Sejarah Pemberantasan Penyakit

74
DIREKTORAT JENDERAL PP & PL DEPARTEMEN KESEHATAN R I 2007 SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA

description

Sejarah, Pemberantasan, Penyakit, Direktorat, Jenderal, Pengendalian, Penyakit, dan, Penyehatan, Lingkungan, 2007

Transcript of Sejarah Pemberantasan Penyakit

Page 1: Sejarah Pemberantasan Penyakit

DIREKTORAT JENDERAL PP & PL

DEPARTEMEN KESEHATAN R I

2007

SEJARAH

PEMBERANTASAN PENYAKIT

DI INDONESIA

Page 2: Sejarah Pemberantasan Penyakit

i

SAMBUTAN

DIREKTUR JENDERAL PP & PL

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, maka saya menyambut

baik terbitnya buku ”SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA”,

sebagai informasi antargenerasi untuk mengetahui dan memahami hasil

proses perjalanan panjang upaya pemberantasan penyakit, sebagai bagian integral pembangunan

kesehatan nasional.

Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia,

sejalan dengan perkembangan serta kemajuan teknologi kedokteran dan kesehatan modern,

terutama di Benua Eropa dan Amerika.

Pada era Kolonialisme, pemberantasan penyakit sebesar-besarnya ditujukan agar kepentingan

Kolonial untuk mendapat sumber daya manusia yang sehat terpenuhi. Belajar dari pengalaman,

maka pada era awal kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia melakukan penataan organisasi

kelembagaan guna mengefektifkan upaya pemberantasan penyakit.

Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia mencatat sukses di tahun 1972, dengan terbasminya

penyakit cacar, sehingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Prestasi

lain yang juga patut diingat adalah kemampuan kita membasmi polio pada tahun 1990 melalui

gerakan nasional, yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN), yang mampu membebaskan Indonesia dari

penyakit polio.

Dewasa ini kita sedang menghadapi tantangan yang sangat berat (double bourden). Kita tidak hanya

dihadapkan pada masalah “penyakit menular”, tapi juga pada masalah “penyakit tidak menular”,

seperti jantung, diabetes, kanker, maupun penyakit atau kecacatan akibat cedera dan kecelakaan.

Namun kita harus yakin, dengan kerja keras dan pengolahan program yang solid, kita bersama

mampu melaksanakan tugas mulia yang berhasil dan berdaya guna, yaitu pengendalian penyakit

dan penyehatan lingkungan.

Dengan mengetahui dan memahami sejarah pemberantasan penyakit, diharapkan masyarakat

dapat lebih mandiri dan juga berpartisipasi dalam upaya pengendalian penyakit dan penyehatan

lingkungan, maupun upaya pertolongan secara dini.

Sekali lagi, saya menyambut baik adanya penerbitan buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di

Indoensa. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih atas ide maupun upaya gigih yang tak kenal

menyerah untuk memberi manfaat bagi masyarakat luas. Kepada semua pihak yang telah

membantu penerbitan buku ini, saya sampaikan terima kaasih dan penghargaan setinggi-tingginya,

semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua.

Jakarta, Desember 2007

Direktur Jenderal PP & PL,

ttd

dr. I Nyoman Kandun, MPH

NIP 140 066 762

Page 3: Sejarah Pemberantasan Penyakit

ii

DAFTAR ISI

Sambutan Direktur Jenderal PP & PL ................................................................... ...... i

Daftar Isi ........................................ ................................................... ......................... ii

SK Pembentukan Tim Penyusun Sejarah

Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 ............................................................... ... iii

Pemberantasan Penyakit Era Kolonial (Awal Abad 20 – 1945) ........................................... 1

Pemberantasan Penyakit Era Awal Kemerdekaan

dan Demokrasi Terpimpin (1945 – 1965) ............................................................... ............ 24

Pemberantasan Penyakit Era Pembangunan Nasional (1966 – 1975) ............................... 43

Pemberantasan Penyakit Era Reformasi (2000 – 2007) .................................................. ... 63

Foto Dirjen ....................................... ................................................... ................................. 87

Daftar Pustaka ....................................................................................... ............................ 100

Page 4: Sejarah Pemberantasan Penyakit

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (PP & PL)

DEPARTEMEN KESEHATAN RI

NOMOR : HK.03.05/D/1.4/2510/2007

TENTANG

PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL TAHUN 2007

DIREKTUR JENDERAL PP & PL,

Menimbang : a. bahwa untuk mengungkapkan data sejarah yang mengandung

nilai perjuangan dan kebanggaan di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, maka perlu disusun sejarah Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL);

b. bahwa untuk menyusun sejarah Direktorat Jenderal PP & PL

sebagaimana diuraikan pada huruf a di atas, perlu dibentuk Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007, yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit

Menular (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang

Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3447);

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1575/Menkes/SK/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia;

Page 5: Sejarah Pemberantasan Penyakit

MEMUTUSKAN Menetapkan : Pertama : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT

DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL TAHUN 2007.

Kedua :

Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 adalah sebagai berikut.

Penasehat : Direktur Jenderal PP & PL Pelindung : Sekretaris Ditjen PP & PL Pengarah : 1. Direktur Sepimkesma

2. Direktur PPML 3. Direktur PPBB 4. Direktur PPTM 5. Direktur PL

Tim Pelaksana : Ketua Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas Wakil Ketua : Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretaris Kepala Sub Bagian Humas 1. Bidang Inventarisasi Dokumen dan Pengumpulan Data Anggota : 1. Imam Setiaji, SH 2. dr. Desak Made Wismarini 3. Inri Denna, S.Sos 4. Eriana Sitompul 5. Risma 2. Bidang Analisis Data dan Editing Dokumentasi Anggota : 1. Sudjais, SKM, MM 2. Drs. Yusraluddin, M.Kes 3. Drs. Yulikarmen, M.Kes 4. Ahmad Abdul Hay, SKM 5. Dewi Nurul Triastuti, SKM 3. Narasumber : 1. Drs. Rajin Sinulingga 2. dr. Arwati Soeparto, MPH 3. M. Daud, B.Sc 4. dr. Nyoman Kumara Rai, MPH 5. dr. Brotowasisto, MPH 6. Drs. Sumarlan, SKM 7. Drs.Sutardjo Martono 8. Sunarjo, SKM 9. Sayuti, SKM, M.Epid 10. P. Simanjuntak, SKM 11. Slamet Nugroho, DPHI

Page 6: Sejarah Pemberantasan Penyakit

4. Sekretariat 1. Mudji Wahono 2. Tohar 3. Siti Djubaidah Ketiga : Tim penyusun sebagaimana Diktum Kedua keputusan ini bertugas

sebagai berikut. 1. Mengumpulkan data dan bahan-bahan penyusunan sejarah

Ditjen PP & PL; 2. Melakukan review terhadap naskah sejarah yang telah dikumpulkan; 3. Melakukan penyusunan draft awal sejarah Ditjen PP & PL; 4. Melakukan finalisasi edisi pertama.

Keempat : Tim penyusun bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal PP & PL melalui Sekretaris Ditjen PP & PL dan wajib menyampaikan laporan secara berkala.

Kelima : Semua pembiayaan yang berkaitan dengan penyusunan Sejarah

Direktorat Jenderal PP & PL dibebankan pada DIPA Ditjen PP & PL. Keenam : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan akan

dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya apabila terdapat kekeliruan di kemudian hari.

Keputusan ini disampaikan, Yth. 1. Sekretaris Jenderal Depkes RI 2. Inspektur Jenderal Depkes RI 3. Para Direktur Jenderal di lingkungan Depkes RI 4. KPPN Jakarta V dan VI di Jakarta 5. Yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan

Page 7: Sejarah Pemberantasan Penyakit

1

PEMBERANTASAN PENYAKIT

ERA KOLONIAL

(AWAL ABAD 20 – 1945)

Pemberantasan penyakit menular yang dijalankan pada era

Kolonial merupakan upaya preventif yang mencakup beberapa

penyakit, sebagai berikut.

CACAR

Pada tahun 1804, untuk pertama kalinya penyakit cacar

berjangkit di Batavia. Penyakit itu berasal ”Isle de France”

(Mauritius), yang masuk Batavia dengan perantaraan para anak

budak belian, berusia 6–12 tahun, penyakit itu terbawa sampai

Batavia.

Untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, vaksinasi pun

mulai diberikan. Awalnya, vaksinansi cacar hanya diberikan bagi

penduduk pribumi yang sehari-hari bergaul dengan orang Eropa.

Namun pada akhirnya, vaksinasi juga diberikan kepada mereka

yang tidak menolak pemberian vaksinasi.

Kemudian pada September 1811 – Maret 1816, Letnan Gubernur

Thomas Stanford Raffles, salah satu pemimpin Inggris yang

berkuasa saat itu, mulai mengembangkan wilayah pemberian

vaksinasi cacar di daerah Jawa. Saat itu, pemberian vaksinasi

cacar telah dilakukan oleh juru cacar pribumi, yang telah dididik

di beberapa rumah sakit tentara.

Page 8: Sejarah Pemberantasan Penyakit

2

Sumber: http://nl.wikipedia.org

Gambar 1. Thomas Stanford Raffles

Pada tahun 1820, Peraturan Jawatan Kesehatan Sipil (Reglement

voor den BGD) ditetapkan. Bersamaan dengan itu, Peraturan

Pelaksanaan Vaksinasi Cacar (Reglement op de uitoefening der

koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie) juga dikeluarkan, yang

isinya:

1. Seluruh usaha vaksinasi ditempatkan di bawah seorang

Inspektur;

2. Di setiap karesidenan diangkat seorang pengawas (opziener),

sedapat-dapatnya dokter setempat;

3. Pengawas tiap minggu harus memberi vaksinasi di tempat

kedudukannya dan sekitarnya;

4. Untuk tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan

pengawas, digunakan juru cacar (vaccinateur) pribumi, yang

sebelumnya dididik oleh pengawas;

5. Tiap bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada

residen dan inspektur, dan tiap enam bulan memeriksa hasil

pekerjaan para juru cacar;

6. Inspektur bertanggung jawab atas pengiriman bibit cacar ke

seluruh karesidenan.

Page 9: Sejarah Pemberantasan Penyakit

3

Dari waktu ke waktu, penyempurnaan pelaksanaan pencacaran

mulai dilakukan. Bibit cacar yang tadinya didatangkan dari Eropa,

kini mulai dibuat sendiri. Untuk mendukung pembuatan bibit

cacar sendiri, maka di tahun 1879, ”Parc vaccinogene” didirikan

di daerah Batu Tulis, Jawa Barat.

Sumber: http://www.schaakclubutrecht.nl

Gambar 2. dr. A Schuckink Kool (kedua dari kanan)

Kemajuan pembuatan vaksin mulai terlihat di tahun 1884, ketika

dr. A. Schuckink Kool berhasil membuat vaksin di Meester

Cornelis (Jatinegara), dengan menggunakan sapi sebagai tempat

pembiakan. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah

Hindia Belanda, 6 Agustus 1890, tentang pendirian Parc

Vaccinogen atau Landskoepok Inrichting di Rumah Sakit Tentara

Weltevreden-Batavia, maka lembaga pembuatan vaksin

dipindah ke Batavia.

Dengan berjalannya waktu dan semakin meningkatnya kegiatan

produksi vaksin, maka pada tahun 1896 didirikan Parc

Vaccinogen Instituut Pasteur, Bandung. Dengan berdirinya

institut tersebut, maka di tahun 1918, lembaga pembuatan

vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan Instituut

Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en

Instituut Pasteur.

Seiring dengan perkembangan pembuatan vaksin, di tahun 1926,

Dr. L. Otten berhasil menyempurnakan pembuatan vaksin, dari

larutan dalam gliserin menjadi vaksin kering in vacuo.

Page 10: Sejarah Pemberantasan Penyakit

4

Sumber: http://bandungheritage.org

Gambar 3. Instituut Pasteur, kini PT Biofarma, Bandung

KUSTA

Pada tahun 1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan

leprozerie di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat

penampungan para penderita kusta.

Sesuai dengan cara yang diterapkan di Eropa saat itu, maka di

tahun 1770 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan peraturan

pengasingan bagi penderita kusta yang ada di daerah

konsolidasinya.

Sampai dengan pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia

Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai daerah,

seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau,

Bangka, dan Bengkulu.

