Resume DJJ Fiqih
-
Upload
sanda-zyrechsmart -
Category
Documents
-
view
135 -
download
8
description
Transcript of Resume DJJ Fiqih
Menunjukan dalil tentang thaharoh (d)
Menunjukan dalil tentang thaharoh (d)
Menunjukan dalil tentang thaharoh (d)Menunjukan dalil
tentang thaharoh (d)
3. Peta Kompetensi
Menjelaskan materi Fiqih MTs pada aspek thaharah, adzan dan iqomat, shalat fardhu, shalatberjamaah, dan shalat jama’ dan qashar secara mendalam.
Menjelaskan macam- macam hadas besar dan hadas kecil serta tata cara mensucikannya (c)
Menjelaskan hal-hal yang disunatkan dalam adzan
Menjelaskan hal-hal yang membatalkan shalat
fardlu(c)
Menjelaskan ketentuan makmum masbuk (c)
Memjelaskan tatacara shalat jama’ dan qashar
(b)
Menjelaskan macam- macam najis dan tatacara
mensucikannya (b)
Menjelaskan definisi thaharah (a)
1
Menjelaskan ketentuan adzan dan iqamat (b)
Menjelaskan definisiAdzan dan Iqomah (a)
2
Menjelaskan syarat dan rukun shalat fardu (b)
Menjelaskan definisiShalat Fardu (a)
3
Menjelaskan ketentuan shalat berjam’ah (b)
Menjelaskan definisiShalat berjama’ah (a)
4
Membjelaskan definisi shalat jama’ dan qashar
(a)
5
Menjelaskan tentang Konsep Materi Fiqih MTs
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
Bahasan pokok dalam modul ini adalah bagaimana memahami proses
belajar mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) terutama dalam hal
pendalaman materi Fiqih MTs taharah, shalat fardhu, adzan, iqamat, shalat
berjamaah, dan shalat jama’ dan qashar yang mencakup:
1. Thaharah, yang meliputi :
a. Definisi Thaharah,
b. Macam-macam bersuci dan tata cara mensucikannya,
c. Tata cara bersuci dari hadas dan najis
2. Shalat fardhu, yang meliputi :
a. Definisi shalat fardhu,
b. Syarat dan rukun shalat fardhu,
c. Hal-hal yang membatalkan shalat fardhu,
3. Adzan dan Iqamat, yang meliputi:
a. Definisi adzan dan iqamat,
b. Ketentuan adzan dan iqamat,
c. Hal-hal yang disunatkan dalam adzan dan iqamat
4. Shalat berjama’ah, yang meliputi :
a. Definisi shalat berjama’ah,
b. Ketentuan dan tata cara shalat berjam’ah,
c. Ketentuan makmum masbuk
5. Shalat jama’ dan qasar, yang meliputi :
a. Shalat jama’
b. Shalat qashar
BAB II MATERI
POKOK 1
THAHARAH
B. Uraian Materi
1. Definisi Thaharah
a. Taharah menurut bahasa artinya bersuci, bersih
b. Menurut syara’ thaharah bermakna bersuci dari hadas dan najis baik di
badan, pakaian dan tempat yang dipergunakan supaya dapat
menunaikan ibadat khususnya ibadat solat. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah bersuci wajib, seperti; mandi junub untuk
menghilangkan hadas besar dan wudhu untuk menghilangkan
hadas kecil ( Abidin, 1998: 87). Sedangkan Imam Nawawi
memberikan definisi taharah adalah suatu pekerjaan menghilangkan
hadas atau najis. Taharah dalam arti menghilangkan hadas adalah
mandi junub, wudlu, dan tayamum, sedangkan dalam arti
menghilangkan najis adalah istinja dengan air dan istijmar dengan
batu ( Suyono, 1998: 87).
Tetapi syariat lazim menggunakan kalimat thaharah (suci) dan
kalimat-kalimat pecahannya, seperti thahura, yath-huru, thahir. Kalimat
nazhafat (bersih) hanya sesekali saja digunakannnya. Alasannya, karena
dalam tradisi syariat kalimat thaharah (suci) dimaksudkan sebagai bersuci
dari hadats kecil dengan berwudhu serta hadats besar dengan cara mandi
janabat, dan juga dimaksudkan membersihkan diri dari kotoran serta
naijs-najis baik yang bisa diindra, seperti air kencing, madzi, darah haid,
dan darah nifas, maupun yang tidak bisa diindra; seperti dosa-dosa yang
17
bersifat batin maupun dosa-dosa yang dilakukan anggauta tubuh (Hasan
Ayub, 2011:5)
Dari beberapa definisi di atas thaharah tersebut di atas menunjukan
bahwa, thaharah adakalanya mengandung hakekat yang sebenarnya,
seperti bersuci dengan air atau menurut hukum bersuci dengan tanah
ketika bertayamum, tetapi juga adakalanya mengandung arti thaharah
bersuci dari dosa-dosa yang telah kita perbuat terutama dosa-dosa yang
kecil yang masih diampuni oleh Allah Swt. seperti dosa yang telah kita
lakukan oleh tubuh kita.
Sesungguhnya bersuci dan berbersih dalam Islam adalah termasuk
hal-hal yang sangat esensial. Seseorang tidak disebut sebagai muslim
sejati dan sempurna tanpa memperhatikan kedua hal tersebut. Jika kita
melihat ada seorang muslim yang tidak memperhatikan kedua hal tersebut
dalam segala urusan kehidupannya, ia adalah orang bersalah yang patut
diceladan orang berdosa yang patut dikecam. Ia telah melakukan
pelanggaran terhadap diri sendiri juga kepada orang yang tidak
memperhatiakan pada hal itu (Hasan Ayub, 2011:6).
Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang
digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin
dibersihkan. Oleh karena itu, modul ini memaparkan secara sederhana
mengenai hukum air, macam-macam najis, bagaimana cara
membersihkan najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat.
Dalam fiqih Islam pembahasan mengenai thaharah mencakup dua
pokok pembicaraan, yaitu bersuci dari najis dan hadas. Ajaran Islam
mengharuskan kebersihan sebagai realisasai dalam kehidupan sehari-hari
agar kita senantiasa merealisasikan ajaran tentang thaharah, karena Islam
sendiri merupakan Agama yang mementingkan kebersihan. Allah Swt.
senantiasa mencintai pada hal-hal yang bersih. Sebagaimana firman Allah
Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 222, yaitu :
18
� ـتلاوابني وحيب لامتطهرين إن لاله حيب
“Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Soenarjo, dkk., 2006:
22).
Jadi jelas bahwa kewajiban bersuci bagi kaum muslimin itu bukan
karena ketika hendak melakukan ibadah saja. Tetapi karena memiliki
beberapa tujuan lain. Diantaranya adalah untuk menyenangkan sesama
orang muslim ketika berdekatan menunaikan shalat dengan penampilan
yang bagus, dengan hati yang khusyu’, dan dengan jiwa yang rendah,
akan mampu mendekatkan dua kutub yang saling berjauhan, menyatukan
dua pihak yang saling bermusuhan, menimbulakn rasa kecintaan terhadap
saudara sesama muslim, membuat fenomena jamaah Islam nampak
sangat menarik dipandang dan memberikan kesan positif pada jiwa
orang-orang lain (Hasan Ayub, 2011:7).
Fenomena yang bagus tersebut sebagaimana disinyalir dalam
firman Allah Swt. surat al-A’raf ayat 31, sebagai berikut :
� عند كل مس ج د وكلوا واش ربوا وال تس رفواإ نه يا بخين ذواآدزينمتكم
� حي الب لامس رفني
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan” (Soenarjo, dkk., 2006: 207).
Demikian juga dijelaskan dalam firman Allah Swt. surat al-
Maidah ayat 6, yaitu :
19
� تم إىل لا صالة فاغس لوا وجوهوأكيمديكم إىل لا مرافق يا أيـها لاذين آمنوا إذا قم
� وأرجلكم إىل لا كعبـني وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم
وامسحوا برءوس كم
� أو جاء أحد منكم من لاغائط أ و المس تم نلاساء ـفلم
مرضى أو على سفر� ا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد لاله
دوا ماجتءفـتـيمموا صعيد� ح رج و لكن ي ريد ل يطهركم و ليتم نعمته عليكم ل علكم
ليج عل عليكم م ن
� تش كرون
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (Soenarjo, dkk., 2006: 177).
Nabi Muhammad Saw. bersabda :
� ولن يد نلاظا فة
لىع
� سال م بين ا ال
� بكل ما ا ستطعتم فا ن اهللا ـتعاىلـتنظفوا
( رواهدلا يلىم ) � خلاجلنة اال نظيف
“Jagalah kebersihan semampu mungkin yang dapat kamu laksanakan,
sebab Allah Swt. mendirikan agama Islam atas dasar kebersihan dan
tidak akan masuk surga kecuali yang selalau menjaga kebersihan (H.R.
Ad Dailami) (Abidin dkk, 1998:18)
Oleh karena itu dalam hal yang berkenaan dengan mandi,
pengertian hukumnya ada beberapa macam, diantaranya ada najis yang
tidak nampak oleh mata kita, akan tetapi diyakini adanya najis tersebut
dan ada juga najis tersebut yang dapat dilihat oleh oleh mata kita dan
20
menempel pada badan. Dengan mandi ini semua najis tersebut akan
hilang dan kebersihan badan akan terjaga sehingga tubuh terhindar dari
berbagai macam penyakit. Mandi juga diwajibkan bagi wanita yang habis
haid, selesai nifas, setelah melakukan hubungan badan antara suami istri,
bagi yang keluar mani, bagi yang mimpi keluar mani baik laki-laki
maupun perempuan. Demikian juga wajibnya memandikan mayit,
wajibnya mandi bila terkena najis, serta mereka yang baru masuk Islam
menurut sebagian para ulama fiqih, walaupun ada juga yang tidak
mewajibkannya.
2. Macam-macam Bersuci dan Tata Cara Mensucikannya
Bersuci terbagi kepada dua bagian yaitu :
a. Bersuci dari hadas
b. Bersuci dari najis
Oleh karena itu tata cara menyucikannya mengacu kepada pembagian
bersuci tersebut.
Tata Cara Bersuci dari Hadas
1. Hadas terbagi kepada dua bagian yaitu :
a. Hadas kecil
Tata cara bersuci dari hadas kecil dengan cara wudhu dan
tayamum (dalam kondisi tertentu)
b. Hadas besar
Tata cara bersuci dari hadas besar dengan cara mandi jinabah
(mandi besar) dan tayamum (dalam kondisi tertentu)
2. Najis terbagi kepada tiga klasifikasi
a. Najis Mukhaffafah, cara bersusinya dengan jalan mempercikan
air ke tempat/benda yang terkena najis tersebut.
b. Najis Mutawashitoh, cara bersucinya dengan jalan mencucinya
sampai hilang bau, wujud, dan warnanya.
c. Najis Mughaladzah, cara bersucinya dengan jalan mencucinya
sebanyak tujuh kali cucian yang salah satunya dicampur tanah.
merupakan sarana diterimanya amal ibadah seseorang yang
berhubungan langsung dengan Allah Swt. yang bersifat horizontal.
