Sejarah Dan Pemaknaan Ekonomi Politik

37
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad 14 dan 16, yang biasa disebut masa “transformasi besar” di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feudal pada abad pertengahan. Tumbuhnya pasar ekonomi baru yang besar tersebut telah memunculkan peluang ekspresi bagi aspirasi-aspirasi individu dan memperkuat jiwa kewirausahaan yang sebelumnya ditekan oleh lembaga gereja, negara dan komunitas. Selanjutnya, pada abad 18 muncul abad pencerahaan yang marak di Perancis dengan para pelopornya, antara lain, Voltaire, Diderot, D’Alembert, dan Condilac. Pusat gagasan dari pencerahan ide tersebut adalah adanya otonomi individu dan eksplanasi kapasitas manusia. Para pemimpin dari aliran ini mempercayai bahwa kekuatan akal akan dapat menyingkirkan manusia dari segala bentuk kesalahan. Ide dari abad pencerah inilah yang bertumu kepada ilmu pengetahuan masyarakat (science of society), yang sebetulnya menjadi dasar ekonomi politik. Sedangkan istilah ekonomi politik sendiri pertama kali diperkenalkan oleh penulis Perancis, Antoyne de Montchetien (1575-1621), dalam bukunya yang bertajuk Triatise on Political Economy. Sedangkan dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah ekonomi politik terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James Steuart (1712-1789) berjudul Inequiry into the Principles of Political Economy.

description

tugas eko. kelembagaan

Transcript of Sejarah Dan Pemaknaan Ekonomi Politik

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Munculnya teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad 14 dan 16, yang biasa disebut masa transformasi besar di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feudal pada abad pertengahan. Tumbuhnya pasar ekonomi baru yang besar tersebut telah memunculkan peluang ekspresi bagi aspirasi-aspirasi individu dan memperkuat jiwa kewirausahaan yang sebelumnya ditekan oleh lembaga gereja, negara dan komunitas. Selanjutnya, pada abad 18 muncul abad pencerahaan yang marak di Perancis dengan para pelopornya, antara lain, Voltaire, Diderot, DAlembert, dan Condilac. Pusat gagasan dari pencerahan ide tersebut adalah adanya otonomi individu dan eksplanasi kapasitas manusia. Para pemimpin dari aliran ini mempercayai bahwa kekuatan akal akan dapat menyingkirkan manusia dari segala bentuk kesalahan. Ide dari abad pencerah inilah yang bertumu kepada ilmu pengetahuan masyarakat (science of society), yang sebetulnya menjadi dasar ekonomi politik. Sedangkan istilah ekonomi politik sendiri pertama kali diperkenalkan oleh penulis Perancis, Antoyne de Montchetien (1575-1621), dalam bukunya yang bertajukTriatise on Political Economy.Sedangkan dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah ekonomi politik terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James Steuart (1712-1789) berjudulInequiry into the Principles of Political Economy.

Pada awal-awal masa itu, para ahli ekonomi politik mengembangkan ide tentang keperluan negara untuk menstimulasi kegiatan ekonomi (bisnis). Pasar dianggap masih belum berkembang pada saat itu, sehingga pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membuka wilayah baru perdagangan, memberikan perlindungan (pelaku ekonomi) dari kompetisi, dan menyediakan pengawasan untuk produk yang bermutu. Namun, akhir abad 18, pandangan itu ditentang karena dianggap pemerintah bukan lagi sebagai agen yang baik untuk mengatur kegiatan ekonomi, tetapi justru sebagai badan yang merintangi upaya untuk memperoleh kesejahteraan. Perdebatan antara para ahli ekonomi politik itulah yang akhirnya memunculkan banyak sekali aliran dalam tradisi pemikiran ekonomi politik. Secara garis besar, mazhab itu dapat dipecah dalam tiga kategori, yakni: (i) Aliran ekonomi politik konservatif yang dimotori oleh Edmund Burke; (ii) Aliran ekonomi politik klasik yang dipelopori oleh Adam Smith, Thomas Malthus, David Ricardo, Nassau Senior, dan Jean Baptiste Say; (iii) aliran ekonomi politik radikal yang dipropagandakan oleh William Godwin, Thomas Paine, Marquis de Condorcet, dan Karl Marx.

Kembali ke muasal ilmu ekonomi, sebenarnya ilmu akonomi eksis kedalam ranah ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai cabang ilmu sosialyang bisa menerangkan dengan tepat problem manusia, yakni ketersediaan sumber daya ekonomi yang terbatas. Implikasi dari keterbatasan sumber daya berujung dalam dua hal : (i) bagaimana mengalokasikan sumber daya tersebut secara efisien sehingga bisa menghasilkan output yang maksimal, (ii) menyusun formulasi kerja sama (co-operation) ataupun kompetisi (competition) secara detail sehingga tidak terjadi konflik. Teori ekonomi politik secara umum sebenarnya juga bekerja untuk mencapai dua tujuan tersebut.

Bagi ahli ekonomi politik, problem serius dalam perekonomian tidak semata resource constraints, tetapi insentif. Syarat sistem insentif bekerja adalah tersedianya informasi yang lengkap sehingga dapat diakses oleh semua pelaku ekonomi (padahal ini mustahil). Informasi yang kurang lengkap menyebabkan sistem insentif tidak pernah bekerja dengan sempurna. Bagi scholars ekonomi politik, kegagalan terpenting mekanisme pasar adalah ketidaksanggupannya memfasilitasi informasi yang lengkap. Dengan kata lain informasi yang selalu diberikan oleh pasar adalah selalu asimetris. Disinilah teori ekonomi politik digunakan diantara kelangkaan informasi (di satu sisi) dan kemampuan untuk mencari model kompensasi atas ketidaksempurnaan pasar (di sisi lain).

Isu yang dibangun oleh teori ekonomi politik adalah bagaimana pemerintah menyusun mekanisme yang memungkinkan seluruh partisipan di pasar mau berbagi informasi. Inilah yang melatari terjadinya peristiwa negosiasi. Dengan prinsip regulasi itu, yang sebetulnya sudah dikembangkan oleh teori ekonomi kelembagaan, suatu tindakan dan keputusan ekonomi diambil dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak sehingga kemungkinan kerugian yang bakal diderita oleh salah satu partisipan dapat dieliminir. Jika ini terjadi, maka prinsip efisiensi dan kerja sama atau kompetisi dalam kegiatan ekonomi bisa dicapai.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka penulis merumuskan latar belakang sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah perkembangan ekonomi politik ?

2. Bagaimana konsep teori pilihan publik dan kaitannya dengan ekonomi politik ?

3. Bagaimana konsep teori Rent-Seeking dan kaitannya dengan ekonomi politik?

4. Bagaimana konsep teori Redistributive Combines dan Keadilan ?

1.3 Tujuan masalah

1. Untuk menjelaskan sejarah perkembangan ekonomi politik

2. Untuk menjelaskan teori pilihan publik dan kaitannya dengan ekonomi politik

3. Untuk menjelaskan teori Rent Seeking dan kaitannya dengan ekonomi politik

4. Untuk menjelaskan teori Redistributive Combine

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH DAN PEMAKNAAN EKONOMI POLITIK

Teori Ekonomi Politik menurut Clark (1998:21-23), muncul pada abad ke 14 16 dimana pada saat itu di Eropa Barat mengalami Masa Transformasi Besar karena sistem perdangangan yang di terapkan pada masa itu perlahan-lahan mulai menyisihkan sistem feudal. Pada abad ke- 18 mulai munculnya Zaman Pencerahan di Eropa yang inti dari gagasanya adalah otonomi individu dan eksplanasi kapasitas manusia. Para ahli yang menganut aliran ini percaya bahwa kekuatan akal dapat menyingkirkan manusia dari segala bentuk kesalahan.

