Ruptur Perineum - Hafshah Sumayyah
-
Upload
hafshah-sumayyah -
Category
Documents
-
view
1.096 -
download
7
Transcript of Ruptur Perineum - Hafshah Sumayyah
MAKALAH PRESENTASI KASUS
RUPTUR PERINEUM
Pembimbing:
Dr. Shirley, Sp.OG
Disusun Oleh :
Hafshah Sumayyah
107103001063
KEPANITERAAN KLINIK SMF OBSTETRI GYNEKOLOGI
RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis
junjungkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di SMF Obstetri
dan Ginekologi RSUP Fatmawati, terutama pada dr. Shirley, Sp.OG atas bimbingan
dan perhatian yang telah diberikan selama berlangsungnya pendidikan di
kepaniteraan klinik ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang
berjudul ‘Ruptur Perineum’ dengan baik.
Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak. Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami
yang sedang menempuh pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah
selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.
Dan hanya kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7).”
Jakarta, 12 Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Perinea……………………………………………………
2.2 Ruptur Perinea……………………………………………………...
BAB III ILUSTRASI KASUS………………………………………….
BAB IV ANALISA KASUS…………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..
i
ii
1
1
3
18
25
26
BAB I
PENDAHULUAN
Perlukaan jalan lahir karena persalinan dapat mengenai vulva, vagina dan uterus.
Jenis perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang disertai
perdarahan hebat. Pada primigravida yang melahirkan cukup bulan perlukaan jalan lahir
tak bisa dihindarkan. Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir
baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan
perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin
lahir terlalu cepat. Robekan perineum terjadi pada hampir semua primipara1.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan
pada saat pebukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat
episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstraksi.2
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinea totalis (sfingter ani terputus),
robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris, uretra,
dan bahkan yang terberat ruptur uteri.1
Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang
teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks
dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna
darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Semua sumber perdarahan
yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan jahitan catgut lapis demi
lapis sampai perdarahan berhenti. Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi
lokal, penerangan lampu yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman
luka.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI PERINEA
Perinea merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul,
terletak antara vulva dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm. jaringan yang
mendukung perineum terutama ialah diafragma pelvis dan diafragma
urogenitalis. Diafragma urogenitalis merupakan bagian eksterna dari diafragma
pelvis yaitu di daerah area segitiga diatara tuber isiadika dan simfisis pubis.
Diafragma urogenital meliputi muskulus transversus perinea profunda, otot
konstriktor uretra dan fasia internal maupun eksternal yang menutupinya.1,3
Diafragma pelvis dibentuk oleh otot-otot koksigis dan levator ani yang
terdiri dari 3 otot penting yaitu: m.puborektalis, m.pubokoksigis, dan
m.iliokoksigis. Susunan otot tersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis,
diantaranya lewat urethra, vagina dan rektum. Perinea berbatas sebagai berikut : 2
1. Ligamentum arkuata dibagian depan tengah.
2. Arkus iskiopubik dan tuber iskii dibagian lateral depan.
3. Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral belakang.
4. Tulang koksigis dibagian belakang tengah.
Letak sfingter anal eksterna sangat dekat dengan fourchette vagina.
Kerusakan sfingter baik pada sfingter eksterna dan interna meningkatkan
kemungkinan terjadinya inkontinensia alvi setelah persalinan pervaginam.
Daerah perinea terdiri dari 2 bagian, yaitu: 2
1. Regio anal disebelah belakang : terdapat m. sfingter ani eksterna yang
melingkari anus.
2. Regio urogenitalis : terdapat m. bulbokavernosus, m. transversus
perinealis superfisialis dan m. iskiokavernosus.
Perineum mendapat pasokan darah terutama dari arteri pudenda interna
dan cabang-cabangnya. Persarafan perineum terutama oleh nervus pudendus
dan cabang-cabangnya. Oleh sebab itu, dalam menjahit robekan perineum dapat
dilakukan anestesi blok pudendus.3
Otot levator ani kiri dan kanan bertemu di tengah-tengah antara anus dan
vagina yang diperkuat oleh tendon sentral perineum. Di tempat ini bertemu
otot-otot bulbokavernosus, muskulus transversus perinei superfisialis, dan
sfingter ani eksternal. Struktur ini membentuk perineal body yang memberi
dukungan bagi perineum. Dalam persalinan sering mengalami laserasi, kecuali
dilakuakn episiotomi yang adekuat.3
Gambar 1. Genitalia eksterna wanita
Gambar 2. Anatomi anorektum
Perdarahan ke perinea sama dengan perjalanan syaraf yaitu berasal dari
arteri pudenda interna yang juga melalui kanalis Alcock dan terbagi menjadi a.
hemorrhoidalis inferior, a. perinealis dan a. dorsalis klitoris.
