Revisi Tatalaksana NIHL

32
BAB I PENDAHULUAN Kemajuan teknologi di sektor industri telah berhasil menciptakan berbagai macam produk mesin yang dalam pengoperasiannya seringkali menghasilkan polusi suara atau timbulnya bising di tempat kerja. Suara bising atau polusi suara, sebagai salah satu efek dari sektor industri dapat menimbulkan gangguan pendengaran atau ketulian pada seseorang yang bekerja atau berada di lingkungan industri. 1 Bising dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan pekerja baik gangguan secara langsung pada pendengaran maupun pada non pendengaran. Gangguan pada pendengaran yaitu berupa trauma bising/NIHL (Noise Induced Hearing Loss) yaitu akibat kerusakan organ sensori atau sensorineural telinga dalam yang menetap disebabkan oleh dampak akumulasi pengaruh bising dalam jangka lama. 2,3 World Health Organization (WHO) tahun 2004 menyatakan tingginya kadar kebisingan kerja menjadi masalah di seluruh wilayah dunia. Di Amerika Serikat lebih dari 30 juta pekerja terpapar kebisingan berbahaya dan di Jerman 4-5 juta orang (12-15% dari tenaga kerja) terpapar kebisingan. Menurut hasil “WHO Multi Center Studypada tahun 1998, Indonesia termasuk dalam empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran 1

description

tatalaksana nihl

Transcript of Revisi Tatalaksana NIHL

BAB IPENDAHULUAN

Kemajuan teknologi di sektor industri telah berhasil menciptakan berbagai macam produk mesin yang dalam pengoperasiannya seringkali menghasilkan polusi suara atau timbulnya bising di tempat kerja. Suara bising atau polusi suara, sebagai salah satu efek dari sektor industri dapat menimbulkan gangguan pendengaran atau ketulian pada seseorang yang bekerja atau berada di lingkungan industri.1Bising dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan pekerja baik gangguan secara langsung pada pendengaran maupun pada non pendengaran. Gangguan pada pendengaran yaitu berupa trauma bising/NIHL (Noise Induced Hearing Loss) yaitu akibat kerusakan organ sensori atau sensorineural telinga dalam yang menetap disebabkan oleh dampak akumulasi pengaruh bising dalam jangka lama. 2,3World Health Organization (WHO) tahun 2004 menyatakan tingginya kadar kebisingan kerja menjadi masalah di seluruh wilayah dunia. Di Amerika Serikat lebih dari 30 juta pekerja terpapar kebisingan berbahaya dan di Jerman 4-5 juta orang (12-15% dari tenaga kerja) terpapar kebisingan. Menurut hasil WHO Multi Center Study pada tahun 1998, Indonesia termasuk dalam empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi yaitu 4,6%, tiga negara lainnya adalah Sri Langka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).4,5Gangguan pendengaran tersebut terkadang tidak disadari oleh penderitanya dimana akibat dari timbulnya gangguan pendengaran ini dapat dipengaruhi oleh umur, lama pemaparan, masa kerja dan intensitas bising. Ketulian akan mengakibatkan menurunnya kualitas hidup (Quality of Life) seseorang dan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia.2,3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGATelinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.2.1.1 Telinga luarTerdiri luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membrane timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-ira 2 - 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banya kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.6

2.1.2 Telinga Tengah (Cavum Timpani)Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar membran timpani, batas depan adalah tuba eustachius, batas bawah vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang aditus ad antrum dan kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas tegmen timpani (meningen/otak), serta batas dalam dengan susunan berturut-turut dari atas ke bawah terdiri dari kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium.Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Batas atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 5 untuk membran timpani kanan. Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak reflek cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.Membran timpani dibagi menjadi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi di bagian bawah belakang membran timpani, sesuai dengan arah serabut membran timpani. Di daerah ini tidak terdapat tulang pendengaran. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.Tulang pendengaran di dalam telinga saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.6

Gambar 1. Anatomi telinga

2.1.3 Telinga DalamTelinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untu pendengaran. Dasar skala vestibuli (Reissners membrane) sedangkan skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti.Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan canalis Corti, yang membentuk organ Corti.6