Para ahli Ekonomi Politik pada abad ke 18 mengembangkan gagasan tentang keperluan Negara untuk menstimulasi kegiatan ekonomi , pada masa itu pasar masih dianggap belum berkembang sehingga Pemerintah masih berperan secara aktif dalam pasar seperti memberikan pengawasan untuk produk , melindungi para pelaku ekonomi , dll. Tetapi pada akhirnya gagasan itu banyak ditentang oleh para ahli ekonomi sehingga memunculkan banyak aliran dalam pemikiran ekonomi politik , seperti yang bisa dilihat pada bagan dibawah ini :

(Romantisme & Nasionalisme) (Teori Neofasis) (Edmund Burke)

(Korporatisme)

(Neokonservatismeee)

(Ekonomi Neo Austrian) (Mazhab Ekonomi Austria) (Mazhab Eknomi Neoklasik) (Ekonomi Politik Klasik)

(Teori Pilihan Publik)

(Ekonomi Klasik Baru)

(Ekonomi Keynesian Baru) (Mazhab Cambridge)

(Neokorporatisme)

(Ekonomi Post-Keynesian)

(Karl Marx) (Ekonomi Sosial) (Ekonomi Kelembagaan) (Teori Sosial Demokratik)

(Teori Post-Marxian)

Secara garis besar mazhab dikategotikan menjadi 3 yaitu ;

1. Ekonomi Politik Konservatif yang dipelopori oleh Edmund Burke.

2. Ekonomi Politik Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith , Thomas Malthus , David Ricardo , Nassau Senior , dan Jean Baptiste Say.

3. Ekonomi Politik Radikal yang dipelopori oleh William Godwin , Thomas Paine , Marquis de Condorcet dan Karl Marx

Ilmu ekonomi muncul karena adanya kesenjangan antara supply dan demand. Politik identik dengan kekuasaan atau power dalam suatu negara. Politik membahas distribusi kekuasaan dalam suatu negara. Sebelum ilmu ekonomi berkembang seperti saat ini, sesungguhnya dulunya berinduk kepada ilmu ekonomi politik (political economy). Sedangkan ekonomi politik sendiri merupakan bagian dari ilmu filsafat.

John Stuart Mill dalam bukunyaPrinciples of Political Economytahun 1848. Perbedaan terpenting dari ekonomi politik dengan ekonomi murni adalah dalam pandangannya dalam struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan mempengaruhi pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap struktur kekuasaan di dalam masyarakat adalah given (mutlak ada).

Struktur Ekonomi Politik

Pendekatan ekonomi politik sendiri secara definitive dimaknai sebagai interelasi diantara aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi dan lain sebagainya), mengacu pada definisi tersebut, pendekatan ekonomi polititk mengaitkan seluruh penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek, proses, maupun kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang diintrodusir oleh pemerintah. Instrument-instrumen ekonomi seperti mekanisme pasar, harga dan investasi dianalisis dengan menggunakan setting sistem politik dimana kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut terjadi. Pendekatan ini melihat ekonomi sebagai cara untuk melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut. Pengertian ini sekaligus bermanfaat untuk mengakhiri keyakinan yang salah, yang menyatakan bahwa pendekatan ekonomi politik berupaya untuk mencampur analisis ekonomi dan politik untuk mengkaji suatu persoalan. Padahal, seperti yang bisa dipahami, antara analisis ekonomi dan politik tidak dapat dicampur karena keduanya dalam banyak hal memiliki dasar yang berbeda.

Antara ilmu ekonomi dan ilmu politik memang berlainan dalam pengertian diantara keduanya mempunyai alat analisis sendiri-sendiri yang bahkan memiliki asumsi yang berlawanan. Dengan demikian, tidak mungkin menggabungkan alat analisis ilmu ekonomi dan politik karena bisa membingungkan. Antara ilmu ekonomi dan politik bisa disandingkan dengan pertimbangan keduanya mempunyai proses yang sama. Setidaknya, keduanya memiliki perhatian yang sama terhadap isu-isu sebagai berikut: mengorganisasi dan mengkoordinasi kegiatan manusia, mengelola konflik, mengalokasikan beban dan keuntungan, menyediakan kepuasan bagi kebutuhan dan keinginan manusia. Berdasarkan pemahaman ini, pendekatan ekonomi politik mempertemukan antara bidang ekonomi dan politik dalam hal alokasi sumber daya ekonomi dan politik (yang terbatas) untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, implementasi dari kebijakan ekonomi politik selalu mempertimbangkan struktur kekuasaan dan sosial yang hidup dalam masyarakat, khususnya target masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan.

Agar mendapatkan pemahaman yang lebih detail mengenai ketidakmungkinan menggabungkan analisis ekonomi dan politik bisa dilacak dari perbedaan kedua ilmu itu. Secara definitive ilmu ekonomi selalu merujuk pada tiga konsep berikut: kalkulasi, penyediaan materi, dan meregulasi sendiri. Konsep tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut. Ujung dari analisis ekonomi selalu berupamencari kalkulasi hasil yang paling efisien diantara keterbatasan pilihan yang tersedia. Di sini diandaikan semakin efisien hasil yang diperoleh, maka kian bagus pilihan yang diambil. Setelah itu, kegiatan ekonomi selalu bertujuan untuk melakukan produksi (reproduksi) dan sirkulasi (distribusi). Dalam konteks ini penyediaan barang/jasa dalam kegiatan ekonomi selalu bersinggungan dengan desain struktur produksi. Ekonomi berargumen bahwa pasar bisa mengatur dirinya sendiri. Pada titik inilah ekonomi dan politik (kelembagaan) itu terpisah. Kurang lebih analisis ekonomi bekerja dengan menggunakan tiga konsep tersebut.

Ilmu politik berjalan juga dengan tiga konsep baku, yakni politik sebagai pemerintah (government), otoritas yang mengalokasikan nilai (authorative allocation of values) dan publik (public). Politik sebagai pemerintah jelas tugasnya untuk memberikan direksi dan mengeluarkan regulasi. Disini, sifat pemerintah berupaya menyediakan panduan dan melakukan intervensi sehingga bertabrakan dengan sifat ekonomi yang mempercayai pasar bisa bekerja secara mandiri. Selanjutnya politik juga mengalokasikan nilai-nilai. Konsep nilai dalam politik tidak setumpul nilai dalam ekonomi yang sering dimaknai sekedar efisiensi/laba. Dalam politik, nilai itu bekerja berdasarkan norma-norma yang hidup di masyarakat, seperti perlunya pemerataan/keadilan pembangunan. Disini, konsep keadilan mengungguli efisiensi bila yang terakhir ini dicapai dengan jalan menciptakan ketimpangan. Kemudian politik sebagai publik bermakna bahwa output dari nilai politik selalu merupakan urusan bersama (public concern), berbeda dengan ekonomi yang berkonotasi privat. Jadi, dengan deskripsi tersebut, antara ekonomi dan politik memang memiliki asumsi yang berbeda, sehingga menggabungkan analisis ekonomi dan politik secara bersamaan merupakan upaya yang tidak akan pernah berhasil.

