rkpg lhokseumawe

116
- 1 - - 1 - 6+ BERITA DAERAH KOTA LHOKSEUMAWE NOMOR: 1 TAHUN 2010 SERI: PERATURAN WALIKOTA LHOKSEUMAWE NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PERENCANAAN, PELAKSANAAN, PEMBIAYAAN, PENGAWASAN, PELAPORAN DAN PEMBINAAN KEGIATAN YANG DIBIAYAI DENGAN DANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA LHOKSEUMAWE, Menimbang : a. bahwa untuk kelancaran dan ketertiban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Lhokseumawe dalam rangka mengisi Otonomi Daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, diperlukan adanya satu Mekanisme yang mengatur tentang Perencanaan, Pelaksanaaan, Pembiayaan, Pengawasan, Pelaporan dan Pembinaannya sehingga setiap kegiatan pembangunan dapat mencapai sasaran sebagaimana diharapkan; b. bahwa dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010 maka perlu menetapkan Mekanisme yang mengatur tentang Perencanaan, Pelaksanaaan, Pembiayaan, Pengawasan, Pelaporan dan Pembinaan Kegiatan yang dibiayai dengan dana APBK Lhokseumawe Tahun Anggaran 2010; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b diatas perlu menetapkan dalam suatu Peraturan. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);

description

rancangan rkpg

Transcript of rkpg lhokseumawe

  • - 1 -

    - 1 -

    6+

    BERITA DAERAH KOTA LHOKSEUMAWE

    NOMOR: 1 TAHUN 2010 SERI:

    PERATURAN WALIKOTA LHOKSEUMAWE NOMOR 01 TAHUN 2010

    TENTANG

    MEKANISME PERENCANAAN, PELAKSANAAN, PEMBIAYAAN, PENGAWASAN,

    PELAPORAN DAN PEMBINAAN KEGIATAN YANG DIBIAYAI DENGAN DANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN

    ANGGARAN 2010

    WALIKOTA LHOKSEUMAWE,

    Menimbang : a. bahwa untuk kelancaran dan ketertiban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Lhokseumawe dalam rangka mengisi Otonomi Daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, diperlukan adanya satu Mekanisme yang mengatur tentang Perencanaan, Pelaksanaaan, Pembiayaan, Pengawasan, Pelaporan dan Pembinaannya sehingga setiap kegiatan pembangunan dapat mencapai sasaran sebagaimana diharapkan;

    b. bahwa dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010 maka perlu menetapkan Mekanisme yang mengatur tentang Perencanaan, Pelaksanaaan, Pembiayaan, Pengawasan, Pelaporan dan Pembinaan Kegiatan yang dibiayai dengan dana APBK Lhokseumawe Tahun Anggaran 2010;

    c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b diatas perlu menetapkan dalam suatu Peraturan.

    Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);

  • - 2 -

    - 2 -

    2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4109);

    3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

    4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

    5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

    6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

    7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);

    8. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan secara efektif Undang-Undang Nomor 2 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4239);

    9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

    10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;

    11. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

    12. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

  • - 3 -

    - 3 -

    13. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

    14. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

    15. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja;

    16. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

    17. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

    18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D);

    19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pedoman dan Pertanggungjawaban Belanja Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

    20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Keuangan Daerah;

    21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah;

    22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008;

    23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Keuangan Daerah;

    24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010;

    25. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 332/KPTS/M/2002, tanggal 21 agustus 2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara;

    26. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah;

    27. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-47/PB/2008 tentang Langkah-langkah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran;

  • - 4 -

    - 4 -

    28. Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 12 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Kota Lhokseumawe, sebagaimana telah diubah dengan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 12 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Kota Lhokseumawe;

    29. Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 13 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Kecamatan Kota Lhokseumawe sebagaimana telah diubah dengan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 13 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Kecamatan Kota Lhokseumawe.

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA LHOKSEUMAWE TENTANG MEKANISME PERENCANAAN, PELAKSANAAN, PEMBIAYAAN, PENGAWASAN PELAPORAN DAN PEMBINAAN KEGIATAN YANG DIBIAYAI DENGAN DANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN ANGGARAN 2010.

    BAB I

    KETENTUAN UMUM Bagian Pertama

    Pengertian Istilah Pasal 1

    Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kota Lhokseumawe; 2. Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah Otonom

    lainnya sebagai Badan Eksekutif Daerah; 3. APBK adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Lhokseumawe Tahun Anggaran

    2010; 4. DPRK adalah Dewan Perwakilan Rakyat Kota Lhokseumawe; 5. Kepala Daerah adalah Walikota Lhokseumawe; 6. Wakil Kepala Daerah adalah Wakil Walikota Lhokseumawe; 7. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe; 8. Asisten adalah Asisten Tata Praja, Asisten Ekonomi dan Pembangunan serta Asisten

    Administrasi pada Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe; 9. Inspektorat adalah Inspektorat Kota Lhokseumawe; 10. Bappeda adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Lhokseumawe; 11. Dinas/Kantor adalah Dinas/Kantor Otonom dalam Pemerintah Kota Lhokseumawe;

  • - 5 -

    - 5 -

    12. Lembaga Daerah adalah Lembaga Daerah dalam Pemerintah Kota Lhokseumawe; 13. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah Kepala Daerah yang

    karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah;

    14. Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disebut dengan Kepala SKPKD;

    15. Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas sebagai Bendahara Umum Daerah;

    16. Kuasa Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat Kuasa BUD adalah Pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan tugas Bendahara Umum Daerah;

    17. Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Organisasi SKPD terdiri dari DPRK, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah;

    18. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Perangkat Daerah pada Pemerintah Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;

    19. Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SKPKD adalah Perangkat Daerah pada Pemerintah Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang yang juga melaksanakan pengelolaan APBK;

    20. Unit Kerja adalah bagian dari SKPD yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program;

    21. Sekretariat Daerah adalah Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe; 22. Bagian adalah Bagian-bagian pada Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe; 23. Camat adalah Camat dalam Wilayah Hukum Pemerintah Kota Lhokseumawe; 24. Pengguna Anggaran adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran

    untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya; 25. Kuasa Pengguna Anggaran adalah Pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan

    sebagian kewenangan penggunaan anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD;

    26. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun;

    27. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah selanjutnya disingkat Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun;

    28. Rencana Kerja dan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat RKA-SKPD adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan SKPD serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya;

    29. Kebijakan umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun;

    30. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS merupakan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD;

  • - 6 -

    - 6 -

    31. Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat DPA-SKPD merupakan dokumen yang memuat pendapatan dan belanja setiap SKPD yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran;

    32. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan/bendahara pengeluaran untuk mengajukan permintaan pembayaran;

    33. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD berdasarkan SPM;

    34. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang digunakan/diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk menerbitkan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD kepada pihak ketiga;

    35. Uang Persediaan adalah sejumlah uang tunai yang disediakan untuk Satuan Kerja dalam melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari;

    36. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pegeluaran DPA-SKPD yang dipergunakan sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan operasional kantor sehari-hari;

    37. Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pegeluaran DPA-SKPD yang dananya dipergunakan untuk mengganti uang persediaan yang telah dibelanjakan;

    38. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pegeluaran DPA-SKPD karena kebutuhan dananya melebihi dari jumlah batas pagu uang persediaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan;

    39. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah;

    40. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBK atau berasal dari perolehan lainnya yang sah;

    41. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah daerah dan/atau kewajiban pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan, perjanjian atau berdasarkan sebab lainnya yang sah;

    42. Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran;

    43. Sistem Pengendalian Intern Keuangan Daerah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengendalian melalui audit dan evaluasi untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan;

    44. Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai;

  • - 7 -

    - 7 -

    45. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah SKPD/unit kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas;

    46. Surat Penyediaan Dana yang selanjutnya disingkat SPD adalah dokumen yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan SPP;

    47. Investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomsi seperti bunga, deviden, royalty, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat;

    48. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBK, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyediaan barang/jasa;

    49. Pejabat Pembuat Komitmen adalah Pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab pelaksanaan pengadaan;

    50. Penyediaan barang/jasa adalah Badan Usaha/Orang Perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/jasa;

    51. Panitia pengadaan adalah Tim yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur BI/Pimpinan BHMN/Direksi BUMN/BUMD, untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa;

    52. Unit Layanan Pengadaan adalah 1 (satu) unit yang terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibentuk oleh Pengguna Anggaran yang bertugas secara khusus untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa dilingkungan Pemerintah;

    53. Pejabat pengadaan adalah 1 (satu) orang yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur BI/Pimpinan BHMN/Direksi BUMN/BUMD, untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa dengan nilai s/d Rp. 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah);

    54. Pemilihan penyedia barang/jasa adalah kegiatan untuk menetapkan penyedia barang/jasa yang akan ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan;

    55. Sistem pengadaan barang/jasa adalah metode pemilihan, metode penyampaian penawaran, metode evaluasi, jenis kontrak;

    56. Sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah adalah tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi dibidang pengadaan barang/jasa pemerintah yang diperoleh melalui ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa nasional dan untuk memenuhi persyarakatan seseorang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen atau Panitia/Pejabat Pengadaan atau Anggota Unit Layanan Pengadaan;

    57. Kontrak adalah Perikatan antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa;

    58. Fakta Integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen/Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa;

  • - 8 -

    - 8 -

    59. Pekerjaan kompleks adalah pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi dan/atau mempunyai resiko tinggi dan/atau menggunakan peralatan desain khusus dan/atau bernilai diatas Rp. 50.000.000.000,- (Lima puluh miliar rupiah);

