SAP Penkes Jiwa

22
SATUAN ACARA PENYULUHAN PENDIDIKAN KESEHATAN “PENANGANAN STIGMA PADA ” DI POLIKLINIK JIWA RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM Disusun Oleh : Grace Epyfania Simarmata I4B111023 Ermawati Rohana I4B111026 Jannatur Rahmah I4B111033 Nor Ella Dayani I4B111205 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

description

PENKES JIWA

Transcript of SAP Penkes Jiwa

Page 1: SAP Penkes Jiwa

SATUAN ACARA PENYULUHAN

PENDIDIKAN KESEHATAN

“PENANGANAN STIGMA PADA ”

DI POLIKLINIK JIWA RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM

Disusun Oleh :

Grace Epyfania Simarmata I4B111023

Ermawati Rohana I4B111026

Jannatur Rahmah I4B111033

Nor Ella Dayani I4B111205

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2015

Page 2: SAP Penkes Jiwa

LEMBAR PENGESAHAN

PENDIDIKAN KESEHATAN

DI POLIKLINIK JIWA RSJ SAMBANG LIHUM

Di susun oleh

Grace Epyfania Simarmata I4B111023

Ermawati Rohana I4B111026

Jannatur Rahmah I4B111033

Nor Ella Dayani I4B111205

Telah di setujui pada tanggal,

Mengetahui

CI Ruangan CI Poliklinik

( ) ( )

Page 3: SAP Penkes Jiwa

SAP (SATUAN ACARA PENYULUHAN)

1. TOPIK

Pandangan negatif keluarga pada anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa

2. TUJUAN

a. Tujuan Umum

Setelah mendapatkan penyuluhan keluarga mampu memahami dan

memperlakukan penderita gangguan jiwa sesuai haknya (Pasien

mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau).

b. Tujuan Khusus

Setelah diberi penyuluhan keluarga mampu mengerti tentang:

1) Pengertian Stigma

2) Hak pasien gangguan jiwa

3) Dampak stigma pasien gangguan jiwa

4) Penanganan stigma gangguan jiwa di keluarga

5) Pencegahan

3. LATAR BELAKANG

Pasien dengan masalah gangguan jiwa pada saat sekarang sangatlah besar,

Sekitar 80% masyarakat Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat

ringan sampai yang serius. Banyak sekali penyebab terjadinya gangguan jiwa

antara lain adalah faktor ekonomi, sosial masyarakat, kepercayaan, masalah

keluarga, perceraian.. Disebutkan pula bahwa penderita gangguan jiwa yang

terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan orang lain,

mengganggu ketertiban keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan

perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut Badan Kesehatan Sedunia

(WHO), penderita gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan cara

berpikir, berperilaku, gangguan kemampuan untuk melindungi kepentingan

Page 4: SAP Penkes Jiwa

dirinya dan gangguan kemampuan mengambil keputusan. Meskipun gangguan

kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi gangguan

ini dapat membuat penderita menjadi tidak produktif dan bergantung pada

orang lain, sehingga menyebabkan penderitaan berkepanjangan baik bagi

penderita, keluarga, masyarakat maupun negara.

Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995

dibeberapa negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau

DissabiliiyAdjusted Life Years (DALY's) yang disebabkan oleh masalah

kesehatan jiwa sebesar (8,1%). Angka ini jauh lebih tinggi dari pada dampak

yang disebabkan penyakit Tuberculosis (7,2%), Kanker(5,8%), Penyakit

Jantung (4,4%) maupun Malaria (2,6%). Tingginya angka tersebut

menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan jika

dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di masyarakat.

Seseorang dengan gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma,

diskriminasi dan marginalisasi. Berbagai istilah banyak ditemukan di

masyarakat dan digunakan dalam pemberitaan media massa, misalnya orang

gila, sakit gila, sakit jiwa, semua ini bukan istilah psikiatri dan sebaiknya

dibiasakan untuk tidak menggunakannya.