Pendekatan ekonomi politik semakin relevan untuk dipakai karena struktur ekonomi sendiri tidak semata-mata ditentukan secara teknis. Ia terdiri dari dua bagian yang saling terkait. Pertama, kekuatan produksi material-pabrik dan perlangkapan (atau modal), sumber-sumber alam, manusia dengan skill yang ada (tenaga kerja) dan teknologi. Teknologi menentukan hubungan produksi yang sifatnya teknis, sehingga proporsi bahan mentah, mesin dan tenaga kerja bisa dialokasikan dengan biaya yang paling minimal. Kedua, relasi reproduksi manusia, seperti hubungan antara para pekerja dan pemilik modal atau antara para pekerja dan manajer. Begitulah struktur ekonomi tersusun dari elemen material-teknis dan hubungan manusia. Setidaknya terdapat dua tipe ekonomi politik yang bisa diterapkan, baik sebagai penasehat otentik bagi partai yang berkuasa, yakni pihak yang melihat kebijakan sebagai cara untuk memaksimalkan nisbah bagi partai, atau sebagai intelektual yang menempatkan kebijakan sebagai instrumen untuk memecahkan hambatan ekonomi politik agar bisa memaksimalkan kesejahteraan sosial sesuai amanat konstitusi.

Dalam kasus peran pasar, misalnya, harus terdapat upaya yang jernih untuk mencermatinya. Yang pertama harus dipahami, pasar (termasuk pasar keuangan) tidaklah bersifat netral dan paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Pasar selalu mengandaikan adanya kekuatan salah satu pihak (biasanya para pemodal kakap) yang memanfaatkan informasi asimetris untuk mendapatkan keuntungan. Pandangan inilah yang mengantarkan ekonom kelembagaan berkeyakinan bahwa pasar tidak dapat dilihat dari mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi. Dalam hal ini pasar dianggap sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan, sehingga pasar tidak hanya mengontrol tetapi juga dikontrol. Jadi, instrumen retriksi itu tidak ditujukan untuk menggantikan peran pasar, melainkan untuk memastikan bahwa mekanisme pasar tidak dikontrol oleh segelintir pihak yang berkuasa (pemodal).

Sejalan dengan pandangan Rodrik dan Subranian, strategi kelembagaan yang bisa dilakukan untuk menjinakan pasar dapat dipilih dalam tiga klasifikasi: (i) regulasi pasar, khususnya untuk mengatasi persoalan-persoalan eksternalitas, skala ekonomi dan informasi yang tidak sempurna, (ii) menstabilisasi pasar yang bertujuan untuk menurunkan inflasi, minimalisasi volatilitas makro ekonomi dan mencegah krisis keuangan, (iii) melegitimasi pasar, yakni kebijakan untuk menopanh kegagalan pasar.

Ekonomi Politik dan Ekonomi Kelembagaan.Analisis ilmu ekonomi bisa dibagi dalam empat cakupan: (i) alokasi sumber daya, (ii) tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan produksi dan harga, (iii) distribusi pendapatan, (iv) struktur kekuasaan. Pendekatan klasik/neoklasik lebih banyak menggunakan tiga instrumen, yang pertama untuk menguliti setiap persoalan ekonomi, sebaliknya pendekatan kelembagaan lebih menekankan kepada piranti yang terakhir untuk menganalisis fenomena ekonomi. Dalam lintasan sejarah, ahli kelembagan mempunyai kepedulian terhadap evolusi struktur kekuasaan dan aturan main, proses penciptaan dan penyelesaian konflik dimana aktifitas ekonomi tiu terjadi. Sebaliknya, ahli ekonomi klasik mendeskripsikan kasus khusus pertukaran dalam sebuah dunia yang telah dirumusakan karasteristik asumsinya, yang mungkin tidak ada hubungannya dengan duni yang kita tempati ini. Namun akibat pandangan pandangan ekonomi konvensional (klasik/neoklasik) dalam memformulasikan kebijakan ekonomi, tidak bisa disangkal bila rumusan-rumusan penyelesaian persoalan ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh tiga instrumen yang pertama tadi.

Menurut Veblen, kelembagaan adalah kumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal yang direproduksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan pada masing-masing generasi individu berikutnya. Dengan demikian, kelembagaan berperan sebagai stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu. Dalam hal ini, keinginan individu bukanlah factor penyebab fundamental dalam pengambilan keputusan, sehingga pada posisi ini tidak ada tempat untuk memulai suatu teori. Namun sifat dunia menurut pandangan Veblen, dinyatakan dengan ungkapan sosiologis bahwa manusia tidak hanya mengerjakan apa yang mereka suka, tetapi mereka juga harus suka terhadap apa yang harus mereka kerjakan. Oleh karena itu, tempat untuk memulai suatu teori adalah menganalisis apa yang harus dikerjakan oleh orang-orang (what men have to do).

Ahli kelembagaan berusaha membuat model-model pola teori, sementara ahli neoklasik berusaha menyususn model-model prediktif teori. Model-model pola menjelaskan perilaku manusia dengan menempatkannya secara cermat di dalam konteks kelembagaan dan budaya. Model prediktif menjelaskan perilaku manusia dengan menyatakan secara cermat asumsi-asumsi dan menarik keimpulan implikasi (prediksi) dari sumsi tersebut. Dalam ekonomi neoklasik, prediksi adalah pengambilan keputusan secara logis dari postulat atau asumsi mendasar yang telah dibuatnya. Selanjutnya, bukti prediktif harus memiliki validitas empirirs atau akurat di dalam pengambilan keputusan tersebut. Dengan demikian sifat dari bukti prediktif adalah mudah untuk memahami dan hanya membutuhkan sedikit penjelasan.

Ide inti dari paham kelembagaan (institutionalism) adalah mengenai kelembagaan (institutions), kebiasaan (habits), aturan (rules) dan perkembangannya (evolution). Namun ahli kelembagaan tidak akan berusaha membangun model tunggal umum berdasarkan ide-ide tersebut. Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner, kolektif, interdisipliner dan non prediktif. Ahli ekonomi kelembagaan umumnya focus pada konflik daripada keharmonisan, pada pemborosan (inefisiensi) ketimbang efisiensi dan pada ketidakpastian dibandingkan pengetahuan yang sempurna. Mereka pada umumnya menolak keseragaman pasar sebagai mekanisme alokasi yang tidak bias dan mekanisme distribusi. Disamping itu, ahli kelembagaan tetap merawat secara konsisten persepsi yang jelas mengenai perbedaan antara biaya/manfaat privat dan sosial.

Jika rumusan pemikiran diatas dibawa dalam kegiatan ekonomi sehari-hari yang berbasis pasar, maka susunan ekonomi yang berbasis pasar selalu mengandaikan bahwa kesempatan, kemampuan dan informasi seluruh pelaku ekonomi sama dalam arena pasar. Implikasinya, tidak dibutuhkan instrumen lain untuk mencapai efisiensi ekonomi karena semuanya sudah dipenuhi oleh pasar. Namun, ternyata asumsi-asumsi tersebut tidak ada yang menjelma di dalam pasar. Para pelaku ekonomi terbukti mempunyai informasi yang asimetris, kemampuan yang berbeda dan informasi yang berlainan (misalkan dekat dengan sumber kekuasaan/capital). Disinilah kemudian lahir patologi ekonomi akibat tidak bekerjanya mekanisme pasar.

