Sejarah Dan Dasar Hukum Ketenagaan

download Sejarah Dan Dasar Hukum Ketenagaan

of 15

Transcript of Sejarah Dan Dasar Hukum Ketenagaan

BAB 1. KETENAGAAN

1.1 Sejarah dan Dasar Hukum

Tenaga kesehatan merupakan komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang sesuai dengan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Selaku komponen utama pemberi pelayanan kesehatan tentunya keberadaan, peran, dan tanggung jawab tenaga kesehatan sangatlah penting dalam kegiatan pembangunan kesehatan. Agar pelaksanaan dan pendayagunaan

terhadap keberadaan, peran, dan tanggung jawab tenaga kesehatan tersebut berjalan dengan baik, seimbang, teratur, terjaga mutunya, dan terlindungi baik bagi tenaga kesehatan itu sendiri maupun bagi masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan tersebut tentu perlu pengaturan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Berikut ini adalah darar hukum ketenagaan di Indonesia : UU No. 23/1992 tentang Kesehatan (tidak berlaku) UU No. 36/2009 tentang Kesehatan PP No. 20/1962 tentang Lafal Sumpah/Janji Apoteker PP No. 41/1990 tentang Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker (tidak

berlaku) PP No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Permenkes Permenkes

No. No.

184/Menkes/Per/II/1995 149/Menkes/Per/II/1998

tentang tentang

Penyempurnaan Perubahan Atas

Pelaksanaan Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker (tidak berlaku) Permenkes No. 184/Menkes/Per/II/1995 ttg Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker(tidak berlaku)

1

Permenkes No. 695/Menkes/Per/VI/2007 ttg Perubahan Kedua Atas

Permenkes No. 184/Menkes/Per/II/1995 ttg Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker (tidak berlaku) Permenkes No. 161/Menkes/Per/I/2010 ttg Registrasi Tenaga Kesehatan Pada awalnya apoteker wajib melaksanakan Masa Bakti Apoteker (MBA). Masa bakti adalah masa pengabdian profesi apoteker dalam rangka menjalankan tugas yang diberikan oleh Pemerintah pada suatu sarana kesehatan. Untuk menjalan tugas tersebut dibutuhkan Surat Penugasan (SP). Setelah 3 tahun MBA, apoteker akan mendapatkan Surat Keterangan Bukti Telah Menjalankan MBA. Surat keterangan ini akan digunakan sebagai prasyarat untuk memperoleh Surat Izin Kerja (SIK).1.2 Tenaga Kesehatan

Undang-Undang yang mengatur tentang tenaga kesehatan adalah UU No. 36/2009, sedangkan semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 21 UU 36/2009). Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 36/2009, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang diatas dapat diketahui bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi persyaratan untuk dapat melaksanakan tugasnya. Persyaratan tersebut diatur dalam PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, antara lain: Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang

kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.

2

Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri Kesehatan. Dikecualikan dari pemilikan ijin bagi tenaga kesehatan masyarakat Tenaga Kesehatan berdasarkan jenisnya diklasifikasikan menjadi 7 jenis tenaga kesehatan berdasarkan PP No. 32 tahun 1996. Tenagan kesehatan terdiri dari : 1. Tenaga Medis Terdiri dari dokter & dokter gigi. 2. Tenaga Keperawatan Terdiri dari perawat & bidan 3. Tenaga Kefarmasian Terdiri dari apoteker, analis farmasi , & asisten apoteker.4. Tenaga Kesehatan Masyarakat

Terdiri dari epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan, & sanitarian. 5. Tenaga Gizi Terdiri dari nutrisionis & dietisien. 6. Tenaga Keterapian Fisik Terdiri dari fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara. 7. Tenaga keteknisian medis Terdiri dari radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi, & perekam medis. Sampai saat ini kualitas tenaga kesehatan masih belum memenuhi standar sesuai dengan harapan. Hal ini menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan RI untuk segera melakukan pengaturan-pengaturan dengan tujuan dapat meningkatkan mutu tenaga kesehatan itu sendiri, melindungi tenaga kesehatan itu sendiri dalam melakukan tugas keprofesiannya dan memberikan kepastian hukum. Pengaturan ini diperlukan karena tenaga kesehatan mempunyai spesifikasi tertentu dan berhubungan dengan manusia dimana kesehatan merupakan hak asasi.