Namun pada tahun 1865, Pemerintah mengeluarkan Surat

Keputusan yang menyatakan bahwa penderita penyakit kusta

dianggap tidak menular. Dengan adanya surat keputusan itu,

maka para penderita kusta tidak boleh dipaksa masuk leprozerie.

Mereka diberi kebebasan memilih untuk tetap tinggal dalam

liprozerie atau meninggalkannya.

Berdasarkan hasil kongres Lepra pertama di Berlin (Jerman), di

tahun 1897 peraturan pengasingan paksa diterapkan kembali.

Kongres tersebut menyatakan bahwa lepra adalah penyakit

menular. Atas dasar itu, Pemerintah Hindia Belanda kembali

membangun liprozerie bagi penderita kusta.

Page 11: Sejarah Pemberantasan Penyakit

5

Namun di tahun 1932, peraturan pengasingan paksa di leprozerie

dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai

Kepala Dinas Pemberantasan Kusta. Ia bertindak atas referensi

pemberantasan penyakit kusta di Norwegia. Pertimbangan

lainnya, penerapan sistem tersebut di Filipina dan Hindia Barat

tidak membawa hasil memuaskan.

Sebagai gantinya, Dr. J. B. Sitanala menerapkan sistem ”tiga

langkah” sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu ekplorasi,

pengobatan, dan pemisahan.

Eksplorasi, merupakan tindakan untuk mendapatkan data

terpercaya di tiap daerah, termasuk data untuk mengetahui

sikap masyarakat terhadap penyakit kusta. Eksplorasi ini menjadi

awal dari surveilans penyakit kusta.

Pengobatan, merupakan tindakan pemberian obat berdasarkan

hasil eksplorasi. Pengobatan dilakukan di poliklinik kusta, yang

letaknya tidak jauh dari tempat tinggal penderita. Sekali

seminggu, para penderita kembali mengunjungi poliklinik untuk

mendapat pengobatan.

Pemisahan, merupakan tindakan pemisahan penderita kusta dari

lingkungannya, tanpa paksaan. Pemisahan dilakukan dengan

menempatkan penderita kusta dalam rumah tersendiri, yang

masih berada dalam lingkungan keluarga.

Penerapan sistem ”tiga langkah” ini tidak otomatis menutup

akses sistem leprozerie. Penampungan di leporozerie tetap

dilakukan dengan tanpa paksaan (sukarela). Sampai dengan

tahun 1940, sebanyak 47 liprozerie telah tersebar di seluruh

wilayah Hindia Belanda, dihuni 4955 penderita kusta.

MALARIA

Pemberantasan penyakit malaria di Indonesia mulai menemukan

titik terang, ketika di tahun 1882 Laveran berhasil menemukan

plasmodium malarie sebagai penyebab penyakit malaria, dengan

penularan melalui nyamuk.

Page 12: Sejarah Pemberantasan Penyakit

6

Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman

kesehatan rakyat di beberapa wilayah, maka di tahun 1911,

Jawatan Kesehatan Sipil didirikan sebagai bentuk upaya

penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria.

Dari waktu ke waktu, lingkup kerja Jawatan Kerja Sipil semakin

meluas. Untuk itu, pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale

Malaria Bureau) didirikan. Dalam menjalankan fungsinya, Biro

Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan Bagian Penyehatan

Teknik (Gezondmakingswerken).

Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di

Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian timur.

Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanan

dilakukan oleh cabang Medan.

Sumber: http://id.wikipedia.org

Gambar 4. Nyamuk Anopheles, penyebab malaria

Dalam upaya pemberantasan, para mantri malaria ditugaskan

untuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa

persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk,

serta membuat peta wilayah.

Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga

dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pembunuhan dan

pencegahan berkembangnya jentik di sarang-sarang;

pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, dan

sebagainya; penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah

kontak antara manusia dengan nyamuk; serta kininisasi dalam

epidemi. Dengan penerapan riset yang berdasarkan penyelidikan

yang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria, maka

dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya.

Page 13: Sejarah Pemberantasan Penyakit

7

Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara

Species-assaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang

garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat

pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua,

yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai

dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang

air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian

kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk,

pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan

kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk,

serta pemeliharaan tambak secara higienis.

Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman,

beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut.

1. Menghadapi An. ludlowi tawar di kolam-kolam ikan, yaitu

dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya dan

merubah kolam ikan menjadi sawah;

2. Cara biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan

ikan kepala timah dalam kolam;

3. Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus

(biasa ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yang

kurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan cara

pemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupun

pembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas dari

tumbuh-tumbuhan; penanaman padi secara serentak di

persawahan yang pengairannya tergantung dari satu

saluran air yang sama; mengeringkan sawah yang tidak

digarap dalam dua masa penanaman;

4. Khusus An. maculatus, digunakan cara biologis dengan

menanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuh-

tumbuhan yang rindang. Cara ini berguna untuk menutupi

air dari cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murah

dari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot drainage”).

SAMPAR/PES

Pada Maret 1911, kasus sampar pertama ditemukan di daerah

Malang. Penemuan ini memperkuat dugaan adanya penyakit

sampar di Jawa Timur, yang ternyata benar. Penyakit sampar

telah meluas di Kabupaten Malang, kemudian menjalar ke barat

melalui Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun.

Page 14: Sejarah Pemberantasan Penyakit

8

Saa

be

hu

pe

hu

Pa

me

me

me

be

Di

dil

ha

vak

me

Da

seb

seb

Saat itu rantai penularan antara tikus, pinjal, dan m

berupa hipotesis. Dengan bukti yang cukup, diketah

hubungan antara sampar tikus dan sampar manusi

pemberantasan difokuskan pada pemutusan jarak

hubungan/kontak antara manusia dengan tikus.

Pada tahun 1915, Dinas Pemberantasan Pes dibent

memutus kontak antara manusia dengan tikus. Din

melakukan perbaikan perumahan dan pembinaan d

mengurus rumah tangga, hingga tidak ada lagi tem

bersarang.

Sumber: http://www.arsipjatim.go.id

Gambar 5. Laporan Triwulan Pertama

Dinas Pemberantasan Pes, 1916

Di samping usaha perbaikan rumah, pemberian vak

dilakukan. Awalnya, rakyat diberikan vaksin Haffkin

hasilnya tidak memuaskan, pada vaksinasi berikutn

vaksin Otten (mulai tahun 1934), yang ternyata dap

menurunkan 20 % angka kematian dari angka semu

Daerah Temanggung, Tegal, dan Majalengka yang d

sebagai ”sarang” terus diamati dan diawasi dengan

sebagai upaya memberantas penyakit ini.

n manusia masih

etahui adanya

nusia. Untuk itu,

rak

bentuk untuk

. Dinas ini bertugas

an dalam

tempat tikus

vaksinasi juga

ffkine. Karena

kutnya digunakan

dapat

emula.

ng dianggap

gan cermat,

Page 15: Sejarah Pemberantasan Penyakit

FRAMBUSIA

Di zaman penjajahan, penyak

dikatakan sebagai penyakit ra

besar rakyat Indonesia.

Di tahun 1920, istilah ”pembe

Pemberantasan ini dilakukan

Neosalvarsan, sebagai pengo

ternyata berhasil memberi pe

Keberhasilan itu telah menar

rakyat, khususnya penderita

membayar, mereka berkump

didatangi dokter sekali semin

Upaya pemberantasan framb

pada tahun 1934, atas prakar

Karesidenan Kediri.

Di awal kemerdekaan, pembe

pemberian obat Penicillin bag

pengobatan frambusia mulai

Treponematosis Control Progr

secara bertahap telah menca

Meski belum merata, namun

memuaskan.

Sumber: http://www

Gambar 6.

nyakit Frambusia (patek) dapat

kit rakyat, karena diderita oleh sebagian

mberantasan” mulai digunakan.

kan dengan memberi suntikan

ngobatan penderita frambusia, yang

penyembuhan.

narik perhatian dan membuka mata

rita frambusia. Untuk itu, meski harus

umpul di suatu tempat, yang akan

inggu untuk memberi pengobatan.

ambusia secara teratur mulai dilakukan

akarsa dr. Kodiyat, seorang dokter

mberantasan dilakukan dengan cara

bagi penderita. Setelah itu,

ulai menggunakan sistem

rogramme Simplified (TCPS), yang

ncakup seluruh wilayah tanah air.

un telah mencapai hasil sangat

www.rmaf.org.ph

ar 6. dr. KodiyatKolera

9

Page 16: Sejarah Pemberantasan Penyakit

10

Penyakit Kolera mulai dikenal pada tahun 1821. Penyakit ini

termasuk penyakit sangat akut. Namun sampai dengan tahun

1860, sifatnya yang menular atau tidak, masih diperdebatkan.

Setiap kali kolera mewabah, maka vaksinansi massa dan

penyuluhan higiene akan diadakan.

Tahun 1911, vaksin kolera mulai dibuat oleh Nyland. Meski

vaksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit

kolera tetap mewabah setiap tahun. Antara tahun 1920 – 1927

tidak ada laporan wabah. Wabah terakhir terjadi di Tanjung Priok

pada tahun 1927.

TRACHOMA

Antara tahun 1926 – 1928, dilakukan penyelidikan prevalensi

trachoma. Hasilnya, ditemukan beberapa daerah terjangkit, yang

menjadi sarang penyakit tersebut.

Berdasarkan temuan tersebut, pada tahun 1928 mulai diadakan

pemberantasan penyakit Trachoma di daerah Tegal. Di tahun

1932, tercatat 16 poliklinik mata di Kabupaten Tegal dan

Pemalang.

TUBERKULOSIS

Penyakit Tuberkulosis telah lama dikenal dengan berbagai

sebutan, seperti ”batuk darah”, ”batuk kering”, dan sebagainya.

Bagi penderita tuberkulosis yang mampu, perawatan diberikan

di tempat peristirahatan, yang dinamakan ”sanatorium”.

Tempat peristirahatan ini terletak di daerah pegunungan,

dengan anggapan iklim pegunungan berpengaruh baik bagi

kesehatan penderita. Dari waktu ke waktu, banyak orang

menganggap bahwa tuberkulosis bukan masalah penting bagi

Indonesia, negeri yang bermandikan cahaya matahari dengan

kehidupan alam terbuka.

Page 17: Sejarah Pemberantasan Penyakit

Ternyata kenyataan berkata

masalah. Untuk itu di tahun 1

yang bertugas menyelidiki

menderita penyakit tuberkulo

Sumber: http://www.qoop.nl

Gambar 7. Lingkung

Sumber: http://www.stamps-auction.com

Gambar 8. Villa Ju

rkata lain. Tuberkulosis tetap menjadi

un 1917, dibentuk suatu panitia khusus,

idiki jumlah penduduk pribumi yang

rkulosis dan paru-paru.

kungan sekitar Sanatorium Tosari

illa Juliana – Sanatorium Tosari

11

Page 18: Sejarah Pemberantasan Penyakit

12

Pada Oktober 1918, didirikan suatu badan swasta berbentuk

yayasan, yang mendapat bantuan tenaga dan keuangan dari

Pemerintah. Yayasan itu bernama ”Stichting der Centrale

Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose” (SCVT). Rencananya,

yayasan ini akan mendirikan sanatoria, mengusahakan

perawatan penderita di rumah, dan higiene sekolah sebagai

upaya pemberantasan penyakit ini.

Sampai dengan tahun 1930, belum ada langkah sistematis

sebagai upaya pemberantasan tuberkulosis. Kegiatan mulai

terlihat ketika SCVT mulai banyak mendirikan poliklinik penyakit

paru di kota-kota besar.

Sistem penyebaran poliklinik (”Consultatie Bureau”) juga

dilakukan sehingga mempermudah pencarian kontak penderita

tuberkulosis, serta pengobatan difokuskan pada gejala

(simtomatis) dan perbaikan gizi penderita.

Sampai akhir penjajahan Belanda, telah tersebar poliklinik paru

di 20 ibu kota karesidenan.

HIGIENE DAN SANITASI

Dalam perkembangannya, taraf pertama usaha higiene dan

sanitasi adalah tertuju pada pemberantasan wabah, baru

kemudian meluas pada pencegahan penyakit.

Bertepatan dengan adanya wabah kolera, langkah pertama yang

dilakukan adalah pembentukan badan “Higiene Commissie”

(Panitia Higiene) pada tahun 1911 di Batavia.