    60. Barang adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan oleh Pengguna Anggaran;

    61. Jasa pemborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan Pengguna Anggaran dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh Pengguna Anggaran;

    62. Jasa Konsultasi adalah jasa keahlian profesional dalam berbagai bidang yang meliputi jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan jasa pelayanan profesi lainnya, dalam rangka mencapai sasaran tertentu yang keluarannya berbentuk piranti lunak yang disusun secara sistematis berdasarkan kerangka acuan kerja yang ditetapkan Pengguna Anggaran;

    63. Dokumen pengadaan adalah dokumen yang disiapkan oleh panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan (procurement unit) sebagai pedoman dalam proses pembuatan dan penyampaian penawaran oleh calon penyedia barang/jasa serta pedoman evaluasi penawaran oleh panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan (procurement unit);

    64. Surat jaminan adalah jaminan tertulis yang dikeluarkan oleh bank umum/lembaga keuangan lainnya yang diberikan oleh penyedia barang/jasa kepada Pejabat Pembuat Komitmen untuk menjamin terpenuhinya persyaratan/kewajiban penyedia barang/jasa;

    65. Kemitraan adalah kerjasama usaha antara penyedia barang/jasa dalam negeri maupun luar negeri yang masing-masing pihak mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang jelas, berdasarkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam perjanjian tertulis;

    66. Surat kabar provinsi adalah surat kabar yang beroplah besar dan memiliki peredaran luas didaerah provinsi, yang tercantum dalam daftar surat kabar yang ditetapkan oleh Gubernur;

    67. Surat kabar nasional adalah surat kabar yang beroplah besar memiliki peredaran luas secara nasional, yang tercantum dalam daftar surat kabar nasional yang ditetapkan oleh Menteri Komunikasi dan Infornatika.

    Bagian Kedua

    Maksud dan Tujuan Pasal 2

    1. Maksud diberlakukan peraturan ini adalah sebagai pedoman dalam rangka proses pelaksanaan pembangunan di Kota Lhokseumawe yang dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan dimana diperlukan petunjuk pelaksanaan bagi seluruh Dinas/Badan/Kantor/Instansi lainnya yang dibiayai dari dana APBK agar pencapaiaan target sesuai dengan tertib administrasi dan dapat dipertanggung jawabkan secara optimal;

    2. Tujuan diberlakukan Peraturan ini untuk adanya keseragaman dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan secara efesien, efektif, terbuka, adil dan seimbang.

  • - 9 -

    - 9 -

    Bagian Ketiga Ruang Lingkup

    Pasal 3 1. Ruang lingkup berlakunya mekanisme ini untuk seluruh kegiatan yang pendanaannya

    bersumber dari APBK Lhokseumawe; 2. Untuk pelaksanaan kegiatan dalam Kota Lhokseumawe selain berpedoman pada

    mekanisme ini tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang lebih tinggi.

    BAB II PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

    Bagian Pertama Prinsip Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah

    Pasal 4 (1) Sistem perencanaan pembangunan daerah mengacu sebagaimana yang diatur dalam

    Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

    (2) Dalam proses perencanaan sistem yang dilaksanakan mencakup 5 pendekatan yaitu politik, teknokratik, partisipatif, Atas-Bawah (Top-Down) dan Bawah-Atas (Button Up); - Pendekatan politik : Bahwa usulan perencanaan

    didasarkan pada kepentingan Kepala Daerah dan rakyat pemilih pada saat menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan;

    - Pendekatan Teknokratik : Usulan perencanaan didasarkan pada metode dan kerangka ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu;

    - Pendekatan Partisipatif : Melibatkan semua pihak yang berkepentingan (Stake Holders) terhadap pembangunan;

    - Pendekatan Atas-Bawah dan Bawah-Atas : Dilaksanakan menurut jenjang Pemerintahan, rencana hasil proses Atas-Bawah dan Bawah-Atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di Tingkat Kota Lhokseumawe, Kecamatan dan Desa.

    (3) Dari 5 Pendekatan yang dilakukan dalam proses perencanaan, Bappeda sebagai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah menyusun skala prioritas sesuai dengan kemampuan dana yang ada serta memilah-milah usulan guna diusulkan untuk dibiayai dari berbagai sumber seperti APBN, APBA PROV, ACEH, APBK Lhokseumawe, BLN, dan lain-lain;

    (4) Skala prioritas yang telah disusun selanjutnya diajukan Bappeda kepada Tim Anggaran Eksekutif untuk dibahas, dan diajukan ke DPRK untuk ditetapkan;

    (5) Tata cara dan waktu pelaksanaan Musrenbang Desa, Kecamatan dan Kota disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan;

  • - 10 -

    - 10 -

    (6) Dalam proses penyusunan perencanaan kedalam APBK harus mengacu pada norma dan prinsip-prinsip Anggaran yaitu transparansi, akuntabilitas, dan disiplin anggaran. Disamping itu juga harus dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu program/kegiatan yang dianggarkan.

    Bagian Kedua Prinsip dan Kebijakan Penyusunan APBK

    Pasal 5

    (1) Prinsip Penyusunan APBK a. Partisipasi Masyarakat

    Pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBK sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBK;

    b. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran APBK yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu, setiap pengguna anggaran harus bertanggungjawab terhadap penggunaan sumber daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang ditetapkan;

    c. Disiplin Anggaran Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan antara lain: 1. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara

    rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarakan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;

    2. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersediaanya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBK/Perubahan APBK;

    3. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBK dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah;

    d. Keadilan Anggaran Pajak daerah, retribusi daerah dan pungutan daerah lainnya yang dibebankan kepada masayarakat harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Masayarakat yang memiliki kemampuan pendapatan rendah secara proporsional diberi beban yang sama, sedangkan masyarakat yang mempunyi kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban yang tinggi pula. Untuk menyeimbangkan kedua kebijakan tersebut pemerintah daerah dapat melakukan perbedaan tarif secara rasional guna menghilangkan rasa ketidakadilan. Selain daripada itu dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan;

  • - 11 -

    - 11 -

    e. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran, dalam perencanaan anggaran perlu memperhatikan: 1. Tujuan, sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; 2. Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan

    harga satuan rasional; f. Taat Azas

    APBK sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah ditetapkan dengan Qanun, memperhatikan: 1. APBK tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

    tinggi, mengandung arti bahwa apabila pendapatan belanja dan pembiayaan yang dicantumkan dalam Rancangan Qanun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, atau Peraturan/Keputusan/Surat Edaran Menteri yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan mencakup kebijakan yang berkaitan dengan keuangan daerah;

    2. APBK tidak bertentangan dengan kepentingan umum, mengandung arti bahwa Rancangan Qanun tentang APBK lebih diarahkan agar mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan atau kepentingan masyarakat (public) dan bukan membebani masyarakat. Qanun tidak boleh menimbulkan diskriminasi yang dapat mengakibatkan ketidakadilan, menghambat kelancaran arus barang dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, pemborosan keuangan Negara/Daerah, memicu ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan mengganggu stabilitas keamanan serta ketertiban masyarakat yang secara keseluruhan mengganggu jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah;

    3. APBK tidak bertentangan dengan qanun lainnya, mengandung arti bahwa apabila kebijakan yang dituangkan dalam qanun tentang APBK tersebut sesuai dengan ketentuan qanun sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, sebagai konsekuensinya bahwa rancangan qanun tersebut harus sejalan pengaturannya tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah dan menghindari adanya tumpang tindih dengan qanun lainnya, seperti : Qanun mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan sebagainya.

    (2) Kebijakan Penyusunan APBK

    Dalam kebijakan perencanaan pendapatan daerah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang rekening kas umum daerah,

    yang menambah ekuitas dana lancar sebagai hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah;

  • - 12 -

    - 12 -

    b. Seluruh pendapatan daerah dianggarkan dalam APBK secara bruto, mempunyai makna bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut/atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil;

    c. Pendapatan daerah merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.

    Pendapatan daerah terdiri dari : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

    a. Dalam merencanakan target pendapatan PAD supaya mempertimbangkan kondisi krisis ekonomi saat ini yang kemungkinan masih berlangsung dalam Tahun Anggaran 2010, yang akan berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat sehingga berpengaruh kepada peningkatan PAD di masing-masing daerah;

    b. Dalam upaya pengelolaan dan peningkatan PAD pada umumnya, agar tidak menetapkan kebijakan yang memberatkan dunia usaha dan masyarakat, bahkan sebaliknya, bilamana perlu diberikan insentif untuk menarik atau memberikan rangsangan agar kegiatan ekonomi masyarakat cenderung stabil atau meningkat. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui penyederhanaan sistem dan prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, pemberiaan insentif atau rasionalisasi pajak/retribusi daerah, meningkatkan ketaatan wajib pajak dan pembayar retribusi daerah serta meningkatkan pengendalian dan pengawasan atas pemungutan PAD yang diikuti dengan peningkatan kualitas, kemudahan, ketepatan dan kecepatan pelayanan;

    c. Pemerintah Daerah agar secara konsisten untuk tidak melaksanakan pemungutan terhadap peraturan daerah yang terkait dengan pajak dan retribusi daerah yang telah dibatalkan oleh pemerintah;

    d. Dalam menetapkan target pendapatan daerah dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan hendaknya dilakukansecara rasional dengan mempertimbangkan hasil dari nilai kekayaan daerah yang disertakan sesuai dengan tujuan dan fungsi penyertaan modal dimaksud. Selain itu untuk meningkatkan pendapatan daerah, pemerintah daerah dapat mendayagunakan kekayaan atau aset-aset daerah yang Idle dengan cara melakukan kerjasama dengan pihak ketiga;

    e. Pemerintah Daerah agar tidak menetapkan target pendapatan yang berasal dari setoran laba bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang cakupan pelayanannya belum mencapai 80% dari jumlah penduduk dalam wilayah administratif daerah Kabupaten/Kota pemilik PDAM, sebagaimana diatur dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 690/477/SJ tanggal 18 Februari 2009 perihal Percepatan terhadap Program Penambahan 10 juta Sambungan Rumah Air Minum Tahun 2009 s/d 2013. Untuk PDAM yang belum memenuhi kebutuhan diatas, agar bagian laba yang diperoleh diupayakan untuk direinvestasikan dalam rangka meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan.

