S1-2014-284216-chapter1
-
Upload
agus-sudrajat -
Category
Documents
-
view
213 -
download
1
description
Transcript of S1-2014-284216-chapter1
-
xvi
Gambar 4.15 Peta Kelas Lebar Jalan Masuk Kecamatan Balikpapan
Selatan . 100
Gambar 4.16 Peta Pelanggan Listrik terhadap Blok Bangunan . 103
Gambar 4.17 Kenampakan Kualitas jalan baik hasil lapangan 105
Gambar 4.18 Peta Kelas Kualitas Jalan Kecamatan Balikpapan
Selatan 106
Gambar 4.19 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jarak Kantor
Pemadam Kebakaran Kecamatan Balikpapan Selatan 110
Gambar 4.20 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jangkauan Sumber
Air Kecamatan Balikpapan Selatan .. 114
Gambar 4.21 Peta Blok Permukiman Terhadap Buffer Hidran Kecamatan
Balikpapan Selatan . 117
Gambar 4.22 Peta Potensi Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan
Selatan 125
Gambar 4.23 Peta Penanganan Kebakaran Permukiman Kecamatan
Balikpapan Selatan . 131
Gambar 4.24 Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman
Kecamatan Balikpapan Selatan .. 135
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota merupakan tempat segala aktivitas yang melibatkan beberapa
komponen masyarakat yang saling berintegrasi terhadap berbagai bidang
kegiatan, seperti tempat bermukimnya masyarakat, tempat bekerja, tempat
dilakukannya berbagai kegiatan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan
pemerintahan. Kota dapat diibaratkan sebagai pusat dari segala aktivitas manusia
yang mengalami perkembangan. Perkembangan Kota dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain bertambahnya jumlah penduduk yang mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi yang meningkat, kebutuhan akan lahan semakin
meningkat, tersedianya kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana umum yang
memadai untuk menjalankan aktifitas penduduk dan kota digunakan sebagai
tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Sehingga dari dasar inilah suatu
kota dapat dilihat arah perkembangan kota kecil menuju kedalam perkembangan
kota besar (Karina, 2006).
Kota Balikpapan merupakan kota yang sedang mengalami tahap
perkembangan kota, ini dicirikan oleh bertambahnya jumlah penduduk yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun serta penyediaan fasilitas umum yang
memadai untuk menunjang aktivitas masyarakat. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk maka semakin besar kebutuhan lahan, seperti tempat untuk tinggal.
Menurut Ditjen Cipta Karya PU (1980), terdapat tiga permasalahan yang dihadapi
oleh kawasan perkotaan, yaitu (1) adanya kecenderungan pemusatan kegiatan; (2)
perkembangan penggunaan lahan yang bercampur; dan (3) terjadinya perubahan
alih fungsi lahan dari ruang terbuka, lahan konservasi, atau ruang terbuka hijau
menjadi kawasan terbangun (permukiman, industri, perkantoran), sehingga
permasalahan yang dihadapi di wilayah kota berkembang khususnya Kota
Balikpapan antara lain adalah perubahan lahan untuk menunjang kehidupan
masyarakat kota, baik dalam segi penyediaan sarana dan prasarana umum,
maupun penyediaan lahan untuk tempat bermukim, dikarenakan semakin
-
2
banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa
penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin lagi
untuk di konversi maka terjadi pemadatan permukiman. Pada kawasan padat
permukiman sangat memungkinkan terjadinya sambungan listrik liar yang dapat
mengakibatkan terjadinya kebakaran permukiman.
Kebakaran permukiman merupakan salah satu bencana yang memiliki
dampak yang sangat besar dalam hal kerugian, baik dalam hal kerugian material
maupun korban jiwa. Bencana kebakaran terjadi tidak mengenal waktu sehingga
kejadiannya tidak dapat diprediksi kapan dan dimana peristiwa ini dapat terjadi.
Menurut Suprapto, 2005, kebakaran adalah api yang tidak dikehendaki. Dengan
demikian kebakaran sebenarnya adalah kondisi natural akibat persentuhan bahan
bakar (fuel), oksigen dan panas atau kalor, yang tidak dikehendaki. Bencana
kebakaran ini terjadi akibat adanya faktor pemicu, faktor pemicu yang berasal dari
sumber api maupun faktor pemicu disekelilingnya, contohnya saja permukiman
yang berdekatan satu dengan yang lainnya.
Daerah yang rentan terhadap bahaya kebakaran dicirikan oleh kondisi fisik
bangunan itu sendiri, biasanya terjadi pada permukiman padat dengan pola tidak
teratur yang memiliki kualitas bahan bangunan rendah, ditambah dengan
minimnya fasilitas pemadam kebakaran. Jarak antar rumah yang sempit akan
menyulitkan mobil petugas pemadam kebakaran, dan kurang berfungsinya hidran
akan memudahkan perembetan api (Suharyadi, 2001). Dengan melihat dampak
kerugian yang ditimbulkan oleh bencana kebakaran begitu besar, maka harus
memperhatikan resiko yang terjadi akibat bencana kebakaran, seperti kawasan
rawan kebakaran pada permukiman dan area luasan dampak kebakaran yang
ditimbulkan dari bencana kebakaran ini. Sehingga nantinya dapat meminimalisir
dampak musibah peristiwa kebakaran, baik dari segi keamanan lingkungan, serta
mengurangi dampak kerugian harta benda maupun korban jiwa.
Peristiwa kebakaran yang terjadi di Kota Balikpapan menurut data dari
Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran Kota Balikpapan (BPBK) mengalami
peningkatan yang signifikan. Berikut tabel 1.1 dan tabel 1.2 menerangkan
-
3
mengenai jumlah kasus kebakaran dari tahun ke tahun beserta kerugian harta
benda serta korban jiwa yang dihasilkan di wilayah Kota Balikpapan.
Tabel 1.1 Kasus Kejadian Kebakaran tahun 2009 2012 di Kota Balikpapan
No. Tahun
Kejadian Jumlah Kasus
Dampak Musibah Kebakaran (rumah mukim)
1 2009 88 kasus 37 rumah 2 2010 59 kasus 29 rumah 3 2011 93 kasus 33 rumah 4 2012 102 kasus 51 rumah
Sumber: BPBK (Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran) Kota Balikpapan, 2012
Tabel 1.2 Kerugian Harta Benda dan Korban Jiwa dalam Kebakaran tahun 2009
2012 di Kota Balikpapan
No. Tahun Korban Harta
(Rp. Milyar) Meninggal Luka Berat Luka Ringan
1 2009 - - - - 2 2010 - - - - 3 2011 2 - - 18,884 4 2012 2 - - 10,313
Sumber: BPBK (Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran) Kota Balikpapan, 2012
Kota yang berkembang harus memiliki sistem informasi keruangan yang
digunakan untuk menunjang perkembangan kota dan menghasilkan informasi
yang dibutuhkan masyarakat. Sistem ini berupa pemberian informasi kepada
masyarakat maupun pengambilan informasi secara spasial yang dibutuhkan untuk
melihat perkembangan kota. Salah satu teknik yang digunakan untuk
mendapatkan informasi mengenai data keruangan yaitu menggunakan teknik
penginderaan jauh yang berperan penting dalam bidang studi perkotaan.
Penggunaan teknik penginderaan jauh ini didasarkan oleh pengambilan informasi
tanpa melakukan kontak langsung. Media yang digunakan untuk analisis studi
perkotaan yaitu menggunakan citra satelit yang memiliki resolusi spasial yang
tinggi, dikarenakan resolusi spasial yang tinggi ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi objek kenampakan secara lebih detail khususnya dalam hal
mengidentifikasi permukiman. Menurut Danoedoro (2003), resolusi spasial tinggi
-
4
digunakan untuk mendukung aplikasi perkotaan yang dicirikan oleh pengenalan
pola permukiman serta perluasan dan perkembangan wilayah terbangun.
Kemudian menurut Gunawan (2005), hasil informasi yang didapat dari
penyadapan informasi dari citra yang memiliki resolusi tinggi yaitu meliputi
kepadatan rumah, permukiman kumuh (slump area), drainase Kota, dan topografi.
Produk Penginderaan Jauh yang memiliki keunggulan dalam hal resolusi
spasial yang tinggi dan temporal dalam hal membantu untuk memperoleh data
dan informasi spasial adalah citra satelit Quickbird. Citra satelit Quickbird ini
merupakan salah satu produk penginderaan jauh terkini yang digunakan untuk
membantu dalam hal memperoleh informasi dan data spasial di wilayah
perkotaan. Citra Satelit Quickbird memiliki resolusi spasial yang tinggi yaitu pada
saluran pankromatik resolusi spasialnya yaitu 0,61 meter sedangkan pada saluran
multispektral resolusi spasialnya yaitu 2,44 meter, sehingga dari resolusi spasial
yang tinggi ini maka untuk menganalisis maupun melakukan pengambilan data
dan informasi kewilayahan sangat baik digunakan untuk studi perkotaan.
Pengolahan dan penyajian dari hasil teknik penginderaan jauh dapat dilakukan
dengan memanfaatkan sistem informasi geografis.
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu aplikasi yang
digunkan untuk membantu dalam hal mengolah data, menganalisis data dan
memanipulasi data spasial. Dalam melakukan penelitian ini aplikasi Sistem
Informasi Geografis (SIG) digunakan sebagai alat bantu dalam hal mengolah dan
menganalisis suatu data yang telah di dapat dari hasil interpretasi pada citra
penginderaan jauh. Aplikasi ini digunakan untuk mengetahui variabel yang
berpengaruh secara langsung ataupun variabel yang tidak berpengaruh terhadap
kerawanan kebakaran permukiman, sehingga nantinya dapat memberikan
informasi berupa peta zonasi kerawanan kebakaran permukiman.