Badan ini telah melakukan beberapa hal, seperti pemberian

vaksinasi massa secara besar-besaran, penyediaan air minum,

serta penganjuran untuk memasak air atau membubuhi air

dengan kaliumpermanganaat, yang telah disediakan dengan

cuma-cuma.

Usaha higiene saat zaman penjajahan Belanda telah dirintis oleh

dr. W. Th. de Vogel, yang berpengalaman sebagai dokter di Kota

Semarang.

Page 19: Sejarah Pemberantasan Penyakit

Saat menjabat sebagai Kepala

(Hoofdinspecteur) di tahun 19

pemerintah merubah organis

disampaikan atas dasar peng

Menurut de Vogel, tugas pen

(penyelenggaraan rumah sak

dilimpahkan kepada prakarsa

pemerintah, dengan atau tan

pemerintah bisa memberi pe

yang sangat bermanfaat bagi

Langkah nyata mulai dilakuka

dibentuknya Dinas Higiene.

melakukan “pemberantasan

Sumber: www.historycooperative.org

Gambar 9. Pendidikan keseh

Upaya pemberantasan dititik

kesehatan bagi masyarakat, y

untuk mendirikan kakus sede

Upaya pemberantasan denga

dr. J. L. Hydrick dari Rockefell

Lambat laun, pemberantasan

berkembang, dan dikenal isti

propaganda”.

pala Jawatan Kesehatan Sipil

n 1916, ia mengusulkan agar

anisasi Jawatan Kesehatan Sipil. Usul itu

engalaman sebagai dokter.

pengobatan dan perawatan perorangan

sakit dan poliklinik) sebaiknya

arsa swasta dan badan semi

tanpa subsidi. Dengan begitu,

ri perhatian lebih kepada usaha higiene,

bagi masyarakat secara keseluruhan.

kukan di tahun 1924, dengan

e. Sebagai langkah pertama, dinas ini

san cacing tambang” di wilayah Banten.

kesehatan bagi rakyat oleh matri higiene

ititikberatkan pada pendidikan

at, yaitu dengan mendorong mereka

sederhana, serta menggunakannya.

engan sistem higiene ini diprakarsai oleh

feller Foundation (tahun 1924 – 1939).

asan cacing tambang semakin

l istilah “medisch hygienische

13

Page 20: Sejarah Pemberantasan Penyakit

14

Pro

cac

lain

pen

Tah

ben

ini

me

Da

Na

beb

1.

2.

3.

4.

Propaganda ini ditujukan tidak hanya untuk pembe

cacing tambang, tetapi juga pemberantasan penyak

lainnya, dengan cara penyuluhan di berbagai sekola

pengobatan bagi anak sekolah yang menderita saki

Sumber: www.historycooperative.org

Gambar 10. Kecacingan pada anak, sebelum dan sesuda

Tahun 1933, suatu organisasi higiene mulai berope

bentuk “Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten”

ini berlokasi di Purwokerto, dengan harapan kabup

mencontoh dan melakukan hal yang sama.

Dalam kedudukannya, Dinas Higiene terpisah dari D

Namun dalam pelaksanaannya, kerjasama erat men

beberapa program tetap dilakukan keduanya, sepe

1. Tindakan kekarantinaan, seperti isolasi, observa

penyidikan epidemiologi, dan tindakan perlindu

saat menghadapi wabah (penyakit yang termas

ordonasi epidemic);

2. Tindakan preventif terhadap penyakit-penyakit

seperti membangun assainering/penyehatan te

malaria, pembuatan kakus terhadap penyakit c

tambang dan penyakit perut lainnya (termasuk

dan penyuluhan penggunaannya), pengawasan

(termasuk pengawasan terhadap perusahaan e

dan susu);

3. Mengadakan kursus dukun, sebagai upaya men

banyaknya kasus kematian bayi dan anak;

4. Pendidikan kesehatan bagi rakyat, termasuk pe

kursus untuk guru sekolah dan perkumpulan w

mberantasan

nyakit perut

kolah dan

sakit.

esudah diobati

operasi dalam

ten”. Percontohan

bupaten lain akan

ari Dinas Kuratif.

mencakup

eperti:

servasi, desinfeksi,

lindungan lainnya

masuk dalam

akit rakyat,

n terhadap

kit cacing

suk pengamatan

asan air minum

an es, minuman,

menghadapi

k pemberian

n wanita.

Page 21: Sejarah Pemberantasan Penyakit

15

PEMBERANTASAN PENYAKIT

ERA AWAL KEMERDEKAAN

DAN DEMOKRASI TERPIMPIN

(1945 – 1965)

Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia ditandai dengan

dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dengan adanya

dekrit tersebut, maka pada 10 Juli 1959, Kabinet Kerja Pertama

dibentuk, dengan Kolonel Prof. Dr. Satrio sebagai Menteri Muda

Kesehatan.

Pada era ini, berbagai lembaga kesehatan, terutama di bidang

pemberantasan penyakit, telah berdiri dan tersebar di beberapa

daerah di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut, antara lain

Lembaga Eijkman (Jakarta), Lembaga Pasteur (Bandung),

Lembaga Pemberantasan Penyakit Malaria (Jakarta), Lembaga

Pemberantasan Penyakit Kelamin (Surabaya), Lembaga

Pemberantasan Penyakit Rakyat (Yogyakarta), Lembaga

Pemberantasan Penyakit Pes (Bandung), serta Lembaga

Pemberantasan Penyakit Mata (Semarang).

Dengan adanya lembaga-lembaga tersebut, maka Departemen

Kesehatan bertugas mengelolanya, termasuk mengelola sekolah

dan kursus bidang kesehatan, jawatan perlengkapan, badan

pengawas perusahaan farmasi (Bapphar), kedinasan, rumah

sakit, serta balai pengobatan.

Page 22: Sejarah Pemberantasan Penyakit

16

Pri

dit

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Sumber: http://www.eijkman.go.id

Gambar 11. Gedung Lembaga Eijkman, Jakarta

Prinsip kebijakan kesehatan pada masa Demokrasi

ditujukan pada beberapa usaha, yaitu:

1. Memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi

peraturan-peraturan kesehatan;

2. Memperbanyak pendidikan tenaga kesehatan,

maupun tenaga paramedik;

3. Menyelenggarakan pembaharuan kebijaksanaa

perumahsakitan, balai pengobatan, dan sejuml

4. Menentukan kebijaksanaan mengenai kefarma

menggiatkan penggunaan obat-obatan asli sert

pabrik-pabrik obat nasional, seperti ABDI, PAPH

5. Pembasmian malaria dengan membentuk KOPE

6. Mengintensifkan pemberantasan penyakit Fram

7. Menunjang penyelesaian Trikora dan Dwikora d

menyediakan tenaga medik, paramedik, dan pe

8. Perbaikan gizi masyarakat melalui Revolusi Mak

dan Operasi Komando Buta Gizi;

9. Penyelenggaraan Rombongan Kesehatan Indon

untuk pemeliharaan kesehatan jemaah haji;

10. Pembinaan usaha-usaha kesehatan swasta;

11. Pembentukan Badan Pelindung Susila Kedokter

12. Perkembangan Kesehatan Olah Raga, berhubun

akan adanya Asian Games dan Game of the New

Force (GANEFO).

karta

rasi Terpimpin

bagi segenap

tan, baik dokter

anaan

umlah BKIA;

rmasian,

serta pendirian

PHROS;

OPEM;

Frambusia;

ora dengan

n peralatan;

Makanan Rakyat

donesia (RKI)

kteran;

ubung dengan

New Emerging

Page 23: Sejarah Pemberantasan Penyakit

17

PERIODE DITJEN KRIDA NIRMALA – DITJEN P4M

Pada tahun 1965, organisasi Departemen Kesehatan mengalami

perubahan mendasar, yaitu dengan dibentuknya beberapa

direktorat jenderal (Ditjen) sebagai unit pelaksana teknis (UPT),

yang sebelumnya tidak ada dalam struktur organisasi

Departemen Kesehatan.

Untuk itu, Departemen Kesehatan membentuk Direktorat

Jenderal Krida Nirmala, yang artinya “upaya atau kerja untuk

menghilangkan penyakit”, sebagai UPT bidang penyakit menular.

Sebagai peleburan dari KOPEM dengan Bagian Pencegahan

Penyakit, maka Ditjen Krida Nirmala yang saat itu dipimpin oleh

dr. Marsaid, mempunyai beban kerja di bidang penyakit beserta

permasalahannya, antara lain penyakit malaria, cacar,

tuberkulosis, kusta, kolera, diare, frambusia, dan lainnya. Selain

itu, permasalahan kesehatan karantina (laut, udara, dan

perbatasan darat) serta kesehatan transmigrasi juga menjadi

tanggung jawabnya.

Seiring dengan waktu, Menteri Kesehatan kemudian

mengangkat dr. R.E.M. Suling menjadi Direktur Jenderal Krida

Nirmala, menggantikan dr. Marsaid, walau hanya dalam jangka

waktu singkat. Setelah itu, Prof. Dr. J. Sulianti Saroso diangkat

untuk menduduki jabatan tersebut. Bersamaan dengan itu,

Direktorat Jenderal Krida Nirmala berganti nama menjadi

Direktorat Jenderal Pencegahan, Pembasmian, dan

Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P4M).

SAMPAR/PES

Pada akhir tahun 1910, penyakit sampar/pes mulai menyebar di

Indonesia. Penyakit ini, selama kurang lebih 40 tahun, telah

menyerang sekitar 240 ribu orang di Pulau Jawa.

Penyakit pes menyebar di wilayah Nusantara melalui alat

angkutan laut (kapal). Selain mengangkut beras, ternyata di atas

kapal juga berkeliaran tikus-tikus yang terjangkit penyakit pes.

Page 24: Sejarah Pemberantasan Penyakit

18

Penyakit ini pertama kali berjangkit di Pelabuhan Surabaya,

kemudian menyebar ke daerah Pasuruan, Malang, Kediri,

Madiun, Surakarta, Boyolali, Magelang, dan Yogyakarta. Pada

tahun 1919, penyakit ini menyebar ke wilayah Jawa Tengah

melalui Pelabuhan Semarang.

Di tahun 1922, penyakit ini masuk ke Bumiayu melalui Pelabuhan

Tegal. Dua tahun kemudian, penyakit ini menyebar ke wilayah

Jawa Barat melalui Pelabuhan Cirebon. Di tahun 1927, penyakit

pes mewabah di daerah Pasuruan, dengan jumlah korban yang

cukup besar.

Pemberantasan penyakit pes menggunakan racun serangga

berupa ”DDT Spraying” mulai dilakukan tahun 1952 dan

membawa hasil yang sangat memuaskan. Di akhir tahun 1960

dan di tahun 1961 tidak lagi dilaporkan adanya kasus pes.

KOLERA

Pada tahun 1928, dilaporkan bahwa Indonesia telah berhasil

memberantas penyakit kolera. Meski dinyatakan ”berhasil”,

namun ternyata masih tertinggal satu jenis Vibrio Cholerae di

Indonesia, yakni Vibrio Eltor. Dengan demikian, maka di awal

kemerdekaan Republik Indonesia, penyakit ini kembali

berjangkit.

Untuk mengatasinya, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah

Indoneisa, antara lain dengan pemberian vaksin TCD (typhus,

cholerae, desentry) kepada anggota Angkatan Perang dan anak-

anak sekolah, sebagai upaya pengebalan di tahun 1950.

Penelitian terhadap penyakit kolera terus dilakukan dari waktu

ke waktu. Hasilnya, pada tahun 1957 ditemukan Vibrio Eltor di

Makassar. Penemuan oleh Tanamal ini terjadi saat penyakit

kolera sedang kembali berjangkit di Makassar dan Jakarta, yang

dikenal dengan peristiwa Enteries Choleroformis.

Di tahun 1961, kolera juga mewabah di Semarang, hingga

menimbulkan kematian. Untuk itu, di tahun 1962, cholera eltor

masuk dalam UU Nomor 6 tahun 1962 tentang Wabah. Artinya,

penyakit ini harus segera diberantas, jika mewabah.

Page 25: Sejarah Pemberantasan Penyakit

19

Dengan kemajuan teknologi kesehatan, pemberian kekebalan

dilakukan dengan menggunakan vaksinasi Chotipa (cholera,

typhus, dan parathypus), yang dikenal dengan istilah pemberian

”Ring Vaksinasi”.

