Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

20

description

Ruang merupakan media publikasi keilmuan HMT PWK Pramukya Arcapada. Ruang #7 edisi Februari 2016 mengisahkan tentang sungai dan segala yang berhubungan dengan keberlanjutannya. Selamat Membaca!

Transcript of Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Page 1: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai
Page 2: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Prolog

Alhamdulillah, bulletin ruang telah sampai edisi ke-6. Pada edisi kali ini bulletin Ruang Divisi pendidikan, penelitian dan profesi, Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UGM dapat hadir kembali ditengah kita dengan tema yang tidak kalah menarik; Balada sungai-sungai.

Kota-kota di Indonesia di anugerahkan ragam bentang alam yang potensial meliputi; pegunungan, perairan, kepulauan, hingga pesisir. Dari 94 kota otonom di indoneisa, 47 diantaranya memiliki karakter geografis berupa kawasan pesisir. Dengan 17.508 dan dengan 95.181 km garis pantai yang terhampar dari sabang sampai merauke, tidak heran jika dominasi tersebut membuat Indonesia di juluki Negara kepulauan. Dari segi fungsi, kawasan bahari meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi bangsa ini dari perdagangan hasil laut, jasa pariwisata dsb. Dilihat dari perspektif sejarah, kawasan perairan Indonesia seperti sungai turut andil besar dalam perkembangan ekonomi daerah sekitar (hinterland) karena tidak sedikit kota-kota di Indonesia tumbuh berkembang dari kawasan perairan.

Buletin ruang edisi kali ini memuat hasil diskusi tentang hiruk pikuk kawasan perairan Kota Yogyakarta yang lebih tekhusus pada sungai dari sisi; ekonomi, lingkungan serta sosial budaya. Selain itu redaksi akan menyajikan hasil riset atau penelitian yang dapat mencerdaskan dan menyadarkan kita semua, agar peka terhadap masalah besar yang tengah kita hadapai, contoh gerakan-gerakan komunitas peduli sungai di Yogyakarta serta membahas seperti apa dan bagaimana kunci-kunci sukses berbagai kota dalam perencanaan sungai.

Selamat Membaca

--Editor

balada sang sungai

1

7

6

4

2

Renungan

Liputan utama

Infografis

opini

budaya kota

Pembina: Ratna Eka Suminar, S.T, M.Sc; Penanggung Jawab: Isfansa Mahani; Koordinator: M. Fachri Ardiansyah; Redaksi: Ni Putu Adnya Sawitri, Muhammad Irfan, Putu Sri Ronita Dewi, Putu Inda Pratiwi, Aditya Hidayat Adam, Rachmat Kurniawan; Produksi dan Artistik: M Yusuf Alfyan, Fildzah Husna A; Editor: Muhammad Fachri Ardiansyah; Kontributor: Isfansa Mahani, Arbi Ali Farmadi, Fawzia Puji Insani

RUANG

12

10

9

8 overseas

apresiasi kota

perspektif

phot-o-graphy

17

16

15

14 Liputa

esai foto

resensi buku

fim-o-graphy

Page 3: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Renungan

RUANG 1

Air adalah sumber kehidupan. Tidak bisa dihitung berapa jumlah manfaat yang sudah diberikan oleh

air pada kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Senada dengan kalimat pernyataan diawal, air adalah elemen pembentuk dari keberadaan air di dunia ini. Laut, danau dan sungai di bentuk oleh elemen bernama “air”. Tidak ada permasalahan dalam hal & proses pembentukannya, tetapi yang menjadi antisipasi dari semua ini adalah bagaimana cara untuk “menjaga” dan “merawatnya”.

Air laut dan air sungai adalah dua jenis air yang berbeda, volume kedua jenis air ini pun sangat jauh perbedaannya. Berbeda volume berbeda pula “dampaknya”. Tidak ada permasalahan yang berarti terhadap air laut, tetapi banyak permasalahan yang didapati di air sungai. Sungai merupakan sumber daya yang bersifat mengalir. Sehingga peranan hulu sangat penting, begitu pula perlakuan terhadap hulu akan memberikan dampak terhadap hilir. Berbicara mengenai sungai, bagaimana kondisi sungai yang ada di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini?

Indonesia, terlahir dari gugusan pulau-pulau yang memiliki karakteristik dan keindahan tersendiri. Apakah ini berlaku juga terhadap sungai di Indonesia? Sudah banyak yang meneliti & mengkaji bahwa hampir seluruh sungai di Indonesia berada pada kondisi “kritis”, termasuk yang terjadi pada sungai-sungai di Kalimantan & Sulawesi.

Secara eksplisit jumlah penduduk di Pulau Kalimantan dan Sulawesi tidak sepadat dengan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Secara singkat adalah dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin meluas pula daerah permukiman penduduk. Hal ini memicu meningkatnya produksi rumah tangga dan

perkembangan kawasan industri. Hal ini merangsang pencemaran pada air sungai yang bersumber dari limbah, baik dari permukiman perkotaan atau kawasan industri.

Sebagai contoh, sungai Barito di Kalimantan dan sungai Lariang di Sulawesi. Kedua sungai ini adalah sungai terpanjang dan terbesar di wilayahnya dengan anak sungai yang membentang di masing masing kota. Tetapi apakah kondisi kedua sungai ini sehat dan baik-baik saja? Tidak. Hasil pertambangan dan emas yang “indah”, potensi pertambangan yang ada di Kalimantan, ternyata berdampak buruk, tidak “seindah” potensinya.

Maraknya aktifitas pertambangan emas dan batubara yang berkembang di Kalimantan memberikan dampak yang buruk terhadap sungai di Kalimantan, terkhusus di 4 empat Kabupaten yang menjadi anak sungai dari sungai Barito. Hal ini menyebabkan air sungai menjadi tercemar, kualitas air sungai Barito masuk ke dalam kelas tercemar berat dan sangat tidak layak konsumsi. Tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami oleh Kalimantan, Pulau Sulawesi juga merasakan hal yang sama. Illega logging (penebangan liar), membuang sampah sembarangan, perombakan struktur ekosistem, dan berkembanganya kawasan industri disekitar sungai menyebabkan air sungai menjadi tercemar dan menurun kualitasnya.