Kedekatan teori ekonomi politik dengan ekonomi kelembagaan sebetulnya bisa dilacak dari dua aspek. Pertama, pernyataan bahwa mekanisme pasar tidak bisa digunakan seluruhnya untuk mengatur kegiatan ekonomi. Disini dibutuhkan instrumen ekonomi lain yang dapat menutup kelemahan mekanisme pasar. Jalan keluar teori desain mekanisme dan ekonomi kelembagaan adalah memformulasikan aturan main yang dalam banyak aspek menghendaki peran pemerintah (namun bukan untuk menggantikan mekanisme pasar). Kedua, efisiensi ekonomi disepakati sebagai kerangka kegiatan ekonomi. Hanya jika ekonomi klasik mengukur efisiensi ekonomi dari biaya produksi semata, maka ekonomi politik dan ekonomi kelembagaan melihat efisiensi ekonomi dari biaya transaksi. Jika biaya produksi sudah sangat jelas, maka biaya transaksi sangat sumir sehingga dibutuhkan aturan main yang terperinci.

Studi tentang ekonomi politik banyak dikaitkan antara sistem politik dan kinerja ekonomi , yang nantinya dikembangkan untuk melihat hubungan antara antara stabilitas politik dan pencapaian ekonomi. Pendekatan ekonomi secara definitive dimaknai sebagai aspek , proses dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi , pada pendekatan ini ekonomi merupakan cara untuk melakukan tindakan sedangkan politik merupakan penyedia ruang bagi tindakan tersebut. Pendekatan ekonomi politik ini dinilai dapat menangkap kondisi riil yang terjadi beserta dinamikanya di masyarakat, pemakaian pendekatan ini diperkuat oleh lima hal yaitu :

1. Penggunaan kerangka kerja ekonomi politik berupaya menerima eksistensi dan validalitas dari perbedaan budaya politikbaik formal maupun informal.

2. Analisis kebijakan akan memperkuat efektifitas sebuah rekomendasi karena mencegah pemikiran yang deterministic.

3. Analisis kebijakan mencegah pengambilan kesimpulan terhadap beberapa alternative tindakan berdasarkan kepada perspektif waktu yang sempit.

4. Analisis kebijakan yang berfokus ke Negara berkembang tidak bisa mengadopsi secara penuh orientasi teoritis statis.

5. Analisis kebijakan lebih mampu menjelaskan interkasi antar manusia.

TEORI PILIHAN PUBLIK

Pendekatan ekonomi politik baru yang menganggap negara/pemerintah,politisi,atau birokrat sebagai agen yang memilki kepentingan sendiri merupakan pemicu l;ahirnya pendekatan public choice,(PC) atau rational choice (RC).PC tergolong ke dalam kelompok ilmu ekonomi politik baru yang berusaha mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik,baik di parlemen,lembaga pemerintah,lembaga kepresidenan,masyarakat pemilih,pecinta lingkungan hidup,dan sebagainya (Mitchell,seperti dikutip Rachbini,2002:86).Teori pilihan publik melihat aktor-aktor individu sebagai pusat kajian,entah mereka itu sebagai anggota partai politik,kelompok-kelompok kepentingan,atau birokrasi ; baik yang berkuasa karena dipilih (elected) maupun ditunjuk (appointed) [Caporaso dan Levine,1992:134].Teori PC ini mendeskripsikan bahwa secara tipikal ahli ekonomi politik melihat politik dalam wujud demokrasi,yang memberi ruang untuk saling melakukan pertukaran diantara masyarakat,partai politik,pemerintah,dan birokrat.Dalam konteks itu,masyarakat pemilih diposisikan sebagai pembeli barang kolektif (publik),sementara pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia kebijakan publik (barang dan jasa) sehingga dalam jangka panjang mereka dapat memungut dukungan dari pemilih lewat pemilihan umum (Mitchell,seperti dikutip Rachbini,2002:86).Singkatnya,dalam proses semacam itu,setiap formulasi kebijakan dan dukungan dianggap sebagai proses distribusi nisbah ekonomi melalui pasar politik.

Pada level yang lebih luas,teori pilihan publik dapat diterjemahkan sebagai aplikasi metode ekonomi terhadap politik (application of economic methods to politics) [Caporaso dan Levine,1992:134].Atau dalam pengertian yang hampir mirip,dikatakan bahwa secara esensi teori pilihan publik berusaha untuk mengaplikasikan perangkat analisis ekonomi ke dalam proses nonpasar atau politik di bawah formulasi dan implementasi kebijakan publik dan juga dikembangkan sebagai kritik komprehensif terhadap intervensi negara dalam ekonomi pasar (Dollery dan Wallis,2001:44).Akan tetapi,teori pilihan publik ini berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional.Perbedaan itu bukan dalam hal konsepsinya terhadap individu dan aspek kekuatan motivasi,melainkan dalam hal rintangan-rintangan dan kesempatan-kesempatan yang datang dari sisi politik (sebagai lawan dari pasar).Dalam pendekatan baru ini,ekonomi (sebagai pertukaran pasar,produksi,konsumsi) dan politik (sebagai pertukaran politik,kekuasaan,hubungan-hubungan otoritas) dianggap sebagai subjek yang saling terpisah.Dalam level analitis,teori pilihan publik ini dapat dibagi dalam dua kategori.Pertama,teori pilihan publik normatif (normative public choice).Teori ini memfokuskan kepada isu-isu yang terkait dengan desain politik dan aturan-aturan politik dasar.Pendeknya,teori ini berhubungan dengan kerangka kerja konstitusi yang mengambil tempat dalam proses politik.Kedua,teori pilihan publik positif (positive public choice).Teori ini mengkonsentrasikan untuk menjelaskan perilaku politik yang dapat diamati dalam wujud teori pilihan (Caporaso dan Levine,1992:135).Dengan kata lain,teori pilihan publik positif beroperasi pada wilayah dunia nyata (das sein).

Asumsi-asumsi umum yang dipakai dalam teori pilihan publik setidaknya dapat dijelaskan dalam empat poin,antara lain (i) kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi; (ii) motif kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik; (iii) kecukupan kepentingan material individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik ; dan (iv) di mana asumsi kecukupan (kepentingan yang sama ) tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik (Streeton dan Orchard,1994:123).Sedangkan menurut Mallarangeng (2002:9-10),teori pilihan rasional sendiri beranjak dari asumsi maksimalisasi kegunaan,utility maximization.Tiang masyarakat adalah individu,pelaku rasional yang selalu bertindak untuk mencapai kepentingannya sendiri.Di pasar kaum pengusaha bertindak untuk memaksimalkan keuntungan mereka,di arena politik para politisi dan birokrat bertindak semata-mata untuk memperbesar kekuasaan yang mereka miliki.Dalam perspektif ini,bagi teori pilihan rasional kebijakan publik adalah hasil dari interaksi politik di antara para pelaku rasional yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi dirinya.Suatu kebijakan yang khusus melindungi industri tertentu,misalnya,dianggap sebagai keseimbangan rasional,rational equilibrium,yang memuaskan kepentingan para pejabat pemerintah untuk terus berkuasa maupun kaum pengusaha yang sedang mengejar keuntungan profit.Politik,dengan demikian dianggap sebagai sebuah panggung di mana semua pihak bersaing untuk mengeruk berbagai sumber yang ada di arena publik.Tepat pada titik inilah struktur kekuasaan menempati fokus yang amat penting dalam pembahasan teori ekonomi politik,di mana pemenang dan pecundang sangat tergantung pada kesanggupannya untuk memperoleh akses politik yang lebih luas.

