Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216 IMPLEMENTASI ...
Transcript of Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216 IMPLEMENTASI ...
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
74
IMPLEMENTASI PRINSIP EKONOMI SYARIAH DALAM PERATURAN PERBANKAN SYARIAH SEBAGAI PENCAPAIAN
DALAM HUKUM ISLAM
Oleh :
SAFARUDDIN MUNTHE, S.Pdi, M.EI Dosen STAI Jamiyah Mahmudiyah
Tanjung Pura Langkat NIDN: 2113058901
Email: [email protected]
ABSTRAK
Prinsip dalam ekonomi syariah dalam Al-Quran dan Hadis telah diimplementasikan dalam perbankan syariah. Implementasi baru sebagian karena bank syariah dalam operasionalnya masih dibatasi oleh peraturan Bank Indonesia dan peraturan/perundang-undangan yang berlaku, misalnya prinsip mudharabah, prinsip Mudharabah (mark-up), prinsip Bai Salam, prinsip Wadiah, prinsip Musyarakah, prinsip sewa (Ijarah). Bank syariah dalam pelaksanaan pengoprasiannya tidak semata-mata berdasarkan pada prinsip bagi hasil, tetapi lebih ditentukan pihak nasabah memilih produk perbankan yang mana yang diinginkan, karena lain produk jasa lain pula sistemnya hal ini sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kata Kuci: Prinsip-prinsip, Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prinsip-prinsip ekonomi
syariah dalam Al-Quran dan Hadis
telah diimplementasikan dalam
perbankan syariah. Implementasi baru
sebagian karena bank syariah dalam
operasionalnya masih dibatasi oleh
peraturan Bank Indonesia
danperaturan /perundang-undangan
yang berlaku, misalnya
prinsip mudharabah, prinsip Mudhara
bah (mark-up), prinsip Bai’ Salam,
prinsip Wadi’ah, prinsip Musyarakah,
prinsip sewa (Ijarah). Bank syariah
dalam pelaksanaan pengoprasiannya
tidak semata-mata berdasarkan pada
prinsip bagi hasil, tetapi lebih
ditentukan pihak nasabah memilih
produk perbankan yang mana yang
diinginkan, karena lain produk jasa
lain pula sistemnya hal ini sesuai
dengan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Ekonomi syariah adalah salah
satu sistem ekonomi yang dianut
beberapa Negara di dunia ini. Begitu
juga dengan Indonesia, beberapa
konsep ekonomi syariah mulai
berkembang dan tumbuh subur di
Indonesia. Mulai dari perbankan,
asuransi, hingga gadai sudah
memasuki babak perkembangan
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
75
sistem, dimana pada awalnya hanya
berorientasi kepada prinsip
konvensional (pengaturan umum yang
bersumber dari sistem yang dibawa
oleh kolonial Belanda) menuju sistem
perbankan syariah yang bersumber
dari prinsip-prinsip islam. Ekonomi
syariah adalah suatu kumpulan norma
hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Hadits yang mengatur
urusan perekonomian ummat
manusia1. Selanjutnya penjelasan UU
No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Agama menyatakan bahwa “ekonomi
syariah berarti perbuatan dan/atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah”.
Bank memainkan suatu
peranan yang sangat menentukan
dalam pengalokasian sumber-sumber
keuangan yang tersedia di dalam
masyarakat. Namun dengan melihat
kenyataan yang ada, dalam percaturan
perekonomian global saat ini rasanya
kita tidak bisa lepas dari adanya dual
system dalam perekonomian, yaitu
ekonomi syariah dan ekonomi
konvensional yang sudah sejak lama
kita kenal. Demikian pula dalam
penerapan sistem ekonomi pada
lembaga-lembaga keuangan seperti
perbankan maupun lembaga keuangan
lainnya, sehingga lahir istilah
1 Zainudin Ali, 2009, Hukum Perbankan
Syariah, Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 4
perbankan syariah dan perbankan
konvensional. Perbedaan keduanya
terletak pada philosophy of economics,
bukan pada science of economics,
philosophy of economics memberikan
ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islam
dan batasan-batasan syariah,
sedangkan science of economics berisi
alat-alat analisis ekonomi yang dapat
digunakan.2
Sedangkan di Indonesia,
dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah telah terdapat
legitimasi yuridis secara tegas bukan
saja kemungkinan untuk tumbuh dan
berkembangnya perbankan syariah,
melainkan juga perlu
mengembangkan lembaga syariah non
bank. Apabila semula menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, bank konvensional
tidak boleh memiliki Islamic
window dalam melakukan kegiatan
usahanya, maka dengan dirubahnya
undang-undang tersebut menjadi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 dan diperkuat lagi dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 serta Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, maka bank
konvensional di Indonesia dibenarkan
untuk membuka Islamic window, di
2 Adiwarman A. Karim, 2010, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi keempat, Rajawali Pers, Jakarta. Hal. 60
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
76
samping kegiatannya yang sudah
lazim dilakukan dalam memberikan
jasa-jasa perbankan dengan sistem
konvensional, juga bisa menawarkan
perbankan syariah.
Penafsiran mengenai riba yang
berpendapat bahwa bunga perbankan
modern (konvensional)
adalah riba telah menimbulkan
kebutuhan masyarakat mengenai
perlunya didirikan lembaga-lembaga
keuangan yang kegiatan usahanya
berdasarkan selain bunga. Dalam
hubungan ini, perbankan syariah
merupakan pengganti dari sistem
perbankan barat yang dianggap
modern tersebut. Praktik-praktik
perbankan syariah harus dilaksanakan
dengan menggunakan intrumen-
instrumen keuangan yang bertumpu
pada asas pembagian keuntungan dan
kerugian bukan pada bunga.3
Muhammad Syafi’i Antonio
dalam kata pengantar bukunya yang
berjudul Bank Syariah dari Teori ke
Praktik menyebutkan bahwa masih
adanya kekurang tegasan pendapat
sebagian ulama dan ormas Islam di
tanah air, tampak disebabkan oleh
beberapa alasan, di antaranya sebagai
berikut: Pertama, Kurang
komprehensifnya informasi yang
3 Sutan Remy Syahdeni, 1999, Perbankan
Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Cet, Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Hal. 19
sampai kepada para ulama dan
cendikiawan tentang bahaya dan
dampak destruktif sistem bunga,
terutama pada saat krisis moneter dan
ekonomi dilanda kelesuan,
kesenjangan informasi ini menjadikan
sebagian ulama merasa tenang-tenang
saja bahkan cenderung melegitimasi
mekanisme konvensional yang ada.