Peta merupakan hasil representasi data yang telah diolah dan dianalisis.
Kelebihan data yang disajikan dalam bentuk peta yaitu dapat memberikan
informasi mengenai lokasi atau persebaran daerah rawan kebakaran, membantu
peneliti sebelum melakukan survei, dan digunakan sebagai alat analisis di
lapangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyediaan data dalam bentuk peta
-
5
memberikan kemudahan bagi pembuat peta dan bagi pengguna peta untuk
menyampaikan dan mendapatkan informasi yang diinginkan.
1.2. Rumusan Masalah
Perubahan alih fungsi lahan atau konversi lahan baik dari lahan terbuka
menjadi lahan terbangun khususnya diperuntukan bagi kawasan permukiman
manjadi tantangan yang dihadapi di wilayah perkotaan yang sedang berkembang.
Dikarenakan kota yang berkembang secara cepat dan dinamis memaksa
perubahan lahan untuk kawasan permukiman menjadi bertambah.
Berkembangnya suatu kota yang diiringi oleh bertambahnya jumlah penduduk
menjadikan kota tersebut memiliki permasalahan dalam hal pemadatan
permukiman yang dapat menimbulkan bencana kebakaran, Oleh sebab itu
permasalahan yang ditimbulkan dari bertambahnya jumlah penduduk dan
bertambahnya jumlah permukiman dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas
permukiman, baik dari segi keamanan lingkungan maupun material bangunan.
Kebakaran merupakan salah satu bencana yang memiliki tingkat dampak
kerugian yang sangat besar dilihat dari kerugian yang ditimbulkan, baik berupa
kerugian material maupun kerugian jiwa. Hal ini berkaitan dengan tingkat
kerawanan kebakaran dalam wilayah perkotaan yang harus memperhatikan suatu
sistem yang dapat memberikan informasi mengenai penyajian informasi yang
dibutuhkan untuk dijadikan sebagai sarana pendukung atau penanggulangan
musibah kebakaran. Adapun beberapa variabel yang digunakan untuk mengetahui
zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman baik dari segi potensi kebakaran
dan penanganan kebakaran adalah kepadatan permukiman, lebar jalan masuk, pola
permukiman, kualitas bahan bangunan permukiman, pelanggan listrik, kualitas
jalan, ketersediaan fasilitas hidran, fasilitas pemadam lainnya berupa fasilitas unit
pemadam kebakaran dan sumber air yang digunakan untuk melakukan
pemadaman kebakaran.
Penyediaan suatu data yang bersifat kompleks seperti daerah perkotaan
haruslah bersifat valid, rinci, dan up to date ini dikarenakan sifat kota yang selalu
bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman, kota berfungsi sebagai pusat
-
6
kegiatan, dan kota sebagai tempat untuk mencari kehidupan yang layak, oleh
sebab itu sebagai jawaban dari penyediaan data yang dibutuhkan secara valid,
rinci, dan up to date maka dibutuhkan teknik yang dapat memecahkan
permasalahan analisis perkotaan, yaitu teknik penginderaan jauh yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan analisis wilayah perkotaan dengan
cara melakukan interpretasi objek kota pada tiap analisis wilayah perkotaan untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan berdasarkan analisis wilayah perkotaan.
Penyediaan data ini dapat berupa hasil analisis yang telah dilakukan berdasarkan
interpretasi menggunakan media citra resolusi tinggi yang digunakan untuk
mendapatkan dan menyadap informasi secara berkala mengenai aktifitas
perkotaan yang berubah begitu cepat, ataupun dengan cara melakukan kontak
langsung untuk melihat perubahan yang ditimbulkan dari perkembangan kota
yang begitu pesat.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Balikpapan. Kota Balikpapan
memiliki luas wilayah dataran sebesar 503,3 km2 dan terdiri dari 5 kecamatan dan
27 kelurahan (RTRW Kota Balikpapan, 2005-2015). Dilihat dari luas wilayah
Kota Balikpapan, maka tidak seluruh wilayah akan dilakukan pengkajian
mengenai analisis kerawanan kebakaran permukiman, tetapi wilayah yang akan
dikaji mengenai kerawanan kebakaran permukiman yaitu di kecamatan
Balikpapan Selatan. Alasan utama pemilihan kecamatan Balikpapan Selatan yang
digunakan sebagai daerah kajian adalah dikarenakan kecamatan Balikpapan
Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu sebesar 190.529 jiwa atau
sekitar 34,36% penduduk Kota Balikpapan (Statistik Kota Balikpapan, 2011),
dikarenakan jumlah penduduk yang begitu pesat mengakibatkan kebutuhan akan
lahan permukiman khususnya rumah mukim semakin meningkat dan apabila
kebutuhan akan lahan tersebut tidak tersedia maka akan terjadi pemadatan
permukiman yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan
permukiman yang mengakibatkan musibah kebakaran, dan alasan lainya dalam
hal pemilihan wilayah penelitian ini adalah daerah tersebut belum memiliki peta
zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman. Berikut akan ditampilkan
-
7
mengenai persentase penduduk per kecamatan di wilayah Kota Balikpapan pada
gambar 1.1.
Gambar 1.1 Persentase penduduk per kecamatan Sumber : Bappeda Kota Balikpapan, 2011
Jumlah penduduk di Kecamatan Balikpapan Selatan memiliki persentase
angka tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya, maka hal itu selaras atau
berbanding lurus dengan luasan area pada Kecamatan Balikpapan Selatan. Luas
wilayah tidak mempengaruhi kepadatan penduduk, kepadatan penduduk dapat
terjadi pada satu wilayah yang memiliki fasilitas sarana dan prasarana umum baik,
dikarenakan semakin baik fasilitas yang dimiliki suatu kota maka semakin banyak
penduduk yang berdatangan dan ingin mendiami suatu wilayah tersebut yang
digunakan untuk menunjang segala aktivitas penduduk. Berikut akan ditampilkan
sebaran luas wilayah administrasi di Kecamatan Balikpapan Selatan pada tabel
1.3.
Tabel 1.3 Administrasi Kecamatan Balikpapan Selatan
No. Kecamatan Balikpapan Selatan
Kelurahan Luasan Area (Ha) 1 Prapatan 314,12 2 Telagasari 253,48 3 Klandasan Ulu 89,00 4 Klandasan Ilir 143,50 5 Damai 601,75 6 Gunung Bahagia 891,72 7 Sepinggan 2502,00
Sumber: Bappeda Kota Balikpapan, 2012
34%
11%22%
18%
15%
selatan timur utara tengah barat
-
8
Dari penjelasan sebelumnya mengenai luas wilayah, jumlah penduduk yang
berada di kecamatan Balikpapan Selatan, serta belum adanya peta zonasi
kerawanan kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan maka
Kecamatan Balikpapan Selatan menjadi salah satu alasan dipilihnya daerah ini
menjadi lokasi penelitian. Sehingga semakin banyak jumah penduduk yang
mendiami suatu wilayah khususnya Kecamatan Balikpapan Selatan maka semakin
bertambah kebutuhan lahan akan permukiman dan apabila suatu lahan tidak
mungkin lagi di konversi menjadi lahan baru yaitu lahan permukiman maka dapat
mengakibatkan pemadatan permukiman yang tidak memperhatikan resiko
keselamatan lingkungan akan bencana kebakaran. Bencana kebakaran dapat
ditekan tingkat kejadiannya apabila masyarakat mengetahui arti penting
keselamatan kebakaran dilihat dari faktor lingkungan dan cara penanggulangan
kebakaran.
Kendala yang dihadapi dalam hal penanganan kebakaran di wilayah
perkotaan salah satunya adalah berupa akses jalan yang kurang representatif,
bentuk permukiman yang padat mengelompok, kurangnya ketersediaan sumber
air pada area permukiman padat penduduk, jangkauan unit pemadam kebakaran
yang jauh dari permukiman padat penduduk, tidak tersedianya hidran pada area
permukiman yang digunakan untuk penanggulangan dini ketika terjadi bencana
kebakaran, serta kondisi fisik bangunan yang mudah terbakar. Hal tesebut menjadi
alasan utama terhambatnya proses penanggulangan kebakaran. Selain faktor
lingkungan yang menjadi penghambat dalam hal penanggulangan kebakaran
terdapat hal dasar yang menjadi permasalahan yang dihadapi dalam hal
penanggulangan kebakaran secara dini yaitu kurangnya fasilitas pemadaman
kebakaran yang tersedia, minimnya pengetahuan masyarakat dalam menggunakan
fasilitas pemadam kebakaran, serta kurang tanggapnya masyarakat terhadap
musibah kebakaran dapat menjadikan suatu musibah kebakaran ini menjadi besar.
Dilihat dari kondisi yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
-
9
1. Seberapa besar kemampuan citra Quickbird untuk mendapatkan variabel yang
dibutuhkan untuk menganalisis tingkat kerawanan kebakaran permukiman di
kecamatan Balikpapan Selatan?
2. Bagaimana manfaat Sistem Informasi Geografis yang digunakan untuk
memetakan variabel potensi kebakaran dan variabel penanganan kebakaran?
Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis
akan melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis untuk Pemetaan Zonasi Kerawanan Kebakaran Permukiman
dengan Memanfaatkan Citra Quickbird di Kecamatan Balikpapan Selatan.
1.3. Tujuan
1. Mengkaji kemampuan citra Quickbird dalam hal mendapatkan data variabel
potensi kebakaran yang akan digunakan untuk menentukan kawasan rawan
kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan.
2. Memetakan zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman berdasarkan
faktor kondisi fisik bangunan dan faktor penanganan bencana kebakaran.