Teori pilihan publik ini secara umum digunakan dalam banyak disiplin ilmu dengan nama yang berbeda,seperti public choice (ilmu politik),rational choice theory (ilmu ekonomi dan sosiologi),dan expected utility theory (ilmu psikologi).Pengertan rasionalitas tersebut diaplikasikan ke dalam banyak konsep,misalnya keyakinan (beliefs),preferensi (preference),pilihan (choices),tindakan (actions),pola prilaku (behavioral patterns),individu (persons),serta kelompok dan lembaga (collectives and institutions) [Elster,1983;dalam Nurrochmar 2005:32].

Secara prinsip,teori pilihan publik tersebut melihat tindakan manusia dalam pengertian ekonomi dan tidak terkait dengan nilai-nilai (values) yang menuntun keputusan rasional.Capaian-capaian sosial diproduksi melalui agresi (kumpulan) tindakan individu (Zey,1998;dalam Nurochmat,2005:33).Alasan inilah yang dijadikan pertimbangan utama sehingga teori pilihan publik meletakkan individu sebagai pusat kajian.Akan tetapi,harus tetap disadari,bahwa teori pilihan publik menempatkan individu sebagai bagian dari struktur sosial tertentu sehingga perilakunya sebagian dapat ditebak dari kelompok (sosial,politik,budaya) mana ia berasal.

Dalam operasionalisasinya,pendekatan public choice dapat dibedakan dalam dua bagian:supply dan demand.Pada sisi penawaran (supply),terdapat dua subjek yang berperan dalam formulasi kebijakan,yakni pusat kekuasaan yang dipilih (elected centers of power) dan pusat kekuasaan yang tidak dipilih (non-elected centers of power).Termasuk dalam elected centers of power adalah badan legislatif dan eksekutif (pemerintah pusat dan daerah/lokal).Sedangkan yang tergolong non-elected centers of power antara lain cabang-cabang eksekutif,lembaga independen,dan organisasi internasional yang keberadaannya tidak dipilih (non-elected).Diandaikan,elected centers of power akan merespons setiap permintaan dari pemilih (voters) dan sensitif terhadap informasi yang disodorkan oleh kelompok-kelompok penekan.kepentingan (pressure/interst groups).Sebaliknya,non-elected centers of power hanya sensitif terhadap permintaan dari kelompok kepentingan (Bavetta dan Padovano,2000;dalam Pipitone,tt:8).Pada titik inilah dapat dipahami adanya keinginan agar setiap pejabat publik sebanyak mungkin dipilih langsung oleh konstituen (misalnya lewat pemilu) agar mereka sensitif terhadap keinginan publik,seperti yang diangankan oleh bentuk pemerintahan demokrasi.

Sementara pada sisi permintaan (demand),aktornya juga dapat dipilih dalam dua kategori,yakni pemilih (voters) dan kelompok-kelompok penekan (pressure groups).Pemilih akan mengontrol suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan.sedangkan kelompok-kelompok penekan akan mengelola sumber daya yang dipunyai untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan,baik dari elected centers of power maupun non-elected centers of power.Lainnya,jika pemilih biasanya tidak terorganisasin (unorganized),di mana dalam praktiknya tergantung dari interaksi politisi dan pemilih;maka kelompok-kelompok penekan biasanya sangat terorganisasi (organized).di mana dalam operasionalisasinya tergantung dari tindakan-tindakan kelompok penekan tersebut.Akhirnya,seperti yang diungkapkan oleh Niskanen (1973),kontribusi terbesar dari PC adalah kemampuannya untuk menunjukkan bahwa politisi-politisi dalam setiap tindakannya selalu dimotivasi oleh kepentingan pribadi.Public choice teori melihat politisi sebagai pelaku yang cenderung memaksimalkan kepuasan pribadi yang dimotivasi oleh banyak faktor,seperti gaji,reputasi publik,kekuasaan,dan ruang untuk mengontrol birokrasi (Piptone,tt:10).Akhirnya,ringkasan perbedaan cara pandang antara teori ekonomi klasik dan pilihan publik dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel.Perbandingan Paradigma Ekonomi Klasik dan Pilihan Publik

Variabel

Ekonomi Klasik

Pilihan Publik

Pemasok (supplier)

Produsen,pengusaha,distributor

Politisi,parpol,

birokrasi,pemerintah

Peminta (demander)

Konsumen

Pemilih (voters)

Jenis komoditas

Komoditas individu (private goods)

Komoditas publik (public goods)

Alat Transaksi

uang

Suara (vote)

Jenis Transaksi

Transaksi sukarela

Politik sebagai pertukaran

Sungguh pun begitu,aplikasi pendekatan pilihan publik ke dalam sektor publik memilki beberapa kendala akut yang kemudian terangkum dalam sebutan kegagalan pemerintah (government failures).Seperti diungkapkan oleh ODowd,bahwa kegagalan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori berikut : ketidakmungkinan yang melekat/otomatis (inherent impossibilities),kegagalan politik (political failures),dan kegagalan birokrasi (bureaucratic failures) [Dollery dan Wallis,2001:45).Ketidakmungkinan yang melekat merujuk kepada kondisi di mana negara pemerintah tidak dapat melalukan sesuatu secara simpel sederhana.Sementara,kegagalan politik dapat dideskripsikan bahwa tujuan intervensi pemerintah secara konsepsional sangat bagus (feasible),tetapi adanya rintangan-rintangan politik dalam operasi pemerintah menyebabkan ketidakmungkinan untuk mencapai tujuan dari intervensi tersebut.Terakhir,kegagalan birokrasi bermakna bahwa intervensi negara sulit dilakukan karena secara administratif aparat dan organ birokrasi tidak sanggup (incapable) untuk mengimplementasikan kebijakan menurut tujuan/niat semula.Ketiga bentuk kegagalan pemerintah inilah yang kemudian melahirkan sinisme terhadap peran negara dalam (kegiatan) perekonomian sehingga mekanisme pasar dianggap sebagai solusi yang lebih tepat.

TEORI RENT-SEEKING

Teori pilihan public juga dapat mentransformasikan lebih jauh konsep dasar ilmu ekonomi klasik de dalam bidang politik. Dalam kasus ini konsep pendapatan ditransformasikan menjadi konsep perburuan rente. Konsep ini sangat penting bagi ilmu ekonomi politik untuk menjelaskan perilaku pengusaha, politisi dan kelompok kepentingan (Rachbini, 2002:118). Teori rent-seeking sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Krueger (1974), yang kemudian dikembangkan oleh Bhagwati (1982) dan Srinivasan (1991). Pada saat itu Krueger membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, di mana kuota sendiri dapat dimaknai sebagai perbedaan antara harga batas/border price(cum tariff) dan harga domestic. Dalam pengertian ini, perilaku mencari rente dianggap sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan ekonomi, atau menelikung kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan bagi para pencari rente (Little, 2002:126). Secara teoritis, kegiatan perburuhan rente (rent-seeking) harus dimaknai secara netral, karena individu (kelompok) dapat memperoleh keuuntungan dari aktivitas ekonomi yang legal (sah), seperti menyewakan tanah, modal (mesin) dan lain-lain. Dalam kategori ini, pendapatan yang diperoleh oleh seseorang melalui penyewaan (rent) setara dengan pedapatan yang diperoleh oleh individu karena menanamkam modalnya (profit) maupun menjual tenaga dan jasanya (upah). Oleh karena itu, konsep rent-seeking dalam teori ekonomi klasik tidak dapat dimaknai secara negative sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian; bahkan dapat berarti positif karena dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan laba maupun upah.

