Resus Meningitis Tifosa

47
REFLEKSI KASUS MENINGITIS TIFOSA Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Anak Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo Diajukan Kepada: dr. Heru Wahyono Sp. A Disusun Oleh: Sitta Grewo Liandar 20100310017 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

description

anak

Transcript of Resus Meningitis Tifosa

REFLEKSI KASUSMENINGITIS TIFOSADisusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Anak Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo

Diajukan Kepada:dr. Heru Wahyono Sp. ADisusun Oleh:Sitta Grewo Liandar20100310017FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA2015

PENDAHULUANMeningitis merupakan salah satu penyakit infeksi SSP yang akut dan memiliki angka kematian dan kecacatan yang tinggi. Diagnosis meningitis sering mengalami keterlambatan karena gejala dan tanda klinis meningitis tidak spesifik terutama pada bayi. Usia terbanyak yang menderita meningitis yaitu pada usia 1 4 tahun. Terdapat distribusi kasus yang sama pada musim kemarau maupun hujan. Penderita dibawa ke RS terutama setelah > 72 jam setelah sakit dengan penurunan kesadaran apatis hingga koma. Meningitis bakteri dapat menyebabkan kecacatan pada anak. Kecacatan terutama adalah perkembangan motorik yang abnormal. Gejala dan tanda klinis meningitis bakteri sangat tidak spesifik terutama pada bayi dan hal tersebut menimbulkan tingginya angka kecacatan dan kematian (Japardi, 2002).Meningitis merupakan infeksi dan inflamasi yang mengenai meningens (selaput otak), yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur. Meningitis berdasarkan penyebabnya dapat dibagi menjadi :a. Meningitis bakterial, disebabkan oleh bakteri yang bersifat akut dan sangat berbahaya. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus, Streptokokus dan Salmonella typhi.b. Meningitis virus yaitu meningitis yang disebabkan oleh virus, contohnya yaitu herpes virus, arbovirus, measles dan varicella.c. Meningits yang disebabkan oleh bakteri bersifat akut dan sangat berbahaya, penyakit yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus, Streptokokus dan Salmonella typhi.d. Meningitis karena parasit disebabkan oleh Nigleria fowleri ataupun Acanthamoeba.Angka kejadian dari bakteri tersebut berbeda menurut umur penderita. Pada neonatus (0-30 hari) meningitis sering disebabkan oleh E.coli diikuti oleh Streptococcus B hemoliticcus, Listeria monocytogenes, Staphilococcus aureus dan Streptococcus pneumoni. Pada bayi (31-60 hari) meningitis disebabkan oleh Streptococcus B hemoliticus diikuti oleh Haemophilus influenza, Neisseria meningitidis dan gram negatif Enterobacilli. Pada anak 2 bulan sampai 4 tahun meningitis sering disebabkan oleh haemophillus influenza diikuti oleh Neisseria meningitidis, Staphilococcus aureus, dan pada anak lebih besar dan dewasa sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia diikuti oleh Neisseria meningitidis, Staphilococcus aureus dan Haemophillus influenza. Angka kejadian dari meningitis mengalami penurunan di dunia Barat terutama disebabkan oleh meningkatnya derajat sosial dan higienis personal. Setelah antibiotika mulai digunakan, angka kematian kemudian mengalami penurunan. Di Amerika menurut survey epidemiologi pada 27 negara bagian dari tahun 1978-1981 angka kematian untuk meningitis akibat Haemophillus influenza adalah 6%, untuk Neisseria meningitidis sebesar 10% dan untuk Septrococcus pneumonia 26,3% (Beek et al, 2006).Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif yaitu Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi, kuman tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusi melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. Meningitis typhosa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang mengenai meningens yang diakibatkan karena keadaaan toksemia berat, kelemahan umum dan bila perawatan pasien kurang sempurna (Parry et al, 2002).Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Beberapa negara yang merupakan endemic untuk kejadian demam tifoid yaitu Afrika dan Asia, Eropa bagian selatan dan timur, Amerika bagian selatan. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu yang kurang baik. Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi didapatkan pada anak-anak (Parry, 2005).Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau demam tifoid sepanjang tahun, demam ini terutama muncul di musim kemarau. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak yang berusia 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1. Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Insidensi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berkaitan dengan sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memadai syarat kesehatan lingkungan.Bila dilihat insidensi demam tifoid berdasarkan golongan umur, maka golongan umur yang berisiko tinggi (vulnerable group) untuk menderita demam tifoid adalah kelompok anak umur 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok khusus di masyarakat yaitu kelompok anak sekolah, yang kemungkinan besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain di luar rumah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penularan kemungkinan besar terjadi di luar rumah. Pendapat ini didukung oleh kenyataan bahwa selama 2,5 tahun pelacakan demam tifoid di Kompleks Pertamina, Plaju tak ada satu keluargapun di mana ada 2 orang menderita demam tifoid sekaligus atau berurutan. Hal ini memberi isyarat bahwa pengawasan kesehatan pada penjual makanan jajanan perlu mendapat perhatian dan bimbingan dari para petugas kesehatan terkait (Simanjuntak, 1998).Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga terdapat beberapa penyakit tropis yang prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Meningitis typhosa merupakan salah satu penyakit infeksi yang terdapat di Indonesia diakibatkan karena infeksi dari Salmonella typhi yang menginfeksi selaput otak. DefinisiMeningitis thyposa adalah radang akut pada selaput otak yang disebabkan oleh salmonella tertentu yaitu S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Infeksi karena s. thypi cenderung lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain (Swarga, 2008).