1.4. Manfaat
1. Memberikan masukan mengenai bahaya kebakaran dilihat dari kawasan
permukiman yang memiliki bahaya kebakaran terhadap penanganan
kebakaran di Kota Balikpapan.
2. Membantu pihak Pemerintah Kota Balikpapan dalam hal memberikan
informasi mengenai kawasan rawan kebakaran pada Kota Balikpapan
khususnya di kecamatan Balikpapan Selatan.
1.5. Kegunaan Penelitian
1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak kerugian
bencana kebakaran permukiman baik dalam hal bagaimana terjadinya
kebakaran dan cara penanggulangannya secara tepat.
-
10
2. Membantu pihak pemkot (Pemerintah Kota) Balikpapan dalam hal
menaggulangi bencana kebakaran secara dini dengan memberikan informasi
kawasan yang rawan kebakaran di kecamatan Balikpapan Selatan.
1.6 TINJAUAN PUSTAKA
1.6.1 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan suatu teknik aplikasi yang dikembangkan
oleh para ilmuan terkemuka untuk membantu dalam hal menyadap informasi yang
dibutuhkan tanpa adanya kontak langsung ke lapangan (Lillesand et. al, 2004),
sehingga melalui teknik Penginderaan Jauh ini menyadap suatu informasi dapat
dilakukan dengan mudah dan dapat membantu dalam tingkat keefektifan
penyadapan informasi dan pengefisienan waktu dalam hal penyadapan informasi.
Penginderaan jauh berasal dari bahasa inggris yaitu Remote Sensing yang dimana
memiliki pengertian yaitu suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan
informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan suatu alat
yang dimana tanpa berhubungan langsung dengan suatu objek yang akan dikaji
(Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi dari dasar inilah penginderaan jauh dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni yang digunakan untuk mendapatkan informasi,
menganalisis informasi yang terdapat di permukaan bumi dari jarak jauh yang
dilakukan perekamannya di udara dan menggunakan media atau alat (sensor) dan
wahana untuk merekam objek yang terdapat di permukaan bumi.
Lindgren (1985) mengemukakan bahwa penginderaan jauh merupakan
variasi teknik yang dikembangkan untuk perolehan analisis informasi tentang
bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan dan
dipancarkan dari permukaan bumi. Dari hasil pendapat yang telah dikemukakan
oleh Lindgren maka penginderaan jauh adalah suatu teknik aplikasi yang
dikembangkan untuk menyadap atau memperoleh informasi dengan cara
perpaduan teknik hasil interaksi antara tenaga, objek, alat, serta wahana yang
dimana menghasilkan suatu produk gambar yang dinamakan citra. Untuk
menganalisis lebih jauh mengenai hasil produk aplikasi penginderaan jauh ini
-
11
maka dilakukan suatu analisis lebih detaiil agar penyampaian hasil informasi yang
dibutuhkan dapat tercapai.
Data hasil teknik penginderaan jauh berupa citra. Citra merupakan suatu
gambaran hasil perekaman objek di permukaan bumi yang diambil dengan
menggunakan teknik penginderaan jauh. Menurut Sutanto (1986) hal dasar yang
melandasi penggunaan citra penginderaan jauh adalah sebagai berikut:
1. Citra merupakan hasil perekaman yang menggambarkan objek, daerah, dan
gejala yang terdapat di permukaan bumi dengan keadaan aslinya yang terdapat
di permukaan bumi.
2. Citra menggambarkan objek, daerah , dan gejala yang lengkap dan memiliki
kajian daerah yang luas dan permanen.
3. Objek yang terdapat pada citra dapat menghasilkan gambaran 3 dimensi
dengan menggunakan bantuan alat stereoskop.
4. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra dapat menggambarkan suatu
keadaan atau daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial.
Cracknel (1986), dalam Sutanto (1986) telah membedakan teknik
penginderaan jauh menjadi 3 sistem yaitu: (1) sistem pasif yang menggunakan
tenaga pancaran objek, (2) sistem pasif yang menggunakan pantulan sinar
matahari, dan (3) sistem aktif yang berupa laser, radar, dan lidar. Sistem pasif
tenaga atau sumber tenaga berasal dari matahari. Dalam sistem pasif yaitu
menggunakan sumber tenaga matahari sebagai tenaga utama dalam hal melakukan
perekaman haruslah memperhatikan besarnya tenaga yang dipancarkan oleh
sumber energi yaitu matahari dengan memperhatikan konsep pantulan dan
hamburan. Sistem pasif dalam penginderaan jauh yang menggunakan tenaga
matahari sebagai sumber utamanya hanya dapat beroperasi pada siang hari dan
memiliki cuaca yang terang atau cerah. Sedangkan pada sistem aktif sumber
tenaga atau energi berasal dari sensor yang menghasilkan pancaran energi yang
berasal dari alat (sensor) itu sendiri, dengan cara kerja memancarkan gelombang
yang dihasilkan dari alat (sensor) kemudian ditangkap kembali oleh alat (sensor)
dengan memperhatikan sistem pantulan objek yang dipancarkan gelombang.
-
12
Salah satu teknik penginderaan jauh yang banyak digunakan dalam hal
aplikasi penerapannya yaitu dalam hal studi perkotaan, studi perkotaan ini
menjadi penting dikarenakan pemanfaatan dan perolehan data yang dibutuhkan
haruslah bersifat up to date serta valid. Sehingga peran penginderaan jauh inilah
menjadi penting dalam hal perolehan informasi dan data yang up to date dan
valid. Sifat perkotaan yang dinamis dan selalu berkembang menjadikan suatu area
perkotaan yang harus dikaji lebih detail dalam hal permasalahan yang terjadi di
wilayah perkotaan. Permasalahan yang muncul di perkotaan kebanyakan berasal
dari lingkup wilayah perkotaan yang sedang berkembang ataupun lingkup wilayah
perkotaan besar. Adapun permasalahan yang sering timbul di wilayah perkotaan
yaitu permasalahan perkembangan penduduk yang tinggi, kesenjangan sosial, arah
perkembangan Kota, musibah seperti: (kebakaran, banjir, dan tanah longsor),
sampah perkotaan, dan sebagainya.
Penginderaan jauh menjadi penting dan diperlukan apabila suatu
permasalahan yang menyangkut area spasial sulit untuk dicari dan dipecahkan
secara cepat permasalahan yang dihadapi di perkotaan. Sehingga peran
penginderaan jauh inilah menjadi sangat penting untuk memperoleh informasi
mengenai kespasialan,contohnya saja penggunaan teknik penginderaan jauh yang
digunakan dalam hal musibah kebakaran di perkotaan. Teknik penginderaan jauh
ini sangatlah membantu dalam hal melihat kawasan yang memiliki kerawanan
kebakaran yang tinggi, sedang, dan rendah. Dari teknik penginderaan jauh dengan
hasil yaitu produk citra dalam hal studi perkotaan dapat memberikan informasi
mengenai bentuk bangunan, ketinggian bangunan, pola bangunan, kepadatan
bangunan, jalan, sungai, dan atribut lain yang terdapat dalam area perkotaan.
Kebanyakan teknik penginderaan jauh yang digunakan dalam hal studi perkotaan
menggunakan citra dengan resolusi besar dalam hal penerapan dan perekaman
informasi yang direkam menggunakan teknik penginderaan jauh. Dikarenakan
semakin besar atau tinggi resolusi yang digunakan maka semakin detail objek
yang dapat direkam ataupun dilihat oleh kasat mata maka semakin baik kualitas
citra resolusi besar atau tinggi dalam hal melakukan analisis mengenai studi
-
13
perkotaan dengan menampakkan setiap objek detail yang tergambar pada citra
dengan resolusi tinggi.
Peran penginderaan jauh untuk analisis perkotaan khususnya untuk
menganalisis peristiwa kebakaran perkotaan tidak bisa dilakukan secara langsung
untuk mengidentifikasi kebakaran perkotaan melainkan harus menurunkan dan
menemukan parameter yang digunakan dalam hal menganalisis musibah
kebakaran, sehingga peran teknik penginderaan jauh dapat menemukan parameter
yang dibutuhkan dalam hal analisis kebakaran Kota dengan melihat beberapa
kenampakan yang tertera di citra hasil produk teknik penginderaan jauh, serta
dalam kaitanya dengan teknik penginderaan jauh yang menghasilkan suatu produk
citra haruslah mengkaji citra dan melakukan penafsiran terhadap produk
penginderaan jauh yaitu citra tersebut dengan cara mengenali objek yang
tergambar di citra, dalam hal pengenalan objek yang tergambar haruslah
melakukan beberapa kegiatan dalam hal pengenalan objek dengan cara deteksi,
identifikasi, dan analisis.
1.6.2 Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah suatu teknik pengkajian objek yang terdapat pada
citra yang diperuntukan untuk mengidentifikasi objek dan menilai objek yang
digunakan sebagai analisis dasar pengenalan citra. Pengenalan objek yang
tergambar pada citra dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan yaitu deteksi,
identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengenalan dasar objek yang terdapat
pada citra, identifikasi adalah suatu usaha untuk membagi objek atau mencirikan
objek yang telah dideteksi dengan memberikan beberapa keterangan yang
mewakili tiap objek hasil identifikasi, sedangkan analisis adalah tahapan yang
digunakan untuk mengumpulkan keterangan yang telah didapat dari kegiatan
deteksi dan identifikasi yang digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Kegiatan interpretasi citra dapat dilakukan dengan cara visual maupun
secara digital. Interpretasi secara visual dapat dilakukan dengan cara melihat citra
hardcopy ataupun citra yang terdapat pada layar monitor, sedangkan interpretasi
citra dengan cara digital yaitu menganalisis objek gambaran permukaan bumi
-
14
yang terdapat pada citra yang memiliki tujuan mengidentifikasi objek dan menilai
arti tiap objek yang tertera pada citra (Howard, dalam Suharyadi 2001).
