Rhino Sinusitis

download Rhino Sinusitis

of 24

description

fffffffffffffffff

Transcript of Rhino Sinusitis

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi RhinosinusitisRinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip, gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri telinga, batuk, demam, halitosis.1,2 Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang.3 1.3. Anatomi Sinus ParanasalA. Sinus Maksila Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut Moris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 78 x 46 mm dan untuk usia 15 tahun 3132 x 1820 x 1920 mm. Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 68 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.4 Perdarahan pada sinus maksila meliputi cabang arteri maksilaris termasuk infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri greater palatine serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan vena yang mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan plexus vena pterygoid. Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris yang mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior nasal dan cabang superior alveolar dari nervus infraorbita.4,5Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:4 1. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksila merupakan dinding lateral hidung dimana terdapat ostium sinus yang menghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostium ini terletak pada bagian superior dari dinding medial, biasanya pada pertengahan posterior dari infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posterior duktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke lamina papyracea dari tulang etmoid 2. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang yang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis 3. Dinding posteriorinferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum durum. Dinding posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporal dan fossa pterigomaksila 4. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang berhadapan dengan fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit pipi 5. Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan pada dewasa letaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum nasi. Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. Anomali fasial atau sinus yang besar dapat juga menyebabkan sinusitis kronis.5

B. Sinus Frontal Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses. Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja. Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus ini. Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6 sampai 7 ml.4 Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yang mengalir kedalam sinus kavernosus. Sensasi mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangan supratroklear nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (N1). Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital dan akar hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midline dengan ukuran masing-masing yang bervariasi. Sinus frontal sangat berhubungan erat dengan tulang etmoid anterior.5Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior obliq dan posterior dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita. Ostium alami dari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar sinus. Sel-sel infraorbita bisa terobstruksi dan membentuk mukokel yang terisolasi dari ostium dan sinus etmoid.

C. Sinus Etmoid Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak. Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal. Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground lamella), konka superior dan konka suprema. Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya mengandung 1015 sel persisi dengan total volume 1415 ml.4Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yang mengalir kedalam sinus kavernosus. Inervasi persarafan dari sinus etmoid ini berasal dari cabang posterolateral hidung dari nervus maksilaris dan cabang nervus etmoidalis dari nervus optalmikus (N1).5 Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi dan merupakan subjek penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yang tipis dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasan dengan dinding medial orbita (lamina papyracea) dan bagian medial dari kavum nasi. Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan midline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila. Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatus media, sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus superior.5

D. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yang merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi, yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess. Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak dan mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini mengalami pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15 tahun.5Sinus sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septum intersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan 14 x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml. Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan pleksus pterigoid. Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari cabang nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (N1), dan cabang nasal dan sfenopalatina dari nervus maksilaris.5Sinus sfenoid ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri karotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus. Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris dari nervus kranialis kelima dan keenam. Dibagian superior terletak lobus frontalis dan bagian olfaktori. Dibagian posterior terdapat fosa pituitari. Nervus dan pembuluh darah sfenopalatina terletak didepan dari sinus sfenoid ini, sedangkan nervus vidianus terletak dibagian inferiornya.4,5

Gambar 1. Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius.51.3. Fisiologi Sinus ParanasalFungsi dari sinus adalah sebgai berikut:61. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning) Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung.

2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

3. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. 4. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.5. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.1.4. Etiologi RhinosinusitisTabel 1. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.1 Genetic/PhysiologicFactorsEnvironmental FactorsStructural Factors

Airway hyperreactivityAllergySeptal deviation

ImmunodeficiencySmokingConcha bullosa

Aspirin sensitivityIrritants/pollutionParadoxic middle turbinate

Ciliary dysfunctionVirusesHaller cells

Cystic fibrosisBacteriaFrontal cells

Autoimmune diseaseFungiScarring

Granulomatous disordersStressBone inflammationCraniofacial anomaliesForeign bodiesDental diseaseMechanical traumaBarotrauma

1.5. Patofisiologi Rhinosinusitis KronisPada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan perluasan infeksi dari hidung. Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung. Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis.4 Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya. Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih.4 Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen.6Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi.6Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista.4Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik.4Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka, rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar.4Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium.7 Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses transudasi. Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus. Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan kuman.7 Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai aspek. Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna.4

