Revisi-COVER DAN DAFTAR ISI - repository.ipb.ac.id · bapak Mujair di muara sungai Serang pantai...

36
GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Transcript of Revisi-COVER DAN DAFTAR ISI - repository.ipb.ac.id · bapak Mujair di muara sungai Serang pantai...

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT

PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus)

DI DAERAH CIAMPEA BOGOR

YULIA ERIKA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT

PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambica)

DI DAERAH CIAMPEA BOGOR

YULIA ERIKA

B04104165

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

Institur Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Diferensiasi Leukosit pada Ikan Mujair

(Oreochromis mossambicus) di Daerah Ciampea Bogor

Nama Penulis : Yulia Erika

NRP : B04104165

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

drh. Risa Tiuria. MS. Ph.D Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi

Mengetahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini

Tanggal Lulus :

ABSTRAK

YULIA ERIKA. B04104165. Gambaran Diferensiasi Leukosit pada Ikan

Mujair

(Oreochromis mossambicus) di Daerah Ciampea Bogor. Di bawah bimbingan

drh. Risa Tiuria MS. Ph.D dan Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran diferensiasi leukosit

pada ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang berasal dari daerah Ciampea,

Bogor. Sebanyak 10 ekor ikan Mujair yang diambil langsung dari kolam ikan di

daerah Ciampea, Bogor digunakan dalam penelitian ini. Parameter yang diamati

adalah diferensiasi leukosit, yang meliputi persentase monosit, limfosit, eosinofil,

basofil, dan heterofil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase limfosit

pada ikan mujair adalah 73.6 ± 7.97 %, monosit 4.4 ± 3.53 %, dan heterofil 22 ±

6.89 %. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa persentase

limfosit ditemukan paling dominan dibandingkan dengan persentase jenis sel

leukosit lainnya. Persentase limfosit masih berada di dalam kisaran nilai normal,

sedangkan persentase heterofil dan monosit berada di atas kisaran normal.

Kata kunci : ikan mujair dan leukosit.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 17 Juli 1986 dari pasangan

Bapak M. Husin dan Ibu Ermayulis. Penulis merupakan anak keempat dari 4

bersaudara.

Jenjang pendidikan formal yang ditempuh penulis adalah Taman Kanak-

kanak pada tahun 1991, Sekolah Dasar tahun 1992-1998 di SDN 13 Sei. Beremas,

Sekolah Menengah Pertama tahun 1998-2001 di SLTP 20 Padang dan Sekolah

Menengah Atas tahun 2001-2004 di SMA 10 Padang.

Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

pada tahun 2004 melalui jalur ujian masuk SPMB. Tahun 2005 penulis lulus dari

Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini. Shalawat beserta salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad

SAW, kepada keluarganya dan para sahabatnya, semoga penulis tergolong dalam

kaumnya yang beriman dan beramal saleh. Skripsi yang berjudul Diferensiasi

Leukosit pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), disusun sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada jurusan Kedokteran Hewan,

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua tercinta : ayahanda M. Husin dan ibunda Ermayulis atas

limpahan doa dan pengorbanan yang tak henti-hentinya, kasih sayang,

ketulusan cinta, kepercayaan, semangat serta kebahagiaan selama hidup

penulis,

2. Yth Dr. drh. Risa Tiuria, MS. Ph.D dan Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi

selaku dosen pembimbing atas segala arahan, saran, bimbingan dan

kesabarannya selama proses penulisan skripsi ini,

3. Yth. Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, MS atas kesediaannya menjadi dosen

penguji sekaligus memberikan penilaian, bimbingan dan saran terhadap

skripsi ini,

4. Yth Dr. drh. Ahmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik atas

segala perhatian dan motivasinya,

5. Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Patologi dan Helmintologi,

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor atas segala

bantuannya selama proses penelitian ini,

6. Teman-teman sepenelitian Asri, Ronal, dan Vonti atas kerjasama yang

tulus dan ikhlas selama penelitian, dan juga kepada tim ikan (Ina, Nope,

Lina, Reni, Ivan, Ari, Arios, Debi, dan Dwi),

7. Sahabat-sahabat (Ina, Asri, Vonti, Ai, Nope, Reny, Sio) atas persahabatan

yang telah kita jalin bersama. Semoga persahabatan ini akan abadi

selamanya.

8. Teman-teman Asteroidea ’41 yang tidak dapat disebutkan satu per satu

yang turut memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangannya dalam

berbagai hal oleh karena keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh karena itu,

dengan segala kerendahan hati penulis menerima masukan berupa saran atau

kritik yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, bagi

siapapun yang membacanya.

Bogor, September 2008

Yulia Erika

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................ iii

DAFTAR TABEL .................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vi

I. PENDAHULAN .................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2. Tujuan .................................................................................... 2

1.3. Manfaat ……………………………………………………….. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3

2.1. Ikan Mujair ............................................................................. 3

2.2. Sistem Pertahanan Tubuh Ikan ................................................ 5

2.3. Sistem Sirkulasi ...................................................................... 7

2.3.1. Jumlah Sel Darah Merah .............................................. 9

2.3.2. Kadar Hematokrit ......................................................... 9

2.3.3. Kadar Haemoglobin danTransportasi Gas ..................... 10

2.4. Sel Darah Putih (Leukosit) ...................................................... 10

2.4.1. Limfosit ....................................................................... 12

2.4.2. Monosit ........................................................................ 13

2.4.3. Eosinofil dan Basofil .................................................... 13

2.4.4. Heterofil ...................................................................... 14

III. MATERI DAN METODE ................................................................ 15

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 15

3.2. Bahan dan Alat ........................................................................ 15

3.3. Metode Penelitian ................................................................... 15

3.3.1. Pengambilan Sampel Darah .......................................... 15

3.3.2. Pengamatan Diferensiasi Leukosit................................... 16

3.4. Analisis Data.................................... .......................................... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 17

4.1. Sel Leukosit ............................................................................ 17

4.1.1. Persentase Limfosit.......................................................... 19

4.1.2. Persentase Monosit…………………………………….. 20

4.1.3. Persentase Heterofil......................................................... 20

4.1.4. Persentase Eosinofil dan Basofil..................................... 21

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 22

5.1. Kesimpulan ............................................................................. 22

5.2. Saran ....................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 23

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Persentase masing-masing jenis sel leukosit pada ikan mujair .......... 18

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) ........................... 3

2. Leukosit ikan mujair (Oreochromis mossambicus) ............. 11

3 Sel darah ikan mujair (Oreochromis mossambicus) .................... 17

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) merupakan jenis ikan konsumsi

air tawar, badan berbentuk pipih dengan warna abu-abu, coklat atau hitam. Ikan

ini berasal dari perairan Afrika dan di Indonesia pertama kali ditemukan oleh

bapak Mujair di muara sungai Serang pantai selatan Blitar Jawa Timur pada tahun

1939. Jenis ikan ini mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih cepat, tetapi

setelah dewasa percepatan pertumbuhannya akan menurun. Panjang total

maksimum yang dapat dicapai ikan mujair adalah 40 cm (Rahardi et al. 1993).

Sentra perikanan ikan mujair di Indonesia terdapat di daerah Jawa Barat,

Jawa Tengah, Sumatera, dan Kalimantan. Adapun jenis ikan mujair yang dikenal

antara lain mujair biasa, mujair merah (mujarah) atau jamerah dan mujair albino.

