Ronny Lukito - Eiger

8
FORTUNE INDONESIA 78

Transcript of Ronny Lukito - Eiger

fortune InDoneSIA78

fortune InDoneSIA79

IBARAT MENDAKI GUNUNG, UNTUK MENCA-PAI PUNCAK HARUS MELEWATI MEDAN YANG TERJAL DAN CURAM. USAHA RONNY LUKITO DALAM MEMBANGUN B&B INC MENJADI PRO-DUSEN TAS TERNAMA DI TANAH AIR PUN TAK JAUH BERBEDA. IA PERNAH MENGALAMI BE-BERAPA KEGAGALAN YANG HAMPIR MERUN-

TUHKAN BISNISNYA. INILAH KISAHNYA.Oleh Dian Sari Pertiwi

& Evi Ratnasari

fortune InDoneSIA79

KISAH RONNY

MENDAKI PUNCAK EIGER

foto

: melisa w

ijaya

fortune InDoneSIA80

JAM menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika kami tiba di rumah Ronny Lukito di Jalan Sersan Bajuri Dalam, Bandung, Jawa Barat. Hari itu, Ronny berpenampilan kasual mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan jas dan denim biru. Namun, wawancara yang telah di jadwalkan pagi itu harus diundur malam hari karena ia harus keluar kota untuk mengunjungi sekolah anak tidak mampu.

Sebelum pergi, Ronny mengajak kami berkeli­ling rumahnya sekitar 15 menit. Rumah Ronny terlihat asri. Kontur tanahnya berbukit. Ada tempat pembibitan, pengomposan sampah dan pohon­pohon besar yang langka. Ia terlihat sangat bersemangat ketika berbincang tentang alam dan penghijauan. ”Ini adalah salah satu bentuk tang­gung jawab saya sebagai pengusaha,” ujar Ronny.

Tanggung jawab terhadap lingkungan juga yang menjadi dasar Ronny mengembangkan bisnis de­ngan konsep ekowisata, bernama Dusun Bambu, di utara Bandung. Tempat wisata yang dibuka untuk umum pada akhir 2013 lalu ini dibangun di atas lahan 15 hektare (ha) dengan konsep 6E; Ekologi (alam), Education (Pendidikan), Ekonomi, Etno­logi (budaya), Etika, dan Estetika. Pembangunan Dusun Bambu membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Pasalnya, lahan di sana gundul. Sebelum dibangun, kawasan itu perlu ditanami dahulu.

Kesadaraan akan menjaga lingkungan, kata Ronny, timbul sekitar empat tahun lalu saat Rid­wan Armansjah Abdulrachman, anggota senior Wanadri, mengajaknya bermain di hutan. Pria yang biasa disapa Abah Iwan itu meminta Ronny menahan nafas selama mungkin. Momentum kekurangan oksigen ini menjadi pelajaran baginya,

foto

: melisa w

ijaya

bahwa pohon sangat berjasa dalam kehidupan se­bagai penghasil oksigen.

Sejak saat itu, ia mencoba berbuat sesuatu un­tuk alam. Ia bertekad ikut peduli dan memperbaiki alam. Salah satunya dengan mendedikasikan 2 ha lahan di rumahnya sebagai tempat pembibitan pohon dan pengomposan sampah. Bibit pohon tersebut ia distribusikan kepada siapa pun yang membutuhkannya. Bukan hanya kepada instansi pemerintah, komunitas maupun lembaga swadaya masyarakat, tapi juga kepada pelanggan Eiger serta pengunjung Dusun Bambu dan Kampung Daun. “Tahun ini saya menargetkan bisa meng­hasilkan satu juta bibit pohon,” ungkapnya.

Ipong Witono, salah seorang pemilik PT Puteraco Indah, ­perusahaan properti tertua di Ban dung­, salut pada Ronny yang berhasil mewu­judkan pembangunan Dusun Bambu. Lantaran, dalam waktu beberapa tahun Dusun Bambu dikembangkan dari lahan kosong tanpa tanaman menjadi sebuah tempat ekowisata.