1.6. Patologi rhinosinusitis kronisPerubahan patologi yang terjadi pada mukosa dan dinding tulang sinus saat berlangsungnya peradangan supuratif adalah seperti yang biasa terjadi dalam rongga yang dilapisi mukus.8 1. Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadi polipoid, dan pada kasus yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisi oleh membran mukosa yang edema, rongga sinus menjadi menghilang. 2. Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasi epitel akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecil yang multipel terjadi dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari strauma submukosa yang melapisinya. Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisa irreversibel, dan bila penyebab infeksi telah diobati, mukosa tidak dapat kembali normal Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:8 1. Jaringan sub mukosa diinfiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya kering. Lekosit juga mengisi rongga jaringan submukosa. 2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel. 3. Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar melalui epitel yang melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan bakteri, debris epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahan kapiler, dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum. 4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan berhentinya pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari. 5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen, lekosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin, meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berheti, perubahan jaringan akan terjadi permanen, maka akan terjadi keadaan kronis. Tulang dibawahnya dapat terlihat tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi: (1) melalui tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) dengan terjadinya defek; dan (4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.8

1.7. Diagnosis RhinosinusitisTabel 2. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.1 REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS (2003 TASK FORCE)

Duration Physical findings (on of the following must be present)

>12 weeks of continuous symptoms (as described by 1996 Task Force) or physical findings 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid swelling on anterior rhinoscopy (with decongestion) or nasal endoscopy 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal endoscopy 3. Generalized or localized edema, erythema, or granulation tissue in nasal cavity. If it does not involve the middle meatus, imaging is required for diagnosis 4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or computerized tomography)b

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:71) Buntu hidung, kongesti atau sesak2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan4) Penurunan / hilangnya penciumanPemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip/jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.7

A. AnamnesisAnamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:1) Obstruksi nasalKeluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya2) Sekret / discharge nasalDapat berupa anterior atau posterior nasal drip3) Abnormalitas penciumanFluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius4) Nyeri / tekanan fasialLebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

A. AnamnesisAnamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.11 Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:71) Obstruksi nasalKeluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya2) Sekret / discharge nasalDapat berupa anterior atau posterior nasal drip3) Abnormalitas penciumanFluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius4) Nyeri / tekanan fasialLebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure).7

B. Pemeriksaan Fisik1) Rinoskopi anterior Persiapkan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya). Rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.92) Rinoskopi posterior Dilakukan jika diperlukan pemeriksaan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung.

C. Pemeriksaan Penunjang1) TransiluminasiTransluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.92) Endoskopi nasalPemeriksaan ini dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Pada rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.9 3) RadiologiRadiologi adalah pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.10

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi2. Tes alergi3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop elektron dan nitrit oksida4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing 6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

1.8. Tatalaksana Rhinosinusitis KronisA. Terapi MedikamentosaTerapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.11Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:a. Amoksisilin + asam klavulanatb. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefiximec. Florokuinolon : ciprofloksasind. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisine. Klindamisinf. Metronidazole

2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.

Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometasona. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.

3. Terapi penunjang lainnya meliputi:a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis -adrenergikb. Antihistamin c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromild. Mukolitike. Antagonis leukotrienf. Imunoterapi g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup

B. Terapi PembedahanTerapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:121. Sinus maksila:a. Irigasi sinus (antrum lavage)b. Nasal antrostomic. Operasi Caldwell-Luc2. Sinus etmoid: a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral3. Sinus frontal:a. Intranasal, ekstranasalb. Frontal sinus septoplastyc. Fronto-etmoidektomi4. Sinus sfenoid :a. Trans nasal b. Trans sfenoidal5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronisb. Poliposis nasic. Mukokel sinus paranasald. Mikosis sinus paranasale. Benda asingf. Osteoma kecilg. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)h. Dekompresi orbita / n.optikusi. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokelj. Atresia koanaek. Dakriosistorinotomil. Kontrol epistaksism. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF/FESS) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus. Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.12

1.9. Komplikasi Rhinosinusitis Kronis13a. Osteomielitis dan abses subperiostal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.b. Kelainan Orbita Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.c. Kelainan Intrakranial Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.d. Kelainan Paru Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial.