Hal ini tepat seperti yang ditegaskan
kaidah fiqhiyah, “hukum terhadap
sesuatu hal merupakan bagian yang
tidak terpisah dari cara pandang dan
informasi yang sampai kepada si
pemberi hukum” Kedua, Nash-
nash Al Qur’an dan
Sunnah Nabawiyah yang berkaitan
dengan riba cenderung kurang
dipahami secara komprehensif. Hal ini
tercermin dalam analisis, tahapan-
tahapan pelarangan riba, arahan
Rasulullah terhadap praktik bisnis dan
simpan pinjam sahabat, demikian juga
larangan praktik pembungahan uang
dalam ajaran yang
berakar samawi lainnya, seperti
Yahudi dan Nasrani. Ketiga, Belum
berkembang luasnya lembaga
keuangan syariah sehingga ulama
dalam posisi yang sulit untuk
melarang transaksi keuangan
konvensional yang demikian luas
itu. Keempat, Adanya “kemalasan
intelektual” yang cenderung pragmatis
yang memunculkan anggapan bahwa
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
77
praktik pembungaan uang, seperti
yang dilakukan lembaga-lembaga
keuangan ciptaan Yahudi, sudah
“sejalan” dengan ruh dan semangat
Islam. Para Ulama serta cendikiawan
tinggal membubuhkan stempel saja4.
Salah satu ayat yang menjadi
postulat bahwa ekonomi Islam yang
posisinya lebih tinggi dan lebih baik
dari sistem konvensional dijumpai
dalam Al Quran surat Ali Imran
(3):110. dilain pihak, hukum
asal muamalat menyatakan bahwa
“segala sesuatunya dibolehkan,
kecuali ada larangan dalam Al Quran
atau Sunnah” Jadi, sesungguhnya
terdapat lapangan yang luas sekali
dalam bidang muamalah. Yang perlu
dilakukan hanyalah
mengidentifikasikan hal-hal yang
dilarang (haram), kemudian
menghindarinya.5 Ayat lain yang
dapat dijadikan postulat adalah Al
Quran Surat Al Maidah 5 : 48. yang
khas dan unik, sesuai dengan keadaan
mereka sendiri, hal ihwal jalan
pikirannya serta perkembangan
keruhaniannya.6 Jadi, penerapan
syariah ini mengikuti evolusi
peradaban manusia, seiring dengan
diutusnya rasul-rasul kepada umat-
4 Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Islamic
Banking, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta. Hal. ix-x
5 Adiwarman A Karim, 2001, Opcit. Hal. 9 6 Ibid. Hal. 7
umat tertentu dan pada zaman-zaman
tertentu. Proses perkembangan syariat
ini pada akhirnya tuntas dengan
diutusnya Nabi Muhammad Saw yang
membawa syariat Islam.
Perkembangan ekonomi Islam
membuktikan bahwa Islam sebagai
rahmat bagi seluruh umat manusia.
Konsep tentang kesejahteraan
yang dipilih oleh ilmu ekonomi
termasuk juga filterisasi, motivasi, dan
mekanisme restrukturisasi yang
diadopsi pada dasarnya ditentukan
oleh pandangan dunianya, yang pada
gilirannya memiliki kecenderungan
untuk mempengaruhi “hakikat
refleksi manusia tentang tiap-tiap
subjek.7 Teori kesejahteraan dalam
ekonomi Islam yang berporos
pada alfalah ( kesejahteraan material /
duniawi) dan al-
ashalah (kesejahteraan spiritual/
ukhrowi) sejalan dengan teori
kesejahteraan dalam ilmu hukum
sebagaimana terkandung dalam UUD
1945. Teori kejahteraan dalam UUD
1945 sesuai dengan teori tujuan
mendirikan negara yang dikemukakan
pemikir Islam al-Mawardi,
yakni liharasat aldiin wa al umur al
dynyawiyyah untuk memelihara agama
7 Chapra, Umer, 2001, Masa Depan Ilmu
Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, (The Future of Economics : An Islamic Perspective, Gema Insani, Jakarta. Hal. 10
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
78
dan kehidupan di dunia. (al-ahkam al
sulthoniyyah).
Sejalan dengan uraian di atas
dan hukum Islam sebagai sub sistem
hukum nasional, maka strategi dan
kebijakan pembangunan nasional
untuk mewujudkan masyarakat adil,
makmur dan sejahtera serta untuk
memulihkan sektor ekonomi, perlu
disertai dengan upaya pengelolaan
keuangan secara optimal melalui
peningkatan efisiensi guna
menjalankan prinsip-prinsip syariah.
Oleh karenanya, diperlukan
pengembangan berbagai instrumen
keuangan yang mampu memobilisasi
dana publik secara luas dengan
memperhatikan nilai-nilai ekonomi,
sosial dan budaya yang berkembang
dalam masyarakat, terutama potensi
sumber pembiayaan pembangunan
nasional yang menggunakan
instrumen keuangan berbasis syariah
yang sebenarnya memiliki peluang
besar tetapi belum dimanfaatkan
secara optimal. Pada bagian lain ada
orang yang beranggapan bahwa
merupakan kesalahan besar, jika
menganggap sistem ekonomi syariah
hanyalah proyek kecil dan bahkan
dapat ditangani oleh gerakan
individual. Gambaran bertentangan
dengan firman dalam Al Quran surat
Al An’am (6) ayat 57.
Walaupun selama ini orang
beranggapan bahwa konsep ekonomi
yang paling baik adalah sistem
liberalisme dan sistem sosialisme
ternyata pada tahun 2008 yang
ditandai dengan terjadinya krisis
ekonomi global di beberapa negara di
dunia termasuk Indonesia juga
mengalami hal yang serupa ternyata
tidak mampu bertahan. Dengan
pengalaman inilah di beberapa negara
Eropa mulai mencoba untuk
menerapkan ekonomi syariah
walaupun sekalanya belum besar.