CACAR

Penyakit Cacar tergolong penyakit karantina. Wabah cacar

kembali melanda Indonesia di tahun 1948, setelah tidak

berjangkit selama 25 tahun terakhir.

Penyakit ini bermula dari Singapura/Malaka, menyebar ke

Sumatera dan pulau lainnya di Indonesia, seperti Jawa,

Kalimantan, dan Nusa Tenggara, melalui lalu lintas darat dan

laut.

Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1

Gambar 12. Saridi, salah seorang penderita cacar

Untuk mencegah penyebaran penyakit cacar, maka pada tahun

1951 pencacaran massal dilakukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan

pulau-pulau lain di Indonesia. Upaya ini (Smallpox Eradication

Programme) dikembangkan sejalan dengan kebijakan global

dunia, melalui WHO, untuk membasmi penyakit cacar.

Pembasmian dimungkinkan, karena penyakit cacar tidak

mempunyai vektor penyakit. Selain itu, vaksin cacar yang sangat

efektif juga telah dihasilkan oleh Bio Farma.

Page 26: Sejarah Pemberantasan Penyakit

20

Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1

Gambar 14. Pencacaran umum di Pasar Jatisrono, 20 November 1960

Sebelum Perang Dunia II, pencacaran dilakukan dengan

pemberian vaksin cacar kering serta vaksin cacar basah. Namun

setelah perang berakhir, pencacaran tidak lagi menggunakan

vaksin cacar basah, yang digunakan hanya vksin kering saja.

Untuk memenuhi kebutuhan vaksin kering, Prof. Dr. Sardjito

membuat vaksin kering di sebuah laboratorium yang berada di

Klaten, kemudian membagikannya ke sejumlah daerah di

Indonesia.

Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2

Gambar 13. Prof. Dr. Sardjito

Dengan ditemukannya vaksin cacar, maka pada tahun 1972,

Pemerintah Indonesia berhasil membasmi penyakit tersebut.

Dengan keberhasilan itu, di tahun 1974, Indonesia dinyatakan

bebas cacar oleh WHO.

Page 27: Sejarah Pemberantasan Penyakit

21

TUBERKULOSIS

Penyakit Tuberkulosis di Indonesia termasuk salah satu penyakit

rakyat yang banyak menelan korban.

Upaya pemberantasan penyakit Tuberkulosis pada jaman

penjajahan Belanda telah dilakukan oleh Stichting Centrale

Vereniging voor de Tuberculose Bestrijding (SCVT) di tahun 1918,

dengan mendirikan lima sanatorium dan 20 biro konsultasi.

Aktivitas SCVT telah diambil alih oleh Pemerintah Indonesia

sejak jaman Pemerintahan Jepang. SCVT ini kemudian dijadikan

sebagai Yayasan Perkumpulan Pusat Pemberantasan Penyakit

Paru-Paru (Yayasan P6), bertempat di Jakarta. Yayasan sejenis

kemudian didirikan di beberapa kota di Jawa, seperti Jember,

Semarang, dan Cirebon.

Sumber: http://www.general-anaesthesia.com

Gambar 15. Robert Koch, penemu basil tuberkulosis

Pada era 1950, diketahui adanya vaksin yang dapat memberikan

kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit penyebab

tuberkolusis. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG. Dengan adanya

vaksin itu, pada Oktober 1952, Pemerintah Indonesia, WHO, dan

UNICEF menandatangani persetujuan untuk memulai program

percontohan dan latihan pemberantasan penyakit tuberkulosis.

Page 28: Sejarah Pemberantasan Penyakit

22

Pada Juli 1953, diadakan konferensi pertama pemberantasan

penyakit paru-paru. Rekomendasi dari konferensi ini

dipergunakan sebagai sebagai dasar upaya pemberantasan

penyakit tuberkolosis paru-paru, dengan vaksinasi BCG sebagai

salah satu upaya preventif yang penting.

MALARIA

Malaria dikenal sebagai penyakit yang berjangkit secara endemik

di daerah tropis. Penyakit ini merupakan penyakit rakyat yang

paling banyak penderitanya dan berjangkit di seluruh wilayah

Indonesia.

Sebelum Perang Dunia II, usaha pemberantasan Malaria

dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk,

dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air

dengan minyak tanah. Seusai Perang Dunia II, ditemukan obat

DDT yang dapat digunakan sebagai pembunuh serangga

(insektisida dengan sistem penyemprotan rumah-rumah).

Pemberantasan malaria dilakukan dengan dua upaya, yaitu

preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan

pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini

untuk memberantas penyakit malaria belum diketemukan

vaksinnya, sehingga penyakit ini menjadi salah satu penyakit

menular yang sulit diberantas.

Sumber: BukuSejarahKesehatan Nasional Indonesia Jilid 2

Gambar 16. Pasukan Penyemprot DDT, 12 November 1960

Page 29: Sejarah Pemberantasan Penyakit

Pada era 1950, Pemerintah In

Pemerintah Amerika, melalui

Basmi Malaria (KOPEM). KOP

Departemen Kesehatan, deng

penyakit malaria.

Pada Januari 1959, Pemerinta

USAID menandatangani Perse

Tujuannya, agar penyakit ma

Indonesia dalam tahun 1970

dilakukannya penyemprotan

Soekarno pada 12 November

Yogyakarta. Kegiatan pembas

1. Penyemprotan rumah di

selama tahap attack;

2. Penemuan penderita sec

radikal terhadap yang po

dan tahap konsolidasi;

3. Penyelidikan entomologi

4. Penataran tenaga.

Dengan demikian, 12 Novem

KESEHATAN NASIONAL, yang

setiap tahun.

Sumber: Pembangunan

Gambar 17. Preside

melakukan penyemprotan DDT

di Desa Tirtomartani,

ah Indonesia bekerja sama dengan

lalui USAID, mencanangkan Komando

KOPEM merupakan suatu ”task force”

dengan tugas khusus membasmi

rintah Indonesia bersama WHO serta

ersetujuan Pembasmian Malaria.

malaria berhasil terbasmi dari wilayah

970. Pemberantasan ditandai dengan

tan DDT pertama oleh Presiden

ber 1959, di Daerah Istimewa

basmian ini, meliputi:

h di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung,

secara aktif dan pasif serta pengobatan

g positif pada bagian akhir tahap attack

logi;

vember ditetapkan sebagai HARI

yang hingga kini tetap diperingati

unan Kesehatan Edisi 1992

esiden RI pertama, Ir. Soekarno,

DDT sebagai upaya pemberantasan malaria

ni, Yogyakarta, 12 November 1959.

23

Page 30: Sejarah Pemberantasan Penyakit

24

FR

Fr

de

Se

fr

ne

be

da

S

fr

fr

”P

U

is

Su

FRAMBUSIA

Frambusia merupakan penyakit rakyat yang erat k

dengan kebersihan perorangan (higiene dan sanita

Sebelum Perang Dunia II, upaya pemberantasan p

frambusia telah dilakukan dengan cara pemberian

neosalvarsan. Upaya yang dilakukan oleh dr. Kod

berhasil menurunkan tingkat infeksi frambusia hin

dari 1%.

Setelah Perang Dunia II berakhir, pemberantasan p

frambusia kembali dilanjutkan. Keseriusan membe

frambusia ditandai dengan pemberian bantuan ob

”Penicilin Antibiotik” oleh WHO dan UNICEF.

Upaya pemberantasan frambusia telah dikenal lua

istilah ”Treponematosis Control Program”.

Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2

Gambar 18. Penyematan Bintang Jasa kepada dr. Ko

Menteri Kesehatan Mayjen dr. Satrio di Istana Yogyakarta, 2

rat kaitannya

anitasi).

an penyakit

rian suntikan

odiyat telah

hingga kurang

san penyakit

mberantas

n obat baru

l luas dengan

r. Kodiyat oleh

ta, 28 Desember 1964

Page 31: Sejarah Pemberantasan Penyakit

25

KUSTA

Antara tahun 1950 – 1960, sekitar 80 ribu penduduk Indonesia

diperkirakan menderita penyakit kusta. Dari jumlah tersebut,

hanya lima ribu orang yang di rawat di rumah saki kusta,

sedangkan sisanya masih berada di tengah-tengah masyarakat.

Meski penyakit Kusta tidak menyebabkan kematian, namun

penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena

menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Untuk

mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai

upaya pemberatasan dengan pola perawatan penderita.

Saat itu telah terdapat 52 rumah sakit kusta (Leprosaria),

termasuk kampung lepra, di seluruh Indonesia, dengan kapasitas

sekitar lima ribu tempat tidur, yang dibina oleh pemerintah dan

Bala Keselamatan (dengan subsidi pemerintah).

Dalam usaha pemberantasan kusta, Lembaga Kusta Kementerian

Kesehatan melakukan penelitian, pendidikan, usaha koordinasi,

serta mencari cara pemberantasan yang tepat. Lembaga

tersebut meliputi laboratorium, klinik, poliklinik pusat dan

poliklinik pembantu, Leproseri Tangerang dan Lenteng Agung,

serta Pusat Epidemiologi di Desa Wates Bekasi.

Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2

Gambar 18. Pemeriksaan penderita kusta di RS Kusta Sitanala, Tangerang

Page 32: Sejarah Pemberantasan Penyakit

26

Saat itu, Jawa Tengah merupakan satu-satunya provinsi yang

telah memiliki Dinas Pemberantasan Kusta, dengan dua orang

dokter di Semarang.

Pelatihan juga diberikan kepada para mantri lepra, yang

kemudian ditugaskan di Jakarta, Semarang, Lamongan, Madura,

Gorontalo, dan daerah lainnya. Mereka bertugas mengobati para

penderita dengan menggunakan obat-obatan sulphon, antara

lain promin, diazone, sulphetrone, diamino-diphenyl-sulphone

(DDS).

Selain menggunakan obat-obatan, Leproseri Tangerang

(sekarang Pusat Rahabilitasi Kusta Sitanala) juga melakukan

usaha pemisahan bayi baru lahir dari orang tuanya yang

menderita Kusta. Observasi dilakukan sekitar lima tahun,

kemudian jika lepromin anak itu negatif akan divaksinasi dengan

vaksin BCG sampai reaksi lepromin menjadi positif.

FILARIASIS

Filariasis, yang juga disebut penyakit kaki gajah merupakan

penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan

perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan.

Di Indonesia, penyebab panyakit ini adalah Wuchereria bancrofti,

Brugia malayi, sejenis cacing (mikrofilaria) yang menyerang

saluran kelenjar limpa dan funiculus spermaticus, sehingga

penderita mengalami kecacatan di bagian anggota tubuh, seperti

kaki.

Penyakit ini menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia

dengan penularan melalui perantaraan nyamuk, terutama

species culex dan spesies mansonia.

POLIOMYELITIS

Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

virus polio. Penyakit ini penyebab cacat tubuh pada anak,

sehingga mengalami kelumpuhan.

Page 33: Sejarah Pemberantasan Penyakit

27

PEMBERANTASAN PENYAKIT

ERA PEMBANGUNAN NASIONAL

(1966 – 1975)

PERIODE DITJEN P3M

Berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan,

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit

Menular (Ditjen P3M) mempunyai tugas pokok melaksanakan

sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan di Bidang

Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Pemberantasan

Penyakit Menular Langsung, Epidemiologi dan Imunisasi, serta

Higiene Sanitasi.

Untuk menyelenggarakan tugasnya, Ditjen P3M yang saat itu

dipimpin oleh dr. Adhyatma, MPH, mempunyai fungsi:

a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan

pembinaan serta pemberian perijinan di bidang

pemberantasan penyakit menular dan higiene Sanitasi sesuai

dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan Higiene

Sanitasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

c. Pemberantasan penyakit menular dan higiene sanitasi,

sesuai pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok

Ditjen P3M dalam kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

Menteri;

d. Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Page 34: Sejarah Pemberantasan Penyakit

28

Pada era Pembangunan Nasional (Pelita), pemberantasan

penyakit menular ditujukan untuk mematahkan rantai

penularan. Untuk itu, cara yang dilakukan adalah dengan

menghilangkan sumber atau pembawa penyakit, mencegah

adanya hubungan dengan penyebab penyakit, serta memberi

kekebalan kepada penduduk.

Pemberantasan penyakit pada Pelita I ditentukan atas dasar

beberapa pertimbangan, sebagai berikut.

