukanlah tipe wanita pendedam. Aparat hukum

diminta bekerja secara profesional. Akhir Mei 2000, Soeharto mendapatkan status tahanan

rumah.

Perlakuan rezim baru terhadap Soeharto, masih manusiawi. Artinya, Soeharto boleh tinggal di

rumah kebanggannya Jl Cendana. Selain itu Jaksa Agung masih memberikan izin kepada keluarga,

dokter, dan pengacaranya untuk mengunjungi Soeharto.

Semula Kejaksaan Agung mengalami kesulitan mencari tempat yang aman buat Soeharto, gara-

gara mantan penguasa Orde Baru itu sering didemo mahasiswa. Malah, ketika itu ada rencana mau

memboyong ke hotel segala. Sebaliknya, keluarga Soeharto segera menyatakan keberatan dengan

rencana pemindahan itu. Alasannya, kondisi kesehatannya membutuhkan tempat yang tenang dan

familiar untuk terapi. ―Kalau dipindahkan, sama saja dengan membunuh pelan-pelan Pak Harto,

berarti mereka tidak mempunyai keinginan untuk memberkas kasus ini,‖ kata Denny Kailimang,

salah satu penasihat hokum Soeharto, waktu itu.

Kini naiknya SBY menjadi presiden, semakin membuka pintu terhadap status hukum Soeharto.

Wacana agar pemerintah memberikan amnesti atau abolisi semakin menggalir dan seakan

mendapat dukungan dari semua pihak. Ada pro dan kontra. Namun, di mata aktivis Forkot — tokoh

gerakan reformasi 1998–pemberian amnesti atau istilah lainya sama dengan meruntuhkan sistem

hokum di Indonesia. ―Okey bahwa amnesti adalah hak prerogatif presiden. Akan tetapi bagaimana

seorang kepala negara memberikan pengampunan, sementara sampai saat ini Soeharto belum

pernah dinyatakan bersalah oleh hakim,‖ katanya. (achmad subechi)

* * *

Mengenang Wafatnya Bung Karno

Hari ini, 21 Juni 2010. Empat puluh tahun yang lalu, seorang pemimpin Besar Bangsa, pejuang

kemerdekaan dan revolusi yang sejak mudanya mengorbankan masanya demi bangsa yang

dicintainya, Presiden Pertama Republik Indonesia Bung Karno, wafat dalam derita yang

mengenaskan.

Wafatnya Bung Karno merupakan kehilangan yang besar sekali bagi bangsa Indonesia, terutama

bagi yang mencintainya, menghormatinya, mengaguminya, sebagai bapak bangsa, dan sebagai

pemersatu bangsa yang paling agung sepanjang sejarah Indonesia..

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

185 | P a g e

Ketokohan Bung Karno sebagai Pemimpin, bukan saja diakui oleh bangsa Indonesia, namun juga

dunia mengakuinya karena banyak karya dan ide-idenya, ajaran-ajarannya yang tersebar di dunia

luar dan diakui terutama oleh negara-negara Asia Afrika yang berjuang dan berhasil memutuskan

rantai penjajahan atas negerinya. Bahkan, Bung Karno tidak segan-segan berbicara di depan

Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertekad membangun dunia baru, "To Build

a World Anew" dengan memperkenalkan dan menganjurkan agar dunia juga menganut Pancasila

(Five Priciples).

Akan tetapi, sayang sekali, wafatnya Bung Karno tidak seperti wafatnya pemimpin atau tokoh-

tokoh Indonesia lainnya. Bung Karno meninggal karena dizalimi dan dianiaya oleh seorang manusia

militer yang bernama Suharto.

Jenderal Suharto, dengan sangat licik dan keji, menggunakan Bung Karno untuk menghabisi semua

pendukung-pendukungnya. Melalui Sarwo Edhi Wibowo, Sudomo, Kemal Idris, Sumitro, Jasir

Hadibroto dan petinggi militer yang bisa dan gampang diperintahnya, melakukan pembunuhan

massal terhadap jutaan bangsa Indonesia pendukung Bung Karno, sebagai dalih mengganyang

G30S. Jutaan bangsa Indonesia mati dibunuh, ratusan ribu dipenjarakan, 12 ribu dibuang ke pulau

Buru, dan ribuan yang berada di luar negeri dicabut paspor Indonesianya. Sedang keluarga dan

sanak saudara kaum kiri yang dimusnahkan, dijadikannya sebagai golongan yang tidak bersih dan

dikucilkan dari masyarakat dan dianggap kaum pariah melalui peraturan-peratruran diskriminatif.

Setelah semua pengikut dan pembela Bung Karno dipreteli dan dimusnahkan, dengan segala dalih

dan akal licik, Bung Karno sendiri dizalimi. Dengan menggunakan istitusi di bawah bedil dan

bayonet Jenderal Suharto, Bung Karno dicabut kekuasaannya dan didepak keluar dari Istana

Merdeka dan dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso. Bung Karno dijadikan Tahanan Politik

Ordebaru/Suharto, persis seperti ratusan ribu rakyat yang ditahan di kamp-kamp tahanan yang

berserakan disegenap penjuru Indonesia. Suharto menjadi orang nomor satu di Indonesia, berkat

kelicikan dan akal busuknya serta politik dedil dan bayonet yang dilakukannya. Dia menjadi "the

smilling general" karena dia berhasil melenyapkan jutaan kaum kiri dan PKI serta menjatuhkan

Bung Karno, dimana Amerika Serikat sendiri tidak berdaya melakukannya!

Wafanya Bung Karno menimbulkan duka cita yang luas dan mendalam bagi segenap bangsa

Indonesia, secara terang-terangan maupun secara sembunyi (karena takut ditangkap dan dibui

oleh nazinya Suharto). Rakyat marah, dendam dan sakithati terhadap segala perlakukan keji,

biadab dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan Suharto terhadap Bung Karno hingga

menyebabkan wafatnya. Kita kehilangan Bung Karno, Pemimpin Bangsa yang susah untuk dicari

gantinya. "Belum ada yang menandingi Soekarno sampai sekarang.. Dialah yang mengerti 'nation'

Indonesia. Karena itu juga, Soekarno-lah yang tidak jemu-jemunya menganjurkan tentang 'nation

and character building' (Ucapan Pramoedya Ananta Toer dalam film dokumen Shadow Play)

Bung Karno telah tiada. Hari ini tepat 40 tahun yang lalu dia mati mengenaskan, dizalimi dan

dianiaya oleh seorang militer yang pernah diselamatkannya. Bung Karno pergi, meninggalkan

bangsa Indonesia yang dicintainya. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak, seorang

penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno, lahir,

hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! "Yo sanak yo

kadang yen mati aku sing kelangan!" Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan

senantiasa mengenangnya!

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

186 | P a g e

Untuk mengenang hari-hari akhir Bung Karno, dibawah ini dikutip beberapa cuplikan berita

tentang hari-hari akhir Bung Karno, Pemimpin Besar, Bapak Bangsa dan Presiden Pertama Republik

Indonesia. Salah satu cuplikan adalah dari anak Bung Karno sendiri, Rachmawati, yang dikutip dari

Harian Jawa Pos, sbb.:

1. Me-nurut informasi yang ditulis pada 12 April 2003 oleh A. Karim D. P., mantan Ketua

Persatuan Wartawan Indonesia, dikatakan bahwa "Jenderal Soeharto, memerintahkan

kepada Bung Karno supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus

1967. Bung Karno beserta anak-anaknya pergi dari istana dengan berpakaian kaos oblong

dan celana piyama dengan kaki hanya beralaskan sandal, menompang mobil Volkswagen

Kodok, satu-satunya mobil milik pribadinya yang dihadiahkan oleh Piola kepadanya, pergi

ke Wisma Yaso, di mana kemudian menjadi tempat tahanannya sampai wafat. Semua

kekayaannya, ditinggalkan di istana, tidak sepotong pun yang dibawa pergi kecuali Bendera

Pusaka Merah Putih yang dibungkusnya dengan kertas koran. Anak-anaknya pun tidak

diperbolehkan membawa apa-apa, kecuali pakaian sendiri, buku-buku sekolah, dan

perhiasannya sendiri. Selebihnya, ditinggalkan semua di istana....." (A. Karim DP., Apa

Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan, http://www.progind.net)

2. Selama ditahan di Wisma Yaso, Bung Karno diperlakukan sangat tidak manusiawi sekali.

Bung Hatta, mantan wakil presiden pertama RI, sahabat Bung Karno, menceritakan

bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekadar mengizinkan

mendatangkan seorang dukun pijat, ahli pijat langganan Bung Karno dan juga langganan

Bung Hatta, ditolak oleh Soeharto! Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan

dukun ahli itu, penderitaannya bisa sedikit berkurang. Penolakan Soeharto itulah yang

kemudian mendorong Bung Hatta menulis surat pada 15 Juli 1970 kepada Soeharto yang

mengecam betapa tidak manusiawinya sikap Soeharto itu! Bung Hatta minta kepada

Soeharto lewat Jaksa Durmawel, S.H., agar dilakukan pengadilan untuk memastikan

apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Bung Karno meninggal dalam statusnya

sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat yang percaya bahwa Bung Karno tidak

bersalah, akan menuduh pemerintah Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta."

(Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik, http://www.progind.net)

3. BUNG KARNO yang penyakitnya tambah parah dalam tahanan rumahnya, tiada mendapat

pengobatan yang wajar, bahkan resep pengobatan hanya disimpan di laci oleh seorang

pejabat tinggi militer. Untuk ini, mari kita telusuri kisah putri Bung Karno, Rachmawati,

"Mengenang Saat Terakhir Mendampingi Bung Karno" seperti yang diceritakan oleh

Harian Jawa Pos.

AIR mata Rachmawati membasahi pipi. Meski sudah 38 tahun berlalu, anak ketiga Bung Karno

dengan Fatmawati itu belum bisa melupakan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintahan

Soeharto terhadap sang ayahanda di penghujung hayatnya.

"Bung Karno saat itu seperti dibiarkan mati perlahan-lahan," katanya kepada Jawa Pos sambil

mengusap air matanya dengan tisu saat ditemui di kediaman di kawasan Jakarta Selatan kemarin

(19/1).

Menurut perempuan kelahiran Jakarta, 27 September 1950, presiden pertama RI itu dilarikan ke

RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, dalam kondisi kritis pada 11 Juni 1970.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

187 | P a g e

Berbeda dengan Soeharto yang mendapat perawatan supermaksimal dari tim dokter kepresidenan

beranggota 25 dokter, Bung Karno mendapat perawatan minimal pada hari-hari terakhir menjalani

opname di rumah sakit milik TNI-AD itu. Kondisi ginjal salah satu proklamator RI waktu itu sudah

sangat parah.

"Tapi, tak ada perawatan maksimal. Alat hemodialisis (cuci darah) untuk pengidap gagal ginjal pun

tak diberi," kenang wanita bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno yang kini menjadi

anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.

Saat Bung Karno sakit kritis, lanjut dia, Soeharto melakukan konsolidasi politik pasca G 30

S/1965. Tak heran bila saat itu dia sedang membersihkan tubuh birokrasi dan militer. Tidak

hanya dari unsur-unsur PKI, tapi juga dari orang-orang Soekarnois.

Asupan makan untuk Soekarno yang juga disebut pemimpin besar revolusi itu pun seadanya.

Kendati juga didiagnosis mengidap darah tinggi, menu makanan untuk Bung Karno terasa asin saat

dicicipi Rachmawati.

Adik kandung Megawati pun langsung protes dan baru setelah itu menu makanan diganti. "Bung

Karno seperti dibiarkan mati perlahan-lahan," imbuhnya.

Gadis yang saat itu berusia hampir 20 tahun dan kuliah di Fakultas Hukum UI memang paling rajin

membesuk di hari-hari terakhir sang Putra Fajar tersebut. Namun, soal membesuk juga bukan

urusan mudah dan jangan dibayangkan seperti keluarga Cendana yang kini bisa hilir mudik ke

Rumah Sakit Pusat Pertamina setiap saat.

Tak gampang mengakses tempat perawatan Bung Karno yang saat itu statusnya diambangkan

laiknya tahanan rumah. Bahkan, tak ada kolega Soekarno yang datang mengalir seperti yang

terlihat pada Soeharto hari-hari ini.

Menjenguk Soekarno memang sulit. Sebab, ruang perawatan intensif RSPAD Gatot Subroto

dipenuhi tentara. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik

strategis rumah sakit tersebut. Bahkan, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di

koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.

Yang repot, kata Rachmawati, obat-obatan pun tak datang dari langit. Mereka harus membeli

sendiri. "Pokoknya beda, beda banget. Ini perjalanan sejarah yang pahit," sambung Rachmawati

yang harus tidur di mobil jika hendak menunggu ayahnya yang dirawat di RSPAD.

Bahkan, Rachmawati yang pada 6 Juni 1970 sempat memotret Bung Karno yang saat itu diasingkan

di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Red), Jakarta Selatan, harus berurusan dengan

polisi militer di Jl Guntur, Jakarta Pusat.

Pasalnya, foto yang menunjukkan kondisi terakhir Bung Karno itu dikirimkan Rachmawati ke

Associated Press (kantor berita yang berpusat di Amerika) yang kemudian memublikasikannya ke

seluruh dunia.

Salah seorang yang bisa menjenguk Bung Karno saat itu adalah mantan Wakil Presiden Mohammad

Hatta. Bung Karno sempat memegang tangan Bung Hatta, sahabat seperjuangan yang juga

proklamator RI itu, kemudian menangis. Sehari kemudian, tepatnya Minggu pagi, 21 Juni 1970,

beberapa saat setelah diperiksa dr Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan,

Bung Karno akhirnya mengembuskan napas terakhir pada usia 69 tahun.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

188 | P a g e

Setelah Bung Karno meninggal itulah, baru Soeharto datang ke RSPAD untuk melihat kondisi

jenazah Soekarno. Pertemuan itu, menurut Rachmawati, adalah yang pertama antara ayahnya -

yang telah tiada- dan Soeharto semenjak ayahnya jatuh dari kursi presiden dalam Sidang

Istimewa 7 Maret 1967.

Orang kuat Orde Baru itu kembali datang ke Wisma Yaso saat jenazah Soekarno hendak

diterbangkan ke Blitar melalui Malang, Jawa Timur.

Di Blitar, upacara pemakaman Soekarno dilaksanakan dengan sederhana dan singkat dipimpin

Jenderal M. Panggabean. "Rasa-rasanya, hari itu begitu mencekam. Kami hanya menurut saja saat

pemerintah memakamkan Bung Karno di Blitar. Bukan sesuai permintaannya di Batu Tulis, Bogor,

Jawa Barat," kenang mantan ketua umum Partai Pelopor itu.

Bendera setengah tiang pun berkibar di seluruh tanah air kendati setelah itu tak semua orang

bebas datang ke kubur Bung Karno.

Rachmawati mengaku sama sekali tak menaruh dendam atas tindakan Soeharto kepada ayahnya.

Secara pribadi dan sebagai manusia, dia malah memaafkan Soeharto. Tapi, dia tetap menuntut

penyelesaian hukum kepada jenderal bintang lima yang berkuasa selama 32 tahun itu. Kalaupun

pemerintah memutuskan untuk mencabut Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang menyangkut Soeharto, Rachmawati juga meminta

pencabutan Tap XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari

Presiden Soekarno.

Apakah karma Bung Karno yang kini menimpa Pak Harto? "Wallahu 'alam. Tapi, alhamdulillah, kalau

Pak Harto kembali sehat sekarang," jawabnya.

Kendati belum sempat membesuk, Rachmawati telah menghubungi dua putri Soeharto, Mamik dan

Titik, serat mendoakan kesembuhan ayah mereka. "Kami bangga diwarisi Bung Karno dengan bekal

ilmu kehidupan. Bukan harta berlimpah," katanya lalu menyeka air mata."

Demikian wawancara dengan Rachmawati sebelum Jenderal Soeharto meninggal.

Bung Karno telah tiada, bapak bangsa dan rakyat Indonesia, pejuang kemerdekaan Indonesia

telah pergi. Dia meninggal, mati dalam mempertahankan rakyatnya, bangsa dan negaranya agar

tidak terpecah-belah. Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto

berupa pangkat jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya,

kemudian Soeharto mengkhianatinya. Bung Karno mati mengikuti jalan yang telah dirintis oleh

jutaan pengikutnya, yaitu dibantai Soeharto. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak,

seorang penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno,

lahir, hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! "Yo sanak yo

kadang yen mati aku sing kelangan!" Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan

senantiasa mengenangnya!

Australia, 21 Juni 2010

Y.T. Taher.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

189 | P a g e

HIDUP BUNG KARNO !!!

Mohammad As.

Kiranya tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk diucapkan jika ditujukan kepada Bung Karno,

selain dari tiga kata tersebut, yang kalau dituliskan, ditulis dengan huruf besar dan tebal serta

diiringi dengan tiga tanda seru. Tiga kata tersebut di atas lebih menjiwai perasaan kita daripada

segala ucapan rasa cinta, rasa hormat dan setia akan ajaran-ajaran serta cita-citanya.

Begitu juga untuk memperingati Hari Ulang Tahun beliau tanggal 6 Juni yang akan datang, marilah

kita memekik sekeras-kerasnya dari lubuk hati sedalam-dalamnya:

HIDUP BUNG KARNO !!!

Sangatlah sukar, jika bukan tidak mungkin, untuk membayangkan bagaimana jalan sejarah

andaikata di bumi Indonesia tidak pernah lahir seorang yang bernama Bung Karno. Mantan Kepala

Staf Angkatan Perang T.B.Simatupang, dalam tulisannya tentang Bung Karno menyatakan: ―Namun

hidup kita sebagai Negara dan Bangsa agaknya akan jauh lebih miskin sekiranya dia tidak pernah

hidup dan berjoang di antara dan bersama-sama kita‖.

Sampai seberapa jasa-jasa Bung Karno untuk bangsa dan negara, tidak lagi dapat diukur. Di tahun-

tahun tigapuluhan, Bung Karno lah yang berhasil mempersatukan segala macam bentuk gerakan,

dengan meyakinkan bahwa tujuan utama rakyat Indonesia ialah membebaskandiri dari penjajahan

Belanda dan bahwa musuh pokok rakyat Indonesia pada waktu itu ialah penjajah Belanda. Bung

Karno lah pencetus Pancasila yang kemudian menjadi dasar dan filosofi negara kita. Bung Karno

lah yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sehingga diikuti oleh semua suku bangsa dari

Sabang sampai Merauke. Bung Karno lah yang berusaha menyatukan bangsa dengan NASAKOM-

nya. Bung Karno lah yang menjadi arsitek konferensi Asia-Afrika. Bung Karno lah yang......... Bung

Karno lah yang.......... Bung Karno........................... Bung Karno................................... Bung Karno

....................................... Bung Karno adalah seorang raksasa yang telah lahir di bumi Indonesia. Bung

Karno adalah seorang pahlawan dan pemimpin yang, seperti Danco dalam dongengannya Maxim

Gorki, ketika bangsanya berada dalam kegelapan telah merenggut jantung dari dalam dadanya

untuk diangkat tinggi-tinggi sebagai penerangan jalan ke arah kemerdekaan dan kebahagiaan.

Raksasa macam begini, mau tidak mau pasti menimbulkan rasa kagum dan hormat, bukan saja oleh

kawan, tapi juga oleh lawan. Hanya manusia-manusia kerdil, berwatak kerdil dan berjiwa kerdil,

berusaha menyembunyikan kekerdilannya dengan menghina dan mencemoohkan Bung Karno.

Setelah Bung Karno tiada, mereka berusaha mengubur jasa-jasanya bersama dengan jenazahnya.

Mereka juga berusaha mengubur ajaran-ajarannya dalam debu sejarah yang terlupakan dengan

melarang rakyat membaca tulisan-tulisannya. Setelah Bung Karno tiada, mereka berteriak

setinggi langit bahwa Bung Karno seorang politik yang telah gagal, bahwa Bung Karno telah gagal

dalam merealisasi impian dan cita-citanya. Mereka berteriak bahwa Bung Karno sudah terkalahkan

untuk selama-lamanya.

Padahal yang selalu diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-citakan oleh Bung Karno, ialah negeri

Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai. Yang diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-

citakan oleh Bung Karno ialah bangsa Indonesia yang berharga diri, bermartabat dan

berbudaya tinggi. Apakah ini semua sudah gagal? Apakah cita-cita ini sudah terkalahkan? Apakah

Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai sudah tidak mungkin lagi direalisasi? Apakah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

190 | P a g e

bangsa Indonesia tidak mungkin lagi menjadi bangsa yang berharga diri, bermartabat dan

berbudaya tinggi? Jelas tidak!

Memang Bung Karno telah gugur dalam perjuangannya sebelum cita-cita dan impiannya berhasil

menjadi kenyataan. Akan tetapi Bung Karno sama sekali tidak gagal dan juga sama sekali tidak

terkalahkan, karena impiannya, cita-citanya sudah diwarisi dan akan terus diwarisi serta

membakar hati rakyat Indonesia. Pada suatu hari, cita-cita Bung Karno, impian Bung Karno,

Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai pasti akan menjadi kenyataan. Pada suatu hari,

bangsa Indonesia pasti menjadi bangsa yang berharga diri dan berbudaya tinggi. Pada suatu hari,

meskipun dia sudah tiada, Bung Karno dengan cita-citanya pasti akan mengalami kemenangan yang

gemilang.

Memang Bung Karno akhirnya gugur. Bukan terbunuh oleh ledakan granat atau tertembus peluru

musuh, akan tetapi dibunuh pelan-pelan oleh seorang pengkhianat bangsa bersama kroni-kroninya,

manusia-manusia kerdil lainnya. Howard P. Jones, bekas Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia,

pernah menulis: ―Sukarno terlalu sering menjadi korban dari kepercayaannya sendiri terhadap

rakyatnya. Di samping kepintarannya sebagai orang Timur dalam bidang politik kecurigaannya

terhadap Barat yang bias dimengerti sebabnya, ia memiliki kepercayaan yang naif terhadap

perseorangan dan keyakinan yang berbau mistik terhadap rakyat Indonesia dan kecintaan mereka

kepadanya. Sukarno tidak bisa percaya bahwa ada orang Indonesia yang bermaksud jahat

padanya.‖

Memang mungkin buat Howard Jones sifat Bung Karno ini dianggapnya naif. Tetapi apakah

ini bukan justru menunjukkan kebesaran jiwanya? Bahwa kemudian dia gugur akibat pengkhianatan

manusia kerdil karena kebesaran jiwanya, mungkin memang itu sudah menjadi nasib yang tak

terhindarkan buat seorang pahlawan seperti dia.

Marilah kita kutip tulisan Rachmawati Sukarno th.1976 mengenai hari-hari akhir Bung Karno,

untuk melihat sampai seberapa kekerdilan jiwa manusia macam Suharto beserta kroni-kroninya.

―....... sakitnya Bapak makin parah, terlebih-lebih karena ada periode di mana tidak seorang

anggauta keluarga pun yang boleh menemani. Sejak itu, tempat di mana Bapak di-―karantina‖-kan

dengan ketat, sunyi, sepi sekali. Bisa dibayangkan betapa kesunyian mencekam di dalam gedung

yang besar itu.

Kurang terurus adalah kesan yang jelas timbul dari wajah Bapak dan tempat tinggalnya pada

waktu itu, ketika penulis akhirnya diperbolehkan bertemu kembali pada sekitar tahun 1969.

Mengapa sampai separah itu keadaan Bapak? Penulis tidak habis pikir, sedih bercampur gemas

dalam perasaan pada waktu itu.

Ketika penulis menanyakan keadaan Bapak selama tidak diperbolehkan bertemu anak-anak dan

keluarganya, Bapak hanya berkata ―di-interogasi‖. Dan sejak itu Bapak hanya berbaring

terus, karena jalan pun sudah sangat sulit, harus dipapah, tidur di atas sofa, tapi tidak

mengurangi membaca majalah yang dibawakan oleh keluarga dari luar (itu pun setelah disensor)

dan sembahyang berbaring. Pemeriksaan secara medis memang masih tetap dilakukan, tapi kesan

yang timbul hanya pemeriksaan ala kadarnya, mengingat penyakit yang diderita Bapak adalah

chronis dan complex yang membutuhkan perawatan khusus. Perasaan yang timbul dari seorang

anak kepada bapaknya – hal ini memang menyedihkan sekali, tapi kesedihan itu selalu ditutupi

dengan perasaan bahwa Bapak adalah seorang pejuang besar, sehingga kepedihan dan kesedihan

ini adalah hanya sebagai konsekwensi dari perjuangannya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

191 | P a g e

Perjuangan yang dirintisnya mulai dari usia yang relatif muda sekali sehingga detik Bapak

terkapar di atas sofa di dalam kesunyian yang mencekamnya di alam Negara Merdeka yang

dibebaskannya bersama-sama pejuang-pejuang lainnya dahulu dari tangan musuh, sungguh tragis

rasanya. Pada hal status Bapak tidak jelas, artinya dibilang tahanan politik bukan, pensiunan

bukan, Presiden juga bukan, karena tidak ada yang diakui secara jelas dan gamblang. Tapi

demikianlah kenyataannya.

Tanggal 6 Juni 1970, Hari Ulang Tahun Bapak yang ke 69. Penulis bersama Guruh (adik penulis)

secara diam-diam mengambil photo-photo Bapak di dalam ―karantina‖ karena jelas kalau sampai

ketahuan security pada waktu itu pasti dilarang. Apakah bukan suatu yang ―aneh‖ bila mengambil

photo-photo bapaknya sendiri di Hari Ulang Tahunnya, dilarang? Tapi begitulah kenyataan pada

waktu itu. Dengan itikat kemanusiaan, photo-photo yang diambil itu dimuat oleh surat kabar di

seluruh dunia untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya dari Bung Karno selama itu. Walhasil

pada waktu itu penulis dan Guruh menghadapi security untuk mempertanggung-jawabkan peristiwa

tanggal 6 Juni tersebut, memang tidak heran lagi. Buat penulis, photo ini merupakan kenang-

kenangan yang bersejarah karena photo Bapak yang terakhir semasa hidupnya, jadi merupakan

pengalaman penulis yang tidak terlupakan.

Tanggal 11 Juni 1970 akhirnya Bapak harus dibawa ke RSPAD (sekarang R.S.Gatot Subroto). Di

situ meskipun ada team medis, terasa perawatannya tidak memuaskan, misalnya mesin cuci

(pembersih) darah yang diperlukan pasien seperti Bapak sampai akhir hayatnya tidak diberikan.

Walhasil pasien yang butuh ini tidak tertolong lagi. Itu hanya salah satu contoh saja kesulitan

yang dihadapi Bapak pada hari-hari terakhirnya. Lain-lainnya penulis hanya bisa mengelus dada

saja, karena tidak tahu ke mana harus mengadu. Inikah sakratul maut yang harus dihadapi oleh

seorang pejuang besar yang sebagian hidupnya diberikan untuk negara dan bangsanya termasuk

orang-orang yang pada waktu itu jadi security, Dokter-dokter, Profesor, Perawat, penulis sendiri

atau lain-lainnya?

Yang jelas Bung Karno figure yang tak mudah dihapuskan dari sejarah bangsa Indonesia. Jasa

beliau terlalu banyak – ini tak dapat dipungkiri, kecuali ada orang yang ingin memutar balikkan

sejarah. Tetapi di samping itu sebagai manusia biasa beliau tak luput dari kesalahan dan dosa.

Tepatnya tanggal 21 Juni 1970 jam 7 malam bersamaan pula akan dirayakannya Hari Ulang Tahun

Kota Jakarta, seorang negarawan bangsa Indonesia menutup matanya, meninggalkan dunia fana ini

yang penuh dengan segala macam ragam tingkah laku manusia, dengan segala kemunafikan dan

keserakahannya. Beliau tidak sempat menikmati karyanya selama itu seperti Jakarta dengan

gedung megah dan lampu-lampu beraneka ragam ....................‖ –

Sekarang keadaan Indonesia, maupun dunia, sudah berubah sama sekali jika dibandingkan dengan

di jaman Bung Karno dahulu. Bahkan Suharto yang haus darah, haus kekayaan dan haus kekuasaan,

juga sudah dimakan cacing di dalam tanah. Sekarang rakyat Indonesia mendambakan akan

terjadinya ―reformasi total‖, pendobrakan sama-sekali hal-hal yang tidak adil dan merugikan

rakyat dari jaman ―Orde Baru‖ yang sampai sekarang masih terus berjalan. Apakah harapan

rakyat ini dapat ditumpukan kepada elite politik yang ada sekarang? Untuk itu marilah kita kutip

sedikit kesan-kesan tentang Bung Karno yang ditulis oleh B.M.Diah pada th.1970, mantan Duta

Besar Republik Indonesia di Hongaria, Inggris dan mantan Menteri Penerangan dalam kabinet

Ampera, agar kita dapat membandingkannya dengan elite politik di Indonesia sekarang.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

192 | P a g e

.....―Bung Karno besar di bidang Internasional, sebab ia pejuang kebesaran Asia. Ingatlah

Konperensi Asia-Afrika 1955 Bandung. Ia besar di bidang nasional, karena mencari dalil-dalil dan

konsepsi-konsepsi untuk kemajuan Indonesia. Ingatlah Manipol. Ia besar di bidang kemanusiaan,

sebab ia inginkan perdamaian dunia.

.....Sebaliknya benar pula Bung Karno ini adalah human. Orang yang mau membunuhnya diampuninya.

Peristiwa-peristiwa besar yang ditujukan terhadap dirinya tidak ada yang dihancurkan habis-

habisan. Bahkan, pilot Amerika yang membantu oknum-oknum memberontak terhadap padanya

dalam peristiwa PRRI dilepaskannya! Maukar, pilot AURI yang menembak Istana Merdeka tidak

dihukum mati.

.....Bung Karno yang sebenarnya, adalah seorang humanis. Ia tidak dapat melihat darah. Tidak

senang mendengar perpecahan. Ia mencoba mempersatukan apa yang pecah. Ambillah umpamanya

peristiwa-peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia masih memberikan ampun pelaku-

pelakunya. Pelaku-pelaku dalam pemberontakan PRRI juga diberikannya amnesti. Terlebih dahulu

juga dengan pemberontakan Andi Azis. Peristiwa 17 Oktober, Permesta, semua berakhir dengan

perdamaian nasional. Ia bukan penyokong fikiran kekerasan dibalas dengan kekerasan. Oleh

karena itu maka pemimpin-pemimpin bangsa asing di lain bagian dunia kita menghormati Bung

Karno dari sudut ini.

.....Bung Karno lebih dari proklamator. Ia adalah BAPAK KEMERDEKAAN INDONESIA. Ia adalah

ARSITEK dari pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

.....Tanpa Sukarno tidak ada SATU Indonesia, tidak ada SATU bangsa, tidak ada Indonesia

Merdeka, tidak ada bendera dan lagu Indonesia Raya.

.....Sewaktu 99% orang Indonesia terpelajar mengharapkan hidupnya aman di jaman kolonial, ia

menghabiskan waktu mudanya berjuang menentang kolonialisme.......Dengan proklamasinya kita

semua, bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi bangsa yang bernegara, bangsa

yang bernama. Sebagai juga Washington mendirikan Negara Amerika Serikat, demikian juga pada

hakekatnya Bung Karno mendirikan Negara Indonesia, negara Republik Indonesia. Dia juga

memberikan kepada kita Undang-Undang Dasar. Ia juga yang membangunkan segala atribut,

segala perlengkapan satu negara.

.....Ia menghendaki kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Ia menghendaki kebesaran bagi bangsa

Indonesia.....Semboyannya ialah Panta Rei! Gerak terus, gerak maju.

.....Pada waktunya Bung Karno berani mempertaruhkan jiwanya untuk sesuatu yang dianggapnya

penting buat menegakkan negara. Ia lakukan semua keberanian itu, karena sebenarnya ia tidak

menghendaki adanya perpecahan yang berdarah, pembunuhan sesama kita, penghancuran unsur-

unsur kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia.

.....Bung Karno BUKAN tukang komplot.....Ia memupuk kekuatan dan kekuasaan tidak melalui partai.

Tetapi tidak pula ia memakai ―pressure group‖ atau barisan siluman buat menterrorisir partai-

partai yang tidak mau ikuti kemauannya. Di sepanjang sejarah perjuangan Bung Karno ia tidak

sanggup berkomplot. Ia tidak sanggup kasak-kusuk. Ia tidak mengirimkan orang-orangnya untuk

―nggremet‖, nyusup buat menerbitkan kekacauan di kalangan kawan dan lawannya.....Di dalam

segala peristiwa yang terjadi terhadap Bung Karno, setahu saya, tidak pernah ia menggerakkan

satu komplotan kontra terhadap musuh-musuhnya. Ia menolak pembunuhan. Ia menolak

pembinasaan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

193 | P a g e

.....Bung Karno toleran. Ia tidak mendendam panjang. Ia bukanlah Mr.Jekyl and Mr.Hyde. Ia tidak

bermuka dua; satu jahat, satu manis dan baik. Bung Karno adalah manusia yang bersih dalam

rongga dadanya.

.....Hampir semua orang yang pernah bertemu mengatakan manusia yang berjiwa besar. Seorang

yang mencintai sesama manusia. Dan saya tidak pernah mendengar Bung Karno menganjurkan

kekerasan untuk mencapai kekuasaan.

.....Tetapi, ia memang bukan nasionalis yang mlempem. Bukan pula nasionalis borjuis yang sudah

senang dengan keadaan di lingkungannya. Ia nasionalis revolusioner. Ia seorang nasionalis yang

bersemboyan: buat negara yang sedang berjuang tidak ada akhir perjalanannya. Ia anti kolonialis.

Ia anti imperialis. Ia anti kapitalis. Ia anti fasisme.

.....Ia mempunyai perasaan perikemanusiaan yang sangat besar. Ia menganggap perikemanusiaan

itu universil. Dus, ia juga internasionalis. Lebih-lebih lagi, ia internasionalis yang ingin

membesarkan Asia.

.....Jenderal Suharto juga adalah anak didik Bung Karno. Demikian Amir Machmud dll jenderal-

jenderal yang memegang pimpinan berbagai tatausaha negara di waktu itu. Bung Karno, Presiden

Republik Indonesia yang berkuasa itu, tidak ada menempatkan sanak keluarganya pada satu pos

penting pun‖. –

Membaca tulisan di atas, rasanya kita menjadi sedih atau malah bisa menjadi putus asa melihat

perangai serta tingkah laku elite politik di Indonesia jaman sekarang. Akan tetapi, apabila kita

mengingat ajaran Bung Karno, Bung Karno tidak pernah menumpukan harapannya kepada partai-

partai politik maupun kepada elite politik, melainkan kepada pemuda. Karena itu marilah kita juga

menumpukan harapan kita kepada pemuda dan, seperti Bung Karno, berani mengatakan ―go to

hell !‖.

―Kalau saya pemuda, saya akan berontak.....‖terkenal kata-kata Bung Karno menggugah pemuda

supaya berani meronta melawan partai-partai politik dengan elite politiknya yang saling

bercakaran dan berebutan kekuasaan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Seruannya kepada

pemuda pada 17 Agustus 1951, tetap aktuil sampai sekarang dan akan selalu tetap aktuil sampai

cita-citanya, impiannya, menjadi kenyataan:

Pemuda !

Lihat ! Engkau berdiri di tengah-tengah perjoangan bangsa kita mencari hidup. Engkau melihat

pengacau-pengacauan, dan mendengar ratap-tangisnya berjuta-juta bangsa kita yang meminta

ketenteraman dan keamanan. Engkau berjalan di antara orang-orang yang durhaka dan orang-

orang yang jujur. Pembunuhan-pembunuhan dan pencurian-pencurian terjadi di muka rumahmu.

Ada orang-orang berkata, bahwa itu adalah untuk sesuatu ―idee‖. Tetapi yang terjadi di

hadapanmu itu adalah bukan sekadar hal ―idee‖, melainkan hal baik atau jahat!

Maka aku menanya kepadamu: Dapatkah engkau diam-diam saja?

Siapa yang diam di hadapan hal-hal semacam itu, sebenarnya mendegradir dirinya sendiri secara

moril !

Soekarno 17 Agustus 1951.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

194 | P a g e

HIDUP BUNG KARNO !!!

Bung Karno: ―Saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu gundukan kayu api unggun,

sepotong daripada ratusan atau ribuan kayu di dalam api unggun besar yang sedang menyala-nyala.

Saya menyumbangkan sedikit kepada nyalanya api unggun itu, tetapi sebaliknya pun saya dimakan

oleh api unggun itu!

Dimakan apinya api unggun . . . . !

Tidakkah kita sebenarnya merasa semua demikian?‖---

Bung Karno, Presiden pertama RI: 06 Juni 1901 – 21 Juni 1970.

Amsterdam,

segala waktu,

Mohammad As.

Skenario drama penghianatan :

Mulut komat kamit memuji-muji Bung Karno,

tangan kiri mangacungkan jempol membantu mulutnya,

tangan kanan memasukkan racun keminuman/makanan bung Karno !

Letkol Untung, anak buahnya yang setia, dibunuh juga agar mulutnya bisa dibungkam .

Begini ada yang mengusulkannya menjadi pahlawan nasional ?

----- Forwarded Message ----

From: Y.T.Taher <[email protected]>

To: [email protected]

Cc: [email protected]; Magili <[email protected]>

Sent: Tue, June 22, 2010 5:50:34 AM

Subject: [temu_eropa] Re: Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, dan SBY

SISI LAIN ISTANA

Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, dan SBY Selasa, 22 Juni 2010 | 08:14 WIB

Persda/Bian Harnansa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

195 | P a g e

Mantan Presiden Soeharto keluar dari Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan,

setelah dirawat hampir selama satu bulan sejak 5 Mei 2006.

Oleh: J Osdar

KOMPAS.com — Senin, 21 Juni 2010, di Blitar, Jawa Timur, berlangsung haul Bung Karno ke-40.

Ketika Bung Karno wafat, Presiden Soeharto waktu itu di depan para pemimpin partai politik

mengatakan, "Kita harus memberikan penghargaan atas jasa-jasa beliau sebagai pejuang yang luar

biasa. Sejak dulu beliau adalah pejuang, perintis kemerdekaan. Sebagai proklamator, beliau tidak

ada bandingannya."

"Berpikir mengenai Bung Karno, selalu saya bertolak dari ingatan bahwa manusia memang tidak

ada yang sempurna. Jangankan manusia biasa, nabi pun bisa khilaf," demikian kata Soeharto dalam

buku otobiografi Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya seperti dipaparkan kepada G

Dwipayana dan Ramadhan KH.

Pak Harto pada tahun 1980 mendirikan patung Bung Karno dan Bung Hatta di Jalan Proklamasi,

Jakarta. Tahun 1985, Pak Harto menetapkan nama bandar udara di Cengkareng dengan nama

Soekarno-Hatta. Tahun 1986, Bung Karno dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan

Proklamator.

Minggu, 27 Januari 2008, Pak Harto wafat. Dalam upacara pemakaman Pak Harto di Astana Giri

Bangun, Solo, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertindak sebagai inspektur upacara. Dalam

pidatonya, SBY menyebut Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan.

Kamis, 31 Desember 2009, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur wafat. Dalam

upacara pemakaman di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Presiden Yudhoyono dengan suara yang

menyentuh hati para pendengarnya mengatakan, "Selamat jalan bapak pluralisme kita, semoga

tenang di sisi Allah SWT."

Suara SBY di antara ribuan orang yang melayat waktu itu, sekali lagi, menyentuh hati. Suara itu

diucapkan ketika angin berdesau. Suara SBY mengalun indah, tulus, dan diterima dengan ikhlas

oleh alam semesta ini.

Sikap Soeharto dan SBY memberi penghormatan kepada para mantan presiden atau pendahulunya

membuat manusia merasakan apa yang ada dalam ungkapan bahasa Latin, Mors ianua vitae, bahwa

kematian itu adalah pintu kehidupan.

Kalimat di atas, itulah ucapan manusia yang paling munafik di dunia!!! Dengan mulutnya, didepan

para pemimpin partai politik serta rakyat yang yang mencintai Bung Karno, Suharto berkata

demikian. Namun dibelakang itu, dia secara licik, keji dan zalim menahan, membunuh dengan

perlahan Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Bung Karno. Dan dengan menggunakan tangan-tangan

dan bedil serta bayonetnya para drakula Sarwo Edhi Wibowo,(Komandan RPKAD=Resimen

Pembunuh Komunis Angkatan Darat-pen), Kemal Idris, Sudomo, Sumitro, Jasir Hadibroto

membunuhi jutaan pengikut Bung Karno dan para anggota komunis. Setelah semua pengikut Bung

Karno dibabat habis,tahap terakhir adalah melenyapkan Bung Karno. Setelah Bung Karno tiada,

maka Suharto bisa tersenyum bangga dan sinis serta menjadi "the smilling general" karena bisa

melenyapkan seorang pejuang bangsa yang agung yang tidak akan pernah ada penggantinya atau

menyamainya. Untuk pura-pura tidak berdosa, diucapkannyalah kalimat diatas di saat wafatnya

Bung Karno, namun adakah Suharto datang ke Blitar untuk menghadiri pengebumian Bung Karno?

Lupakah dia akan niatnya yang ingin me Mahmilubkan Bung Karno? Tanpa ucapan basa-basi dari

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

196 | P a g e

Suharto itu, Bung Karno adalah memang pejuang sejak mudanya, perintis kemerdekaan,

proklamator, penyambung lidah rakyat, penggali Pancasila, Pemimpin Besar Revolusi dan Bapak

Bangsa Indonesia

Pepatah Jawa- yang tentunya dianut juga oleh Suharto- mengatakan: "Becik ketitik olo ketoro".

(Kebaikan akan terlihat, kejahatan akan nampak jelas). Kendatipun Suharto memoles bibirnya

dengan madu, dan berkata manis, rakyat tidak akan lupa akan kejahatan dan kezaliman serta

kekejamannya yang dengan penuh kelicikannya merampok kedudukan Bung Karno dan membunuhi

bangsa Indonesia. 'Olo' yang dilakukan jauh lebih besar dan banyak ketimbang 'becik' yang

dilaksanakan oleh Jenderal Suharto. Ini membuktikan, kendatipun dia menjadi Jenderal TNI dan

Presiden RI, namun jiwanya adalah tetap jiwa "Sersan KNIL" (tentara penjajah/kolonialis

Belanda!) yang anti Pejuang Kemerdekaan Bung Karno dan anti Kemerdekaan Indonesia sejak

semula.

(YTT)

Mengenang Wafatnya Bung Karno

Hari ini, 21 Juni 2010. Empat puluh tahun yang lalu, seorang pemimpin Besar Bangsa, pejuang

kemerdekaan dan revolusi yang sejak mudanya mengorbankan masanya demi bangsa yang

dicintainya, Presiden Pertama Republik Indonesia Bung Karno, wafat dalam derita yang

mengenaskan.

Wafatnya Bung Karno merupakan kehilangan yang besar sekali bagi bangsa Indonesia, terutama

bagi yang mencintainya, menghormatinya, mengaguminya, sebagai bapak bangsa, dan sebagai

pemersatu bangsa yang paling agung sepanjang sejarah Indonesia..

Ketokohan Bung Karno sebagai Pemimpin, bukan saja diakui oleh bangsa Indonesia, namun juga

dunia mengakuinya karena banyak karya dan ide-idenya, ajaran-ajarannya yang tersebar di dunia

luar dan diakui terutama oleh negara-negara Asia Afrika yang berjuang dan berhasil memutuskan

rantai penjajahan atas negerinya. Bahkan, Bung Karno tidak segan-segan berbicara di depan

Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertekad membangun dunia baru, ―To Build

a World Anew‖ dengan memperkenalkan dan menganjurkan agar dunia juga menganut Pancasila

(Five Priciples).

Akan tetapi, sayang sekali, wafatnya Bung Karno tidak seperti wafatnya pemimpin atau tokoh-

tokoh Indonesia lainnya. Bung Karno meninggal karena dizalimi dan dianiaya oleh seorang manusia

militer yang bernama Suharto.

Jenderal Suharto, dengan sangat licik dan keji, menggunakan Bung Karno untuk menghabisi semua

pendukung-pendukungnya. Melalui Sarwo Edhi Wibowo, Sudomo, Kemal Idris, Sumitro, Jasir

Hadibroto dan petinggi militer yang bisa dan gampang diperintahnya, melakukan pembunuhan

massal terhadap jutaan bangsa Indonesia pendukung Bung Karno, sebagai dalih mengganyang

G30S. Jutaan bangsa Indonesia mati dibunuh, ratusan ribu dipenjarakan, 12 ribu dibuang ke pulau

Buru, dan ribuan yang berada di luar negeri dicabut paspor Indonesianya. Sedang keluarga dan

sanak saudara kaum kiri yang dimusnahkan, dijadikannya sebagai golongan yang tidak bersih dan

dikucilkan dari masyarakat dan dianggap kaum pariah melalui peraturan-peratruran diskriminatif.

Setelah semua pengikut dan pembela Bung Karno dipreteli dan dimusnahkan, dengan segala dalih

dan akal licik, Bung Karno sendiri dizalimi. Dengan menggunakan istitusi di bawah bedil dan

bayonet Jenderal Suharto, Bung Karno dicabut kekuasaannya dan didepak keluar dari Istana

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

197 | P a g e

Merdeka dan dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso. Bung Karno dijadikan Tahanan Politik

Ordebaru/Suharto, persis seperti ratusan ribu rakyat yang ditahan di kamp-kamp tahanan yang

berserakan disegenap penjuru Indonesia. Suharto menjadi orang nomor satu di Indonesia, berkat

kelicikan dan akal busuknya serta politik dedil dan bayonet yang dilakukannya. Dia menjadi ―the

smilling general‖ karena dia berhasil melenyapkan jutaan kaum kiri dan PKI serta menjatuhkan

Bung Karno, dimana Amerika Serikat sendiri tidak berdaya melakukannya!

Wafanya Bung Karno menimbulkan duka cita yang luas dan mendalam bagi segenap bangsa

Indonesia, secara terang-terangan maupun secara sembunyi (karena takut ditangkap dan dibui

oleh nazinya Suharto). Rakyat marah, dendam dan sakithati terhadap segala perlakukan keji,

biadab dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan Suharto terhadap Bung Karno hingga

menyebabkan wafatnya. Kita kehilangan Bung Karno, Pemimpin Bangsa yang susah untuk dicari

gantinya. ―Belum ada yang menandingi Soekarno sampai sekarang…. Dialah yang mengerti ‗nation‘ Indonesia. Karena itu juga, Soekarno-lah yang tidak jemu-jemunya menganjurkan tentang ‗nation and character building‘ (Ucapan Pramoedya Ananta Toer dalam film dokumen Shadow Play)

Bung Karno telah tiada. Hari ini tepat 40 tahun yang lalu dia mati mengenaskan, dizalimi dan

dianiaya oleh seorang militer yang pernah diselamatkannya. Bung Karno pergi, meninggalkan

bangsa Indonesia yang dicintainya. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak, seorang

penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno, lahir,

hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! ―Yo sanak yo kadang yen mati aku sing kelangan!‖ Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan

senantiasa mengenangnya!

Untuk mengenang hari-hari akhir Bung Karno, dibawah ini dikutip beberapa cuplikan berita

tentang hari-hari akhir Bung Karno, Pemimpin Besar, Bapak Bangsa dan Presiden Pertama Republik

Indonesia. Salah satu cuplikan adalah dari anak Bung Karno sendiri, Rachmawati, yang dikutip dari

Harian Jawa Pos, sbb.:

1. Me-nurut informasi yang ditulis pada 12 April 2003 oleh A. Karim D. P., mantan Ketua Persatuan

Wartawan Indonesia, dikatakan bahwa ―Jenderal Soeharto, memerintahkan kepada Bung Karno

supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno beserta

anak-anaknya pergi dari istana dengan berpakaian kaos oblong dan celana piyama dengan kaki

hanya beralaskan sandal, menompang mobil Volkswagen Kodok, satu-satunya mobil milik pribadinya

yang dihadiahkan oleh Piola kepadanya, pergi ke Wisma Yaso, di mana kemudian menjadi tempat

tahanannya sampai wafat. Semua kekayaannya, ditinggalkan di istana, tidak sepotong pun yang

dibawa pergi kecuali Bendera Pusaka Merah Putih yang dibungkusnya dengan kertas koran. Anak-

anaknya pun tidak diperbolehkan membawa apa-apa, kecuali pakaian sendiri, buku-buku sekolah,

dan perhiasannya sendiri. Selebihnya, ditinggalkan semua di istana.....‖ (A. Karim DP., Apa Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan, http://www.progind.net)

2. Selama ditahan di Wisma Yaso, Bung Karno diperlakukan sangat tidak manusiawi sekali. Bung

Hatta, mantan wakil presiden pertama RI, sahabat Bung Karno, menceritakan bagaimana

permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekadar mengizinkan mendatangkan seorang dukun

pijat, ahli pijat langganan Bung Karno dan juga langganan Bung Hatta, ditolak oleh Soeharto! Bung

Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun ahli itu, penderitaannya bisa sedikit

berkurang. Penolakan Soeharto itulah yang kemudian mendorong Bung Hatta menulis surat pada

15 Juli 1970 kepada Soeharto yang mengecam betapa tidak manusiawinya sikap Soeharto itu!

Bung Hatta minta kepada Soeharto lewat Jaksa Durmawel, S.H., agar dilakukan pengadilan untuk

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

198 | P a g e

memastikan apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Bung Karno meninggal dalam

statusnya sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat yang percaya bahwa Bung Karno

tidak bersalah, akan menuduh pemerintah Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta.‖

(Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik, http://www.progind.net)

3. BUNG KARNO yang penyakitnya tambah parah dalam tahanan rumahnya, tiada mendapat

pengobatan yang wajar, bahkan resep pengobatan hanya disimpan di laci oleh seorang pejabat

tinggi militer. Untuk ini, mari kita telusuri kisah putri Bung Karno, Rachmawati, ―Mengenang Saat Terakhir Mendampingi Bung Karno‖ seperti yang diceritakan oleh Harian Jawa Pos.

AIR mata Rachmawati membasahi pipi. Meski sudah 38 tahun berlalu, anak ketiga Bung Karno

dengan Fatmawati itu belum bisa melupakan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintahan

Soeharto terhadap sang ayahanda di penghujung hayatnya.

―Bung Karno saat itu seperti dibiarkan mati perlahan-lahan,‖ katanya kepada Jawa Pos sambil

mengusap air matanya dengan tisu saat ditemui di kediaman di kawasan Jakarta Selatan kemarin

(19/1).

Menurut perempuan kelahiran Jakarta, 27 September 1950, presiden pertama RI itu dilarikan ke

RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, dalam kondisi kritis pada 11 Juni 1970.

Berbeda dengan Soeharto yang mendapat perawatan supermaksimal dari tim dokter kepresidenan

beranggota 25 dokter, Bung Karno mendapat perawatan minimal pada hari-hari terakhir menjalani

opname di rumah sakit milik TNI-AD itu. Kondisi ginjal salah satu proklamator RI waktu itu sudah

sangat parah.

―Tapi, tak ada perawatan maksimal. Alat hemodialisis (cuci darah) untuk pengidap gagal ginjal pun

tak diberi,‖ kenang wanita bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno yang kini menjadi

anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.

Saat Bung Karno sakit kritis, lanjut dia, Soeharto melakukan konsolidasi politik pasca G 30

S/1965. Tak heran bila saat itu dia sedang membersihkan tubuh birokrasi dan militer. Tidak

hanya dari unsur-unsur PKI, tapi juga dari orang-orang Soekarnois.

Asupan makan untuk Soekarno yang juga disebut pemimpin besar revolusi itu pun seadanya.

Kendati juga didiagnosis mengidap darah tinggi, menu makanan untuk Bung Karno terasa asin saat

dicicipi Rachmawati.

Adik kandung Megawati pun langsung protes dan baru setelah itu menu makanan diganti. ―Bung

Karno seperti dibiarkan mati perlahan-lahan,‖ imbuhnya.

Gadis yang saat itu berusia hampir 20 tahun dan kuliah di Fakultas Hukum UI memang paling rajin

membesuk di hari-hari terakhir sang Putra Fajar tersebut. Namun, soal membesuk juga bukan

urusan mudah dan jangan dibayangkan seperti keluarga Cendana yang kini bisa hilir mudik ke

Rumah Sakit Pusat Pertamina setiap saat.

Tak gampang mengakses tempat perawatan Bung Karno yang saat itu statusnya diambangkan

laiknya tahanan rumah. Bahkan, tak ada kolega Soekarno yang datang mengalir seperti yang

terlihat pada Soeharto hari-hari ini.

Menjenguk Soekarno memang sulit. Sebab, ruang perawatan intensif RSPAD Gatot Subroto

dipenuhi tentara. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

199 | P a g e

strategis rumah sakit tersebut. Bahkan, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di

koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.

Yang repot, kata Rachmawati, obat-obatan pun tak datang dari langit. Mereka harus membeli

sendiri. ―Pokoknya beda, beda banget. Ini perjalanan sejarah yang pahit,‖ sambung Rachmawati

yang harus tidur di mobil jika hendak menunggu ayahnya yang dirawat di RSPAD.

Bahkan, Rachmawati yang pada 6 Juni 1970 sempat memotret Bung Karno yang saat itu diasingkan

di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Red), Jakarta Selatan, harus berurusan dengan

polisi militer di Jl Guntur, Jakarta Pusat.

Pasalnya, foto yang menunjukkan kondisi terakhir Bung Karno itu dikirimkan Rachmawati ke

Associated Press (kantor berita yang berpusat di Amerika) yang kemudian memublikasikannya ke

seluruh dunia.

Salah seorang yang bisa menjenguk Bung Karno saat itu adalah mantan Wakil Presiden Mohammad

Hatta. Bung Karno sempat memegang tangan Bung Hatta, sahabat seperjuangan yang juga

proklamator RI itu, kemudian menangis. Sehari kemudian, tepatnya Minggu pagi, 21 Juni 1970,

beberapa saat setelah diperiksa dr Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan,

Bung Karno akhirnya mengembuskan napas terakhir pada usia 69 tahun.

Setelah Bung Karno meninggal itulah, baru Soeharto datang ke RSPAD untuk melihat kondisi

jenazah Soekarno. Pertemuan itu, menurut Rachmawati, adalah yang pertama antara ayahnya -

yang telah tiada- dan Soeharto semenjak ayahnya jatuh dari kursi presiden dalam Sidang

Istimewa 7 Maret 1967.

Orang kuat Orde Baru itu kembali datang ke Wisma Yaso saat jenazah Soekarno hendak

diterbangkan ke Blitar melalui Malang, Jawa Timur.

Di Blitar, upacara pemakaman Soekarno dilaksanakan dengan sederhana dan singkat dipimpin

Jenderal M. Panggabean. ―Rasa-rasanya, hari itu begitu mencekam. Kami hanya menurut saja saat

pemerintah memakamkan Bung Karno di Blitar. Bukan sesuai permintaannya di Batu Tulis, Bogor,

Jawa Barat,‖ kenang mantan ketua umum Partai Pelopor itu.

Bendera setengah tiang pun berkibar di seluruh tanah air kendati setelah itu tak semua orang

bebas datang ke kubur Bung Karno.

Rachmawati mengaku sama sekali tak menaruh dendam atas tindakan Soeharto kepada ayahnya.

Secara pribadi dan sebagai manusia, dia malah memaafkan Soeharto. Tapi, dia tetap menuntut

penyelesaian hukum kepada jenderal bintang lima yang berkuasa selama 32 tahun itu. Kalaupun

pemerintah memutuskan untuk mencabut Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang menyangkut Soeharto, Rachmawati juga meminta

pencabutan Tap XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari

Presiden Soekarno.

Apakah karma Bung Karno yang kini menimpa Pak Harto? ―Wallahu ‘alam. Tapi, alhamdulillah, kalau

Pak Harto kembali sehat sekarang,‖ jawabnya.

Kendati belum sempat membesuk, Rachmawati telah menghubungi dua putri Soeharto, Mamik dan

Titik, serat mendoakan kesembuhan ayah mereka. ―Kami bangga diwarisi Bung Karno dengan bekal

ilmu kehidupan. Bukan harta berlimpah,‖ katanya lalu menyeka air mata.‖

Demikian wawancara dengan Rachmawati sebelum Jenderal Soeharto meninggal.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

200 | P a g e

Bung Karno telah tiada, bapak bangsa dan rakyat Indonesia, pejuang kemerdekaan Indonesia

telah pergi. Dia meninggal, mati dalam mempertahankan rakyatnya, bangsa dan negaranya agar

tidak terpecah-belah. Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto

berupa pangkat jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya,

kemudian Soeharto mengkhianatinya. Bung Karno mati mengikuti jalan yang telah dirintis oleh

jutaan pengikutnya, yaitu dibantai Soeharto. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak,

seorang penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno,

lahir, hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! ―Yo sanak yo kadang yen mati aku sing kelangan!‖ Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan

senantiasa mengenangnya!

Australia, 21 Juni 2010

Y.T. Taher.

« 40 tahun yang lalu » dan « Hidup Bung Karno ! »

Kalimat yang tercantum di atas adalah kutipan judul dari dua tulisan yang dibuat oleh Sdr

Iwamardi dan Sdr Muhammad As dalam rangka memperingati Hari Wafatnya Bung Karno

beberapa hari yang lalu. Kedua tulisan tersebut melengkapi kumpulan » Tulisan-tulisan tentang

wafatnya Bung Karno » yang sudah disajikan di berbagai milis dan juga di website. Dari kumpulan

tulisan-tulisan itu semuanya nampak sekali pandangan banyak kalangan yang melihat kebesaran

atau keagungan Bung Karno dan juga kemarahan besar dari berbagai golongan terhadap perlakuan

yang tidak manusiawi dari pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) terhadap satu-satunya pemimpin

besar rakyat Indonesia, Bung Karno.

= = =

40 tahun yang lalu

Hari ini, 21 Juni 2010, tepat 40 tahun yang lalu, bangsa Indonesia telah kehilangan seorang

pembawa obor penyuluh bangsa, obor yang telah diidamkannya, dirancangnya dan dibikinnya,

dinyalakannya untuk menunjukkan jalan terang yang harus ditempuh bangsa yang muda ini menuju

dunia bebas, dunia adil dan makmur yang menjadi idaman bangsa dan pembawa obor penyuluh

ini. Obor yang telah lebih dari 40 tahun dia sulut dan nyalakan dan sinarnya telah dia abdikan

kepada bangsa Indonesia ini, sejak dia muda dan mengalami pemenjaraan dan pembuangan yang

dilakukan kolonialis Belanda ini, secara keji dan penuh penghianatan telah dicoba dipadamkan oleh

seorang jendral bernama Suharto dan konco konconya, atas perintah tuan tuannya di seberang

sana, demi harta kekayaan yang bisa mereka sedot dari bumi Nusantara ini dan demi memenuhi

lapar dan dahaga kekuasaan yang dia dan kroninya telah idam idamkan secara diam diam ada

dibenak mereka sewaktu mereka berpura pura ikut barisan yang dipimpin pencipta dan pembawa

obor penyuluh bangsa : Bung Karno , pahlawan pemersatu dan pembebas bangsa Indonesia,

architekt pembangun Republik Indonesia yang kita cintai ini !

Obor itu telah meredup sinarnya selama 45 tahun sejak peristiwa kudeta penghianatan jenderal

Suharto & Co, tetapi tidak pernah padam, walaupun minyak dan zat asam telah dipisahkan secara

paksa dari obor itu oleh rejim orba dan penerusnya dengan dibuatnya dan diberlakukannya sampai

sekarang TAP no. XXIII MPRS /1967 yang chianat dan tidak syah itu, yang oleh pemerintah

pemerintah pasca orba tidak dicabut, bahkan masih digunakan secara aktif.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

201 | P a g e

Satu hal yang sangat memalukan dan merupakan cacad pemerintah dan cacad bangsa, pemerintah

dan bangsa yang menghukum dan menginjak injak HAM pahlawan bangsanya yang justru telah

memungkinkan lahirnya bangsa ini, Bung Karno architekt Republik Indonesia !

Dalam memperingati hari wafatnya pemimpin besar kita yang telah terlalu besar pengorbannya

bemi existnya republik ini, patutlah kita merenungkan kembali, membayangkan, akan pernahkah

ada dan berdiri Republik Indonesia ini tanpa adanya perjuangan gigih Bung Karno beserta kawan

kawan seperjuangannya selama berpuluh puluh tahun itu ?

Mungkin sangat bermanfaat buat kita semua, bila kita mau sedikit membuang waktu membaca

artikel yang telah dimuat dimilis ini, ― Mengenang Wafatnya Bung Karno― oleh Y.T.Taher

(Australia), seorang korban kesewenag wenangan rejim orba Suharto, dan ― Hidup Bung Karno !!! ―

oleh Mohammad As, seorang pendukung Bung Karno.

Jika kita bandingkan kehidupan Bung Karno dan presiden Suharto, pada pokoknya ada „sedikit―

perbedaan yang besar :

Bung Karno : Dia telah mengorbankan dan menyumbangkan seluruh hidupnya, jiwa raganya demi

kepentingan bangsa Indonesia.

Presiden Suharto : Dia telah mengorbankan seluruh kepentingan bangsa Indonesia demi

kepentingan dirinya, kekuasaan dan harta benda.

Itu saja bedanya !!

Buat BK

Dipagi berembun sejuk ini

Kutarik napas dalam

Kuhirup udara segar

Kukenang intan-murni pikiranmu

Setiamu pada bangsamu

Bagai cahaya tak pernah pudar

Walau kau lewati lubang hitam dijagad lebar

Biar hati dan jantungmu tak lagi berdetak

Yang direnggut manusia judas

Sinarmu tetap berkilau emas

Kami gantungkan cita setinggi bintang

Maju terus ke dunia cita

Ke keadilan yg terdamba

Biar jalan penuh bahaya

Vivere pericolosopun ditempuh jua

Tak satupun boleh menghalang

Jerman , Juni 2008

Iwa

Mari kita galakkan nyala obor kemerdekaan yang telah dicipta, dinyalakan

dan dibawa sebagai penyuluh jalan terang bangsa Indonesia ini !!!

Obor Ajaran Bung Karno yang telah teruji dan terbukti kebenarannya !

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

202 | P a g e

* * *

« 40 tahun yang lalu » dan « Hidup Bung Karno ! »

Kalimat yang tercantum di atas adalah kutipan judul dari dua tulisan yang dibuat oleh Sdr Iwamardi dan Sdr Muhammad As dalam rangka memperingati Hari Wafatnya Bung Karno beberapa hari yang lalu. Kedua tulisan tersebut melengkapi kumpulan » Tulisan-tulisan tentang wafatnya Bung Karno » yang sudah disajikan di berbagai milis dan juga di website. Dari kumpulan tulisan-tulisan itu semuanya nampak sekali pandangan banyak kalangan yang melihat kebesaran atau keagungan Bung Karno dan juga kemarahan besar dari berbagai golongan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi dari pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) terhadap satu-satunya pemimpin besar rakyat Indonesia, Bung Karno.

= = =

40 tahun yang lalu

Hari ini , 21 Juni 2010, tepat 40 tahun yang lalu, bangsa Indonesia telah kehilangan seorang

pembawa obor penyuluh bangsa, obor yang telah diidamkannya, dirancangnya dan dibikinnya ,

dinyalakannya untuk menunjukkan jalan terang yang harus ditempuh bangsa yang muda ini menuju

dunia bebas, dunia adil dan makmur yang menjadi idaman bangsa dan pembawa obor penyuluh ini.

Obor yang telah lebih dari 40 tahun dia sulut dan nyalakan dan sinarnya telah dia abdikan kepada

bangsa Indonesia ini, sejak dia muda dan mengalami pemenjaraan dan pembuangan yang dilakukan

kolonialis Belanda ini, secara keji dan penuh penghianatan telah dicoba dipadamkan oleh seorang

jendral bernama Suharto dan konco konconya, atas perintah tuan tuannya di seberang sana, demi

harta kekayaan yang bisa mereka sedot dari bumi Nusantara ini dan demi memenuhi lapar dan

dahaga kekuasaan yang dia dan kroninya telah idam idamkan secara diam diam ada dibenak mereka

sewaktu mereka berpura pura ikut barisan yang dipimpin pencipta dan pembawa obor penyuluh

bangsa : Bung Karno , pahlawan pemersatu dan pembebas bangsa Indonesia, architekt pembangun

Republik Indonesia yang kita cintai ini !

Obor itu telah meredup sinarnya selama 45 tahun sejak peristiwa kudeta penghianatan jenderal

Suharto & Co, tetapi tidak pernah padam, walaupun minyak dan zat asam telah dipisahkan secara

paksa dari obor itu oleh rejim orba dan penerusnya dengan dibuatnya dan diberlakukannya sampai

sekarang TAP no. XXIII MPRS /1967 yang chianat dan tidak syah itu , yang oleh pemerintah

pemerintah pasca orba tidak dicabut , bahkan masih digunakan secara aktif.

Satu hal yang sangat memalukan dan merupakan cacad pemerintah dan cacad bangsa, pemerintah

dan bangsa yang menghukum dan menginjak injak HAM pahlawan bangsanya yang justru telah

memungkinkan lahirnya bangsa ini, Bung Karno architekt Republik Indonesia !

Dalam memperingati hari wafatnya pemimpin besar kita yang telah terlalu besar pengorbannya

bemi existnya republik ini, patutlah kita merenungkan kembali, membayangkan , akan pernahkah

ada dan berdiri Republik Indonesia ini tanpa adanya perjuangan gigih Bung Karno beserta kawan

kawan seperjuangannya selama berpuluh puluh tahun itu ?

Mungkin sangat bermanfaat buat kita semua, bila kita mau sedikit membuang waktu membaca

artikel yang telah dimuat dimilis ini, ― Mengenang Wafatnya Bung Karno― oleh Y.T.Taher

(Australia), seorang korban kesewenag wenangan rejim orba Suharto, dan ― Hidup Bung Karno !!! ―

oleh Mohammad As , seorang pendukung Bung Karno.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

203 | P a g e

Jika kita bandingkan kehidupan Bung Karno dan presiden Suharto, pada pokoknya ada „sedikit―

perbedaan yang besar :

Bung Karno : Dia telah mengorbankan dan menyumbangkan seluruh hidupnya, jiwa raganya demi

kepentingan bangsa Indonesia .

Presiden Suharto : Dia telah mengorbankan seluruh kepentingan bangsa Indonesia demi

kepentingan dirinya, kekuasaan dan harta benda .

Itu saja bedanya !!

Buat BK

Dipagi berembun sejuk ini Kutarik napas dalam

Kuhirup udara segar Kukenang intan-murni pikiranmu

Setiamu pada bangsamu

Bagai cahaya tak pernah pudar

Walau kau lewati lubang hitam dijagad lebar

Biar hati dan jantungmu tak lagi berdetak

Yang direnggut manusia judas

Sinarmu tetap berkilau emas

Kami gantungkan cita setinggi bintang

Maju terus ke dunia cita

Ke keadilan yg terdamba

Biar jalan penuh bahaya

Vivere pericolosopun ditempuh jua

Tak satupun boleh menghalang

Jerman, Juni 2008

Iwa

Mari kita galakkan nyala obor kemerdekaan yang telah dicipta, dinyalakan dan dibawa sebagai

penyuluh jalan terang bangsa Indonesia ini !!!

Obor Ajaran Bung Karno yang telah teruji dan terbukti kebenarannya !

* * *

Mohammad As.—

HIDUP BUNG KARNO !!!

HIDUP BUNG KARNO !!!

Kiranya tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk diucapkan jika ditujukan kepada Bung Karno,

selain dari tiga kata tersebut, yang kalau dituliskan, ditulis dengan huruf besar dan tebal serta

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

204 | P a g e

diiringi dengan tiga tanda seru. Tiga kata tersebut di atas lebih menjiwai perasaan kita daripada

segala ucapan rasa cinta, rasa hormat dan setia akan ajaran-ajaran serta cita-citanya.

Begitu juga untuk memperingati Hari Ulang Tahun beliau tanggal 6 Juni marilah kita memekik

sekeras-kerasnya dari lubuk hati sedalam-dalamnya:

HIDUP BUNG KARNO !!!