Perbankan Syariah Inggris makin
menarik, dari pada saudaranya
perbankan konvensional, di tengah
krisis perekonomian seperti ini,
perbankan syariah terhitung tak
lekang. Bank Syariah Inggris (IBB)
misalnya malah mencatatkan
pertumbuhan pelanggan lima persen.
Sementara, pembiayaan pelanggan
menanjak 13 persen. Sebenarnya
potensi umat Islam belum besar tetapi
bila hal itu dimanfaatkan dengan baik,
maka bisa mendatangkan suatu
keuntungan.8
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan
rumusan masalah yang
merupakan academic problem dapat
8 Sofyan S. Harahap, 2004, Bunga Rampai
Ekonomi, Bisnis dan Manajemen Islami, BPFE Universitas Gaja Mada, Yogyakarta. Hal. 1
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
79
ditarik beberapa pertanyaan penelitian
(research Question) sebagai berikut ;
a) Bagaimana prinsip pada ekonomi
syariah apabila ditransformasi
dalam peraturan Perbankan untuk
mencapai tujuan hukum Islam ?
b) Bagaimana implementasi prinsip
dalam hukum ekonomi syariah
pada perbankan syariah dan
kompilasi hukum ekonomi
syariah?
c) Bagaimana pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dalam
perbankan syariah di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan
masalah tersebut di atas, maka tujuan
penulisan dapat diuraikan sebaga
berikut :
a) Untuk menelaah prinsip pada
ekonomi syariah apabila
ditransformasi dalam peraturan
perbankan untuk mencapai tujuan
dalam hukum Islam.
b) Untuk mengetahui implementasi
prinsip dalam hukum ekonomi
syariah pada perbankan syariah
dan kompilasi hukum ekonomi
syariah.
c) Untuk melakukan menganalisis
atas pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dalam
perbankan syariah di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Pada Ekonomi Syariah
Apabila Ditransformasi Dalam
Peraturan Perbankan Syariah
Untuk Pencapaian Tujuan Dalam
Hukum Islam
a) Prinsip Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia
Sebelum berbicara
mengenai prinsip hukum
perbankan syariah, terlebih dahulu
berbicara prinsip-prinsip hukum
Islam. Prinsip-prinsip (al-mabda)
adalah landasan yang menjadi titik
tolak atau pedoman pemikiran
kefilsafatan dan pembinaan hukum
Islam. Prinsip-prinsip itu antara
lain:
Pertama, Mengesakan
Tuhan (tauhid), semua manusia
dikumpulkan di bawah panji-panji
atau ketetapan yang sama yaitu: La
Ilaha Ilallah9 ; Kedua, Manusia
berhubungan langsung dengan
Allah, tanpa atau meniadakan
perantara antara manusia dengan
Tuhan10; Ketiga, Keadilan bagi
manusia, baik terhadap dirinya
sendiri, maupun terhadap orang
lain11 (; Keempat, Persamaan (al-
musawah) di antara umat manusia,
9 Lihat QS Surat Ali Imran ayat: 64 10 Lihat QS Surat Al-Ghafir ayat: 60, dan Al-
Baqarah ayat: 186 11 Lihat QS.an-Nisa’ ayat: 135, QS. Al-Maidah
ayat: 8, QS. Al An’am ayat: 152, QS.al Hujarat ayat: 9
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
80
persamaan di antara sesama umat
Islam.tidak ada perbedaan antara
orang Arab dan ‘Ajam, antara
manusia yang berkulit putih dan
hitam, yang membedakannya
hanyalah takwanya12
; Kelima, Kemerdekaan atau
kebebasan (al-hurriyah), meliputi
kebebasan agama, kebebasan
berbuat dan bertindak, kebebasan
pribadi dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh hukum13
; Keenam, Amar ma’ruf nahi
munkar, yaitu memerintahkan
untuk berbuat yang baik, benar,
sesuai dengan kemaslahatan
manusia, diridhoi oleh Allah dan
memerintahkan untuk menjauhi
perbuatan buruk, tidak benar,
merugikan umat manusia,
bertentangan dengan perintah
Allah14; Ketujuh, Tolong
menolong (ta’awun), yaitu tolong
menolong, saling membantu antar
sesame manusia sesuai dengan
prinsip tauhid, dalam kebaikan dan
takwa kepada Allah swt, bukan
tolong menolong dalam dosa dan
permusuhan15
12 Lihat QS. Al-Hujarat ayat: 13, QS.al-Isra
ayat: 70 dan beberapa hadis 13 Lihat QS.al Baqarah ayat: 256, QS.al-
Kafirun ayat: 5, QS al-Kahfi ayat: 29 14 Lihat QS.Ali Imran ayat: 110 15 Lihat QS.al- Maidah ayat: 2, QS.al-
Mujadalah ayat: 9
Kedelapan, Toleransi
(tasamuh), yaitu sikap saling
menghormati, untuk menciptakan
kerukunan dan kedamaian antar
sesama manusia16
; Kesembilan, Musyawarah dalam
memecahkan segala masalah
kehidupan17; Kesepuluh, Jalan
tengah (ausath,wasathan) dalam
segala hal18; Kesebelas,
Menghadapkan pembebanan
(khitab, Taklif) kepada akal19
b) Larangan Riba Dalam Al-Quran
dan As-Sunnah
1) Larangan Riba Dalam Al-
Quran
Larangan riba yang
terdapat dalam Al-Quran tidak
diturunkan sekaligus
melainkan diturunkan dalam
empat tahap.20 Tahap pertama,
menolak anggapan bahwa
pinjaman riba yang pada
zahirnya seolah-olah menolong
mereka yang memerlukan
sebagai suatu perbuatan
mendekati
atau taqarrub kepada Allah
16 Lihat QS.mumtahanah ayat: 8,9 17 Lihat QS.Ali Imran ayat: 159, QS.as-Syura’
ayat:138 18 Lihat QS.al Baqarah ayat: 143
19 Lihat QS.al-Hasyr ayat: 2, QS.al Baqarah ayat: 75, QS.al-An’am ayat: 32, 118.
20 Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Opcit. Hal. 48
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
81
swt, Al-Quran surat Ar-Ruum
(30) ayat 39 :
Tahap
kedua, riba digambarkan
sebagai suatu yang buruk,
Allah swt mengamcam akan
memberi balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang
memakan riba. Al-Quran surat
an-Nisaa’(4) ayat 160-161
Tahap ketiga, riba
diharamkan dengan dikaitkan
kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahwa
pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang
banyak dipraktikkan pada
masa tersebut Allah berfirman
dalam surah Ali Imran : 130.
