Seger Waras
-
Upload
arwan-aja-dech -
Category
Documents
-
view
61 -
download
0
description
Transcript of Seger Waras
seger waras
Vrydag 12 April 2013
tumbang anak usia sekolah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Usia sekolah pada anak disebut juga priode intelektual, karena merupakan tahap
pertama anak menggunakan sebagian waktunya untuk mengembangkan kemampuan
intelektualnya. Anak usia ini sedang belajar di sekolah dasar (SD) dan mendapat pelajaran
tentang Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Perhatian anak sedang
ditujukan kepada dunia pengetahuan tentang dunia dan alam sekelilingnya serta senang sekali
membaca tentang cerita petualangan yang menambah pengalamannya. Pada usia ini terjadi
perubahan-perubahan dari usia sebelumnya diantaranya ialah : Minat, Kesempurnaan,
Bermain, Permasalahan, Moral, Hubungan Keluarga, Salah Didikan.
Bermain merupakan hal yang amat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Melalui bermain, anak akan belajar tentang dunia sekitarnya dan belajar berkomunikasi
dengan obyek, waktu, lingkungan yang berhubungan dengan orang lain. Juga dengan bermain
anak akan belajar menghadapi berbagai macam stres.
Aktivitas bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan bagi anak, meskipun
hal tersebut tidak menghasilkan komoditas tertentu misalnya keuntungan financial ( uang ).
Anak bebas mengekspresikan perasaan takut, cemas, gembira, atau perasaan lainnya, sehingga
dengan memberikan kebebasan bermain orang tua mengetahui suasana hati anak.
Anak dengan usia sekolah mempunyai pola pikir yang lebih berkembang dibanding usia
sebelumnya, cara mereka memilih permainan pun berbeda. Untuk itulah kami akan membahas
apa sebernarya bermain yang mendidik itu dan bagaimana bentuk permainan yang mendidik
untuk anak usia sekolah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep bermain dalam pengaruhnya dalam tumbuh kembang anak?
2. Apa yang dimaksud dengan Alat Permaianan Edukatif?
3. Bagaimana penggunaan Alat Permainan Edukatif pada anak usia sekolah?
C. TUJUAN
Tujuan Umum : Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui konsep bermain.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Alat Permainan Edukatif.
3. Mengetahui bagaimana APE pada anak usia sekolah.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP BERMAIN
1. Pengertian Bermain
Bermain merupakan cara ilmiah bagi seorang anak untuk mengungkapkan konflik yang
ada dalam dirinya yang pada awalnya anak belum sadar bahwa dirinya sedang mengalami
konflik.
Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah satu alat paling
penting untuk menatalaksanakan stres karena hospitalisasi menimbulkan krisis dalam
kehidupan anak, dan karena situasi tersebut sering disertai stress berlebihan, maka anak-anak
perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat
koping dalam menghadapi stress. Bermain sangat penting bagi mental, emosional dan
kesejahteraan anak seperti kebutuhan perkembangan dan kebutuhan bermain tidak juga
terhenti pada saat anak sakit atau anak di rumah sakit (Wong, 2009).
Bermain adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial dan
bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain , anak akan
berkata-kata, belajar memnyesuaikan diri dgn ling, melakukan apa yang dapat dilakukan, dan
mengenal waktu, jarak, serta suara .(Wong, 2009).
Bermain adalah cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik dalam dirinya
yang tidak disadarinya.
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan sesaui dgn keinginanya sendiri dan
memperoleh kesenangan.
Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan merupakan aspek terpenting
dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang paling efektif menurunkan stres pada
anak dan penting untuk mensejahterakan mental dan emosional anak (Champbel & Glaser,
1995 dikutip oleh Supartini, 2004). Bermain dapat dijadikan sebagai suatu terapi karena
berfokus pada kebutuhan anak untuk mengekspresikan diri mereka melalui penggunaan
mainan dalam aktivitas bermain dan dapat juga digunakan untuk membantu anak mengerti
tentang penyakitnya.
Pengertian lain mengenai bermain disampaikan oleh Foster dan Pearden yang
didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang anak secara sungguh-
sungguh sesuai dengan keinginannya sendiri / tanpa paksaan dari orang tua maupaun
lingkungan dimana dimaksudkan semata hanya untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan.
Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa bermain adalah kegiatan yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari. Sam,ma halnya dengan bekerja pada
orang dewasa yang dapat digunakan untuk menurunkan stress, media yang dapat digunakan
sebagai belajar kkomunikasi dengan lingkungan, dan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, belajar mengenal sekitar kehidupannya, dan penting untuk menningkatkan
kesejahteraan mental dan social anak.
2. Teori – teori Bermain
Bermain merupakan sebuah kesatuan yang komplek yang merupakan aktifitas spontan,
unik, tidak direncanakan, dan aktif baik kemampuan motorik maupun kognitif. Ada enam
macam teori bermain yaitu :
a. Teori Rekreasi.
