SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

20
Penanganan Demam tifoid (Tifoid,Tifus) Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering dicxemaskan bila saat seseor4ang menderita panas. memang setiap tifus selalu terjadi manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai penyakit lainnya. Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering mengalami bias untuk mengenali tifus. Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja. Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan

Transcript of SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

Page 1: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

 Penanganan Demam tifoid (Tifoid,Tifus)Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi

yang paling sering dicxemaskan bila saat seseor4ang

menderita panas. memang setiap tifus selalu terjadi

manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus

didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering demam

adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak

mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini

tidak khas dan mirip berbagai penyakit lainnya. Apalagi

pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak

sensitif atau sering mengalami bias untuk mengenali tifus.

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh

bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya

yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh

dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah

tercemar oleh tinja.

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s.

Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis

salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi

cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi

salmonella yng lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram

negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak

berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan

manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan

laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob

dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies

resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan

pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140

º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu

ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat

bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan

makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Page 2: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH.

Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil

terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil

panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan

tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja

dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari

ibu yang terkena demam tifoid.  Lingkungan yang tidak bersih,

yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab

paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat

seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi

penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular

lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan

binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari

tempat-tempat kotor.

Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi

klinik pada anak umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang

paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada minggu

pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya

menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul

antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala,

mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru

sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan

suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu kedua, gejala

bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah kotor,

bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-

lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang

tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan

sebagian lagi masuk ke usus halus.  Setelah mencapai usus,

Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel

Page 3: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di

RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan

makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer)

terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas,

instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum

tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA

sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada

mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk

memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler

berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi

menyebarkan penyakit tifus. Inilah yang disebut dengan pembawa

penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak

mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam

tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-

tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi di

kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan bercampur

dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja

penderita.

Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari

gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang

mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit

Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi

usus, dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang

makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas

tinggi terus menerus terutama pada malam hari.

Page 4: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,

muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah

kotor tepi hiperemi.

3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor,

bahkan sampai koma.

Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul  :

demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang

meningkat secara perlahan

tubuh menggigil

denyut jantung lemah (bradycardia)

badan lemah (“weakness”)

sakit kepala

nyeri otot myalgia

kehilangan nafsu makan

konstipasi

sakit perut

pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose

spots”)

Penyakit yang mirip (Diagnosis Banding) 

 Influenza 

 Malaria

Bronchitis

Sepsis

 Broncho Pneumonia

 I.S.K (Infeksi Saluran kencing)

Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)

Keganasan : – Leukemia

Tuberculosa – Lymphoma

Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi

klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang.

Page 5: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang

menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan

metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam

tifoid secara menyeluruh

Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk

mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya

dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting

untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara

menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini

mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan

dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi

terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta

memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui

identifikasi karier.

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan

diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan bakteriologis dengan

isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman

secara molekuler. 

Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan

bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum

tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan

patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan

dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan

pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi

hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya

tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil;

perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu

pengambilan darah.

Page 6: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

Identifikasi kuman melalui uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap

komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini

adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan

pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode

enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA),dan pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan

mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.

Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi

oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau

monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini

atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin

digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa

reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang

telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen

somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah

yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi

yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi

dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji

hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan

dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur

penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih

rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji

Page 7: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

hapusan.

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi

kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)

dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk

meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya

ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat

dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya

antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu

beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes

TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan

bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih

baik daripada uji Widal.

Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode

untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen

OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase

awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap

IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan

infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat

transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan

deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara

kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M®

yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah

dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan

pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen

terhadap Ig M spesifik.4

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis

non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian

bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih

tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu

diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-

Page 8: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama

dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut

yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil

kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit

demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus

sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya

mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia

sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen

pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan

diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu

4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah

penerimaan serum pasien.

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,

antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi

terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai

untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis

adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap

antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut

akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila

dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus

dengan Brucellosis.

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di

Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik

terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita

pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai

reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

Page 9: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan

dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas

laboratorium yang lengkap.

Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat

diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita

yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan

tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat

adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S.

typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)

melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini

meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu

yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat,

adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat

proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah

serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya

yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk

melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan

hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih

terbatas dalam laboratorium penelitian.

Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis

Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang

untuk menegakkan diagnosis tifus paling sering digunakan.

Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering menimbulkan

kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam

penelitian penulis didapatkan infeksi virus yang sering menjadi

penyebab demam pada anak dan orang dewasa ternyata juga

terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu

pertama.

Page 10: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa

faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit;

faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang

dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran

imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-

endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang

digunakan.9,13

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas

serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi

penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid

akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan

pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat

ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,

manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan

karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-

off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya

ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di

populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan

didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak

sehat.

Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak

didapatkan hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke

lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up

dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut

menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal

seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya

semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada

minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh

menurun. Padahal seharusnya akan pada penderita tifus

seharusnya malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita

adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6

tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua

Page 11: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan

semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self

limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan

bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi

virus.

Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%)

sebelumnya mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4

kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar 89%

pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami

infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau

sekitar 86% adalah penderita alergi.

Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita

demam beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil

widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%) anak didapatkan

hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan

hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi

antibiotika membaik.

Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi

virus pada penderita tertentu terutama penderita alergi dapat

meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada anak

yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami

infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih

jauh. Diduga mekanisme hipersensitif atau proses auto imun

yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut

meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal

tersebut tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat yang

banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi

karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus. Fenomena

ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal

biomolekuler dan imunopatofisiologi.

Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi

”overdiagnosis tifus”. Pertama penderita harus mengkonsumsi

Page 12: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah

infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita

seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain

yang terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis

tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya

berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal

seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat efek samping

pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya

tidak diberikan.

 

Penanganan

Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari

pengobatan suportif melipu+ti istirahat dan diet,

medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang

terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut

sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14

hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya

kekuatan pasien.

Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien

diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi

sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa

penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini

yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran

dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu

diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum

pasien.

Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani

perawatan di rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk

Page 13: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

mengatasi penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa makan

waktu 2 minggu hingga satu bulan.

Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin,

kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin

sering digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara

barat. Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol,

ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua

adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah

meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.  Kloramfenikol

diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali

pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana

terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber

ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.

Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21

hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi

dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari

kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam

2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50

mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari,

sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga

mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem,

azithromisin dan fluoroquinolon.

Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga

minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30%

dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid

tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan

ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia,

Afrika, dan Amerika Latin).

Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat

dan dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi

Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB,

Page 14: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul

pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6

jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada

kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus

 

Komplikasi :

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal

A. Perdarahan usus

B. Perforasi usus

C. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstraintetstinal

A. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer

(renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

B. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau

koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia

hemoltilik.

C. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.

D. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan

kolelitiasis.

E. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan

perinefritis.

F. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan

artritis.

G. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus,

meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre,

psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang

terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia

Page 15: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang

sempurna.

Pencegahan

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara:

umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain

adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan

higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam

tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan

sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang

masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella

typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu

pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.

(Darmowandowo, 2006)

Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit.

Apalagi jika si kecil terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang

sudah pandai �nenangga�, atau yang belum bisa cebok dengan

benar. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena

setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan

berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau

kalupun terkena maka penyakit yang menyerang tidak sampai

membahayakan anak

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama

adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang

diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang

dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian

vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid

hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke

tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang

kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan

kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah

Page 16: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan

sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya

memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan

diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki

resiko terjangkit.

Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan

kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang

diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi.

Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu

sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin

untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk

orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid

atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin

tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi

yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia

tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang

yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan

(per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat

diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis

lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka

tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh

mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka

adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang

sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan

dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh

semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker

dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X

atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam

waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa

menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi yang parah.

Page 17: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau

kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua

jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang

diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam

(sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100)

kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7

orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi

ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5

orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau

ruam-ruam (jarang terjadi).

Daftar pustaka

Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The

diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World

Health Organization, 2003;7-18.

Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T,

Koh CL, Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the

90’s. Singapore : World Scientific, 1992:1-2.

Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s

Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders,

1991:344-58.

Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in

the management of typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.

Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute

test to detect typhoid-specific antibodies based on particle

separation in tubes. J Clin Microbiol 1998;36(8):2271-8.

Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y.

Diagnostic value of dot-enzyme-immunoassay test to detect outer

membrane protein antigen in sera of patients with typhoid fever.

Southeast Asian J Trop Med Public Health 2001;32(3):507-12.

[Abstract]

Page 18: SATUAN ACARA PENYULUHAN.docx

Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of

Salmonella typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the

immune response in patients with typhoid fever. Am J Trop Med

Hyg 2002;66(4):416-21. [Abstract]

Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis.

Dalam : Sarasombath S, Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific

symposium on typhoid fever and other Salmonellosis. Thailand :

SEAMEO Regional Tropical Medicine and Public Health

Network, 1995:213-6.

Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata

M. Rapid diagnosis of typhoid fever by PCR assay using one pair

of primers from flagellin gene of Salmonella typhi. J Infect

Chemother 2003;9(3):233-7

Terima kasih kepada,Prof. H.M. Hembing Wijaya Kusuma, Ramuan Herbal Lengkap Taklukan Penyakit, Pustaka Bunda 2008   R.Broto Sudibyo Bsc, Ramuan Tradisional ala Eyang Broto, Penebar Swadaya 2006