Dua gambaran sungai diatas bisa menjadi cerminan kita semua, bahwa pentingnya kesadaran akan menjaga lingkungan dimulai dari diri sendiri dengan hal-hal kecil. Lalu, bagaimanakah nasib sungai yang ada di Pulau Jawa? Seperti sungai Ciliwung, sungai Citarum, Sungai Kali Code, dan bahkan Sungai Bengawan Solo, masihkah riwayatnya seperti dulu?

di Bumi Borneo dan CelebesOleh : Isfansa Mahani

BALADA SUNGAI

Page 4: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Laputsn Utama

RUANG 2

Spik-spik kota edisi kali ini menghadirkan pemantik diskusi yang memiliki konsen terhadap kondisi sungai-sunga di Yogyakarta : mulai dari meniliti kondisi sosial budaya manusia yang bermukim di sekitar sungai sampai terjun langsung membantu masyarakat membersihkan dan menanam pohon serta kegiatan sosial lain yang sangat membantu meringankan masalah seputar sungai-sungai di Yogyakarta. Beliau bersama komunitasnya yaitu Jogja River Club sangat pantas dikatakan sebagai aktifis lingkungan sejati karena tidak hanya meneliti namun langsung merealisasikan rencana tindak untuk menjaga sungai-sungai di Kota Yogyakarta agar kembali Asri.

Oleh karena itu menarik untuk kita menggali banyak informasi serta merenungkan masalah kemudian merumuskan formulasi perencanaan sungai-sungai di Yogyakarta

Sebenarnya Bagaimana Kondisi Sungai-Sungai di Yogyakarta ?

Sungai utama di Yogyakarta ada 3, Winongo (turi-bantul), Code (merapi-bantul), Gajahwong (JIH-Bantul) dan setiap sungai memiliki karateristik yang berbeda-beda. Seperti sungai code misalnya yang sangat erat dengan lahar dingin, air yang meluap di musim-musim penghujan serta banjir. Berbeda dengan sungai

sungai-sungai YogyakartaOleh : Aditya Hidayat Adam

Salah satu amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang pentaan ruang ialah terwujudnya ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Mewujudkan kawasan pesisir sesuai amanat UU adalah sebuah

tantangan yang besar di tengah tekanan urbanisasi wilayah sungai dan ancaman perubahan iklim yang saat ini masih terus berkembang dan sulit dikendalikan. Di prediksi, kenaikan permukaan air laut 1,1 meter pada tahun 2100 akan mengakibatkan hilangnya 90.260 km2 kawasan pesisir dengan potensi kerugian ekonomi sebesar US$ 25,56 Milyar (Susandi dalam Tumiwa, 2010) seta membahayakan manusia yang tinggal di sekitar sungai. Gambaran diatas dapat sedikit membuka pikiran kita bahwa ini adalah tantangan bagi masyarakat, elit pemerintah serta para cendekiawan bahwa perlunya konsep penataan ruang untuk mencapai pembangunan kawasan perairan (Water Oriented Development) yang berkelanjutaWn Secara terintegrasi, konsiten serta dukungan komitmen dari segala pemangku kepentingan.

KISAH

Page 5: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Spik2Kota

RUANG 3

Winongo dana Gajahwong: masalah utamanya umbul mata air mulai mengering (mulai mati), saat sungai ini sudah kehilangan sumber air makan bisa dikatakan sungai nya menjadi mati. Oleh karena itu sebelum kita benar-benar ada niatan untuk memperbaiki sungai kita bersama ini, kita perlu melihat konteksnya terlebih dahulu.

Kita tahu bahwa sungai-sungai di Yogyakarta sudah sangat dipadati bangunan-bangunan, sebenarnya bagaimana penataan bangunan yang ideal untuk konteks kawasan pinggiran sungai ?

Sebenarnya perlu kita ketahui bersama bahwa pemerintah sudah memiliki instrumen tata ruang yang berupa aturan perundangan khusus pentaan bangunan di pinggiran sunga misalnya jarak antar bibir sungai dan bangunan yang memiliki aturan tersendiri dan menyesuaikan dengan lebar, kedalaman dan fasilitas mitigasi luapan sungai seperti palung, bendungan dan sebagainya. Biasanya rata-rata jarak layak bangun bangunan untuk permukiman adalah 5-10 m dari bibir sungai. Selain aturan perundangan-undangan pemerintah juga sudah melakukan banyak terobosan yaitu Konsep 100-0-100 (air bersih, perumahan kumuh, sanitasi bersih) dan pentaan bangunan M3K (Mundur munggah madep kali)

Namun seperti biasa konsep ini masih menuai banyak kontroversi seperti isu penggusuran yang terpaksa akan dilakukan dan sistem drainase yang belum baik menjadi pintu masuk banjir. Pihak-pihak yang terlibat dalam revitalisasi sungai-sungai di Kota Yogyakarta sudah banyak diantarnya : Kementrian Agraria dan Tata Ruang, Dinas Pekerjaan Umum, Paguyuban Warga sampai UN Habitat jawab mahasiswa yang sekarang kuliah di sekolah vokasi UGM ini.

Bagaimana kalo udah terbangun? Apakah lebih penting lingkungan atau sosial ? Abid ( PWK UGM 2015)

Pada dasarnya kebijakan itu dapat dikatakan benar secara moral jika kebijakan itu jauh lebih banyak membawa kemaslahatan untuk kepentingan orang banyak jikan tujuannya untuk kebaikan bersama maka tidak apa-apa. Salah satu prinsip keberlanjutan adalah menyelesaikan masalah secara komprehensif tanpa ada aspek yang dinafikan. Untuk konteks sungai-sungai di Yogyakarta yang masih menjadi permasalahan utama adalah solusi, membuat rusunawa yang tadi disebutkan akan menggusur banyak rumah warga, sementara masyarakat yang hidup berdekatan dengan bibir sungai dilain hal menganggu keseimbangan ekosistem.