  • - 13 -

    - 13 -

    f. Dalam hal daerah telah membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) seperti Rumah Sakit Daerah, maka penerimaan rumah sakit tersebut dicantumkan dalam APBK sebagai jenis pendapatan Lain-lain PAD Yang Sah, sedangkan bagi rumah sakit yang belum menerapkan pola pengelolaan keuangan BLUD, maka penerimaan rumah sakit tersebut termasuk pelayanan masyarakat miskin melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) dicantumkan dalam APBK sebagai jenis retribusi.

    2. Dana Perimbangan Untuk penganggaran pendapatan yang bersumber dari dana perimbangan dalam APBD Tahun Anggaran 2010, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Mengingat proses penyusunan APBK sudah dimulai sejak bulan Juni 2009

    sedangkan penetapan alokasi dan perimbangan Tahun Anggaran 2010 direncanakan sekitar bulan Oktober 2009, maka pencantuman alokasi dan perimbangan dalam penyusunan APBK Tahun Anggaran 2010 didasarkan pada alokasi dan perimbangan Tahun Anggaran 2009 dengan tetap memperhatikan realisasi penerimaan dua tahun terakhir (Tahun Anggaran 2007 dan Tahun Anggaran 2008).

    b. Terhadap perencanaan alokasi dana bagi hasil, pemerintah daerah dapat memperkirakan besaran alokasi dana bagi hasil lebih rendah dari Keputusan Menteri Keuangan Tahun Anggaran 2009, untuk mengantisipasi kemungkinan tidak stabilnya harga minyak dan gas atau hasil pertambangan lainnya yang cenderung menurun ditahun 2010. Selanjutnya apabila alokasi dana bagi hasil tersebut tidak sesuai atau lebih tinggi dari yang diperkirakan, dapat dilakukan penyesuaian dalam perubahan APBK Tahun Anggaran 2010;

    c. Bagi daerah yang tidak menerima alokasi DAU karena memiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif sama atau lebih besar dari alokasi dasar berdasarkan penerapan formula murni DAU, maka untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan belanja pegawai meliputi gaji pokok dan tunjangan PNSD dalam APBK Tahun Anggaran 2010, termasuk untuk kenaikan gaji pokok dan gaji bulan ke-13, yang bersumber dari pendapatan daerah antara lain PAD, DBH Pajak dan DBBH SDA dan/atau penerimaan pembiayaan dari SiLPA Tahun Lalu;

    d. Dana bagi hasil Cukai Hasil Tembakau yang di alokasikan ke Kabupaten/Kota dan Provinsi sesuai dengan Keputusan Gubernur, dan diarahkan untuk melaksanakan peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan/atau pemberantasan barang kena cukai palsu (cukai ilegal).

    3. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah a. Pemerintah Daerah dalam menetapkan pendapatan bagi hasil yang diterima dari

    provinsi pada Tahun Anggaran 2010 agar menggunakan pagu Tahun Anggaran 2009. Sedangkan bagian pemerintah kota yang belum direalisasikan oleh Pemerintah Aceh akibat pelampauan taget Tahun Anggaran 2009 agar ditampung dalam Perubahan APBK Tahun Anggaran 2010;

    b. Dana darurat, Dana Bencana Alam dan Sumbangan Pihak Ketiga yang diterima oleh Pemerintah daerah bilamana belum dapat diperkirakan dan dipastikan pada saat penyusunan APBK Tahun Anggaran 2010 agar penganggarannya dicantumkan pada Perubahan APBK Tahun Anggaran 2010.

  • - 14 -

    - 14 -

    4. Bagi daerah yang belum menganggarkan pendapatan yang bersumber dari dana alokasi umum, dana bagi hasil, hibah, dana darurat dan sumbangan pihak ketiga pada Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) supaya dalam penyusunan APBK Tahun 2010 dianggarkan pada SKPKD.

    (3) Teknis Penyusunan APBK

    Dalam menyusun APBK Tahun Anggaran 2010, Pemerintah Daerah dan DPRK perlu memperhatikanhal-hal teknis sebagai berikut : 1. Dalam rangka memberikan pelayanan masyarakat secara lebih optimal dan sebagai

    wujud tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, agar Pemerintah Daerah menyusun dan menetapkan APBK tahun anggaran 2010 secara tepat waktu, yaitu paling lambat tanggal 31 Desember 2009, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;

    2. Sejalan dengan hal tersebut, diminta kepada Pemerintah Daerah agar memenuhi jadwal proses penyusunan APBK, mulai dari penyusunan dan penetapan KUA-PPAS bersama DPRK hingga dicapai kesepakatan terhadap Raperda APBK antara Pemerintah Daerah dengan DPRK, paling lambat tanggal 30 Nopember 2009, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (3c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;

    3. Secara materi perlu sinkronisasi antara Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), antara RKPD dengan KUA dan PPAS serta antara KUA-PPAS dengan RAPBK yang merupakan kristalisasi dari seluruh RKA-SKPD, sehingga APBK merupakan wujud keterpaduan seluruh program Nasional dan Daerah dalam upaya peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah;

    4. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, materi KUA mencakup hal-hal yang sifatnya kebijakan umum dan tidak menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis. Hal-hal yang sifatnya kebijakan umum, seperti: (a) Gambaran kondisi ekonomi makro termasuk perkembangan indikator ekonomi makro daerah; (b) Asumsi dasar penyusunan RAPBK 2010 termasuk laju inflasi pertumbuhan PDRK dan asumsi lainnya terkait dengan kondisi ekonomi daerah; (c) Kebijakan pendapatan daerah yang menggambarkan prakiraan rencana sumber dan besaran pendapatan daerah untuk tahun anggaran 2010; (d) Kebijakan belanja daerah yang mencerminkan program utama dan langkah kebijakan dalam upaya peningkatan pembangunan daerah yang merupakan refleksi sinkronisasi kebijakan pusat dan kondisi riil di daerah; (e) Kebijakan pembiayaan yang menggambarkan sisi defisit dan surplus daerah sebagai antisipasi terhadap kondisi pembiayaan daerah dalam rangka menyikapi tuntutan pembangunan daerah;

    5. Substansi PPAS lebih mencerminkan prioritas pembangunan daerah yang dikaitkan dengan sasaran yang ingin dicapai termasuk program prioritas dari SKPD terkait. PPAS juga menggambarkan pagu anggaran sementara di masing-masing SKPD berdasarkan program dan kegiatan. Pagu sementara tersebut akan menjadi pagu definitif setelah peraturan daeran tentang APBK disepakati antara Kepala Daerah dan DPRK serta ditetapkan oleh Kepala Daerah;

  • - 15 -

    - 15 -

    6. Untuk menjamin konsistensi dan percepatan pembahasan KUA dan PPAS, Kepala Daerah menyampaikan kedua dokumen tersebut kepada DPRK dalam waktu yang bersamaan yang selanjutnya hasil pembahasan kedua dokumen tersebut ditandatangani pada waktu yang bersamaan, sehingga keterpaduan KUA dan PPAS dalam proses penyusunan RAPBK akan lebih efektif;

    7. Substansi Surat Edaran Kepala Daerah tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD kepada seluruh SKPD dan RKA-SKPD kepada SKPKD memuat prioritas pembangunan daerah dan program/kegiatan yang terkait, alokasi plafon anggaran sementara untuk setiap program/kegiatan SKPD, batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD, dan dokumen sebagaimana lampiran Surat Edaran dimaksud meliputi KUA, PPAS, analisis standar belanja dan standar satuan harga;

    8. RKA-SKPD memuat rincian anggaran pendapatan, rincian anggaran belanja tidak langsung SKPD (gaji pokok dan tunjangan pegawai, tambahan penghasilan, khusus pada SKPD Sekretariat DPRK dianggarkan juga Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPRK), rincian anggaran Belanja langsung menurut program dan kegiatan SKPD;

    9. RKA-SKPD memuat rincian pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan hibah, belanja tidak langsung terdiri dari belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga, rincian penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan;

    10. Dalam rangka penyederhanaan dokumen penjabaran APBK, beberapa informasi yang dituangkan dalam kolom penjelasan penjabaran APBK ditiadakan, seperti dasar hukum penganggaran belanja, target/volume yang direncanakan, dan tarif pungutan/harga satuan;

    11. Dalam hal terdapat kendala dalam proses pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBK 2010 meskipun telah dilakukan penambahan waktu, Kepala Daerah menyusun rancangan peraturan kepala daerah tentang APBK untuk mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri terhadap APBA dan Gubernur terhadap APBK sesuai Pasal 107 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Hal itu dilakukan sepanjang antisipasi terhadap kondisi stabilitas pemerintahan dan politik di daerah telah dikaji secara seksama, agar tidak menghambat proses pembangunan daerah dan pelayanan masyarakat yang berjalan secara berkesinambungan;