Gambar 3. Otot-otot perineum
Gambar 3. Persarafan perineum
2.2 RUPTUR PERINEA
2.2.1. Definisi
Ruptur merupakan robekan atau koyaknya jaringan secara paksa.
Sedangkan perinea bagian yang terletak antara vulva dan anus
panjangnya rata-rata 4 cm.4,2
2.2.2. Prevalensi
Sekitar 45,000 wanita per tahun di skotlandia mengalami rupture
perineum setelah persalinan. Lebih dari 85% wanita di UK yang
mengalami trauma perinea sewaktu menjalani persalinan pervaginam .
Namun angka prevalensi ini tergantung dari variasi tempat obstetrik,
termasuk angka tindakan episiotomi. Di Belanda, angka episiotomi 8%,
sementara di Inggris angka episiotomi mencapai 14%, 50% di Amerika
Serikat dan 99% di Negara-negara Eropa Timur.5,6,7,8
Gambar 4. Robekan perineum
2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Robekan pada perinea umumnya terjadi pada persalinan dimana : 9,10
1.kepala janin terlalu cepat lahir.
2.persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya.
3.sebelumnya pada perinea terdapat banyak jaringan parut.
4.pada persalinan dengan distosia bahu.
Persalinan seringkali menyebabkan perlukaan pada jalan lahir. Perlukaan
pada jalan lahir tersebut terjadi pada : Dasar panggul/perineum, vulva dan
vagina, servik uteri, uterus. Sedangkan ruptur pada perineum spontan
disebabkan oleh : Perineum kaku, kepala janin terlalu cepat melewati dasar
panggul, bayi besar, lebar perineum, paritas.1
Terjadinya rupture perineum disebabkan oleh faktor ibu (paritas, jarak
kelahiran dan berat badan bayi), pimpinan persalinan tidak sebagaimana mestinya,
riwayat persalinan. ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, trauma alat dan episiotomi1.
-Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seseorang ibu baik
hidup maupun mati. Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian rupture
perineum. Pada ibu dengan paritas satu atau ibu primipara memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami robekan perineum daripada ibu dengan paritas
lebih dari satu. Hal ini dikarenakan karena jalan lahir yang belum pernah
dilalui oleh kepala bayi sehingga otot-otot perineum belum meregang1.
-Jarak kelahiran
Jarak kelahiran adalah rentang waktu antara kelahiran anak sekarang
dengan kelahiran anak sebelumnya. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun
tergolong risiko tinggi karena dapat menimbulkan komplikasi pada
persalinan. Jarak kelahiran 2-3 tahun merupakan jarak kelahiran yang lebih
aman bagi ibu dan janin. Begitu juga dengan keadaan jalan lahir yang
mungkin pada persalinan terdahulu mengalami robekan perineum derajat
tiga atau empat, sehingga proses pemulihan belum sempurna dan robekan
perineum dapat terjadi.
Berat badan bayi
Berat badan janin dapat mengakibatkan terjadinya rupture
perineum yaitu pada berat badan janin diatas 3500 gram, karena risiko
trauma partus melalui vagina seperti distosia bahu dan kerusakan
jaringan lunak pada ibu. Perkiraan berat janin tergantung pada
pemeriksaan klinik atau ultrasonografi dokter atau bidan. Pada masa
kehamilan, hendaknya terlebih dahulu mengukur tafsiran beran badan
janin.
Riwayat Persalinan
Riwayat persalinan mencakup episiotomi, ekstraksi cunam dan
ekstraksi vakum. Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya rupture
perineum1.