Sebenarnya bagiamana cara yang bisa kita lakukan untuk mengentaskan masalah sungai-sungai di Kota Yogyakarta? ( Arbi PWK UGM 2013 )

Jelas, Kita tidak bisa kerja sendiri, sungai milik orang banyak. Belajar sambil menggandeng. Memberi ide, tata letak. Setiap sungai punya grand design kemudian kita bisa bareng mengkaji permasalahan utama kemudian menyusun rencana tindak. Cara yang paling mudah mengidentifikasi masalah adalah dengan belajar seluk belum permasalahan dari komunitas-komunitas yang lebih dulu ada. Intinya peran mahasiswa cukup besar. Harapannya, kegiatan temen tidak mandek. Kalau tidak kontinyu nanti tidak bermanfaat. Harapannya outputnya jadi produk, ada aksi nyata tidak cuma diskusi.

Diskusi yang dilaksanakan di sekre HMT-PWK ini diharapkan bisa memantik semangat untuk bersamamemikirkan masalah-masalah keruangan disekitar kita. Seiring berjalan nya diskusi, peserta nampak antusias, sehingga memberikan spirit positif sehingga diskusi sederhana ini bisa berjalan dengan baik.

Spik2Kota merupakan media diskusi terbuka bulanan yang diselenggarakan oleh HMT PWK Pramukya Arcapada untuk mengupas permasalahan ruang kekinian dari berbagai perspektif

Page 6: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

RUANG 4

Page 7: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

RUANG 5

Page 8: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

RUANG

Opini

6

Di Bandung, Kang Emil melakukan restorasi Sungai Cikapundung. Sungai yang menelan dana 18 miliar ini menjadi percontohan nasional restorasi sungai. Sungai Cikapundung nantinya akan menjadi ruang terbuka publik bagi warga Bandung. Jogging Track dan skywalk telah dirancang oleh Kang Emil untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap sungai. Tak hanya Sungai Cikapundung, Kang Emil juga me-restorasi Sungai Cikapayang sebagai ruang publik.

Di Yogyakarta, Agus Maryono, Dosen Teknik Sipil UGM, melakukan sosialisasi restorasi sungai terhadap masyarakat di lima sungai yaitu Sungai Code, Winongo, Tambak Bayan, Kuning, dan Gajah Wong. Usaha yang dilakukan Agus bertujuan memberi pengetahuan sekaligus mengajak masyarakat bantaran sungai untuk mengembalikan jati diri sungai. Usaha yang dilakukan Agus Maryono menuai respon positif dari kementerian. Agus Maryono meraih penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup, sebagai pelopor restorasi sungai.

Di Jakarta, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Korea Selatan dalam upaya restorasi Sungai Ciliwung. Kerja sama yang dilakukan menjadi langkah awal keinginan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, untuk menjadikan sungai sebagai ruang terbuka publik. Dua tahun kerja sama berlangsung, sungai ciliwung membaik daripada sebelumnya walaupun belum semenarik Sungai Cheonggyecheon di Seoul.

Wajah-wajah sungai indonesia perlahan-lahan mulai diperbaiki. Dulu wajah sungai dipenuhi jerawat-jerawat sampah, kini wajah sungai tampak bersih. Walaupun air sungai yang mengalir masih belum jernih. Namun apakah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah indonesia telah

menjadikan eksistensi sungai diakui? Mungkin iya diakui keberadaannya secara fisik untuk saat ini.

Menurut saya, restorasi itu sangat penting dilakukan, baik itu restorasi fisik maupun jiwa sungai. Restorasi secara fisik itu seperti pembuatan daerah hijau di sempadan sungai dan pembersihan sampah-sampah. Sedangkan restorasi secara jiwa itu seperti ada kegiatan yang membuat eksistensi sungai tersebut hidup. Tentunya restorasi jiwa sungai ini perlu melibatkan banyak kalangan terutama kalangan pemuda yang memiliki banyak aktifitas. Belum kaffah eksistensi sungai jika “roh” sungai tersebut belum tampak. Ibarat rumah yang tidak berpenghuni.

Jika sungai hanya sebagai pelengkap wajah kota dan berfungsi sebagaimana layaknya sungai, menurut saya lebih baik wajah itu ditambal saja dengan aspal. Lebih menguntungkan secara ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat dan bermanfaat untuk mengalihkan macet sementara.

Sungai cheonggyecheon yang berada di jantung Kota Seoul tak salah bila dijadikan sebagai jalan tol. Namun, walikota seoul, Lee Myung Bak , sadar bahwa Kota Seoul akan semakin kurang baik apabila pengendara kendaraan bermotor terus difasilitasi. Mungkin, Lee Myung Bak menyadari bahwa masyarakat butuh “alam” ditengah padatnya rutinitas Kota Seoul.

Wajah sungai kini berubah kawan. Dia mulai cantik dan harum. Tak ingin kau mendekatinya? menikmatinya? Mari kawan akui dan jiwai eksistensi sungai di sekitar kita untuk sungai yang lebih baik. Semoga langkah awal pemerintah dalam merestorasi sungai dapat mengembalikan jati diri sungai di Indonesia.

Eksistensi Sungai Mulai Diakui?oleh : Arbi Ali Farmadi

“Rivers are ther arteries of our planet. They are lifelines in the truest sense”

–Mark Angelo

Page 9: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

RUANG

Budaya Kota

Kebudayaan di Sungai Banjarmasin

Oleh : Putu Sri Ronita Dewi

MENGGALI ASA

Kebudayaan berasal dari kata budaya yang memiliki pengertian hasil cipta, rasa, dan karsa manusia

yang membentuk suatu kebiasaan baru yang ada dalam kehidupan. Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, yaitu berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain yang keseluruhannya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan dalam bermasyarakat (Hermanto dan Winarno, 2009:25 dalam Najiah, 2012).