    12. Dalam rangka mengantisipasi perubahan kebijakan akibat dinamika perkembangan yang terjadi dan untuk memberikan ruang bagi Kepala Daerah dalam menangani masalah tersebut, Pemerintah Daerah mencantumkan kriteria tertentu terkait dengan belanja dalam kategori mendesak atau darurat dalam peraturan daerah tentang APBK Tahun Anggaran 2010, sebagaimana diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 81 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

    13. Bagi daerah yang melaksanakan program dan kegiatan DAK dan bantuan keuangan dari provinsi untuk kabupaten/kota yang dananya diterima setelah APBK ditetapkan, maka sambil menunggu perubahan Peraturan Daerah tentang APBK, Pemerintah Daerah melaksanakan program dan kegiatan dimaksud dengan terlebih dahulu melakukan perubahan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBK dengan persetujuan pimpinan DPRK. Dalam hal program dan kegiatan dimaksud terjadi setelah perubahan APBK ditetapkan, maka Pemerintah Daerah menyampaikannya dalam laporan realisasi anggaran (LRA);

  • - 16 -

    - 16 -

    14. Pelaksanaan perubahan APBK Tahun Anggaran 2010 diupayakan dilakukan setelah penetapan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBK Tahun Anggaran 2009 dan paling lambat ditetapkan pada akhir bulan September 2010. Dalam hal laporan pertanggungjawaban terlambat ditetapkan, Pemerintah Daerah tetap melakukan perubahan APBK sesuai dengan jadwal waktu yang ditetapkan. Program dan kegiatan yang ditampung dalam perubahan APBK agar memperhitungkan sisa waktu pelaksanaan APBK Tahun Anggaran 2010;

    Bagian Ketiga

    Hal-hal Khusus Lainnya Pasal 6

    (1) Dampak Krisi Keuangan Global: a. Dalam rangka mengantisipasi dampak krisis keuangan global pemerintah menetapkan

    tujuh kebijakan prioritas, yaitu: (1) mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), (2) memberikan insentif dan kebijakan dalam rangka menjaga keberlanjutan sektor riil melalui penambahan dana penjaminan untuk Kredit Usaha Rakyat (UKR), (3) menekan inflasi pada angka tertentu, (4) meningkatkan daya beli masyarakat, (5) perlindungan bagi rakyat miskin, (6) kepastian ketersediaan pangan dan energi dan (7) keterjangkauan harga;

    b. Untuk mendukung kebijakan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah pada Tahun Anggaran 2010 agar melakukan langkah-langkah, antara lain: 1). Mempertajam alokasi anggaran secara efesien dan selektif mungkin dengan

    memberikan perhatian khusus pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan mempercepat pembangunan infrastruktur yang mampu menunjang perekonomian daerah khususnya sektor riil;

    2). Rasionalisasi pungutan pajak dan retribusi daerah yang dipandang mampu untuk menggerakkan dunia usaha maupun masyarakat luas khususnya dalam menunjang produk unggulan daerah yang berorientasi pasar baik domestik maupun ekspor;

    3). Mengembangkan kebijakan yang inovatif yang dapat mendorong dunia usaha, mengendalikan tingkat konsumsi dan meningkatkan investasi;

    4). Melakukan penataan kembali program dan kegiatan yang bersifat multiyears yang kurang bermanfaat langsung bagi kepentingan masyarakat dengan memberikan perhatian khusus terhadap program dan kegiatan yang dapat memberdayakan masyarakat, termasuk upaya penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan;

    5). Mempercepat daya serap anggaran, sehingga dapat memperkecil SILPA yang pada akhirnya mampu menggerakkan perekonomian di daerah.

    (2) Dalam rangka peningkatan bidang pendidikan, Pemerintah Daerah agar secara konsisten dan berkesinambungan mengupayakan pengalokasian anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja daerah, sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan pendidikan;

    (3) Tata kelola keuangan daerah yang baik :

  • - 17 -

    - 17 -

    a. Untuk terciptanya pengelolaan keuangan daerah yang baik, agar Pemerintah Daerah melakukan upaya peningkatan kapasitas pengelolaan administrasi keuangan daerah, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan maupun pertanggungjawaban melalui perbaikan regulasi, penyiapan instrumen operasional, pelatihan, monitoring dan evaluasi secara lebih akuntabel dan transparan;

    b. Perbaikan regulasi dan penyiapan instrumen operasional dimaksud adalah menjabarkan peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan keuangan daerah yang lebih tinggi maupun pembentukan peraturan yang dibutuhkan oleh daerah;

    c. Sebagai bentuk komitmen Pemerintah Daerah dalam penyusunan anggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, dan penyiapan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBK secara cepat dan akurat, Pemerintah Daerah agar mengupayakan dukungan terhadap pengembangan implementasi SIPKD dan Regional SIKD;

    d. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan daerah dan legislatif daerah melalui penataan organisasi, sosialisi dan pelatihan/bimbingan teknis, penerapan teknologi informasi, mengupayakan rekrutmen pegawai yang memiliki keahlian dibidang pengelolaan keuangan daerah;

    e. Peningkatan monitoring dan evaluasi terhadap penyusunan anggaran, perubahan anggaran dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran oleh pemerintah provinsi kepada Kabupaten/Kota;

    f. Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pertanggungjawaban pelaksanaan APBK melalui penyusunan laporan keuangan secara tepat waktu dan penyajian laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

    (4) Kerjasama Daerah :

    Dalam penyelenggaraan pembangunan yang melibatkan beberapa daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efesien, Pemerintahan Daerah dapat menyusun program dan kegiatan melalui pola kerja sama antar daerah dengan mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah;

    (5) Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) : a. Dalam rangka peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat, agar SKPD segera

    melakukan evaluasi bentuk-bentuk pelayanan kepada masyarakat yang akan menerapkan Pola Keuangan BLUD pada SKPD atau unit kerja yang tugas dan fungsinya bersifat operasional, seperti Rumah Sakit Daerah (RSD) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 51 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi dan mengakomodasi rencana bisnis dan anggaran dalam penyusunan APBK;

    b. Bagi SKPD atau unit kerja yang telah menerapkan Pola Keuangan BLUD, penganggarannya dalam belanja dampai pada jenis belanja. Untuk belanja tidak langsung, dipergunakan untuk belanja pegawai, sedangkan belanja langsung dipergunakan untuk pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal;

  • - 18 -

    - 18 -

    c. Dalam rangka meningkatkan kinerja BUMD, Pemerintah Daerah meningkatkan pembinaan manajemen, penataan kelembagaan, peningkatan profesionalisme pengelola BUMD, melakukan evaluasi kelayakan jenis usaha yang dikelola dan keberlangsungan BUMD yang tidak sehat. Selain itu juga memperhatikan upaya terkait dengan peningkatan peran BPR dalam menunjang ekonomi kerakyatan melalui dukungan permodalan dengan memberikan prioritas pada pemberdayaan UMKM;

    (6) Pinjaman Daerah :

    a. Pemerintah Daerah dalam menutup kekurangan kas, dapat melakukan pinjaman melalui pinjaman jangka pendek, sedangkan untuk menutup defisit APBK dalam rangka membiayai kegiatan penyediaan sarana prasarana pelayanan publik melalui pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang, dan dilakukan secara selektif;

    b. Pemerintah Daerah melakukan pinjaman jangka menengah, harus memperhitungkan waktu pengembalian pinjaman dan dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah;

    (7) Dalam rangka meningkatkan kemandirian daerah dalam mengalokasikan anggaran sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah, maka penyediaan dana pendamping atau sebutan lainnya hanya dimungkinkan untuk kegiatan yang telah diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, seperti DAK sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, penerimaan hibah dan bantuan luar negeri sepanjang dipersyaratkan dana pendamping dari APBK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah;

    (8) Dalam rangka mendukung kebijakan Milenium Development Goals (MDGs) dibidang infrastruktur khususnya sanitasi, diharapkan perhatian Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan kapasitas dan kualitas sanitasi di daerah;

    (9) Standar satuan harga ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Demikian juga standar satuan biaya perjalanan dinas ditetapkan dalam Keputusan Kepala Daerah. Selanjutnya dalam Keputusan Kepala Daerah tersebut juga diatur pendekatan penetapan biaya perjalanan dinas, baik lumpsum maupun at cost yang disesuaikan dengan sistem akuntabilitas/pertanggungjawaban keuangan yang dianut;

    (10) Dalam rangka penganggaran kegiatan yang pelaksanaannya lebih dari satu tahun anggaran (multiyears), maka untuk menjaga kepastian kelanjutan penyelesaian pekerjaan terlebih dahulu dibahas dan disetujui bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRK, dan masa waktu penganggaran dan pelaksanaannya dibatasi maksimum sama dengan sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan;

    (11) Berkenaan dengan upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, Kepala daerah dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna dapat meningkatkan kualitas sistem pengendalian internal dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, pada tingkat/lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta berupaya untuk memperbaiki opini atas Laporan Keuangan Daerah;

  • - 19 -

    - 19 -

    (12) Dalam rangka implementasi program percepatan pemberantasan korupsi, Kepala Daerah, menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik, meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya, dan bersama-sama dengan DPRK melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran keuangan negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hal ini sebagaimana telah diamanatkan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;

    (13) Dalam rangka melaksanakan kebijakan Nasional terkait dengan percepatan terhadap Program Penambahan 10 juta Sambungan Rumah Air Minum Tahun 2009 s/d 2013, pengarusutamaan gender dalam pembangunan di daerah, dan pemenuhan perumahan masyarakat yang layak huni seperti rumah susun, diminta agar SKPD mendukung kebijakan dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan daerah.

    Bagian Keempat

    Prinsip Belanja Daerah Pasal 7

    (1) Penyediaan Belanja Daerah diprioritaskan untuk optimalisasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi perangkat Daerah. Untuk itu peningkatan Belanja yang diusulkan oleh setiap SKPD/Pengguna Anggaran ditetapkan melalui strategi dan prioritas yang disepakati dalam Kebijakan Umum APBK 2010;

    (2) Belanja Daerah disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan, oleh karena itu dalam penyusunan APBK Tahun Anggaran 2010 supaya mengutamakan pada pencapaian hasil melalui program dan kegiatan (Belanja Langsung) dari pada Belanja Tidak Langsung;

    (3) Selanjutnya persetujuan atas program/kegiatan yang diusulkan oleh SKPD/Pengguna Anggaran hanya dapat disetujui bilamana memenuhi kriteria efektif, efisien dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja perangkat daerah.

    Bagian Kelima

    Prinsip Belanja Tidak Langsung Pasal 8

    (1) Belanja Pegawai a. Untuk mengantisipasi adanya kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, mutasi dan

    penambahan PNSD agar di perhitungkan acress yang besarnya dibatasi maksimal 2,5% dari jumlah belanja pegawai (gaji pokok dan tunjangan);

    b. Besarnya penganggaran gaji pokok dan tunjangan PNSD agar disesuaikan dengan hasil rekonsiliasi jumlah pegawai dan belanja pegawai yang sudah dilakukan dimasing-masing daerah dalam rangka perhitungan DAU Tahun Anggaran 2010 dan perhitungan rencana kenaikan gaji pokok dan tunjangan PNSD yang ditetapkan pemerintah;

    c. Untuk mengantisipasi pengangkatan CPNSD, pemerintah daerah menganggarkan belanja pegawai dalam APBK sesuai dengan kebutuhan pengangkatan CPNSD dan formasi pegawai tahun 2010;

  • - 20 -

    - 20 -

    d. Dalam upaya meningkatkan kinerja aparatur, daerah dapat memberikan tambahan penghasilan bagi PNSD/CPNSD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, yang didasarkan pada pertimbangan beban kerja, prestasi kerja, kondisi kerja, tempat bertugas, dan kelangkaan profesi yang dapat dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan;

    e. Apabila Daerah telah menganggarkan tambahan penghasilan dalam bentuk uang makan, tidak diperkenankan menganggarkan penyediaan makanan dan minuman harian pegawai dalam bentuk kegiatan;

    f. Dalam rangka efektifitas dan efesiensi pemanfaatan biaya pemungutan pajak daerah, pemerintah daerah dalam menganggarkan biaya pemungutan pajak daerah didasarkan atas rencana kebutuhan riil bagi aparat terkait dalam pemungutan pajak daerah dan jumlahnya dibatasi paling tinggi sebesar 5% dari target penerimaan pajak daerah tahun anggaran 2010.

    Pasal 9

    Penyediaan anggaran untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi PNSD agar berpedoman pada peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun serta Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam negeri Nomor 138/MENKES/PB/II/2009 tentang Pedoman Tarif Pelayanan Kesehatan bagi peserta PT.Askes (Persero) dan anggota keluarganya di Puskesmas, Balai Kesehatan Masyarakat dan Rumah Sakit Daerah, sedangkan untuk Asuransi jiwa bagi PNSD atau yang sejenis tidak diperkenankan dianggarkan dalam APBK, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 10 Penganggaran penghasilan dan penerimaan lain Pimpinan dan Anggota DPRK serta belanja penunjang kegiatan harus didasarkan pada : a. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang kedudukan Protokoler dan

    Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007;

    b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPRK serta Tata Cara Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional.

    Pasal 11

    Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempedomani ketentuan sebagai berikut : a. Penganggaran belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah didasarkan pada

    Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

    b. Biaya penunjang Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 yang semula tertulis Biaya Penunjang Operasional Kepala Daerah Kabupaten/Kota termasuk didalamnya Biaya Penunjang Operasional Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

  • - 21 -

    - 21 -

    Pasal 12

    Belanja Bunga Bagi daerah yang belum memenuhi kewajiban pembayaran bunga pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang supaya segera dianggarkan pembayarannya dalam APBK Tahun Anggaran 2010;

    Pasal 13

    Belanja Subsidi Belanja Subsidi hanya diberikan kepada perusahaan/lembaga agar harga produksinya terjangkau oleh masyarakat yang daya belinya terbatas. Produk yang diberi subsidi merupakan kebutuhan dasar dan menyangkut hajat hidup orang banyak serta terlebih dahulu dilakukan pengkajian agar tepat sasaran dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 14

    Belanja Hibah a. Pemberian Hibah untuk mendukung fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah

    yang dilakukan oleh pemerintah (instansi vertikal seperti TMD dan KPUD), Semi Pemerintah (seperti PMI, KONI, Pramuka, KORPRI dan PKK), pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, dapat dianggarkan dalam APBK;

    b. Dalam menentukan organisasi atau lembaga yang akan diberikan hibah agar dilakukan secara selektif dan rasional dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah;

    c. Terhadap pelaksanaan belanja hibah kepada pemerintah Instansi Vertikal supaya dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri up.Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan dan Menteri Keuangan setelah tahun Anggaran berakhir;

    d. Dalam menjalankan fungsi Pemerintah Daerah di bidang kemasyarakatan dan guna memelihara kesejahteraan masyarakat dalam rangka tertentu, Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada kelompok/anggota masyarakat yang dilakukan secara selektif, tidak mengikat dan diupayakan dalam penetapan besaran bantuannya sejalan dengan jiwa Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dalam arti jumlahnya dibatasi tidak melebihi batas toleransi untuk penunjukan langsung. Pemberian bantuan sosial harus didasarkan kriteria yang jelas dengan memperhatikan asas keadilan, transparansi dan memprioritaskan kepentingan masyarakat luas;

    e. Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah diupayakan agar jumlah alokasi anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dibatasi dan diperjelas format pertanggung jawabannya.

  • - 22 -

    - 22 -

    Pasal 15 Belanja Bagi Hasil Untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya disesuaikan dengan rencana pendapatan pada Tahun Anggaran 2010, sedangkan pelampauan target Tahun Anggaran 2009 yang belum direalisasikan kepada pemerintah daerah yang menjadi hak Kabupaten/Kota atau Pemerintah desa ditampung dalam Perubahan APBK Tahun Anggaran 2010.

    Pasal 16 Belanja Bantuan Keuangan a. Pemerintah Provinsi dalam menganggarkan bantuan keuangan kepada pemerintah

    kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan untuk mengatasi kesenjangan fiskal, membantu pelaksanaan urusan pemerintah kabupaten/kota yang tidak tersedia alokasi dananya. Pemberian bantuan keuangan dapat bersifat umum maupun bersifat khusus;

    b. Pemerintah kabupaten/kota diminta untuk dapat mengalokasikan bantuan keuangan kepada pemerintah desa dalam rangka menunjang fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa untuk percepatan/akselerasi pembangunan desa;

    c. Untuk penganggaran bantuan keuangan kepada partai politik agar mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.

    Pasal 17

    Belanja Tidak Terduga a. Dalam penetapan anggaran belanja tidak terduga agar dilakukan secara rasional

    dengan mempertimbangkan realisasi Tahun Anggaran 2009 dan estimasi kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidak dapat diprediksi, diluar kendali dan pengaruh pemerintah daerah, serta tidak biasa/tanggap darurat, yang tidak diharapkan berulang dan belum tertampung dalam bentuk program dan kegiatan pada Tahun Anggaran 2010;

    b. Penggunaan belanja tidak terduga dapat dibebankan secara langsung, yaitu untuk pengembalian atas kelebihan penerimaan tahun sebelumnya, atau dilakukan melalui proses pergeseran anggaran dari mata anggaran belanja tidak terduga kepada belanja langsung maupun tidak langsung sesuai dengan sifat dan jenis kegiatan yang diperlukan.

    Bagian Keenam

    Prinsip Belanja Langsung Pasal 18

    (1) Dalam merencanakan alokasi belanja untuk setiap kegiatan, harus dilakukan

    analisis beban kerja dan kewajaran biaya yang dikaitkan dengan output yang dihasilkan dari satu kegiatan, untuk mengindari adanya pemborosan;

  • - 23 -

    - 23 -

    (2) Terhadap kegiatan pembangunan yang bersifat fisik, proporsi belanja modal diupayakan lebih besar dibanding dengan belanja pegawai atau belanja barang dan jasa. Untuk itu, perlu diberikan batasan jumlah belanja pegawai dan belanja barang dan jasa yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik dan diatur dalam Peraturan Kepala Daerah.

    Pasal 19

    Belanja Pegawai a. Penganggaran honorarium bagi PNSD supaya dibatasi frekuensinya sesuai dengan

    kewajaran beban tugas PNSD yang bersangkutan. Dasar perhitungan besaran honorarium disesuaikan dengan standar yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah;

    b. Penganggaran honorarium Non PNSD hanya dapat disediakan bagi pegawai tidak tetap yang benar-benar memiliki peranan dan kontribusi serta yang terkait langsung dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan dimasing-masing SKPD termasuk narasumber/tenaga ahli diluar Instansi Pemerintah.