3

Untuk melakukan Pengaturan tersebut, Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 161/Menkes/Per/I/2010, tentang Registrasi tenaga Kesehatan sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan. Registrasi adalah adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah mempunyai sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya Dalam peraturan tersebut dipersyaratkan agar seluruh tenaga kesehatan yang baru menyelesaikan pendidikan harus mengikuti uji kompetensi yang dilaksanakan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MKTI) untuk mendapatkan sertifikat kompetensi. Setelah memiliki sertifikat kompetensi maka tenaga kesehatan melakukan registrasi sehingga akan mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR). STR adalah adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah diregistrasi setelah memiliki sertifikat kompetensi. Ketentuan registrasi tenaga kesehatan dalam peraturan ini tidak berlaku bagi tanaga medis dan tenaga kefarmasian. 1.3 Tenaga Kefarmasian Menurut PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kefarmasian terdiri dari apoteker, asisten apoteker, dan analis farmasi. Tenaga kefarmasian menurut PP no. 32 tahun 1996 tidak berlaku setelah keluar PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Menurut PP No. 51 tahun 2009, tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri dari apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan tanaga menengah farmasi/asiten apoteker). Tenaga kefarmasian harus memenuhi persyaratan untuk dapat melaksanakan tugasnya, yakni harus memiliki keahlian dan kewenangan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian yang berdasarkan pada Standar Profesi Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan. Selain itu setiap tenaga kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi, yakni untuk apoteker berupa4

STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) dan untuk tenaga teknis kefarmasian berupa STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian). STRA dikeluarkan oleh Mentri Kesehatan. STRA berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun apabila memenuhi syarat yang ditetapkan dalam PP No. 51 tahun 2009. Untuk apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia harus memiliki STRA setelah melakukan adaptasi pendidikan. STRA bagi Apoteker lulusan luar negeri dapat berupa: STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) PP No. 51 tahun 2009 atau STRA Khusus. Dalam melaksanakan tugas Pelayanan Kefarmasian apotek, puskesmas, atau instalasi farmasi rumah sakit, Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK. Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja berupa: a. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, Puskesmas atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit;b.

SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan

sebagai Apoteker pendamping;c.

fasilitas kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; ataud.

Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian. Surat izin tersebut dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat PekerjaanKefarmasian dilakukan. Untuk mendapat surat izin, Tenaga Kefarmasian harus memiliki: a. STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih berlaku;b. Tempat atau ada tempat untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian atau

fasilitas kefarmasian atau Fasilitas Kesehatan yang memiliki izin; danc. Rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat. 5

Surat Izin batal demi hukum apabila Pekerjaan Kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin.1.4 Pekerjaan Kefamasian dan Praktik Kefarmasian

Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 1, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian memiliki pekerjaan kefarmasian dan fasilitas ksehatan yang berbeda. Apoteker memiliki tanggung jawab terhadap pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi di industri farmasi, industri OT, pabrik kosmetik, PBF, apotek, instalasi farmasi RS, puskesmas, klinik, praktek bersama. Sedangkan tenaga teknis kefarmasian hanya berhak melakukan pelayanan sediaan farmasi di toko obat. Apoteker memiliki tugas dan tanggung jawab tertentu dalam pekerjaan kefarmasian dan prakik kefarmasian. Menurut UU No. 36/2009 pasal 108 ayat 1, praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pekerjaan kefarmasian pada PP No. 51 tahun 2009 dan praktek kefarmasian UU No. 36/2009 memiliki pengertian yang sama, hanya berbeda dalam hal pengelolaan obat. Pada praktik kefarmasian tidak terdapat kata pengelolaan obat. Menurut penjelasan umum pada PP No. 51 tahun 2009 , pengelola obat mengandung pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).