Sungai merupakan sumber kehidupan. Tak dapat dipungkiri bahwa sungai, baik saat ini maupun masa lalu dan masa depan, akan terus bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. seperti halnya di kota Banjarmasin. Banjarmasin menyandang julukan kota seribu sungai. Julukan ini karena keberadaan sungai baik besar maupun sungai kecil yang melewati kota Banjarmasin. Sejak dahulu berbagai aktivitas masyarakat memanfaatkan keberadaan sungai dan menjadi urat nadi kehidupan masyarakatnya.

Kebudayaan suatu masyarakat sangat erat kaitannya dengan keadaan geografis, maka dari itulah kota Banjarmasin mempunyai kebudayaan sungai dimana maksud dari kebudayaan sungai ini adalah sebuah tradisi atau kebiasaan masyarakat yang memanfaatkan sungai dan menjadikan suatu kebiasaan yang mereka sebut kebudayaan sungai. Banjarmasin pun disebut-sebut sebagai pusat kebudayaan sungai karena semua anak sungai berpusat di Banjarmasin. Aktivitas yang dilakukan seperti sungai sebagai jalur transportasi, sumber air kebutuhan MCK, mata pencaharian (pedagang pasar apung), dll

Namun, kebudayaan sungai ini disalahartikan dan dinilai kebudayaan yang jorok bahkan primitif katanya. Hal tersebut didasari karena fakta aktivitas masyarakat

Banjarmasin yang sejak dahulu memang memanfaatkan sungai sebagai MCK, mencuci, dan memasak bersumebr dari satu sungai. Pada awal Belanda datang ke kota ini dengan perahu besarnya, mereka melihat kegitan masyarakat ini dan langsung memberikan kesan buruk pada kebiasaan masyarakat Banjarmasin. Ini tak bisa disalahkan karena perbedaan kebudayaan dan teknologi Indonesia dan Belanda saat itu.

Memang dari segi kebersihan, hal ini dinilai buruk. Namun mengingat masa lalu kehidupan masyarakat masih memanfaatkan alam dan belum berkembangnya teknologi pun menjadi penyebab kebiasaan ini terjadi. Dan saat ini pun, masyarakat Banjarmasin sudah tidak secara langsung memanfaatkan sungai sebagai mck, dan mencuci seperti dahulu. Kita seharusnya tidak mencap semua kebudayaan sungai yang ada sebagai kebudayaan yang primitive dan tidak baik.

Masih ada kegiatan yang khas dan menimbulkan dampak yang baik, seperti adanya pasar-pasar apung yang memanfaatkan sungai ini. tidak semua kota dapat melakukan kegiatan unik ini. kegiatan ini pun sangat potensial sebagai sarana wisata yang menarik perhatian seluruh dunia. Tak hanya itu, kegiatan interaksi sosial dan ruang-ruang terbuka yang tercipta di sekitar sungai juga harus terus dipertahankan sebagai ciri khas yang kebudayaan masyarakat yang adiluhur karena sungai ciptaan Tuhan dan sungailah sebagai sarana menciptakan hubungan sosial bagi semua makhluk hidup.

Dapat dilihat, betapa pentingnya sungai bagi kehidupan kota Banjarmasin, dan nenek moang pun telah mewariskan kebudayaan yang menjadi kebiasaan mereka. Memang kita harus tetap menyaring kebudayaan yang masih bermanfaat untuk saat ini atau tidak. Namun tak semua kita lupakan begitu saja. Kebudayaan sungai memang mengalami perubahan dari segi kegiatan, namun hal ini tak membuat kita meninggalkan sungai dan beralih ke daratan.

Kebudayaan di Sungai BanjarmasinMENGGALI ASA

7

Page 10: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Overseas

RUANG 8

Alih persepsi positif masyarakat terhadap sungai ditandai dengan transportasi barang dan jasa yang

mengaliri arus, dari hulu ke hilir. Kegiatan masyarakat pun diarahkan menuju sungai, termasuk orientasi rumah. Orientasi ini berubah semenjak dimulainya era transportasi darat, ditandai dengan pembangunan infrastruktur dan kemajuan teknologi. Orientasi sungai pun berubah, dari prioritas menjadi halaman belakang.

Keadaan sungai di Singapura1950anBegitu juga dengan Singap. Sungai memegang

peranan penting pada permulaan berdirinya Singapore modern, dibawah kolonialisme Sir Stamford Raffles. Transportasi air menjadi akses utama menuju dunia komersial Singapore yang berkembang saat ini. Tingginya lalu lintas perdagangan pada saat itu tak pelak membuat keadaan sekitar sungai seperti tempat sampah mengalir. Tidak hanya itu, tingkat imigrasi yang tinggi, membentuk permukiman tak tertata di sekitar sungai.

Baru pada tahun 1977, Lee Kwan Yeuw, perdana menteri saat itu menginstruksikan pembersihan seluruh sungai melalui River Cleanup Project. Proyek ini termasuk restorasi sistem gorong-gorong, menyediakan rumah bagi penghuni liar, relokasi industri besar ke Jurong, dan menempatkan PKL yang mengganggu keberlanjutan sungai ke tempat yang semestinya. Proyek ini berjalan sekitar 10 tahun.

Sungai Kallang menjadi salah satu bagian dari proyek tersebut. Sungai yang dulunya rentan luapan ini, mengalir dari upper pierce reservoir menuju teluk Singapore. Ada hal unik yang terjadi pada sebagian ruas di sungai ini. Tepatnya pada badan sungai yang mengalir melalui Ang Mo Kio-Bishan Park. Taman ini merupakan pertemuan antara dua aglomerasi kota baru yang difungsikan sebagai perukiman, Ang Mo Kio dan Bishan. Ruas sungai yang dulunya adalah sebuah kanal ini berubah menjadi satuan integrasi taman yang livable untuk komunitas sekitar.