Sangatlah sukar, jika bukan tidak mungkin, untuk membayangkan bagaimana jalan sejarah

andaikata di bumi Indonesia tidak pernah lahir seorang yang bernama Bung Karno. Mantan Kepala

Staf Angkatan Perang T.B.Simatupang, dalam tulisannya tentang Bung Karno menyatakan: ―Namun

hidup kita sebagai Negara dan Bangsa agaknya akan jauh lebih miskin sekiranya dia tidak pernah

hidup dan berjoang di antara dan bersama-sama kita‖.

Sampai seberapa jasa-jasa Bung Karno untuk bangsa dan negara, tidak lagi dapat diukur. Di tahun-

tahun tigapuluhan, Bung Karno lah yang berhasil mempersatukan segala macam bentuk gerakan,

dengan meyakinkan bahwa tujuan utama rakyat Indonesia ialah membebaskan diri dari penjajahan

Belanda dan bahwa musuh pokok rakyat Indonesia pada waktu itu ialah penjajah Belanda. Bung

Karno lah pencetus Pancasila yang kemudian menjadi dasar dan filosofi negara kita. Bung Karno

lah yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sehingga diikuti oleh semua suku bangsa dari

Sabang sampai Merauke. Bung Karno lah yang berusaha menyatukan bangsa dengan NASAKOM-

nya. Bung Karno lah yang menjadi arsitek konferensi Asia-Afrika. Bung Karno lah yang......... Bung

Karno lah yang.......... Bung Karno........................... Bung Karno................................... Bung Karno

.......................................

Bung Karno adalah seorang raksasa yang telah lahir di bumi Indonesia. Bung Karno adalah seorang

pahlawan dan pemimpin yang, seperti Danco dalam dongengannya Maxim Gorki, ketika bangsanya

berada dalam kegelapan telah merenggut jantung dari dalam dadanya untuk diangkat tinggi-tinggi

sebagai penerangan jalan ke arah kemerdekaan dan kebahagiaan.

Raksasa macam begini, mau tidak mau pasti menimbulkan rasa kagum dan hormat, bukan saja oleh

kawan, tapi juga oleh lawan. Hanya manusia-manusia kerdil, berwatak kerdil dan berjiwa kerdil,

berusaha menyembunyikan kekerdilannya dengan menghina dan mencemoohkan Bung Karno.

Setelah Bung Karno tiada, mereka berusaha mengubur jasa-jasanya bersama dengan jenazahnya.

Mereka juga berusaha mengubur ajaran-ajarannya dalam debu sejarah yang terlupakan dengan

melarang rakyat membaca tulisan-tulisannya. Setelah Bung Karno tiada, mereka berteriak

setinggi langit bahwa Bung Karno seorang politik yang telah gagal, bahwa Bung Karno telah gagal

dalam merealisasi impian dan cita-citanya. Mereka berteriak bahwa Bung Karno sudah terkalahkan

untuk selama-lamanya.

Padahal yang selalu diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-citakan oleh Bung Karno, ialah negeri

Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai. Yang diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-

citakan oleh Bung Karno ialah bangsa Indonesia yang berharga diri, bermartabat dan berbudaya

tinggi. Apakah ini semua sudah gagal? Apakah cita-cita ini sudah terkalahkan? Apakah Indonesia

yang adil, makmur, tenteram dan damai sudah tidak mungkin lagi direalisasi? Apakah bangsa

Indonesia tidak mungkin lagi menjadi bangsa yang berharga diri, bermartabat dan berbudaya

tinggi?

Jelas tidak! Memang Bung Karno telah gugur dalam perjuangannya sebelum cita-cita dan

impiannya berhasil menjadi kenyataan. Akan tetapi Bung Karno sama sekali tidak gagal dan juga

sama sekali tidak terkalahkan, karena impiannya, cita-citanya sudah diwarisi dan akan terus

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

205 | P a g e

diwarisi serta membakar hati rakyat Indonesia. Pada suatu hari, cita-cita Bung Karno, impian Bung

Karno, Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai pasti akan menjadi kenyataan. Pada

suatu hari, bangsa Indonesia pasti menjadi bangsa yang berharga diri dan berbudaya tinggi. Pada

suatu hari, meskipun dia sudah tiada, Bung Karno dengan cita-citanya pasti akan mengalami

kemenangan yang gemilang.

Memang Bung Karno akhirnya gugur. Bukan terbunuh oleh ledakan granat atau tertembus peluru

musuh, akan tetapi dibunuh pelan-pelan oleh seorang pengkhianat bangsa bersama kroni-kroninya,

manusia-manusia kerdil lainnya. Howard P. Jones, bekas Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia,

pernah menulis:

―Sukarno terlalu sering menjadi korban dari kepercayaannya sendiri terhadap rakyatnya. Di

samping kepintarannya sebagai orang Timur dalam bidang politik kecurigaannya terhadap Barat

yang bisa dimengerti sebabnya, ia memiliki kepercayaan yang naif terhadap perseorangan dan

keyakinan yang berbau mistik terhadap rakyat Indonesia dan kecintaan mereka kepadanya.

Sukarno tidak bisa percaya bahwa ada orang Indonesia yang bermaksud jahat padanya.‖

Memang mungkin buat Howard Jones sifat Bung Karno ini dianggapnya naif. Tetapi apakah ini

bukan justru menunjukkan kebesaran jiwanya? Bahwa kemudian dia gugur akibat pengkhianatan

manusia kerdil karena kebesaran jiwanya, mungkin memang itu sudah menjadi nasib yang tak

terhindarkan buat seorang pahlawan seperti dia.

Marilah kita kutip tulisan Rachmawati Sukarno th.1976 mengenai hari-hari akhir Bung Karno,

untuk melihat sampai seberapa kekerdilan jiwa manusia macam Suharto beserta kroni-kroninya.

―....... sakitnya Bapak makin parah, terlebih-lebih karena ada periode di mana tidak seorang

anggauta keluarga pun yang boleh menemani. Sejak itu, tempat di mana Bapak di-―karantina‖-kan

dengan ketat, sunyi, sepi sekali. Bisa dibayangkan betapa kesunyian mencekam di dalam gedung

yang besar itu.

Kurang terurus adalah kesan yang jelas timbul dari wajah Bapak dan tempat tinggalnya pada

waktu itu, ketika penulis akhirnya diperbolehkan bertemu kembali pada sekitar tahun 1969.

Mengapa sampai separah itu keadaan Bapak? Penulis tidak habis pikir, sedih bercampur gemas

dalam perasaan pada waktu itu.

Ketika penulis menanyakan keadaan Bapak selama tidak diperbolehkan bertemu anak-anak dan

keluarganya, Bapak hanya berkata ―di-interogasi‖.

Dan sejak itu Bapak hanya berbaring terus, karena jalan pun sudah sangat sulit, harus dipapah,

tidur di atas sofa, tapi tidak mengurangi membaca majalah yang dibawakan oleh keluarga dari luar

(itu pun setelah disensor) dan sembahyang berbaring.

Pemeriksaan secara medis memang masih tetap dilakukan, tapi kesan yang timbul hanya

pemeriksaan ala kadarnya, mengingat penyakit yang diderita Bapak adalah chronis dan complex

yang membutuhkan perawatan khusus. Perasaan yang timbul dari seorang anak kepada bapaknya –

hal ini memang menyedihkan sekali, tapi kesedihan itu selalu ditutupi dengan perasaan bahwa

Bapak adalah seorang pejuang besar, sehingga kepedihan dan kesedihan ini adalah hanya sebagai

konsekwensi dari perjuangannya.

Perjuangan yang dirintisnya mulai dari usia yang relatif muda sekali sehingga detik Bapak

terkapar di atas sofa di dalam kesunyian yang mencekamnya di alam Negara Merdeka yang

dibebaskannya bersama-sama pejuang-pejuang lainnya dahulu dari tangan musuh, sungguh tragis

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

206 | P a g e

rasanya. Pada hal status Bapak tidak jelas, artinya dibilang tahanan politik bukan, pensiunan

bukan, Presiden juga bukan, karena tidak ada yang diakui secara jelas dan gamblang. Tapi

demikianlah kenyataannya.

Tanggal 6 Juni 1970, Hari Ulang Tahun Bapak yang ke 69. Penulis bersama Guruh (adik penulis)

secara diam-diam mengambil photo-photo Bapak di dalam ―karantina‖ karena jelas kalau sampai

ketahuan security pada waktu itu pasti dilarang. Apakah bukan suatu yang ―aneh‖ bila mengambil

photo-photo bapaknya sendiri di Hari Ulang Tahunnya, dilarang? Tapi begitulah kenyataan pada

waktu itu.

Dengan itikat kemanusiaan, photo-photo yang diambil itu dimuat oleh surat kabar di seluruh

dunia untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya dari Bung Karno selama itu. Walhasil pada

waktu itu penulis dan Guruh menghadapi security untuk mempertanggung-jawabkan peristiwa

tanggal 6 Juni tersebut, memang tidak heran lagi. Buat penulis, photo ini merupakan kenang-

kenangan yang bersejarah karena photo Bapak yang terakhir semasa hidupnya, jadi merupakan

pengalaman penulis yang tidak terlupakan.

Tanggal 11 Juni 1970 akhirnya Bapak harus dibawa ke RSPAD (sekarang R.S.Gatot Subroto). Di

situ meskipun ada team medis, terasa perawatannya tidak memuaskan, misalnya mesin cuci

(pembersih) darah yang diperlukan pasien seperti Bapak sampai akhir hayatnya tidak diberikan.

Walhasil pasien yang butuh ini tidak tertolong lagi. Itu hanya salah satu contoh saja kesulitan

yang dihadapi Bapak pada hari-hari terakhirnya. Lain-lainnya penulis hanya bisa mengelus dada

saja, karena tidak tahu ke mana harus mengadu. Inikah sakratul maut yang harus dihadapi oleh

seorang pejuang besar yang sebagian hidupnya diberikan untuk negara dan bangsanya termasuk

orang-orang yang pada waktu itu jadi security, Dokter-dokter, Profesor, Perawat, penulis sendiri

atau lain-lainnya?

Yang jelas Bung Karno figure yang tak mudah dihapuskan dari sejarah bangsa Indonesia. Jasa

beliau terlalu banyak – ini tak dapat dipungkiri, kecuali ada orang yang ingin memutar balikkan

sejarah. Tetapi di samping itu sebagai manusia biasa beliau tak luput dari kesalahan dan dosa.

Tepatnya tanggal 21 Juni 1970 jam 7 malam bersamaan pula akan dirayakannya Hari Ulang

Tahun Kota Jakarta, seorang negarawan bangsa Indonesia menutup matanya, meninggalkan dunia

fana ini yang penuh dengan segala macam ragam tingkah laku manusia, dengan segala kemunafikan

dan keserakahannya. Beliau tidak sempat menikmati karyanya selama itu seperti Jakarta dengan

gedung megah dan lampu-lampu beraneka ragam ....................‖ -

Sekarang keadaan Indonesia, maupun dunia, sudah berubah sama sekali jika dibandingkan dengan

di jaman Bung Karno dahulu. Bahkan Suharto yang haus darah, haus kekayaan dan haus

kekuasaan, juga sudah dimakan cacing di dalam tanah. Sekarang rakyat Indonesia mendambakan

akan terjadinya ―reformasi total‖, pendobrakan sama-sekali hal-hal yang tidak adil dan merugikan

rakyat dari jaman ―Orde Baru‖ yang sampai sekarang masih terus berjalan. Apakah harapan

rakyat ini dapat ditumpukan kepada elite politik yang ada sekarang? Untuk itu marilah kita kutip

sedikit kesan-kesan tentang Bung Karno yang ditulis oleh B.M.Diah pada th.1970, mantan Duta

Besar Republik Indonesia di Hongaria, Inggris dan mantan Menteri Penerangan dalam kabinet

Ampera, agar kita dapat membandingkannya dengan elite politik di Indonesia sekarang.

.....―Bung Karno besar di bidang Internasional, sebab ia pejuang kebesaran Asia. Ingatlah

Konperensi Asia-Afrika 1955 Bandung. Ia besar di bidang nasional, karena mencari dalil-dalil dan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

207 | P a g e

konsepsi-konsepsi untuk kemajuan Indonesia. Ingatlah Manipol. Ia besar di bidang kemanusiaan,

sebab ia inginkan perdamaian dunia.

.....Sebaliknya benar pula Bung Karno ini adalah human. Orang yang mau membunuhnya diampuninya.

Peristiwa-peristiwa besar yang ditujukan terhadap dirinya tidak ada yang dihancurkan habis-

habisan. Bahkan, pilot Amerika yang membantu oknum-oknum memberontak terhadap padanya

dalam peristiwa PRRI dilepaskannya! Maukar, pilot AURI yang menembak Istana Merdeka tidak

dihukum mati.

.....Bung Karno yang sebenarnya, adalah seorang humanis. Ia tidak dapat melihat darah. Tidak

senang mendengar perpecahan. Ia mencoba mempersatukan apa yang pecah. Ambillah umpamanya

peristiwa-peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia masih memberikan ampun pelaku-

pelakunya. Pelaku-pelaku dalam pemberontakan PRRI juga diberikannya amnesti. Terlebih dahulu

juga dengan pemberontakan Andi Azis. Peristiwa 17 Oktober, Permesta, semua berakhir dengan

perdamaian nasional. Ia bukan penyokong fikiran kekerasan dibalas dengan kekerasan. Oleh

karena itu maka pemimpin-pemimpin bangsa asing di lain bagian dunia kita menghormati Bung

Karno dari sudut ini.

.....Bung Karno lebih dari proklamator. Ia adalah BAPAK KEMERDEKAAN INDONESIA. Ia adalah

ARSITEK dari pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

.....Tanpa Sukarno tidak ada SATU Indonesia, tidak ada SATU bangsa, tidak ada Indonesia

Merdeka, tidak ada bendera dan lagu Indonesia Raya.

.....Sewaktu 99% orang Indonesia terpelajar mengharapkan hidupnya aman di jaman kolonial, ia

menghabiskan waktu mudanya berjuang menentang kolonialisme.......Dengan proklamasinya kita

semua, bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi bangsa yang bernegara, bangsa

yang bernama. Sebagai juga Washington mendirikan Negara Amerika Serikat, demikian juga pada

hakekatnya Bung Karno mendirikan Negara Indonesia, negara Republik Indonesia. Dia juga

memberikan kepada kita Undang-Undang Dasar. Ia juga yang membangunkan segala atribut,

segala perlengkapan satu negara.

.....Ia menghendaki kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Ia menghendaki kebesaran bagi bangsa

Indonesia.....Semboyannya ialah Panta Rei! Gerak terus, gerak maju.

.....Pada waktunya Bung Karno berani mempertaruhkan jiwanya untuk sesuatu yang dianggapnya

penting buat menegakkan negara. Ia lakukan semua keberanian itu, karena sebenarnya ia tidak

menghendaki adanya perpecahan yang berdarah, pembunuhan sesama kita, penghancuran unsur-

unsur kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia.

.....Bung Karno BUKAN tukang komplot.....Ia memupuk kekuatan dan kekuasaan tidak melalui partai.

Tetapi tidak pula ia memakai ―pressure group‖ atau barisan siluman buat menterrorisir partai-

partai yang tidak mau ikuti kemauannya. Di sepanjang sejarah perjuangan Bung Karno ia tidak

sanggup berkomplot. Ia tidak sanggup kasak-kusuk. Ia tidak mengirimkan orang-orangnya untuk

―nggremet‖, nyusup buat menerbitkan kekacauan di kalangan kawan dan lawannya.....Di dalam

segala peristiwa yang terjadi terhadap Bung Karno, setahu saya, tidak pernah ia menggerakkan

satu komplotan kontra terhadap musuh-musuhnya. Ia menolak pembunuhan. Ia menolak

pembinasaan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

208 | P a g e

.....Bung Karno toleran. Ia tidak mendendam panjang. Ia bukanlah Mr.Jekyl and Mr.Hyde. Ia tidak

bermuka dua; satu jahat, satu manis dan baik. Bung Karno adalah manusia yang bersih dalam

rongga dadanya.

.....Hampir semua orang yang pernah bertemu mengatakan manusia yang berjiwa besar. Seorang

yang mencintai sesama manusia. Dan saya tidak pernah mendengar Bung Karno menganjurkan

kekerasan untuk mencapai kekuasaan.

.....Tetapi, ia memang bukan nasionalis yang mlempem. Bukan pula nasionalis borjuis yang sudah

senang dengan keadaan di lingkungannya. Ia nasionalis revolusioner. Ia seorang nasionalis yang

bersemboyan: buat negara yang sedang berjuang tidak ada akhir perjalanannya. Ia anti kolonialis.

Ia anti imperialis. Ia anti kapitalis. Ia anti fasisme.

.....Ia mempunyai perasaan perikemanusiaan yang sangat besar. Ia menganggap perikemanusiaan

itu universil. Dus, ia juga internasionalis. Lebih-lebih lagi, ia internasionalis yang ingin

membesarkan Asia.

.....Jenderal Suharto juga adalah anak didik Bung Karno. Demikian Amir Machmud dll jenderal-

jenderal yang memegang pimpinan berbagai tatausaha negara di waktu itu. Bung Karno, Presiden

Republik Indonesia yang berkuasa itu, tidak ada menempatkan sanak keluarganya pada satu pos

penting pun‖. -

Membaca tulisan di atas, rasanya kita menjadi sedih atau malah bisa menjadi putus asa melihat

perangai serta tingkah laku elite politik di Indonesia jaman sekarang. Akan tetapi, apabila kita

mengingat ajaran Bung Karno, Bung Karno tidak pernah menumpukan harapannya kepada partai-

partai politik maupun kepada elite politik, melainkan kepada pemuda. Karena itu marilah kita juga

menumpukan harapan kita kepada pemuda dan, seperti Bung Karno, berani mengatakan ―go to hell

!‖.

“Kalau saya pemuda, saya akan berontak.....” terkenal kata-kata Bung Karno menggugah

pemuda supaya berani meronta melawan partai-partai politik dengan elite politiknya yang saling

bercakaran dan berebutan kekuasaan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Seruannya kepada

pemuda pada 17 Agustus 1951, tetap aktuil sampai sekarang dan akan selalu tetap aktuil sampai

cita-citanya, impiannya, menjadi kenyataan:

Pemuda !

Lihat ! Engkau berdiri di tengah-tengah perjoangan bangsa kita mencari hidup. Engkau melihat pengacau-pengacauan, dan mendengar ratap-tangisnya berjuta-juta bangsa kita yang meminta ketenteraman dan keamanan. Engkau berjalan di antara orang-orang yang durhaka dan orang-orang yang jujur. Pembunuhan-pembunuhan dan pencurian-pencurian terjadi di muka rumahmu. Ada orang-orang berkata, bahwa itu adalah untuk sesuatu ―idee‖. Tetapi yang terjadi di hadapanmu itu adalah bukan sekadar hal ―idee‖, melainkan hal baik atau jahat !

Maka aku menanya kepadamu: Dapatkah engkau diam-diam saja?

Siapa yang diam di hadapan hal-hal semacam itu, sebenarnya mendegradir dirinya sendiri secara moril !

Soekarno

17 Agustus 1951.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

209 | P a g e

HIDUP BUNG KARNO !!!

Bung Karno: ―Saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu gundukan kayu api unggun, sepotong daripada ratusan atau ribuan kayu di dalam api unggun besar yang sedang menyala-nyala.

Saya menyumbangkan sedikit kepada nyalanya api unggun itu, tetapi sebaliknya pun saya dimakan oleh api unggun itu!

Dimakan apinya api unggun . . . . !

Tidakkah kita sebenarnya merasa semua demikian?‖---

Bung Karno, Presiden pertama RI: 06 Juni 1901 – 21 Juni 1970.

* * *

Menghadirkan Kembali Bung Karnoisme Dalam Praktik

Sabtu, 10 Juli 2010 | 1:46 WIB

Editorial

Dari deretan tokoh-tokoh pejuang pembebasan nasional Indonesia, Soekarno patut diberi tempat

yang khusus, sebagai simbol atau pemimpin dari gerakan tersebut. Dr. Sutomo, salah satu tokoh

gerakan nasional saat itu, meletakkan Soekarno sebagai motor, kekuatan penggerak dari

seluruh barisan yang memperjuangkan kemerdekaan nasional.

Sayang sekali, selama kekuasaan rejim Soeharto, sosok Bung Karno telah dikeluarkan dari

penulisan sejarah, terutama soal gagasan dan sepak terjangnya. Di masa Soeharto, anak sekolah

hanya diperkenalkan dengan Soekarno sebatas perannya sebagai proklamator, tidak lebih dari itu,

sesuatu yang memang tak bisa diputar-balikkan oleh siapapun.

Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto menerbitkan buku "pejuang dan prajurit",

wajah Bung Karno tidak nampak dalam gambar pengibaran bendera merah putih saat proklamasi 17

Agustus 1945. Ini sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak dihapus

dari buku-buku sejarah. Inilah sebagian kecil dari praktek de-sukarnoisme di jaman Soeharto.

Sekarang ini, saat rakyat kita digempur habis-habisan oleh sebuah system penjajahan baru

bernama neoliberalisme, upaya pencarian tokoh bangsa menjadi penting. Ini akan terdengar

"mesianik" di telinga intelektual didikan barat, namun menjadi aspek sangat penting bagi

ratusan juta rakyat yang sedang terjajah dan diabaikan pemimpinnya sendiri. Ibarat anak ayam

yang telah kehilangan induknya, rakyat pun mencari-cari kembali sosok pemimpinnya. Dan, dari

berbagai sosok yang kembali dimunculkan itu, salah satunya adalah Bung Karno. Para pemuda mulai

mencari tahu sosok Bung Karno, tidak sekedar memburu kaos-kaos bergambar Bung Karno, namun

mulai mencari-cari buku-buku yang menceritakan bapak bangsa ini atau bahkan membeli sendiri

buku-buku karya Bung Karno.

Bulan Juni, yang dikenal sebagai bulan Bung Karno karena tiga peristiwa penting, yaitu hari lahir

Pancasila (1 Juni), hari lahir Bung Karno (6 Juni) dan meninggalnya Bung Karno (21 Juni), mulai

dirayakan berbagai kelompok masyarakat. Tidak hanya dirayakan oleh PDIP, partai yang

mengaku melanjutkan cita-cita Bung Karno, tapi juga kelompok masyarakat lain. Ini patut

diapresiasi, bahwa rakyat Indonesia mulai mengambil kembali Bung Karno dari tempat

pembuangannya dalam sejarah Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

210 | P a g e

Berpuluh-puluh tahun Bung karno coba diasingkan oleh sejarawan kanan dari sejarah Indonesia,

namun sekarang rakyat Indonesia telah berusaha mengambilnya kembali.

Oleh karena itu, pantaslah kiranya jika kita menaruh harapan, bahwa kemunculan kembali Bung

Karno ini tidak sekedar di baliho, spanduk, dan poster-poster. Apa yang lebih penting, bahwa

Soekarno kembali bersama gagasan-gagasan perjuangan, yang menurut kami masih sangat relevan

untuk perjuangan rakyat Indonesia saat ini.

Apa yang sangat mendesak adalah menghadirkan kembali Bung Karno dan gagasan-gagasan

perjuangannya. Kita harus memperjuangkan agar ajaran Bung Karno menjadi kurikulum di sekolah,

terutama SMP dan SMA. Seiring dengan prose situ, fikiran-fikiran dan buku-buku Bung Karno

perlu untuk dicetak ulang secara massal, sehingga bisa menjadi bacaan setiap pemuda-pemudi

Indonesia, menghiasi perpustakaan sekolah dan publik. Di Philipina, ajaran Jose Rizal, pahlawan

pembesan nasional negeri itu, menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa di sana.

Dan, lebih penting lagi, diskusi dan kursus politik untuk bagaimana meletakkan fikiran Bung Karno

dalam situasi sekarang menjadi sangat penting. Ajaran-ajarannya seperti Marhaenisme, Resopim,

Manipol Usdek, Trisakti, Pancasila, Sosialisme Indonesia, dan sebagainya, sangat perlu

didiskusikan dan diletakkan dalam konteks sekarang.

Kita sedang berhadapan dengan sebuah sistim penjajahan baru, yaitu neoliberalisme, yang

karakter dan tujuannya tidaklah terlalu berbeda dengan kolonialisme di masa lalu. Untuk itu,

sebagai jalan menghadapi itu, strategi politik Bung Karno menjadi sangat relevan;

sammenbundeling van alle revolutionaire krachten.

Anda dapat menanggapi editorial kami di: [email protected]

http://berdikarionline.com/editorial/20100710/menghadirkan-kembali-bung-\

karnoisme-dalam-praktik.html

Bung Karno atau Soekarno (Sukarno) ?

Bung Karo alias Ir.Soekarno, adalah Presiden Pertama Republik Indonesia, Proklamator

Kemerdekaan Republik Indonesia . Seorang pejuang tak kenal lelah untuk terbentuknya satu

nation, satu bangsa yang berwilayah satu dan berbahasa satu , Indonesia, seperti yang telah

disumpahkan oleh pejuang pejuang kesatuan bangsa didalam hari kedua Kongres Pemuda tanggal

28 Oktober 1928. Hadir dalam Kongres Pemuda ke II itu (dari wikipedia ) :

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada

waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond,

Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa

orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio

Djien Kwie serta Kwee Thiam Hiong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Diprakarsai oleh AR Baswedan, pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di

Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Dalam perjalanan hidupnya, dalam melawan kolonialis Belanda yang didukung selalu oleh sekutu

(USA,Inggris dan beberapa negara Eropa), beiiau telah menghimpun pengagum dan pendukung

politiknya yang konsekwen melawan musuh bangsa Indonesia , satu kekuatan yang bersatu padu

melawan nekolim (neo kolonialismdan imperialisme), yang sangat ditakuti kekuatan barat karena

bisa menggoncangkan dominasi mereka dinegeri negeri neokoloni mereka.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

211 | P a g e

Disamping melahirkan kawan kawan seperjuangnan, tentu saja beliau menghadapi musuh musuh

dalam negeri, yang pada dasarnya adalah kekuatan reaksioner, kekuatan yang justru menghendaki

tetapnya ketergantungan bangsa yang baru ini kepada kekuatan barat yang mereka anggap

kampiun demokrasi. Mereka menganggap, dengan mengadopsi demokrasi a la barat maka Indonesia

akan cepat maju seperti negeri negeri barat. Mereka tidak sadar, bahwa dengan menuruti jalan

yang diberikan dan didiktekan barat, Indonesia akan tetap menjadi negeri setengah koloni dimana

pemerintaha RI hanya berfungsi sebagai boneka yang bisa dimainkan semau mereka ,sebagai

dalangnya, terutama dalam mengexploitasi SDA dan SDM Indonesia untuk kemakmuran pemilik

modal internasional barat. Dan sebagai dampak sampingan, kaum neokolonials dan neoimperialis ini

selalu memasang „pemerintahan― yang korup dan sewenang wenang terhadap rakyat negeri negeri

semi koloni mereka dengan tujuan , semua privileg/hak hak istimewa mereka tidak akan disinggung

singgung selama para penguasa korup ini mereka lolohi dengan dollar yang nota bene hanyalah

sebagian sangat kecil saja dari hasil exploitasi SDA dan SDM ditanah air kita.

Maka tak heranlah kita, semenjak berdirinya pemerintah boneka orba dan sampai sekarang ini,

maka kebiasaan korupsi chususnya, KKN umumnya, sudah merupakan kebudayaan yang dicekokkan

dinegeri ini, merupakan hal yang seakan akan biasa, ya memang begitulah dimana mana urusan

negara berjalan !

Anggapan beginilan yang merupakan anggapan yang keblinger dan menceng ! Hal inilah yang selalu

dan tak lelah lelahnya diperangi dan dilawan oleh Bung Karno. Selama Indonesia masih tergantung

hidupnya kepada kaum nekolim, kita bisa melihat sendiri, bagaimana sejak lahirnya orba sampai

sekarang, rakyat miskin makin kembang kempis hidupnya, hutang negara melejit setinggi langit

yang melunasi juga harus rakyat miskin, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh anak anak orang

orang berduit, terutama para koruptor dan pengusaha besar, persentase kemiskinan makin

melonjak , lingkungan dirusak , dobrak abrik, hutan digunduli, sungai dikotori dengan sampah

sampah pabrik , kimia dan tambang. Laut dihabisi isinya oleh pengusaha pengusaha besar dan asing

tanpa mengingat pentingnya regenerasi keseimbangan lautan. Mineral, kekayaan alam makin

mengosong, tambang tambang makin melompong.

Inilah semua akibat pemerintah pemerintah korup yang sengaja dipasang oleh kaum neokolonial

dan neoimperialis, sejak dari orba sampai sekarang. Seperti telah tertulis diatas, pikiran,

tindakan , perjuangan yang telah dilakukan Bung Karno selama hidupnya, telah menimbulkan

simpatin dan dukungan besar dari mayoritas bangsa Indonesia , sedangkan sebagian kecil yang

termasuk manusia manusia reaksioner yang egois dan egosentris yang menjadi kakitangan kaum

nekolim, dengan sendirinya memusuhi Bung Karno secara sembunyi sembunyi atau terang terangan.

Entah benar atau tidak, tetapi ini kesimpulan saya, mereka yang memusuhi atau antipati terhadap

Bung Karno sekarang ini, selamanya , baik dalam pidato, pembicaraan atau tulisan akan

menyebutkan nama beliau dengan „Soekarno―. Sedangkan yang memihak kepada pikiran, politik dan

tindakannya, akan selalu menyebutkannya dengan titel dan nama akrabnya „Bung Karno―.

Anehnya, dan janggalnya, ada juga beberapa manusia yang mengaku „kiri―, menamakan dirinya

progresif atau pembela rakyat miskin nomer wahid, dalam ulasan ulasannya juga menyebut nama

Bung Karno dengan „Soekarno― atau „Sukarno―, nama yang juga disebut/dipakai oleh kaum nekolim,

musuh rakyat Indonesia. Mereka ini kaum „kiri― yang meremehkan Bung Karno, seakan mereka

lebih banyak jasanya, adalah benar benar manusia „kiri― yang tidak tahu sejarah, tidak tahu

hakekat perjuangan bangsa Indonesia, yang hanya berjuang diatas buku dengan huruf huruf

cetak, buta akan situasi dan kondisi Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

212 | P a g e

Mereka adalah kaum kiri yang keblinger ! Pada hakekatnya, sikap memusuhi dan meremehkan jasa

jasa Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan, kebebasan dan persatuan bangsa Indonesia,

apapun motivasinya, adalah sikap yang satu front dengan kaum neoimperialis !

Menghormati jasa jasa Bung Karno adalah kriteria bagi seseorang, apakah dia seorang patriot

atau seorang reaksioner yang hidupnya tergantung kepada penjualan tanah air dan bangsa kepada

nekolim, atau seorang yang merasa dan menjajakan dirinya sebagai orang "kiri", menganggap lebih

berjasa dan lebih tinggi "kerevolusionernya" dari pada Bung Karno , tetapi pada hakekatnya dia

adalah seorang pembantu dan kaki tangan kaum neoimperialis.

iwa

Monumen dan patung Bung Karno di Surabaya dan Jakarta

Berikut di bawah ini disajikan berita-berita tentang didirikannya Monumen Kelahiran Bung Karno

di Surabaya, yang dikutip dari beberapa sumber. Peristiwa yang diungkap dalam berita itu

merupakan hal yang penting bagi pelurusan sejarah Bung Karno. Juga mempunyai arti tersendiri,

ketika negara dan bangsa kita sedang dalam situasi yang tidak menentu, dalam keadaan

terpuruk, dan ruwet atau kacau di berbagai bidang seperti sekarang ini. Berita-berita tersebut

adalah sebagai berikut : Surabaya Bangun Monumen Kelahiran Bung Karno Minggu, 29 Agustus

2010

TEMPO Interaktif, Surabaya - Pemerintah Kota Surabaya membangun monumen kelahiran Bung

Karno di Jalan Pandean IV/40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya. Peletakan batu

pertama pembangunan monumen tersebut dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi

Hartono, Minggu (29/8).

Ketua panitia acara pembangunan monumen Bung Karno, Peter A Rohi mengatakan monumen itu

untuk menandakan tempat kelahiran Soekarno. Rencananya, monument tersebut akan diresmikan

pada 6 Juni 2012 mendatang. "Kami hanya membuat tugu kecil sebagai penanda, sebab tempatnya

sempit dan tak memungkinkan untuk membuat monumen yang besar," kata Peter.

Peter menambahkan, pembangunan monumen Bung Karno itu juga dimaksudkan untuk meluruskan

anggapan yang menyebutkan bahwa presiden pertama Indonesia tersebut lahir di Blitar, Jawa

Timur. Padahal dalam penelusuran sejarah, kata Peter, Bung Karno dilahirkan di kampung Pandean.

"Kami ingin meluruskan sejarah," ujar Peter.

Berdasarkan penelusuran yang dia lakukan, ayah Sokarno, R Soekeni Sosrodiharjo yang juga

seorang guru, dipindah dari Singaraja, Bali ke Sekolah Sulung Surabaya pada akhir 1900. Pada

saat itu istri Soekeni, Nyoman Rai Srimben tengah hamil tua. "Dipastikan Bung Karno lahir di

Surabaya," imbuh Peter.

Selain itu, ujar Peter, putra-putri Bung Karno juga membenarkan bahwa ayahnya lahir di Kota

Pahlawan. Sebab suatu ketika Guruh Soekarnoputra pernah menyatakan pada Bambang Dwi

Hartono bahwa ayahnya lahir di kampung di tepi Kali Mas itu. "Banyak referensi yang menyatakan

Bapak lahir di Blitar, itu keliru," kata Bambang menirukan Guruh.

Menurut Peter, biaya pembangunan monumen itu berasal dari urunan para pecinta dan pengagum

Bung Karno. Peter sebenarnya sempat meminta bantuan dana kepada sejumlah pengusaha namun

tidak mendapat respon. "Akhirnya kami urunan, dan terwujudlah monumen ini," kata Peter yang

juga wartawan senior.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

213 | P a g e

Sebelum peletakan batu pertama, acara itu didahului dengan seminar bertema "Soekarno dan

Surabaya" di Balai Pemuda, Sabtu sore kemarin. Seminar itu mendatangkan pembicara Dr Yuke

Ardhiati, Dr Nurinwa Hendrowinoto, Dr Tjuk Kasturi Sukiadi dan Bambang Budjono.

* * *

Luruskan Sejarah Kelahiran Soekarno

Minggu, 29 Agustus 2010

SURABAYA, KOMPAS.com--Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono akan mengirim surat ke

Sekretaris Negara (Sekneg) terkait pelurusan sejarah tempat kelahiran proklamator RI

Soekarno (Bung Karno) yang berasal dari Surabaya dan bukan dari Blitar. "Kami akan mengirim

surat ke Sekneg terkait itu," kata Bambang di acara Seminar Pelurusan Sejarah Tempat

Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.

Bahkan dalam pidato Bung Karno, lanjut dia, dikatakan Bung Karno sendiri mengaku sebagai warga

Surabaya. Namun, lanjut dia, sejarah tersebut diputarbalikkan, sehingga seolah-olah Bung Karno

lahir di Blitar. Menurut dia, gambaran menghargai kepahlawan di Indonesia hingga saat ini masih

kurang.

* * *

"Bung Karno Arek Suroboyo"

Sabtu, 28 Agustus 2010

Surabaya (ANTARA News) - "Banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa semangat

perjuangan dan jiwa seni Sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Soekarno (Bung Karno) adalah

juga `Arek Suroboyo` (pemuda asal Kota Surabaya)," kata Peneliti dan pengajar di Universitas

Trisakti Jakarta, Yuke Ardhiati.

Yuke mengatakan bahwa setiap bulan Juni dan Agustus, hampir dapat dipastikan "ruh Soekarno"

hadir di bumi Indonesia.

"Bulan Juni menjadi bulan khusus baginya (hari kelahirannya), bulan Agustus adalah bulan

diproklamasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia," katanya di acara Seminar Pelurusan

Sejarah Tempat Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.

Menurut dia, si Arek Suroboyo itu telah lama "Kondur Sowan ing Ngarsaning Gusti Allah"

(berpulang ke Rahmatullah atau wafat, red), namun suaranya yang menggelegar di setiap

kesempatan menyapa rakyatnya, masih selalu bergema menggaungkan resonansi di setiap sudut

hati.

Eksplorasi Yuke untuk mengungkapkan semangat "Arek Suroboyo" yang terpantul dari jiwa

Soekarno, diterapkan dalam teori arketipe tentang konsep diri dari gagasan Carl Gustav Jung.

Arketipe, sebagai refleksi sifat dominan dari karakteristik manusia. Dalam diri Soekarno

tertanam gabung dari berbagai arketipe yaitu "mother", "hero" dan "mona" berpadu sekaligus.

"Soekarno memiliki sifat menyerupai rahim ibu. Sebagai penyedia sebuah kehadiran, ada semangat

patriotik. Namun sekaligus memiliki daya pesona yang luar biasa dari dirinya," paparnya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

214 | P a g e

Pengalaman dan kebiasaan Soekarno sejak usia muda, kata dia, dijelaskan dalam lima hal, yakni

timangan (kekudangan orang tua), kecintaan terhadap unsur air, menolak nuansa kolonialisme,

cinta romantisme terhadap negara, citra kemegahan budaya Jawa Kuno.

"Dan terakhir pemuda berjiwa patriot," katanya.

Dalam semua penulisan biografi Soekarno sebelum tahun 1970, semuanya menulis Bung Karno lahir

di Surabaya.

Akhir tahun 1900, R.Soekani Sosrodiharjo (ayahanda Soekarno) dipindahtugaskan dari Singaraja

Bali sebagai guru sekolah rakyat Sulung, Surabaya.

Di Surabaya itulah istrinya, Nyoman Rai Srimben melahirkan seorang putera yang diberi nama

Kusno yang kemudian menjadi Soekarno pada 6 Juni 1901.

Demikianlah berita-berita yang diambil dari beberapa sumber.

Di bawah berikut ini adalah sekadar berbagai tanggapan mengenai berita-berita tersebut di atas :

-- Dilihat dari berbagai segi dan sudut pandang, pembangunan monumen kelahiran Bung Karno di

Surabaya ini merupakan peristiwa yang penting. Sebab, selama ini masih sedikit sekali monumen

atau peninggalan-peninggalan bersejarah tentang kehidupan dan perjuangan Bung Karno yang bisa

dijadikan oleh rakyat untuk mengenang pemimpin besar bangsa kita itu beserta gagasan agungnya

dan ajaran-ajaran revolusionernya.

Memang, sudah banyak kalangan dalam masyarakat yang mengenal museum dan makam Bung Karno

di Blitar, yang tiap harinya sepanjang tahun dikunjungi banyak orang, bahkan seringkali sampai

ribuan orang.

Walaupun tempat pembuangannya di Endeh (Flores), dan bekas tempat tinggalnya di Bengkulu juga

menjadi perhatian banyak orang, namun masih banyak peninggalan sejarah hidup Bung Karno

lainnya yang patut sekali dikenang dan dihormati oleh para pencintanya atau pengagumnya,

termasuk masyarakat luas lainnya.

Didirikannya monumen kelahiran Bung Karno di Surabaya adalah penting bukan saja karena kota

ini merupakan tempat lahir Bung Karno melainkan juga karena di kota inilah ia mulai dalam usia

muda belia belajar politik dan mengenal Marxisme atau sosialisme dari pemimpin besar gerakan

Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Jadi, Surabaya adalah tempat beriwayat bagi Bung Karno selagi masih muda belia, seperti halnya

kota Bandung, sebelum ia dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Endeh dan Bengkulu.

Didirikannya monumen kelahiran Bung Karno di Surabaya baru-baru ini menambah sarana bagi

banyak orang untuk mengenang kembali jasa-jasa besar tokoh agung Pemimpin Besar Revolusi

(PBR) Bung Karno, yang merupakan salah satu dari tokoh-tokoh yang menjadikan Surabaya sebagai

Kota Pahlawan

Karena itu, didirikannya monumen kelahiran Bung Karno di Kota Pahlawan (Surabaya) ini bisa

mempunyai arti simbolis, yang menjadikan satunya tokoh Pemimpin Besar Revolusi ini (Bung Karno)

dengan kota yang melahirkan Hari Pahlawan 10 November.

Pembangunan monumen di Surabaya ini menyusul peristiwa penting lainnya beberapa minggu

sebelumnya, yaitu didirikannya patung besar Bung Karno (lebih dari 9 meter) di kampus

Universitas Bung Karno di Jakarta, yang menarik perhatian banyak orang.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

215 | P a g e

Pembangunan monumen di Surabaya dan didirikannya patung besar di Universitas Bung Karno

mengindikasikan bahwa opini publik terhadap Bung Karno, yang pernah lebih dari 32 tahun

diracuni oleh Orde Baru, sudah mulai berobah sedikit demi sedikit.

Mengingat situasi di Indonesia dewasa ini, yang betul-betul sudah terlalu sakit parah dan payah

dengan segala macam kerusakan moral yang menimbulkan bermacam-ragam kejahatan (antara lain

korupsi dan pelanggaran hukum, kongkalikong dengan neo-liberalisme) maka opini yang pro-ajaran-

ajaran Bung Karno adalah penting untuk bangsa kita.

Untuk itu, banyaknya sarana untuk mengenal kebesaran sejarah perjuangan Bung Karno dan

ajaran-ajaran revolusionernya – yang bisa berupa buku-buku, kaset-kaset berisi pidato-pidatonya,

lagu-lagu, foto-foto bersejarahnya, monumen atau patung-patungnya -- perlu diperbanyak di

mana-mana oleh inisiatif masyarakat, seperti yang dilakukan oleh berbagai kalangan di

Surabaya atau di Universitas Bung Karno di Jakarta.

Tersebarnya secara seluas mungkin ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah salah satu di

antara unsur-unsur penting dan juga investasi utama dalam usaha bersama untuk membangun

kekuatan besar yang bisa mendorong revolusi rakyat sesuai dengan gagasan-gagasan Pemimpin

Besar Revolusi Bung Karno, dalam situasi dan kondisi sekarang.

Penyebaran ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno seluas mungkin dan sebanyak mungkin adalah

tugas utama bagi seluruh kekuatan demokratis di Indonesia, yang menginginkan adanya perubahan

besar-besaran dan fundamental di negeri kita, demi kepentingan rakyat, terutama rakyat miskin.

Paris, 31 Agustus 2010

1.. Umar Said

Membaca buku Nani Nurani Affandi

―Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno‖

Galangpress, Yogyakarta, 2010, 400 halaman Bagian Dari Tragedi 1965

(Catatan Harsutejo)

Selama ini ada sejumlah buku memoir yang ditulis oleh korban tragedi 1965 maupun kumpulan

kesaksian mereka, di antaranya oleh kaum perempuan. Mereka umumnya berasal dari organisasi

kiri atau yang dianggap kiri. Sering buku-buku itu menceritakan kepedihan luar biasa yang

menimpa mereka yang sama sekali tidak berdosa berupa perendahan harkat manusia dan harkat

perempuan, penyiksaan yang mengarah pada pelecehan seksual, perkosaan beramai-ramai maupun

dalam jangka panjang, dan bahkan pembunuhan. Kisah-kisah itu sering mengerikan dan mendirikan

bulu kuduk. Secara munafik sang rezim menyebutnya atas nama Pancasila.

Buku ini tidak menceritakan hal-hal dahsyat semacam itu, tetapi cukup menarik di antaranya

karena ditulis oleh seorang penyintas tragedi 1965 yang tidak berasal dari golongan kiri

(menurutnya ia disebut sebagai borjuis oleh beberapa ibu Gerwani), bahkan ia tidak berorganisasi

apa pun yang berbau politik, dengan begitu ia menulisnya dengan kacamata berbeda, kental dengan

aspek kemanusiaan dan gambaran tindak kesewenangan rezim yang berkuasa.

Buku dibuka dengan sejumlah pengantar yang cukup banyak sampai makan 44 halaman dari

sejumlah tokoh LBH yang pernah membelanya dalam perkara KTP seumur hidup, sampai dari

beberapa orang dekat penulis. Selanjutnya tentang dirinya yang dididik dalam lingkungan Islam

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

216 | P a g e

taat yang modern sampai ia menjadi penyanyi dan penari di Istana Cipanas pada 1962-1965, ketika

itu ia bermukim di Cianjur. Dari situ ia kenal banyak tokoh terkemuka. Pada Juni 1965 ia pindah

dan bekerja di Jakarta.

Kegiatannya dalam kesenian masih berlanjut, bahkan ia pun kenal dengan Istana Cendana-nya

Suharto sampai 1968 sebelum ia ditangkap. Sebelum pindah ke Jakarta ia sempat diundang dalam

ulang tahun PKI 1965 di Cianjur untuk menyanyi dan menari, sesuatu yang dilakukannya kepada

siapa saja yang mengundangnya. Di zaman edan Orba hal ini sudah dapat dijadikan cukup buklti

sebagai keterlibatannya bukan saja dengan PKI tapi juga dengan G30S. Tuduhan yang

disandangnya pun cukup berat ―sebagai kader PKI yang diselundupkan,‖ ketika itu ia berumur 27

tahun. Ia ditahan sebagai tapol, dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan yang lain, sampai

mendarat di penjara Bukitduri, Jakarta.

Sebagai seorang muda yang dididik keras menghargai moral kejujuran, ia pun menjadi jujur dan

polos, bahkan sering naif. Di situ ia sering mengalami masalah berhadapan dengan para pejabat

dan sesama tapol yang jauh lebih berpengalaman, juga dalam memasang berbagai macam topeng.

Ia pun berhadapan dengan berbagai intrik dan semacam komplotan di penjara Bukitduri, apalagi

karena ia selalu rapi dan wangi. Ia tidak pernah mengalami siksaan fisik, tetapi kenyang dengan

siksaan mental. Beruntung di Bukitduri pula ia bertemu dengan tokoh-tokoh nasional yang dapat

menjadi gurunya, ibunya, pelindungnya. Ia belajar bahasa Inggris dari Ibu Carmel Budihardjo,

keterampilan dari Ibu Masye Siwi (tokoh Gerwani), Ibu Salawati Daud (walikota perempuan

Indonesia pertama dari Makassar dan anggota DPR), dari Ibu Mudigdio (anggota DPR, mertua DN

Aidit), ia bahkan belajar mengaji lanjutan dan menafsirkan isinya dari tokoh sepuh ini. Dari Ibu

Mudikdio yang disapanya dengan Embah Mudik, tokoh yang sangat ia hormati, tempat banyak

belajar menjadi tabah dan kuat. Dalam buku ini ia banyak menceritakan tentang pergaulan dan

interaksinya dengan Mbah Mudik yang memperlakukan dirinya seperti anak bungsunya, tempat ia

mencurahkan isi hatinya dan mengadu. Di samping itu ia juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh

seperti dokter Tanti Aidit, Suharti Suwarto (tokoh Gerwani), juga dengan sejumlah tapol ―Lubang

Buaya‖ yakni yang pernah ikut latihan sukwan ganyang Malaysia 1965 yang mendapat tuduhan amat

berat dan mengerikan sebagai penyiksa para jenderal yang mengalami siksaan fisik dan mental

tiada tara ketika mereka berumur belasan tahun.

Nani Nurani terlahir sebagai bungsu dari beberapa anak, mendapat perlindungan dan kasih sayang

dari keluarga dan menjadi anak yang biasa disebut sebagai manja, takut kegelapan dsb. Dengan

pengalaman seluruh hidupnya, terutama melalui enam tahun dalam tahanan dan penjara Bukitduri

sebagai tapol, banyak belajar dari sekitar, ia menjadi kuat dan berani, bahkan orang menyebutnya

nekat. Pastilah ia juga seorang yang cerdas meski pendidikan formalnya tidak tinggi. Pada 2003 ia

menuntut pemerintah untuk mendapatkan KTP seumur hidup sesuai peraturan, sesuatu yang

sangat menguras waktu dan energinya, dasar ia ―kepala batu‖ ia tidak menyerah. Baru pada 2008

ia memenangkannya di tingkat Mahkamah Agung. Bravo Mbak Nani.

Catatan: Mas Ilham & Mbak Iba, mungkin anda sudah baca buku ini, kalau belum ada baiknya anda

baca. Bekasi, 31-8-2010.-

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

217 | P a g e

Pemberitaan seputar G30s -setelah 45 tahun berlalu...

Yogyakarta (ANTARA) - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan pernah terungkap

secara utuh karena seluruh tokoh kunci gerakan tersebut sudah meninggal dunia, kata sejarawan

dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Budiawan.

"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang

gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan

tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.

Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para

ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi

penelitian baku. "Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak

sepenuhnya benar, cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi

Soeharto dongeng belaka," katanya. Selain itu, ia mengatakan diskriminasi yang dialami oleh

mantan tahanan politik Orde Baru telah mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan

tahanan politik tersebut.

"Setelah mereka dibebaskan tidak serta merta mereka mendapatkan kebebasan yang

sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan

masyarakat," katanya. Ia mengatakan diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan

masyarakat, bahkan para mantan tahanan politik Orde Baru mendapat diskriminasi dari saudara

mereka. "Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang

serba salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.

Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik

karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik

sebagai warga yang patut dibedakan. "Oleh karena itu sampai saat ini para mantan tahanan politik

tersebut masih menyimpan trauma dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.

http://id.news.yahoo.com/antr/20101001/tpl-kasad-laten-komunis-tetap-patut-diwa-

cc08abe.html

Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI George Toisutta,

mengatakan, munculnya kebebasan yang diusung atas nama demokratisasi, termasuk kebebasan

berideologi, membuat laten komunis tetap patut diwaspadai.

"Jangan karena dalih kebebasan atau demokratisasi dan penghormatan terhadap hak azasi

manusia, kita menjadi lengah dan tidak waspada terhadap laten komunis," kata George dalam

sambutannya di acara `Tahlilan dan doa bersama Mengenang Pahlawan Revolusi yang dibasmi

dalam pemberontakan G 30 S/PKI, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Kamis.

Menurut dia, masyarakat Indonesia jangan melupakan kekejaman kaum komunis di sepanjang

sejarah bangsa Indonesia, dimana banyak pahlawan revolusi yang meninggal akibat pemberontakan

dan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965 lalu.

"Kita patut bersatu padu dan bergotong-royong untuk menutup semua celah dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri

nusantara ini," tegasnya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

218 | P a g e

Menurut George, komunis telah memaksakan kehendaknya yang nyata-nyata bertentangan dengan

tujuan dan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, yakni dengan membangun masyarakat adil dan

makmur dalam wadah NKRI berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu, bila ada upaya untuk menghambat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, maka

patut ditumpas. Ia mengingatkan bahwa empat pilar yang menopang eksistensi bangsa Indonesia,

yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dan dipertahankan, oleh

karenanya patut diwaspadai terhadap upaya-upaya untuk mengubah empat pilar itu.

George menambahkan, acara tahlilan dan doa bersama ini mengandung makna yang sangat penting

karena selain sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, juga mengajak

kita semua untuk lebih memahami dan menghayati fakta sejarah peristiwa pemberontakan

G30S/PKI.

Di tempat yang sama, Panglima Kodam Jaya/Jayakarta, Mayor Jenderal Marciano Norman,

mengatakan, dengan adanya iklim kebebasan seperti saat ini dapat saja dimanfaatkan untuk

menghapuskan sejarah dan memutarbalikan fakta, sehingga membuat generasi muda bingung dan

menjadi peluang bagi bangkitnya kembali komunisme di Indonesia.

Oleh karena itu, lanjut dia, masyarakat Indonesia patut waspada terhadap kemungkinan

bangkitnya kembali komunisme dalam berbagai bentuk. "Kita harus waspada dengan kemungkinan

seperti itu dengan menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi

negara," kata Marciano.

Ia menambahkan, acara tahlilan dan doa bersama untuk mengenang pahlawan revolusi itu tidak

hanya sebagai ritual yang sering dilakukan oleh TNI, tetapi sebagai upaya menanamkan nilai

kepahlawanan dalam bentuk patriotisme yang diwariskan oleh generasi penerus bangsa.

Sementara itu, Letjen Hotmangaraja Panjaitan yang merupakan anak dari pahlawan revolusi

Mayjen DI Panjaitan, mengatakan, banyak pahlawan revolusi yang telah menjadi korban keganasan

PKI pada 30 September 1965 lalu.

"Namun, kami ikhlaskan pengorbanan mereka untuk menjadikan pemicu bagi kami dan menjadi

cita-cita TNI dalam memperjuangkan ideologi bangsa Indonesia," katanya.

2010/9/30 ChanCT <[email protected]>

tabik,

Arifadi Budiarjo

[email protected]

0811153687

BB Pin :2175B27A

"Dimanapun yang memperbarui itu generasi muda" - YB Mangunwijaya

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

219 | P a g e

8/08/2001 12:40 WIB

Misteri CIA di Seputar G30S (1)

Soekarno Diduga Tahu Penculikan

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Dua pekan lalu, publik Indonesia dikejutkan dengan kabar ditariknya dokumen

rahasia tentang kiprah pemerintahan AS pada saat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G

30S). Padahal, baru beberapa hari sebelumnya, dokumen itu dibuka menyusul dilantiknya

Megawati Soekarnoputri, putri mantan Presiden Soekarno, menjadi presiden RI ke-5. Menariknya,

penarikan dokumen tersebut terjadi bukan karena protes. Sejak dibuka diam-diam, tak satu pun

pihak yang menyatakan keberatan atas isi dokumen.

Ini jelas suatu keanehan. Adakah yang janggal dalam peristiwa itu? Siapa saja yang sebenarnya

terlibat versi CIA dalam tragedi tersebut? Meski sudah ditarik, tak urung beberapa copy

dokumen tersebut telah beredar. Berikut beberapa bagian dari dokumen tersebut, khususnya

yang menjelaskan apa yang terjadi di elite politik RI dalam kurun waktu Oktober 1965-Maret

1966.

Di poin pertama pada bab yang berjudul, "Kudeta dan Reaksi Perlawanan : Oktober 1965 - Maret

1966," begitu terjadi operasi penculikan para jenderal, CIA langsung mencurigai keterlibatan

Soekarno. Namun tak dijelaskan apa yang mendasari kecurigaan tersebut. Berikut teks dokumen

CIA yang ditujukan kepada Presiden AS Lyndon Johnson. Menariknya, memorandum tersebut

dikirim 1 Oktober 1965 pukul 07.20 AM waktu Washington DC, atau hanya selisih beberapa jam

dari peristiwa pembunuhan para jenderal.

Memorandum untuk Presiden Johnson Washington, 1 Oktober 1965, 7:20 pagi (Berikut teks

laporan situasi oleh CIA) Sebuah gerakan kekuatan yang mungkin telah menyebabkan implikasi

yang jauh sedang terjadi di Jakarta. Kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September"

mengklaim telah mencegah "kudeta jenderal' di Indonesia.

Sejumlah jenderal dan politisi telah ditangkap, dan rumah kediaman Menteri Pertahanan Jenderal

Nasution dan Panglima ABRI Jenderal Yani berada di bawah pengawasan tentara. Keputusan yang

dikeluarkan oleh Letkol. Untung, Komandan Pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa-red)

menyatakan bahwa pemerintahan akan diatur oleh Dewan Revolusi Indonesia. Menurut keputusan

tersebut, dewan akan meneruskan kebijakan pemerintah yang sudah ada dan keanggotaan dewan

akan segera diumumkan. Belum ada keterangan mengenai peran aktif Presiden Soekarno. Radio

pemerintah RRI adalah yang pertama kali mengumumkan bahwa Gerakan 30 September

diorganisir untuk "menyelamatkan Presiden Soekarno yang kesehatannya mengkhawatirkan."

Gerakan 30 September kemudian menyatakan bahwa Soekarno aman dan "terus menjalankan

kepemimpinan bangsa." Kelompok Gerakan 30 September mengklaim rencana kudeta oleh para

Jenderal bersumber dari Amerika. Jaringan telepon eksternal di Kedutaan AS sempat terputus 3

jam sebelum RRI mengumumkan bahwa "kudeta" telah digagalkan. Aparat tentara ditempatkan di

Kedutaan AS.

Tujuan yang ingin segera dicapai oleh Gerakan 30 September tampaknya adalah untuk

menyingkirkan setiap peran politik oleh elemen-elemen ABRI yang anti-komunis dan perubahan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

220 | P a g e

dalam kepemimpinan ABRI. Tindakan terhadap elemen ABRI serupa tampaknya juga direncakan di

luar Jakarta. Masalah ini bisa saja digunakan untuk membentuk aktivitas baru yang anti-Amerika.

Tampaknya mungkin saja Soekarno tahu sejak awal gerakan ini dan tujuannya. Namun langkah

terpenting menyangkut timing dan detil rencana tampaknya dipegang oleh Wakil I Perdana

Menteri Subandrio dan pemimpin komunis yang dekat dengan Soekarno.

8/08/2001 13:20 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (2)

ABRI Salip Soekarno, 5 Oktober

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Masa-masa antara 1-5 Oktober 1965 adalah saat yang genting. Bagaimana

mengantisipasi G 30S dan siapa dalang gerakan itu masih menjadi spekulasi. Kedubes AS sempat

panik dan ingin mengevakuasi warga AS yang di Indonesia, namun upaya itu dicegah setelah

mendapat saran seorang jenderal ABRI. Yang menarik, CIA pun segera menganalisa lebih jauh

apakah Presiden Soekarno tahu persis gerakan itu? Kesimpulannya, ada 2 spekulasi.

Soekarno tahu persis geralan itu dan mencoba memancing reaksi, kedua, Soekarno tak tahu

menahu karena ia dibodohi pelaku G 30S. Sementara itu, di tengah situasi itu, ABRI bergerak

cepat. CIA mensinyalir ABRI sengaja akan mempergunakan momentum pemakaman 6 jenderal

sebagai wahana meraih simpati masyarakat. Sekaligus, mereka akan menenggelamkan kharisma

Soekarno.

Berikut memorandum yang menyebutkan hal tersebut. Memorandum dari Direktur Wilayah Timur

Jauh (Blouin) kepada Asisten Menteri Pertahanan untuk Urusan Keamanan Internasional

(McNaughton) Washington, 4 Oktober 1965 Masalah: Situasi di Indonesia.

Situasi di Indonesia tengah dilanda keresahan dan Presiden Soekarno tampaknya berupaya keras

untuk mempertahankan kesatuan nasional di tengah-tengah meningkatnya perseteruan antara

ABRI dan kelompok-kelompok yang mendukung Gerakan 30 September. Tubuh para pejabat

militer yang ditembak pada awal usaha kudeta 30 September lalu telah ditemukan. Ada laporan

telah terjadi tindak 'kebrutalan' pada tubuh mereka, dan ABRI dengan bermodalkan pada insiden

ini ingin mencari dukungan publik atas posisinya. Akan tetapi, Soekarno telah mengisyaratkan

bahwa dirinya belum siap bergerak melawan PKI, Angkatan Udara, Subandrio atau elemen-elemen

lainnya yang mungkin terlibat dalam perebutan kekuasaan 30 September. Ada

laporan yang mengindikasikan bahwa Soekarno berada di tangan Angkatan Udara sampai hari

Minggu dan tidak tahu situasi yang sebenarnya. Laporan lainnya menyebutkan bahwa Soekarno kini

sangat menyadari apa yang telah terjadi dan tahu siapa yang jadi dalangnya. ABRI telah melarang

koran PKI - Harian Rakyat -- terbit namun belum bertindak apapun terhadap markas PKI.

Jenderal Seoharto, yang tampaknya memiliki kontrol yang kuat terhadap situasi militer di dalam

dan sekitar Jakarta, pergi ke RRI hari ini, dengan pidatonya yang berapi-api ia mengutuk

Angkatan Udara atas perannya dalam kudeta dan upayanya mencari dukungan publik dengan

menyebut-nyebut soal tindakan brutal terhadap pada jenderalnya. Ini merupakan indikasi pertama

yang kita dapat bahwa ABRI mungkin saja bersedia mengikuti kebijakan Soekarno yang coba

membelokkan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

221 | P a g e

Evakuasi Warga Amerika Sejauh ini belum ada satupun keberangkatan warga AS dari Jakarta via

pesawat terbang komersial, meski pihak Kedutaan memperkirakan bahwa itu mungkin baru dimulai

hari ini. Seorang pejabat tinggi Indonesia (Jenderal Rubiono) mengatakan kepada Kedutaan AS,

tidaklah bijak mengevakuasi warga Amerika pada saat ini karena hal itu akan menunjukkan

kurangnya kepercayaan pada kemampuan ABRI untuk mengatasi situasi. Sebaliknya, ada laporan

bahwa Letkol Untung tengah berada di Jawa Tengah dan sedang mengatur beberapa batalyon

untuk kembali melakukan aksi terhadap ABRI dan pemimpin PKI Aidit kini sedang bersembunyi.

Estimasi Situasi Ada beberapa penilaian dari terjadinya peristiwa belakangan ini, yang semuanya

didukung oleh beberapa informasi yang, kadang kala bertentangan. Namun ada 2 hal utama, yakni:

1. Soekarno mengetahui sesungguhnya apa sedang terjadi sejak awal dan bersikap menunggu

sampai ia bisa melihat siapa yang akan muncul paling depan (diduga ia mengharapkan kudeta trio

Untung-Subandrio-Dani akan berhasil dan Panglima ABRI tak lagi menjadi ancaman terhadap

kebijakannya yang pro-Peking).

2. Soekarno telah dibodohi untuk percaya bahwa kudeta Untung Cs dilakukan untuk

menyelamatkan dirinya dari sebuah kudeta oleh ABRI yang disponsori AS, dan kini ia mulai

percaya bahwa Angkatan Udara PKI terlibat dalam upaya menyingkirkan lawan kuat mereka satu-

satunya, ABRI.

Jika perkiraan (1) di atas benar, maka Soekarno akan melakukan apa saja untuk mencegah ABRI

menghancurkan Angkatan Udara dan PKI, dan ia akan melanjutkan kebijakan terdahulunya yang

menerapkan hubungan dekat dengan Peking dan PKI, yang akan merugikan kita.

Ia telah melakukan beberapa upaya untuk mengesankan bahwa insiden ini semata-mata merupakan

pertikaian antar lembaga.

Jika kita anggap estimasi (2) tersebut benar, maka ABRI akan diberikan otoritas lebih dan orang-

orang seperti Subandrio, Dani dan Untung akan keluar. Tapi, Soekarno mungkin takut bila ia

membiarkan ABRI mengambil tindakan terlalu cepat terhadap Gerakan 30 September, dan

khususnya terhadap PKI, perang sipil akan meluas dan memecah belah negara, akibatnya pulau-

pulau tertentu rentan terhadap penetrasi asing.

Dengan bergerak perlahan dan berupaya menunjukkan kesatuan nasional, ia mungkin bisa

mencegah disintegrasi bangsa dan tetap mengatur elemen-elemen yang coba menggulingkan

pemerintah. Saya cenderung untuk mengira bahwa Soekarno tahu, setidaknya sebagian, apa yang

terjadi sejak awal dan ia sekarang berusaha untuk bersikap sewajarnya, menjaga prestise dirinya

tetap utuh. Pertanyaannya adalah, apakah ABRI yang telah menunjukkan kekuatan dan

kesatuannya, akan mengizinkan Soekarno menjalankan kontrol pemerintah yang dulu

diterapkannya. Dalam berbagai peristiwa, citra Soekarno telah memudar. Dua hari mendatang kita

akan bisa tahu banyak.

Jika ABRI menjadikan peringatan Hari ABRI (5 Oktober) sebagai prosesi besar pemakaman para

jenderalnya, maka momentum itu bisa menempatkan ABRI dalam posisi terdepan dan bukannya

Soekarno. Akan tetapi, kita tak bisa mengesampingkan kekuatan Soekarno memanipulasi situasi

dengan cara apapun yang ia inginkan, yang baik atau yang buruk. Mungkin sekarang tak ada orang

lain di Indonesia yang bisa menjaga keutuhan bangsa, dan ABRI mungkin menganggap faktor ini

lebih penting daripada melakukan tindak pembalasan terhadap Angkatan Udara dan PKI.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

222 | P a g e

E.J. Blouin

Direktur Wilayah Timur Jauh

8/08/2001 14:40 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (3)

Kedubes Minta AS Dukung ABRI

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Kedubes AS di Indonesia, merekomendasikan pemerintah AS untuk

membantu segala langkah ABRI mengatasi G 30S. Karena inilah saat yang tepat untuk

mengenyahkan komunisme dari Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam. Berikut

dokumen yang mengungkapkan hal itu.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 5 Oktober 1965 No.868

1. Berbagai peristiwa selama beberapa hari terakhir telah menyebabkan PKI dan elemen-

elemen pro-Komunis bersikap defensif dan mereka mungkin akan memicu ABRI untuk pada

akhirnya bersikap efektif terhadap Komunis.

2. Pada waktu yang bersamaan kami menyaksikan hal yang tampaknya seperti pengalihan

kekuasaan dari tangan Soekarno ke seseorang atau beberapa orang yang identitasnya belum

diketahui, yang mungkin mendatangkan perubahan kebijakan nasional.

3. Sekarang, kunci persoalan kita adalah apakah kita bisa membentuk perkembangan ini agar

menguntungkan kita.

4. Beberapa panduan berikut mungkin bisa memberikan sebagian jawaban atas bagaimana

sikap kita seharusnya:

A. Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya perebutan

kekuasaan.

B. Akan tetapi, secara tersembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI

seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di

saat bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar setiap

bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat.

C. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer.

D. Hindari langkah-langkah yang bisa diartikan sebagai tanda ketidakpercayaan terhadap ABRI

(contohnya memindahkan warga kita atau mengurangai staf).

E. Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan kebrutalannya (prioritas ini

mungkin paling membutuhkan bantuan kita segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita

bisa menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal ini merupakan usaha AS).

F. Dukung seluruh masukan informasi dan sarana-sarana lainnya yang ada untuk bisa menyatukan

ABRI.

G. G. Ingatlah selalu bahwa Moskow dan Peking adalah akar konflik menyangkut Indonesia, dan

bahwa Uni Soviet mungkin akan lebih sejalan pemikirannya dengan kita dibanding saat ini. Ini akan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

223 | P a g e

menjadi subyek pada pertemuan Country Team kita mendatang dan mungkin kita bisa memberikan

rekomendasi untuk mengeksploitir fenomena ini.

H. Untuk sementara waktu, terus dan pertahankan sikap low profile.

5. Kami akan memberikan rekomendasi selanjutnya karena tampaknya hal-hal inilah yang paling

sesuai untuk situasi yang tidak diragukan lagi akan berkembang cepat atau setidaknya belum pasti

ini.

Green Duta Besar AS untuk Indonesia

8/08/2001 16:0 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (4)

Washington Setuju Bantu ABRI

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Permintaan Kedubes AS agar AS membantu ABRI (sekarang TNI) menumpas

G 30S disanggupi pemerintah AS di Washington. Dalam rapat kabinet, AS mensinyalir G 30S

adalah upaya Soekarno untuk mengukuhkan kekuasaannya. Namun dipesankan, agar bantuan

dilakukan jika diminta. Surat balasan pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri tersebut

tertanggal 6 Oktober 1965, selang dua hari dari surat yang dikirimkan oleh Kedubes AS.

Berikut isi surat tersebut. Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 6

Oktober 1965, 7.39 malam No. 400 (jawaban atas telegram no. 868)

1. Berdasarkan laporan pertemuan Kabinet 6 Oktober yang baru diterima via FBIS, jelas bahwa

Soekarno berupaya membangun kembali status quo dengan mencuatkan hantu imperialisme

pengeksploitasi perbedaan-perbedaan Indonesia dan menahan tindakan balas dendam ABRI

terhadap PKI dengan alasan untuk mempertahankan kesatuan nasional.

2. Seperti yang telah Anda sampaikan, pertanyaan utama adalah apakah ABRI bisa

mempertahankan momentum sikap ofensifnya terhadap PKI di hadapan manipulasi politik yang

dilakukan Soekarno.