Tahap keempat : Allah SWT
dengan jelas dan tegas
mengharamkan apapun jenis
tambahan yang diambil dari
pinjaman. Ini adalah ayat
terakhir yang diturunkan
menyangkut riba. Allah
berfirman dalam surah Al-
Baqarah : 278-279
2) Larangan Riba Dalam As
Sunnah
Riba al fadl ini
merupakan bentuk kedua
dari riba yang digunakan dan
selalu terjadi dalam transaksi
antara pembeli dan penjual.
Pembahasan mengenai riba
fadl telah dimulai sejak hadis
menyatakan bahwa emas,
perak, gandum, dan garam
dapat ditukar baik dengan
barang itu sendiri maupun
dengan barang yang lain
dengan jumlah yang sesuai.
Riba
nasiah berhubungan dengan
pinjaman uang dan dilarang
seperti yang telah dijelaskan di
atas, sedangkan untuk riba
fadl berhubungan dengan
perdagangan.Sangatlah sulit
untuk menghilangkan riba
nasiah sehingga diperlukan
sebuah komitmen, perubahan
yang mendasar dari semua
dalam sudut pandang
Islam. Riba al nasiah dikenal
pada masa jahilliyah,
sedangkan untuk riba
fadl diperkenalkan oleh Islam
dan menggambarkan
karakteristik yang konsisten
dalam keadilan ekonomi dan
sosial.
2.2 Implentasi Prinsip Dalam Pebankan
Syariah Pada Perbankan Syariah
dan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
82
Indonesia sebagai Negara yang
penduduknya mayoritas beragama
islam menjadi faktor utama kekuatan
bank syariah di Indonesia. Bahkan,
sejak masa kebangkitan nasional yang
pertama. Kemudian di Indonesia
perkembangan Bank Syariah memang
telah lama didambakan.bahkan pada
Ketua umum Pengurus Besar
Muhammadiyah periode 1937-1944
yakni KH. Mas Mansyur telah
menyatakan bahwa, penggunaan jasa
perbankan konvensional suatu hal
yang terpaksa dilakukan terutama oleh
kalangan umat islam. Hal ini
dikarenakan umat islam belum
memiliki sistem perbankan sendiri
yang bebas dari Riba21.
Hal ini kemudian disusul oleh
seminar nasional hubungan Indonesia
dengan Timur Tengah pada Tahun
1974 bdan pada Tahun 1976 dalam
seminar internasional yang
dilaksanakan oleh Lembaga Studi
Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK)
dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika.
Namun ide ini belum terelisasi
dikarenakan prinsip perbankan syariah
belum ada aturannya, serta konsep
bagi hasil dianggap berkonotasi
ideologis. Kemudian hal ini
direalisasikan dengan Badan hukum
Koperasi Baitut Tamwil pada Tahun
21 Karnaen A. Perwaatmadja dan Hendri Tanjung, , 2007, Bank Syariah Teori, Praktik dan Peranannya, Celestial, Jakarta. Hal. 93
1980-an dan berdirinya Bank-bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di
beberapa daerah di Indonesia.
Kemudian secara yuridis mulai
menggaung pada Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
yang direvisi dengan Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998. Dan barulah Pada
Tahun 2008 Perbankan Syariah
memiliki payung hukum sendiri
melalui Undang-undang No. 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah
(selanjutnya disebut UU PS)22.
Selain itu, perbankan syariah
juga mendapat dukungan dari lembaga
keuangan islam di seluruh dunia. Pada
Tahun 1970 tepatnya pada bulan
Desember 1970 di Karachi, Pakistan,
para Menteri-Menteri luar negeri
Negara-negara muslim diseluruh dunia
menyepakati berdirinya Islamic
Development Bank (IDB). Indonesia
sendiri menjadi anggota pendiri IDB.
Menurut ketentuan di dalam IDB,
tepatnya pada Article of Agreementnya
Pasal 2 Ayat XI yang menyatakan
akan membantu berdirinya bank-bank
yang akan beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip Syariah Islam di
Negara-negara anggotanya.23
Bahkan lebih jauh apabila
diperlukan, IDB dipastikan dapat turut
22 Gemala Dewi, 2005, Aspek-Aspek Hukum
dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hal. 53
23 Ibid
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
83
serta dalam permodalan bank syariah
tersebut sebagaimana juga telah
dilakukan di sejumlah Negara
anggotanya. Di Indonesia sendiri IDB
pernah membantu permodalan PT.
Bank Muamalat Indonesia tahap
pertama sebesar US$. 3 Juta, dan
kemudian pada tahap berikutnya
ditambah lagi sehingga menjadi US$.
10 Juta.24
Selanjutnya kekuatan
perbankan syariah juga bertumpu
kepada sistem hukum syariah yang
memang memiliki karakteristik sendiri
dan berbeda dengan sistem perbankan
konvesional. Teori perusahaan yang
dikembangkan selama ini di Indonesia
menekankan prinsip memaksimalkan
keuntungan perusahaan. Namun teori
ekonomi yang dimaksud, bergeser
pada sistem nilai yang lebih luas, yaitu
manfaat yang didapatkan tidak lagi
berfokus kepada pemegang saham,
melainkan pada semua pihak yang
dapat merasakan manfaat kehadiran
suatu unit kegiatan ekonomi dan
keuangan25.
Bank Indonesia memberikan
persetujuan atau penolakan terhadap
permohonan persetujuan prinsip dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 30
hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap. Persetujuan
24 Ibid 25 Zainuddin Ali: 2008, Opcit. Hal. 20
prinsip dimaksud berlaku untuk
jangka waktu 180 hari terhitung sejak
tanggal surat persetujuan prinsip
dikeluarkan. Bank yang telah
mendapatkan persetujuan prinsip
dapat melaksanakan kegiatan usaha
bank.