Program ABC WaterwaysAdalah program ABC Waters (Active, Beauty,

and Clean Waters), kerjasama antara NParks dan PUB, yang berhasil menjalankan program revitalisasi sungai ini. Bagian sungai Kallang yang menjadi Kanal sepanjang 3

km, dengan dinding beton kini berubah menjadi sungai dengan dinding natural tanpa tutupan, dihiasi dengan padang dandelion, dinding semak, serta vegetasi riparian lainnya. Fungsi ekologis vegetasi riparian adalah sebagai penunjang kestabilan ekosistem karena berperan dalam siklus karbon, oksigen, nitrogen dan siklus air (Bates 1961).

Dengan bentukan meander, aliran deras yang dulunya menghalangi kegiatan sekitar, kini berubah 180º menjadi sungai dengan aliran yang pelan, dan berbatu. Sebuah konsep baru dalam merevitalisasi kawasan pinggir sungai. Jelas terlihat kehidupan ekosistem sungai dengan rantai makanan yang tak terganggu. Burung bebas berkeliaran, ikan bebas berenang, tanaman bebas menikmati cahaya mentari, dan manusia bebas menikmati alam di tengah kota.

City in the garden yang digadang-gadang Singapura sebagai konsep pengembangan kota, memasukkan unsur sungai kedalamnya. Perubahan persepsi sungai yang hanya sebatas aliran, kini berubah, menghasilkan badan sungai yang juga mampu meresapkan air. Luapan yang sering terjadi, tak pelak menghasilkan banjir, kini dapat ditangani dengan pendekatan desain dan keteknikan. Tidak hanya fungsi ekologis saja yang terpenuhi. Sungai ini pun berubah menjadi sarana pemenuhan aktivitas masyarakat sekitar.

So, bagaimana dengan sungai-sungai di Indonesia?

RESTORASI SUNGAI

Oleh : Muhammad Fachri Ardiansyah

alaSINGAPURA

Page 11: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Apresiasi Kota

RUANG 9

LITTLE HOLLAND

Oleh : Muhammad IrfanSEMARANG

Semarang merupakan salah satu kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Kota ini mempunyai deretan

potensi bentang alamnya yang elok, beragamnya seni dan budaya serta memiliki situs atau kawasan bersejarah. Keragaman budaya dan nilai sejarah telah memberikan kontribusi kepada kota ini, sehingga membentuk karakter, keunikan, dan citra yang khas, dengan image kota (image of the city) yang tergambar. Asset budaya tersebut memiliki nilai kesejarah dari waktu ke waktu, dan menjadi rangkaian pusaka yang patut dilestarikan dan dikembangkan secara keberlanjutan.

Menyusuri kawasan Kota Lama Semarang memiliki magnet tersendiri bagi yang mengunjungi. Menyuguhkan suasana perkotaan era penjajahan belanda. Magnet begitu kuat ketika kita menyusuri kota kuno yang membentang ke belbagai arah penjuru. Bangunan yang tertara rapi teratur dengan arsitektur yang khas, sebagian masih berbentuk bangunan dan ada pula yang tidak terawat bahkan dibiarkan roboh karena usia. Perwujudan seni arsitektur khas belanda dalam bangunan mewarnai Kota Lama dengan luas 40 ha. Kawasan ini berkembang pada awal abad 16, tepatnya pertengahan 1700an, saat pemerintah colonial hindia belanda berkuasa di Semarang, mereka berusaha membuat area permukiman serta fasilitasnya khusus bagi warga mereka. Pada eranya kawasan ini sangat Berjaya dan strategis dengan berdirinya kawasan industry, pelabuhan, stasiun serta sungai sebagai penggerak distribusi barang ke seantro Semarang.

Arsitektur bangunan di kawasan Kota Lama beragam. Ada yang bercirikan pilar-pilar penyangga bangunan, jendela, pintu yang besar, porselin yang khas serta atap

bangunan yang beragam. Salah satu bangunan yang menarik adalah bangunan kereja blenduk yang didirikan pada tahun 1750 yang masih terawat hingga saat ini. Gereja ini masih aktif digunakan dalam kegitan keagamaan Kristen serta kegiatan wisatawan. Halamannya yang berupa ruang terbuka hijau kian mewarnai keindahan salah satu sudut Kota Lama Semarang. Jalanan di kawasan Kota Lama masih menggunakan konstruksi paving guna menjaga kelestariannya. Terdapatnya polder air atau danau buatan pada pusat kota kian menambah nuansa keindahan landscape Kota Lama Semarang.

Kondisi Kota Lama yang kian tahun menghawatirkan, kondisi yang sudah tidak terawat lagi, sering terjadinya banjir rob, tertutupnya saluran drainase akibat tumbukan sampah serta air sungai yang tidak bisa mengalir kelaut. Kota Semarang yang setiap tahunnya mengalami penurunan muka tanah serta kenaikan air laut, dengan area terparah di daerah Kota Lama dan area sekitar pelabuhan. Sehingga menurunkan citra Kota Lama, sekarang dipandang sebagai kawasan yang terlupakan, kawasan buangan yang luput dari perhatian pemerintah maupun warga setempat.

Perlunya dilakukan upaya-upaya dalam menghidupkan suasana Kota Lama Semarang, melihat kesuksesan kota Jakarta dalam menghidupkan kawasan kota tuanya. Pelestarian Kota Lama Semarang sebagai sebuah strategi pembangunan dari berbagai sektor keberlanjutan; sosial, ekonomi, infrastruktur serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang pentingnya kawasan sejarah. Pada jangka panjang, hal ini berguna membangkitkan citra Kota Lama Semarang sebagai Little Holland.

Page 12: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Saat ini kota Jakarta masih menjadi magnet bagi para penduduk untuk datang mengadu nasib di kota metropolitan. Dengan lahan kota yang semakin sempit serta penduduk yang semakin padat karena banyaknya penduduk yang datang, ternyata tidak membuat warga kota mau dan ingin tinggal di pinggiran kota jika ingin mempunyai rumah. Karena seperti yang kita ketahui, tanah di kota semakin mahal, termasuk membangunnya, sehingga jika ingin membangun rumah, lebih baik dipinggiran kota, secara bisa mendapat tanah yang lebih luas dan relatif lebih murah, juga tetap bisa bekerja di kota Jakarta.