Mikrobiologi Salmonella typhi1. Morfologi dan IdentifikasiSalmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Salmonella typhi sering bersifat patogen untuk manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Bakteri ini ditularkan dari hewan atau produk hewan kepada manusia, dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik, dan demam enterik. Panjang Salmonella bervariasi. Kebanyakan spesies, kecuali salmonella pullorum-gallinarum dapat bergerak dengan flagella peritrica. Bakteri ini mudah tumbuh pada kultur biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, dan bahan tinja. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau brilliant, natrium tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang umumnya digunakan untuk menghambat bakteri enteric lainnya sehingga senyawa tersebut bermanfaat untuk mengisolasi salmonella dari tinja pada kultur biakan (Swarga, 2008).

Gambar 2.1. Strukur Salmonella Typhi2. Struktur AntigenMeski pada awalnya salmonella dideteksi berdasarkan sifat-sifat biokimianya, golongan, dan spesiesnya harus diidentifikasi dengan analisis antigen. Seperti Enterobacteriaceae lain, salmonella memiliki beberapa antigen O dan antigen H. Beberapa salmonella juga memiliki antigen simpai (K), yang disebut Vi, yang dapat menggangu aglutinasi melalui antiserum O dan protein membran terluar/outer membrane protein yang juga bersifat sebagai antigen . Penjelasan masing-masing antigen tersebut adalah sebagai berikut :a. Antigen OAntigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C selama 25 jam, alkohol dan asam yang encer.b. Antigen HAntigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonellalain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.c. Antigen ViAntigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosisdengan struktur kimia glikolipid, akan rusak biladipanaskan selama 1 jam pada suhu 60C, denganpemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakanuntuk mengetahui adanya karier.d. Outer Membrane Protein (OMP)Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Wardani et al., 2005)Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda merupakan dasar untuk klasifikasi salmonella secara serologik.3. KlasifikasiKlasifikasi kelompok Salmonella-Arizona cukup rumit karena organisme ini lebih merupakan suatu rangkaian kesatuan dibanding dengan spesies tertentu. Sistem klasifikasi Salmonella terdiri dari tiga spesies utama yaitu : Salmonella typhi (satu serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktifitas antigen O dan antigen H bifasik. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia dan dapat diisolasi dari hewan berdarah panas adalah golongan Salmonella cholerasuis, sementara yang lainnya terutama diisolasi dari hewan berdarah dingin dan lingkungan. Salmonella yang secara rutin diidentifikasi karena penting dalam klinik adalah S.thypi, S.cholaraesuis, S.parathypi A, dan S.parathypi B. Salmonella ini dapat diidentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogroup, diikuti dengan penentuan serotype (Prasetyo et al., 2005).