6

1.5 Ketentuan Pidana Dalam UU No. 36/2009 juga mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan praktik kefarmasian. Berdasarkan UU No. 36/2009 pasal 196 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam pasal 197 dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Dan dalam pasal 198 disebutkan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

7

BAB 2. FASILITAS PRODUKSI

2.1 Dasar Hukum

Dasar Hukum yang mengatur tentang fasilitas produksi antara lain : UU No. 5/1984 tentang Perindustrian

PP No. 17/1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan, Dan Pengembangan Industri PP No. 13/1995 tentang Izin Usaha Industri Keppres No. 16/1987 tentang Penyederhanaan Pemberian Izin Usaha Industri

UU No. 5/1997 tentang Psikotropika UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal

Perpres 36/2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal

UU No. 35/2009 tentang Narkotika UU No. 36/2009 tentang Kesehatan

PP No. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

PP No. 44/2010 tentang Prekursor Permenkes No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

2.2 Definisi Menurut UU No. 5/1984 tentang Perindustrian, industri Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Penyerahan kewenangan tentang pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kewenangan8

pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri yang disebutkan dalam UU No. 5/1984 dijabarkan lebih lanjut dalam PP 17/1986. Kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri berada di tangan Presiden yang pelaksanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian. Kewenangan pengaturan meliputi perumusan dan penetapan kebijaksanaan di bidang pembangunan industri. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut Menteri Perindustrian selalu memperhatikan petunjuk dan menyampaikan laporan berkala kepada Presiden. Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 1 dalam PP 17/1986, pelaksanaan kewenangan pembinaan dan pengembangan industri tertentu diserahkan kepada Menteri lainnya, yaitu: Menteri Pertambangan dan Energi memiliki kewenangan pada Industri-industri penyulingan minyak bumi, pencairan gas alam, pengolahan bahan galian bukan logam tertentu, pengolahan bijih timah menjadi ingot timah, pengolahan bauksit meniadi alumina, pengolahan bijih logam mulia menjadi logam mulia. pengolahan bijih tembaga menjadi ingot tembaga, pengolahan bahan galian logam mulia lainnya menjadi ingot logam, pengolahan bijih nekel menjadi ingot nekel. Sedangkan Industri-industri gula pasir dari tebu, ekstraksi kelapa sawit, penggilingan padi dan penyosohan beras, pengolahan ikan di laut, teh hitam dan teh hijau, vaksin, sera, dan bahan-bahan diagnostika biologis untuk hewan, diserahkan kepada Menteri Pertanian. Dan untuk idustri bahan obat dan obat jadi termasuk obat asli Indonesia, diserahkan kepada Menteri Kesehatan. Penyerahan kewenangan pembinaan dan pengembangan di bidang-bidang industri tersebut, disertai pula dengan kewenangan pengaturan yang meliputi perumusan dan penetapan kebijaksanaan yang bersifat teknis di bidang bidang yang bersangkutan. Berdasarkan PP 13/1995, untuk melakukan kegiatan usaha industri, suatu industri harus memiliki izin usaha industri. Izin Usaha Industri diberikan kepada Perusahaan Industri yang telah memenuhi semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan telah selesai membangun pabrik dan sarana produksi. Untuk

9

memperoleh izin usaha industri diperlukan tahap Persetujuan Prinsip. Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan diberikan oleh Menteri dan dapat dilimpahkan. Izin Usaha Industri berlaku untuk seterusnya selama perusahaan industri yang bersangkutan berproduksi. Perusahaan Industri tersebut wajib menyampaikan informasi secara berkala mengenai kegiatan usahanya dengan menyebut jenis dan komoditi, jumlah serta nilai dari masing-masing produk yang dihasilkan, sekali dalam 3 (tiga) bulan berdasarkan KEPPRES 16/1987. Untuk Industri yang memproduksi psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan untuk indutri yang memproduksi narkotika, Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (UU 35/2009). Begitu pula dengan industri yang memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (PP 72/1998). Tidak hanya indutri yang membutuhkan izin untuk dapat melakukan kegiatan produksi, tetapi penyelenggaraan sarana kesehatanpun memerlukan izin karena hasil produksi dari industri akan didistribusikan ke sarana kesehatan. Menurut UU 23/1992 Ps 56 (1) Sarana kesehatan meliputi: balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan akademi kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya.2.3 Ketenagaan dan Fungsi

