SAP 8 Perpajakan II.doc

41
Gand-upberry be patient-cute-full affection-love V ^_^ Senin, 23 Januari 2012 PPH BADAN 8.1 Konsep Dasar PPh Badan Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Misalnya: PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/D dengan nama dan dalam bentuk apapun, Fa, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Ormas, Orsospol, atau Organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk usaha tetap dan Bentuk badan lainnya termasuk reksadana Dasar pemotongan pajak dibedakan menjadi penghasilan bruto dan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak adalah jumlah penghasilan bruto untuk penghasilan sebagai berikut: DevidenBunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian piutangRoyaltiHadiah dan penghargaanBunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi

Transcript of SAP 8 Perpajakan II.doc

Page 1: SAP 8 Perpajakan II.doc

Gand-upberry

be patient-cute-full affection-love V ^_^

Senin, 23 Januari 2012

PPH BADAN

8.1 Konsep Dasar PPh Badan

Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang

melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Misalnya: PT, CV, perseroan lainnya,

BUMN/D dengan nama dan dalam bentuk apapun, Fa, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun,

Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Ormas, Orsospol, atau Organisasi yang sejenis, Lembaga,

Bentuk usaha tetap dan Bentuk badan lainnya termasuk reksadana

Dasar pemotongan pajak dibedakan menjadi penghasilan bruto dan penghasilan neto.

Dasar pemotongan pajak adalah jumlah penghasilan bruto untuk penghasilan sebagai berikut:

DevidenBunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan

pengembalian piutangRoyaltiHadiah dan penghargaanBunga simpanan yang dibayarkan oleh

koperasi

Dasar pemotongan pajak adalah penghasilan neto untuk penghasilan sebagai berikut :

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartaImbalan sehubungan

dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang

telah dipotong PPh pasal 21.

Subjek Pajak Badan, terdiri dari :

a. Dalam Negeri

Page 2: SAP 8 Perpajakan II.doc

Badan didirikan di Indonesia atau bertempat kedudukan di Indonesia.

b. Luar Negeri

Badan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

- Menjalankan usaha/kegiatan melalui BUT di Indonesia

- Menerima atau memperolehpenghasilan dari Indonesia tanpa melalui BUT

- Bentuk Usaha Tetap

- Bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak OP LN dan SP Badan LN untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan (pekerjaan bebas) di Indonesia

Bukan Subyek Pajak Badan :

a. Badan perwakilan Negara asing

b. Organisasi Internasional

Yang ditetapkan oleh Menkeu dengan syarat Indonesia menjadi anggotanya dan tidak

menjalankan usaha / kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain

pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota

c. Unit tertentu dari badan pemerintah dg syarat:

- Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

- Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;

- Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau

Daerah;

- Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

8.2 Dasar Hukum PPh Badan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh tahun 2009) mulai berlaku pada

tanggal 1 Januari 2009 dan sebagian besar aturan pelaksanaannya telah diterbitkan. Perubahan

ketentuan peraturan perpajakan ini mengakibatkan berubahnya bentuk Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT PPh Badan). Sebagai tindak lanjut

Page 3: SAP 8 Perpajakan II.doc

penyampaian SPT PPh Badan, akan dilaksanakan penelitian SPT dan atas SPT yang memenuhi

kriteria akan dilakukan pemeriksaan. 

Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas

Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak

Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini

dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam

negeri.

Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah

Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh. Misalnya

Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah

menjadi Rp120.324.000,00.

Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat

final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2)

Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum

pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut

didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.

Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-undang

Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan menjadi

dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak, Tarif Pajak :

Sampai dengan Rp50.000.000,00 = 10%

Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 = 15%

Di atas Rp100.000.000,00 = 30%

8.3 Variabel-variabel Dalam Perhitugan PPh Badan

a. Pendapatan usaha dan penghasilan kena pajak

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp

50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif

sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat

Page 4: SAP 8 Perpajakan II.doc

(1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian

peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta

rupiah).

b. Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh

terutang yaitu sebagai berikut:

PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000,

maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:

PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto

yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran

bruto yang tidak memperoleh fasilitas.