Sungguh pun begitu, dalam literature ekonomi politik, konsep rent-seeking tidaklah dimaknai secara netral. Kecenderungannya , pendekatan ilmu ekonomi politik melihat perilaku mencari rente dari kacamata negative. Asumsi awal yang dibangun dari teori ekonomi poitik adalah bahwa setiap kelompok kepentingan (self-interest) berupaya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya. Pada titik inilah,seluruh sumber daya ekonomi politik yang dimiliki, seperti lobi, akan ditempuh demi mencapai tujuan tersebut. Persoalannya adalah, jika produk dari lobi tersebut berupa kebijakan, maka implikasi yang muncul dapat sangat besar. Seperti yang diungkapkan oleh Olson, proses lobi tersebut dapat berdampak kolosal karena mengakibatkan proses pengambilan keputusan (decisision making) berjalan sangat lambat dan ekonomi pada akhirnya tidak dapat merespon secara cepat terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru (Olson,1982:46; dalam Dasgupta, 1998:26).

Dengan deskripsi tersebut, kegiatan mencari rente dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Kelompok-kelompok bisinis dan perseorangan mencari rente ekonomi ketika mereka menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatkan permintaan sumber daya yang dimiliki (Clark, 1998:110). Kemudian Prasad (2003:755) mendefinisikan rent-seeking sebagai proses di mana individu memperoleh pendapatan tanpa secara actual meningkatkan produktivitas atau malah mengurangi produktivitas tersebut. Pendeknya, semakin besar perluasan pemerintah untuk menentukan alokasi kesejahteraan, maka kian besar kesempatan bagi munculnya para pencari rente (Litte, 2002:128). Untuk kasus Indonesia, misalnya dalam pemerintahan Orde Baru, kegiatan rent-seeking tersebut dapat ditelusuri dari persekutuan bisnis besar (yang menikmati fasilitas monopoli maupun lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah. Perusahaan- perusahaan swasta itu sebagian besar dikuasai oleh mereka yang memiliki hubungan pribadi dengan elite pemerintah dan dalam banyak kasus dengan Soeharto (Mallarangeng.2002:189). Dengan fasilitas tersebut pemilik rente ekonomi sekaligus memperoleh dua keuntungan mendapatkan laba yang berlebih dan mencegah pesaing masuk kedalam pasar.

Sebagai upaya untuk memahami kesalahan para ekonom yang menganjurkan kebijakan monopoli dapat dilihat pada gambar 5.1 yang diadaptasi dari Tullock (1988). Sumbu horizontal menunjukkan jumlah komoditas dalam hal ini gandum, yang dapat diproduksi pada harga CC. Sedangkan permintaan gandum ditunjukan uleh garis DD, yang juga menunjukkan beragam kesuburan lahan. Pada kompetitif ditunjukkan oleh unit Q, karena pada titik tersebut kurva permintaan, DD, mengenai garis biaya (diasumsikan dalam situasi ini adanya informasi yang sempurna dan tidak ada biaya transaksi). Sedangkan titik keseimbangannya adalah ada harga P dan lahan dengan kualitas yang rendah (tidak subur), yakni disisi sebelah kanan Q, tidak ditanami. Pada titik ini, sewa tanah Ricardian (Ricardian land rent) adalah area di atas CC dan di bawah P dan pemilik lahan gandum akan berproduksi untuk mengumpulkan gandum. Sekarang, produsen gandum dapat melakukan investasi dengan biaya yang lebih murah,sebagaimana dideskripsikan Tullock. Atau mungkin mereka mengorganisasi kartel, atau monopoli, agar dapat mengendalikan (drive-up) harga melalui pembatasan produksi. Perilaku ynag kedua inilah yang biasa disebut sebagai mencari rente (rent-seeking). Hasil dari rent-seeking, melalui pengorganisasian monopoli adalah produksi yang dibatasi menjadi Q1 , dengan konsekuensi meningkatnya harga menjadi P1 . konsekuensinya, pertama keuntungan area segi empat yang diberi tanda oleh titik-titik, ditransfer dari konsumen kepemilik monopoli; dan ,kedua, masyarakat mengalami kerugian yang direpresentasikan dalam gambar segitiga yang diarsir. Wilayah segitiga tersebut mendeskripsikan keuntungan ynag diperoleh konsumen melalui pembelian anta unit Q1 dan Q jika harga tidak mengalami kenaikan (Tullock,1995:196-197).

Seara lebih jelas, Krueger menerangkan bahwa aktivitas mencari rente, seperti lobi untuk mendapatkan lisensi atau surat izin, akan mendistorsi alokasi sumberdaya sehingga membuat ekonomi menjadi tidak efisien. Demikian halnya dengan contoh sehari-hari yang biasa dijumpai di Negara berkembang. Di negara ini pejabat pemerintah menjual posisinya untuk merekrut tenaga kerja. Pada saat pejabat pemerintah tersebut menerima uang imbalan atas jasanya memasukkan seseorang menjadi pegawai tanpa kompetensi yang memadai, maka implikasinya kinerja (ekonomi) Negara tersebut akan buruk karena ditangani oleh pegawai-pegawai yang tidak cakap. Pada kategori ini, rent-seeking behavior tidak saja membuat alokasi sumber daya ekonomi menjadi melenceng, tetapi juga secara langsung mengikis kesempatan untuk mencapai efisiensi ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap kebijakan ekonomi yang dibuat, menurut prespektif ekonomi politik, pertama-tama harus dianalisis sampai sejauh mana kebijakan tersebut berpotensi memunculkan perilaku mencari rente. Jika kemungkinan ke arah itu terbuka lebar, maka sebaiknya kebijakan ekonomi tersebut dibatalkan.

Argumentasi itulah yang digunakan oleh Krueger untuk merekomendasikan mengganti kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan tariff untuk meminimalisasi munculnya perilaku mencari rente. Bila kebijakan lisensi impor yang dipakai, maka proses pembuatan kebijakan tersebut akan mudah dimasuki oleh pemburu rente sehingga hanya individu yang memiliki akses terhadap pembuat kebijakan yang akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, seperti memperoleh izin lisensi impor. Bahkan bukan itu saja dampaknya, lisensi impor juga berpotensi untuk menggagalkan tujuan dari kebijakan tersebut (misalnya menyediakan barang dengan jumlah dan harga tertentu) akibat pemilik lisensi yang tidak kompeten untuk menjalankannya. Sebaliknya , bila kebijakan tarif impor yang digunakan ,maka setiap pelaku ekonomi memiliki peluang yang sama untuk melakukan impor sesuai dengan kebijakan (tarif) ang telah ditentukan oleh pemerintah. Dengan kata lain, kebijakan tariff tidak memberi kesempatan pemburu rente untuk memasuki wilayah kebijakan itu.