Apoteker merupakan salah satu ketenagaan yang memiliki peran dalam indutri, terutama industri farmasi. Berdasarkan PP 51/2009 sautu industri farmasi harus memiliki minimal 3 orang apoteker sevagai penanggung jawab dibidang10

pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu. Sedangkan untuk Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 orang apoteker sebagai penanggung jawab. Agar suatu bidang usaha bisa berjalan tidak hanya membutuhkan ketenagaan saja, tetapi juga permodalan. Sumber permodalan bisa berasal dari modal dalam negri dan modal asing. Pemerintah membatasi penanaman modal yang bersal dari modal asing berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya yang diatur dalam UU 25/2007. Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undangundang. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menetapkan Daftar Negatif Investasi (DNI). DNI adalah acuan bagi para pemodal baik itu yang berasal dari pemodal asing maupun lokal, guna menentukan pilihan dalam bidang investasi di Indonesia. Untuk bidang kesehatan pemerintah menetapkan batas kepemilikan modal asing yang tertuang dalam Perpres 36/2010. Untuk usaha industri farmasi modal asing maksimal 75%, untuk produsen dan PBF narkotik batas kepemilikan modal tergantung izin khusus dari menteri kesehatan. Dan untuk PBF, OT, Apotek, toko obat tidak boleh dimasuki oleh modal asing. Untuk industri farmasi pemerintah mengeluarkan Permenkes 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi yang mencakup ketentuan umum, izin industri farmasi, penyelenggaraan, pelaporan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Menurut Permenkes 1799/Menkes/Per/XII/2010 Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki

11

izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Sedangkan untuk izin industri farmasi dikeluarkan oleh Dirjen Binfar & Alkes dan berlaku untuk seterusnya selama Industri yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Tahapan perizinan pendirian indutri farmasi secara garis besar dibagi 2 yakni tahap persetujuan prinsip dan ahap permohonan izin industri farmasi. Alur perizinan pendirian industri farmasi antara lain : pemohon mengajukan permohonan RIP dan DNI untuk memperoleh persetujuan izin prinsip. Izin prinsip berlaku selama 3 tahun dan jika belum selesai dalam waktu 3 tahun, maka dapat dilakukan perpanjangan waktu 1 tahun. jadi pemohon diberi waktu 3 tahun untuk melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selama itu pemohon juga harus memberikan laporan kemajuan. Setelah pembangunan fisik selesai dan siap melakukan kegiatan produksi, maka pemohon mengajukan permohonan izin industri farmasi. Selanjutnya akan dilakukan audit termasuk audit CPOB. Jika hasil audit memenuhi persyaratan maka dikeluarkan surat rekomendasi sehingga akan diperoleh izin industri farmasi seperti pada bagan pada gambar 1.

Gambar 1. Alur Perizinan Industri Farmasi12

2.4 Distribusi Industri Farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan industri farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasi, dan instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pemerintah juga berperan dalam mengawasi kegiatan industri farmasi yang tertuang dalam Permenkes 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Industri farmasi wajib melakukan pelaporans sekali dalam 6 bulan mengenai jumlah dan nilai produksi setiap obat dan bahan obat. Dan sekali dalam 1 tahun mengenai bentuk sediaan, satuan, kapasitas terpasang, kapasitas izin pertahun, realisasi, pemasaran kepada Kepala Badan POM. Untuk pembinaan Industri farmasi dilakukan oleh Dirjen Binfar dan Alkes sedangkan pengawasan industri farmasi dilakukan oleh Kepala Badan POM. Pengawasan yang dilakukan meliputi: Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan

pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat; Membuka dan meneliti kemasan obat dan bahan obat; Memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan

mengenai

kegiatan

pembuatan,

penyimpanan,

pengangkutan,

dan

perdagangan obat dan bahan obat, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau Mengambil gambar (foto) seluruh atau sebagian fasilitas dan peralatan

yang digunakan dalam pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau perdagangan obat dan bahan obat.13

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa 1. Peringatan 2. Larangan mengedarkan 3. Perintah pemusnahan 4. Penghentian sementara kegiatan 5. Pembekuan izin industri farmasi 6. Pencabutan izin industri farmasi 2.5 Ketentuan Pidana Dalam UU No. 36/2009 juga mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan praktik kefarmasian. Berdasarkan UU No. 36/2009 pasal 196 disebutkan bahwa Ketentuan pidana menurut UU Kesehatan36/2009 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan pada Pasal 197 disebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

14

15