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh

fasilitas yaitu:

(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak

memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dari bagian

peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.

Namun, mulai tahun 2010, tarif PPh Badan adalah 25% dari penghasilan bruto.

Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap

Tahun Tarif Pajak2009 28 %2010 dan selanjutnya 25 %PT yang 40 % sahamnya diperdagangkan di bursa efek

5% lebih rendah dari yang seharusnya

Peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000

Pengurangan 50 % dari yang seharusnya

Biaya-biaya yang dapat dikurangkan :

Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dihitung berdasarkan

penghasilan bruto dikurangi :

Page 5: SAP 8 Perpajakan II.doc

a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya

pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,

honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga,

sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya

administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.

b. Penyusutan atas harta berwujud dan amortisasi atas hak dan biaya lain yang mempunyai

masa manfaat lebih dari satu tahun.

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam

perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan.

e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :

- Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial; dan

- Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Direktorat

Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai

penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang

bersangkutan; dan

- Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan

- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP,

yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya administrasi kantor pusat yang

boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang

besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Untuk dapat dikurangkan atau dibebankan dalam penghitungan Penghasilan Kena

Pajak, biaya atau pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha

atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan

Objek Pajak Dengan demikian biaya atau pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dikurangkan atau

Page 6: SAP 8 Perpajakan II.doc

dibebankan. Biaya  bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak

boleh dikurangkan atau dibebankan, apabila dividen yang diterimanya bukan merupakan

Objek Pajak. Akan tetapi dalam hal ini biaya bunga pinjaman tersebut dapat dikapitalisasi

sebagai penambah harga perolehan saham.

Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan

Dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan

BUT, tidak boleh dikurangkan :

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti : dividen, dividen yang

dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil

usaha koperasi.

b. Biaya atau pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau

anggota.

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih

untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi,

dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-

syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan

asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar

oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak

yang bersangkutan.

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam

bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh

pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah

tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan.

f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada

pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan

pekerjaan yang dilakukan.

g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang bukan merupakan

Objek Pajak, kecuali zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam

Page 7: SAP 8 Perpajakan II.doc

negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga

amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

h. Pajak Penghasilan.

i. Biaya atau pengeluaran pribadi Wajib Pajak yang bersangkutan atau orang yang menjadi

tanggungannya.

j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer

yang modalnya tidak terbagi atas saham.

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda

yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, pembayaran kepada kantor pusat yang

tidak boleh dikurangkan adalah :

a. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak

lainnya;

b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;

c. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Penyusutan serta amortisasi

Biaya yang boleh dikurangi dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai

hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan. Biaya yang

tidak boleh dikurangi dari penghasilan bruto adalah biaya yang tidak mempunyai hubungan

langsung dengan usaha atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan.

Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan

sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap

penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun

lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Contoh : pada bulan April

2007 wajib pajak menyewa sebuah kantor untuk jangka waktu lima tahun sebesar Rp.60

juta. Maka biaya sewa tahun 2007 hanya sebesar Rp.60 juta x (9/60) atau sebesar Rp.9 juta

saja.

Page 8: SAP 8 Perpajakan II.doc

Walaupun demikian, tidak ada larangan jika wajib pajak melakukan amortisasi atas

biaya sewa tersebut. Larangan hanya untuk pembebanan sekaligus. Metode untuk

penyusutan dan amortisasi untuk keperluan pajak sebagai berikut :

a. Garis Lurus (GL), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa

manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

b. Saldo Menurun (SM), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa

manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan

pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan

secara taat asas.

Berikut tarif yang berlaku untuk penyusutan :

Garis Lurus :

[1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 25%; [2] kelompok

2 untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 12,5%; [3] kelompok 3 untuk aktiva

dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 6,25%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan

masa manfaat 20 tahun, tarifnya 5%.

Saldo Menurun :

[1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 50%; [2] kelompok

2 untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 25%; [3] kelompok 3 untuk aktiva

dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 12,5%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan

masa manfaat 20 tahun, tarifnya 10%.