Dengan begitu, beberapa hal dapat disimpulkan dari penjelasan mengenai perilaku mencari rente di atas. Pertama, bahwa masyarakat akan mengalokasikan sumber daya untuk menangkap peluang hak milik yang ditawarkan oleh pemerintah. Pada titik ini, kemungkinan munculnya perilaku mencari rente sangat besar. Tentu saja dalam analsis ekonomi tidaklah relevan untuk membicarakan apakah kegiatan mencari rente tersebut mengambil bentuk secara illegal maupun legal, meskipun kegiatan korupsi ataupun kegiatan ilegal lainnya dapat mengurangi legitimasi pemerintah. Kedua, bahwa setiap kelompok atau individu pasti akan berupaya untuk mempertahankan posisi mereka yang menguntungkan. Implikasinya, keseimbangan politik mungkin tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang karena akan selalu muncul kelompok penekan baru yang mencoba untuk mendapat fasilitas istimewa pula. Ketiga, bahwa didalam pemerintah sendiri terdapat kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan kata lain, kepentingan pemerintah tidaklah tunggal. Misalnya, setiap pemerintah cenderung akan memperbesar pengeluaran untuk melayani kelompok-kelompok kepentingan, sementara kementrian keuangan (sebaliknya) justru berkonsentrasi untuk meningkatkan pendapatan (revenue). Dalam konteks ini, ideology menjadi determinan penting yang akan menuntun bentuk kepentingan pemerintah.

Akhirnya , salah satu proposisi yang diajukan oleh Buchanan untuk mencegah munculnya pemburu rente adalah dengan membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara sempurna, yakni melalui peniadaan halangan masuk (no barrier to entry) bagi pelaku ekonomi dan peningkatan persaingan. Bila kedua syarat itu terpenuhi, dengan sendirinya pemburu rente akan lenyap. Sebaliknya, pemburu rente akan merajalela ketika jalan masuk ke pasar dihalangi sehingga tanpa sadar akan memunculkan pasar baru bagi pencari rente. Pendeknya, bila halangan masuk ke pasar semakin besar, maka setiap pelaku bisnis akan berupaya sekuat tenaga untuk memengaruhi pemerintah atau pihak lain yang dianggap dapat membantunya untuk masuk ke pasar. Lebih dari segalanya, perilaku mencari rente dapat dikurangi jika tidak dapat dihapuskan melalui kebijakan yang tepat, seperti mengubah kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan tariff, membuat aliran informasi, mengaplikasikan sangsi moral, dan menerapkan kebijakan liberalisasi dan privatisasi yang terukur.

TEORI REDISBUTIVE COMBINES DAN KEADILAN

Di kalangan perumus kebijakan, ada tradisi untuk menggunakan hokum sebagai alat untuk membagi-bagikan kekayaan yang ada dan bukan untuk mendorong terciptanya kekayaan baru. Bagi suatu Negara yang tidak menyadari bahwa kekayaan dan sumber daya dapat bertambah besar bila ada dorongan untuk menciptakannya dari suatu system kelembagaan yang tepat dan bahwa anggota masyarakat yang paling papa sekalipun dapat menghasilkan kekayaan, maka redistribusi langsung merupakan cara satu-satunya yang terbayangkan oleh pengambil kebijakan. Cara pandang seperti ini sama sekali tidak mempertimbangkan realitas bahwa suatu peraturan dapat mengubah keputusan yang diambil oleh orang di bidang ekonomi dan mengubah peluang ekonomi yan terbuka baginya (de Soto,1992:249-250). Sayangnya, model kebijakan seperti inilah yang sering diambil oleh pemerintah sehingga perekonomian secara keseluruhan kehilangan kesempatan untuk menciptakan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

Secara lebih lanjut, menurut de Soto (1992:250-251), pengambil kebijakan (pemerintah) lebih memberi tekanan kepada kegiatan menyaring dan memilih-milah kelompok-kelompok kepentingan khusus, memilih kelompok-kelompok kepentingan yang mereka anggap tepat dan mengalihkan sumber daya kepada kelompok-kelompok bersangkutan melalui saluran hokum. Setiap kali pemerintah memberikan perlakuan istimewa atau pengumpulan pajak, menurunkan harga, memberikan perlindungan permanen dan kelompok pekerja tertentu sehingga merek tidak dapat dipecat, atau memberikan hak khusus pada bidang usaha tertentu; maka berarti dengan sendirinya diciptakannya pula biaya dan manfaat yang melenyakan rangsangan dan peluag bagi pihak-pihak yang lain. Dengan begitu, salah satu tujuan dari kelompok-kelompok kepentingan ini adalah redistribusi yang menguntungkan mereka atau anggota-anggota mereka. Persaingan untuk memperoleh hak-hak khusus ini, yang berjalan melalui proses pembuatan peraturan, mengakibatkan masyarakat tertular permainan politik, dan banyaknya peraturan yang buruk menimbulkan berbagai biaya bagi sektr informal dan sector formal adalah akibat langsung dari persaingan ini.

Proporsi tersebut sangat dekat dengan teori regulasi ekonomi yang dikembangkan oleh Joseph Stigler. Teori ini memusatkan perhatiannya untuk menerangkan siapa yang mendapatkan manfaat dan siapa yang menanggung beban akibat adanya suatu reguisasi atau aturan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah ataupun yang terjadi karena institusionalisasi yang terjadi di dalam masyarakat. Menurut Stigler ( Rachbini,1996:131-132), ada dua alternative pandangan tentang bagaiman suatu peraturan diberlakukan. Pertama, peraturan dilembagakan terutama untuk memberlakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk public atau sebagai sub-kelas dari public tersebut. Kedua, suatu tipe analisis di mana proses politik dianggap merupakan suatu penjelasan yang rasional. Pada posisi ini, masalah peraturan ekonomi adalah bagian dari proses politik dan fenomena ekonomi. Di dalam system politik yang demokratis, system politik dapat menjadi medium yng tepat bagi penduduknya.

Kembali kepada masalah pemanfaatan hokum bagi kepentingan kelompok tertentu, saat ini perkembangannya sudah sedemikian memuncak sehingga pembentukan organisasi untuk memperoleh pendapatan dengan cuma-cuma (unearned income) yang dibagikan oleh negara atau disalurkan melalui system hokum atau seidak-tidaknya untuk melindungi diri dari proses ini dengan membentuk apa yang dinamakan redistributive combines ( kelompok redistribusi), yang tidak terbatas pada bidang-bidang yang lazimnya erat berhubungan dengan kegiatan politik-partai politik, media massa, atau organisasi informal-tetapi meluas sampai ke perusahaan-perusahaan dan bahkan pada keluarga-keluarga. Perubahan-perubahan pada susunan dan pimpinan puncak direksi perusahaan sering disebabkan oleh perubahan dalam pemerintah. Kelompok-kelompok ini selalu bertarung satu sama lain untuk menjaga jangan sampai suatu peraturan baru mengancam kepentingan mereka, tetapi juga dapat menguntungkan. Akibatnya, pihak yang berwenang di Negara jika membuat peraturan huku hampir selalu semata-mata untuk tujuan membagi-bagi pendapatan tanpa kerja dan menjadikan Negara sebagai sebuah demokrasi kelompok-kelompok kepentingan (de Soto,1992:251). Realitas inilah yang terjadi Peru (tempat penelitian de Soto) dan Negara-negara berkembang lainnya. Di Negara ini regulasi yag diciptakan oleh pemerintah/Negara semata-mata dipasok untuk memenuhi kebutuhan pencari rente.