Beberapa tahun lalu, beberapa pengembang mengkonsepkan ‘Back to City’, karena banyak warga Jakarta tidak mau tinggal di pinggiran kota, maka pengembang membangun apartemen-apartemen kecil bagi mereka. Apartemen di Jakarta sekarang ini, tidak lebih dari 40 m2 untuk standar bagi keluarga-keluarga muda. Alasan membangun apartemen kecil untuk warga kota Jakarta, karena tanah kota semakin mahal ditambah dengan kota semakin padat. Hanya di beberapa daerah kota saja yang mempunyai apartemen dengan unit besar yang berani membayar mahal untuk tempat tinggal.

Lain lagi bagi kaum marjinal kota Jakarta, yang kenyataanya lebih memilih tinggal di kawasan permukiman kumuh sambil mencari uang dibandingkan tinggal di desa, dengan tempat dan rumah yang lebih nyaman. Dan sampai sekarang, Jakarta masih menjadi ‘magnet’ bagi warga kota2 lain sebagai kota yang glamour dan tempat mencari uang. Maka pemerintah daerah Jakarta memunculkan sebuah program yakni membangun rusun kampung deret di bantaran sungai (yang sekarang sebagai daerah ‘slum’ kaum marjinal Jakarta). Namun konsep ini masih memiliki dilema yang cukup pelik antara beberapa intansi pemerintah.

Perspektif Lokasi

Dimanapun, di kota dan negara manapun, konsep bantaran sungai harus mempunyai DAS (Daerah Aliran Sungai). Antara sungai sampai sebuah bangunan, antara belasan sampai puluhan meter, dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti besar dan lebar sungai, tanah disekitarnya atau adanya infrastruktur di sekelilingnya. Konsep DAS menjelaskan wilayah daratan yang terbentuk dari satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1).

DAS ini harus didisiplinkan, sehingga konsep untuk membangun ‘Rusun Kampung Deret’ sesuai dengan yang diinginkan. Bukah hanya untuk kenyaman warga Jakarta saja, tetapi untuk desain kota yang lebih baik dari kenyamanan, keindahan bahkan kesehatan kota. Konsep normalisasi sebuah sungai, akan memasakan waktu banyak, sehingga DAS akan tercapai dan bangunan-bangunan di sekitarnya akan ‘tersingkir’ dan sungai dengan warga di bataranya lebih nyaman untuk tinggal. Maka pertanyaanya adalah mampukan warga jakata untuk tidak lagi membangun rumah seadanya di bantaran sungai?

Perspektif Sungai di Jakarta

Sekarang, jika ‘Rusun Kampung Deret’ di bantaran sungai Jakarta bisa terbangun, mampukah pemda untuk membuat konsep untuk membendung air kiriman, untuk warga yang tinggal di rusun deret tersebut? Pemda mungkin bisa membangun bendungan untuk menangkal air kiriman

PerspektifPembangunan Rusun Kampung Deret di Jakarta

Perspektif

RUANG 10

Page 13: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

sehingga paling tidak, dari daerah selatan atau dari Bogor air akan tertampung di bendungan, lalu hanya sebagian kecil saja yang terserap ke sungai2 ke Jakarta. Katulampa adalah salah satu bendungan yang bisa ‘menangkal’ air dari Bogor, tetapi mungkin seharusnya pemda Jakarta membuat beberapa bendungan juga untuk menyerap air sehingga air sungai dari Bogor ke Jakarta lebih ‘ramah’. Perspektif Sosial Masyarakat Kaum Urban

Pemda juga harus mensosialisasi tentang urbanisasi. Bahwa warga dari perdesaan, setelah keluarganya mendapat ‘berkat’ dari Jakarta, mereka sontak ingin ke Jakarta juga. Arus urbanisasi seakan tidak terbendung. Kita memang tidak dilarang untuk tinggal di Jakarta, tetapi yang bagaimana yang ‘bisa’ tinggal di Jakarta? Kebijakan tentang arus ubanisasi harus lebih dikaji lagi, untuk kepentingan warga Jakarta.

Bantaran sungai di Jakarta sangat tidak nyman, aman dan higienis untuk tinggal disana. Bandingkan

dengan konsep ‘Rusun Kampung Deret’ bantaran sungai ini. Tetapi untuk mencapai kesana, perlu adanya kesadaran warga Jakarta untuk hidup lebih baik lagi.

Kesimpulan

Konsep ‘Rusun Kampung Deret’ memang merupakan konsep yang sangat pas bagi warga Jakarta, tetapi kita harus mengkaji lebih dalam lagi. Pun demikian, infrastrukturnya harus juga lebih dulu disiapkan, seperti bendungan untuk menampung air kiriman dari selatan Jakarta dan Bogor. Ditambah lagi dengan ‘infra-struktur’ kedisiplinan warga Jakarta. Tugas ini bukan hanya untuk Pemda Jakarta saja, tetapi seluruh lapisan warga Jakarta untuk berdisiplin dan untuk mau hidup lebih baik lagi.

Oleh Rachmat Kurniawan, PWK UGM 2013

Disadur dari tulisan Christie Damayanti, Kompasiana

‘Rusun Kampung Deret’: Konsep Menarik bagi Warga Jakarta, Tetapi ..... (http://www.kompasiana.com/christiesuharto/rusun-kampung-deret-konsep-

menarik-bagi-warga-jakarta-tetapi_5519d9a9a33311741cb65950)

Apresiasi Kota

RUANG 11

Page 14: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Phot-O-graph

Page 15: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Menyelami sungai yang keruh, mencari hikmah dengan niat yang sungguh. Perahu kapal yang bersandar sebelum mengarungi sungai. Air sebagai sumber kehidupan, sungai sebagai pusat kesejahteraan membawa kehidupan pada peradaban nelayan.--Oleh: Isfansa Mahani | Lokasi :Krui, Pesisir Barat, Lampung

Page 16: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

Liputan

RUANG 14

Divisi Pendidikan, Penelitian dan Profesi HMT PWK Universitas Gadjah Mada kembali

menyelenggarakan acara Planosharing yang kedua di masa kepengurusan 2015/2016. Pada hari Sabtu, tanggal 19 Desember 2015.