Berdasarkan warna sisik, ikan ini dapat dibedakan ke dalam lima varitas, yaitu

mujair dengan warna sisik abu-abu, abu-abu bercak putih, putih, hitam dan merah

(Sugiarti 1988).

Pembenihan merupakan salah satu mata rantai yang ikut menentukan

keberhasilan suatu usaha budidaya ikan. Benih ikan sering tidak dapat dipenuhi,

baik dalam kuantitas maupun kualitas. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya,

diantaranya adalah serangan penyakit (Primandaka 1992). Penyakit merupakan

salah satu faktor yang dapat menurunkan produksi ikan. Penyebab penyakit ikan

dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu noninfeksi (stres, intoksikasi,

defisiensi) dan infeksi (virus, bakteri, cendawan, protozoa, metazoa) (Zonneveld

et al. 1991). Salah satu aspek akibat infeksi pada ikan adalah terjadinya perubahan

pada gambaran darah, berupa perubahan konsentrasi hemoglobin, jumlah sel

darah putih dan sel darah merah (Lagler et al. 1977).

Hesser (1960) melaporkan bahwa susunan darah ikan merupakan faktor

penting dalam membantu diagnosis, prognosis dan terapi suatu penyakit.

Penurunan nilai hematokrit dapat menunjukkan adanya kondisi anemia

(berkurangnya jumlah sel darah merah) (Primandaka 1992). Hasil pemeriksaan

darah terhadap konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit dapat digunakan

untuk melihat tingkat keparahan suatu penyakit tertentu (Sastradipradja et al.

1989).

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil diferensial leukosit pada

ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Parameter yang diamati meliputi jumlah

leukosit total, jumlah neutrofil, limfosit dan monosit. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi tentang profil hematologi pada ikan

mujair.

1.3. Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

gambaran diferensial leukosit pada ikan mujair (Oreochromis mossambicus).

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)

Ikan mujair merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang

banyak diminati oleh masyarakat. Ikan ini memiliki bentuk badan pipih berwarna

abu-abu, coklat atau hitam. Pertama kali ikan ini ditemukan oleh bapak Mujair di

muara sungai Serang pantai selatan Blitar Jawa Timur pada tahun 1939.

Pertumbuhan ikan mujair sangat cepat, tetapi percepatan pertumbuhan akan

menurun setelah dewasa. Panjang total maksimum yang dapat dicapai ikan mujair

adalah 40 cm. Spesies ikan mujair (Oreochromis mossambicus) merupakan kelas

dari pisces, subkelas teleostei, ordo percomorphi, subordo percoidea, famili

cichlidae, dan genus Oreochromis (Rahardi et al. 1993).

Gambar 1. Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) (Trewavas 1983).

Ikan mujair dapat berkembang pesat di kolam, sawah dan sungai air deras.

Kolam dengan sistem pengairan yang mengalir sangat baik bagi pertumbuhan dan

perkembangan fisik ikan mujair. Keasaman air (pH) yang baik untuk

perkembangan ikan mujair berkisar antara 7-8, dengan suhu air berkisar antara 20-

25 0C. Ikan mujair dapat tumbuh normal, jika lokasi pemeliharaan berada pada

ketinggian antara 150-1000 m dpl. Kualitas air untuk pemeliharaan ikan mujair

harus bersih, tidak terlalu keruh, tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan

limbah pabrik (Sugiarti 1988).

Ciri-ciri induk mujair yang unggul, yaitu mampu memproduksi benih

dalam jumlah besar dengan kualitas yang tinggi. Pertumbuhannya sangat cepat

dan sangat responsif terhadap pakan buatan yang diberikan. Ikan mujair ini tahan

terhadap serangan hama, parasit dan penyakit, serta dapat tumbuh dan hidup

dengan baik pada lingkungan perairan yang relatif buruk. Bobot induk yang baik

untuk dipijahkan yaitu lebih dari 100 gram per ekornya (Rahardi et al. 1993).

Ciri-ciri yang perlu diperhatikan untuk membedakan induk jantan dan

induk dewasa, yaitu pada betina terdapat tiga buah lubang pada urogenital, yaitu

dubur, lubang pengeluaran telur dan lubang urin. Ujung sirip berwarna pucat

kemerah-merahan, warna perut lebih putih, warna dagu putih, dan jika perut

ditekan tidak mengeluarkan cairan. Induk jantan memiliki dua buah lubang pada

urogenital, yaitu anus dan lubang sperma merangkap lubang urin. Ujung sirip

berwarna kemerah-merahan terang dan jelas. Warna perut lebih gelap/kehitam-

hitaman, warna dagu kehitam-hitaman dan kemerah-merahan, dan jika perut

ditekan akan mengeluarkan cairan (Popma dan Green 1990).

Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) merupakan ikan yang telah

mampu beradaptasi di Indonesia berkat kemampuan untuk berkembangbiak

dengan cepat. Telur mujair dierami di dalam mulut induk betina selama 3-4

hari. Larva yang baru menetas akan hidup dari kuning telurnya selama 5-7 hari.

Larva ikan mujair mulai bisa makan pada hari ke delapan. Selama periode 14-17

hari larva mujair dilindungi oleh induk betina di dalam mulutnya. Sesekali larva

ikan keluar dari mulut induk, berenang di sekitar induk untuk mendapatkan pakan.

Ketika lepas dari perlindungan mulut induk betina, larva mujair biasanya sudah

mencapai ukuran 9-10 mm. Tingkat ketahanan hidup larva sampai dengan tahap

ini bervariasi, berkisar antara 80-90 % dari total larva yang ditetaskan (Effendi

2008).

Predator larva ikan mujair adalah ikan-ikan predator yang berukuran lebih

besar, misalnya ikan gabus. Ikan mujair mampu mengkonsumsi berbagai jenis

pakan di lingkungan sekitarnya, seperti plankton, sisa-sisa dedaunan, organisme

bentos, serangga kecil di perairan, larva ikan lain dan sebagainya. Anak ikan

mujair cenderung mengkonsumsi zooplankton. Namun pada fase remaja, ikan

mujair cenderung omnivora yang mengkonsumsi berbagai bahan organik di dasar

perairan seperti sisa-sisa bahan organik yang terurai di dasar perairan dan

dedaunan (Effendi 2008).

Kecepatan pertumbuhan ikan mujair dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

dan jenis kelamin. Secara umum ikan mujair yang hidup di alam tumbuh lebih

lambat dibandingkan dengan yang dipelihara di dalam kolam. Pengaruh

lingkungan terhadap laju pertumbuhan ikan sangat besar, sehingga variasi laju

pertumbuhan ikan juga tinggi. Ada kalanya ikan mujair mencapai berat 90-100 g

dalam waktu 5-6 bulan. Namun demikian, di lain tempat ikan mujair baru bisa

mencapai ukuran 90 g setelah berumur satu tahun. Ikan mujair yang dipelihara

secara tradisional di kolam-kolam pekarangan rumah di Indonesia biasanya

mencapai berat 100 g dalam waktu 4-5 bulan. Kolam-kolam tersebut biasanya

diberi pupuk dan ikan diberi pakan tambahan dari sisa-sisa buangan dapur

(Sugiarti 1988).