“Secara hitung­hitungan bisnis, itu hal sulit karena sampai beberapa tahun tidak ada pema­sukan dan penjualan karena dia harus melakukan penanaman dulu,” ujarnya.

Bisnis yang digeluti Ronny memang memi­liki satu benang merah, alam. Pria kelahiran 15 Januari 1962 ini membagi bisnisnya dalam dua kelompok, yakni lifestyle dan hospitality. Bisnis lifestyle memiliki holding bernama Blessed & Blessing Incorporation (B&B Inc), yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh PT Sebelas Tiga Enam.

B&B Inc memiliki tiga anak usaha yakni PT Eksonindo Multi Product Industry, PT Eigerindo

Outlet Eiger di Mal Citraland.

fortune InDoneSIA81

Multi Product Industry dan PT Matrix Prominent.PT Eksonindo Multi Product Industry bergerak

di bidang manufacturing. Perusahaan inilah yang memproduksi tas merek Eiger, Exsport, Bodypack, Nordwand, Neosack, Extreme dan produk­produk outdoor. PT Eigerindo Multi Product Industry adalah perusahaan distribusi untuk produk­produk yang diproduksi oleh Exonindo. Sedang­kan PT Matrix Prominent bergerak dibidang e-commmerce, melakukan ekspor dan menjual produk­produk dari luar negeri.

Saat ini produksi B&B Inc mencapai 2,5 juta tas per tahun dan telah memiliki 600 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia. Produk tas B&B Inc juga telah diekspor ke Eropa dan Malaysia.

Untuk bisnis hospitality, ada Kampung Daun yang menyajikan kuliner Indonesia, Origin makanan organik, The Peak makanan Eropa, In­dischetafel makanan Belanda, Soleluna makanan Spanyol, dan Dusun Bambu.

KAMI bertemu lagi dengan Ronny pukul 20.00 di rumahnya. Ia masih menggunakan pakaian yang sama. Raut wajahnya sama sekali tak terlihat lelah. Sambil makan malam, kami berbincang. Ini adalah wawancara eksklusif pertama Ronny dengan media.

Ronny tipikal orang yang rendah hati, ia cenderung enggan bercerita tentang kesuksesannya. Beberapa media massa ingin menampilkan sosoknya, tapi ia menolaknya dengan halus. Anak ketiga dari enam bersaudara ini tidak ingin dikenal secara gegap gempita. Semua kiprahnya di dunia bisnis menurutnya

tidak lepas dari campur tangan Tuhan.Ronny bukan berasal dari keluarga kaya. Ia

dibesarkan di lingkungan yang boleh dibilang ku­muh, tak jauh dari Pasar Baru Bandung. Rumah­nya berada di gang sempit yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat.

Ayah Ronny, Lukman Lukito memiliki usaha pembuatan tas di rumah dengan modal dua me­sin jahit. Sejak usia delapan tahun, ia membantu ayahnya berjualan. Menjadi kasir di toko ayahnya sudah biasa dilakukan sepulang sekolah.“Waktu saya kecil, hampir setahun saya tidak tidur di kamar karena rumah kami penuh dengan stok tas,” kenang Ronny.

Ketika menempuh pendidikan Sekolah Teknik Menengah (STM), sepulang sekolah Ronny muda bekerja di bengkel. Rutinitas itu dijalani lebih dari satu tahun. Sebelum sekolah, dia berjualan susu untuk menopang ekonomi keluarga. Ronny terbiasa bangun jam 4 subuh, lalu mengam bil susu dari temannya untuk dijual. Sehari ia bisa menjual 5­10 liter susu.

Cita­cita Ronny sebenarnya sederhana. Setamat STM, ia ingin melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Nasional, di Bandung, dan membuka bengkel setelah lulus.

Namun karena ekonomi keluarga tidak mendukung, Ronny tidak jadi kuliah. Mimpinya menjadi bos bengkel pun tidak kesampaian. Menurutnya, jalan satu­satunya untuk membantu keluarga adalah dengan meneruskan usaha pembuatan tas. Maka, selepas dari STM, tahun 1979, Ronny pun terlibat penuh memproduksi dan menjual tas.