1. Perjanjian luar negeri, seperti International Health

Regulation (IHR), yang dituangkan dalam Undang-undang

Karantina (cacar, kolera, dan pes);

2. Penyakit yang menjadi masalah kesehatan rakyat dan telah

diketahui cara efektif pemberantasannya, seperti malaria,

tuberkulosis, kusta, frambusia, dan penyakit kelamin;

3. Penyakit lain yang timbul sebagai wabah dan diperlukan

pengambilan tindakan, seperti penyakit antraks, demam

berdarah, serta penyakit lain yang memerlukan survei, studi,

dan percobaan pemberantasan untuk menyiapkan cara

penanggulangannya (Filariasis, Schistosomiasis, dan Cacing

tambang.

Upaya pemberantasan penyakit di daerah bukanlah suatu

perkara mudah, terkait dengan bentuk dan letak wilayah

Indonesia. Untuk itu, berbagai permasalahan yang timbul di

daerah harus diselesaikan secara tepat dan cepat, dengan

melakukan:

1. Penelitian keadaan penyakit dan pola penyebarannya

(epidemiological surveilance);

2. Pembangunan unit pengamatan (surveillance unit);

3. Pemeriksaan laboratorium;

4. Kekarantinaan dengan cara meningkatkan pencegahan

masuk/keluarnya penyakit menular ke/dari luar negeri;

5. Higiene dan Sanitasi, dengan cara perbaikan persediaan air

minum pedesaan dalam usaha pemberantasan/pencegahan

penyakit, seperti kolera);

6. Mendidik masyarakat untuk membiasakan diri untuk hidup

higienis.

Page 35: Sejarah Pemberantasan Penyakit

29

MALARIA

Kebijakan pokok pemberantasan malaria pada era ini adalah

melaksanakan pemberantasan agar malaria tidak lagi menjadi

masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu, penyemprotan

dilakukan terhadap 8,6 juta rumah di sumber penularan,

penemuan penderita secara pasif dan aktif, pengobatan 32,6

juta penderita, serta melatih puluhan ribu tenaga

pemberantasan malaria.

DEMAM BERDARAH

Usaha pemberantasan penyakit demam berdarah meliputi 3

bidang, yaitu surveilance, pengobatan penderita, dan

pemberantasan.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes

Gambar 19. Nyamuk Aedes aegypti

Di Bidang Surveilance, 12 provinsi melaporkan adanya penderita

dengue haemorhagic fever (DHF). Dilaporkan juga adanya wabah

di Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Riau, dan

Jawa Tengah. Laporan specimen selalu disampaikan oleh

Laboratorium Pusat dan Bio Farma secara teratur. Untuk itu,

survei vektor dilakukan terhadap 20 kota di 12 provinsi.

Sedangkan di bidang pemberantasan, dilakukan kegiatan

penyemprotan menggunakan Malathion, percobaan aplikasi

abate terhadap 115 ribu rumah, dan peniadaan sarang nyamuk

melalui penyuluhan kesehatan terhadap 2,4 juta rumah.

Page 36: Sejarah Pemberantasan Penyakit

30

FILARIASIS DAN SCHISTOSOMIASIS

Dalam rangka pemberantasan penyakit Filariasis dan

Schistosomiasis telah dilakukan mirofilaria, survei di 10

kabupaten di Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Nusa

Tenggara Timur, serta pemberantasan penyebar penyakit.

Untuk meningkatkan pemberantasan penyakit ini, pada 3

Februari 1975 diadakan Penataran Tenaga Pimpinan/Pelaksana

Pemberantasan Filariasis di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penataran diikuti perwakilan dari tiga provinsi, yaitu Irian Jaya

yang diwakili oleh Dokabu Sorong dan Dokabu Merauke,

Sulawesi Utara yang diwakili oleh Kepala Unit Surveilance dan

Staf Dinas Kesehatan Provinsi, serta Nusa Tenggara Timur yang

dihadiri oleh semua Dokabu dan seorang dokter puskesmas.

RABIES

Pemberantasan penyakit rabies telah dilakukan dengan

beberapa cara, antara lain dengan pemberian vaksin anti rabies

kepada hewan, perbaikan sistem pelaporan dan pencatatan,

serta peningkatan kesadaran dan kerjasama yang baik dari para

petugas.

Cara tersebut membuahkan hasil yang cukup baik, dimana

dilaporkan adanya penurunan jumlah orang yang digigit hewan

dan permintaan pengobatan/vaksinasi.

TUBERKULOSIS

Pada Pelita I, fokus pemberantasan penyakit paru-paru adalah

dengan menurunkan tuberkolusis incidente. Pemberantasan

dilakukan dengan cara pemberian suntikan BCG kepada semua

anak umur 0–14 tahun.

Saat itu, vaksinasi mencakup sekitar 38 juta anak Indonesia.

Daerah Jawa dan Bali berhasil mencapai 80% dari target,

sedangkan daerah lainnya mencapai sekitar 51%.

Page 37: Sejarah Pemberantasan Penyakit

PES

Pengamatan terhadap penya

menemukan gejala-gejala yan

kasus/wabah.

KOLERA

Guna memberantas penyakit

menitikberatkan usaha terseb

pengobatan dini secara tepat

sebesar 35,8% (tahun 1969–

5,6 % di tahun 1973 – 1974.

FRAMBUSIA

Sejak tahun 1951, sistem Trep

Simplified (TCPS) guna memb

mencapai banyak keberhasila

Sampai akhir Pelita I, pemeri

sekitar 219 juta orang. Progra

meliputi TCPS konsolidasi, TC

puskesmas, dengan jumlah ke

Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL

Gambar 20. Gejala fa

Benjolan di kulit (papula)berb

permukaan

nyakit pes pada era ini tidak

a yang mencurigakan akan timbulnya

akit kolera, pemerintah

rsebut pada pengamatan dan

epat. Hasilnya, case fatality rate (CFR)

–1970) berhasil diturunkan menjadi

74.

Treponematis Control Program

emberantas penyakit frambusia telah

asilan.

meriksaan telah dilakukan terhadap

ogram ini sampai akhir Pelita I telah

i, TCPS maintenance, dan TCPS integrasi

ah keseluruhan sebanyak 3.016 buah.

ala fase awal penyakitfFrambusia

)berbentuk seperti buah arbei, tidak sakit,

kaan basah tanpa nanah

31

Page 38: Sejarah Pemberantasan Penyakit

32

KU

Pad

me

pen

tar

pen

Keb

me

Ban

sak

CA

Da

Ind

pem

Ind

Pem

dal

196

KUSTA

Pada Pelita I, daerah pemberantasan penyakit kusta

mencakup 83% dari jumlah kabupaten di Indonesia

penemuan penderita sampai akhir Pelita I mencapa

target, yaitu sebesar 40.245 penderita dari target 5

penderita.

Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL

Gambar 21. Kelainan kulit pada penderita kusta, berupa ber

keputihan atau kemerahan, mati rasa, tidak gatal, dan

Keberhasilan program pemberantasan penyakit kus

mengalirkan bantuan hibah dari Sasakawa Foundat

Bantuan hibah ini sangat berguna untuk pengemba

sakit kusta di Tangerang dan Sulawesi Selatan.

CACAR

Dalam usaha pemberantasan penyakit cacar, Peme

Indonesia mengambil kebijakan peningkatan penga

pemberian kekebalan penyakit cacar kepada 1/3 pe

Indonesia.

Pemerintah juga mengambil kebijakan lain dengan

dalam Global Smallpox Eradication Program (SEP) p

1967.

kusta telah

esia. Kegiatan

capai 80 % dari

et 50 ribu

a bercak berwarna

dan tidak sakit

t kusta ini telah

dation, Jepang.

mbangan rumah

emerintah

ngamatan dan

3 penduduk

gan ikut serta

P) pada tahun

Page 39: Sejarah Pemberantasan Penyakit

33

Sejak keikutsertaan dalam SEP, Indonesia mulai mengalami

banyak kemajuan dalam pemberantasan penyakit cacar, hingga

dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada 25 April 1974.

PENYAKIT KELAMIN

Upaya pemberantasan penyakit kelamin telah dilakukan di 139

kabupaten pada tahun 1973 – 1974. Hasilnya, ditemukan 100

ribu penderita. Untuk itu, segera dilakukan pencegahan terhadap

20 ribu sumber penularan.

Kebijakan yang dilakukan pada Pelita I guna memberantas

penyakit ini adalah sebagai berikut.

1. melaksanakan penemuan penderita;

2. melanjutkan penyuntikan seminggu sekali;

3. meningkatkan pendidikan kepada masyarakat tentang

penyakit kelamin;

4. mengembangkan cara pemberantasan gonorrohoea.

Sampai akhir Pelita I, pemberantasan penyakit kelamin telah

dilaksanakan di 81 kabupaten.

EPIDEMIOLOGI DAN KARANTINA

Dalam usaha pemberantasan penyakit, maka dilakukan

pengamatan epidemiologi, imunisasi, serta karantina kesehatan

pelabuhan/haji.

Beberapa hal yang dilakukan, antara lain:

1. Penyempurnaan (pembaruan dan penyederhanaan) dalam

sistem pelaporan pada Mei 1975;

2. Pemberian vaksinasi cacar dan BCG kepada sekitar 8 juta

anak, sebagai usaha pemberantasan penyakit cacar dan

Tuberkulosis paru-paru;

3. Penyempurnaan tiga kantor Dinas Kesehatan Pelabuhan

(DKP), yaitu dengan penyediaan alat-alat medik, higiene dan

sanitasi di delapan DKP, serta peningkatan usaha karantina

haji.

Page 40: Sejarah Pemberantasan Penyakit

34

HIGIENE DAN SANITASI

Sebagai usaha higiene dan sanitasi, maka dilakukan beberapa

hal, sebagai berikut.

1. Pencegahan pencemaran lingkungan di 10 kotamadya dari

10 provinsi;

2. Pengangkatan 85 tenaga penilik kesehatan dan 245

sanitarian;

3. Lokakarya Pengurusan dan Pemeliharaan Sarana Air Minum

Pedesaan, yang diikuti 30 orang peserta dari 13 provinsi.

PERIODE DITJEN PPM & PLP

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP)

mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok

Departemen Kesehatan di bidang pemberantasan penyakit

bersumber binatang, pemberantasan penyakit menular

langsung, epidemiologi dan imunisasi, serta penyehatan

lingkungan pemukiman dan penyehatan air.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Ditjen PPM & PLP

mempunyai fungsi:

a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan

pembinaan serta pemberian perijinan di bidang

pemberantasan penyakit menular dan penyehatan

lingkungan pemukiman sesuai dengan kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan

penyehatan lingkungan pemukiman berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

c. Pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan sesuai dengan kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 41: Sejarah Pemberantasan Penyakit

35

INPRES SAMIJAGA

Guna mempercepat akses masyarakat akan kebutuhan sanitasi

dasar, seperti air minum dan jamban keluarga yang memenuhi

persyaratan kesehatan, maka mulai tahun 1974 pemerintah

menetapkan kebijakan Inpres Samijaga (sarana air minum dan

jamban keluarga).

Inpres ini memberikan bantuan pembangunan sarana air bersih

dan jamban keluarga bagi masyarakat serta penempatan tenaga

kesehatan, seperti tenaga dokter dan sanitarian di puskesmas

guna meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat,

khususnya di bidang kesehatan lingkungan.

Di samping pembangunan saranan sanitasi tersebut, Inpres

Samijaga juga memberikan bantuan pembangunan sarana

kesehatan, seperti gedung puskesmas dan puskesmas keliling,

dengan segala fasilitas lainnya yang berhubungan dengan

kegiatan pembangunan sarana air minum dan jamban keluarga.

P4D

Pemberantasan penyakit diare di Indonesia dimulai sejak

Repelita III (1981), sebagai kelanjutan kegiatan penanggulangan

penyakit kolera dan gastroenteritis (1978).

Penyakit diare/kolera merupakan penyakit yang banyak diderita

masyarakat Indonesia. Penyakit ini erat kaitannya dengan

perilaku hidup masyarakat. Di samping tingginya angka

kesakitan, penyakit ini juga sering menimbulkan KLB yang

disertai dengan kematian.