Jadi tarif penyusutan SM dua kali tarif penyusutan GL. Harap diingat, untuk keperluan

pajak, penyusutan dihitung per bulan. Seandainya kita beli aktiva tanggal 30 pun maka pada

bulan tersebut sudah boleh disusutkan. Selain itu, tarif diatas tidak berlaku untuk bangunan.

Bangunan hanya boleh dihitung dengan GL dan tarifnya 5%, kecuali jika bukan bangunan

permanen maka tarifnya 10% saja. Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar biasa,

seperti kebakaran atau banjir, maka aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya, nilai buku

yang ada langsung dibiayakan. Sebaliknya, jika dijua maka harga jual merupakan

penghasilan, jika mendapat penggantian asuransi kerugian maka penggantian asuransi

tersebut merupakan penghasilan.

Page 9: SAP 8 Perpajakan II.doc

8.4 Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan

Perhitungan PPh Badan dilakukan pada setiap akhir tahun pajak. Jika ada kekurangan

pembayaran pajak, maka wajib disetorkan paling lambat tanggal 25 pada bulan ketiga setelah

tahun pajak berakhir. Pelaporan PPh Badan terutang setiap tahunnya dilaporkan dengan cara

membuat SPT Tahunan PPh Badan, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat paling

lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. PPh tsb disetor paling lambat

tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan penghasilan yangberakhir (untuk

Masa). Dan paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak perolehan

penghasilan yangberakhir (untuk Tahunan). Pembayaran PPh tersebut dilaporkan dalam Surat

Pemberitahuan (SPT) paling lambat tgl 20 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan

penghasilan yang berakhir (untuk Masa). Dan paling lambat tgl 31 Maret tahun berikutnya

setelah tahun pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan).

Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor Penerima Pembayaran dengan

menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik.

Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan saran Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang

berkaitan dengan kewajiban perpajakan. SPT harus diisi dengan benar, lengkap, dan jelas dalam

Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin dan angka arab, satuan mata uang rupiah dan

menandatangani serat menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang

ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak.

Tata cara perhitungan PPh Pasal 25 untuk wajib pajak badan adalah sebagai berikut :

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu                                             xx

Pengurangan/kredit pajak :

            PPh Pasal 22                          xxx

            PPh Pasal 23                          xxx

            PPh Pasal 24                          xxx

Total kredit pajak                                                                                         xx (-)

Dasar penghitungan angsuran                                                                    xxx

Angsuran PPh Pasal 25 =                                       Dasar penghitungan angsuran .

Page 10: SAP 8 Perpajakan II.doc

                                                12 (atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak)

9.1 Penghasilan Netto

Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat

mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk

dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan.

Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.Semua

Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib

Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah

peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk

memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang

pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur

Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk

menentukan penghasilan neto, dibuat /disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau

data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan

oleh Direktur Jenderal Pajak.

Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :

a.   tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau

b.   pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak

benar.

Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu

menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Page 11: SAP 8 Perpajakan II.doc

Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto

1.      wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung

penghasilan neto.

2.      Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama

dalam tahun pajak yang bersangkutan.

3.      Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah sesuai ketentuan.

Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma

Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak

dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan

pembukuan.

Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,

atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:

a.       tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;

atau

b.      tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya

pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan

neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan

dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan

penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

9.2 Kompensasi Kerugian Fiskal

Page 12: SAP 8 Perpajakan II.doc

Apabila penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya didapat kerugian, maka kerugian tersebut

dikompensasikan dengan penghasilan netto atau laba fiskal selama 5 tahun berturut-turut dimulai

sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Contoh :

PT Anugerah dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Dalam

5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT Anugerah sebagai berikut :

2010 : laba fiskal                                      Rp.200.000.000,00

2011 : laba fiskal                                      (Rp.300.000.000,00)

2012 : laba fiskal                                      Rp NIHIL

2013 : laba fiskal                                      Rp.100.000.000,00

2014 : laba fiskal                                      Rp.800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :

Rugi fiskal tahun 2009                             (Rp.1.200.000.000 )

Laba fiskal tahun 2010                           Rp.    200.000.000   +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.1.000.000.000)

Rugi fiskal tahun 2011                             (Rp.   300.000.000)

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.1.000.000.000)

Page 13: SAP 8 Perpajakan II.doc

Laba fiskal tahun 2012                           Rp                NIHIL  +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.1.000.000.000)

Laba fiskal tahun 2013                           Rp.   100.000.000    +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       Rp.   900.000.000)

Laba fiskal tahun 2014                           Rp.   800.000.000    +

Sisa rugi fiskal tahun 2009                       (Rp.  100.000.000)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak

boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011

sebesar Rp.300.000.000 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun

2016, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun

2016.

9.3 Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya

Pajak Penghasilan yang terhutang.

Bagi wajib pajak badan yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya

dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut :

-       Peredaran bruto                                                                               Rp. 6.000.000.000

-       Biaya untuk mendapatkan,

Page 14: SAP 8 Perpajakan II.doc

     menagih, dan memelihara penghasilan                                           (Rp.5.400.000.000)

-       Laba usaha (penghasilan netto usaha)                                               Rp.   600.000.000

-       Penghasilan lainnya                                Rp.50.000.000

-       Biaya untuk mendapatkan,

     menagih, dan memelihara

     penghasilan lainnya tersebut                 (Rp. 30.000.000)

                                                                                                              Rp.      20.000.000

-       Kompensasi Kerugian                                                                     (Rp.     10.000.000)

-       Penghasilan Kena Pajak                                                                  Rp.    610.000.000

9.4 PPh Badan Terutang

Ø  Dasar Pengenaan Pajak. Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar

pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT yang menjadi dasar pengenaan

pajaknya adalah penghasilan kena pajak (PKP). Jika PKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah

sebesar penghasilan neto dikurangi dengan PTKP maka lain halnya dengan perhitungan

Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk wajib

pajak badan  dihitung sebesar penghasilan netto nya.

Ø 

PKP  WP Badan  = Penghasilan Netto

Page 15: SAP 8 Perpajakan II.doc

         

Cara Menghitung PKP. Perhitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak badan dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan pembukuan atau menggunakan norma

perhitungan penghasilan netto.

Menghitung PKP dengan menggunakan pembukuan

Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama dengan penghasilan nettonya yaitu penghasilan

bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang PPh .

PKP  WP Badan  = Penghasilan Netto

       = Penghasilan Bruto - Biaya yang diperkenankan UU PPh

 

Menghitung PKP dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan netto

PKP  WP Badan  = Penghasilan Netto – Kompensasi  Kerugian

                              = ( Penghasilan Bruto – biaya  yang diperkenankan UU PPh ) –  kompensasi 

Kerugian

Page 16: SAP 8 Perpajakan II.doc

Apabila dalam menghitung PKP nya wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan

penghasilan netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan persentase norma

perhitungan penghasilan netto dikali dengan jumlah peredaran usahanya.Dalam hal terdapat rugi

tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan maka 

Ø Tarif PPh Wajib Pajak Badan

Pada Pasal 17 ayat 1 huruf (b) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan : “b. Wajib Pajak badan

dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen)”.

Pada  Pasal 17 ayat 2 huruf (a) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan “a. Tarif sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 huruf (b) menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak

tahun pajak 2010”. 

Kemudian pada pasal 17 (2b) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dikatakan “ Wajib Pajak

badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh

persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia

dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen)

lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

a.      Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b

Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu sebesar

28%.

PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Page 17: SAP 8 Perpajakan II.doc

Contoh:

Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000

 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000

 Pajak Penghasilan yang terutang = 28% x Rp 4.000.000.000

 = Rp 1.120.000.000

 b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)

 Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka

yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor

diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib

Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif

sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008.

 PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Contoh:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000

Pajak Penghasilan yang terutang = (28% - 5%) x Rp1.250.000.000

= Rp 287.500.000.

