RINGKASAN PIH

55
BAB I ARTI DAN TUJUAN HUKUM “ Saya melihat hukum, saya melihatnya dalam undang – undang” . Itulah pandangan ,,ontwikkelde leek” mengenai hukum. Baginya hukum itu sama dengan undang – undang. Baginya hukum adalah deretan pasal undang – undang yang tiada berkesudahan. Pandangan inilah yang menyebabkan ,,de ontwikkelde leek” berkata bahwa ilmu pengetahuan hukum membosankan. ,,Ontwikkelde leek” mempunyai pandangan yang buruk tentang hukum, tetapi dalam pandangannya terletak unsure kebenaran. Kita tidak melihat hukum dalam undang – undang, akan tetapi di dalamnya terlihat sesuatu tentang hukum, karena apa yang terlihat di dalam undang – undang, pada umumnya (tidak selamanya) hukum. Undang – undang ialah keputusan pemerintah, yang ditetapkan dengan mengingat bentuk – bentuk yang tertentu. Lalu tak dapatkah kita katakan hukum adalah seluruh peraturan tingkah laku yang ditetapkan oleh pemerintah ? Dalam hal ini kita menerima bahwa undang – undang dan hukum adalah sama. Tetapi ini tak boleh kita lakukan. Ditilik dari sudut sejarahpun sudah tidak tepat. Pergaulan hidup manusia mengenal waktu, dalam mana tidak terdapat undang – undang. Demikian halnya dengan bangsa Germania, pada abad – abad pertama sesudah nabi Isa. Tetapi tak seorangpun pernah mengatakan bahwa pada waktu itu tidak ada hukum. Di Inggris, masih ada statute law, yakni hukum yang dibentuk oleh pemerintah dan common law, yakni hukum yang tidak dibuat oleh pemerintah. Kita sendiripun mengenal hukum kebiasaan disamping hukum undang – undang. Jadi di luar undang – undang ada juga hukum. Dalam undang – undang, kita hanya melihat sebagian daripada hukum. ,,The man in the street” membantah bahwa hukum adalah sesuatu yang tak dapat dilihat dan tak dapat diraba. Jika ia mendengar perkataan hukum, seketika itu juga ia akan teringat akan gedung pengadilan, hakim, pengacara, jurisita, dan polisi. Pandangan ,,the man in the street” ini lebih baik daripada pandangan ,,de ontwikkelde leek” mengenai hukum. Pada umumnya hukum menjelma dalam peraturan umum, ia menentukan peraturan – peraturan yang harus

description

Ringkasan Pengantar Ilmu Hukum

Transcript of RINGKASAN PIH

Page 1: RINGKASAN PIH

BAB IARTI DAN TUJUAN HUKUM

“ Saya melihat hukum, saya melihatnya dalam undang – undang” . Itulah pandangan ,,ontwikkelde leek” mengenai hukum. Baginya hukum itu sama dengan undang – undang. Baginya hukum adalah deretan pasal undang – undang yang tiada berkesudahan. Pandangan inilah yang menyebabkan ,,de ontwikkelde leek” berkata bahwa ilmu pengetahuan hukum membosankan.

,,Ontwikkelde leek” mempunyai pandangan yang buruk tentang hukum, tetapi dalam pandangannya terletak unsure kebenaran. Kita tidak melihat hukum dalam undang – undang, akan tetapi di dalamnya terlihat sesuatu tentang hukum, karena apa yang terlihat di dalam undang – undang, pada umumnya (tidak selamanya) hukum.

Undang – undang ialah keputusan pemerintah, yang ditetapkan dengan mengingat bentuk – bentuk yang tertentu. Lalu tak dapatkah kita katakan hukum adalah seluruh peraturan tingkah laku yang ditetapkan oleh pemerintah ? Dalam hal ini kita menerima bahwa undang – undang dan hukum adalah sama. Tetapi ini tak boleh kita lakukan. Ditilik dari sudut sejarahpun sudah tidak tepat. Pergaulan hidup manusia mengenal waktu, dalam mana tidak terdapat undang – undang. Demikian halnya dengan bangsa Germania, pada abad – abad pertama sesudah nabi Isa. Tetapi tak seorangpun pernah mengatakan bahwa pada waktu itu tidak ada hukum.

Di Inggris, masih ada statute law, yakni hukum yang dibentuk oleh pemerintah dan common law, yakni hukum yang tidak dibuat oleh pemerintah. Kita sendiripun mengenal hukum kebiasaan disamping hukum undang – undang. Jadi di luar undang – undang ada juga hukum. Dalam undang – undang, kita hanya melihat sebagian daripada hukum.

,,The man in the street” membantah bahwa hukum adalah sesuatu yang tak dapat dilihat dan tak dapat diraba. Jika ia mendengar perkataan hukum, seketika itu juga ia akan teringat akan gedung pengadilan, hakim, pengacara, jurisita, dan polisi. Pandangan ,,the man in the street” ini lebih baik daripada pandangan ,,de ontwikkelde leek” mengenai hukum. Pada umumnya hukum menjelma dalam peraturan umum, ia menentukan peraturan – peraturan yang harus diikuti orang jika berhadapan satu sama lain dan ia memaksa orang – orang supaya mereka mengatur tingkah laku mereka sesuai dengan peraturan – peraturan tersebut.

Itulah yang diajarkan oleh pandangan hukum, sebagai yang menjelma di ruangan pengadilan. Hukum sebagai kekuasaan yang hidup, yaitu sebagai kekuasaan yang mengatur dan memaksa, akan tetapi juga sebagai kekuasaan yang senantiasa berkembang, bergerak, karena pengadilan selalu membentuk peraturan – peraturan baru. Jika kita pikirkan, maka terasalah bahwa hukum tak terbatas melainkan terdapat dimana – mana dan pergaulan hidup sebagai masyarakat yang teratur adalah penjelmaan hukum.

Hukum ditilik secara abstrak dapat disebut gejala universal sebagai juga halnya dengan bahasa. Akan tetapi isi hukum tidak sama dimana – mana, tidak ada hukum dunia, begitu pula tidak ada bahasa dunia. Hukum tumbuh semata – mata karena kebiasaan rakyat dan peradilan rakyat. Untuk tiap – tiap masa, peradilan merupakan factor yang penting mengenai pembentukan hukum pada waktu perundang – undangan belum memegang peranan.

Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Pikiran itu, yang diucapkan dalam salah satu prolog dari hukum rakyat ,,Franka Salis”, lex Salica (kira – kira 500 tahun SM), zaman dahulu sangat berpengaruh dalam hidup bangsa – bangsa Germania.

Page 2: RINGKASAN PIH

Apa yang kita sebut tertib hukum mereka sebut damai (vrede). Keputusan hakim disebut vredeban (vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak damai (vredeloos), yaitu dikeluarkan dari perlindungan hukum.

Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan – kepentingan manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dsb. terhadap yang merugikannya.

Hukum hanya dapat mencapai tujuan jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingan – kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Demikian keadilan yang telah diuraikan oleh Aristoteles.

Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap – tiap orang memperoleh bagian yang sama. Aristoteles mengenal dua macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan commutatief . Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Sebagai contoh, bila pasal 5 dari Undang – undang Dasar Belanda mengatakan “ Tiap – tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap – tiap jabatan”, maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan berarti bahwa jabatan – jabatan harus diberikan pada mereka yang berdasarkan jasa – jasanya patut memperolehnya.

Keadilan commutatief ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa – jasa perseorangan. Ia memegang peranan dalam tukar – menukar, pada pertukaran barang – barang dan jasa – jasa, dimana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.Ia lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus. Keadilan distributief terutama menguasai hubungan antara masyarakat, khususnya Negara dengan perseorangan khusus.

Ada teori yang mengajarkan bahwa hukum semata – mata menghendaki keadilan. Teori – teori yang mengajarkan hal tersebut disebut teori – teori yang ethis karena menurut teori – teori itu, isi hukum semata – mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori – teori tersebut berat sebelah. Ia melebih – lebihkan kadar keadilan hukum karena ia tak cukup memperhatikan keadaan sebenarnya. Hukum menetapkan peraturan – peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang – orang dalam pergaulan hidup. Jika hukum semata – mata menghendaki keadilan, jadi semata – mata mempunyai tujuan member setiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan – peraturan umum. Dan yang terakhir inilah yang harus dilakukan. Adalah syarat baginya untuk dapat berfungsi. Tertib hukum yang tak mempunyai peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis, tak mungkin. Tak adanya peraturan umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh – sungguh, mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan itu selalu akan menyebabkan perselisihan antara orang – orang, jadi menyebabkan keadaan yang tiada teratur dan bukan keadaan yang teratur.

Jadi hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan, keadilan menuntut supaya setiap perkara harus ditimbang tersendiri.

Dalam hukum terdapat bentrokan yang tak dapat dihindarkan, pertikaian yang selalu berulang antara tuntutan – tuntutan keadilan dan tuntutan – tuntutan kepastian hukum. Makin banyak hukum memenuhi syarat ,,peraturan yang tetap”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius, summa iniuria yang berarti keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi. Jadi hukum terpaksa harus mengorbankan keadilan sekedarnya guna

Page 3: RINGKASAN PIH

kepentingan daya guna, ia terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan terdapat sejumlah besar peraturan – peraturan yang malahan melindungi ,,bezitter” hingga batas yang tertentu terhadap ,,eigenaar” untuk kepentingan perdamaian dalam masyarakat. Itu patut kita sesalkan, akan tetapi tak dapat kita mengubahnya, hukum adalah buatan manusia dan sebagai demikian tidak sempurna.

Sumber hukum Fries dari abad menengah (von Richthofen, Friesische Rechtsquellen, hal 435) memberikan jawaban atas pertanyaan : “ apakah hukum itu ? “ sebagai berikut : Erlykera tinga reda, treftlykera tingh bieda, urbieda dat unriucht, hinzia moetlykera ting, ende aec behliven oenmoetlykera tingh, truch fruchta des era ”, yakni : memerintahkan apa yang patut, menyuruh apa yang baik, melarang apa yang tidak adil, membolehkan apa yang adil dan kadang – kadang juga apa yang tidak adil, karena takut akan hal – hal yang lebih buruk.

Geny mengajarkan bahwa tujuan hukum ialah semata – mata keadilan, akan tetapi merasa terpaksa juga memasukan pengertian kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai sesuatu unsure dari pengertian keadilan.

Jadi jika teori – teori tersebut, menurut mana hukum tak mempunyai tujuan yang lain daripada mewujudkan keadilan, berat sebelah dan bertentangan dengan keadaan sebenarnya, sebaliknya berat sebelah jugalah ajaran, bahwa hukum semata – mata menghendaki hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (teori – teori utilistis). Ajaran tersebut terutama dirumuskan sebagai berikut : hukum ingin menjamin kebahagian yang terbesar untuk jumlah manusia yang terbesar. Pandangan ini bercorak sepihak karena hukum barulah sesuai dengan daya guna atau berfaedah jika ia sebanyak mungkin mengejar keadilan. Jadi tujuan hukum adalah : tata tertib masyarakat yang damai dan adil. Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti menyamakan hukum dengan kekuasaan.

BAB II HUKUM SEBAGAI KAIDAH DAN SEBAGAI KEBIASAAN

Kita telah menyetujui pada uraian sebelumnya bahwa hukum terdiri atas peraturan – peraturan tingkah laku atau kaidah – kaidah. Namun, pada kedua abad terakhir timbul pertentangan. Di Jerman, George Frenzel-lah dalam “ Recht und Rechtssatze “ mempertikaikan bahwa hukum terdiri atas kaidah – kaidah.

Empat tahun yang lalu anggapan yang sama telah dibela oleh ahli hukum Belanda, mahaguru di Utrecht, H. J. Hamaker, dalam karangannya “ Het recht en de maatschappij “. Ia mengajarkan bahwa pengertian – pengertian hukum kita tidak lain daripada ringkasan ilmu pengetahuan kita tentang cara, bagaimana kita sendiri dan orang lain bertindak, bahwa hukum adalah bayangan pantulan dari hidup kemasyarakatan manusia.

Menurut Hamaker, hukum bukan keseluruhan peraturan yang menetapkan bagaimana orang seharusnya bertindak satu sama lain, melainkan ia terdiri atas peraturan – peraturan menurut mana pada hakekatnya orang – orang biasanya bertingkah laku dalam masyarakat.

Ajaran yang bersamaan terlihat juga pada Ignatz Kornfeld. Sedangkan Eugene Ehrlich mengambil pandangan tengah. Menurut beliau, ada dua macam hukum :

1. Entscheidungsnormen, yaitu peraturan – peraturan yang terbentuk oleh perundang – undangan atau praktek yang digunakan oleh hakim sebagai dasar dalam keputusannya

2. Gewohnheitsrecht atau Tatsachen des Gewohnheitsrecht

Page 4: RINGKASAN PIH

Karena tidak satupun dari kedua pandangan dapat dikatakan salah, masing – masing dipandang tersendiri hanyalah pincang sebelah. Hukum adalah kaidah atau peraturan – peraturan tingkah laku dan adalah kebiasaan masyarakat. Untuk ahli hukum praktek, hakim, pengacara, hukum adalah sesuatu peraturan, sesuatu suruhan atau larangan.

BAB IIIHUKUM DAN KAIDAH – KAIDAH ETIKA LAINNYA

A. Hukum dan Adat Dibedakan dari Kesusilaan dan Agama

Kesusilaan menyangkut manusia sebagai perseorangan, hukum, dan adat menyangkut masyarakat. Kesusilaan member peraturan untuk seseorang. Hukum dan adat ditujukan pada manusia sebagai makhluk masyarakat. Ia tidak menghendaki kesempurnaan manusia, melainkan kesempurnaan masyarakat.

I. Antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, terutama terdapat perbedaan tujuan. Tujuan hukum ialah tata tertib masyarakat yang baik, sedangkan tujuan kesusilaan ialah penyempurnaan seseorang.

II. Selain perbedaan dalam tujuan , terdapat perbedaan lainnya yang lebih mengenai isinya. Hukum dan adat yang menghendaki peraturan masyarakat yang baik, memberikan peraturan – peraturan untuk perbuatan – perbuatan lahir manusia. Kesusilaan yang ditujukan pada kesempurnaan seseorang, pertama – tama tidak mengindahkan sikap bati yang menimbulkan perbuatan – perbuatan itu. Perbedaan ini pertama – tama ditujukan oleh Immanuel Kant.

Tetapi tidaklah tepat kalau kita mengatakan bahwa bagi hukum hanya berlaku perbuatan lahir dan pada kesusilaan hanya berlaku kehendak baik di dalam batin. Di satu sisi perbuatan – perbuatan juga mempunyai nilai kesusilaan. Namun di sisi lain hukum memang memperhatikan maksud baik yang menimbulkan perbuatan itu.

Akan tetapi perbedaan antara hukum dan kesusilaan ialah bila tingkah laku lahir seseorang sesuai dengan peraturan hukum, maka hukum tak menanyakan kehendak baiknya. Hukum merasa puas dengan tingkah laku lahir yang sesuai dengan peraturannya. Sebaliknya kesusilaan selalu menghendaki kehendak baik, tak pernah puas dengan tingkah laku lahir belaka.

III. Juga terdapat perbedaan antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, perbedaan yang mengenai asal – usul kaidahnya. Perbedaan tersebut oleh Kant dirumuskan sebagai berikut : kesusilaan adalah otonom, hukum adalah heteronom. Dalam hukum, kekuasaan dari luarlah yang meletakan kemauannya pada kita. Sebaliknya susila ada;ah suatu tuntutan yang dilakukan orang terhadap dirinya sendiri. Hukum menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik. Sedangkan kesusilaan menghendaki kesempurnaan diri seseorang.

IV. Hukum dan adat sebagai peraturan tingkah laku dapat dibedakan dari kesusilaan juga dalam cara bagaimana orang menjaminnya agar ia diikuti. Kesusilaan berakar dalam suara hati manusia, jadi timbul dari kekuasaan batin, kekuatan di dalam manusia. Kekuasaan itu tidak asing bagi hukum, sebaliknya memegang peranan yang utama. Dasar kekuasaan susila dari hukum itu bisa beragam ragam. Suatu kemungkinan ialah, bahwa isi peraturan – peraturan hukum berpatutan dengan keyakinan susila. Kekuasaan hukum sendiri mempunyai dua sifat yaitu, kekuasaan susila dan kekuasaan lahir dan itulah yang dikenang oleh de Groot, yang

Page 5: RINGKASAN PIH

membedakan adanya kekuatan mengikat lahir dan kekuatan mengikat batin.

V. Antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada lain pihak masih terdapat perbedaan dalam daya kerjanya. Hukum dan adat mempunyai dua daya kerja. Ia memberikan kekuasaan dan meletakan kewajiban. Ia serentak normative dan atributif. Kesusilaan hanya meletakkan kewajiban. Ia semata – mata bersifat normative. Hukum dan adat menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik dan meletakkan atas diri manusia kewajiban – kewajiban untuk kepentingan sesame manusia, jadi untuk mereka yang memperoleh hak – hak dari kewajiban – kewajiban itu. Kesusilaan yang menghendaki kesempurnaan individu menunjukan peraturan – peraturannya kepada manusia sebagai individu untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Agama dalam arti sempit adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Hubungan itu mengandung kewajiban – kewajiban terhadap Tuhan sebagai cinta terhadap Tuhan, dan percaya kepada Tuhan. Tetapi hubungan antara Tuhan dan manusia membawa juga kewajiban untuk menuruti kehendak Tuhan. Karena itu maka agama meliputi lapangan yang lebih luas daripada semata – mata hubungan antara Tuhan dan manusia. Berdasar kewajiban menuruti kehendak Tuhan itu, maka manusia menganggap dirinya terikat untuk melakukan perintah. Demikianlah agama memperoleh sifat kesusilaan keagamaan, dimana manusia dalam batinnya merasa terikat berdasarkan hubungannya dengan Tuhan.

B. Hukum dan Adat

Adat adalah segala peraturan tingkah laku yang tidak termasuk lapangan hukum, kesusilaan, dan agama. Adat berarti apa yang lazim dipakai. Terdapat hubungan yang erat antara adat dan kebiasaan. Yang pertama tumbuh dari yang terakhir. Jika dalam lingkungan yang tertentu sesuatu terjadi berulang – ulang, maka disana timbulah pandangan bahwa seharusnyalah demikian. Ini adalah kekuasaan kebiasaan atau apa yang biasa, acapkali diangkat menjadi kaidah.

Menarik batas antara hukum dan adat adalah sukar. Hukum dan adat menpunyai persekutuan :

1. Bahwa ia ditujukan pada manusia sebagai makhluk social2. Bahwa ia puas dengan tingkah laku lahir dan tidak menanyakan kehendak

baik yang mendukung tingkah laku itu.3. Bahwa sifatnya heteronom, karena diletakkan atas diri kita oleh masyarakat

atau lingkungan dalam mana kita hidup.4. Bahwa ia member hak – hak menuntut sesuatu tingkah laku sesuai dengan

peraturan – peraturannya.Adat juga merupakan peraturan yang dapat dipaksakan. Adat sebagai juga

hukum, mempunyai alat alat pemaksa lahir dengan kata lain hukuman seperti menegur, mengejek, memandang sepi dsb.

Perbedaan antara hukum dan adat tidak begitu saja terletak pada paksaan, melainkan terletak pada kekuasaan darimana paksaan itu timbul. Pada peraturan – peraturan adat, paksaan itu datangnya dari setiap orang yang merasa dipanggil untuk melakukan paksaan tersebut.

Sebaliknya terhadap hukum, paksaan dilakukan oleh masyarakat yang teratur atau badan – badannya, yakni pemerintah. Sifat – sifat hukum ialah bahwa jika tidak diikuti, ia dapat dijalankan juga oleh pemerintah. Karena paksaan pemerintah itulah, maka hukum berbeda dari adat.

Perbedaan antara hukum dan adat pada pokoknya bersifat formil, bukan materil karena tidak menyatakan sesuatu tentang isi hukum, melainkan memberikan cirri lahir, cirri yang mengenai cara pelaksanaan peraturan – peraturan hukum.

Page 6: RINGKASAN PIH

Dengan kata lain ia hanya berdasarkan pengertian hukum. Isi hukum, demikian juga isi adat berubah – ubah menurut tempat dan waktu. Satu – satunya sifat hukum yang tetap ( mengenai isinya ) adalah sifat berubah – ubahnya. Paksaan yang teratur adalah sesuatu sifat dari hukum pada umumnya, dari tertib hukum, tetapi bukan sifat dari tiap – tiap peraturan hukum.

C. Hubungan antara berbagai Golongan Kaidah – Kaidah Etika

Hukum pada satu pihak, kesusilaaan, agama dan adat pada lain pihak dapat dibeda – bedakan, akan tetapi pemisahan antara golongan – golongan kaidah tersebut tidak ada. Sebenarnya memang ada hubungan yang rapat antara berbagai golongan kaidah etika. Isi tiap – tiap golongan menjalankan pengaruh yang kuat terhadap isi golongan – golongan lain. Antara lain, pandangan agama dan kesusilaan yang terus menerus mempengaruhi hukum. Hukum untuk sebagian besar adalah kesusilaan positif yang diperlukan oleh pemerintah dan kesusilaan ini di negeri Belanda didasarkan pada agama Kristen.

Kaidah – kaidah etika yang beragam itu saling memperkuat daya masing – masing. Peraturan – peraturan hukum diikuti tidak semata mata bersandar pada kekuasaan yang memaksa dari pemerintah, melainkan juga bersandar pada hal bahwa banyak orang merasa terdorong mengikutinya berdasarkan agama atau kesusilaan. Menurut Rudolf von Ihering, mempertahankan hak adalah kewajiban susila.

BAB IVHUKUM OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF

Hukum adalah kekuasaan yang mengatur dan memaksa. Ia mengatur hubungan – hubungan yang ditimbulkan oleh pergaulan masyarakat manusia (hubungan yang timbul dari perkawinan, keturunan, kerabat darah, ketetanggaan, tempat kediaman, kebangsaan dsb.). Hubungan yang diatur oleh hukum sedemikian itu kita namakan hubungan hukum. Tiap – tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, pada satu pihak ia merupakan hak dan pada pihak lain ia merupakan kewajiban.

Hubungan hukum yang demikian disebut juga hukum. Kita biasa memakai perkataan hukum dalam dua arti.

a. Untuk menyatakan peraturan (atau kaidah) yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih, atau disebut hukum obyektif karena berlaku untuk umum.

b. Untuk menyatakan hubungan yang diatur oleh hukum obyektif berdasrkan mana yang satu mempunyai hak, yang lain mempunyai kewajiban terhadap sesuatu. Hukum dalam arti itu kita sebut hukum subyektif, karena dalam hal ini hukum dihubungkan dengan seseorang yang tertentu, sesuatu subyek tertentu.Walaupun hukum obyektif dan subyektif dapat dibedakan, tetapi ia tak dapat

dipisahkan. Ada hubungan yang erat antara keduanya.Hukum obyektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan dengan

seseorang yang tertentu dan dengan demikian menjadi hak, resp. kewajiban. Dengan kata lain, hukum subyektif timbul jika hukum obyektif beraksi, karena hukum obyektif yang beraksi itu melakukan dua pekerjaan, pada satu pihak ia memberikan hak dan pada lain pihak ia meletakkan kewajiban. Kedua unsure tersebut, yakni pada satu pihak yang diberikan oleh hukum obyektif, pada pihak lain kewajiban yang mengikutinya, kita jumpai pada setiap hubungan hukum.

Biasanya orang mengajarkan : hukum subyektif ialah hak yang diberikan oleh hukum obyektif. Ajaran itu bukanlah salah seluruhnya, melainkan bersifat sepihak karena ada tiga perkara penting yang tidak diperhitungkan.

Page 7: RINGKASAN PIH

I. Tampil ke mukanya hak atau wewenang, artinya segi aktif dari hubungan hukum menyebabkan bahwa adat bahasa biasanya menyatakan segi yang aktif itu sebagai hak (subyektif). Sebenarnya hukum subyektif adalah suatu hubungan yang diatur oleh hukum obyektif, berdasarkan mana yang satu mempunyai kewajiban. Dalam banyak hubungan hukum dikedua pihak terdapat hak, jadi juga pada kedua pihak terdapat kewajiban yang berhubungan dengan hak tersebut.

II. Ditinjau dari segi lain, hukum subyektif adalah lebih dari hanya hak belaka. Hukum obyektif tidak hanya mengatur, akan tetapi juga memaksa. Dengan demikian berdirilah di belakang hukum subyektif kekuasaan yang memaksa dari hukum obyektif. Ia tidak hanya memberikan hak, melainkan juga alat – alat untuk menjalankannya. Kepada hukum subyektif ia menghubungkan tuntutan hukum atau aksi, yaitu hak untuk meminta bantuan hakim, untuk mempertahankan hukum subyektif. Hukum subyektif sebagai juga hukum obyektif adalah kekuasaan. Ia adalah hubungan kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif.

III. Hak – hak yang diberikan oleh hukum subyektif dapat berbentuk dua. Pertama – tama ia dapat terdiri atas hak untuk menuntut agar orang lain bertindak, artinya bebrbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Kebalikannya adalah kewajiban dari orang lain untuk bertindak. Hukum subyektif juga dapat terdiri atas hak untuk bertindak sendiri. Hak yang diberikan oleh hukum subyektif untuk yang berhak, dalam itu juga dapat merupakan kewajiban atau membawa kewajiban untuk dirinya sendiri. Akhirnya harus diperhatikan bahwa tidak setiap hak yang dilindungi hukum obyektif selalu disebut hukum subyektif.

Hukum subyektif seseorang adalah dasar dari tertib hukum dan pengertian fungsi social adalah dasar dari tertib hukum pada masa ini, dan harus menggantikan pengertian hukum subyektif. Tetapi pengertian hukum subyektif tidak dapat kita singkirkan karena ia merupakan lanjutan yang perlu bagi pengertian hukum obyektif.

Dalam pengertian hukum subyektif, tidak ada sesuatu yang anti social, seperti dikatakan oleh Duguit karena bahwa seseorang mempunyai hak, itu tidak menutup kemungkinan bahwa orang lainpun mempunyai hak dan bahwa masyarakatpun mempunyai hak terhadap individu.

BAB VHUKUM DAN KEKUASAAN

Hukum obyektif adalah kekuasaan yang bersifat mengatur, hukum subyektif adalah kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif. Hukum adalah kekuasaan. Lalu bagaimanakah hukum dapat memenuhi tugasnya dalam masyarakat ?

Tugas hukum itu adalah mengatur tata tertib dan memberi batas – batas kepada lingkungan – lingkungan kekuasaan perseorangan agar kepentingan – kepentingan mereka yang bertentangan tidak mengakibatkan peperangan segala orang melawan segala orang, sehingga kekuasaan atau kemerdekaan setiap orang terancam dengan kemusnahan, karena walaupun orang bagaimana juga kuatnya, namun pada suatu masa ia akan menjumpai seseorang yang lebih kuat darinya. Tatanan tata tertib dan pembatasan tadi bermaksud juga menjaga keseimbangan antara kepentingan – kepentingan yang saling bertentangan dan demikian dapatlah disesuaikan kekuasaan atau kemerdekaan dari yang satu dengan kekuasaan atau kemerdekaan yang lain.

Page 8: RINGKASAN PIH

Kekuasaan yang demikian adalah hukum dimana seolah – olah termasuk kekuatan – kekuatan fisik dan batin dari seluruh masyarakat. Tepatlah jika kekuasaan itu disebut sebagai alat bernafas dari setiap masyarakat.

Hukum adalah kekuasaan, tetapi ini tidak berarti bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka, tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. Bahkan kekuasaan dan hukum itu saling kita hadapkan sebagai suatu pertentangan. Kekuasaan disebut orang hukum karena perkataan hukum mempunyai bunyi yang lebih tampan.

Pada abad ke-19, ajaran bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan banyak mempunyai pengikut. Lassalle membelanya dalam pidatonya yg termashur : Uber Verfassungswessen . Menurut beliau, konstitusi suatu Negara bukanlah undang – undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan – hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu Negara. Alat – alat kekuasaan yang utama, yang bersifat menentukan diantara segala alat – alat kekuasaan menurut beliau adalah tentara. Raja mempunyai kekuasaan member perintah agar tentara bergerak. Sebagian konstitusi selajutnya adalah kaum bangsawan, banker – banker yang kaya, para penguasa industry besar, karena mereka mempunyai pengaruh atas pemerintahan dan demikian dapat menggerakkan tentara dan meriam.

Sebaliknya, hanya sebagai kekecualian, yakni dalam hal – hal yang luar biasa (yakni waktu revolusi) para pekerja dan orang kecil merupakan bagian daripada konstitusi. Juga seorang ahli hukum Negara dan sosiolog.

Hukum bersandar pada penaklukan yang lemah oleh yang lebih kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.

Aliran yang kini masih dianuti oleh banyak orang ( yang disebut aliran positivistis) bahwa segala peraturan yang diberikan oleh kewajiban itu bukan hanya para penentang dari ajaran ini, melainkan juga para pengikutnya sendiri menarik kesimpulan bahwa menurut pandangan itu kepatuhan kepada hukum itu tak lain daripada tunduknya orang – orang yang lebih lemah pada kehendak orang – orang yang lebih kuat. Jadi hukum adalah hak orang yang terkuat.

Segala pandangan tersebut memuat unsure kebenaran, tetapi sedikit banyak bersifat sepihak dan semuanya bertentangan dengan ,,dem unausrottbaren Gehful der Unterscheidlichkeit von Recht und Macht” (Radbruch). Siapa yang hendak mencoba member penyelesaian tentang masalah yang rumit mengenai hubungan antara hukum dan kekuasaan, harus mulai dengan mempertanggungjawabkan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan kekuasaan.

Hukum juga termasuk kekuasaan – kekuasaan susila (yang semuanya saling mempengaruhi dan saling mempengaruhi juga dengan kekuasaan yang lain yang bekerja dalam masyarakat) yang biasanya juga tak lain daripada kesusilaan dan adat yang dikuatkan oleh pemerintah. Dan bila hukum kita namakan kekuasaan, maka pertama – tama kita mengingat kekuasaan susila dari hukum, jadi kekuasaan yang dilakukan terhadap suara hati manusia. Dengan kata lain, kita mengingat fakta bahwa pada umumnya anggota – anggota persekutuan hukum merasa wajib taat pada hukum.