    Pasal 21

    Belanja Barang dan Jasa a. Penganggaran upah tenaga kerja dan tenaga lainnya yang terkait dengan jasa

    pemeliharaan atau jasa konsultasi baik yang dilakukan secara swakelola maupun dengan pihak ketiga agar dianggarkan pada belanja barang dan jasa;

    b. Dalam menetapkan jumlah anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan riil dan dikurangi dengan sisa barang persediaan Tahun Anggaran 2009. Untuk menghitung kebutuhan riil disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan;

    c. Penganggaran belanja perjalanan dinas daerah, baik perjalanan dinas luar negeri maupun perjalanan dinas dalam negeri, agar dilakukan secara selektif, frekuensi dan jumlah harinya dibatasi;

    d. Untuk perjalanan dinas dalam rangka kunjungan kerja dan studi banding agar dibatasi frekuensi dan jumlah pesertanya serta dilakukan sesuai dengan substansi kebijakan yang sedang dirumuskan, yang hasilnya dilaporkan secara transparan dan akuntabel;

    e. Penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan diluar kantor, workshop, seminar dan lokakarya agar dibatasi;

    f. Penganggaran untuk menghadiri pelatihan terkait dengan peningkatan SDM hanya diperkenankan untuk pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah atau lembaga non pemerintah yang bekerjasama dan telah mendapat akreditasi dari Instansi Pembina (Lembaga Administrasi Negara), sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

  • - 24 -

    - 24 -

    Bagian Ketujuh Prinsip Belanja Modal

    Pasal 21

    (1). Dalam menetapkan anggaran untuk pengadaan barang inventaris agar dilakukan secara selektif sesuai kebutuhan masing-masing SKPD. Oleh karena itu sebelum merencanakan anggaran terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris yang tersedia baik dari segi kondisi maupun umur ekonomisnya;

    (2). Penganggaran belanja modal tidak hanya sebesar harga beli/bangun aset tetap, tetapi harus ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset tetap tersebut sampai siap digunakan.

    Bagian Kedelapan

    Tata Cara Pemberian dan Pertanggungjawaban Belanja Tidak Terduga

    Pasal 22

    (1) Dasar pengeluaran anggaran belanja tak terduga yang dianggarkan dalam APBK untuk mendanai tanggap darurat, penanggulangan bencana alam dan/atau bencana sosial, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan diberitahukan kepada DPRK paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak keputusan dimaksud ditetapkan;

    (2) Pengeluaran belanja untuk tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) berdasarkan kebutuhan yang diusulkan dari instansi/lembaga berkenaan setelah mempertimbangkan efiensi dan efektifitas serta menghindari adanya tumpang tindih pendanaan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

    (3) Pimpinan instansi/lembaga penerima dana tanggap darurat bertanggungjawab atas penggunaan dana tersebut dan wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan kepada atasan langsung atau kepala daerah.

    Pasal 23

    (1) Pemberian subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan dilaksanakan atas dasar persetujuan kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau sekretaris daerah;

    (2) Penerimaan subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan bertanggungjawab atas penggunaan uang/barang dan/atau jasa yang diterimanya dan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaannya kepada kepala daerah melalui SKPD yang menyalurkannya.

    Bagian Kesembilan

    Mekanisme Penyaluran Belanja Subsidi, Bantuan Sosial dan Bantuan Keuangan Pasal 24

    Penarikan belanja tersebut dilampirkan dokumen sebagai berikut : a. proposal permohonan dana, akte notaris pendirian perusahaan/lembaga, hasil auditor

    (kecuali perusahaan/lembaga yang baru didirikan/diresmikan) dan perjanjian perikatan bagi hasil dari notaris, untuk jenis belanja subsidi;

  • - 25 -

    - 25 -

    b. proposal permohonan dana yang peruntukannya diuraikan secara spesifik untuk jenis belanja hibah;

    c. proposal atau surat permohonan dari kelompok/anggota masyarakat dan partai politik untuk jenis belanja bantuan sosial;

    d. proposal atau surat permohonan untuk bantuan keuangan umum ditambah arahan/penetapan penggunaan dan untuk bantuan keuangan bersifat khusus;

    e. proposal atau surat dari SKPD atau lembaga atau perorangan untuk belanja yang tersebut pada Pasal 18 dan ditambah bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan untuk belanja pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup didukung dengan bukti-bukti yang sah.

    Bagian Kesepuluh

    Pembiayaan Daerah Pasal 25

    (1). Penerimaan Pembiayaan : a. Dalam menetapkan anggaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran

    Sebelumnya (SiLPA), agar disesuaikan dengan kapasitas potensi riil yang ada untuk menghindari kendala pendaan pada belanja yang telah direncanakan;

    b. Dalam menetapkan anggaran penerimaan pembiayaan yang bersumber dari Pencairan Dana Cadangan, agar waktu penggunaan dan besarnya disesuaikan dengan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Dana Cadangan. Sedangkan akumulasi penerimaan hasil bunga/deviden dari dana cadangan dianggarkan pada lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;

    c. Pencantuman jumlah pinjaman dalam APBK disesuaikan dengan batas maksimal defisit APBK Tahun Anggaran 2010 yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam hal defisit APBK Tahun Anggaran 2010 melebihi batas maksimal dimaksud, dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

    (2). Pengeluaran Pembiayaan : a. Untuk menghindari terjadinya akumulasi pengembalian pokok pinjamam pada tahun

    tertentu yang akan membebani keuangan daerah, agar Pemerintah Daerah disiplin dalam mengembalikan pokok pinjaman dan biaya lain sesuai dengan jadwal yang direncanakan:

    b. Penyertaan modal yang dianggarkan dalam APBK didasarkan pada Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Daerah, sehingga tidak perlu setiap penganggaran dalam APBK dibuatkan Peraturan Daerah tersendiri;

    c. Untuk menganggarkan biaya cadangan, Pemerintah Daerah harus menetapkan terlebih dahulu Peraturan Daerah tentang Pembentukan Dana Cadangan yang mengatur tujuan pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahun dana cadangan yang harus dianggarkan yang ditransfer ke rekening dana cadangan, dan tahun pelaksanaan anggaran dana cadangan.

    (3). Sisa Lebih Pembiayaan Tahun Berjalan Untuk menghindari terjadinya dana yang menganggur (Idle money), maka diupayakan untuk menghindari adanya Sisa Lebih Pembiayaan Tahun Berjalan dalam APBK, dan apabila terdapat Sisa Lebih Perhitungan Tahun Berjalan supaya dalam perubahan APBK dimanfaatkan seluruhnya untuk mendanai kegiatan pada tahun anggaran berjalan.

  • - 26 -

    - 26 -

    Bagian Kesebelas

    Perencanaan Konstruksi Pasal 26

    (1). Perencanaan konstruksi merupakan tahap penyusunan rencana teknis (desain) bangunan, termasuk yang penyusunannya dilakukan dengan menggunakan disain berulang atau dengan disain prototipe sampai dengan penyiapan dokumen lelang;

    (2). Penyusunan rencana teknis bangunan dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa perencana konstruksi, baik perorangan ahli maupun badan hukum yang kompeten, sesuai ketentuan yang berlaku;

    (3). Rencana teknis disusun berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang disusun oleh pengelola proyek dan ketentuan teknis (pedoman dan standar teknis) yang berlaku;

    (4). Dokumen rencana teknis bangunan secara umum meliputi: a. Gambar-gambar rencana teknis bangunan, seperti rencana arsitektur, rencana

    struktur, dan rencana utilitas bangunan; b. Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) yang meliputi persyaratan umum,

    administrasi dan persyaratan teknis bangunan yang direncanakan; c. Rencana anggaran biaya pembangunan; d. Laporan akhir perencanaan, yang meliputi : laporan arsitektur, laporan perhitungan

    struktur dan laporan perhitungan utilitas; e. Keluaran akhir tahap perencanaan adalah dokumen pelelangan, yaitu Gambar

    Rencana Teknis, Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), Rencana Anggaran Biaya (Engineering Estimate), dan Daftar Volume (Bill Of Quantity) yang siap untuk dilelangkan;

    f. Penyusunan Kontrak Kerja Perencanaan Konstruksi dan Berita Acara Kemajuan Pekerjaan/Serah Terima Pekerjaan Perencanaan disusun dengan mengikuti ketentuan yang tercantum dalam Keppres tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk Teknis pelaksanaannya;

    (5). Tahap perencanaan konstruksi untuk bangunan gedung negara: - yang bertingkat diatas 4 lantai, dan/atau; - dengan luas total diatas 5.000 m, dan/atau; - dengan klasifikasi khusus, dan/atau; - yang melibatkan lebih dari satu konsultan perencanaan maupun pemborong,

    dan/atau; - yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyear project); diharuskan melibatkan penyedia jasa manajemen konstruksi, sejak awal tahap perencanaan.