Pada dasarnya suatu akad atau
perjanjian tidak memerlukan format
tertentu. Sesuai asas konsensualitas,
perjanjian telah timbul sejak
tercapainya kesepakatan.26 Para pihak
dianggap telah mempunyai hak dan
kewajiban pada saat disepakatinya
meskipun dibuat secara lisan. Namun
demikian demi kepastian hukum,
perlindungan para pihak dan
pembuktian, perjanjian lazim
dituangkan dalam suatu format
tertentu sebagai formalitas seperti
dalam bentuk akta (pernyataan
tertulis).27
Secara aplikatif akta ini ada
yang berbentuk akta otentik dan ada
yang berbentuk di bawah tangan. Akta
otentik adalah suatu akta yang dibuat
di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai atau pejabat umum
yang berkuasa untuk itu ditempat
dimana akta itu dibuat (Pasal 1868
26 Subekti, 1976, Hukum Perjanjian, Cet. ke iv,
Intermasa, Jakarta. Hal. 15 27 Faturrahman Djamil, 2012, Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah di bank Syariah, cet 1. Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 1
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
84
KUH Perdata). Pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik
berdasarkan perundang-undangan
adalah Notaris; Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT); Pejabat dari Kantor
Cacatan Sipil, Pejabat Lelang dan Juru
Sita.28 Sedangkan akta di bawah
tangan adalah segala tulisan atau akta
yang dibuat tidak oleh atau dihadapan
pejabat umum, melainkan dibuat dan
ditandatangani sendiri oleh para pihak
yang mengadakan perjanjian29.
2.3 Pelaksanaan Peraturan Perundang-
Undangan Perbankan Syariah di
Indonesia
a) Bentuk-Bentuk Produk Bank
Syariah
Bank syariah sebagai
sebuah entitas bisnis Islami
menjadikan nilai dan hukum Islam
sebagai panduan dalam hal
apapun. Termasuk dalam
menciptakan produk dan akad
yang digunakan. Pada aplikasinya
operasional bank syariah di
dasarkan kepada prinsip jual beli
dan bagi hasil sesuai dengan
prinsip-prinsip lain yang sesuai
dengan syariat Islam. Adapun
bentuk akad dasar dalam
menciptakan produk bank syariah
meliputi :
28 Ibid. Hal. 2 29 Lihat Pasal 1874 KUHPerdata
1. Al Wadiah
Yaitu perjanjian antar
pemilik barang (termasuk
uang) dengan penyimpanan
(termasuk bank) dimana pihak
penyimpan bersedia untuk
menyimpan dan menjaga
keselamatan barang dan atau
uang yang dititipkan
kepadanya. Hal ini sesuai yang
diatur dalam QS An-Nisaa : 58
dan Surat Al Baqarah 283
seperti tersebut dalam halaman
157-158 di atas.
2. Al-Mudharabah
Yaitu perjanjian antara
pemilik modal (uang/barang)
dengan pengusaha di mana
pemilik modal mebiayai
sepenuhnya suatu
proyek/usaha yang pengusaha
bersedia untuk mengelola
proyek tersebut dengan bagi
hasil. Hal ini sesuai dengan
yang diatur dalam QS:Al
Muzammil: 20.
3. Mudharabah dalam aplikasi
simpanan
Aplikasi prinsip ini
adalah bahwa deposan atau
penyimpan bertindak
sebagai shohibul mal dan bank
sebagai mudharib. Dana ini
digunakan bank untuk
melakukan pembiayaan akad
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
85
jual beli maupun syirkah. Jika
terjadi kerugian maka bank
bertanggungjawab atas
kerugian yang terjadi.
4. Al-Musyarakah
Al-Musyarakah yaitu
perjanjian kerjasama antara 2
pihak/lebih pemilik modal
(uang/barang) untuk mencapai
suatu usaha. Hal ini sesuai
dengan yang diatur dalam QS
An-Nisaa’ 4 : 12.
5. Al Bai’
Al-Bai’
akad persetujuan jual beli
terhadap suatu barang. Seperti
yang diatur dalam QS An-
Nisaa : 29.
Untuk selanjutnya akad ini
dikembangkan dalama beberapa
produk akad meliputi :
1. Pembiayaan Murabahah (dari
kata Ribhu =keuntungan)
Bank sebagai penjual
dan nasabah sebagai pembeli,
barang diserahkan segera.
2. Pembiayaan Salam (jual beli
barang belum ada)
Pembayaran tunai,
barang diserahkan tangguh.
Bank sebagai pembeli, dan
nasabah sebagai penjual.
Dalam transaksi ini ada
kepastian tentang kuantitas,
kualitas, harga dan waktu
penyerahan.
3. Pembiayaan Istishna’
Yaitu jual beli
seperti akad salam namun
pembayarannya dilakukan oleh
bank dalam beberapa kali
pembayaran. Istishna’ diterapk
an pada pembiayaan
manufaktur dan konstruksi.
4. Al-Ijarah
Al Ijarah adalah
perjanjian antara pemilik
barang dengan menyewa yang
membolehkan penyewa
,memanfaatkan barang tersebut
dengan membayar sewa sesuai
dengan persetujuan kedua
belah pihak. Hal ini sesuai
yang terdapat dalam QS Al
Qashash ayat 28 : 26.
b) Bentuk Penghimpunan Dana
Bank Syariah
Bank syariah mempunyai
beberapa bentuk penghimpunan
dana berdasarkan prinsip-prinsip
yang terdiri atas: (a).
Prinsip wadiah, baik dalam bentuk
giro Tabungan, deposito, maupun
bentuk lainnya, (b).
Prinsip mudharabah (c). Akad
pelengkap, misalnya wakalah.
1. Wadi’ah (titipan)
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
86
Wadi’ah dalam tradisi
fiqih Islam, dikenal dengan
prinsip titipan atau
simpanan. Wadi’ah dapat juga
diartikan titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik
sebagai individu maupun
sebagai suatu badan hukum.
Titipan dimaksud, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendaki.
Dapat dikatakan bahwa sifat-
sifat dari wadi’ah, sebagai
produk perbankan syariah
berbentuk giro yang
merupakan titipan murni (yad
danamah). Dasar
hukum wadi’ah adalah QS An-
Nisaa’ ayat 58.