Pengenalan objek secara visual dicirikan oleh karakteristik atau atribut pada tiap
objek pada citra yang digunakan sebagai dasar pengenalan objek yang tersaji
dalam unsur interpretasi. Unsur-unsur interpretasi merupakan langkah awal
pengenalan objek dengan melihat unsur interpretasi dalam hal pengenalan objek,
jadi dari interpretasi inilah dapat membantu dalam hal mengidentifikasi atau
mendapatkan informasi yang tertera pada citra yang selanjutnya digunakan
sebagai bahan dasar untuk melakukan tahap analisis. Adapun unsur interpretasi
menurut Sutanto (1999) adalah sebagai berikut:
1. Rona atau warna (tone/color). Rona adalah tingkat kecerahan ataupun tingkat
kegelapan pada citra (kecerahan relatif objek pada citra), sedangkan warna
adalah wujud yang tertera pada tiap objek yang tertangkap oleh mata. Contoh
unsur interpretasi rona dalam hal interpretasi jenis atap yaitu apabila atap seng
dan asbes yang baru dipasang akan menampilkan rona putih.
2. Bentuk (shape) adalah konfigurasi atau kerangka yang mewakili tiap objek,
setiap objek memiliki ciri bentuk yang berbeda, contohnya bentuk memanjang,
lingkaran, dan segi empat. Contoh unsur interpretasi bentuk dalam melakukan
interpretasi gedung dan sekolah pada citra yaitu melihat konfigurasi bentuk
berdasarkan kenampakannya yaitu objek gedung dan sekolah biasa dicirikan
oleh bentuk L dan U.
3. Ukuran (size) adalah objek yang memiliki nilai jarak, luas, tinggi, dan volume
yang didasarkan oleh ukuran pada masing-masing objek dan
mempertimbangkan konteks skala. Contoh unsur interpretasi ukuran dalam
melakukan pengenalan objek rumah berdasarkan ukuran yaitu ukuran rumah
mukim memiliki bentuk yang lebih kecil dibandingkan bangunan kantor.
4. Kekasaran (texture) adalah perubahan rona pada gambar objek yang didasarkan
ukuran frekuensi dikarenakan ukuran objek yang terlalu kecil untuk dibedakan
secara individu. Tekstur bersifat relatif tergantung pada skala dan resolusi citra
yang digunakan. Contoh unsur interpretasi kekasaran dalam melakukan
pengenalan objek dedaunan pada pohon dan bayangannya.
-
15
5. Pola (pattern) adalah keterkaitan susunan keruangan objek yang didasarkan
oleh pengulangan bentuk umum atau sekelompok objek dalam ruang. Contoh
unsur pola dalam melakukan pengenalan objek permukiman kumuh dicirikan
oleh pola yang tidak teratur.
6. Bayangan (shadow) adalah aspek yang mencirikan objek yang berada dalam
daerah gelap yang didasarkan pada dua hal yaitu bayangan dapat memperjelas
bentuk objek ataupun memberikan kesan objek menjadi tidak jelas. Contoh
unsur bayangan dalam melakukan pengenalan objek menara pada area
permukiman.
7. Situs (site) adalah letak suatu objek relatif dengan lingkungan atau objek di
sekitarnya dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek yang akan dikaji.
Contoh unsur situs dalam hal pengenalan objek permukiman berdasarkan
letaknya yaitu di sepanjang tepi jalan.
8. Asosiasi (association) adalah keterkaitan antara satu objek dengan objek atau
fenomena lainnya yang digunakan sebagai dasar dalam hal pengenalan objek
yang akan dikaji. Contoh unsur asosiasi dalam pengenalan objek bandara yaitu
dengan melihat atau mengenali landasan pacu pesawat.
1.6.3 Citra Satelit Quickbird
Citra Satelit Quickbird merupakan citra yang memiliki resolusi tinggi yang
dimana citra ini dimiliki oleh Digital Globe. Citra Quickbird menggunakan sensor
BGIS 2000 dalam hal pengoperasiaanya, adapun derajat kedetilan dari resolusi
yang digunakan yaitu sebesar 0.61 meter, sehingga citra ini memiliki resolusi
yang tinggi (www.digitalglobe.com). Kegunaan citra Quickbird ini telah banyak
dirasakan manfaatnya bagi kalangan pemerintahan, swasta ataupun masyarakat
umum, kegunaan yang dapat dirasakan yaitu citra Quickbird merupakan data
primer yang baik dalam hal pemanfaatannya untuk melakukan studi atau
penelitian di berbagai bidang, dalam hal bidang lingkungan citra ini biasa
digunakan untuk analisis penggunaan lahan, pertanian, industri, eksplorasi minyak
dan gas, serta di bidang kehutanan. Dalam bidang perkotaan citra Quickbird
pemanfaatannya sangat besar diantaranya dalam hal melakukan kajian mengenai
-
16
sampah perkotaan, kemacetan, kebakaran perkotaan, kajian kualitas permukiman,
serta kajian lainnya yang menggunakan citra Quickbird.
Citra Quickbird memiliki resolusi spasial yang tinggi dibandingkan citra
satelit lainnya dimana sistem pencitraan satelit Quickbird memiliki kesamaan
dalam hal pencitraan satelit dengan satelit lainnya. Sistem pencitraan
menggunakan linear array CCD, yang biasa dinamakan pushbromm scanner atau
dapat dikatakan yaitu sistem perekaman ini bergerak maju mundur mengikuti area
perekaman yang disusun secara linier yang sesuai dengan gerakan orbit satelit.
Citra Quickbird memiliki daya jelajah atau jangkauan dalam hal melakukan
perekaman tidaklah luas melainkan daya jelajahnya sempit yaitu kurang dari 20
km ini dikarenakan citra ini memiliki resolusi spasial yang tinggi dan posisi
orbitnya rendah (450 km diatas bumi) (www.digitalglobe.com).
Citra Quickbird melalui sensor yang digunakan dapat menghasilkan 2
macam data yaitu multispektral dan pankromatik. Multispektral merupakan
saluran yang menggunakan lebih dari satu saluran dalam hal penggunaannya
sedangkan pankromatik hanya menggunakan gelombang tampak dalam hal
pengoperasianya. Multispektral pada citra Quickbird menggunakan 4 saluran
spektral yaitu saluran biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. Kegunaan
beberapa saluran ini digunakan untuk mengidentifikasi objek yang berada di
permukaan bumi, sedangkan saluran pankromatik yang hanya menggunakan
saluran tampak mata lebih mampu menghasilkan resolusi spasial yang tinggi
daripada saluran multispektral dikarenakan lebar saluran ini lebih besar daripada
saluran multispektral. Karakteristik citra Quickbird dapat dilihat pada tabel 1.4.
-
17
Tabel 1.4 Karakteristik Citra Quickbird
No Keterangan Satelit
Quickbird Spesifikasi Satelit Quickbird
1 Tempat dan Tanggal Peluncuran
Vandenberg Air Force Base, California, USA tanggal 18 Oktober 2001
2 Media Peluncur Pesawat Boeing Delta II (Ball
Aerospaces Global Imaging System 2000)
3 Masa Operasi 7 Tahun lebih 4, Orbit 97.2,sun
synchronous 4 Kecepatan Pada Orbit 7.1 km/detik (25,560 Km/jam) 5 Kecepatan diatas Bumi 6.8 km/detik 6 Akurasi 23m Horizontal (CE 90%) 7 Ketinggian Jelajah 450 km
8 Resolusi Spasial
61 cm (nadir) to 72 cm (25 off-nadir) Multi Spectral : 2.44 m (nadir) to 2.88
m (25 off-nadir))
9 Cakupan Citra 16.5 km x 16.5 km pada nadir
10 Waktu Melintas Equator
10:30 am (descending node) solar time
11 Waktu Lintas Ulang 1 3.5 hari, tergantung latitude (30off-
nadir)
12 Saluran Citra
- Pan : 450 900 nm - Blue : 450 520 nm
- Green : 520 600 nm - Red : 630 690 nm
- Near IR : 760 900 nm Sumber : http://www.apollomapping.com diakses pada tgl 3 Januari 2013
Hasil pemrosesan citra resolusi tinggi yaitu citra satelit Quickbird memiliki
lima hasil output atau keluaran produk yaitu :
1. Pankromatik (Produk Hitam Putih)
Produk yang dihasilkan ini bersifat memiliki kedetilan spasial lebih
tinggi daripada produk lainnya yang digunakan untuk analisis spasial
(visual)
2. Produk Multispektral
Produk yang berdasarkan panjang gelombang yang digunakan lebih
banyak yang mencakup inframerah dekat dan saluran tampak.
-
18
3. Produk Bandel (bundle)
Produk ini terdiri dari multispektral dan hitam putih.
4. Produk warna
Produk ini mengkombinasikan 3 saluran multispektral dan saluran
pankromatik
5. Pan-sharpened (4 saluran)
Produk ini mengkombinasikan 4 saluran multispectral
Keunggulan yang dimiliki oleh citra Quickbird yang telah dijelaskan
sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa citra Quickbird dapat digunakan untuk
mengkaji daerah perkotaan dengan kemampuan resolusi spasialnya yang tinggi,
sehingga dari resolusi spasialnya yang tinggi inilah citra Quickbird dapat
mengekstrak variabel kerawanan kebakaran yang diperlukan, contohnya saja
dalam hal mengekstrak variabel kepadatan permukiman, pola permukiman, jenis
atap permukiman, dan jaringan jalan. Menurut Tinambunan (2007), citra
Quickbird dapat mengidentifikasi permukiman dengan baik yang nantinya
digunakan sebagai indikator dalam hal melakukan analisis distribusi kepadatan
penduduk yang dijelaskan dengan prinsip land use density, sehingga pola
permukiman yang akan diidentifikasi dapat menggambarkan distibusi kepadatan
penduduk.