    Bagian Kedua Belas Perencanaan Teknis/Design Kegiatan

    Pasal 27 (1). Setiap kegiatan yang akan diprioritaskan untuk tahun berikutnya, biaya

    perencanaannya harus telah diprogramkan pada tahun sebelumnya (T-1) kecuali untuk pekerjaan mendesak seperti bencana alam dan lain-lain dan biaya perencanaan disediakan lebih awal dari biaya konstruksi;

  • - 27 -

    - 27 -

    (2). Untuk kegiatan pekerjaan yang sifatnya berkelanjutan atau tahun jamak harus dibuat perencanaan induk yang lengkap, apabila terjadi perubahan harga/perubahan konstruksi dalam masa pelaksanaan maka Konsultan Perencanaan wajib menyesuaikan dan memberi rekomendasi terhadap pekerjaan tersebut;

    (3). Perencanaan pada prinsipnya dilaksanakan oleh Dinas Teknis dan apabila pada Dinas yang bersangkutan tidak tersedia tenaga teknis yang mampu untuk tugas tersebut maka dapat diminta bantuan Konsultant;

    (4). Untuk pekerjaan yang sifatnya rehab/pemeliharaan maka perencanaannya dilaksanakan oleh Dinas Teknis dan pembayarannya dilakukan dalam bentuk honor/insentif kepada petugas yang ditunjuk;

    (5). Untuk biaya Penyusunan RAB/Design dan Pengawasan yang dilaksanakan oleh Dinas Teknis ditetapkan sebagai berikut: - 2 % untuk biaya Pembuatan Design Perencanaan Teknis dari pagu anggaran yang tersedia/tercantum dalam DPA-SKPD;

    - 1 % untuk biaya Pengawasan dari owners estimate/RAB hasil perencanaan. (6). Besarnya biaya jasa perencanaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh Konsultan

    setinggi-tingginya (maksimal) adalah sebagaimana daftar terlampir dan melalui proses seleksi. (lihat lampiran 1)

    (7). Untuk biaya Penyusunan RAB/Design yang dananya merupakan bantuan perencanaannya dilakukan oleh Dinas Teknis/Jasa Konsultasi ditetapkan sebagai berikut: - 2 % untuk biaya Pembuatan Design Perencanaan Teknis dari pagu anggaran yang tersedia/tercantum dalam DPA-SKPD;

    - 1 % untuk biaya Pengawasan dari owners estimate/RAB hasil perencanaan. (8). Untuk biaya Penyusunan RAB/Design yang bersifat khusus atau yang tidak tercantum

    pada lampiran 1 ditentukan kemudian dengan persetujuan Kepala Daerah; (9). OE (Owner Estimete) atau harga perkiraan sendiri hendaklah dihitung sesuai dengan

    harga pasar yang berlaku sudah termasuk pajak dan keuntungan yang wajar; (10). Untuk biaya studi analisis survey dan pekerjaan yang belum ada pedoman harga

    satuan atau konstruksi khusus, besarnya biaya penyusunan perencanaan dihitung secara orang bulan (man month) sesuai ketentuan billing rate keahlian yang berlaku setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah;

    (11). Perencanaan yang dilaksanakan atas dasar konstruksi yang sama/perencanaan ulang (seperti gedung sekolah, puskesmas, pasar atau sejenisnya) pada lokasi yang berbeda maka pembayaran untuk perencanaan tersebut ditetapkan sebagai berikut : - Pengulangan pertama........................50 % dari biaya jasa perencanaan induk; - Pengulangan kedua dan seterusnya..25 % dari biaya jasa perencanaan induk.

    (12). Perencanaan yang dilaksanakan atas dasar konstruksi yang sama/perencanaan ulang (seperti gedung sekolah, puskesmas, panti, mobiler, rumah kaum dhuafa dan lain-lain) pada lokasi yang sama maka pembayarannya hanya diberikan pada satu unit perencanaan saja;

    (13). Penyusunan RAB/RAP haruslah benar-benar didasarkan pada hasil survey/perencanaan teknis langsung kelokasi dan bukan berdasarkan perkiraan semata sehingga tidak merugikan keuangan negara;

  • - 28 -

    - 28 -

    (14). Untuk kegiatan yang perencanaan teknisnya diserahkan pada Konsultan, sebelum pelaksanaan kegiatan dilakukan, Konsultan terlebih dahulu harus berkonsultasi dengan Dinas Teknis untuk memperoleh petunjuk-petunjuk teknis dan lain-lain yang dianggap perlu guna penyusunan rencana;

    (15). Perencanaan teknis hanya dilakukan oleh Instansi Teknis yang membidangi/menguasai disiplin bidang ilmu tersebut;

    (16). Rencana yang dipersiakan Konsultan tersebut, harus diteliti dan disetujui oleh Dinas Teknis sehingga semua target dan sasaran yang ditetapkan terangkum dalam rencana;

    (17). Untuk Perencanaan Teknis/Design yang dilaksanakan oleh Jasa Konsultansi diwajibkan memberi penjelasan teknis (Aanwijzing) kepada rekanan yang diundang dan memenuhi syarat untuk melakukan penawaran yang didampingi oleh Panitia Pelelangan/Pengadaan;

    (18). Jasa Konsultansi perencanaan yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian pengguna barang/jasa dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun kembali perencanaan dengan beban biaya sendiri atau tuntutan ganti rugi;

    (19). Untuk perencanaan/pengadaan/pembelian barang yang tidak tercantum dalam buku standar harga yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan;

    (20). Untuk perencanaan baik yang dilakukan oleh Dinas Teknis/Konsultan disamping adanya RAB dan gambar juga harus dilengkapi dengan spesifikasi teknis (bestek) termasuk data back up teknis yang lengkap (untuk pekerjaan berat);

    (21). Perencanaan kegiatan pada Dinas/Instansi harus mengacu pada dokumen perencanaan umum yang telah ditetapkan (RPJPD, RPJMD, RKPD, Repetada) dan bagi seluruh Dinas/Instansi wajib menyusun rencana kerja tahunan;

    (22). Perencanaan umum pembangunan daerah hanya berada pada Bappeda yang mempunyai tugas pokok dan fungsi tersebut, sedangkan perencanaan teknis ada pada unit kerja bersangkutan;

    (23). Sebagai bahan kelengkapan dokumen perencanaan sekaligus bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam memberikan rekomendasi persetujuan, maka setiap rencana kegiatan pembangunan fisik kontruksi hendaklah terinci besaran biaya yang dibutuhkan berdasarkan standar analisa dan harga yang berlaku yang tertuang dalam bentuk Rencana Anggaran Biaya (RAB);

    (24). RAB harus ditandatangani oleh Konsultan Perencana dan PPK serta diketahui oleh Dinas Teknis dan Kepala SKPD;

    Bagian Ketiga belas

    Pelaksanaan Konstruksi Pasal 28

    (1). Pelaksanaan konstruksi merupakan tahap pelaksanaan mendirikan, memperbaiki, dan atau memperluas bangunan gedung negara dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa pelaksana konstruksi, yang merupakan badan hukum yang kompeten;

    (2). Pelaksanaan konstruksi fisik dilakukan berdasarkan dokumen pelelangan yang telah disusun oleh perencana konstruksi, dengan segala tambahan dan perubahannya pada penjelasan pekerjaan waktu pelelangan serta ketentuan teknis (pedoman dan standar teknis) yang berlaku;

  • - 29 -

    - 29 -

    (3). Pelaksanaan pekerjaan konstruksi fisik harus memperhatikan kualitas masukan (bahan, tenaga, dan alat), kualitas proses (tata cara pelaksanaan pekerjaan), dan kualitas hasil pekerjaan, kecuali terjadi perubahan pekerjaan yang disepakati dan dicantumkan dalam berita acara, ketidak sesuaian hasil pekerjaan dengan rencana teknis yang telah ditetapkan harus dibongkar dan disesuaikan;

    (4). Pelaksanaan konstruksi fisik harus mendapatkan pengawasan dari penyedia jasa pengawas konstruksi atau penyedia jasa manajemen konstruksi;

    (5). Pelaksana pekerja konstruksi fisik juga harus memperhatikan ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang berlaku;

    (6). Keluaran akhir yang harus dihasilkan pada tahap ini adalah : a. Bangunan gedung negara yang sesuai dengan dokumen untuk pelaksanaan

    konstruksi; b. Dokumen pelaksanaan pembangunan, yang meliputi :

    1. Gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawings); 2. Semua berkas perizinan yang diperoleh pada saat pelaksanaan konstruksi fisik,

    termasuk Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB); 3. Kontrak pekerjaan pelaksanaan konstruksi fisik, pekerjaan pengawasan, beserta

    segala perubahan/addendumnya; 4. Laporan harian, mingguan, bulanan yang dibuat selama pelaksanaan konstruksi

    fisik, laporan akhir manajemen konstruksi/pengawasan, dan laporan akhir pengawasan berkala;

    5. Berita acara perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah/kurang, serah terima I dan II, pemeriksaan pekerjaan dan berita acara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik;

    6. Foto-foto dokumentasi yang diambil pada setiap tahapan kemajuan pelaksanaan konstruksi fisik;

    7. Manual pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung termasuk petunjuk yang menyangkut pengoperasian dan perawatan peralatan dan perlengkapan mekanika elektrikal bangunan.

    c. Dokumen Pendaftaran Bangunan Gedung Negara; (7). Penyusunan kontrak kerja konstruksi pelaksana berita acara kemajuan pekerjaan/serah

    terima pekerjaan pelaksanaan konstruksi maupun pengawasan konstruksi mengikuti ketentuan yang tercantum dalam Kepres tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk Teknis Pelaksanaannya.

    Bagian Keempat belas

    Pemeliharaan Konstruksi Pasal 29

    (1) Setelah pekerjaan selesai 100% (seratus persen) sesuai dengan yang tertuang dalam kontrak, penyedia barang/jasa mengajukan permintaan secara tertulis kepada pengguna barang/jasa untuk penyerahan pekerjaan.

    (2) Pengguna barang/jasa melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan, baik secara sebagian atau seluruh pekerjaan, dan menugaskan penyedia barang/jasa untuk memperbaiki dan/atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak.

    (3) Pengguna barang/jasa menerima penyerahan pekerjaan setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak.

  • - 30 -

    - 30 -

    (4) Penyedia barang/jasa wajib melakukan pemeliharaan atas hasil pekerjaan selama masa yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga kondisinya tetap seperti pada saat penyerahan pekerjaan dan dapat memperoleh pembayaran uang retensi dengan menyerahkan jaminan pemeliharaan.