Faktor Predisposisi Beberapa kondisi pasien dengan otitis media, pneumonia, sinusitis akut, dan sickle sell anemia dapat meningkatkan kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang tengkorak atau pembedahan spinal dapat juga menyebabkan meningitis. Selain itu meningitis juga dapat terjadi pada individu dengan gangguan sistem imun, seperti AIDS dan defisiensi imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat. Meningitis thyposa lebih sering ditemukan pada anak-anak mungkin disebabkan oleh sistem imun anak-anak yang belum matang dan masih rentan terhadap penyakit infeksi (Arisandi, 2008).Manifestasi Awal Demam TifoidInfeksi awal meningitis thyposa dimulai dengan gejala-gejala demam tifoid. Masa inkubasinya rata-rata bervariasi antara 7-20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terlama adalah 60 hari. Lamanya masa inkubasi berhubungan dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis pasien. Walaupun gejala demam tifoid ini bervariasi namun secara garis besar dapat dikelompokan, antara lain : Demam satu minggu atau lebih; Gangguan pencernaan; dan Gangguan kesadaran (Rampengan et al., 1997).Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-41C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid kongenital. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai dengan yang berat(Rampengan et al., 1997; Darmowandowo, 2002). Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (Rampengan et al., 1997).

Gambar 2.3. Lidah TifoidRoseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandug kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas. Limpa pada umumnya juga sering membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama. Pembesaran ini harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa pada tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih lunak (Darmowandowo, 2002).Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid dan menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa, serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan, bila terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar. Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan tanda-tanda perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis (20.000-25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan fisiknya lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka kematian yang tinggi (12,5%) (Rampengan et al., 1997).

Gambar 2.2. Pasien Demam tifoidKomplikasi Demam Tifoid AnakPada akhir minggu ke-2 sampai masuk minggu ke-3 merupakan masa yang berbahaya. Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Dengan terapi yang tepat, banyak penderita yang sembuh dari demam tifoid. Namun tanpa terapi yang tepat, beberapa penderita mungkin tidak selamat dari komplikasi demam tifoid (Darmowandowo, 2002).Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini. Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera (Darmowandowo, 2002).Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.2. Kejang Demam3. Gangguan Kesadaran4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).5. Pneumonia.6. Peradangan pankreas (pankreatitis).7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis

Manifestasi Klinis Meningitis ThyposaMeningitis Thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang harus diwaspadai karena dapat menyebabkan kecacatan dan kematian bila tidak segera diobati. Beberapa gejala yang harus diperhatikan pada meningitis thyposa antara lain :a. Kaku pada tengkukb. Menghindari cahayac. Demamd. Terlihat sakit kerase. Bercak bercak merah pada kulitf. Nadi cepatg. Cengeng (terutama pada anak-anak)h. Lemah dan lesui. KejangTanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis karena bakterial adalah kaku kuduk dan likuor yang memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut :1. Pleitosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm kubik2. Kadar glukosa yang rendah3. Protein dalam likuor meninggi4. Preparat dan biakan likuor memperlihatkan bakteri, khususnya dalam penyakit ini adalah bakteri Salmonella (Mardjono et al.,1994)

Pemeriksaan Penunjang1. Demam tifoida. Pemeriksaan darah tepiPada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Prasetyo et al., 2005).b. Identifikasi kuman melalui isolasi/biakanDiagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan volume darah dari media empedu, dan waktu pengambilan darah.Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulangKegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (Prasetyo et al., 2005).c. Identifikasi kuman melalui uji serologisUji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal, tes Tubext, metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan pemeriksaan dipstik.Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Prasetyo et al., 2005).1) Uji widalUji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. 2) Tes TubextTes Tubext merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes Tubext ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.3) Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOTUji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. 4) Metode Enzyme-Linked Immunosobent Assay (ELISA)Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. 5) Pemeriksaan DipstikUji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. d. Identifikasi kuman secara molekulerMetode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (Prasetyo et al., 2005).2. Meningitis ThyposaPemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal. Pemeriksaan Radiografi CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah (Prasetyo et al., 2005).