Untuk memberantas penyakit itu, pemerintah mengembangkan

Program Pemberantasan Penyakit Diare (P4D) di seluruh

puskesmas, dengan tujuan memperluas cakupan pelayanan

penderita, terutama pelayanan melalui posyandu, sebagai upaya

tatalaksana penderita diare di sarana kesehatan dan masyarakat.

Page 42: Sejarah Pemberantasan Penyakit

36

Tatalaksana penderita menjadi efektif setelah dikembangkan

upaya rehidrasi oral dengan menggunakan oralit (sesuai dengan

anjuran WHO tahun 1973) dan cairan rumah tangga sebagai

pertolongan pertama. Dengan dilaksanakannya tatalaksana

tersebut dengan cepat dan tepat, angka kematian akibat diare

dapat diturunkan, terutama saat terjadi KLB.

PENGEMBANGAN PROGRAM IMUNISASI

Pengembangan Program Imunisasi (PPI) dimulai pada era tahun

70-an. Program ini bertujuan mempercepat pencapaian sasaran

program imunisasi guna mencegah penyebaran penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi.

Awalnya, program ini baru mencakup pemberian vaksinasi BCG.

Seiring dengan waktu, selanjutnya program diperluas terhadap

vaksinasi dasar, seperti DPT, polio, TT, dan campak.

ERADIKSI POLIOMYELITIS

Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang dapat

menyebabkan kecacatan bagian tubuh, seperti kaki, sehingga

penderita mengalami kelumpuhan.

Pada tahun 1949–1951, penyakit Poliomyelitis hampir menjadi

wabah di Jakarta. Kemudian di tahun 1954, penyakit ini

mewabah di Bandung, namun tidak berlangsung lama.

Pada era tahun 1980, pemerintah mengembangkan Program

Imunisasi yang diprioritaskan bagi bayi dan anak balita. Melalui

gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) diharapkan penyakit ini

tidak ditemukan lagi di wilayah Indonesia.

Namun sejalan dengan kemajuan teknologi transportasi dan

komunikasi, pada tahun 2005 penyakit ini kembali ditemukan di

daerah Sukabumi, Jawa Barat.

Berdasarkan pengalaman tersebut, di tahun 1980, Pemerintah

Indonesia mulai mengembangkan Program Imunisasi (PPI) yang

diprioritaskan bagi bayi dan anak balita.

Page 43: Sejarah Pemberantasan Penyakit

37

Untuk mensukseskan program ini, Pemerintah menjadikan

program ini sebagai gerakan nasional, yang dikenal dengan

Pekan Imunisasi Nasional (PIN).

Dengan gerakan nasional ini, diharapkan penyakit poliomylities

dapat diberantas. Namun pada tahun 2005, penyakit ini ternyata

muncul kembali di Sukabumi, Jawa Barat, yang diperkirakan

berasal dari Afrika.

DEMAM BERDARAH DENGUE

Pada tahun 1968, penyakit Demam Berdarah Dengue (dengue

haemorraghic fever) mulai berjangkit di Indonesia. Awalnya,

penyakit tersebut berjangkit di Surabaya, kemudian menyebar

ke berbagai wilayah, seperti Semarang, Jakarta, Palembang.

menimbulkan wabah.

Sampai saat ini seluruh wilayah di Indonesia telah terjangkit

penyakit ini, dan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue

serta disebarkan dengan perantaraan nyamuk aedes aegypti ini

sulit diberantas karena terkait erat dengan perilaku masyarakat

dan kesehatan lingkungan.

FILARIASIS

Penyakit Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit rakyat

yang erat kaitannya dengan kebersihan perorangan, higiene,

serta sanitasi lingkungan.

Di Indonesia, Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi dikenal

sebagai penyebab panyakit ini, dengan penyebaran hampir di

seluruh wilayah Indonesia.

Pemberantasan filarisis di Indonesia menggunakan obat Diethyl

Carbamazize Citrae (DEC), yang sangat efektif dalam membunuh

microfilaria maupun macrofilaria. Pengobatan massal dengan

dosis standar, yang dilakukan di sekitar Bendungan Gumbasa

(Sulawesi Tengah) dan Banjar (Kalimantan Selatan), merupakan

salah satu metode yang digunakan.

Page 44: Sejarah Pemberantasan Penyakit

38

Me

sta

Kab

ber

Ber

dip

sel

Gam

SC

Sch

Sch

ma

Ter

pad

ma

Pen

ber

pen

sos

Di

ma

me

Di

sed

pen

Metode lainnya adalah pengobatan dosis rendah di

standar, yang dilakukan di Kalimantan Selatan, Flor

Kabupaten Batang Hari (Jambi). Ternyata, pengoba

berhasil.

Berdasarkan pengalaman, pengamatan, serta pene

diputuskan penggunaan DEC dosis rendah semingg

selama 40 minggu, sebagai program pemberantasa

Sumber:Koleksi Ditjen PP & PL

Gambar 22.

SCHISTOSOMIASIS

Schistosomiasis adalah penyakit parasitik akibat inf

Schistosoma, dengan gejala klinis awal gatal-gatal s

masuk ke dalam kulit.

Terdapat empat spesies cacing Schistosoma yang m

pada manusia, yaitu Schistosoma haematobium, Sch

mansonni, Schistosoma japonicum, Schistosoma me

Penyelidikan epidemiologi Schistosomiasis dilakuka

berdasarkan beberapa kriteria, yaitu berdasarkan je

penyebaran schistosomiasis di dunia, manivestasi k

sosio ekonomi, dan pemberantasan.

Di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, Schistomiasis m

masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar d

memerlukan usaha yang kuat untuk memberantas

Di dunia, penderita penyakit ini mencapai 200 juta

sedangkan yang terancam penyakit ini mencapai 60

penduduk (population at risk).

h diikuti dosis

Flores Barat, dan

obatan ini sangat

enelitian, maka

inggu sekali

tasan filariasis.

t infeksi cacing

tal saat serkaria

ng menjadi parasit

, Schistosoma

a mekongi.

kukan

an jenis

asi klinis, dampak

sis merupakan

ar dan

tas hingga tuntas.

uta orang,

ai 600 juta

Page 45: Sejarah Pemberantasan Penyakit

39

PEMBERANTASAN PENYAKIT

ERA REFORMASI

(2000 – 2007)

PERIODE DITJEN PPM & PLP – DITJEN PP & PL

Seiring dengan perkembangan jaman, semakin berkembang pula

berbagai jenis penyakit di tengah masyarakat, baik penyakit

menular maupun tidak menular. Berbagai penyakit baru yang

dikenal dengan istilah New-emerging Diseases pun turut

berkembang, seperti penyakit Severe Accute Respitory Syndrome

(SARS), Avian Influenza (flu burung), Meningitis Meningokokus,

serta penyakit zoonosis lain (Hanta virus, Nipah Virus).

Menyadari perkembangan tersebut, maka dibutuhkan

pemantauan dan cara pengendalian penyakit dan penyehatan

lingkungan yang tepat. Untuk itu diadakan perubahan nama

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) menjadi

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan (Ditjen PP & PL).

Ditjen PP & PL mempunyai tugas merumuskan serta

melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang

pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Untuk

menjalankan tugas dan fungsi secara maksimal, yang mencakup

seluruh daerah di Indonesia, Ditjen PP & PL dibantu oleh tiga unit

pelaksana teknis (UPT), yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan

(KKP), Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan

Penyakit Menular (BTKLPPM), serta Rumah Sakit Penyakit Infeksi

Prof. Dr. Sulianti Saroso (RSPI-SS).

Page 46: Sejarah Pemberantasan Penyakit

40

KANTOR KESEHATAN PELABUHAN

Sampai tahun 1962 urusan kekarantinaan dilakukan berdasarkan

Ordonansi Karantina. Dengan berkembangnya zaman, urusan

kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas Kesehatan Pelabuhan,

baik laut maupun udara, sesuai dengan International Sanitary

Regulation dari WHO.

Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) adalah suatu unit pelaksana

teknis (UPT) Ditjen PP & PL, dibidang pemberantasan dan

pencegahan penyakit menular.

KKP mempunyai tugas melaksanakan pencegahan masuk dan

keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular potensial

wabah, kekarantinaan, pelayanan kesehatan terbatas di wilayah

kerja pelabuhan laut/udara dan lintas batas, serta pengendalian

dampak kesehatan lingkungan.

BTKLPPM

Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit

Menular (BTKLPPM) merupakan salah satu UPT di lingkungan

Ditjen PP & PL, yang bergerak di Bidang Teknik Kesehatan

Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular.

Diberlakukannya “otonomi daerah” dalam penyelenggaraan

pemerintahan, maka kesehatan menjadi “urusan” yang wajib

diserahkan dan dilaksanakan oleh masing-maisng daerah

(kabupaten/kota). Meski demikian, pengecualian “kewenangan”

bidang kesehatan tetap berlaku, diantaranya dalam hal

pengelolaan pemberantasan penyakit menular dan kesehatan

lingkungan yang masih menjadi wewenang pemerintah.

BTKLPPM bertugas sebagai pelaksana surveilans epidemiologi,

kajian dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali

mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model

dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan

penanggulangan KLB/Wabah dan bencana di bidang

pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan

serta kesehatan matra.

Page 47: Sejarah Pemberantasan Penyakit

41

RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO

Pada tahun 1958, Stasiun Karantina (pindahan dari Pulau Onrust

Kuiper) didirikan di daerah Pelabuhan Tanjung Priok. Fungsinya,

untuk menampung penderita penyakit karantina dari kapal.

Di tahun 1964, Stasiun Karantina juga difungsikan sebagai

tempat menampung penderita penyakit cacar dari Jakarta dan

sekitarnya, yang berjumlah sekitar 2.358 orang. Namun sejak

Indonesia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1972, kegiatan

pun berkurang, sehingga pada 28 April 1978, Stasiun Karantina

berubah fungsi menjadi Rumah Sakit Karantina.

Rumah Sakit Karantina mempunyai tugas menyelenggarakan

pelayanan, pengobatan, perawatan, karantina dan isolasi serta

pengelolaan penyakit menular tertentu. Dalam perjalanannya,

rumah sakit ini tidak hanya merawat penderita penyakit wabah,

tetapi juga penyakit menular atau infeksi lainnya.

Sumber: http://www.navigasi.net

Gambar 22. Museum Pulau Onrust,

salah satu bangunan yang masih tersisa

Untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan secara maksimal,

maka pada 1 Desember 1993, pelayanan Rumah Sakit Karantina

dipindahkan ke lokasi baru di daerah Sunter dan berganti nama

menjadi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso

(RSPI-SS). Dengan demikian, pada 1 Januari 1994, Rumah Sakit

Karantina ditutup dan RSPI-SS di buka untuk umum.

Page 48: Sejarah Pemberantasan Penyakit

42

Sejak diresmikan penggunaannya pada 21 April 1994, RSPI-SS

telah melakukan tugas pelayanan penyembuhan dan perawatan

penderita secara menyeluruh. Selain itu, RSPI-SS juga

menjalankan fungsi sebagai:

1. pelaksana rujukan nasional di bidang penyakit infeksi dan

penyakit menular lainnya;

2. penatalaksanaan penyakit infeksi menular lainnya;

3. penelitian klinik dan epidemiologi penyakit infeksi dan

penyakit menular lainnya;

4. pelaksanaan sistem kewaspadaan dini, penanggulangan

wabah/kejadian luart biasa (KLB);

5. pendidikan dan pelatihan di bidang penyakit infeksi dan

penyakit menular lainnya;

6. penelitian dan pengembangan di bidang penyakit infeksi dan

penyakit menular lainnya;

7. pengelolaan sistem informasi penyakit infeksi dan penyakit

menular lainnya.

Beberapa tahun terakhir, RSPI-SS telah menunjukkan

kemampuannya dalam upaya penanggulangan penyakit infeksi

maupun penyakit lainnya, seperti Diare, HIV/AIDS, Tifoid,

Salmonellosis, KLB Demam Berdarah, KLB SARS, KLB Polio, dan

KLB Flu Burung.

PERIODE DITJEN PP & PL

Perubahan nomenklatur Ditjen P2M dan PL menjadi Ditjen PP &

PL atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9

tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia

dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian

Negara Repbulik Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor : 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Departemen Kesehatan.

Sebagai upaya pengendalian penyakit dan penyehatan

lingkungan tersebut, Ditjen PP & PL telah menyusun dan

melaksanakan berbagai program, sebagai berikut.