Teori ini dikemukakan oleh Schaller pada tahun 1841 dan Lazarus pada tahun 1884 yang
menyebutkan bahwa “Permainan adalah suatu kesibukan untuk menenangkan pikiran dan atau
untuk beristirahat”. Misalnya pada orang sibuk bekerja maka ia perlu bermain untuk
mengembalikan energinya yang hilang dan kesegaran badannya
b. Teori Kelebihan tenaga / Teori Pelepasan
Teori ini dikemukakan oleh Herbert Spencer dari Inggris tahun 1968, bahwa “ Kegiatan
bermain pada anak karena ada kelebihan tenaga”.Dengan adanya tenaga yang berlebihan pada
diri anak dapat dilepaskan melalui kegiatan bermain sehingga dalam diri anak tetap terjaga.
c. Teori Atavistis
Seorang psikolog dari Amerika yang bernama Stanley Hall pada tahun 1970 menyebutkan
bahwa “Di dalam permainan akan timbul bentuk-bentuk perlaku seperti bentuk kehidupan
yang pernah dialami oleh nenek moyang”.Contohnya bermain kelereng yang telah dilakukan
sejak jaman Yunani kuno, tatap dilakukan sampai sekarang
d. Teori Biologis
Tokoh teori ini Karl Gross dari Jerman pada tahun 1905 yang kemudian dikembangkan oleh
Dr. Maria Montessori pada tahun1907 dari Italia, teori ini mengatakan bahwa “Permainan
mempunyai tugas-tugas biologis untuk melatih bermacam-macam fungsi jasmani dan rohani.
e. Teori Psikologi Dalam
Orang yang merupakan tokoh dalam teori ini adalah Sigmund Freud tahun1961 dan Adler
pada tahun1967. Menurut Freud “Permainan merupakan bentuk pemuasan nafsu seksual di
daerah bawah sadar”.
3. Klasifikasi Bermain
Ada beberapa jenis permainan, baik ditinjau dari isi permainan maupun karakter sosialnya.
Berikut ini beberapa klasifikasi permainan menurut supartini, 2004.
a Menurut isinya
1) Sosial affective play : hubungan interpersonal yang menyenangkan antara anak dengan orang
lain (Contoh: ciluk-baa).
2) Sense of pleasure play : permaianan yang sifatnya memberikan kesenangan pada anak
(Contoh : main air dan pasir).
3) Skill play : permainan yang sifatnya memberikan keterampilan pada anak (Contoh: naik
sepeda).
4) Dramatik Role play : anak bermain imajinasi/fantasi (Contoh: dokter dan perawat). Games :
permaianan yg menggunakan alat tertentu yg menggunakan perhitungan / skor (Contoh : ular
tangga).
5) Un occupied behaviour: anak tidak memainkan alat permainan tertentu, tapi situasi atau objek
yang ada disekelilingnya , yg digunakan sebagai alat permainan(Contoh : jinjit-jinjit,
bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja).
b Karakter sosial
1) Onlooker play : anak hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif
utk ikut berpartisifasi dalam permainan(Contoh : Congklak).
2) Solitary play : anak tampak berada dalam kelompok permaianan, tetapi anak bermain sendiri
dengan alat permainan yang dimilikinya.
3) Parallel play : anak menggunakan alat permaianan yg sama, tetapi antara satu anak dgn anak
lain tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak satu dengan lainya, tidak ada
sosialisasi.
4) Associative play : permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak dgn anak lain,
tetapi tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin dan tujuan permaianan tidak jelas (EX bermain
boneka,masak-masak).
5) Cooperative play : aturan permainan dlm klp tampak lebih jelas pada permaiann jenis ini, dan
punya tujuan serta pemimpin (EX : main sepak bola).
4. Tahap Perkembangan Bermain
a. Mildred Parten (1932) Dalam Lifespan Development karya Jeffrey Turner dan Donald B.
Helms (1993), Mildred Parten menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi. Ia pun
mengamati ada enam bentuk interaksi antar anak yang terjadi saat mereka bermain. Pada
keenam bentuk kegiatan bermain tersebut terlihat adanya kadar interaksi sosial, mulai dari
kegiatan bermain sendiri sampai bermain bersama. Selengkapnya perkembangan tersebut
yaitu:
1) Unoccupied play (bermain tidak sibuk)
Pada tahap ini anak tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain, melainkan hanya
mengamati kejadian di sekelilingnya yang menarik perhatian anak. Bila tidak ada hal yang
menarik, anak akan menyibukkan diri dengan melakukan berbagai hal, seperti memainkan
anggota tubuhnya, mengikuti orang lain, berkeliling atau naik turun kursi tanpa tujuan yang
jelas.
2) Solitary play (bermain sendiri)
Solitary play biasanya tampak pada anak yang berusia amat muda. Anak sibuk bermain
sendiri, dan tampaknya tidak memperhatikan kehadiran anak-anak lain di sekitarnya.
Perilakunya egosentris, dengan ciri-ciri antara lain tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan
anak lain. Mencerminkan sikap memusatkan perhatian pada diri sendiri dan kegiatannya
sendiri. Anak lain baru dirasakan kehadirannya manakala misalnya mengambil alat
permainannya.
3) Onlooker play (penonton/pengamat)
Onlooker play yaitu kegiatan bermain dengan mengamati nak-anak lain yang melakukan
kegiatan bermain, dan tampak adanya minat yang semakin besar terhadap kegiatan anak lain
yang diamatinya. Jenis kegiatan bermain ini pada umumnya tampak pada anak usia 2 tahun,
atau dapat juga tampak pada anak yang belum kenal dengan anak lain di suatu lingkungan
baru, sehingga malu atau ragu-ragu untuk bergabung dalam kegiatan bermain yang sedang
dilakukan anak-anak lainnya. Oleh Laura E. Berk (1994) ketiga jenis kegiatan bermain ini
dikategorikan sebagai Nonsocial Play, karena amat minimnya faktor interaksi sosial yang
terjadi.