Gambar 2. Anatomi telinga dalam

2.2 FISIOLOGI PENDENGARANProses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Membran timpani akan bergetar ketika terkena gelombang suara. Daerah-daerah bertekanan tinggi dan rendah yang berselang-seling dan ditimbulkan oleh gelombang suara menyebabkan gendang telinga yang sangat peka melekuk ke dalam dan keluar seiring dengan frekuensi gelombang suara. Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke cairan telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh rantai tiga tulang kecil atau osikulus (maleus, inkus, dan stapes) yang dapat bergerak dan membentang di telinga tengah. Sewaktu membran timpani bergetar, rangkaian tulang-tulang tersebut ikut bergerak dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi getaran ini dari membran timpani ke jendela oval. Tekanan yang terjadi di jendela oval yang ditimbulkan oleh setiap getaran akan menimbulkan gerakan cairan telinga dalam mirip gelombang suara asal. Sistem osikulus memperkuat tekanan yang ditimbulkan oleh gelombang suara di udara melalui dua mekanisme agar cairan dikoklea bergetar. Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar daripada luasjendela oval (tekanan= gaya/luas). Kedua, efek tuas osikulus juga menimbulkan penguatan. Bersama-sama, kedua mekanisme ini meningkatkan gaya yang bekerja pada jendela oval sebesar 20 kali dibandingkan dengan jika gelombang suara langsung mengenai jendela oval. Penambahan tekanan ini sudah cukup untuk menggetarkan cairan di koklea.Energi getar yang diamplikasi ini akan menggetarkan jendela oval sehigga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong edolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan lisrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditoris sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.7

Gambar 3. Gambaran fisiologi pendengaran2.3 Noise Induced Hearing LossGangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Gangguan pendengaran akibat bising biasanya bilateral dan sama derajat maupun sifatnya.8,9Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang frekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.8Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain intensitas atau kerasnya bunyi yang lebih tinggi (sound pressure level), tipe bising (spektrum frekuensi), periode pemaparan per hari (duty cycle perday), lamanya masa kerja, kerentanan individual, umur pekerja, penyakit telinga yang menyertai, sifat lingkungan tempat bising dihasilkan, jarak dari sumber bunyi, dan posisi setiap telinga terhadap gelombang suara. Empat yang pertama merupakan faktor-faktor terpenting dalam pemaparan bising.9

2.3.1. EpidemiologiDi Amerika Serikat sekitar 10 juta orang dewasa dan 5,2 juta anak sudah menderita gangguan pendengaran akibat bising dan 30 juta lebih lainnya dapat terkena dampak bising yang berbahaya setiap harinya.10Data World Health Organization (WHO) mengenai angka gangguan pendengaran dan ketulian menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%) dari total penduduk dunia, tahun 2005 sekitar 278 juta (4,2%) dan mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi sekitar 360 juta (5,3%) penduduk dunia, 328 juta penduduk (91%) merupakan orang dewasa dan 32 juta (9%) adalah anak-anak.Dalam Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (36,6%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (17,1%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,8%) sesuai Tabel 3.16.1. Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur yang sama dengan gangguan pendengaran, yaitu umur 75 tahun (1,45%), begitu pula dengan prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,04%). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (2,8%:2,4%), begitu juga prevalensi ketulian prevalensi perempuan 0,10 persen dan laki-laki 0,09 persen.11

2.3.2. GejalaBising memiliki dua pengaruh terhadap pekerja yaitu pengaruh auditorial berupa tuli akibat bising (Noise induced hearing loss/NIHL) dan umumnya terjadi dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi serta berupa pengaruh non auditorial yang dapat bermacam-macam misalnya gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah dan lain sebagainya.9Kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift).8Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang. Keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.8Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari.8Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (explosif) atau berlangsung lama. Keadaan ini menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lain-lain.8

2.3.3. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri.Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tulisensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance), MLB (monoaural loudness balance), audiometri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), hasil menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitment) yang patognomonik untuk tuli sensorineural koklea.8