2.2.4. Klasifikasi
a. Ruptur Perinea Spontan
Yaitu luka pada perinea yang terjadi karena sebab-sebab
tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini
terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.9
b. Ruptur perinea yang disengaja (Episiotomi)
Suatu tindakan insisi pada perinea yang menyebabkan
terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada
septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perinea dan kulit sebelah
depan perinea.9
Derajat laserasi vagina dan perinea dibagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu:
a. Derajat I : Laserasi pada lapisan kulit perinea dan mukosa
vagina.11
b. Derajat II : Laserasi yang terjadi pada lapisan kulit, mukosa,
fasia dan otot perinea tranversalis. Robekan pada derajat dua
biasanya memanjang keatas pada satu atau dua sisi vagina
membentuk segitiga irregular. 11
c. Derajat III : Laserasi mengenai kulit, mukosa, badan perinea dan
termasuk sfingter anal. 11
a. Tingkat III a. : Robekan < 50 % ketebalan sfingter anal
eksterna. 10
b. Tingkat III b. : Robekan > 50% ketebalan sfingter anal
eksterna. 10
c. Tingkat III c. : Robekan hingga sfingter anal interna. 10
d. Derajat IV : Laserasi lebih dalam dan mengenai mukosa rektal
hingga lumen rektum terekspos. Robekan pada derajat IV ini
dapat mengenai uretra hingga menyebabkan perdarahan yang
terus menerus. 1
Gambar 5. Derajat ruptur perinea
2.2.5. Episiotomi
a. Definisi
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perinea yang
menyebabkan terpotongnya selaput mukosa vagina, cincin selaput
dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perinea
dan kulit sebelah depan perinea.5
Di masa lalu, episiotomi secara rutin dilakukan dengan tujuan
mencegah robekan berlebihan pada perinea, membuat tepi luka rata
sehingga mudah dilakukan penjahitan (reparasi), namun hal tersebut
ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup. Kini,
episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan :
o Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko
hematoma10
o Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada
episiotomi rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi.10
o Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perinea10
o Meningkatnya resiko infeksi10
b. Indikasi
Indikasi untuk melakukan episiotomi untuk mempercepat
kelahiran bayi bila didapatkan :
o Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan
tindakan.10
o Penyulit kelahiran pervaginam ( sungsang, distosia bahu,
forcep, vakum.10
o Jaringan parut pada perinea atau vagina yang memperlambat
kemajuan persalinan.10
c. Teknik Episiotomi
Persiapan
o Pertimbangkan indikasi-indikasi untuk melakukan episiotomi
dan pastikan bahwa episiotomi dan pastikan bahwa episiotomi
tersebut penting untuk keselamatan dan kenyamanan ibu atau
bayi10.
o Pastikan semua perlengkapan dan bahan-bahan yang
diperlukan sudah tersedia dan dalam keadaan disinfeksi
tingkat tinggi atau steril10.
o Gunakan teknik aseptik setiap saat. Cuci tangan dan pakai
sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril.10
o Jelaskan pada ibu alasan ia memerlukan episiotomi dan
diskusikan prosedurnya dengan ibu. Berikan alasan rasional10.
Gambar 6. Jenis Episiotomi
a. Episiotomi Medialis
Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah
introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani. 9
Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi
infiltrasi antara lain dengan larutan procaine 1%-2%; atau
larutan lidonest 1%-2%; atau larutan xylocaine 1%-2%.
Setelah pemberian anestesi dilakukan insisi dengan
mempergunakan gunting yang tajam dimulai dari bagian
terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi sampai tidak
memotong pinggir atas sfingter ani, hingga kepala dapat
dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral
(episiotomi mediolateralis).9
Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula
otot perinea kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa
jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan.
Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima
jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus
(interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture).
Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput
lendir adalah catgut chromic, sedang untuk kulit perinea
dipakai benang sutera.9
Gambar 7. Teknik menjahit luka episiotomi medialis
b. Episitomi Mediolateralis
Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang
introitus vagina menuju kearah belakang dan samping.
Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan atau pun
kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang
melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. 9
Tekhnik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis
hampir sama dengan tekhnik menjahit episiotomi
medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa
sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus
simetris. 9
Gambar 8. Teknik menjahit luka episiotomi mediolateralis
c. Episiotomi Lateral
Pada tekhnik ini insisi dilakukan kearah lateral mulai
dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum
jam. 9
Tekhnik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena
banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat
melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah
pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan
perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi
dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu
penderita. 9
Secara umum prosedur untuk menjahit episiotomi sama
dengan menjahit laserasi perinea. Jika episiotomi sudah
dilakukan, lakukan penilaian secara hati-hati untuk
memastikan lukannya tidak meluas. Sedapat mungkin,
gunakan jahitan jelujur. Jika ada sayatan yang terlalu dalam
hingga mencapai lapisan otot, mungkin perlu dilakukan
penjahitan secara terputus untuk merapatkan jaringan.
Keuntungan teknik penjahitan jelujur adalah mudah dipelajari
( hanya perlu belajar satu jenis penjahitan dan satu atau atau
dua jenis simpul ), tidak terlalu nyeri karena lebih sedikit
benang yang digunakan, menggunakan lebih sedikit jahitan.10
2.2.6. Teknik Menjahit Ruptur Perinea
Tujuan menjahit rupture perinea atau episiotomy adalah untuk
menyatukan kembali jaringan tubuh (mendekatkan) dan mencegah
kehilangan darah yang tidak perlu (memastikan hemostasis). Pada saat
menjahit laserasi atau episiotomi gunakan benang yang panjang dan
gunakan sesedikit mungkin jahitan agar terhindar dari infeksi. 10
Teknik menjahit ruptur perinea
1. Tingkat I : Penjahitan ruptur perinea tingkat I dapat dilakukan
hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur
(continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of
eight)10
2. Tingkat II : Sebelum dilakukan penjahitan pada ruptur perinea
tingkat II maupun tingkat III, jika dijumpai pinggir yang tidak rata
atau bergerigi, maka pinggir bergerigi tersebut harus diratakan
terlebih dahulu.pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-
masing diklem terlebih dahulu Kemudian digunting. Setelah
pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput
lendir vagina dijahit dengan catgut secra terputus-putus atau
jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak
robekan. terakhir kulit perinea dijahit dengan benang sutera secara
terputus-putus.10
3. Tingkat III : Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit.
Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit
dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung
otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dingan
klem pean lurus. Kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut
kromil sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit
lapis demi lapis seperti menjahit ruptur perinea tingkat II.10
4. Tingkat IV : Pasien dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang
memadai.10
2.2.6.1. Tahap Penjahitan Ruptur Pada Perinea
a. Mempersiapkan penjahitan
1. Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada ditepi tempat tidur atau meja. Topang kakinya dengan alat penopang atau minta anggota keluarga untuk memegang kaki ibu sehingga ibu tetap berada dalam posisi litotomi.
2. Tempatkan handuk atau kain bersih dibawah bokong ibu.
3. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehingga perinea bias dilihat dengan jelas.
4. Gunakan teknik aseptik pada memeriksa robekan atau episiotomi, memberikan anestesi lokal dan menjahit luka.
5. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.
6. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril.
7. Dengan teknik aseptik, persiapkan peralatan dan bahan-bahan disinfektan tingkat tinggi untuk penjahitan
8. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah dilihat dan penjahitan bisa dilakukan tanpa kesulitan.
9. Gunakan kain atau kassa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka vulva, vagina dan perinea ibu dengan lembut, bersihkan darah atau bekuan darah yang ada sambil menilai dalam dan luasnya luka.
10. Periksa vagina, serviks dan perinea secara lengkap. Pastikan bahwa laserasi/ sayatan perinea hanya merupakan derajat satu atau dua. Jika laserasinya dalam atau episiotomi telah meluas, periksa lebih jauh untuk memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan hati-hati dan angkat jari tersebut perlahan-lahan untuk mengidentifikasikan sfingter ani. Raba tonus atau ketegangan sfingter. Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi derajat tiga atau empat dan harus dirujuk segera. Ibu juga dirujuk jika mengalami laserasi serviks.
11. Ganti sarung tangan dengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril yang baru setelah melakukan pemeriksaan rektum.
12. Berikan anestesi lokal.
13. Siapkan jarum dan benang. Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat lentur, kuat, tahan lama, dan paling sedikit menimbulkan reaksi jaringan.
14. Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit dan jepit jarum tersebut.
b. Memberikan Anestesi Lokal
Berikan anestesi kepada setiap ibu yang memerlukan penjahitan laserasi atau episiotomi. Penjahitan sangat menyakitkan dan menggunakan anestesi lokal merupakan asuhan sayang ibu. Jika ibu dilakukan episiotomi dengan anestesi lokal, lakukan pengujian pada luka untuk mengetahui bahwa bahan anestesi masih bekerja. Sentuh luka dengan jarum yang tajam atau cubit dengan forcep/cunam. Jika ibu merasa tidak nyaman, ulangi pemberian anestesi lokal.10
Gunakan tabung suntik steril sekali pakai dengan jarum ukuran 22 panjang 4 cm. Jarum yang lebih panjang atau tabung suntik yang lebih besar bisa digunakan, tapi jarum harus berukuran 22 atau lebih kecil tergantung pada tempat yang memerlukan anesthesia. Obat standar untuk anestesia lokal adalah 1% lidokain tanpa epinefrin (silokain). Jika lidokain 1% tidak tersedia, gunakan lidokain 2% yang dilarutkan dengan air steril atau normal salin dengan perbandingan 1:1.10
1. Jelaskan pada ibu apa yang akan anda lakukan dan bantu ibu merasa santai.
2. Hisap 10 ml larutan lidokain 1% kedalam alat suntik sekali pakai ukuran 10 ml (tabung suntik yang lebih besar boleh digunakan jika diperlukan). Jika lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian 2% dengan 1 bagian normal salin atau air steril yang sudah disuling.
3. Tempelkan jarum ukuran 22 sepanjang 4 cm ke tabung suntik tersebut.
4. Tusukkan jarum ke ujung atau pojok laserasi atau sayatan lalu tarik jarum sepanjang tepi luka (ke arah bawah ke arah mukosa dan kulit perinea).
5. Aspirasi (tarik pendorong tabung suntik) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung suntik, jangan masukkan lidokain dan tarik jarum seluruhnya. Pindahkan posisi jarum dan suntikkan kembali. (Alasan: ibu bisa mengalami kejang dan kematian bisa terjadi jika lidokain disuntikkan ke dalam pembuluh darah)
6. Suntikan anestesia sejajar dengan permukaan luka pada saat jarum suntik ditarik perlahan-lahan.
7. Tarik jarum hingga sampai ke bawah tempat dimana jarum tersebut disuntikkan.
8. Arahkan lagi jarum ke daerah di atas tengah luka dan ulangi langkah ke-4, dan sekali lagi ulangi langkah ke-4 sehingga tiga garis di satu sisi luka mendapatkan anestesi lokal. Ulangi proses proses ini di sisi lain dari luka tersebut. Setiap sisi luka akan memerlukan kurang lebih 5 ml lidokain 1% untuk mendapatkan anestesi yang cukup.
9. Tunggu selama 2 menit dan biarkan anestesi tersebut bekerja dan kemudian uji daerah yang dianastesi dengan cara dicubit dengan forcep atau disentuh dengan jarum yang tajam. Jika ibu merakan jarum atau cubitan tersebut, tunggu 2 menit lagi dan kemudian uji kembali sebelum menjahit luka.
c. Penjahitan Laserasi Perineum
1. Cuci tangan dengan cara seksama dan gunakan sarung tangan
disinfeksi tingkat tinggi atau steril. Ganti sarung tangan jika
sudah terkontaninasi atau tertusuk jarum maupun peralatan tajam
lainnya.
2. Pastikan bahwa perlatan dan bahan-bahan yang digunakan sudah
steril.
3. Setelah memberikan anestesi lokal dan memastikan bahwa daerah
tersebut sudah dianatesi, telusuri dengan hati-hati menggunakan
satu jari untuk secara jelas menetukan batas-batas luka. Nilai
kedalaman luka dan lapisan jaringan mana yang terluka.
Dekatkan tepi laserasi untuk menentukan bagaimana cara
manjahitnya menjadi satu dengan mudah.
4. Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm di atas ujung laserasi di
bagian dalam vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat
ikatan dan potong pendek benang yang lebih pendek dari ikatan.
5. Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke
arah cincin hymen.
6. Tepat sebelum cincin hymen, masukkan jarum ke dalam mukosa
vagina lalu ke bawah cincin hymen sampai jarum berada di
bawah laserasi. Periksa bagian antara jarum di perinea dan bagian
atas laserasi. Perhatikan seberapa dekat jarum ke puncak luka.