3. Soekarno, Subandrio, dan para simpatisan PKI di Kabinet akan waspada terhadap setiap bukti

yang menguatkan dugaan mereka bahwa NEKOLIM akan berusaha mengeksploitir situasi. Kami

yakin pentingnya kita tidak memberikan kesempatan bagi Soekarno dan sekutunya untuk

menyatakan bahwa mereka akan diserang NEKOLIM dan bahwa kita tidak memberikan Subandrio

dan PKI bukti-bukti bahwa pemerintah AS mendukung ABRI untuk melawan mereka.

4. ABRI tampak jelas tidak membutuhkan bantuan materi dari kita pada poin ini. Selama

bertahun-tahun hubungan inter-service dikembangkan lewat program latihan, program aksi sipil

dan MILTAG, begitu pula dengan jaminan reguler terhadap Nasution, harus diingat jelas dalam

benak para pemimpin ABRI bahwa AS mendukung mereka jika mereka membutuhkan bantuan.

Menyangkut paragraf 4b dan c (dalam telegram bernomor. 868), kita harus mengadakan kontak

yang esktra hati-hati dengan ABRI dengan tidak mengurangi maksud baik kita untuk menawarkan

bantuan kepada mereka. Mengingat kondisi emosional Nasution saat ini ada baiknya Anda

menghindari kontak langsung dengannya kecuali kalau ia yang memulai.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

224 | P a g e

5. Kami bermaksud dan sedang melaksanakan program informasi dan VOA (Voice of America)

berdasarkan sumber-sumber Indonesia dan pernyataan resmi dari pemerintah tanpa memasukkan

opini kita. Setidaknya dalam kondisi saat ini, kita yakin bahwa berlimpahnya bahan informasi yang

menyalahkan PKI atas perannya terhadap kebrutalan 30 September bisa diperoleh dari RRI dan

media Indonesia.

6. Menyangkut paragraf 4d, kami setuju bahwa evakuasi warga yang terburu-buru tidak

diperlukan saat ini.

7. Kami menanti rekomendasi selanjutnya dari Kedutaan tentang bagaimana langkah kita

selanjutnya.

Ball Pejabat Menteri Luar Negeri AS

8/08/2001 16:40 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (5)

CIA Sebut Soeharto Oportunis

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, CIA serius memantau perkembangan Indonesia pasca G 30S. Gerak cepat

Pangkostrad Mayjen Soeharto juga diamati. CIA mencatat jenderal satu ini punya kecenderungan

politik dan merupakan jenderal oportunis. Satu hal dari sikap Soeharto tersebut terlihat dari

penolakannya terhadap sosok Mayjen Pranoto Reksosamudro. Semula Presiden Soekarno

mengangkat Pranoto sebagai pemimpin sementara ABRI dimaksudkan untuk menjadi penengah.

Pranoto diharap mampu melindungi sayap kiri yang pada kondisi itu sedang terpojok. Namun,

Soeharto mengacuhkan Pranoto. Ia tidak suka. Lebih jauh, Soeharto bahkan berani mengarahkan

moncong senjata ke arah Istana dan menuduh PKI serta AU terlibat G 30S. Berikut dokumen CIA

yang menyebut analisa tersebut.

Memorandum CIA (Central Intelligence Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65

Perubahan di Indonesia

Ringkasan ABRI yang baru mengalami apa yang tampaknya merupakan kudeta sayap kiri pada 1

Oktober (30 September WIB), untuk sementara waktu memegang kontrol penuh atas Indonesia.

ABRI -- sekarang TNI -- akan menggunakan kesempatan untuk mengambil langkah tegas terhadap

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan elemen-elemen yang terkait dengannya. Namun ABRI masih

ragu untuk mengambil tindakan ini tanpa persetujuan Presiden Soekarno. Soekarno, yang

mementingkan kesatuan nasional dan mungkin mengkhawatirkan meningkatnya kekuatan ABRI,

menganggap bahwa situasi saat ini adalah masalah politik yang membutuhkan penyelesaian politik

dan ia berharap untuk menyelesaikannya sendiri. Ia tampaknya berupaya untuk berkonsiliasi

dengan sayap kiri dan mengembalikan PKI ke posisi politik yang sempat mereka duduki sebelum

peristiwa 1 Oktober.

Pada 1 Oktober sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September" menculik

enam jenderal ABRI, termasuk Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani, dan kemudian membunuhi

mereka. Gerakan ini dipimpin oleh Letkol. Untung, komandan batalyon dalam pasukan pengawal

Presiden Soekarno, Cakrabirawa. Gerakan ini tampaknya juga didukung oleh beberapa elemen

Angkatan Udara dan yang pada awalnya secara terbuka didukung oleh Kepala Staf Angkatan

Udara Omar Dani.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

225 | P a g e

Juga terlibat elemen ABRI yang pro-komunis dari Jawa Tengah dan anggota Pemuda Rakyat -

organisasi pemuda PKI yang merupakan barisan tentara khusus PKI, dan GERWANI - barisan

wanita Komunis. Sebuah pesan yang dibacakan lewat Radio Jakarta pada 1 Oktober (pagi)

menyatakan bahwa tindakan Untung didukung oleh tentara kesatuan lain dari ABRI dan bahwa

"Gerakan 30 September" dilakukan untuk mencegah kudeta "jenderal" yang disponsori AS.

Pesan tersebut menyatakan bahwa Presiden Soekarno dan target lainnya dari "kudeta jenderal"

kini berada di bawah perlindungan Gerakan. Tak lama sesudah itu 45 anggota "Dewan Revolusi"

sayap kiri diumumkan. Hampir setengah dari anggota Dewan terdiri dari pejabat-pejabat

pemerintah, beberapa dari mereka adalah pejabat tinggi dan tak ada satupun yang bersikap anti-

komunis.

Pada 1 Oktober malam, Jenderal Suharto, Panglima KOSTRAD menginformasikan kepada seluruh

jajaran militer tentang absennya Jenderal Yani yang telah diculik, ia lantas mengambil alih tampuk

kepemimpinan ABRI. Ia melakukan hal ini dengan pengertian dan kerja sama Angkatan Laut untuk

menghancurkan "Gerakan 30 September". Dua jam kemudian RRI mengumumkan bahwa ABRI

telah menguasai situasi, dan polisi telah bergabung dengan ABRI dan Angkatan Laut untuk

menghancurkan 'gerakan revolusi', dan bahwa Presiden Soekarno serta Menteri Pertahanan

Jenderal Nasution (yang menjadi target kelompok Untung) selamat. Pada 1 Oktober malam, Letkol

Untung tampaknya telah melarikan diri ke Jawa Tengah dengan harapan menjalin kekuatan dengan

elemen pro-Komunis di propinsi itu. Siaran berulang-ulang tentang seruan Presiden Soekarno

untuk pemulihan ketertiban dan kuatnya orang-orang yang pro-Soekarno, pro-ABRI dari Jenderal

Sabur - atasan Untung di pasukan Cakrabirawa dan Jenderal Suryosumpeno - pimpinan ABRI di

Jawa Tengah, tampaknya telah menciutkan jumlah para pengikut Untung. Namun laporan tentang

berapa jumlah pendukung Untung bervariasi. Ada yang menyebut sekitar 110 tentara sampai

beberapa batalyon.

Pada 4 Oktober, Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani yang oleh Presiden Soekarno telah

dinyatakan tidak bersalah dalam Gerakan 30 September, menyatakan dirinya tidak terkait dengan

gerakan. Dalam siaran khususnya, ia berterima kasih kepada Soekarno atas kepercayaannya pada

Angkatan Udara dan menegaskan tindakan tegas akan diambil terhadap setiap personil Angkatan

Udara yang terlibat dalam gerakan. Sementara itu, Presiden Soekarno melakukan manuver untuk

memastikan kontrolnya atas situasi. Pada 2 Oktober, ia memanggil semua pimpinan militer dan

Wakil Perdana Menteri II Leimena untuk mengadakan rapat guna menyelesaikan insiden 30

September segera.

(Wakil PM Subandrio berada di Sumatra Utara namun segera pulang dan berada di Bogor

bersama Soekarno; Wakil PM III Chaerul Saleh tengah dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari

Cina). Kemudian Soekarno menyiarkan ke seluruh bangsa bahwa dirinya secara pribadi masih

memegang tampuk kepemimpinan ABRI, dan menunjuk Jenderal Pranoto, kepala administrasi

ABRI dan Jenderal Soeharto untuk menjalankan pemulihan keamanan. Berdasarkan siaran oleh

Komando Operasi Tinggi (KOTI) pada 3 Oktober terungkap bahwa Pranoto hanya sebagai

'pembantu presiden'. Soeharto, yang lama dikenal sebagai seorang politikus dan mungkin saja

oportunis, muncul pada situasi ini sebagai pemimpin militer yang tangguh dan tampaknya amat

anti-Komunis.

Sebaliknya, Pranoto, tidak dekat dengan para pejabat yang merindukan kepemimpinan Yani dan

Nasution dan jelas tidak disukai oleh Soeharto dan koleganya. Soekarno menyatakan dirinya

menunjuk Pranoto pada saat krisis ini adalah sebagai cara konsiliasi dan melindungi sayap kiri, dan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

226 | P a g e

tampaknya ia juga sengaja melakukan hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan ABRI.

Kedutaan AS di Jakarta telah mengkonfimasikan laporan bahwa pasukan pengawal istana dari

Soekarno dan tentara Angkatan Udara melindungi Soekarno dan Omar Dani di Bogor.

Dilaporkan pula, tentara Soeharto telah mengarahkan senjatanya ke arah istana. Pihak Kedutaan

AS kini percaya bahwa tentara Soeharto memiliki akses ke Soekarno namun mereka tidak

menguasainya. Soekarno menolak saran dari ABRI untuk mengambil langkah tegas terhadap para

pemimpin "Gerakan 30 September" dan PKI.

Pada 4 Oktober, ia menyatakan kepada para jenderal ABRI bahwa situasi ini pada dasarnya

melibatkan isu politik, sehingga ketenangan dan ketertiban diperlukan untuk solusinya, dan bahwa

para jenderal harus membiarkan penyelesaian politik pada dirinya. Para jenderal yang awalnya

puas dengan adanya harapan untuk menghancurkan komunis, namun tampak kecewa setelah

pertemuan mereka dengan Soekarno. Tampaknya, beberapa jam sebelum pertemuan 4 Oktober

antara Soekarno dengan para jenderal ini, Soeharto mengeluarkan pernyataan publik yang tidak

biasanya, yang mengimplikasikan keraguan dan kritik terhadap presiden dan menuduh Angkatan

Udara dan PKI terlibat dalam "Gerakan 30 September". Ia menyebutkan jenazah telah ditemukan

di dalam sebuah sumur di lingkungan markas besar Angkatan Udara Halim di Jakarta. Ia

menyatakan bahwa daerah dekat sumur itu telah digunakan sebagai pusat latihan angkatan udara

untuk para sukarelawan dari Pemuda Rakyat (organisasi pemuda komunis) dan GERWANI

(organisasi perempuan komunis).

Berdasarkan fakta ini, menurut Soeharto, mungkin saja benar pernyataan Presiden, Panglima

Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi, bahwa angkatan udara tidak terlibat dalam masalah ini.

Namun tidaklah mungkin bila tidak ada kaitan dengan masalah ini di antara elemen angkatan udara

itu sendiri.

8/08/2001 17:47 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (6)

Letkol Untung Hanyalah Alat

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Analisis CIA menyebutkan, komandan G 30S Letkol Untung Sutopo hanyalah

alat belaka. Ia bukanlah dalang. Lantas siapa bosnya?

Soal ini CIA tak tahu. Bisa jadi pejabat ABRI yang korup atau faksi komunis yang hendak

memanfaatkan kesempatan. Cerita soal adanya faksi komunis ini sangat mungkin. Menurut laporan,

memang ada tentara komunis di dalam pasukan Untung. Untung sendiri adalah muslim taat. Untung

bergerak, setelah Soekarno merestui penculikan para jenderal yang direncanakan PKI. Namun

perlu dicatat, Soekarno tak setuju dan tak mengira bila ada pembunuhan.

Berikut analisis CIA yang disampaikan 6 Oktober 1965. Memorandum CIA (Central Intelligence

Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65 Jenderal Sabur dalam kapasitasnya

sebagai Sekjen Komando Operasi Tinggi (KOTI) menyiarkan tentang peringatan Soekarno pada 4

Oktober kepada para jenderal dan panglima perang. Menurut Sabur, Soekarno telah

memerintahkan mereka yang hadir saat itu, dan termasuk seluruh warga Indonesia untuk tidak

saling berseteru satu sama lain karena akan "membahayakan perjuangan kita dan melemahkan

kekuatan kita".

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

227 | P a g e

Sabur menyatakan penyelesaian insiden 30 September akan ditangani langsung secara pribadi dan

secepatnya oleh Presiden. Ia mengutip ucapan Soekarno yang memperingatkan para pimpinan

militer untuk tidak masuk ke dalam perangkap taktik (mungkin imperialis atau neokolonialis) untuk

melemahkan kita dari dalam sebelum nantinya menyerang kita. Menurut Sabur, Soekarno secara

spesifik memerintahkan para panglima perang untuk menyadari bahaya intrik-intrik dari musuh

kita, tetap waspada dan terus memperkuat kesatuan.

Soekarno juga mengatakan bahwa mereka yang menjadi korban "gerakan 30 September" adalah

pahlawan revolusi dan ia mengajak semua berdoa untuk jiwa mereka. PKI yang telah menyatakan

dukungannya terhadap "Gerakan 30 September' melalui surat kabarnya Harian Rakyat, kini

banyak berdiam diri.

Pimpinan PKI tampaknya sedang menyembunyikan diri. Menurut sebuah sumber rahasia, kebijakan

PKI kini adalah untuk menyangkal "Gerakan 30 September".

Anggota-anggota partai yang ketahuan mendukung pemberontakan itu akan dianggap oleh PKI

sebagai orang yang salah jalan. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai "Gerakan 30

September". Kebanyakan soal seputar Soekarno. Apakah Soekarno sebelumnya telah mengetahui

"Gerakan 30 September" dan tujuannya? Apakah benar ia sempat berada di bawah perlindungan

anggota gerakan atau apakah ia pergi (seperti yang telah diumumkannya) ke markas Angkatan

Udara Halim - markas Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani dan mungkin juga markas gerakan

30 September - atas kemauannya sendiri pada 1 Oktober karena pikirnya ia memang sebaiknya

berada dekat bandara?

Atau apakah kehadirannya di sana sebagai indikasi bahwa ia, seperti halnya Angkatan Udara dan

PKI secara terbuka dan terang-terangan mendukung gerakan? Atau apakah ini bagian dari rencana

melarikan diri, yang diatur oleh Jenderal Sabur, untuk membawa Soekarno keluar Jakarta dan

menuju Bogor? Apakah sakit Soekarno selama malam menjelang Gerakan 30 September

memotivasi terjadinya insiden - meski sebelumnya ia memang sudah sakit tapi mungkin saja ini

sebenarnya bagian dari rencana?

Pertanyaan lain tersisa mengenai Letkol Untung dan pimpinan PKI. Banyak laporan yang

menyatakan atau menduga Untung semata-mata adalah korban; menurut sebuah sumber, ia adalah

penganut Islam yang taat, yang terjebak ke dalam permainan korup para pejabat tinggi ABRI.

Jika ia hanya alat dan tameng - dan ini tampaknya benar - jadi siapa sesungguhnya dalangnya?

Atau apakah beberapa rencana oleh berbagai elemen menjadi bercampur dan masing-masing

rencana digunakan untuk membenarkan rencana lainnya? Ada laporan yang bisa dipercaya bahwa

PKI pada bulan Agustus telah membahas sebuah contingency plans yang akan dijalankan bila

Soekarno meninggal dalam beberapa hari atau minggu mendatang.

Setidaknya ada satu laporan yang menyebutkan bahwa Soekarno menyetujui penangkapan - oleh

siapa penangkapan itu tidak diketahui - jenderal-jenderal yang anti-komunis namun ia tidak

mengetahui adanya rencana untuk membunuh mereka. Jika ia tahu, pasti ia tak akan

menyetujuinya. Sebuah sumber pejabat tinggi ABRI (pernah menjadi dokter Soekarno dan tokoh

kunci dalam komunikasi ABRI), yang sering kali blak-blakan mengenai urusan internal, pada 3

Oktober mengungkapkan bahwa di antara para pendukung Untung ada beberapa personil Komunis

yang bersenjata dan tidak mendapat informasi tentang rencana tersebut.

Pasukan Untung termasuk di antara mereka yang pergi ke rumah para jenderal namun tidak jelas

siapa yang melakukan penembakan - mengingat personil Komunis yang tidak mendapat informasi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

228 | P a g e

itu juga bagian dari grup. Pandangan yang paling mungkin tentang latar belakang insiden "Gerakan

30 September" adalah bahwa Soekarno, Subandrio, dan mungkin pimpinan PKI yang dekat dengan

mereka telah mempertimbangkan soal penangkapan beberapa jenderal tertentu.

Soekarno dan Subandrio berulang kali di depan publik telah memperingatkan ABRI agar para

pimpinannya harus kooperatif dengan "revolusi" atau akan "ditinggalkan". Berpijak dari hal ini,

para personil milisi PKI baik yang di dalam maupun di luar Angkatan Udara mungkin menggunakan

hal itu untuk membenarkan tindakan terhadap Untung. Pemuda milisi PKI menolak taktik damai

yang didukung oleh pimpinan tinggi PKI dan juga Soekarno.

Pemilihan waktu aksi mereka bisa jadi dipengaruhi oleh adanya laporan Soekarno menderita sakit

pada malam 30 September dan oleh adanya sebagian informasi soal contingency plans PKI jika

Soekarno meninggal. Para milisi yang spontan dan mungkin tidak bisa berpikir jernih itu

menganggap dengan kematian para jenderal dan pembentukan pemerintah baru akan memaksa

Soekarno dan seluruh rakyat Indonesia untuk tunduk kepada mereka.

Meski "Harian Rakyat" terang-terangan mendukung gerakan namun tampaknya Ketua PKI Aidit

tak menyetujui pembunuhan para jenderal atau bahkan perubahan pemerintah. Situasi Indonesia,

baik di dalam maupun luar negeri tampak menguntungkan bagi PKI dan mengingat Soekarno yang

mungkin tak lama lagi meninggal, tampaknya keadaan akan menjadi jauh lebih menguntungkan bagi

PKI.

Namun motivasi Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani tetap tidak terjawab. Melihat

perlawanan ABRI dan langkah Soekarno, banyak pertanyaan tersisa mengenai timbulnya "Gerakan

30 September". Namun poin penting sekarang adalah apakah ABRI akan setuju dengan Soekarno

dalam mengatasi situasi.

Berdasarkan laporan-laporan mengenai ABRI tampaknya, meski marah dan kecewa dengan

pembunuhan enam jenderal mereka, sebagian besar pejabat ABRI tetap akan mendukung

Soekarno. Meski ada beberapa individu pejabat ABRI yang mulai meragukan kebenaran kebijakan

Soekarno, namun sebagian besar masih enggan untuk menentangnya. Terlebih Soekarno telah

menegaskan sikapnya bahwa setiap tindakan terhadap PKI akan dianggap sebagai tindakan anti-

Soekarno. Akan tetapi, sebagai akibat dari "Gerakan 30 September", untuk sementara ABRI akan

tetap menguasai secara politik.

Ini didasarkan pada masih diberlakukannya keadaan darurat militer di Jakarta dan kontrol penuh

ABRI di beberapa wilayah Indonesia. Langkah Soekarno yang terlalu cepat menunjukkan

dukungannya terhadap sayap kiri selama periode ini, akan menyebabkan perbedaan yang kian

tajam antara dirinya dan kebanyakan pimpinan ABRI.

Ini bisa memicu bertambahnya dukungan publik dan politikus anti-komunis terhadap ABRI.

Kesehatan Soekarno tetap menjadi faktor penting dalam menentukan arah situasi. ABRI

tampaknya akan lebih bersikap tegas jika presiden mangkat atau tak mampu lagi memimpin

dibanding jika presiden masih menunjukkan kekuatannya. Meski Soekarno masih terus

mengasingkan diri namun ini tak bisa dijadikan indikasi bahwa kesehatannya telah menurun tajam.

Ia mungkin saja menolak hadir di depan publik sampai ia pikir itu ada gunanya bagi kepentingan

politiknya. Namun, belakangan ini Soekarno sering mengadakan pertemuan dengan sejumlah

pejabat militer dan sipil.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

229 | P a g e

8/08/2001 18:30 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (7)

Setumpuk Strategi AS Bantu ABRI

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Perkembangan cepat yang terjadi pasa G 30S, membulatkan tekad AS untuk

membantu ABRI menghadapi komunis. AS menduga Indonesia berpaling pada Jepang. Karena itu,

sederet rencana bantuan segera disodorkan.

Ternyata seperti yang diungkap dalam perintah Deplu AS bagi Kedubes AS di Indonesia, 29

Oktober 1965, pemberian bantuan itu meliputi banyak hal. Antara lain, kesiapan memberikan

bantuan ekonomi via IMF, meyakinkan AS adalah sahabat Indonesia, pemberian bantuan pangan

dan mempertimbangkan pengiriman senjata. Berikut bunyi dokumen tersebut.

Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 29 Oktober 1965, pukul 3.48

sore No.545

Berikut adalah analisis tentatif kami atas perkembangan situasi di Indonesia dan implikasinya

buat AS. Kami ingin tanggapan atau pengamatan Anda untuk dikembangkan menjadi rekomendasi

kebijakan kami. Pidato Nasution ada 25 Oktober dan kampanye terbuka melawan Subandrio

adalah bukti konklusif pertama bahwa para pemimpin ABRI bertekad untuk memerangi PKI dan

para simpatisannya, dan tidak akan melenceng dari tujuannya meski ditentang Soekarno.

Pimpinan ABRI semakin menunjukkan perlawanannya terhadap Soekarno. Arah permainan mereka

tampaknya akan coba menjauhkan Soekarno dari para penasihatnya yang anti-ABRI,

mengasingkannya dan kemudian menggunakannya atau bahkan mungkin menyingkirkannya, jika

dibutuhkan. PKI yang kini sedang diburu oleh ABRI, masih bisa melakukan aksi perlawanan dengan

menyerang, sabotase atau perang gerilya dengan dalih bahwa ABRI adalah alat kekuatan

imperialis dan CIA.

ABRI tak akan punya pilihan lain kecuali melawan serangan ini dan akan membutuhkan konsistensi

pemerintah untuk mendukung usaha mereka. ABRI tetap mempertahankan perannya yang non-

politik dan menjauhi ide perebutan kekuasaan. Namun dengan jatuhnya konsep NASAKOM, maka

tak ada kesatuan terorganisir yang bisa memberikan arah dan kepemimpinan kepada pemerintah,

kecuali ABRI.

Cepat atau lambat, akan menjadi semakin jelas bagi pimpinan ABRI bahwa merekalah satu-satunya

kekuatan yang mampu menciptakan keteraturan di Indonesia, dan mereka harus mengambil

inisiatif untuk membentuk pemerintah gabungan militer atau sipil-militer, dengan atau tanpa

Soekarno.

Hubungan dengan Red China semakin tegang karena berdasarkan kecurigaan para pemimpin ABRI,

Komunis Cina berada di balik kudeta. Uni Soviet telah melancarkan tekanan terhadap ABRI untuk

menghentikan aksi serangannya terhadap sayap kiri, bahkan sudah mengisyaratkan bantuan dana

Uni Soviet akan dihentikan. ABRI tentu saja tak akan menyerah pada tekanan ini.

Jika analisis ini benar, kita bisa lihat beberapa bentuk masalah yang mungkin bisa mempengaruhi

kita:

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

230 | P a g e

a. Seiring dengan pemikiran ABRI untuk membentuk pemerintahan baru, mereka mungkin

membentuk pemerintahan sipil atau koalisi sipil-militer untuk menjalankan reformasi ekonomi dan

membawa Indonesia ke arah baru yang bebas dari pengaruh luar.

b. Komunis Cina semakin menunjukkan pertentangannya dengan Indonesia karena tindakan ABRI

terhadap PKI. Ini tak beda jauh dengan sikap Uni Soviet, yang menyalahkan Cina atas terjadinya

kudeta. Jika Uni Soviet mendukung usaha PKI menentang ABRI, maka hubungan ABRI dan Uni

Soviet akan menegang, namun mereka juga tidak bisa mendukung ABRI. Mungkin Uni Soviet akan

memilih bersikap menunggu. Cina dan Uni Soviet mungkin berharap Soekarno tetap berkuasa dan

memaksa ABRI untuk menerima kehadiran sayap kiri dalam NASAKOM.

c. Jika asumsi kita benar bahwa ABRI harus melanjutkan peperangannya terhadap PKI, dan PKI

akan bereaksi, dan bahwa Cina dan Uni Soviet tidak bisa mengabaikan penumpasan PKI ini

sehingga mereka akan terus mengkritik ABRI, maka ABRI terpaksa harus menelaah sikapnya

terhadap Cina dan Uni Soviet.

d. Dari situ hanya ada satu langkah bagi ABRI untuk terus menumpas ABRI, bahwa mereka harus

mencari teman dan dukungan lain. Kita perkirakan mereka akan mendekati Jepang, atau kekuatan

lainnya, dan tidak diragukan lagi, kita. Mereka akan menyadari bahwa kebijakan domestik dan luar

negeri Soekarno dan PKI yang ekstrim telah membawa Indonesia ke kondisi chaos-nya

perekonomian, politik dan sosial.

Namun berdasarkan pemikiran Soekarno yang telah berlangsung lama, mereka pasti akan ragu-

ragu untuk mengatasi ini semua atau curiga dengan bantuan dan saran dari kita. Beberapa hari,

minggu atau bulan mendatang, mungkin akan tersedia kesempatan bagi kita untuk mulai

mempengaruhi rakyat, seiring dengan mulai pahamnya militer akan masalah dan dilema yang

mereka alami.

a. Kita hendaknya berusaha meyakinkan mereka bahwa Indonesia bisa selamat dari chaos, dan

ABRI merupakan instrumen utama untuk itu.

b. Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia dan ABRI mempunyai sahabat yang siap menolong

mereka.

c. Bila kita diminta membantu oleh Nasution kita harus meresponnya dengan mengatakan kita

siap membantu.

d. Mereka akan membutuhkan pangan, dan kita tegaskan bahwa Palang Merah Internasional bisa

memberikannya jika mereka meminta bantuan langsung kepada kita atau lainnya (Jepang, Brazil,

Malaysia, Thailand, Taiwan, dan bahkan Republik Korea).

e. Anjloknya rupiah dan situasi ekonomi yang buruk mungkin membutuhkan perhatian para pakar

segera. Kita bisa nyatakan bahwa IMF bisa memberikan saran dan bantuan, begitu pula dengan

kita. Namun hal ini akan membutuhkan perubahan sikap Indonesia terhadap IMF dan negara

sahabat.

f. Persenjataan dan perlengkapan militer mungkin akan dibutuhkan untuk menangani PKI.

(Apakah Uni Soviet akan mensuplai ABRI dengan persenjataan jika itu digunakan untuk menyerang

PKI?)

g. Dengan berkembangnya situasi, ABRI akan semakin mengerahkan upayanya untuk menumpas

PKI, dan kita harus sudah siap dengan kesempatan itu.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

231 | P a g e

h. Mungkin sekali ABRI akan datang kepada Jepang pertama kali untuk meminta bantuan. Jepang

memiliki kepentingan nasional yang vital atas keberhasilan ABRI melawan PKI dan kestabilan

Indonesia. Jepang sendiri sudah mengambil inisiatif.

i. Saat ini, Jepang masih terhipnotis dengan Soekarno sebagai pria 'esensial' dan mereka

berhati-hati untuk tidak melawannya. Namun bila, situasi berkembang seperti yang kita

perkirakan, dan Soekarno akan diasingkan atau dipindahkan, keadaan akan menjadi amat berbeda

bagi Jepang.

Hingga tahap tertentu, kita akan mengadakan diskusi rahasia dengan Jepang, membandingkan

catatan perkembangan yang dimiliki masing-masing pihak dan mengupayakan kerja sama atas

pengambilan tindakan yang disepakati. Kita tentu saja, akan mengkonsultasikan ini dengan Inggris,

Australia, dan lainnya.

Rusk Pejabat Departemen Luar Negeri

8/08/2001 19:47 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (8)

Bantuan AS pun Mengalir Deras

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Komitmen AS untuk membantu ABRI menghadapi komunis pasca G 30S

ditepati. Kepada ABRI diberikan bantuan peralatan komunikasi canggih. Komitmen pemberian

bantuan juga datang dari Kasgab militer AS.

Beberapa poin soal pemberian bantuan ini tertuang dalam beberapa dokumen penting. Satu ciri

yang mutlak, pada pemberian bantuan terhadap ABRI diupayakan setertutup mungkin, mengingat

hal itu bisa menjadi bumerang. Presiden Soekarno bisa menjadikannya sebagai alat tuduhan ABRI

ditunggangi CIA. Berikut poin-poin penting dalam dokumen tersebut.

Memorandum yang disiapkan untuk Komite 303 Washington, 17 November 1965

Perihal: Pengiriman Peralatan Komunikasi untuk Tokoh Penting ABRI Anti-Komunis

Ringkasan

Maksud proposal operasi ini untuk memastikan bahwa tokoh-tokoh kunci ABRI anti-komunis akan

memiliki peralatan komunikasi yang cukup untuk digunakan dalam perlawanannya terhadap

Komunis. Peralatan ini tidak tersedia cukup di Indonesia. Kekurangan ini telah mengurangi

keefektifan mereka dalam memerangi upaya Komunis menghapuskan pengaruh non-Komunis di

pemerintahan mereka. Permintaan peralatan oleh beberapa pejabat tinggi Indonesia mendapat

dukungan dari Dubes AS di Indonesia dan disetujui Biro Urusan Timur Jauh Deplu.

Ada beberapa risiko dalam pengiriman peralatan ini, namun dengan tindakan pencegahan yang

tepat akan meminimalkan risiko. Indonesia saat ini tidak bisa melakukan pembelian peralatan dari

AS. Apalagi, berita soal ini tidak saja akan memalukan pemerintah AS, namun juga para pejabat

tinggi ABRI di Indonesia. Tindakan hati-hati diperlukan. Pada 5 November 1965, Komite 303

menyetujui permintaan serupa untuk mengirimkan peralatan medis ke Indonesia.

Diharapkan Komite 303 akan menyetujui program di atas, yang diperkirakan akan berlangsung

sampai waktu tertentu. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

232 | P a g e

a. Asal mula permintaan: Banyaknya permintaan akan peralatan komunikasi datang (kurang dari 1

baris tulisan dirahasiakan) dari Dubes AS untuk Indonesia, dari pembantu Menteri Pertahanan

Nasution, dan dari Jenderal Sukendro.

b. Pertimbangan kebijakan AS yang sesuai: Pada 5 November 1965 Komite 303 menyetujui

proposal operasional untuk menjawab permintaan Indonesia atas peralatan medis.

c. Tujuan Operasional: Kontak tertutup (kurang dari 1 baris dirahasiakan) harus dipertahankan

dengan pimpinan ABRI tertentu.

d. Teknis

e. Teknis

f. Pelatihan: Beberapa pejabat komunikasi senior ABRI yang qualified, ditentukan oleh

Sukendro, akan diberikan (kurang dari 1 baris tulisan dirahasiakan) pelatihan khusus rahasia di

lokasi yang aman untuk menggunakan peralatan ini. Mereka akan dijelaskan konsep umum

pengoperasian jaringan komunikasi ini; frekuensi antara 42 dan 53 megacycles yang bisa

digunakan di Indonesia (agar aman dari monitoring lokal) sehingga dengan spesifikasi ini,

penghubung kami bisa menyetel peralatan dengan frekuensi yang diinginkan.

g. Pendanaan: Total biaya diperkirakan mencapai (kurang dari 1 baris tulisan asli dirahasiakan).

Peralatan itu sendiri kira-kira akan mencapai (kurang dari 1 baris tulisan asli dirahasiakan) untuk

pemuatan dan pengepakan.

4. Koordinasi Proposal operasional ini telah direkomendasikan oleh Dubes AS untuk Indonesia dan

telah disetujui Departemen Luar Negeri Biro Urusan Timur Jauh.

5. Rekomendasi Komite 303 menyetujui program ini. Memorandum dari Gabungan Kepala Staf

kepada Menteri Pertahanan McNamara Washington, 30 Desember 1965 Perihal: Bantuan ke

Indonesia Berkaitan dengan pesan terakhir dari Kedutaan AS di Jakarta yang berisikan informasi

bahwa Presiden Soekarno mungkin akan digulingkan setelah 1 Januari 1966, Indonesia mungkin

meminta bantuan AS. Jika ini terjadi, permintaan bantuan ekonomi mungkin akan cukup besar.

Permintaan material militer mungkin tidak banyak. Barang-barang yang mungkin diminta termasuk

amunisi, senjata otomatis ringan, kendaraan, radio portabel, dan mungkin suku cadang C-130 dan

C-47. Bantuan training mungkin juga diminta.

Upaya penjatuhan Presiden Soekarno oleh ABRI bisa menguntungkan kepentingan keamanan AS di

sana. Meski ABRI tampaknya tak ingin mencari sekutu asing dalam penerapan kebijakannya,

seperti halnya Soekarno dulu.

ABRI tampaknya akan menjadi kekuatan tunggal anti-komunis yang paling kuat di Indonesia,

namun pada akhirnya pasti akan memerlukan kepemimpinan sipil. Kepentingan AS akan lebih

terjamin jika pemerintah baru nanti cenderung pro-Barat. Atau setidaknya netral. Akan tetapi

ada beberapa faktor yang menyebabkan kita belum bisa memberikan bantuan militer kepada

ABRI:

a. Posisi ABRI yang belum pasti dan pemberian bantuan militer AS yang terang-terangan pada

saat ini akan cenderung mendatangkan tuduhan oleh Soekarno, Subandrio, Peking dan Moskow

bahwa ABRI adalah 'alat imperialisme AS'.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

233 | P a g e

b. Mengingat komitmen AS di Asia Tenggara, pemberian bantuan logistik kepada Indonesia

harus dievaluasi. Gabungan Kepala Staff merekomendasikan:

b1 Amerika Serikat, jika diminta, akan siap memberikan kepada Indonesia sejumlah bahan

pangan/obat-obatan untuk menunjukkan dukungan terhadap pemerintah baru.

b2 Karena kampanye pimpinan ABRI melawan PKI tampaknya berjalan sesuai rencana dan

bantuan militer AS tampaknya tak dibutuhkan untuk keamanan internal, maka untuk saat ini AS

hendaknya tidak secara terang-terangan memberikan bantuan militer kepada Indonesia.

b3 Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bersama-sama menyusun kriteria

untuk melanjutkan pemberian bantuan militer dan ekonomi.

b4 Memorandum ini akan diteruskan ke Menteri Luar Negeri.

Atas nama Gabungan Kepala Staf:

David L. McDonald

Ketua

8/08/2001 21:13 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (9)

ABRI Lamban, AS Mulai Ragu-Ragu

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Sikap ABRI yang tak juga berani bertindak keras terhadap Soekarno dan

PKI tak urung sempat membuat AS jengkel. AS menganggap para pimpinan ABRI bersikap

terlampau hati-hati dalam menghadapi Soekarno. Maksud hati agar tak timbul perpecahan di

masyarakat, namun yang didapat kuku komunisme tak juga tercabut.

Karena itu, AS pun mulai hati-hati pula menyalurkan bantuan. Presiden AS Lyndon B. Johnson pun

sempat bertanya pada Dubes AS Marshall Green untuk memastikan bantuan benar-benar

dihentikan. Berikut dokumen yang menyebut hal itu.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 19 November 1965 No. 1511

1. Kami yakin bahwa AS dan sekutunya harus ekstra hati-hati mengenai pemberian bantuan

kepada para jenderal saat ini. Dalam setiap hal, bantuan kita tergantung pada apakah kita yakin

ABRI benar-benar berniat tegas menentang Soekarno/Subandrio. Ada indikasi yang

membingungkan apakah ABRI akan tetap bersikap tegas atau justru perlahan-lahan akan menuruti

keinginan presiden. Yang jelas, kita jangan sampai memberikan bantuan yang akan mendatangkan

keuntungan bagi Soekarno yang tetap menjadi kepala negara dan pemerintahan.

2. Saat ini ada bukti-bukti yang membingungkan tentang apakah, kapan dan bagaimana ABRI

akan bergerak melawan Soekarno. Selama Soekarno masih berkuasa, ABRI dan anti-komunis

mungkin akan cenderung mempertahankan kebijakan "anti-imperialis dan anti-kolonial", yang

konsekuensinya adalah terus belangsungnya konfrontasi dengan Malaysia dan sikap anti-Barat.

Kami juga menduga keadaan akan semakin chaos sebagai akibat deadlock antara Soekarno dan

ABRI yang menyebabkan setiap program pembangunan ekonomi tak mungkin dilakukan, kecuali

sampai salah satu kekuatan politik itu disingkirkan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

234 | P a g e

3. Meski AS mengharapkan kondisi yang lebih baik nantinya (masa sesudah Soekarno), kami

tidak melihat adanya perbaikan besar posisi AS dalam jangka pendek, bahkan jikapun ABRI bisa

bertahan sebagai salah satu struktur kekuasaan. Apalagi, tindakan Soekarno untuk merebut

kembali kekuasaannya, tak diragukan lagi akan menggencarkan kebijakan anti-Amerika Serikat.

Kami sudah melihat bukti hal ini dalam pidato presiden tentang penarikan biaya Rp 150 juta.

(Dalam pidatonya kepada Kabinet 6 November 1965, Soekarno menuntut biaya sebesar Rp 150

juta dari mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones karena sengaja menyebarkan ideologi

Dunia Bebas ke Indonesia - Airgram 331 dari Jakarta, 16 November).

4. Karena itu, kami merekomendasikan beberapa hal untuk diajukan di pertemuan:

A. Kita tak akan mengambil langkah apapun yang bisa meningkatkan imeg Soekarno-Subandrio,

baik diinginkan ABRI atau tidak.

B. Kita sebaiknya tidak memberikan bantuan ekonomi yang signifikan untuk ABRI kecuali dan

sampai kita tahu kemana arah mereka secara politik dan ekonomi. (Hal pemberian bantuan yang

bisa menolong ABRI mengatasi PKI akan diperlakukan berbeda).

C. Kita hendaknya mempertimbangkan pemberian bantuan untuk pemerintah yang murni non-

komunis jika ada perubahan atmosfir karena bantuan ini akan efektif.

Marshall Green Dubes AS untuk RI

Memorandum Pembicaraan Washington, 15 Februari 1966, pukul 11.55-12.20

Perihal: Indonesia Partisipan:

Presiden Johnson, Wakil Menlu William P. Bundy, Dubes Marshall Green, Mr. Robert Komer. Atas

permintaan Presiden, Dubes Green membahas situasi dan tren prospektif di Indonesia,

menyertakan beberapa rekomendasi umum kebijakan AS dalam berhadapan dengan Indonesia.

Dubes menegaskan, meskipun hubungan antara Indonesia dan AS masih jauh dari memuaskan,

adanya kudeta pada 1 Oktober (31 September WIB) lalu telah mendorong upaya penumpasan PKI;

merosotnya prestise internasional Peking yang diduga terlibat dalam kudeta itu; memburuknya

hubungan antara Indonesia dan Komunis Cina; goncangan bagi citra Soekarno sebagai pemimpin

'kekuatan baru' melawan dunia Barat; dan berkurangnya prestise dan dukungan bagi Soekarno di

antara rakyatnya.

Akan tetapi, Soekarno tetap menjadi Presiden dan pemimpin revoulsi. Hingga tahap tertentu, ia

berhasil memainkan kebingungan dan ketakutan lawan-lawannya dalam merebut kekuasaan. Ia

tampaknya berhasil membelokkan kembali revolusi ke arah kiri. Ia pintar dan persuasif dan

tampaknya fisiknya masih kuat.

Menurut Dubes Green, ABRI yang memimpin kelompok oposisi Soekarno, meski tak bersedia

melawan Soekarno secara terang- terangan dan frontal, sebenarnya sangat menentang hadirnya

PKI dan hubungan dengan Cina.

Kelompok oposisi juga menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Akan tetapi, didorong oleh rasa

khawatir timbulnya kekacauan masyarakat, ABRI masih enggan dan bimbang untuk langsung

menentang Soekarno. ABRI juga mungkin ragu untuk mengemban tanggung jawab yang terlalu

besar seiring dengan terus memburuknya kondisi politik dan ekonomi Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

235 | P a g e

Dubes Green merasa bahwa hancurnya perekonomian yang kian parah, khususnya krisis atas valuta

asing bisa membuat masalah semakin menggunung dalam enam bulan mendatang atau lebih. Dari

waktu ke waktu, situasi di Indonesia akan sangat berantakan, ujarnya. Hal yang tampaknya

semakin jelas saat ini adalah kita tengah berada dalam fase transisi antara Soekarno dan

penggantinya yang belum diketahui siapa.

Dalam situasi ini, menurut Dubes AS hendaknya terus mempertahankan sikap low profile. Dubes

menyatakan ia sangat menghargai cara-cara pejabat AS mulai dari Presiden sampai pejabat di

bawahnya yang telah berusaha untuk tidak memberikan pernyataan publik tentang Indonesia.

Mempertahankan sikap seperti ini sangatlah penting karena apapun yang dikatakan atau dilakukan

AS tentang Indonesia bisa menyebabkan distorsi dan salah penafsiran. Kita akan terus dituduh

mencoba ikut campur urusan mereka, yang tentu saja tidak kita lakukan dan memang tak

seharusnya kita melakukan. Presiden menanyakan apakah semua bantuan AS ke Indonesia,

termasuk bantuan ke militer telah dihentikan.

Dubes menyatakan sudah, dan ia menyarankan agar AS tidak memberikan dulu bantuan ke

Indonesia sampai Indonesia memulai menata kembali negaranya. Ia menyebutkan bahwa Soekarno

terang-terangan menentang setiap bantuan AS ke Indonesia, dan hal ini secara diam-diam telah

disampaikan pimpinan ABRI kepada kami dan kepada Jepang. Mereka menyatakan, mereka

menentang bantuan apapun pada saat ini karena hanya akan menguntungkan Soekarno dan

Subandrio. Meski begitu, menurut Dubes kita seharusnya tetap berpikiran terbuka soal bantuan

kepada Indonesia.

Situasi bisa saja bertambah buruk dan kita bisa memberikan bantuan pangan atas dasar

kemanusiaan, juga untuk mencegah timbulnya huru-hara akibat kurang pangan dan kerusuhan yang

bisa membahayakan warga asing di Indonesia. Jika Indonesia mulai mengambil langkah-langkah

yang signifikan untuk memperbaiki pemerintahan dan arahnya, maka menurut pendapat Dubes,

kita harus siap menawarkan bantuan, bisa lewat sebuah kesepakatan konsorsium atau badan

internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Ringkasan Tindakan Presiden menyatakan ia

menghargai observasi ini dan ia menyerahkan kepada Dubes untuk membuat detil rekomendasi

mengenai waktu dan kondisi yang memungkinkan Amerika Serikat memberikan bantuannya ke

Indonesia.

9/08/2001 01:7 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (10)

Cerita Adam Malik pada Dubes AS

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Sadar langkahnya selalu ditunggu, ABRI mulai menambah tenaga. Politisi sipil

yang dekat dengan Soeharto, Adam Malik mengatakan rencana terbaru ABRI pada Dubes AS.

Dijamin, ABRI akan siap bergerak.

Kejadian itu, malam di awal Maret 1966. Dalam pertemuan dengan Dubes AS Marshall Green itu,

Adam Malik menceritakan bagaimana ABRI sudah siap bergerak dengan dukungan 22 batalyon.

Menurut Adam Malik, sikap antisipastif ini dipicu tindakan Soekarno sendiri yang berniat

memberhentikan Pangkobkamtib Jenderal Soeharto.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

236 | P a g e

Semula Green ragu. Soekarno bisa saja memcah ABRI dengan mengumpulkan pati ABRI lainnya.

Namun Adam Malik menjamin hal itu tak terjadi. ABRI dalam kondisi solid. Apapun, demi

mendengar ocehan ini, Dubes Green pun langsung mengirim telegram ke Washington. Berikut

ceritanya.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 10 Maret 1966 No. 2536

1. Menteri Adam Malik, yang tampaknya amat bersemangat, berbeda dari yang pernah saya

lihat sebelumnya, mengatakan kepada saya ketika bertemu di suatu tempat kemarin malam, bahwa

situasi kini siap meledak. ABRI katanya telah siap bergerak setiap waktu dengan menggunakan 22

batalyon tentara yang setia kepada Jenderal Nasution dan Soeharto di Jakarta dan sekitarnya.

2. Saya katakan padanya saya mengerti bahwa Soekarno berencana memberhentikan

Soeharto, benarkah begitu? Ia menyatakan Presiden memang berencana memberhentikan

Soeharto dan Adjie; dan Malik berharap Soekarno akan melakukan hal itu karena langkah ini jelas

akan mendorong ABRI bergerak melawan Presidium dan membawa perubahan yang telah lama

dinantikan.

3. Saya katakan bahwa dulu ketika ABRI tampaknya satu dalam tekadnya, Soekarno mampu

menggoyahkan mereka dengan memanggil semua jajaran militer termasuk panglima-panglima

wilayah dan membuat mereka setuju pada sikapnya, akibatnya para panglima itu pun bingung

menentukan bagaimana sebenarnya sikap mereka. Pekan ini Soekarno telah mengadakan

pertemuan serupa itu, apakah sejarah akan kembali terulang?

4. Malik menjawab bahwa menurutnya hal itu tidak akan terjadi. Semua panglima sekarang

berdiri di belakang Soeharto, hanya tinggal menunggu perintah darinya. Akan tetapi, ABRI tak

akan mengambil langkah inisiatif melawan Soekarno/Subandrio karena ABRI tak mau bersikap

agresif, namun tindakan ABRI akan berbentuk serangan balas. Para mahasiswa dan buruh akan

terus berdemonstrasi sampai Soekarno/Subandrio terprovokasi untuk mengambil tindakan yang

bisa dibenarkan ABRI untuk melakukan serangan balas. Ini bisa berupa pemecatan Soeharto atau

Adjie atau Sarwo Edhie atau Mokoginta atau ketia pasukan Cakrabirawa menembaki mahasiswa.

Contoh bahwa Soekarno amat mungkin menjadi pemicu tindakan ABRI adalah ketika ia dan

Subandrio menginspeksi Departemen Luar Negeri yang diamuk massa pada 9 Maret, Soekarno

saat itu amat marah hingga ia memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menembak mahasiswa.

5. Malik juga mengatakan, staf muda Angkatan Udara juga kini terorganisir menjadi tim yang

mendukung gerakan anti-Presidium dan merencanakan sabotase pesawat terbang yang terlibat

dalam usaha pelarian menteri-menteri kabinet sayap kiri dari Jakarta.

6. Menurut Malik, sejauh ini elemen baru yang paling penting dalam situasi ini dibanding sejak

pertemuan kami sebulan lalu adalah gerakan mahasiswa melawan Subandrio dan menteri-menteri

kabinet sayap kiri. Mahasiswa ini lebih kuat daripada semua partaidan mampu menarik banyak

simpati dan dukungan. Bahkan, gerakan anti-pemerintah yang ada sebelumnya tak ada yang mampu

menandingi besarnya dukungan terhadap mahasiswa. Apalagi, aparat tentara dan polisi paling

canggung untuk menembak demonstran mahasiswa.

7. Terlebih lagi, serikat-serikat kerja juga mulai beraksi. Sebagian besar serikat kerja akan

mendukung mahasiswa dengan bersama-sama berunjuk rasa dan melakukan mogok kerja yang

dimulai pekan ini.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

237 | P a g e

8. Saya menanyakan pada Malik apakah pemberhentian Nasution telah mendatangkan masalah

serius bagi ABRI. Menurutnya, tidak sama sekali. Nasution yang terus mendapat dukungan di

seluruh negeri, bisa bertindak lebih efektif di belakang layar dibanding ketika ia masih di

Departemen Pertahanan. Nasution dan Soeharto tetap dekat namun lebih baik membiarkan

Soeharto berada di depan. Saya tanyakan bagaimana posisi Jenderal Machmud (Panglima Kodam V

yang bertanggung jawab atas wilayah Jakarta), kata Malik ia jelas mendukung Soeharto.

9. Akhirnya dan yang terpenting, saya tanyakan Malik tentang situasi keamanan umumnya atas

pengaruhnya pada warga Amerika dan properti milik Amerika. Saya sebutkan soal demo mahasiswa

ke kantor Subandrio sudah tentu akan mendorong Subandrio untuk membalas atau mengalihkan

perhatian. Ia tak bisa menjadikan ABRI atau mahasiswa sebagai target sasarannya, jadi amat

mungkin ia akan mengerahkan pasukannya melawan Kedutaan kami. Hal ini sudah pernah terjadi

dua kali dalam 2 minggu belakangan. Apalagi saya punya laporan yang agak mengganggu bahwa

Soekarno telah menunjukkan kemarahannya yang bisa diarahkan ke Amerika. Ini berarti bahaya

bagi penduduk kami. Bagaimana menurut Malik?

10. Malik menjawab, memang tidak diragukan lagi Subandrio akan mencoba aksi anti-Amerika.

Akan tetapi, hal ini tak akan mendapat dukungan dari banyak elemen di sini, dan ABRI sudah pasti

akan maju melindungi warga Amerika. Menurut Malik, evakuasi komunitas Amerika dari Jakarta

tidaklah diperlukan, namun ia menyarankan agar mereka sebisa mungkin tidak menampakkan diri,

terlebih selama minggu mendatang saat keadaan akan menjadi amat menegangkan.

11. Saya katakan pada Malik sekali lagi bahwa saya berharap adanya hubungan baru antara

pemerintahan kita, hubungan yang produktif dan bermanfaat dari sudut pandang Indonesia, dan

pentingnya mencegah terjadinya aksi anti-Amerika. Jika itu sampai terjadi, akan menganggu

hubungan kita dan menghapus kesempatan untuk menjalin kerjasama dan persahabatan yang

menguntungkan. Ia menyatakan, dirinya sangat paham maksud saya. Ia berpikiran yang sama.

Menurutnya, ia kini lebih yakin bahwa segalanya akan berjalan sesuai yang kita inginkan bersama.

12. Saya katakan pada Malik bahwa ia bebas menceritakan percakapan kami pada Nasution dan

Soeharto. Malik bilang ia akan melakukannya.

Marshall Green Dubes AS untuk RI

9/08/2001 02:3 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (11)

Soekarno Nyaris Jatuh, AS Bersiap

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Benar kata Adam Malik. Tanggal 11 Maret 1965, atas dasar Supersemar,

ABRI bergerak cepat. PKI dibubarkan. Tapi Soekarno belum jatuh. Meski demikian, AS sudah

menyiapkan langkah bila pemerintahan berganti. Kesiapan AS ini terungkap dalam memorandum

yang diberikan oleh Pembantu Khusus Presiden Walt Rostow kepada Presiden AS Lyndon B.

Johnson. Isinya antisipasi yang akan menyusul kejatuhan Soekarno. Berikut dokumen tersebut.

Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 8

Juni 1966, pukul 14:35

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

238 | P a g e

Bapak Presiden: AS mengharapkan Anda membaca lampiran tulisan tentang Indonesia. Ini

merupakan ringkasan yang bagus tentang evolusi Indonesia dan kebijakan kita sejak 1 Oktober

tahun silam. Poin operasionalnya adalah: jika Soekarno turun, kita akan menghadapi isu bantuan

berikut:

Ø Tambahan bantuan darurat

Ø Penjadwalan ulang utang multilateral

Ø Bantuan berjangka panjang (terutama Eropa, Jepang, multilateral, namun mungkin juga

beberapa bilateral AS).

Ø Kemungkinan, beberapa bantuan kecil militer untuk latihan dan aktivitas sipil. Perencanaan

yang diajukan atas masalah ini sangat bagus, bahkan bagi para tokoh penting Kongres yang sudah

diberitahukan soal ini. Sejauh ini, mereka cukup simpatik. Belum ada keputusan yang diambil,

kecuali Anda berkehendak memberikan petunjuk.

Walt

9/08/2001 03:17 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (12)

Pertemuan Soeharto-Dubes AS

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Keberhasilan Soeharto menjadi pejabat presiden disambut gembira. Tanpa

sungkan, Soeharto pun menjalin kontak langsung dengan AS. Ia bertemu dengan Dubes AS

Marshall Green, 6 Juli 1967, 3 bulan setelah ia terpilih. Berikut isi pertemuan tersebut,

sebagaimana dilaporkan Marshall Green pada Deplu AS.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 7 Juli 1967 No.114.

Perihal: Pertemuan dengan Soeharto Selama hampir tiga jam pertemuan dengan Soeharto kemarin

malam, saya coba menghilangkan keprihatinan Soeharto atas prospek bantuan AS untuk tahun ini

dan tahun mendatang.

Dalam percakapan juga dibahas masalah bantuan lainnya, MAP, investasi asing dan isu kebijakan

luar negeri. Pembicaraan kami mengenai Vietnam dan masalah sensitif lainnya telah dilaporkan.

Soeharto mendukung kebijakan kita atas Vietnam, dan saya menilai, masalah lain juga begitu.

Soeharto tampaknya moderat, sepaham dan obyektif.

Tujuan utama percakapan saya dengannya adalah membangun basis untuk saling bertukar

pandangan lebih sering lagi dengan orang yang sudah hampir dipastikan akan memimpin pemerintah

Indonesia di masa mendatang. Namun tidak jelas apakah saya berhasil mencapai tujuan ini. Hal ini

akan tergantung pada hasil konkrit pembicaraan kami, yakni tanggapan kita atas permintaannya.

Permintaan Soeharto untuk Dukungan AS

1. Soeharto mengawali pembicaraan dengan menjelaskan bahwa dirinya tidak meragukan niat

baik kita pada Indonesia. Ia juga mengakui komitmen kita yang mendunia dan masalah yang

dihadapi pemerintah AS dalam memperoleh bantuan lewat Kongres. Namun, ia dengan serius

mempertanyakan apakah kita telah memberikan prioritas yang cukup tinggi untuk Indonesia,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

239 | P a g e

mengingat besarnya masalah Indonesia termasuk tantangan dari kekuatan pendukung Soekarno.

Bangsa Indonesia menghadapi masalah darurat yang memerlukan langkah-langkah yang tidak

seperti biasanya, dan bantuan AS sangatlah dibutuhkan.

2. Soeharto mengatakan bahwa program kabinet Ampera dibentuk di atas ekspektasi bantuan

AS yang berkelanjutan. ―Saya menganggap AS sebagai teman terbaik kami, namun jika saya

merasa tak pasti akan bantuan Anda, maka saya akan membuat rencana lain.‖ Soeharto tidak

menyinggung apakah ia akan beralih ke Rusia atau hal seperti itu, namun ia menyatakan dirinya

akan membuat beberapa penyesuaian besar dalam rencana anggaran pemerintah, yang akan

menarik perhatian para pendukung Soeharto dan kekuatan musuh lainnya di Indonesia. Akibatnya

pemerintah bisa saja dalam bahaya dan kerusakan bisa amat parah.

3. Posisi AS -- Saya katakan bahwa saya gembira karena ia tidak meragukan motif kami. Saya

tahu banyak rumor tidak benar yang beredar mengenai posisi kami. Saya sudah sejak lama ingin

menemui Soeharto, hanya untuk menjelaskan kepadanya bahwa kita sepenuhnya mendukung

pemerintahannya dan bahwa kita berupaya untuk mempertahankan orde baru di bawah

kepemimpinannya. Ia adalah orang yang bisa membawa Indonesia melalui masa-masa sulitnya, dan

kami mengagumi kemoderatannya, kepraktisannya, dedikasinya akan kebutuhan rakyat, dan

keinginan untuk menyeimbangkan elemen militer dan sipil dalam pemerintah. Saya juga

menyampaikan penghargaan kita yang setinggi-tingginya atas para penasihat tinggi urusan ekonomi

dan luar negerinya. Saya katakan memang ada perbedaan antara sesama teman tapi hal ini tak

seberapa dibandingkan kerja sama dan minat kita yang sama. Mengenai Bantuan CY'67 l1 Tentang

program CY'67 kita, saya ingatkan Soeharto bahwa bantuan AS akan melibatkan PL480 dan

pinjaman impor. Saya yakin kita tak akan memaksakan PL480 yang tidak dibutuhkan pada

pemerintahannya, namun telah menjadi kesimpulan kami bahwa kapas mentah akan dibutuhkan

pada akhir tahun ini. Jika pemerintah Indonesia tidak setuju, tentu saja masalah ini akan dibahas

lebih lanjut oleh para pakar kami. Jika beras yang dipersoalkan, saya berwenang memberitahukan

padanya bahwa kita sangat menyadari kebutuhan Indonesia, dan paling cepat pada musim panen

tahun ini, dimulai bulan ini, kami akan beritahukan apakah kami bisa membantu.

4. Soeharto lagi-lagi mendesak - sebelumnya lewat Jenderal Sudjono dua minggu lalu - agar

kita memberikan sebanyak mungkin beras PL480 tahun kalender ini. Hal ini sangat dibutuhkan

mendesak. (Ia tidak menyebutkan kemungkinan menerima 76.000 ton butir beras yang telah

disampaikan kepada Widjoyo dalam perundingan Washington kemudian).

5. Soeharto menyatakan, ia ingin menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia menyambut

penjualan PL480, tidak hanya beras, tapi juga kapas dan bahkan ia akhirnya berminat akan

gandum. Ia berharap bisa mengubah pola makan nasional, dimulai dari Jakarta, sehingga roti bisa

menggantikan nasi pada menu sarapan pagi. Ia menyatakan, bahwa untuk keseimbangan CY'67,

Indonesia hanya membutuhkan beras PL480 dan pinjaman impor dolar. (No 8-13 tidak jelas)

6. Saya yakin Soeharto tidak memiliki kecurigaan apapun atas dukungan kita pada Nasution,

negara Islam ataupun omongan kosong lainnya. Kecurigaan ini tidak diragukan lagi sudah dilebih-

lebihkan oleh beberapa pejabat Soeharto, namun hal ini sudah diatasi dalam pembicaraan terakhir

saya dengan Jenderal Sudjono, Sumitro dan Hartono. Saya bisa melihat awal sebuah pengertian

dengan Soeharto, meski saya belum bisa tahu kemana arahnya. Yang jelas, tindakan yang

responsif atas permintaan Soeharto yang masuk akal ini, akan banyak membantu mengatasi

masalah komunikasi kita dengan Soeharto.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

240 | P a g e

Marshall Green

9/08/2001 04:6 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (13)

US$ 325 Juta Buat Soeharto

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, AS menepati janjinya mendukung pemerintahan Soeharto. Begitu resmi

menjabat presiden, AS langsung menyiapkan dana bantuan dari IMF yang besarnya mencapai US$

325 juta.

Namun agaknya, AS masih berhitung pula. Dalam dokumen khusus yang disampaikan Pembantu

Presiden AS Walt Rostow kepada Presiden Lyndon B. Johnson terungkap, AS tak akan bersedia

memberikan bantuan US$ 325 juta itu mentah-mentah. Akan dibuat skema dimana AS dan

Jepang, hanya akan menyumbang sepertiga dari jumlah itu. Sisanya disokong oleh negara lain.

Berikut isi dokumen tersebut.

Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 18

Juni 1968, pukul 18:35

Perihal: Bantuan Untuk Indonesia Dana Moneter Internasional (IMF) menyiapkan US$ 325 juta

sesuai yang dibutuhkan Indonesia untuk bantuan luar negeri selama tahun kalender 1968.

Kami menyusun formula dimana AS dan Jepang akan menyediakan sepertiga dari kebutuhan

tersebut, dan sisanya akan disumbangkan bangsa-bangsa lain. Pemerintah Jepang tampak sedikit

lamban tahun ini, namun tampaknya mereka akan memenuhi bagian mereka sebesar US$ 110 juta.

Donatur lainnya tampaknya tak akan memberikan lebih dari US$ 80 juta kepada Indonesia.

Kebutuhan Indonesia kini menjadi amat besar. Banyak program stabilisasi yang gagal dijalankan.

Pada kuartal pertama tahun ini, laju inflasi hampir 60 persen, sebagian besar dikarenakan tidak

mencukupinya bahan pangan. Jika keadaan masih terus berlangsung sampai tahun depan,

pemerintahan dalam bahaya.

Untuk itu, IMF dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyerukan bantuan makanan ke

Indonesia, jauh melebihi angka US$ 325 juta, sebelumnya. Masalahnya, bagaimana membantu

Indonesia memenuhi kebutuhannya, termasuk bantuan makanan darurat, tanpa mengganggu

formula sepertiga tersebut (yang populer di Kongres dan terbukti ampuh menekan donatur lain

untuk melaksanakan kewajiban mereka).

Kami menawarkan 350 ribu ton (US$ 46 juta) tepung terigu untuk segera dikirimkan. Namun sulit

mengatakan berapa banyak yang bisa digunakan Indonesia selama 1968.

Untuk itu, masuk akal bila memisahkan bantuan ini dari kesepakatan mengenai bantuan kita tahun

1968 dan di luar formula sepertiga tadi. Dengan cara ini, kita bisa menawarkan US$ 156 juta

bantuan sekarang. Ini secara psikologis sangat penting untuk meningkatkan keyakinan pemerintah

Indonesia dan meyakinkan masyarakat bisnis Indonesia bahwa sumber daya akan tersedia untuk

menghindari inflasi spiral lainnya pada akhir tahun ini. Selain gandum, paket kita terdiri dari:

Ø 200.000 ton beras, senilai US$ 41 juta;

Ø 160.000 bales kapas mentah dan sejumlah 70.000 bales cotton yarn senilai US$ 44 juta;

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

241 | P a g e

Ø bantuan pinjaman pembangunan AID senilai US$ 25 juta

Ø totalnya US$ 110 juta, sepertiga bagian kita yang harus disediakan.

Sebagai tambahan, Bill Gaud dan Orville Freeman ingin mengatakan pada Soeharto bahwa kita

akan mempertimbangkan tambahan 100 ribu ton beras dan tambahan 80 ribu bales kapas pada

musim gugur mendatang. Ini akan sangat berarti bagi Soeharto untuk menyingkirkan

kekhawatiran akan kekurangan beras selama periode kritis Januari-Maret.

Menteri Fowler tidak keberatan dengan paket ini. Namun begitu, ia yakin kita hendaknya tetap

mendesak donatur lain untuk memberikan bantuannya. Kami menyampaikan paket tahun 1968

secara keseluruhan (supaya Anda bisa menilainya lebih baik) dan Anda sebenarnya telah

memberikan persetujuan atas paket senilai US$ 60 juta pada Januari lalu.

Yang kami minta Anda untuk memberikan persetujuannya adalah program PL-480 senilai US$ 98

juta (US$ 35 juta pada gandum, US$ 33 juta pada kapas, dan US$ 30 juta pada beras). Orang-

orang saya (Marshall Wright dan Ed Hamilton) membantu menyusun paket ini. Saya rasa ini bagus.

Bob McNamara baru saja kembali dari Indonesia dan merasa hal ini sangat penting untuk kita

laksanakan tanpa ditunda-tunda lagi. Menurutnya paket ini sangat mendesak dan penting bila

Soeharto ingin diselamatkan, dan ia yakin bahwa Soeharto memang layak diselamatkan.

Saya menyarankan Anda untuk menyetujui program PL-480 senilai US$ 98 juta, dan memberikan

wewenang pejabat kita di Jakarta untuk memberitahukan kepada Soeharto bahwa kita akan

mempertimbangkan tambahan beras dan kapas pada musim gugur mendatang.

Walt Setuju*

Tidak setuju

Hubungi saya Tanda (*) menunjukkan presiden AS sudah setuju.

9/08/2001 04:12 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (14)

Korban Penumpasan PKI 105 Ribu

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Buntut dari tudingan keterlibatan PKI pada G 30S, para simpatisan dan

anggota PKI diburu masyarakat dan ABRI. Beberapa pihak menyebut sebagai episode pembantaian

karena banyaknya korban. Berapa sebenarnya jumlah korban?

Ada sebuah dokumen pemerintah AS yang sedikit mengintip perihal tersebut. Angka resmi

memang tak penah disebutkan, namun seorang pejabat Deplu AS, selama 1965-1966 sempat

melakukan penelitian. Hasilnya, ia menyebut angka 105 ribu orang tewas. Di bawah ini adalah isi

dokumen tersebut.

Catatan Editorial Kedutaan AS di Jakarta memiliki keterbatasan dalam laporannya mengenai

peristiwa yang terjadi di luar Jakarta tentang kondisi yang diawali oleh adanya konflik antara PKI

di satu pihak dan ABRI serta kekuatan anti-komunis di pihak lain.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

242 | P a g e

Dalam telegramnya tanggal 27 Oktober 1965, Kedutaan menyebutkan soal banyaknya laporan

tentang semakin tidak amannya keadaan dan pertumpahan darah yang kerap terjadi di Jawa

Tengah, namun tidak bisa dipastikan apakah itu disebabkan oleh gerakan PKI yang coba melakukan

sabotase.

Pada 28 Oktober, Country Team Kedutaan menganalisa situasi dan mengirimkan tanggapannya.

Meski laporan-laporan itu menekankan tentang berbahayanya situasi di Jawa Tengah, Jawa Timur,

Bandung dan Jakarta, Country Team tak bisa menyatakan apakah insiden itu merupakan aksi

komunis setempat atau sebuah permulaan dari tindakan teror dan sabotase yang terkoordinir.

Laporan Kedutaan juga menyimpulkan bahwa Indonesia tengah menuju 'periode chaos' karena PKI

memiliki kekuatan dan persenjataan yang tangguh, dan tampaknya ini diseimbangkan oleh ABRI.

Pada akhir Oktober 1965, Kedutaan mulai menerima laporan pembunuhan dan kekejaman terhadap

anggota PKI.

Pada 29 Oktober, Kedutaan mendapat laporan bahwa warga Aceh memenggal kepala anggota PKI

dan meletakkannya di tongkat di sepanjang jalan. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke sungai

atau laut karena rakyat Aceh tak mau tubuh mereka mengkontaminasi tanah Aceh.

Pada 8 November, Kedutaan mendapat laporan bahwa di Sumatra Utara dan Aceh, ABRI dengan

dibantu organisasi pemuda IP-KI dan elemen anti-komunis lainnya kian gencar melakukan

penumpasan dengan angka pembunuhan yang dilaporkan cukup besar.

Pada 13 November, Kedutaan memiliki laporan dari kepala kepolisian setempat bahwa sekitar 50

sampai 100 orang anggota PKI dibunuh setiap malamnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh

pasukan sipil anti-komunis dengan dukungan dari ABRI. Seorang misionari di Surabaya melaporkan

bahwa 3.500 anggota dan simpatisan PKI dibunuh di Kediri antara 4 dan 9 November dan

sebanyak 300 orang dibunuh di Paree, 30 kilometer sebelah barat daya Kediri.

Laporan-laporan serupa terus masuk sampai enam bulan pertama tahun 1966.

Pada airgram-nya tanggal 25 Februari 1966, Kedutaan melaporkan perkiraan angka total kematian

anggota PKI dan simpatisannya di bali mencapai 80.000 orang. Angka kematian yang tinggi itu

dipicu oleh konflik antara PKI dan Partai Nasional Indonesia (PNI), juga karena masalah pribadi

dan perseteruan kelompok yang memang kerap terjadi di sana.

Perlahan-lahan Kedutaan mulai menyadari bahwa Indonesia sedang mengalami upaya penghapusan

pengaruh PKI secara besar-besaran dan pembunuhan itu juga dipicu oleh konflik etnik dan agama.

Kedutaan tak bisa menyampaikan angka pasti berapa jumlah penduduk Indonesia yang telah

menjadi korban pembunuhan dalam kampanye melawan PKI ini. Kebenaran tak akan pernah

diketahui.

Bahkan pemerintah Indonesia sendiri tak memiliki kepastiannya. Kedutaan mengakui, "Sejujurnya

kami tidak tahu apakah angka pastinya mendekati 100.000 atau 1.000.000 tapi kami percaya, lebih

baik memberikan perkiraan yang lebih kecil, khususnya jika ditanyakan oleh media.