Gambar 4. Hasil Audiogram Pada Tuli Akibat BisingRekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu sehingga terlampaui ambang dengarnya. Sebagai contoh orang yang pendengarannya normal tidak dapat mendeteksi kenaikan bunyi 1 dB bila sedang mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen dapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut. Contoh sehari-hari pada orang tua yang menderita presbikusis (tuli sensorineural akibat proses penuaan) bila kita berbocara dengan kekerasan (volume) biasa dia mengatakan jangan berbisik, tetapi bila kita berbicara agak keras dia mengatakan jangan berteriak, sedangkan orang yang pendengarannya normal tidak menganggap kita berteriak.8Orang yang menderita tuli sensorineural koklea sangat terganggu oleh bising latar belakang (background noise), sehingga bila orang tersebut beekomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan. Keadaan ini disebut sebagai cocktail party deafness. Apabila seseorang yang tuli mengatakan lebih mudah berkomunikasi di tempat yang sunyi atau tenang, maka orang tersebut menderita tuli sensorineural koklea.8

2.3.4. PenatalaksanaanTuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap (irreversible) sehingga tidak perlu diberikan medikamentosa. Yang dapat dilakukan adalah mencegah perburukan penurunan pendengaran dengan memberikan rekomendasi sesuai dengan penyebab ketulian seperti menghindarkan penderita dengan memindahkan penderita dari lingkungan kerja / lingkungan bising. Bila tidak mungkin dihindarkan dengan memindahkannya, lingkungan kerja dikendalikan dengan menurunkan tingkat kebisingan, pengurangan jumlah bising di sumber bising, pemakaian alat-alat pelindung telinga, memberikan edukasi mengenai bahaya bising kepada karyawan yang bekerja di sumber bising, mengukur pendengaran para pekerja dengan audiometri nada murni, merubah tata cara kerja dan rehabilitasi.9Menurunkan tingkat kebisingan dapat didahului dengan pengendalian analisa bising (control of noise exposure) dengan program analisa bising/noise analysis dimana perlu diukur intensitas bising dan frekuensinya, tujuannya untuk mendapat catatan tentang keadaan maksimum, rata-rata, minimum, fluktuasi jenis intermitensi dan ketetapan (steadiness) bising. Untuk pengukuran bising dipakai alat Sound Level Meter (SLM). Ada yang dilengkapi dengan Octave Band Analyser/OBA. Alat SLM dan OBA tersebut tidak dapat dipergunakan untuk pengukuran-pengukuran impulse noise, selain itu jangka waktu terkena bising (noise exposure time) dicatat, dimana makin tinggi intensitas bising, jangka waktu terkena yang diizinkan menjadi semakin pendek, seperti untuk intensitas 115 dB, waktu terkena yang diizinkan hanya 15 menit sehari, bahkan untuk intensitas 140 dB, tidak boleh terpajan walaupun sesaat.9Setelah didapatkan hasil analisa bising, dilakukan pengurangan jumlah bising di sumber bising. Di sini termasuk pengurangan bising di tahap perencanaan mesin dan bangunan, di mana mesin di tempatkan (engineering control program). Kemudian dilakukan pengurangan jumlah bising yang dirambatkan melalui udara dengan cara pemasangan peredam, penyekat mesin dan bahan-bahan penyerap suara.9Pemberian alat-alat pelindung telinga (ear protector) untuk para karyawan perlu diterapkan, seperti yang paling sederhana adalah dengan menggunakan kapas. Kapas kering saja hanya berperan sedikit atau tidak sama sekali dalam melindungi, walau kapas inisering dan umum dipakai. Sebagai gantinya dapat dipakai kapas berlilin atau silicone yang dapat dibentuk. Bahan dan bentuk hampir tidak ada peran dalam efektivitas proteksi, hanya lebih menyamankan pemakai. Pelindung telinga yang baik harus nyaman dipakai, secara efektif meredam suara dan biaya penggantiannya rendah. Sumbat telinga jangan dibuat dari bahan yang kaku, karena dapat membuat trauma liang telinga. Penggunaan kapas dapat mengurangi 10-15 dB pada frekuensi 1.000-1.800 Hz. Ear plug merupakan suatu alat yang dimasukkan ke dalam telinga dan dibuat dari karet. Alat ini dapat mengurangi sebesar 30-40 dB dan dicetak sesuai kontur telinga. Selain itu, dapat menggunakan ear muff yang dapat menutup sendiri bila ada suara yang keras, dan membuka sendiri bila suara kurang keras. Helmet merupakan suatu penutup kepala yang melindungi kepala sekaligus sebagai pelindung telinga. Pemilihan pelindung telinga tergantung pada situasi pekerjaan. Apakah ruangannya sedemikian sempit untuk bagian kepala sehingga tidak mungkin menggunakan alat bantalan suara? Apakah karyawan juga harus memakai topi yang keras selain pelindung telinga? Ada keuntungan dan kerugian pada pemakaian pelindung telinga dan sebelum ditentukan pilihan, semua keadaan lingkungan dari pekerjaan tertentu harus dipertimbangkan. Telinga karyawan harus diperiksa dan ambang pendengarannya diuji ketika alat pelindung telinga disiapkan. Sumbat telinga harus sesuai untuk masing-masing telinga, bila liang telinga tidak sama bentuk atau ukurannya, maka dibutuhkan sumbat telinga yang berbeda ukuran. Untuk meningkatkan daya adaptasi terhadap alat, karyawan harus diperbolehkan memilih dua atau tiga bentuk yang berbeda pada saat pengepasan.8,9