4) Parallel play (bermain Parallel)
Permainan model ini dilakukan secara bersama-sama oleh dua atau lebih anak, namun belum
tampak adanya interaksi di antara mereka. Mereka melakukan kegiatan yang sama secara
sendiri-sendiri. Bentuk kegiatan ini akan tampak pada anak-anak yang sedang bermain mobil-
mobilan, membuat bangunan dari alat permainan lego atau balok-balok menurut kreasi
masing-masing. Bentuk lainnya dapat berupa bermain sepeda atau sepatu roda tanpa
berinteraksi.
Mereka melakukan kegiatan paralel; kegiatan yang sama, tapi tidak ada kerja sama di antara
mereka. Hal ini dapat terjadi karena mereka masih amat egosentris dan belum mampu
memahami atau berbagi rasa atau bekerja sama dengan anak lain.
5) Assosiative play (Permainan bersama)
Permainan ini ditandai dengan adanya interaksi antar anak yang bermain, saling tukar alat
permainan, tetapi jika diamati akan tampak bahwa mereka sebenarnya tidak terlibat dalam
kerja sama. Misalnya anak yang sedang menggambar, mereka saling memberi komentar
terhadap gambar masing-masing, berbagi pensil berwarna, ada interaksi di antara mereka,
namun sebenarnya kegiatan menggambar itu mereka lakukan sendiri-sendiri. Kegiatan
bermain ini biasa tampak pada anak usia pra sekolah.
6) Cooperative Play (permainan bekerja sama )
Permainan ini ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan pembagian peran
antara anak-anak yang terlibat dalam permainan, untuk mencapai satu tujuan tertentu.
Misalnya bermain dokter-dokteran, bekerja sama membuat karya bangunan dari balok-balok
dan semacamnya. Kegiatan seperti ini biasanya tampak pada anak usia lima tahun, namun
demikian perkembangannya tergantung pada latar belakang orang tua, sejauh mana meraka
memberi kesem patan dan dorongan agar anak mau bergaul dengan sesama temannya.
Kegiatan bermain bersama teman sebenarnya merupakan sarana untuk anak bersosialisasi atau
bergaul atau membaur dengan orang lain.
Bagi Mildred Parten, jenis-jenis kegiatan bermain seperti tersebut di atas, tampil berurutan
dan menunjukkan perkembangan kegiatan bermain pada anak. Sedang menurut penelitian
mutakhir menunjukkan bahwa jenis kegiatan bermain tersbut tidaklah muncul berurutan.
Munculnya jenis kegiatan yang lebih sosial akan menghentikan tampilnya kegiatan yang lebih
nonsosial atau kurang sadar interaksi sosialnya (Mayke, 2008).
b. Jean Piaget (1962)
Sejalan dengan perkembangan kognisi atau daya pikir anak, Jean Piaget mengemukakan
tahapan bermain sebagai berikut:
1) Sensory Motor Play (Bermain yang mengandalkan indera dan gerakan-gerakan tubuh). (3
atau 4 bulan – setengah tahun).
Bermain dimulai pada periode perkembangan kognitif sensori motor, sebelum usia 3-4
bulan, gerakan atau kegiatan anak belum dapat dikategorikan bermain, kegiatan anak semata-
mata merupakan kelanjutan dari kenikmatan yang diperolehnya. Kegiatan bayi henya
merupakan pengulangan dari hal-hal yang dilakukan sebelumnya. Jean Piaget menamakannya
dengan reproductive assimilation. Meskipun demikian kegiatan tersebut merupakan cikal-
bakal dan kegiatan bermain di tahap perkembangan selanjutnya.
Sejak usia 3-4 bulan, kegiatan anak lebih terkoordinasi dan dari pengalamannya anak
belajar bahwa dengan menarik mainan yang tergantung di atas tempat tidurnya, maka mainan
tersebut akan bergerak dan berbunyi. Kegiatan seperti ini diulang berkali-kali dan
menimbulkan rasa senang, senang yang sifatnya fungsional dan senang karena dapat
menyebabkan sesuatu terjadi. Pada usia 7—11 bulan kegiatan yang dilakukan anak bukan
semata-mata berupa pengulangan, namun sudah disertai variasi.Pada usia 18 bulan baru
tampak adanya percobaan-percobaan aktif pada kegiatan bermain anak. Anak sudah semakin
mampu memvariasikan tindakannya terhadap berbagai alat permainan. Hal ini merupakan
awal dari penjelajahan sistematik terhadap lingkungannya.
2) Symbolic atau Make Believe Play (2-7 tahun)
Periode pra operasional yang terjadi antara 2-7 tahun dapat dikategorikan Symbolic atau
Make Believe Play, tandanya ialah anak dapat bermain khayal dan bermain pura-pura. Pada
masa ini anak lebih banyak bertanya dan menjawab pertanyaan, mencoba berbagai berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan konsep angka, ruang, kuantitas dan sebagainya. Seringkali
anak menanyakan sesuatu hanya sekedar bertanya, tidak terlalu memperdulikan jawaban yang
diperolehnya. Walau sudah dijawab anak akan terus bertanya lagi. Anak sudah mulai dapat
menggunakan berbagai benda sebagai simbol atau representasi benda lain. Misalnya
menggunakan sapu sebagai kuda-kudaan, menganggap sobekan kertas sebagai uang dan lain-
lain.