1.6.4 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis menurut Stan Aronaff 1989, adalah suatu
sistem informasi yang berdasarkan cara kerja komputer yang mampu menerima
masukan, mengelola (memberi, mengambil, memanipulasi, dan menganalisis
data), kemudian memberikan beberapa penjelasan atau uraian. Sistem Informasi
Geografis dapat diartikan juga sebagai suatu sistem yang dirancang mampu
mengolah suatu data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi
(contohnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya).
Dalam hal perkembangan teknologi dan zaman pada saat ini mendorong
perubahan konsep dasar SIG dalam hal proses pengambilan keputusan dan
-
19
penyebaran informasi. Dalam hal ini pemahaman dunia nyata menjadi sangat
penting dalam hal menyadap informasi dan pengambilan keputusan atau informasi
sehingga nantinya apabila melakukan proses manipulasi dan presentasi data dapat
disejajarkan atau direlasikan dengan posisi absolute lokasi geografi di permukaan
bumi.
Peran SIG sangatlah penting dalam hal membantu mengolah, menganalisis
suatu data yang di dapat dari citra penginderaan jauh dalam hal menunjang
penelitian yang akan dilakukan, dalam hal ini peran SIG digunakan untuk mencari
klasifikasi besaran nilai yang digunakan untuk mencari keterkaitan antar satu
parameter dengan parameter lain yang telah dihasilkan sebelumnya berdasarkan
data hasil interpretasi visual yang berupa citra penginderaan jauh. Selain itu
analysist tools yang terdapat dalam aplikasi SIG sangatlah membantu, analysis
tools yang berupa analisis skoring digunakan untuk melakukan pemberian skoring
atau nilai pada tiap parameter yang dihasilkan dari hasil interpretasi pada citra
penginderaan jauh, sehingga antar parameter memiliki nilai besaran yang
dihasilkan berdasarkan peran masing-masing parameter dalam hal menunjang
penelitian.
1.6.4.1 Pengolahan Sistem Informasi Geografis
Secara garis besar Sistem Informasi Geografis menurut Stan Aonoff, 1989
dapat dibagi menjadi empat subsistem yang saling terkait antara satu dengan yang
lain, adapun 4 subsistem itu adalah masukan data (input), pengolahan atau
management data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran (output).
a. Masukan data (input)
Subsistem ini memiliki tugas sebagai mengumpulkan dan mempersiapkan data
spasial dan atribut dari berbagai sumber yang telah didapat. Mengkonversi
format data asli ke dalam format yang dapat digunakan dalam SIG. Biasanya
input data berasal dari data spasial, data grafis, dan data atribut.
b. Pengelolaan (management data)
Subsistem ini bertugas sebagai pengorganisasian data spasial ataupun data
atribut ke dalam sebuah basis data sehingga nantinya apabila pengguna ingin
-
20
memangil data tersebut menjadi lebih mudah. Manajemen data meliputi
berbagai hal yaitu operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali,
dan percetakan data.
c. Manipulasi dan analisis data
Subsistem ini memberikan hasil berupa informasi yang dihasilkan dari proses
manipulasi dan pemodelan data untuk dijadikan suatu informasi yang
diinginkan. Dalam hal ini analisis data dibagi menjadi 2 yaitu analisis spasial
dan analisis non-spasial. Analisis spasial adalah analisis yang memerlukan
pemahaman hubungan geografi antara data-data (poitns, lines, and polygons).
Sedangkan analisis non spasial adalah menjelaskan mengenai suatu query dari
database. Berikut akan disajikan fungsi analisis dan manipulasi SIG pada tabel
1.5.
Tabel 1.5 Fungsi Analisis dan Manipulasi SIG
Manipulasi dan Analisis SIG Fungsi
Pemeliharaan dan analisis data
Spatial editing functions; Transformating between map projections; geometric transformations
Pemeliharaan data spasial dan analisis data non-spasial
Editing atribut; Query Atribute
Analisis terintegrasi dari data spasial dan atribut
Overlay operations; Neighbourhood Operations; Classification; Retrievel
Pembentukan Output Map Annotation; Text Labels; Graphic Symbols
Sumber : Arronof, Stan. 1989
d. Keluaran data (output) Subsistem ini bertugas sebagai menampilkan keluaran
seluruh atau sebagian basis data yang telah diproses sebelumnya ke dalam
bentuk softcopy ataupun hardcopy.
1.6.5 Peta
Peta merupakan suatu gambaran konvensional dan selektif diperkecil yang
dituangkan dan dibuat pada bidang datar yang dimana peta menghasilkan
kenampakan permukaan bumi ataupun benda angkasa (ICA,1977 dalam
-
21
Sudihardjo,1986). Jadi dapat diartikan bahwa peta merupakan suatu media kreasi
manusia, dimana didasarkan atas kemampuan dasar dalam hal mendapatkan
informasi luas yang nantinya akan dituangkan kedalam media datar. Sehingga dari
informasi yang luas inilah seseorang akan mengamati dan menganalisis mengenai
hubungan keruangan dan gejala-gejala yang terjadi pada suatu area atau wilayah
yang luas yang menghasilkan grafis dalam wujud simbol yang digambarkan pada
peta.
Dalam hal pembuatannya peta haruslah memberikan gambaran yang jelas,
rapi, dan detail mengenai informasi apa yang dibawa pada pembuat peta untuk
dikomunikasikan terhadap pembaca peta (komunikatif). Pembuatan peta haruslah
memperhatikan desain peta dalam hal pembuatanya ini dikarenakan dari desain
inilah dapat memberikan informasi mengenai tujuan peta dibuat, isi yang terdapat
dalam peta, dan kesan dari pembuatan peta tersebut, serta desain peta ini
mencirikan suatu peta tersebut dapat diterima oleh pembaca peta baik dalam hal
estetika keindahan peta serta informasi yang dimuat dalam bentuk peta haruslah
mudah dipahami oleh pembaca peta. Adapun desain peta meliputi 3 hal yaitu
desain peta dasar, desain tata letak, dan desain isi peta.
Simbol pada peta merupakan suatu penggambaran yang berbentuk grafis
dimana simbol pada peta ini berfungsi sebagai alat komunikasi dan pemberian
informasi kepada pengguna dan pembaca peta oleh pembuat peta. Dalam hal
pembuatan simbol pada peta haruslah memperhatikan poin-poin dalam hal
pemilihan simbol dikarenakan apabila salah dalam hal pemilihan simbol maka
penyampaian informasi menjadi tidak dapat disalurkan, adapun pemilihan simbol
yang harus diperhatikan yaitu ukuran data (nominal, ordinal, interval, dan rasio),
persepsi data serta pemilihan variabel visual. Data haruslah dipetakan dikarenakan
data yang sifatnya luas haruslah dipilih dan dipetakan sebagai media informasi
yang digunakan untuk tahap penelitian, karena data yang telah dipilih dan
dipetakan mempermudah peneliti dalam hal menganalisis lebih lanjut mengenai
data yang akan dipergunakan.
-
22
1.6.6 Bahaya Kebakaran dan Penanggulangannya
Menurut Mochammad Zaini (1998) dalam bukunya yang berjudul Panduan
dan Pencegahan Pemadaman Kebakaran menjelaskan bahwa kebakaran dapat
diartikan sebagai suatu musibah atau peristiwa yang terjadi akibat adanya 3 unsur
pemicu kebakaran (peristiwa oksidasi). Unsur-unsur kebakaran itu adalah adanya
bahan yang mudah terbakar, terdapatnya oksigen di udara bebas, dan adanya
sumber energi panas yang berakibat menimbulkan dampak kerugian harta benda,
cidera dan kematian jiwa. Kebakaran ini terjadi akibat adanya pemicu ataupun
akibat ketidaksengajaan yang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran.
Faktor kesengajaan yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran yaitu
meliputi puntung rokok yang dibuang disembarang tempat dan tidak dimatikan
bara apinya, terjadinya konsleting listrik akibat pencurian listrik serta kelebihan
muatan daya listrik yang melebihi beban daya yang telah ditentukan, dan kelalaian
lainya yaitu menyalakan lilin tanpa pengawasan, karena peristiwa kebakaran tidak
dapat ditebak kapan datangnya dan kapan terjadinya, dikarenakan peristiwa
kebakaran pasti menimbulkan kerugian harta dan benda yang tidak sedikit, oleh
sebab itu bahaya kebakaran dapat diartikan sebagai kejadian atau peristiwa yang
ditimbulkan oleh adanya sumber api atau nyala api yang tidak diinginkan, tidak
terkendali, dan berlangsung secara cepat sehingga mengakibatkan dapat
mengancam keselamatan jiwa dan kerugian harta benda. Adapun penggolongan
atau penanganan kebakaran terhadap kerawanan kebakaran yang digunakan untuk
menilai kerawanan kebakaran permukiman menurut Departemen Pekerjaan
Umum, 1987 dan Zaini, 1998 adalah:
a. Alat pemadam kebakaran portable
Alat pemadam kebakaran portable dapat diartikan sebagai alat penanggulangan
kebakaran yang berbentuk tabung dan dapat dipindahkan dari satu tempat ke
tempat lain (Departemen Pekerjaan Umum, 1987).
b. Alat pemadam kebakaran sistem hidran dan sistem sprinkler
Pemadam sistem hidran bekerja dengan menggunakan tekanan air yang berada
pada lokasi tempat berdirinya suatu hidran, sehingga hidran merupakan alat
pemadam api yang menggunakan tekanan air, sedangkan sistem sprinkler
-
23
bekerja secara otomatis berdasarkan kenaikan suhu ruangan yang mencapai
suhu tertentu yang bekerja didasarkan sensor panas yang berada pada tutup
sprinkler yang nantinnya akan meneluarkan air (Zaini, 1998).
c. Sekering atau pemutus arus (circuit breaker)
Sekering atau pemutus arus merupakan suatu alat pengaman yang bekerja
berdasarkan pada sistem listrik yang terjadi pada kerusakan kabel listrik, jadi
apabila terjadi hubungan arus pendek maka sekering ini akan putus sehingga
potensi terjadinya kebakaran akan musnah (Zaini, 1998).
d. Penangkal petir
Penangkal petir merupakan suatu alat instalasi sistem penangkal petir yang
bekerja untuk menangkal petir dan mengantarkan arus listrik ke tanah sehingga
apabila suatu rumah bertingkat akan terhindar dari bahaya sambaran petir
(Departemen Pekerjaan Umum, 1987).
e. Pemadam api bergerak
Pemadam api bergerak dapat diartikan sebagai suatu kendaran atau alat
pemadam kebakaran yang dapat memuat alat-alat untuk melakukan
pemadaman kebakaran (Zaini, 1998).