Sebagaimana Islam mensyariatkan bersuci dari hadas dan bersuci dari
najis. Hadas kecil dan hadas besar, seperti halnya najis, harus
dihilangkan manakala akan beribadah kepada-Nya. Satu-satunya alat
bersuci yang paling utama disyariatkan adalah air, walaupun dalam
kedaan tertentu boleh menggunakan tanah untuk menghilangkan
hadas, yaitu dengan tayamum, dan untuk menghilangkan najis dari
selain najis mughaladhah dengan menggunakan batu atau benda pada
lainya kecuali tulang. Bersuci dibagi menjadi dua bagian yaitu :
Pertama, bersuci dari hadas, bagian ini tertentu dengan badan; seperti
mandi, mengambil air untuk berwudlu dan tayamum. Kedua, bersuci
dari najis, bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.
21
Berdasarkan hadits Rasulullah Saw. ada berbagai macam jenis air,
antara lain sebagai berikut :
a. Air suci lagi menyucikan, artinya keadaan air tersebut suci dan dapat
menyucikan hadas atau najis serta tidak makruh hukum
menggunakannya, seperti : air hujan, air laut, air sumur, air es, air
embun, dan air yang keluar dari mata air. Sebagaimana Firman Allah
Swt. surat al-Anfal ayat 11, yaitu :
� به ليطهركم
ماء
� أمنة منه ويـنـزل ع ليكم من الساءم إذ ـيغشيكم ـنلاعاس
� لاشيطان وليـربط علىـق لوبكم ويـثبت به اقألد ام ويذ هب عنكم رج ز
“(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)” (Soenarjo, dkk., 2006: 240).
Dalam hadits Nabi Saw. yang diterima dari Abi Hurairah r.a.
bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya
Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air
sedikit. Jika air itu kami pakai untuk berwudlu, kami akan kehausan,
maka bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Nabi Bersabda :
ھ تمرذى ) ةسمخلا ححلا صو روها )
�تتهمي
هو لاطهور ماؤهاحل�ل
“ Air laut itu suci mensucikan , bangkaianya halal dimakan” (H.R.
Lima ahli hadits, menurut keterangan Turmudzi bahwa hadits itu
shahih). (Suyono, 1998 : 22)
b. Air suci mennyucikan, tetapi makruh apabila digunakan pada badan.
Adapun yang termasuk dalam air jenis ini adalah air
musyammas, air yang dijemur pada terik matahari dengan
menggunakan bejana selain emas dan perak. Imam syafi’i dalam
kitabnya al-Um berkata bahwa Ibrahim bin Muhammad, bercerita
22
kepada kami, dari Zaid Aslam dari ayahnya, katanya “Dipanaskan air
untuk Umar bin Khatab, lalu ia mandi dan berwudlu dengan air itu.
Dan saya tidak memandang makruh air yang dijemur, kecuali dari segi
kedokteran”.
Selanjutnya dikatakan bahwa, Umar bin Khatab memandang
makruh mandi dengan menggunakan air yang telah dijemur karena
dapat menyebabkan penyakit supak.
c. Air suci tidak menyucikan, baik untuk menghilangkan hadas ataupun
najis.
Air yang jenis di atas dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1) Air musta’mal, yaitu air yang banyaknya kurang dari dua kullah,
telah terpakai untuk menghilangkan hadats atau najis, dan salah
satu sifatnya tidak berubah.
2) Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur
dengan suatu benda yang suci, selain dari perubahan yang telah
disebutkan di atas, seperti air kopi, air teh, air susu, dan
sebagainya.
3) Air pepohonan atau buah-buahan, seperti air keluar dari tekukan
pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya.
d. Air najis, yaitu air yang kena najis.
Yang termasuk dalam jenis air di atas, adalah :
1) Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur najis,
baik air itu banyak atau sedikit.
2) Air yang terkena najis dan tidak berubah salah satu sifatnya. Air
ini kalau sedikit tidak boleh dipakai, baik untuk menghilangkan
hadas atau najis dan hukum air tersebut najis. Akan tetapi, kalau
airnya banyak, maka hukumnya tetap suci dan menyucikan.
3. Tata Cara Bersuci dari Hadas dan Najis
a. Cara Bersuci dari Hadas
Seseorang yang berhadas kecil maupun hadas besar bila hendak
mengerjakan shalat atau amalan lain yang berhubungan langsung
23
dengan Allah Swt., harus menyucikan diri dengan cara berwudlu
atau tayamum apabila berhadas kecil, dan bila berhadas besar
dengan cara mandi atau tayamum. Sebagaimana firman Allah Swt.
dalam surat al-Maidah ayat 6, sebagai berikut :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (Soenarjo, dkk., 2006: 114).
b. Cara Bersuci dari Najis
Untuk memngetahui tata cara menyucikan najis, kita harus
mengkaji macam-macam najis menurut syari’at Islam, yaitu sebagai
berikut :
1) Najis Mukhafafah, yaitu najis ringan berupa air kencing anak
laki- laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan selain
air susu ibunya. Tata cara menyucikan najis yang demikian
cukup
24
dengan memercikan air pada benda atau apa saja yang terkena
najis walaupun tidak mengalir (Suyono, dkk., 1998 : 29).