Gambar 5. Alat Pelindung TelingaKaryawan perlu diberikan edukasi tentang bahaya bising. Program ini harus dapat mencapai hasil agar masyarakat mengerti serta rela mengusahakan perlindungan terhadap bising. Pemasangan poster dan tanda pada daerah bising adalah salah satu usaha yang dapat dilakukan. Selain itu, penyelidikan dan penelitian terhadap bising perlu dilakukan agar ditemukan teknik perlindungan baru yang lebih menjamin keamanan para pekerja dan masyarakat dari gangguan bising.9Pengukuran pemeriksaan pendengaran para pekerja dengan audiometri nada murni, yang terdiri atas pengukuran pendengaran sebelum karyawan diterima bekerja di lingkungan bising (pre employment hearing test), termasuk masyarakat yang berada di lingkungan bising diperiksa pendengarannya dan pengukuran pendengaran secara berkala dan teratur. Pemeriksaan awal bila mungkin dilakukan, tepat pada hari karyawan mulai dipekerjakan. Tujuan utama pemeriksaan ini adalah untuk mendapatkan data awal. Pemeriksaan berkala bertujuan untuk mendapatkan data perubahan pendengaran selama kerja (misalnya disebabkan oleh kecelakaan, penyakit, umur, pemaparan bising, dan sebagainya). Dalam pemeriksaan audiometri perlu diperhatikan faktor-faktor, seperti usia, lama kerja atau tinggal di lingkungan bising, lama kerja atau tinggal di lingkungan bising sebelumnya, dan kebiasaan sehari-hari, merokok, memakan obat menahun yang bersifat ototoksik serta minuman beralkohol.9Pemeriksaan ambang kemampuan mendengar pra-penempatan dianjurkan bagi industry, pengukuran ambang dalam pemeriksaan ini adalah tingkat tekanan suara dimana frekuensi nada murni dapat didengar. Frekuensi yang dipakai untuk pemeriksaan dianjurkan 500, 1000, 2000, 3000, 4000 dan 6000 Hz. Frekuensi lain boleh ditambahkan sesuai kebutuhan setempat. Pemeriksaan ini harus dilakukan bagi seluruh karyawan, bukan hanya bagi mereka yang bekerja di daerah bising.Bila dilakukan pemeriksaan audiogram, harus dipastikan bahwa tiap karyawan tertentu tidak terpapar oleh bising sekurang-kurangnya selama 12-14 jam.9Pemeriksaan berkala kemampuan mendengar merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan setiap tahun bagi karyawan yang bekerja di lingkungan dengan kebisingan yang melebihi ambang percakapan. Pemeriksaan lanjut untuk pertama kali harus dilakukan setelah masa istirahat yang cukup lama dari pemaparan bising (secara praktis minimal 12 14 jam). Maksud tenggang waktu ini adalah agar dapat pulih dari pergeseran ambang temporer yang timbul dalam hari-hari kerja sebelumnya. Harus dilakukan perbandingan antara ambang audiogram pra-penempatan dengan audiogram pada pemeriksaan lanjut. Protokol pada Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menganjurkan bila hasil pemeriksaan lanjut menunjukkan penyimpangan lebih atau sama dengan 10 dB ke arah ketulian pada frekuensi 2000 Hz atau lebih rendah, 15 dB pada 3000 Hz atau 25 dB pada 4000 dan 6000 Hz, maka harus diambil langkah yang tepat untuk melestarikan sisa pendengaran. Pemeriksaan harus diulang 1 bulan kemudian, dan bila ketulian menetap, dianjurkan untuk merujuk pasien. Dari segi praktisnya, bila tidak ditemukan penyimpangan yang lebih besar dari audiogram awal, pemeriksaan berikutnya dapat dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun, kecuali ada indikasi lain. Pada lingkungan kerja yang bising, ternyata bahwa pemeriksaan berkala dengan jangka waktu 1 tahun adalah cara yang pratis dan efektif.9Perubahan tata cara kerja jika diperlukan dan dapat dilaksanakan seperti merubah daftar-daftar kerja dan waktu bekerja pekerja digilir merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi pajanan bising terhadap karyawan serta rehabilitasi yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan perusahaan. Perlu diingat bahwa mencegah ketulian adalah lebih tepat dan lebih mudah serta lebih baik daripada mengobati suatu ketulian akibat bising yang sudah permanen.9Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap (irreversible) sehingga tidak perlu diberikan medikamentosa. Bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar / ABD (hearing aid). Alat bantu dengar (ABD) adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga; sehingga si pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada di sekitarnya.8,12ABD memiliki 4 bagian pokok yaitu mikrofon yang berperan menerima suara dari luar dan mengubah sinyal suara menjadi energi listrik kemudian meneruskannya ke amplifier, amplifier yang berfungsi memperkeras suara dengan cara memperbesar energi listrik yang selanjutnya mengirimkannya ke receiver, receiver berfungsi mengubah energi listrik yang telah diperbesar amplifier menjadi energi bunyi kembali dan meneruskan ke liang telinga serta batere sebagai sumber tenaga.12