Ikan mujair termasuk jenis ikan yang tahan terhadap perubahan kondisi

lingkungan perairan. Tingkat ketahanan hidup ikan mujair di kolam peliharaan

mulai dari tebar dengan ukuran benih 5-7 cm sampai dengan panen berkisar antara

70-90 %. Ikan mujair yang hidup di alam siap untuk dipijahkan pada saat berat

badan berkisar antara 100-150 g (8-12 bulan), sedangkan ikan yang dipelihara di

kolam biasanya baru siap dipijahkan pada saat berat badan mencapai 200 g ke

atas. Ikan mujair menempati hampir di seluruh perairan di Indonesia, baik waduk,

sungai maupun rawa-rawa (Effendi 2008).

2.2 Sistem Pertahanan Tubuh Ikan

Ikan merupakan salah satu hewan air yang selalu bersentuhan dengan

lingkungan perairan, sehingga mudah terinfeksi bahan asing melalui air. Penyakit

didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi dan fungsi yang mengalami

perubahan dari kondisi normal karena beberapa penyebab, yaitu penyebab dari

dalam tubuh (internal) dan penyebab dari luar tubuh (eksternal) (Yuasa 2003).

Penyakit pada hewan perairan dapat disebabkan oleh karena cacat genetik, cedera

fisik, ketidakseimbangan nutrisi, benda asing dan polusi (Kinne 1980).

Penyakit ikan pada umumnya disebabkan oleh kontaminasi yang berasal

dari luar tubuh (eksternal) yang terbagi atas dua, yaitu penyakit yang bersifat non

infeksius dan infeksius. Penyakit non infeksius dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, yang meliputi suhu dan kualitas air (pH, kelarutan gas, zat beracun).

Penyakit infeksius bisa disebabkan oleh virus, jamur, bakteri dan parasit.

Penyakit internal adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor genetik,

imunodefisiensi, saraf dan metabolik (Yuasa 2003).

Ikan memiliki sistem pertahanan tubuh untuk melawan berbagai macam

penyakit. Pertahanan tubuh ikan terbagi menjadi dua sistem yaitu pertahanan non-

spesifik dan spesifik (Kamiso 2001). Pertahanan non-spesifik merupakan

pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme

yang masuk karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Sistem

pertahanan ini tidak ditujukan kepada mikroorganisme tertentu dan telah ada sejak

lahir, sehingga disebut pertahanan non-spesifik. Sistem pertahanan spesifik

membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat

memberikan respon (Ellis 1978).

Respon pertahanan ikan terdiri atas respon humoral dan respon selular

(Anderson 1974). Respon pertahanan tubuh selular bersifat non-spesifik, yang

terdiri dari sel makrofag, leukosit dan sel Natural Killer (Ellis 1978). Sistem

pertahanan tubuh ikan yang mula-mula berfungsi pada awal kehidupan adalah

sistem pertahanan non-spesifik. Pertahanan non-spesifik terdiri dari pertahanan

pertama yaitu kulit, sisik dan lendir (Kamiso 2001). Sisik dan kulit merupakan

pelindung fisik yang melindungi ikan dari kemungkinan luka dan berperan sangat

penting dalam mengendalikan osmolaritas tubuh. Kerusakan sisik dan kulit akan

mempermudah agen patogen menginfeksi inang (O’Donnell et al. 1994). Sistem

pertahanan tubuh kedua pada ikan yaitu darah. Pertahanan spesifik ikan baru

berkembang dan berfungsi dengan baik pada umur beberapa minggu setelah telur

menetas. Sistem pertahanan spesifik disebut juga sebagai respon humoral yang

merupakan sistem pertahanan ketiga, dan yang berperan adalah antibodi (Kamiso

2001).

Keadaan stres akan mempengaruhi faktor perlindungan alami pada ikan,

seperti mukus, sisik, kulit, lisozim, dan antibodi. Stres pada ikan bisa disebabkan

oleh penanganan yang kurang baik pada saat pemindahan ikan, perawatan atau

pemanenan yang menyebabkan hilangnya mukus. Faktor lain penyebab stres pada

ikan, yaitu penurunan suhu air yang ekstrim, yang akan mengganggu kemampuan

ikan dalam melepaskan antibodi secara cepat untuk melawan benda asing (Selye

1973).

2.3 Sistem Sirkulasi

Darah merupakan cairan yang dialirkan melalui saluran vaskuler,

membawa bahan-bahan penting untuk kehidupan seluruh sel dalam tubuh dan

menampung buangan hasil metabolisme untuk diangkut ke organ ekskresi (Jain

1986 dalam Dellman dan Brown 1989). Darah merupakan cairan yang memiliki

fungsi sebagai pembawa nutrisi, transportasi oksigen dan karbon dioksida, serta

menjaga keseimbangan suhu tubuh. Darah mengandung dua komponen penting

yaitu plasma dan sel-sel darah (Rastogi 1977 dalam Arianty 1991).

Pemeriksaan darah penting artinya untuk membantu dalam meneguhkan

diagnosa suatu penyakit. Penyimpangan fisiologis ikan akan menyebabkan

terjadinya perubahan pada komponen-komponen darah (Wedemeyer 1990).

Perubahan gambaran darah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dapat

menentukan kondisi atau status kesehatan ikan (Wedemeyer 1990).

Sistem peredaran darah pada ikan terdiri dari jantung yang memiliki dua

ruangan, yaitu sebuah bilik (ventrikel) dan sebuah serambi (atrium). Jantung

terletak di bawah faring di dalam rongga perikardium. Selain itu, terdapat organ

sinus venosus, yaitu struktur penghubung berupa rongga yang menerima darah

dari vena dan terbuka di ruang depan jantung. Limpa sebagai bagian dari sistem

peredaran terdapat di dekat lambung dan dilengkapi dengan pembuluh-pembuluh

limpa (Yuasa 2003).

Darah mengalir dari jantung melalui aorta ventral dan arteri-arteri brakhial

menuju insang untuk keperluan oksigenasi. Darah yang sudah mengalami

oksigenasi selanjutnya masuk ke aorta dorsal, yang nantinya akan mengalirkan

darah ke seluruh tubuh dan sebagian menuju ke pseudobronkhia untuk

mendapatkan oksigenasi lebih lanjut. Selanjutnya darah dialirkan menuju retina

yang membutuhkan oksigen tinggi (Kumar dan Tembhre 1997).

Darah ikan, seperti pada vertebrata dan beberapa invertebrata lainnya,

tersusun dari sel-sel darah yang tersuspensi di dalam plasma yang diedarkan ke

seluruh jaringan tubuh (Moyle dan Cech 1988). Darah ikan berfungsi

mengedarkan nutrisi yang berasal dari pencernaan makanan menuju sel-sel tubuh,

membawa oksigen menuju sel-sel tubuh (jaringan), membawa hormon dan enzim

ke organ yang memerlukan (Lagler et al. 1977).

Volume darah ikan lebih kecil bila dibandingkan dengan volume darah

pada kelas-kelas lain dari vertebrata, yaitu sekitar 5 % dari berat badan. Darah

ikan terdiri dari cairan plasma dan sel-sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit),

sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit) (Moyle dan Cech 1988).

Dellman dan Brown (1989) melaporkan bahwa di dalam plasma darah terkandung

garam-garam anorganik (natrium klorida, natrium bikarbonat dan natrium fosfat),

protein (dalam bentuk albumin, globulin dan fibrinogen), lemak (dalam bentuk

lesitin dan kolesterol) serta zat-zat lain misalnya hormon, vitamin, enzim dan

nutrisi.