2. Mudharabah( investasi)
Mudharabah berasal
dari kata dharb yang artinya
memukul atau lebih tepatnya
adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam
perjalanan usaha. Secara
teknis, mudharabah adalah
sebuah akad kerjasama
antarpihak, yaitu pihak
pertama (shahib al-mal)
menyediakan seluruh (100 %)
modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Hal
yang sama juga diungkapkan
oleh Abdurrahman Al-Jaziri
yang memberikan
arti mudharabah sebagai
ungkapan pemberian harta dari
seseorang kepada orang lain
sebagai modal usaha. Namun
keuntungan yang diperoleh
akan dibagi diantara mereka
berdua, dan jika rugi
ditanggung oleh pemilik
modal.30
3. Murabahah (pembiayaan
dengan margin)
Murabahah merupakan
salah satu bentuk menghimpun
dana yang dilakukan oleh
perbankan syariah, baik untuk
kegiatan usaha yang bersifat
produktif, maupun yang
bersifat
konsumtif. Murabahah adalah
jual beli barang pada harga
asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati
dan tidak terlalu memberatkan
calon pembeli. Dengan
kontrak murabahah, penjual
harus memberitahukan harga
produk yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai
tambahannya.
Kontrak murabahah dapat
dilakukan untuk pembelian
secara pemesanan, yang biasa
30 Zainuddin Ali, 2009, Opcit. Hal. 25
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
87
disebut murabahah kepada
pemesan pembalian. Hal
dimaksud, Rahman Al –Jaziri
jual beli, demikian dikenal
dengan istilah al-amru bi asy-
syira.31
4. Bai bi As-Saman ‘Ajil
Bai bi As-Saman
‘Ajil adalah suatu perjanjian
pembiayaan yang disepakati
antara bank dan nasabah, yaitu
pihak bank menyediakan dana
untuk pembelian
barang/asset yang dibutuhkan
oleh nasabah untuk
mendukung suatu uusaha atau
suatu proyek. Selanjutnya
nasabah akan membayar secara
kredit dengan mark-up yang
didasarkan atas opportunity
cost project (OCP).32
5. Musyarakah
Musyarakah adalah
akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih untuk
melakukan suatu usaha
tertentu. Masing-masing pihak
dalam melakukan usaha
dimaksud, memberikan
kontribusi dana (atau
amal/expertise) berdasarkan
kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan
31 Ibid. Hal. 26 32 Ibid. Hal. 28
ditanggung bersama sesuai
kesepakatan ketika melakukan
akad. Akad jenis ini
disebut profit & loss sharing.
c) Implementasi Prinsip Syariah
Pada Bank Muamalat Indonesia
Bank muamalat Indonesia
adalah sebuah bank yang
berpedoman pada syariat Islam
dengan tata kerja mengacu pada Al
Quran dan Al Hadis lembaga
didirikan atas gagasan Majelis
Ulama Indonesia bekerja sama
dengan berbagai pihak lain. Akta
pendiriannya ditandatangani pada
tanggal 1 Nopember 1991, dan
diresmikan beroperasi mulai 1 Mei
1992 berpedoman pada syariat
Islam dengan tata kerja mengacu
pada Al Quran dan Al Hadis.
Ide pembentukan dan
pendirian Bank Muamalat
Indonesia ini bermula dalam
sebuah lokakarya “Bunga Bank
dan Perbankan” yang
diselenggarakan Majelis Ulama
Indonesia pada tanggal 18-20
Agustus 1990 di Cisarua Bogor.
Ide ini kemudian dipertegas dalam
munas Majelis Ulama Indonesia
ke 4 di Jakarta pada tanggal 22-25
Agustus 1990. Kemudian pada
tanggal 27 Agustus 1991 tim
pengurus Bank Muamalat
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
88
Indonesia diterima Presiden
Suharto yang menyatakan
dukungannya terhadap pendirian
Bank Muamalat Indonesia.
Bank Muamalat Indonesia,
dalam struktur kepengurusannya,
memiliki Biro Direksi Riset dan
Dewan Pengawas Syariat yang
beranggotakan para ulama, untuk
mengawasi bank agar tetap
berjalan sesuai dengan yang
dikehendaki hukum syara’ Islam.
Selain melaksanakan riset dan
pengembangan produk, biro ini
berfungsi untuk menerjemahkan
konsep syariat dalam produk-
produk yang dikeluarkan Bank
Muamalat Indonesia.
d) Dewan Syariah Nasional Dan
Dewan Pengawas Syariah
1) Dewan Syariah Nasional
Dewan syariah nasional
(DSN) merupakan bagian dari
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang bertugas
menumbuhkembangkan
penerapan nilai-nilai syariah
dalam kegiatan perekonomian
pada umumnya dan sektor
keuangan pada khususnya,
termasuk usaha bank, asuransi,
dan reksa dana. Anggota DSN
terdiri dari para ulama, praktisi
dan pakar dalam bidang-
bidang yang terkait dengan
perekonomian dan syariah
muamalah. Anggota DSN
ditunjuk dan diangkat oleh
MUI untuk bakti 4 tahun. DSN
merupakan satu-satunya badan
yang mempunyai kewenangan
yang mengeluarkan fatwa dan
jenis-jenis kegiatan, produk
dan jasa keuangan syariah;
serta mengawasi penerapan
fatwa dimaksud oleh lembaga-
lembaga keuangan syariah di
Indonesia.
Disamping itu DSN
juga mempunyai kewenangan
untuk : Pertama, Memberikan
atau mencabut rekomendasi
nama-nama yang akan duduk
sebagai anggota DPS pada
suatu lembaga keuangan
syariah. Kedua, Mengeluarkan
fatwa yang mengikat DPS di
masing-masing lembaga
keuangan syariah dan menjadi
dasar tindakan hukum fihak
terkait. Ketiga, Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan
bagi ketentuan yang
dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti Bank
Indonesia dan
BAPEPAM. Keempat,
Memberi peringatan kepada
lembaga keuangan syariah
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
89
untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa
yang telah dikeluarkan oleh
DSN. Kelima, Mengusulkan
kepada pihak yang berwenang
untuk mengambil tindakan
apabila peringatan tidak
diindahkan.33
Keberadaan Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI
belum diatur secara khusus
dalam sebuah undang-undang.
Dasar hukum yang mengikat
bagi DSN adalah Peraturan
Bank Indonesia nomor
6/24/PBI/2004 tentang Bank
Umum yang melaksanakan
kegiatan usaha Berdasarkan
prinsip syariah. Dalam
pengaturan ini hanya
dijelaskan pengertian DSN,
tidak diatur hal-hal lainnya.