“Waktu saya kecil, hampir setahun saya tidak tidur di kamar karena rumah kami penuh dengan stok tas”

RonnyLukito

fortune InDoneSIA82

Salah satu langkah Ronny di awal kepemim­pin annya adalah mengubah merek tas Butterfly menjadi Exxon. Namun merek Exxon menjadi masalah karena perusahaan minyak Exxon Mobil menggugat perusahaannya. Ia mengaku, saat itu ia sama sekali tidak tahu ada perusahaan mi nyak bernama Exxon Mobil. Mau tidak mau, ia akhir­nya mengubah merek Exxon menjadi Exsport.

Ronny menyadari ia tak memiliki latar bela­kang pendidikan yang cukup. Tapi, ini justru menjadi pemicu dirinya untuk berhasil. Ia pun berpikir keras untuk mengembangkan bisnis ayahnya. Ia mempelajari pasar, menganalisa dan membanding kan dengan strategi dari produk­produk luar negeri. Ia belajar bisnis secara otodidak, belajar dari pengalaman dan kesalahan­kesalahan yang pernah dilakukan.

Untuk memenangkan persaingan, Ronny melakukan inovasi dengan diversifikasi produk. Ia menciptakan produk dan merek tas yang berbeda untuk setiap segmen konsumen. “Saya terinspirasi dengan musik, saya berpikir kalau musik punya banyak aliran itu menandakan selera orang pun berbeda­beda. Kita tidak bisa memaksakan orang untuk satu selera, karena kebutuhannya pun ber­beda,” kata ayah empat orang putri ini.

Ia pun mulai membuat varian produk tas seper­ti Eiger dan Nordwand untuk mereka yang suka dunia petualangan. Bodypack untuk kaum urban yang gemar membawa perangkat digital. Neo­sack untuk pasar remaja dan sekolah. Sedangkan Exsport untuk mereka yang menyukai tas sebagai gaya hidup.

BISNIS TAS Ronny pun berkembang. Dari hanya dua mesin jahit berkembang menjadi puluhan mesin jahit sampai akhirnya memiliki pabrik dan mempekerjakan lebih dari 3.000 orang. Ronny bilang, saat ini B&B Inc memimpin pasar tas di Tanah Air dengan pangsa pasar sekitar 30­40%.

Menurut Abah Iwan, pertumbuhan bisnis tas milik Ronny tidak terlepas dari kemampuannya menjalin relasi dengan semua kalangan. Terma­suk perkumpulan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri. “Sebagai pebisnis, dia peduli berkontribusi terhadap lingkungan dan komuni­tas, seperti memberikan dukungannya terhadap organisasi seperti Wanadri,” kata pria yang telah mengenal Ronny sejak tahun 70­an ini.

Selain itu, kata Abah, Ronny menyetir kendaraan bisnisnya pada sesuatu yang dia sukai: kegiatan di alam bebas. Lelaki yang akan mendaki Hima laya di Gunung Everest bulan Mei ini, menga takan keberhasilan bisnis Ronny datang dari pengalaman batin dan kecintaannya kepada alam. Pengalaman­pengalaman itu yang kemudian ia tuangkan dalam konsep bisnisnya. “Dia tidak akan membuat produk­produk Eiger dengan baik, kalau tidak punya pengalaman bagaimana dinginnya tidur di hutan tanpa perlengkapan memadai,” kata lelaki yang gemar membawakan lagu­lagu bertema alam ini.

Hal senada diungkapkan oleh Ipong Witono. Dulu, di Bandung, kata Ipong, ada beberapa tas dan produk­produk outdoor ternama seperti Alpina dan Jaya Giri. Namun Ronny dengan Eiger­nya yang masih tetap bertahan dan berkem­

“Sebagai pebisnis,

Ronny peduli terhadap

lingkungan dan komuni­

tas, seperti memberikan

dukungan­nya terhadap

organisasi seperti

Wanadri”

Abah Iwan

foto

: melisa w

ijaya

Pabrik Eiger di Jalan Raya Soreang, Cilampeni Bandung, Jawa Barat, saat ini memproduksi 100 ribu tas per bulan.

fortune InDoneSIA83

bang hingga kini. Ipong berpendapat, minat Ronny terhadap alam bebas memberikan dampak positif terhadap perkembangan bisnis tasnya. “Selain itu, kemampuan ia melakukan inovasi. Kalau kita datang ke outlet Eiger, di sana dipajang produk Eiger dari masa ke masa. Terlihat ada perkembang an fungsi dan estetisnya,” ujarnya.