Menurut National Fire Protection Association 2002 dalam Prawira, 2009
ada beberapa tahapan terjadinya peristiwa kebakaran, tahapan tersebut antara lain:
a. Initiation, yaitu proses awal terjadinya api dimana sifat api masih kecil, ini
terjadi dalam kisaran waktu 0 10 menit. Hal ini dapat dicegah dengan
mematikan sumber energi yaitu api sehingga dampak kebakaran dapat ditekan.
b. Growth, peristiwa terjadinya perubahan api yang kecil menjadi besar dan akan
terjadi proses flash over yang dimana benda atau material yang disekitar
sumber energi (api) akan berdampak ikut terbakar, ini disebabkan adanya
sumber api di sekitar material tersebut yang mengakibatkan material tersebut
ikut terbakar. Peristiwa ini terjadi kira-kira 10 20 menit.
c. Steady, peristiwa yang terjadi dimana sumber api tidak atau sulit untuk
dimatikan atau dipadamkan, hal ini mengakibatkan dampak kebakaran pada
material disekitarnya semakin besar dan meluas, kejadian ini kira-kira
berlangsung kurang lebih sekitar 20 menit sampai berjam-jam.
-
24
d. Decay, peristiwa pemadaman api dari api besar menjadi api kecil, ini
diakibatkan ketersediaan objek atau material bahan pembakarnya telah habis
atau tidak ada, sehingga perubahan api yang semula besar akan berubah
menjadi kecil.
Terjadinya peristiwa kebakaran yang sulit dipadamkan ini diakibatkan salah
satunya adalah faktor lingkungan yaitu permukiman terlalu padat, akses jalur
pemadam yang sulit dijangkau, ketersediaan sumber air yang jauh dari lokasi
kebakaran merupakan beberapa contoh faktor penghambat dalam hal
penanggulangan musibah kebakaran. Selayaknya suatu lingkungan yang didirikan
oleh peradaban manusia haruslah bersinergi dengan kondisi alam disekitarnya dan
penanggulangan atau keamanan lingkungan menjadi faktor utama untuk menekan
musibah bencana yang akan terjadi di kedepannya.
Klasifikasi kebakaran didasarkan oleh penggolongan jenis atau benda yang
mudah terbakar, Klasifikasi ini dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam hal
mengadakan pemilihan dalam hal pemadaman kebakaran sehingga dampak
kerugian dapat ditekan. Adapun kelas klasifikasi kebakaran yang didasarkan oleh
material yang mudah terbakar serta cara penanggulangannya berdasarkan
keputusan menteri pekerjaan umum 10/KTPS/ tahun 2000 adalah sebagai berikut:
a. Kelas A
Kelas ini dicirikan oleh bahan yang mudah terbakar contohnya saja kertas,
kayu, plastik, dan cara pemadamannya yaitu dengan cara menggunakan air
dalam hal mematikan material yang mudah terbakar.
b. Kelas B
Yang termasuk dalam kelas ini adalah material yang melibatkan cairan yang
mudah terbakar seperti: bensin, minyak tanah, dan lainnya, adapun cara
penanggulangannya yaitu dengan cara menyemprotkan cairan berbahan foam.
c. Kelas C
Pada kelas ini diakibatkan oleh terjadinya konsleting listrik ataupun terjadinya
tegangan listrik yang dapat mengakibatkan terjadinya percikan api. Adapun
cara penanggulangannya yaitu dengan cara menggunakan bahan pemadam
-
25
kebakaran yang bersifat non kondusif, cara ini dipilih agar pengguna yang
ingin memadamkan percikan api ini tidak mudah tersengat.
d. Kelas D
Kelas ini termasuk ke dalam kelas bahan logam yang mudah terbakar
contohnya saja: kalium, magnesium dan titanium. Cara mengatasinya yaitu
dengan cara menggunakan powder khusus untuk mengatasi kebakaran yang
disebabkan oleh logam yang telah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Depnaker UNDP ILO, (1987) , terjadinya suatu musibah
kebakaran diakibatkan oleh beberapa ketimpangan yang muncul, adapun
ketimpangan yang terjadi adalah:
a. Sistem alarm tidak berfungsi dengan baik.
b. Tidak terdapatnya sarana deteksi alarm.
c. Alat pemadam api tidak berfungsi.
d. Alat pemadam api tidak memadai.
e. Sarana evakuasi tidak tersedia.
1.6.7 Pengertian Bencana, Bahaya, Kerentanan, Resiko, dan Kerawanan
Bencana dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu kejadian yang disebabkan
oleh alam (natural disaster), maupun yang disebabkan oleh manusia (man-made
disaster). Menurut UU RI No 24 Tahun 2007 pasal 1 butir 1, menjelaskan bahwa
bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Kondisi yang dinyatakan bencana apabila terdapat potensi
bahaya yang mengancam elemen resiko tertentu sehingga menjadi rentan atau
berpotensi mengalami kerusakan, kehilangan atau kerugian. Kejadian yang belum
mengakibatkan kerusakan, kehilangan, dan kerugian dapat dikatakan sebagai
potensi bahaya. Adapun jenis bencana dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Bencana alam ialah bencana yang disebabkan oleh faktor alam baik yang
berasal dari tenaga endogen maupun dari tenaga eksogen, contoh
-
26
bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angina topan, tanah longsor, dan lain-lain
b. Bencana non alam yaitu bencana yang dihasilkan bukan berasal dari alam
yang biasa disebabkan oleh teknologi contohnya gagal teknologi dan
wabah penyakit.
c. Bencana Sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh manusia sebagai
peran utamanya yang meliputi konflik social antar suku, kelompok,
maupun antar komunitas masyarakat
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability)
masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti
masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila
kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka
tidak akan terjadi bencana. Bahaya atau hazard merupakan suatu peristiwa atau
fenomena alam atau fenomena buatan yang memiliki potensi mengancam
kehidupan manusia, menimbulkan kerugian harta dan benda dan kerusakan
lingkungan. Berdasarkan United Nations-International Strategy for Disaster
Reduction (UN-ISDR), bahaya ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu : (a)
bahaya beraspek geologi seperti tsunami, gempabumi, longsor, (b) bahaya
beraspek hidrometerologi seperti banjir, kekeringan, angina topan, gelombang
pasang, (c) bahaya beraspek biologi seperti wabah penyakit, hama dan penyakit
tanaman, (d) bahaya beraspek teknologi seperti kecelakaan transportasi,
kecelakaan industri, kegagalan teknologi, dan (e) bahaya beraspek lingkungan
seperti kebakaran Kota, kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran
limbah.
Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi atau kharakteristik
geologis, biologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan mencegah, meredam mencapai kesiapan, dan mengurangi
-
27
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (Bappenas, 2008),
Sedangkan Awotona, (1997) mengungkapkan bahwa tingkat kerentanan adalah
suatu hal penting untuk diketahui sabagai salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila "bahaya"
terjadi pada "kondisi yang rentan". Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari
kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan
fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan
terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari
berbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun; kepadatan
bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang
jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA.
Risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan
ancaman bahaya (hazard) yang ada. Upaya pengkajian risiko bencana pada
dasarnya adalah menentukan besaran 3 komponen risiko tersebut dan menyajikan
dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian
risiko bencana digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan
bencana di suatu kawasan. Adapun ketiga komponen tersebut adalah tingkat
ancaman kawasan, tingkat kerentanan kawasan yang terancam, dan tingkat
kapasitas kawasan yang terancam (BNPB, 2011). Ancaman bahaya, khususnya
bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami
pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal
maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga
kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Secara
umum, risiko dapat dirumuskan sebagai bahaya dikalikan dengan kerentanan
(ISDR, 2004). Mengingat setiap jenis bencana memiliki sifat kerusakan yang
berlainan pada setiap jenis elemen risiko, maka untuk mendefinisakan formula
ISDR haruslah diartikan berdasarkan jenis elemen resiko yang diteliti. Hygo
Framework for Action 2005-2015 mengungkapkan bahwa risiko bencana akan
meningkatkan dengan adanya kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan teknologi,
pembangunan pada zona bahaya tinggi, degradasi lingkungan, perubahan iklim,
-
28
bahaya geologi, kelangkaan sumberdaya, dan dampak epidemi. Jadi apabila
ditemukan bahaya dan kerentanan maka akan menimbulkan resiko. Menurut D.R.
Hizbaron, 2010 Tingkat risiko akan meningkat seiring dengan tingkat bahaya dan
tingkat kerentanan. Tingkat risiko belum tentu meningkat jika hanya salah satu
faktor yang mengalami peningkatan.