Adapun kencing anak perempuan yang belum dua tahun
dan belum makan kecuali makan air susu ibunya, maka tata cara
menyucikannya hendaknya dibasuh sampai mengalir air di atas
benda yang kena najis itu, dan hilang dzat dan sifat-sifatnya,
sebagaimana menyuci kencing orang dewasa. (Rasyid, 2006 : 36).
Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:” Kencing bayi
laki-laki hanya dipercikan air, sedangkan kencing bayi perempuan
hendaklah dicuci. Qatadah berkata : ini selama keduanya ini
belum diberi makan. Jika sudah diberi makan, maka kencing
mereka hendaklah dicuci. (H.R. Ahmad, lafadz atau susunan
matan hadits ini dari Ahmad dan Ashabus Sunan kecuali an-
Nasa’i).
2) Najis Mutawasithah, yaitu najis pertengahan yang tidak
ringan dan tidak berat. Yang termasuk jenis najis ini adalah
segala sesuatu yang keluar dari qabul dan dubur apapun
bentuknya, kecuali mani, juga kotoran binatang dan bangkai
selain manusia, belalang, dan ikan.
Najis Mutawasithah dibagi menjadi dua, yaitu : Pertama,
Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang tampak dzatnya secara lahir dan
jelas warna, bau, dan rasanya. Cara menyuci najis jenis ini adalah
membasuhnya dengan air sampai hilang ketiga sifat tersebut.
Adapun kalau sukar menghilangkannya, sekalipun sudah
dilakukan berulang kali, najis tersebut dianggap suci dan
dimaafkan. Kedua, Najis hukmiyah, yaitu najis yang kita yakini
adanya (menurut hukum), tetapi tidak tampak ketiga sifatnya,
seperti kencing yang sudah lama kering sehingga sifatnya hilang.
Tata cara menyucinya adalah cukup dengan mengalirkan air
kepada benda yang terkena najis.
Adapun cara bersuci setelah keluar buang air besar dan
buang air kecil yang disebut dengan istinja adalah dengan
menggunakan air atau batu atau benda padat lainya kecuali
tulang.
3) Najis Mughalazhah, yaitu najis yang berat. Yang termasuk dalam
najis jenis ini adalah ajing dan babi termasuk keturunannya. Cara
menyuci najis atau benda yang terkena najis ini adalah dengan
mencucinya dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya
dicampur dengan debu atau tanah yang suci
D. Rangkuman
Dari beberapa definisi diatas taharah tersebut di atas menunjukan
bahwa, thaharah adakalanya mengandung hakekat yang sebenarnya, seperti
bersuci dengan air atau menurut hukum bersuci dengan tanah ketika
bertayamum.
Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang
digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin
dibersihkan. Oleh karena itu, artikel ini memaparkan secara sederhana
mengenai hukum air, macam-macam najis, bagaimana cara membersihkan
najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat.
Bersuci dibagi menjadi dua bagian yaitu : Pertama, bersuci dari hadas,
bagian ini tertentu dengan badan; seperti mandi, mengambil air untuk
berwudhu dan tayamum. Kedua, bersuci dari najis, bagian ini berlaku pada
badan, pakaian, dan tempat.
BAB III MATERI
POKOK 2
ADZAN DAN IQAMAT
A. Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari materi ini Saudara diharapkan dapat menjelaskan
definisi adzan dan iqamat, ketentuan adzan dan iqamat, dan hal-hal yang
disunatkan dalam adzan dan iqamat dengan benar.
B. Uraian Materi
1. Definisi adzan dan iqamat
Asal arti adzan menurut bahasa memiliki makna; Permakluman
atau pemberitahuan
Adapun yang dimaksud dengan adzan secara syariat adalah
permakluman atau pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan
menggunakan lafazh-lafazh tertentu (Hasan Ayub, 2011 : 154).
Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan adzan secara istilah
adalah memberitahukan, bahwa waktu shalat telah tiba dengan lafadz yang
ditentukan oleh syara’.(1976 : 64). Adzan ini disyariatkan di Madinah
pada tahun pertama Hijriyah, setelah pembangunan masjid Nabi Saw.
Sebab-sebab disyariatkannya adzan itu adalah pada mulanya kaum
muslimin di Madinah mengetahui saat datangnya waktu shalat dengan
ijtihad dari masing-masing mereka, lalu mereka baru kumpul untuk
melakukan shalat. Maka pada suatu hari mereka mengadakan pertemuan
bersama Nabi Saw. untuk bermusyawarah dengan tujuan untuk
mendapatkan masukan dari mereka mengenai cara yang efektif dalam
mengumpulkan manusia untuk menunaikan shalat berjama’ah.
31
Kemudian Umar bin Khatab mengusulkan agar dengan suara
manusia, yaitu ada seseorang yang mengumandangkan panggilan shalat
dengan suaranya. Maka disetujuilah ini. Lalu Nabi Saw. menyuruh Bilal
agar dialah mengumandangkan adazan tersebut, karena suaranya keras
merdu dan indah yang dimilikinya. Lalu diapun memanggil manusia agar
mengerjakan shalat, dengan suara merdu dan indah yang dimilikinya
(tetapi belum menggunakan lafadz adzan seperti yang kita kenal sekarang
ini).