Darah dikelompokkan berdasarkan warna dan fungsi, yaitu sel darah

merah dan sel darah putih. Sel darah putih dibagi menjadi granulosit dan

agranulosit berdasarkan ada dan tidaknya butir-butir (granula) di dalam sel.

Granulosit dibagi menjadi neutrofil, eosinofil dan basofil. Tipe ini memiliki sifat

reaksi terhadap zat tertentu yaitu leukosit eosinofil yang bersifat asidofil

(berwarna merah oleh eosin), basofil berwarna basofil (ungu) dan leukosit netrofil

bersifat tidak basofil maupun asidofil (Dellman dan Brown 1989). Agranulosit

dibagi menjadi monosit dan limfosit (Lagler et al. 1977). Agranulosit tidak

memiliki butir sitoplasmik spesifik dan ditandai dengan adanya inti lonjong, bulat

dengan lekuk yang khas (Dellman dan Brown 1989).

Amlacher (1970) melaporkan bahwa darah mengalami perubahan yang

sangat serius, terutama bila terkena infeksi. Beberapa parameter yang dapat

memperlihatkan adanya perubahan patologi pada darah adalah kadar hematokrit,

hemoglobin, jumlah sel darah putih dan jumlah sel darah merah (Hesser 1960 ;

Lagler et al. 1977).

2.3.1 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)

Sel darah merah pada ikan, reptil, burung dan amfibi memiliki inti lonjong

dan berfungsi untuk mengikat oksigen. Sel darah merah pada ikan berbeda dengan

sel darah merah pada mamalia (sel darah pada mamalia tidak berinti dan

berbentuk seperti piringan bikonkaf). Jumlah dan ukuran sel darah merah pada

ikan berbeda berdasarkan spesies. Jumlah sel darah merah pada ikan teleost

berkisar antara 1.05 x 106 sel/mm

3 dan 3.0 x 10

6 sel/mm

3 (Roberts 1978).

Jumlah sel darah merah pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu air. Pada

umumnya jumlah sel darah merah berkisar antara 3 – 6 juta / mm3. Eritrosit muda

yang disebut polychromatocyt, merupakan 1 % dari jumlah total eritrosit, dan

pada umumnya berukuran lebih besar dan lebih bundar dengan warna biru keabu-

abuan apabila diwarnai dengan pewarnaan Giemsa (Nabib dan Pasaribu 1989).

Eritrosit pada ikan berwarna merah kekuningan, berinti, berbentuk

lonjong, kecil,dengan ukuran berkisar antara 7-36 mikron (Lagler et al. 1977).

Chinabut et al. (1991) melaporkan bahwa eritrosit yang sudah dewasa berbentuk

oval sampai bundar, ukuran inti kecil dengan sitoplasma dalam jumlah yang besar.

Eritrosit diproduksi di dalam organ ginjal bagian depan dan organ limpa.

Rendahnya kadar eritrosit merupakan indikator terjadinya anemia, sedangkan

tingginya jumlah eritrosit mengindikasikan bahwa ikan dalam keadaan stres

(Wedemeyer dan Yasutake 1977).

2.3.2 Kadar Hematokrit

Menurut Hesser (1960), parameter yang berpengaruh terhadap pengukuran

volume sel darah merah adalah hematokrit. Sastradipradja et al. (1989)

melaporkan bahwa hematokrit merupakan persen volume sel darah merah di

dalam darah.

Nilai hematokrit pada ikan teleost berkisar antara 20-30 %, dan pada

beberapa spesies ikan laut sekitar 42 % (Bond 1979). Nabib dan Pasaribu (1989)

menyatakan bahwa nilai hematokrit di bawah 30 % menunjukkan adanya

defisiensi eritrosit.

Dellman dan Brown (1989) melaporkan bahwa apabila terkena infeksi,

nafsu makan ikan akan menurun dan nilai hematokrit darah akan menurun. Pada

kasus seperti anemia mikrositik, jumlah dan ukuran sel darah merah berkurang,

sehingga kadar hematokrit juga rendah. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jenis

kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan (Jawad et al. 2004).

2.3.3 Kadar Haemoglobin

Sastradipradja et al. (1989) melaporkan bahwa sel darah merah

mengandung haemoglobin. Molekul haemoglobin merupakan suatu protein di

dalam sel darah merah yang terdiri atas protoporfirin, globin dan besi bervalensi 2

(ferro). Menurut Lagler et al. (1977), kadar haemoglobin di dalam darah ikan

berkaitan dengan jumlah sel darah merah. Haemoglobin mengangkut oksigen

dalam ikatan dengan Fe dari darah. Haemoglobin tersusun atas protein-protein

globin dan pigmen heme (berwarna merah kekuningan). Haemoglobin berfungsi

mengangkut oksigen di dalam darah dan kemampuan mengangkut oksigen ini

bergantung pada konsentrasi haemoglobin di dalam sel darah merah. Konsentrasi

haemoglobin darah diukur berdasarkan intensitas warna dan dinyatakan dalam

satuan gram hemoglobin/100 ml darah (g/100 ml) (Lagler et al. 1977).

2.4. Sel Darah Putih (Leukosit)

Leukosit tidak berwarna, dengan bentuk lonjong sampai bulat (Lagler et

al. 1977). Chinabut et al. (1991) mengelompokkan leukosit menjadi dua

golongan, yaitu agranulosit dan granulosit. Kelompok agranulosit tidak memiliki

butir sitoplasmik spesifik, dan ditandai dengan adanya inti berbentuk lonjong,

bulat dengan lekuk yang khas. Termasuk ke dalam kelompok agranulosit yaitu

limfosit dan monosit. Sedangkan yang termasuk ke dalam kelompok granulosit

yaitu basofil, eosinofil dan heterofil (Dellman dan Brown 1989). Komponen

granulosit pada ikan sama dengan komponen granulosit pada mamalia (Secombes

1996).

Leukosit merupakan unit sistem pertahanan tubuh paling aktif, dan beredar

di dalam sirkulasi darah dalam berbagai tipe. Jumlah leukosit lebih sedikit

dibandingkan dengan sel darah merah. Fungsi utama leukosit adalah merusak

bahan-bahan infeksius dan toksik melalui proses fagositosis dengan membentuk

antibodi (Guyton 1997).

Leukosit merupakan salah satu komponen darah yang berfungsi sebagai

pertahanan non spesifik yang akan melokalisasi dan mengeliminir agen patogen

melalui proses fagositosis (Anderson 1992). Salah satu karakteristik respon non

spesifik ditandai dengan adanya migrasi leukosit ke dalam jaringan (Gudkovs

1988). Rastogi (1977) melaporkan bahwa jumlah leukosit ikan berkisar antara

20.000-150.000 sel/mm3 darah. Leukosit pada ikan memiliki inti dengan satu,

dua atau lebih gelambir atau segmen. (Gudkovs 1988).

Gambar 2. Leukosit ikan mujair (Oreochromis mossambicus) (Trewavas 1983).

Menurut Fletcher (1982) dan Walczak (1985), seperti pada mamalia,

neutrofil granulosit dan mononukear fagosit merupakan sel yang berfungsi untuk

memfagositosis. Penghancuran kuman oleh proses fagositosis terjadi melalui

beberapa tahap, yaitu kemotaksis di mana sel sel fagosit mendekati benda asing,

kemudian menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencernanya.

Nabib dan Pasaribu (1989) melaporkan bahwa leukosit yang beredar di dalam

sirkulasi berasal dari jaringan haemopoietik di dalam ginjal yang siap untuk

melakukan fungsinya di dalam jaringan.