BAB 3LAPORAN KASUS

I. Identitas PasienNama: Tn. JMR: 179681Jenis kelamin: laki-lakiUmur: 44 tahunAlamat: Air dingin RT 03 RW 01 no 47, Koto Tangah PadangTanggal masuk: 23 mei 2014

II. AnamnesisKeluhan Utama: Hidung terasa tersumbat sejak 6 bulan yang lalu.Riwayat penyakit sekarang: Hidung terasa tersumbat sejak 6 bulan yang lalu dan dirasan hilang timbul oleh pasien. Ingus yang mulai mengental sejak 6 bulan yang lalu dan tampak berwarna kuning kehijauan dan sekarang ingus semakin berbau. Nyeri pada pipi kiri ada, nyeri pada pangkal hidung ada, dan nyeri pada dahi ada sejak 6 bulan yang lalu. Penurunan fungsi penciuman dikeluhkan oleh pasien sejak 6 bulan yang lalu. Riwayat alergi dan atopi pada pasien maupun keluarga disangkal. Riwayat sakit pada gigi disangkal Demam tidak ada Mual dan muntah tidak ada Nyeri kepala yang hebat tidak ada Riwayat operasi hidung 3 tahun yang lalu di RS Swasta.

Riwayat Penyakit Dahulu pasien pernah menderita sinusitis 3 tahun yang lalu dan telah dioperasi di RS Swasta.Riwayat penyakit keluarga tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

III. Pemeriksaan FisikKeadaan umum: sakit sedangKesadaran: komposmentis kooperatifTekanan darah: 120/80Nadi: 80x/menitNafas: 22x/menitSuhu: 36,50C

Kulit: teraba hangat, sianosis tidak ada, pucat tidak adaKelenjar getah bening: tidak ditemukan pembesaranKepala: bulat, simetrisRambut: hitam, tidak mudah rontokMata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterikStatus lokalis THT:1. Telinga Telinga kananTelinga kiri

Daun telinga Linag telinga Sekret Membran timpani Mastoid Tanda paresis N VII

Kelainan kongenital (-)LapangTidak adaUtuh, reflek cahaya (+)Nyeri tekan (-)Tidak adaKelainan kongenital (-)LapangTidak adaUtuh, reflek cahaya (+)Nyeri tekan (-)Tidak ada

Tes garpu tala: Rinne: kanan (+) kiri (+) Weber: tidak ada lateralisasi Schwabach: sama dengan pemeriksa

2. Hidungbagian luar: deformitas (-), kelainan kongenital (-)

bagian dalamHidung KananHidung Kiri

Vestibulum nasi Kavum nasi Konka media Konka inferior Septum Sekret massaLapangEutrofiLapangDeviasi ke kiriAda, mukopurulentTidak adaLapangEutrofi LapangDeviasi ke kiri, krista (+)Ada, mukopurulentTidak ada

3. sinus paranasalKanankiri

Choanae Warna Eustachius tubaLapangMerah mudaTerbukaLapangMerah mudaTerbuka

Adenoid: tidak ada Post nasal drip: ada Massa tumor : tidak ada4. Orofaring dan Mulut Arkus faring: simetris Palatum: massa tidak ada, nyeri tekan tidak ada Dinding faring: tenang Tonsil palatina: - T1 T1 - merah muda (ki/ka) - kripti tidak melebar (ki/ka) - detritus tidak ada (ki/ka) - perlengketan dengan pilar tidak ada (ki/ka) Peritonsil: tidak ditemukan kelainan Massa tumor: tidak ada Gigi: caries tidak ada Lidah: dalam batas normal

5. Laring dan hipofaring Epiglotis: tenang Aritenoid: tenang Pita suara palsu (plika ventrikularis): merah muda, edema (-), massa (-) Pita suara (plika vocalis): merah muda, gerakan adduksi saat bersuara dan abduksi saat bernafas, massa (-) Subglotis: jumlah 1 Trakea: berada ditengah Sinus piriformis: tidak banyak sekret Massa tumor: tidak ada