Ipong juga melihat, Ronny mampu melihat peluang. Indonesia adalah negara kepulauan dengan sumber daya alam yang kaya termasuk laut dan pegunungan. Di sisi lain, Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Potensi besar ini di­manfaatkan Ronny dengan membidik pasar yang memiliki daya beli untuk kegiatan adventure. “Se­makin meningkatnya ekonomi sese orang, maka ia akan mencari kepuasan lain. Salah satunya dengan menikmati alam,” ungkapnya.

Ronny mengakui memang menyukai aktivitas alam. Saat muda, bersama teman­temannya ia kerap menerobos hutan sampai diburu petugas Perhutani. Selain menjadi tempat bermain, alam bebas menjadi inspirasi bisnisnya. Di antara semua merek, nama Eiger yang terinspirasi dari gunung Eiger di Bernese Alps, Swiss menjadi penyumbang terbesar pendapatan bisnisnya.

KENDATI sudah menjadi produsen tas yang diperhi­tungkan di Tanah Air, Ronny enggan berpuas diri. Menghadapi persaingan global di era pasar bebas, kata Ronny, B&B Inc mengantisipasinya dengan mendirikan gerai Outlive, yang menjual merek internasional seperti Berghaus, Osprey, Treksta, Garmin dan La Sportiva. Saat ini sudah ada dua gerai, satu di Bandung dan satu lagi di Jakarta. ‘’Nanti juga buka di Bali. Daripada jadi lawan lebih baik jadi kawan, kita bisa kontrol. Kalau tidak begini, merek lokal kita habis,’’ ujarnya.

Gerai Outlive ditujukan untuk segmen mene­ngah atas, berbeda dengan Eiger yang diposisikan di kelas menengah. Pemisahan segmen ini dilaku­kan untuk menjaga pasar yang sudah terbentuk.

Keyakinan Ronny membidik kelas menengah ini bukan tanpa alasan. Dia merujuk pada hasil penelitian McKinsey Global Institute yang me­nyebutkan akan ada 130 juta kelas menengah di Indonesia pada 2030.

Bahkan, kata Ronny, pada tiga tahun ke depan tepatnya di 2017, income perkapita Indonesia bisa menembus angka US$5.000. Dengan level pendapatan pertahun sebesar itu, dia optimistis produk­produk menengah ke atas dari luar akan lebih agresif. ‘’Mereka sedang menunggu itu. Tapi saya sekarang sedang merintis untuk menengah atas. Jadi diharapkan di 2017 saya sudah mengua­sai pasar juga dengan Outlive. Begitu pemain

masuk, kita sudah duluan,’’ ucapnya.Guna menangkap peluang tersebut, B&B

Inc terus melakukan ekspansi. Saat kami mengunjungi salah satu pabrik B&B Inc di Cilampeni Soreang, Bandung, kami melihat pembangunan untuk perluasan pabrik. Menurut Adji Santoso, General Manager Produksi PT Eksonindo Multi Product Industry, kapasitas produksi di pabrik tersebut akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat.

“Saat ini kapasitas produksi di pabrik ini 100 ribu per bulan, ke depan akan ditingkatkan menjadi 200 ribu per bulan,” ujar pria yang telah bekerja di Eksonindo selama 13 tahun ini.

Investasi untuk perluasan pabrik itu, kata Ronny, antara Rp22 miliar­Rp25 miliar. Tahun depan, bila perluasan pabriknya selesai, total produksi tas dari kedua pabriknya akan mencapai 3 juta unit per tahun.