Pada tahun 1970, pejabat urusan luar negeri Richard Cabot Howland, seorang pejabat di Kedutaan

AS di Indonesia pada tahun 1965 dan 1966, menerbitkan sebuah artikel Studies in Intelligence.

dalam artikelnya, Howland membicarakan 3 kesalahan konsepsi yang populer saat itu: bahwa ABRI

didorong untuk melawan PKI oleh pasukan AS di Vietnam, bahwa Cina berada di balik usaha

kudeta 30 September, dan bahwa sekitar 350 ribu sampai 1,5 juta anggota PKI dibunuh sebagai

balasan atas kudeta 30 September.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

243 | P a g e

Howland menjabarkan bahwa atas usahanya sendiri, ia mengumpulkan informasi dari warga

Indonesia pada tahun 1966, dan kesulitannya dalam memperoleh jawaban yang akurat dan data-

data. Menurutnya, angka kematian anggota PKI dilebih-lebihkan oleh pejabat dan warga Indonesia

untuk menunjukkan sentimen anti-PKI mereka kepada otoritas baru anti-komunis di Indonesia. Ia

menyebutkan bahwa dirinya menerima data-data dari seorang Letkol di KOTI Bagian Urusan Aksi

Sosial dan memastikan bahwa data itu akurat karena diperolehnya langsung dari laporan di

lapangan.

Menurutnya, total 50 ribu anggota PKI tewas di Pulau Jawa; 6 ribu tewas di Bali; 3 ribu tewas di

Sumatra Utara. Menurut Howland, ia agak ragu dengan metode Letkol tersebut namun bisa

menerima estimasinya, dan dengan menggabungkannya dengan data yang dia peroleh sendiri,

hasilnya sebanyak 105 ribu anggota PKI tewas.

Misteri CIA di Seputar G30S (1)

Soekarno Diduga Tahu Penculikan

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Dua pekan lalu, publik Indonesia dikejutkan dengan kabar ditariknya dokumen

rahasia tentang kiprah pemerintahan AS pada saat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G

30S). Padahal, baru beberapa hari sebelumnya, dokumen itu dibuka menyusul dilantiknya

Megawati Soekarnoputri, putri mantan Presiden Soekarno, menjadi presiden RI ke-5. Menariknya,

penarikan dokumen tersebut terjadi bukan karena protes. Sejak dibuka diam-diam, tak satu pun

pihak yang menyatakan keberatan atas isi dokumen.

Ini jelas suatu keanehan. Adakah yang janggal dalam peristiwa itu? Siapa saja yang sebenarnya

terlibat versi CIA dalam tragedi tersebut? Meski sudah ditarik, tak urung beberapa copy

dokumen tersebut telah beredar. Berikut beberapa bagian dari dokumen tersebut, khususnya

yang menjelaskan apa yang terjadi di elite politik RI dalam kurun waktu Oktober 1965-Maret

1966.

Di poin pertama pada bab yang berjudul, "Kudeta dan Reaksi Perlawanan : Oktober 1965 - Maret

1966," begitu terjadi operasi penculikan para jenderal, CIA langsung mencurigai keterlibatan

Soekarno. Namun tak dijelaskan apa yang mendasari kecurigaan tersebut. Berikut teks dokumen

CIA yang ditujukan kepada Presiden AS Lyndon Johnson. Menariknya, memorandum tersebut

dikirim 1 Oktober 1965 pukul 07.20 AM waktu Washington DC, atau hanya selisih beberapa jam

dari peristiwa pembunuhan para jenderal.

Memorandum untuk Presiden Johnson Washington, 1 Oktober 1965, 7:20 pagi (Berikut teks

laporan situasi oleh CIA) Sebuah gerakan kekuatan yang mungkin telah menyebabkan implikasi

yang jauh sedang terjadi di Jakarta. Kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September"

mengklaim telah mencegah "kudeta jenderal' di Indonesia.

Sejumlah jenderal dan politisi telah ditangkap, dan rumah kediaman Menteri Pertahanan Jenderal

Nasution dan Panglima ABRI Jenderal Yani berada di bawah pengawasan tentara. Keputusan yang

dikeluarkan oleh Letkol. Untung, Komandan Pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa-red)

menyatakan bahwa pemerintahan akan diatur oleh Dewan Revolusi Indonesia. Menurut keputusan

tersebut, dewan akan meneruskan kebijakan pemerintah yang sudah ada dan keanggotaan dewan

akan segera diumumkan. Belum ada keterangan mengenai peran aktif Presiden Soekarno. Radio

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

244 | P a g e

pemerintah RRI adalah yang pertama kali mengumumkan bahwa Gerakan 30 September

diorganisir untuk "menyelamatkan Presiden Soekarno yang kesehatannya mengkhawatirkan."

Gerakan 30 September kemudian menyatakan bahwa Soekarno aman dan "terus menjalankan

kepemimpinan bangsa." Kelompok Gerakan 30 September mengklaim rencana kudeta oleh para

Jenderal bersumber dari Amerika. Jaringan telepon eksternal di Kedutaan AS sempat terputus 3

jam sebelum RRI mengumumkan bahwa "kudeta" telah digagalkan. Aparat tentara ditempatkan di

Kedutaan AS.

Tujuan yang ingin segera dicapai oleh Gerakan 30 September tampaknya adalah untuk

menyingkirkan setiap peran politik oleh elemen-elemen ABRI yang anti-komunis dan perubahan

dalam kepemimpinan ABRI. Tindakan terhadap elemen ABRI serupa tampaknya juga direncakan di

luar Jakarta. Masalah ini bisa saja digunakan untuk membentuk aktivitas baru yang anti-Amerika.

Tampaknya mungkin saja Soekarno tahu sejak awal gerakan ini dan tujuannya. Namun langkah

terpenting menyangkut timing dan detil rencana tampaknya dipegang oleh Wakil I Perdana

Menteri Subandrio dan pemimpin komunis yang dekat dengan Soekarno.

8/08/2001 13:20 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (2) ABRI Salip Soekarno, 5 Oktober Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Masa-masa antara 1-5 Oktober 1965 adalah saat yang genting. Bagaimana

mengantisipasi G 30S dan siapa dalang gerakan itu masih menjadi spekulasi. Kedubes AS sempat

panik dan ingin mengevakuasi warga AS yang di Indonesia, namun upaya itu dicegah setelah

mendapat saran seorang jenderal ABRI. Yang menarik, CIA pun segera menganalisa lebih jauh

apakah Presiden Soekarno tahu persis gerakan itu? Kesimpulannya, ada 2 spekulasi.

Soekarno tahu persis geralan itu dan mencoba memancing reaksi, kedua, Soekarno tak tahu

menahu karena ia dibodohi pelaku G 30S. Sementara itu, di tengah situasi itu, ABRI bergerak

cepat. CIA mensinyalir ABRI sengaja akan mempergunakan momentum pemakaman 6 jenderal

sebagai wahana meraih simpati masyarakat. Sekaligus, mereka akan menenggelamkan kharisma

Soekarno.

Berikut memorandum yang menyebutkan hal tersebut. Memorandum dari Direktur Wilayah Timur

Jauh (Blouin) kepada Asisten Menteri Pertahanan untuk Urusan Keamanan Internasional

(McNaughton) Washington, 4 Oktober 1965 Masalah: Situasi di Indonesia.

Situasi di Indonesia tengah dilanda keresahan dan Presiden Soekarno tampaknya berupaya keras

untuk mempertahankan kesatuan nasional di tengah-tengah meningkatnya perseteruan antara

ABRI dan kelompok-kelompok yang mendukung Gerakan 30 September. Tubuh para pejabat

militer yang ditembak pada awal usaha kudeta 30 September lalu telah ditemukan. Ada laporan

telah terjadi tindak 'kebrutalan' pada tubuh mereka, dan ABRI dengan bermodalkan pada insiden

ini ingin mencari dukungan publik atas posisinya. Akan tetapi, Soekarno telah mengisyaratkan

bahwa dirinya belum siap bergerak melawan PKI, Angkatan Udara, Subandrio atau elemen-elemen

lainnya yang mungkin terlibat dalam perebutan kekuasaan 30 September. Ada laporan yang

mengindikasikan bahwa Soekarno berada di tangan Angkatan Udara sampai hari Minggu dan tidak

tahu situasi yang sebenarnya. Laporan lainnya menyebutkan bahwa Soekarno kini sangat

menyadari apa yang telah terjadi dan tahu siapa yang jadi dalangnya. ABRI telah melarang koran

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

245 | P a g e

PKI - Harian Rakyat -- terbit namun belum bertindak apapun terhadap markas PKI. Jenderal

Seoharto, yang tampaknya memiliki kontrol yang kuat terhadap situasi militer di dalam dan

sekitar Jakarta, pergi ke RRI hari ini, dengan pidatonya yang berapi-api ia mengutuk Angkatan

Udara atas perannya dalam kudeta dan upayanya mencari dukungan publik dengan menyebut-

nyebut soal tindakan brutal terhadap pada jenderalnya. Ini merupakan indikasi pertama yang kita

dapat bahwa ABRI mungkin saja bersedia mengikuti kebijakan Soekarno yang coba membelokkan

peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini.

Evakuasi Warga Amerika Sejauh ini belum ada satupun keberangkatan warga AS dari Jakarta via

pesawat terbang komersial, meski pihak Kedutaan memperkirakan bahwa itu mungkin baru dimulai

hari ini. Seorang pejabat tinggi Indonesia (Jenderal Rubiono) mengatakan kepada Kedutaan AS,

tidaklah bijak mengevakuasi warga Amerika pada saat ini karena hal itu akan menunjukkan

kurangnya kepercayaan pada kemampuan ABRI untuk mengatasi situasi. Sebaliknya, ada laporan

bahwa Letkol Untung tengah berada di Jawa Tengah dan sedang mengatur beberapa batalyon

untuk kembali melakukan aksi terhadap ABRI dan pemimpin PKI Aidit kini sedang bersembunyi.

Estimasi Situasi Ada beberapa penilaian dari terjadinya peristiwa belakangan ini, yang semuanya

didukung oleh beberapa informasi yang, kadang kala bertentangan. Namun ada 2 hal utama, yakni:

1. Soekarno mengetahui sesungguhnya apa sedang terjadi sejak awal dan bersikap

menunggu sampai ia bisa melihat siapa yang akan muncul paling depan (diduga ia

mengharapkan kudeta trio Untung-Subandrio-Dani akan berhasil dan Panglima

ABRI tak lagi menjadi ancaman terhadap kebijakannya yang pro-Peking).

2. Soekarno telah dibodohi untuk percaya bahwa kudeta Untung Cs dilakukan untuk

menyelamatkan dirinya dari sebuah kudeta oleh ABRI yang disponsori AS, dan kini

ia mulai percaya bahwa Angkatan Udara PKI terlibat dalam upaya menyingkirkan

lawan kuat mereka satu-satunya, ABRI.

3. Jika perkiraan (1) di atas benar, maka Soekarno akan melakukan apa saja untuk

mencegah ABRI menghancurkan Angkatan Udara dan PKI, dan ia akan melanjutkan

kebijakan terdahulunya yang menerapkan hubungan dekat dengan Peking dan PKI,

yang akan merugikan kita.

Ia telah melakukan beberapa upaya untuk mengesankan bahwa insiden ini semata-mata merupakan

pertikaian antar lembaga.

Jika kita anggap estimasi (2) tersebut benar, maka ABRI akan diberikan otoritas lebih dan orang-

orang seperti Subandrio, Dani dan Untung akan keluar. Tapi, Soekarno mungkin takut bila ia

membiarkan ABRI mengambil tindakan terlalu cepat terhadap Gerakan 30 September, dan

khususnya terhadap PKI, perang sipil akan meluas dan memecah belah negara, akibatnya pulau-pulau

tertentu rentan terhadap penetrasi asing.

Dengan bergerak perlahan dan berupaya menunjukkan kesatuan nasional, ia mungkin bisa mencegah

disintegrasi bangsa dan tetap mengatur elemen-elemen yang coba menggulingkan pemerintah. Saya

cenderung untuk mengira bahwa Soekarno tahu, setidaknya sebagian, apa yang terjadi sejak awal

dan ia sekarang berusaha untuk bersikap sewajarnya, menjaga prestise dirinya tetap utuh.

Pertanyaannya adalah, apakah ABRI yang telah menunjukkan kekuatan dan kesatuannya, akan

mengizinkan Soekarno menjalankan kontrol pemerintah yang dulu diterapkannya. Dalam berbagai

peristiwa, citra Soekarno telah memudar. Dua hari mendatang kita akan bisa tahu banyak.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

246 | P a g e

Jika ABRI menjadikan peringatan Hari ABRI (5 Oktober) sebagai prosesi besar pemakaman para

jenderalnya, maka momentum itu bisa menempatkan ABRI dalam posisi terdepan dan bukannya

Soekarno. Akan tetapi, kita tak bisa mengesampingkan kekuatan Soekarno memanipulasi situasi

dengan cara apapun yang ia inginkan, yang baik atau yang buruk. Mungkin sekarang tak ada orang

lain di Indonesia yang bisa menjaga keutuhan bangsa, dan ABRI mungkin menganggap faktor ini

lebih penting daripada melakukan tindak pembalasan terhadap Angkatan Udara dan PKI.

E.J. Blouin

Direktur Wilayah Timur Jauh

8/08/2001 14:40 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (3) Kedubes Minta AS Dukung ABRI Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Kedubes AS di Indonesia, merekomendasikan pemerintah AS untuk membantu

segala langkah ABRI mengatasi G 30S. Karena inilah saat yang tepat untuk mengenyahkan

komunisme dari Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam. Berikut dokumen yang

mengungkapkan hal itu.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 5 Oktober 1965 No.868

1. Berbagai peristiwa selama beberapa hari terakhir telah menyebabkan PKI dan

elemen-elemen pro-Komunis bersikap defensif dan mereka mungkin akan memicu

ABRI untuk pada akhirnya bersikap efektif terhadap Komunis.

2. Pada waktu yang bersamaan kami menyaksikan hal yang tampaknya seperti

pengalihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke seseorang atau beberapa orang

yang identitasnya belum diketahui, yang mungkin mendatangkan perubahan

kebijakan nasional.

3. Sekarang, kunci persoalan kita adalah apakah kita bisa membentuk perkembangan

ini agar menguntungkan kita.

4. Beberapa panduan berikut mungkin bisa memberikan sebagian jawaban atas

bagaimana sikap kita seharusnya:

A. Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya

perebutan kekuasaan.

B. Akan tetapi, secara tersembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-

tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita

membantu apa yang kita bisa, sementara di saat bersamaan sampaikan

kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar setiap

bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat.

C. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer.

D. Hindari langkah-langkah yang bisa diartikan sebagai tanda

ketidakpercayaan terhadap ABRI (contohnya memindahkan warga kita

atau mengurangai staf).

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

247 | P a g e

E. Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan

kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan kita

segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita bisa menemukan

jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal ini merupakan usaha

AS).

F. Dukung seluruh masukan informasi dan sarana-sarana lainnya yang ada

untuk bisa menyatukan ABRI.

G. Ingatlah selalu bahwa Moskow dan Peking adalah akar konflik menyangkut

Indonesia, dan bahwa Uni Soviet mungkin akan lebih sejalan pemikirannya

dengan kita dibanding saat ini. Ini akan menjadi subyek pada pertemuan

Country Team kita mendatang dan mungkin kita bisa memberikan

rekomendasi untuk mengeksploitir fenomena ini.

H. Untuk sementara waktu, terus dan pertahankan sikap low profile.

I. Kami akan memberikan rekomendasi selanjutnya karena tampaknya hal-hal

inilah yang paling sesuai untuk situasi yang tidak diragukan lagi akan

berkembang cepat atau setidaknya belum pasti ini.

Green Duta Besar AS untuk Indonesia

8/08/2001 16:0 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (4) Washington Setuju Bantu ABRI Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Permintaan Kedubes AS agar AS membantu ABRI (sekarang TNI) menumpas

G 30S disanggupi pemerintah AS di Washington. Dalam rapat kabinet, AS mensinyalir G 30S

adalah upaya Soekarno untuk mengukuhkan kekuasaannya. Namun dipesankan, agar bantuan

dilakukan jika diminta. Surat balasan pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri tersebut

tertanggal 6 Oktober 1965, selang dua hari dari surat yang dikirimkan oleh Kedubes AS.

Berikut isi surat tersebut.

Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 6 Oktober 1965, 7.39 malam

No. 400 (jawaban atas telegram no. 868)

1. Berdasarkan laporan pertemuan Kabinet 6 Oktober yang baru diterima via FBIS,

jelas bahwa Soekarno berupaya membangun kembali status quo dengan

mencuatkan hantu imperialisme pengeksploitasi perbedaan-perbedaan Indonesia

dan menahan tindakan balas dendam ABRI terhadap PKI dengan alasan untuk

mempertahankan kesatuan nasional.

2. Seperti yang telah Anda sampaikan, pertanyaan utama adalah apakah ABRI bisa

mempertahankan momentum sikap ofensifnya terhadap PKI di hadapan manipulasi

politik yang dilakukan Soekarno.

3. Soekarno, Subandrio, dan para simpatisan PKI di Kabinet akan waspada terhadap

setiap bukti yang menguatkan dugaan mereka bahwa NEKOLIM akan berusaha

mengeksploitir situasi. Kami yakin pentingnya kita tidak memberikan kesempatan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

248 | P a g e

bagi Soekarno dan sekutunya untuk menyatakan bahwa mereka akan diserang

NEKOLIM dan bahwa kita tidak memberikan Subandrio dan PKI bukti-bukti

bahwa pemerintah AS mendukung ABRI untuk melawan mereka.

4. ABRI tampak jelas tidak membutuhkan bantuan materi dari kita pada poin ini.

Selama bertahun-tahun hubungan inter-service dikembangkan lewat program

latihan, program aksi sipil dan MILTAG, begitu pula dengan jaminan reguler

terhadap Nasution, harus diingat jelas dalam benak para pemimpin ABRI bahwa

AS mendukung mereka jika mereka membutuhkan bantuan. Menyangkut paragraf

4b dan c (dalam telegram bernomor. 868), kita harus mengadakan kontak yang

esktra hati-hati dengan ABRI dengan tidak mengurangi maksud baik kita untuk

menawarkan bantuan kepada mereka. Mengingat kondisi emosional Nasution saat

ini ada baiknya Anda menghindari kontak langsung dengannya kecuali kalau ia yang

memulai.

5. Kami bermaksud dan sedang melaksanakan program informasi dan VOA (Voice of

America) berdasarkan sumber-sumber Indonesia dan pernyataan resmi dari

pemerintah tanpa memasukkan opini kita. Setidaknya dalam kondisi saat ini, kita

yakin bahwa berlimpahnya bahan informasi yang menyalahkan PKI atas perannya

terhadap kebrutalan 30 September bisa diperoleh dari RRI dan media Indonesia.

6. Menyangkut paragraf 4d, kami setuju bahwa evakuasi warga yang terburu-buru

tidak diperlukan saat ini.

7. Kami menanti rekomendasi selanjutnya dari Kedutaan tentang bagaimana langkah

kita selanjutnya.

Ball Pejabat Menteri Luar Negeri AS

8/08/2001 16:40 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (5) CIA Sebut Soeharto Oportunis Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, CIA serius memantau perkembangan Indonesia pasca G 30S. Gerak cepat

Pangkostrad Mayjen Soeharto juga diamati. CIA mencatat jenderal satu ini punya kecenderungan

politik dan merupakan jenderal oportunis. Satu hal dari sikap Soeharto tersebut terlihat dari

penolakannya terhadap sosok Mayjen Pranoto Reksosamudro. Semula Presiden Soekarno

mengangkat Pranoto sebagai pemimpin sementara ABRI dimaksudkan untuk menjadi penengah.

Pranoto diharap mampu melindungi sayap kiri yang pada kondisi itu sedang terpojok. Namun,

Soeharto mengacuhkan Pranoto. Ia tidak suka. Lebih jauh, Soeharto bahkan berani mengarahkan

moncong senjata ke arah Istana dan menuduh PKI serta AU terlibat G 30S. Berikut dokumen CIA

yang menyebut analisa tersebut.

Memorandum CIA (Central Intelligence Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65

Perubahan di Indonesia

Ringkasan ABRI yang baru mengalami apa yang tampaknya merupakan kudeta sayap kiri pada 1

Oktober (30 September WIB), untuk sementara waktu memegang kontrol penuh atas Indonesia.

ABRI -- sekarang TNI -- akan menggunakan kesempatan untuk mengambil langkah tegas terhadap

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan elemen-elemen yang terkait dengannya. Namun ABRI masih

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

249 | P a g e

ragu untuk mengambil tindakan ini tanpa persetujuan Presiden Soekarno. Soekarno, yang

mementingkan kesatuan nasional dan mungkin mengkhawatirkan meningkatnya kekuatan ABRI,

menganggap bahwa situasi saat ini adalah masalah politik yang membutuhkan penyelesaian politik

dan ia berharap untuk menyelesaikannya sendiri. Ia tampaknya berupaya untuk berkonsiliasi

dengan sayap kiri dan mengembalikan PKI ke posisi politik yang sempat mereka duduki sebelum

peristiwa 1 Oktober.

Pada 1 Oktober sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September" menculik

enam jenderal ABRI, termasuk Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani, dan kemudian membunuhi

mereka. Gerakan ini dipimpin oleh Letkol. Untung, komandan batalyon dalam pasukan pengawal

Presiden Soekarno, Cakrabirawa. Gerakan ini tampaknya juga didukung oleh beberapa elemen

Angkatan Udara dan yang pada awalnya secara terbuka didukung oleh Kepala Staf Angkatan

Udara Omar Dani.

Juga terlibat elemen ABRI yang pro-komunis dari Jawa Tengah dan anggota Pemuda Rakyat -

organisasi pemuda PKI yang merupakan barisan tentara khusus PKI, dan GERWANI - barisan

wanita Komunis. Sebuah pesan yang dibacakan lewat Radio Jakarta pada 1 Oktober (pagi)

menyatakan bahwa tindakan Untung didukung oleh tentara kesatuan lain dari ABRI dan bahwa

"Gerakan 30 September" dilakukan untuk mencegah kudeta "jenderal" yang disponsori AS.

Pesan tersebut menyatakan bahwa Presiden Soekarno dan target lainnya dari "kudeta jenderal"

kini berada di bawah perlindungan Gerakan. Tak lama sesudah itu 45 anggota "Dewan Revolusi"

sayap kiri diumumkan. Hampir setengah dari anggota Dewan terdiri dari pejabat-pejabat

pemerintah, beberapa dari mereka adalah pejabat tinggi dan tak ada satupun yang bersikap anti-

komunis.

Pada 1 Oktober malam, Jenderal Suharto, Panglima KOSTRAD menginformasikan kepada seluruh

jajaran militer tentang absennya Jenderal Yani yang telah diculik, ia lantas mengambil alih tampuk

kepemimpinan ABRI. Ia melakukan hal ini dengan pengertian dan kerja sama Angkatan Laut untuk

menghancurkan "Gerakan 30 September". Dua jam kemudian RRI mengumumkan bahwa ABRI

telah menguasai situasi, dan polisi telah bergabung dengan ABRI dan Angkatan Laut untuk

menghancurkan 'gerakan revolusi', dan bahwa Presiden Soekarno serta Menteri Pertahanan

Jenderal Nasution (yang menjadi target kelompok Untung) selamat. Pada 1 Oktober malam, Letkol

Untung tampaknya telah melarikan diri ke Jawa Tengah dengan harapan menjalin kekuatan dengan

elemen pro-Komunis di propinsi itu. Siaran berulang-ulang tentang seruan Presiden Soekarno

untuk pemulihan ketertiban dan kuatnya orang-orang yang pro-Soekarno, pro-ABRI dari Jenderal

Sabur - atasan Untung di pasukan Cakrabirawa dan Jenderal Suryosumpeno - pimpinan ABRI di

Jawa Tengah, tampaknya telah menciutkan jumlah para pengikut Untung. Namun laporan tentang

berapa jumlah pendukung Untung bervariasi. Ada yang menyebut sekitar 110 tentara sampai

beberapa batalyon.

Pada 4 Oktober, Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani yang oleh Presiden Soekarno telah

dinyatakan tidak bersalah dalam Gerakan 30 September, menyatakan dirinya tidak terkait dengan

gerakan. Dalam siaran khususnya, ia berterima kasih kepada Soekarno atas kepercayaannya pada

Angkatan Udara dan menegaskan tindakan tegas akan diambil terhadap setiap personil Angkatan

Udara yang terlibat dalam gerakan. Sementara itu, Presiden Soekarno melakukan manuver untuk

memastikan kontrolnya atas situasi. Pada 2 Oktober, ia memanggil semua pimpinan militer dan

Wakil Perdana Menteri II Leimena untuk mengadakan rapat guna menyelesaikan insiden 30

September segera.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

250 | P a g e

(Wakil PM Subandrio berada di Sumatra Utara namun segera pulang dan berada di Bogor bersama

Soekarno; Wakil PM III Chaerul Saleh tengah dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari Cina).

Kemudian Soekarno menyiarkan ke seluruh bangsa bahwa dirinya secara pribadi masih memegang

tampuk kepemimpinan ABRI, dan menunjuk Jenderal Pranoto, kepala administrasi ABRI dan

Jenderal Soeharto untuk menjalankan pemulihan keamanan. Berdasarkan siaran oleh Komando

Operasi Tinggi (KOTI) pada 3 Oktober terungkap bahwa Pranoto hanya sebagai 'pembantu

presiden'. Soeharto, yang lama dikenal sebagai seorang politikus dan mungkin saja oportunis,

muncul pada situasi ini sebagai pemimpin militer yang tangguh dan tampaknya amat anti-Komunis.

Sebaliknya, Pranoto, tidak dekat dengan para pejabat yang merindukan kepemimpinan Yani dan

Nasution dan jelas tidak disukai oleh Soeharto dan koleganya. Soekarno menyatakan dirinya

menunjuk Pranoto pada saat krisis ini adalah sebagai cara konsiliasi dan melindungi sayap kiri, dan

tampaknya ia juga sengaja melakukan hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan ABRI.

Kedutaan AS di Jakarta telah mengkonfimasikan laporan bahwa pasukan pengawal istana dari

Soekarno dan tentara Angkatan Udara melindungi Soekarno dan Omar Dani di Bogor.

Dilaporkan pula, tentara Soeharto telah mengarahkan senjatanya ke arah istana. Pihak Kedutaan

AS kini percaya bahwa tentara Soeharto memiliki akses ke Soekarno namun mereka tidak

menguasainya. Soekarno menolak saran dari ABRI untuk mengambil langkah tegas terhadap para

pemimpin "Gerakan 30 September" dan PKI.

Pada 4 Oktober, ia menyatakan kepada para jenderal ABRI bahwa situasi ini pada dasarnya

melibatkan isu politik, sehingga ketenangan dan ketertiban diperlukan untuk solusinya, dan bahwa

para jenderal harus membiarkan penyelesaian politik pada dirinya. Para jenderal yang awalnya

puas dengan adanya harapan untuk menghancurkan komunis, namun tampak kecewa setelah

pertemuan mereka dengan Soekarno. Tampaknya, beberapa jam sebelum pertemuan 4 Oktober

antara Soekarno dengan para jenderal ini, Soeharto mengeluarkan pernyataan publik yang tidak

biasanya, yang mengimplikasikan keraguan dan kritik terhadap presiden dan menuduh Angkatan

Udara dan PKI terlibat dalam "Gerakan 30 September". Ia menyebutkan jenazah telah ditemukan

di dalam sebuah sumur di lingkungan markas besar Angkatan Udara Halim di Jakarta. Ia

menyatakan bahwa daerah dekat sumur itu telah digunakan sebagai pusat latihan angkatan udara

untuk para sukarelawan dari Pemuda Rakyat (organisasi pemuda komunis) dan GERWANI

(organisasi perempuan komunis).

Berdasarkan fakta ini, menurut Soeharto, mungkin saja benar pernyataan Presiden, Panglima

Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi, bahwa angkatan udara tidak terlibat dalam masalah ini.

Namun tidaklah mungkin bila tidak ada kaitan dengan masalah ini di antara elemen angkatan udara

itu sendiri.

8/08/2001 17:47 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (6) Letkol Untung Hanyalah Alat Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Analisis CIA menyebutkan, komandan G 30S Letkol Untung Sutopo hanyalah

alat belaka. Ia bukanlah dalang. Lantas siapa bosnya?

Soal ini CIA tak tahu. Bisa jadi pejabat ABRI yang korup atau faksi komunis yang hendak

memanfaatkan kesempatan. Cerita soal adanya faksi komunis ini sangat mungkin. Menurut laporan,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

251 | P a g e

memang ada tentara komunis di dalam pasukan Untung. Untung sendiri adalah muslim taat. Untung

bergerak, setelah Soekarno merestui penculikan para jenderal yang direncanakan PKI. Namun

perlu dicatat, Soekarno tak setuju dan tak mengira bila ada pembunuhan.

Berikut analisis CIA yang disampaikan 6 Oktober 1965.

Memorandum CIA (Central Intelligence Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65

Jenderal Sabur dalam kapasitasnya sebagai Sekjen Komando Operasi Tinggi (KOTI) menyiarkan

tentang peringatan Soekarno pada 4 Oktober kepada para jenderal dan panglima perang. Menurut

Sabur, Soekarno telah memerintahkan mereka yang hadir saat itu, dan termasuk seluruh warga

Indonesia untuk tidak saling berseteru satu sama lain karena akan "membahayakan perjuangan

kita dan melemahkan kekuatan kita".

Sabur menyatakan penyelesaian insiden 30 September akan ditangani langsung secara pribadi dan

secepatnya oleh Presiden. Ia mengutip ucapan Soekarno yang memperingatkan para pimpinan

militer untuk tidak masuk ke dalam perangkap taktik (mungkin imperialis atau neokolonialis) untuk

melemahkan kita dari dalam sebelum nantinya menyerang kita. Menurut Sabur, Soekarno secara

spesifik memerintahkan para panglima perang untuk menyadari bahaya intrik-intrik dari musuh

kita, tetap waspada dan terus memperkuat kesatuan.

Soekarno juga mengatakan bahwa mereka yang menjadi korban "gerakan 30 September" adalah

pahlawan revolusi dan ia mengajak semua berdoa untuk jiwa mereka. PKI yang telah menyatakan

dukungannya terhadap "Gerakan 30 September' melalui surat kabarnya Harian Rakyat, kini

banyak berdiam diri.

Pimpinan PKI tampaknya sedang menyembunyikan diri. Menurut sebuah sumber rahasia, kebijakan

PKI kini adalah untuk menyangkal "Gerakan 30 September".

Anggota-anggota partai yang ketahuan mendukung pemberontakan itu akan dianggap oleh PKI

sebagai orang yang salah jalan. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai "Gerakan 30

September". Kebanyakan soal seputar Soekarno. Apakah Soekarno sebelumnya telah mengetahui

"Gerakan 30 September" dan tujuannya? Apakah benar ia sempat berada di bawah perlindungan

anggota gerakan atau apakah ia pergi (seperti yang telah diumumkannya) ke markas Angkatan

Udara Halim - markas Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani dan mungkin juga markas gerakan

30 September - atas kemauannya sendiri pada 1 Oktober karena pikirnya ia memang sebaiknya

berada dekat bandara?

Atau apakah kehadirannya di sana sebagai indikasi bahwa ia, seperti halnya Angkatan Udara dan

PKI secara terbuka dan terang-terangan mendukung gerakan? Atau apakah ini bagian dari rencana

melarikan diri, yang diatur oleh Jenderal Sabur, untuk membawa Soekarno keluar Jakarta dan

menuju Bogor? Apakah sakit Soekarno selama malam menjelang Gerakan 30 September

memotivasi terjadinya insiden - meski sebelumnya ia memang sudah sakit tapi mungkin saja ini

sebenarnya bagian dari rencana?

Pertanyaan lain tersisa mengenai Letkol Untung dan pimpinan PKI. Banyak laporan yang

menyatakan atau menduga Untung semata-mata adalah korban; menurut sebuah sumber, ia adalah

penganut Islam yang taat, yang terjebak ke dalam permainan korup para pejabat tinggi ABRI.

Jika ia hanya alat dan tameng - dan ini tampaknya benar - jadi siapa sesungguhnya dalangnya?

Atau apakah beberapa rencana oleh berbagai elemen menjadi bercampur dan masing-masing

rencana digunakan untuk membenarkan rencana lainnya? Ada laporan yang bisa dipercaya bahwa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

252 | P a g e

PKI pada bulan Agustus telah membahas sebuah contingency plans yang akan dijalankan bila

Soekarno meninggal dalam beberapa hari atau minggu mendatang.

Setidaknya ada satu laporan yang menyebutkan bahwa Soekarno menyetujui penangkapan - oleh

siapa penangkapan itu tidak diketahui - jenderal-jenderal yang anti-komunis namun ia tidak

mengetahui adanya rencana untuk membunuh mereka. Jika ia tahu, pasti ia tak akan

menyetujuinya. Sebuah sumber pejabat tinggi ABRI (pernah menjadi dokter Soekarno dan tokoh

kunci dalam komunikasi ABRI), yang sering kali blak-blakan mengenai urusan internal, pada 3

Oktober mengungkapkan bahwa di antara para pendukung Untung ada beberapa personil Komunis

yang bersenjata dan tidak mendapat informasi tentang rencana tersebut.

Pasukan Untung termasuk di antara mereka yang pergi ke rumah para jenderal namun tidak jelas

siapa yang melakukan penembakan - mengingat personil Komunis yang tidak mendapat informasi

itu juga bagian dari grup. Pandangan yang paling mungkin tentang latar belakang insiden "Gerakan

30 September" adalah bahwa Soekarno, Subandrio, dan mungkin pimpinan PKI yang dekat dengan

mereka telah mempertimbangkan soal penangkapan beberapa jenderal tertentu.

Soekarno dan Subandrio berulang kali di depan publik telah memperingatkan ABRI agar para

pimpinannya harus kooperatif dengan "revolusi" atau akan "ditinggalkan". Berpijak dari hal ini,

para personil milisi PKI baik yang di dalam maupun di luar Angkatan Udara mungkin menggunakan

hal itu untuk membenarkan tindakan terhadap Untung. Pemuda milisi PKI menolak taktik damai

yang didukung oleh pimpinan tinggi PKI dan juga Soekarno.

Pemilihan waktu aksi mereka bisa jadi dipengaruhi oleh adanya laporan Soekarno menderita sakit

pada malam 30 September dan oleh adanya sebagian informasi soal contingency plans PKI jika

Soekarno meninggal. Para milisi yang spontan dan mungkin tidak bisa berpikir jernih itu

menganggap dengan kematian para jenderal dan pembentukan pemerintah baru akan memaksa

Soekarno dan seluruh rakyat Indonesia untuk tunduk kepada mereka.

Meski "Harian Rakyat" terang-terangan mendukung gerakan namun tampaknya Ketua PKI Aidit

tak menyetujui pembunuhan para jenderal atau bahkan perubahan pemerintah. Situasi Indonesia,

baik di dalam maupun luar negeri tampak menguntungkan bagi PKI dan mengingat Soekarno yang

mungkin tak lama lagi meninggal, tampaknya keadaan akan menjadi jauh lebih menguntungkan bagi

PKI.

Namun motivasi Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani tetap tidak terjawab. Melihat

perlawanan ABRI dan langkah Soekarno, banyak pertanyaan tersisa mengenai timbulnya "Gerakan

30 September". Namun poin penting sekarang adalah apakah ABRI akan setuju dengan Soekarno

dalam mengatasi situasi.

Berdasarkan laporan-laporan mengenai ABRI tampaknya, meski marah dan kecewa dengan

pembunuhan enam jenderal mereka, sebagian besar pejabat ABRI tetap akan mendukung

Soekarno. Meski ada beberapa individu pejabat ABRI yang mulai meragukan kebenaran kebijakan

Soekarno, namun sebagian besar masih enggan untuk menentangnya. Terlebih Soekarno telah

menegaskan sikapnya bahwa setiap tindakan terhadap PKI akan dianggap sebagai tindakan anti-

Soekarno. Akan tetapi, sebagai akibat dari "Gerakan 30 September", untuk sementara ABRI akan

tetap menguasai secara politik.

Ini didasarkan pada masih diberlakukannya keadaan darurat militer di Jakarta dan kontrol penuh

ABRI di beberapa wilayah Indonesia. Langkah Soekarno yang terlalu cepat menunjukkan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

253 | P a g e

dukungannya terhadap sayap kiri selama periode ini, akan menyebabkan perbedaan yang kian

tajam antara dirinya dan kebanyakan pimpinan ABRI.

Ini bisa memicu bertambahnya dukungan publik dan politikus anti-komunis terhadap ABRI.

Kesehatan Soekarno tetap menjadi faktor penting dalam menentukan arah situasi. ABRI

tampaknya akan lebih bersikap tegas jika presiden mangkat atau tak mampu lagi memimpin

dibanding jika presiden masih menunjukkan kekuatannya. Meski Soekarno masih terus

mengasingkan diri namun ini tak bisa dijadikan indikasi bahwa kesehatannya telah menurun tajam.

Ia mungkin saja menolak hadir di depan publik sampai ia pikir itu ada gunanya bagi kepentingan

politiknya. Namun, belakangan ini Soekarno sering mengadakan pertemuan dengan sejumlah

pejabat militer dan sipil.

8/08/2001 18:30 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (7) Setumpuk Strategi AS Bantu ABRI Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Perkembangan cepat yang terjadi pasa G 30S, membulatkan tekad AS untuk

membantu ABRI menghadapi komunis. AS menduga Indonesia berpaling pada Jepang. Karena itu,

sederet rencana bantuan segera disodorkan.

Ternyata seperti yang diungkap dalam perintah Deplu AS bagi Kedubes AS di Indonesia, 29

Oktober 1965, pemberian bantuan itu meliputi banyak hal. Antara lain, kesiapan memberikan

bantuan ekonomi via IMF, meyakinkan AS adalah sahabat Indonesia, pemberian bantuan pangan

dan mempertimbangkan pengiriman senjata. Berikut bunyi dokumen tersebut.

Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 29 Oktober 1965, pukul 3.48

sore No.545

Berikut adalah analisis tentatif kami atas perkembangan situasi di Indonesia dan implikasinya

buat AS. Kami ingin tanggapan atau pengamatan Anda untuk dikembangkan menjadi rekomendasi

kebijakan kami. Pidato Nasution ada 25 Oktober dan kampanye terbuka melawan Subandrio

adalah bukti konklusif pertama bahwa para pemimpin ABRI bertekad untuk memerangi PKI dan

para simpatisannya, dan tidak akan melenceng dari tujuannya meski ditentang Soekarno.

Pimpinan ABRI semakin menunjukkan perlawanannya terhadap Soekarno. Arah permainan mereka

tampaknya akan coba menjauhkan Soekarno dari para penasihatnya yang anti-ABRI,

mengasingkannya dan kemudian menggunakannya atau bahkan mungkin menyingkirkannya, jika

dibutuhkan. PKI yang kini sedang diburu oleh ABRI, masih bisa melakukan aksi perlawanan dengan

menyerang, sabotase atau perang gerilya dengan dalih bahwa ABRI adalah alat kekuatan

imperialis dan CIA.

ABRI tak akan punya pilihan lain kecuali melawan serangan ini dan akan membutuhkan konsistensi

pemerintah untuk mendukung usaha mereka. ABRI tetap mempertahankan perannya yang non-

politik dan menjauhi ide perebutan kekuasaan. Namun dengan jatuhnya konsep NASAKOM, maka

tak ada kesatuan terorganisir yang bisa memberikan arah dan kepemimpinan kepada pemerintah,

kecuali ABRI.

Cepat atau lambat, akan menjadi semakin jelas bagi pimpinan ABRI bahwa merekalah satu-satunya

kekuatan yang mampu menciptakan keteraturan di Indonesia, dan mereka harus mengambil

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

254 | P a g e

inisiatif untuk membentuk pemerintah gabungan militer atau sipil-militer, dengan atau tanpa

Soekarno.

Hubungan dengan Red China semakin tegang karena berdasarkan kecurigaan para pemimpin ABRI,

Komunis Cina berada di balik kudeta. Uni Soviet telah melancarkan tekanan terhadap ABRI untuk

menghentikan aksi serangannya terhadap sayap kiri, bahkan sudah mengisyaratkan bantuan dana

Uni Soviet akan dihentikan. ABRI tentu saja tak akan menyerah pada tekanan ini.

Jika analisis ini benar, kita bisa lihat beberapa bentuk masalah yang mungkin bisa mempengaruhi

kita:

a. Seiring dengan pemikiran ABRI untuk membentuk pemerintahan baru, mereka

mungkin membentuk pemerintahan sipil atau koalisi sipil-militer untuk menjalankan

reformasi ekonomi dan membawa Indonesia ke arah baru yang bebas dari

pengaruh luar.

b. Komunis Cina semakin menunjukkan pertentangannya dengan Indonesia karena

tindakan ABRI terhadap PKI. Ini tak beda jauh dengan sikap Uni Soviet, yang

menyalahkan Cina atas terjadinya kudeta. Jika Uni Soviet mendukung usaha PKI

menentang ABRI, maka hubungan ABRI dan Uni Soviet akan menegang, namun

mereka juga tidak bisa mendukung ABRI. Mungkin Uni Soviet akan memilih

bersikap menunggu. Cina dan Uni Soviet mungkin berharap Soekarno tetap

berkuasa dan memaksa ABRI untuk menerima kehadiran sayap kiri dalam

NASAKOM.

c. Jika asumsi kita benar bahwa ABRI harus melanjutkan peperangannya terhadap

PKI, dan PKI akan bereaksi, dan bahwa Cina dan Uni Soviet tidak bisa

mengabaikan penumpasan PKI ini sehingga mereka akan terus mengkritik ABRI,

maka ABRI terpaksa harus menelaah sikapnya terhadap Cina dan Uni Soviet.

d. Dari situ hanya ada satu langkah bagi ABRI untuk terus menumpas ABRI, bahwa

mereka harus mencari teman dan dukungan lain. Kita perkirakan mereka akan

mendekati Jepang, atau kekuatan lainnya, dan tidak diragukan lagi, kita. Mereka

akan menyadari bahwa kebijakan domestik dan luar negeri Soekarno dan PKI yang

ekstrim telah membawa Indonesia ke kondisi chaos-nya perekonomian, politik dan

sosial.

Namun berdasarkan pemikiran Soekarno yang telah berlangsung lama, mereka pasti akan ragu-

ragu untuk mengatasi ini semua atau curiga dengan bantuan dan saran dari kita. Beberapa hari,

minggu atau bulan mendatang, mungkin akan tersedia kesempatan bagi kita untuk mulai

mempengaruhi rakyat, seiring dengan mulai pahamnya militer akan masalah dan dilema yang

mereka alami.

a. Kita hendaknya berusaha meyakinkan mereka bahwa Indonesia bisa selamat dari chaos,

dan ABRI merupakan instrumen utama untuk itu.

b. Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia dan ABRI mempunyai sahabat yang siap

menolong mereka.

c. Bila kita diminta membantu oleh Nasution kita harus meresponnya dengan mengatakan kita

siap membantu.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

255 | P a g e

d. Mereka akan membutuhkan pangan, dan kita tegaskan bahwa Palang Merah Internasional

bisa memberikannya jika mereka meminta bantuan langsung kepada kita atau lainnya

(Jepang, Brazil, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan bahkan Republik Korea).

e. Anjloknya rupiah dan situasi ekonomi yang buruk mungkin membutuhkan perhatian para

pakar segera. Kita bisa nyatakan bahwa IMF bisa memberikan saran dan bantuan, begitu

pula dengan kita. Namun hal ini akan membutuhkan perubahan sikap Indonesia terhadap

IMF dan negara sahabat.

f. Persenjataan dan perlengkapan militer mungkin akan dibutuhkan untuk menangani PKI.

(Apakah Uni Soviet akan mensuplai ABRI dengan persenjataan jika itu digunakan untuk

menyerang PKI?)

g. Dengan berkembangnya situasi, ABRI akan semakin mengerahkan upayanya untuk

menumpas PKI, dan kita harus sudah siap dengan kesempatan itu.

h. Mungkin sekali ABRI akan datang kepada Jepang pertama kali untuk meminta bantuan.

Jepang memiliki kepentingan nasional yang vital atas keberhasilan ABRI melawan PKI dan

kestabilan Indonesia. Jepang sendiri sudah mengambil inisiatif.

i. Saat ini, Jepang masih terhipnotis dengan Soekarno sebagai pria 'esensial' dan mereka

berhati-hati untuk tidak melawannya. Namun bila, situasi berkembang seperti yang kita

perkirakan, dan Soekarno akan diasingkan atau dipindahkan, keadaan akan menjadi amat

berbeda bagi Jepang.

Hingga tahap tertentu, kita akan mengadakan diskusi rahasia dengan Jepang, membandingkan

catatan perkembangan yang dimiliki masing-masing pihak dan mengupayakan kerja sama atas

pengambilan tindakan yang disepakati. Kita tentu saja, akan mengkonsultasikan ini dengan Inggris,

Australia, dan lainnya.

Rusk Pejabat Departemen Luar Negeri

8/08/2001 19:47 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (8) Bantuan AS pun Mengalir Deras Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Komitmen AS untuk membantu ABRI menghadapi komunis pasca G 30S

ditepati. Kepada ABRI diberikan bantuan peralatan komunikasi canggih. Komitmen pemberian

bantuan juga datang dari Kasgab militer AS.

Beberapa poin soal pemberian bantuan ini tertuang dalam beberapa dokumen penting. Satu ciri

yang mutlak, pada pemberian bantuan terhadap ABRI diupayakan setertutup mungkin, mengingat

hal itu bisa menjadi bumerang. Presiden Soekarno bisa menjadikannya sebagai alat tuduhan ABRI

ditunggangi CIA. Berikut poin-poin penting dalam dokumen tersebut.

Memorandum yang disiapkan untuk Komite 303 Washington, 17 November 1965

Perihal: Pengiriman Peralatan Komunikasi untuk Tokoh Penting ABRI Anti-Komunis

Ringkasan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

256 | P a g e

Maksud proposal operasi ini untuk memastikan bahwa tokoh-tokoh kunci ABRI anti-komunis akan

memiliki peralatan komunikasi yang cukup untuk digunakan dalam perlawanannya terhadap

Komunis. Peralatan ini tidak tersedia cukup di Indonesia. Kekurangan ini telah mengurangi

keefektifan mereka dalam memerangi upaya Komunis menghapuskan pengaruh non-Komunis di

pemerintahan mereka. Permintaan peralatan oleh beberapa pejabat tinggi Indonesia mendapat

dukungan dari Dubes AS di Indonesia dan disetujui Biro Urusan Timur Jauh Deplu.

Ada beberapa risiko dalam pengiriman peralatan ini, namun dengan tindakan pencegahan yang

tepat akan meminimalkan risiko. Indonesia saat ini tidak bisa melakukan pembelian peralatan dari

AS. Apalagi, berita soal ini tidak saja akan memalukan pemerintah AS, namun juga para pejabat

tinggi ABRI di Indonesia. Tindakan hati-hati diperlukan. Pada 5 November 1965, Komite 303

menyetujui permintaan serupa untuk mengirimkan peralatan medis ke Indonesia.

Diharapkan Komite 303 akan menyetujui program di atas, yang diperkirakan akan berlangsung

sampai waktu tertentu. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan

a. Asal mula permintaan: Banyaknya permintaan akan peralatan komunikasi datang

(kurang dari 1 baris tulisan dirahasiakan) dari Dubes AS untuk Indonesia, dari

pembantu Menteri Pertahanan Nasution, dan dari Jenderal Sukendro.

b. Pertimbangan kebijakan AS yang sesuai: Pada 5 November 1965 Komite 303

menyetujui proposal operasional untuk menjawab permintaan Indonesia atas

peralatan medis.

c. Tujuan Operasional: Kontak tertutup (kurang dari 1 baris dirahasiakan) harus

dipertahankan dengan pimpinan ABRI tertentu.

d. Teknis

e. Pelatihan: Beberapa pejabat komunikasi senior ABRI yang qualified, ditentukan

oleh Sukendro, akan diberikan (kurang dari 1 baris tulisan dirahasiakan) pelatihan

khusus rahasia di lokasi yang aman untuk menggunakan peralatan ini. Mereka akan

dijelaskan konsep umum pengoperasian jaringan komunikasi ini; frekuensi antara

42 dan 53 megacycles yang bisa digunakan di Indonesia (agar aman dari

monitoring lokal) sehingga dengan spesifikasi ini, penghubung kami bisa menyetel

peralatan dengan frekuensi yang diinginkan.

f. Pendanaan: Total biaya diperkirakan mencapai (kurang dari 1 baris tulisan asli

dirahasiakan). Peralatan itu sendiri kira-kira akan mencapai (kurang dari 1 baris

tulisan asli dirahasiakan) untuk pemuatan dan pengepakan.

5. Koordinasi Proposal operasional ini telah direkomendasikan oleh Dubes AS untuk

Indonesia dan telah disetujui Departemen Luar Negeri Biro Urusan Timur Jauh.

6. Rekomendasi Komite 303 menyetujui program ini.

Memorandum dari Gabungan Kepala Staf kepada Menteri Pertahanan McNamara Washington, 30

Desember 1965 Perihal: Bantuan ke Indonesia Berkaitan dengan pesan terakhir dari Kedutaan AS

di Jakarta yang berisikan informasi bahwa Presiden Soekarno mungkin akan digulingkan setelah 1

Januari 1966, Indonesia mungkin meminta bantuan AS. Jika ini terjadi, permintaan bantuan

ekonomi mungkin akan cukup besar.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

257 | P a g e

Permintaan material militer mungkin tidak banyak. Barang-barang yang mungkin diminta termasuk

amunisi, senjata otomatis ringan, kendaraan, radio portabel, dan mungkin suku cadang C-130 dan

C-47. Bantuan training mungkin juga diminta.

Upaya penjatuhan Presiden Soekarno oleh ABRI bisa menguntungkan kepentingan keamanan AS di

sana. Meski ABRI tampaknya tak ingin mencari sekutu asing dalam penerapan kebijakannya,

seperti halnya Soekarno dulu.

ABRI tampaknya akan menjadi kekuatan tunggal anti-komunis yang paling kuat di Indonesia,

namun pada akhirnya pasti akan memerlukan kepemimpinan sipil. Kepentingan AS akan lebih

terjamin jika pemerintah baru nanti cenderung pro-Barat. Atau setidaknya netral. Akan tetapi

ada beberapa faktor yang menyebabkan kita belum bisa memberikan bantuan militer kepada

ABRI:

a. Posisi ABRI yang belum pasti dan pemberian bantuan militer AS yang terang-

terangan pada saat ini akan cenderung mendatangkan tuduhan oleh Soekarno,

Subandrio, Peking dan Moskow bahwa ABRI adalah 'alat imperialisme AS'.

b. Mengingat komitmen AS di Asia Tenggara, pemberian bantuan logistik kepada

Indonesia harus dievaluasi. Gabungan Kepala Staff merekomendasikan:

b1. Amerika Serikat, jika diminta, akan siap memberikan kepada Indonesia

sejumlah bahan pangan/obat-obatan untuk menunjukkan dukungan terhadap

pemerintah baru.

b2. Karena kampanye pimpinan ABRI melawan PKI tampaknya berjalan sesuai

rencana dan bantuan militer AS tampaknya tak dibutuhkan untuk keamanan

internal, maka untuk saat ini AS hendaknya tidak secara terang-terangan

memberikan bantuan militer kepada Indonesia.

b3. Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bersama-sama

menyusun kriteria untuk melanjutkan pemberian bantuan militer dan ekonomi.

b4. Memorandum ini akan diteruskan ke Menteri Luar Negeri.

Atas nama Gabungan Kepala Staf:

David L. McDonald

Ketua

8/08/2001 21:13 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (9) ABRI Lamban, AS Mulai Ragu-Ragu Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Sikap ABRI yang tak juga berani bertindak keras terhadap Soekarno dan

PKI tak urung sempat membuat AS jengkel. AS menganggap para pimpinan ABRI bersikap

terlampau hati-hati dalam menghadapi Soekarno. Maksud hati agar tak timbul perpecahan di

masyarakat, namun yang didapat kuku komunisme tak juga tercabut.

Karena itu, AS pun mulai hati-hati pula menyalurkan bantuan. Presiden AS Lyndon B. Johnson pun

sempat bertanya pada Dubes AS Marshall Green untuk memastikan bantuan benar-benar

dihentikan. Berikut dokumen yang menyebut hal itu.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

258 | P a g e

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 19 November 1965 No. 1511

1. Kami yakin bahwa AS dan sekutunya harus ekstra hati-hati mengenai pemberian bantuan

kepada para jenderal saat ini. Dalam setiap hal, bantuan kita tergantung pada apakah kita

yakin ABRI benar-benar berniat tegas menentang Soekarno/Subandrio. Ada indikasi yang

membingungkan apakah ABRI akan tetap bersikap tegas atau justru perlahan-lahan akan

menuruti keinginan presiden. Yang jelas, kita jangan sampai memberikan bantuan yang

akan mendatangkan keuntungan bagi Soekarno yang tetap menjadi kepala negara dan

pemerintahan.

3. Saat ini ada bukti-bukti yang membingungkan tentang apakah, kapan dan bagaimana ABRI

akan bergerak melawan Soekarno. Selama Soekarno masih berkuasa, ABRI dan anti-

komunis mungkin akan cenderung mempertahankan kebijakan "anti-imperialis dan anti-

kolonial", yang konsekuensinya adalah terus belangsungnya konfrontasi dengan Malaysia

dan sikap anti-Barat. Kami juga menduga keadaan akan semakin chaos sebagai akibat

deadlock antara Soekarno dan ABRI yang menyebabkan setiap program pembangunan

ekonomi tak mungkin dilakukan, kecuali sampai salah satu kekuatan politik itu disingkirkan.

4. Meski AS mengharapkan kondisi yang lebih baik nantinya (masa sesudah Soekarno), kami

tidak melihat adanya perbaikan besar posisi AS dalam jangka pendek, bahkan jikapun

ABRI bisa bertahan sebagai salah satu struktur kekuasaan. Apalagi, tindakan Soekarno

untuk merebut kembali kekuasaannya, tak diragukan lagi akan menggencarkan kebijakan

anti-Amerika Serikat. Kami sudah melihat bukti hal ini dalam pidato presiden tentang

penarikan biaya Rp 150 juta. (Dalam pidatonya kepada Kabinet 6 November 1965,

Soekarno menuntut biaya sebesar Rp 150 juta dari mantan Dubes AS untuk Indonesia

Howard Jones karena sengaja menyebarkan ideologi Dunia Bebas ke Indonesia - Airgram

331 dari Jakarta, 16 November).

5. Karena itu, kami merekomendasikan beberapa hal untuk diajukan di pertemuan:

A. Kita tak akan mengambil langkah apapun yang bisa meningkatkan imeg

Soekarno-Subandrio, baik diinginkan ABRI atau tidak.

B. Kita sebaiknya tidak memberikan bantuan ekonomi yang signifikan untuk

ABRI kecuali dan sampai kita tahu kemana arah mereka secara politik dan

ekonomi. (Hal pemberian bantuan yang bisa menolong ABRI mengatasi PKI

akan diperlakukan berbeda).

C. Kita hendaknya mempertimbangkan pemberian bantuan untuk pemerintah

yang murni non-komunis jika ada perubahan atmosfir karena bantuan ini

akan efektif.

D. Marshall Green Dubes AS untuk RI Memorandum Pembicaraan ashington,

15 Februari 1966, pukul 11.55-12.20

Perihal: Indonesia Partisipan:

Presiden Johnson, Wakil Menlu William P. Bundy, Dubes Marshall Green, Mr. Robert Komer. Atas

permintaan Presiden, Dubes Green membahas situasi dan tren prospektif di Indonesia,

menyertakan beberapa rekomendasi umum kebijakan AS dalam berhadapan dengan Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

259 | P a g e

Dubes menegaskan, meskipun hubungan antara Indonesia dan AS masih jauh dari memuaskan,

adanya kudeta pada 1 Oktober (31 September WIB) lalu telah mendorong upaya penumpasan PKI;

merosotnya prestise internasional Peking yang diduga terlibat dalam kudeta itu; memburuknya

hubungan antara Indonesia dan Komunis Cina; goncangan bagi citra Soekarno sebagai pemimpin

'kekuatan baru' melawan dunia Barat; dan berkurangnya prestise dan dukungan bagi Soekarno di

antara rakyatnya.

Akan tetapi, Soekarno tetap menjadi Presiden dan pemimpin revoulsi. Hingga tahap tertentu, ia

berhasil memainkan kebingungan dan ketakutan lawan-lawannya dalam merebut kekuasaan. Ia

tampaknya berhasil membelokkan kembali revolusi ke arah kiri. Ia pintar dan persuasif dan

tampaknya fisiknya masih kuat.

Menurut Dubes Green, ABRI yang memimpin kelompok oposisi Soekarno, meski tak bersedia

melawan Soekarno secara terang- terangan dan frontal, sebenarnya sangat menentang hadirnya

PKI dan hubungan dengan Cina.

Kelompok oposisi juga menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Akan tetapi, didorong oleh rasa

khawatir timbulnya kekacauan masyarakat, ABRI masih enggan dan bimbang untuk langsung

menentang Soekarno. ABRI juga mungkin ragu untuk mengemban tanggung jawab yang terlalu

besar seiring dengan terus memburuknya kondisi politik dan ekonomi Indonesia.

Dubes Green merasa bahwa hancurnya perekonomian yang kian parah, khususnya krisis atas valuta

asing bisa membuat masalah semakin menggunung dalam enam bulan mendatang atau lebih. Dari

waktu ke waktu, situasi di Indonesia akan sangat berantakan, ujarnya. Hal yang tampaknya

semakin jelas saat ini adalah kita tengah berada dalam fase transisi antara Soekarno dan

penggantinya yang belum diketahui siapa.

Dalam situasi ini, menurut Dubes AS hendaknya terus mempertahankan sikap low profile. Dubes

menyatakan ia sangat menghargai cara-cara pejabat AS mulai dari Presiden sampai pejabat di

bawahnya yang telah berusaha untuk tidak memberikan pernyataan publik tentang Indonesia.

Mempertahankan sikap seperti ini sangatlah penting karena apapun yang dikatakan atau dilakukan

AS tentang Indonesia bisa menyebabkan distorsi dan salah penafsiran. Kita akan terus dituduh

mencoba ikut campur urusan mereka, yang tentu saja tidak kita lakukan dan memang tak

seharusnya kita melakukan. Presiden menanyakan apakah semua bantuan AS ke Indonesia,

termasuk bantuan ke militer telah dihentikan.

Dubes menyatakan sudah, dan ia menyarankan agar AS tidak memberikan dulu bantuan ke

Indonesia sampai Indonesia memulai menata kembali negaranya. Ia menyebutkan bahwa Soekarno

terang-terangan menentang setiap bantuan AS ke Indonesia, dan hal ini secara diam-diam telah

disampaikan pimpinan ABRI kepada kami dan kepada Jepang. Mereka menyatakan, mereka

menentang bantuan apapun pada saat ini karena hanya akan menguntungkan Soekarno dan

Subandrio. Meski begitu, menurut Dubes kita seharusnya tetap berpikiran terbuka soal bantuan

kepada Indonesia.

Situasi bisa saja bertambah buruk dan kita bisa memberikan bantuan pangan atas dasar

kemanusiaan, juga untuk mencegah timbulnya huru-hara akibat kurang pangan dan kerusuhan yang

bisa membahayakan warga asing di Indonesia. Jika Indonesia mulai mengambil langkah-langkah

yang signifikan untuk memperbaiki pemerintahan dan arahnya, maka menurut pendapat Dubes,

kita harus siap menawarkan bantuan, bisa lewat sebuah kesepakatan konsorsium atau badan

internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Ringkasan Tindakan Presiden menyatakan ia

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

260 | P a g e

menghargai observasi ini dan ia menyerahkan kepada Dubes untuk membuat detil rekomendasi

mengenai waktu dan kondisi yang memungkinkan Amerika Serikat memberikan bantuannya ke

Indonesia.

9/08/2001 01:7 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (10) Cerita Adam Malik pada Dubes AS Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Sadar langkahnya selalu ditunggu, ABRI mulai menambah tenaga. Politisi sipil

yang dekat dengan Soeharto, Adam Malik mengatakan rencana terbaru ABRI pada Dubes AS.

Dijamin, ABRI akan siap bergerak.

Kejadian itu, malam di awal Maret 1966. Dalam pertemuan dengan Dubes AS Marshall Green itu,

Adam Malik menceritakan bagaimana ABRI sudah siap bergerak dengan dukungan 22 batalyon.

Menurut Adam Malik, sikap antisipastif ini dipicu tindakan Soekarno sendiri yang berniat

memberhentikan Pangkobkamtib Jenderal Soeharto.

Semula Green ragu. Soekarno bisa saja memcah ABRI dengan mengumpulkan pati ABRI lainnya.

Namun Adam Malik menjamin hal itu tak terjadi. ABRI dalam kondisi solid. Apapun, demi

mendengar ocehan ini, Dubes Green pun langsung mengirim telegram ke Washington. Berikut

ceritanya.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 10 Maret 1966 No. 2536

1. Menteri Adam Malik, yang tampaknya amat bersemangat, berbeda dari yang pernah

saya lihat sebelumnya, mengatakan kepada saya ketika bertemu di suatu tempat

kemarin malam, bahwa situasi kini siap meledak. ABRI katanya telah siap bergerak

setiap waktu dengan menggunakan 22 batalyon tentara yang setia kepada Jenderal

Nasution dan Soeharto di Jakarta dan sekitarnya.

2. Saya katakan padanya saya mengerti bahwa Soekarno berencana memberhentikan

Soeharto, benarkah begitu? Ia menyatakan Presiden memang berencana

memberhentikan Soeharto dan Adjie; dan Malik berharap Soekarno akan melakukan hal

itu karena langkah ini jelas akan mendorong ABRI bergerak melawan Presidium dan

membawa perubahan yang telah lama dinantikan.

3. Saya katakan bahwa dulu ketika ABRI tampaknya satu dalam tekadnya, Soekarno

mampu menggoyahkan mereka dengan memanggil semua jajaran militer termasuk

panglima-panglima wilayah dan membuat mereka setuju pada sikapnya, akibatnya para

panglima itu pun bingung menentukan bagaimana sebenarnya sikap mereka. Pekan ini

Soekarno telah mengadakan pertemuan serupa itu, apakah sejarah akan kembali

terulang?

4. Malik menjawab bahwa menurutnya hal itu tidak akan terjadi. Semua panglima sekarang

berdiri di belakang Soeharto, hanya tinggal menunggu perintah darinya. Akan tetapi,

ABRI tak akan mengambil langkah inisiatif melawan Soekarno/Subandrio karena ABRI

tak mau bersikap agresif, namun tindakan ABRI akan berbentuk serangan balas. Para

mahasiswa dan buruh akan terus berdemonstrasi sampai Soekarno/Subandrio

terprovokasi untuk mengambil tindakan yang bisa dibenarkan ABRI untuk melakukan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

261 | P a g e

serangan balas. Ini bisa berupa pemecatan Soeharto atau Adjie atau Sarwo Edhie atau

Mokoginta atau ketia pasukan Cakrabirawa menembaki mahasiswa. Contoh bahwa

Soekarno amat mungkin menjadi pemicu tindakan ABRI adalah ketika ia dan Subandrio

menginspeksi Departemen Luar Negeri yang diamuk massa pada 9 Maret, Soekarno

saat itu amat marah hingga ia memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menembak

mahasiswa.

5. Malik juga mengatakan, staf muda Angkatan Udara juga kini terorganisir menjadi tim

yang mendukung gerakan anti-Presidium dan merencanakan sabotase pesawat terbang

yang terlibat dalam usaha pelarian menteri-menteri kabinet sayap kiri dari Jakarta.

6. Menurut Malik, sejauh ini elemen baru yang paling penting dalam situasi ini dibanding

sejak pertemuan kami sebulan lalu adalah gerakan mahasiswa melawan Subandrio dan

menteri-menteri kabinet sayap kiri. Mahasiswa ini lebih kuat daripada semua partaidan

mampu menarik banyak simpati dan dukungan. Bahkan, gerakan anti-pemerintah yang

ada sebelumnya tak ada yang mampu menandingi besarnya dukungan terhadap

mahasiswa. Apalagi, aparat tentara dan polisi paling canggung untuk menembak

demonstran mahasiswa.

7. Terlebih lagi, serikat-serikat kerja juga mulai beraksi. Sebagian besar serikat kerja

akan mendukung mahasiswa dengan bersama-sama berunjuk rasa dan melakukan mogok

kerja yang dimulai pekan ini.

8. Saya menanyakan pada Malik apakah pemberhentian Nasution telah mendatangkan

masalah serius bagi ABRI. Menurutnya, tidak sama sekali. Nasution yang terus

mendapat dukungan di seluruh negeri, bisa bertindak lebih efektif di belakang layar

dibanding ketika ia masih di Departemen Pertahanan. Nasution dan Soeharto tetap

dekat namun lebih baik membiarkan Soeharto berada di depan. Saya tanyakan

bagaimana posisi Jenderal Machmud (Panglima Kodam V yang bertanggung jawab atas

wilayah Jakarta), kata Malik ia jelas mendukung Soeharto.

9. Akhirnya dan yang terpenting, saya tanyakan Malik tentang situasi keamanan umumnya

atas pengaruhnya pada warga Amerika dan properti milik Amerika. Saya sebutkan soal

demo mahasiswa ke kantor Subandrio sudah tentu akan mendorong Subandrio untuk

membalas atau mengalihkan perhatian. Ia tak bisa menjadikan ABRI atau mahasiswa

sebagai target sasarannya, jadi amat mungkin ia akan mengerahkan pasukannya

melawan Kedutaan kami. Hal ini sudah pernah terjadi dua kali dalam 2 minggu

belakangan. Apalagi saya punya laporan yang agak mengganggu bahwa Soekarno telah

menunjukkan kemarahannya yang bisa diarahkan ke Amerika. Ini berarti bahaya bagi

penduduk kami. Bagaimana menurut Malik?

10. Malik menjawab, memang tidak diragukan lagi Subandrio akan mencoba aksi anti-

Amerika. Akan tetapi, hal ini tak akan mendapat dukungan dari banyak elemen di sini,

dan ABRI sudah pasti akan maju melindungi warga Amerika. Menurut Malik, evakuasi

komunitas Amerika dari Jakarta tidaklah diperlukan, namun ia menyarankan agar

mereka sebisa mungkin tidak menampakkan diri, terlebih selama minggu mendatang

saat keadaan akan menjadi amat menegangkan.

11. Saya katakan pada Malik sekali lagi bahwa saya berharap adanya hubungan baru antara

pemerintahan kita, hubungan yang produktif dan bermanfaat dari sudut pandang

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

262 | P a g e

Indonesia, dan pentingnya mencegah terjadinya aksi anti-Amerika. Jika itu sampai

terjadi, akan menganggu hubungan kita dan menghapus kesempatan untuk menjalin

kerjasama dan persahabatan yang menguntungkan. Ia menyatakan, dirinya sangat

paham maksud saya. Ia berpikiran yang sama. Menurutnya, ia kini lebih yakin bahwa

segalanya akan berjalan sesuai yang kita inginkan bersama.

12. Saya katakan pada Malik bahwa ia bebas menceritakan percakapan kami pada Nasution

dan Soeharto. Malik bilang ia akan melakukannya.

Marshall Green Dubes AS untuk RI

9/08/2001 02:3 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (11) Soekarno Nyaris Jatuh, AS Bersiap Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Benar kata Adam Malik. Tanggal 11 Maret 1965, atas dasar Supersemar,

ABRI bergerak cepat. PKI dibubarkan. Tapi Soekarno belum jatuh. Meski demikian, AS sudah

menyiapkan langkah bila pemerintahan berganti. Kesiapan AS ini terungkap dalam memorandum

yang diberikan oleh Pembantu Khusus Presiden Walt Rostow kepada Presiden AS Lyndon B.