7. Teruskan ke arah bawah tapi tetap pada luka, menggunakan
jahitan jelujur, hingga mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan
bahwa jarak setiap jahitan sama dan otot yang terluka telah
dijahit. Jika laserasi meluas ke dalam otot, mungkin perlu
melakukan satu atau dua lapis jahitan terputus-putus untuk
menghentikan perdarahan dan atau mendekatkan jaringan tubuh
secara efektif.
8. Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan
teruskan penjahitan menggunakan jahitan jelujur untuk menutup
lapisan subkutikuler. Jahitan ini akan menjadi jahitan lapis kedua.
Perikas lubang bekas jarum tetap terbuka berukuran 0,5 cm atau
kurang. Luka ini akan menutup dengan sendirinya pada saat
penyembuhan luka
9. Tusukkan jarum dari ruptur perinea ke dalam vagina. Jarum harus
keluar dari belakang cincin hymen.
10. Ikat benang dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong
ujung benang dan sisakan sekitar 1,5 cm. Jika ujung benang
dipotong terlalu pendek, simpul akan longgar dan laserasi akan
membuka.
11. Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan
bahwa tidak ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalamnya
12. Dengan lembut masukkan jari yang paling kecil ke anus. Raba
apakah ada jahitan pada rektum. Jika ada jahitan yang teraba,
ulangi pemeriksaan rektum 6 minggu pasca persalinan. Jika
penyembuhan belum sempurna (misalkan jika ada fistula
rektovaginal atau ibu melaporkan incontinesia alvi atau feses), ibu
segera dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.
13. Cuci daerah genital dengan lembut dengan sabun dan air
disinfeksi tinggkat tinggi, kemudian keringkan. Bantu ibu
mencari posisi yang aman.
14. Nasehati ibu untuk :
o Menjaga perineanya selalu bersih dan kering.
o Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineanya.
o Cuci perineanya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3
sampai 4 kali perhari.
o Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan
lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami
demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari
daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri.
Perlu diingat pada penjahitan ruptur perinea:
Hal-hal yang harus diperhatikan :10
Tidak usah menjahit laserasi derajat satu yang tidak mengalami
perdarahan dan mendekat dengan baik.
Gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mendekatkan jaringan
dan memastikan hemostasis.
Selalu gunakan teknik aseptik.
Jika ibu mengeluh sakit pada saat penjahitan dilakukan, berikan
lagi anestisia lokal untuk memastikan kenyaman ibu, inilah yang
disebut asuhan sayang ibu.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. AR
No. RM : 01148790
Umur : 30 tahun
Alamat : Kp. Sugu Tamu, Depok
Suku : Sunda
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : Tidak Sekolah
Tanggal masuk: 17 Mei 2012
B. ANAMNESA
Dilakukan Autoanamnesa pd tgl 17 Mei 2012 pk. 01.00 WIB
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh mules-mules sejak 2 hari SMRS. (Pasien
merupakan rujukan dari RSUD Depok dengan G1P0A0 Hamil 41
minggu, PK I aktif, KPD 20 jam).
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku hamil 9 bulan, Hari Pertama Haid Terakhir
pada 1 September 2011, Taksiran Persalinan pada 8 Juni 2012.
Pasien mengeluh mulas -mulas sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien juga mengeluh keluar air-air serta lendir dan
darah sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengaku terdapat riwayat
keputihan yang gatal dan berbau selama hamil. Pasien menyangkal
adanya mual, muntah, sakit kepala, pandangan kabur, riwayat tekanan
darah tinggi selama kehamilan. Gerak janin aktif (+).
Pasien menyangkal adanya nyeri saat berkemih, anyang-
anyangan, maupun gigi bolong. Buang air kecil dan buang air besar
normal. Pasien juga menyangkal adanya perdarahan saat hamil muda
dan demam selama hamil.