Ikan teleost tidak memiliki sumsum tulang, sehingga proses hematopoeisis

tidak berlangsung di dalam sumsum tulang. Ginjal merupakan organ limfoid

primer pada ikan. Organ limfoid sekunder meliputi limpa dan jaringan limfoid

yang berasosiasi dengan intestinum (gut-associated lymphoid tissue, GALT)

(Zapata dan Cooper 1990).

Leukosit pada ikan diproduksi di dalam organ ginjal dan limpa. Secara

umum ginjal terdiri dari tiga bagian, yaitu ginjal bagian anterior (ginjal kepala,

head of kidney), bagian tengah dan bagian posterior. Ginjal anterior merupakan

bagian yang memiliki kapasitas hematopoietik tertinggi, tetapi memiliki fungsi

renal yang terbatas (Zapata dan Cooper 1990).

Menurut Zapata dan Cooper (1990), pada ginjal ikan ditemukan adanya

limfosit yang mirip dengan sel T dan sel B, yang berperan di dalam jaringan

limfoid ginjal untuk mekanisme pertahanan tubuh. Zapata dan Cooper (1990)

melaporkan pula bahwa terdapat sel-sel pengikat antigen dan penghasil antibodi di

dalam jaringan limfohematopoietik ginjal ikan.

Perubahan pada jumlah total dan jenis leukosit dapat dijadikan indikator

adanya penyakit infeksi tertentu yang terjadi pada ikan (Blaxhall 1972). Anderson

dan Siwicki (1993) melaporkan bahwa aktivitas fagositosis yang dilakukan oleh

sel-sel leukosit akan meningkat pada awal infeksi dan mengalami penurunan pada

infeksi kronis.

2.4.1. Limfosit

Limfosit merupakan jenis leukosit yang mempunyai peranan dalam respon

imunitas. Morfologi limfosit pada ikan serupa dengan limfosit pada semua hewan

vertebrata. Dengan pewarnaan Giemsa, limfosit ditandai dengan bentuk sel yang

bundar dengan sejumlah kecil sitoplasma non granula berwarna biru cerah atau

ungu pucat. Secara umum limfosit menunjukkan heterogenisitas yang sangat

tinggi dalam morfologi dan fungsinya, karena sifatnya yang aktif dan mempunyai

kemampuan berubah bentuk dan ukuran. Limfosit mampu menerobos jaringan

atau organ tubuh yang lunak karena menyediakan zat kebal untuk pertahanan

tubuh (Dellman dan Brown 1989).

Limfosit merupakan jenis sel leukosit yang paling dominan di dalam

populasi leukosit pada ikan. Jumlah limfosit pada ikan lebih besar dibandingkan

dengan pada mamalia, dengan kepadatan sebesar 48.000 per millimeter kubik

pada ikan, sedangkan pada manusia hanya 2.000 per millimeter kubik (Nabib dan

Pasaribu 1989). Ukuran rata-rata limfosit tiap spesies berbeda, yaitu berkisar

antara 4.5 – 12 um (Moyle and Chech 1988).

2.4.2. Monosit

Monosit berperan sebagai makrofag dan banyak dijumpai pada daerah

peradangan atau infeksi (Dellman dan Brown 1989). Monosit bersama makrofag

jaringan setempat akan memfagositosis sisa-sisa jaringan dan agen penyebab

penyakit (Nabib dan Pasaribu 1989). Monosit pada ikan memiliki morfologi

hampir sama dengan monosit pada mamalia, berbentuk oval atau bundar,

berdiameter antara 8 – 15 um. Inti berbentuk oval, terletak mendekati tepi sel dan

mengisi sebagian isi sel. Kadang-kadang inti monosit juga terletak di tengah

(Hoffman 1997). Persentase monosit di dalam darah ikan sekitar 0.1 % dari total

populasi leukosit yang bersirkulasi (Roberts 1978).

Pada manusia, monosit diproduksi di dalam sumsum tulang dan pada saat

mencapai kematangan akan memasuki peredaran darah, dan dapat bertahan

selama 24-36 jam di dalam sirkulasi darah. Monosit kemudian menuju jaringan

penghubung dan menjadi makrofag yang akan bergerak di dalam jaringan

(Tagliasacchi dan Carboni 1977). Nabib dan Pasaribu (1989) melaporkan bahwa

monosit yang beredar di dalam darah ikan berasal dari jaringan haemopoietik di

ginjal yang siap untuk melakukan fungsinya di dalam jaringan.

2.4.3. Eosinofil dan Basofil

Eosinofil dan basofil berperan di dalam infeksi parasit dan respon alergi,

dan dihubungkan dengan penyakit yang bersifat akut (Jain 1993). Eosinofil dan

basofil sangat jarang terlihat di dalam sirkulasi darah ikan (Nabib dan Pasaribu

1989). Jumlah basofil dan eosinofil sangat bervariasi di antara spesies ikan

(Secombes 1996). Jumlah eosinofil dan basofil di dalam sirkulasi darah pada ikan

Salmonid sangat rendah atau bahkan tidak ada (Ellis 1978; Kusuda dan Ikeda

1987; Rowley et al. 1985).

2.4.4. Heterofil

Heterofil adalah sel darah putih yang mengandung vakuola berisi lisozim

untuk menghancurkan organisme yang telah difagosit. Heterofil berbentuk bundar

dan berukuran besar (diameter berkisar antara 9 – 13 um) dengan jumlah

sitoplasma yang besar dan mengandung granula. Sitoplasma berwarna biru cerah

atau ungu pucat, sementara intinya berwarna biru gelap (Chinabut et al 1991).

Heterofil di dalam sirkulasi darah ikan berasal dari jaringan hematopoitik dalam

ginjal, dan juga limpa (Nabib dan Pasaribu 1989).

Istilah heterofil atau leukosit berinti polimorf berasal dari histologi

manusia. Oleh karena butir-butir protoplasmanya tidak selalu berwarna netral, dan

intinya tidak berkeping-keping, pada ikan dikenal dengan istilah heterofil.

Persentase heterofil di dalam darah ikan berkisar antara 6 – 8 % dari total leukosit

yang bersirkulasi (Nabib dan Pasaribu 1989). Jumlah heterofil sangat bervariasi di

antara spesies ikan (Secombes 1996).

Morfologi heterofil (polymorphonuclear leukocyte) pada ikan mirip

dengan neutrofil pada mamalia. Jumlah heterofil pada ikan teleost berbeda-beda

(Roberts 1978). Heterofil sangat aktif dalam membunuh bakteri (Tagliasacchi dan

Carboni 1997).

Nabib dan Pasaribu (1989) melaporkan bahwa polymorphisme dari inti

pada sel heterofil ikan sangat berbeda-beda diantara spesies. Sifat-sifat histokimia

serupa dengan heterofil pada mamalia, yaitu positif dengan pewarnaan PAS

(periodic acid-Schiff), Sudan Black B dan benzidin peroxide, test acid dan alkalin

phosphatase.

Pada saat terjadi luka, heterofil yang telah matang akan memasuki jaringan

dan memulai proses fagositosis. Mula-mula sel heterofil akan melekat pada

partikel kemudian akan menjulurkan kaki semunya dan akan memakannya.

Sebuah heterofil dapat memfagosit 5-20 bakteri sebelum heterofil inaktif dan mati

(Guyton dan Hall 1997).