Gambar 6. Bagian-bagian dari Alat Bantu Dengar (ABD)Selain komponen dasar tersebut pada jenis ABD tertentu juga dilengkapi dengan fasilitas tambahan seperti telecoil yang berfungsi menangkap medan magnit dari peralatan audio disekitarnya, audio input yang memungkinkan ABD terhubung dengan peralatan audio (TV, radio dan lain-lain), serta tone control untuk dapat memilih kualitas nada yang diinginkan. Untuk ABD yang komponennya berada di luar telinga, suara yang telah diperkeras disalurkan ke liang telinga melalui pipa plastik (tubing) dan ear mould (cetakan liang telinga). Ear mould dibuat khusus agar sedemimian rupa cocok dengan ukuran liang telinga, terbuat dari bahan acrylic atau silikon. Ukuran ear mould sangat individual sehingga ear mould untuk telinga kiri tidak cocok bila dipasang di telinga kanan. Pada bayi dan anak, ear mould secara berkala harus diganti karena ukuran liang telinga pasti berubah sesuai perkembangan anatomi kepala. Pada ABD berukuran kecil dimana semua komponen berada di liang telinga, ear mould menyatu dengan komponen ABD.12Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat sehingga diperlukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat leah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume tinggi rendah dan irama percakapan.8Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant). Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Implan koklea sudah mulai dimanfaatkan semenjak 25 tahun yang lalu dan berkembang pesat di negara maju. Implantasi koklea pertama kali dikerjakan di Indonesia pada bulan Juli 2002. Selama 4 tahun terakhir telah dilakukan implantasi koklea pada 27 anak dan 1 orang dewasa. Implan koklea yang paling mutakhir saat ini mempunyai 24 buah saluran (channel).8,12Indikasi pemasangan implan koklea adalah keadaan tuli saraf berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa) yang tidak / sedikit mendapat manfaat dengan alat bantu dengar konvensional, usia12 bulan sampai 17 tahun, tidak ada kontraindikasi medis dan calon pengguna mempunyai perkembangan kognitif yang baik. Sedangkan kontra indikasi pemasangan implan koklea antara lain tuli akibat kelainan pada jalur saraf pusat (tuli sentral), proses penulangan koklea, koklea tidak berkembang.12