Aturan lain adalah surat
keputusan yang dikeluarkan
oleh Majelis Ulama Indonesia.
Menurut PBI nomor
6/24/PBI/2004. Dewan Syariah
Nasional adalah dewan yang
dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas dan
memiliki kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang
produk dan jasa dalam
33 Habib Nasir, 2004, Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan Syariah, Kaki Langit, Bandung. Hal. 97
kegiatan usaha bank yang
melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
dewan syariah nasional
berfungsi memberikan
kejelasan atas kinerja lembaga
keuangan syariah agar betul-
betul berjalan sesuai dengan
prinsip syariah. Lahirnya DSN
sebagai wujud dan antisipasi
atas kekhawatiran munculnya
perbedaan fatwa di kalangan
dewan pengawas syariah.
Karena bersifat fiqhiyah,
kemungkinan tejadi perbedaan
pendapat fatwa yang besar.
Untuk itu dengan dibentuknya,
sebuiah dawn pemberi fatwa
ekonomi Islam yang berlaku
secara nasional diharapkan
tidak terjadi perbedaan istinbat
hukum. Fatwa DSN menjadi
pegangan bagi DSN untuk
mengawasi apakah lembaga
keuangan syariah menjalankan
prinsip syariah dengan benar.
DSN adalah salah satu
lembaga yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia pada
tahun 1998 yang kemudian
dikukuhkan oleh SK Dewan
Pimpinan MUI nomor Kep-
754/MUI/II/1999 tertanggal 10
Februari 1999.
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
90
Selain itu kehadiran
DSN pun diharapkan dapat
berfungsi untuk mendorong
penerapan ajaran Islam dalam
kehidupan ekonomi dan
keuangan. Oleh karena itu
DSN akan senantiasa dan
berperan secara proaktif dalam
menanggapi perkembangan
masyarakat Indonesia yang
dinamis dalam bidang ekonomi
dan keuangan DSN memiliki
metode tersendiri dalam
menjamin kesyariahan
ekonomi Islam. Karakteristik
utama dari metode itu adalah
: Pertama, Jika ada suatu teks
di dalam Al Quran atau sunnah
yang tampak relevan dengan
problem yang dihadapi, Dewan
Syariah tidak akan mencari di
luar teks tersebut. Jika ada
kesepakatan di
kalangan fuqaha atas suatu
masalah. Dewan Syariah
mengikuti apa yang sudah
menjadi kesepakatan
itu; Kedua, Menguji masalah
yang sedang berkembang di
masyarakat, untuk dilihat
apakah masalah itu dapat
dimasukkan ke dalam salah
satu kontrak atau masalah yang
diharamkan atau dihalalkan
dalam fiqh. Dalam
perbandingan antara masalah
yang dihadapi dengan yang
ada dalam fiqh ini, fokus
Dewan Syariah umumnya
adalah definisi-legal fiqh. Jika
masalah itu akan diselesaikan
dengan hukum yang ada dalam
fiqh.34
2) Dewan Pengawas Syariah
Dewan pengawas
syariah yang selanjutnya
disingkat DPS adalah badan
independen pada bank.
Anggota DPS harus terdiri dari
para pakar dibidang syariah
muamalah yang juga memiliki
pengetahuan umum perbankan.
Persyaratan anggota DPS
diatur dan ditetapkan oleh
DSN. Dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari. DPS wajib
mengikuti fatwa DSN yang
merupakan otoritas tertinggi
dalam mengeluarkan fatwa
mengenai kesesuaian produk
dan jasa bank dengan
ketentuan dan prinsip syariah.
Tugas utama DPS
adalah mengawasi kegiatan
usaha bank agar tidak
menyimpang dari ketentuan
dari prinsip syariah yang telah
difatwakan oleg DSN. Selain
34 Mardani, 2011, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, cet 1, Rajawali Press, Jakarta. Hal. 154
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
91
itu DPS juga mempunyai
fungsi : Pertama, Sebagai
penasehat dan pemberi syaran
kepada direksi, pimpinan unit
usaha syariah dan pimpinan
kantor cabang syariah
mengenai hal-hal yang terkait
dengan aspek syariah. Kedua,
Sebagai mediator antara bank
dan DSN dalam
mengkomunikasikan usul dan
saran pengembangan produk
dan jasa dari bank yang
memerlukan kajian dan fatwa
dari DSN. Ketiga, Sebagai
perwakilan DSN yang
ditempatkan pada bank. DPS
wajib melaporkan kegiatan
usaha serta perkembangan
bank syariah yang diawasinya
kepada DSN sekurang-
kurangnya satu kali dalam satu
tahun.35
Dewan Pengawas
Syariah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan
yang mengakomodasikan DPS
sebagai lembaga pengawas
syariah terhadap bank yang
menerapkan prinsip syariah.
Pedoman dasar DSN (bab II
35 Habib Nasir, 2004, Opcit. Hal. 96
ayat 5) mengemukakan,
Dewan Pengawas Syariah
adalah badan yang ada di
lembaga keuangan syariah dan
bertugas mengawasi
pelaksanaan keputusan Dewan
Syariah Nasional di lembaga
keuangan syariah. Sementara
itu, pedoman rumah tangga
DSN (pasal 3 ayat 8)
menegaskan, untuk lebih
mengefektifkan peran DSN
pada lembaga keuangan
syariah dibentuk Dewan
Pengawas Syariah, disingkat
DPS, sebagai perwakilan DSN
pada lembaga keuangan
syariah yang bersangkutan.
DPS, sebagaimana diatur
dalam PBI no. 6/24/PBI/2004
adalah dewan yang melakukan
pengawasan terhadap prinsip
syariah dalam kegiatan usaha
LKS.
III. KESIMPULAN dan SARAN
3.1 Simpulan
Sesuai uraian tersebut di atas,
penulis menarik simpulan bahwa
tujuan peulisan disertasi ini
sebenarnya sudah terjawab. Hal ini
bisa dilihat dalam beberapa rumusan
simpulan di bawah ini :
1) Bahwa sebagian prinsip-prinsip
ekonomi syariah yang telah diatur
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
92
dalam Al Quran dan Hadis telah
ditransformasi kedalam undang-
undang Perbankan Syariah.
Berbagai jenis sumber daya
dipandang sebagai pemberian atau
titipan Tuhan kepada manusia.