Page 49: Sejarah Pemberantasan Penyakit

PROGRAM IMUNISASI

Imunisasi telah diakui sebaga

efektif dan berdampak terhad

masyarakat. Namun, pember

adanya kejadian ikutan pasca

agar efektifitas dan keamana

terjaga dengan melakukan su

Upaya imunisasi dilaksanakan

tambahan. Kegiatan imunisas

imunisasi kepada bayi umur 0

HB), imunisasi kepada WUS/B

anak SD (kelas 1: DT, dan kela

Sumber: K

Kegiatan imunisasi tambahan

masalah, seperti Desa non UC

ditemukan/diduga adanya vir

AFP yang masih buruk/tidak b

berdasarkan kebijakan teknis

Campak juga dilakukan bagi a

beberapa provinsi.

Pada tahun 2005, kasus polio

Indonesia. Untuk itu, Outbrea

dilakukan untuk memutus pe

Selain itu, Mop up Imunisasi d

Provinsi DKI Jakarta, Jawa Bar

Imunisasi Nasional (PIN) dilak

sasaran anak berusia 0 – 5 ta

agai upaya pencegahan penyakit paling

rhadap peningkatan kesehatan

berian imunisasi mempunyai risiko

asca imunisasi (KIPI). Untuk itu, perlu

ananan vaksin tetap terpantau dan

n surveilans KIPI yang efektif.

akan melalui kegiatan rutin dan

nisasi rutin meliputi pemberian

ur 0-1 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak,

US/Bumil (TT), dan imunisasi kepada

kelas 2-3: TT).

ber: Koleksi Ditjen PP & PL

han dilakukan atas dasar ditemukannya

n UCI, potensial/risti KLB;

a virus polio liar; hasil kinerja surveilans

ak berjalan; atau kegiatan lain

knis. Catch Up Campaign Imunisasi

agi anak sekolah dasar (kelas 1 – 6) di

olio liar kembali ditemukan di

break Response Immunization (ORI)

s penularan di sekitar lokasi kasus.

sasi dilakukan dalam dua putaran di

a Barat, dan Banten, sedangkan Pekan

dilakukan dalam tiga putaran, dengan

5 tahun.

43

Page 50: Sejarah Pemberantasan Penyakit

44

Di tahun yang sama, bencana tsunami juga terjadi di Nangroe

Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Untuk itu, Crash Program

Imunisasi Campak dilakukan bagi para korban pengungsi berusia

0 – 5 tahun.

KUSTA

Berdasarkan catatan WHO, Indonesia saat ini masih menjadi

salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia.

Meskipun Indonesia telah mencapai Eliminasi Kusta pada

pertengahan tahun 2000, namun penyakit ini masih menjadi

masalah kesehatan yang cukup besar. Sampai akhir tahun 2005,

14 provinsi dan 155 kabupaten di Indonesia belum mencapai

eliminasi.

FRAMBUSIA

Sampai saat ini, penyakit Frambusia masih belum dapat

dieliminasi dari seluruh wilayah Indonesia.

Penderita Frambusia banyak ditemukan di wilayah timur

Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi

Tenggara. Sedangkan di wilayah barat, ditemukan di NAD, Jambi,

Banten, dan Jawa Timur. Wilayah-wilayah itu dikenal sebagai

”kantong Frambusia”.

Keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan serta tempat

tinggal di daerah pedalaman membuat penderita Frambusia sulit

mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk menjangkau daerah-

daerah kantong Frambusia yang tersebar di beberapa provinsi

dan kabupaten di Indonesia, maka pada tahun 2000 mulai

dilakukan survei daerah kantong Frambusia. Sejak saat itu

sampai dengan tahun 2005, sejumlah 17.085 kasus dan kontak

telah ditemukan serta diobati.

Page 51: Sejarah Pemberantasan Penyakit

MALARIA

Sampai dengan tahun 2005, k

Penyakit Malaria di Jawa dan

penegakkan diagnosa kasus d

yang dikenal dengan istilah

Dalam lima tahun terakhir, ka

telah mengalami penurunan.

penduduk (API) menurun, da

menjadi 0,15 per seribu pend

DEMAM BERDARAH DEN

Metode tepat guna untuk me

Pemberantasan Sarang Nyam

(Menguras, Menutup, dan M

penyebaran ikan pada tempa

lainya yang dapat mencegah/

berkembang biak.

Angka Bebas Jentik (ABJ), seb

pemberantasan vektor melal

partisipasi masyarakat dalaam

pendekatan pemberantasan

masyarakat menjadi salah sat

05, kebijakan Program Pemberantasan

dan Bali telah menggunakan strategi

us dengan konfirmasi laboratorium,

ah Annual Parasite Incidence (API).

ir, kasus malaria di Pulau Jawa dan Bali

nan. Angka parasit malaria per seribu

, dari sebesar 0,81 di tahun 2000

enduduk di tahun 2005.

Sumber: koleksi Ditjen PP & PL

ENGUE

k mencegah DBD adalah dengan

yamuk (PSN) melalui 3M plus

n Mengubur) plus menabur larvasida,

mpat penampungan air, serta kegiatan

gah/memberantas nyamuk Aedes

, sebagai tolak ukur upaya

elalui PSN-3M, menunjukkan angka

laam mencegah DBD. Oleh karena itu,

san DBD yang berwawasan kepedulian

h satu alternatif pendekatan baru.

45

Page 52: Sejarah Pemberantasan Penyakit

46

Sur

ole

(Ju

sec

den

Sum

DE

De

me

per

ser

Pen

ole

ISP

ISP

ray

kur

ini.

bel

me

Surveilans vektor dilakukan melalui kegiatan peman

oleh petugas kesehatan maupun juru/kader peman

(Jumantik/Kamantik). Pengembangan sistem survei

secara berkala perlu terus dilakukan, terutama dala

dengan perubahan iklim dan pola penyebaran kasu

umber: Koleksi Ditjen PP & PL

DEMAM CHIKUNGUNYA

Demam Chikungunya (Demam Chik) adalah suatu p

menular dengan gejala utama demam mendadak, n

persendian terutama lutut, pergelangan, jari kaki d

serta tulang belakang yang disertai ruam pada kulit

Penyakit ini disebabkan oleh virus chikungunya dan

oleh nyamuk Aedes aegepti, yang juga nyamuk pen

ISPA

ISPA termasuk Pneumonia, sering kali disebut seba

raya yang terlupakan atau The Forgotten Pandemic

kurangnya perhatian organisasi internasional terha

ini. Upaya yang dilakukan lebih dari sepuluh tahun

belum juga menemukan suatu intervensi yang efek

mengatasi penyakit ini.

mantauan jentik

mantau jentik

rveilans vektor

dalam kaitannya

kasus.

tu penyakit

ak, nyeri pada

ki dan tangan,

kulit.

dan ditularkan

penular DBD.

ebagai wabah

mic, karena

rhadap penyakit

un yang lalu,

efektif untuk

Page 53: Sejarah Pemberantasan Penyakit

Di tahun 1997, pendekatan

Illness (IMCI) atau Manajeme

diperkenalkan. Pendekatan in

kasus untuk berbagai penyak

Campak, Gizi Kurang, dan Kec

Gambar 23.

Selain menggunakan cara kla

dan sederhana, dengan peng

juga mengatur pemisahan an

Pneumonia dan tatalaksana p

telinga dan tenggorok.

TUBERKULOSIS

Upaya Pemerintah menanggu

menunjukkan kemajuan. Ini t

penderita yang ditemukan da

an Integrated Management Childhood

emen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

an ini merupakan model tatalaksana

yakit anak, seperti ISPA, Diare, Malaria,

Kecacingan.

Sumber: Koleksi PP & PL

23. Pneumonia pada anak

klasifikasi gejala penyakit yang praktis

enggunaan teknologi tepat guna, MTBS

n antara tatalaksana penyakit

na penderita penyakit infeksi akut

nggulangi Tuberkulosis (TBC) semakin

Ini terlihat dari meningkatnya jumlah

n dan disembuhkan tiap tahunnya.

Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL

47

Page 54: Sejarah Pemberantasan Penyakit

48

Pe

D

Ch

di

in

19

H

Pa

Fiv

Vir

Be

ta

te

D

AR

le

su

Sa

m

AR

da

Pengembangan Program Pengendalian TBC denga

DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse

Chemotheraphy) sampai dengan tahun 2005 telah

di seluruh provinsi di Indonesia. Hasilnya, tercapai

insiden kasus menular, yaitu dari 130/100.000 pen

1995) menjadi 170/100.000 penduduk.

HIV/AIDS DAN PMS

Pada Desember 2003, WHO menetapkan kebijaka

Five Initiative”, yaitu target global akses pengobat

Viral (ARV) terhadap tiga juta ODHA pada tahun 20

Berdasarkan kebijakan itu, Menteri Kesehatan me

target, bahwa sepanjang tahun 2005 sebanyak 10

telah mendapatkan aksesbilitas pengobatan ARV.

Di tahun 2004, lima ribu ODHA telah mendapatkan

ARV. Sedangkan di tahun 2005, pengobatan telah

lebih dari lima ribu ODHA.

sumber: http://www.artasauthority.com

Sampai dengan tahun 2005, Departemen Kesehata

menetapkan 75 rumah sakit sebagai pusat rujukan

ARV. Penetapan tersebut sebagai bentuk komitme

dalam mendukung 3 by 5.

ngan strategi

rse

elah dilaksanakan

apai penurunan

penduduk (WHO-

akan ”Three by

batan Anti Retro

n 2005.

menetapkan

k 10 ribu ODHA

RV.

tkan pengobatan

lah diakses oleh

hatan telah

ukan pengobatan

itmen Indonesia

Page 55: Sejarah Pemberantasan Penyakit

49

Hingga Desember 2005, secara kumulatif tercatat 3.368 orang

mengidap HIV (+) dan sebanyak 2.682 orang mengidap AIDS.

Dengan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, maka

pemantauan terhadap kecenderungan HIV/AIDS dan sipilis pada

kelompok risiko tinggi dilakukan dengan cara pengambilan

sampel secara bersamaan setiap setahun sekali.

DIARE

Selain angka kesakitan yang masih tinggi, penyakit diare juga

sering menimbulkan KLB dengan tingkat CFR yang juga tinggi.

Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001

diperoleh angka kematian diare (semua umur) 23 per 100.000

penduduk. Sedangkan pada Balita, 75 per 1000.000 penduduk.

Salah satu upaya menurunkan kematian akibat diare adalah

dengan tatalaksana yang tepat dan cepat. Upaya ini dilakukan

dengan mengadakan pelatihan petugas terintegrasi dengan

pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), serta

pengamatan tatalaksana diare di puskesmas sentinel.

Upaya lainnya, mengadakan kajian epidemiologi KLB Diare di

enam provinsi, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTB,

NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Pengolahan, analisa,

dan interpretasi data secara rutin juga akan dilakukan, sebagai

upaya kewaspadaan dini KLB Diare.

KECACINGAN

Untuk mempercepat penurunan prevalensi cacingan pada anak

sekolah dasar, kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan

bagi murid SD dilakukan oleh para guru di sejumlah SD, yang

tersebar di lima provinsi.

Sosialisasi materi pemberantasan penyakit kecacingan diberikan

kepada para guru, agar mereka memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang lebih tentang penyakit ini. Bahan materi,

berupa poster pencegahan cacingan dan lembar balik cacingan,

juga diberikan sebagai alat penunjang kegiatan.

Page 56: Sejarah Pemberantasan Penyakit

50

Dengan penyuluhan ini, diharapkan para murid dapat melakukan

perilaku hidup sehat, seperti kebiasaan cuci tangan sebelum

makan dan sesudah buang air besar, potong kuku, serta

memakai alas kaki jika keluar rumah, sehingga terhindar dari

penyakit kecacingan.

FILARIASIS

Hingga saat ini, Filariasis masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat Indonesia. Hasil mapping yang dilakukan sampai

tahun 2004 menggambarkan adanya kasus kronis yang mencapai

jumlah 8.243 orang, yang tersebar di 30 provinsi.

Untuk itu, Indonesia melaksanakan Program Eliminasi Filariasis

atas dasar kesepakatan Global WHO tahun 2000, yaitu “The

Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public

Health Problem the year 2020”, yang merupakan realisasi dari

resolusi WHA pada tahun 1997.