Pasien kontrol kehamilan secara rutin di puskesmas Jagakarsa
setiap bulan mulai dari pertama kehamilan dan kontrol setiap minggu
sejak sebulan terakhir. Pasien pernah melakukan USG saat usia
kehamilan memasuki 9 bulan, dokter mengatakan janin dalam kondisi
baik.
c. Riwayat Haid
Menarche 8 tahun, siklus 30 hari, banyaknya pembalut 3-4x/ hari,
terdapat nyeri saat haid.
d. Riwayat Pernikahan
Menikah 1x, usia pernikahan 1,5 tahun.
e. Riwayat Kehamilan
G1PoAo.hamil ini.
f. Riwayat Kontrasepsi
Tidak ada.
g. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat darah tinggi (-), kencing manis (-), asma (-), jantung (-).
h. Riwayat Operasi
Tidak ada
i. Riwayat Pengobatan dahulu
Tidak ada
j. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat darah tinggi (+) ayah, kencing manis (-), asma (-), dan
jantung (-).
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Suhu : 36,5 0C
Frek. Nadi : 84 x/m
Frek. Nafas : 20 x/m
Mata : Konjungtiva pucat -/-, SI -/-.
Jantung : S1S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo : Sn. Vesikuler, Ronchi -/-, Wheezing -/-.
Abdomen : Buncit sesuai kehamilan, striae (+)
Ekstremitas : Akral hangat, oedem -/-
b. Status Obstetri
TFU : 30 cm
His : -
Kontraksi : ireguler
TBJ : 2790 gr DJJ : 141 dpm
I : V/U tenang, perdarahan (-)
Io : portio licin, ostium terbuka, flour (-), fluksus (+), valsava test (+)
VT : Portio lunak, axial, tebal 1 cm, Ø 3 cm, ket (-), kepala H I
c. Pelvimetri Klinik
Promontorium : sulit dinilai
Linea inominata : sulit dinilai
Dinding samping : lurus
Spina ischiadika : tajam
Distansia interspinorum : >9,5 cm
Sakrum : konkaf
Arkus pubis : > 90
Kesan panggul :normal
IFP : baik
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. USG
Janin Presentasi Kepala Tunggal Hidup
BPD : 90,3
HC : 324,8
AC : 326,4
FL : 77
ICA : 8,1
TBJ : 3248 gr
Plasenta di korpus depan.
b. CTG
Frekuensi dasar : 140 dpm
Variabilitas : 5- 25
Akselerasi : +
Deselerasi : -
His : -
Gerak janin : +
Kesan : Reassuring
c. LABORATORIUM
PEMERIKSAAN HASIL NILAI
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,4 g/dl 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 31% 33-45%
Leukosit 6,9 5-10 ribu/ul
Trombosit 281 ribu/ul 150-440 ribu/ul
Eritrosit 3,34 juta/ul 3,8-5,2 juta/ul
VER/HER/KHER/RDW
VER 91,4 fl 80-100 fl
HER 31,0 pg 26-34 pg
KHER 34,0 g/dl 32-36 g/dl
RDW 15,8 % 11,5-14,5 %
GULA DARAH
SEWAKTU
84 70- 140
URINALISA
Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih pH 6,0 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif Glukosa Negatif Negatif Leukosit 2-4/LPB 0-5 /LPB Eritrosit 1-2/LPB 0-2 /LPB Epitel Positif Kristal Negatif Silinder Negatif Urobilinogen Normal < 1 U.E/dl Bilirubin Negatif Negatif Keton Negatif Negatif Nitrit Negatif Negatif BD 1,020 1,003-1,030 Darah Negatif Negatif Bakteri Negatif Negatif
E. DIAGNOSIS
Serviks matang pada G1 Hamil aterm, JPKTH, ketuban pecah 1 hari,
air ketuban berkurang
F. PENATALAKSANAAN
Rencana diagnosis :
- Observasi TNSP, kontraksi, djj, perdarahan
- Cek DPL, UL, GDS, CTG.
Rencana terapi:
- Titrasi oksitosin 5 IU/500 cc mulai 8 tpm dinaikkan 4 tpm / 30menit
sampai tercapai his adekuat.