Akhir pekan itu, ruang B5 Departemen Jurusan Arsitektur dan Perencanaan terlihat ramai oleh mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota yang ingin ikut serta dalam acara Planosharing. Setelah sebelumnya acara Planosharing diisi dengan tema terkait beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, Planosharing kali ini membahas tentang penanganan Waduk Pluit dengan narasumber Tengku Saughi Zikri Baraqbah, S.T., alumni PWK UGM 2003 yang kini menjabat sebagai staff Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dimoderatori oleh M. Fachri Ardiansyah, sharing berlangsung lancar dengan beberapa pertanyaan dari peserta yang dilontarkan secara aktif. Bang Saughi, begitu panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa normalisasi di Waduk Pluit sangat dibutuhkan. Selain karena permukiman liar yang tumbuh tak tertata, mengakibatkan penyempitan badan waduk, Waduk Pluit juga merupakan waduk terbesar dan berperan sebagai tempat penampungan air dari sebagian besar waduk yang ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya, yang nantinya akan

dialirkan ke laut. Oleh karena itu, fungsinya sangat vital dalam menanggulangi permasalahan banjir, tukasnya. Bang Saughi juga berbagi tentang cerita dibalik proses relokasi rumah warga, yang tentunya menjadi titik tersulit dalam proses normalisasi waduk tersebut.

Ketika ditanya mengenai besarnya biaya, Bang Saughi hanya tersenyum dan enggan menjawab karena data tersebut memang dirahasiakan. Yang terpenting adalah bagaimana waduk tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan serta peraturan yang telah ditetapkan. Diluar bahasan mengenai Waduk Pluit, Bang Saughi juga berbagi cerita tentang dunia pasca kampus yang kerap menjadi dilema bagi para mahasiswa. Beliau menjelaskan tentang pentingnya berorganisasi sedari dini, agar nantinya dapat beradaptasi dengan mudah begitu memasuki dunia kerja.

Sharing yang berlangsung aktif dan dinamis siang itu kemudian diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan dari HMT PWK UGM, dan dilanjutkan dengan foto bersama seluruh peserta. Sedikit banyak. Bang Saughi telah memberi pandangan baru terhadap dunia kerja dan berbagai peristiwa di dalamnya. Tentunya, sharing kali ini dapat membuka wawasan baru bagi teman-teman mahasiswa.

PlanosharingOleh : Fawzia Puji Insani

Pengendalian Banjir Ibukota dengan Revitalisasi Waduk Pluit

Page 17: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

RUANG

Sungai serupa lampu, dan kaum squatter adalah laron-laron yang selalu menghampirinya. Kehidupan sepanjang sungai memiliki banyak cerita, tak habis mengalir seperti alirannya. Citra khas seperti kampung padat, permukiman kumuh, dan juga banjir, melekat di hampir sebagian besar sungai di Indonesia. Sungai selalu ada dan tidak pernah meminta, itulah sebabnya ia selalu menjadi tempat bernaung ketika memang tidak ada lagi tempat untuk bernaung. Penyelamat segelintir manusia dikala ruang-ruang kota dirampas oleh uang dan kepentingan. Sungai adalah sosok sejati dari sebuah pengor-banan. Dan seperti yang semua orang tau, pengorbanan adalah kesakitan yang direlakan. Sebagian permukiman bantaran sungai memang kumuh; kotor dan tidak estetis. Tetapi dibalik itu semua, mereka memiliki cerita. Mereka hidup, mereka manusia. Sungai mungkin bukan tempat terbaik untuk tinggal, tetapi bukankah apa yang baik itu kita sendiri yang menentukan? Sungai mungkin bukan tempat terbaik untuk membina kehidupan, namun bagaimana apabila memang tidak ada lain pilihan?

Anak-anak yang bermain di Sungai Ciliwung, Jakarta. Entah karena tidak memiliki ruang, atau mungkin sungai memang taman bermain yang menyenangkan?

Bantaran sungai kemudian disebut rumah oleh sebagian orang. Bagi mereka, rumah tidak harus layak, bersih, kuat, dan aman. Bagi mereka, rumah adalah rumah; memberi kehidupan, meski kehidupan itu artinya hidup dipinggiran sungai Ciliwung.

Kumuh itu tidak absolut, kumuh itu pilihan. Salah satu kampung di pinggiran Sungai Code Yogyakarta, mereka bisa membuat permukiman bantaran sungai menjadi lebih enak dilihat; bersih dan lebih estetis dengan warna-warna.

sumber foto: metro.tempo.co

sumber foto: sorotjogja.com

sumber foto: statik.tempo.co

sisi lain bantaran sungaioleh : Fildzah husna A

Esai Foto

15

Page 18: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

RUANG 7

Resensi Buku

RUANG 16

Bali menjadi sorotan dunia dengan keindahan alamnya. Tak jarang orang-orang menyebutnya sebagai pulau

surga. Indahnya alam dipadu dengan budaya Bali menjadi paduan yang menarik, bagaikan remah-remah roti manis yang dikerubuti semut-semut. Namun siapa yang tau dinamika kehidupan sosial budaya di Bali tidak lah seindah yang dibayangkan. Masih ada hal-hal rumit yang perlu dimengerti kebanyakan orang.