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Departemen

Klinik, Reproduksi dan Patologi dan Laboratorium Helmintologi Departemen

Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran

Hewan IPB, Dramaga. Penelitian dilakukan mulai bulan September 2007 sampai

dengan Maret 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Sebanyak 10 ekor ikan mujair (Oreochromis mossambicus) dengan berat

sekitar 200 gram per ekor digunakan dalam penelitian ini.. Ikan mujair diperoleh

dari peternak ikan mujair di daerah Ciampea Bogor. Bahan kimia yang digunakan

adalah antikoagulan heparin, alkohol 70%, larutan Giemsa 10%, dan akuades.

Peralatan yang diperlukan antara lain akuarium berukuran 100x50x50 cm, gelas

obyek, gelas penutup, syringe ukuran 1ml, bak pewarnaan dan kertas tissue.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel Darah

Ikan mujair diambil dari empang sebanyak 10 ekor dan disimpan di dalam

akuarium selama dua hari untuk adaptasi dengan keadaan akuarium. Sampel darah

diambil dari vena caudalis di antara sisik ikan dekat ekor dengan menggunakan

syringe 1 ml yang telah dibasahi dengan antikoagulan heparin. Jarum syringe

dimasukkan dari belakang anal ke arah vertebrate (tulang belakang) hingga jarum

syringe menyentuh tulang. Darah dihisap perlahan sebanyak 1 ml kemudian jarum

syringe dilepas, dan sampel darah dipindahkan ke dalam tabung. Selanjutnya

dilakukan pembuatan preparat ulas darah untuk pengamatan terhadap diferensiasi

leukosit.

3.3.2 Pengamatan Diferensiasi Leukosit

Pengamatan diferensiasi leukosit dilakukan untuk menentukan persentase

tiap jenis leukosit yang ada di dalam darah. Pengamatan diferensial leukosit

dilakukan dengan mengamati preparat ulas darah di bawah mikroskop. Pembuatan

preparat ulas darah dilakukan dengan menempatkan setetes darah pada gelas

obyek. Gelas obyek kedua diletakkan dengan sudut 450 di atas gelas obyek

pertama, lalu digeser ke belakang menyentuh darah sehingga darah menyebar.

Gelas obyek kedua kemudian digeser ke arah yang berlawanan sehingga

membentuk suatu lapisan tipis darah. Preparat ulas darah dibiarkan kering dalam

udara. Setelah itu dilanjutkan dengan proses fiksasi, dengan cara merendam

preparat di dalam metanol selama 5 menit, lalu dikeringkan. Preparat kemudian

dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit, setelah itu dicuci dan

dikeringkan. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop dengan

pembesaran 1000 x, dan dilakukan penghitungan masing-masing jenis leukosit

hingga mencapai jumlah 100 sel leukosit (Aqualex 2008).

3.4 Analisa Data

Data dianalisis secara deskriptif. Parameter yang diamati adalah

diferensiasi leukosit yang meliputi persentase heterofil, eosinofil, limfosit,

monosit, dan basofil.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Leukosit

Leukosit merupakan salah satu komponen darah yang berfungsi sebagai

pertahanan non spesifik yang akan melokalisasi dan mengeliminir patogen melalui

fagositosis (Anderson 1992). Rastogi (1977) melaporkan bahwa jumlah leukosit

total pada ikan berkisar antara 20.000 - 150.000 sel/mm3 darah. Menurut Gudkovs

(1988), inti leukosit pada ikan memiliki satu, dua atau lebih gelambir/lobus. Salah

satu karakteristik respon non spesifik ditandai dengan adanya migrasi leukosit dari

sirkulasi darah ke dalam jaringan

Hasil pengamatan persentase masing-masing jenis sel leukosit pada semua

ikan mujair dapat dilihat pada Tabel 1. Persentase heterofil yang diperoleh adalah

22 ± 6.89 %, dan berada di atas kisaran nilai normal. Menurut Nabib dan Pasaribu

(1989), persentase heterofil yang beredar di dalam darah ikan berkisar antara 6 – 8

% pada ikan.

Persentase limfosit hasil pengamatan adalah 73.6 ± 7.97 %. Persentase

limfosit ini masih berada di dalam kisaran nilai normal. Menurut Fletcher (1982),

meningkatnya jumlah leukosit, terutama limfosit, berhubungan dengan timbulnya

imunitas pada tubuh. Sementara rata-rata monosit yang diperoleh adalah 4.4 ±

3.53 %, dimana persentase ini berada di atas kisaran normal. Gambar 3

memperlihatkan morfologi sel darah ikan hasil pengamatan.

H M L

Gambar 3. Sel darah ikan mujair (Oreochromis mossambicus): Heterofil (H),

monosit (M), Limfosit (L).

Dari sepuluh ekor ikan mujair yang diamati, IM8 memiliki persentase

limfosit tertinggi, yaitu 87% dan terendah pada IM6 dan IM10 yaitu 65%.

Sedangkan persentase heterofil tertinggi ditemukan pada IM10 (33%) dan

persentase terendah pada IM1 (12%). Keberadaan sel monosit tidak ditemukan

pada tiga sampel darah ikan mujair, yaitu pada IM3, IM5 dan IM8. Persentase

tertinggi ditemukan pada IM2 dan IM6 (11%) dan terendah pada IM7 dan IM10

(2%). Menurut Fantone & Ward (1988), manifestasi dari adanya peradangan

adalah meningkatnya salah satu jenis sel leukosit. Pada umumnya peningkatan

jumlah leukosit total di dalam sirkulasi (leukositosis) disebabkan oleh

meningkatnya sel leukosit jenis heterofil. Persentase normal heterofil yang

beredar di dalam sirkulasi darah ikan berkisar antara 6-8%.

Tabel 1. Persentase masing-masing jenis sel leukosit pada ikan mujair.

Kode ikan Limfosit Monosit Heterofil Eosinofil Basofil

IM 1 82 6 12 - -

IM 2 69 11 20 - -

IM 3 74 - 26 - -

IM 4 75 5 20 - -

IM 5 83 - 17 - -

IM 6 65 11 24 - -

IM 7 68 2 30 - -

IM 8 87 - 13 - -

IM 9 68 7 25 - -

IM 10 65 2 33 - -

73.6 ± 7.97 4.4 ± 3.53 22 ± 6.89

Kisaran

normal

71,1–82,88% 0.1% 6-8%

Tabel 1 memperlihatkan bahwa persentase heterofil sampel ikan mujair

yang diamati, yaitu 22 ± 6.89 persen. Persentase ini berada di atas kisaran nilai

normal. Peningkatan persentase heterofil ini diduga disebabkan karena adanya

bahan asing yang masuk ke dalam tubuh, dan juga adanya stress pada ikan.

Keadaan stress pada ikan dapat memicu terjadinya peningkatan produksi hormon

kortikosteroid. Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks

adrenal yang dapat meningkatkan aktifitas antiinflamasi, fisiologis dan metabolik

di dalam tubuh.

Persentase limfosit hasil pengamatan sebesar 73.6 ± 7.97 %, masih berada

dalam kisaran normal. Persentase monosit sebesar 4.4 ± 3.53 %, berada di atas

kisaran normal. Menurut Tizard (1982), tingginya persentase monosit di atas

kisaran nilai normal memperlihatkan adanya respon leukosit terhadap benda asing

atau agen penyakit di dalam tubuh. Secara histologis pada tempat dimana terjadi

peradangan akan diinfiltrasi oleh leukosit dan leukosit yang terlibat tergantung

pada sifat perangsang peradangan.