Lihat : Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan

bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

c. Tarif PPh Pasal 31E

Page 18: SAP 8 Perpajakan II.doc

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000

(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh

persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang

dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp

4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu

sebagai berikut:

 PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka

penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:

 PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak

memperoleh fasilitas

 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas

yaitu:

(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh

fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto

yang memperoleh fasilitas.

 Contoh 1):

 Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan

Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.

Page 19: SAP 8 Perpajakan II.doc

 Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari

peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang

berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000.

Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000

 = Rp 70.000.000

Contoh 2

 Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan Penghasilan

Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas

= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000

= Rp 480.000.000

 jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas

= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000

  Pajak Penghasilan yang terutang

= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)

= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000

= Rp772.800.000

Page 20: SAP 8 Perpajakan II.doc

9.5 Kredit Pajak PPh Badan

Ketentuan pasal 25 Undang-undang pajak penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya

angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan.

Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:

Wajib pajak membayar sendiri pajaknya (PPh pasal 25).Melalui pemotongan atau pemungutan

pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24).

Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk

setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat pemberitahuan

tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23, serta

pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.Pajak penghasilan yang

dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal

24.

Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Penghitungan Angsuran PPh pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu                                                        xxx

Pengurangan/Kredit pajak:

               PPh pasal 22                                              xxx

               PPh pasal 23                                              xxx

Page 21: SAP 8 Perpajakan II.doc

               PPh pasal 24                                              xxx

Total kredit pajak                                                                                               xxx (-)

Dasar penghitungan angsuran                                                                            xxx

Angsuran PPh pasal 25 = dasar penghitungan angsuran/12 (atau jumlah bulan dalam bagian

tahun pajak)

Contoh

Pajak penghasilan yang terutang untuk PT Perdana berdasarkan surat pemberitahuan tahunan

pajak penghasilan tahun 2009 sebesar Rp125.000.000.

Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di

luar negeri dalam tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh pasal 22) sebesar Rp30.000.000Pajak

penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh pasal 23) sebesar Rp15.000.000Pajak

penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp42.500.000 tetapi berdasar ketentuan yang

dapat dikreditkan (PPh pasal 24) sebesar Rp40.000.000

Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain, dan yang dibayarkan atau

terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 8 bulan dalam \

tahun 2009.

Angsuran PPh pasal 25 untuk tahun 2010 adalah:

PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2009                        Rp 125.000.000

Kredit pajak:

Page 22: SAP 8 Perpajakan II.doc

            PPh pasal 22                                        Rp30.000.000

            PPh pasal 23                                        Rp15.000.000

            PPh pasal 24                                        Rp40.000.000

Total kredit pajak                                                                                Rp  85.000.000

Dasar penghitungan angsuran                                                 Rp  40.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan (PPh pasal 25)

dalam tahun 2010 adalah:

Rp40.000.000 : 8 = Rp5.000.000

9.6 PPh Kurang Bayar

Menurut UU PPh Pasal 29 yang berbunyi: “Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak

ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)

kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.”

Untuk memberikan kepastian batas waktu pembayaran PPh kurang bayar pada SPT Tahunan PPh

untuk tahun pajak 2008 (PPh Pasal 29), maka Dirjen Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran

Nomor SE-35/PJ/2009 Tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian dan Pelunasan

Kekurangan Pembayaran Pajak Yang Terutang Berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak

2008.  Berdasarkan SE-35/PJ/2009 tersebut ditegaskan bahwa:

1.      Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi,

paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Page 23: SAP 8 Perpajakan II.doc

2.      Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling

lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

3.                Vb  Pelunasan kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan terutang berdasarkan SPT

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan harus dilakukan

sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan tersebut disampaikan, paling lama sesuai dengan batas

waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan

angka 2.

Berarti untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 maka kekurangannya harus dilunasi

tanggal 31 Maret 2009, sedangkan untuk SPT Tahunan PPh Badan tahun 2008 maka

kekurangannya harus dilunasi paling lama tanggal 30 April 2008 (jika tahun buku adalah Jan

s.d.Des).

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 )

SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah

kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang

masih harus dibayar.