Kemudian suatu ketika ada salah seorang sahabat, yang bernama
Abdullah bin Zaid, bermimpi dalam suatu tidurnya; bahwa ada seseorang
yang mengajarkan kepadanya adzan dengan lafazd sebagaimana yang kita
kenal sekarang ini. Kemudian tatkala pagi, beliau mengabarkan apa yang
dialami dalam mimpinya tersebut kepada Nabi Saw. , maka Nabi Saw.
memerintahkan kepadanya agar mengajarkan pada Bilal untuk
mengumandangkannya, karena keindahan suara yang dimiliki olehnya.
Kemudian tatkala Bilal mengumandangkan adzan dan Umar mendengar
suaranya, dia pergi menemui Nabi Saw. dan berkata kepadanya, “sungguh
aku telah bermimpi dalam tidurku, sebagaimana apa yang telah Abdullah
bin Zaid impikan (Hasan Ayub, 2011 : 155).
Dalam lafadz adzan itu terdapat pengertian yang mengandung
beberapa maksud yang penting, seperti aqidah, bersaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, kemudian
2. Tata Cara adzan dan iqamat
Syarat-syarat adzan dan iqamat, yaitu :
a. Orang yang menyerukan adzan dan iqamat itu hendaknya orang yang
sudah mumayiz (berakal walau sedikit).
b. Hendaklah dilakukan setelah masuk waktu shalat, terkecuali adzan
subuh, boleh mulai sejak tengah malam (adzan awal).
c. Orang yang adzan dan iqamat itu hendaklah orang Islam.
33
d. Kalimat keduanya hendaknya berturut-turut, berarti tidak diselang
dengan kalimat yang lain atau diselang dengan berhenti.
e. Tertib, artinya kalimat-kalimat teratur sebagai yang tersebut di atas.
3. Hal-hal yang disunatkan dalam adzan dan iqamat
a. Orang yang adzan dan iqamat hendaklah menghadap kiblat
b. Hendaklah berdiri
c. Hendaklah dilakukan adzan itu di tempat yang tinggi, agar lebih jauh
terdengar, kalau sekarang dengan menggunakan pengeras suara.
d. Bilal atau muadzin ( sebutan orang yang mengumandangkan adzan)
hendaklah orang yang keras dan baik suaranya.
e. Bilal atau muadzin ( sebutan orang yang mengumandangkan adzan)
hendaklah suci dari hadas dan najis
f. Bagi si pendengar adzan hendaklah turut pula menyebut dengan
perlahan seperti kalimat yang diucapkan oleh muadzin kecuali ketika
muadzin mengucapkan kalimat “hayya ‘alashalaah dan hayya
‘alal falah” yang mendengar hendaklah membaca “ laa haula wala
quwwata illa billah”.
g. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad Saw.
h. Disunatkan membaca do’a yang lain diantara adzan dan iqamat.
D. Rangkuman
Adzan itu mempunyai maksud untuk memberitahukan orang muslim
bahwa waktu shalat telah tiba agar segera melaksanakan shalat fardu
khususnya shalat berjama’ah. Adzan dan iqamat tidak bisa dikumadangkan di
sembarang waktu, walaupun terkadang adazn dan iqamat juga disunatkan
dikumandangkan ketika anak baru lahir.
Dalam lafadz adzan itu terdapat pengertian yang mengandung beberapa
maksud yang penting, seperti aqidah, bersaksian bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad Saw. utusan Allah, kemudian diajaknya
pula kepada kemenangan dunia dan akherat. Akhirnya disudahi dengan
kalimat tauhid
BAB IV MATERI
POKOK 3
SHALAT FARDHU
A. Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari materi ini Saudara diharapkan dapat menjelaskan
definisi shalat fardhu, syarat dan rukun shalat fardhu, dan hal-hal yang
membatalkan shalat fardhu dengan benar.
B. Uraian Materi
1. Definisi Shalat Fardhu
Menurut bahasa shalat artinya adalah berdoa, sedangkan menurut
istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan yang ada.
Abidin dalam bukunya Fiqih Ibadah mngartikan shalat yaitu
bentuk ibadah yang terdiri atas perkataan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam (Abidin, 1998 : 61)
Sedangkan Sulaiam Rasyid mendefinisikan shalat menurut adalah
ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan beberapa perbuatan
yang dimulai dengan takbir disudahi dengan salam, menurut beberpa
syarat yang tertentu (Sulaiman Rasyid, 2006 : 64).
2. Syarat dan Rukun Shalat Fardhu
a. Syarat-syarat shalat fardhu, yaitu :
1) Beragama Islam, adapun orang tidak beragama Islam tidak wajib
atasnya shalat, berarti tidak dituntut di dunia, karena meskipun
mengerjakannya tidak juga sah.
2) Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya.
3) Memiliki akal yang waras sehat, bagi yang yang tidak berakal
tidak wajib melaksnakan shalat.
4) Berusia cukup dewasa (baligh), dapat diketahui umur dewasa itu
dengan salah satu tanda berikut : Pertama, cukup berumur lima
belas tahun, atau keluar mani. Kedua, mimpi bersetubuh. Ketiga,
mulai keluar haid bagi perempuan.
5) Telah sampai dakwah Islam kepadanya (perintah Rasulullah Saw.
kepadnya), orang yang belum menerima perintah tidak dituntut
dengan hukum.