Johnson. Isinya antisipasi yang akan menyusul kejatuhan Soekarno. Berikut dokumen tersebut.

Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 8

Juni 1966, pukul 14:35

Bapak Presiden: AS mengharapkan Anda membaca lampiran tulisan tentang Indonesia. Ini

merupakan ringkasan yang bagus tentang evolusi Indonesia dan kebijakan kita sejak 1 Oktober

tahun silam. Poin operasionalnya adalah: jika Soekarno turun, kita akan menghadapi isu bantuan

berikut:

Ø Tambahan bantuan darurat

Ø Penjadwalan ulang utang multilateral

Ø Bantuan berjangka panjang (terutama Eropa, Jepang, multilateral, namun mungkin juga

beberapa bilateral AS).

Ø Kemungkinan, beberapa bantuan kecil militer untuk latihan dan aktivitas sipil. Perencanaan yang

diajukan atas masalah ini sangat bagus, bahkan bagi para tokoh penting Kongres yang sudah

diberitahukan soal ini. Sejauh ini, mereka cukup simpatik. Belum ada keputusan yang diambil,

kecuali Anda berkehendak memberikan petunjuk.

Walt

9/08/2001 03:17 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (12) Pertemuan Soeharto-Dubes AS Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Keberhasilan Soeharto menjadi pejabat presiden disambut gembira. Tanpa

sungkan, Soeharto pun menjalin kontak langsung dengan AS. Ia bertemu dengan Dubes AS

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

263 | P a g e

Marshall Green, 6 Juli 1967, 3 bulan setelah ia terpilih. Berikut isi pertemuan tersebut,

sebagaimana dilaporkan Marshall Green pada Deplu AS.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 7 Juli 1967 No.114.

Perihal: Pertemuan dengan Soeharto Selama hampir tiga jam pertemuan dengan Soeharto kemarin

malam, saya coba menghilangkan keprihatinan Soeharto atas prospek bantuan AS untuk tahun ini

dan tahun mendatang.

Dalam percakapan juga dibahas masalah bantuan lainnya, MAP, investasi asing dan isu kebijakan

luar negeri. Pembicaraan kami mengenai Vietnam dan masalah sensitif lainnya telah dilaporkan.

Soeharto mendukung kebijakan kita atas Vietnam, dan saya menilai, masalah lain juga begitu.

Soeharto tampaknya moderat, sepaham dan obyektif.

Tujuan utama percakapan saya dengannya adalah membangun basis untuk saling bertukar

pandangan lebih sering lagi dengan orang yang sudah hampir dipastikan akan memimpin pemerintah

Indonesia di masa mendatang. Namun tidak jelas apakah saya berhasil mencapai tujuan ini. Hal ini

akan tergantung pada hasil konkrit pembicaraan kami, yakni tanggapan kita atas permintaannya.

Permintaan Soeharto untuk Dukungan AS

1. Soeharto mengawali pembicaraan dengan menjelaskan bahwa dirinya tidak

meragukan niat baik kita pada Indonesia. Ia juga mengakui komitmen kita yang

mendunia dan masalah yang dihadapi pemerintah AS dalam memperoleh bantuan

lewat Kongres. Namun, ia dengan serius mempertanyakan apakah kita telah

memberikan prioritas yang cukup tinggi untuk Indonesia, mengingat besarnya

masalah Indonesia termasuk tantangan dari kekuatan pendukung Soekarno. Bangsa

Indonesia menghadapi masalah darurat yang memerlukan langkah-langkah yang

tidak seperti biasanya, dan bantuan AS sangatlah dibutuhkan.

2. Soeharto mengatakan bahwa program kabinet Ampera dibentuk di atas ekspektasi

bantuan AS yang berkelanjutan. ―Saya menganggap AS sebagai teman terbaik

kami, namun jika saya merasa tak pasti akan bantuan Anda, maka saya akan

membuat rencana lain.‖ Soeharto tidak menyinggung apakah ia akan beralih ke

Rusia atau hal seperti itu, namun ia menyatakan dirinya akan membuat beberapa

penyesuaian besar dalam rencana anggaran pemerintah, yang akan menarik

perhatian para pendukung Soeharto dan kekuatan musuh lainnya di Indonesia.

Akibatnya pemerintah bisa saja dalam bahaya dan kerusakan bisa amat parah.

3. Posisi AS -- Saya katakan bahwa saya gembira karena ia tidak meragukan motif

kami. Saya tahu banyak rumor tidak benar yang beredar mengenai posisi kami.

Saya sudah sejak lama ingin menemui Soeharto, hanya untuk menjelaskan

kepadanya bahwa kita sepenuhnya mendukung pemerintahannya dan bahwa kita

berupaya untuk mempertahankan orde baru di bawah kepemimpinannya. Ia adalah

orang yang bisa membawa Indonesia melalui masa-masa sulitnya, dan kami

mengagumi kemoderatannya, kepraktisannya, dedikasinya akan kebutuhan rakyat,

dan keinginan untuk menyeimbangkan elemen militer dan sipil dalam pemerintah.

Saya juga menyampaikan penghargaan kita yang setinggi-tingginya atas para

penasihat tinggi urusan ekonomi dan luar negerinya. Saya katakan memang ada

perbedaan antara sesama teman tapi hal ini tak seberapa dibandingkan kerja sama

dan minat kita yang sama. Mengenai Bantuan CY'67 l1 Tentang program CY'67

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

264 | P a g e

kita, saya ingatkan Soeharto bahwa bantuan AS akan melibatkan PL480 dan

pinjaman impor. Saya yakin kita tak akan memaksakan PL480 yang tidak

dibutuhkan pada pemerintahannya, namun telah menjadi kesimpulan kami bahwa

kapas mentah akan dibutuhkan pada akhir tahun ini. Jika pemerintah Indonesia

tidak setuju, tentu saja masalah ini akan dibahas lebih lanjut oleh para pakar

kami. Jika beras yang dipersoalkan, saya berwenang memberitahukan padanya

bahwa kita sangat menyadari kebutuhan Indonesia, dan paling cepat pada musim

panen tahun ini, dimulai bulan ini, kami akan beritahukan apakah kami

bisa membantu.

4. Soeharto lagi-lagi mendesak - sebelumnya lewat Jenderal Sudjono dua minggu lalu

- agar kita memberikan sebanyak mungkin beras PL480 tahun kalender ini. Hal ini

sangat dibutuhkan mendesak. (Ia tidak menyebutkan kemungkinan menerima

76.000 ton butir beras yang telah disampaikan kepada Widjoyo dalam perundingan

Washington kemudian).

5. Soeharto menyatakan, ia ingin menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia

menyambut penjualan PL480, tidak hanya beras, tapi juga kapas dan bahkan ia

akhirnya berminat akan gandum. Ia berharap bisa mengubah pola makan nasional,

dimulai dari Jakarta, sehingga roti bisa menggantikan nasi pada menu sarapan

pagi. Ia menyatakan, bahwa untuk keseimbangan CY'67, Indonesia hanya

membutuhkan beras PL480 dan pinjaman impor dolar. (No 8-13 tidak jelas)

6. Saya yakin Soeharto tidak memiliki kecurigaan apapun atas dukungan kita pada

Nasution, negara Islam ataupun omongan kosong lainnya. Kecurigaan ini tidak

diragukan lagi sudah dilebih-lebihkan oleh beberapa pejabat Soeharto, namun hal

ini sudah diatasi dalam pembicaraan terakhir saya dengan Jenderal Sudjono,

Sumitro dan Hartono. Saya bisa melihat awal sebuah pengertian dengan Soeharto,

meski saya belum bisa tahu kemana arahnya. Yang jelas, tindakan yang responsif

atas permintaan Soeharto yang masuk akal ini, akan banyak membantu mengatasi

masalah komunikasi kita dengan Soeharto.

Marshall Green

9/08/2001 04:6 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (13) US$ 325 Juta Buat Soeharto Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, AS menepati janjinya mendukung pemerintahan Soeharto. Begitu resmi

menjabat presiden, AS langsung menyiapkan dana bantuan dari IMF yang besarnya mencapai US$

325 juta.

Namun agaknya, AS masih berhitung pula. Dalam dokumen khusus yang disampaikan Pembantu

Presiden AS Walt Rostow kepada Presiden Lyndon B. Johnson terungkap, AS tak akan bersedia

memberikan bantuan US$ 325 juta itu mentah-mentah. Akan dibuat skema dimana AS dan

Jepang, hanya akan menyumbang sepertiga dari jumlah itu. Sisanya disokong oleh negara lain.

Berikut isi dokumen tersebut.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

265 | P a g e

Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 18

Juni 1968, pukul 18:35

Perihal: Bantuan Untuk Indonesia Dana Moneter Internasional (IMF) menyiapkan US$ 325 juta

sesuai yang dibutuhkan Indonesia untuk bantuan luar negeri selama tahun kalender 1968.

Kami menyusun formula dimana AS dan Jepang akan menyediakan sepertiga dari kebutuhan

tersebut, dan sisanya akan disumbangkan bangsa-bangsa lain. Pemerintah Jepang tampak sedikit

lamban tahun ini, namun tampaknya mereka akan memenuhi bagian mereka sebesar US$ 110 juta.

Donatur lainnya tampaknya tak akan memberikan lebih dari US$ 80 juta kepada Indonesia.

Kebutuhan Indonesia kini menjadi amat besar. Banyak program stabilisasi yang gagal dijalankan.

Pada kuartal pertama tahun ini, laju inflasi hampir 60 persen, sebagian besar dikarenakan tidak

mencukupinya bahan pangan. Jika keadaan masih terus berlangsung sampai tahun depan,

pemerintahan dalam bahaya.

Untuk itu, IMF dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyerukan bantuan makanan ke

Indonesia, jauh melebihi angka US$ 325 juta, sebelumnya. Masalahnya, bagaimana membantu

Indonesia memenuhi kebutuhannya, termasuk bantuan makanan darurat, tanpa mengganggu

formula sepertiga tersebut (yang populer di Kongres dan terbukti ampuh menekan donatur lain

untuk melaksanakan kewajiban mereka).

Kami menawarkan 350 ribu ton (US$ 46 juta) tepung terigu untuk segera dikirimkan. Namun sulit

mengatakan berapa banyak yang bisa digunakan Indonesia selama 1968.

Untuk itu, masuk akal bila memisahkan bantuan ini dari kesepakatan mengenai bantuan kita tahun

1968 dan di luar formula sepertiga tadi. Dengan cara ini, kita bisa menawarkan US$ 156 juta

bantuan sekarang. Ini secara psikologis sangat penting untuk meningkatkan keyakinan pemerintah

Indonesia dan meyakinkan masyarakat bisnis Indonesia bahwa sumber daya akan tersedia untuk

menghindari inflasi spiral lainnya pada akhir tahun ini. Selain gandum, paket kita terdiri dari:

Ø 200.000 ton beras, senilai US$ 41 juta;

Ø 160.000 bales kapas mentah dan sejumlah 70.000 bales cotton yarn senilai US$ 44 juta;

Ø bantuan pinjaman pembangunan AID senilai US$ 25 juta

Ø totalnya US$ 110 juta, sepertiga bagian kita yang harus disediakan.

Sebagai tambahan, Bill Gaud dan Orville Freeman ingin mengatakan pada Soeharto bahwa kita

akan mempertimbangkan tambahan 100 ribu ton beras dan tambahan 80 ribu bales kapas pada

musim gugur mendatang. Ini akan sangat berarti bagi Soeharto untuk menyingkirkan

kekhawatiran akan kekurangan beras selama periode kritis Januari-Maret.

Menteri Fowler tidak keberatan dengan paket ini. Namun begitu, ia yakin kita hendaknya tetap

mendesak donatur lain untuk memberikan bantuannya. Kami menyampaikan paket tahun 1968

secara keseluruhan (supaya Anda bisa menilainya lebih baik) dan Anda sebenarnya telah

memberikan persetujuan atas paket senilai US$ 60 juta pada Januari lalu.

Yang kami minta Anda untuk memberikan persetujuannya adalah program PL-480 senilai US$ 98

juta (US$ 35 juta pada gandum, US$ 33 juta pada kapas, dan US$ 30 juta pada beras). Orang-

orang saya (Marshall Wright dan Ed Hamilton) membantu menyusun paket ini. Saya rasa ini bagus.

Bob McNamara baru saja kembali dari Indonesia dan merasa hal ini sangat penting untuk kita

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

266 | P a g e

laksanakan tanpa ditunda-tunda lagi. Menurutnya paket ini sangat mendesak dan penting bila

Soeharto ingin diselamatkan, dan ia yakin bahwa Soeharto memang layak diselamatkan.

Saya menyarankan Anda untuk menyetujui program PL-480 senilai US$ 98 juta, dan memberikan

wewenang pejabat kita di Jakarta untuk memberitahukan kepada Soeharto bahwa kita akan

mempertimbangkan tambahan beras dan kapas pada musim gugur mendatang.

Walt Setuju*

Tidak setuju

Hubungi saya Tanda (*) menunjukkan presiden AS sudah setuju.

9/08/2001 04:12 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (14) Korban Penumpasan PKI 105 Ribu Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Buntut dari tudingan keterlibatan PKI pada G 30S, para simpatisan dan

anggota PKI diburu masyarakat dan ABRI. Beberapa pihak menyebut sebagai episode pembantaian

karena banyaknya korban. Berapa sebenarnya jumlah korban?

Ada sebuah dokumen pemerintah AS yang sedikit mengintip perihal tersebut. Angka resmi

memang tak penah disebutkan, namun seorang pejabat Deplu AS, selama 1965-1966 sempat

melakukan penelitian. Hasilnya, ia menyebut angka 105 ribu orang tewas. Di bawah ini adalah isi

dokumen tersebut.

Catatan Editorial Kedutaan AS di Jakarta memiliki keterbatasan dalam laporannya mengenai

peristiwa yang terjadi di luar Jakarta tentang kondisi yang diawali oleh adanya konflik antara PKI

di satu pihak dan ABRI serta kekuatan anti-komunis di pihak lain.

Dalam telegramnya tanggal 27 Oktober 1965, Kedutaan menyebutkan soal banyaknya laporan

tentang semakin tidak amannya keadaan dan pertumpahan darah yang kerap terjadi di Jawa

Tengah, namun tidak bisa dipastikan apakah itu disebabkan oleh gerakan PKI yang coba melakukan

sabotase.

Pada 28 Oktober, Country Team Kedutaan menganalisa situasi dan mengirimkan tanggapannya.

Meski laporan-laporan itu menekankan tentang berbahayanya situasi di Jawa Tengah, Jawa Timur,

Bandung dan Jakarta, Country Team tak bisa menyatakan apakah insiden itu merupakan aksi

komunis setempat atau sebuah permulaan dari tindakan teror dan sabotase yang terkoordinir.

Laporan Kedutaan juga menyimpulkan bahwa Indonesia tengah menuju 'periode chaos' karena PKI

memiliki kekuatan dan persenjataan yang tangguh, dan tampaknya ini diseimbangkan oleh ABRI.

Pada akhir Oktober 1965, Kedutaan mulai menerima laporan pembunuhan dan kekejaman terhadap

anggota PKI.

Pada 29 Oktober, Kedutaan mendapat laporan bahwa warga Aceh memenggal kepala anggota PKI

dan meletakkannya di tongkat di sepanjang jalan. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke sungai

atau laut karena rakyat Aceh tak mau tubuh mereka mengkontaminasi tanah Aceh.

Pada 8 November, Kedutaan mendapat laporan bahwa di Sumatra Utara dan Aceh, ABRI dengan

dibantu organisasi pemuda IP-KI dan elemen anti-komunis lainnya kian gencar melakukan

penumpasan dengan angka pembunuhan yang dilaporkan cukup besar.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

267 | P a g e

Pada 13 November, Kedutaan memiliki laporan dari kepala kepolisian setempat bahwa sekitar 50

sampai 100 orang anggota PKI dibunuh setiap malamnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh

pasukan sipil anti-komunis dengan dukungan dari ABRI. Seorang misionari di Surabaya melaporkan

bahwa 3.500 anggota dan simpatisan PKI dibunuh di Kediri antara 4 dan 9 November dan

sebanyak 300 orang dibunuh di Paree, 30 kilometer sebelah barat daya Kediri.

Laporan-laporan serupa terus masuk sampai enam bulan pertama tahun 1966.

Pada airgram-nya tanggal 25 Februari 1966, Kedutaan melaporkan perkiraan angka total kematian

anggota PKI dan simpatisannya di bali mencapai 80.000 orang. Angka kematian yang tinggi itu

dipicu oleh konflik antara PKI dan Partai Nasional Indonesia (PNI), juga karena masalah pribadi

dan perseteruan kelompok yang memang kerap terjadi di sana.

Perlahan-lahan Kedutaan mulai menyadari bahwa Indonesia sedang mengalami upaya penghapusan

pengaruh PKI secara besar-besaran dan pembunuhan itu juga dipicu oleh konflik etnik dan agama.

Kedutaan tak bisa menyampaikan angka pasti berapa jumlah penduduk Indonesia yang telah

menjadi korban pembunuhan dalam kampanye melawan PKI ini. Kebenaran tak akan pernah

diketahui.

Bahkan pemerintah Indonesia sendiri tak memiliki kepastiannya. Kedutaan mengakui, "Sejujurnya

kami tidak tahu apakah angka pastinya mendekati 100.000 atau 1.000.000 tapi kami percaya, lebih

baik memberikan perkiraan yang lebih kecil, khususnya jika ditanyakan oleh media.

Pada tahun 1970, pejabat urusan luar negeri Richard Cabot Howland, seorang pejabat di Kedutaan

AS di Indonesia pada tahun 1965 dan 1966, menerbitkan sebuah artikel Studies in Intelligence.

dalam artikelnya, Howland membicarakan 3 kesalahan konsepsi yang populer saat itu: bahwa ABRI

didorong untuk melawan PKI oleh pasukan AS di Vietnam, bahwa Cina berada di balik usaha

kudeta 30 September, dan bahwa sekitar 350 ribu sampai 1,5 juta anggota PKI dibunuh sebagai

balasan atas kudeta 30 September.

Howland menjabarkan bahwa atas usahanya sendiri, ia mengumpulkan informasi dari warga

Indonesia pada tahun 1966, dan kesulitannya dalam memperoleh jawaban yang akurat dan data-

data. Menurutnya, angka kematian anggota PKI dilebih-lebihkan oleh pejabat dan warga Indonesia

untuk menunjukkan sentimen anti-PKI mereka kepada otoritas baru anti-komunis di Indonesia. Ia

menyebutkan bahwa dirinya menerima data-data dari seorang Letkol di KOTI Bagian Urusan Aksi

Sosial dan memastikan bahwa data itu akurat karena diperolehnya langsung dari laporan di

lapangan.

Menurutnya, total 50 ribu anggota PKI tewas di Pulau Jawa; 6 ribu tewas di Bali; 3 ribu tewas di

Sumatra Utara. Menurut Howland, ia agak ragu dengan metode Letkol tersebut namun bisa

menerima estimasinya, dan dengan menggabungkannya dengan data yang dia peroleh sendiri,

hasilnya sebanyak 105 ribu anggota PKI tewas.

*******

Untuk Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI George Toisutta, yang

membunuh Pahlawan Indonesia yang dimakamkan di Lubang Buaya mereka dibunuh oleh TNI

AD anda sendiri!

http://sfwarungkopi.com/?p=360

Pasukan-pasukan TNI-AD yang terlibat dalam aksi penculikan berasal dari:

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

268 | P a g e

* 1 regu dari Tjakrabirawa diketuai oleh LetKol Untung.

* 1 regu dari 454 Jawa Tengah diketuai oleh Major Sukino.

* 1 regu dari 530 Jawa Timur diketuai oleh Major Bambang Supeno.

* 1 regu Brigade Infantri I diketuai oleh Kolonel A. Latief

Pertemuan di Lubang Buaya dimulai pada 2:00 pagi, persiapan logistik selesai sekitar 3:00 pagi,

kemudian satu persatu mereka naik kedalam kendaraan yang telah diperintahkan. Sekitar 3:15

kira-kira selusin bus dan truk yang membawa seluruh pasukan berangkat dari Halim Perdana

Kusumah dan tiba 45 menit kemudian, didaerah kawasan Menteng, perumahan elite di Jakarta.

Mereka tiba ditarget lokasi sekitar pukul 4:00 pagi.

Penculikan terhadap Jenderal Yani: Regu penciduk untuk Jenderal Yani berangkat dari Lubang

Buaya dibawah pimpinan Letnan Satu Mukijan, menggunakan 2 Bus dan 2 Truck, dengan pasukan

sebanyak 1.5 Kompi. Melewati Jakarta Bypass, kemudian memotong jalan melalui Jalan

Rawamangun menuju Salemba, Jalan Diponegoro dan Jalan Mangunsakoro, mereka tiba dirumah

Jenderal Yani di Jalan Lembang. Pasukan dibagi menjadi 3 group, yang pertama menjaga belakang

rumah, yang kedua menjaga didepan rumah, dan group ketiga dibawah pimpinan Letnan Satu

Mukijan dan Sersan Dua Raswad, memasuki perkarangan rumah dan menghampiri rumah. Mereka

berdua menyapa pasukan penjaga bahwa mereka menyampaikan pesan penting dari Presiden

Sukarno. Melihat seragam Tjakrabirawa mereka tidak menaruh curiga sama sekali, kemudian

diikuti oleh group penyerang dengan cepatnya melucuti senjata mereka. Menjawab ketukan

dipintu, pembatu rumah tangga membuka pintu, dan secepatnya didorong kesamping. Setelah

mereka masuk kedalam rumah, group yang dipimpin oleh Sersan Raswad menjumpai anak laki

berumur 7 tahun; Eddy putra Jenderal Yani yang sedang mencari Ibunya. Eddy diminta

membangunkan Jenderal Yani, kemudian keluar mengenakan pakaian pajama, Raswad mohon agar

Jenderal Yani menemui Presiden sekarang juga. Jenderal Yani meminta tunggu untuk mandi, akan

tetapi Raswad katakan tidak perlu mandi, dan tidak perlu tukar pakaian. Karena sadar apa yang

terjadi kemudian Jenderal Yani memukul salah satu prajurid, dan masuk kedalam kamarnya

secepatnya untuk mengambil senjata,dan menutup pintu berjendela gelas dibelakangnya. Raswad

kemudian perintahkan Sersan Gijadi untuk lepaskan tembakan. Sejumlah 7 peluru menembus pintu

dan menewaskan Jenderal Yani saat itu juga. Sebagian dari group, yang terdiri dari Raswad dan

Gijadi, juga Korporal Djamari, Prajurid Kepala Dokrin, dan Prajurid Satu Sudijono, menyeret

jenasahnya keluar dan melemparkan kedalam salah satu bus yang sedang menunggu. Kemudian

mereka semua kembali melalui Jatinegara menuju Lubang Buaya, disana Mukidjan melaporkan hasil

tugasnya kepada Doel Arief.

and more

--- On Thu, 9/30/10, GELORA45 <[email protected]> wrote:

From: GELORA45 <[email protected]>

Subject: [GELORA45] Kasad: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspadai

To: "GELORA_In" <[email protected]>

Date: Thursday, September 30, 2010, 4:57 PM

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

269 | P a g e

Kasad: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspadai

Antara –

Jumat, 1 Oktober

Kirim

Kirim

via YM

Cetak

Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI George Toisutta,

mengatakan, munculnya kebebasan yang diusung atas nama demokratisasi, termasuk kebebasan

berideologi, membuat laten komunis tetap patut diwaspadai.

"Jangan karena dalih kebebasan atau demokratisasi dan penghormatan terhadap hak azasi

manusia, kita menjadi lengah dan tidak waspada terhadap laten komunis," kata George dalam

sambutannya di acara `Tahlilan dan doa bersama Mengenang Pahlawan Revolusi yang dibasmi

dalam pemberontakan G 30 S/PKI, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Kamis.

Menurut dia, masyarakat Indonesia jangan melupakan kekejaman kaum komunis di sepanjang

sejarah bangsa Indonesia, dimana banyak pahlawan revolusi yang meninggal akibat pemberontakan

dan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965 lalu.

"Kita patut bersatu padu dan bergotong-royong untuk menutup semua celah dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri

nusantara ini," tegasnya. Menurut George, komunis telah memaksakan kehendaknya yang nyata-

nyata bertentangan dengan tujuan dan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, yakni dengan

membangun masyarakat adil dan makmur dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD

1945.

Oleh karena itu, bila ada upaya untuk menghambat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, maka

patut ditumpas. Ia mengingatkan bahwa empat pilar yang menopang eksistensi bangsa Indonesia,

yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dan dipertahankan, oleh

karenanya patut diwaspadai terhadap upaya-upaya untuk mengubah empat pilar itu.

George menambahkan, acara tahlilan dan doa bersama ini mengandung makna yang sangat penting

karena selain sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, juga mengajak

kita semua untuk lebih memahami dan menghayati fakta sejarah peristiwa pemberontakan

G30S/PKI.

Di tempat yang sama, Panglima Kodam Jaya/Jayakarta, Mayor Jenderal Marciano Norman,

mengatakan, dengan adanya iklim kebebasan seperti saat ini dapat saja dimanfaatkan untuk

menghapuskan sejarah dan memutarbalikan fakta, sehingga membuat generasi muda bingung dan

menjadi peluang bagi bangkitnya kembali komunisme di Indonesia. Oleh karena itu, lanjut dia,

masyarakat Indonesia patut waspada terhadap kemungkinan bangkitnya kembali komunisme dalam

berbagai bentuk. "Kita harus waspada dengan kemungkinan seperti itu dengan menjunjung tinggi

dan mengamalkan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi negara," kata Marciano. Ia menambahkan,

acara tahlilan dan doa bersama untuk mengenang pahlawan revolusi itu tidak hanya sebagai ritual

yang sering dilakukan oleh TNI, tetapi sebagai upaya menanamkan nilai kepahlawanan dalam

bentuk patriotisme yang diwariskan oleh generasi penerus bangsa.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

270 | P a g e

Sementara itu, Letjen Hotmangaraja Panjaitan yang merupakan anak dari pahlawan revolusi

Mayjen DI Panjaitan, mengatakan, banyak pahlawan revolusi yang telah menjadi korban keganasan

PKI pada 30 September 1965 lalu. "Namun, kami ikhlaskan pengorbanan mereka untuk menjadikan

pemicu bagi kami dan menjadi cita-cita TNI dalam memperjuangkan ideologi bangsa Indonesia,"

katanya.

Sejarawan: Gerakan 30 September Tidak Akan Terungkap

Antara - Jumat, 1 Oktober

Yogyakarta (ANTARA) - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan pernah terungkap

secara utuh karena seluruh tokoh kunci gerakan tersebut sudah meninggal dunia, kata sejarawan

dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Budiawan.

"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang

gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan

tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.

Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para

ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi

penelitian baku.

"Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak sepenuhnya benar,

cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi Soeharto dongeng

belaka," katanya.

Selain itu, ia mengatakan diskriminasi yang dialami oleh mantan tahanan politik Orde Baru telah

mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan tahanan politik tersebut.

"Setelah mereka dibebaskan tidak serta merta mereka mendapatkan kebebasan yang

sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan

masyarakat," katanya.

Ia mengatakan diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan masyarakat, bahkan

para mantan tahanan politik Orde Baru mendapat diskriminasi dari saudara mereka.

"Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang serba

salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.

Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik

karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik

sebagai warga yang patut dibedakan.

"Oleh karena itu sampai saat ini para mantan tahanan politik tersebut masih menyimpan trauma

dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.

Pancasila Hari Ini Jumat, 1 Oktober 2010 | Editorial

Pancasila sebagai landasan hidup bernegara dan bermasyarakat itulah yang utama dikemukakan

oleh Bung Karno untuk pendirian Republik Indonesia yang merdeka. Pancasila menjadi alat

persatuan untuk melawan kekuatan anti penjajahan dan bagaimana memandang dan menjalani

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

271 | P a g e

hidup bernegara dan bermasyarakat. Pada pidato 1 Juni 1945 di depan BPUPKI yang kemudian

dikenal juga sebagai Hari Lahirnya Pancasila itu Bung Karno sebelum menutup pidatonya

menekankan:

jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realitiet, yakni

jikalau ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai

anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar

permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan

sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, – syarat untuk

menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira

bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak!

Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus,

hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai

bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam

Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam

kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak

berani mengambil resiko,- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-

dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai

merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-

lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang

jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka,'merdeka atau mati"!

Sayangnya, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila justru seringkali mengkhianati nilai-nilai yang

dikandung Pancasila itu sendiri. Di masa rejim Soeharto, Pancasila menjadi alat politik untuk

membungkam lawan-lawan politik bahkan juga rakyat yang menolak pembangunan karena

pembangunan justru memulai dengan semakin menderitakan rakyat seperti memberikan ganti rugi

yang tak sebanding atas tanah-tanah yang dipakai untuk pembangunan. Pancasila Soeharto tampak

berjalan formal sejalan dengan kekuasaannya tanpa menekankan nilai lain yang penting bagi

bangsa ini yaitu: kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Akibatnya di masa Rejim Soeharto,

kekerasan yang berujung pada kejahatan atas kemanusiaan berlangsung bersamaan dengan

kesenjangan sosial yang makin tinggi dan pembungkaman hak-hak politik warga Negara. Ini adalah

bentuk korupsi pemikiran dan nilai Pancasila. Pancasila Soeharto ini mulai dikibarkan pada 1

Oktober 1965 yang oleh Bung Karno dinamakan sebagai gerakan satu oktober alias Gestok yang

semakin sanggup menjungkirbalikkan orientasi politik pembangunan Bung Karno dengan didahului

tindakan keji menghancurkan organisasi-organisasi pendukung Bung Karno disertai dengan

penangkapan, pembunuhan dan pemenjaraan tanpa pengadilan terhadap ribuan simpatisan komunis

dan soekarnois. Rejim Soeharto dengan cerdik menyebut 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian

Pancasila. Selama rejim Soeharto berkuasa, Pancasila yang sakti itu dijadikan tameng kekuasaan

dan dijadikan palu godam untuk membungkam perlawanan rakyat. Rejim Soeharto akhirnya

tumbang oleh perlawanan rakyat yang menuntut demokrasi dan perbaikan kesejahteraan.

Praktek hidup bernegara hari ini semakin memperlihatkan bagaimana toleransi hidup beragama

semakin surut: satu kelompok agama melarang kelompok lain untuk beribadah; Kekerasan antar

etnik atau kelompok masyarakat masih terjadi seakan kita tidak hidup dalam satu nilai

kebangsaan; Kesenjangan sosial ekonomi semakin nyata: rakyat miskin makin banyak tanpa

lapangan kerja serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang memadai sementara konsumtivisme

dan hedonisme pun berlangsung dengan menyolok seakan melemparkan jauh-jauh semangat sila

keadilan sosial bagi seluruh rakyat; kehidupan demokrasi yang carut-marut: politik uang yang

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

272 | P a g e

mendorong tumbuhnya korupsi masih disertai pembungkaman bacaan dengan alasan ideologi

tertentu oleh Kejaksaan Agung, misalnya, menuntut kita sebagai anak-anak bangsa yang

melanjutkan warisan Indonesia Merdeka bertanya: masihkah kita berPancasila dalam hidup

bernegara dan bermasyarakat? Pemerintah sendiri seakan tak hadir dalam berbagai peristiwa

yang menghinakan nilai-nilai Pancasila itu…dan seakan melakukan pembiaran.

Sebagaimana Bung Karno sendiri sering mengatakan: Pancasila pada hari ini tentu tak ingin kita

ambil abunya tapi justru apinya. Api Pancasila yang menyala itu tentu untuk kemajuan dan

kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di : [email protected]

http://berdikarionline.com/editorial/20101001/pancasila-hari-ini.html

<http://berdikarionline.com/editorial/20101001/pancasila-hari-ini.html>

Kalau terungkap maka mereka yang berkuasa sejak ORBA akan kehilangan kekayaannya dan bisa

diadili. Karena itu penguasa berusaha untuk tetap menutupinya.Yang jelas penguasa ada

kepentingan menutupinya dan mengulur-ulur waktu sehingga para korban lama-lama habis dan

kejahatan mereka tidak terbongkar. Kalaupun kejahatan penguasa akhirnya terbongkar, anak cucu

mereka sudah menikmati hasil perampokan ayah/kakek mereka tanpa merasa berdosa.

http://oase.kompas.com/read/2010/10/01/02283030/Gerakan.30.September.Tak.Akan.Terungk

ap-7

Gerakan 30 September Tak Akan Terungkap!

Jumat, 1 Oktober 2010 | 02:28 WIB

istimewa

ilustrasi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan pernah

terungkap secara utuh karena seluruh tokoh kunci gerakan tersebut sudah meninggal dunia, kata

sejarawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Budiawan.

"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang

gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan

tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

273 | P a g e

Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para

ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi

penelitian baku.

"Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak sepenuhnya benar,

cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi Soeharto dongeng

belaka," katanya.

Selain itu, ia mengatakan diskriminasi yang dialami oleh mantan tahanan politik Orde Baru telah

mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan tahanan politik tersebut.

"Setelah mereka dibebaskan tidak serta merta mereka mendapatkan kebebasan yang

sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan

masyarakat," katanya.

Ia mengatakan diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan masyarakat, bahkan

para mantan tahanan politik Orde Baru mendapat diskriminasi dari saudara mereka.

"Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang serba

salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.

Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik

karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik

sebagai warga yang patut dibedakan.

"Oleh karena itu sampai saat ini para mantan tahanan politik tersebut masih menyimpan trauma

dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita

Jum'at, 01 Oktober 2010

------------------------------------------

BERSAMA Radio HILVERSUM Dan Radio

"SONORA" <Jakarta> MEMPERINGATI 45-Th "TRAGEDI

NASIONAL 1965"

Kemis kemarin, pas tanggal 30 September (ralat -- semestinya benar Bung Karno, -- Peristiwa itu

terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, bukan 30 September) , bersama Jos Wibisono dari Radio

Hilversum (Radio Nederland Wereldomroep, RNW>, Radio Sonora Jakarta (yang memulai

siarannya pada bulan Agustus 1972. Kata 'Sonora' berasal dari bahasa Latin/Spanyol yang artinya

bunyi-bunyian merdu); lalu dengan Sarmaji dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia Amsterdam,

-- melalui cakap-cakap 'segi-tiga', kami memperingati Hari Tragedi Nasional 1965.

Tak peduli hujan rintik-rintik Sarmaji dan aku berangkat dengan kereta-api dari Amsterdam C.S

menuju Hilversum Noord. Turun di Hilversum Noord, kami jalan kaki menelusuri jalan sepeda

menuju ke kantor Radio Hilversum. Kesan Sarmaji begitu memasuki kompleks Media-Park

Hilversum: Wah, Bung, coba lihat, kantor-kantor siaran radio dan TV Nederland ini terletak

benar-benar ditengah hutan, terasing dari hiruk-pikuk kota. Hening dan sunyi. Tenteram dan aman

(!?). Aku bilang: Di kompleks inilah beberapa tahun yang lalu tokoh politik Ekstrim Kanan Belanda,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

274 | P a g e

Pim Fortuin, di bunuh oleh tembakan pistol asasin. Sepertinya terasing dari keramaian kota dan

'aman', tetapi seorang asasin bisa saja menyelinap menantikan sasarannya.

Di kantor RNW di situ sudah menanti, Jos Wibisono. Ia menyambut kami dengan hangat dan

gembira. Jam 4.00 sore waktu Nederland, berarti jam 10 malam di Jakarta, mulailah komunikasi

antara Hilversum dengan Jakarta, melalui RNW.

* * *

Acara wawancara inter-aktif kami berdua, dengan Oki dari Radio Sonora, asal-mulanya adalah

prakarsa Jos Wibisono dari RNW, Hilversum. Radio Sonora memperkenalkan dirinya sebagai

SONORA FM 92.0, Jakarta. Yang 'action' dalam acara wawancara inter-aktif ini, yaitu acara

cakap-cakap bebas dengan melibatkan para pendengar Radio Sonora, --- adalah Radio Sonora

Jakarta. Tadinya aku mengira bahwa acara wawancara radio ini adalah acaranya Radio Hilversum.

Tidak begitu. Memang idénya dari Radio Hilversum. Tetapi yang mengelola cakap-cakap dengan

pendengar Indonesia adalah Radio Sonora FM 92.0. Jadi ini 'gawénya' Radio Sonora. Menurut Jos

Wibosono, Radio Sonora banyak didengar masyarakat tidak saja di Jakarta. Pendengar yang

mengikuti siaran Radio Sonora cukup luas.

Penjelasan ini kuanggap penting! Karena bagiku pribadi, ini adalah untuk pertama kalinya

diwawancarai oleh sebuah pamancar Radio Jakarta, mengenai Peristiwa 1965. Begitu juga unuk

Sarmaji. Dan kami anggap wawancara inter-aktif dengan Jakarta yang dipandu oleh Jos Wibisono

itu, merupakan ide yang bagus dan bermanfaat dalam rangka saling informasi serta kontak

langsung dengan tanah air tercinta. Melalui acara seperti ini, kami, Sarmaji dan aku, yang oleh

Orba dicap sebagai 'orang bermasalah', dituduh ini-itu sehubungan dengan G30S, yang paspornya

sewenang-wenang dicabut oleh penguasa militer di bawah Jendral Suharto, -- bisa mendengar

langsung dari pendengar Indonesia, apa yang ingin mereka ketahui sekitar masalah tsb.

Yang lebih penting ialah bahwa kami-kami ini yang 'korban kesewenang-wenangan Orba, yang

dibikin menjadi 'stateless' bertahun-tahun lamanya di luar negeri, BISA MENJELASKAN

LANGSUNG kepada para pendengar Indonesia.

Mungkinlah, inilah ---- a.l wawancara inter-aktif seperti ini melalui radio, yang bisa memberikan

penjelasan langsung dan mengungkap kebenaran yang selama ini diputar-balik oleh rezim Orba, ---

Inilah yang ditakuti oleh para penguasa militer. Ini jelas dari pernyataan penggedé militer seperti

Jendral TNI George Toisutta , KSAD, baru-baru ini. Yang kemudian digongi oleh jendral lainnya.

Penguasa-penguasa militer itu 'mencanangkan' masyarakat jangan sampai masalah demokrasi dan

HAM, 'disalah-gunakan'. Mereka lalu menyanyikan lagu lama yang sudah usang. Mereka

mengingatkan akan 'bahaya laten Komunis'. Fikiran 'karatan' para petinggi ABRI itu keterlaluan

dangkalnya! Menunjukkan kemandulan fikiran mereka terhadap prinsip demokrasi dan HAM.

Prinsip negara hukum. Lagi pula teramat memandang rendah kesadaran dan kemampuan berfikir

kritis generasi muda sekarang ini. Sungguh, suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia.

Ataukah ini pertanda bahwa sementara hak-hak demokrasi akan dikekang seperti zaman Orba?

Mendengar celotéhan lapuk demikian dari para jendral itu, timbullah pertanyaan: ITUKAH

'HASIL' YANG DIKATAKAN SUDAH BERLANGSUNGNYA REFORMASI DI DALAM TUBUH

ABRI? Petinggi-petinggi militer seperti itu, sungguh tidak mengerti apa makna Reformasi. Mereka

tidak mengerti bahwa yang dimaksudkan Reformasi, pertama-tama adalah perubahan dalam

fikiran. Bila hendak reformasi adalah suatu keharusan membuang jauh-jauh fikiran militer-fasis

ABRI yang berselubung 'Dwifungsi Abri". Serta dengan sungguh-sungguh berusaha mawas diri

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

275 | P a g e

memeriksa peranan krusial dan kriminal mereka, dalam peristiwa pembantaian masal rakyat

Indonesia yang tidak bersalah pada periode pasca Peristiwa 1965.

* * *

Wawancara 'segi-tiga' Radio Sonora, Radio Hilversum dan kami berdua dari fihak yang dizholimi

oleh Orba, memberikan kesan mendalam. Pendengar ternyata mengikuti perkembangan di sekitar

yang 'disebut orang terhalang pulang'. Sungguh mengharukan bahwa para pendengar itu, di satu

fihak ikut perihatin dengan nasib 'orang-orang yang terhalang pulang'. Di lain fihak mereka

menyatakan kekaguman mereka kepada orang-orang yang terhalang pulang, yang sudah mengalami

perlakuan kesewenang-wenangan sedemikian kejamnya dari rezim Orba, NAMUN SEMANGAT

NASIONAL PATRIOTIK CINTA TANAH DAN BANGSA INDONESIA masih tetap tinggi dan

terpelihara baik.

Seperti yang disampaikan oleh Jos Wibisono dari Radio Hilversum, wawancara ini lebih difokuskan

pada 'segi-segi kemanusiaan' para orang yang terhalang pulang. Tentang bagaimana keadaan

kehidupan mereka sesuah begitu lama mengalami situasi 'stateless' di luar negeri, tanpa proses

keadilan apapun.

Tetapi yang dinamakan 'segi-segi kemanusiaan' itu bila sudah menyangkut korban pelanggaran

HAM yang dilakukan oleh rezim Orba, tak terelakkan akan melibatkan masalah POLITIK. Yaitu

politik anti-demokratik dan ketiadaan hukum, diperlukkannya warga negara secara sewenang-

wenang tanpa proses pengadilan apapun. Melaksanakan atau melanggar HAM, hak-hak kemansiaan

(yang sangat menusiawi itu) adalah masalah yang paling sarat muatan politiknya!

* * *

Pada kesempata lain, bila dirasa perlu, bisa disinggung lagi sekitar wawancara inter-aktif segi-tiga

di Hilversum hari Kemis yang sukses dan bermanfaat itu.

Sebelum menutup tulisan ini --- baik kiranya mengingatkan pembaca bahwa: Besok tanggal 02

Okotber 2010, di Diemen, Holland akan berlangsung pertemuan Peringatan 45 Tahun Tragedi

Nasional 1965. Pertemuan tsb diselenggarakan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari para wakil

organisasi masyarkat Indonesia di Nederland.

Petemuan dimulai pada jam 11.00 pagi di gedung "De Schakel", Burgemeester Bickerstraat 46A,

1111 CC Diemen Nederland. Undangan akan berdatangan dari Belanda, Jerman, Perancis dan

Swedia. Termasuk yang datang dari Indonesia, seperti a.l penyair dan budayawan Indonesia asal

Bali, -- Putu Oka Sukanta.

* * *

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/berdamai-dengan-sejarah/

TAJUK RENCANA

Berdamai dengan Sejarah

Tahun 1965 akan selalu diingat sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah perjalanan Indonesia.

Sebuah insiden yang terjadi pada dini hari 1 Oktober, saat jenazah tujuh jenderal Angkatan

Darat ditemukan di bekas sumur tua di Lubang Buaya, menjadi pembuka rentetan panjang tragedi

manusia saat itu. Jutaan kader dan simpatisan dari partai terbesar keempat hasil Pemilu 1955

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

276 | P a g e

(PKI) diburu sebagai pesakitan hanya karena tudingan politis bahwa partai mereka dituding

sebagai ―dalang‖ pembantaian para jenderal.

Soekarno dipaksa turun dari kekuasaannya hanya lewat selembar surat yang awalnya dicanangkan

untuk memulihkan stabilitas keamanan. Lalu ratusan ribu orang dibantai segera setelah Partai

Komunis Indonesia dinyatakan terlarang. Sementara itu, jutaan lainnya dibuang, ditahan hingga

belasan tahun, dari Bukitduri hingga Wirogunan, dari Buru hingga Plantungan, tanpa pernah

diajukan ke pengadilan.

Tahun berlalu dan lapis demi lapis fakta sejarah masa lalu terungkap saat kekuasaan yang berdiri

pasca-insiden tersebut tumbang di tahun 1998. Para korban dan pelaku, serta generasi anak-anak

mereka, perlahan mencari cara untuk menyembuhkan luka. Meski trauma tak sungguh hilang.

Sayangnya, negara–45 tahun setelah peristiwa berlalu–tetap sibuk untuk memendekkan ingatan.

Tak pernah ada pengakuan bahwa penghilangan nyawa ratusan ribu jiwa dan penahanan jutaan

warganya tanpa proses pengadilan itu pernah ada.

Langkah maju negara-negara yang pernah mengalami peristiwa sama, seperti Argentina dan Cile,

tak pernah dilirik sebagai cermin solusi untuk berdamai dengan sejarah. Di Argentina,

pemerintah mengakui periode kelam sejarah mereka saat berada di bawah kepemimpinan Junta

Militer 1976-1983.

Komisi Penyelidik Nasional untuk Penghilangan Paksa dibentuk segera setelah Junta terguling.

Mereka mencatat 8.960 korban dighilangkan secara paksa dan terdapat 340 tempat penahanan

dan penyiksaan rahasia. Laporan ini kemudian dijadikan acuan untuk menyeret para pemimpin junta

dan militer pendukungnya. Namun, presiden pasca-junta tak punya keberanian untuk menyeret

mereka dan menciptakan UU Amnesti yang memberi imunitas bagi para penjahat perang.

Beruntung Argentina memiliki Nestor Kirchner yang pada Juni 2005 membuat Mahkamah Agung

menganulir dua UU Amnesti tersebut. Proses pengadilan pun digelar dan sejumlah pemimpin junta

dijatuhi hukuman. Istrinya, Cristina Hernandez Kirchner, melanjutkan inisiatif tersebut.

Di Cile, hal serupa juga terjadi di bawah keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Sementara itu, di Indonesia, percobaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi gagal

karena UU KKR menafikan proses pengadilan. Indonesia, di usianya yang ke-65 tahun, agaknya

butuh waktu lebih panjang untuk menjadi sebuah bangsa yang dewasa. Sebuah bangsa yang berani

berdamai dengan sejarahnya. n

Kawan-kawan sekalian yb,

Barangkali banyak kawan masih ingat dengan nama nama Nani Nurani, penyanyi kebanggaan bung

Karno. Ibu Nani Nurani, sebagai seorang penyanyi Istana masa Bung Karno yang tidak mengerti

politik, ... pasca G30S tidak luput harus meringkuk dalam penjara selama belasan tahun. Setelah

di-"bebas"-kan dalam masyarakat tetap didiskriminasi, disisihkan sebagai warga Ex-TAPOL.

Sekalipun sudah mencapai usia lanjut, usia 65, tetap saja tidak berhasil dapatkan KTP seumur-

hidup. Kasus Ibu Nani menggugat adalah yang pertama dan dibantu KOMNAS HAM, akhirnya

berhasil mendapatkan KTP seumur-hidup.

Dibawah adalah DVD pertunjukkan ibu Nani Nurani saat bedah buku yang ditulisnya: "Hati Nurani

Penyanyi Kebanggaan Bung Karno" yang saya dapatkan dan saya coba upload di youtube untuk

dinikmati bersama, ... URL, link berada dibawah terbagi dalam 5 bagian.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

277 | P a g e

Silahkan menikmatinya, ...

Salam,

ChanCT

Bag. - 01 : http://www.youtube.com/watch?v=NPfddS6bzUA

Bag. - 02 : http://www.youtube.com/watch?v=CWGc_vK-3FA

Bag. - 03 : http://www.youtube.com/watch?v=YTyDO69YHIk

Bag. - 04 : http://www.youtube.com/watch?v=JDvZwrQuFgg

Bag. - 05 : http://www.youtube.com/watch?v=Q_dGPMOnDio

__._,_.___

Setuju dan sependapat dengan pemikiran bung Manap, juga dengan pertanyaannya yang

seharusnya bísa dijawab oleh KSAD dengan mudah jika memang ucapannya mengandung

kebenaran.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

278 | P a g e

Saya ulangpertanyaan itu:

"Kepada Kepala Staf Angkatan Darat yang memperingatkan "Laten Komunis tetap patut

diwaspadai" perlu dipertanyakan:"Apakah selama 45 tahun tanpa ada pengaruh idologi komunis

dalam kekuasaan negara selama ini masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah NKRI

berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang dimaksudkannya sudah tercapai?

Mengapa rakyat Indonesia yang sudah bersih dari pengaruh idologi komunis masih saja begitu

miskin, begitu sengsara sekarang ini? Mengapa keadaan masyarakat Indonesia yang sudah

dibersihkan dari idologi dan pengaruh komunis itu semakin kacau balau semakin amburadul

sekarang? Padahal orang-orang komunis dengan idologi komunisnya sudah dibasmi sudah tidak

menjadi penghalang kalau mau membangun masyarakat adil dan makmur.?" Ada tambahan

pertanyaan saya atas ucapan KSAD itu :

** Ia mengingatkan bahwa empat pilar yang menopang eksistensi bangsa Indonesia, yakni NKRI,

Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dan dipertahankan, oleh karenanya

patut diwaspadai terhadap upaya-upaya untuk mengubah empat pilar itu.**

Pancasila: masih hidupkah Pancasila di Indonesia sekarang ini ? Mengapa terjadi pembakaran

gereja gereja, penganiayaan warga Kristen dan Ahmadiyah ? Dimana telah dijalankan "Keadilan

Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" ?

Apakah keadaan sekarang ini buat rakyat Indonesia lebih adil dari masa pra orba, sewaktu Bung

Karno memimpin Republik Indonesia , dan pendukung pendukung beliau belum dibasmi habis,

dibunuh, disiksa, dipenjara sampai ke anak cindilnya?

Apakah sekarang keadaan buatseluruh rakyat lebih baik /adil dari jaman pra orba?

UUD 45, apakah masih hidup dinegara ini, atau hanya sebagai embel embel saja ?

Pasal 33 & 34 UUD 45 ( sudah dengan amandemen) mengatakan :

Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

* Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

pelayanan umum yang layak.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

279 | P a g e

Apakah yang dijalankan pemerintah sekarang itu ada bau baunya dengan isi UUD 45 diatas?

Bukankah SDA dan bumi Indonesia sekarang ini berada sebagian besar ditangan modal asing ?

Apakah kekayaan alam dan bumi dikuasai negara Indonesia ?

Cobalah camkan, pasal 33 dan pasal 34 UUD '45 diatas, mana yang lebih memegang azas azas di

UUD 45 itu dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah dibawah pimpinan Bung Karno dan

pendukung pendukungnya (termasuk orang orang marxist didalamnya) atau pemerintah orba

sampai sekarang , pemerintah reformasi ini ?

Azas Bhinneka Tunggal Ika, lebih dihikmati jaman pra orba atau jaman orba sampai sekarang ?

Atau sebenarnya, semua penguasa dan aparat aparatnya sekarang ini tidak tahu isi dari Pancasila,

UUD '45 dan Bhinneka Tunggal Ika dan hanya pandai latah mengucapkan saja ?

Diluar dari semuanya itu, kata kata NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD '45 adalah

satu dengan kata Bung Karno ! Bung Karno adalah penggali kesemuanya itu ! Lalu bagaimana mau

berteriak menjalankan azas azas itu, bila Bung Karno masih dalan status dipenjara, dipecat secara

tidak hormat dari jabatannya dan dianggap makar terhadap RI, terhadap pemerintah yang beliau

pimpin sendiri, dan sampai sekarang belum direhabilitasi ?

Jangan lupa TAP 33 MPRS /1967 masih berklaku dan belum dicabut, bagaimana KSAD bisa bicara

tentang NKRI,UUD'45, Bhinneka Tunggal Ika, Panca Sila ? Dimana logika pidato pidato yang

hanya merupakan lips service itu ? Saya kira kita perlu merenungkan dan berusaha menjawab

pertanyaan pertayaan diatas itu ! Terutama pemerintah RI dan aparat aparatnya harus bisa

menjawabnya..

iwa

________________________________

From: S Manap <[email protected]>

To: [email protected]

Sent: Fri, October 1, 2010 10:45:25 AM

Subject: SV: [GELORA45] Kasad: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspadai

Kutipan dari ucapan Kepala Staf Angkatan Darat Jendral George Toisutta:

"Komunis telah memaksakan kehendaknya yang nyata-nyata bertentangan dengan tujuan dan cita-

cita perjuangan bangsa Indonesia yakni dengan membangun masyarakat adil dan makmur dalam

wadah NKRI berdasarkan pancasila dan UUD 1945"

Ucapan KSAD itu adalah kalimat klise yang sudah usang yang diucapkan secara berulang-ulang

oleh orang-orang militer maupun sipil bukan hanya selama Orbanya Soeharto berkuasa sampai

berdirinya pemerintah Orba jilid II sekarang ini, bahkan kata-kata itu sudah seraing kita dengar

sebelum berdirinya kekuasaan Orba, khususnya banyak diucapkan oleh orang-orang militer didikan

Amerika.

Sejak berdirinya kekuasan Orba, orang-orang komunis beserta simpatisannya juga pengikut-

pengikut Bungkarno yang bukan Komunis sudah dibasmi habis. Mereka sudah tersingkir sudah

dibunuhi, dipenjarakan, diasingkan, dianiaya, difitnah, dihujat secara habis-habisan. Hak hidup

kaum komunis dan semua kekuatan yang dicurigai bertentangan dengan penguasa Orba sudah

ditiadakan dengan paksa.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

280 | P a g e

32 tahun kekuasaan Orba dan sudah 10 tahun pula kekuasaan Orba jilid ke II berjalan mulus

tanpa gangguan idologi komunis, karena orang-orang yang dinamakan komunis sudah dinajiskan

dalam masyarakat. Jika dihitung sejak 1 Oktober 1965 dalam mana secara de facto Soeharto

sudah mengambil alih kekuasaan, waktunya sudah berjalan selama 45 tahun. Berarti sudah 45

tahun pula kekuasaan negara bukan hanya tidak dipengaruhi oleh idologi komunis malahan

dibimbing oleh kata-kata dan perbuatan memfitnah dan membasmi komunis tanpa kenal batas.

Kepada Kepala Staf Angkatan Darat yang memperingatkan "Laten Komunis tetap patut

diwaspadai" perlu dipertanyakan:"Apakah selama 45 tahun tanpa ada pengaruh idologi komunis

dalam kekuasaan negara selama ini masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah NKRI

berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang dimaksudkannya sudah tercapai?

Mengapa rakyat Indonesia yang sudah bersih dari pengaruh idologi komunis masih saja begitu

miskin, begitu sengsara sekarang ini? Mengapa keadaan masyarakat Indonesia yang sudah

dibersihkan dari idologi dan pengaruh komunis itu semakin kacau balau semakin amburadul

sekarang? Padahal orang-orang komunis dengan idologi komunisnya sudah dibasmi sudah tidak

menjadi penghalang kalau mau membangun masyarakat adil dan makmur.

Berhentilah memamah biak kata-kata klise bahaya laten komunis sebagai penghalang membangun

masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 45 itu!. Apakah kata-kata usang

"bahaya laten komunis" yang dijadikan alat untuk mengenggam erat kekuasaan selama Orba

Soeharto maupun yang menamakan kaum reformis selama ini masih bisa digunakan untuk menipu

rakyat yang sudah bosan dengan kebohongan?

Komentar teman-teman atas ucapan KSAD ini diharapkan.

S.Manap.

*******

Saya forward artikel dari milis tetangga ini untuk tidak melupakan pernah terjadinya Genosida 65

- pembunuhan massal berencana tanpa proses hukum terhadap orang-orang tak bersalah, yang

diorganisir dan dipimpin tentara Angkatan Darat dibawah komando Suharto dan berakibat

jatuhnya korban lebih satu juta jiwa manusia dan ratusan ribu dipenjarakan diseluruh pelosok

Indonesia.

Semenjak dijatuhkannya kekuasaan otoriter rezim Suharto yang paling kejam dan paling korup

dalam sejarah Indonesia oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998, sudah banyak karya pakar

sejarah dan testimoni para Korban, yang menyingkap fakta-fakta sejarah yang digelapkan dan

membongkar kebohongan dan pemalsuan sejarah selama berkuasanya rezim militer otoriter

Suharto.

Usaha pengungkapan dan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan

Suharto selama 32 tahun kekuasaannya, sedang dan akan terus diperjuangkan oleh Generasi

sekarang dan yang akan datang, demi tegaknya keadilan bagi para Korban dan untuk menjaga agar

jangan sampai kejahatan terhadap Kemanusiaan seperti yang pernah terjadi dibumi Nusantara itu

sampai terulang kembali.

Salam,

Arif Harsana

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

281 | P a g e

-----Original Message-----

Date: Thu, 30 Sep 2010 22:45:30 +0200

Subject: #sastra-pembebasan# Memperingati Tragedi Nasional (5):

Kebiadaban Tiada Taranya - Oleh A.Kohar Ibrahim

From: abdul kohar ibrahim <[email protected]>

To: [email protected]

Memperingati Tragedi Nasional (5)

Kebiadaban Tiada Taranya

Oleh: A. Kohar Ibrahim

BENAR apa yang disimpulkan oleh Ben Anderson dalam wawancara yang telah diutarakan terlebih

dahulu, bahwasanya "Di mana saja di dunia, kalau mau diadakan pembantaian massal, harus

diciptakan suasana di mana orang merasa apa saja boleh. Karena calon korban sudah berbuat hal

hal di luar peri kemanusiaan". Maka demikianlah dampak dari dusta yang digencarkan dengan

mesin propaganda hitam penguasa militer Orba sejak 1 Oktober 1965 itu sedemikian dahsyat.

Yang mengobarkan teror putih di mana-mana hingga menelan korban jutaan jiwa banyaknya.

Korban yang merupakan penghinaan dan kejahatan atas manusia dan kemanusiaan yang

kebiadaban dan skalanya belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Padahal orang Indonesia

terkenal sebagai peramah, mudah senyum dan berfalsafah Pancasila?

Akan tetapi, sejak dimulainya Tragedi Nasional dengan 6 jenderal dan 1 perwira sebagai korban

pertikaian antara kaum militer (tentara) telah terjadi gerakan perburuan, penangkapan,

penyiksaan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan-pasukan

bersenjata resmi maupun non-resmi tapi yang selaras komando dan lindungan militer.

Sedemikian rupa kebiadabannya sampai para algojo menelantarkan begitu saja para korbannya,

jika tidak dipajang di tempat umum! Dalam kaitan ini, bahkan Bung Karno pernah memprotes ulang

dalam pidato-pidatonya dipertengahan Desember 1965. Setelah mendapat laporan adanya

"...jenazah-jenazah dari Pemuda Rakyat, BTI, orang-orang PKI, atau simpatisan PKI disembelih,

dibunuh, kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon, di hanyutkan, dan tidak ada

yang mengurusnya." (Kompas 3.10.94). Namun apa daya, suara Presiden Sukarno sudah tak

memiliki kekuatan lagi untuk menghentikan teror putih yang sedang merajalela.

Dalam pada itu, dari sejumlah bahan yang menarik dan penting untuk disimak, ada yang berupa

penjelasan yang diberikan oleh saksi-mata sekaligus korban kebiadaban dari teror putih yang

dilancarkan tahun-tahun 1965-1966. Yakni dari seorang kader PKI bernama Ruslan Widjajasastra.

Dalam mana digambarkan suasana teror ketika itu:

"Di dalam rapat-rapat umum secara terang-terangan massa didorong untuk menjalankan tindakan-

tindakan teror. Misalnya dalam rapat-rapat umum pembicara berteriak-teriak: 'untuk setiap

jenderal diganti dengan 100.000 komunis'. Sebagai akibat dari kampanye jahat yang tidak

bertanggungjawab itu telah timbul tindakan-tindakan biadab terhadap anggota-anggota PKI dan

khususnya anggota-anggota Gerwani telah mengalami perlakuan-perlakuan yang sadis," kata Ruslan

Widjajasastra di depan sidang Mahmilub 22 Juni 1974. "Apa akibatnya sudah diduga", katanya

melanjutkan: "Di bawah perlindungan alat-alat negara, yang tanpa persetujuan dari atasannya

yang anti-komunis tidak mungkin mereka berani bertindak, maka kelompok pendukung jenderal-

jenderal kanan AD mulai mengganas di mana-mana. Ratusan ribu komunis dan non-komunis, laki-

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

282 | P a g e

laki, wanita, pemuda, ya -- bahkan anak-anak telah menjadi mangsa kebiadaban luarbiasa.

Perlakuan-perlakuan sadis, siksaan-siksaan tak terperikan di luar batas perikemanusiaan

menyertai pembunuhan-pembunuhan massal.

Satu keluarga dibunuh habis (ayah dan anak-anaknya); seorang ibu baru melahirkan -- dibunuh;

seorang wanita dengan menggendong anaknya dibunuh di pinggir kali dan banyak korban lainnya

telah dihabisi nyawanya di situ juga, maksud para algojonya supaya tidak perlu menggali lubang

kubur. Di Jatim orang digantung di pepohonan, kepala orang dipamerkan di pasar-pasar atau

disandarkan di pohon di pinggir jalan, ada yang dibunuh secara pelan-pelan dengan memotongi

anggota badannya satu demi satu; orang tua dipaksa melihat anaknya dibunuh sebelum dirinya

sendiri dihabisi nyawanya. Di Jogya korban-korban diharuskan terjun ke dalam satu parit yang

terkenal dengan nama luweng di pantai selatan Jogya. Di satu penjara pasuskan-pasuskan

pemerintah yang luarbiasa anti-komunisnya memerintahkan tahanan-tahanan terjun dari suatu

platform dengan kepala di bawah, dan bahwa masih ada diantara korban-korban itu yang tetap

hidup adalah suatu keajaiban belaka.

Kemaluan laki-laki dipotong sebagai bukti untuk menentukan jumlah uang yang harus dibayar

kepada algojo. Bahwa pembantaian terhadap kaum komunis dan non-komunis bukannya suatu ekses

biasa, tetapi suatu perbuatan yang sedar dan berencana dapat dilihat dari bahwa di mana-mana

di seluruh tanahair yang menjadi sasaran pembunuhan adalah, di samping massa biasa adalah

pemimpin-pemimpin PKI setempat sampai ke desa-desa, pemimpin organisasi-organisasi

revolusioner dan juga anggota lembaga-lembaga pemerintah daerah (DPRD-BPH), juga bisa dilihat

dari sistim bon-bonan terhadap orang yang sudah ditahan yang biasanya dianggap anggota PKI

yang penting dan tak jarang bon-bonan ini melalui tawar-menawar tentang jumlah uang yang harus

dibayar untuk membeli jiwa orang yang hendak dijadikan korban yang dilakukan antara penguasa

militer setempat dengan pihak reaksi. Masih banyak lagi bentuk-bentuk pembunuhan yang sadis.

Di banyak tempat korban-korban dimasukkan sungai atau laut dengan diberi batu (bandul

pemberat) sehingga dapat tenggelam sampai ke dasar. Tetapi banyak juga yang sesudah dibunuh

dilemparkan begitu saja di sungai-sungai seperti Bengawan Solo, Kali Brantas, Musi dll;

dilemparkan ke jurang-jurang. Bahwa ada kesengajaan untuk membunuh bisa juga dilihat dari

mereka yang tanpa proses pengadilan telah ditembak oleh penguasa militer setempat; bisa dilihat

dari nasib tahanan-tahanan yang sudah ada dalam tahanan pemerintah waktu itu."

Ruslan Widjajasastra yang sebagai tokoh komunis itu, dalam Pembelaan di depan Mahmilub,

seterusnya menjelaskan bagaimana perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap tapol di penjara-

penjara. Siksaan yang berujung pada pembunuhan yang sangat keji adalah berupa pencabutan

nyawa tapol secara perlahan-lahan. Dengan hanya memberikan mereka makanan yang sangat minim,

lantas hampir tidak sama sekali. Hingga dalam waktu beberapa hari atau minggu para tapol itu

mati kelaparan. Hal itu terjadi di penjara Salemba. Dan apa yang terjadi di sana, juga ada

penggambaran yang gamblang dari salah seorang eks-tapol bernama S. Boediardjo, seperti

diungkapkan dalam artikel pengalamannya yang dimuat dalam majalah "Arena" (1993-94). Selain di

penjara Salemba, Ruslan Widjajasastra juga memberikan contoh di tempat-tempat lainnya.

Seperti di Sumatera Selatan, dimana tapol hanya diberi 40 butir jagung untuk selama 24 jam dan

akibatnya 90% tahanan mati. Dengan jalan begitulah banyak tahanan di berbagai penjara atau

tempat tahanan di Jawa dll kepulauan menjadi mati kelaparan.

"Sebagai akibat dari keganasan teror itu, yang dilakukan atau di bawah lindungan atau langsung

juga oleh pasukan-pasukan tertentu dari pemerintah, di berbagai tempat telah terjadi bahwa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

283 | P a g e

seluruh kader setempat mati terbunuh, ada yang separo terbunuh. Kita mencatat pembunuhan

yang paling besar misalnya di Jatim, Jateng dan Bali", demikian antara lain kesaksian sekaligus

pembelaan Ruslan Widjajasastra, yang dapat disimak dalam majalah Kreasi nomor 17 1994.

Apa yang diungkapkan oleh Ruslan Widjajasastra itu bisa dicocokkan dengan pemberitaan media

massa yang dihegemoni penguasa Orba, dengan beragam ilustrasinya. Seperti foto-foto

penggorokan leher korban oleh para algojo, mayat-mayat yang bergelimpangan di tepi kali

Brantas, lubang kuburan besar yang digali oleh dan untuk para korban; bagaimana pula truk-truk

militer dalam melakukan operasi mautnya: sang komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie di lapangan

dan lain sebagainya lagi. Semuanya selaras dengan pengakuan komandan tertinggi Jenderal

Suharto dalam otobiografinya.

Demikianlah sekalipun hanya sekedar seberkas contoh terbatas namun telah menunjukkan dengan

jelas-tegas bagaimana suatu kebiadaban yang tiada taranya telah terjadi di bumi Indonesia. Di

Nusantara yang terkenal dengan penduduknya yang peramah lagi mudah senyum dan berfilsafah

Pancasila.

Dengan cara biadab sedemikian itulah rupanya upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan

oleh kaum militer dilaksanakan? Seperti yang dinyatakan oleh Jenderal A.H. Nasution pada 14

Maret 1966. Bahwa "dalam penyelesaian G.30.S. dipandang penting, supaya atas keyakinan kita

dengan 'bantuan Tuhan' juga, maka dalam MPRS yang saya pimpin kita tetapkan syarat-syarat

jadi Presiden dan anggota DPR yaitu:

1. Bertakwa kepada Allah SWT;

2. Setia pada Pancasila dan UUD'45."

Kemudian Nasution juga menegaskan untuk "membela kejujuran, kebenaran dan keadilan,

berdasarkan takwa pada Allah SWT." (Kompas 1 Oktober 1994).

Jika ditelaah fakta-fakta dan kejadian yang sebenarnya, maka sudah sampai sedemikian itulah

teror propaganda hitam berbalut kata-kata mulia dan simbol-simbol suci-murni! Teror yang

dampak nistanya sedemikian dahsyat berupa tragedi nasional itu. Setelah pembasmian PKI dan

kaum demokrat lainnya, maka Bung Karno pun dijadikan sasaran empuk untuk ditumbangkan

sejadinya dengan pengabsahan yang direkayasa berdasarkan propaganda hitam. Di dalam sidang-

sidang institusi seperti MPRS.

Siapa yang sesungguhnya harus mempertanggungjawabkan semua kebiadaban sedemikian rupa itu?

***

Catatan :

Naskah Memperingati Tragedi Nasional disusun September 2002 ; disiar beberapa media masa

cetak & online, antara lain Harian Sijori Pos, SwaraTv, ABE-Kreasi Multiply Site dan lainnya lagi.

Meskipun soal yang jadi persoalannya sudah sekian lama tapi isi hakikinya masih belum

terselesaikan. Perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan masih diperlukan.

Sejak masa era reformasi, tentulah kian tambah naskah tersiar sekaitan Tragedi Nasional;

serangkaian naskah yang saya susun ini kiranya bias melengkapi bahan pertimbangan yang

tersediakan.

Siar ulang Facebook, ABE-Kreasi Multiply Site dan lainnya lagi 30 September 2010.

Biodata A.Kohar Ibrahim: http://16j42.multiply.com/journal/item/517/

Kumpulan Kumpulan Tulisan: http://16j42.multiply.com/journal/item/494/

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

284 | P a g e

Ilustrasi : Kulitmuka Majalah ARENA n° 1 1990 Editor : A.Kohar Ibrahim -

Penerbit Stichting ISDM Culemborg Nederland.