Menurut Rachbini (1996:96), dalam pola redistributive combines ini sumber-sumber ekonomi , aset produktif, dan modal didistribusikan secara terbatas hanya di lingkungan segelintir orang. Dengan demikian, di dalam suatu Negara korporatis kesejahteraan dan hasil-hasil pembangunan ekonimi hanya bergulir di lingkungan terbatas-puncak kekuasaan dan segelintir pengusaha besar yang mendapat privilege khusus. Dalam kerangka pemikiran Hernando de Soto, berlakunya pola redistributive combines ini terjadi karena system politik yang tertutup karena dilindungi system hukum yang kabur dan ketiadaan rule of law di bidang ekonomi. Dengan demikian, system ekonomi bersedia mengabdi pada system politik dengan pola redistributive combines tersebut. Sistem hukum sengaja dibiarkan kabur dan prosedur penetapannya dikendalikan di tangan kekuasaan eksekutif sehingga produk hukum yang muncul tetap berpihak kepada penguasa.

Di samping itu, menarik juga untuk menghubungkan teori redistributive combines yang dikembangkan oleh de Soto dengan teori keadilan (theory of justice) yang dibangun oleh John Rawls. Relasi antara dua teori ini dapat dilacak dari dua logika berikut. Pertama, teori redistributive combines mengandaikan adanya otoritas penuh dari Negara/pemerintah untuk mengalokasikan kebijakan kepada kelompok-kelompok (ekonomi) yang berkepentingan terhadap kebijakan tersebut. Masalahnya, Negara/pemerintah bukanlah agen netral, tetapi organ yang memiliki kepentingan (seperti yang diansumsikan dalam teori pilihan public). Akibatnya, kebijakan yang muncul sebagai hasil dari interaksi antara kelompok kepentingan (ekonomi) dan pemerintah sering kali hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yag lain. Jadi, di sini muncul isu ketidakadilan. Keuda, kelompok kepentingan (ekonomi) yang eksis tidak selamanya mengendalikan tingkat pemerataan seperti yang diharapkan, khususnya masalah kekuatan ekonomi (economic power). Kasus struktur produksi pada siste kapitalis barangkali dapat mewakili proposisi ini, bahwa struktur kepemilikan modal inheren di dalam dirinya memiliki kekuatan lebih daripada struktur lainnya. Dengan kondisi ini, struktur yang ada akan mendikte perilaku agen yang bekerja di bawahnya. Atau dalam bahasan yang lebih jelas, kelompok kepentingan (ekonomi) yang memiliki modal besar dipastikan akan lebih mampu membeli kebijakan pemerintah daripada kelompok kepentingan yang modalnya cekak.

Dengan pemahaman tersebut, Rawls akhinya mengonseptualisasikan teori keadilan yang bertolak dari dua prinsip : (i) setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang sejajar ( equal basic liberties), yang sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan yang dimiliki oleh orang lain; dan (ii) ketimpangan social dan ekonomi harus ditangani sehingga keduanya : (a) diekspresikan secara logis ( reasonably expected ) menguntungkan bagi setiap orang ; dan (b) dicantumkan posisi dan jabatan yang terbuka bagi seluruh pihak ( Rawls,1999:53). Prinsip-prinsip inilah yang kemudian membawa Rawls pada sikap untuk meyakini bahwa sebetulnya keadilan (justice) itu tidak lain sebagai kepatutan/kepantasan (fairness). Pada titik ini, sebuah kebijakan yang mengandaikannya adanya relasi antara actor dan struktur dengan sendirinya akan memunculkan ketidakadilan apabila isi dari kebijakan tersebut mengandung unsur ketidakpatutan (unfairness). Dalam konteks kebijakan ekonomi, bisa saja secara rasional kebijakan tersebut logis ( khususnya jika dilihat dari konfigurasi pemain dan struktur yang memproduksinya), namun dari sisi keadilan mengandung hal-hal yang tidak patut. Atas nama nilai-nilai ini, yakni kepatutatn, kebijakan tersebut menurut Rawls dinyatakan cacat karena bersifat tidak adil.

Melalui cara berpikir tersebut, Rawls percaya bahwa suatu kebaikan datang dari sesuatu yang benar (good comes from what is right) dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, dia memfokuskan seluruh pemikirannya untuk menciptakan system prinsip politik (political principles) yang berbasis kontrak (contract) atau kesetaraan (equality). Prinsip inilah yang kemudian membedakan konsep keadilan procedural (procedural justice) dengan prinsip keadilan social (social justice) yang dikembangkan oleh Rawls. Keadilan social ini diarahkan kepada penyiapan penilaian terhadap sebuah standar aspek distribusi dari strukur dasar masyarakat. Dengan begitu, keadilan social-seperti yang telah diungkapkan, berdiri di atas bangunan kepatutan (justice as fairness). Hal ini terjadi karena prinsip keadilan tersebut-seperti yang diklaim oleh Rawls-akan menghasilkan kesepakatan dan negosiasi yang imparsial, yakni situasi yang didesain untuk memperkuat ketiadaan kepentingan perwakilan yang dapat dibebankan kepada pihak lain ( Little,2002:59-60). Poin inilah yang menjadi kunci dari teori keadilan yang digagas oleh Rawls.

Selain itu, dalam kaiannya dengan pasar bebas (liberalisasi), teori keadilan Rawls merupakan kritik terhadap teori keadilannya Adam Smith. Rawls sependapat bahwa system pasar bebas sejalan dengan prinsip pertama keadilannya, yakni sejalan dengan kebebasan yang sama dan kesamaan kesempatan yang fair. Pasar bagi Rawls cocok sekali dengan konsesinya mengenai keadilan procedural yang fair. Rawls juga setuju dengan konsep Smith mengenai perwujudan diri manusia sesuai dengn plihan bebas dan usaha setiap orang. Ia juga sepakat dengan Smith bahwa pasar bebas menyediakan kemungkinan terbaik bagi perwujudan penentuan diri manusia. Namun, Rawls melihat bahwa,terlepas dari realitas bahwa pasar bebas sejalan dengan prinsip pertama dari konsep keadilannya, mekanisme pasar bebas gagal berfungsi secara baik, paling kurang dalam pengertian sebagai berikut (Keraf, 1996:262-263)

dalam sistem kebebasan kodrati.. (memang ada) kesamaan kesempatan yang formal, dalam pengertian bahwa semua orang paling kurang mempunyai hak legal yang sama untuk akses padasemua kedudukan sosial yang menguntungkan. Tetapi karena tidak ada usaha untuk mempertahankan suatu kesamaan, atau kemiripan, kondisi sosial.. distribusi awal dari aset aset untuk suatu periode tertentusangat dipengaruhi oleh keadaan alamiah dan sosial yang kebetulan. Distribusi pendapatan dan kemakmuran yang ada, demikian dapat dikatakan, merupakan akibat kumulatif dari distribusi aset alamiah~yaitu bakat dan kemampuan sebelum distribusi pasar bebas

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ekonomi politik merupakan upaya individu/kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Kelompok bisnis dan perseorangan, mencari rente ekonomi ketika mereka menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki.

Teori pilihan publik menjelaskan tentang kajian tindakan rasional dari aktor-aktor politik (sebagai pusat kajian) di parlemen, lembaga pemerintahan, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih, pecinta lingkungan, dll.

Teori redistributive combines menjelaskan tentang sumber-sumber ekonomi, aset produktif, dan modal didistribusikan secara terbatas hanya di lingkungan segelintir orang.Di dalam suatu negara korporatis kesejahteraan dan hasil-hasil pembangunan ekonomi hanya bergulir di lingkungan terbatas puncak kekuasaan dan segelintir pengusaha besar yang mendapat privelege khusus.