Di tahun 2015­2016, B&B Inc berencana lebih agresif dalam hal distribusi. Untuk Outlive, Ronny menargetkan setiap tahun bisa membuka mini­mal 10 outlet baru. “Siapa yang bisa menguasai distribusi, dia yang akan menang,” ungkap Ronny. Semua rencana ini tentu saja dibarengi penyedia­an sumber daya manusia (SDM) berkualitas de­ngan merekrut tenaga kerja yang disiapkan untuk menjadi pemimpin di masa mendatang.

Menurut Direktur Utama PPM Management Andi Ilham Said, upaya Ronny memperluas distri­businya merupakan langkah tepat dalam meng­hadapi persaingan bebas. ”Ketersediaan produk di pasar menjadi kunci sukses. Jika Eiger ingin tetap menjadi pemimpin pasar, dia harus membangun jaringan distribusi yang kuat,“ ungkapnya.

Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, lanjut Andi, salah satu cara melawan serangan produk luar dan menjaga pasar Indonesia selain berinovasi, para produsen Indo­nesia perlu bersatu, bekerja sama terutama dalam menguasai supply chain. “Karena jaringan supply chain ini yang membuat ongkos mahal, kalau supply chain sudah dikuasai produsen Indonesia semua, maka setiap pemain luar negeri yang ingin jualan di pasar sini harus membangun jaringan baru dan tentu biayanya lebih mahal sehingga harga produk mereka tidak dapat bersaing dengan produk lokal,” papar Andi.

IBARAT mendaki gunung, untuk mencapai puncak harus melewati medan yang terjal dan curam. Us­aha Ronny dalam membangun B&B Inc menjadi produsen tas ternama di Tanah Air pun tak jauh berbeda. Ia pernah mengalami beberapa kegagalan yang hampir meruntuhkan bisnisnya.

“Ketersediaan produk di pasar men­jadi kunci sukses. Jika Eiger ingin tetap menjadi pemimpin pasar, dia ha­rus memba­ngun jaringan distribusi yang kuat”

Andi Ilham Said

fortune InDoneSIA84

Tahun 1998 adalah salah satu tahun terpahit bagi Ronny. Tahun itu krisis ekonomi menyapa Indonesia. Nilai tukar rupiah naik hingga 70%, dari Rp2.500 per dolar menjadi Rp15.000 per dolar. Bunga bank pun naik berlipat­lipat.

Jika umumnya pengusaha banyak menunjuk krisis moneter sebagai biang keladi runtuhnya bisnis mereka, Ronny tidak. Ia tak malu mengakui salah satu penyebab kehancuran bisnisnya kala itu tak terlepas dari keserakahan dirinya sebagai pe ngusaha. “Kegagalan itu efek domino dari apa yang saya lakukan sebelumnya, jadi ketika krisis moneter terjadi berimbas pada bisnis inti di indus­tri tas,” kenang Ronny dengan mimik muka serius.

Semuanya berawal pada tahun 1985. Saat itu, Ronny banyak bergaul dengan para pengusaha properti di Bandung. Ia pun mulai tertarik mencicipi bisnis properti dengan bendera Trinity. Pertama kali mencoba menjual rumah, ia untung. Lalu ia membuat ruko, ternyata untung juga.

Di tahun 1987, ia mulai melakukan pembebasan lahan di kawasan Lembang. Hanya dalam waktu 3 bulan, ia mampu menjual lahan 20 ha. Ia terbilang anti-mainstream dalam memilih lokasi proyek. Bidikannya kala itu bukan mendirikan proyek di tengah kota, tapi justru mengembangkan wilayah pinggiran Bandung, menjadikannya layak huni dan bernilai estetis sekaligus rekreatif. Kesuksesannya di bisnis properti ini menuai banyak pujian. Ronny disebut sebagai the golden boy Bandung.

Pujian dan keuntungan besar membuatnya lupa diri, Ronny yang saat itu berusia 35 tahun, tak dapat membendung hasratnya untuk melakukan ekspansi yang lebih besar lagi. Sampai­sampai ia berkeinginan membentuk kota satelit. Keserakah­an membuatnya lupa memperhitungkan berapa porsi yang mampu dilahapnya. Ia melakukan ekspansi tanpa perhitungan dan pertimbangan matang. Ia mengambil langkah berani. Bereks­pansi dengan cepat dan masif. Satu proyek belum rampung, sudah mulai menggarap proyek lain­nya. Pada saat yang sama, proyek belum terjual. Padahal untuk mendanai semua ekspansi itu, ia mengandalkan pinjaman bank. “Saat itu, utang saya lebih dari Rp20 miliar,” ujarnya.