Bermain simbolik juga berfungsi untuk mengasimilasikan dan mengkonsolidasikan
(menggabungkan) pengalaman emosional anak. Setiap hal yang berkesan bagi anak, akan
dilakukan kembali dalam kegiatan bermainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan
bermain simbolik ini akan akan semakin bersifat konstruktif dalam arti lebih mendekati
kenyataan, merukapakan latihan berpikir serta mengarahkan anak untuk dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan nya.
3) Social Play Games with rules (+8—11 tahun)
Dalam bermain pada tahap yang tertinggi, penggunaan simbol lebih banyak diwarnai oleh
nalar dan logika yang bersifat objektif. Sejak usia 8—11 tahun anak lebih banyak terlibat
dalam kegiatan games with rules, di mana kegiatan anak lebih banyak dikendalikan oleh
aturan permainan.
4) Games with Rules and Sports (11 tahun ke atas)
Contoh lain dari kegiatan bermain yang memiliki aturan adalah olah raga. Kegiatan bermain
ini masih menyenangkan dan dinikmati anak-anak, meskipun aturannya jauh lebih ketat dan
diberlakukan secara kaku dibandingkan dengan jenis permainan yang tergolong games seperti
kartu atau kasti. Anak senang melakukannya berulang-ulang dan terpacu untuk mencapai
prestasi sebaik-baiknya (Piaget, 1951; dalam Mayke, 2008).
Dengan demikian bagi Jean Piaget, bermain pada awalnya dilakukan hanya sekedar demi
kesenangan, lambat laun mengalami pergeseran. Bukan hanya rasa senang yang menjadi
tujuan, tetapi ada suatu hasil akhir tertentu yang ingin dicapai, seperti ingin menang dan
memperoleh hasil kerja yang baik.
c. Rubin, Fein dan Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968)
Pendapat Rubin, Fein, Vandenberg dan Smilansky dalam bukunya Laura E. Berk (1994),
Child Development, dikemukakan bahwa tahapan perkembangan bermain kognitif anak
adalah sebagai berikut:
1) Bermain Fungsional (Functional Play)
Bermain seperti ini biasanya tampak pada anak berusia 1-2 tahunan berupa gerakan yang
bersifat sederhana dan berulang-ulang. Kegiatan bermain ini dapat dilakukan dengan atau
tanpa alat permainan. Misalnya: berlari-lari sekeliling ruang tamu, mendorong dan menarik
mobil-mobilan, mengolah lilin atau tanah liat tanpa maksud untuk membuat bentuk tertentu
dan yang semacamnya.
2) Bermain Bangun Membangun (Constructive Play)
Bermain membangun sudah dapat terlihat pada anak berusia 3-6 tahun. Dalam kegiatan
bermain ini anak membentuk sesuatu, menciptakan bangunan tertentu dengan alat permainan
yang tersedia. Misalnya: membuat rumah-rumahan dengan balok kayu atau potongan lego,
menggambar, menyusun kepingan-kepingan kayu bergambar dan yang semacamnya.
3) Bermain Pura-pura (Make-believe Play)
Kegiatan bermain pura-pura mulai banyak dilakukan anak berusia 3-7 tahun. Dalam bermain
pura-pura anak menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-
hari. Dapat juga anak melakukan peran imajinatif memainkan tokoh yang dikenalnya melalui
film kartun atau dongeng. Misalnya: main rumah-rumahan, polisi dan penjahat, jadi batman
atau ksatria baja hitam.
4) Permainan dengan peraturan (Games with Rules)
Kegiatan jenis ini umumnya sudah dapat dilakukan anak usia 6-11 tahun. Dalam kegiatan
bermain ini, anak sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan. Aturan
permainan pada awalhya diikuti anak berdasarkan yang diajarkan orang lain. Lambat laun
anak memahami bahwa aturan itu dapat dan boleh diubah sesuai kesepakatan orang yang
terlibat dalam permaina, asalkan tidak terlalu menyimpang jauh dari aturan umumnya.
Misalnya: main kasti, galah asin atau gobak sodor, ular tangga, monopoli, kartu, bermain tali
dan semacamnya.
5. Tujuan Bermain
Anak bermain pada dasarnya agar memperoleh kesenangan, sehingga ia tidak akan
merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti
halnya makanan, perawatan dan cinta kasih. Bermain adalah unsur yang penting untuk
perkembangan fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas dan sosial (Soetjiningsih, 2005).
Anak dengan bermain dapat mengungkapkan konflik yang dialaminya, bermain cara
yang baik untuk mengatasi kemarahan, kekuatiran dan kedukaan. Anak dengan bermain dapat
menyalurkan tenaganya yang berlebihan dan ini adalah kesempatan yang baik untuk bergaul
dengan anak lainnya (Soetjiningsih, 2005).
6. Fungsi Bermain
Anak bermain pada dasarnya agar ia memperoleh kesenangan, sehingga tidak akan
merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi merupakan kebutuhan anak seperti
halnya makan, perawatan dan cinta kasih. Fungsi utama bermain adalah merangsang
perkembangan sensoris-motorik, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas,
perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi
(Soetjiningsih, 2005).
a. Perkembangan Sensoris-motorik
Pada saat melakukan permainan aktivitas sensoris-motoris merupakan komponen
terbesar yang digunakan anak sehingga kemampuan penginderaan anak dimulai meningkat
dengan adanya stimulasi-stimulasi yang diterima anak seperti: stimulasi visual, stimulasi
pendengaran, stimulasi taktil (sentuhan) dan stimulasi kinetik.
b. Perkembangan Intelektual (Kognitif)
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan memanipulasi segala sesuatu yang
ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan
membedakan objek. Dalam bermain anak dapat memecahkan masalah. Sehingga smakin anak
banyak bermain dengan eksplorasi maka semakin terlatih pula kemampuan intelektualnya.
c. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya.
Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang
lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan
masalah dari hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut.
d. Perkembangan Kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan mewujudkannya ke
dalam bentuk objek atau kegiatan yang dilakukannya. Sehingga harapannya melalui kegiatan
bermain anak akan belajar mengembangkan kemampuannya dan mencoba merealisasikan ide-
idenya.
e. Perkembangan Kesadaran diri
Melalui bermain anak akan mengembangkan kemampuannya dan membandingkannya
dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan
mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Pada fase ini peran penting orang
tua dalam menanamkan nilai moral dan etika, terutama kaitannya dengan kemampuan anak
untuk memahami dampak positif dan negative tindakan yang dilakukan oleh anak.
f. Perkembangan Moral
Anak mempelajari nilai yang benar dan salah dari lingkungan, terutama dari orang tua
dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akanmendapat kesempatan untuk
menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya.
g. Bermain sebagai Terapi
Pada saat anak dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang
sangat tidak menyenangkan seperti : marah, takut, cemas, sedih dan nyeri. Perasaan tersebut
merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stresor
yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan
terlepas dari ketegangan dan stres yang dialaminya karena dengan melakukan permainan,
anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi).
7. Faktor yang Mempengaruhi Bermain
a. Tahap Perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya permainan anak usia bayi tidak lagi efektif
untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Demikian juga sebaliknya karena
pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan
demikian, orang tua dan perawat harus mengetahui dan memberikan jenis permainan yang
tepat untuk setiap tahapan pertumbuhan danperkembangan anak.
b. Satus Kesehatan Anak
Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi. Walaupun demikian, bukan
berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan bermain pada anak sama
halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa. Yang penting pada saat kondisi anak
sedang menurun atau anak terkena sakit, bahkan dirawat di rumah sakit, orang tua dan
perawat harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak sesuai prinsip bermain
pada anak yang sedang dirawat di rumah sakit.
c. Jenis Kelamin Anak
Ada beberapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitannya dengan permainan
anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau
perempuan. Semua alat permainan dapat digunakan oleh anak laki-laki atau perempuan untuk
mengembangkan daya pikir, imajinasi, kreativitas, dan kemampuan sosial anak. Akan tetapi,
ada pendapat lain yang meyakini bahwa permainan adalah salah satu alat untuk membantu
anak mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak
dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini dilatarbelakangi oleh alasan adanya
tuntutan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan hal ini dipelajari melalui
media permainan.
d. Lingkungan yang Mendukung
Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk perkembangan anak salah
satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya, dan lingkungan fisik rumah. Fasilitas bermain
tidak selalu harus yang dibeli di toko atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan yang dapat
menstimulus imajinasi dan kreativitas anak, bahkan seringkali mainan tradisional yang dibuat
sendiri dari/atau berasal dari benda-benda di sekitar kehidupan anak akan lebih merangsang
anak untuk kreatif. Keyakinan keluarga tentang moral dan budaya juga mempengaruhi
bagaimana anak dididik melalui permainan. Sementara lingkungan fisik sekitar rumah lebih
banyak mempengaruhi ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik dan motorik.
Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak mempunyai cukup
ruang gerak untuk bermain, berjalan, mondar-mandir, berlari, melompat, dan bermain dengan
teman sekelompoknya.
e. Alat dan Jenis Permainan yang Cocok
Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk anak. Pilih yang
sesuai dengan tahapan tumbuh-kembang anak. Label yang tertera pada mainan harus dibaca
terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan tersebut sesuai dengan usia anak. Alat
permainan tidak selalu harus yang dibeli di toko atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan
yang dapat menstimulus imajinasi dan kreativitas anak, bahkan seringkali mainan tradisional
yang dibuat sendiri dari/atau berasal dari benda-benda di sekitar kehidupan anak, akan lebih
merangsang anak untuk kreatif. Alat permainan yang ahrus didorong, ditarik, dan
dimanipulasi, akan mengajarkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan koordinasi
alat gerak. Permainan membantu anak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengenal
norma dan aturan serta interaksi sosial dengan orang lain. Orang tua dan anak dapat memilih
mainan bersama-sama, tetapi yang harus diingat bahwa alat permainan harus aman bagi anak.
Oleh karena itu, orang tua harus membantu anak memilihkan manian yang aman.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Alat Permainan Edukatif
1. Pengertian Alat Permainan Edukatif
Pada tahun 1972 dewan nasional indonesia untuk kesejahteraan sosial memperkenalkan
istilah alat permainan edukatif (APE). APE merupakan perkembangn dari proyek pembuatan
bukuu keluarga dan balita yang dikelola oleh kantor mentri urusan peranan wanita. Karena
keberhasilan proyek tersebut APE digunakan seluruh indonesia melalui program BKKBN dan
ibu-ibu PKK (sudono, 2007).