Stigmatisasi gangguan jiwa sebenarnya merugikan masyarakat sendiri,

karena mereka menjadi cenderung menghindar dari segala sesuatu yang

berurusan dengan gangguan jiwa. Seakan-akan mereka yang terganggu jiwanya

tergolong kelompok manusia lain yang lebih rendah martabatnya, yang dapat

dijadikan bahan olok-olokan. Hal tersebut akan menghambat seseorang untuk

mau menerima atau mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan mental.

Akibatnya pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini

menjadi terlambat. Kita lupa atau tidak ingin menerima kenyataan sebenarnya

bahwa semua orang dapat mengalami gangguan jiwa dalam berbagai taraf,

misal keadaan depresi akibat stres berkepanjangan sampai pada kekacauan

pikiran.

Page 5: SAP Penkes Jiwa

Stigma menyebabkan mereka tidak mencari pengobatan yang sangat

mereka butuhkan, atau mereka akan mendapatkan pelayanan yang bermutu

rendah. Bahkan sebagian diantara mereka dipasung dengan kondisi-kondisi

yang sangat memprihatinkan seperti dipasung dengan kayu, dirantai, dikandang

atau diasingkan ditengah hutan jauh dari masyarakat. Dengan alasan karena

mengganggu orang lain, membahayakan dirinya sendiri, jauh dari akses

pelayanan kesehatan, tidak mempunyai biaya serta ketidakpahaman tentang

gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan, 2010).

Dampak dari stigma, perlakukan salah, deskriminasi dan pelayanan yang

minimal membuat penyakit jiwa menjadi berkembang, kronis dan sulit

sembuh, Penderita jadi tidak produktif sama sekali (Keliat dkk, 2006).

4. SELEKSI PASIEN DAN KELUARGA

a. Klien dan keluarga yang sedang kontrol di poliklinik RSJ Sambang Lihum

b. Klien dan keluarga yang mau menjadi peserta penyuluhan

5. JADWAL KEGIATAN

a. Hari/Tanggal : Senin, 24 Agustus 2015

b. Tempat : Poliklinik RSJ Sambang Lihum

c. Waktu : Pukul 09.00 WITA (1x45 menit )

6. METODE PELAKSANAAN

a. Ceramah

b. Tanya jawab

7. MEDIA DAN ALAT

a. Leaflet

b. LCD

c. Meja

d. Audio dan microphone

e. Kabel

Page 6: SAP Penkes Jiwa

f. Terminal

g. White Screen

8. PENGORGANISASIAN

a. Penyuluh : Grace Epyfania Simarmata

b. Moderator : Nor Ella Dayani

c. Fasilitator : Ermawati Rohana

d. Observer : Jannatur Rahmah

9. SETTING TEMPAT

Keterangan

Penyuluh Moderator

Fasilitator

Observer

Kursi klien dan keluarga

Mjjj

jjjjjjjjjj

Page 7: SAP Penkes Jiwa

10. PROGRAM ANTISIPASI KEGIATAN PENDIDIKAN KESEHATAN

a. Audience yang tidak memperhatikan saat Pendidikan kesehatan

1) Maksimalkan peran fasilitator

2) Fasilitator mengingatkan audience untuk memperhatikan

pendidikan kesehatan

b. Bila ada yang meninggalkan kegiatan

1) Fasilitator menanyakan alasan mengapa audiens meninggalkan

kegiatan penyuluhan.

2) Beri penjelasan, audiens dapat menyelesaikan keperluannya,

setelah itu diharapkan untuk kembali mengikuti kegiatan

penyuluhan.

c. Bila ada yang mau ikut pendidikan kesehatan

1) Mempersilahkan keluarga atau pasien untuk mengikuti jalannya

acara, dan menjelaskan bahwa acara telah dimulai

2) Memberikan reinsforcement positif

d. Jika ada pasien yang mengamuk

1) Laporkan kepada perawat bahwa ada pasien yang gawat agar

segera dibawa ke IGD, SATPAM.

2) Menenangkan pasien dengan cara meminta pasien berganti tempat

agar supaya tidak mengganggu jalannya acara.