    (5) Masa pemeliharaan minimal untuk pekerjaan permanen 6 (enam) bulan untuk pekerjaan semi permanen 3 (tiga) bulan dan masa pemeliharaan dapat melampaui tahun anggaran.

    (6) Setelah masa pemeliharaan berakhir, pengguna barang/jasa mengembalikan jaminan pemeliharaan kepada penyedia barang/jasa.

    Bagian Kelima belas

    Pendaftaran Bangunan Gedung Negara

    Pasal 30 (1) Dokumen pendaftaran bangunan gedung negara untuk pencatatan dan penetapan

    HDNO meliputi : a. Fotocopy Dokumen Pembiayaan/DIP (otorisasi pembiayaan); b. Fotocopy sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah; c. Kontrak atau Perjanjian Pemborongan; d. Berita Acara Serah Terima I dan II; e. As build drawings (gambar sesuai dengan yang dilaksanakan) disertai gambar leger; f. Fotocopy Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Surat Izin Penggunaan

    Bangunan (IPB) dalam Hal Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan mengharuskan adanya IPB.

    (2) Khusus untuk bangunan gedung negara yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN, maka prosedur pendaftarannya adalah sebagai berikut : a. Bila suatu proyek seluruhnya atau sebagian telah selesai, Pemimpin Proyek/Bagian

    Proyek harus segera menyerahkan proyek atau bangunan yang telah selesai dibangun berikut seluruh kekayaan kepada Departemen/Lembaga c.q Satminkal Eselon I yang bersangkutan melalui Kakanwil Departemen/Lembaga atau Direktur pada Direktorat yang bersangkutan selaku Sub Penguasa Barang dengan dibuatkan Berita Acara Serah Terima;

    b. Departemen/Lembaga c.q satminkal eselon I menyerahkan kepengurusan/pengelolaan/pemanfaatan bangunan tersebut kepada salah satu Pengurus Barang di lingkungannya dengan Berita Acara Serah Terima. Selanjutnya Pengurus Barang mendaftarkan bangunan tersebut dengan menggunakan Dokumen Pendaftaran yang telah disiapkan oleh Proyek Kepada Direktorat Bina Teknik Pemukiman dan Prasarana Wilayah;

    c. Untuk bangunan gedung Negara yang berada diluar Wilayah DKI Jakarta pendaftarannya melalui Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi/Dinas Pekerjaan Umum Provinsi/Dinas Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung sebagai bentuk penyelenggaraan tugas dekonsentrasi;

    d. Untuk pendaftaran bangunan Gedung Negara dari Pengurus Barang yang ada diluar DKI Jakarta, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi/Dinas Pekerjaan Umum Provinsi/Dinas Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung meneruskan pendaftarannya kepada Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen dan Prasarana Wilayah, dengan menyampaikan Dokumen Pendaftaran yang terdiri atas: daftar investaris,

  • - 31 -

    - 31 -

    kartu leger dan gambar leger sedangkan lampiran dokumen pendaftaran lainnya menjadi data/arsip instansi Teknik setempat;

    e. Tembusan pendaftaran bangunan gedung Negara oleh Pengurus Barang/Pengelola Barang, Pengurus Barang, juga disampaikan kepada Inspektur Jenderal Departemen/Pimpinan Bidang Pengawasan pada Lembaga Non Departemen/Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara yang bersangkutan serta Direktoral Jenderal Anggaran Departemen Keuangan;

    f. Bersadarkan data pendaftaran Bangunan Gedung Negara dari Pengurus Barang setiap Departemen/Lembaga, Direktoral Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah mendaftar Bangunan Gedung Negara tersebut dengan memberikan Huruf Daftar Nomor (HDNO);

    g. Untuk Bangunan Gedung Negara yang dibangun pada tahun-tahun anggaran yang lalu dan belum terdaftar, Pengurus Barang/Pengelola Bangunan Gedung Negara dari Departemen/lembaga yang bersangkutan wajib mendaftar Bangunan Gedung Negara tersebut;

    (3) Untuk Bangunan Gedung Negara yang sumber pembiayaannya bukan berasal dari APBN, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yan berlaku.

    Bagian Keenam belas

    Biaya Perencanaan Konstruksi Pasal 31

    (1) Biaya perencanaan dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan perencanaan proyek yang bersangkutan;

    (2) Berdasarkan nilai biaya perencanaan maksimum dihitung berdasarkan prosentase biaya perencanaan konstruksi terhadap nilai biaya konstruksi fisik bangunan yang tercantum dalam lampiran 1;

    (3) Untuk biaya perencanaan pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga satuan tertingginya (non standar), besarnya biaya perencanaan dihitung secara orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan billing rate yang berlaku;

    (4) Biaya perencanaan ditetapkan dari hasil pelelangan/pemilihan langsung, maupun penunjukan langsung yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak termasuk biaya untuk : a. Honororium tenaga ahli dan tenaga penunjang; b. Materi dan penggandaan laporan; c. Pembelian dan sewa peralatan; d. Sewa kendaraan; e. Biaya rapat-rapat; f. Perjalanan (lokal maupun luar kota); g. Jasa dan overhead perencanaan; h. Asuransi/pertanggungan (liability insurance) i. Pajak dan iuran daerah lainnya.

    (5) Pembayaran biaya perencanaan didasarkan pada pencapaian prestasi/kemajuan perencanaan setiap tahapnya yaitu (maksimum) : a. Tahap konsep rancangan 10% b. Tahap pra-rancangan 15% c. Tahap pengembangan rancangan 25%

  • - 32 -

    - 32 -

    d. Tahap rancangan 30% e. Tahap pelelangan 5% f. Tahap Pengawasan berkala 15%

    Bagian Ketujuh Belas

    Biaya Pengawasan Konstruksi Pasal 32

    (1) Biaya pengawasan dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan pengawasan proyek yang bersangkutan;

    (2) Besarnya nilai biaya pengawasan maksimum dihitung berdasarkan prosentase biaya pengawasan kontruksi terhadap nilai konstruksi fisik bangunan yang tercantum dalam lampiran 1;

    (3) Untuk biaya pengawasan pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga satuan tertingginya (non standar), besarnya biaya pengawasan dihitung secara orang bulan dan biaya langsung yang diganti, sesuai dengan ketentuan billing rate yang berlaku;

    (4) Biaya pengawasan ditetapkan dari hasil pelelangan/pemilihan langsung maupun penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak termasuk biaya untuk: a. Honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang; b. Materi dan penggadaan laporan; c. Pembelian dan atau sewa peralatan; d. Sewa kendaraan; e. Biaya rapat-rapat; f. Perjalanan (lokal maupun luar kota); g. Jasa dan overhead pengawasan; h. Asuransi/Pertanggungan (liability insurance); i. Pajak dan iuran daerah lainnya.

    (5) Pembayaran biaya pengawas dapat dibayarkan secara bulanan atau tahapan tertentu yang didasarkan pada pencapaian prestasi/kemajuan pekerjaan konstruksi fisik di lapangan atau penyelesaian tugas dan kewajiban pengawasan.

    Bagian Kedelapan belas Biaya Pengelolaan Proyek

    Pasal 34 (1). Biaya pengelolaan proyek dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan

    pengelolaan proyek dari proyek yang bersangkutan; (2). Besarnya nilai biaya pengelolaan proyek maksimum dihitung berdasarkan prosentase

    biaya pengelolaan proyek terhadap nilai biaya konstruksi fisik bangunan yang tercantum dalam lampiran 1 ;

    (3). Perincian penggunaan biaya penggelolaan proyek adalah sebagai berikut : a. Biaya operasional unsur Pemegang Mata Anggaran

    Biaya operasional unsur Pemegang Mata Anggaran adalah sebesar 65% dari biaya pengelolaan proyek yang bersangkutan untuk keperluan honorarium staf dan panitia lelang, perjalanan dinas, rapat-rapat, proses pelelangan, bahan dan alat yang berkaitan dengan pengelolaan proyek sesuai dengan pertahapannya, serta persiapan dan pengiriman kelengkapan administrasi/dokumen pendaftaran Bangunan Gedung Negara;

  • - 33 -

    - 33 -

    b. Biaya operasional unsur pengelola teknis - biaya operasional unsur Pengelola Teknis, adalah sebesar 35% dari Biaya

    Pengelolaan proyek yang bersangkutan yang dipergunakan untuk keperluan honorarium Pengelola Teknis, honorarium tenaga ahli (apabila diperlukan), perjalanan dinas, transport lokal, biaya rapat, biaya pembelian/penyewaan bahan dan alat yang berkaitan dengan proyek yang bersangkutan sesuai dengan pentahapannya;

    - Pembiayaan diajukan oleh instansi teknis setempat kepada pemimpin proyek/bagian proyek;

    c. Realisasi pembiayaan pengelolaan proyek dapat dilakukan secara bertahap sesuai kemajuan pekerjaan (persediaan perencanaan, dan pelaksanaan konstruksi).

    (4). Untuk pekerjaan yang ada di wilayah yang sukar pencapaiannya/sukar dijangkau transportasi (remote area), kebutuhan biaya untuk transportasi/perjalanan dinas dalam rangka survei, aanwijzing, pengawasan berkala, opename lapangan, koordinasi dan pengelolaan proyek ke lokasi proyek tersebut, dapat di ajukan sebagai biaya non standar, di luar prosentase biaya pengelolaan proyek, yang tercantum dalam lampiran 1;

    (5). Di dalam