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr yang sampai sekarang sudah

dikunjungi lebih dari 650 490 kali = = = = = = = = = =

Lanjutkan Revolusi Dengan Berpegang Pada Ajaran Bung Karno

Di bawah adalah kutipan sebuah artikel dari Berdikari Online, website PRD (Partai Rakyat

Demokratik), yang bertanggal 1 Oktober 2010. Artikel tersebut selengkapnya tampil sebagai

berikut :

"Berikut ini disajikan wawancara tertulis Berdikari Online dengan wartawan senior, A. Umar Said,

yang sekarang tinggal sebagai pensiunan di Paris, dalam rangka mengenang Peristiwa 30

September 1965. Wawancara singkat dengannya yang sekarang berusia 82 tahun (lahir 26

Oktober 1928) ini merupakan sekelumit dari pendapat seorang di antara mereka yang mengalami

masa-masa jaman Presiden Sukarno sebelum peristiwa 1965 itu.

Ia meninggalkan Indonesia 2 minggu sebelum terjadinya peristiwa 30 September 1965 untuk

menghadiri konferensi International Organisation of Journalists yang diadakan di Santiago (Chili,

Amerika Latin). Kemudian ia terpaksa tinggal di Peking dan bekerja di Sekretariat Persatuan

Wartawan Asia-Afrika sampai tahun 1973.

Dalam tahun 1974 ia pindah ke Prancis sebagai political refugee, dan hidup sederhana sambil

melakukan berbagai kegiatan.

= = =

Hari ini adalah 45 tahun peristiwa ―Gerakan 30 September‖. Sebagai salah satu dari sekian

banyak orang Indonesia di luar negeri yang terhalang pulang, bagaimana perasaan anda?

Setelah 45 tahun sejak terjadinya peristiwa 30 September 1965, dan terpaksa hidup di luar

tanahair karena dihalang-halangi pulang oleh kekuasaan Suharto, maka saya masih sedih dan

marah kalau ingat kepada peristiwa itu. Merasa sedih karena saya ingat kepada banyak kawan-

kawan saya yang dibunuh secara biadab atau dipenjarakan atau dibuang ke pulau Buru. Saya

mempunyai banyak kawan dekat atau sahabat kental di berbagai kalangan, sebelum terjadinya

peristiwa 30 September itu. Karena saya waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Harian Ekonomi

Nasional di Jakarta, merangkap Bendahara di PWI Pusat dan juga bendahara Persatuan

Wartawan Asia-Afrika. Saya juga dipilih sebagai bendahara KIAPMA, Konferensi Internasional

Anti Pangkalan Militer Asing, yang diadakan di Jakarta dan dibuka oleh Presiden Sukarno di

Hotel Indonesia.

Karena saya bekerja sebagai wartawan di Jakarta, maka saya mempunyai banyak kenalan, sahabat

dan kawan terdekat di kalangan pemerintahan, partai politik, organisasi massa di tingkat nasional.

Di antara mereka itu banyak yang ditangkapi, dipenjarakan, bahkan banyak yang dibunuh, tanpa

diketahui liang kuburnya. Kenalan, sahabat dan kawan saya itu adalah teman-teman seperjuangan

saya dalam mendukung berbagai politik dan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno.

Saya masih ingat bahwa sebagian terbesar di antara mereka kebanyakan adalah pemimpin atau

tokoh-tokoh atau aktivis-aktivis terkemuka di bidang mereka masing-masing. Mereka ditangkapi

atau dibunuh karena menjadi anggota PKI, atau simpatisan PKI, atau pendukung Bung Karno. Jadi,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

285 | P a g e

mereka dianggap musuh oleh Suharto karena berhaluan kiri, menyokong ajaran-ajaran

revolusioner Bung Karno yang pada pokoknya anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme

dan pro-sosialisme.

Saya sedih kalau mengingat mereka, karena mereka pada umumnya orang-orang yang mau

berjuang secara tulus untuk kepentingan rakyat banyak, terutama rakyat miskin. Mereka pada

umumnya adalah orang-orang yang jujur, tidak korupsi, mau bekerja keras untuk kepentingan

rakyat, dan menyokong Bung Karno. Orang-orang macam ini sekarang ini sulit sekali ditemukan.

Jika memperhatikan perkembangan situasi di tanah air akhir-akhir ini, dengan begitu banyak

persoalan seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya, bagaimana pendapat anda sebagai orang

berdarah Indonesia?

Terus terang, saya sangat prihatin bahwa situasi negara dan bangsa kita dewasa ini makin

menjauh sekali dari tujuan proklamasi 17 Agustus 45. Kebobrokan, kerusakan, kebejatan moral

kelihatan makin menyeluruh di tubuh bangsa, terutama sekali di kalangan atasan, baik di bidang

eksekutif, legislatif, maupun judikatif, dan juga di kalangan masyarakat dan kalangan swasta.

Rejim militer Orde Baru di bawah Suharto sudah membikin kerusakan-kerusakan besar sekali di

bidang jiwa bangsa, dengan memalsu Pancasila, melecehkan Bhinneka Tunggal Ika, merusak

persatuan bangsa dengan Ketetapan MPRS no 25/1966 yang melarang kegiatan PKI beserta

ormas-ormasnya, dan dengan memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno.

Kerusakan jiwa bangsa yang dibikin Suharto dan para jenderalnya ini merupakan sumber utama

dari berbagai macam kerusakan-kerusakan lainnya, yang berbagai hasilnya kita saksikan dewasa

ini, antara lain dengan meluasnya pertentangan atau permusuhan antar agama, kerusuhan antar-

etnik. Ini adalah pengkhianatan kepada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Situasi negara dan bangsa kita yang seperti dewasa ini pastilah tidak diinginkan oleh para pejuang

untuk kemerdekaan, baik yang sudah dibuang ke kamp pengasingan di Boven Digul, yang ikut dalam

pembrontakan melawan penjajahan Belanda dalam tahun 1926, maupun yang ikut berjuang selama

masa revolusi Agustus 1945.

Negara kita yang kaya raya dengan sumber alam, dewasa ini dihuni oleh rakyat yang sebagian

terbesar adalah rakyat miskin, dan dikuras terus oleh modal raksasa asing dalam sistem neo-

liberal yang dianut oleh pemerintahan SBY.

Sebagai orang yang pernah hidup di jaman Bung Karno, apa perbandingan paling penting dengan

jaman sekarang ini?

Sebagai orang yang pernah hidup di jaman Bung Karno, saya melihat banyak sekali perbedaan

antara jaman itu dengan jaman Suharto dan jaman pemerintahan-pemerintahan sesudahnya,

sampai dengan pemerintahan SBY sekarang. Perbandingan antara jaman Bung Karno dengan jaman

Suharto adalah seperti siang dan malam.

Jaman Bung Karno adalah jaman « revolusi rakyat belum selesai » di bawah pimpinannya

berdasarkan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, antara lain Manifesto Politik (Manipol),

Nasakom, Trisaksi, Panca Azimat Revolusi, TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso), yang semuanya

berjiwa persatuan bangsa, anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme. Bahkan, Bung

Karno juga menganjurkan perjuangan untuk sosialisme di Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

286 | P a g e

Sedangkan jaman Suhato adalah kebalikannya sama sekali ( atau bertolak belakang), yang

sebagian terbesar masih diteruskan sampai sekarang. Jaman Suharto adalah jaman kontra-

revolusi, yang melawan seluruh ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, bersekongkol dengan

imperialisme, menentang sosialisme, anti-demokrasi, dan yang sekaligus juga korup, penuh KKN

dan pelanggaran HAM berat dan besar.

Kalau jaman Bung Karno terkenal dengan politiknya yang tercakup di dalam Trisakti (bebas-aktif

dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan), maka jaman Suharto

yang dilanjutkan oleh berbagai pemerintahan sesudahnya, termasuk pemerintahan SBY sekarang,

adalah juga kebalikannya.

Negara Republik Indonesia sekarang ini tidak berdaulat penuh dalam politik, sehingga terasa

lemah menghadapi Malaysia dan tekanan-tekanan kekuatan bangsa-bangsa lain, termasuk dalam

masalah-masalah ekonomi. Dalam bidang ekonomi negara kita berada DALAM cengkeraman modal-

modal raksasa asing, sehingga praktis Indonesia menjadi negara jajahan kembali.

Apa pesan anda terhadap rakyat Indonesia saat ini?

Saya tidak berani memberi pesan apa-apa kepada rakyat Indonesia, selain menganjurkan seluruh

bangsa untuk mendengarkan (dan melaksanakan) pesan Bung Karno yang terdapat dalam berbagai

macam ajaran-ajaran revolusionernya. Jiwa atau sari-pati ajaran-ajaran revolusionernya untuk

meneruskan revolusi yang belum selesai, revolusi untuk menjebol dan membangun, adalah justru

masih relevan sekali untuk menghadapi berbagai masalah besar bangsa kita sekarang.

Sari pati atau jiwa ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno untuk terus-menerus melanjutan

revolusi sama sekali bukanlah suatu anjuran yang sudah kedaluwarsa, atau suatu slogan yang hanya

bagus dan cocok untuk masa lalu, melainkan suatu jalan yang perlu ditempuh oleh rakyat dalam

menghadapi persoalan-persoalan parah dewasa ini, termasuk menghadapi neo-liberalisme.

Seperti sudah ditunjukkan oleh pengalaman berpuluh-puluh tahun sesudah berdirinya Orde Baru

sampai sekarang, jalan lain menuju masyarakat adil dan makmur tidak ada, kecuali jalan ajaran-

ajaran revolusioner Bung Karno » (Selesai)

Wawancara dengan Ibu Rusiyati

Ketika beliau berusia 76 Tahun

Pada tanggal 15 dan 16 November 1998 di Belanda

Oleh Kerry Brogan

Disunting oleh MiRa

Ibu Rusiyati, lahir tahun 1922, adalah salah satu bekas Tahanan Politik yang pernah bekerja

sebagai wartawan sejak tahun 1954 di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN), The National

News Agency ‗ANTARA‘, Jakarta. Ketika terjadi peristiwa G30S tahun 1965, beliau ditangkap

dari tempat kerjanya dan dipenjara selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Sejak saat itu Ibu

Rusiyati dipisahkan dari enam anaknya, dimana anak tertua, perempuan, baru berusia 15 tahun dan

anak bungsunya berumur 5 bulan.

Di waktu yang sama, suaminya sedang berada di China dalam rangka kunjungan resmi menghadiri

ulang tahun kemerdekaan Republik Rakyat China. Kehadiran kunjungannya di China mewakili

‗Generasi Angkatan 1945′ dari delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh ketua MPRS Chaerul Saleh

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

287 | P a g e

(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Sejak saat itu suaminya tidak dapat kembali ke

tanah airnya, di pengasingan sampai akhir hidupnya dala usia 67 tahun (1986).

Kisah Hidup Ibu Rusiyati

Saya ditangkap oleh militer pada hari jum‘at, tanggal 15 oktober 1965, di Kantor Pusat Berita

‗ANTARA‘. Saya masih ingat waktu itu tanggal satu Oktober 1965 siang hari, kantor kami dan

beberapa kantor berita harian ibukota lainnya sudah kena pelarangan terbit oleh KODAM V

JAYA. Sedangkan bulletin ANTARA terbitan siang hari ketika itu sudah memuat berita mengenai

GESTOK (Gerakan Satu Oktober). Bulletin ANTARA merupakan pusat sumber berita nasional di

Indonesia yang terbit dua kali sehari, yaitu pagi dan siang hari.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, malamnya pelarangan terbit berlaku untuk semua koran harian yang

terbit di Ibu Kota, kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang memang diterbitkan

oleh pihak militer. Harian Kompas misalnya telah siap cetak malam itu terpaksa membatalkan

penerbitan dan baru boleh muncul kembali tanggal 6 Oktober 1965.

Surat Perintah Pangdam VI/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan oleh Mayjen Umar

Wirahadikusumah berbunyi, ‖Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang siur mengenai

peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan

Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan‖.

Surat perintah itu ditujukan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jaya untuk 1) Segera

menguasai semua perusahaan percetakan, 2) Melarang setiap penerbitan jang berupa apa pun

tanpa izin Pepelrada Jaja c.q. Pangdak VII/Jaya, 3) Khusus terhadap percetakan ‖Berita Yudha‖

yang terletak di Gang Gelap Kota dan Percetakan Harian ‖Angkatan Bersenjata‖ di Petojo supaja

diadakan pengamanan physik (pos penjagaan) untuk dapatnya percetakan tersebut berjalan

lancar.‖

Larangan terbit semua koran itu, meskipun hanya diberlakukan selama lima hari, sangat

menentukan karena informasi ketika itu dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Apa yang

diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta

dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut telah memberitakan proses

kejadian harus disesuaikan dengan sumber informasi yang berpihak pada militer Angkatan Darat .

Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip

pemberitaan sesuai keinginan pemerintah/pihak keamanan.

Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer

tersebut, Berita Yudha Minggu 11 Oktober 1965 memberitakan bahwa tubuh para jenderal itu

telah dirusak, ‖Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka‖. Sementara

itu, sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para

Jenderal itu. Padahal menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan

luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya. Saskia Wieringa

mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan kampanye sadis sejenis

ini secara teratur sampai bulan Desember 1965.

Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat dan

akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota

PKI.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

288 | P a g e

Sejak pelarangan terbit diberlakukan para pegawai dari bagian redaksi maupun bagian

administrasi setiap harinya tetap masuk kantor, begitupun dengan saya. Kehadiran kami di kantor

dengan maksud tetap siap untuk segera menerbitkan bulletin bilamana pelarangan terbit dicabut

kembali.

Tanggal 8 oktober kantor kami didatangi oleh Letnan Kolonel (LetKol) Noor Nasution dari

Palembang. Dia menyatakan bahwa kedatangannya atas tugas untuk memimpin Pusat Kantor

Berita ANTARA. Kami sangat heran terhadap penugasan dirinya sebagai pemimpin kami. Dan sejak

sa‘at itu Pusat Berita ANTARA dibawah pimpinan seorang militer.

Tanggal 11 oktober bulletin ANTARA terbit kembali. Waktu itu saya sebenarnya masih menjabat

wakil ketua Desk Dalam Negeri tapi dalam proses penerbitan bulletin tidak dilibatkan. Biar

bagaimanapun saya setiap harinya tetap masuk kantor.

Tanggal 15 oktober gedung kantor ANTARA dikepung oleh pasukan militer dari Komando Daerah

Militer jakarta, disingkat KODAM Jaya. 26 pegawai kantor ditangkap dengan cara satu persatu

dipanggil namanya untuk berkumpul di ruang redaksi. Mereka yang dipanggil untuk ditangkap, yaitu

pimpinan umum redaksi bernama Soeroto serta lainnya yang menduduki posisi ketua dan wakil

ketua dari redaksi afdeling Desk Dalam Negeri, Ekonomi, Luar negeri maupun Newsagency.

Disamping itu ada satu orang dari bagian administrasi, berfungsi sebagai ketua bagian ketik,

bernama Tini juga diikut sertakan. Dari mereka ternyata hanya dua perempuan, yaitu saya dan

Tini yang tertangkap. Saya dengar bahwa tanggal 14 november masih dilakukan pembersihan lagi

dibagian Afdeling Luar Negeri dengan 14 orang menjadi korban penangkapan.

Siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kompleks KODAM V Jaya . Sesampainya

di kompleks tersebut kami disuruh turun dari mobil untuk berjalan menuju ke salah satu gedung

bernama Penyelidikan Khusus (LIDIKUS).

KANTOR CORPS POLISI MILITER (CPM)

Keesokan pagi harinya, 16/10/1965, kami dipanggil oleh pimpinan LIDIKUS, Letnan Adil, untuk

berkumpul di ruangan besar. Dikatakannya bahwa tempat gedung LIDIKUS kurang memadai buat

kami dan untuk itu akan dipindahkan ke tempat yang lebih baik. Dia tidak menyebutkan nama

tempatnya tapi ternyata pada siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kantor

Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan Guntur. Sesampainya di CPM-Gundur segera diadakan

pemeriksaan barang-barang yang kami bawa. Pada waktu itu saya hanya membawa tas berisi kartu

pers, kartu izin masuk istana, surat undangan untuk pertemuan ‗Angkatan 45′ dan uang. Tas

beserta isinya dan jam tangan yang saya pakai disita. Saya dan Tini dipisahkan dari rombongan

laki-laki kemudian disuruh berjalan menuju ruangan gang panjang, corridor, yang lebarnya kurang

lebih 2 meter. Didalam corridor tersebut ada 2 meja dan 2 kursi.

Pada tengah malam ketika saya dan Tini sedang tidur nyenyak di atas meja, saya dibangunkan oleh

seorang berpakaian militer. Saya dibawa melalui corridor menuju ke ruangan lain. Ruangannya

besar dan disitu sudah ada 3 orang berpakaian militer sedang di interogasi oleh satu orang

militer. Mereka duduk di barisan belakang, sementara itu saya disuruh duduk di barisan paling

depan supaya berjauhan dengan 3 orang tersebut.

Dalam proses interogasi, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus mengenai suami saya.

Saya menjawab bahwa suami saya sa‘at ini berada di RRT dalam rangka kunjungan resmi sebagai

wakil generasi Angkatan ‗45 bersama delegasi MPRS, pimpinan Chaerul Saleh. Disamping itu suami

saya juga anggota SOBSI (Sentral Organisasi Seluruh Indonesia). Dalam interogasi dia tidak

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

289 | P a g e

mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan fungsi kerja saya di ANTARA. Bahkan juga

tidak menyinggung masalah penerbitan bulletin terbitan 1Oktober - siang hari, yang memuat

berita mengenai peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober). Setelah melalui proses interogasi

cukup lama, lantas saya dikembalikan ke tempat semula. Sementara itu Tini kelihatannya sudah

tidur nyenyak sedangkan perasaan dan pikiranku hanya terpancang pada anak-anakku karena tidak

mengetahui keberadaan saya. Saya berusaha untuk bisa tidur tapi kekhawatiran terhadap anak

bungsuku yang masih membutuhkan ASI (Air Susu Ibu) sangat saya rasakan.

Keesokan pagi harinya saya dan Tini dipanggil untuk kembali ke tempat ruangan dimana kami

kemarin harinya diterima. Kami berdua disuruh duduk dan tidak lama kemudian rombongan laki-

laki datang dari arah ruangan lain memasuki ruangan dimana kami sedang duduk. Lantas mereka

disuruh duduk diatas lantai dengan masing-masing kedua tangannya ditaruh dibelakang kepala.

Saya sangat kaget dan cemas karena para militer tersebut memperlakukan mereka kasar bahkan

bajunya pun sudah penuh dengan lumuran darah dan juga tidak bersepatu. Mereka menceritakan

pengalamannya bahwa malam harinya ketika mereka sedang tidur nyenyak tiba-tiba masuk

sekelompok orang berpakaian hitam secara mendadak dan langsung memukuli serta menyiksanya

sambil berteriak-teriak ―Komunis‖.

Kompleks KODAM V Jaya (17 oktober - Desember 1965)

A. Gedung LIDIKUS - kompleks KODAM V Jaya

Dari kantor CPM-Guntur ternyata kami dibawa kembali ke Kompleks KODAM V Jaya untuk

langsung menuju ke gedung LIDIKUS. Kami dipisahkan dari rombongan rekan laki-laki

kemudian dibawa kembali menuju kamar, dengan ukuran 4X5 meter, yang sebelumnya pernah

kami tiduri. Kami tidur di atas lantai dengan dilapisi tikar. Saya tidak tahu lagi sudah berapa

lama kami terisolasi dalam gedung tersebut tapi yang jelas setiap malam saya selalu

terbangun dari tidur karena mendengar serombongan orang diturunkan dari mobil truk

dengan disertai teriakan dan jeritan.

Setiap harinya kami diijinkan untuk pergi ke kamar kecil. Suatu kali ketika saya jalan menuju

kamar kecil, saya berpapasan dengan salah seorang laki-laki berbaju putih. Lantas saya

bertanya, ―anda dari mana?‖ Dia menjawab bahwa dia ditangkap dari stasion Kereta Api

Gambir. Dengan begitu saya menjadi punya kesimpulan bahwa setiap hari selalu ada razzia

atau pengontrolan serta penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai bahkan dianggap

orang komunis.

Disamping itu kami juga mendapat jatah makan satu kali sehari tapi makanannya hanya bisa

diambil di ruangan lain dan tentunya ini juga berlaku untuk para penghuni lainnya. Setiap

kami pergi untuk mengambil makanan, itu sangat dirasakan sekali kalau penghuni gedung

LIDIKUS semakin hari bertambah dan anehnya penghuni yang perempuan hanya tetap kami

berdua.

B. Gedung kedua - kompleks KODAM V Jaya

Suatu kali kami berdua dipindah ke gedung lain tapi masih tetap didalam kompleks KODAM V

Jaya. Mengenai rekan laki-laki lainnya, kami sudah tidak tau lagi nasibnya. Gedung yang kami

tuju sangat mendapat penjagaan ketat dan bersenjata. Ketika kami memasuki ruangan,

ternyata disitu sudah ada tawanan para pimpinan perempuan, antara lain ketua umum

GERWANI; Umi Sardjono, pimpinan pusat BTI (Barisan Tani Indonesia); Dahliar dan tiga

anggota perempuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti Mudikdio, Salawati Daud dan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

290 | P a g e

Kartinah. Ke 5 tokoh perempuan tersebut ditangkap ketika Konferensi Internasional Anti

Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) sedang berlangsung, yang diadakan di Senayan tanggal 17

Oktober 1965. Masih ada seorang perempuan lain dimana sebelumnya tidak pernah saya

kenal. Kelakuannya agak aneh karena setiap malam hari berteriak-teriak dan siang harinya

ngomong tidak karuan bahkan terkadang tertawa sendiri tanpa sebab.

Kami tidur dengan menggunakan veldbed (Fielbed). Sore harinya ruangan kami dikunjungi oleh

seorang Letnan. Dia mendatangi saya dan mengatakan bahwa Kolonel Latief juga berada

dalam gedung yang sama tapi diruangan lain. Kolonel Latief adalah tokoh dituduh sebagai

salah satu dalang gerakan 30 September. Ketika itu saya tidak menanggapi secara serius

karena pikiran dan perasaan saya tetap pada keluargaku. Untuk itu saya coba memberanikan

diri minta tolong supaya diberitahukan ke keluarga mengenai keberadaan saya. Ternyata dia

menyanggupinya bahkan juga menawarkan kami semua untuk bisa dibawakan keperluan lainnya

dari rumah. Kami semua menanggapi dengan senang hati dan tentunya pesananku yang utama

sikat gigi, odol, handuk, pakaian, sisir rambut, sabun cuci dan sabun mandi. Begitu pula dengan

pesanan Ibu-ibu lainnya. Misalnya Ibu Salawati Daud memesan supaya gigi palsunya jangan

lupa dibawakan.

Keesokan harinya Letnan yang baik itu datang keruangan kami dengan membawa pesanan

keperluan kami. Pada suatu hari perempuan yang bersikap aneh itu diambil dari ruangan kami

untuk selanjutnya kami tidak mengetahui nasibnya.

Sekitar 3 hari kemudian, saya dan Tini dibawa kembali menuju gedung LIDIKUS. Lima Ibu-

ibu lainnya juga diikut sertakan bersama kami. Pada waktu yang sama saya mendapat surat

pemecatan sebagai pegawai ANTARA dan juga dicantumkan pernyataan tidak berhak

menerima tunjangan hari tua.

Bukit Duri- Desember 1965

A. Penjara Narapidana G30S sampai TAPOL G30S

Bulan desember 1965 saya, Tini dan 5 ibu-ibu lainnya dipindahkan ke penjara Bukit Duri,

yang letaknya di Kampung Melayu. Dengan pemindahan ini saya merasa bahwa penahanan

terhadap kami akan berlangsung lama. Ibu Umi Sardjono, sebelum pemindahan, telah

mengajukan permohonan kepada komandan LIDIKUS Letnan Adil agar kami di Bukit Duri

diperkenankan untuk dijenguk oleh keluarga.

Penjara Bukit Duri adalah penjara berdinding beton bekas peninggalan kolonial Belanda tapi

sejak terjadi G30S dipakai selain sebagai tempat penjara perempuan narapidana kriminal

juga untuk tempat tahanan politik - perempuan disebut Narapidana G30S.

Untuk memasuki ruangan ―Narapidana G30S‖ harus melalui beberapa pintu lapisan. Lapisan

pintu pertama dan ke dua terbuat dari besi baja dan kayu tebal. Pintu ke tiga terbuat dari

kawat besi dan pintu ke empat merupakan pintu terakhir terbuat dari jeruji besi dan baja

tebal.

Sesampainya kami diruangan ―Narapidana G30S‖, saya merasakan hirupan udara kotor,

lembab dan berbau sangat tidak enak. Penghuninya kebanyakan anak-anak perempuan

berumur antara 14 - 16 tahun. Yang termuda dipanggil gendut, karena badannya gemuk

sedangkan nama sebenarnya Sukiyah. Anak berumur 14 tahun itu mengerti politik apa?

Sepengetahuan saya mereka itu ditangkap di Lubang Buaya kemudian dibawa ke CPM atau

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

291 | P a g e

rumah tahanan militer lainnya. Setelah itu mereka dibawa ke penjara Bukit Duri. Tidak lama

kemudian ruangan ―Narapidana G30S‖ namanya dirubah menjadi ruangan golongan TAPOL

G30S. Ruangan kami memang terpisah dari golongan ―Narapidana Kriminal‖.

Para penjaga penjara kelihatannya berasal dari Corps Polisi Militer (CPM). Jadi kesimpulan

ku bahwa masalah penjara dibawah komando langsung dari militer KODAM V Jaya. Hanya

mengenai urusan makanan ditangani oleh pengurus staf penjara Bukit Duri. Makanan yang

kami dapat setiap harinya, yaitu nasi dengan sayur tapi kuahnya berwarna hitam.

Kami ditempatkan di sel-kamar dengan berukuran berbeda. Saya sendiri tidur di sel-kamar

yang letaknya di pintu masuk untuk menuju ke sel-sel kamar lainnya. Sel-kamar tersebut

berdinding beton, ukurannya 2X1,5 meter dimana pintu masuknya ada lobang karena

berfungsi sebagai tempat untuk menyampaikan sepiring nasi dan semangkok sayur. Tempat

tidurnya terbuat dari beton dan hanya dilapisi tikar. Sel-kamarnya sangat lembab dan

dingin karena tidak ada ventilasi. Memang didalam sel-kamar tersebut ada jendela kecil

dari kaca yang letaknya diatas tempat tidur-beton, tapi berfungsi hanya untuk sedikit

dapet penerangan dari luar. Jadi dengan kondisi sel-kamar seperti itu mengakibatkan

kondisi kesehatan saya tidak bagus, seperti penyakit reumatik dan sesak nafas.

B. Kehidupan di penjara Bukit Duri

Suasana awal kedatangan kami di penjara Bukit Duri terasa sangat tegang. Beberapa dari

para penghuni anak-anak terkadang berteriak-teriak, bicara sendirian atau menangis yang

menyayat hati saya. Memang kami semua mengalami nasib sama karena setiap hari sel-

kamar selalu dalam keadan terkunci. Kami hanya diperkenankan dua kali sehari untuk pergi

ke kamar mandi atau ke kamar kecil. Itupun dilakukan dengan cara berkelompok pada pagi

dan sore hari.

Awal tahun 1967 saya didatangi ibu Polwan (Polisi wanita) dan memberitahukan bahwa ibu

saya pernah datang ke penjara dengan tujuan untuk minta ketemu dengan saya tapi dia

tidak di ijinkan untuk bertemu. Ibu berpesan supaya saya tidak usah mengkhawatirkan

keadaan anak-anakku karena beliaulah yang mengurusnya dengan didampingi seorang

pembantu yang setia. Setelah mendengar pesan tersebut, saya menjadi terharu serta

mengucapkan banyak terima kasih kepada ibuku. Tidak berapa lama kemudian saya

diperkenankan untuk menerima makanan dari keluarga, itu terjadi untuk setiap satu bulan

sekali, dan kiriman makanan tersebut datangnya dari ibuku.

Akhir tahun 1967 untuk pertama kali saya diperkenankan bertemu dengan keluarga. Pada

sa‘at itu saya sangat gembira bisa bertemu dengan ibu dan anak-anakku. Dengan rasa

gembira saya berjalan dari sel-kamar menuju ruangan pertemuan. Dari kejauhan saya

melihat ibu sedang menggendong anak bungsuku yang sudah berusia 2 tahun. Sesampainya di

ruang pertemuan saya mencoba untuk memeluk anak bungsuku tapi saya hanya bisa

merasakan sentuhan jari tangannya yang halus dan mungil. Keinginan untuk memeluk serta

mencium pipinya yang lembut tidak dapat kurasakan karena dibatasi oleh jeruji besi. Biar

bagaimanapun hati saya tetap senang walaupun kesempatan pertemuan hanya diperbolehkan

berlangsung sampai 10 menit. Sejak sa‘at itu pertemuan saya dengan keluarga dilakukan 1

kali sebulan.

Karena sel-kamar saya letaknya persis dipintu masuk untuk ke sel-kamar lainnya, jadi saya

sering melihat melalui lobang pintu orang yang keluar dan masuk blok sel-kamar tersebut.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

292 | P a g e

Dengan begitu saya mengikuti proses penambahan penghuni penjara dan ternyata

kebanyakan mereka pindahan dari berbagai rumah tahanan militer lainnya, misalnya Ibu

Suwardiningsih pindahan dari Palembang, Ibu Sundari pindahan dari Bengkulu. Ibu-ibu

pendatang baru itu mengalami isolasi ketat dan ditempatkan di blok baru bernama blok A.

Setelah itu saya baru mengerti bahwa TAPOL G30S terbagi atas 3 bagian, yaitu blok

kategori A sampai kategori C. Blok kategori A dilihat sebagai kategori berat dan tempatnya

terpisah dengan blok kategori lainnya. Pemisahan tersebut dilapisi dengan kayu tebal.

Penghuni blok kategori A antara lain, Dokter Sumiarsih dikenal sebagai dokter yang ramah

dan baik karena suka menolong orang-orang sakit, Sri Ambar, Dr Sutanti Aidit dan ny.

Nyoto.

Pertengahan tahun 1970 Carmel Budiardjo, orang Inggris, masuk di penjara Bukit Duri.

Saya sangat kaget dan marah karena kenapa perempuan asing juga ditangkap dan dimasukan

ke penjara? Sebelum peristiwa G30S saya sering melihat Carmel di Deparlu (Departemen

Luar Negri). Ketika itu saya bekerja di ANTARA.

C. Perubahan dalam penjara

Proses perjalanan kehidupan saya dipenjara tidak bisa ku hitung dengan cara penghitungan

hari, bulan dan tahun tapi suasana kehidupannya tetap kami alami dengan melalui proses

perubahan. Militer dari KODAM V Jaya yang mengontrol dan mengurus kami pada akhirnya

mempunyai ruangan kantor tersendiri. Untuk itu golongan TAPOL mempunyai Komandan Blok

yang disingkat DANBLOK. Kantor DANBLOK berfungsi sebagai penghubung antara TAPOL

dengan penguasa militer di penjara. Tujuan pokoknya ialah untuk mengontrol dan

melaporkan kepada pihak yang berwajib bilamana TAPOL dalam keadaan sakit keras atau

kecelakaan. Sebelumnya memang selalu ada pengawasan dua orang perempuan dari

kepolisian tapi pengawasan tersebut tidak bisa dilakukan pada malam hari.

Disamping itu peranan DANBLOK juga dibutuhkan untuk penanganan secara langsung dari

militer dalam urusan makanan. Misalnya diadakan pembagian kerja secara bergantian untuk

memasak sedangkan para penjaga militer bertugas untuk belanja ke pasar. Kemudian hari

beberapa TAPOL secara bergantian pernah mendapat kepercayaan untuk pergi belanja

dengan didampingi pengawalan militer.

Pembiayaan kebutuhan hidup di penjara sebagian didapat dari hasil penjualan barang-barang

kerajinan tangan menyulam. Sulaman yang kami buat, seperti taplak meja lengkap dengan

serbetnya, seprei beserta sarung bantalnya, saputangan dan pakaian dengan motief bagus

dan indah. Sementara itu pegawai penjara menjualkannya ke luar penjara lalu hasil dari

penjualan dibelikan bahan-bahan baru keperluan kerajinan tangan dan bahan makanan

sebagai penambah gizi supaya bertahan hidup sehat.

D. Pengontrolan dan interogasi

Kehidupan didalam penjara tidak lepas dari pengontrolan ketat dan interogasi. Pengontrolan

dilakukan oleh satuan militer angkatan darat dalam jumlah banyak, yang datang dari luar

penjara. Mereka menginstruksi para TAPOL keluar dari sel-kamar masing-masing untuk

berbaris dan kemudian disuruh berhitung. Sementara itu sebagian dari rombongan kesatuan

militer lainnya masuk ke dalam tiap sel-kamar dan memeriksa semua isi dalam sel-kamar

tersebut. Suatu kali mereka menemui kertas-kertas tua didalam buku agama. Memang

kehidupan kami dipenjara tanpa secarik kertas, bolpoin ataupun alat tulis lainnya. Buku

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

293 | P a g e

bacaan yang diperbolehkan hanya terbatas pada buku-buku agama. Karena saya beragama

islam maka buku bacaan kitab Al qur‘an. Pengontrolan dilakukan cukup sering jadi didalam

penjarapun masih ada penggeledahan.

Interogasi dilakukan dengan cara satu persatu dipanggil untuk menghadap. Biasanya

dilakukan pada malam hari sewaktu kami sedang tidur nyenyak. Dalam interogasi pertama

terhadap saya ditangani oleh seorang kapten dari Angkatan Darat. Pertanyaan pertama

yang diajukan a.l. ‖ Apakah anda sudah mengetahui bahwa anda termasuk golongan A?‖

Lantas saya menjawab: ‖ Saya belum mengetahui hal itu, lagi pula saya belum mengerti

mengenai pembedaan kategori antara golongan A, B dan seterusnya.‖ Rupanya pertanyaan

saya dianggap sebagai pertanyaan lucu lalu dia menerangkan bahwa golongan A termasuk

kategori berat untuk dihadapkan ke proses pengadilan dengan vonis hukuman seumur hidup

atau hukuman mati, sedangkan golongan C termasuk kategori paling ringan serta tidak perlu

melalui proses pengadilan. Selanjutnya saya bertanya kembali mengenai diri saya yang

termasuk kategori berat dengan golongan A. Penjelasannya adalah bahwa D.P Karim (Ketua

PWI Pusat, Persatuan Wartawan Indonesia) juga termasuk kategori berat dengan golongan

A. Lantas saya menjelaskan mengenai diri saya yang bekerja sebagai wartawan di ANTARA

serta hubungannya dengan PWI sebagai organisasi Persatuan Wartawan yang berfungsi

melindungi hak kerja wartawan. Untuk itu bagi orang bekerja sebagai wartawan dengan

sendirinya ingin juga menjadi anggota PWI. Jadi saya di PWI hanya sebagai anggota biasa

karena status pekerjaan saya sebagai wartawan dengan demikian hubungannya dengan

pekerjaan dalam organisasi persatuan Wartawan sama sekali tidak ada. Kemudian Bapak

kapten menyatakan bahwa saya memang tergolong dalam kategori B dan kedatangannya

khusus untuk mengecek segala sesuatu yang diperlukan.

Interogasi ke dua saya berhadapan dengan seorang Letnan dari ALRI (Angkatan Laut

Republik Indonesia). Rupanya dia pernah juga menginterogasi saya sewaktu saya masih

berada di LIDIKUS. Setelah interogasi kedua, saya tidak tahu lagi sampai berapa kali saya

musti berhadapan dengan Letnan tersebut dan yang jelas prosesnya cukup lama serta

pertanyaannyapun sangat teliti. Tini juga untuk beberapa kali di interogasi tapi ditangani

oleh militer dari Angkatan Darat. Berapa lama kemudian Tini dibebaskan karena ternyata

yang dicari bukannya dia yaitu seorang gadis lain bernama Hartinah bekerja sebagai

sekretaris Direksi.

Sekitar tahun 1966 saya dipanggil kembali untuk datang keruang interogasi. Kali ini saya

tidak berhadapan dengan Letnan-ALRI melainkan dengan beberapa ibu-ibu cantik

berpakaian bagus, kemudian saya dipersilahkan untuk duduk. Dengan ramah mereka secara

bergantian mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dikemudian hari saya dengar bahwa mereka

itu adalah para ahli Psychology yang bekerja men-screaning para TAPOL untuk menilai

sampai seberapa jauh tahanan politik kena pengaruh ideologi Komunis.

E. Golongan C dan keputusan mendadak

Masa interogasi saya rupanya sudah selesai sama sekali karena menurut petugas militer

saya termasuk kategori golongan C dan diberitakan bahwa tidak lama lagi akan dibebaskan.

Akhir tahun 1968 suasana penjara Bukit Duri mengalami ketegangan dan sebab dari

perubahan suasana tersebut tidak saya ketahui secara jelas. Kami mengalami pengontrolan

ketat dan kesempatan secara bergantian untuk pergi belanja ke luar penjara ditiadakan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

294 | P a g e

Pertemuan dengan keluarga untuk sementara tidak diijinkan jadi kami hanya bisa menerima

kiriman makanan dari keluarga.

Sekitar tahun 70 an ada berita lain mengabarkan bahwa TAPOL-laki laki golongan B akan

diberangkatkan ke pulau Buru. Tidak lama kemudian diberitakan kembali bahwa TAPOL-

Perempuan golongan B juga akan diberangkatkan ke Plantungan. Dijelaskan bahwa

Plantungan merupakan tempat di pegunungan, letaknya tidak jauh dari kota Semarang.

Plantungan dinilai sebagai tempat penjara terbuka dan lebih baik dari penjara Bukit Duri.

Sementera itu saya tetap sibuk mempersiapkan diri untuk menunggu waktu pembebasan

saya. Biarpun suasana ketegangan dalam penjara masih belum pulih tapi saya tetap coba

untuk mempunyai rasa kegembiraan serta pengharapan besar untuk bisa berkumpul kembali

bersama anak-anakku.

Suatu kali kami dikunjungi oleh komandan dari penjara Salemba. Saya mempertanyakan diri

mengenai kedatangan komandan tersebut ke penjara Bukit Duri. Tidak berapa lama

kemudian keputusan untuk diberangkatkan ke Plantungan tiba waktunya. Ternyata saya

beserta 2 orang golongan C lainnya juga diikut sertakan bersama golongan B. Kami

diberangkatkan pada subuh pagi jam 4.

Plantungan periode 1971 – 1975

A. Berkenalan dengan lokasi pengasingan Perjalanan cukup melelahkan, akhirnya kami sampai

juga di Plantungan dimana tempat jaman pendudukan Kolonial Belanda dipakai sebagai

tempat pengasingan orang-orang berpenyakit lepra. Memang letaknya sangat terpencil dan

dikelilingi pegunungan.

Kedatangan kami diterima oleh Komandan Prayogo bersama stafnya di kantor komandan.

Setelah itu kami dibawa ke salah satu tempat tidak berjauhan dengan kantor tersebut.

Kesan pertama ketika kami datang, yaitu udara sejuk bisa memberikan rasa nyaman. Tapi

sa‘at itu perasaan saya hanya tertuju pada anak-anakku yang belum mengetahui keberadaan

ibunya di pengasingan Plantungan. Akhirnya saya merasa lelah dan tertidur pulas.

Esok pagi harinya kami mulai berkenalan dengan lokasi dimana sebelumnya tidak pernah

disentuh oleh kehidupan lingkungan manusia. Kami yang didatangkan dari Jawa tengah dan

Jakarta merupakan rombongan pertama sebagai penghuni lokasi Pelantungan. Memang sejak

berakhirnya penjajahan Belanda lokasi tersebut menjadi tempat penghuni binatang liar

seperti ular berbisa, kelabang dan binatang berbisa lainnya. Dikatakannya bahwa dalam

kompleks Blok sebelum kedatangan kami sudah dibersihkan oleh ahli pengusir ular tapi

ternyata masih ditemukan satu ular. Begitu juga dengan lokasi sekitarnya masih ditemukan

beberapa binatang berbisa lainnya.

B. Kehidupan di pengasingan Plantungan

Kehidupan di pengasingan Plantungan kami diharuskan menggarap tanah untuk menanam

sayuran dan pohon bunga, pekerjaan dalam rumah seperti membersihkan kompleks blok,

kantor komandan dan memasak untuk penghuni Plantungan. Untuk urusan kesehatan

ditangani oleh dokter Sumiarsih dibantu Ibu Ratih. Praktek kerja untuk penanganan

kesehatan tidak hanya terbatas buat penghuni lokasi tapi juga diperbolehkan melayani

penduduk desa sekitar pegunungan. Dokter ramah itu kemudian dikenal dengan sebutan

‗Dokter baik dari kompleks TAPOL‘ dan pasiennya pun banyak. Saya sendiri ditugaskan oleh

komandan Prayogo untuk pemeliharaan Taman Plantungan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

295 | P a g e

Disamping itu kami tetap perlu dan diperbolehkan mencari nafkah dengan membuat

pekerjaan tangan menyulam untuk membeli bahan makanan sebagai tambahan gizi dan

keperluan bahan-bahan pekerjaan tangan menyulam.

Tidak seperti halnya di Penjara Bukit Duri, ternyata tempat pengasingan yang terpencil itu

mendapat perhatian dari Internasional. Suatu kali kami di kunjungi oleh tamu para

wartawan dari Belanda dimana waktu itu sedang mengikuti perjalanan kunjungan Ratu

Juliana dan suaminya dalam kunjungan di Indonesia tahun 1971. Kami diperkenankan untuk

menemui kunjungan para tamu tersebut. Merekapun diperbolehkan untuk mengadakan

‗percakapan secara bebas‘ dengan beberapa TAPOL tapi saya sendiri tidak keluar dari blok

karena saya harus menunggu salah seorang TAPOL dari Jawa Barat, berumur 67 tahun,

yang sedang sakit. Tiba-tiba salah satu dari wartawan Belanda tersebut datang

menghampiri blok kami dan setahu saya dia tidak membawa foto kamera. Lantas kami

terlibat dalam percakapan dengan menggunakan bahasa Belanda. Pembicaraan hanya

mengenai masalah umum karena masing-masing tahu bahwa tidak diperkenankan

membicarakan masalah politik. Dalam percakapan ternyata dia dapat mengenali pengalaman

fungsi pekerjaan saya sebagai wartawan tapi untungnya dia tidak sampai mengetahui latar

belakang pengalaman pekerjaan saya di Surabaya pada zaman penjajahan Belanda sebagai

wartawan ―Soerabaya Handelsblad‖

C. Kunjungan wakil International Red Cross dan pemindahan ke penjara Bulu

Untuk ke dua kalinya penjara pengasingan Plantungan dikunjungi oleh tamu asing dan kali ini

kunjungan dari seorang Dokter sebagai wakil dari International Red Cross. Namanya saya

lupa walaupun pada waktu itu saya diijinkan hadir dalam pertemuan dengannya. Pertemuan

diadakan di ruang tamu-besar, dan yang hadir tidak hanya kami bersama dokter tersebut

tapi juga komandan Mayor Prayogo beserta para petugas lainnya. Selama dalam pertemuan

bapak komandan dan para petugasnya duduk terpisah tapi tidak berjauhan dengan kami.

Sepertinya komandan tersebut memberikan kelonggaran kapada kami yang duduk bergabung

dengan tamunya. Dalam percakapan antara kami diawali dengan pembicaraan secara umum

tapi dia juga menanyakan mengenai beberapa kebutuhan se hari-hari, seperti obat-obatan,

kasur, sendal dan lain-lain yang pernah dikirimkannya. Memang kami menjawab dengan jujur

dan seadanya bahwa kami belum menerima kiriman-kiriman tersebut. Selanjutnya suasana

pertemuan tetap santai dan kadang-kadang kami tertawa sukaria.

Satu hari setelah kunjungan pertemuan, bapak komandan menunjukan sikap tidak senang

terhadap kami bahkan kadang menunjukan sikap marahnya. Kami mulai merasa bahwa hasil

pertemuannya rupanya tidak memberi kepuasan terhadapnya. Tiba tiba dia mengadakan

pengontrolan ke semua blok. Sa‘at beliau mendatangi dokter Sumiarsih, terlihat menunjukan

sikap marahnya. Bapak komandan langsung mengeluarkan peringatan-peringatan keras, serta

menuduh Dokter Sumiarsih memberi pernyataan hal-hal tidak benar kepada tamunya.

Setelah itu kami dipanggil untuk berkumpul di Aula, dan di tempat itu bapak komandan

masih tetap mencurahkan kemarahannya kepada kami. Sekali lagi dengan nada kemarahan-

nya dia menuduh dr. Sumiarsih, dra. Murtiningroem dan saya yang berasal dari Jakarta

sebagai dalang memberi informasi tidak benar kapada wakil International Red Cross.

Selanjutnya dinyatakan bahwa ada keputusan mengenai pemindahan sebanyak 45 orang ke

penjara Bulu-Semarang. Kemudian pemindahan dilakukan pada akhir tahun 1975.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

296 | P a g e

Bulu - Semarang periode 1975 – 1978

A. Serah terima dan isolasi

Suasana dalam perjalanan menuju Semarang agak tegang karena bapak Komandan masih

kelihatan marah, sedangkan kami masih belum ada bayangan maupun gambaran mengenai

nasib yang akan kami hadapi nanti di penjara Bulu-Semarang.

Setibanya di penjara Bulu kami diterima oleh ibu pimpinan penjara, yaitu seorang sarjana

Hukum, yang penampilannya kelihatan anggun. Rombongan kami disambut oleh upacara serah

terima, lalu kemudian dinyatakan oleh komandan Mayor Prayogo bahwa penyerahan

rombongan sebanyak 45 orang tersebut adalah termasuk kategori golongan keras. Setelah

upacara penyerahan selesai, lantas kami digiring ketempat gedung ruangan yang sudah

dipersiapkan.

Saya merasa heran sekali ketika kami berjalan melalui halaman penjara, terlihat pagar

tembok mengelilingi gedung yang akan kami tinggali. Untuk memasuki ruangan besar, kami

berjalan melalui sepasang pintu terbuat dari besi tebal. Perasaan saya sa‘at itu, sepertinya

kami berada di penjara dalam penjara karena gedung yang kami tinggali sebenarnya

terpisah dengan gedung penjara Bulu beserta penghuninya.

Gedung tempat tinggal kami letaknya memang berada dihalaman penjara Bulu, namun masih

ada tiga tembok, yang mengelilingi ruangan tempat kami untuk tidur. Tempat tidurnya

terbuat dari papan dan dilapisi tikar. Hanya pegawai penjara datang mengontrol kami,

selebihnya kami tidak diperbolehkan berhubungan dengan siapapun. Bahkan para petugas

pembina rohanipun (kaum agamawan) tidak datang mengunjungi kami. Saya merasa khawatir

karena ternyata kami dimasukan dalam ruang isolasi. Ketika itu pikiran saya hanya tertuju

pada anak-anakku.

Proses isolasi tidak dapat kuhitung dengan jari karena kami tidak mengetahui lagi

pembedaan antara siang hari dan malam hari. Kamipun tidak diijinkan untuk menerima

maupun mengirim surat kepada siapapun juga. Suatu ketika saya dipanggil untuk menghadap

ibu kepala penjara. Dengan rasa tidak menentu saya berjalan dengan didampingi pengawal.

Ketika saya menemuinya ternyata sikap ibu tersebut baik-baik saja bahkan menunjukan

keramahannya sehingga rasa menjadi tenang kembali. Kemudian dia bilang bahwa ada

kiriman ‗pos-tercatat‘ buat saya, untuk itu saya diminta untuk membubuhi tandatangan.

Saya mengira kiriman pos-tercatat tersebut dari anak-anak saya, tapi ternyata kirimannya

berasal dari Hongkong yang nama pengirimnya saya tidak tahu. Setelah itu saya

berkesimpulan bahwa surat tersebut berasal dari seorang, yang memperhatikan masalah

Hak Azazi Manusia di Indonesia. Tentunya saya juga sangat gembira karena ini menandakan

bahwa keberadaan kami sudah diketahui oleh Internasional. Untuk itu saya sangat senang

serta mengucapkan rasa terimakasih biarpun kiriman pos-tercatat tersebut tidak sempat

sampai ketangan saya.

B. Perubahan dan kunjungan di penjara Bulu

Rupanya cuaca di penjara Bulu sudah mulai terang, ketika para pembina rohani mulai

mengunjungi kami. Setelah itu kami diperbolehkan mengerjakan pekerjaan tangan menyulam

bahkan hasil dari pekerjaan kami bisa di jual ke luar tembok penjara oleh para ibu petugas.

Perubahan di penjara semakin baik setelah beberapa fasilitas seperti penyediaan mesin

jahit untuk bisa kami gunakan.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

297 | P a g e

Disamping itu penjara Bulu di kunjungi tamu dari International Red Cross, kali ini kami

juga di perkenankan untuk menemuinya. Suasana dalam pertemuan ternyata bisa lebih

leluasa begitupun percakapannya dengan dr Sumiarsih. Tidak lama kemudian kami dapat

kunjungan 2 wanita dari KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat) yang pernah bertugas di

Plantungan. Dalam pertemuannya mereka tidak menunjukan sikap marah, sehingga dalam

pertemuannya sangat memberikan perasaan lebih tenang.

Suasana dan kondisi di penjara menjadi lebih baik dengan adanya kunjungan dari kolonel

Taswar Akib. Karena kunjungannya mempunyai tugas untuk menangani dan menyelesaikan

masalah TAPOL golongan B. Beberapa lama kemudian, setelah kolonel tersebut mengunjungi

kami, maka perubahan kehidupan di penjara semakin membaik, seperti kiriman sebuah

televisi. Dengan adanya televisi di penjara, berarti menunjukan adanya perkembangan

menjadi lebih positif, juga dengan begitu kami paling sedikit bisa mendapat gambaran

mengenai kehidupan di luar tembok penjara. Saya ingat betul pada waktu itu tahun 1977.

Akhir tahun 1977 penjara Bulu dikunjungi oleh seorang ibu yang tidak berpakaian militer.

Sa‘at beliau menemui saya sikapnya menunjukan seperti mengenali saya, sedangkan saya

merasa sebelumnya tidak pernah berkenalan dengan ibu tersebut. Beliau mempernalkan diri

sebagai pegawai Departemen Penerangan dan mengatakan bahwa sebelum peristiwa G30S

beliau pernah melihat saya di Istana Merdeka. Lalu saya menjawab: ‗kemungkinan itu benar

karena saya dulu menjabat sebagai wakil kepala Desk Dalam Negeri di Pusat Kantor Berita

Antara, jadi saya punya kartu ijin masuk istana karena sehubungan dengan tugas kerja saya

sebagai wartawan. Kadang saya ke Istana juga sifatnya menggantikan tugas rekan saya,

yang berhalangan dalam menangani berita-berita istana. Disamping itu saya juga ditugaskan

menangani berita luar negeri, untuk itu saya juga setiap hari harus pergi ke Departemen

Luar Negeri.

Dibebaskan

Kunjungan kolonel Taswar Akib ke penjara Bulu dilakukan untuk beberapa kali. Setelah itu kami

merasakan bahwa cuaca dalam penjara semakin cerah dan gembira. Karena tiba sa‘atnya

rombongan pertama dibebaskan untuk kembali kekeluarganya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa

Barat dan Jakarta. Mengenai jumlahnya saya tidak ingat dan yang jelas saya belum termasuk

dalam rombongan tersebut. Biar gimana pun juga, saya sudah merasa gembira karena pembebasan

tersebut berarti akan dilanjutkan dengan pembebasan untuk semua TAPOL.

Tahun 1978, untuk pertama kali saya menghitung masa dikurung dalam penjara. Saya sama sekali

tidak dapat menggambarkan keadaan kehidupan di luar penjara, karena 13 tahun berada di tempat

pengasingan. Tapi pada sa‘at itu hanya sekejap saja diliputi pikiran demikian. Saya dan ibu-ibu

lainnya lebih sering mencurahkan rasa kegembiraan bilamana kami berkumpul kembali dengan

keluarga. Hampir 100% pembicaraan kami mengenai gambaran perkembangan dan perubahan

kehidupan anak-anak kami, umpamanya mengenai anaknya yang sudah menikah sehingga kami bisa

merasakan menggendong cucu pertamanya. Ada pula yang mengira anaknya sudah menyelesaikan

sekolah dan sudah bekerja. Masih banyak lagi bayangan-bayangan yang diperkirakan mengenai

perkembangan anggota keluarganya.

Yang ditunggu-tunggu datang juga! Pembebasan bagi kami semua pada akhirnya diumumkan! Luar

biasa! Lama sudah kami hidup terisolasi dalam penderitaan disatu ruangan dengan ibu-ibu dari

berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta dan juga dari Irian Barat.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

298 | P a g e

Ke Jakarta

Pada hari dan jam yang ditentukan, kami diberangkatkan untuk dibawa menuju ke satu tempat di

Semarang. Saya tidak tahu persis nama tempat tersebut, dugaan saya adalah kantor KODAM -

Semarang. Sesampainya di kantor tersebut langsung diadakan pembagian dalam kelompok. Saya

termasuk dalam kelompok kecil dipisahkan dari rombongan besar. Pada waktu itu saya merasa

betul-betul panik. Beberapa dari kami dipisah sesuai asal dari berbagai daerah, serta dipindahkan

ke suatu ruangan kecil. Hari berikutnya kami masih tetap menghuni tempat ruangan kecil

tersebut. Tidak dapat saya uraikan kegelisahan saya pada waktu itu, karena sebelumnya tidak

pernah ada pemberitahuan maupun penjelasan apapun dari pihak yang berwajib. Hari berikutnya

masing-masing kelompok diberangkatkan dan dikawal untuk dibawa ketempat yang dituju. Saya

termasuk dari kelompok kecil berjumlah 3 orang, yaitu saya dan 2 orang lainnya untuk siap

diberangkatkan. Keberangkatan kami dikawal oleh seorang bapak berpakaian militer menuju ke

Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, kami di jemput oleh seorang militer dengan mobil Jib-Militer kemudian

dibawa menuju gedung KODAM V Jaya. Sesampainya di gedung tersebut, kami diperingatkan

supaya menuggu di mobil, sementara itu bapak militer turun dari mobil, dan tak lama kemudian

kembali sambil memberi tahu pada kami, bahwa akan langsung dibawa ke penjara Salemba.

Rupanya sudah diberitahu sebelumnya karena ketika kami sampai di penjara Salemba, dan turun

dari mobil, lalu kami disambut oleh para Bapak dan Ibu. Disitu sudah tersedia minuman yang

disediakan buat kami. Sementara itu para keluarga sudah hadir karena masing-masing telah

menunggu untuk menjemput kami. Rasa gembira tidak bisa saya lukiskan, yang jelas pertemuan

kami dengan keluarga penuh dengan kehangatan. Pertemuan ini terjadi sekitar bulan agustus 1978.

PULANG

Saya dan anak-anak langsung pulang menuju rumah keluarga di daerah Tebet, yaitu di kompleks

perumahan Wartawan dari usaha PWI, Persatuan Wartawan Indonesia. Memang jauh sebelum

peristiwa G30S daerah Tebet masih berupa daerah perkebunan bebas. Disitu masih banyak pohon

buah-buahan. Waktu itu kami masih tinggal dirumah sewa di daerah Salemba-Jakarta Barat.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, saya melihat ke arah kiri dan ke kanan tapi saya sudah

tidak lagi dapat mengenali sekitar daerah tersebut. Terasa benar betapa lamanya saya telah

meninggalkan Jakarta, karena disamping itu Jakara juga merupakan kota kenangan sangat

berharga buat saya. Terlintas daya ingatanku pada Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik

Indonesia tanggal 17 agustus 1945. Ketika itu saya masih sekolah di salah satu universitas

Jakarta. Terlintas penglihatan ingatanku masih terpaku pada masa lalu, padahal sa‘at itu saya

sedang berada dimasa kini.

Tidak lama kemudian sampailah kami di daerah kompleks perumahan wartawan serta berhenti

dimuka pintu rumah. Begitu masuk rumah saya disambut oleh ibu saya yang usianya sudah senja,

lantas saya memeluknya sambil mengucapkan beribu-ribu terimakasih karena beliaulah yang

selama 13 tahun melindungi dan membesarkan anak-anakku. Begitu pula saya memeluk anak-anakku

dan tanpa terasa airmataku berlinang karena gembira dan terharu. Si bungsu yang ku tinggalkan

13 tahun lalu di usia 5 bulan, sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama). Pertemuan kami

berlangsung dalam suasana akrap dengan tangisan dan tawa karena gembira. Tiba saat makan

bersama sekeluarga dalam suasana penuh cinta kasih. Mulailah masing-masing dari anak-anakku

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

299 | P a g e

menceritakan pengalaman, dan ada pula yang sifatnya bertanya. Malam pertama penuh kenangan

sangat indah, berkumpul kembali dengan keluarga tercinta.

Sekembali saya di rumah memang disambut sangat hangat oleh anak-anak yang telah dewasa. Anak

tertua saya umurnya sudah mencapai 28 tahun, sedangkan ibu saya kelihatan mulai sakitan. Saya

baru menyadarinya bahwa sudah sekian lama kami dipisahkan, dimana dalam proses perpisahan

selama 13 tahun lamanya ternyata anak tertua dipaksakan oleh situasi dan kondisinya untuk

dibebani tanggung jawab besar. Beban berat tidak hanya dipaksa untuk perperan sebagai Ayah

maupun Ibu, tapi pula untuk membiayai hidup keluarga, serta membesarkan adik-adiknya. Ibu saya

dengan setia mendampingi, melindungi dan mendidik anak-anakku. Saya sangat terharu dan bangga

terhadap anak-anak yang pada akhirnya dapat berhasil melindungi, mendidik dan membesarkan

dirinya dalam pendampingan Ibuku.

Di rumah saya mencoba membiasakan diri untuk membaca koran harian yang memakai huruf latin

karena selama di dalam penjara, saya terbiasa membaca huruf Arab. Usaha mengenal anak-

anakku, para tetangga dan lingkungan terdekat berjalan lancar, bahkan dalam waktu singkat saya

sudah ikut serta kegiatan seperti arisan para Ibu-ibu di Kompleks kami. Yang paling terpenting

buat saya ialah secara intensif belajar mengenal anak-anakku yang sudah besar dan mendewasa.

Kartu Penduduk

Esok harinya saya pergi ke KODIM (Komando Disrik Militer) karena sebelumnya telah disarankan

oleh militer dari KODAM-Jakarta untuk mengunjungi Kantor KODIM. Sesampainya saya di

kantor KODIM suasana ruangan sangat sepi; saya satu-satunya tamu ketika itu, dan disitu yang

bertugas hanya seorang Bapak Militer. Sebenarnya saya tidak mengetahui maksud dari kunjungan

wajib saya ke Kantor KODIM karena sebelumya tidak ada penjelasan. Ternyata kedatangan saya

dimaksudkan untuk diberi Kartu Penduduk, yang rupanya segala sesuatunya telah dipersiapkan

terlebih dahulu dan diatur rapi.

Bapak Militer tersebut tidak memerlukan keterangan-keterangan lebih lanjut mengenai diri saya,

maka tidak lama kemudian Kartu Penduduk sudah diberikan kepada saya. Dengan senang hati saya

pulang kerumah, tapi setelah sampai dirumah saya perhatikan kartu penduduk tersebut terlihat

tanda kode dengan huruf ET. Hanya seketika saya kaget dan heran sekali mengenai pencantuman

kode ET, yang adalah singkatan dari Ex- TAPOL. Saya langsung merasa serta berpikir mengenai

status baru saya sebagai seorang warga negara Republik Indonesia, yang mana status sipilnya di

diskriminasi oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini karena pengalaman saya pernah dihukum penjara

selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Tapi setelah itu saya mencoba untuk langsung menutup

pikiran dan perasaan saya, serta melihat kemasa depan, bagaimana pengalaman hidup nantinya

dalam masyarakat bangsa Indonesia periode Orde Baru.

http://sastrapembebasan.wordpress.com/

http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/

Putri Pahlawan Revolusi Bertemu Anak Tokoh PKI

Liputan 6 - Sabtu, 2 Oktober

Liputan6.com, Jakarta: Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2010 menjadi momentum bagi anak-

anak dari tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) bertemu dengan putra-putri para Pahlawan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

300 | P a g e

Revolusi. Mereka bersilaturahmi di Gedung Nusantara V MPR/DPR Jakarta. Putra bungsu mantan

Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra, hadir dalam pertemuan tersebut.

Dengan pertemuan tersebut, mereka berharap konflik masa lalu tak berlanjut di masa mendatang.

Namun, sempat ada keraguan dari panitia untuk bisa mengumpulkan semuanya dalam satu tempat.

Soalnya, pascaperistiwa berdarah 30 September 1965, anak-anak tokoh PKI seperti tak

mendapat tempat di negeri ini.

"Masing-masing penuh tanda tanya yang saya tahu. Di batin kita pun ada tanda tanya. Saya berdoa

tadi malam, semoga semuanya lancar pada hari ini. Tidak ada yang mengganggu," kata Amelia Yani,

putri Ahmad Yani, yang juga menjadi ketua panitia silaturahmi.

Putra tokoh PKI Aidit, Ilham Aidit, berharap mendapat sesuatu yang positif adanya pertemuan

seperti ini. "Acara ini merupakan awal dari semuanya. Kita mulai melakukan silaturahmi, mulai

membuka hati, dan mulai ngobrol. Ini perlu didukung oleh lembaga tinggi negara lainnya," ujar

Ilham Aidit.

Upaya rekonsiliasi bisa menjadi momentum untuk meluruskan sejarah. Dengan suksesnya

silaturahmi dan rekonsiliasi diharapkan konflik masa lalu tak lagi diwariskan kepada generasi

mendatang.

"Kita harus mendukung kegiatan mereka. Karena mereka mempunyai prinsip bahwa mereka ingin

menghentikan konflik dan tidak ingin mewariskan konflik kepada generasi yang akan datang," kata

Asvi Warman, sejarahwan.(ULF)

Dimuat pada Koran

Tempo, 2 Oktober 2010

SUHARTO, G30S & PAHLAWAN NASIONAL

Oleh Asvi Warman Adam

Setahun sebelum lengser, tahun 1997, Suharto sempat mengangkat tiga orang jenderal termasuk

dirinya sendirinya menjadi jenderal besar (bintang lima). Sudirman berjasa sebagai bapak perang

kemerdekaan, Nasution peletak dwifungsi ABRI, sedangkan Suharto ―berhasil menyelamatkan

negara dan bangsa dari ancaman G30S/PKI‖.

Setelah tanggal 1 Oktober 1965 dalam tempo beberapa bulan terjadi pembunuhan massal yang

mencapai 500.000 jiwa. Jumlah sebanyak sebanyak itu tidak mungkin hanya disebabkan oleh

konflik horizontal di tengah masyarakat. Yang jelas semuanya diawali dengan operasi militer.

Lantas siapa yang memerintahkan ?

Apakah seseorang dapat dianggap menyelamatkan bangsa bila korban yang jatuh demikian luar

biasa jumlahnya ? Presiden Sukarno marah sekali mendengar berita ini, ia memerintahkan supaya

pembantaian ini dihentikan. Tetapi siapa yang mendengar suara seorang pemimpin tua yang sudah

digerus kekuasaannya. Kalau bukan Sukarno lalu siapa yang bertanggungjawab terhadap tragedi

nasional ini ?

―Kudeta merangkak‖ yang merupakan uraian post factum terhadap rangkaian peristiwa sejak

meletus G30S sampai keluarnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 bertentangan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

301 | P a g e

dengan klausul ―menyelamatkan negara dan bangsa‖. Karena ini jelas kepentingan untuk meraih

kekuasaan tertinggi, walaupun itu dikerjakan secara seksama dengan penuh perhitungan.

Tulisan ini tidak menggugat gelar Jenderal Besar yang telah dianugerahkan Suharto kepada

dirinya sendiri. Itu einmalig dan bintang itu silakan dibawa ke tempat peristirahatan yang

terakhir di puncak sebuah bukit. Yang menjadi persoalan adalah ketika nama Suharto lolos seleksi

administratif pemberian gelar pahlawan nasional. Dari 30 orang calon, 19 lolos termasuk putra

Kemusuk ini. Sebanyak 13 orang anggota tim yang dibentuk oleh Departemen Sosial termasuk

sejarawan dari Pusat Sejarah TNI akan mengkaji. Selepas ini berkasnya dikirimkan kepada

sekretariat Negara dan dinilai oleh Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Dewan ini terdiri dari tujuh

orang yakni Menkopolkam Djoko Sujanto selaku ketua, Hayono Sujono sebagai wakil ketua, dengan

anggota TB Silalahi, Juwono Sudarsono, Quraish Shihab, Edi Sedyawati dan Jimly Asshidiqie.

Dari tujuh anggota dewan, mayoritas sebanyak empat orang pernah menjadi duduk di kabinet

sebagai pembantu Presiden Suharto. Hajono Sujono pernah menjadi Menko Kesra semasa Orde

Baru dan sampai sekarang masih memimpin sebuah yayasan yang didirikan Suharto.

Melihat kondisi di atas, maka bisa diprediksi pemberian gelar pahlawan nasional kepada Jenderal

Suharto tinggal selangkah lagi.

Pertanyaannya apakah Suharto layak ? Gelar pahlawan nasional merupakan gelar tertinggi di

negara ini yang abadi (dalam prakteknya tidak pernah dicabut). Tokoh yang berjasa sangat besar

dalam membela bangsa dan negara, mengorbankan jiwa raganya demi tanah air serta menjadi

contoh teladan bagi masyarakat, berhak memperoleh status terhormat itu.

Suharto memang berkuasa sangat lama, karena itu ia sempat membangun secara fisik negara ini.

Entah berapa gedung yang telah dibuat, berapa panjang jalan yang dibangun, terlepas dari berapa

persen proyek itu dikorupsi, namun hasil pembangunan itu memang kongkret. Namun berapa pula

kerugian yang telah diderita masyarakat yang tergusur, dirampas tanahnya atau dibeli paksa

dengan murah, demi pembangunan.

Politik regional memang berhasil, ASEAN adalah model kerjasama wilayah yang dapat meredam

konflik dan memberi peluang kepada masing-masing negara untuk menyelenggarakan pemerintahan

dengan aman. Walaupun rasa ―aman‖ justeru diperoleh dengan melakukan represi terhadap

kekuataan kritis yang ada di tengah rakyat. Kebebasan pers dipasung dan hak asasi manusia

dilanggar. Mengenai yang terakhir ini sejarah mencatat setelah pembantaian massal pasca G30S,

terjadi pembuangan paksa ke pulau Buru yang memakan korban lebih dari 10 ribu selama sekitar

10 tahun (1969-1979), pembunuhan misterius tahun 1980-an, kasus Tanjung Priok, Talangsari

Lampung, penyerbuan kantor PDIP di Jalan Diponegero tanggal 27 Juli 1996, belum lagi operasi

militer yang terjadi di Aceh, Papua (dan Timor Timur sebelum lepas dari pangkuan ibu pertiwi).

Semuanya terjadi ketika berjalan rezim yang dipimpin Jenderal Suharto.