Alat Permainan Edukatif (APE) adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai
sarana atau alat permainan yang mengandung nilai pendidikan dan dapat mengembangkan
seluruh aspek kemampuan anak, baik baik yang berasal dari lingkungan sekitar (alam)
maupun yang sudah dibuat (dibeli).
2. Macam – macam Permainan Edukatif
Macam-macam permainan Edukatif antara lain :
a Permainan Aktif
1) Bermain bebas dan spontan atau eksplorasi
Dalam permainan ini anak dapat melakukan segala hal yang diinginkannya, tidak ada aturan-
aturan dalam permainan tersebut. Anak akan terus bermain dengan permainan tersebut selama
permainan tersebut menimbulkan kesenangan dan anak akan berhenti apabila permainan
tersebut sudah tidak menyenangkannya. Dalam permainan ini anak melakukan eksperimen
atau menyelidiki, mencoba, dan mengenal hal-hal baru.
2) Drama
Dalam permainan ini, anak memerankan suatu peranan, menirukan karakter yang dikagumi
dalam kehidupan yang nyata, atau dalam mass media.
3) Bermain musik
Bermain musik dapat mendorong anak untuk mengembangkan tingkah laku sosialnya, yaitu
dengan bekerja sama dengan teman-teman sebayanya dalam memproduksi musik, menyanyi,
berdansa, atau memainkan alat musik.
4) Mengumpulkan atau mengoleksi sesuatu
Kegiatan ini sering menimbulkan rasa bangga, karena anak mempunyai koleksi lebih banyak
daripada teman-temannya. Di samping itu, mengumpulkan benda-benda dapat mempengaruhi
penyesuaian pribadi dan sosial anak. Anak terdorong untuk bersikap jujur, bekerja sama, dan
bersaing.
5) Permainan olah raga
Dalam permainan olah raga, anak banyak menggunakan energi fisiknya, sehingga sangat
membantu perkembangan fisiknya. Di samping itu, kegiatan ini mendorong sosialisasi anak
dengan belajar bergaul, bekerja sama, memainkan peran pemimpin, serta menilai diri dan
kemampuannya secara realistik dan sportif.
b Permainan Pasif
1) Membaca Membaca merupakan kegiatan yang sehat.
Membaca akan memperluas wawasan dan pengetahuan anak, sehingga anakpun akan
berkembang kreativitas dan kecerdasannya.
2) Mendengarkan radio
Mendengarkan radio dapat mempengaruhi anak baik secara positif maupun negatif. Pengaruh
positifnya adalah anak akan bertambah pengetahuannya, sedangkan pengaruh negatifnya yaitu
apabila anak meniru hal-hal yang disiarkan di radio seperti kekerasan, kriminalitas, atau hal-
hal negatif lainnya.
3) Menonton televisi
Pengaruh televisi sama seperti mendengarkan radio, baik pengaruh positif maupun negatifnya.
3. Syarat APE
Anak yang melakukan aktivitas bermain, baik aktif maupun pasif, hendaknya didampingi
orang tua agar anak memperoleh penjelasan mengenai hal-hal yang belum diketahuinya dan
dapat mendekatkan hubungan antara orang tua dengan anak. Agar orang tua dapat
memberikan alat permainan yang edukatif pada anaknya, syarat-syarat berikut ini perlu
diperhatikan :
a Keamanan
Alat permainan untuk anak dibawah 2 tahun hendaknya tidak terlalu kecil, catnya tidak
beracun, tidak ada bagian yang tajam, dan tidak mudah pecah, karena pada usia ini anak
kadang-kadang suka memasukkan benda ke dalam mulut.
b Ukuran dan berat
Prinsipnya, mainan tidak membahayakan dans esuai dengan usia anak. Apabila mainan terlalu
besar atau berat, anak akan sukar menjangkau atau memindahkannya. Sebaliknya, bila terlau
kecil, mainan akan mudah tertelan.
c Desain
APE sebaiknya mempunyai desain yang sederhana dalam hal ukuran, susunan, dan warna
serta jelas maksud dan tujuannya. Selain itu, APE hendaknya tidak terlalu rumit untuk
menghindari kebingungan anak.
d Fungsi yang jelas APE sebaiknya mempunyai fungsi yang jelas untuk menstimuli
perkembangan anak.
e Variasi APE
APE sebaiknya dapat dimainkan secara bervariasi (dapat dibongkar pasang), namun tidak
terlalu sulit agar anak tidak frustasi, dan tidak terlalu mudah, karena anak akan cepat bosan.
f Universal
APE sebaiknya mudah diterima dan dikenali oleh semua budaya dan bangsa. Jadi, dalam
menggunakannya, APE mempunyai prinsip yang bisa dimengerti oleh semua orang.
g Tidak mudah rusak, mudah didapat, dan terjangkau oleh masyarakat luas
Karena APE berfungsi sebagai stimulus untuk perkembangan anak, maka setiap lapisan
masyarakat, baik yang dengan tingkat sosial ekonomi tinggi maupun rendah, hendaknya dapat
menyediakannya. APE bisa didesain sendiri asal memenuhi persyaratan.