6) Melihat atau mendengar, melihat atau mendengar menjadi syarat
wajib shalat walau pada suatu waktu untuk kesempatan
mempelajari hukum-hukum syara’ orang yang buta dan tuli sejak
dilahirkan tidak dituntut dengan hukum, karena tidak ada jalan
baginya untuk belajar hukum-hukum syara’.
7) Terjaga (tidak tidur), bagi orang yang sedang tidur tidak wajib
melaksanakan shalat demikian juga bagi orang yang lupa.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang artinya : “ Yang terlepas
dari hukum, tiga macam : Pertama, kanak-kanak hingga ia dewasa.
Kedua, orang tidur hingga ia bangun. Ketiga, orang gila hingga
sembuh dari gilanya” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).
b. Syarat sahnya shalat, yaitu :
1) Suci dari hadas besar dan hadas kecil
2) Suci badan dan pakaian
3) Menutup aurat4) Mengetahui adanya waktu shalat
5) Menghadap qiblat (Ka’bah)
4243
c. Rukun shalat yang harus dikerjakan, yaitu :
1) Niat
2) Posisis berdiri bagi yang mampu
3) Takbiratul ihram (membaca “Allahu akbar”)
4) Membaca surat al Fatihah. Bagi orang yang tidak membaca surat
al-Fatihah ketika shalat maka ia dianggap tidak sah shalatnya.
5) Ruku yang tuma’ninah
6) I’tidal yang tuma’ninah
7) Sujud yang tuma’ninah
8) Duduk diantara dua sujud yang tuma’ninah
9) Sujud yang kedua yang tuma’ninah
10) Duduk pada tahiyat akhir
11) Membaca tasyahud akhir
12) Membaca salawat Nabi Saw.
13) Salam ke kanan
14) Menertibkan rukun, artinya meletakan tiap-tiap rukun pada
tempatnya menurut susunan tersebut di atas.
3. Hal-hal yang membatalkan shalat fardhu
Dalam melaksanakan ibadah shalat sebaiknya kita
memperhatikan hal-hal yang mampu membatalkan shalat kita,
diantaranya :
a. Meninggalkan salah satu rukun atau memutuskan rukun sebelum
sempurna dengan sengaja, contohnya ia i’tidal sebelum sempurna
ruku’.
b. Meninggalkan salah satu syarat, seperti berhadas, kena najis yang
tidak dima’afkan baik badan maupun pakaian sedangkan najis itu
tidak bisa dibuang saat itu juga. Kalau najis itu dapat dibuang pada
saat itu juga, maka shalatnya tidak batal. Terbuka auratnya yang tidak
dapat ditutup saat itu juga, kalau dapat ditutup saat itu juga, maka
slatnya tidak batal.
c. Dengan sengaja berkata-kata. Dengan perkataan yang biasa
dihadapkan kepada manusia, walaupun kata-kata yang bersangkutan
dengan shalat sekalipun, kecuali jika lupa.
D. Rangkuman
Dalam Islam shalat menempati kedudukan yang sangat tinggi dibanding
dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Apabila shalat dikerjakan dengan
sungguh-sungguh, maka akan menghidarkan diri dari perbuatan keji dan
munkar bagi pelakunya.
Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu
baik itu syarat shalat (sesuatu yang harus dipenuhi ketika sebelum melaksnakan
shalat), ataupun syarat syahnya shalat (shalat akan menjadi syah jika syarat
syahnya shalat terpenuhi). Disamping syarat dan syarat syahnya shalat ada
juga rukun shalat (sesuatu yang harus dikerjakan ketika melakukan shalat).
BAB V MATERI
POKOK 4
SHALAT BERJAMA’AH
1. Definisi shalat berjama’ah,
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan minimal oleh dua
orang yang keduanya terdiri dari imam dan makmum.
2. Hukum Shalat Berjama’ah
Menurut sebagian besar ulama mengatakan bahwa, shalat
berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain (wajib ‘aini), sebagian lagi berpendapat
bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya fardhu kifayah, dan sebagian lagi
berpendapat hukum shalat berja’ma’ah itu sunnat mu’akad, pendapat
yang terakhir inilah yang dianggap lebih layak terkecuali shalat jum’at
wajib hukumnya berjama’ah.
Shalat fardhu yang lima waktu bagi laki-laki dilaksanakan di
mesjid lebih baik daripada shalat berjama’ah dilakukan di rumah, kecuali
shalat sunat itu lebih baik.
Dalam shalat berjama’ah ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
diantaranya :
a. Shalat berjama’ah makin banyak semakin lebih baik
b. Masih mendapat kebaikan shalat berjama’ah apabila makmum masih
dapat mengikutinya sebelum imam memberi salam, akan tetapi
makmum yang mengikuti dari awal mendapat pahala daripada makmum
yang mengikuti belakangan.
49
c. Imam hendaklah meringkaskan shalatnya, kecuali kalau hanya terdiri
dari kaum yang terbatas dan mereka suka dipanjang-panjangkan.