2.3.5. PrognosisOleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian.8

2.3.6. PencegahanPencegahan dapat dilakukan dengan melaksanakan Program Konservasi Pendengaran di tempat kerja dengan baik. Program Konservasi Pendengaran (PKP) antara lain dengan mengidentifikasi sumber bising (walk through survey), pengukuran dan analisis kebisingan (SLM, Octave Band Analyzer), pengendalian bising dalam bentuk control engineering maupun kontrol administrasi, melakukan pemeriksaan audiometri secara berkala, pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi, pemberian alat pelindung diri, serta pencatatan dan pelaporan data. OSHA (Occupational Safety and Health Administration) membuat peraturan yang dikenal dengan hukum 5 dB. Apabila intensitas bising meningkat 5 dB, maka waktu pajanan yang diperkenankan harus dikurangi separuhnya.13

Tabel 1. Intensitas dan waktu pajanan bising yang diperkenankanIntensitas bising (dB)Waktu Pajanan (per hari dalam jam)

8024

8216

858

884

912

941

97

100

BAB IIIRINGKASAN

Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja dan merupakan salah satu penyebab timbulnya penurunan kualitas hidup seseorang. Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nandi SS, Dhatrak SV. Occupational Noise Induced Hearing Loss in India. India Journal of Occupational and Environment Medicine, August 2008. vol 12, issue 2. P.53-6.2. Arini E.Y. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Tipe Sensorineural Tenaga Kerja Unit Produksi di PT.Kurnia Jati Utama Semarang. Semarang : Universitas Diponegoro. Accessed on 15th November, 2014.3. Tjan H, Lintong F, Supit W. Efek Bising Mesin Elektronika Terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran pada Pekerja di Kecamatan Sario Kota Manado, Sulawesi Utara. Jurnal e-Biomedik (eBM).2013;1 (1): 34-9.4. World Health Organization. Occupational Noise. Geneva: Protection of The Human Environment WHO [Online] 2004; [diakses tanggal 13 November 2014]. Available at www.who.int/quantifying_ehimpacts/.../ebd9.pdf.5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Telinga Sehat Pendengaran Baik. c2010 [cited 2010 Juli 17]. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/840-telingasehatpendengaran-baik.html. 6. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran (Tuli). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Ed. Buku ajar ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2007. h. 8.7. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 2011.p.236-8.8. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Ed. Buku ajar ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2007. h. 49-52.9. Fox MS. Pemaparan bising industri dan kurang pendengaran. Dalam : Ballenger JJ, Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997. h. 305-9.10. Seidman MD, Standring RT. Noise and Quality of Life. International Journal of Environmental Research and Public Health. 2010;7:3730-8.11. Kementerian Kesehatan. Riset Keshatan Dasar tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitan dan Pengembangan Republik Indonesia tahun 2013.12. Suwento R, Zizlavsky S. Habilitasi dan rehabilitasi pendengaran. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Ed. Buku ajar ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2007. h.87-93.13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Seri pedoman tatalaksana penyakit akibat kerja bagi petugas kesehatan : Penyakit THT akibat kerja. Jakarta: Kementrian Kesehatan, 2011.h. 3-9.1