IV. DiagnosisRhinosinusitis kronis dan septum deviasi

V. Pemeriksaan Penunjang Cek Hb, Ht, leukosit, trombosit, PT/APTT Rontgen Thorax dan Ct scan

VI. TatalaksanaMedikamentosa: cefotaxim 2x1 gr IV Dexametason 3x 1 gr IVTindakan bedah: FESS dan septoplasty

BAB 4DIKSUSI

Telah dirawat seorang pasien laki laki usia 44 tahun di bangsal THT RSUP Dr. M Djamil Padang sejak tanggal 23 Mei 2014 dengan diagnosis Rhinosinusitis kronik dan deviasi septum. Diagnosa ini ditegakkan dari anamnesa berupa hidung tersumbat yang dirasakan hilang timbul oleh pasien sejaak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini diikuti dengan keluarnya ingus yang makin lama makin kental, lalu berubah warna menjadi kuning kehijauan dan berbau. Keluhan ini mengakibatkan terganggunya fungsi penciuman pada pasien. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri pada pipi kiri, pangkal hidung dan dahi. Gejala ini merupakan gejala mayor untuk menegakkan rhinosinusitis. Berdsarkan waktunya, pasien telah menderita keluhan ini lebih dari 12 minggu dan merupakan kategori rhinosinusitis kronik.Penegakkan diagnosis rhinosinusitis dapat juga dari pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior. Pada rinoskopi anterior didapatkan kelainan berupa deviasi septum disertai krista dan adanya sekret mukopurulent. Pada rinoskopi posterior didapatkan kelainan berupa adanya post nasal drip. Temuan post nasal drip ini khas pada penderita sinusitis. Sedangkan temuan berupa septum deviasi yang berbentuk krista yaitu penonjolan yang memanjang dari depan ke belakang ini merupakan salah satu faktor predisposisi yang dapat mengakibatkan dan memperberat sinusitis. Deviasi septum yang terjadi dapat menyumbat ostium sinus dan menghambat drainase sekret sinus sehingga mudah terjadi sinusitis. Selain itu deviasi septum dapat menyebabkan ruangan hidung menyempit sehingga terbentuk polip.Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa nasoendoskopi tanggal 30 november 2013 di Poli THT RSUP dr. M djamil Padang ditemukan kelainan berupa edema konka media dextra, sekret mukopurulent, septum deviasi bebentuk krista di nasal sinistra dan didiagnosa sebagai rhinosinusitis kronis eksaserbasi akut. Setalah itu pasien dianjurkan untuk kultur sekret dan dilakukan CT scan. Tanggal 23 Desember 2013 pasien telah dianjurkan untuk melakukan FESS tapi menolak karena alasan biaya, akan tetapi pasien tetap kontrol teratur ke Poli THT. Pada tanggal 23 Mei 2014 pasien siap untuk melakukan FESS dan septoplasty. FESS dilakukan karena pasien tidak respon positif terhadap pengobatan medikamentosa yang adekuat, sinusitis diikuti kelainan irreversibel berupa septum deviasi. Selain itu pasien ini diberikan terapi medikamentosa berupa cefotaxim 2x1 gr IV sebagai antibiotik dan dexametason 3x1 gr IV sebagai antiinflamasi yang dapat juga mengurangi edema/sumbatan pada hidung pasien akibat terangsangnya sistem mediator tubuh terhadap kuman yang menginfeksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-416.2. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.3. Mangunkusumo E, Rifki N. sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar NH (eds). Buku ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. Hal 120-4.4. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA dkk (eds). Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. Hal 145-9.5. Lund VJ. Anatomi of the nose and Paranasal Sinuses. In: Jones A (Ed). Scott-Browns Otolaryngology. 7th ed. London Hoddler Arnold, 2008; 2:2493-2521.2.6. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati S, edisi 11. Jakarta: Balai Pnerbit EGC; 2008. Hal 345-67. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.8. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.9. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 17-23.10. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB, Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New York : Springer, 2005; 68.11. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.12. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-74.13. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 219-229.