“Bali Tikam Bali” buku dengan judul yang sedikit garang dituturkan lugas kata demi kata oleh penulis Gde Aryantha Soethama yang sempat menjadi seorang wartawan. Buku ini merupakan kumpulan esai yang dipaparkan jujur oleh penulis mengenai peristiwa, perilaku atau kebiasaan di Bali yang sesungguhnya. Selain Bali Tikam Bali terdapat banyak kumpulan esainya yang mengupas habis Pulau Bali diantaranya Basa Basi Bali (2002,2004), Bali is Bali (2003,2008), dan Dari Bule jadi Bali (2002). Buku ini bersampulkan gambar orang yang menikam tubuh sendiri dengan keris yang didominasi warna merah. Setelah membaca buku ini kita akan paham penulis memilih sampul ini karena terdapat pertanyaan sekaligus kritik tentang apakah orang Bali punya latar

belakang menikam diri sendiri, sesama orang Bali?

Kumpulan esainya yang terdiri dari 40 judul tulisan membuat pembaca terutama dari Bali sadar sekaligus tertampar akan kritik-kritik yang dilontarkan. Selain itu dari semua esainya terlihat wawasan luas sang penulis menuturkan runtut dengan cara menjelaskan salah satu peristiwa yang penulis saksikan atau pengalamannya selama ini. Banyaknya istilah-istilah dalam Bahasa Bali yang termuat mungkin agak sedikit membingungkan pembaca yang bukan orang Bali. Namun Glosarium yang ada di halaman akhir cukup membantu pembaca.

Intinya kumpulan esai mengenai Bali ini benar-benar membahas dari sisi lain Bali yang selama ini dikenal dengan hingar bingar Kawasan Legian, ubud dengan harmonisasi alam yang indah, ataupun matahari kuta yang mempesona. Bagi yang ingin mengetahui Bali lebih mendalam, ingin bergabung menjadi orang Bali, atau bahkan ingin menikah dengan orang Bali disarankan membaca buku ini. Ingat, Bali bukan hanya tentang pantai yang indah. (Adn)

Oleh : Ni Putu Adnya Sawitri

yang Patut Anda Ketahui Judul : Bali Tikam BaliPenulis : Gde Aryantha SoethamaTebal : viii + 205 halamanPenerbit : Arti FoundationCetakan : Ketiga, April 2014Harga : Rp. 45.000

Sisi Lain Pulau Bali

Page 19: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai

RUANG

Sinopsis

Kisahnya, diawali dengan suatu peristiwa alam yang cukup menggemparkan yang terjadi di kota London,

Inggris, pada tahun 2007. Tatkala itu musim kemarau tiba, tapi ada suatu hal yang cukup mencengangkan lantaran turun hujan lebat yang tiada henti. Alhasil, air sungai mulai pasang seraya diiringi sambaran petir yang cukup dahsyat dan menggelegar hingga mampu meluluh-lantahkan kota dalam tempo cepat. Walaupun, London memiliki tembok penahan banjir yang terletak di muara sungai Thames. Apa daya, ternyata tembok itu pun tak mampu menahan hempasan berjuta-juta ton air laut dari Samudera Atlantik. Bahkan, lewat dukungan peralatan teknologi canggih sekalipun, tidak dapat mencegah kedatangan bencana alam tanpa terduga. Terpaksalah, pemerintah setempat mengambil langkah-langkah tepat demi menyelamatkan nyawa jutaan jiwa.

Berdasarkan laporan lembaga meteorologi dan geofisika Inggris, badai besar yang terjadi di Skotlandia ini, seharusnya bergerak menuju ke Belanda. Namun, di tengah perjalanannya tiba-tiba berubah arah menuju kota London. Seorang insinyur bernama Rob Morrison [Robert Carlyle] saat itu, bekerja bersama mantan istrinya, Samantha [Jessalyn Gilsig], tengah melakukan inspeksi rutin terhadap Thames Barrier, sebuah tembok penghalang yang seharusnya kuat menahan terjangan arus sederas apapun. Tapi seorang ahli meteorologi bernama Leonard Morrison [Tom Courtenay] yang juga ayah Rob, memprediksikan bahwa Thames Barrier tak akan kuat

menahan gabungan badai besar dan arus deras yang akan segera datang. Pihak berwenang pun malah mengabaikan peringatan ini, dan saat bencana di ambang pintu, tidak ada waktu lagi untuk mempersiapkan evakuasi. Rob, Samantha, dan Leonard terpaksa mengatur siasat jitu dan berisiko tinggi mempertaruhkan nyawa mereka sendiri demi menyelamatkan jutaan jiwa warga kota London.

Lewat penerapan kecanggihan teknologi efek khusus (special effect) mampu menjadikan film ini menyajikan gambaran situasi kejadian bencana alam secara meyakinkan. Terlebih lagi, hal ini mengingatkan kita kembali akan film pendahulunya, The Day After Tomorrow (2004).

Bencana lingkungan (environmental disaster) tengah marak terjadi di belahan dunia. Mulai dari peristiwa gempa bumi yang melanda Provinsi Sichuan, RRC dan Badai Nargis di Myanmar (2008); Badai Katrina yang nyaris melahap sebagian Amerika Serikat, seperti Louisiana, Mississippi, Alabama, Florida dan Georgia (2005); Hingga gempa dan tsunami yang memporakporandakan beberapa negara di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, seperti: Sri Lanka, Thailand, Malaysia dan Indonesia yang terparah (2004). Tak mengherankan, jika ada sineas yang tertarik mengangkat tema bencana lingkungan itu ke layar lebar. Salah satunya, Tony Mitchell sutradara asal Inggris ini, coba menghadirkan karyanya, Flood. Ide cerita film ini, diadaptasi dari buku yang berjudul sama karya Richard Doyle.

Kala Air Menjadi LawanOleh : Putu Inda Pratiwi

Judul Film : Flood (2008) Genre : Drama/Action. Sutradara : Tony Mitchell. Skenario : Justin Bodle & Matthew Cope. Produksi : Powercorp. Pemain : Robert Carlyle, Jessalyn Gilsig, David Suchet, Tom Courtenay. Durasi : 110 min.

Sumber : http://www.kabarindonesia.com/

Film-O-graphy

17

Page 20: Ruang #7 Balada Sungai-Sungai