Islam mengakui kepemilikan
pribadi dalam batas-batas tertentu.
Kekuatan penggerak utama
ekonomi Islam adalah kerja sama.
Pemilikan kekayaan pribadi harus
berperan sebagai capital produktif
yang akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Islam
menjamin kepemilikan masyarakat
dan penggunanya direncanakan
untuk kepentingan orang banyak.
Orang muslim harus takut kepada
Allah dan hari kiamat, oleh karena
itu Islam mencela keuntungan
yang berlebihan, perdagangan
yang tidak jujur, perlakuan yang
tidak adil, dan semua bentuk
diskriminasi dan penindasan.
Seorang muslim yang
kekayaannya melebihi tingkat
tertentu (nisab) diwajibkan
membayar zakat. Islam melarang
setiap pembayaran bunga (riba)
atas berbagai bentuk pinjaman,
apakah pinjaman itu berasal dari
teman, perusahaan perorangan,
pemerintah maupun institusi lain.
Pasal 24 ayat (1) dan (2) dilarang
melakukan kegiatan usaha yang
bertentangan dengan prinsip
syariah. Pasal 25 dilarang
melakukan kegiatan usaha yang
bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah. Pasal 26
perbankan syariah juga
menegakkan bahwa kegiatan usaha
bank umum syariah, unit usaha
syariah, dan bank pembiayaan
rakyat syariah wajib tunduk
kepada prinsip syariah yang
difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional- Majelis Ulama
Indonesia.
2) Sebagian prinsip-prinsip ekonomi
syariah dalam Al-Quran dan Hadis
telah diimplementasikan dalam
perbankan Implementasi baru
sebagian karena bank syariah
dalam operasionalnya masih
dibatasi oleh peraturan Bank
Indonesia dan
peraturan/perundang-undangan
yang berlaku, misalnya
prinsip mudharabah, prinsip Mudh
arabah (mark-up), prinsip Bai’
Salam, prinsip Wadi’ah,
prinsip Musyarakah, prinsip sewa
(Ijarah). Melihat realitas tersebut
di atas, bahwa perbankan syariah
di Indonesia bukanlah perbankan
yang berbasis hukum Islam murni
atau dengan kata lain bahwa
perbankan Islam di Indonesia
bukanlah perbankan Islam yang
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
93
sebenarnya. Hal ini tentunya
menjadi keprihatinan bagi bangsa
Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim.
3) Bank syariah dalam pelaksanaan
pengoprasiannya tidak semata-
mata berdasarkan pada prinsip
bagi hasil, tetapi lebih ditentukan
pihak nasabah memilih produk
perbankan yang mana yang
diinginkan, karena lain produk jasa
lain pula sistemnya hal ini sesuai
dengan yang diatur dalam undang-
undang nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
3.2 Saran
Maka adapun saran dalam
penulisan ini yaitu sebagai berikut:
1) Secara akademis melakukan kajian
tentang prinsip-prinsip syariah,
baik yang ada dalam Undang-
Undang nomor 21 tahun 2008
maupun yang ada dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, hal ini dimaksudkan agar
dalam penerapan prinsip-prinsip
syariah pada perbankan syariah
bisa sesuai dengan yang dimaksud
dalam Al Quran dan Hadis Nabi.
Oleh karenanya, perlu peran serta
para akademisi untuk mengkaji
undang-undang Perbankan
Syariah, agar perbankan syariah
Indonesia kedepan sesuai dengan
Al Quran dan Hadi Nabi.
2) Untuk lebih meningkatkan peran
perbankan syariah dalam
pembangunan ekonomi di
Indonesia, sekaligus
memberdayakan peran masyarakat
dalam pembangunan ekonomi
syariah, perlu adanya upaya
sosialisasi keberadaan perbankan
syariah disetiap lapisan
masyarakat baik melalui seminar
maupun penyuluhan-penyuluhan
yang dilakukan secara berkala.
3) Bagi pemerintah sebaiknya terus
melakukan regulasi yang
memungkinkan perbankan syariah
bisa tumbuh dan berkembang
tanpa sedikitpun yang
menyimpang dari Ketentuan Al
Quran dan Hadis Nabi. Bila
Perbankan Syariah ingin tumbuh
dan berkembang dengan baik,
maka kepatuhan terhadap undang-
undang dan fatwa Dewan Syariah
Nasional, khususnya yang
berkaitan dengan perbankan
syariah adalah salah satu kunci
keberhasilan usaha berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku:
Al-Quran terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia.
Adiwarman, A. Karim, 2010, Bank Islam
Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi keempat, Rajawali Pers, Jakarta
Safaruddin Munthe ISSN Nomor 2337-7216
Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 05. No. 01 Maret 2017
94
Antonio, Syafii, Muhammad, 2009, Bank Syariah; dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta
----------------------, 2001, Islamic Banking,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta
Ali, Zainuddin, 2008, Hukum Ekonomi
Syariah, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
-------------------, 2009, Hukum Perbankan
Syariah, Sinar Grafika, Jakarta Dewi, Gemala, 2005, Aspek-Aspek Hukum
dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Chapra, Umer, 2001, Masa Depan Ilmu
Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, (The Future of Economics : An Islamic Perspective, Gema Insani, Jakarta
Djamil, Faturrahman, 2012, Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah di bank Syariah, cet 1. Sinar Grafika, Jakarta
Harahap, Sofyan S., 2004, Bunga Rampai
Ekonomi, Bisnis dan Manajemen Islami, BPFE Universitas Gaja Mada, Yogyakarta,
Mardani, 2011, Ayat-Ayat Dan Hadis
Ekonomi Syariah, cet 1, Rajawali Press, Jakarta
Nasir, Habib, 2004, Ensiklopedi Ekonomi
Dan Perbankan Syariah, Kaki Langit, Bandung
Perwaatmadja, Karnaen A. dan Tanjung,
Hendri, 2007, Bank Syariah Teori, Praktik dan Peranannya, Celestial, Jakarta.
Subekti, 1976, Hukum Perjanjian, Cet. ke iv,
Intermasa, Jakarta Syahdeni, Remy, Sutan, 1999, Perbankan
Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Cet, Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
Usman, Suparman, 2001, Hukum Islam Asas-
Asas dan Pengantar Studi Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta
2. Peraturan Perundang-undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah