Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )
-
Upload
denise-williams -
Category
Documents
-
view
180 -
download
9
Transcript of Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )
BAB I
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. PENGERTIAN AGRARIA
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang
satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata
ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata
agrarius mempunyai arti sama dengan “ perladangan, persawahan, pertanian”.
Dalam terminology bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian,
perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian
yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian
agrarian ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan seringkali
digunakan untuk menunjuk kepada perangakat peraturan hokum yang bertujuan
mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan
penguasaan dan pemilikan tanah.
Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminology bahasa
sebagaimana diatas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca
konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri.
Oleh karena itu, pengertian agraria dan hokum agraria mempunyai arti atau
makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 1 ayat (2)).
Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah),
tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawahnya air (Pasal 1 ayat (4) jo.
Pasal 4 ayat 1 (1)).
Lebih jauh Boedi Harsono mengatakan bahwa pengertian air meliputi
baik perairan pendalaman walaupun laut wilyah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)).
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan (yang telah
diubah dengan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) telah diatur
dalam pengertian air yang tidak termasuk dalam arti yang seluas itu. Hal ini
meliputi air yang terdapat didalam dan atau yang berasal dari sumber air, baik
yang terdapat diatas maupun dibawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air
yang terdapat dilaut (Pasal 1 angka 3).
Berkaitan dengan pengertian air tersebut, dalam UUPA diatur pula
mengenai pengertian kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk
didalamnya bahan galian, mineral biji-bijian dan segala macam batuan,
termasuk batu-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-
Undang No.11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan).
Untuk pengertian mengenai kekayaan alam yang terkandung didalam air adalah
ikan dan semua kekayaan yang berada didalam perairan pedalaman dan laut
wilayah Indonesia (UU No.8 Tahun 1985 tentang perikanan jo UU No.31 Tahun
2004). Pada tahun 1983 hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh
bumi dan air terwujud dengan keluarnya Undang-Undang No.5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk
melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan lain-lainnya atas sumber daya alam
hayati dan non-hayati yang terdapat didasar laut serta tubuh bumi dibawahnya
dan air diatasnya.
Berkaitan dengan pengertian agraria diatas, tujuan pokok yang ingin
dicapai dengan adanya UUPA, yaitu :
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hokum agraria
nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
Rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang
adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan
kesederhanaan dalam hokum pertanahan.,
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hokum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan. Dengan
mengacu pada tujuan pokok diadakannya UUPA, jelaslah
bahwa UUPA merupakan sarana yang akan dipakai untuk
mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara sebagiamana yang
diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan Bangsa
Indonesia.
B. PENGERTIAN TANAH
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai
tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian
tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut;
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
yang Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain serta badan-badan hokum.
Dengan demikian, yang dimaksud istilah tanah dalam Pasal diatas ialah
permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat
dihaki oleh setiap orang atau badan hokum. Oleh karena itu, hak-hak yang
timbul diatas hak permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk didalamnya
bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnya merupakan suatu persoalan
hokum. Persoalan hokum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan
dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah
dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.
1. Asas Perlekatan Horizontal (Horizontale Accessie Beginsel)
Didalam KUHPerdata yang merupakan induk dari ketentuan hokum
yang mengatur hubungan secara pribadi atau perdata, dianut asas perlekatan,
yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas
perlekatan ini terdiri atas perlekatan horizontal atau mendatar dan perlekatan
vertical. Asas perlekatan tersebut diatur dalam perumusan Pasal 500, Pasal
506, dan Pasal 507 KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata selain dikenal asas perlekatan yang bersifat
horizontal, dikenal pula asas perlekatan yang vertical. Hal ini diatur dalam
Pasal 571 KUH Perdata. Dalam Pasal 571 KUH Perdata dinyatakan bahwa
hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang
ada diatasnya dan didalam tanah itu.
2. Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding)
Berlainan dengan asas yang terdapat pada Negara-negara yang
menggunakan asas perlekatan, hokum tanah yang dianut oleh UUPA
bertumpu pada hokum adat, dimana tidak mengenal asas perlekatan tersebut,
melainkan menganut asas “pemisahan horizontal” (dalam bahasa Belanda
disebut Horizontale Scheiding), dimana hak atas tanah tidak dengan
sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas
tanahnya.
Menurut Djuhaendah Hasan, Asas perlekatan vertical tidak dikenal
didalam Hukum Adat, karena mengenal asas lainnya yaitu asas pemisahan
horizontal dimana tanah terlepas dari segala sesuatu yang melekat padanya.
Didalam Hukum Adat, benda terdiri atas benda tanah dan benda bukan
tanah, dan yang dimaksud dengan tanah memang hanya tentang tanah saja
(demikian pula pengaturan hokum tanah dalam UUPA) sesuatu yang
melekat pada tanah dimasukkan dalam pengertian benda bukan tanah dan
terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda tanah.
C. SUMBER HUKUM TANAH INDONESIA
Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah
kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun
masa yang akan datang. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan
riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan
pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa
lampau dan saat ini. Sumber hokum tanah dapat dikelompokkan dalam:
1. Hokum Tanah Adat, dibagi 2 yaitu:
a. Hukum Tanah Adat masa Lampau
b. Hukum Tanah Adat masa Kini
2. Kebiasaan
3. Tanah-Tanah Swapraja
4. Tanah Partikelir
5. Tanah Negara
6. Tanah Garapan
7. Hukum Tanah Belanda
8. Hukum Tanah Jepang
9. Tanah-Tanah Milik Perusahaan Asing Belanda
10. Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Belanda
11. Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (V.B)
12. Tanah Bondo Deso
13. Tanah Bengkok
14. Tanah Wedi Kengser
15. Tanah Kelenggahan
16. Tanah Pekulen
17. Tanah Res Extra Commercium
18. Tanah Absentee
19. Tanah Oncoran, dan Tanah bukan Oncoran.
Selanjutnya sumber-sumber Hukum Tanah di Indonesia dapat diuraikan
sebagai berikut.
1. Hukum Tanah Adat
Menurut pandangan Kappayne, untuk memahami hokum adat Indonesia,
orang harus menempatkan diri dalam Lingkungan Indonesia, harus melihat
hokum rakyat sebagai suatu kesatuan dan tidak boleh memisahkan Jawa dari
daerah-daerah Jawa.
Sementara itu di Indonesia, hokum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hokum adat dimana sendi-sendi dari hokum tersebut
berasal dari masyarakat hokum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan social, dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa dan
sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B.F. Sihombing , hokum tanah
adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam
masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak
mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula
ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. Adapun tanah adat terdiri
dari 2 jenis, yaitu:
a. Hukum Tanah Adat Masa Lampau
Hukum tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan
menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan
Jepang, serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti
kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya pengakuan.
Adapun cirri-ciri hokum tanah adat masa lampau adalah sebagai
berikut.
Ciri-ciri tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki
dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat
yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara
tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan
budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih berada
dilokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik
berupa sawah, ladang, hutan, dan symbol-simbol berupa makam,
patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah yang ada di Negara
Republik Indonesia.
b. Hukum Tanah Adat Masa Kini
Hukum tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai
sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai
sekarang, dengan bukti autentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak
agrarische eigendom, milik yayasan, hak atas druwe atau hak atas
druwe desa, hak usaha atas tanah bekas, partikelir, fatwa ahli waris,
akta peralihan hak, dan surat segel dibawah tangan, dan bahkan ada
yang memperoleh sertifikat serta surat pajak hasil bumi, dan hak-hak
lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hokum adat tersebut, serta
masih diakui secara internal maupun eksternal.
Adapun cirri-ciri Hukum Tanah Adat masa kini adalah tanah-
tanah yang dimiliki seseorang maupun sekelompok masyarakat adat
dan masyarakat didaerah pedesaan maupun dikawasan perkotaan,
sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumnya kemudian secara
turun-temurun telah berpindah tangan kepada orang lain, dan
mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau
dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hokum. Secara
ringkas cirri-ciri Hukum Adat Tanah Masa kini ialah:
a. Ada masyarakat, Badan Hukum Pemerintah/swasta
b. Masyarakat didaerah pedesaan atau perkotaan
c. Turun-temrun atau telah berpindah tangan atau dialihkan
d. Mempunyai bukti ppemilikan berupa girik, verponding
Indonesia, petuk, ketitir, sertifikat, fatwa waris, penetapan
pengadilan, hibah, akta peralihan, surat dibawah tangan, dan
lain-lain.
e. Menguasai secara fisik; berupa masjid, kuil, gereja, candi,
danau, patung, makam, sawah, adang, hutan, rumah adat,
gedung, sungai, gunung, dan lain-lain.
2. Kebiasaan
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hokum adat,
karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak
menguntungkan dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa
tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan
penghidupan, merupakan tempat dimana para warga yang meninggal dunia
dikuburkan; dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal para
dewaa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam. Didalam
hokum adat, antara masyarakat hokum merupakan kesatuan dengan tanah yang
didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali; hubungan yang bersumber
pada pandangan yang bersifat religio-magis.
Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan
masyarakat hokum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut,
memanfaatkannya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas
tanah juga berburu terhadap binatang-binatang yang ada disitu. Hak masyarakat
hokum atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.
3. Tanah-Tanah Swapraja
Menurut hokum ketatanegaraan dahulu daerah-daerah Swapraja dibagi
atas:
a. Swapraja dengan “kontrak panjang” (Lange Contracten)
b. Swapraja dengan “kontrak pendek” (Korte Verklaring)
Dengan demikian, peraturan-peraturan agraria swapraja pada umumnya
boleh dikatakan pada pokoknya selaras dengan peraturan-peraturan yang ada
didaerah-daerah lainnya di Indonesia, meskipun ada kalanya masing-masing
daerah swapraja terdapat beberapa peraturan yang tidak sama dengan
peraturan-peraturan yang ada didaerah luar swapraja, misalnya peraturan
tentang landbouwconcessie (izin pertanian) di Sumatra Timur dan landhuur
(persewaan tanah) di Surakarta dan Yogyakarta. Hak tanah di daerah-daerah
Swapraja masih mempunyai sifat-sifat keistimewaan berhubung dengan
sturuktur pemerintahan dan masyarakat yang sedikit atau banyak adalah
lanjutan system feodal.
4. Tanah Partikelir
Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka secara factual hamper seluruh
Indonesia terdapat tanah dengan berbagai ragam dan corak, salah satu
diantaranya adalah tanah partikelir. Kemudian tanah-tanah yang ada tersebut
hamper dimiliki oleh orang-orang asing atau badan-badan hokum asing, yaitu:
a. Hak erpacht untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta
hektar.
b. Hak konsensi untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta
hektar.
c. Hak eigendom, hak postal, hak erpacht untuk perumahan atas
kuranglebih dari 200.000 bidang.
Kalau ditilik mengenai asal muasal dari tanah partikelir ini, maka tanah
ini merupakan tanah yang namanya diberikan oleh Belanda dengan nama
eigendom. Dengan demikian pengertian tanah partikelir ini ialah tanah-
tanah ”eigendom” diatas nama pemiliknya sebelum undang-undang ini
berlaku mempunyai hak pertuanan. Selain itu mewarisi pula tanah-tanah
eigendom yang disebut tanah “partikelir”. Jadi tanah-tanah partikelir
adalah tanah-tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang
istimewa. Perbedaan antara tanah-tanah eigendom lainnya adalah adanya
hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang dahulu disebut
landheerlijke rechten dan di Indonesia hak-hak pertuanan.
5. Tanah Negara
Menurut Dirman, tanah-tanah Negara dapat dibagi atas 2 bagian yaitu:
a. Tanah Negara yang bebas ( Vrij staatsdomein ) artinya tanah Negara yang
tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
b. Tanah Negara yang tidak bebas, ( Onvrij staatsdomein ) artinya tanah
Negara yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan peraturan pertama yang
mengatur tanah Negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
L.N. 1953 Nomor 14 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan tanah Negara adalah tanah yang dikuasai
penuh oleh Negara, kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan
undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan
pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu kementrian, jawatan, atau
Daerah Swatantra maka penguasaan tanah Negara ada pada Mentri Dalam
Negeri. Dalam pasal 1 huruf a dinyatakan bahwa Mentri Dalam Negeri
berhak untuk:
a. Menyerahkan penguasaan itu kepada Kementrian, Jawatan atau Daerah
Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementrian,
Jawatan, atau Daerah Swantantra itu, dan
b. Mengawasi agar supaya tanah Negara dipergunakan sesuai dengan
peruntukkannya dan bertindak mencabut penguasaan atas tanah Negara
apabila penyerahan penguasaan ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas
tanah yang diserahkan penguasaannya ternyata sangat melebihi
keperluannya dan tanah itu tidak dipelihara atau dipergunakan
sebagaimana mestinya.
6. Tanah Garapan
Garapan atau memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan atau
menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya,
dengan tidak mempersoalkan apakah bangunan itu digunakan sendiri atau tidak.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur soal tanah garapan ini
dapat dibedakan menjadi tiga rukun waktu, pertama periode sebelum Tahun
1945, antara lain:a. staatsblad Tahun 1927 Nomor 177 tentang Onwettige
Occupatie van Landsdomein.b.Staatsblad Tahun 1912 Nomor 177 tentang Sewa
Tanah Kepada Onwittege occupatie.c.staatsblad Tahun 1925 Nomor 649 tentang
Ketentuan Baru mengenai Pembukaan Tanah Oleh Orang Indonesia di Jawa dan
Madura, kedua, periode Tahun 1945-1950, antara lain:UUD 1945, dan
Keputusan Penguasa Perang Pusat tanggal 14 april 1958 Perpu Nomor
011Tahun 1958 jo. Nomor 014 Tahun 1959 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin Yang Berhak atas Kuasanya, ketiga, periode Tahun 1960 jo. Undang-
Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961
tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya,
dan diDaerah DKI Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 886 Tahun 1983 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Penguasaan
/perlimpahan Tanah Tanpa Hak di Wilayah Provinsi DKI Jakarta.
7. Hukum Tanah Belanda
Hokum pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan
tetap mengacu pada ketentuan peraturan hokum tanah, yaitu Agrarische wet ini,
sangat bertentangan dengan peraturan hokum tanah yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, pada
zamanpenjajahan Belanda terdapat dualism hokum pertanahan, yaitu hokum
tanah yang tunduk pada peraturan hokum yang ada di Indonesia, yakni Hukum
Tanah Adat.
8. Hukum Tanah Jepang
Berakhirnya pemerintah Belanda di Indonesia ditandai dengan terjadinya
penyerahan kekuasaan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang.
Penyerahan kekuasaan tersebut dilakukan pada tanggal 8 maret1942 di Kalijati,
Bandung oleh Letnan Jendral Ter Poorten yang mewakili pemerintah Belanda ke
pemerintah Jepang yang diwakili oleh Letnan Jendral Imamura. Sementara itu
kota Jakarta, Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tanggal 5 Maret
1942, dan kemudian pada tanggal 7 Maret 1942 pembesar tentara jepang di
Jakarta mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang
Menjalankan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Pemerintahan Jepang dalam melakukan roda perekonomian, khususnya
dibidang pertanahan sangat rajin melakukan pembentukkan peraturan baru dan
bahkan melakukan adopsi peraturan hokum tanah yang terdapat di Negara-
negara yang lainnya. Hal ini terbukti bahwa Jepang mempunyai lebih dari 270
hukum yang berkaitan dengan tanah. Akhirnya pada Tahun 1889 barulah
diumumkan Basic Land Act yang berisi empat prinsip: (1) bahwa prioritas
seharusnya diberikan terhadap kesejahteraan public; (2) bahwa penggunaan yang
tepat dan terencana seharusnya dipromosikan; (3) bahwa transaksi yang bersifat
spekulatif harus dibatasi; dan (4) bahwa kewajiban pajak seharusnya sepadan
dengan keuntungan.
9. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang akan dinasionalisasi harus
mempunyai criteria menyangkut isi, dan sifat dari perusahaan tersebut. Adapun
isi dan sifatnya perusahaan Belanda tersebut sebagai berikut: (a) perusahaan-
perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perorangan
warga Negara Belanda dan bertempat kedudukan dalam wilayah Republik
Indonesia; (b) perusahaan milik suatu badan hokum yang seluruhnya atau
sebagian modal perseorangannya atau modal pendiriannya berasal dari
perseorangan warga Negara Belanda dan badan-badan hokum itu
bertempat/berkedudukan di wilayah Republik Indonesia; (c) perusahaan yang
letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian
merupakan perusahaan milik perseorangan warga Belanda yang kediamannya
diluar wilayah Republik Indonesia; (d) perusahaan yang letaknya dalam wilayah
Republik Indonesia dam merupakan milik suatu badan hokum yang bertempat
kedudukan dalam wilayah Negara kerajaan Belanda.
Sementara itu, dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 86 Tahun 1958
dinyatakan bahwa tiap-tiap perusahaan yang dikenakan nasionalisasi, khususnya
yang termaksud dalam poin a, c dan d termasuk seluruh kekayaan dan harta
cadangan, baik yang berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang
merupakan hak atau piutang. Adapun untuk butir b termasuk seluruh saham
dalam modal perseroan yang belum dimiliki oleh Republik Indonesia.
Dalam mempertanggungjawabkan tugas BANAS, dalam Pasal 2 huruf a,
b dan c PP Nomor 3 Tahun 1959 diatur tugas organisasi ini mempunyai unsure-
unsur perorangan yang mempunyai tugas: (a) memimpin dan
mempertanggungjawabkan; (b) merencanakan; (c) melaksanakan; dan (d)
mengawasi. Sementara itu Dewan pemimpin BANAS mempunyai tugas
menetapkan keseragaman kebijaksanaan dalam pelaksanaan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang antara lain: (a) menentukan garis
kebijaksanaan dan mengawasi badan-badan penampung dalam lapangan
manajemen yang meliputi: (1) urusan teknis; (2) urusan komersial; (3) urusan
financial; (4) urusan mempertinggi produksi dan produktivitas; (5) urusan social.
(b) menentukan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dikenakan
nasionalisasi yang diselanggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
daerah tingkat I. (c) menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul sebagai akibat Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang
berhubungan dengan soal-soal pemindahan/pembebasan hak-hak milik serta
yang mengenai peraturan-peraturan, keputusan-keputusan lain yang dari
penguasa perang. (d) menentukan soal-soal yang penyelesaiannya dan atau
pengurusannya dideligasikan kepada pemimpin harian.
Setelah dikenakan nasionalisasi, perusahaan-perusahaan milik Belanda
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 1959 yang sebagian menjadi hak milik orang asing bukan warga Negara
belanda dianggap vital oleh pemerintah akan menjadi perusahaan 100%
sedangkan sebagian dari modalnya yang mula-mula adalah hak milik orang
asing bukan warga Negara Beelanda tersebut akan diberi ganti rugi.
10. Penguasaan Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda
Lazimnya Dikenal dengan Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda
Milik Belanda (P3MB)
Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda Milik Belanda (P3MB)
bertugas untuk:
1). Menerima penyerahan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga Negara Belanda yang pemiliknya meninggalkan Republik Indonesia dan
orang-orang yang dalam hubungan yang bagaimanapun dengan pemilik itu pada
tanggal 9 februari atau sesudahnya menguasai benda-benda tersebut.
2). Atas nama Menteri Muda Agraria melaksanakan penguasaan semua benda
tetap milik perseorangan warga Negara Belanda tersebut terkena Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan
Belanda dan yang pemiliknya meninggalkan Republik Indonesia.
3). Mengusulkan kepada Menteri Muda Agraria penyelesaian selanjutnya
mengenai benda-benda tetap yang dikuasai atas, Segala sesuatu atas dasar
pedoman-pedoman yang diberikan Menteri Muda Agraria.
Khusus masalah peralihan perumahan dan tanah-tanah milik
perseorangan warga Negara Belanda kepada warga Negara Indonesia agar dapat
terlaksana dengan baik, adil dan merata, perlu diadakan ketentuan lebih lanjut
yang merupakan pedoman bagi P3MB dalam melaksanakan tugasnya antara lain
sebagai berikut:
1). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960, larangan
pemindahan hak atas benda-benda tetap kepunyaan bangsa Belanda yang
diinstruksikan kepada Kepala Jawatan Agraria dan Kepala Jawatan Pendaftaran
Tanah dalam surat Menteri Muda Agraria tanggal 2 desember 1957 Nomor
K.A.X.40/2/34 dicabut kembali. Pemindahan hak atas tanah dan benda-benda
tersebut diperkenankan dan sepanjang yang mengenai benda-benda yang terkena
Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.
2). Benda-benda yang dimaksudkan atau terkena oleh ketentuan-ketentuan
Nomor 3 Prp Tahun 1960 adalah (a) benda-benda tetap yaitu tanah dan rumah
dengan hak apapun juga baik hak-hak barat (eigendom,postal,dll), (b) yang
menjadi milik perseorangan warga Negara Belanda yang sudah meninggalkan
wilayah Republik Indonesia.
3). Benda-benda tetap milik perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi
dengan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958, perusahaan-perusahaan mana
yang dinasionalisasikan itu telah tunduk dalam beberapa peraturan pemerintah.
Demikian juga tanah-tanah milik belanda yang merupakan tanah partikelir yang
hingga kini belum ada surat keputusn penegasnya, karena tanah-tanah itu
mestinya sudah menjadi tanah Negara
4). Benda-benda yang tetap yang pemiliknya masih berada di Indonesia dengan
sendirinya tidak terkena oleh Perpu ini. Akan tetapi, sewaktu-waktu pemiliknya
meninggalkan Indonesia sedang hak miliknya belum dialihkan kepada pihak lain
secara sah menjadi terkena. Adapun sepanjang mengenai benda-benda tetap
yang tunduk kepada Hukum Eropa, peralihan hak itu haruslah diselanggarakan
menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1945.
5). siapa ( subjek ) yang menyerahkan penguasaannya.
6). Pelaksanaan Penyerahan Penguasaan adalah (a) penyerahan penguasaan
harus dilakukan sebelum tanggal 9 April 1960; (b) penyerahan penguasaan
dilakukan di secretariat Panitia setempat dengan memakai daftar isian; (c) daftar
isian tersebut dibuat rangkap dua dan setelah diberi tanda terima oleh sekretaris,
lembar yang kedua diberikan kepada yang melakukan penyerahan; (d) kemudian
daftar penyerahan yang diterima dibubuhkan dalam buku register dan masing-
masing diberi nomor; (e) orang-orang yang sekarang menempati rumah atau
tanah yang bersangkutan dan telah memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan
penguasaan boleh terus menempatinya hingga ada keputusan lebih lanjut
mengenai tanah/rumah itu daalam pengertian bahwa hal itu sekali-kalibukan
berarti pengesahan jika kemudian ternyata penempatan itu tidak sah; (f) uang
penyewaan tanah/rumah yang bersangkutan untuk selanjutnya harus dibayar
oleh yang bersangkutan kepada panitia. Untuk itu panitia sekelas mungkin akan
mengadakan hubungan dengan kantor Cabang BRI ditempat kedudukkannya
untuk membuka rekening giro atas namanya.
7). Pendaftaran adalah sebagai berikut: (a). jangka waktu untuk mendaftarkan
terbatas selama 2 bulan semenjak belakunya undang-undang tersebut. (b)
pendaftaran hendaknya diperiksa secara cermat agar didapat kepastian apakah
benda-benda yang didaftar itu betul-betul kepunyaan warga Negara Belanda
yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia; (c) perlu juga diteliti
adanya perjanjian yang menjadi dasar hubungan hokum antara pelapor (peghuni
atau kuasa) dengan benda-benda terdaftar; (d) perlu kiranya mendapat perhatian
kemungkinan adanya benda-benda(tanah/rumah) milik Belanda yang
meninggalkan Indonesia yang belum terdaftar.
8). Keuangan.
9). Pemindahan Hak.
10). Prioritas untuk membeli rumah perseorangan warga Negara Belanda.
11). Prosedur bagi penjualan rumah milik perseorangan warga Negara Belanda.
12). Cara pembayarannya.
11. Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (VB)
Surat izin perumahan teermasuk salah satu sumber hokum tanah
nasional, karena keberadaan rumah tetap akan bersentuhan langsung dengan
tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang hubungan
Sewa Menyewa Perumahan diuraikan mengenai pengertian rumah, yakni
bangunan atau bagiannya termasuk halaman dan jalan keluar masuk yang
dianggap yang perlu digunakan oleh seseorang, perusahaan atau badan-badan
lain untuk tempat tinggal dan atau keperluan lain.
Menurut Anwar Junus mengatakan bahwa ada 2 macam status perumahan
yaitu:
1. Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya dikuasai dan diatur
oleh Pemerintah Daerah c.q. Dinas Perumahan.
2. Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya tidak dikuasai dan
diatur oleh Pemerintah Daerah c.q. Dinas Perumahan.
12. Tanah Bondo Deso
Tanah Bondo Deso adalah tanah hak milik yang dipunyai desa atau
sekelompok masyarakat, penggunaanya dapat bersama-sama atau bergiliran.
Adapun hasilnya untuk kepentingan bersama, missal untuk biaya pembangunan
balai desa, masjid, pasar desa, dan sebagainya.
13. Tanah Bengkok
Dalam kenyataannya hamper semua desa atau istilah yang mirip dengan
perkataan desa yang terdapat diseantero Indonesia mempunyai atau memiliki
tanah yang merupakan tanah kas desa. Namun demikian, dijawa hampir
dipastikan setiap desa memiliki tanah, yang lazim disebut “tanah bengkok”.
Menurut Erman Rajaguguk adalah suatu insentif yang kuat untuk calon kepala
desa, yang menghabiskan dana antara Rp. 10.000.000,- dan Rp. 25.000.000,-
dalam kegiatan kampanye, termasuk mengadakan hiburan untuk orang-orang
desa dalam usahanya agar terpilih. Diharapkan bahwa pengeluaran ini akan
dapat diganti dari hasil yang akan diperoleh dari tanah bengkok.
Demikian juga tanah bengkok adalah gaji pegawai yang berupa tanah.
Pegawai yang dimaksud adalah perangkat desa, misalnya Kepala Desa,
Sekretaris Desa (carik)dan Kepala-Keala Bagian. Mengenai besar kecilnya tanah
bengkok ditentukan oleh: a). kepadatan penduduknya, b) luas wilayah, c)
kesuburan tanah, d) jenis jabatan yang dipangkatnya.
14. Tanah Wedi Kengser
Tanah Wedi Kengser adalah tanah yang terletak sepanjang aliran sungai
tanah ini terbentuk,vsifat dan fungsinya selalu berubah-ubah, sesuai dengan
situasi dan kondisi alamnya. Contohnya: suatu ketika Tanah Wedi Kengser
berupa tanah kering juga dapat ditanami pawija, tetapi setelah musim penghujan
tanah tersebut dapat hanyut dan berubah menjadi sungai. Dengan demikian
tanah wedi kengser hilang dan berpindah ketempat lain. Tanah ini ada dibawah
penguasaan Negara.
15. Tanah Kelenggahan
Tanah kelenggahan adalah tanah gaji yang berupa tanah yang diberikan
oleh raja kepada pembantu-pembantunya yang biasa disebut dengan abdi dalem,
misalnya patih, tumenggung, adipati, dan sebagainya.
16. Tanah Pekulen
Tanah pekulen adalah gaji pegawai berupa tanah yang diberikan oleh
pemerintah kepada masyarakat yang bukan pejabat desa. Hal ini terjadi pada
zaman colonial sebagai penghargaan dari Pemerintah kepada warga masyarakat
yang berjasa.
17. Tanah Res Extra Commercium
Tanah Res Commercium adalah tanah yang berada diluar lalu lintas
perdagangan, yang oleh Negara dapat dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh
warga masyarakat. Tanah ini juga dapat disebut sebagai tanah cadangan Negara,
jadi dipergunakan apabila perlu. Biasanya tanah tersebut dipergunakan untuk:
1. Kepentingan suci/peribadatan.
2. Kepentingan Negara.
3. Kepentingan umum.
18. Tanah Absentee
Tanah absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.
Hal ini dilarang oleh pemerintah kecuali pegawai negri dan ABRI. Alasan
pemerintah melarang pemilikan tanah ini adalah kepentingan social dan
keperluan tanah. Adapun pegawai negri dan ABRI masih dimungkinkan, karena
golongan ini adalah abdi Negara dalam tugasnya dapat berpindah-pindah
tempat.bagi pemilik tanah absentee dapat menyelamatkan haknya antara lain
dengan jalan:
a. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar;
b. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal;
c. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat (biasanya berupa
wakaf/hibah).
19. Tanah Oncoran dan Tanah Bukan Oncoran
Tanah oncoran adalah tanah pertanian yang mendapat pengairan yang
tertentu. Adapun tanah bukan oncoran adalah tanah pertanian yang tidak
mendapat pengairan tertentu.
Demikianlah gambaran mengenai sumber-sumber hokum tanah nasional,
yang merupakan sumbangan bagi perkembangan hokum agraria saat ini. Namun
demikian kalau kita cermati, kebanyakan sumber hokum tersebut masih berasal
dari istilah peninggalan colonial dan istilah bahasa jawa, akan tetapi itu bukan
masalah, karena pengembangan hokum tanah nasional memang sumbernya
berasal dari hokum tanah adat. Hokum tanah adat ini masih menyimpan banyak
istilah atau nama yang tersebar dari Aceh sampai Merauke, hanya belum
dilakukan penelitian yang sifatnya mendalam, dan ini yang perlu dilakukan agar
tekuak semua istilah atau nama tanah-tanah adat yang terdapat dipelosok
pedalaman Republik Indonesia.
BAB II
HUKUM TANAH SEBELUM BERLAKUNYA UUPA
A. HUKUM TANAH YANG DUALISTIK DAN PLURALISTIK
Setelah Belanda menjajah bangsa Indonesia, Belanda mendatangkan
peraturan hokum pertanahan yang berlaku dinegaranya ke Indonesia, yang
kemudian diberlakukan terhadap masyarakat di Indonesia. Dengan demikian,
keberadaan hokum agraria yang dibawa dari Belanda menggeser kedudukan dari
hokum agraria yang telah diakui dan ditaati oleh masyarakat tersebut. Oleh
karena itu, dengan hadirnya pemerintahan Belanda, dengan sendirinya tanah-
tanah yang terdapat di Indonesia diatur oleh dua peraturan, yaitu peraturan adat
tentang tanah yang tunduk pada hokum adat dan peraturan tanah yang tunduk
pada hokum Belanda, misalnya hak opsal, hak erpacht, dan hak eigendom.
Dengan adanya kedua peraturan mengenai pertanahan di Indonesia.
Selain kedua peraturan mengenai hokum tanah yang berada di Indonesia
di atas, pemerintah Belanda menciptakan pula hokum tanah seperti agrarisch
eigendom. Disamping itu, pemerintah Swapraja menciptakan pula hokum atas
tanah yang berlaku didaerahnya, seperti grant sultan. Dengan adanya tiga
peraturan mengenai hak-hak atas tanah tersebut, timbullah “pluralistic” hak atas
tanah yang terdapat di Indonesia. Menurut Boedi Harsono bahwa dengan adanya
hak-hak tanah adat, hak atas tanah ciptaan Pemerintah Swapraja, hak atas tanah
ciptaan Pemerintah Belanda, bias kita sebut tanah hak Indonesia, yang cakupan
pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah adat.
B. SEJARAH PENGATURAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA
Pembahasan mengenai sejarah penguasaan hak atas tanah di Indonesia akan
dimulai dari tonggak sejarah pada tahun 1811 pada waktu Indonesia dipengaruhi
oleh pikiran Raffles dengan teori domeinnya.
1. Tonggak Pertama: 1811
Pada zaman ini, penguasaan hak atas tanah lebih diposisikan sebagai alat
untuk menarik pajak bumi demi kepentingan pemerintah jajahan Belanda.
Dalam sejarah, pemerintahan jajahan Belanda gagal melakukan administrasi
pertanahan dengan baik, maka setelah pemerintah Belanda digantikan oleh
pemerintah jajahan Inggris, administrasi pertanahan mulai ditata. Salah
seorang penggagas perbaikan administrasi pertanahan adalah Raffles. Tujuan
Raffles dalam menata system administrasi pertanahan dengan system
domein, yaitu ingin menerapakan system penarikan pajak bumi seperti apa
yang dipergunakan oleh Inggris di India.
Setelah Inggris benar-benar menguasai Indonesia, maka dengan berbekal
pengalaman di India tersebut, Raffles lebih hati-hati menerapkan secara
penuh pengalaman India tersebut, sehingga pada tahun 1811 Raffles
membentuk panitia penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie (komisi
Mackenzie) dengan tugas melakukan melakukan penyidikan statistic
mengenai agraria.
2. Tonggak Kedua: 1830
Tonggak sejarah perkembangan hokum agraria, khususnya pengaturan
hak atas tanah pada zaman ini, ditandai dengan kembalinya Indonesia ke
tangan pemerintah jajahan Belanda yang kurang lebih 19 tahun berada di
tangan Inggris. Pada tahun 1830 pemerintahan Belanda di Indonesia
dipimpin oleh Gubernur Jendral Van den Bosch yang mempopulerkan
sebuah konsep penguasaan tanah Cultuurstelsel atau yang lazim disebut
system tanam paksa. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari diadakannya
system tanam paksa ini adalah untuk menolong negri Belanda yang keadaan
keuangannya dalam keadaan buruk.
3. Tonggak Ketiga: 1848
Wakil-wakil dalam parlemen menuntut agar bias turut campur dalam
urusan tanah jajahan yang sampai saat itu dipegang oleh raja dan menteri
tanah jajahan. Terjadilah pergolakkan antara mereka dengan golongan
konservatif pendukung cultuurstelsel. Namun demikian, dengan kegigihan
dalam memperjuangkan tuntutannya tersebut, kaum liberal memetik
kemenangan pertama dengan disetujuinya perubahan terhadap Undang-
Undang Dasar Belanda. Perubahan yang terjadi pada Undang-Undang Dasar
Belanda, yaitu dengan adanya ketentuan didalamnya yang menyebutkan
bahwa pemerintah ditanah jajahan harus diatur dengan Undang-Undang.
4. Tonggak Keempat: 1870
Jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte, karena dianggap terlalu
tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Adapun seluk-
beluk agraria di Indonesia belum diketahui benar-benar. Karena itu pada
tahun 1866/1867, pemerintah lalu mengadakan suatu penelitian tentang hak-
hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa diseluruh Jawa.
Namun pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian tersebut.
Pada tahun 1870, enam tahun sebelum jilid pertama dari laporan tersebut itu
terbit, Menteri Jajahan de Waal mengajukan RUU yang akhirnya diterima
oleh parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat.
5. Tonggak Kelima: 1960
Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa peraturan perundang-
undangan di bidang agraria yang dibuat oleh pemerintahan jajahan, baik
Belanda maupun Inggris sangat tidak berpihak kepada rakyat Indonesia.
Perhatian pemerintah terhadap pengaturan mengenai agraria dimulai sejak
tahun 1948 dengan dibentuknya “panitia agraria”. Setelah 15 tahun
Indonesia merdeka barulah lahir UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU Nomor 5 Tahun 1960 melalui
suatu proses yang panjang, yaitu dimulai panitia Yogya pada tahun 1948;
panitia Jakarta (1951), panitia soewahjo (1956), rancangan Soenario (1958)
dan akhirnya rancangan Soedjarwo (1960).
C. HUKUM TANAH ADMINISTRATIF PEMERINTAH JAJAHAN HINDIA
BELANDA
Pembahasan materi ini akan berkisar mengenai berlakunya hokum tanah
pemerintahan Belanda yang terdapat dinegaranya, kemudian dibawa ke
Indonesia. Kehadiran hokum tanah Belanda menggeser keberadaan hokum tanah
adat yang telah lama bercokol di nusantara.
1. Agrarische Wet 1870
Setelah berkuasa di Indonesia, pemerintah Belanda memberlakukan hokum
tanah yang terdapat di Belanda, yaitu Agrarische Wet. Agrarische Wet ini dibuat
di Belanda tahun 1870 dan diundangkan dalam S 1870-55 tahun 1870 sebagai
tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62 Regeling Reglement Hindia Belanda
Tahun 1845. Regering Reglement ini semula hanya terdiri atas 3 ayat, kemudian
di tambah dengan 5 ayat, sehingga menjadi 8 ayat. Pasal 62 RR tersebut
berbunyi:
1. Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah.
2. Dalam larangan diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-
kegiatan usaha.
3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan ordonansi.
2. Tujuan Agrarische Wet
Tujuan utama diberlakukannya Agrarische Wet (AW) ini adalah untuk
membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hokum kepada para
pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda. Bentuk hak yang
diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada pengusaha adalah dengan hak
erpacht. Dalam Pasal 720 dan 721 KUH Perdata dinyatakan bahwa erpacht
merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas
kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah
kepunyaan pihak lain.
3. Agrarische Besluit
Ketentuan yang terdapat di Agrarische Wet (AW) pelaksanaannya diatur
lebih lanjut oleh beberapa peraturan dan keputusan, diantaranya adalah
agrarische besluit yang diundangkan dalam S.1870-118. Dalam pasal 1
Agrarische Besluit tersebut dimuat sebuah pernyataan asas yang sangat penting
bagi perkembangan dan pelaksanaan Hukum Tanah Administratif Hindia
Belanda. Asas tersebut dinilai kurang menghargai bahkan memerkosa hak-hak
rakyat atas tanah yang bersumber pada hokum adat.
4. Fungsi Domein Verklaring
Dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, domein
verklaring berfungsi:
a. Sebagai landasan hokum bagi pemerintah untuk memberikan tanah
dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH Perdata, seperti erpacht,
hak postal, dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring,
pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara
pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah;
b. Dibidang pembuktian pemilikan.
Pelaksanaan domein verklaring ini telah dipraktikan dibeberapa daerah,
khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah. Pemerintah Sulawesi Tengah
mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor: 592.2/33/1993 tentang
Bentuk dan Isi Surat Penyerahan Hak Penguasaan Atas Tanah.
Kehadiran Surat Keputusan Gubernur ini lahir dari adanya beberapa
kasus tanah yang terjadi di poso.