SCHISTOSOMIASIS

Berbagai upaya pemberantasan penyakit Schistosomiasis telah

dilakukan sejak tahun 1982 melalui bermacam bentuk kegiatan,

seperti pengobatan penduduk, penyuluhan, dan perbaikan

lingkungan.

Langkah pemberantasan ditujukan pada cacing Schistosoma

japonicum (host), keong Oncomelania hupensis lindoensis

(hospes perantara), manusia, dan hewan mamalia (hospes

definitif), dan lingkungan fisik maupun biologis.

Sampai saat ini daerah endemis Schistosomiasis di Indonesia

baru ditemukan di dua tempat, di Lembah Lindu (Kecamatan

Kulawi, Kabupaten Donggala) dan Lembah Napu-Besoa

(Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso).

Schistosomiasis tidak mungkin dieradiksi. Oleh karena itu, tujuan

program pemberantasan Schistosomiasis adalah eliminasi,

supaya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Page 57: Sejarah Pemberantasan Penyakit

FLU BURUNG

Flu burung atau Avian Influen

yang disebabkan oleh virus in

penyakit ini pertama kali dila

Flu burung menular dari ungg

manusia. Penyakit ini dapat m

tercemar virus H5N1 yang be

burung/unggas yang mender

Penularan dari unggas ke ma

manusia telah menghirup uda

burung atau kontak langsung

burung. Namun sampai saat i

menyatakan bahwa virus flu b

ke manusia dan menular mel

Sumber: Koleksi Ditjen PP &

Gejala awal penyakit ini pada

gejala flu pada umumnya, sep

38oC), batuk dan nyeri tenggo

atas, pneumonia, infeksi mat

inkubasi virus flu burung adal

tetapi, sebagian besar kasus m

setelah terpapar oleh virus te

luenza adalah suatu penyakit menular

us influenza tipe A. Di Indonesia,

dilaporkan pada Agustus 2003.

unggas ke unggas, dan dari unggas ke

at menular melalui udara yang

g berasal dari kotoran atau sekreta

derita flu burung.

manusia juga dapat terjadi jika

udara yang mengandung virus flu

ung dengan unggas yang terinfeksi flu

aat ini, belum ada bukti yang

flu burung dapat menular dari manusia

melalui makanan.

P & PL

ada manusia hampir sama dengan

, seperti demam (suhu badan di atas

nggorokan, radang saluran pernapasan

mata, dan nyeri otot. Sedangkan masa

adalah 2-10 hari setelah terpapar. Akan

sus menunjukkan gejala setelah 3-5 hari

us tersebut.

51

Page 58: Sejarah Pemberantasan Penyakit

52

Pengobatan bagi penderita, dapat dilakukan dengan oksigenasi

bila terdapat sesak napas; hidrasi dengan pemberian cairan

parenteral (infus); pemberian obat antivirus oseltamivir 75 mg

dosis tunggal selama 7 hari; serta pemberian Amantadin di awal

terjadi infeksi (sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama,

selama 3 - 5 hari).

Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh flu burung,

Departemen Kesehatan telah mengambil beberapa tindakan,

antara lain:

1. Melakukan Investigasi pada pekerja, penjual dan penjamah

produk ayam di beberapa daerah KLB flu burung pada ayam

di Indonesia (untuk mengetahui infeksi flu burung pada

manusia);

2. Melakukan monitoring secara ketat terhadap orang-orang

yang pernah kontak dengan orang yang diduga terkena flu

burung. hingga terlewati dua kali masa inkubasi yaitu 14

hari;

3. Menyiapkan 44 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk

menyiapkan ruangan observasi terhadap pasien yang

dicurigai mengidap Avian Influenza;

4. Memberlakukan kesiapsiagaan di daerah yang mempunyai

resiko, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten,

serta membentuk POSKO Flu Burung;

5. Menginstruksikan kepada Gubernur pemerintah provinsi

untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan

terhadap kemungkinan terjangkitnya flu burung di wilayah

masing-masing;

6. Meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat dan

membangun jejaring kerja dengan berbagai pihak untuk

edukasi terhadap masyarakat agar masyarakat tetap

waspada dan tidak panik;

7. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan

Departemen Pertanian dan pemerintah daerah dalam upaya

penanggulangan flu burung; Mengumpulkan informasi yang

meliputi aspek lingkungan dan faktor resiko untuk mencari

kemungkinan sumber penularan oleh tim investigasi.

Page 59: Sejarah Pemberantasan Penyakit

53

SARS

Kasus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) atau Sindrom

Pernapasan Akut Berat, pertama kali ditemukan di Provinsi

Guangdong (Cina) pada November 2002. Saat itu, WHO

menyebut penyakit ini sebagai Atypical Pneumonia atau Radang

Paru Atipik.

Kemudian pada 11 Maret 2003, WHO kembali mengumumkan

adanya penyakit baru yang menular sangat cepat di Hongkong,

Singapura, dan Vietnam. Belum diketahui apakah penyakit ini

sama dengan Atypical Pneumonia yang berjangkit di Guangdong.

Pada April 2003, barulah WHO memastikan bahwa Atypical

Pneumonia di Guangdong adalah SARS. Untuk itu, Direktur

Jenderal WHO menyatakan bahwa SARS adalah ancaman global

atau Global Threat.

Pertimbangan WHO menyatakannya sebagai ancaman global,

karena SARS merupakan penyakit baru yang belum dikenal

penyebabnya dan menyebar secara cepat melalui alat angkut

antar negara, terutama juga menyerang tenaga kesehatan di

rumah sakit.

Wabah SARS telah mendorong berbagai pakar kesehatan di

dunia untuk bekerja sama menemukan penyebab SARS dan

memahami cara penularan SARS. Hasilnya, pada 16 April 2003

dipastikan bahwa penyebab SARS adalah Virus Corona atau

Coronavirus.

Departemen Kesehatan sejak awal pandemi SARS secara dini

telah melaksanakan Penanggulangan SARS . Tujuannya, untuk

mencegah terjadinya kesakitan dan kematian, serta mencegah

terjadinya penularan SARS di masyarakat (community

transmission) di Indonesia.

Strategi yang dijalankan adalah dengan mengupayakan public

awareness melalui advokasi dan sosialisasi, pemantauan atau

surveilans kasus secara epidemiologi berdasarkan informasi

masyarakat, up date informasi rumah sakit dan informasi KKP,

menyiapkan rumah sakit, baik sarana maupun prasarana, serta

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas.

Page 60: Sejarah Pemberantasan Penyakit

54

Upaya surveilans epidemiologi SARS di Indonesia mencakup

pemeriksaan penumpang di bandara pada saat kedatangan

(arrival screening) dan keberangkatan (pre-departure screening),

pemeriksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang datang dari

daerah terjangkit SARS, surveilans SARS di rumah sakit dan

sarana kesehatan, surveilans SARS dan penumonia di

masyarakat, serta investigasi dan pelacakan kontak.

Untuk menunjang kegiatan dan keberhasilan surveilans SARS,

sebanyak 20 thermo scanner dan sejumlah thermo digital

(telinga ditempatkan di bandara dan beberapa pelabuhan laut.

Di Indonesia, sejak 17 Maret – 10 April 2003, 24 orang dicurigai

mengidap penyakit SARS. Dari jumlah tersebut, satu orang

dinyatakan kasus, delapan orang dalam tahap observasi, dan

sisanya dinyatakan negatif SARS.

KESEHATAN HAJI

Sejak tahun 2001, kasus Meningitis pada jemaah Haji Indonesia

telah menunjukan penurunan angka, bahkan di tahun 2004 tidak

ditemukan adanya kasus.

Sedangkan untuk meminimalisir jemaah haji yang meninggal

karena risiko penyakit kardiovaskuler/jantung dan paru, maka

pembinaan jemaah haji risiko tinggi terus dilakukan, dengan cara

sosialisasi manajemen risiko ke daerah-daerah di wilayah

Indonesia.

Kerjasama berbagai sektor terkait juga terus dilakukan, sebagai

upaya peningkatan kesiapsiagaan, deteksi dini, serta respon

kejadian luar biasa (KLB).

Page 61: Sejarah Pemberantasan Penyakit

88

KOL. Dr. AZIL WIDJAYAKUSUMA

DIREKTUR JENDERAL EKSEKUTIF KOPEM

1960 – 1966

Page 62: Sejarah Pemberantasan Penyakit

89

Dr. MARSAID S.

DIREKTUR JENDERAL KRIDA NIRMALA

1966 – 1967

Page 63: Sejarah Pemberantasan Penyakit

90

Dr. R. E. M. SULING

DIREKTUR JENDERAL KRIDA NIRMALA

1967

Page 64: Sejarah Pemberantasan Penyakit

91

PROF. DR. J. SULIANTI SAROSO

DIREKTUR JENDERAL P 4 M

1967 – 1975

Page 65: Sejarah Pemberantasan Penyakit

92

Dr. BAHRAWI WONGSOKOESOEMO, MPH

DIREKTUR JENDERAL P 3 M

1975 – 1978

Page 66: Sejarah Pemberantasan Penyakit

93

Dr. M. ADHYATMA, MPH

DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP

1978 – 1987

Page 67: Sejarah Pemberantasan Penyakit

94

Dr. S. L. LEIMENA, MPH

DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP

1987 – 1988

Page 68: Sejarah Pemberantasan Penyakit

95

Dr. GANDUNG HARTONO

DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP

1988 – 1993

Page 69: Sejarah Pemberantasan Penyakit

96

Dr. HADI M. ABEDNEGO, SKM

DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP

1993 – 1998

Page 70: Sejarah Pemberantasan Penyakit

97

Dr. ACHMAD SUJUDI

DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP

1998 – 2000

Page 71: Sejarah Pemberantasan Penyakit

98

PROF. DR. Dr. UMAR FAHMI ACHMADI, MPH

DIREKTUR JENDERAL PPM & PL

2000 – 2005

Page 72: Sejarah Pemberantasan Penyakit

99

Dr. I NYOMAN KANDUN, MPH

DIREKTUR JENDERAL PP & PL

2005 – Sekarang

Page 73: Sejarah Pemberantasan Penyakit

100

DAFTAR PUSTAKA

BUK U

Departemen Kesehatan RI; Sejarah Kesehatan Nasional

Indonesia Jilid 1, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,

1978

Departemen Kesehatan RI; Sejarah Kesehatan Nasional

Indonesia Jilid 2, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,

1980

Departemen Kesehatan RI; Sejarah Kesehatan Nasional

Indonesia Jilid 3, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,

1980

Departemen Kesehatan RI, Almanak Pembangunan Kesehatan

Edisi 1992, Badan Penerbit KOSGORO, Jakarta, 1992

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM & PL; Profil

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan (PPM & PL) Tahun 2004, Ditjen PPM & PL

Depkes RI, Jakarta, 2005

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PP & PL; Profil

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Tahun 2005, Direktorat Jenderal PP & PL Depkes RI,

Jakarta, 2006

Sub Dit. Diare, Kecacingan, dan ISPL; Sejarah Pemberantasan

Penyakit Diare di Indonesia, Sub Dit. Diare, Kecacingan,

dan ISPL Direktorat PPML, Jakarta, 2008

Page 74: Sejarah Pemberantasan Penyakit

INTERNET

1. http://nl.wikipedia.org/wiki/Thomas_Raffles

2. http://www.schaakclubutrecht.nl/histarnoldforeest.html

3. http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content

&task=view&id=55&Itemid=49

4. http://id.wikipedia.org/wiki/Anopheles

5. http://www.arsipjatim.go.id/web/ARSIP/WebContent/web/

view_koleksi_detail.jsp?q=200600000224

6. http://www.rmaf.org.ph/Awardees/Biography/BiographyKo

dijatRad.htm

7. http://www.qoop.nl/showimage.php?artikelID=6205480

8. http://www.stamps-auction.com/indonesia-old-postcard-

villa-juliana-sanatorium-tosari-for-sale-30554

9. www.historycooperative.org/journals/hah/8.2/stein.html

10. http://www.eijkman.go.id/Public

11. http://www.general-anaesthesia.com/images/robert-

koch.html

12. http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes

13. http://www.navigasi.net/goart.php?a=puonrust

14. http://www.artasauthority.com/2006/12/show_your_color_

world_aids_day.html

15. http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/072005/flu_burun

g.pdf

16. http://www.who.or.id/ind/php/faq_avian.php

17. http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=43

18. http://www.biofarma.co.id/ind/company2.html