Kerawanan adalah suatu keadaan rawan yang pasti memiliki ancaman atau
gangguan baik yang berasal dari faktor alam, faktor non alam, dan faktor sosial
sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan
lingkungan, serta dampak psikologis. Menurut Permen PU No : 22/PRT/M/2007,
tingkat kerawanan adalah ukuran yang menyatakan tinggi rendahnya atau besar
kecilnya kemungkinan suatu kawasan atau zona dapat mengalami bencana
kebakaran, serta besarnya korban dan kerugian bila terjadi bencana kebakaran
yang diukur berdasarkan tingkat kerwanan fisik alamiah dan tingkat kerawanan
karena aktifitas manusia. Kerawanan kebakaran permukiman merupakan kondisi
pada area permukiman yang memiliki dampak kerusakan permukiman akibat
adanya penjalaran api yang disengaja ataupun yang tidak disengaja yang
mengakibatkan kerugian harta benda, korban jiwa yang disebabkan beberapa
faktor potensi kebakaran seperti kepadatan peduduk, kualitas bahan bangunan
yang buruk, pemadatan permukiman, dan faktor lainya seperti konsleting listrik,
dan aktifitas internal.
1.7 Penelitian Sebelumnya
Suharyadi (2000), telah meneliti mengenai kebakaran permukiman di
sebagian Kecamatan Gondomanan Yogyakarta, adapun judul penelitian yang
telah beliau buat adalah Pemodelan Zonasi Kerentanan Kebakaran dengan
memanfaatkan Ortho-Foto Digital. Penelitian ini dibuat untuk memetakan
kerentanan kebakaran berdasarkan variabel utama kerentanan kebakaran di daerah
penelitian, variabel utama ini meliputi pengkajian kondisi fisik permukiman dan
fasilitas pemadam kebakaran. Dari variabel utama nantinya akan diturunkan
beberapa variabel rinci yang digunakan untuk membuat model spasial kerentanan
kebakaran, variabel rinci yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah
-
29
kepadatan bangunan, tata letak bangunan, kualitas bahan bangunan, lebar jalan,
kualitas jalan, fasilitas hidran, fasilitas alat pemadam kebakaran, dan fasilitas air
tandon yang digunakan untuk melakukan pemadaman kebakaran. Dari hasil
analisis yang telah dilakukan di dapatkan hasil mengenai daerah mana saja yang
memiliki tingkat kerentanan kebakaran tinggi, sedang, maupun rendah, adapun
daerah yang memiliki tingkat kerentanan kebakaran tinggi yaitu berada di Ledok
Prawirodirjan, Mergangsan Kidul, dan Surakarsan, sedangkan daerah yang
memiliki tingkat kerentanan kebakaran yang rendah atau dapat dikatakan tidak
berbahaya kebakaran berada di daerah Gondomanan, Siliran, Panembahan, dan
Kampung Mergangsan Lor.
Soni Setiawan (2001), telah melakukan penelitian mengenai variabel bahaya
kerawanan kebakaran permukiman dengan memanfaatkan foto udara dan sistem
informasi geografis, penelitian ini dilakukan di sebagian Kota Yogyakarta.
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu mencari tingkat kemampuan foto udara dalam
hal memberikan informasi mengenai variabel yang dibutuhkan dalam hal
penelitian kerawanan kebakaran yang menghasilkan variabel utama yaitu variabel
kondisi permukiman dan variabel ketersediaan fasilitas hidran. Dari hasil analisis
yang telah dilakukan didapat beberapa hasil yaitu kawasan permukiman yang
memiliki tingkat kerawanan kebakaran tinggi (sangat rawan) dicirikan oleh
kepadatan rumah yang padat, ukuran rumah, tata letak rumah yang tidak teratur,
lebar jalan masuk sempit, penggunaan listrik yang ilegal dan kualitas bahan
bangunan yang buruk. Hasil uji lapangan diperoleh beberapa nilai mengenai
ketelitian interpretasi yaitu sebesar 85% - 92% yang didasarkan berdasarkan hasil
interpretasi variabel yang digunakan. Secara garis besar tingkat ketelitian hasil
interpretasi foto udara memiliki nilai 87,68% yang baik digunakan untuk
memetakan bahaya rawan kebakaran permukiman.
Herlina Sri Martanti (2004), telah mengadakan penelitian mengenai
kerawanan kebakaran permukiman dengan judul penelitian Pemanfaatan Teknik
Penginderaan Jauh untuk Pemetaan tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman.
Lokasi kajian yang diteliti yaitu berada di Kecamtan Jatinegara dan Pulogadung,
Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat
-
30
kemampuan foto udara yang digunakan dalam hal memberikan informasi
mengenai variabel yang digunakan untuk menilai kerawanan kebakaran beserta
pembuatan peta kerawanan kebakaran permukiman. Metode yang digunakan
dalam melakukan penelitian ini adalah metode analisis pengharkatan berjenjang
tertimbang (scoring). Adapun variabel yang digunakan yaitu kepadatan rumah,
ukuran rumah, letak rumah, lebar jalan masuk, lokasi kantor pemadam kebakaran,
ketersediaan hidran, alat pemadam portabel, aktifitas internal, dan listrik.
Lili Somantri (2008), telah melakukan penelitian mengenai kerentanan
kebakaran permukiman dengan judul penelitian Pemanfaatan Citra Quickbird
dan Sistem Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman
Kasus di Kota Bandung Bagian Barat. Adapun tujuan penelitian ini adalah
mengkaji ketelitian citra Quikbird dalam hal memperoleh variabel bahaya
kebakaran di daerah perkotaan, mengestimasi bahaya kebakaran berdasarkan
parameter yang diperoleh dari Citra Quickbird, dan memetakan tingkat kerentanan
kebakaran permukiman. Penelitian ini menggunakan metode interpretasi visual
dan pengharkatan (scoring), pembobotan, dan overlay. Variabel yang dihasilkan
dari hasil interpretasi maupun hasil data sekunder di dapat 2 variabel utama yaitu
variabel bahaya kebakaran dan variabel ketersediaan fasilitas pemadam
kebakaran. Dari hasil yang telah dilakukan di dapat hasil mengenai pemetaan
kerentanan kebakaran di daerah penelitian dibuat menjadi 3 kelas yaitu rentan,
agak rentan, dan tidak rentan, dari pembuatan ketiga kelas ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai kawasan yang memiliki tingkat kerentanan
kebakaran tinggi, sedang, maupun rendah.
Perbedaan penelitian sebelumnya terhadap penelitian yang dilakukan yaitu
didasarkan oleh daerah kajian dan luasan wilayah penelitian yang berbeda, daerah
kajian yang diambil dalam hal melakukan penelitian ini adalah di Kota
Balikpapan khususnya di Kecamatan Balikpapan Selatan, walaupun diambil
hanya satu kecamatan saja tetapi luasan kecamatan di Balikpapan sangatlah besar
sehingga satu kecamatan dapat mewakili wilayah Kota Balikpapan yang memiliki
tingkat kerawanan kebakaran di Kota Balikpapan selain itu perbedaan penelitian
yang dilakukan terhadap penelitian sebelumnya adalah pada pengklasifikasian
-
31
bahaya kebakaran terhadap penanganan kebakaran ataupun sebaliknya sehingga
nantinya dibuat klasifikasi mengenai tingkat bahaya kebakaran terhadap
penanganan kebakaran. Dikarenakan penelitian sebelumnya hanya berdasarkan
hasil pengolahan mengenai kawasan yang memiliki tingkat kerawanan ataupun
kerentanan kebakaran berdasarkan hasil analisis tanpa memperlihatkan mengenai
penanganan kebakaran yang harus dilakukan secara dini untuk menanggulangi
tingkat bahaya musibah kebakaran khususnya permukiman di wilayah perkotaan,
sehingga penelitian berikutnya akan menambahkan dan meneliti mengenai
penanganan kebakaran untuk melihat seberapa besar resiko kebakaran dilihat dari
penanganannya, contohnya saja apabila suatu kawasan tersebut memiliki tingkat
kerawanan kebakaran yang tinggi atau besar tetapi penanganan kebakarannya baik
maka suatu kawasan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kawasan yang
memiliki kawasan yang aman tehadap bahaya kebakaran. Berikut akan disajikan
tabel 2.3 berupa perbandingan penelitian sebelumnya terhadap penelitian yang
akan dilakukan.
-
Peneliti (tahun)
Suharyadi (2000) Soni Setiawan (2001) Herlina Sri M (2004) Lili Somantri (2008) Wisnu Widyatmadja (2013)
Judul Pemodelan Zonasi Kerentanan Kebakaran dengan Memanfaatkan Ortho-Foto Digital
Penggunaan foto udara dan SIG untuk pemetaan bahaya Kerawanan Kebakaran permukiman di sebagian Kota Yogyakarta
Pemanfaatan teknik PJ untuk Pemetaan tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman
Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman Kasus di Kota Bandung Bagian Barat
Aplikasi PJ dan SIG dengan citra Quickbird untuk zonasi daerah rawan kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan
Tujuan Memetakan dan membuat pemodelan spasial mengenai kerentanan kebakaran permukiman
Mengidentifikasi mengeai kawasan yang memiliki kerawanan kebakaran
Pemetaan kerawanan kebakaran permukiman
Mengkaji ketelitian citra Quikbird dalam hal memperoleh variabel bahaya kebakaran di daerah perkotaan, mengestimasi bahaya kebakaran berdasarkan parameter yang diperoleh dari Citra Quickbird, dan memetakan tingkat kerentanan kebakaran permukiman
Menganalisis ketelitian citra Quickbird dalam hal mendapatkan parameter bahaya kebakaran pada wilayah perkotaan yang digunakan untuk menentukan kawasan rawan akan musibah kebakaran permukiman pada wilayah perkotaan; mengetahui keterkaitan antara bahaya kebakaran terhadap penanganan kebakaran; memetakan zonasi tingkat kerawanan kebakaran bangunan pada daerah perkotaan dengan memakai bantuan analisis SIG.