Slauson & Cooper (1982) melaporkan bahwa mekanisme mobilisasi sel

leukosit menuju lokasi peradangan dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu

marginasi, emigrasi, kemotaksis, akumulasi, dan fagositosis. Menurut Fletcher

(1982) dan Walczak (1985), diantara semua mekanisme tersebut, fagositosis

merupakan mekanisme yang paling penting dan merupakan fungsi utama sel

leukosit pada saat terjadinya peradangan).

4.1.1. Persentase Limfosit

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh rataan persentase limfosit

sebesar 73.6 ± 7.97 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan sel limfosit di

dalam leukosit masih berada dalam kisaran normal. Limfosit mempunyai peranan

yang sangat penting dalam respon imunitas dan menghasilkan antibodi. Menurut

Jain (1986) dan Jain (1993), limfosit berperan utama dalam pembentukan

kekebalan humoral dan seluler untuk menyerang dan menghancurkan agen

penyakit.

Peningkatan jumlah limfosit di dalam sirkulasi darah disebut limfositosis,

sedangkan penurunannya disebut sebagai leukopenia. Jumlah limfosit yang tinggi

di dalam sirkulasi darah akan diimbangi dengan jumlah neutrofil yang rendah, dan

sebaliknya. Penurunan jumlah limfosit di dalam darah perifer terjadi karena

sebagian besar limfosit ditarik dari sirkulasi dan berkonsentrasi ke dalam jaringan

dimana terdapat peradangan (Jain 1993).

Moyle dan Cech (1988) melaporkan bahwa limfosit berfungsi sebagai

penghasil antibodi untuk menghadapi gangguan penyakit. Jika terjadi penurunan

persentase limfosit di dalam sirkulasi pada saat terjadi infeksi, diduga disebabkan

karena aktifitas limfosit dalam memproduksi antibodi terganggu, dan dalam

kondisi ini limfosit dibantu oleh monosit dan heterofil yang akan meningkat

jumlahnya di dalam sirkulasi.

4.1.2. Persentase Monosit

Hasil pengamatan terhadap monosit, diperoleh rataan untuk monosit

sebesar 4.4 ± 3.53 % , dimana persentase monosit ini berada di atas kisaran

normal. Menurut Moyle dan Cech (1988), proporsi monosit di dalam populasi

leukosit sedikit kecuali ada benda asing di dalam jaringan atau aliran darah.

Roberts (1978) melaporkan bahwa persentase monosit pada ikan sebesar 0.1 %

dari total populasi leukosit yang bersirkulasi..

Monosit berperan sebagai makrofag dan banyak dijumpai pada daerah

peradangan atau infeksi (Dellman dan Brown 1989). Monosit bersama makrofag

jaringan setempat akan memfagositosis sisa-sisa jaringan dan agen penyebab

penyakit (Nabib dan Pasaribu 1989). Peranan monosit terutama dikaitkan pada

peristiwa peradangan yang bersifat kronis dan pada kejadian fagositosis bakterial.

Menurut Schalm et al. (1983), adanya infeksi kronis atau proses peradangan akan

merangsang terjadinya monositosis.

4.1.3. Persentase Heterofil

Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan heterofil hasil pengamatan sebesar 22

± 6.89 %. Persentase heterofil hasil pengamatan ini berada di atas kisaran nilai

normal. Roberts (1978) melaporkan bahwa jumlah heterofil yang beredar di dalam

sirkulasi darah ikan berkisar antara 6-8 %. Jumlah heterofil dapat meningkat

apabila ada infeksi, peradangan dan pada keadaan stres. Keadaan stress pada ikan

dapat memicu terjadinya peningkatan produksi hormon kortikosteroid.

Kortikosteroid dihasilkan oleh korteks adrenal yang dapat meningkatkan aktifitas

antiinflamasi, fisiologis dan metabolik di dalam tubuh.

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1), persentase heterofil tertinggi

terdapat pada IM10 (33%), dan persentase terendah pada IM1 (12%). Peningkatan

jumlah heterofil di dalam sirkulasi darah disebut heterofilia. Heterofilia terjadi

karena adanya infeksi penyakit oleh bakteri, kondisi stres (dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, suhu dan ekosistem di dalam air) (Forester dan Lawrence 1978).

Persentase heterofil di dalam sirkulasi darah ikan berkisar antara 6 – 8 %

(Nabib dan Pasaribu 1989).. Jumlah heterofil di dalam sirkulasi darah ikan

berkisar antara 3 – 6 x 103/mm

3 (Roberts 1978).

Jumlah heterofil pada ikan teleost berbeda-beda, tergantung spesies ikan

(Roberts 1978). Jumlah heterofil bervariasi di antara spesies ikan, dimana ikan

Salmonid memiliki jumlah heterofil yang dominan. Ikan Cyprinus carpio

memiliki jumlah heterofil yang besar, yaitu sebesar 8% (Ellis 1978; Kusuda dan

Ikeda 1987; Rowley et al. 1985).

4.1.4. Persentase Eosinofil dan Basofil

Hasil pengamatan terhadap sepuluh sampel darah ikan mujair, tidak

ditemukan adanya eosinofil dan sel basofil. Nabib dan Pasaribu (1989)

melaporkan bahwa eosinofil dan basofil sangat jarang terlihat di dalam sirkulasi

darah ikan. Eosinofil dan basofil berperan dalam infeksi parasit dan respon alergi,

yang dihubungkan dengan penyakit yang bersifat akut.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, persentase limfosit ditemukan paling

dominan dibandingkan dengan jenis sel leukosit yang lain, yaitu 73.6 ± 7.97 %.

Persentase heterofil sebesar 22 ± 6.89 %. Persentase monosit ditemukan paling

rendah diantara populasi semua jenis sel leukosit, yaitu 4.4 ± 3.53 %. Tidak

ditemukan adanya sel eosinofil dan basofil.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran darah ikan

mujair (Oreochromis mossambicus) untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Jumlah dan jenis ikan perlu diperbanyak, dan lokasi penelitian perlu diperluas

agar diperoleh hasil yang dapat mewakili untuk daerah tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Amlacher E. 1970. Text Book of Fish Disease. D.A.T.F.H. Publication. New

York. USA. hlm 302.

Anderson DP. 1974. Disease of Fishies. Book 4: Fish Immunology. Edited By S.

F. Snieszcke and R. Axelrod, TFH Publication Ltd. Nepture City.

, 1992. Immunostimulants, Ajduvants and Vaccine Carrier in Fish:

Application to Aquaculture. Ann. Rev. Fish Dis 2: 281-307

, and A. Siwicki. 1993. Basic Hematolog and Serology for Fish

Health. Programs Paper Presented in Second Symposium on Disease in Asia

Aquaculture Aquatic Animal Health and The Environment Phuket, Thailand.

25-29th October 1993.

Aqualex. 2008b. Cortisol. http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan Mas. [3 Juli 2008]

Arianty L. 1991. Morfologi Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio), Nila Merah

(Oreochromis sp) dan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dari Sukabumi.

Skripsi Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Blaxhall PC 1972. The Haemothological Assessment of The Health of Fresh

Water Fish. A Review of Selected Literature. Journal of Fish Biology 4 :

593-604.

Bond CE. 1979. Biology of Fishes. Saunders College Publishing. Philadelphia.

hlm 514.