4. Ciri – ciri permainan edukatif
Adapun ciri – ciri permainan edukatif antara lain :
a Ditujuk untuk anak usia dini
b Berfungsi untuk mengembangkan aspek – aspek perkembangna anak usia dini
c Dapat digunakan dengan berbagai cara, bentuk dan untuk bermacam tujuan aspek
pengembangan atau bermanfaat multiguna.
d Aman atau tidak berbahaya bagi anak
e Dirancang untuk mendorong aktivitas dan kreativitas
f Bersifat konstruktif atau ada sesuatu yang dihasilkan
g Mengandung nilai pendidikan
5. Fungsi dan Tujuan APE
a Fungsi APE
Fungsi APE dalam proses belajar anak usia dini adalah sebagai :
1. Penggugah perhatian, minat dan motivasi anak untuk mengikuti kegiatan belajar.
2. Sumber pengetahuan, keterampilan baru yang perlu dipelajari anak.
3. Medium pengembangan nalar dan kreatifitas anak, seperti berpikir, menganalisa,
memecahkan masalah sendiri, serta berbuat secara sistematik dan logika.
b Tujuan APE
Tujuan APE dalam proses belajar anak usia dini adalah sebagai :
1. Memperjelas materi yang diberikan pada anak.
2. Memberikan motivasi dan merangsang anak untuk melakukan eksplorasi dan bereksperimen
dalam peletakan dasar kea rah pertumbuhan dan mengembangkan bahasa, kecerdasan, fisik,
social, emosional anak.
3. Memberikan kesenangan pada anak dalam bermain (belajar).
6. Prinsip APE
a Mengaktifkan alat indra secara kombinasi, sehingga dapat meningklatkan daya serap, daya
ingat anak didik.
b Mengandung kesesuaian dengan kebutuhan aspeik perkembanmgan, kemampuan, dan usia
anak didik, sehingga tercapai indicator kemampuan yang harus dimiliki anak.
c Memilki kemudahan dalam penggunannya bagi anak, sehingga lebih mudah terjadi interaksi
dan memperkuat tingkat pemahamannya dan daya ingat anak.
d Membangkitkan minat, sehingga mendorong anak untuk memainkannya.
e Memilki nilai guna, sehingga besar manfaatnya bagi anak.
f Bersifat efisien dan efektif, sehingga mudah dan murah dalam pengadaan dan
penggunaannya.
7. Jenis dan Bentuk APE
a Jenis balok bertujuan untuk merangsang kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah,
menggunakan imajinasi, mengembangkan kemampuan logika matematika, intra personal,
interpersonal, linguistic, dengan bentuk seperti balok unit, balok berongga, balok berwarna,
lego, balok susun, balok, menara, balok tiang.
b Jenis tulisan dengan gambar dengan tujuan untuk merangsang kemampuan linguistic, visual-
spasial, interpersonal, dengan bentuk : poster, buku cerita, buku bergambar, foto.
c Jenis obyek tiruan untuk mengembangkan semua kemampuan yang dimiliki anak (9
kemampuan/kecerdasan anak) dengan bentuk seperti ; patung, maket, boneka, benda-benda
tiruan.
d Jenis obyek nyata yaitu bahan-bahan yang ada disekitar anak bertujuan mengembangkan
semua kemampuan yang dimiliki anak dengan bentuk sesuai dengan aslinya seperti : binatang
tumbuhan, bunga, biji-bijian, batu, alat rumah tangga, bumbu dapur dan sebagainya.
e Jenis puzzle (potongan gambar/benda) yaitu kegiatan menyusun kembali potongan-potongan
gambar bertujaun untuk merangsang dan mengembangkan kemampuan visual spasial, logika
matematika, intra personal, interpersonal, linguistic, dengan bentuk dua dimensi seperti puzzle
binatang, puzzle buah, puzzle geometri, puzzle transportasi, dll. Puzzle tiga dimensi bentuk
potongannya sesuai dengan bentuk aslinya.
f Jenis Ronce yaitu kegiatan memasukkan benang kedalam lubang pola gambar/benda yang
sudah disediakan, bertujuan untuk memeperkuat koordinasi mata-tangan dan mengembangkan
visual spasial, logika matematika, kinestetika, dengan bentuk kartu jahit, kalung, gelang, tirai
(jendela, penyekat).
8. Kesalahan – kesalahan di dalam memilih alat permainan
Dalam penggunaan APE, kadang menjadi tidak efektif karena adanya ksalahan dalam
pemilihan alat permainan, kesalahan – kesalahan tersebut antara lain:
a Orang tua memberikan sekaligus banyak macam alat permainan
b Banyak orang tua membeli alat permainan yang mereka pikir indah dan menarik : tanpa
berfikir apa yang akan dikerjakan anak dengan alat permainan tersebut
c Banyak orang tua membayar terlalu mahal untuk alat permainan : Guna barang bekas
d Alat permainan terlalu lengka p / sempurna
e Alat permainan tidak sesuai dengan usia anak
f Memberikan terlalu banyak alat permainan dengan tipe yang sama
g Banyak orang tua tidak meneliti keamanan dari alat permainan yang dibelinya.
B. APE ANAK USIA SEKOLAH (6-12 tahun)
Ditinjau dari kelompok usia, jenis permainan dibagi menjadi permainan untuk bayi,
prasekolah, sekolah dan remaja. Kemampuan sosial anak pada usia sekolah (6 – 12 tahun)
sudah semakin meningkat. Dalam hal ini, sering sekali pergaulan dengan teman menjadi
tempat belajar mengenal norma baik atau buruk. Selain itu, pada tahap usia sekolah, anak juga
bermain dengan dimensi, anak tidak hanya senang dengan permainan fisik tetapi juga
keterampilan intelektual, fantasi serta terlibat dalam kelompok atau tim yang mulai timbul.