Dan, datanglah krisis itu. Bunga bank naik sampai 60% per tahun. Ronny berada di tengah pusaran tekanan antara kreditur dan konsumen. Dengan keterbatasan dana, ia harus berkomitmen menyelesaikan proyek tersebut. “Saya pun menarik uang dari bisnis tas, sampai habis­habisan,” katanya.

Sampai pada satu titik, tidak ada lagi dana yang bisa Ronny keluarkan. Para penagih utang pun

berdatangan dengan ancaman, teror dan intimi­dasi. Ia pun terpaksa menyerahkan seluruh aset­nya ke bank. Rumah, pabrik, kendaraan semua habis disita bank. Namun, utang­utangnya tak juga lunas, masih tersisa Rp1,5 miliar yang harus ia lunasi dalam waktu setahun.

Meski berat, Ronny berkomitmen untuk melu­nasi semua utang­utangnya. Ia teringat pesan ibu­nya, bahwa menjadi pengusaha harus jujur, dan bila memiliki utang harus dibayar. Ia temui para kreditur dan pemasok satu persatu. Dia berjanji melakukan pembayaran secepat mungkin. “Sedih sekali waktu itu, tapi saya harus menjaga nama baik keluarga,” kenangnya. Namun Ronny tidak menyerah. Ia berusaha bangkit kembali.

Menata kembali perusahaan dan memulainya dari minus bukan perkara mudah. Terlebih beber­apa profesional meninggalkannya. Ia kemudian memberikan kesempatan bagi para profesionalnya yang loyal untuk naik jabatan dan membentuk tim baru di bawah komandonya.

Ronny mencoba meyakinkan bank, untuk bisa menyewa pabrik tasnya yang telah disita. Bila ti­dak, bagaimana mungkin ia bisa berproduksi dan membayar sisa utangnya. Bank menyetujui Ronny menyewa pabrik seharga Rp150 juta selama dua tahun. Ronny juga meminta agar pabrik tasnya yang telah disita bisa dibeli kembali bila semua utangnya lunas. Setelah itu, Ronny mendatangi satu­satu pelanggan, agen, dan para pemasok.

Kerja keras itu berbuah, dukungan datang bu­kan hanya dari kreditur yang percaya dengan ik­tikad baik Ronny, tapi juga dari Ramayana Group yang menjadi ujung tombak penjualan bisnis tas. Sebagai pemasok tas pertama di grup tersebut, Ronny mendapatkan simpati dan bantuan.

Kebetulan, kala itu, Ronny juga memiliki ba­nyak stok bahan yang dibeli saat nilai tukar dolar masih Rp2.000 per dolar. “Stok bahan itulah salah satu yang menyelamatkan saya. Sehingga harga jual produk saya pun kompetitif,” cetusnya. Suami dari Meiliana Setiawati ini mengaku ia bisa menye lesaikan utang­utangnya di bank sebelum Badan Penyehatan Perbankan Nasional lahir.

KRISIS pun terlewati. Bisnis Ronny kembali ber­gulir. Dari krisis, dia mendapat pelajaran ber­harga– Ia menyebutnya teguran Tuhan. Pertama, manusia itu punya keterbatasan. Kedua, bekerja itu tidak bisa sendirian. Dulu, Ronny merupakan sosok dominan, selalu single fighter. Ia terbiasa memutuskan segala sesuatunya sendiri. Kecende­rungan ini sudah ada sejak Ronny muda. Karena kejadian ini, ia belajar perlunya komunikasi dan bertukar pikiran dengan orang lain. “Sebenarnya

foto

: irva

n bo

rm

eda

Tahun 1998 adalah salah

satu tahun terpahit bagi Ronny. Nilai tukar rupiah naik hingga

70%, dari Rp2.500 per

dolar menjadi Rp15.000 per dolar.