Chinabut S, Limsuwan C, Kiswatat P. 1991. Histology of The Walking Catfish,

Clarias bathracus. IDRC. Canada. hlm 96.

Cohen S. Pathways of the Pulp. 8th Edition. St. Louis: Mosby, Inc. 2002. page

465. [22 April 2008]

Dellman HD dan Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner. Hartono

(Penerjemah). UI Press. Jakarta.

Effendi, 2008. Dinamika Hidup Mujair.

http://www.trobos.com/show_article.php?rid=17&aid=1062 [26 Mei 2008].

Ellis AE, Roberts RJ, Tytler P. 1978. The Anatomy and Physiology of Teleosts. Di

dalam: Roberts RJ (editor). Fish Pathology. Balliere Tindall. London.

Fantone JC & PA Ward. 1988. Inflammation. In : Veterinary Pathology.

Fletcher TC, 1982. Non Spesific Defence Mechanism of Fish. Developmental

Comparative Immunology 2 : 123-127

Forester TS and Lawrence JM. 1978. Effects of grass carp and carp on

populations of bluegill and largemouth bass in ponds. Transactions of the

American Fisheries Society 107(1): 172-175.

Gudkovs N. 1988. Fish Immunology. Fish Disease Refresher Course for

Veterinarians. Proc. 106: 531-544

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9 (terjemahan).

Penerbit Buku kedokteran EGC.

Hesser EF. 1960. Methodes for Routine Fish Hematology. Progressive Fish

Culturist. 22: 164-170.

Hoffbrand AV. Dan JE. Pettit. 1992. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke-2.

Terjemahan I. Darmawan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Hoffman GL (ed.). 1977. Methods for The Diagnosis of Fish Diseases. Amerid

Publ. Co. Pvt. Ltd. New Delhi.

Jain NC. 1986. Schalm’s Veterinary Hematology. 4th. Ed. Lea & Febiger.

Philadelphia. 1221 pp.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Lea & Febiger.

Philadelphia. 417 pp.

Jawad LA, al-Mukhtar MA, Ahmed HK. 2004. The Relationship Between

Haematocrit And Some Biological Parameters of the Indian Shad,

Tenualosa ilisha (Family Clupeidae). Animal Biodiversity and Conservation,

27.2:47-52.

Kamiso HN 2001. Immunologi dan Vaksinasi pada Ikan. DUE Project. Fakultas

Perikanan. Universitas Riau, Pekanbaru.

Kinne O. 1980. Disease of Marine Animals. Vol. 1. General Aspects. Protozoa to

Gastropoda. John Wwiley & Sons, Chichester.

Kumar S. and Tembhre, M. 1996. Anatomy and Physiology of Fishes. Vikas

Publishing House PVT Ltd. New Delhi.

Kusuda R, Ikeda Y (1987) Studies on classification of eel leucocytes. Bull Japan

Soc Sci Fish 53: 205–209

Lagler KF, Bardach JE, RR Miller, Passino DRM. 1977. Ichthyology. John Willey

and Sons. Inc. new York-London. Hlm 506.

Moyle PB dan Cech Jr JJ. 1988. Fishes. An Introduction to Icthyology. Prentice

Hall, Inc. USA. hlm 559.

Nabib R, Pasaribu, FH. 1989. Patologi Dan Penyakit Ikan. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat

Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.

Nordenson NJ. 2002. White Blood Cell Count and Differential.

http:/www.lifesteps.com/gm.atoz/ency/white_blood_cell_count_and_differe

ntial.jsp. [22 April 2008]

O’Donnell G Smith, P Kilmartin, J and Moran, A. 1994. Uptake and fate of orally

administered bacterial lipopolysaccharide in brown trout. Fish and Shellfish

Immunology 4: 285

Press CML Dannevig, BH and Landsverk, T. 1994. Immune and Enzyme

histochemical phenotypes of lymphoid and nonlymphoid cells within the

spleen and head kidney of Atlantic salmon (Salmo salar, L). Journal of Fish

and Shellfish Immunology 4:79-93

Popma TJ and Green BW. 1990. Sex Reversal of Tilapia in earthen ponds.

International Center of Aquaculture : Auburn University, Alabama.

Primandaka JT. 1992. Pengaruh Penyuntikan Isolat Virulen Aeromonas

hydrophila Secara Intramuskular Terhadap Gambaran Darah Lele Dumbo

(Clarias sp.) Ukuran Fingerling. Skripsi. Fakultas Perikanan, Institut

Pertanian Bogor. Hlm 70.

Rahardi F, Kristiawati, Regina, Nazaruddin. 1993. Agribisnis Perikanan. Penerbit

Swadaya, Jakarta.

Rastogi SC 1977. Essential of Animal Physiology. Willley Easterm Limited, New

Delhi, Bangalore, Bombay, Calcuta p : 204-223

Roberts RJ. 1978. Fish Pathology. Ballier Tindall, London.

Rowley AF, Page M (1985) Lamprey melano-macrophages: structure and

function. In: Manning MJ, Tatner MF (eds) Fish immunology. Academic

Press, Orlando, pp 273–284

Sastradipradja D, SHS Sikar, R Widjajakusuma, T Ungerer, A Maad, H Nasution,

R Suriawinata dan R Hamzah. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi

Veteriner. Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, PAU Ilmu Hayati, IPB.

Bogor. 329 h.

Schalm OW, NC.Jain and EJ. Carroll. 1983. Veterinary Hematology. 3rd Ed. Lea

& Febiger. Philadelphia.

Secombes CJ. 1996. The Nonspecific Immune System: Cellular Defenses. Dalam:

Iwama, G and Nakanishi, T (Eds). The Fish Immune System. Academic

Press, San Diego. Hal. 63-105.

Selye H. 1973. The Evolution of the stress concept. American Scientist 61: 692-

699.

Slauson DO & BJ Cooper. 1982. Mechanisms of Disease. Atextbook of

comparative general pathology. Williams & Wilkins. Baltimore/London. Pp.

420.

Sugiarti. 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Nila. Penerbitan CV

Simpleks (Anggota IKAPI) Jakarta. Tagliasacchi, D., Carboni, G., and Pirazzini, M. (1997) Let us observe the Blood

cells, http://www.funsci.com/fun3_en/blood/blood.htm

Trewavas E. 1983. Tilapiine Fishes of the genera Sarotherodon, Oreohromis, and

Danakilia. Cornel University Press: Itacha, New York.

Tizard I. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press.

Surabaya. 497H.

Walczak BZ.1985. Immune Capability of Fish. A Literatur Review. Canadian

Technical Report of Fisheries and Aquatic Science 1334: 1-33

Wedemeyer GA and Yasutke. 1977. Clinical Methods for The Assessment on The

Effect of Enviromental Stress on Fish Health. Technical Paper of The US

Departement of The Interior Fish ang the Wildlife Service, 89 : 1-17.

Wedemeyer GA. 1990. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems.

Northwest Biological Science Center National Biological Service U.S

Department of the Interior. Chapman and Hall. 232 hal.

Yuasa Kei dkk. 2003. Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air Tawar Jambi,

Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA.

Zapata A and Cooper EL. 1990. The Immune System: Comparative

histophysiology, John Wiley & Sons, Chichester.

Zonneveld NE, EA Huisman, and JH Boon. 1991. Prinsip- prinsip Budidaya Ikan.

Terjemahan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 381 hal.