3. Ketentuan dan Tata Cara Ssalat Berjam’ah
Ketentuan dan tata cara shalat berjama’ah tidak akan terlepas dari
syarat-syarat shnya shalat berjama’ah. Adapun syarat-syarat dan shnya
shalat berjama’ah adalah sebagai berikut :
i. Makmum hendaklah meniatkan mengikuti imam. Adapun imam tidak
menjadi syarat berniat menjadi imam hanya sunat hukumnya agar ia
mendapat pahala shalat berjama’ah.
j. Makmum hendaklah mengikuti imamnya dalam segala gerakannya.
k. Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam, umpamanya dari berdiri ke
ruku’ dari ruku’ ke i’tidal ke sujud dan seterusnya.
l. Keduanya antara imam dan makmum berada dalam satu tempat,
umpamanya dalam satu rumah atau mesjid.
m. Tempat berdiri makmum tidak boleh melebihi posisi imam, maksudnya
adalah posisi lebih ke arah qiblat. Bagi orang yang sednag shalat
berdiri, diukur tumitnya, dan bagi orang yang shalatnya duduk adalah
pinggulnya. Adapun apabila, berjama’ah di mesjid al-Haram, hendaklah
shaf mereka melengkung sekelililing Ka’bah tidak salahnya makmuk
lebih dekat ke Ka’bah dari imam di pihak lain.
n. Imam hendaklah jangan mengikuti kepada orang lain, imam itu
hendaklah berpendirian tidak terpengaruh oleh orang lain, kalau ia
makmum tentu ia akan mengikuti imamnya.
o. Hendaklah sama aturan shalat makmum dengan shalatnya imam.
Maksudnya Tidak sah shalat fardhu yang lima waktu mengikuti shalat
gerhana atau shalat mayat, karena aturan shalat keduanya tidak sama.
Tetapi tidak dilarang orang shalat fardhu yang lima waktu mengikuti
orang yang sedang shalat sunnat yang sama aturanya, sperti orang yang
sedang shalat Isa mengikuti orang yang sedang shalat sunat tarawih dan
sebalinya.
50
p. Seorang laki-laki tidak sah makmum pada seorang perempuan. Adapun
perempuan menjadi imam dan makmumnya perempuan tidak dilarang.
q. Keadaan imam tidak ummi sedangkan makmum qari. Artinya imam
sebaiknya bacaanya lebih baik daripada makmumnya.
r. Janganlah makmum mengikuti imam yang diketahui tidak sah shalatnya
(batal shalatnya).
4. Ketentuan makmum masbuk
Masbuk adalah orang yang mengikuti shalat belakangan (tidak
bersama-sama shalat dari awal dengan imam), ia tidak sempat membaca
fatihah beserta imam di raka’at pertama.
Hukumnya, jika orang yang masbuk takbir sewaktu imam belum
ruku’ hendaklah ia membaca fatihah seberpa mungkin. Apabila imam
ruku’ sebelum habis fatihahnya maka hendaklah ia ruku’ langsung
mengikuti imam. Demikian juga apabila didapatinya imam sedang ruku’,
maka hendaklah ia ruku’ pula. Singkatnya ia hendaklah makmum
mengikuti imam ketika ia sesudah takbiratul ihram.
Apabila masbuk mendapati imam sebelum ruku’ atau sedang ruku’
dan ia dapat ruku’ yang sempurna bersama imam, maka ia mendapat satu
raka’at, bearati shalatnya itu terhitung satu raka’at. Kemudian hendaklah
ditambah kekurangan raka’atnya jika belum cukup, sesudah imam
memberi salam. Adapun fatihahnya ditanggung imam; ini pendapat
jumhur ulma’. Sebagian ulama’ yang lain berpendapat, bahwa masbuk
tidak mendapat satu raka’at melainkan apabila ia membaca fatihah
sebelum imam ruku’.
BAB VI MATERI
POKOK 5
SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
1. Shalat Jama’
Shalat jama’ adalah melaksanakan dua shalat dalam satu waktu.
Shalat yang dapat dijama’ adalah zuhur dengan ashar dan shalat maghrib
dengan isya. Syarat-syarat dapat melakuan shalat jama’ adalah :
a. Musafir (orang yang bepergian) atau mukim, sedang saat shalat jum’at
turun hujan.
b. Bepergian bukan untuk maksiat
c. Menetapkan niat
d. Dilakukan secara berturut-turut
e. Jarak perjalanan kurang lebih 88 Km.
Sedangkan Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam
menjelaskan bahwa syarat sah shalat jama adalah sebagai berikut :
a. Perjanan yang dilakukan itu bukan maksiat (terlarang), adakalanya
perjalanan wajib, seperti pergi haji, atau sunat seperti bersilaturahim,
atau harus (mubah) seperti pergi berniaga.
b. Perjanan itu berjarak jauh terhitung jauh dari 80,640 Km atau lebih
(perjalanan sehari semalam)
c. Shalat yang dijam’ itu shalat adaan (tunai). Bukan shalat qadha. Adapun
shalat yang ketinggalan di waktu berjalan boleh diqashar kalau di qadha
dalam perjalanan, tetapi yang ketinggalan sewktu mukim tidak boleh
56
diqadha dengan ashar sewaktu dalam perjalanan. Dengan kata lain
hanya bisa dijama’.
d. Berniat sebelum masuk waktu shalat yang pertama (1976 : 121).
Menjama’ dua shalat ketika bepergian pada salah satu waktu dan
kedua shalat menurut sebagaian besar ulama’ hukumnya boleh, tetapi ada
perbedaan apakah pada saat musafir tersebut sedang berhenti atau sedang
dalam perjalanan. Sebagaimana Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha’
meriwayatkan dari Muaz bahwa : “Pada suatu hari Nabi Saw.
mengundurkan shalat diwaktu perang tabuk dan pergi ke luar,lalu
mengerjakan shalat zuhur dn ashar secara jama’, setelah itu beliau masuk,
kemudian pergi lagi dan mengerjakan shalat maghrib dan isya secara jama’
pula (Slamet, 1998 : 132).