Anak belajar sendiri dan perilaku mulai dapat diterima serta anak sudah mulai mampu
menyesuaikan diri. Bermain tim menolong anak untuk belajar tentang persaingan alamiah.
Karakteristik permainan untuk anak usia sekolah dibedakan menurut jenis kelaminnya.
Anak laki-laki lebih tepat jika diberikan mainan jenis mekanik yang akan menstimulasi
kemampuan kreativitasnya dalam berkreasi sebagai laki-laki seperti mobil-mobilan. Anak
perempuan lebih tepat diberikan permainan yang dapat menstimulasi perasaan, pemikiran dan
sikap dalam menjalankan peran sebagai seorang perempuan seperti memasak dan boneka
(Supartini, 2004).
1. Karakteristik Bermain Anak Usia Sekolah
a Laki-laki
1) Suka dengan alat mekanik (bongkar pasang mobil atau sepeda)
2) Senang dengan olahraga
3) Suka dengan permainan fisik (misal : lari, sepak bola, lompat tali dan lain-lain)
4) Berpetualang (mancing dan berburu binatang)
5) Suka dengan hal berkompetisi
6) Lebih berani dengan tantangan
b Perempuan
1) Suka dengan alat make up (bedak, lipstik, dan lain-lain)
2) Senang bermain dengan teman perempuan (misal : boneka, masak-masakan, bekel, dakon,
lompat tali, bermain peran orang dewasa/drama )
3) Lebih suka bermain di dalam rumah
4) Suka dengan tanaman (bunga)
5) Peka terhadap pekerjaan rumah (membereskan tempat tidur, menyapu, dan cuci piring)
6) Cenderung pemarah, mudah tersinggung dan cengeng.
2. Jenis Permainan Anak Usia Sekolah
a Usia 6 – 8 tahun
Puzzle , Kartu , Menggambar , Buku , Alat untuk mencatat/menulis , Sepeda ,
Perminan tebak-tebakan.
b Usia 8 – 12 tahun
Buku , Pengumpulan perangko , Mainan kartu , Pekerjaan tangan , permainan fisik , Video
game , Olahraga , Peran aktivitas seksual (memasak dan lainnya)
3. Sikap Orang Tua atau Pendidik dalam Ativitas Bermain Anak
a Tidak menggangu anak bila mereka sedang bermain
b Memberikan kesempatan bermain yang cukup
c Memberikan ruangan yang cukup untuk bermain
d Memberikan kesempatan bermain yang kreatif, untuk mencegah anak bermain yang sifatnya
merusak ataupun kriminal.
e Memberi prmainan yang ideal bagi anak anak adalah permainan yang mudah dibentuk untuk
berbagai tujuan
f Memberikn jenis permainan sesuai dengan usia anak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bermain merupakan cara ilmiah bagi seorang anak untuk mengungkapkan konflik
yang ada dalam dirinya yang pada awalnya anak belum sadar bahwa dirinya sedang
mengalami konflik . Ada beberapa teori bermain antara lain : Teori Rekreasi, Teori Kelebihan
tenaga / Teori Pelepasan, Teori Atavistis, Teori Biologis,Teori Psikologi Dalam.
Tujuan anak bermain adalah agar memperoleh kesenangan dan dapat mengungkapkan
konflik yang dialaminya. Sedangkan fungsi bermain antara lain : Bermain sebagai Terapi,
Perkembangan Moral, Perkembangan Kesadaran diri, Perkembangan Kreativitas,
Perkembangan Sosial, Perkembangan Intelektual (Kognitif) ,Perkembangan Sensoris-motorik
Alat Permainan Edukatif (APE) adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai
sarana atau alat permainan yang mengandung nilai pendidikan dan dapat mengembangkan
seluruh aspek kemampuan anak, baik baik yang berasal dari lingkungan sekitar (alam)
maupun yang sudah dibuat (dibeli). Anak yang melakukan aktivitas bermain, baik aktif
maupun pasif, hendaknya didampingi orang tua agar anak memperoleh penjelasan mengenai
hal-hal yang belum diketahuinya dan dapat mendekatkan hubungan antara orang tua dengan
anak.
Dilihat dalam pengelompokan bedasarkan usia alat permainan di bedakan menjadi
kelompok permainan usia bayi, anak (usia preschool dan usia school), serta remaja. Anak usia
sekolah dengan kisaran usia 6-12 tahun sangat di harapkan memiliki alat permainan edukatif
yang dapat membatu proses perkembangan intelektualnya yang mulai digali.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami konsep bermain
serta Alat permainan edukatif. Dengan demikian, diharapkan nantinya dapat memilih mainan
yang baik untuk anak, terutama pada anak usia sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Badru Zaman, dkk. 2007. Media dan Sumber Belajar TK. Jakarta: Penerbit Universitas
Terbuka. Jeffrey S. Turner, Donald B. Helms. 1993. Lifespan development.uiversity of
michingan.
Soetjiningsih.2005. Tumbuh Kembang Anak.Jakarta:EGC
Sudono, anggani. 2007. Sumber belajar dan alat permainan untuk anak usia dini. PT.
Grasindo : jakarta.
Supartini, yupi. 2004. Buku ajar keperawatan anak. EGC: Jakarta.
Tedjasaputra, mayke S. 2008. bermain,mainan dan permainan. Grasindo. Jakarta.
Wong,D.L. 2009. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Diterjemahkan oleh Monica Ester.
Jakarta:EGC