11. LANGKAH KEGIATAN PENDIDIKAN KESEHATAN

Persiapan

a. Menyiapkan materi untuk penyuluhan

b. Menyiapkan media dan tempat untuk penyuluhan

c. Menyiapkan audiens untuk penyuluhan

No Kegiatan Respon klien/keluarga Waktu

1 Orientasi

Menyampaikan salam

Perkenalan

- Membalas salam

- Mendengarkan

5 menit

Page 8: SAP Penkes Jiwa

Menyampaikan maksud

dan tujuan

Kontrak topik, tempat dan

waktu

- Mendengarkan

- Menyetujui

kontrak

2. Kerja

Menyampaikan materi tentang

1) Pengertian Stigma

2) Hak pasien gangguan jiwa

3) Dampak stigma pasien

gangguan jiwa

4) Penanganan stigma

gangguan jiwa di keluarga

5) Pencegahan

- Mendengarkan

dan

memperhatikan

15

menit

3. Terminasi

a. Evaluasi Subjektif

Menanyakan perasaan

setelah mengikuti

pendidikan kesehatan

b. Evaluasi Objektif

Menanyakan tentang materi

yang telah di sampaikan

c. RTL

d. Salam penutup

- Menjawab

- Menjawab

- Mengerti

- Menjawab salam

10

menit

Page 9: SAP Penkes Jiwa

12. EVALUASI

a. Evalusi Proses

1). Pelaksanaan sesuai waktu dan strategi

2). Keluarga dan pasien aktif dalam kegiatan

b. Evaluasi hasil

Keluarga dan klien mampu mengikuti pendidikan kesehatan dari awal

sampai akhir.

Page 10: SAP Penkes Jiwa

LAMPIRAN MATERI

A. PENGERTIAN

Stigma adalah Menurut Dadang Hawari (2001) dalam kaitannya pada

penderita skizofrenia, stigma merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang

menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarga menderita Skizofrenia,

hal ini merupakan aib bagi keluarga. Selama bertahun-tahun, banyak bentuk

diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam masyarakat kita. Penyakit

mental masih menghasilkan kesalah pahaman, prasangka, kebingungan, dan

ketakutan. Masyarakat masih mengganggap bahwa gangguan jiwa merupakan aib

bagi penderitanya maupun keluarganya. Selain dari itu, gangguan jiwa juga

dianggap penyakit yang disebabkan oleh hal-hal supranatural oleh sebagian

masyarakat.

Pandangan masyarakat terhadap gangguan jiwa lainnya adalah bahwa orang

yang mengalami gangguan jiwa cenderung berbahaya bagi masyarakat sekitar.

Mereka sering melakukan tindakan kekerasan terhadap lingkungan sekitar yang

dapat merepotkan ataupun membahayakan bagi masyarakat. Oleh karena itu tidak

jarang mereka dipasung atau diikat supaya tidak membahayakan masyarakat

sekitar.

Berikut merupakan hak-hak pasien penderita gangguan jiwa menurut American

Hospital Association (AHA) tahun 1992.

1. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang terhormat.

2. Pasien memiliki hak dan didukung oleh dokter, dan semua pelayan

kesehatan terkait untuk mendapatkan informasi yang hangat dan terpercaya

mengenai diagnosa, pengobatan (treatment), dan prognosa.

3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan terhadap rencana

perawatan dan pengobatan, dan untuk menolak pengobatan yang

direkomendasikan.

4. Pasien memiliki hak atas petunjuk cepat (seperti kehendak hidup, kuasa

penuh atas perawatan kesehatan, atau mendapatkan pembelaan dari pengacara

kesehatan).

Page 11: SAP Penkes Jiwa

5. Pasien memiliki hak atas setiap pertimbangan kebijakan.

6. Pasien memiliki hak atas komunikasi dan rekaman tentang perawatan

kesehatan yang akan diolah secara terpercaya.

7. Pasien memiliki hak untuk mengulas kembali rekaman yang masuk atas

perawatan medisnya dan untuk menerima penjelasan atas informasi sesuai

kebutuhan.

8. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak berpartisipasi atas

usulan studi penelitian atau percobaan yang melibatkan manusia yang

mempengaruhi perawatan dan pengobatan.

9. Pasien memiliki hak atas perawatan berkelanjutan yang beralasan yang

diinformasikan oleh dokter dan petugas kesehatan.

10. Pasien memiliki hak untuk menerima informasi atas kebijakan dan praktik

rumah sakit yang berhubungan dengan perawatan, pengobatan, dan tanggung

jawab pasien.

B. DAMPAK STIGMA GANGGUAN JIWA

Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat berdampak pada

penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Kalau kita lihat dari stigma yang

dialami oleh penderita gangguan jiwa, maka dampak dilihat dari sisi pengobatan

yaitu terdapat 2 kelompok. Kelompok pertama penanganan pada klien dengan

stigma bahwa orang yang menderita gangguan jiwa karena kesurupan sedangkan

stigma yang kedua adalah bahwa penderita gangguan jiwa merupakan Aib

keluarga.

Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa

mereka mengalami penyakit yang berhubungan dengan supranatural yaitu mereka

akan segera diberi pengobatan dengan memanggil dukun atau kyai yang dapat

mengusir roh jahat dari tubuh si penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa

memakan waktu sebentar ataupun lama. Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa

gangguan jiwa yang terjadi pada penderita tersebut akan semakin parah tanpa

pertolongan segera psikiater ataupun psikiatri.

Page 12: SAP Penkes Jiwa

Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib

yaitu dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari

masyarakat. Mereka tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa

tersebut ke profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan

keadaan tersebut dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada

pengobatan yang terlambat dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya.

Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya stigma di

masyarakat, mereka lebih memilih tidak memberitahukan kepada masyarakat,

sehingga mereka cenderung menarik diri dan ini akan memperparah keadaannya.

Disamping itu terjadi pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien

gangguan jiwa baik yang baru ataupun yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini

dapat berakibat pada gangguan yang lebih parah yang dapat berdampak pada

kekambuhan yang lebih cepat.

Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa

secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita

gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap

keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak

jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini

melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan

keluarga, masyarakat serta lingkungan.

C. Stigma pasien gangguan jiwa di Keluarga

Stigma yang ada di masyarakat membuat keluarga malu memiliki anggota

keluarga yang menderita gangguan jiwa. keluarga merasa beban dengan adanya

pasien berada di rumah. Pada akhirnya keluarga lebih memilih menitipkan pasien

pada pihak rumah sakit. Menurut dokter Hestu ini sering kali terjadi. Pasien

kembali ke rumah sakit dengan cepat akibat stresor yang datang dari rumah.

Pandangan negatif mengenai gangguan jiwa, bahwa gangguan jiwa merupakan aib

bagi keluarga. Gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan sehingga

orang yang mengalami gangguan jiwa dianggap sebagai aib bagi keluarganya dan

keluarga menganggap orang dengan gangguan jiwa itu dapat mebahayakan.

Page 13: SAP Penkes Jiwa

Selanjutnya menurut Soewandi (1992:2) ada beberapa keadaan yang

merupakan stigma terhadap gangguan jiwa yakni :

1) Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh hal-

hal sebagai berikut : guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang

salah, kutukan banyak dosa, pusaka yang keramat, kekutam gaib atau

supranatural.

2) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa itu merupakan penyakit

yang tidak dapat disembuhkan.

3) Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh hal-

hal sebagai berikut : guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang

salah, kutukan banyak dosa, pusaka yang keramat, kekutam gaib atau supranatural

4) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa itu merupakan penyakit

yang tidak dapat disembuhkan.

5) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit

yang bukan urusan medis.

6) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit

yang selalu diturunkan.