Bunga bank pun naik

berlipat­lipat.

fortune InDoneSIA85

saat saya berekspansi di bisnis properti, istri sudah meng ingatkan tapi saya tidak mendengarkannya,” ungkapnya. Ketiga, bisnis itu perlu proses. Namun bukan berarti tidak boleh ekspansi atau tumbuh. Sebagai pebisnis, berani mengambil risiko itu perlu, tapi dengan perhitungan yang matang.

Krisis juga yang membawanya pada peluang bisnis lain. Saat itu, praktis bisnis propertinya mati suri. Tidak ada pembangunan dan penjua­lan. Agar produktif, sisa lahan ia jadikan tempat wisata kuliner. Inilah awal Ronny masuk ke bisnis hospitality. “The Peak saya bangun tahun 1998. Lalu di tahun 1999, saya membangun Kampung Daun,” ujar Ronny.

Awalnya banyak yang ragu bisnis wisata ku­liner Ronny akan berkembang. Pasalnya, lokasi­nya jauh dari pusat kota. Tapi ternyata, Kampung Daun dan The Peak menjadi salah satu tempat wisata kuliner favorit di Bandung. “Kampung Daun menjadi titik balik bagi bisnis Ronny. Bisnis kuliner yang ia kembangkan menjadi trendsetter di Bandung,” ungkap Ipong.

Krisis membuat Ronny lebih religius. Nama B&B Inc dan PT Sebelas Tiga Enam merupakan repre­sentasi rasa syukurnya. “PT Sebelas Tiga Enam saya ambil dari salah satu ayat di kitab suci, dan ayat ini yang memberi saya motivasi,” aku Ronny.

Sebelumnya Ronny bukanlah orang yang taat. Pada 1985, ia sempat keracunan nikotin akibat gaya hidup tak sehat. Ronny muda suka bertua­lang. Ia suka berburu, minum minuman alkohol dan perokok berat. Dalam sehari, minimal ia menghisap 2 bungkus rokok. Dokter pun mem­

vonisnya, jika ia tidak mengubah gaya hidup, usianya tidak akan lama. Di saat yang sama, seorang kenalan mengajaknya ke gereja. Sejak itu, Ronny berubah. Namun sifat sombong dan serakahnya sebagai pebisnis belum hilang sampai­krisis datang.

B&B Inc, kata Ronny, dideklarasikan pada 25 Agustus 2005 – holding perusahaan Ronny sebe­lumnya bernama EMPI Group. Dulu saat krisis, ia pernah bernazar, jika usianya menginjak angka 40 tahun, ia akan mendedikasikan hidupnya untuk keluarga dan Tuhan. Itu sebabnya di tahun 2005, perusahaan bertransformasi bukan hanya seka­dar nama, tapi juga pendelegasian penuh kepada profesional. “Saya bilang ke profesional saya, ini semua bukan milik saya tapi milik Tuhan,” ujarnya. Pernyataan itu tidak sekadar keluar dari mulut, tapi hasil dari kompleksitas perjalanan spiritual Ronny Lukito yang berjenjang.

Pendelegasian kepada profesional, kata Ronny, merupakan cara membuat perusahaannya sus-tainable dari generasi ke generasi. Dari keempat anaknya, Ronny mengaku belum menentukan siapa yang akan melanjutkan bisnis keluarganya. Namun kedua anaknya, Jeanne Lukito dan Agnes Lukito telah mulai terlibat di perusahaan. Jeanne di bisnis hospitality sementara Agnes di B&B Inc. Keduanya tidak langsung mendapatkan posisi em­puk atau masuk dalam jajaran manajemen. Agnes misalnya, di B&B Inc ia hanya staf biasa.“Tidak ada kewajiban meneruskan bisnis keluarga, tapi kalau anak saya tertarik dia harus berdedikasi dan memulainya dari nol,” tegasnya. 

Pembangunan Du-sun Bambu membu-tuhkan waktu lebih dari 10 tahun karena sebelum dibangun, kawasan itu perlu ditanami dulu.

“Kampung Daun menjadi titik balik bagi bisnis Ronny. Bisnis kuliner yang ia kembang­kan menjadi trendsetter di Bandung”

IpongWitono