SKPKB dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun dalam hal:

1.      Berdasarkan hasil pemeriksaan/keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang

dibayar. Atas pajak yang tidak/kurang dibayar tersebut ditambah sanksi administrasi bunga

sebesar 2% per bulan maksimum 24 bulan (berlaku baik atas PPh, PPN, maupun PPn BM).

2.      SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran. Atas

jumlah pajak yang terutang dikenakakan sanksi kenaikan sbb:

a.       PPh Sendiri (Badan/Orang Pribadi/BUT), kenaikan sebesar 50%

Page 24: SAP 8 Perpajakan II.doc

b.      PPh Pemotongan/Pemungutan, kenaikan sebesar 100%

c.       PPN/PPn BM, kenaikan sebesar 100%.

d.      Berdasarkan hasil pemeriksaan PPN/PPn BM disimpulkan bahwa ; terdapat PPN yang

seharusnya tidak dikompensasikan atau tidak dikenakan tarif 0%. Atas jumlah pajak yang

terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar 100%.

e.       Kewajiban Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (perihal pembukuan) dan

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (berkenaan dengan pemeriksaan) tidak

dipenuhi. Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar:

                          i.      100% untuk PPh sendiri (PPh Orang Pribadi/Badan/BUT).

                        ii.      50% untuk PPh Pemotongan/Pemungutan.

f.       SKPKB dapat diterbitkan meskipun jangka waktu 10 tahun telah lewat, dalam hal wajib

pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan oleh pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi bunga

48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

9.7 Angsuran PPh Pasal 25 tahun Barjalan

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem pembayaran

Pajak Penghasilan yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu penghasilan yang menjadi

objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur dalam Pasal 25 UU PPh.

Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan sebagai PPh Pasal 25) akan

diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan akan diperhitungkan sebagai kredit pajak

pengurang atas PPh terutang yang dihitung pada akhir tahun pajak.

Page 25: SAP 8 Perpajakan II.doc

Rumus untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (baik

orang pribadi maupun badan) setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah besarnya PPh terutang

tahun pajak sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan akan sama dengan PPh

terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga

(yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26) dibagi 12 atau

banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh).

PPh Pasal 25 ini harus disetorkan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya

(misalkan untuk masa Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari) serta

dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa Januari, maka paling

lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).

Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran pajak (PPh

Pasal 25) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu

SPT Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 untuk

bulan terakhir tahun pajak yang lalu (bulan Desember tahun sebelumnya).

Dengan adanya perbedaan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang pribadi

dengan badan di tahun 2009 ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh ini akan

berbeda untuk orang pribadi dan badan.

Mulai tahun pajak 2009 ini, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun

pajak 2008 adalah tanggal 31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25 masa Januari 2009

(yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa Februari 2009 (yang harus

disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu pelaporannya adalah sebelum batas

waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 disampaikan, sehingga tidak dapat dihitung

besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka untuk

kedua masa ini, dasar untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan

adalah berdasarkan setoran untuk masa Desember 2008).

Page 26: SAP 8 Perpajakan II.doc

Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari 2009 yang

angsurannya tetap menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008, untuk masa Maret

2009 (yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas penyetorannya ini

masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan) PPh Pasal 25-nya juga

mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008.

Barulah untuk setoran PPh Pasal 25 masa April 2009, Wajib Pajak badan harus

menyesuaikannya berdasarkan perhitungan pada angsuran Pasal 25 ayat (1).

hastari hayu di 05.48

Berbagi

 

2 komentar:

budibelog3 Februari 2013 03.12

trimaksih infonya

Balas

hendra setiawan20 November 2013 05.30

nice share gan. makasi

Balas

Page 27: SAP 8 Perpajakan II.doc

Beranda

Lihat versi web

iM ry Gand-upberyV

hastari hayusimple-calm-like organization-love family-love V ^^-chuby-want true love in my life

Diberdayakan oleh Blogger.

http://hastari-hayu.blogspot.co.id/2012/01/pph-badan.html?m=1