D. Penanganan Stigma Pada Keluarga Pasien Yang Memiliki Anggota

Keluarga Dengan Gangguan Jiwa

Dalam kehidupan sehari-hari pada pasien gangguan jiwa dan keluarga

merupakan orang yang paling terdekat dengan pasien gangguan jiwa. Peran

keluarga dalam menghadapi pasien atau salah satu anggota keluarga yang sedang

mengalami gangguan jiwa harus menerima pasien apa adanya dan memberikan

dukungan terhadap perawatan dan pengobatan pasien di rumah, bukan sebagai aib

keluarga yang harus disembunyikan dari kehidupan sosial.

Penanganan stigma pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan

gangguan jiwa adalah dengan memberi perhatian dalam sikap dan pengobatan

panda pasien dengan gangguan jiwa , tidak mengurung, tidak mengucilkan tidak

menjauhi pasien, dan memberikan dukungan positif untuk pasien sehingga pasien

mau bersosialisasi dengan lingkungan di sekitar rumah, membantu pasien untuk

Page 14: SAP Penkes Jiwa

kembali bersemangat menjalani hidupnya, berkomunikasi meghadapi kucilan

masyarakat disekitar lingkungan pasien.

Menghadapi stigma di masyarakat terhadap gangguan jiwa Keluarga, perlu

memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan sikap yang bisa menumbuhkan

dan mendukung tumbuhnya harapan dan optimisme. Harapan dan optimisme akan

menjadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa. Keluarga berperanan

dalam mebimbing dan mengarahkan langkah langkah yang perlu dilalui pasien

gangguan jiwa untuk mencapai tujuan hidup masing masing penderita gangguan

jiwa, sehingga pasien dengan gangguan jiwa

Salah satu faktor penting dalam menghilangkan stigma negatif adalah adanya

keluarga, yang percaya bahwa seorang penderita gangguan jiwa bisa pulih dan

kembali hidup produktif di masyarakat. Mereka bisa memberikan harapan,

semangat dan dukungan sumber daya yang diperlukan untuk pemulihan. Melalui

dukungan yang terciptanya lewat jaringan persaudaraan dan pertemanan, maka

penderita gangguan jiwa bisa mengubah hidupnya, dari keadaan kurang sehat dan

tidak sejahtera menjadi kehidupan yang lebih sejahtera dan mempunyai peranan di

masyarakat. Hal tersebut akan mendorong kemampuan penderita gangguan jiwa

mampu hidup mandiri, mempunyai peranan dan berpartisipasi di masyarakatnya.

E. PENCEGAHAN

Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE), kurasi (penyembuhan) dan

rehabilitasi yang lebih baik, memanfaatkan sumber dana dari JPS-BK;

penciptaan Therpeutic Community (lingkungan yang mendukung proses

penyembuhan).

Fungsi keluarga menurut Friedman (1992) adalah:

1. Fungsi afektif dan koping

Keluarga memberikan kenyamanan emosional anggota, membantu

anggota dalam membentuk identitas dan mempertahankan saat terjadi

stress.

Page 15: SAP Penkes Jiwa

2. Fungsi sosialisasi

Keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap, dan

mekanisme koping, memberikan feedback, dan memberikan petunjuk

dalam pemecahan masalah.

3. Fungsi reproduksi

Keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan

keturunan.

4. Fungsi ekonomi

Keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarganya dan

kepentingan di masyarakat.

5. Fungsi fisik

Keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk

untuk penyembuhan dari sakit.

Page 16: SAP Penkes Jiwa

DAFTAR PUSTAKA

1. Laeli Amalia. 2009. Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Rawat Inap Gangguan Jiwa. Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Semarang.2. Dr. Gunawan Setiadi, Mph Tirto Jiwo. 2014. Pemulihan Gangguan Jiwa:

Pedoman Bagi Penderita, Keluarga Dan Relawan Jiwa. Pusat Pemulihan Dan Pelatihan Gangguan Jiwa

3. Dadang Hawari. 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Gaya Baru. Jakarta

4. Depkes. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI. Jakarta

5. Fauzi Muzaham. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. UI Press Jakarta

6. Thornicroft, Graham. Et al. 2008. Reducing Stigma and Discrimination: Candidate Intervention. British International Journal Of Mental Health System.