A. Penegakkan Diagnosis Meningitis Thyposa1. Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis2. Pemeriksaan darah tepi : Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis, relatif dan aneosinofillia, pada permulaan sakit mungkin terdapat anemia dan trombositpenia ringan.3. Pemeriksaan sumsum tulang :Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag,sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis berkurang.4. Pemeriksaan widal : Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi, untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O.titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis.5. Lumbal PungsiDengan lumbal pungsi dapat mengetahui jenis bakteri apa yang telah menginfeksi meningens, apabila meningitis typhoid akan diperoleh Salmonella typhi pada lumbal pungsi tersebut (Beek et al, 2006).

Hasil pada pemeriksaan cerebro spinal fluid (CSF) yaitu sebagai berikut:Tipe Meningitis GlukosaProteinSel

Bakteri (akut)RendahTinggiPMN > 300/mm3

Virus (akut)NormalNormal atau tinggiMononuklear 50 tahun memiliki lebih banyak resiko kematian karena penyakit ini.3. Lamanya gejala atau sakit sebelum dirawatGejala yang muncul seperti kejag yang lebih dari 24 jam akan memperbesar resiko terjaninya kematian.4. Kecepatan ditegakkannya diagnosis5. Antibiotika yang diberikan6. Kondisi patologik lainnya yang menyertai meningitis (Harrison, 2005).BAB IVKESIMPULAN

A. Kesimpulan1. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonellasp.2. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul3. Meningitis thyposa adalah radang selaput otak yang disebabkan oleh salmonella tertentu4. Meningitis thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian bila tidak segera diobati5. Penatalaksanaan demam tifoid dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik, terapi suportif, dietetik, tirah baring dan memperbaiki keadaan umum pasien, khususnya untuk meningitis diberikan antibiotika dosis tinggi.B. Saran1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih sering terjadi di masyarakat dengan komplikasi di antaranya adalah meningitis thyposa, sehingga perlu perhatian khusus dari semua pihak untuk bekerja sama menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini2. Dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan baik dalam cara penulisan maupun isi tulisan sehingga perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk perbaikan penyusunan referat selanjutnya dengan topik yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Meningitis. Pontianak : Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Beek, Diederik., Gans, Jan., Tunkel, Allan., Wijdicks, Eelco. 2006. Community acquired bacterial meningitis in adults with bacterial meningitis. New England Journal of Medicine. Hal : 1849

Darmowandowo, W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.

Donnad, Medical Surgical Nursing, WB Saunders. 1991. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta : EGC

Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Harijanto. 2006. Malaria. Dalam : Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid III Edisi IV. Jakarta : BP FKUI; 1754-5

Jameson, L. J. 2006. Harrisons Neurology in Clinical Medicine. McGraw-Hill Companies. USA

Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Hemophilus Influenza Type B. Universitas Sumatra Utara. Hal : 1.

Mardjono, Mahar, dan Priguna Sidharta. 1994. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat; 318-9

Parry, Christopher. 2005. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever. Cambridge University Press. Hal : 3.

Parry, Christopher., Hien, Tor., Dougan, Gordon., White, Nicholas., Farrar, Teremy. 2002. Typhoid fever. New England Journal of Medicine. 347 (22). Hal : 1770.

Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto. 2005. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. [5 pages, cited October 6th 2009 : 01.25 pm) Available at : http://74.125.153.132/search?q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC; 53-72.

Swarga, Tirta. 2008. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Simanjuntak, Cyrus. (1998). Demam tifoid, epidemiologi, dan perkembangan penelitiannya. Cermin Dunia Kedokteran, 83. Hal : 2.

Wardani, Puspa, Prihartini, Probohusodo. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical and Medical Labolatory. 12. 1. 2005 : 31-7

Widodo, Djoko. 2006. Dalam : Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 : 1774.