Lokasi Sebagian Kecamatan
Sebagian Kota Yogyakarta Kecamatan Jatinegara dan Pulogadung,
Kota Bandung Bagian Barat
Kecamatan Balikpapan Selatan
-
33
Gondomanan, Yogyakarta
Jakarta Timur
Metode Interpretasi visual menggunakan ortho-photo digital
Aplikasi PJ dan analisis SIG
Aplikasi SIG dan PJ Interpretasi visual dan pengharkatan (scoring), pembobotan, dan overlay
Pengharkatan berjenjang tertimbang, pembobotan, dan overlay (aplikasi SIG dan PJ)
Bahan Citra Ortho-photo digital, Foto udara pankromatik
Foto udara Pankromatik skala 1:13.000 tahun 1996
Foto udara Pankromatik skala 1:10.000
Citra Quickbird Citra Pankromatic dan Multispektral Quickbird tahun 2011
Variabel Kepadatan bangunan, pola bangunan, kualitas bahan bangunan,lebar jalan, kualitas jalan, hidrant, tandon air
Kepadatan rumah, ukuran rumah, lebar jalan masuk, tata letak rumah, jenis atap,ketersedian hidran, lokasi kantor pemadam,aktifitas internal,listrik,penangkal petir
Kepadatan bangunan, ukuran bangunan, tata letak bangunan, bahan bangunan, aktifitas internal,listrik, lebar jalan,lokasi permukiman,APAR,hidran
Kepadatan bangunan rumah mukim, pola bangunan rumah mukim, jenis atap bangunan rumah mukim, lokasi sumber air, lokasi permukiman dari jalan utama, lebar jalan masuk, kualitas jalan, kualitas bahan bangunan, dan pelanggan listrik.
Kualitas Permukiman, kepadatan bangunan, pola bangunan, lebar jalan, kualitas jalan, fasilitas hidrant, fasilitas Kantor Pemadam, pelanggan listrik, dan sumber air (depo dan tangki air)
Hasil Peta kerawanan kebakaran sebagian kecamatan Gondomanan
Peta bahaya rawan kebakaran permukiman
Peta tingkat kerawanan kebakaran perukiman
Peta Kerentanan Kebakaran Permukiman
Peta Zonasi tingkat Kerawanan kebakaran Permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan
-
34
1.8 Kerangka Pemikiran
Bertambahnya jumlah penduduk di wilayah perkotaan memaksa suatu
perkotaan membuka lahan baru untuk membentuk suatu lahan permukiman. Semakin
banyak lahan yang dikonversi yaitu lahan alami berubah menjadi lahan permukiman
maka akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan permukiman dalam hal
kerawanan kebakaran permukiman dengan melihat faktor fisik permukiman yaitu
terjadinya pemadatan permukiman. Selain akan kebutuhan lahan yang semakin
meningkat yang didasarkan akan meningkatnya jumlah penduduk, faktor lainya yang
dapat mengakibatkan kerawanan kebakaran permukiman yaitu akibat rendahnya
tingkat ekonomi masyarakat yang menghasilkan lahan permukiman yang kumuh
yang digunakan sebagai media tempat tinggal serta sambungan listrik liar tanpa
memperhatikan resiko yang ditimbulkan akibat sambungan listrik liar. Kondisi inilah
yang dapat memicu terjadinya kerawanan kebakaran permukiman.
Kebutuhan akan fasilitas umum, permukiman, sarana dan prasarana yang
memadai mendorong masyarakat untuk membuka lahan baru yang akan dijadikan
sebagai suatu kawasan baru ataupun sebagai kawasan penunjang bagi kehidupan
masyarakat perkotaan. Pemerintah Kota tidak bisa menekan kebutuhan penduduk
akan fasilitas permukiman, fasilitas umum, serta sarana dan prasarana, hal ini akan
mendorong terjadinya inflasi di bidang perumahan dan pembangunan gedung yaitu
dengan membuka permukiman baru, gedung, ruko tanpa seizin pemerintah terkait
tanpa memperhatikan lingkungan sekitar dan keamanan struktur dan bahan bangunan
berdirinya suatu kawasan permukiman. Hal inilah yang menjadi dasar permasalahan
yang diangkat dan dikaji lebih lanjut untuk mengetahui tingkat kerawanan kebakaran
permukiman di wilayah perkotaan di kecamatan Balikpapan Selatan, Kalimantan
Timur.
Analisis kerawanan kebakaran ini didasarkan oleh beberapa variabel yang
mempengaruhi baik secara langsung ataupun tidak langsung terjadinya peristiwa
kebakaran. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepadatan
permukiman, pola permukiman, lebar jalan masuk, kualitas bahan bangunan, kualitas
-
35
jalan, fasilitas hidran, fasilitas unit pemadam kebakaran, sumber air, dan pelanggan
listrik, dalam hal ini, listrik dapat dikatakan berupa segala aspek yang berhubungan
dengan tenaga listrik, baik dalam hal daya, pelanggan listrik yang berlangganan
dengan instalasi resmi pemerintah (PLN), maupun yang tidak berlangganan dengan
instalasi resmi dan jaringan kabel listrik yang langsung dari instalasi terkait ataupun
membuat jaringan ilegal dengan mengambil aliran listrik di sekitarnya. Sehingga dari
variabel-variabel yang telah didapatkan dilakukan analisis lebih lanjut mengenai
tingkat kerawanan kebakaran pada wilayah perkotaan.
Wilayah yang rawan kebakaran biasanya dicirikan oleh kondisi fisik bangunan
yang padat, pola bangunan yang tidak teratur, jalan yang kurang representative
seperti lebar jalan yang tidak dapat dilalui oleh mobil pemadam kebakaran serta
kualitas jalan yang buruk, kualitas bangunan yang rendah serta minimnya fasilitas
pemadam kebakaran, maupun jarak kantor pemadam ke tempat kejadian kebakaran
dan lokasi sumber air yang jauh dari pusat kebakaran. Beberapa variabel ini
digunakan untuk mengetahui tingkat kerawanan kebakaran di wilayah perkotaan
dikarenakan berkembangnya suatu perkotaan tidak menutup kemungkinan dapat
menimbulkan bahaya musibah kebakaran semakin besar, ini dilihat dari peningkatan
jumlah penduduk, kebutuhan akan lahan permukiman, konversi lahan hijau menjadi
lahan terbangun, dan pemadatan permukiman sehingga perubahan ini nantinya akan
dapat menimbulkan kerugian yang besar baik dari segi materi ataupun dari segi fisik.
Analisis kerawanan kebakaran permukiman dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif yaitu menggunakan teknik penginderaan jauh berupa citra
Quickbird yang dimana citra Quickbird ini digunakan sebagai data dasar untuk
menurunkan beberapa informasi yang dibutuhkan berdasarkan hasil interpretasi.
Variabel yang diturunkan berdasarkan hasil interpretasi citra yaitu kepadatan
permukiman, pola permukiman, kualitas bahan bangunan, dan lebar jalan masuk,
serta didukung oleh data sekunder yaitu fasilitas hidran, pelanggan listrik, lokasi unit
pemadam kebakaran, lokasi tendon atau tangki air, dan kualitas jalan. Interpretasi
-
36
yang dilakukan didasarkan oleh batasan fisik yaitu administrasi, jalan, dan sungai
serta membagi interpretasi kedalam satuan pemetaan yaitu blok permukiman.
Variabel yang telah dihasilkan baik dari interpretasi citra Quickbird ataupun
dengan memanfaatkan data sekunder dilakukan pembobotan (weighting factor) pada
tiap variabel, pembobotan ini diberikan berdasarkan tinggi rendahnya pengaruh tiap
variabel berdasarkan analisis kerawanan kebakaran permukiman. Overlay digunakan
untuk melakukan penggabungan data atau variabel yang telah dihasilkan untuk
menghasilkan hasil akhir yaitu peta zonasi tingkat kerawanan kebakaran
permukiman. Sehingga dari dasar pemikiran inilah maka penulis akan melakukan
penelitian mengenai kerawanan kebakaran permukiman di daerah perkotaan
khususnya di Kecamatan Balikpapan Selatan. Berikut akan dijelaskan mengenai alur
pemikiran dasar penulis mengenai terciptanya penelitian yang dilaksanakan dapat
dilihat pada gambar 1.2.
-
37
Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran
Kota
Fasilitas umum lengkap
Aksesbilitas mudah
Tersedianya lapangan pekerjaan
Penyedia lahan
Tingginya tuntutan lahan tempat tinggal
mengakibatkan konversi lahan
Penurunan Kualitas
lingkungan (Permukiman)
Penduduk
Mencari kehidupan layak
Mengikuti zaman
Mencari pekerjaan
Peningkatan jumlah
penduduk
Kebutuhan lahan
semakin meningkat,
memerlukan lahan
PJ (Penggunaan Citra
Quickbird dan Survei
Lapangan)
- Kepadatan
Permukiman
- Kualitas
Permukiman
- Lebar Jalan Masuk
- Pola Permukiman
Variabel Pendukung
- Fasilitas Hidran
- Lokasi Unit Pemadam
Kebakaran
- Lokasi Depo dan Tangki Air
Variabel yang mempengaruhi
kerawanan kebakaran
Pemrosesan dan
analisis data SIG
Peta Zonasi Kerawanan Kebakaran
Kebakaran Permukiman