Kekuasaaan materiil itu bukanlah unsure yang hakiki dari hukum, apalagi unsure yang esensiil daripadanya, melainkan sesuatu yang biasanya (tidak selamanya) menjadi tambahan : sesuatu accessories, bukan bagian dari hukum. Kekuasaan susila adalah unsure yang esensiil dari hukum, kekuasaan yang diperoleh kaidah – kaidah hukum dari nilai yang diberikan oleh masyarakat padanya dan berdasarkan hal mana biasanya kaidah – kaidah itu dapat mengharapkan penaatan dengan sukarela oleh anggota – anggota persekutuan hukum. Ini tentu tidak berarti bahwa setiap peraturan hukum harus diselidiki, adakah ia, menurut isinya, beaker

Page 9: RINGKASAN PIH

pada kesadaran susila atau kesadaran hukum dari bangsa itu, untuk mengetahui adakah ia benar – benar kaidah hukum.

Inilah tujuan hukum, dengan kata lain bahwa hukum dan kekerasan paksa adalah saling bertentangan dan bahwa kekerasan harus tunduk pada hukum adalah pikiran yang telah meresap dalam pikiran pembentuk undang – undang dan pujangga sejak dahulu kala. Jadi peraturan – peraturan yang berasal dari kekuasaan yang tak bersandar pada conscientie rakyat, melainkan yang semata – mata didasarkan pada alat kekuasaan materiil dan apalagi terlepas dari setiap kekuasaan susila bukanlah hukum.

Acapkali terbentuk tata tertib hukum yang baru oleh revolusi karena di sinipun kekuasaan mematahkan hukum dan menciptakan hukum yang baru. Revolusi dapat disertai atau tidak oleh pemakaian alat – alat kekuasaan meteriil, kekuasaan. Tetapi kekuasaan revolusi hanya menciptakan hukum jika ia bersandar pada pertimbangan susila dari sesuatu bangsa dan bila hukum yang ada itu telah kehilangan sandaran itu maka hukum itu kehilangan sifat hukumnya dan diturunkan sehingga derajat kekuasaan belaka. Karena itulah revolusi berarti kemenangan kekuasaan susila atas kekuasaan fisik, maka barulah kemenangannya mungkin menjadi kekal. Pada akhirnya, kata Hume , kekuasaan selalu terletak pada orang yang diperintah.

Teranglah bahwa hukum dapat timbul dari kekuasaan, juga dari dari kekuasaan fisik asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan susila, kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang. Kekuasaan bangsa Romawi member contoh yang terindah. Kekuasaan susila tersebut melakukan hukum karena ia bercita – citakan keadilan, artinya bercita – cita menberi pada tiap – tiap orang apa yang menjadi bagiannya. Itu juga yang dipahami oleh bangsa Romawi : Justitita est constans et perpetua voluntas ius suum cuiqe tribues, yakni keadilan adalah kehendak yang tetap dan tak ada akhirnya, untuk member pada tiap – tiap orang apa yang menjadi haknya. Dan : Juris praecepta sunt haec : honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere, yakni peraturan – peraturan dasar dari hukum adalah : hidup dengan patut, tak merugikan orang lain, member pada orang lain apa yng menjadi bagiannya.

Hukum adalah kekuasaan, yakni kekuasaan yang bercita – citakan keadilan. Saya katakana bercita – cita karena keadilan yamg sungguh – sungguh tak dapat dicapai hukum :

1. Karena hukum terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya untuk tujuannya, jadi hukum bersifat kompromi.

2. Karena manusia (hukum adalah buatan manusia) tak dikaruniai Tuhan mengetahui apa yang adil dan tidak adil dalam arti mutlak. Dengan kata lain, di sini berlaku kekuasaan kebiasaan. Dimana tiap – tiap

orang mencuri, di sana tak ada pencuri. Karena kekuasaan kebiasaan, maka hubungan kekuasaan – hubungan yang lahir dari kekerasan atau ketidak adilan – mungkin juga menjadi hubungan hukum. Bukanlah kekerasan atau ketidak adilan yang menciptakan hukum, melainkan kebiasaan.

Eike tak percaya ketidak bebasan adalah keadilan – walaupun itu, berdasarkan kebiasaan oleh teman – teman semasanya dipandang sebagai hukum karena berdasarkan penyelidikan historis ia menarik kesimpulan bahwa hal itu bersumber pada ketidak adilan dan kekerasan.

BAB VISUMBER – SUMBER HUKUM POSITIF

Untuk ahli sejarah dan ahli kemasyarakatan, hukum adalah gejala kemasyarakatan yang menghendaki keterangan secara ilmiah. Sedangkan ahli filsafat dan ahli hukum praktis memandang hukum sebaga keseluruhan peraturan tingkah

Page 10: RINGKASAN PIH

laku, hanya dengan perbedaan bahwa yang tersebut terakhir pada umumnya menerima peraturan – peraturan tersebut tanpa syarat apa – apa sebagai sumber kekuasaan, itupun bila disajikan dalam bentuk yang memenuhi syarat, sedangkan ahli filsafat menghendaki title kekuasaan peraturan itu.

a. Sumber hukum dalam arti sejarahAhli sejarah memakai perkataan sumber hukum dalam dua arti :

I. Dalam arti sumber pengenalan hukum, yakni semua tulisan, dokumen, inskripsi dsb., darimana kita dapat belajar mengenal hukum suatu bangsa pada suatu waktu, misalnya undang – undang, keputusan – keputusan hakim, piagam – piagam yang memuat perbuatan hukum, tulisan – tulisan ahli hukum, demikian juga tulisan – tulisan yang tidak bersifat yuridis sepanjang memuat pemberitahuan mengenai lembaga – lembaga hukum. Perkataan sumber hukum tersebut dipakai dalam karangan Fockema Andreae, Overzicht van oud-Nederlandsche rechtsbronnen

II. Dalam arti sumber – sumber darimana pembentuk undang – undang memperoleh bahan dalam membentuk undang – undang juga dalam arti system – system hukum, darimana tumbuh hukum positif suatu Negara.

b. Sumber hukum dalam arti sosiologisMenurut ahli sosiologi, sumber hukum ialah factor – factor yang

menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan – keadaan ekonomi, pandangan agama, sat – saat psikologis.

c. Sumber hukum dalam arti filsafatDalam filsafat hukum, perkataan sumber hukum terutama dipakai dalam dua arti :

1. Sebagai sumber untuk isi hukumMenurut pandangan yang dahulu sangat tersebar dan kini masih banyak

dianuti orang banyak, Tuhanlah merupakan sumber isi hukum dan itulah yang biasa disebut pandangan hukum theokratis. Ia terdapat dalam ,,Oude Testament”. Pandangan itu sejalan dengan anggapan bahwa pemerintah yang menetapkan hukum, bertindak sebagai pengganti Tuhan di dunia.

Menurut teori hukum kodrat yang rasionalistis yang diajarkan oleh Hugo de Groot dan para pengikutnya, sumber dari isi hukum adalah budi (rede). Menurut pandangan yang lebih modern yang dikenalkan oleh aliran historis, sebagai sumber isi hukum harus disebut kesadaran hukum suatu bangsa atau dengan kata lain, pandangan – pandangan yang hidup dalam masyarakat mengenai apa yang disebut hukum. Karena pandangan itu berubah – ubah, maka hukumpun berubah juga. Konsekwensinya ialah, bahwa tidaklah terdapat ukuran yang berlaku obyektif untuk isi hukum, yakni yang dengan alas an ilmiah dapat diterima oleh setiap orang.

2. Sebagai sumber untuk kekuatan mengikat dari hukumMenurut de Groot sumber hukum adalah budi, sumber kekuatan mengikat

adalah Tuhan.

d. Sumber hukum dalam arti formilBagi ahli hukum praktis dan bagi tiap – tiap orang yang aktif turut serta

dalam pergaulan hukum, sumber hukum adalah peristiwa – peristiwa darimana timbul hukum yang berlaku.

Page 11: RINGKASAN PIH

Hal – hal ini kita sebut sumber hukum dalam arti formil karena kita semata – mata mengingat cara dan bentuk dalam aman timbul hukum positif dengan tidak menanyakan asal usul isi peraturan – peraturan hukum.

Sumber hukum dalam arti formil ialah :Undang – undang ;Kebiasaan ;Traktat.Untuk membedakannya dari sumber – sumber hukum dalam arti yang lain,

kita dapat menamakannya : sumber – sumber hukum karena hal – hal tersebut adalah sebab dari berlakunya peraturan – peraturan hukum. Dengan ucapan ini kita hanya menyatakan suatu kenyataan semata – mata : yaitu bahwa peraturan – peraturan yang menjelma menjadi undang – undang atau kebiasaan itu berlaku, artinya biasanya diikuti orang dan kalau tidak demikian dipaksakan oleh hakim.

Jadi undang – undang dan kebiasaan adalah sumber hukum ( sumber berlakunya hukum) berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku, bahwa kita harus tunduk pada pembentuk undang – undang dan bahwa kebiasaan harus ditaati. Traktat adalah sumber hukum berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku, bahwa perjanjian harus dipenuhi (pacta servanda sunt).

A. SUMBER – SUMBER HUKUM DALAM ARTI FORMILA.1. UNDANG - UNDANG1. Perundang – undangan

Undang – undang dibagi dalam :Undang – undang dalam arti materiil, danUndang – undang dalam arti formil.

Undang – undang dalam arti materiil ialah suatu keputusan pemerintah yang mengingat isinya disebut undang – undang, yaitu tiap – tiap keputusan pemerintah yang menetapkan peraturan – peraturan yang mengikat secara umum, dengan kata lain peraturan – peraturan hukum obyektif

Undang – undang dalam arti formil ialah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang – undang karena bentuk dimana ia timbul. Undang – undang dalam arti formil biasanya memuat peraturan – peraturan hukum dan biasanya sekaliggus juga merupakan undang – undang dalam arti materil.

Contoh – contoh dari undang – undang dalam arti formil yang bukan undang – undang dalam arti materil :

Undang – undang Dasar pasal 6 baris 2 : “Naturalisasi dilakukan dengan atau berdasarkan undang – undang.”

Undang – undang Dasar pasal 126 : “Rencana segala pengeluaran Negara ditetapkan oleh Undang – undang dan ditunjuknya pula alat – alat untuk menutupinya.”

Selanjutnya undang – undang dapat dibagi dalam :Undang – undang tingkatan lebih tinggi, danUndang – undang tingkatan lebih rendah.Jadi ada hierarki dalam undang – undang. Susunan tingkat undang

– undang adalah sebagai berikut :1. Undang – undang dalam arti formil2. Algemene Maatregelen van Bestuur3. Peraturan – peraturan provinsi4. Peraturan – peraturan kota praja dan menurut tingkatannya sederajat

dengan itu ialah peraturan – peraturan daerah – daerah perairan (waterschappen), veenschappen dan veenpolders.

Undang – undang tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang – undang tingkatan lebih tinggi. Bila demikian halnya,

Page 12: RINGKASAN PIH

maka undang – undang tingkatan lebih rendah harus undur untuk undang – undang tingkatan lebih tinggi.

Undang – undang Dasar pun termasuk undang – undang dalam arti formil. UUD itu merupakan undang – undang yang lebih tinggi derajatnya daripada undang – undang dalam arti formil lainnya, dengan arti bahwa undang – undang yang terakhir ini tidak boleh bertentangan dengan UUD.

Kekuasaan mengeluarkan undang – undang dalam arti formil menurut pasal 115 Undang – undang Dasar terletak pada Raja dan Staten-General. Cara bagaimana undang – undang terbentuk diatur dalam pasal 112 – 114 Undang – undang Dasar dan dalam Peraturan tata tertib kedua Kamer Staten-General.

Biasanya, jalannya perundang – undangan dalam garis besar adalah sebagai berikut. Undang – undang dirancang di departemen menteri dalam wilayah siapa perkara yang akan diatur itu termasuk. Selanjutnya rencana undang – undang berturut – turut dibicarakan dalam Dewan menteri; dikirim ke Raad van State untuk nasehat (UUD pasal 77); rencana baik secara tulisan maupun secara lisan diajukan pada Twede Kamer sebagai usul undang – undang. Jika usul undang – undang diterima oleh Staten-Generaal, maka ia belum merupakan undang – undang. Ia baru merupakan undang – undang setelah disetujui oleh Raja (hak sanctie).

Algemene Maatregelen van Bestuur atau A.M.v.B. adalah keputusan Raja, akan tetapi tidak tiap – tiap keputusan Raja adalah A.M.v.B.

Keputusan Raja adalah tiap – tiap keputusan yang dikeluarkan oleh Raja sendiri, artinya di luar Staten-Generaal.

A.M.v.B. ialah keputusan – keputusan Raja dengan mana Raja memberikan peraturan – peraturan mengikat secara umum.

Kekuasaan Raja untuk menetapkan A.M.v.B. itu dalam dua hal dibatasi oleh Undang – undang Dasar :1. Terhadap sejumlah perkara Undang – undang Dasar menghendaki agar

A.M.v.B. diatur dengan undang – undang dalam arti formil.2. Oleh pasal 57 UUD. Menurut pasal ini peraturan – peraturan yang

harus dipertahankan dengan hukuman, tak dapat dibentuk dengan A.M.v.B. selain berdasarkan kekuatan undang – undang.

Raja dengan A.M.v.B. dapat juga mengatur hal – hal untuk mana Undang – undang Dasar menuntut undang – undang dalam arti formil, asal saja ia diberi kuasa oleh undang – undang untuk menetapkan peratutarn yang demikian. A.M.v.B. adalah undang – undang yang tingkatnya lebih rendah daripada undang – undang dalam arti formil. Jadi ia tak boleh bertentangan dengan undang – undang. Jika A.M.v.B. itu bertentangan dengan undang – undang, maka hakim tidak boleh melakukannya, baik bila Raja mengatur apa yang tak boleh diaturnya dengan tindakan umum (tidak sah secara formil), maupun bila isi tindakan tersebut bertentangan dengan undang – undang 9tidak sah secara materiil). Cara umumkan A.M.v.B. dan saat mulai mengikatnya harus diatur berdasarkan pasal 74 Undang – undang Dasar, dengan undang – undang.

Sebelum tahun 1798, Provinciale Staten adalah berdaulat dan sebagai demikian melakukan kekuasaan pembentuk undang – undang. Dengan timbulnya revolusi, berakhirlah kekuasaan itu. Kemudian Tata Negara tahun 1801, untuk sebagian melangkah dari surut pandangan tersebut. Ia memberikan pada departemen – nama tersebut dipertahankannya – batas – batas provinsi dan nama – nama yang lama, dan memberikan pada pemerintah – pemerintah departemen otonomi yang

Page 13: RINGKASAN PIH

terbatas, artinya hak untuk membentuk undang – undang sendiri untuk mengatur kepentingan – kepentingan sendiri. Staten membentuk peraturan – peraturan yang dipandangnya perlu untuk kepentingan provinsi. Kekuasaan pembentuk undang- undang dari Prov. Staten diatur dalam bab 4 dari Undang – undang Dasar. Menurut pasal 136 Undang – undang Dasar, Staten membentuk verordeningen yang dipandangnya perlu untuk kepentingan provinsi. Batas kekuasaan Staten dirumuskan secara negatif dalam Undang – undang Dasar Provinsi dalam pasal 141 : “Peraturan – peraturannya dan undang – undangnya tak boleh memusat peraturan – peraturan mengenai hal – hal bersifat kepentingan umum kerajaan.”. Dengan jalan verodening, Prov. Staten hanya dapat mengatur hal – hal tentang mana tidak diadakan peraturan oleh kekuasaan yang lebih tinggi, artinya oleh Raja atau Raja bersama – sama dengan Staten-Generaal.

Jika Raja telah memberikan persetujuannya, dan kemudian terbukti bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan undang – undang atau kepentingan umum, maka peraturan itu dapat dibatalkan (pengawasan refresif). Tetapi hal itu hanya dapat dilakukan oleh Raja dan Staten-Generaal, jadi oleh undang – undang dalam arti formil. Peraturan – peraturan yang ditetapkan oleh Staten dan disetujui oleh Raja, harus diumumkan oleh Gedeputeerde Staten. Pengumuman itu dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran Provinsi. Ia mulai berlaku pada hari yang ke-8 sesudah diumumkan, kecuali jika peraturan itu sendiri menentukan waktu yang lain.

Sebelum tahun 1798, undang – undang setempat, undang – undang bagian – bagian berbagai daerah memegang peranan yang penting. Kemudian pada tahun 1798, revolusi mengakhiri otonomi tersebut dan mencabut segala kemerdekaan peperintahan kotapraja. Dalam tahun 1801 sikap itu ditinggalkan lagi. Tata Negara tahun tersebut memberikan kotapraja kebebasan mengenai kepentingan – kepentingan rumah tangganya dan kekuasaan untuk membentuk peraturan – peraturan setempat yang diperlukannya.

Menurut Undang – undang Dasar, hak membentuk undang – undang dalam kotapraja terletak pada Dewan. Dan batas – batas hak membentuk undang – undang dari dewan kotapraja diuraikan oleh Undang – undang Dasar sedemikian, bahwa peraturan – peraturannya harus mengenai hal – hal untuk kepentingan Kotapraja. Dalam undang – undang kotapraja pasal 193, hal tersebut dinyatakan secara negative.

Mengenai hak membentuk undang – undang dewan kotapraja ada pengawasan dari pihak atas. Tetapi pada umumnya, peraturan – peraturan kotapraja tidak tunduk pada pengawasan preventif, akan tetapi peraturan – peraturan yang mengundangkan, mengubah atau meghapuskan pajak – pajak setempat, memerlukan persetujuan Raja. Jika peraturan – peraturan pajak disetujui oleh Raja, tetapi kemudian ternyata bertentangan dengan undang – undang atau kepentingan umum, maka ia dapat dibatalkan oleh undang – undang dalam arti formil. Tidak semua peraturan kotapraja harus diumumkan. Undang – undang hanya menuntut pengumuman peraturan – peraturan pidana.

Peraturan- peraturan waterschappen, veenschappen dan veenpolders tingkatannya sama dengan kotapraja. Hak membentuk undang – undangnyapun telah terdapat sejak dahulu. Keurenwet menentukan dalam pasal 3, bahwa peraturan – peraturan waterschappen, veenschappen, dan veenpolders tidak boleh memuat ketentuan – ketentuan mengenai hal – hal yang telah diatur dengan undang – undang, A.M.v.B., peraturan provinsi atau reglement badan – badan tersebut. Peraturan – peraturan

Page 14: RINGKASAN PIH

dengan sanctie hukuman (keuren atau peraturan – peraturan polisi) hanya dapat dibentuk oleh pemerintahan – pemerintahan waterschappen dsb., kepada siapa dengan tegas hak untuk berbuat demikian diberikan dalam reglement badan – badan tersebut. Pengumuman hanya diharuskan untu keuren. Cara mengumumkannya diserahkan pada peraturan badan – badan tersebut. Keuren mulai berlaku pada hari ke-3 sesudah pengumumannya, kecuali apabila keuren itu sendiri menetapkan lain.

Menurut peraturan – peraturan yang baru, undang – undang dapat memberikan hak untuk membentuk undang – undang, baik kepada badan – badan yang terbentuk oleh undang – undang untuk beroepen en bedrijven yang tertentu, maupun kepada badan – badan yang dibentuknya untuk beroeps en bedrijfsleven pada umumnya.

Undang – undang Dasar mengenal dua cara delegasi hak membentuk undang – undang :1. Oleh undang – undang kepada Raja2. Oleh undang – undang kepada badan – badan yang ditunjuk oleh

undang – undangDelegasi yang tersebut pertama itu dalam praktek banyak sekali

dipergunakan, delegasi yang kedua hingga waktu terakhir hanya dalam beberapa hal.

2. Peraturan – peraturan yang Ditetapkan Oleh Perhimpunan

Perhimpunan – perhimpunan dalam arti persekutuan – persekutuan yang berdirinya semata – mata disebabkan karena penggabungan sukarela (jadi disebabkan perjanjian) dari private personen – menetapkan peraturan – peraturan umum untuk anggota – anggotanya, reglemen atau anggaran dasar yang disebut juga olehnya undang – undang.

Walaupun peraturan – peraturan perhimpunan tak dapat kita sebut undang – undang, ini tidak berarti bahwa ia tak dapat menjalankan tugas yang penting dalam mengatur pergaulan hidup. Bahkan pentingnya dapat melebihi peraturan – peraturan perundang – undangan.

3. Peraturan – peraturan yang Ditetapkan Oleh Gereja – gereja

Gereja – gereja biasanya membentuk peraturan – peraturan yang diberinya nama undang – undang dan disajikan sebagai hukum gereja. H. R. dalam keputusannya tertanggal 29 Desember 1911 (W.v.h.R. 9272), menimbang bahwa persekutuan gereja boleh mempunyai peraturan – peraturan yang mengatur hak – hak dan kewajiban – kewajiban anggota – anggotanya, akan tetapi hanya mengaturnya di bawah kekuasaan yang tertinggi dari undang – undang umum, untuk mana peraturan hukumnya yang khusus harus undur, kecuali jika undang – undang umum itu sendiri memberikan kebebasan untuk menyimpang.

A.2. KEBIASAAN

Di samping hukum undang – undang yang memberikan sekedar sifat kepastian pada peraturan – peraturan hubungan masyarakat, terdapat kebutuhan akan pembentukan hukum yang lain, yang mempunyai cukup gaya berubah untuk dapat menyesuaikan diri dengan hubungan social yang selalu berubah – ubah. Hukum kebiasaan memenuhi kebutuhan tersebut.

Syarat – syarat yang terutama untuk terbentuknya hukum kebiasaan adalah : kebiasaan, suatu tindakan menurut garis tingkah laku yang tetap. Akan tetapi

Page 15: RINGKASAN PIH

ini tidak cukup. Selain itu diperlukan juga bahwa kebiasaan itu pada mereka yang mengikutinya, pada umumnya menimbulkan kesadaran bahwa mereka sudah semestinya berbuat begitu.

Hukum tidak terdiri atas peraturan – peraturan yang dibentuk untuk diri seseorang, melainkan terdiri atas peraturan – peraturan yang diletakkan oleh masyarakat pada kita. Hukum adalah heteronom, bukan otonom. Jadi berarti bahwa untuk terbentuknya hukum kebiasaan tidak diperlukan keyakinan hukum seseorang, melainkan diperlukan keyakinan hukum masyarakat. Jadi, untuk terbentuknya hukum kebiasaan terdapat dua syarat, yaitu :

Satu yang bersifat materiil, pemakaian yang tetap;Satu yang bersifat psikologis, keyakinan akan kewajiban hukum.Keyakinan akan kewajiban hukum tentu tak perlu sejak semula melekat

pada kebiasaan dan biasanyapun tidak demikian. Keyakinan itu sebaliknya acapkali timbul dari kejadian sebenarnya belaka. Jika sesuatu tetap berlaku, lama – kelamaan timbul pikiran pada manusia bahwa memang harus demikian dan kemudian acapkali timbul pikiran, bahwa menurut hukum memang demikian.

Ini adalah kekuasaan kebiasaan yang dialami oleh tiap – tiap orang dalam hidupnya sendiri, tetapi yang terlihat juga dalam hubungan manusia satu sama lain dan demikian juga dalam hukum. Demikianlah acapkali timbul susila dari kebiasaan dan susila timbul dari hukum.

Sepintas, kelihatannya ada pertentangan yang tajam antara undang – undang dan kebiasaan :

Undang – undang ialah keputusan yang dipikulkan pada orang – orang oleh pemerintah, jadi dari atas.

Kebiasaan ialah peraturan yang timbul dari pergaulan hidup sendiri.Dengan kata lain, hukum undang – undang mempunyai sifat heteronom

karena dalam hal tersebut, sesuatu kekuasaan yang berdiri di atas masyarakat meletakkan kehendaknya pada masyarakat ; hukum kebiasaan mempunyai sifat otonom karena disini pembentuk undang – undang adalah masyarakat itu sendiri.

Kedua – duanya, undang – undang dan kebiasaan adalah penegasan dari pandangan – pandangan hukum yang terdapat dalam masyarakat atau cita – cita hukum atau untuk memakai istilah yang sudah lazim benar : perumusan kesadaran hukum dari bangsa tersebut atau dari suatu golongan bangsa. Perbedaannya ialah bahwa dalam hal yang satu penegasan dilakukan oleh pembentuk undang – undang dalam hal yang lain oleh masyarakat atau golongan masyarakat yang tertentu.

Kebiasaan rakyat kini sudah hampir tak merupakan sumber hukum lagi. Dasar hukum kebiasaan ialah kesadaran hukum bersama. Kesadaran hukum pada seluruh rakyat yang demikian itu hanya terdapat terhadap peristiwa – peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan hampir tiap – tiap orang : kelahiran, perkawinan, pewarisan, jual beli dsb. . Dan peristiwa – peristiwa hukum ini semuanya diatur oleh undang – undang. Dalam pada itu janganlah kita lupakan bahwa undang – undangitu untuk sebagian besar adalah hukum kebiasaan yang tertulis.

Hukum kebiasaan yang umum, yang berlaku untuk seluruh anggota rakyat masih juga timbul, bahkan acapkali benar, tetapi tidak langsung dari rakyat sendiri, melainkan dengan perantaraan pengadilan, yakni yurisprudensi, baik bahwa peradilan tersebut dalam hal demikian menguatkan peraturan – peraturan belaka yang telah diikuti dalam pergaulan masyarakat, jadi yang telah menjadi kebiasaan, maupun bahwa ia menegaskan pandangan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih agak samar – samar yang belum

Page 16: RINGKASAN PIH

menjelma dalam kebiasaan, dan dengan demikian merumuskannya sebagai peraturan hukum.

Sedangkan pada perundang – undangan, penegasan pandangan hukum yang hidup dalam masyarakat dilakukan oleh pembentuk undang – undang sebagai organ masyarakat atau organ golongan rakyat, pada hukum kebiasaan penegasan dilakukan oleh organ masyarakat lainnya, yakni kekuasaan kehakiman atau juga oleh golongan – golongan yang tertentu dari masyarakat. Dari sejarah hukum ternyata, bahwa berlakunya kebiasaan sebagai sumber hukum dalam suatu masa selalu menyebabkan keinginan untuk menyingkirkannya dengan menjadikannya undang – undang atau malahan dengan menyingkirkannya begitu saja.

Banyak orang mengajarkan bahwa di samping undang – undang tak ada tempat untuk kebiasaan sebagai sumber hukum. Mereka berpendapat bahwa segala hukum terbit dari kehendak mereka yang memegang kedaulatan, yakni kekuasaan yang tertinggi dalam Negara, jadi dari kehendak pembuat undang – undang. Jadi dalam jalan pikiran ini hanya ada tempat bagi satu sumber saja, yaitu undang – undang.

Adanya hukum kebiasaan di samping hukum undang – undang adalah suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, orang mencoba membela suatu teori undang – undang sebagai satu – satunya sumber hukum dengan pandangan bahwa hukum kebiasaan berlaku karena diperbolehkan oleh pembentuk undang – undang. Dengan demikian hukum kebiasaan merupakan bagian dari hukum undang – undang.

Dalam ajaran trias dari Montesquieu, pembentukan hukum adalah semata – mata privilege pembentuk undang – undang ; dalam teori tersebut tak ada tempat untuk kebiasaan sebagai sumber hukum yang bebas. Juga tak ada tempat untuk hal tersebut dalam ajaran kedaulatan rakyat Rosseau. Menurut ajaran ini kehendak bersama dari rakyat adalah kekuasaan tertinggi. Undang – undang sebagai pernyataan kehendak adalah satu – satunya sumber hukum ; hukum kebiasaan hanya dapat berlaku sebagai undang – undang secara diam – diam.

Ajaran kedaulatan Negara memandang Negara sebagai seorang purusa, yang kehendaknya dijalankan oleh berbagai badan (pembentuk undang – undang, pengadilan, pemerintahan). Dari kehendak Negara purusa hukum yang berdaulat itu timbullah segala kekuasaan yang ada ; jadi juga kekuasaan hukum. Sumber hukum satu – satunya, juga sumber hukum kebiasaan, adalah kehendak Negara yang dinyatakan dalam undang – undang atau dalam kebiasaan yang diperbolehkan oleh undang – undang. Teori tersebut kinipun masih mempunyai pengikut.

Kehendak secara diam – diam dari pembentuk undang – undang, atas mana orang hendak mendasarkan kekuatan mengikat dari hukum kebiasaan itu tak lain daripada fictie. Ajaran tersebut juga tidak menerangkan bagaimana hukum kebiasaan terjadi dalam masyarakat yang primitive, yang belum mengenal perundang – undangan. Lagipula ia bertentangan dengan kenyataan, bahwa hukum kebiasaan acapkali terjadi walaupun dengan tegas dilarang oleh pembentuk undang – undang.

Ajaran hukum yang menjabar hukum sebagai kehendak pemerintahan atau Negara, tak dapat diterima. Hukum undang – undang bukanlah mengikat karena pemerintah atau Negara menghendakinya, melainkan karena kesadaran hukum yang berlaku pada rakyat memberikan kekuasaan mengikat pada undang – undang. Peraturan kebiasaan mengikat sepanjang kesadaran hukum yang berlaku dalam lingkungan dimana ia diikuti memandangnya sebagai mengikat.

Page 17: RINGKASAN PIH

Ajaran kedaulatan hukum yang dibela Krabbe patut dicela. Menurut teori tersebut, satu – satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum dan hukum hanyalah apa yang memenuhi kesadaran hukum orang terbanyak. Dari teori itu, Krabbe menarik konsekwensi bahwa undang – undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak, tak mempunyai kekuatan mengikat.

Selain daripada factor – factor yang disebut tadi, ada juga factor – factor lain yang tidak sedikit ikut menyebabkan maka orang memandang remeh arti hukum kebiasaan, yakni factor – factor kodivikasi dan membanjirnya undang – undang sejak abad ke-19. Oleh kodivikasi itu, maka hukum kebiasaan dikitabkan sedemikian luasnya, sehingga orang mengira bahwa selanjutnya orang dapat meninggalkan hukum kebiasaan sebagai sumber hukum. Sedangkan, makin undang – undang menjadi using karena sudah tua usianya, makin bertambah penting arti kebiasaan sebagai sumber hukum.

Jika seluruh peristiwa itu kita amati benar – benar, maka tak heran bahwa pada abad ke-19 timbul reaksi dari mahzab hukum sejarah terhadap ajaran tersebut, menurut mana undang – undang adalah satu – satunya sumber hukum.

Mahzab sejarah dibentuk oleh Friederich Carl von Savigny terbentuk sebagai reaksi yang disengaja terhadap aliran hukum kodrat rasionalistis yang berlaku pada masa itu. Mahzab sejarah menolak adanya hukum kodrat, dalam arti hukum yang dengan mempergunakan akal pikiran dijabar dari hakekat kewajaran manusia, hukum yang berlaku untuk segala bangsa dan untuk setiap masa, suatu sifat yang harus dipenuhi pula oleh hukum positif.

Mahzab sejarah berpangkal pada pendirian bahwa masyarakat manusia terbagi – bagi dalam berbagai bangsa yang masing – masing mempunyai sifat dan jiwa sendiri. Jiwa bangsa itu menjelma dalam bahasa, adat, susunan kenegaraanbangsa itu dan juga dalam hukumnya, sebab hukum hidup dalam kesadaran bangsa disanalah tempat kedudukan pangkalnya.

Kesimpulan dari pandangan yang diambil oleh Savigny ialah bahwa segala hukum terbentuk secara demikian yang dengan istilah yang lazim dipakai orang disebut hukum kebiasaan, artinya bahwa ia diciptakan mula – mula oleh adat dan kepercayaan, kemudian oleh ilmu pengetahuan, jadi selalu diciptakan oleh kekuatan – kekuatan batin, kekuatan yang bekerja secara diam – diam dan bukan oleh kehendak pembentuk undang – undang. Jika sebenarnya hanya ada satu sumber hukum, kesadaran hukum suuatu bangsa. Karena itu, Savigny memandang kurang tepatlah nama hukum kebiasaan karena kebiasaan tidak menciptakan hukum, melainkan ia hanya penjelmaannya. Demikian juga dengan undang – undang, undang – undang adalah penjelmaan dari hukum yang ada dalam kesadaran hukum suatu bangsa.

Dalam pada itu, Savigny tidak tanpa pembatasan mengajarkan dalilnya, bahwa kesadaran hukum dari bagsa itu adalah satu – satunya sumber hukum dan bahwa undang – undang dan kebiasaan hanya merupakan sumber pengenal dari hukum. Menurut pandangannya, dalil itu seluruhnya tepat benar terhadap dasar – dasar hukum : mengenai dasar – dasar itu rakyat mempunyai gambaran yang jelas, sehingga tak mungkin terdapat keragu – raguan tentang adanya dasar – dasar itu.

Jika Savigny menamakan kesadaran hukum dari suatu bangsa itu sumber dari segala hukum, maka bukanlah maksudnya hendak mengatakan bahwa hukum _ mngenai asala dan isinya, seluruhnya mempunyai sifat nasional yang murni sebaga yang didakwakan kepadanya oleh Ihering. Walaupun ada keberatan – keberatan tersebut, namun mahzab sejarah mempunyai jasa yang kekal, yaitu bahwa ia member hukum kebiasaan tempat yang berdiri sendiri di

Page 18: RINGKASAN PIH

samping hukum undang – undang dan dengan demikian memisahkan diri dari aliran yang sebelum itu berlaku, yaitu bahwa undang – undang adalah satu – stunya sumber hukum positif dan membiasakan diri pula dari fitie, bahwa hukum kebiasaan memperbolehkan kekuatan mengikatnya dari kehendak pembentuk undang – undang. Konsekwensi dari pandangan mahzab sejarah ialah juga bahwa kebiasaan dapat melemahkan undang – undang.

Karena kebiasaan adalah sumber hukum, maka hakim juga akan melakukan hukum kebiasaan dalam hal – hal dimana undang – undang tak menunjuk kepadanya. Batas antara kebiasaan tambahan dan kebiasaan derogatoir adalah sangat samar – samar, acapkali meragu – ragukan benar adakah suatu hal diatur oleh undang – undang atau tidak. Dalam pada itu, ini tidak berarti bahwaperaturan – peraturan undang – undang itu dalam praktek tak mempunyai arti sama sekali. Karena itu maka hakim dapat merasa terpaksa untuk tidak melakukan hukum kebiasaan yang bertentangan dengan undang – undang. Demikian sedang tumbuhlah peraturan huku kebiasaan yang baru, yang mempunyai tujuan yang lebih luas daripada apa yang dimaksud oleh pembentuk undang – undang dalam pasal 1395 alinea 2 : apa yang telah dibayar untuk memenuhi kewajiban susila atau kesopanan yang sangat mendesak, tak dapat ditagih kembali atas alasan bahwa pembayaran itu tidak diwajibkan.

A.3. TRAKTAT

Traktat antara dua Negara atau lebih biasanya memuat peraturan – peraturan hukum, maka dengan demikian merupakan sumber hukum dalam arti formil. Menurut pasal 60 Undang – undang Dasar, segala traktat dengan Negara asing diadakan oleh raja. Tetapi hanya dengan tindakan mengadakan suatu traktat belaka, traktat itu belum lagi mengikat. Menurut hukum antar Negara, traktat itu baru mengikat sesudah dikukuhkan atau diratifisir dengan suatu pernyataan resmi dari kepala Negara bahwa perjanjian tersebut harus dipandang sebagai mengikat.

Traktat acapkali diadakan antara lebih dari dua Negara, lebih – lebih pada waktu ini. Traktat – traktat kolektif tersebut biasanya membuka kemungkinan untuk masuknya Negara – Negara yang tidak merupakan pihak pada pembentuknya. Berhubung dengan hal tersebut, Undang – undang Dasar menentukan, bahwa ikut serta dalam dan pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh Raja berdasarkan undang – undang.

B. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMBANTU PEMBENTUKAN HUKUM

Banyak ahli hukum mengajarkan, bahwa di samping yang tersebut di muka ini masih terdapat sumber – sumber hukum lainnya, antara lain persetujuan antara yang berkepentingan, pengadilan dan ilmu pengetahuan. Memang hal – hal tersebut adalah factor – factor yang membantu pembentukan hukum.

1. PERJANJIANHingga batas yang tertentu, para pihak yang mengadakan perjanjian

berbuat sebagai pembentuk undang – undang, ia membentuk sesuatu peraturan. Kitab undang – undang Hukum Sipil menyatakan analogi antara undang – undang dan perjanjian dalam pasal 1374 : “ Alle wettiglijk gemaakte overeenkomsten strekken dengenen die dezelve hebben aangegaarf tot wet. “

Dalam peraturan Kitab Undang – undang hukum Sipil tersebut, tak hanya ternyata persamaan antara undang – undang dan perjanjian, melainkan juga perbedaan antara kedua hal tersebut : perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya ; undang – undang mengikat semua orang. Dalam mengadakan

Page 19: RINGKASAN PIH

perjanjian, maka para pihak melakukan sesuatu secara konkret, apa yang dilakukan oleh pembentuk undang – undang pada umumnya atau secara abstrak.

Dalam pada itu, jangan kita lupa bahwa dalam menguraikan pengertian undang – undang dan perjanjian itu kita menarik batas lebih tajam daripada keadaan sebenarnya. Dalam keadaan sebenarnya, tidak ada pemisahan yang mutlak, kedua hal tersebut kadang – kadang sangat dekat – mendekati. Jadi, jika undang – undang dan hukum di dalamnya memperlihatkan suatu persamaan dengan perjanjian, sebaliknya hukum konkret yang terbentuk dari suatu perjanjian tidak jarang mempunyai tendens untuk menjadi hukum obyektif.

Acapkali terjadi, bahwa sesuatu yang dibuat oleh pihak yang mengadakan kontrak untuk sesuatu hal yang tertentu selalu terdapat kembali dalam perjanjian – perjanjian yang lain. Akan tetapi, karena itu perjanjian belum merupakan sumber hukum dalam arti formil sebab peraturan tersebut tidak memperoleh kekuatan mengikat umum dari perjanjian itu melainkan dari kebiasaan. Perjanjian yang lebih mendekati sumber – sumber hukum dalam arti formil daripada kontrak – kontrak dalam perdagangan besar adalah perjanjian kerja kolektif.

2. PERADILANSebagaimana halnya dengan undang – undang dan perjanjian, maka antara

undang – undang dan keputusan hakimpun ada terdapat analogi. Kedua – duanya membentuk peraturan. Akan tetapi, keputusan hakim membentuknya dalam konkreto , undang – undang dalam abstrakto, jadi secar umum.Keputusan hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara. Hakim tak dapat membentuk peraturab – peraturan yang umum mengikat.

Jika sesuatu peraturan dalam keputusan hakim selalu diikuti dengan kata lain, jika mengenai sesuatu pertanyaan hukum yang tertentu telah terbentuk yurisprudensi yang tetap, maka peraturan tersebut dapat merupakan hukum obyektif bukan berdasar atas keputusan hakim, melainkan berdasar atas kebiasaan, yakni berdasarkan kesadaran hukum yang umum, yang menjelma dalam garis – garis tingkah laku para hakim tetap.

3. AJARAN HUKUMPada bangsa Rumawi, ajaran hukum adalah sumber hukum dalam arti

formil. Hasil utama ajaran hukum dari zaman menengah adalah kitab – kitab hukum, itupun sepanjang tidak mengenai hukum Rumawi, melainkan hukum asli.

Kitab – kitab hukum itu yang merupakan catatan – catatan tentang hukum kebiasaan suatu suku, negeri atau kota, memenuhi kebutuhan utama pada masa itu ketika perundang – undangan masih tidak berapa penting kedudukannya dan hukum masih berupa hukum kebiasaan yang tak tertulis. Beberapa dari kitab – kitab hukum itu memperoleh kekuasaan yang sedemikian besarnya, sehingga ia dipartikulir, melainkan catatan hukum resmi. Kehormatan tersebut diperolehnya karena ia memang merupakan penjelmaan hukum rakyat yang hidup.

Di Inggris, tulisan – tulisan beberapa ahli hukum pada abad menengah dan kemudian memperoleh kekuasaan mengikat untuk hakim dengan melalui hukum kebiasaan. Di Belanda, ajaran hukum bukan sumber hukum dalam arti formil. Hukum yuris Rumawi yang sebenarnya bukan ilmu pengetahuan, melainkan agak merupakan sesuatu hasil kesenian yang gemilang perihal praktek hukum adalah tersusun dari nasehat – nasehat yang diberikan oleh para ahli hukum mengenai peristiwa – peristiwa yang diacarakan dank arena itu dapat dipakai untuk praktek. Di Belanda, ajaran hukum lebih – lebih mempunyai sifat teoretis, juga dalam hal ia langsung mengabdi pada pelaksanaan hukum. Walaupun di Belanda ajaran hukum bukan sumber hukum dalam arti formil ini tidak menghalang – halangi bahwa ia merupakan factor yang penting dalam pembentukan hukum.

Page 20: RINGKASAN PIH

BAB VIIPEMBAGIAN HUKUM OBYEKTIF

Menurut isi hukum, hukum obyektif dibedakan menjadi hukum public dan hukum perdata. Hukum obyektif mengatur berbagai hubungan. Pengaturan itu baik jika ia cocok dengan sifat hubungan – hubungan yang diaturnya. Peraturan itu harus sesuai dengan apa yang diatur. Isi peraturan – peraturan hukum itu bergantung kepada hakekat hubungan yang diaturnya. Pengaturan hubungan adalah pengaturan kepentingan – kepentingan dari yang bersangkutan karena hubungan – hubungan hukum adalah kepentingan – kepentingan yang mendapat perlindungan. Jadi isi peraturan – peraturan hukum bergantung kepada hakekat kepentingan – kepentingan yang diatur oleh hukum. Kepentingan – kepentingan yang diatur oleh hukum dapat berupa dua : Kepentingan – kepentingan umum atau kepentingan – kepentingan public Kepentingan – kepentingan khusus atau kepentingan – kepentingan perdata

Jadi, hukum perdata adalah peraturan – peraturan hukum yang obyeknya adalah kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan. Sedangkan hukum public adalah peraturan – peraturan hukum yang obyeknya adalah kepentingan – kepentingan umum dan yang karena itu soal mempertahankannya dilakukan pemerintah.

Sifat hukum perdata sebagai pengatur kepentingan khusus, tidak berarti bahwa pemerintah walaupun ia berdiri di atas purusa – purusa pedata dan kepentingan – kepentingannya, pada menjalankan kewajibannya sama sekali tidak terikat pada hukum perdata dan dapat mengesampingkannya sesukanya.

Hukum public mengatur kekuasaan pemerintah, untuk melanggar hukum perdata demi kepentingan penyelenggaraan kepentingan umum. Dengan demikian, maka pemerintah pada menjalankan kewajibannya hanya terikat pada hukum perdata sepanjang hukum public tidak membebaskannya dari ikatan tersebut.

Jadi, hubungan antara hukum public terhadap hukum perdata adalah hubungan antara hukum khusus atau hukum perkecualian terhadap hukum umum. Hukum public merupakan perkecualian atas hukum perdata apabila itu diperlukan oleh pemerintah untuk memelihara kepentingan umum dengan sepatutnya.

Menurut daya kerjanya, hukum dibagi dalam hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur. Nama hukum yang memaksa tidaklah tepat. Segala hukum memaksa, tetapi dengan hukum yang memaksa (juga disebut hukum yang memerintah atau hukum yang mutlak) dimaksud peraturan – peraturan untuk mana orang – orang yang berkepentingan tidak boleh menyimpang dengan jalan perjanjian. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tak peduli adakah para pihak yang berkepentingan menghendakinya atau tidak. Demikian juga nama hukum yang mengatur, sebenarnya kurang tepat. Segala hukum mengatur, tetapi hukum yang mengatur (disebut juga hukum tambahan, hukum relative atau hukum dispositive) dimaksud peraturan – peraturan yang tunduk kepada peraturan yang dibuat dengan perjanjian oleh yang berkepentingan sendiri. Hukum yang mengatur hanya hendak mengatur dan tidak mengikat dengan tiada bersyarat. Ia hanya mengikat jika dan sepanjang para pihak yang berkepentingan tidak menentukan peraturan yang lain dengan perjanjian. Dengan kata lain, ia bermaksud mengisi luangan – luangan dalam peraturan yang dibuat oleh para pihak.

Hukum public biasanya hukum yang memaksa karena ia mengatur kepentingan – kepentingan umum. Karena itu, maka biasanya tak diperbolehkan menyimpang daripadanya untuk kepentingan – kepentingan purusa – purusa khusus. Sebaliknya, hukum perdata biasanya adalah hukum yang mengatur karena ia mengatur kepentingan perdata.

Page 21: RINGKASAN PIH

BAB VIIIHAK – HAK SUBYEKTIF

1. SUBYEK – SUBYEK HUKUM ATAU PURUSASegala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum adalah purusa dalam

arti yuridis. Kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi pendukung subyek hukum. Persoonlijkheid atau kewenangan hukum adalah sifat yang diberikan oleh hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki mereka untuk siapa ia diberikan oleh hukum. Kini hukum obyektif biasanya memberikan kewenangan hukum kepada tiap – tiap orang, tetapi dulu para budak tak mempunyai kewenangan hukum, juga para wanita tak selamanya mempunyai kewenangan hukum.

Walaupun kewenangan hukum adalah sesuatu sifat yang diberikan oleh hukum obyektif, kekuasaan pembentuk undang – undang untuk memberikannya dibatasi oleh keadaan riil. Hukum obyektif hanya dapat memberikannya kepada manusia karena hanya manusia lah yang dapat mempunyai hak – hak subyektif, artinya kewenangan dan kewajiban. Walaupun demikian, undang – undang mengakuia adanya purusa atau subyek hukum yang lain daripada manusia. Untuk membedakannya, manusia disebut purusa kodrat (natuurlijke personen), yang lain disebut purusa hukum. Yang dimaksud dengan purusa hukum ialah :

Tiap – tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah – olah ia suatu purusa yang tunggal.

Tiap – tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah – olah ia suatu purusa (yayasan).

H. de Groot, tidak termasuk pengikut – pengikutnya. Dalam bukunya, Inleiding tot de Hollansche rechts-geleertheyd, ia tidak mengenal subyek hukum selain mausia. Tetapi kini teori fictie itu tak banyak lagi mempunyai pengikut. Biasanya purusa hukum kini dipandang sebagai purusa yang riil, terpisah dari orang – orang yang merupakan anggota persekutuan itu.

2. PEMBAGIAN HAK – HAK SUBYEKTIFHak – hak subyektif dibagi dalam :

Hak – hak mutlak atau hak - hak onpersoonlijk Hak – hak relative atau hak – hak persoonlijk

Hak – hak mutlak adalah hak – hak yang memuat kekuasaan untuk bertindak. Hak – hak itu dinamakan juga hak – hak onpersoonlijk karena dapat dilakukan terhadap tiap – tiap orang dan tidak hanya terhadap seseorang tertentu.

Hak – hak relative adalah hak – hak yang memuat kekuasaan untuk menuntut agar orang lain bertindak, artinya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak – hak tersebut dinamakan juga hak – hak persoonlijk karena ia memberikan kekuasaan terhadap seseorang tertentu.

Hak – hak mutlak itu dapat dibedakan dari hak – hak relative karena yang pertam terdiri atas kekuasaan untuk bertindak sendiri, yang terakhir atas hak untuk menuntut agar orang lain bertindak. Jadi isi dari hak yang mutlak ialah kekuasaan untuk bertindak. Kebalikannya, kewajiban dari tiap – tiap orang untuk melanggar kekuasaan tersebut adalah akibat dari kekuasaan itu. Sebaliknya pada hak relative, kewajiban dari pihak yang lain merupakan isi hak tersebut. Hak – hak mutlak ialah :

Segala hak public, jadi segala hak subyektif yang berdasar dalam hukum public dalam arti obyektif, yakni terutama apa yang disebut hak – hak dasar, hak – hak kemerdekaan atau hak – hak manusia, hak – hak kaula yang diuraikan dalam Undang – undang Dasar yang memberikan kaulan kemerdekaan bertindak dalam berbagai hal dan yang membawa kewajiban

Page 22: RINGKASAN PIH

untuk tiap – tiap orang, juga untuk badan – badan pemerintahan untuk tidak melanggarnya. Termasuk hak public juga ialah hak – hak dari Negara terhadap kaulanya, sepanjang hak – hak itu timbul dari hukum public dalam arti obyektif, misalnya hak menjatuhkan hukuman atas orang yang melanggar undang – undang pidana, hak memungut pajak, hak untuk memiliki barang – barang orang untuk kepentingan umum dengan syarat – syarat tertentu, dsb.

Sebagian dari hak – hak perdata (yaitu hak – hak yang bersandar pada hukum perdata dalam arti obyektif), yakni :1. Hak – hak kepribadian (persoonlijkheidrechten), adalah hak – hak

manusia atas jiwanya, raga, kehormatan, nama kecil keluarga, berbagai hak dari pengarang suatu gubahan kesusastraan, ilmu pengetahuan dan kesenian.

2. Hak – hak keluarga (familiarechten), adalah hak – hak yang timbul dari hubungan keluarga, tertama kekuasaan marital, yakni kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan.

3. Sebagian dari hak – hak harta (vermogensrechten), yang terdiri atas : hak – hak harta benda (zakelijke rechten) adalah hak – hak yang mempunyai nilai keuangan dan hak – hak kebendaan (rechten op immateriele goederen) adalah hak – hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda. Menurut hukum Belanda, benda dibagi dalam :

Benda berwujud (lichamelijke zaken), yakni benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera

Benda tak berwujud (onlichamelijke zaken), yakni hak – hak subyektif

BAB IXHUKUM PERDATA

1. HUKUM PERDATA MATERIIL DAN FORMILHukum perdata dibagi dalam hukum perdata materiil dan hukum perdata

formil. Hukum perdata materiil mengatur kepentinga – kepentingan perdata. Hukum perdata formil mengatur pertikaian hukum mengenai kepentingan – kepentingan perdata atau dengan kata lain, cara mempertahankan peraturan – peraturan hukum perdata materiil dengan pertolongan hakim.

2. HUKUM PERDATA MATERIILHukum perdata materiil disebut juga hukum sipil (burgerlijkrecht). Tetapi

kini nama hukum sipil biasanya dipakai dalam arti sempit, untuk hukum perdata materiil tanpa hukum dagang atau dengan kata lain untuk menyatakan bahan hukum yang diatur dalam Kitab Undang – undang Sipil dan undang – undang yang bertalian dengan itu. Apa yang terdapat dalam Kitab Undang – undang Sipil tidak semuanya hukum perdata sejati. Hukum perdata materiil dibagi dalam :

Hukum purusa (personenrecht), adalah seluruh peraturan tentang purusa atau subyek – subyek hukum. Hukum purusa memuat peraturan kewenangan hukum (rechtsbevoegheid) dan kewenangan bertindak (handelingsbevoegheid) dari purusa. Dalam hukum purusa diatur fakta – fakta yang berpengaruh atas kewenangan hukum dan kewenangan bertindak sebagai umur, kelamin, kebangsaan.

Hukum keluarga (familierecht), adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga. Hukum keluarga

Page 23: RINGKASAN PIH

memuat peraturan tentang perkawinan, termasuk didalamnya hubungan yang bercorak hukum antara suami istri (huwelijksgoederenrecht), hubungan antara orang tua dan anak (ouderlijke macht), hubungan antara wali dan anak yang diawasi (voogdij), dan hubungan antara orang yang diletakkan di bawah pengampuan karena gila atau pikiran yang kurang sehat atau karena pemborosan, dan pengampunya (curatele)

Hukum harta (vermogensrecht), adalah seluruh hak dan kewajiban seseorang yang mempunyai nilai uang. Hukum harta dapat dibagi dalam, hukum harta yang mutlak, yakni peraturan dari hak – hak harta yang mutlak, dan hukum harta relative, yakni peraturan dari hak – hak harta yang relative.

Hukum waris (efrecht), mengatur hal ihwal harta benda seseorang sesudah ia meninggal. Sebenarnya ia termasuk hukum harta. Selain itu ia mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan hukum keluarga karena pertama – tama keluarga dari orang yang meningga tersangkut dalam peninggalannya. Demikian hukum waris mengatur akibat – akibat hubungan keluarga mengenai peninggalan seseorang.

3. SUMBER – SUMBER YANG TERPENTING DARI HUKUM PERDATA MATERIIL BELANDA

Sumber – sumber yang terpenting dari hukum perdata materiil ialah Kitab Undang – undang Sipil dan Kitab Undang – undang Hukum Dagang.

Kitab Undang – undang Sipil memuat hukum perdata materiil, kecuali hukum dagang. Hukum perdata formil atau hukum acara perdata diatur dalam Kitab Undang – undang Hukum acara perdata. Dalam Kitab Undang – undang Sipil juga terdapat peraturan – peraturan hukum acara.

Sumber – sumber dari Kitab Undang – undang Sipil dapat dibagi dalam sumber – sumber yang langsung dan sumber – sumber yang langsung dan sumber – sumber yang jauh. Sumber – sumber yang langsung adalah sumber – sumber darimana penyusun kitab undang – undang memperoleh bahan – bahan, dan yang terpenting adalah Codecivil dari tahun 1804, Het Wetboek Napoleon, ingerigt voor het koningrijk Holland yang berlaku sejak tanggal 1 Mei 1809 hingga penggabungan negeri Belanda pada Perancis, dan Het Ontwerp van het burgerlijk wetboek voor het koningrijk der Nederlanden. Sumber – sumber yang jauh adalah sumber – sumber darimana diperoleh bahan oleh penyusun sumber – sumber yang langsung.

Kitab Undang – undang Hukum Dagang memuat hukum dagang. Pada hukum dagang, kita tidak mengingat hukum yang semata – mata mengenai perdagangan dalam arti ekonomi, jadi sebagai perniagaan barang – barang. Hukum dagang dalam arti positif, tak lain daripada isi Kitab Undang – undang Hukum Dagang. Dalam Kitab Undang – undang Hukum Dagang terdapat beberapa ketentuan hukum benda dan selanjutnya hukum perjanjian. Ia memuat peraturan dari beberapa perjanjian – perjanjian khusus yang termuat dalam buku ke-3 dari Kitab Undang – undang Hukum Sipil.

4. HUKUM PERDATA FORMIL ATAU HUKUM ACARA PERDATA

Hukum perdata formil mengatur cara mempertahankan hukum perdata materiil. Itu dijalankan dengan jalan acara. Karena itu maka hukum perdata formil disebut juga hukum acara perdata. Nama hukum formil selanjutnya dipakai juga

Page 24: RINGKASAN PIH

dalam arti yang sangat berlainan, yakni untuk menunjukkan peraturan – peraturan mengenai bentuk bagaimana mempertahankan hukum subyektif.

A. Azas – azas Pokok Hukum Acara Perdata1. Yang dikatakan : hakim tak berbuat apa – apa2. Sifat terbuka dalam peradilan3. Mendengar kedua belah pihak4. Perwakilan yang diwajibkan5. Soal tidak bebas dari biaya untuk acara6. Debat secara tulisan7. Pemberian alas an atas keputusan hakim

B. Susunan PengadilanDi Negeri Belanda ada empat badan pengadilan yang biasanya

menjalankan pengadilan dalam urusan – urusan sipil dan pidana (terkecuali urusan pidana militer) :

1. kantongerecht2. arrondissementsrechtbank3. gerechtshof4. Hoge Raad

C. Sumber – sumber Hukum Acara PerdataSumber – sumber hukum acara perdata yang terpenting adalah sebagai

berikut :1. Undang – undang Dasar, yang antara lain memuat beberapa

pengaturan mengenai peradilan dan kekuasaan pengadilan dalam bab ketujuh (Van de Justitie).

2. Wet op de regterlijke organisatie en het beleid der justitie tertanggal 18 April 1827 Stbl. No. 20. Mengatur susunan kekuasaan kehakiman dan menunjukkan tugas berbagai macam pengadilan.

3. Kitab Undang – undang Hukum Acara Perdata yang terdiri atas tiga buku, yang pertama mengatur cara beracara di muka berbagai – bagai pengadilan dalam perkara perdata, yang kedua cara executie atau menjalankan keputusan hakim, yang ketiga beberapa acara khusus.

BAB XHUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Adanya Hukum Perdata Internasional ialah berdasar pada kenyataan bahwa di dunia ini terdapat sejumlah Negara atau persekutuan hukum yang masing – masing mempunyai hukum perdata sendiri dan yang rakyat – rakyatnya satu sama lain mempunyai hubungan hukum.

Hukum perdata internasional sebagai obyek ilmu pengetahuan adalah ilmu yang sangat muda, tetapi azas dari apa yang kini kita sebut hukum perdata internasional telah terdapat selama kita mengenal hubungan antara orang – orang dari bermacam – macam bangsa.

Hukum perdata internasional pada dewasa ini adalah lebih luas daripada hukum collisie belaka, tetapi peraturan – peraturan collisie merupakan bagian yang terpenting. Tugas hukum perdata internasional ialah pertama – tama member jawaban atas pertanyaan : hukum nasional mana yang harus dipakai oleh hakim dalam sesuatu perselisihan ?

Terdapat analogi antara tugas dari segi hukum perdata internasional ini dan tugas hukum intertemporal. Hukum intertemporal member jawaban atas

Page 25: RINGKASAN PIH

pertanyaan hukum mana berturut – turut menurut waktu harus dipakai oleh hakim. Hukum perdata internasional mengajarkan, hukum perdata nasional yang mana diantara hukum – hukum perdata berbagai Negara itu harus dipakai.

Sumber – sumber yang terpenting dari hukum collisie adalah undang – undang nasional dan kebiasaan nasional. Dengan kebiasaan disini dimaksud kebiasaan yurisprudensi. Karena hakekat hukum collisie yakni sebagian besar terdiri dari peraturan – peraturan yang diikuti oleh hakim dalam menyelesaikan bentrokan undang – undang, maka hukum kebiasaan dalam hal ini harus timbul dari peradilan.

Nama hukum perdata internasional tidak tepat berlaku seluruhnya untuk peraturan – peraturan collisie yang terdapat dalam perundang – undangan. Kalau kita memperhatikan sumber berlakunya peraturan – peraturan tersebut, maka peraturan – peraturan itu tak dapat kita katakana internasional karena peraturan – peraturan itu mengikat hakim berdasarkan hukum nasional dan bukan berdasarkan peraturan – peraturan (traktat) antar Negara – Negara. Peraturan – peraturan itupun tidak internasional, dalam arti mengatur hubungan – hubungan antar Negara – Negara karena maksudnya ialah mengatur hubungan purusa – purusa khusus.

Dalam hukum perdata internasional kini biasanya termasuk juga peraturan – peraturan menurut mana hakim suatu Negara harus memperlakukan warga asing atau dengan kata lain, peraturan – peraturan mengenai kewenangan hukum dan kewenangan bertindak bagi orang asing. Peraturan – peraturan hukum orang asing yang terpenting adalah sebagai berikut :

Undang – undang Dasar pasal 4 : Tiap – tiap orang yang berada di dalam wilayah kerajaan berhak atas perlindungan yang sama mengenai diri dan barang – barang.

B.W. pasal 2 : Tiap – tiap orang yang berada di dalam wilayah Negara bebas dan berhak untuk menikmati hak – hak perdata

Undang – undang A.B. pasal 9 : Hukum perdata Kerajaan adalah sama, baik bagi orang asing maupun bagi orang Belanda selama undang – undang dengan jelas tidak menetapkan sebaliknya.

Lain bagian dari hukum perdata internasional dimana tidak terdapat collisie undang – undang, terdiri atas peraturan – peraturan yang member jawaban atas pertanyaan kekuatan apa yang diberikan di negeri yang satu terhadap putusan – putusan hakim dan akta – akta autentik yang diberikan di negeri lain. Mengenai hal tersebut, di negeri Belanda berlaku sebagai kebiasaan bahwa putusan – putusan hukum asing dan akta – akta autentik tidak dapat dilaksanakan di Belanda.

Bagian – bagian yang penting dari hukum perdata internasional adalah peraturan – peraturan yang ditetapkan dengan traktat antara dua Negara atau lebih yang tidak memuat peraturan – peraturan yang berdiri sendiri mengenai bahan hukum yang tertentu. Ketentua – ketentuan itu disebut ”peraturan tersendiri” perihal hukum perdata internasional, yakni untuk membedakannya dari peraturan – peraturan collisie sebab peraturan tersebut tidak member penyelesaian collisie antara beberapa hukum nasional dengan menunjuk salah satu dari hukum nasional itu sebagai hukum yang harus dilakukan, tetapi peraturan – peraturan itu sendiri memberi peraturan hukum yang sama, yang mengikat Negara – Negara yang mengadakan persetujuan.

Page 26: RINGKASAN PIH

BAB XIHUKUM NEGARA

Nama hukum Negara dipakai dalam arti luas dan arti sempit. Hukum Negara dalam arti luas meliputi hukum administrative. Sedangkan dalam arti sempit, menunjukkan orang – orang yang memegang kekuasaan pemerintah dan batas – batas kekuasaannya. Hukum Negara disebut juga hukum konstitusionil karena ia mengatur konstitusi atau tatanan Negara.

1. NEGARAA. Perkataan Negara dalam berbagai arti

Pertama, Negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan orang atau orang – orang yang melakukan kekuasaan yang tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah.

Kedua, Negara kita dapati juga dalam arti persekutuan rakyat, yakni menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah di bawah kekuasaan yang tertinggi menurut kaidah – kaidah hukum yang sama.

Ketiga, ialah arti suatu wilayah yang tertentu yang menyatakan suatu daerah dimana diam suatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi.

Keempat, Negara terdapat dalam arti kas Negara atau fiskus, jadi untuk harga yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.

Biasanya, kita hanya mau mengakui satu pengertian dari perkataan Negara dan biasanya membayangkan Negara sebagai purusa, yakni purusa hukum, makhluk yang tak berwujud yang terdiri atas tiga bagian : rakyat, pemerintahan dan wilayah, akan tetapi yang bersifat satu dan tak dapat dibagi – bagi. Sebagai juga halnya dengan purusa – purusa hukum lainnya, makas Negara yang purusa hukum itu juga memerlukan lembaga – lembaga untuk melaksanakan kehendaknya. Yang dipandang sebagai lembaga – lembaga demikian itu ialah para pejabat Negara.

B. Negara dan KedaulatanBanyak orang menganggap kedaulatan sebagai sifat cirri yang hakiki dari

Negara. Biasanya mereka mengadakan perbedaan antara kedaulatan Negara (sebagai purusa hukum) dan kedaulatan pendukung kekuasaan Negara. Perkataan kedaulatan timbul di Perancis pada abad menengah. Kedaulatan harus mempunyai tiga sifat : tak dapat dipecah – pecah, asli dan sempurna (tak terbatas).

Kedaulatan tak dapat dipecah – pecah karena dalam suatu Negara hanya terdapat satu kekuasaan yang tertinggi. Kedaulatan harus asli karena kekuasaan yang tertinggi tak dapat berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaan itu. Pengertian kedaulatan ini, yang timbul di Negara dimana tumbuh kekuasaan raja mutlak dank arena itu menjadi cocok benar, tak dapatlah berlaku sebagai sifat dari semua Negara, lebih – lebih pada masa sekarang.

C. Kerajaan dan RepublikPerlawanan kerajaan republic itu dasarnya terletak pada pembagian

Negara – Negara menurut pemegang kekuasaannya yang tertinggi, pemegang kedaulatannya. Jika kekuasaan itu hanya dipegang oleh satu orang, yakni seorang raja, maka Negara itu dinamakan orang kerajaan. Seluruh Negara yang lain, jadi

Page 27: RINGKASAN PIH

seluruh Negara yang kekuasaannya yang tertinggi terletak dalam tangan banyak orang, dinamakan republic.

Kerajaan – kerajaan yang kini masih terdapat di benua Eropa adalah Negara – Negara yang bersifat parlementer, dimana kekuasaan yang tertinggi terletak pada parlemen. Satu – satunya sifat umum dari kerajaan pada waktu ini ialah bahwa kepala negaranya adalah seorang, karena gelarnya dan kedudukan kehormatannya yang bersejarah mengingatkan kita pada raja di zaman dahulu.

D. Tugas – tugas PenguasaTugas penguasa dibagi dalam :

Perundang – undangan : membentuk undang – undang dalam arti materiil, yakni menentukan peraturan – peraturan yang umum mengikat

Peradilan : menetapkan hukum dalam hal – hal yang konkret Polisi : Pengawasan dari penguasa atas paksaan yang dilakukannya supaya

orang – orang mentaati hukum yang telah ditetapkan. Pemerintahan : tiap – tiap tindakan penguasa yang tidak termasuk

perundang – undangan, peradilan atau polisi.Pelaksanaan meliputi polisi dan seluruh tindakan penguasa yang mengenai

pelaksanaan undang – undang, jadi termasuk juga penetapan undang – undang dalam arti materiil, sepanjang ini dilakukan sebagai pelaksanaan undang – undang dalam arti formil.

Perundang – undangan, peradilan dan pelaksanaan, bersama – sama tidak merupakan seluruh tugas penguasa, kecuali jika kita memakai pelaksanaan dalam arti luas, dalam arti segala – galanya yang bukan perundang – undangan dan bukan peradilan. Pembedaan perundang – undangan, peradilan dan pelaksanaan adalah peninggalan ajaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (trias politica) mengatakan bahwa dalam setiap negara terdapat tiga kekuasaan : perundang – undangan, pengadilan dan kekuasaan pelaksanaan. Kekuasaan perundang – undangan harus terletak pada badan perwakilan rakyat, kekuasaan untuk menjalankan undang – undang pada raja, kekuasaan pengadilan pada para hakim yang sama sekali bebas dari kekuasaan pelaksanaan.

2. HUKUM NEGARA DI NEGERI BELANDAa. Azas – azas Pokok Hukum Negara Negeri Belanda

I. Negeri Belanda sebagai Negara kesatuan yang desentralisirII. Negeri Belanda sebagai kerajaan parlementer

b. Sumber – sumber Hukum Negara Negeri BelandaI. Undang – undang DasarII. Undang – undang BiasaIII. Kebiasaan

3. HUKUM ADMINISTRATIFDi negeri Belanda, hukum administrative meliputi :

a. Peraturan – perauran yang harus diperhatikan oleh para pendukung kekuasaan pemerintahan yang memegang tugas pemerintahan dalam menjalankan kewajiban pemerintahan (hukum administrative materiil)

b. Syarat – syarat mengenai cara – cara menjalankan peraturan – peraturan hukum administrative yang bersifat materiil (hukum administrative formil)Dasar – dasar poko hukum administrative terdapat dalam Undang –

undang Dasar, pengolahannya lebih lanjut terdapat dalam beberapa undang – undang khusus, A.M.v.B., verordeningen, dan kebiasaan, misalnya mengenai kesehatan rakyat, pendidikan, lalu lintas, perdagangan dan kerajinan, pertanian dan peternakan, dan sejumlah besar hal – hal lain yang kesemuanya merupakan lapangan yang sangat luas.

Page 28: RINGKASAN PIH

BAB XIIHUKUM PIDANA

Hukum pidana terbagi ke dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

1. HUKUM PIDANA MATERIILHukum pidana materiil menunjukkan peristiwa – peristiwa pidana beserta

hukumannya :

A. Peristiwa PidanaYang dapat dikenal hukuman menurut hukum Negeri Belanda hanyalah

tindakan – tindakan (handelingen) yang oleh undang – undang dengan tegas dapat dinyatakan dikenai hukuman. Sesuatu tindakan hanya dapat dikenai hukuman jika tindakan itu didahului oleh ancama hukuman dalam undang – undang.

Peristiwa pidana mempunyai dua segi : segi obyektif dan segi subyektif. Segi obyektif berkenaan dengan pelaku (subyek dari pelaku peristiwa pidana)

Ditilik dari sudut obyektif, maka peristiwa pidana adalah suatu tindakan (berbuat atau lalai berbuat) yang bertentangan dengan hukum positif, jadi yang bersifat tanpa hak, yang menimbulkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancama hukuman. Unsur yang penting untuk peristiwa pidana (menurut sudut obyektif) adalah sifat tanpa hak (onrechtmatigheid), yakni sifat melanggar hukum. Dimana tak terdapat unsure tanpa hak, tak ada peristiwa pidana.

Menurut segi subyektif, peristiwa pidana adalah “segi kesalahan”, yakni bahwa akibat yang tidak diingini undang – undang, yang dilakukan oleh pelaku dapat diberatkan padanya. Karena itu, maka tidak dapat dihukum, mereka yang melakukan perbuatan yang tidak dapat diberatkan padanya karena otak lemah atau karena akalnya terganggu, misalnya orang gila.

B. HukumanPaling utama ialah pertanyaan bagaimana membenarkan adanya

hukuman : pertanyaan, adalah pemerintah berhak menjatuhkan hukuman atas penjahat, member penderitaan kepadanya. Kitab Undang – undang Hukum Pidana membagi hukuman dalam : hukuman pokok dan hukuman tambahan.

Hukuman pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman – hukuman lain. Hukuman tambahan ( mencabut hak – hak tertentu, penempatan dalam rumah kerja pemerintah, penyitaan barang – barang tertentu, publikasi keputusan hakim) hanya dapat dijatuhkan bersama sama hukuman pokok

C. KriminologiAdalah suatu jasa yang besar dari aliran modern dalam ilmu pengetahuan

hukum pidana, bahwa ia mengemukakan bahwa kejahatan bukanlah hanya suatu tindak pidana, melainkan pertama – tama perbuatan kemanusiaan dan suatu gejala kemasyarakatan. Karena itu maka timbullah keyakinan bahwa study tentang hukum pidana tidak dapat terbatas pada penguraian ”juridisch-dogmatisch” dari unsure – unsure peristiwa pidana, melainkan harus juga menyelediki sebab – sebab dari kejahatan sebagai perbuatan kemanusiaan dan sebagai gejala kemasyarakatan. Penyelidikan ini adalah tugas criminel aetiologie. Tujuan penyelidikan itu adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang alat – alat yang berdasarkan ilmu pengetahuan guna membasmi kejahatan.

Page 29: RINGKASAN PIH

2. HUKUM PIDANA FORMILHukum pidana formil (hukum acara pidana) mengatur cara bagaimana

pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil.Acara pidana sangat berlainan dengan acara perdata. Yang akhir adalah

pertikaian mengenai kepentingan – kepentingan umum. Perbuatan yang dapat dikenai hukuman kini tidak lagi dipandang semata – mata sebagai kesalahan yang langsung mengenai orang yang dirugikan, sebagaimana dahulu menjadi kebiasaan, melainkan pertama – tama sebagai pelanggaran tertib hukum, jadi sebagai pelanggaran terhadap masyarakat.

Sifat “accusatoir” dari acara pidana, yang dimaksud adalah prinsip bahwa dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rechtsstrijd) di muka hakim yang berpihak, kebalikannya ialah azas “inquisiton” dalam mana hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri yang bertindak sebagai oran yang mendakwa, jadi dalam man tugas dari orang – orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang. Dalam acara accusatoir terdapat tiga “subyek acara” (processubjecten) : orang yang mendakwa, terdakwa dan hakim.

3. SUMBER – SUMBER HUKUM PIDANAa. Sumber yang terpenting dari hukum pidana materiil adalah “Wetboek

van Strafrecht” yang ditetapkan pada tanggal 3 Maret 1881 (stbl no. 35) dan mulai berlaku tanggal 1 September 1886. Ia menggantikan Kitab Undang – undang Perancis, Code Penal.

b. Yang kedua adalah “Wetboek van Strafvordering” yang ditetapkan pada tanggal 15 januari 1921 (Stbl. No. 14) dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926.

BAB XIIIHUKUM ANTAR NEGARA

Hukum antar Negara atau “Volkenrecht” berasal dari “ius gentium”. Tetapi ius gentium dari bangsa Rumawi sangat berlainan dari hukum antar Negara dalam arti kata yang modern. Menurut bangsa Rumawi, ius gentium adalah peraturan – peraturan hukum yang berlaku, baik untuk kaula Rumawi maupun orang – orang asing, jadi berlainan benar dengan ius civile yang hanya menguasai hubungan antara kaula Rumawi.

Di samping hukum yang berlaku di tiap – tiao Negara atas penetapan atau pemasukan oleh pemerintah (ius civile), terdapat ius gentium sebagai hukum yang berlaku untuk segala bangsa, jadi untuk seluruh umat manusia. Acapkali yang terakhir itu dibedakan juga dari hukum kodrat (ius natural). Yang dimaksud dengan hukum kodrat adalah hukum yangditanam oleh Tuhan dalam jiwa tiap – tiap makhluk yang diberkati akal, dengan kata lain seluruh peraturan – peraturan yang diperuntukkan bagi tiap – tiap manusia oleh akal kodrat ; jadi hukum yang abadi, yang tidak berubah dan yang berlaku dimana – mana. Dan ius gentium sangat mendekati hukum kodrat, sehingga banyak orang yang memandangnya sebagai hukum kodrat.

Pandangan yang melihat hukum antar Negara sebagai sudut hukum kodrat, yakni yang memandang hukum antar Negara sebagai hukum bagi seluruh umat manusia, hingga dewasa ini masih tampak pengaruhnya. Masih tetap terdapat ahli hukum yang berpendapat bahwa baik perseorangan maupun Negara adalah subyek hukum antar Negara, pendukung hak – hak dan kewajiban – kewajiban

Page 30: RINGKASAN PIH

yang diberikan oleh hukum antar Negara atau dengan kata lain, hukum antar Negara tidaklah hanya mengatur hubungan antar Negara, melainkan juga antara Negara dan kaula – kaula dari Negara – Negara lain. Akan tetapi pandangan itu tak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Dalam pada itu, ada juga Negara – Negara atau persekutuan – persekutuan hukum yang untuk sebagian bergantung kepada Negara lain, yang sedikit banyak ikut dalam hubungan hukum antar Negara, tetapi kekuasaan internasionalnya terbatas yang biasa disebut orang, Negara – Negara yang setengah berdaulat, misalnya :1. Negara – Negara bagian dari beberapa Negara – Negara serikat sebagai

kanton – kanton Negara Swiss2. Protektorat – protektorat, yakni Negara – Negara yang semulanya berdaulat

Bukan hanya Negara – Negara tersendiri saja, melainkan ikatan – ikatan negarapun dapat juga menjadi subyek hukum antar Negara, dan yang terpenting adalah sebagai berikut :a. Perserikatan Negara (Statenbond), yang merupakan ikatan Negara –

Negara yang merdeka.b. Perserikatan Bangsa – bangsa (United Nations), yang bertindak dalam

hidup internasional dengan perantaraan berbagai badan yang terpenting diantaranya adalah siding umum (general assembly), dewan keamanan (security council), dewan ekonomi dan social, secretariat, dan mahkamah internasional.

Beberapa orang mengatakan, hukum antar Negara tidak mempunyai sifat hukum. Menurut mereka, peraturan – peraturan yang disebut hukum antar Negara, bukan hukum melainkan hanya menyatakan pandangan moril yang berlaku dalam pergaulan internasional atau perbandingan kekuasaan sebenarnya antara Negara – Negara (politik internasional) atau sopan santun internasional (comitas gentium). Pandangan itu berpangkal pada pengertian hukum yang tidak tepat. Untuk mereka, tak ada hukum selain hukum undang – undang. Akan tetapi, barang siapa yang menarik kesimpulan bahwa hukum antar Negara bukanlah hukum, dia lupa bahwa hukum tidak sama dengan undang – undang. Dalam tiap – tiap Negara terdapat juga hukum di luar hukum undang – undang.

Biasanya, orang – orang membagi hukum antar Negara ke dalam hukum damai, yang mengatur hubungan antara Negara – Negara di waktu damai dan hukum perang yang memuat peraturan – peraturan untuk keadaaan perang. Hukum damai meliputi :

a. Peraturan – peraturan mengenai batas – batas daerah hukum Negara – Negara satu sama lain.

b. Peraturan – peraturan mengenai lembaga – lembaga yang bertindak sebagai wakil Negara – Negara. Lembaga – lembaga tersebut dibagi ke dalam lembaga nasional yang mewakili Negara tertentu dan lembaga internasional yang dibentuk Negara – Negara bersama dengan perjanjian. Lembaga – lembaga nasional diantaranya :

Kepala Negara, lembaga perwakilan yang tertinggi. Para duta, yang mewakili pemerintahannya di dalam semua

hubungan yang bersifat hukum antar Negara pada satu atau lebih pemerintahan.

Para konsul, yang diangkat untuk daerah yang tertentu di dalam Negara yang menerimanya dan mempunyai tugas untuk mengurus kepentingan – kepentingan ekonomi Negara yang mengangkatnya dan melindungi hak – hak dan kepentingan – kepentingan warga Negara yang ada disana.

c. Peraturan – peraturan tentang pembentukan hukum internasional

Page 31: RINGKASAN PIH

d. Peraturan tentang sejumlah kepentingan – keoentingan bersama dari Negara – Negara.

e. Peraturan – peraturan mengenai tanggung jawab untuk akibat – akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum antar Negara.

f. Peraturan – peraturan mengenai penyelesaian perselisihan – perselisihan internasional secara damai.

Hukum perang dapat dibagi dalam hukum peperangan (krijgsrecht) yang mengatur hubungan antara Negara – Negara yang berperang dan hukum netral yang mengenai hubungan antara Negara – Negara yang berperang dengan Negara – Negara yang netral.

Hukum peperangan membatasi cara – cara perperang dengan peraturan – peraturan yang maksudnya memperkecil kekejaman peperangan, penderitaan dan penghancuran yang diakibatkannya sepanjang ia dapat disatukan dengan tujuan peperangan, yakni menjatuhkan dan menaklukan kekuasaan musuh. Dalam hal – hal lain, untuk perang di laut berlaku peraturan – peraturan yang khusus, yang menyimpang dari peraturan – peraturan peperangan di darat. Karena itu kita mengenal hukum peperangan di laut dan hukum peperangan di darat. Untuk peperangan di udara belum terdapat peraturan – peraturan yang khusus.

Hukum kenetralan mengatur hak – hak dan kewajiban – kewajiban timbale balik antara Negara – Negara yang berperang dan Negara – Negara yang netral harus menjauhkan diri dari segala bantuan yang langsung atau tidak langsung kepada pihak – pihak yang berperang dan sebaliknya mempunyai hak supaya kepentingannya dihormati.

BAB XIVHUKUM PERBURUHAN

Hukum perburuhan disini bukan yang dimaksud dengan peraturan – peraturan mengenai hubungan kerja pada umumnya, melainkan hubungan kerja yang timbul dari melakukan kerja upah untuk orang lain. Hukum perburuhan ini adalah hasil dari zaman baru. Peraturan – peraturan yang bersifat undang – undang mengenai hubungan perburuhan di negeri Belanda antara 1838 – 1874 terbatas pada tiga buah pasal yang terdapat dalam Kitab Undang – undang Sipil (pasal 1637 – 1639). Peraturan – peraturan itu, yang pada waktu itu juga bersifat mengatur sehingga ia dapat disampingkan oleh perjanjian antara majikan dan buruh, berarti satu – satunya campur tangan pembentuk undang – undnag mengenai hubungan perburuhan, jadi mengenai kedudukan hidup dari bagian yang terbesar dari rakyat.

Hubungan – hubungan perburuhan tidak semata – mata dikuasai oleh undang – undang (dalam arti materiil). Di samping peraturan – peraturan yang ditetapkan pemerintah ada pulayang dinamakan “autonoom arbeidsrecht” (peraturan - peraturan yang dibuat oleh buruh dan majikan sendiri). Perjanjian buruh kolektif dalam dua hal berlainan dari kontrak kerja perseorangan. Perbedaan yang pertama mengenai para pihak yang dapat melakukannya, antara lain menganggap setidaknya ada colletivitet pada salah satu pihak, yaitu pihak buruh. Perbedaan yang kedua mengenai isi perjanjian. Perjanjian perburuhan perseorangan adalah perjanjian dalam mana satu pihak, yakni buruh mengikat diri untuk bekerja pada pihak yang lain, yaitu majikan dengan mendapat upah. Sebaliknya pada kontrak kolektif, tidak ada persetujuan yang mengatakan bahwa pihak kesatu bekerja pada piha lain, melainkan ditetapkan peraturan – peraturan yang harus diperhatikan bila kemudian mengadakan perjanjian perburuhan perseorangan.

Page 32: RINGKASAN PIH

Kontrak kolektif mengikat semua pihak, majikan dan buruh yang menjadi anggota perserikatan – perserikatan yang membuat kontrak. Jadi majikan dan buruh terikat oleh peraturan tersebut yang dibuat oleh perseriatannya walaupun mereka sendiri tidak membantu membuatnya. Jadi kontrak kolektif itu sebagai peraturan yang berdiri di atas perjanjian perburuhan perseorangan, banyak menyerupai undang – undang.

Undang – undang tahun 1927 maju selangkah lagi dengan mewajibkan majikan yang terikat pada perjanjian perburuhan kolektif untuk memenuhi peraturan – peraturan tentang syarat – syarat perburuhan yang terletak dalam perjanjian perburuhan, yang dibuatnya dengan kaum buruh yang tidak terikat kontrak kolektif. Undang – undang 1927 berarti suatu langkah yang penting kea rah perkembangan perjanjian perburuhan kolektif kea rah undang – undang.Akhirnya Stbl. No. F 214 membawa campur tangan pemerintah yang lebih jauh dalam mengatur syarat – syarat perburuhan dan pembatasan – pembatasan kebebasan kontrak yang lebih keras dalam lapangan itu. Dan akhirnya juga, fase yang baru dalam pertumbuhan hukum perburuhan adalah organisasi perburuhan internasional.

Hukum perburuhan pada waktu ini, sebagian adalah hukum perjanjian juga : peraturan kontrak perburuhan malah menjadi salah satu nagian yang terpelihara dari hukum perjanjian yang dilakukan oleh pembentuk undang – undang yang selanjutnya lebih – lebih dapat dibedakan dari yang lain disebabkan sifat memaksanya yang kuat. Akan tetapi di samping bagian hukum perjanjian itu, tumbuh peraturan kedudukan hukum kaum buruh yang terutama bersifat hukum public.

BAB XVKESENIAN HUKUM, ILMU HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM

1. KESENIAN HUKUM

Dalam mengabdi pada kehidupan dalam praktek, jiwa manusia juga dapat menunjukkan pandangannya pada mencari dan merumuskan kaidah – kaidah hukum atau dengan kata lain pada peraturan – peraruran menurut mana sepatutnya orang – orang harus bertindak dalam masyarakat. Dengan demikian ia mempelajari kesenian hukum.

Kita mendahulukan kesenian hukum karena kesenian hukum sebagai kesenian hidup adalah primair. Kesenian hukum sudah dipelajari lama sebelum ada ilmu pengetahuan. Bahkan acapkali kita dapat melihat perkembangan kesenian hukum yang kaya pada bangsa – bangsa yang primitive yang menjelma dalam pemakaian pepatah – pepatah hukum dan lambing – lambing hukum.

A. Perundang – undanganKesenian perundang – undangan kini termasuk kesenian hukum yang

utama. Kesenian perundang – undangan itu biasanya dibagi dalam : Politik perundang – undangan, yakni menetapkan tujuan dan isi

peraturan undang – undang Teknik perundang – undangan, yakni cara merumuskan peraturan

– peraturan tersebut sedemikian rupa, sehingga maksud yang dikandung oleh pembentuk undang – undang dengan jelas ternyata di dalamnya.

Page 33: RINGKASAN PIH

B. Peradilan

I. Tugas hakim menurut pandangan abad ke-19Pandangan bahwa tugas hakim dalam prinsipnya berlainan dari

tugas pembentuk undang – undang untuk beberapa lama berkuasa. Pandangan itu mengatakan bahwa pembentuk undang – undang mencipta undang – undang, hakim melakukannya.

II. Ajaran hukum bebas atau ajaran menemukan hukum dengan bebasTitik pangkal ajaran hukum bebas atau ajaran menemukan hukum

dengan bebas (vrije rechtsvinding) ialah bahwa tidak segala hukum terdapat di dalam undang – undang, bahwa di samping undang – undang terdapat sumber - sumber yang lain darimana hakim mengambil hukum. Hukum tersebut dipandang orang sebagai “bebas” (artinya sebagai hukum yang tidak diciptakan oleh Negara) terhadap undang – undang.

III. Tugas hakim menurut pandangan pada masa iniPandangan bahwa pekerjaan hakim tak lain daripada memasukkan

hal yang harus diputuskannya ke dalam suatu peraturan undang – undang yang dengan sendirinya menyatakan akibat hukumannya dengan selayang pandang saja, dalam perundang – undangan pidana modern dengan ancaman hukumannya yang relative sudah nyata benar tak dapat dipertahankan.

Pandangan bahwa hakim tidak boleh melakukan cara penafsiran yang lain daripada penafsiran tata bahasa, sistematis atau sejarah, berarti mengingkari tugasnya yang tidak bersifat ilmiah, jadi yang tidak semata – mata harus terikat pada cara – cara yang biasanya dipakai dalam ilmu pengetahuan. Tugas hakim sebagai penafsir undang – undang adalah pekerjaan yang praktis dan bersifat menyesuaikan undang – undang pada tuntutan zaman sepanjang hal itu dapat dilakukan dengan tiada menyinggung peraturan perundang – undangan yang serba jelas belaka.

Jika analogipun membiarkan hakim tidak berdaya, maka keputusan hal yang khusus itu sama sekali harus dicarinya di luar menurut peraturan yang dibentuknya seolah – olah ia pembentuk undang – undang. Dalam pada itu, pengadilan dan ajaran hukum dapat dipergunakannya sebagai pedoman.

C. Ajaran HukumYang dimaksud dengan ajaran hukum ialah apa yang biasanya

disebut ilmu pengetahuan hukum dogmatis atau sistematis. Maksudnya ialah pencatatan sistematis dari kaidah – kaidah hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam masyarakat yang tertentu pula. Kaidah – kaidah adalah pertimbangan – pertimbangan nilai, pandangan – pandangan manusia tentang apa yang seharusnya tidak dilakukan dan sebagai demikian tak dapat merupakan obyek ilmu pengetahuan.

Untuk menyusun bahan hukum secara sistematis, diperlukan alat – alatnya – susunan mana yang diperlukan untuk memperoleh pandangan dan untuk menguasai bahan hukum – adalah pengertian – pengertian hukum. Akan tetapi bukan itu saja tugas ajaran hukum ; tak mungkin terhenti disitu, jika ia menghendaki supaya dapat membuat sistemnya selengkap – lengkapnya.

Page 34: RINGKASAN PIH

2. ILMU PENGETAHUAN HUKUM

Hukum sebagai gejala masyarakat, jadi sebagai keseluruhan kebiasaan – kebiasaan hukum yang berlaku di dalam masyarakat adalah obyek dari ilmu pengetahuan hukum. Sebagai juga halnya dengan tiap – tiap ilmu pengetahuan lainnya, ia tak puas dengan mencatat gejala – gejala yang dilihatnya, akan tetapi sebanyak mungkin juga menerangkannya dari hubungan sebab akibat dengan gejala – gejala lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia memakai tiga buah cara :

Cara sosiologis, yang menyelidiki sangkut paut hukum dengan gejala – gejala masyarakat lainnya

Cara sejarah, yang menyelidiki sangkut paut hukum dari sudut perjalanan sejarahnya atau dengan kata lain, yang menyelidiki pertumbuhan hukum secara historis

Cara perbandingan hukum, yang membandingkan satu sama lain tatanan – tatanan hukum dari berbagai masyarakat hukum

A. Sosiologi HukumSosiologi hukum merupakan cabang yang termuda pada pohon

ilmu pengetahuan hukum dan usianya yang muda itu tampak pada hasil – hasilnya yang hingga kini masih sangat sedikit. Segala gejala pergaulan hidup manusia oleh sosiologi dijadikan obyek penyelidikan. Sedangkan ilmu – ilmu social lainnya mempelajari gejala masyarakat tertentu ; hukum, agama, kesenian, kemakmuran rakyat dsb., sosiologi hendak menguraikan simpul hubungan antara gejala – gejala itu semuanya. Hukumpun mengambil tempat dalam sosiologi, akan tetapi ia hanya dipandang dalam hubungan gejala – gejala masyarakat lainnya.

Sebaliknya sosiologi hukum mempergunakan hukum sebagai titik pusat penyelidikannya. Dengan berpangkal pada kaidah – kaidah yang diuraikan dalam undang – undang, keputusan – keputusan pemerintah, peraturan – peraturan, kontrak, keputusan – keputusan hakim, tulisan – tulisan yang bersifat yuridis dan dalam sumber – sumber yang lain, sosiologi hukum menyelidiki adakah dan sampai dimanakah kaidah – kaidah tersebut dengan sunggguh dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.

B. Sejarah HukumWalaupun sejarah hukum lebih tua usianya dari sosiologi hukum,

namun cabang ini masih merupakan cabang ilmu pengetahuan yang agak muda karena terjadinya disebabkan oleh aliran hukum historis Savigny.

Apa yang sebenarnya sejak lama disebut sejarah hukum sebenarnya tak lain daripada pertelaan sejumlah peristiwa – peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis jadi adalah kronik hukum.

C. Perbandingan HukumHukum berbeda menurut tempat dan waktu, akan tetapi tak ada

hukum suatu waktu, suatu bangsa atau suatu Negara yang berdiri sendiri. Perbandingan hukum menyatakan, bahwa di samping perbedaan banyak juga terdapat persamaan antara hukum berbagai bangsa.

Ilmu pengetahuan perbandingan hukum mengambil teladan kepada ilmu pengetahuan bahasa perbandingan yang mengajarkan kita bahwa parallel – parallel antara hukum dan pertumbuhan hukum dari aneka

Page 35: RINGKASAN PIH

bangsa kebanyakan dapat diterangkan dari adanya keturunan bersama dari bangsa – bangsa tersebut.

3. FILSAFAT HUKUM

Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan : Apakah hukum ? Ia menghendaki agar kita berfikir masak – masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Ilmu pengetahuan hukum pun dapat menjawabnya, hanya ia tak dapat memberikan jawaban yang serba memuaskan karena ia tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala – gejala hukum belaka.

Dimana ilmu pengetahuan hukum berakhir, disanalah mulai filsafat hukum ; ia mempelajari pertanyaan – pertanyaan yang tak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Jumlah pertanyaan – pertanyaan tersebut tak terhingga banyaknya, sehingga ahli filsafat hukum pada hakekatnya lebih suka mempelajari pertanyaan – pertanyaan yang terpenting. Dan pertanyaan – pertanyaan yang terpenting itu adalah sebagai berikut :

a. Adakah pengertian hukum yang berlaku umum ?b. Apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ?c. Adakah sesuatu hukum kodrat ?

Dan yang menjawab pertanyaan – pertanyaan itu adalah filsafat hukum.