- Ceftriaxon 1x2 gr IV
G. FOLLOW UP
01.30
Terpasang oksitosin 5 IU/500 cc mulai 8 tpm dinaikkan 4 tpm /
30menit sampai tercapai his adekuat
02.00
Tercapai his adekuat dalam 8 tpm
03.00
S : mulas-mulas dan keluar lendir darah, gerak janin aktif
O : TD : 110/80, FN : 94, RR : 18, S: 36,7
Stat. generalis : dbn
Stat. obst : His 4x/10’/40”, DJJ : 138 dpm
I : v/u tenang
vt : portio tipis, ø 8 cm, ket (-), kepala H III
A : PK I aktif pada G1 Hamil aterm, JPKTH, ketuban pecah 1 hari, air
ketuban berkurang
P : RD/ : Obsv TNSP, kontraksi, djj
RTh/ : rencana awal partus per vaginam nilai ulang kemajuan
persalinan dalam 2 jam
05.00
S : ibu ingin meneran, gerak janin aktif
O : TD : 110/80, FN : 96, RR : 18, S: 36,7
Stat. generalis : dbn
Stat. obst : His 4-5x/10’/45”, DJJ : 140 dpm
I : v/u tenang
vt : Ø lengkap, ketuban (-), kepala H III-IV
A : PK II pada G1 Hamil aterm, JPKTH, ketuban pecah 1 hari, air ketuban
berkurang
P: Asuhan PK II pimpin ibu meneran
05.15
Lahir spontan bayi laki-laki, 3000 gr, PB 49 cm, AS 8/9 bayi
dikeringkan dan diselimuti.
Air ketuban hijau encer.
Tali pusat dijepit dan dipotong.
Ibu disuntik oksitosin 10 IU i.m
Dilakukan PTT.
14.20
Lahir spontan plasenta, masase fundus, kontraksi baik.
Ruptur perinea grade II. Dilakukan haemostasis dan perineorafi. Perdarahan
100cc
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada pasien, Ny. A, 30 tahun didapatkan ruptur perineum grade II. Dari hasil
ananmnesis, di dapatkan bahwa ini merupakan kehamilan yang pertama
(primigravida). Pada ibu dengan paritas satu atau ibu primipara memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami robekan perineum daripada ibu dengan paritas lebih dari satu.
Hal ini dikarenakan karena jalan lahir yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi
sehingga otot-otot perineum belum meregang. Luka-luka biasanya ringan tetapi
kadang-kadang terjadi juga luka yang luas dan berbahaya. Sebagai akibat persalinan
terutama pada seorang primipara, biasa timbul luka pada vulva di sekitar introitus
vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan
banyak.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya jaringan parut pada perineum dan
adanya distosia bahu pada janin selama proses persalinan sehingga penyebab ruptur
perinea dari sebab-sebab ini dapat disingkirkan. Penyebab ruptur karena episiotomi,
ekstraksi vakum, dan forceps juga dapat disingkirkan, karena pada pasien ini tidak
dilakukan tindakan-tindakan tersebut.
Sebab lain yang yang dapat menyebabkan ruptur perineum pada kasus ini
adalah kepala janin terlalu cepat dilahirkan dan persalinan tidak dipimpin sebagai
mestinya belum dapat disingkirkan. Hal ini bisa saja terjadi karena ada langkah yang
mungkin kurang dikuasai seperti pengendalian kecepatan dan pengaturan diameter
kepala saat melewati introitus vagina Selain itu saat dipimpin meneran, ibu tidak
meneran sebagaimana yang diarahkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu kandungan. Edisi 2. Jakarta.Yayasan Bina
Sarwono Prawirohardjo. 2005
2. Cunningham FG et al. William Obstetrics. 22nd . New York. McGraw-
Hill.2005
3. Rachimhadhi, Trijatmo. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiohardjo.edisi 4.
Jakarta . PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008
4. Dorlan. Kamus kedokteran Dorlan. Jakarta . EGC. 1994
5. Sultan AH. Obstetric perinea injury and anal incontinence. Clinical Risk
1999;5:193–6.
6. Faltin DL, Boulvain M, Floris LA, Irion O. Diagnosis of anal sphincter tears
to prevent fecal incontinence: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol
2005;106(1):6–13.
7. Andrews V, Sultan AH, Thakar R, Jones P. Occult anal sphincter injuries –
myth or reality? Br J Obstet Gynaecol 2006;113:195–200.
8. Buku ungu woman
9. Saifudin, Abdul Bari. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiohardjo.edisi 4.
Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2008
10. DEPKES RI. Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal. 2008
11. Angsar, Muhammad Dikman. Ilmu kandungan. Edisi 2. Jakarta.Yayasan
Bina Sarwono Prawirohardjo. 2008