Sang proklamator Sukarno diangkat sebagai pahlawan nasional tahun 1986, 16 tahun setelah

wafat tahun 1970. Suharto meninggal tahun 2008. Apakah ia perlu segera dinobatkan menjadi

pahlawan nasional ? Kalau pengadilan HAM berat tidak dapat lagi dilakukan, maka minimal Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi harus bekerja. Proses ini berjalan lamban karena ketidakseriusan

pemerintah dan DPR. Akhirnya Undang-Undang KKR yang sudah jadi itu pun dirubuhkan oleh

Mahkamah Konstitusi semasa dipimpin Jimly Asshidiqie. Kini RUU itu sudah dibuat kembali oleh

Kementerian Hukum dan HAM dan diserahkan kepada Sekretariat Negara. Hendaknya pemerintah

tidak menunda lagi dan segera meneruskan kepada DPR agar diproses kembali menjadi Undang-

Undang. Sebuah perjalanan yang panjang dan teramat panjang bagi sebuah pengungkapan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

302 | P a g e

kebenaran. Menurut hemat saya, pemberian gelar kepada Suharto seyogianya baru diproses

setelah dilakukan upaya pencarian kebenaran oleh KKR. Sebab sekali terlanjur menghadiahi

seseorang gelar pahlawan nasional itu tidak bisa dicabut. Ironis bila pahlawan nasional adalah

sekaligus pelaku pelanggaran HAM Berat. (Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI)

Quo vadis Dahlan Iskan ? Apa byar-pet seperti PLN juga ???

________________________________

From: Edy Loekmono <[email protected]>

To: [email protected]

Sent: Sat, October 2, 2010 11:38:23 AM

Subject: Re: [GELORA45]

Penulisan berita Jawa Pos yang tendensius

Jawa Pos sedang menangguk di air keruh. Stigma yang telah 32 tahun di ukir rezim

fasis Suharto dengan pelanggaran HAM yang berat belum sempat diungkap didepan

pengadilan. Para korban lebih memilih diam dan memang sebagian juga sudah tidak

bisa berbicara karena telah bersatu dengan tanah. Dan filsafat Jawa mengatakan

bahwa diam itu emas. Tetapi ternyata disalah mengerti dan dimanipulasi bahwa

diam berarti benar benar salah.

Seandainya para korban fasisme Suharto ingin mengadu, mengadu kemana dan kepada

siapa? Bukankah seluruh masyarakat dan system pemerintahan di Indonesia telah

memberi judgment bahwa Bung Karno, PNI kiri dan PKI beserta lembaga terkait

adalah pihak yang salah. Dan telah di vonis diluar pengadilan sebagai

pemberontak dan pengkhianat bangsa dan Pancasila. Justru mengherankan bahwa Bung

Karno sebagai pencetus Pancasila di tuduh sebagai pengkhianat Pancasila!!!!

Bukankah terbalik bahwa yang menuduh Bung Karno sebagai Pengkhianat dialah yang

sebenarnya Pengkhianat?

Selama belum ada Pengadilan yang adil maka stigma bahwa Bung Karno dan

pendukungnya baik PNI kiri maupun PKI beserta lembaga terkait tetap akan menjadi

PEMBERONTAK dan PENGKHIANAT Bangsa Indonesia. Sekarang ini jelas masih terasa

bahwa para pendukung fasis Suharto masih berkuasa dan tetap berusaha mengusung

agenda Suharto menjadi Pahlawan, Bapak Pembangunan. Mereka ini masih diatas

angin sehingga masih bisa memberi impresi kepada rakyat Indonesia bahwa Suharto

benar dan Bung Karno dan PKI salah.

Kalau memberi judgment bahwa PKI salah maka otomatis judgment berlaku bahwa Bung

Karno salah karena dialah pencetus NASAKOM. Itulah sebabnya Bung Karno tidak

pernah di restorasi nama baiknya. Sejarah yagn ditulis dibengkokkan kalau bisa

Bung Karno hanya sebatas Proklamator (artinya yang membaca kertas

Proklamasi).Tidak disinggung lagi bahwa Bung Karno sebagai penggali Pancasila.

Karena saking phoby nya maka gelar penggali Pancasila mungkin diberikan kepada

Moh.Yamin saja yang dianggap neutral dalam hal ini.

Setelah 45 tahun banyak orang sudah mulai uzhur dan melupakan karena tuntutan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

303 | P a g e

nafkah jauh lebih prioritas. Gambar masa lalu mulai pudar. Tetapi badut-badut

politikus yang memang senang dengan akrobat politik mulai menampak wajah

manisnya guna menarik simpaty masa. Salah satu contoh, siapakah yang tidak kenal

Tomy Suharto? Yang ketika jaya-jayanya Suharto turut mempraktekkan bisnis kotor.

Adakah yang masih ingat "masalah cengkeh?" Tentang Golkar, pada masa awalnya

tidak dimasukkan sebagai Partai politik namun wajah aslinya mulai nampak sebagai

bagian dari mesin penggilas fasis Suharto. Apakah rakyat masih bisa ingat ketika

Pemilu demi Pemilu Golkar selalu diatas angin? Siapakah dibelakang kekuatan ini

tidak lain dari para pembiak Dwi Fungsi ABRI. Fasisme jilid kedua akan muncul

kembali mungkin mulai dari Golkar yang akan mengusung putra mahkota jadi Wapres

dan ketua Golkar menjadi RI satu. Klik penguasa akan disekitar penguasa fasis

karena mereka telah mempelajari trik adu domba dan mempunyai backing militer dan

kedok agama.

Kasihan Indonesiaku. Para wartawan yang sekedar mencari sesuap nasi ingin

menyenangkan hati para penguasa dan takut di breidel, maka lebih mudah

lelantunkan lagu lama katimbang mengemukakan kebenaran. Segala sesuatu yang

dikatakan oleh Penguasa adalah kebenaran. Haram hukumnya kalau menentang.

Kata-kata Raja adalah hukum. Filsafat ini masih berlaku dikalangan masyarakat

Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan kerajaan. Apa yang pernah di

KATA KEN dan di TEKAN KEN oleh Suharto jangan sekali-kali dibantah dan harus

diikuti. Ini seperti suatu sihir. Circle kekuasaan begitu kuatnya sehingga siapa

saja yang menentang pasti sirna atau di eliminir dari peredaran. Karena itu

MANTRA ini harus dipatahkan. Mantra bahwa Bung Karno dan PKI sebagai pecundang

harus dipatahkan. Kalau tidak maka bangsa ini tidak pernah bisa mengalami

rekonsiliasi menyeluruh. Kita tidak ingin melihat pembalasan kembali yang

akibatnya jauh lebih mengerikan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka harus

diadakan pembeberan fakta apa itu G 30 S. Versi penguasa belum tentu versi

sesuai fakta karena semua bisa dimanipluasi demi kelanggengan penguasa.Seorang

menteri Mendikbudnas Nugroho Notosusanto telah mengubah sejarah dengan mengganti

buku pedoman pendidikan demi utuhnya persekongkolan fasisme. Bukan hari lahirnya

Pancasila yang penting tetapi Hari Kesaktian Pancasila yang dianggap lebih

penting. Ini menggeser peran Bung Karno sebagai pencetus Pancasila dan

digantikan Suharto sebagai yang mengaku menyelamatkan Pancasila dari tangan

pemberontak dan pengkhianat sehingga ditetapkan hari kesaktian Pancasila.

Mulailah dilakukan Penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Ini suatu brain washing yang berhasil ditanamkan bahwa PKI adalah pecundang dan

Suharto adalah pahlawan. Lagu ini didengungkan selama 45 tahun. Harus ada

kemauan secara nasional untuk merevisi sejarah nasional NKRI.

Bung Karno pernah berkata "JasMerah" artinya Jangan sekali-kali meninggalkan

sejarah. Kita semua adalah pelaku sejarah. Jangan sekali-kali sejarah kita

dimanipluasi orang lain demi kepentingan mereka saja. Negara ini adalah negara

seluruh anak bangsa dan masing-masing punya hak sama dimata hukum. Karena itu

HUKUM harus berlaku.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

304 | P a g e

Meluruskan berita yang tendesius dari wartawan atau kuli tinta harus dibalas

dengan tulisan dan fakta benar dan lurus di harian yang sama atau yang lain

untuk memberi pembelajaran massa. Rakyat Indonesia yang sudah mulai melek huruf

yang walaupun satu buta dan satu melek tetap perlu melihat dan mendengar

kebenaran, maka dengan demikian MANTRA lagu lama yang sumbang bisa di counter.

Akhirulkalam, Selamat Hari Raya Bebas G 30 S. Ketika masih muda saya harus

mengurus surat bebas G 30 S /PKI dari mulai RT/RW, kelurahan, Kecamatan, dan

Kepolisian.Sekarang saya harus mempunya keberanian bahwa memang saya telah bebas

bukan karena sepucuk surat bebas tetapi memang saya bebas dari MANTRA yang

didengungkan oleh Suharto dan para begundalnya.

SELAMAT HARI RAYA BEBAS G 30 S.

--- On Fri, 10/1/10, samashutama widjaja <[email protected]> wrote:

>From: samashutama widjaja <[email protected]>

>Subject: [GELORA45] Penulisan berita Jawa Pos yang tendensius

>To: [email protected]

>Date: Friday, October 1, 2010, 6:11 PM

>

>

>

>Harian Jawa Pos Surabaya yang terbit 2 Oktober 2010 memuat berita yang berjudul

>"Keluarga Tragedi 65 Kubur Konflik" (halaman 1 bersambung halaman 19),setelah

>saya baca,sebagai seorang yang memperhatikan sejarah bangsa kita dan sebagai

>orang yang hidup dijamannya(meski tidak ikut terlibat didalam

>permasalahannya),merasa cara penulisan berita tersebut memanipulir fakta sejarah

>dan sangat bertendensius.

>1.Dalam memaparkan kata-kata Catherine Panjaitan tertulis "Pasukan Cakrabirawa

>suruhan Aidit",

> dan dalam menulis cerita Ilham terdapat kata-kata "pembantaian tujuh perwira

>TNI yang dikomandoi

>

> ayahnya".Ini menunjukkan bahwa si wartawan selain buta ilmu sejarah juga

>berniat jahat.

> Setelah 45 tahun berlalu,sedikit banyak telah terkuak apa sebenarnya yang

>terjadi.Analisa Ben Anderson

>

> yang dipublikasikan tahun 1971(terkenal sebagai Cornell Paper),bahwa G30S

>adalah konflik didalam

>

> Angkatan Bersenjata,sampai sekarang belum terbentahkan,dan siapa sebenarnya

>penyusun sekenarionya

>

> masih belum terkuak.Maka cara penulisan berita Jawa Pos ini adalah sangat

>bertentangan dengan etika

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

305 | P a g e

> ilmu sejarah dan sangat tidak ilmiah,lebih-lebih sangat tendensius.

>2.Judul disambungan berita ini pada halaman 19:"Wakili Soeharto,Tommy minta

>maaf".Sebagai seorang

>

> jurnalis saya anggap ini manupulasi 100%.Di dalam berita jelas ditulis si

>wartawan sendiri:"Saya atas

>

> nama pribadi dan keluarga mohon maaf lahir dan batin",maka perlu ditelaah

>mohon maaf dalam kontek

>

> apa,apa karena masih dalam suasana Idul Fitri?Padahal kontek beritanya jelas

>adalah tragedi 65.

>Timbul pertanyaan:Apa sebenarnya motif cara penulisan Jawa Pos ini?Apa memang

>Jawa Pos senantiasa bergaya jurnalis akrobat?

>

Kontra-Kudeta Yang Dirancang Gagal

http://berdikarionline.com/opini/20100929/kontra-kudeta-yang-dirancang-gagal.html

Rabu, 29 September 2010 | 23:38 WIB

Opini

Oleh : Rudi Hartono

TIDAK seperti biasanya ketika Bung Karno menyampaikan pidato. Ketika berpidato di hadapan

Musyawarah Nasional Teknik (Munastek), di Istora Senayan, pada malam 30 September 1965,

Bung Karno tiba-tiba berhenti dan meninggalkan podium, dan selang beberapa menit kemudian,

Bung Karno muncul kembali dan menceritakan ―Mahabharata‖, yaitu soal perang saudara Kurawa

dan Pandawa.

Ada yang mengatakan, Bung Karno saat itu sedang sakit dan pergi ke belakang untuk mendapat

suntikan dari tim dokternya. Sementara versi lain menyebutkan, Bung Karno diminta untuk

menerima sebuah informasi yang sangat penting. Apa itu? Semua masih tidak diketahui.

Pada malam itu, yang telah memutar-balikkan haluan ekonomi, politik, dan kebudayaan Indonesia

sampai sekarang ini, telah terjadi gerakan yang disebut ―Gerakan 30 September‖, demikian

pemimpin gerakan ini menamai gerakannya melalui siaran RRI pada pagi hari 1 Oktober.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

306 | P a g e

Sekarang ini, segala hal mengenai ―gerakan 30 September‖ masih merupakan sesuatu yang gelap

dan menyimpan misteris, meskipun ada banyak sejarahwan dan akademisi yang berusaha membuat

―terang‖ kejadian ini.

Saya hanya hendak menjelaskan satu hal, bahwa gerakan kudeta sebetulnya bukanlah pada malam

30 september itu, tetapi sudah dirancang dan dijalankan berulang kali dan kejadian pada 30

September hanya merupakan satu bagian dari rangkaian rencana kudeta tersebut.

Konteks Yang Lebih Luas

Dalam rapat pimpinan AD di Jakarta pada 28 Mei 1965, Soekarno telah mengatakan: ―Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka punya teman-teman di sini‖. Maksud Soekarno adalah kekuatan imperialisme, khususnya AS dan Inggris yang sudah lama

mengincar untuk melikuidasi kekuasannya.

Ya, sejak gejolak revolusi agustus 1945 mulai menggugurkan banyak kepentingan kolonialis, kaum

imperialis mulai menyadari, bahwa mereka bisa kehilangan apa yang disebutnya ―permata asia‖

kapan saja. Karena itu, mereka mulai melibatkan diri dalam usaha-usaha merebut kembali

Indonesia dari pengaruh kebangkitan gerakan revolusioner, yang sejak awal memang sangat anti-

kolonial.

Untuk itu, pada tahun 1947, Bank Dunia telah memberi pinjaman sebesar 195 juta dolar ke

Belanda, yang sebagian besar dipergunakan untuk menggempur Republik Indonesia. Setahun

berikutnya, pada September 1948, tangan imperialis AS dinyatakan terlibat dalam menyokong

sebuah proposal untuk membasmi ―kaum merah‖ di Indonesia.

Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin

ke kiri, intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam ―Journal of American

History‖, bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya ―coup‖ yang gagal terhadap Soekarno

tahun 1958.

―Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA

dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat

udara transport dan Bomber B-26,‖ kata Brands.

Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS) mengakui betapa jelas campur tangan

pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington

tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Pendek kata, pihak imperialis dan kekuatan sayap kanan di dalam negeri tidak pernah berhenti

untuk mencari segala usaha melikuidasi pemerintahan Soekarno.

Kontra Kudeta

Menjelang tahun 1965, di Indonesia telah tersebar desas-desus akan terjadinya perebutan

kekuasaan negara, yang konon dipersiapkan oleh apa yang disebut ―dewan jenderal‖, sebuah group

dari sekelompok pimpinan tentara yang tidak segaris dengan politik Bung Karno. Ada yang

mengatakan, isu ini berasal dari Waperdam/Menlu/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio,

dan kemudian tersebar hingga Soekarno dan PKI.

Berhembusnya isu seperti ini adalah sah dalam konteks saat itu, terlepas apakah itu benar atau

tidak, mengingat bahwa situasi politik benar-benar sudah pada ―titik didihnya‖ dan segala

kemungkinan bisa terjadi.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

307 | P a g e

Soekarno, berdasarkan kesaksian ajudannya, Bambang Widjanarko, terus mendapatkan pasokan

informasi mengenai kebenaran ―dewan jenderal‖ itu, dan memerintahkan pasukan pengawalnya

untuk langkah-langkah antisipasi untuk mengamankan keselamatan Presiden kalau muncul situasi

berbahaya.

Mungkin saja, itulah yang ditangkap oleh salah seorang komandan pasukan pengamanan presiden,

Kolonel Untung, dan diterjemahkan dalam sebuah upaya untuk menjalankan operasi ―kontra-

kudeta‖ terhadap dewan Jenderal.

Karena penjelasan ini pula, maka menjadi masuk akal bagi saya, seorang perwira berkarier

cemerlang seperti Brigjend Supardjo harus mendukung gerakan ini, meskipun dia hanya

berpartisipasi Cuma tiga hari dalam gerakan ini.

Setelah melakukan penculikan terhadap para Jenderal, pimpinan Gerakan 30 September telah

berusaha meminta kepada Bung Karno, untuk mendukung aksinya menyingkirkan jenderal-jenderal

yang berusaha menjatuhkan beliau. Namun, pada saat disodori surat pernyataan dukungan oleh

Brigjend Soepardjo, maka Bung Karno telah menolaknya.

Bung Karno telah mengambil tindakan sendiri, yaitu memberhentikan gerakan kedua belah pihak

(dengan keterangan kalau perang saudara berkobar, maka yang untung adalah nekolim). Dengan

―absennya‖ dukungan Bung Karno, maka boleh jadi ini yang menjadi penyebab kenapa Gerakan 30

September tidak memperlihatkan ―semangat menyerang‖ lanjutan, atau setidaknya mengantisipasi

serangan balik Soeharto-Nasution.

Kalaupun ada upaya disinformasi mengenai ―dewan jenderal‖, maka ini bisa dianggap sebagai

rangkaian usaha untuk menciptakan ―jebakan‖, yang nantinya dapat dipergunakan untuk

menjalankan tindakan tertentu.

“Kudeta Yang Dirancang Gagal”

Setelah membaca dokumen Brigjend Supardjo tentang ―Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi Gagalnya G-30-S Dipandang Dari Sudut Militer‖, saya mendapatkan kesan bahwa memang ada

pihak dalam gerakan ini yang merancang supaya gerakan ini mengalami kegagalan. Namun, untuk

menjelaskan siapa orang itu, saya belum bisa untuk memastikannya.

Dalam dokumen Brigjend Supardjo disebutkan, menjelang pelaksanaan operasi ini, ternyata masih

banyak yang hal yang belum terselesaikan, misalnya, persiapan pasukan belum jelas, beberapa

perwira mengundurkan diri, penentuan sasaran dan gambaran pelaksanaan aksi belum jelas, dan

masih banyak lagi.

Sejak awal, menurut Brigjend Supardjo, didalam gerakan ini sudah timbul ―keragu-raguan‖, namun

segera ditimpa dengan semboyan ―apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.‖ Demikian pula

dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi paska pelaksanaan gerakan, yang kacau balau dan tidak

sesuai dengan rencana.

Supardjo menulis, ―strategi yang dianut gerakan secara keseluruhan adalah semacam strategi

―bakar petasan‖; maksudnya, jika sumbunya dibakar di Jakarta, maka mercon-merconnya dengan

sendirinya mengikuti di daerah.

Pada kenyataannya, tahap persiapan dan penggambaran umum gerakan tidak mencerminkan

―obsesi‖ tersebut, bahkan kacau-balau saat dipraktekkan di lapangan. Sumbu yang terbakar bukan

memicu mercon di daerah, melainkan membakar ―tangan dan badan sendiri‖.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

308 | P a g e

Menurut saya, ada pihak-pihak dalam gerakan ini yang memang merancang ―gerakan untuk

mengalami kegagalan‖, dan selanjutnya menjadi dalih untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok

politik tertentu.

Ada benarnya juga, setelah melihat rangkaian upaya kudeta terhadap Bung Karno sejak akhir

1950-an, bahwa ―kontra-kudeta yang dirancang gagal ini‖ dimaksudkan untuk menciptakan dalih

guna melumpuhkan Soekarno. Sebab, dengan menghancurkan PKI yang menjadi sekutu paling loyal

Bung Karno dalam melawan imperialisme, maka pemerintahan Soekarno kehilangan kaki

―penyangganya‖.

Bukankah ―Gerakan 30 September‖ telah menjadi alasan yang cukup kuat, dan sangat ditunggu-

tunggu oleh kekuatan kanan saat itu, untuk mengobarkan kampanye anti-komunis dan mencari

segala macam cara untuk melibatkan Soekarno dalam kasus tersebut, sebagai jalan untuk

mengakhiri ―pemerintahan anti-imperialis‖ ini.

Bukankah fakta menunjukkan, bahwa, meskipun Soekarno tidak cukup bukti untuk dilibatkan dalam

―G.30.S‖, tetapi sayap kanan yang dikomandoi Soeharto terus mencari usaha untuk menjerat

―proklamator bangsa ini‖, hingga mengasingkannya pada suatu tempat dan membiarkannya mati

perlahan di sana.

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dijawab!

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA

(Bagian 1)

Setiap tahun, bulan September adalah satu bulan yang tidak bisa dilupakan begitu saja bagi

bangsa dan rakyat Indonesia. Karena, akhir bulan ini, dan awal Oktober membuat berbagai

kalangan di Indonesia teringat kembali kepada tragedi kemanusiaan 45 tahun yang lalu yaitu

dibunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat oleh kaum militer yang tergabung dalam Gerakan 30

September, yang menjadi alasan dan membuka kesempatan buat Jenderal Suharto menghabisi

orang-orang komunis dan golongan kiri pendukung Bung Karno. Suharto dengan licik dan tipu daya

memanipulasi keadaan dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang tiada taranya, hingga

memuluskan jalan bagi nya buat mengambil dan merebut kekuasaan Presiden RI dari tangan Bung

Karno.bahkan secara perlahan membunuhnya. Semua itu dilakukan Suharto dengan alas an

"menumpas G30S"

Semenjak 1 Oktober 1965, Angkatan Darat dan Suharto melakukan kejahatan kemanusiaan

dengan melakukan genosida, pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang yang tidak

bersalah, yang tidak berdosa apa-apa sama sekali. Di Jakarta, Jateng, Jatim, Bali, Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara

dan tempat-tempat lainnya di seluruh Indonesia, buminya bersimbah darah orang-orang yang

dibunuh secara kejam dan biadab karena dituduh komunis atau ada indikasi dengan komunis, dan

diberi cap sebagai "terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S" yang diembel-embeli

dengan kata "PKI" di belakangnya.

Indonesia tercinta dibanjiri oleh darah dari orang-orang tak bersalah, darah bangsa Indonesia

sendiri, di mana segolongan manusia yang mengaku beragama dan berkebudayaan menjadi algojo-

algojo barbar dan bertindak melebihi serigala buas atas sesamanya sebangsa dan se tanah air.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

309 | P a g e

Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan dengan pimpinan, atau pengarahan, atau hasutan

militer di bawah Jenderal Suharto dalam tahun-tahun 1965-1966 itu merupakan kejahatan yang

luar biasa besarnya terhadap peri kemanusiaan dan merupakan aib besar serta dosa maha-berat,

dan tidak bisa dilupakan begitu saja, sebab, mereka yang dibunuh ini kebanyakan adalah anggota

atau simpatisan PKI dan berbagai organisasi massa buruh, tani, nelayan, prajurit, pegawai negeri,

wanita, pemuda, mahasiswa, pelajar, pengusaha dan berbagai kalangan masyarakat lainnya, yang

jumlahnya tidak kurang dari 3 juta nyawa. Pengakuan Mantan Komandan RPKAD Kol. Sarwo Edhi

Wibowo sendiri didepan Komisi Pencari Fakta, bahwa dia sendiri dan 400 orang anak buahnya-

anggota RPKAD- telah membunuh 3 juta orang komunis. Hal ini dilakukannya ketika RPKAD

dibawah pimpinannya melakukan operasi pembunuhan atas orang-orang kiri di Jakarta, Jawa

Tengah, Jawa Timur dan Bali, mulai Oktober 65 - Januari 1966.

(Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang

dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri sat itu, Mayjen Dr. Soemarno, dengan angota-anggota

Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi (ex. Brigade XVII/TP) dan seorang lagi dari

tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto

sekitar 500 ribu orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie

Wibowo kepada Permadi SH, jumlahnya mencapai sekitar tiga juta orang. "Itu yang ia suruh bunuh

dan ia bunuh sendiri" kata sumber ini.

(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html)

Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan begitu kejam tanpa perikemanusiaan. Di Sumatra,

terutama Aceh, para korban dipenggal dan kepalanya ditancapkan diatas sepotong kayu/bambu

dan dipajangkan disepanjang tepi jalan untuk tontonan. Di Sumut, para wanita diperkosa beramai-

ramai kemudian tubuhnya dicincang dan dibuang ke kali. Di Sumbar, korban dalam keadaan hidup,

diikat dan ditarik oleh dua buah pedati/kereta lembu, hingga tubuh dan kepala bercerai berai.

Di Painan, Sumbar, seorang gadis SMP, yang melindungi ayahnya yang dituduh PKI oleh pihak

militer, ditangkap dan dimasukkan kedalam karung, diikat kemudian dilempar ke sungai dan

meronta-ronta di dalam karung sampai menghembuskan napas terakhirnya. Di Jawa, kepala atau

leher korban yang dalam keadaan masih hidup, diikat ke sebatang pohon, dan kakinya diikat

kesebuah truk kemudian truk dijalankan hingga tubuh korban hancur berkecai. Di Surakarta, para

korban diikat berjejer diatas rel kereta-api dimalam hari untuk dilindas hancur oleh keretapi

yang datang melaju. Bahkan, diceritakan, bahwa yang melakukan hal itu konon adalah pihak

punggawa dalam keraton. Di Timor Barat, korban dipancung didepan anak dan istri hingga

darahnya memercik membasahi sekujur tubuh anak dan istri yang menjadi histeria. Di Bali, para

korban yang diambil dari dalam tahanan dibunuh dan tubuh serta bagian tubuhnya dicincang,

dipotong-potong.

Sungguh, perbuatan-perbuatan biadab yang pasti saja direstui dan juga dianjurkan secara diam-

diam oleh Suharto, (karena tiada pencegahan dari Suharto), telah menelan sangat banyak korban

bangsa Indonesia yang tak bersalah, tak melawan dan tak bersenjata, di tangan militer Angkatan

Darat dan gerombolan milisia pendukung Suharto. Demikian banyaknya korban pembunuhan itu,

sampai-sampai Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyatakan "Dalam empat bulan,

manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun"

("In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years")

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

310 | P a g e

(Perang Urat Syaraf.Kompas 9 Pebruari 2001). Dia menyebut bahwa pembunuhan massal ini

sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh "manusia".

Di samping itu juga telah ditahan atau dipenjarakan hampir 2 juta orang yang juga sudah terbukti

dengan jelas tidak bersalah apa-apa sama sekali dalam jangka waktu yang berbeda-beda, yang

ditahan sampai puluhan atau belasan tahun, di setiap kota dan pelosok tanah air, di antaranya 12

ribu orang dibuang dan dikerjapaksakan membuka lahan, hutan belantara di Pulau Buru, di bagian

Timur Kepulauan Indonesia untuk kepentingan penguasa militer. Dan disebabkan kerja paksa di

hutan belantara itu, banyak yang mati karena malaria, busung, disentri dan kurang makan Dan

yang masih hidup, setelah bertahun-tahun, para tahanan yang ratusan ribu itu dikeluarkan dari

tahanan begitu saja tanpa proses pengadilan. Tanpa adanya proses hukum dan pengadilan atas

mereka ini, jelas membuktikan bahwa mereka semua tidak bersalah. . Mereka dilepas dari tahanan

begitu saja setelah meringkuk belasan tahun, seperti ayam yang lama dikurung dan dikeluarkan

dari kandangnya untuk mencari makan.

Disebabkan oleh pembunuhan massal dan pemenjaraan jutaan orang-orang yang umumnya adalah

pendukung Bung Karno itu, maka puluhan juta istri para korban kekejaman Suharto/Ordebaru ini

(beserta anak-anak mereka) terpaksa hidup dalam kesengsaraan atau penderitaan yang

berkepanjangan, dikucilkan oleh pemerintahan militer yang berkuasa. Bahkan, banyak di antara

mereka yang sampai sekarang , walaupun presiden sudah silih-berganti, masih tetap menderita

akibat tindakan militer warisan Suharto itu. Banyak orangtua yang pernah ditahan oleh rezim

Militer, takut mendekat kepada anak-anaknya yang telah menjadi manusia dewasa, demi menjaga

jangan sampai mereka menjadi korban intimidasi dan pengucilan masyarakat yang sudah begitu

lama diracuni ordebaru.. Dan tidak sedikit anak-anak yang takut dan tidak mengakui orangtua

mereka, karena orangtuanya pernah menjadi tapol rejim Suharto ataupun simpatisan komunis.

Kebudayaan bangsa Indonesia menjadi rusak karena politik "bersih lingkungan", suatu politik

meneruskan pembunuhan massal tanpa bedil seperti yang tercantum dalam Peraturan Mendagri

Amir Mahmud No: 32/1981, yang diskriminatif dan tidak manusiawi, yang membatasi dan melarang

semua kegiatan dan gerak orang-orang kiri, pengikut Bung Karno yang dianggap "tidak bersih".

"Karenanya, memperingati tragedi 1965 adalah perlu sekali. Sebab, menurut agama apapun di

dunia ini dan juga menurut nalar yang beradab, membunuh hanya satu orang yang tidak bersalah

saja sudah merupakan kejahatan yang mengandung dosa berat dan juga harus dihukum, maka

mengapa justru pembunuhan jutaan orang tidak bersalah itu didiamkan saja? Siapa-siapa sajakah

yang melakukan pembunuhan atau menyuruh bunuh begitu banyak orang itu? Dan siapa sajakah

yang harus bertanggung-jawab terhadap pemenjaraan begitu banyak orang tidak bersalah belasan

tahun lamanya itu? Semua ini juga merupakan aib besar sekali bagi bangsa, yang dibikin oleh

Suharto beserta para pendukungnya" (silahkan baca: Suharto bersama Orde Barunya adalah Najis

Bangsa. http://umarsaid.free.fr/))

Tentang Peristiwa dinihari 1 Oktober 1965, rasanya perlu dilakukan pencerahan, refreshing,

mengingat kembali apa yang terjadi yang merupakan titik tolak garis mundur dan kehancuran

bangsa. Sebagaimana diucapkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, menurut

Rakyat Merdeka Minggu, 01 Oktober 2006 di Jakarta. "Pengungkapan kembali tentang apa yang

terjadi saat itu memang perlu, Meski begitu, sejarah, terutama penggambaran suasana pada saat

itu, memang layak direnungkan. Sebab, peristiwa itu diyakini sebagai salah satu titik balik

pemerintahan Indonesia". Sadar atau tidak sadar, jubir Kepresidenan ini juga mengakui bahwa

kejadian Peristiwa 1965 sebagai titik balik pemerintah Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

311 | P a g e

Apa dan bagaimana Peristiwa 1965 itu, mari sedikit kita telusuri kembali , agar ingatan dan pikiran

senantriasa segar akan sejarah yang telah melanda bumi persada 45 tahun yang lalu, yang

mengakibatkan, kerusakan dan kemunduran bangsa sampai sekarang.

Pada subuh dinihari 1 Oktober 1965, sekelompok perwira muda Angkatan Darat seperti Letkol.

Untung, Kolonel A. Latief dan Brigjen Supardjo, melalui suatu gerakan yang mereka beri nama

Gerakan 30 September, bertindak melakukan penculikan dan penangkapan terhadap para perwira

tinggi Angkatan Darat yang mereka duga tergabung dalam organisasi "dewan jenderal" yang akan

melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Penangkapan dan penculikan yang katanya untuk

menghadapkan para jenderal kepada Presiden Sukarno itu, ternyata berakir dengan pembunuhan

para Jenderal, yang jenazahnya dibuang di sumur tua yang disebut Lubang Buaya . Enam Jenderal

dan seorang Perwira menengah menjadi korban di malam naas itu. Hal ini, semua mahkluk yang

bernama manusia di Indonesia tahu, karena selama 32 tahun pihak Orba Suharto mencekokkan

kepada bangsa Indonesia-dari anak taman kanak-kanak sampai kakek-kakek- bahwa G30S yang

katanya di dalangi oleh PKI, melakukan pemberontakan dan membunuh enam jenderal Indonesia.

Semua suratkabar dilarang terbit. Radio, TV, sk.Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang

dikuasai militer Suharto bicara tentang kebiadaban dan kekejaman G30S dan meyiarkan segala

fitnah dan rekayasa rejim Suharto. Bahkan Orba sengaja membuat sepesial film untuk itu,

tentang kekejaman, kebiadaban dan para para korban yang "bersimbah darah" yang setiap saat

selama Suharto berkuasa diputar, dipertonton dan dijejalkan kepada publik, sehingga lama

kelamaan, karena diputar terus-terusan, publik yang apatis dan masa bodohb dan mengganggap

bahwa apa yang dipertunjukkan dan ditayangkan itu "sebagai benar".

Namun, apakah yang dipropagandakan oleh Orba itu sesuatu hal yang benar, ataukah suatu taktik

politik berupa fitnah dan rekayasa untuk memancing kemarahan rakyat, guna memudahkan

Suharto dan pihak Angkatan Darat melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Indonesia

Bung Karno?

Tidak banyak orang yang tahu, bahkan tidak pernah disiarkan atau diberitahukan kepada umum

bahwa menjelang 30 September 1965 telah datang ke Jakarta, Batalyon dari Jawa Timur, Jawa

Tengah untuk mendukung gerakan yang bakal dilangsungkan pada malam harinya. Begitu juga

Batalyon Kujang Siliwangi dari Bandung.

Siapakah yang memanggil kesatuan militer dari Jatim, Jateng dan Jabar ini ke Jakarta? Apakah

Letkol Untung Samsuri yang hanyalah Komandan Batalyon I Pasukan Pengawal Presiden,

Cakrabirawa, yang menjadi Ketua G30S serta Kolonel A. Latief yang hanyalah Komandan Brigade

Infantri 1 Kodam V Jaya? Apakah mereka berdua yang memanggil Batalyon itu? Apakah mereka

berdua begitu berkuasa hingga bisa memanggil Batalyon dari Diponegoro dan Brawijaya dengan

peralatan siap tempur ke Jakarta? Sudah pasti, tidak! Yang memanggil Batalyon dari Jatim dan

Jateng untuk mendukung Gerakan 30 September serta Batalyon RPKAD dari Bandung yang

kemudian digunakanuntuk menumpas Batalyon yang mendukung G30S adalah Panglima Komando

Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), yaitu Mayor Jenderal Angkatan Darat Suharto! Jenderal

Suharto yang memanggil kesatuan militer itu untuk membantu G30S itu, sekaligus memanggil

Batalyon untuk menumpas G30S. Persis seperti pemain catur yang mempersiapkan dua pion yang

berlawanan dan bermain di kedua sisi. Dua pion (biji catur) yang berlawanan, untuk saling

menghabisi, namun satu pemainnya! Disinilah kelicikan Suharto!

Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal

15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

312 | P a g e

1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa

Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad

diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal29 September 1965.

Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00

Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan

gerakan pada malam harinya.

Pemanggilan pasukan ini sesuai dengan janji dan ucapan Suharto kepada Letkol Untung. Sebelum

"gerakan" itu melancarkan aksinya, Letkol. Untung yang tidak asing bagi Soeharto, mendatanginya

dan melaporkan rencananya. Soeharto mengatakan sikap itu sudah benar. "Bagus kalau kamu punya

rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu". Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu.

Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah"

Kolonel A. Latief dalam kesaksiannya kemudian mengatakan bahwa dia mengunjungi Suharto di

kediamannya di Jl Agus Salim, Jakarta dan membicarakan soal gerakan, tanggal 18 September 65,

tanggal 28 September 65. Dan pada 29 September 65 antara jam 9-10 pagi A. Latief menemui

Jenderal Suharto di RSPAD untuk mematangkan rencana. Dan pada 30 September 65 , jam 11.00

malam hari, Kolonel Latief mengunjungi Jenderal Soeharto lagi di RSPAD Gatot Subroto untuk

melaporkan situasi "gerakan" yang bakal dimulai empat jam lagi. .

Melihat situasi dan pertemuan Kolonel A. Latief dan Jenderal Suharto sedemikian, lantas

bagaimana dan sampai di mana "kedudukan" Jenderal Suharto dalam G30S? Melihat situasi yang

demikian, maka tidak bisa dibantah bahwa Jenderal Suharto mengetahui rencana sebelumnya dan

memberikan bantuan militer kepada G30S untuk melaksanakan gerakannya. Dus, menurut

standard hukum Orba, Suharto mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S! Dan sekali lagi,

menurut jatah hukuman Orba, yang mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S, yaitu

Suharto, harus dihukum mati!

Dan seperti apa yang dilaporkan Kolonel A. Latief kepada Jenderal Suharto, maka dinihari 1

Oktober 1965, berlakulah penculikan dan pembunuhan atas 6 orang jenderal Angkatan Darat.

Pagi harinya, sebelum orang tahu apa yang terjadi, sebelum ada pemeriksaan, penyelidikan dan lain

sebagainya, mendengar berita tentang diculiknya para jenderal kanan Angkatan Darat itu, Yoga

Sugama yang tahun 50-an pernah dikirim oleh Zulkifli Lubis mengikuti pendidikan Intel pada MI-6

Inggris, pada pagi hari 1 Oktober 65 itu, mengaku lebih dahulu sampai di Kostrad. Sebagai

Asisten I Kostrad/Intelijen, atas kejadian pagi subuh 1 Oktober itu, serta merta Yoga Sugama

dan disokong oleh Ali Murtopo begitu saja mengatakan bahwa "hal itu pasti perbuatan PKI".

Selanjutnya, kalangan militer di bawah koordinasi Pangkostrad Mayjen. Soeharto melakukan

gerakan penumpasan sambil memperkenalkan "teorinya" tentang keberadaan PKI sebagai dalang

G30S. Isu keterlibatan PKI sebagai aktor utama G30S yang dikembangkan Soeharto ternyata

mampu menumbuhkan simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang

dipimpinnya, apalagi setelah semua suratkabar dilarang terbit sejak 1 Oktober itu, kecuali koran

militer yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang merupakan terompet militer untuk

menebar luaskan teori, rekayasa serta fitnah yang diciptakan. Jam malam diberlakukan dari 6

sore sampai 6 pagi atas perintah Pangdam Jaya Letjen Umar Wirahadikusumah.

Para pengikut Soeharto membuat rekayasa tentang keberadaan anggota-anggota Gerwani dan

Pemuda Rakyat di Lubang Buaya jauh sebelum peristiwa, karena tempat itu adalah tempat latihan

Sukarelawan Ganyang Malaysia, namun ditutup sejak 26 September 1965. Dan ditebarkanlah isu

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

313 | P a g e

dan fitnah bahwa anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menyiksa para jenderal sebelum

dibunuh di Lubang Buaya.

"Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya,

maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan

propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Soeharto tentang

penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi

dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil

menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil

visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Soeharto sendiri yang diserahkan kepadanya

pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara

berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI

yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain

diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan

dalam studi Dr. Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk

menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang

dimanipulasi sebagai "pelacur bejat moral". Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki

dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. ( Harsutejo: Jejak

Hitam Soeharto, Sejarah Gelap G30S dan Sekitar G30S http://kontak.club.fr/index.htm)

Rakyat dihasut dan dipaksa memamah biak segala cekokkan fitnah dan rekayasa pihak militer

Suharto melalui surat-kabar militer.. Rakyat tidak sempat berpikir bahwa kekuatan Batalyon

Militer yang mendukung G30S dan kekuatan Batalyon Militer yang menghancurkan G30S itu

adalah Batalyon Militer yang datang dan hadir di Jakarta pada 30 September 1965 karena

dipanggil pertelegram oleh Pangkostrad Mayjen. Suharto. Lantas, dalam hal ini, di mana dan

bagaimana kedudukan Suharto di dalam G30S? Tidakkah sesugguhnya bahwa dia bermuka dua,

atau berlayar diatas dua buah perahu? Atau seperti ditulis diatas , pemain catur yang

menggunakan dua pion yang berlawanan?

Namun, fitnah dan rekayasa yang dilancarkan Angkatan Darat dengan menanamkan kebencian,

mengalahkan segala pikiran sehat. Para pengikut dan kaum milisia yang tergabung dalam segala

macam bentuk Komando Aksi di bawah naungan Angkatan Darat dan Angkatan 66 yang dibiayai

oleh kedutaan AS di Jakarta dengan jatah 5000 nasi bungkus setiap harinya dengan mengenakan

jaket kuning, berdemonstasi mendongkel Bung Karno dan mengharu birukan kota Jakarta, bahkan

menjalar sampai keseluruh pelosok tanah air.

Api menyala. Darahpun tumpah. Ketika kemarahan dan kebencian sudah meluas, pembunuhan

massal diorganisir dan terjadi secara sangat sistematis, seiring dengan pergerakan RPKAD. Di

Jakarta-begitu juga di seluruh pelosok tanah air- rumah dan gedung-gedung yang diduga milik

anggota atau simpatisan komunis dirusak dan dibakar. Orang-orang yang dituduh komunis,

ditangkap dan diarak oleh demonstran, dan dalam keadaan tak berdaya, di tengah-tengah massa

demonstran, korban ditusuk dan dibunuh dengan pedang sedang pihak militer hanya melihat dan

menonton. (Lihat film dokumen Australia Broad Casting: Riding The Tiger).

Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan Himpunan

Mahasiswa Islam di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan

dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban. "Awas kalau kau berani ngrumat

jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai,

dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati."

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

314 | P a g e

Setiap tokoh baik dalam dan luar negeri berbicara mengenai jumlah korban pembunuhan massal

yang dibiarkan dan dijadikan alasan Suharto menghancurkan G30S itu. Setiap tokoh memberikan

data dan analisa. Namun si jago jagal Jenderal Suharto, bungkam tidak berkomentar mengenai

begitu banyaknya korban bangsa Indonesia yang dibunuh, bakan dia sendiri memerintahkan

Kolonel Jasir Hadibroto untuk "membereskan", memburu dan membunuh Ketua PKI D.N.Aidit.

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA

(Bagian 2)

Sampai matinya karena kerusakan otak (gila?-pen) dan mesti dirawat oleh 40 orang dokter ahli,

Suharto tetap bungkam atas pembunuhan massal terhadap bangsa Indonesia yang dijadikannya

alasan menghancurkan G30S, dan melakukan kudeta merangkak memreteli kekuasaan Presiden R.I.

Bung Karno.

Tiga puluh dua tahun selama kekuasaan Suharto, rakyat dipaksa dan dijejali dengan sejarah

plintiran, ditipu dan diperbodoh melalui sejarah ciptaan dan karangan penjilat-penjilat Suharto.

Sekarang, setelah 65 tahun semenjak kejadian genosida bangsa Indonesia tahun 1965/1966 itu,

keadaan rakyat dan bangsa Indonesia tidak ada perobahan. Sisa-sisa kaum milisia Orba yang

bertindak semaunya, masih berkeliaran di mana-mana dan tampil dengan berkedokkan organisasi

agama, pancasila dll., melakukan terror terhadap rakyat. Kehidupan rakyat makin hari makin

bertambah sengsara. Diperkirakan, 60% rakyat Indonesia adalah melarat, berpendapatan di

bawah minimum. Sedang sebagian menjadi kaya raya melewati batas. Politikus, Kapitalis, Pejabat

dan para Menteri Pemerintah, kekayaannya makin hari makin gendut dan melambung . Indonesia

jauh melencong dari yang dicita-citakan oleh founding fathers/mothers dan pejuang

kemerdekaan.

Kekayaan Indonesia dijarah dan dibagi-bagi oleh dan untuk para penguasa. Rakyat makin

dilupakan, dianggap seolah-olah sampah yang tak tahu apa-apa, terutama mereka yang semenjak

tahun 1965 menjadi korban fitnah dan rekayasa Suharto, yang keluarganya dibunuh, ditahan

belasan tahun, dibuang, dicabut kewarganegaraannya dan dikucilkan dari masyarakat dan dibatasi

ruang hidupnya. Mereka dianggap sebagai manusia berpenyakit kusta, harus dijauhi dan dianggap

sebagai pariah.

Setelah 65 tahun, mereka satu persatu meninggal dunia dalam kepapaan, dalam kemelaratan,

tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah tentang nasibnya. Bahkan keturunan dan sanak

saudara mereka sampai sekarang masih hidup menderita karena politik diskriminasi Pemerintah.

Janji-janji perhatian, rekonsiliasi dan rehabilitasi cumalah lip-service, cuma hiasan bibir.

Semboyan "dari rakyat untuk rakyat" hanyalah sekedar coretan di atas kertas. Tidak heran kalau

ada seorang ibu dengan 2 anaknya rela bunuh diri karena tidak bisa membayar "hutang" yang cuma

kurang dari 2 dollar. Beginilah kenyataan Indonesia kita sekarang!

Setelah Suharto si raja fitnah dan rekayasa ditumbangkan oleh para pemuda dan mahasiswa yang

heroik, dan KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI dalam Era Reformasi, nampak sedikit

cahaya terang menyinari bumi persada. Pertama-tama sekali, beliau yang adalah Ketua dan

sesepuh Nahdhatul Ulama (NU) berani meminta maaf kepada semua korban Suharto/Ordebaru,

orang-orang komunis yang dibantai, dimana NU dan anggota-anggotanya ikut arahan Suharto

menumpahkan darah orang-orang yang tak bersalah yaitu golongan progresip yang dituduh

komunis. Keberanian Gus Dur meminta maaf kepada para korban ini sangat dipujikan. Bukan itu

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

315 | P a g e

saja, bahkan Gus Dur berusaha untuk menghapus peraturan-peraturan Pemerintah atau MPR yang

salah kaprah, dibuat-buat oleh rezim Suharto, guna menopang dan menjadikan Suharto sebagai

penguasa di Indonesia, seperti TAP MPRS No: XXV/MPR/1966. Banyak usaha-usaha baik lainnya

yang dilakukan Gus Dur. Akan tetapi, karena hal ini, pihak lawan politiknya tidak suka, terutama

Golkar dan cecunguk Ordebaru yang masihberkuasa di pemerintahan dan MPR. Gus Dur didongkel

dan dijatuhkan. Dinaikkanlah wakil Presiden Megawati Sukarnaputri menjadi Presiden. Pihak

reaksioner, pembela-pembela Suharto/orba berasumsi bahwa Mega bisa didikte, dan tidak akan

berbuat hal-hal yang mereka tidak sukai. Asumsi dan harapan mereka ternyata memang betul

karena Mega tidak bisa berbuat banyak. Bahkan sebagai presiden, "tidak sempat" memulihkan

nama baik Bung Karno, ayahnya, yang dengan sengaja sudah ditumpuki najis oleh Suharto. Mega

gagal dan rakyat kecewa. Akibatnya, dalam pemilu 1999, Mega tidak terpilih. SBY yang pernah

menjadi menterinya Mega dan keluar karena disebut sebagai anak kecil oleh suami Mega, dan juga

sebagai Menteri yang dipecat Gus Dur, menang Pemilu dan jadi Presiden! Dia tampil sebagai idola!

Rakyat meletakkan harapan kepada Presiden SBY, seorang militer yang gagah, ganteng dan

dianggap berwibawa dan bisa membela rakyat. Sebagai Presiden, SBY mulai mengumbar kata-kata

dan janji manis.

Tahun 1984, Eks . Komandan RPKAD Letjen. Sarwo Eddi Wibowo, pernah bertemu dengan Ilham

Aidit, putra bungsu D.N. Aidit, Ketua PKI, di puncak Gunung Tangkubanperahu Jabar. Saat itu,

kepada Ilham, Sarwo Edhi berkata mengenai pembunuhan yang dilakukannnya, bahwa dirinya

hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah

peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo

mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan.

Perkataan, pernyataan dan uluran tangan Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit ini jelas

merupakan expressi, pernyataan "menyesal" dari Sarwo Edhi atas "perbuatannya" membunuhi

manusia seenaknya.

Akan tetapi, kendatipun Sarwo Edhi Wibowo "menyesal" dan menyatakan "sadar bahwa yang

dilakukannya itu salah", apakah kasus pembantaian tiga juta manusia itu bisa dianggap selesai

dengan "permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham?

Kasus G-30-S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Bukanlah kasus Sarwo Edhi dan Ilham Aidit,

tetapi adalah masalah bangsa dan negara, yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.

Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada tahun 2004, Ilham mengikuti silaturahmi yang

digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo "SBY" Bambang

Yudhoyono.

Dalam pertemuan itu Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo Edhi Wibowo

(yang adalah bapak mertua SBY), pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.

"Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus

menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif," kata Ilham. Ketika itu, SBY yang berbaju

batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham mengenakan kemeja lengan

panjang. (Silahkan baca tulisan wartawan Bersihar Lubis: Pertemuan Sarwo Edhie-Ilham Aidit)

Pada permulaan kekuasaannya, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, rakyat merasa

mempunyai harapan karena ucapan beliau yang akan "mensejahterakan eks. tahanan politik",

bahkan berkunjung ke Pulau Buru tempat 12.000 tapol dikerjapaksakan, diromushakan, dirodikan

oleh rejim Suharto untuk membuka hutan belantara menjadi perkebunan/ladang padi.. Akan tetapi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

316 | P a g e

sayang, sampai para eks tapol Pulau Buru pada mati satu persatu seperti Pramudya Ananta Toer,

Oei Hay Djoen dll., ucapan Presiden SBY pada 1 Oktober 2006 itu tidak pernah terlaksana.

Seharusnya, momentum," permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit, bisa menjadi

contoh dan pendorong buat SBY melakukan rekonsiliasi para korban rejim Suharto yang jutaan

jumlahnya. Namun, sayang, SBY sebagai penguasa, nampaknya tidak punya keberanian untuk itu.

Terlalu lembek dan mengikut arus para pendukung dan pembelaOrba Suharto.Bahkan kemudian

tindakannya menjadi berbalik 180 derajat, kembali mengikuti pola pikiran dan membela Suharto

dengan mengatakan bahwa membicarakan masalah yang berkaitan dengan G30S/1965 sebagai hal

"yang tidak produktif" dan rakyat supaya jangan terjebak dengan hal itu. (Silahkan baca RM-

Online 1/10/2006).

Betapa sedih dan kecewanya jutaan Rakyat akan penyataan SBY itu. Membicarakan mengenai

derita 20 juta sanak keluarga korban rejim Suharto sebagai "tidak produktif". Nampak dan jelas

sekali bahwa Presiden dan Pemerintah, cenderung untuk nelupakan begitu saja, menghilangkan dan

menghapus sejarah yang terjadi atas bangsa dan tanah air Indonesia. Rakyat, bukan saja kecewa

dengan SBy, namun juga menjadi takut karena menganggap bahwa SBY dan Suharto adalah satu!

Yang lebih jelek lagi, dalam mengungkapkan masalah HAM, dua tahun yang lalu ada mantan

jenderal yang juga coba menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa "tak ada jenderal yang

bunuh rakyatnya". Kalau boleh kita bertanya, bagaimana dengan pengakuan Jenderal Sarwo Edhi

Wibowo yang telah membunuh 3 juta jiwa? Bahkan lebih munafik lagi, ada juga Mantan Jenderal

terkenal yang juga beriktikad menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa di Indonesia

tidak ada Genosida. "Kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal, termasuk

genocida itu seperti yang terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman". Sang Mantan Jenderal

terkenal ini jelas sekali menutup mata dan menyembunyikan serta menghilangkan fakta sejarah

Pembunuhan Massal atau Genosida yang terjadi di Indonesia pada tahun 65/66. Sedangkan

Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang

amat mengerikan: "Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah

korban perang Vietnam selama 12 tahun." (Perang Urat Syaraf.Kompas, 9 Februari 2001). Dan

tidak ketinggalan, bahkan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang dibanggakan bangsa

Indonesia karena beliau pernah dibesarkan dan bersekolah di Indonesia, mengatakan: "According

to estimates, between 500.000 and one million people were slaughtered during the purge, with

750.000 others imprisoned or forced to exile.".

Nah, bagaimana mantan Jenderal terkenal Indonesia itu menanggapi pernyataan Barack Obama

ini?

Telah banyak ditulis buku-buku, baik oleh sarjana-sarjana luar maupun dalam negeri yang

menceritakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Peristiwa Tragedi Nasional 1965/di

Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan tulisan dan artikel telah muncul mengenai derita dan aniaya

yang menimpa bangsa dan tanah air di bawah rejim Suharto/Orba dan Peristiwa Pembantaian

Masal 1965. Puluhan buku hasil penelitian dan studi telah ditulis oleh banyak pakar dan

cendekiawan luar dan dalam negeri, mengenai Peristiwa 1965, kudeta Jendral Suharto,

penggulingan Presiden Sukarno dan Genosida 1965 . Baik dalam bentuk artikel, wawancara, prosa

ataupun puisi yang menggambarkan tentang derita dan sengsara rakyat dalam Peristiwa 1965.

Para sarjana dari Amerika, Belanda dan Kanada seperti Prof. Br. Ben Anderson , Dr. Mc. Vey,

Lambert Giebel, John Hughes, Dr. Henk Schulte Nordholt dan banyak lagi lainnya, semua menulis

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

317 | P a g e

tentang Tragedi Nasional 1965 di Indonesia. Tak ketinggalan juga Prof. John Roosa yang menulis

buku: "Dalih Pembunuhan Massal-G30S dan Kudeta Suharto" yang merupakan panduan penting

untuk generasi muda Indonesia untuk mengerti tentang Kudeta Suharto, yang coba ditutupi dan

disembunyikan oleh para pendukung dan pengikut Suharto yang masih duduk di lembaga-lembaga

pemerintahan dan kejaksaan sampai sekarang. Bahkan, seorang penulis Indonesia, Harsutejo juga

pada 2003 telah berhasil menulis dan menerbitkan hasil penelitiannya yang berjudul : "G30S --

Sejarah yang Digelapkan" -- Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto".

Begitu banyaknya buku dan tulisan yang membukakan kepada bangsa dan generasi muda Indonesia

tentang Peristiwa Tragedi Nasional dan Kudeta Suharto, sampai-sampai sebuah lembaga

dokumentasi penting di Amsterdam Negeri Belanda, "Perkumpulan Dokumentasi Indonesia ", di

bawah asuhan Saudara Sarmaji (seorang yang paspor Indonesianya dicabut Suharto), telah

berhasil menyusun sebuah perpustakaan dan koleksi yang jumlahnya tidak kurang dari 231

(duaratus tigapuluh satu) judul buku dan dokumen mengenai "Gerakan 30 September 1965 dan

Dampaknya". (dari: Catatan Ibrahim Isa, Negeri Belanda)

Juga tidak bisa dilupakan segala usaha dan jerih payah Saudari Cyntha, yang ayahnya Dr.

Wirantaprawira mendapat tugas belajar di Eropah Timur (1963-1968), namun kemudian paspornya

dicabut oleh rejim Suharto hingga hampir 47 tahun terpaksa "kelayaban" di mancanegara.

Sebagai generasi muda yang lahir tahun 1983 dan hidup di luar Indonesia, Cyntha telah berhasil

mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai "Gerakan Satu Oktober 1965" (Coupd´État ´65), yang

telah disusunnya sebagai sebuah e-Book dengan judul "Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 -

Mencari Keadilan ("Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 - Suing for the Justice")

Ini bisa dilihat dan dibaca dengan mengklik situs: http://www.wirantaprawira.net/pakorba/

Namun, dengan jumlah buku dan dokumen yang begitu, masih terasa belum mencukupi. Indonesia

telah terlalu lama dicekoki dengan sejarah dan plintiran fakta oleh rejim Suharto. Sepertiga abad

lamanya, setiap hari bangsa kita dijejali dongeng dan cerita rekayasaciptaan rejim Orba, sehingga

menjadi muak dan apatis dan akhirnya menjadi masa bodoh dan sebagian menganggap bahwa

semua cerita itu sebagai suatu yang benar. Generasi muda Indonesia, pewaris-pewaris masa depan

bangsa dan negara, perlu lebih banyak mengetahui, perlu lebih banyak bahan dan dokumentasi

untuk dipelajari guna menelanjangi Pemerintah sekarang dan para pejabatnya yang cenderung

untuk menghilangkan dan menghapus secara diam-diam sejarah Tragedi Nasional 1965, tentang

Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto.

Kita berterimakasih kepada Penerbit Ultimus Bandung yang pada 1 Agustus 2010 telah

menerbitkan sebuah buku kecil yang berjudul "Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia". Buku

setebal 256 halaman ini yang diberi kata pengantar oleh Prof. Jakob Sumardjo, berisi kumpulan

informasi dan tulisan dari para ahli sejarah dan penulis-penulis lainnya sekitar 'sejarah hitam'

yang coba disembunyikan, dihilangkan dan dihapus atau ibarat "abu" yang coba disiram , coba

dimusnahkan oleh pihak penguasa. Dan abu sejarah hitam yang berserakan di mana-mana ini,

dikumpulkan menjadi satu catatan yang berkesinambungan dan dijadikan buku, agar menjadi

pegangan dan panduan kaum muda Indonesia.

Di samping menceritakan secara urutan-kronologis-tentang sejarah hitam Indonesia dari masa

sesudah Proklamasi Kemerdekaan sampai kepada wafatnya Bung Karno karena sengaja dibunuh

secara perlahan oleh Suharto, buku ini memuat sebagian kecil (lebih dari seribu nama) Daftar

Korban Genosida 1965-1968, yaitu nama para /tapol yang ditahan dan dihilangkan, dibunuh tanpa

proses hukum oleh penguasa militer, di Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Jogyakarta dan Sumut,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

318 | P a g e

Sumbar, Riau serta Daftar Pemerkosaan Perempuan di Indonesia tahun 66-67 yang dilakukan oleh

Penguasa dan kakitangannya. Daftar ini diperoleh dari Bagian Data Lembaga Perjuangan

Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR-KROB), yang merupakan sebagian kecil dari Daftar

Genosida 65 yang oleh LPRKROB telah diserahkan kepada Komnas HAM. Setiap orang dianjurkan

untuk mendapatkan buku kecil ini sebagai pegangan guna membantah omongan yang mengatakan

"tidak ada jenderal yang membunuh rakyatnya" atau omongan yang mengatakan bahwa "genosida

itu cuma terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman" tanpa menyinggung sedikitpun tentang

Pembunuhan Massal 3 juta orang di Indonesia oleh rejim Suharto. Bagi sanak saudara keluarga

para korban, mungkin bisa menemukan nama ayah, ibu, saudara atau kakeknya dalam Daftar

Genosida dan Perkosaan yang terlampir dalam buku tersebut.

Menurut Harian Sinar Harapan tanggal 10 Maret 2004, Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda

Nusantara telah mengucapkan pernyataan yang antara lain menyebutkan bahwa : "Perlu diteliti

siapa aktor dan berapa jumlah korban pembantaian 1965. Negara telah membiarkan korban

selama puluhan tahun tanpa proses pengadilan, maka negara harus minta maaf dan memberikan

keadilan pada korban".

Dan Ifdhal Kasim Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM dalam mimbar bebas untuk memperingati

Hari HAM se-Dunia di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta (Kamis, 10/12/2009).

menilai "kebijakan SBY tidak serius dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia

(HAM) di Indonesia". Jadi, nampaknya, selama masih Presiden Indonesia adalah SBY, mungkinkah

bakal ada penyelidikan dan pemeriksaan atas drakula-drakula yang menumpahkan banyak darah

bangsa Indonesia dalam Pembunuhan Massal 1965? Rasanya jauh panggang dari api, karena

mbahnya drakula, si pembunuh manusia yang terbesar jumlahnya adalah Komandan RPKAD, Letnan

Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang adalah bapak mertua SBY sendiri! "Jangan Sekali-kali

Melupakan Sejarah" kata Bung Karno! Karenanya, tanpa ada keberanian SBY melakukan gebrakan,

sebagai pimpinan negara untuk meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan

pemerintahan rejim Suharto, dan melakukan rekonsiliasi atas para korban rejim Suharto, rasanya

sulit bagi rakyat yang telah menderita selama 45 tahun untuk mengakui SBY sebagai pemimpin

mereka; Tidak bakal ada arti samasekali bagi rakyat yang menderita, karena mereka akan

menganggap Suharto dan SBY sami mawon!

Hendaknya, SBY berani belajar akan keberanian Paus John Paul II yang meminta maaf kepada

Dunia karena keikutsertaan Katolik atas Nazi Hitker; berani belajar atas keberanian Perdana

Menteri Australia Kevin Rudd yang meminta maaf atas perilaku pemerintahan masa lalu yang

melakukan "stolen generation atas" anak-anak Aborigin Australia; berani belajar atas keberanian

Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, yang meminta maaf atas kesalahan pemerintahan masa

lalu yang menculik anak-anak Inggris dan membuangnya - mentransmigrasikannya- ke Australia.

Alangkah bagusnya kalau SBY mencontoh keberanian pemimpin-pemimpin dunia tersebut.

Mengingat semuanya itu, patutlah kiranya sama-sama kita hargai dan kita dukung segala usaha dan

kegiatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan dan golongan seperti LPR-KROB, YPKP, Pakorba,

Komnas HAM, Kontras, dan organisasi-organisasi Kemanusiaan lainnya, baik di dalam maupun

luarnegeri, yang selalu menyegarkan ingatan bangsa kita kepada tragedi besar yang telah

menimbulkan begitu banyak korban. Apa yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut diatas

itu sangatlah perlu dan juga mulia bagi keseluruhan bangsa, termasuk bagi anak cucu kita di

kemudian hari. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah", pesan pemimpin kita Bung Karno.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

319 | P a g e

Para korban rejim militer Suharto yang begitu banyak itu - terutama sekali yang dari golongan

kiri dan pendukung politik Bung Karno - sudah terlalu lama, semenjak 1965, mendapat berbagai

perlakuan yang melanggar HAM dari penguasa bahkan juga dari sebagian masyarakat. Mereka itu

berhak menuntut dan berjuang bersama-sama untuk memperoleh hak mereka sebagai

warganegara yang lain atau direhabilitasi sepenuhnya.

Mereka juga berhak sepenuhnya - dan sudah seharusnya pula - untuk menuntut diperbaikinya

kesalahan-kesalahan yang begitu besar dan ditebusnya dosa-dosa berat yang sudah dilakukan

begitu lama oleh Orde Baru beserta para penerusnya. Diperbaikinya kesalahan dan ditebusnya

dosa-dosa terhadap para korban itu akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bangsa, yang

sampai sekarang masih tercabik-cabik, atau tersayat-sayat, sehingga melukai Pancasila dan

merusak Bhinneka Tunggal Ika. (silahkan baca tulisan A.Umar Said, Paris dalam Mengenang

peristiwa 30 September 1965 dengan judul "Korban rejim Suharto berhak dan harus menuntut

keadilan !".- http://umarsaid.free.fr/)

Kawan-kawan para korban rejim Suharto, di manapun berada, baik yang belum maupun yang sudah

tergabung dalam organisasi apapun jua, dalam mengenang, mengheningkan cipta dan memperingati

45 tahun Peristiwa Tragedi Bangsa 1965 ini, mari bersatu teguh dan harus menggunakan hak kita

sebagai bangsa Indonesia, menuntut keadilan kepada Pemerintah yang berkuasa! Jangan sampai

tertipu dengan usaha-usaha licik para penerus rejim Orba (baca Suara Pembaruan 23/9/2010)

yang ingin mengangkat Suharto sebagai "Pahlawan Nasional". Tuntaskan terlebih dahulu masalah

Peristiwa 1965 dan Pembunuhan Massal 3 juta manusia tahun 1965/1966 itu, masalah Pembunuhan

perlahan-lahan terhadap Bung Karno, Bapak Bangsa dan Pemimpin Revolusi Indonesia dan Kudeta

merangkak Suharto, Cabut TAP No. XXV/MPR/1966 dan TAP XXXIII/MPR/1967, perjelas

kebenaran sejarah Indonesia yang digelapkan selama ini, baru kemudian dipikirkan, apakah pantas

untuk menganugerahi "koruptor/maling besar, penyelundup kawakan, penjahat kemanusian

terbesar abad 20, sersan KNIL (serdadu kolonialis Belanda) yang jadi penguasa Indonesia dan

mengangkangi Indonesia selama sepertiga abad lamanya , menjadi "pahlawan nasional"?.

"Jika Suharto pahlawan nasional, maka semua koruptor dan perusak negara Indonesia ini, yang tak

lain adalah anak anak didik dan anak anak kesayangan Suharto, adalah putera putera bangsa yang

berjasa ! Karena mereka ini adalah produk dari orba selama Suharto berkuasa memerintah

Indonesia .Jika Suharto pahlawan nasional , maka sebagai konsekwensi Bung Karno adalah

dianggap penghianat Republik Indonesia , bukan pendiri dan proklamator RI, bukan penggali

Pancasila, bukan pemimpin Revolusi Indonesia, bukan ketua BPPKI dan bukan salah satu perancang

UUD 1945 . Dan Bung Karno adalah seorang berstatus tahanan atau pesakitan yang masih

dipenjara-rumahkan ! Kenyataan lebih biadab lagi, Bung Karno telah dibunuh perlahan perlahan

oleh rejim Suharto !

Konsekwensinya? Indonesia bukanlah lagi Republik Indonesia yang lahir dari Revolusi Agustus

1945 yang telah dibayar dengan waktu, pikiran, tenaga dan jiwa para founding mothers dan

fathers kita selama periode dari tahun 1928 (Sumpah Pemuda) sampai Revolusi 1945 !"

(Iwamardi-Jerman)

Mengangkat Suharto menjadi 'pahlawan nasional' adalah merupakan sebuah lelucon, dagelan-jawa

yang tidak lucu, yang bukannya membuat rakyat tertawa dan gembira tetapi muntah!!!

YTTaher

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

320 | P a g e

Australia-30 September 2010.

Von: Barisan Merahputih

Datum: 03.10.2010 04:25:37

An: [email protected]; [email protected]; aswi

w.Adam; Hinu Endro Sayono

Cc: [email protected]; Dian Su; Marco Polo

Betreff: Bls: [wahana-news] Suharto, G30S dan Pahlawan Nasional

Bung Dr.Aswi Warman Adam yth.,

Secara Konstitusionil dapat diartikan, bahwa ketika Tragedi Nasional September 1965

berlangsung dan sampai dengan Penetapan MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dari

Jabatannya sebagai Presiden R.I., teoretis, poor teoretis dari segi ke Tatanegaraan di R.I.

Presiden Soekarno dan Panglima Tertinggi TNI ikut bertanggungjawab atas Tragedi Nasional

yang membawa Jutaan Korban Manusia. Sekali lagi,hanya poor teoretis, dari segi ke

Tatanegaraan di R.I. bisa dilihat demikian. Para Mentri dari NASAKOM, terutama dari

Agama/NU, yang memihak Militer melancarkan teror dan dengan demikian memberikan peluang

buat Militer merebut kekuasaan Negara dan merubah Haluan Negara, ikut bertanggungjawab atas

Tragedi Nasional tsb. Dan inilah kelihaan CIA dan seluruh Aparat Rahasia NATO dalam

mengorganisasi coup d'Etat di R.I., dengan sangat lihay mereka bisa mempergunakan TNI

sedemikian rupa,yang baru saja "bertempur" melawan Imperialisme Belanda (NATO) di Irian

Barat,also Patriotisme Nasional R.I. yang berkobar-kobar dan dalam waktu yang pendek bisa

membalik, melakasanakan kepentingan AS & Co., dengan melakukan pembunuhan Massal atas

Jutaan Warganegara R.I dengan Legal, dan CIA menempatkan Orang-Orang mereka dalam

kekuasaan Negara R.I.

Tentu Bung Dr. Aswi Warman Adam akan bertanya, "dimana tanggungjawab Pimpinan PKI, sebagai

salahsatu unsur NASAKOM". Menurut saya, Para Pimpinan Partai Komunis Indonesia ( PKI ),

terutama Anggota Politbiro CC PKI,bertanggungjawab terutama kedalam, kepada Anggota-

Anggota Partai dan Anggota-Anggota Ormas, yang berhubungan atau dekat dengan PKI ketika itu,

yang dijagal tanpa perlawanan apapun, dijagal ditempat tidur oleh Pasukan TNI AD dan Pemuda

NU/ANSOR dibawah Komando Letkol Sarwo Edhie.

Seyogiyanya Politbiro CC PKI mempunyai waktu. minimum 48 Jam (keadaan darurat ), hari

berikutnya setelah 30 September1965,ketika itu konflik dalam Militer sedang berjalan, untuk

merumuskan dengan tepat situasi Nasional yang sedang berjalan,merumuskan kontradiksi pokok

dalam skala nasional,dan memberikan Apelasi kepada Massa Rakyat luas, bahwa "Negara dalam

Bahaya" dan memberikan Komando kepada semua Anggota-Anggota Partai untuk berlawan dan

perlawanan tsb. akan bisa membantu Bung Karno, yang ketika itu sedang berada dalam Tahanan

para Jendral ABRI/TNI dibawah Komando Jendral Suharto. Saya yakin, seluruh kekuatan NAS

dan KOM sangat kecewa atas sikap "Penyerahan" Pimpinan Politbiro PKI ketika itu kepada

keadaan yang berlangsung, dan dalam waktu yangsama bersembunyi dibelakang punggung Bung

Karno, yang juga tidak bisa berabuat apapun, hubungan dengan Rakyat Indonesia diputus oleh

Jendral Suharto, dan yang membawa akibat yang fatal sampai hari, 45 Tahun berjalan.

Justru itu, konstatasi Bung Dr. Aswi Warman Adam, adanya "konflik horizontal ditengah

Masyarakat",tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, yang ada yalah pembunuhan massal,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

321 | P a g e

poor pembunuhan Manusia, tanpa perlawan apapun, Anggota-Anggota PKI ketika itu kehilangan

orientasi, tidak berbuat apapun.

45 Tahun para Jendral Dwi Fungsi ABRI/TNI menguasai kekuasaan Negara R.I., dengan diselingin

oleh Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, tiga Presiden R.I. yang tidak mampu merubah

mekhanisme kekuasaan Orde Baru para Jendral Dwi Fungsi TNI, dan experiment "Reformasi"

gagal total, ketika Jendral Susilo Bambang Yudhoyono berhasil kembali mengkonsolidasi kekuasan

Militer dalam Pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah, dari Provinsi sampai kekelurahan,

dikuasai oleh Komandan Territorium dan Business TNI, bagian penting dari Dwi Fungsi TNI,

berjalan marak, diluar kontrol Exekutive, Yudikative maupun Legislative.

Hirukpikuk yang berjalan kini, mengenai Titel Pahlawan Nasional untuk Suharto, dan dibarengi

dengan kesibukan usaha Presiden SBY untuk mempromosi Iparnya Mayjen TNI Pramono Edhie

Wibowo, Panglima Kostrad ( Putra Jendral Sarwo Edhie Wibowo, penjagal Warganegara R.I

),sebagai Capres 2014, dapat dilihat mekhanisme Orde Baru para Jendral Dwi Fungsi TNI,

berada diatas kekuasaan Negara, dan Negara dan Bangsa Indonesia dijadikan booty-Hakmilik

Militer, sebagai hasil perampasan.

Justru itu, Republik Indonesia membutuhkan sebuah Pemerintahan R.I. yang mampu

mempertahankan Identitas Nasional sebagai Negara dan Bangsa Merdeka dan Berdaulat,

Pemerintahan yang mampu membentuk Perekonomian Nasional, memobilisasi dan memproteksi

seluruh Resource TanahAir, Bangsa dan Negeri, etc. untuk kepentingan Kemajuan Perekonomian

Nasional, Pemerintahan yang mampun membentuk Keamanan dan Pertahanan Nasional, keDalam

dan keLuar, sebagai syarat dari Negara Merdeka dan Bangsa Merdeka, Pemerintahan yang

mampu membela Hak Hak Kewarganegaraan Warganegaranya. Hanya dengan Pemerintahan R.I.

yang seperti itu akan bisa dibangun "State-Building" dan bisa membentuk "Nation-Building",

dalam satu wadah NKRI,tanpa konflik Ethnis yang kini terjadi hampir diseluruh Wilayah R.I.

Inilah respondse dari Tulisan Bung yang menyangkut masalah Perkembangan Negara dan Bangsa

Indonesia, 45 Tahun terakhir.

Salam

Dr.Alexander Tjaniago

Apropos: kalau mungkin, sampaikan Salam buat Pak Arbi Sanit, dan terimakasih, terakhir sering

saya temukan Tulisan-Tulisan dari Rekan-Rekan di LIPI, yang cukup menarik.

Apa perbedaan dari Indonesia sebelum 1965 dan sesudahnya? pertanyaan ini saya lontarkan dalam

kaitannya dengan pelarangan ajaran komunisme di Indonesia. Perlu diingat kembali bahwa

kebebasan berpendapat di Indonesia dijamin secara lisan maupun tulisan dalam Undang-Undang

Dasar 1945 maka pelarangan sedemikian tentunya melanggar atau dengan kata lain seolah

mengesampingkan UUD negara yang wajib dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali. Kalau

sekarang komunisme dilarang di Indonesia, apakah sebelum tahun 1965 Pancasila dan UUD 1945

yang dianut oleh Indonesia berbeda?

Kalau bangsa Indonesia saat ini ditanya mengapa anda menentang ajaran komunisme, kemungkinan

besar tentu tidak dapat menjawab pertanyaan itu, kecuali mengatakan hal-hal klise yang sudah

kita sering dengar selama perjalanan rezim Orde Baru terutama dalam penataran P4 (ideologisasi

Pancasila versi Soeharto - beruntunglah generasi sekarang yang tidak perlu lagi mengikuti

penataran ini), yakni komunisme itu ateistis, anti-ketuhanan. Atau, kemungkinan yang paling nyata

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

322 | P a g e

adalah kemungkinan dia (rakyat) takut berbeda pendapat, padahal ia harus menyanyikan lagu yang

sama, nyanyian "Anti-komunisme". Jadilah orang Indonesia naif karena menentang komunisme

tanpa memahami perihal dan ajaran seutuhnya dari komunisme. Jadi agar rakyat Indonesia secara

keseluruhan tidak naif, komunisme di Indonesia perlu dipelajari. Karena ajaran komunisme

bukanlah merupakan makhluk menakutkan yang berwujud seperti setan atau jin. Sekolah-sekolah,

setidaknya mulai sekolah menengah atas saya kira perlu mengenalinya, dan bukan berarti untuk

kemudian menganutnya, melainkan untuk menolaknya secara sadar, maksudnya membuktikan

bagaimana ideologi ini berfungsi didalam praktiknya. Menurut pendapat saya, dengan mengenal

ajaran komunisme bangsa Indonesia justru akan memperkuat kedudukan Pancasila sebagai dasar

filsafat negara - saya percaya akan hal ini. Modal utama bagi penentangan komunisme adalah

kemakmuran rakyat. Kenapa? Karena dilihat dari sejarahnyapun ajaran dan ideologi Komunis

memang sangat menarik bagi rakyat jelata yang miskin. Hal itu bukan saja terlihat dan terasa

jelas dari propaganda ajarannya, tetapi juga karena tindakan-tindakan nyata untuk mencukupi

kebutuhan material mereka terutama memenuhi kesejahteraan rakyat seperti sekolah gratis,

kesehatan dijamin negara, pekerjaan yang layak dll. Kita ambil contoh misalnya Cina. Rakyat Cina

berjumlah lebih dari 1 milyar. Kita tak pernah dengar kelaparan dan ketelanjangan di Cina. Karena

komunisme di sana mampu memenuhi janji memakmurkan rakyatnya, untuk itulah alasannya kenapa

komunisme di Cina laku sampai hari ini. Namun, supaya tetap laku, komunisme Cina

meliberalisasikan komunismenya, seperti misalnya merebaknya kebebasan beragama dan

beribadah diseluruh dataran Cina. Jadi komunisme asli tidak ada lagi - mungkin hanya di Korea

Utara. Untuk itulah selama negara dapat memakmurkan rakyat, siapapun sebenarnya tidak perlu

takut akan bahaya laten komunisme. Justru malah kita harus mampu menjinakkan komunisme

menjadi "makhluk" baru yang bersahabat dengan kita yang bukan penganut komunisme. Dunia kita

dewasa ini bukan lagi dunianya Stalin atau Mao Zedong, namun telah menjadi zaman pendekatan

globalisasi. Yang harus dilakukan sekarang di Indonesia adalah mencabut Tap MPRS Nomor

XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan Ajaran Marxisme-Leninisme karena Tap ini jelas-

jelas tidak menghormati HAM dan sebagai bangsa yang besar dan lahir batin menjunjung tinggi

Pancasila sudah seharusnya menghilangkan perbedaan-perbedaan yang lahir dan tumbuh dalam

masyarakat.

salam hangat

Teddy

Bung Chan & Bung Yap yb.,

Ikut nimbrung. Saya salah seorang korban rejim Orba/Suharto, yang sampai kini 48 tahun

terpaksa "kelayaban" di Mancanegara, bukan merasa dendam kepafa rejim Orba/suharto, tapi

mencari dan menuntut keadilan. Situasi jaman sekarang sudah beda dengan tahun 60 - 70han,

dimana sumber informasi dimonopoli oleh Suharto dan AD-nya. Orang bodohpun jadi tahu, latar

belakang peristiwa GESTOK 1965 tsb (lihat http://www.wirantaprawira.net/pakorba/ dan pijit

Rubrik "Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 – Suing for the Justice"). Sebagai

korban "We can forgive - but not forget!" Kita mau rekonsiliasi, tapi pelaku termasuk dalang-

dalangnya yang masih barcokol (AD) masih tetap menakut-nakuti dengan "Bahaya laten komunisme

di Indonesia!" Bayi baru lahirpun di Indonesia, bilamana mereka mau menuntut keadilan dari

Pemerintah, bisa dianggap anak komunis! Selama Militer dan Dwifungsinya di Indonesia masih

berkuasa (sampai sekarang) - Tomy akan tetap tersenyum dan Bapaknya akan dijadikan Pahlawan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

323 | P a g e

!!!!!

Salam damai,

Willy

-------Originalmeldung-------

Von: ChanCT

Datum: 03.10.2010 09:12:51

An: Tionghoa-Net

Betreff: [temu_eropa] Re: Umbar Senyum, Tommy Kagetkan Peserta Silaturahmi Nasional

Bung Yap yb,

Hahaa, senang bisa menarik bung untuk bersuara memberi komentar, setelah agak lama

tenggelam. Masih saja sibuk dengan kerjaannya, masih berada di Lampung perkebunan Kelapa

Sawit, ya?

Bagaimanapun juga masalah bunuh membunuh, bentrok-berdarah yang selama ini (kecil maupun

besar) terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa, jangan dibiarkan lewat begitu saja. Tentu bukan

untuk diteruskan baku-hantam deengan jatuh korban yang lebih besar dan dahsyat, ... tapi

bagaimana bisa diakhiri dengan baik. Tidak berlanjut menimpa anak cucu kita lagi. Untuk itu

harus bisa secara baik mengungkap apa masalah sesungguhnya, dan, ... menjathukan HUKUMAN

pada orang-orang yang harus bertanggungjawab. Jadi, bukan sebaliknya deengan tetap

membiarkan masalah sesungguhnya tetap tertutup kabut tebal, dan tiada orang yang harus

bertanggungjawab atas peristiwa-berlumuran darah itu.

Pertanyaan saya: "Memangnya siapa yang membunuh siapa???", kemudian "Lalu siapa pula yang

anak pahlawan dan siapa pula yang anak penghianat???", tentu tidak bisa dirubah menjadi

pertanyaan yang bung ajukan: "Apakah menurut terori Bung Chan, para Pahlawan Revolusi tidak

dibunuh?" Ataupun "Apakah menurut teori bung Chan, para Pahlawan Revolusi bukan dibunuh oleh

pasukan Tjakrabirawa dan tentara pro-PKI?"

Maksud saya, peristiwa G30S yang telah menelan begitu banyak korban jiwa, baik dibunuhnya 6

jenderal + 1 Perwira tanpa proses HUKUM yang kemudian dinobatkan jadi pahlawan, maupun

jutaan rakyat tidak berdosa yang dibantai juga tanpa melalui proses HUKUM, ... adalah satu

aksi/tindakan dimana orang yang sama yang harus bertanggungjawab. Sungguh sangat prihatin dan

sedih sekali melihat ketidak mampuan aparat keamanan dan HUKUM dinegeri ini yang sampai

sekarang belum juga berhasil menjernihkan masalah, menyeret kedapan pengadilan tokoh yang

harus bertanggungjawab.

Aksi penculikan 7 jenderal yang dituduh Dewan Jenderal disubuh 1 Oktober 65 itu, yang kemudian

dibunuh dan dibuang di lubang Buaya. Jelas dilakukan oleh grup dari Yon 454 dan Yon 530 yang

didatangkan sendiri oleh jenderal Soeharto, dan anehnya pasukan didatangkan ke Jakarta untuk

peringati Hari Angkatan Perang 5 Oktober, dengan perintah perlengkapan siap-tempur. Menjadi

lebih aneh lagi, justru pasukan ini pula yang bertugas menumpas sepasukan yang jalankan G30S

itu, ...

Kemudian juga patut mendapatkan kejelasan lebih lanjut, penculikan 7 jenderal yang pada awalnya

hanya dimaksudkan untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno sebagai Pangti, kenapa seketika

berubah menjadi "dibunuh" saja semua? Siapa sesungguhnya yang merubah dan menurunkan

PERINTAH BUNUH saja!

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

324 | P a g e

Kenyataan selanjutnya yang lebih-lebih kejam dan sangat tidak manusiawi, adalah pengejaran,

penangkapan dan pembantaian massal yang terjadi terhadap jutaan rakyat tidak berdosa, yang

dituduh komunis dan pengikut bung Karno, dan praktis semua dilakukan juga tanpa proses HUKUM

yang benar! Lalu, siapa sesungguhnya yang harus bertanggungjawab atas terjadinya pembunuhan

massal, penangkapan dan pembuangan ratusan ribu orang sampai belasan tahun lamanya? Sedang

belasan sampai puluhan juta keluarga, istri, suami, sanak-saudara dan anak-anak dikucilkan dari

masyarakat dengan stempel "tidak bersih lingkungan , begitu banyak warga tidak berdosa harus

hidup sebagai pesakitan, lebih jelek statusnya dari warga klas-kambing, dan penderaitaan itu

berlangsung sampai sekarang setelah lewat 45 tahun. Sungguh sangat menyedihkan, ternyata

tidak seorangpun dinegeri ini yang bisa menggugat, siapa yang harus bertanggung jawab.

Itulah pertanyaan saya yang mendasar, siapa membunuh siapa? Kalau diungkap benar masalah

pembunuhan saat G30S itu, baik pembunuhan atas 7 jenderal maupun jutaan rakyat tak berdosa,

kita tarik keatas sampai mengkerucut pada seorang saja, bukan mustahil jenderal Soeharto itulah

satu-satunya orang yang harus bertanggungjawab penuh atas kejadian bunuh-membunuh ketika

itu.

Bagaimana bisa begitu?

Coba perhatikan baik-baik, Jenderal Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD sekalipun tahu lebih

dahulu adanya rencana penculikan atas 7 jenderal dari Dewan Jenderal, tapi dia tidak lapor pada

atasannya jenderal Yani, juga tidak lakukan tindakan mencegah bahkan membiarkan rencana itu

berlangsung. Jadi, pembunuhan atas 7 jenderal itu, jenderal Soeharto tidak akan lolos juga harus

bertanggungjawab penuh.

Dan jelas, sesaat setelah G30S, di tgl. 2 Oktober 1965 itu, hakekat kekuasaan sudah berada

ditangan jenderal Soeharto. Presiden Soekarno sekalipun formal tetap menjabat Presiden RI,

sudah tidak bisa berperan sebagai Presiden, Pnaglima Tertinggi TNI lagi. Dimana jenderal

Soeharto membangkang dan menentang pengangkatan jenderal Pranoto sebagai pengganti

jenderal Yani. Dan, kalau diperhatikan pembunuhan massal terjadi dimulai setelah pasukan RPKAD,

dibawah pimpinan LetKol. Sarwo Eddie sampai di daerah Minggu ke-3 Oktober 65 di Jateng,

pertengahan Nopember 65 di Jatim dan Desember di Bali, ... menunjukkan dengan jelas bahwa

pembunuhan massal itu terjadi secara terorganisasi, setelah pasukan RPKAD sampai didaerah

membangkitkan kemarahan warga setempat untuk bunuhi orang-orang sesuai daftar nama yang

diberikan. Jadi adanya gerak aparat militer saat itu, tentu tidak luput dari sepengetahuan bahkan

perintah jenderal Soeharto sendiri. Jadi, tidak salah mengatakan jenderal Soeharto jugalah

orang yang paling harus bertanggungjawab atas terjadinya bunuh-membunuh yang sangat tidak

manusiawi itu.

Situasi memang lebih sangat menyedihkan dan memprihatinkan, karena kenyataan sudah lewat 45

tahun, sekalipun Pemerintah RI telah berganti 4 Presiden, tapi aparat HUKUM belum juga

berhasil mengungkap masalah Pelanggaran HAM-berat yang terjadi. Mengapa? Karena Pemerintah

yang berkuasa sampai saat ini tidak bebas dari bayang-bayang ORBA, pengaruh kuat jenderal

Soeharto. Belum lagi melihat kenyataan pahit, dimana badan HUKUM sudah tidak bersih dan adil

lagi, sudah kemasukan mafia dan terjadi manipulasi kasus. Dalam keadaan demikian, bagaimana

bisa memproses kasus pelanggaran HAM-BERAT jenderal Soeharto? Kasus Korupsi besar yang

dilakukan Soeharto saja, terpental balik hanya dengan mudahnya di nyatakan, bukti-bukti akurat

masih belum cukup dan dalam keadaan sakit! Sudahlah, tapi saya yakin pada satu saat, bangsa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

325 | P a g e

Indonesia akan bangkit dan sadar untuk menggugat dan menyelesaikan sendiri masalah

pelanggaran HAM-BERAT ini, yang telah menodai hitam jalannya sejarah bangsa ini.

Mengapa pula tidak berhasil menuntut di Mahkamah internasional? Lha, kalau diperhatikan

keberhasilan jenderal Soeharto naik kesinggasana kekuasaan dengan lebih dahulu membasmi

komunis di Indonesia itu, tidak lepas dari CIA-AS. Bagaimana bisa menuntut ke Mahkamah

Internasional, kan sama saja menyeret CIA-AS ke mahkamah Internasional, ...

Nah, sementara sekian saja jawaban saya.

Salam,

ChanCT

----- 原始郵件-----

寄件者: ouwehoer

收件者: [email protected]

傳送日期: 2010年10月3日 4:47

主旨: [t-net] Re: Umbar Senyum, Tommy Kagetkan Peserta Silaturahmi Nasional

Bung Chan Yth,

Menarik sekali pertanyaan Bung Chan: "Memangnya siapa yang membunuh siapa???"

"Lalu siapa pula yang anak pahlawan dan siapa pula yang anak penghianat???"

Apakah menurut teori Bung Chan, para Pahlawan Revolusi tidak dibunuh? Apakah menurut teori

Bung Chan, para Pahlawan Revolusi bukan dibunuh oleh pasukan Tjakrabirawa dan tentara pro-

PKI?

Seandainya teori Bung Chan dkk adalah benar, bahwa Jenderal Soeharto telah melakukan

pelanggaran HAM-berat, mengapa selama 45 tahun tidak satupun manusia atau lembaga, apalagi

Negara, yang mengajukan perkara kejahatan Pak Harto di Mahkamah Internasional di Den Hague?

Jangankan persepsi dunia, setelah 12 tahun lengsernya rezim Orde Baru, persepsi bangsa

Indonesia pun tidak menuntut Pak Harto harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat.

Kalaupun ada yang berkoar-koar itu hanya segelintir musuh pendendam Orde

Baru ....

Best regards, yhg.

-------------------

"ChanCT" <SADAR@...> wrote:

Memangnya siapa yang membunuh siapa???

Lalu siapa pula yang anak pahlawan dan siapa pula yang anak penghianat???

Pertengkaran orang-tua kedua belah pihak tidak seharusnya diturunkan kepada anak masing-

masing, ... sebagaimana juga dosa/kesalahan orang tua tidak seharusnya ditanggung juga pada

anak keturunannya. Anak turunan mereka yang jelas tidak bersangkutan dengan pertengkaran

orang-tua masing-masing boleh saja duduk bersama, ... bisa saja terjadi. Itu tidak masalah.

Tapi yang namanya dosa/kesalahan yang telah dilakukan seseorang tidak bias dibiarkan lalu begitu

saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa, ... apalagi telah menelan begitu banyak nyawa manusia,

telah membuat jutaan manusia menderita lahir dan bathin. Satu pelanggaran HAM-berat tidak

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

326 | P a g e

bias dilewatkan begitu saja! Sekalipun jenderal Soeharto yang harus bertanggungjawab penuh

sudah masuk kubur, masalahnya tetap harus diungkap dimana dan bagaimana kesalahannya.

Bagaimanapun juga harus lebih dahulu dipertanggungjawabkan dan diselesaikan

secara HUKUM, menjernihkan masalah yang terjadi apa dan dimana kesalahannya.

Salam,

ChanCT

Von: gustafd

Datum: 04.10.2010 05:48:30

An: [email protected]

Catatan kecil:

Hadir juga di acara Silaturahmi Nasional itu Svetlana, anaknya Nyoto. Poppy bukan anaknya DN

Aidit, melainkan anaknya Murad Aidit, adik DN Aidit.

Sangat benar bahwa kongko-kongko anak-anak korban tak berdosa dengan anak-anak pendosa ini

tidak boleh serta merta dianggap sudah selesai urusan masa lalu, dan dalam harmoni sejati

melangkah bersama ke masa depan. Tanpa pengungkapan yang tulus dan tuntas mengenai tragedi

nasional 1965 (G30S) tidak mungkin ada harmoni sejati yang mulus. Tuntutan pengungkapan

APA-MENGAPA dan SIAPA G30S sama sekali tidak ada dasar pikiran dendam, melainkan semata-

mata untuk mengungkapkan kebenaran. Kendati sudah sangat banyak kesaksian, tulisan maupun

lisan, dari para korban maupun pakar-pakar dalam negeri maupun luar negeri yang memaparkan

fakta-fakta nyata maupun analisis yang benar mengenai G30S, sebagian masyarakat Indonesia,

terutama para jenderal dan keturunan serta garis komandonya, berikut para birokrat dan

keturunannya tidak mengalami pencerahan untuk mampu melihat sejarah diluar kacamata kuda

mereka, sehingga tetap terpaku pada "kebenaran" versi Suharto dan rezimnya.

Saya sangat bangga melihat siswa-siswa SMA Negeri 45 dan SMA Negeri 13 Jakarta yang hadir

dan entusias ingin mengetahui fakta-fakta dari tuturan korban-korban G30S pada acara "Pekan

Melawan Lupa" di Komnas HAM tanggal 30 September yang baru lalu. Lima dari sekitar 50 siswa

yang hadir itu "mengerubuti" saya dengan rasa ingin tahu dan pertanyaan-pertanyaan yang

sangat terarah pada saat rehat. Tiga dari lima siswa/siswi itu berjilbab. Pertanyaan mereka

berkisar bukan saja pada kebiadaban di tahun 1965-1970an, melainkan juga pada penguasa-

penguasa negeri pasca Suharto.

Kalau dapat dilakukan acara serupa ini untuk semua SMA dan SMP di seluruh Nusantara maka

menurut hemat saya wktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kecerdasan anak bangsa menuju

pemulihan martabat bangsa Indonesia akan lebih pendek. Perlu banyak prakarsa untuk itu, bukan

saja dari Komnas HAM. (gustaf dupe)

Von: gustafd

Datum: 04.10.2010 05:48:30

An: [email protected]

Betreff: Re: [wahana-news] Suharto, G30S dan Pahlawan Nasional

Catatan kecil:

Pada Tragedi Nasional 1965 itu TIDAK ADA konflik horisontal, melainkan PEMBANTAIAN

MASSAL terhadap rakyat pendukung Presiden Sukarno yang kebanyakan adalah kader-kader PKI.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

327 | P a g e

Jumlah korban pembantaian pada bulan-bulan pertama pasca G30S yang terdata oleh tim pimpinan

Menteri Oey Tjoe Tat yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno memang sekitar 500,000 orang.

Sampai akhir 1970an jumlah korban pembantaian mencapai jutaan nyawa. Tidak ada data resmi

karena tidak ada tim pencari fakta lagi yang dibentuk setelah Tim Oey Tjoe Tat. (gustaf dupe)

Von: iwamardi

Datum: 04.10.2010 07:54:49

An: [email protected]; [email protected]; RKB

Betreff: [temu_eropa] Kemiripan dan Perbedaan => dalam rangka memperingati kejahatan

kudeta 1965/1966

Persamaan dan perbedaan Indonesia dan negeri negeri Amerika Latin

(AL). (memperingati dampak peristiwa berdarah 1965 dan problem jalan keluar )

Jika kita perhatikan situasi dan kondisi negeri negeri Amerika Latin (AL) dengan Indonesia, maka

banyak sekali persamaan dan juga perbedaan, tetapi secara umum, kemiripan kemiripannya lebih

menonjol dari perbedaan yang ada.

Pada dasarnya, Indonesia dan negeri negeri AL adalah negeri negeri yang disebut negeri sedang

berkembang (developing countries), satu terminologi penghalus yang diberikan oleh negeri negeri

maju , yang dulunya mereka sebut negeri terbelakang (under developed countries) , yang GNP nya

masih jauh dibawah GNP negeri negeri maju, terutama di barat. Sebagai ciri negeri berkembang

ini adalah, bila negeri ltu mempunyai resourse alam yang besar, maka ekonomi dan politik negeri

itu akan menjadi korban acak acakan, oblok oblokan dan campurtangan licik dari tangan tangan

kotor dan berdarah imperialisme dan kolonialisme sejak abad ke 16 maupun abad ke 20 dan

sampai sekarang abad ke 21 ini dalam upaya mereka untuk tetap langgeng dan lestari menyedot

kekayaan alam seperti vampire menyedot darah korbannya dan menghisap tenaga kerja yang

sangat murah, sehingga mereka dibarat bisa hidup makmur dan menimbun kekayaan hasil

penyedotan dan penindasan negeri negeri dunia ketiga sampai kempis.

Siapa yang melawan dan menentang perbuatan nista mereka niscaya akan segera dan selalu

dipojokkan dengan mengecap mereka sebagai teroris dan komunis, manusia manusia yang harus

dihapuskan dari muka dunia. Kata "komunis" dijadikan kata umpatan , kata stigmatisasi bagi

seseorang untuk mengucilkan dan membinasakan orang orang yang menganggap keadilan masih

harus dipertahankan dalam hubungan antar manusia di masyarakat. Bahkan orang orang tak tahu

apa apa, bila diinginkan untuk dibinasakan, maka dengan gampang dicap "komunis", selesai sudah,

boleh dibunuh.

Dengan upaya licik, kaum imperialis dan kolonialis ini menggunakan orang orang setempat yang

mereka sogok jasmani dan rochaninya dan menjadikan mereka menjadi OKB (Orang Kaya Baru)

dan sekaligus menjadi kacung kacung setia mereka dalam usaha terus menindas negeri jajahannya

dan menghisap SDA dan SDM negeri tersebut sampai ludes. Inilah ciri pokok politik mereka

terhadap negeri jajahan atau 1/2 jajahan mereka.

Tak aneh juga, dalam perjalanan sejarah negeri negeri AL dan Indonesia, terbentuk bermacam

macam pemerintahan yang menjadi perpanjangan tangan kaum penghisap SDA dan SDM asing ini

yang biasanya berbentuk Junta (rejim) militer dimana mana didunia ini. Usaha mengganti

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

328 | P a g e

kekuasaan yang anti rakyat setempat itu dengan pemerintahan yang demokratis dan pro rakyat,

biasanya kandas karena adanya intervensi yang tidak tahu malu dari imperialis dan kolonialis

melalui agen agen rahasia mereka , terutama imperialis Amerika dan Inggris (misal : pemerintah

yang syah dari Allende di Chili yang diganti oleh Pinochet, kacung militernya imperialis Amerika

dan jangan lupa pemerintah syah Bung Karno yang dbunuh pelan pelan dan digantikannya dengan

budak imperialis Suharto sejak tahun 1965/1966 ) !

Fasisme

Selain Eropa sebelum PD II, maka Amerika Latin adalah gudangnya fasisme dan diktatur militer.

Elemen elemen (bagian penyebab) pandangan dunia fasisme di Amerika Latin (menurut Spitta,

pejabat DAAD** di Mexico) adalah:

1. Tradisionisme Katholik yang berasal dari Spanyol.

2. Nasionalisme ( Peng artian yang berlebihan dari nasionalisme)

3. Kultus (pemujaan) atas Militer sebagai ideailisme pendidikan

4. Rasísme

5. Antikomunisme

** DAAD = Deutscher Akademischer Austausch Dienst = Dinas Pertukaran Akademi Jerman.

Untuk Indonesia, sepertinya tidak ada dasar dasar itu , mengingat tradisi suku suku bangsa

Indonesia sejak dulu hidup berdasarkan gotong royong, hidup bersama damai diantara macam

macam kepercayaan dan agama, saling menolong diantara mereka. Tradisi agama yang

fundamentalis baik islam (Wahabi) maupun kristen tidak menonjol seperti di AL, nasionalisme

sempit (chauvinisme) bukanlah tradisi bangsa Indonesia, kultus atas aturan militer, rasisme dan

antikomunisme, semuanya adalah asing buat rakyat Indonesia.

Mungkin karena hal hal itulah, maka usaha imperialis USA dan Inggris untuk menjadikan Indonesia

(setelah merdeka) sebagai sapi perahan mereka dengan mendirikan rejim militer di Indonesia

selalu gagal, hal ini juga karena politik Bung Karno yang tepat dalam memberikan arah Revolusi

Indonesia sejak merdeka, 17 Agustus 1945 dan dalam memberikan pendidikan karakter dan

kebangsaan yang tak kenal lelah dari beliau. Tetapi setelah adanya coup d'etat Suharto

1965/1966 , dengan me rekayasa menggunakan dalih dalih penipuan akan kekejaman kaum komunis

membunuh para pahlawan dan menyiksa mereka dilubang buaya, kemudian menyebarkan bahwa

komunis = anti agama islam, menyebarkan chauvinisme, bahwa keturunan Tionghoa adalah

penyebab kekacauan ekonomi sehingga berakibat rasisme yang timbul di Indonesia, dan kemudian

penyebaran tiap hari berita atau suara anti komunisme secara histeris, maka klop, terciptalah

syarat syarat untuk membentuk rejim fasis militer di Indonesia , periode 1965/66 sampai 1998 !

Syarat syarat yang tertulis diatas terdiri dari 5 butir, yang disimpulkan oleh Spitta, pejabat

DAAD Mexico itu telah dari tidak ada menjadi ada !

Degan begitu sempurnalah sudah syarat syarat dan alasan kaum neoimperilis untuk membentuk

junta militer di Indonesia tahun 1965/1966 bagi Suharto & Co. yang bisa berumur 32 tahun , jauh

lebih lama dari rejim militer manapun didunia !

Untuk membangun dan membentuk dan mempertahankan pemerintahan rejim dikatatur orba

Suharto ini , tak segan segan para militer dan ekonom ekonom Indonesia ini membunuh, menyiksa

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

329 | P a g e

dan menindas bangsanya sendiri, orang orang tidak bersalah dengan mengecap mereka komunis

atau simpatisan komunis ! Satu bentuk sablon yang diterima dari tuan tuan mereka kaum

neoimperialis, cara menyisihkan lawan lawan politik mereka yaitu dengan menyebarkan teror lahir

dan bathin, physisk dan psychik terhadap rakyat Indonesia, agar selalu serba ketakutan!

Perbuatan biadab yang tak ada taranya dalam sejarah bangsa indonesia ini !

Kemiripan

Selain mempunyai resource kekayaan alam dan tenaga kerja yang murah, Indonesia mirip sekali

dengan negeri negeri AL dalam sejarahnya, yang sejak lama (abad ke 16-17) menjadi koloni negeri

negeri Eropa. Persamaan yang paling pokok adalah bahwa negeri negeri itu merupakan negeri

kaya raya akan resource alam yang berlimpah limpah. Kesamaan lainnya juga, bahwa kaum

intelektil mereka kebanyakan dididik di USA, juga calon calon perwira dan pimpinan Angkatan

Perang , kebanyakan adalah didikan dan lulusan USA.

Maka sudah menjadi jargon umum dinegeri negeri Indonesia dan AL selama periode diktator

militer, bahwa secara simbolis yang berkuasa adalah Westpoint dan Berkeley Mafia, Westpoint

adalah tempat US Military Academy, sedangkan Berkeley adalah tempat Universitas, dimana para

calon calon ekonom digembleng.

Maka untuk menguasai resource alam yang luar biasa itu, kaum neoimperialis USA (bukan kaum

progresif dan rakyat USA umumnya !) mempersiapkan manusia manusia dari negeri setempat

untuk menjadi penguasa dan ahli ekonomi negeri negeri masing masing , yang menuruti kehendak

kaum neoimperialis ini. Hasil usaha mereka yang dipersiapkan berpuluh puluh tahun ini kita lihat

sendiri: di Indonesia, selama 32 tahun + 12 tahun sampai sekarang, USA dan modal asing

lainnya dengan aman dan tenang telah dan terus mengeduk dan menyedot kekayaan alam menurut

pola yang mereka ingini tanpa adanya gangguan apapun. Perusahaan perusahaan seperti Freeport

dan lain lainnya, secara leluasa mengeduk dengan aman kekayaan alam Indonesia tanpa adanya

perlawanan dari pihak Indonesia.

Begitupun dinegeri negeri AL, semua mengalami nasib sama seperti Indonesia,

Chili,Venezuela,Mexico,Ecuador,Peru,Argentina,Brasilia ,Bolivia dan lain lainnya, hampir semua

negeri negeri di AL ! Blue print ( atau lebih baik sablon atau resep) nya gampang saja : Diktatur

Militer plus para "pakar" ekonomi titik !

Di Indonesia: Suharto + (Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana dll.) adalah resep mujarab

untuk Indonesia yang pada pokoknya masih prinsip mereka berjalan terus sampai sekarang,

dimana neo imperialis dunia masih dengan tenang tenang menyedot kekayaan alam Indonesia, hal

yang sangat bertolak belakang dengan pasal 33 UUD 1945 !

Prinsip dan resep neoimperialis ini juga "berhasil" dengan "sukses" dijalankan di AL sampai detik

dimana di Venezuela ada Chavez, di Bolivia ada Morales, di Ecuador ada Correa, di Argentina ada

suami-isteri Kirchner, di Brasilia ada Lula da Silva dan lain lainnya.....

Perbedaan

Mereka mereka ini, para pemimpin AL, walau kebanyakan ( tidak semua !) adalah juga hasil cetakan

sekolah militer atau ekonomi USA, achirnya mempunyai pikiran dan jiwa yang bersih dari sifat

serigala yang serakah, mempunyai jiwa, rasa dan pikiran yang patriotis, otaknya berjalan dan

berani memikir sendiri, mengapa negeri dan rakyat mereka tetap atau makin terbelakang, makin

melarat, sedangkan kekayaan alam negeri mereka sangat berimpah limpah.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

330 | P a g e

Dalam waktu yang relatif singkat, mereka bisa menyimpulkan, bahwa kaum neo imperialislah yang

menjadi penyabab keterpurukan, keterbelakangan dan kesengsaraan rakyat dan negara mereka !

Tindakan tindakan drastis mereka lakukan : pengembalian kekuasaan atas sumber kekayaan alam

dan kedaulatan atas negeri mereka rampas dan kembalikan ketangan negeri dan rakyat masing

masing.

Perusahaan perusahaan dan modal asing tidak lagi leluasa semaunya menyedot kekayaan alam dan

mengatur ekonomi mereka, kesejahteraan rakyat setempat menjadi perhatian utama dari

kebijaksanaan pemerintah. Semuanya ditata dan diatur kembali dengan aturan yang

menguntungkan rakyat setempat. Dan semua ini dilakukan oleh pemerintahan yang dipimpin oleh

orang orang patriotis yang memunyai rasa cinta terhadap tanah air mereka ! Baik orang orang

yang memang dari semula melawan beradanya dominasi modal asing maupun oleh orang orang

didikan USA tetapi yang patriotis dan berpikiran jernih, tidak kotor !

Perombakan besar besaran ini terjadi di AL saat ini, tetapi mengapa, di Indonesia tidak ???

Mengapa para "pemimpin" Indonesia tetap mempunyai pikiran kotor yang membusuk, yakni hanya

berlomba memikirkan kepentingan sendiri dan para kroni mereka ? Mengapa di Indonesia seakan

berlaku hukum inertia (kekekalan) energi seperti di ilmu Fisika ?

Jadi bagaimana penyelesaian problem keterpurukan bangsa dan negara Indonesia ini ?

Saya mengambil jawaban atas pertanyaan ini dari sebab bahwa rakyat Indonesia terlalu

mencekam kebudayaan feodalisme jauh lebih hebat dari rakyat rakyat negeri AL. Kebudayaan

yang "nuwun sendiko" , "sumonggo kerso" *) atau kebudayaan ABS **) yang sangat berracun dan

sangat mudah kemasukan propaganda palsu dari atas.

Misalnya semua propaganda palsu rejim orba sampai rejim reformasi ini, yang semuanya pada

dasarnya mengabdi kepentingan modal asing dan para penguasa, kepanjangan (sambungan) tangan

kaum neoimperialis modal asing !

Sedang para elite politik dan militer Indonesia sedang kemaruk(mumpung) berfoya foya diatas

kemelaratan dan kesengsaraan rakyat Indonesia, tradisi yang ditinggalkan rejim orba dan sukar

dihilangkan dari otak mereka.

Sebab sebab lain atau perbedaan perbedaan lain antara rakyat dan sikon Indonesia dan AL saya

belum bisa menemukan !

Mungkin ada dari para pembaca yang bisa memberipencerahan atau pendapat tambahan ?

Saya sangat menunggunya. Terima kasih sebelumnya !

*) nuwun sendiko = menurut ucapan(kata) tuan --> ucapan meng"ya"kan kawula terhadap tuannya.

sumonggo kerso = terserah maunya tuan

**) ABS = asal bapak senang

salam

iwamardi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

331 | P a g e

Bersama Hakim-Hakim Mahkamah Konstitusi RI: Dr. Hamdan Zoelva, SH., MH. (kiri) dan Dr. H.M. Akil Mochtar, SH, MH (kedua dari kanan

disamping Dr. Willy R. Wirantaprawira, LL.M.) Frankfurt, Jerman 01.10.2010

Mahfud MD : Negara Seakan Tidak Hadir

Negara seakan tidak hadir. Demikian penilaian Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD,

menggambarkan berlarut-larutnya berbagai kasus kekerasan di negeri ini. Penegakan hukum, yang

diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan.

Ketidakadilan itu bukan cuma terjadi pada perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat

dan penguasa/pengusaha, melainkan juga pada putusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil, yang

terpaksa melakukan tindak pidana, dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi yang jelas

merugikan negara.

Sosiolog hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Suparman Marzuki, dari Yogyakarta,

Minggu (3/10), mengakui, maraknya kekerasan massa belakangan ini disebabkan akumulasi

kekecewaan rakyat atas tidak berjalannya penegakan hukum formal. Orang lalu mencari jalan

sendiri karena jalan hukum di negeri ini tak menyelesaikan persoalan. ‖Jalan penyelesaian institusi

penegakan hukum justru memunculkan masalah baru, ketidakadilan baru, kekerasan baru,‖

katanya.

Kekecewaan itu kian menumpuk karena selain mengalami ketidakadilan dalam bidang hukum, kata

Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas‘udi, rakyat juga didera

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

332 | P a g e

kesulitan ekonomi. Tingkat pengangguran dan kemiskinan di negeri ini sampai kini masih tinggi.

Masalah itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi harus ada langkah nyata yang

dilakukan pemerintah.

Bahkan, ketidakadilan itu semakin terasa jika sinyalemen dari Kepala Badan Pertanahan Nasional

(BPN) Joyo Winoto benar adanya. Saat berkunjung ke Redaksi Kompas, pekan lalu, Joyo

memperkirakan 56 persen aset negeri ini dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduk. ‖Data ini

memang masih bisa dikaji lagi,‖ katanya saat itu.

Namun, BPN memang mencatat penguasaan petani terhadap lahan di negeri ini semakin merosot.

Di sisi lain, ada 7,3 juta hektar tanah milik perusahaan yang justru ditelantarkan.

Kondisi ini, kata sosiolog William Chang, menimbulkan frustrasi sosial di masyarakat (Kompas,

1/10). Kondisinya kian memburuk karena penyelenggara negara bukan memperbaiki, malah

berperilaku koruptif yang memperburuk keadaan.

‖Pejabat publik yang koruptif, kotor, destruktif, dan tak memiliki komitmen memperjuangkan

rakyat harus dicopot. Pemimpin harus tegas dan berani mengganti mereka dengan yang bersih,

memiliki integritas, serta bersedia berkorban demi perbaikan bangsa,‖ imbuh William.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengakui, kekerasan yang terjadi

belakangan ini disebabkan oleh keresahan di masyarakat. Faktor pemicunya amat beragam.

‖Konflik tidak mungkin dihindari sehingga harus dikelola agar jangan sampai mengganggu sendi-

sendi kehidupan bersama,‖ katanya.

Pertobatan elite

Mahfud mengaku heran kasus kekerasan di negeri ini bisa berlarut-larut. Ia mencontohkan

sejumlah warga Ahmadiyah di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang sampai kini masih mengungsi.

‖Ini hak asasi orang. Bayangkan kalau Anda yang diperlakukan seperti itu, diusir dari rumah

sendiri. Keluar takut. Seakan-akan negara tak ada di situ,‖ katanya.

Ia menduga berlarut-larutnya penanganan kekerasan di masyarakat dikarenakan tak adanya

ketegasan aparat penegak hukum, padahal aturannya jelas.

Marzuki meminta pemerintah membenahi institusi penegakan hukum, seperti Kejaksaan dan Polri,

serta kultur di dalamnya. Polri sebagai gerbang peradilan pidana masih didominasi kultur

militeristik dan kekuasaan.

‖Transformasi kultural polisi sangat lamban. Semua persoalan diatasi dengan kekerasan, dengan

cara menangkap dan membungkam. Hal semacam ini harus dibenahi. Penyelesaian harus dengan

memerhatikan konteks dan variabelnya,‖ katanya.

Sebaliknya, Masdar menilai penegakan hukum dan pertobatan elite dari perilaku yang melukai hati

rakyat menjadi solusi jangka pendek yang harus segera dilakukan untuk mengatasi kekerasan

akhir-akhir ini. Tanpa kedua hal itu, dikhawatirkan rakyat makin frustrasi sehingga kekerasan

meluas dan sulit diatasi.

Menurut Masdar, akar kekerasan yang merebak akhir-akhir ini ada tiga hal, meliputi kesulitan

ekonomi yang makin mengimpit rakyat, melemahnya keteladanan dari elite, serta penegakan hukum

yang lemah.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

333 | P a g e

‖Ketika sebagian rakyat hidup susah, pada saat yang sama rakyat justru melihat banyak pejabat

menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan memperkaya dirinya, tanpa memerhatikan rakyat yang

seharusnya dilayani. Ini diperparah dengan penegakan hukum yang lemah dan melukai rasa

keadilan rakyat,‖ katanya.

Untuk mengatasi masalah itu, butuh usaha keras dari berbagai pihak dan waktu lama. Karena itu,

yang paling bisa segera dilakukan adalah menindak tegas pelaku kerusuhan dan perubahan watak

kepemimpinan di antara elite bangsa. Semua elite politik dan pemerintahan memperbaiki diri

dengan pertobatan nasional.

‖Semua pejabat publik harus beristigfar dan bertobat. Sadar hidup ini tak selamanya. Mereka

harus menyadari, Tuhan yang mereka sebut-sebut dalam sumpah dan janji akan meminta

pertanggungjawaban,‖ kata Masdar.

Ia mengingatkan lagi, ‖Pejabat publik diberi kewenangan dan digaji oleh rakyat bukan untuk

membohongi dan melukai hati rakyat. Mereka harus melindungi hak dan melayani rakyat.‖

Senada, William pun mengatakan, ‖Perlu dilakukan pembersihan total pejabat di tingkat pusat

hingga daerah. Penduduk Indonesia lebih dari 230 juta jiwa dan banyak putra bangsa yang bersih

dan memiliki integritas.‖

Kesejahteraan rakyat

Ketua DPR Marzuki Alie mengajak pemerintah, dunia usaha, dan komponen bangsa lainnya bersama

DPR dan lembaga lainnya mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Itu penting untuk

mencegah terjadi frustrasi sosial di masyarakat dan menghilangkan kekerasan yang merebak

selama ini.

Kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan dengan perbaikan ekonomi dengan penciptaan sebanyak-

banyaknya lapangan kerja dan penegakan hukum. ‖Sekarang adalah bagaimana mempercepat

tercapainya kesejahteraan rakyat dengan mengatasi kemiskinan dan meminimalisasi pengangguran.

Tak ada cara lain kecuali meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya dengan diikuti

pemerataan yang adil-adilnya,‖ kata Marzuki Alie.

Menurut Marzuki Alie, hal itu bukan hanya kewajiban pemerintah dan DPR, melainkan juga

tanggung jawab dunia usaha dan masyarakat lainnya, apalagi selama ini masih banyak potensi

bangsa, termasuk kaum muda, yang terabaikan. (ato/nwo/ana/har/why/tra)

sumber : Harian Kompas

Von: awind

Datum: 04.10.2010 11:35:39

An: [email protected]

Betreff: [nasional-list] Mengakhiri Dendam Sejarah

Yang lebih penting ialah Pemerintah/Penguasa seharusnya mengakui bahwa sejak bung Karno

digulingkan telah terjadi kekerasan negara atas warganya. Untuk itu penguasa/pemerintah harus

minta maaf kepada warganya yang telah menjadi korban kekerasan negara tersebut. Apa yang

terjadi sampai dewasa ini ialah penguasa/pemerintah tidak mau mengakui bahwa negara telah

melakukan kekerasan terhadap warganya. Jerman sewaktu Nazi berkuasa sampai dewasa ini bila

dijumpai dan dibuktikan seseorang pada saat Nazi berkuasa ikut melakukan kejahatan yang luar

biasa masih tetap terus diadili.Istilah ke daluwarsa atas kejahatan negara atas warganya tidak

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

334 | P a g e

ada. Kita jangan terus mengelak misalnya dengan mengatakan bahwa itu kan Jerman, kita kan

lain Indonesia. Masalah kemanusiaan di mana-mana sama apakah itu di Eropa, di Afrika dls.

berlaku sama. Karena itu terhadap setiap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan itu harus

diadili.

http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=2&id=4387

» Surat Pembaca

04 Oktober 2010 | BP

Mengakhiri Dendam Sejarah

Membaca berita Bali Post edisi Kamis, 30 September 2010 kita bisa bersama mengambil pelajaran

dari keluarga Pahlawan Revolusi dengan keluarga PKI untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi

pada masa orangtuanya. Memang dendam sejarah itu sulit dilupakan, tetapi kedua belah pihak

mampu untuk berdamai. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang telah berlangsung 45 tahun

silam sampai saat ini masih menjadi misteri.

Ketika sejarah menjadi alat legitimasi kekuasaan banyak hal yang mungkin mengalami distorsi. Ada

fakta sejarah yang ditutupi, sebaliknya ada pula yang ditonjolkan melebihi porsi yang sebenarnya.

Mungkin kita sudah ketahui bersama pada masa pemerintahan Orde Baru sejarah dikendalikan

sedemikian rupa yang sudah tentu untuk meligitimasi, dan membangun kekuasaannya.

Sejak runtuhnya rezim Soeharto banyak rakyat kecil, pelaku, dan saksi sejarah tragedi G-30-S

1965 menggugat kebenaran Buku Putih Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis

Indonesia, dan film tragedi G-30-S/PKI (versi Orba) yang diputar setiap tahun. Mereka pun

mengeluarkan buku baru, sehingga sejarah pun menjadi polemik yang dulunya seragam kini

beragam.

Khrouchtchev mengakui bahwa sejarawan adalah ''satu kelompok yang bisa mempertanyakan

legitimasi penguasa''. Lebih lanjut E.H.Carr mengatakan, sejarah itu merupakan dialektika antara

masa lampau dengan masa sekarang, dialog yang tidak berkesudahan antara sejarawan dengan

sumber yang dimilikinya. Bila ditemukan fakta baru, sejarah itu bisa mengalami revisi. Jadi tidak

ada tulisan/buku sejarah yang final. Dalam kasus G-30-S 1965 pun sebetulnya tidak ada

interpretasi akhir dan tunggal terhadap peristiwa tersebut.

Kita yang hidup di zaman sekarang hendaknya bisa mengambil hikmah/pelajaran apa yang

dilakukan oleh keluarga Pahlawan Revolusi dengan keluarga mantan anggota PKI beberapa hari

yang lalu untuk mengakhiri konflik yang pernah terjadi di masa lampau lewat silaturahmi. Jadi

generasi sekarang bila memiliki permasalahan hendaknya jangan terus memelihara dendam

sejarah tersebut yang tidak akan kunjung berakhir, semakin membesar masalah, dan tidak baik

dalam menjaga keutuhan NKRI yang kita cintai bersama.

I Kadek Widya Wirawan, S.Pd.

Br. Pacung, Desa/Kec. Baturiti, Kab. Tabanan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

335 | P a g e

http://internasional.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=5489

Putu Oka: Kabarnya, SBY Mau Juga Berbicara Soal Peristiwa 1965

Senin, 04 Oktober 2010 , 10:24:00 WIB

PUTU OKA SUKANTA

RMOL. PADA waktu rehat dalam acara Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965, yang digelar

di Diemen, Belanda, Sabtu (2/10), sastrawan juga aktivis kemanusiaan yang pernah diasingkan ke

Pulau Buru oleh rezim Orde Baru, Putu Oka Sukanta berkesempatan diwawancarai oleh A.Supardi

Adiwidjaya, koresponden Rakyat Merdeka dan Rakyat Merdeka Online di Belanda. Berikut ini

petikannya.

Suatu kenyataan, sudah 45 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak dituntaskan.

Bagaimana pendapat anda?

Saya berharap bahwa pemerintah mau membuka mata lebih lebar, mau mendengarkan suara hati

orang-orang yang sempat menjadi korban tragedi kemanusiaan 1965-66. Yaitu mungkin dengan

mengakui, bahwa negara memang pernah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Dan sekarang

diharapkan juga, pemerintah bisa menindak lanjuti untuk mengembalikan hak-hak mereka yang

sudah tersempat terkoyak-koyak akibat peristiwa tersebut.

Mantan Presiden Gus Dur sudah sempat memulai mencoba menyelesaikan persoalan apa yang

disebut orang-orang terhalang pulang di luar negeri, karena dicabut paspornya. Tapi ternyata

usaha beliau itu gagal. Komentar anda?

Iya, Gus Dur memang adalah salah satu Presiden Republik Indonesia yang berusaha untuk

menyelesaikan atau merintis jalan penyelesaian masalah ini. Di Indonesia ini kan anehnya, setiap

pergantian penguasa, mereka membawa ide-ide baru, policy (kebijakan) baru, sehingga apa yang

sudah pernah dirintis oleh orang yang lebih dahulu itu menjadi macet. Sehingga upaya untuk

dilakukannya suatu apa itu rehabilitasi atau kemudahan untuk menyelesaikan masalah-masalah

bagi teman-teman yang terhalang pulang bisa dimulai lagi.

Dalam situasi kondisi politik sekarang ini di Indonesia, mereka yang menjadi korban dari peristiwa

Gerakan Tigapuluh September (G30S) tahun 1965, boleh dibilang sampai saat ini masih saja

diperlakukan sebagai layaknya warganegara kelas dua. Pandangan anda?

Sampai saat sekarang ini masih ada dua keputusan dan instruksi pemerintah Indonesia yang

mengganjal upaya-upaya untuk mendudukan warganegaranya secara equal. Yaitu TAP MPRS No.

XXV tahun 1966 dan juga Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1981 No.30. Kalau ada kebijakan

penguasa mencabut regulasi tersebut, saya sangat optimis bahwa masalah masyarakat kelas satu

dan masyarakat kelas dua akan bisa teratasi.

Bagaimana, menurut anda, apakah mungkin pemerintah saat ini berkeinginan mencabut regulasi

tersebut?

Saya dengar suara-suara burung, Pak SBY mau juga berbicara tentang peristiwa 1965, tapi sampai

saat sekarang belum muncul realisasi dari suara-suara burung itu.

Khusus mengenai TAP MPRS No.XXV tahun 1966, apakah mungkin penguasa sekarang ini

berkeinginan untuk mencabutnya?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

336 | P a g e

Sekarang kan kita melihat, mencoba memetakan kenapa pembedaan warganegara Indonesia ini

terjadi. Kan karena adanya aturan-aturan yang melegalkan orang memperlakukan pembedaan dan

perbedaan terhadap warganegara Indonesia. Dari sudut pandang kami, kedua peraturan atau

keputusan itulah salah satu sumber yang menyebabkan terjadinya pembedaan dan perbedaan

terhadap warganegara Indonesia.

Kasad (Kepala Staf Angkatan Darat) RI sekarang ini melontarkan lagi apa yang disebut bahaya

laten komunis atau seperti diberitakan di koran: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspdai. Komentar

anda?

Ya, saya melihat kan karena tidak adanya perubahan watak kekuasaan dari zaman pemerintahan

Suharto sampai sekarang. Sehingga kata komunis tetap menjadi kambing hitam dalam segala

macam keterbelakangan yang terjadi di Indonesia. Ya pejabat-pejabat militer atau sipil siapapun

juga saya harapkan supaya wawasan berfikirnya diperkaya dengan mencoba melihat fakta-fakta

sejarah yang disembunyikan oleh kekuasaan Orde Baru. Hanya dengan kesadaran dan goodwill

(keinginan baik) untuk melihat situasi Indonesia itu melalui data-data sejarah, maka saya

harapkan dia akan berubah pikirannya.

Dalam rangka apa kedatangan anda ke Eropa ini?

Saya diundang ke Eropa terutama ke Paris untuk presentasi mengenai dunia kepengarangan saya,

dan juga memutar film-film dokumenter yang saya buat dengan tema besar ―Dampak Sosial

Tragedi Kemanusiaan 1965-66 di Indonesia‖. Jadi, saya diundang untuk berkunjung ke beberapa

negara oleh Universitas, oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk berdialog dan

mempresentasikan karya-karya saya.

Konkretnya, siapa yang mengundang?

Misalnya, di London saya diundang oleh London University, yang pengunjungnya sebagian besar

peneliti-peneliti study Indonesia. Kemudian, saya di Aachen diundang oleh masyarakt Indonesia

dan masyarakat Jerman, di Koln - oleh para peneliti. Demikian juga di Berlin saya diundang oleh

para peneliti Indonesia. Dan di Leiden pada Minggu (3/10), saya akan bicara di antara mahasiswa-

mahasiswa Indonesia.

Menurut rencana, beberapa hari lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengadakan

kunjungan resmi ke Negeri Belanda. Apa harapan anda kepada Beliau?

Ya, saya harapkan Presiden membuka hatinya untuk mendengarkan keluhan-keluhan, penderitaan-

penderitaan dan harapan-harapan dari ―teman-teman yang terhalang pulang‖. [wid]

DOKUMENTASI BURU

Dukumen terbaik dan paling berharga yang seharusnya ditinggalkan oleh seorang pejuang sejati pembela rakyat adalah kalau dia meninggalkan pesan sebelum dia mati ialah bahwa rakyat Indonesia harus berjuang mengangkat senjata untuk merebut kekuasaan ke tangan rakyat dengan jalan revolusi kekerasan yang harus disiapkan dari sekarang. Tidak ada hal lain yang lebih berharga dari itu yang bisa ditinggalkan oleh seorang pejuang dan pembela rakyat, apalagi pejuang dan pembela rakyat itu telah teruji dalam penjara dan buangan dengan bermacam siksaan musuh dan penghinaan musuh yang tak terbilangkan banyaknya. Tapi bila yang ditinggalkan sebagai dokumentasi dan pesan cumalah pengalaman disiksa, pengalaman dihina, pengalaman penderitaan-pendertiaan lainnya tanpa meninggalkan pesan kongkrit dan revolusioner seperti yang disebutkan dia atas, maka semua

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

337 | P a g e

dokumen yang berlumuran air mata dan penuh drama dan tragedi itu cumalah barang mati, tak berguna untuk rakyat dan biarpun akan di simpan di KITLV-Leiden, maka semua dokumen tsb akan cuma bersanding dengan puluhan jilid surat-surat Ajip Rosidi yang juga sedang berangsur lapuk di kantor KITLV-Leiden.

Beberapa orang bekas pengarang dan seniman LEKRA sedang aktif membikin banyak film-film, buku-buku, tulisan-tulisan, ceramah-ceramah hingga ke luar negeri yang isinya penuh dengan pengalaman penderitaan, pengalaman disiksa oleh rezim orba-suharto, pengalaman "perjuangan untuk hidup"tapi semuanya hanya dengan satu pesan: DAMAI, DAMAI, DAMAI...........TANPA DENDAM, TANPA BEBAN UNTUK DIRI SENDIRI dan menyerahkan sepenuhnya pada generasi baru untuk menjalankan pesan damai mereka terhadap musuh. Generasi tua mereka akan segra punah bersama penderitaan-penderitaan yang pernah mereka alami (sekarang pada umumnya sudah memiliki mobil dan rumah sendiri yang dianggap biasa, bukan kekayaan tapi masih tetap merasa menderita miskin meskipun sudah sebagai pengusaha yang berhasil). Tapi rakyat miskin dan tertindas serta terhisap yang dulu pernah mereka ingin bela dengan revolusi tidak pernah satu detikpun menerima kehidupan yang agak cukup dan bahkan tetap saja miskin papa yang telah berabad-abad dan penderitaan mereka tidak bisa dibandingkan dengan pendertian 13 tahun di pulau Buru maupun dalam penjara-penjara. Penderitaan rakyat sudah berabad abad, tanpa istirahat, tanpa putus-putusnya hingga detik ini.

Orang-orang Lekra tidak mampu membela ideologi organisasinya sendiri dan hanya berhasil membela nasib perseorangan mereka sendiri-sendiri dan yang berhasil maupun yang gagal, berlomba-lomba mencemoohkan Partai, mengejek komunisme, mengejek sosialisme dengan berbagai cara dan berusaha memperbaiki dan memanipulasi riwayat bekas kekomunisan mereka sebagai riwayat yang mereka gambarkan sebagai terpaksa, di bawa-bawa si Anu, merasa tertipu, belum mengerti politik, masih naif dan segala macam yang menyalahkan faktor luar demi mereduksi "dosa"kekomunisan mereka untuk dimaafkan oleh orba. Oey Hay Djoen,salah seorang bekas tokoh besar Lekra dalam pengakuannya dalam film "CIDURIAN 19" yang juga adalah alamat rumahnya, yang di masa belia saya cukup sering ke sana bersama abang saya Sobron Aidit (saya sendiri tidak pernah jadi anggota Lekra) mengatakan bahwa di rumahnya yang di Cidurian 19 itu adalah juga tempat ngobrol-ngobrol Ketua PKI dan Oloan Hutapea sambil minum-minum bir(semacam discotheek masa itu). Sungguh pahit bagi para anak-anak Ketua PKI sekarang ini yang masa kecil mereka tidak pernah mendapatkan perhatian orang tua mereka barang semenitpun karena kesibukan ayah mereka mengurusi Partai dan urusan negara tapi menurut Oey Hay Djoen, Ketua PKI bersantai santai minum bir dan ngobrol-ngobrol santai di rumahnya yang di Cidurian 19 itu. Sampah-sampah sarap dan dahak kental jompo sekarat seperti inilah yang ditinggalkan para bekas sebagian besar para seniman besar Lekra: DAMAI, DAMAI, DAMAI, buang komunisme dan lupakan Partai dan jauhkan diri dari pikiran untuk berevolusi dan melawan musuh!

Rhoma Aria Dwi Yuliantri, seorang wanita mungil berjilbab dari latar belakang Muslim bersama temannya Muhidin Dahlan telah mebela Lekra mati-matian, dengan kesungguhan luar biasa, dengan ketekunan ilmiah yang mengagumkan kawan dan lawan dan melahirkan buku tebal "LEKRA TIDAK MEMBAKAR BUKU" dan buku-buku lainnya lagi. Dalam sebuah pertemuan sastra yang di selenggarkan oleh PASAR MALAM di Paris baru-baru ini saya bertanya padanya di depan publik apakah pelarangan bukunya oleh Pemerintah penerus orba sekarang ini tidak dihadapinya dengan penggerakan massa untuk memprotes pelarangan bukunya itu. Rhoma menjawab cepat dan spontan bahwa katanya, saya tidak punya massa Oom, saya hanya punya dua orang tua saya saja. Dalam hati saya bertanya: Mana orang Lekra? Mana massa revolusioner? dan saya tidak bertanya massanya Partai sosdem karena itu sama sekali tidak bisa diharapkan. Tapi yang pertama-tama patut

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

338 | P a g e

diharapkan adalah bekas-bekas orang Lekra yang dibela secara politik dan ideologis oleh Rhoma yang kurus dan kecil mungil. Sedangkan buku John Roosa(CIA "merah") : "dalih pembunuhan massal" yang juga dilarang, banyak dibela kaum sosdem karena memang berisikan anti komunis dengan cara mengadu domba intern PKI.

Saya ketika itu berpikir tentang judul buku Rhoma yang "LEKRA TIDAK MEMBAKAR BUKU" menjadi: " "LEKRA MEMANG TIDAK MEMBAKAR BUKU TAPI HANYA MENGHANCURKAN SEMANGAT REVOLUSIONER" dengan idelogi Pasifis mereka dan anjuran anjurannya yang anti dendam terhadap musuh.

Sekali lagi saya ulangi, rakyat Indonesia tidak memerlukan peninggalan atau dokumen atau bukti-bukti kekejaman musuh, hal itu sudah tak perlu diulang-ulang karena rakyat jauh lebih mengetahui dan merasakannya langsung setiap hari dan rakyat hanya ingin tahu: APA YANG KALIAN KATAKAN YANG HARUS KAMI PERBUAT SEBELUM KALIAN PADA MATI SEMUANYA?

Kalau hanya anjuran perdamian dengan musuh dan perdamaian dengan diri sendiri, berdamailah kalian dalam kuburan kalian yang akan datang.

ASAHAN. ----- Original Message ----- From: djoko sri moeljono To: [email protected] Cc: [email protected] Sent: Monday, October 04, 2010 6:19 AM Subject: #sastra-pembebasan# DOKUMENTASI BURU

Memang kadang saya berfikir : siapa yang akan menyimpan sebagai dokumentasi kalau saya sudah meninggal? Kalau oleh keluarga kan hanya disimpan sampai bulukan Saya juga menyimpan sebuah buku tulis dimana almarhum ayah menuliskan kisahnya saat dibawa dengan Gerbong Maut tahun 1947 dari dari buku tulis ini saya bisa sebar luaskan isinya lewat milis ini.Menyangkut foto-foto dan karftupos saya?

Kalau disimpan di Indonesia oleh Yayasan,bisa-bisa dibakar FPI atau FAK (Front Anti KOmunis)maka hilanglah barang bukti sedang di Eropa orang bisa menyaksikan sisa-sisa holocaust dizaman Nazi Hitler.

Bangsa Indonesia memang sangat lemah dalam merawat dan menyimpan dokumen,kalah sama orang-orang Tionghoa yang membuat kronik segala peristiwa dan disimpan di Kelenteng (Semarang,dokumen-dokumen disita pemerintah Hindia Belanda entah berapa gerobak dan diangkut ke negeri Belanda) KITLV di Leiden memang bersedia merawat dan salah satu wakil nya sudah datang menemui saya dua bulan lalu. Kalau disimpan di Leiden,siapa mau melihat harus ke Belanda ________________________________ From: ati gustiati <[email protected]> To: [email protected] Cc: [email protected] Sent: Monday, October 4, 2010 6:07:59 Subject: Re: [RumahKita] GERAKAN MELAWAN LUPA

Ini moment paling penting pak Djok, berpeluang membuktikan dokumentasi masa pembuangan kepada publik, kalau saya melihatnya saya paling bisa mewek aja....saya tidak punya

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

339 | P a g e

kenangan apapun dari ayah saya, dulu ada kerangka rotan berbentuk seekor udang yg dibuat ayah dalam masa beliau dipenjara utk saya, entah kemana kenang2an itu pun hilang dalam masa perpindahan hidup saya yg tiada hentinya.

Sejarah Indonesia masih seperti ribuan puzzles yg harus di sambung2 utk dijadikan sebuah gambar yg nyata, seperti ribuan titik yg harus di hubung2 kan agar menjadi untaian yg bisa di mengerti, tidak mudah utk mengerti kejujuran sejarah yg sebenarnya bila tak hidup didalam nya, kebohongan dan rekayasa pemerintah demikian rapihnya di pentaskan utk ditanamkan dibenak rakyat Indonesia, biarlah mereka generasi muda akan melihat dan menyaksikan sendiri sepak terjang dan kecurangan pemerintah kita, biarlah waktu yg akan memberikan jawaban yg selama ini masih samar2 dibenak rakyat ttg tragedy kehidupan yg nyata terjadi di thn '65.

salam omie ________________________________ From: djoko sri moeljono <[email protected]> To: Rumah Kita Bersama <[email protected]> Cc: [email protected]; widodo soewardo <[email protected]>; IWAMARDI

Beberapa hari sebelum tanggal 30 September 2010 saya dapat kiriman sms dari seorang bernama Suroso yang berniat pinjam beberapa artefak (peninggalan) dari Buru. Kepada Suroso inilah saya pinjamakan bebe rapa lembar kartupos dan foto dan benda-benda tsb fipamerkan di Univ.Katholik Atmajaya,Univ.Indonesia Depok, Komnas HAM dan rencananya terakhir di Pusat Perfilman Usmar Ismail jl.Rasuna Said Kuningan tanggal 04 Oktober depan.

Saya menyempatkan diri menyaksikan pameran di Komnas HAM Kamis 30 September 2010.

Beberapa kartupos yang saya terima selama di Buru dan dikirim oleh keluarga di Malang di pamerkan dalam bentuk foto copy diperbesar agar jelas. Juga foto-foto diperbesar. Dan pada saat saya hadir ke Komnas HAM tema peringatan Tragedi 30 September yang dipilih Gerakan Melawan Lupa adalah : Generasi Muda membahas masa lalu.

Hadir beberapa mantan tapol yang umumnya sudah sepuh,termasuk ibu-ibu. Dalam pertemuan dengan generasi muda yang terdiri dari anak-anak sekolah SMA kelas 2 dan 3,jelas sekali terasa bahwa mereka tidak tahu apa itu peristiwa G-30-S dan masih ada siswa yang bertanya : benar tidak pak kalau dulu Gerwani menyiksa jendral?

Saya hanya bisa bilang : jendral yang ditembak dirumah, kalau dibawa ke Lubang Buaya berarti sudah meninggal (memang tidak semua ditembak di rumah).

Masuk akal tidak : Gerwani menyiksa jenazah? Kalau jendral masih hidup disiksa je las logis,tetapi jenazah?

Semua itu bohong besar,dusta besar yang sengaja disebarluaskan agar rakyat marah Karena itu pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah,Jawa Timur dan Bali didasar balas dendam : satu jendral harus ditebus sekian ribu anggota PKI atau orang komunis.

Generasi muda harus melek,harus tahu bahwa mereka dibohongi selama 32 tahun.

Mereka menanyakan apa kerja kami di Buru?

Apakah disediakan rumah oleh pemerintah? Setelah bebas dari Buru apakah ada tekanan dari pemerintah (mereka melihat KTP yang diberi tanda ET- ex tapol).

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

340 | P a g e

Gerakan melawan lupa memang hanya bisa menjangkau sasaran terbatas,tetapi paling tidak mengingatkan masyarakat bahwa bangsa Indonesia dibodohi pemerintahnya sendiri selama 32 tahun.

Anak-anak muda SMA mengajukan banyak sekali pertanyaan dan karena saya tidak bisa menjawab pada haritu karena ditunggu pekerjaan di kantor,saya tinggalkan alamat email atau mereka boleh bertanya lewat facebook Pesan saya pada mereka : belajar,belajar dan belajar. Baca,baca dan baca! Jadilah warga Indonesia generasi baru yang tahu sejarah bangsanya dengan benar karena ada kurun waktu yang gelap,hitam

Pengumpulan Data ditutup tanggal 04.10.2010 jam 18:00 sore

Cyntha Wirantaprawira