Dalam hal ini imam Syafi’i berkata “kata-kata pergi dan masuk itu
menunjukan bahwa Nabi Saw. sedang dalam keadaan berhenti. Ibnu
Qatadah dalam kitabnya al-Mughni tentang bolehnya melakukan shalat
jama’ berkata “menurut Ibnu Abdil Bar, bahwa hadits tentang shalat jama
itu sah dan kuat sanadnya. Dalam hadits ini terdapat keterangan yang tegas
dan alasan yang kuat untuk menolak pendapat bahwa, menjama’ shalat itu
tidak dibolehkan kecuali bila betul-betul sedang dalam perjalanan.
Bukankah Nabi Saw. menjama’ ketika sedang berhenti, bukan sedang
berjalan, bahkan sedang menetap pula di perkemahan. Beliau keluar dari
tempatnya untuk melakuan shalat secara jama’, kemudian masuk kembali
ke perkemahannya. Hadits ini juga diriwayatkan Muslim dalam shahihnya.
Hadits ini dapat dijadikan pegangan karena sah dan tegas menetapkan
suatu hukum tanpa ada yang menyangkal. Lagi pula harus diingat bahwa,
menjama’ shalat itu adalah suatu keringananu (rukhshah) ketika
bepergian., sehingga tidak dikhususkan hanya waktu sedang dalam
perjalanan saja seperti halnya mengqasar dan mengusap khuf. Hanya saja
yang lebih utama mengta’khirkannya (Suyono, 1998 : 133)
Shalat jama’ dapat dibedakan menjadi jama’ ta qdim dan jama’
ta’khir. Dikatakan jama’ taqdim apabila dua shalat dikerjakan dalam
57
waktu shalat pertama, seperti shalat zhuhur dengan shalat ashar. Apabila
mengerjakan dua shalat pada waktu shalat yang terakhir, maka dinamakan
jama’ ta’khir.
Adapun syarat jama’ taqdim menurut Sulaiman Rasyid adalah
sebagai berikut :
a. Hendahlah dimulai dengan shalat yang pertama, (zuhur sebelum ashar
atau maghrib sebelum isya). Karena waktunya adalah waktu yang
pertama.
b. Berniat jama’ agar berhenti dari shalat yang terdahulu karena lupa
c. Berturut-turut, karena keduanya seolah-olah satu shalat.
Dan dibolehkan pula bagi orang yang tetap (tidak dalam
perjalanan) shalat jama’ taqdim karena hujan dengan beberapa syarat yang
telah lalu dijama’ taqdim. Dan disyaratkan pula, bahwa shalat yang kedua
itu berjama’ah di tempat yang jauh dari rumahnya serta ia dapat kesukaran
pergi ke tempat itu karena hujan
Sedangkan syarat-syarat jama’ ta’khir adalah hendaklah berniat
diwaktu yang pertama, bahwa ia akan melakukan shalat pertama itu
diwaktu yang kedua, supaya ada maksud yang keras akan mengerjakan
shalat pertama itu tiada ditinggalkan begitu saja. (Rasyid, 1976 : 123).
Shalat subuh tidak boleh dijama’, harus dilakukan pada waktunya
sendiri. Dengan demikian, shalat fardhu yang boleh dijama’ adalah zuhur,
ashar, maghrib, dan isya. Orang yang mukim pun diperbolehkan
melakukan shalat jama’ apabila hujan lebat. Demikian al-Aslam
meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman dalam kitab sunan-nya.
Golongan syafi’i membolehkan menjama’ shalat zuhur dengan
ashar dan maghrib dengan isya hanya secara taqdim, dengan syarat adanya
hujan ketika membaca takbiratul ikhram pertama dan hujan masih turun
ketika memulai shalat yang kedua.
Dalam syarah al-Bajuri Al-Ibnu Qasim, Al-Bajuri mengatakan
bahwa, “orang mukim boleh menjama’ shalat apabila turun hujan lebat
58
ketika masuknya shalat pertama, sehingga sulit untuk ikut berjama’ah ke
mesjid atau tempat jama’ah lainnya yang jaraknya cukup jauh.
Menurut imam Maliki,”boleh menjama’taqdim di dalam mesjid
diantara maghrib dan isya karena hujan yang telah atau yang akan turun.
Juga boleh dikerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam
sangat gelap, sehingga menyulitkan orang yang berjalan memakai sandal,
sedang menjam’ shalat maghrib dengan isya’ hukumnya makruh (Suyono,
1998 : 134).
Adapun golongan Hambali mengatakan bahwa hanya shalat
maghrib dengan isya saja yang boleh dijama’ baik secara taqdim maupun
ta’khir karena adanya sebab, seperti salju, lumpur, dingin yang sangat,
serta hujan yang membasahi pakaian. Keringanan itu hanya khusus bagi
orang yang shalat jama’ah di mesjid dan datang dari tempat yang jauh,
sehingga dengan adanya hujan tersebut dan sebagainya, ia terhalang dalam
perjalanan. Bagi orang yang rumahnya dekat dengan mesjid atau yang
shalat berjamaah di rumah atau ia dapat pergi ke mesjid dengan
melindungi tubuh, maka ia tidak boleh menjama’ (Suyono, 1998 : 135).
Seorang yang dalam keadaan sakit ia boleh menjama’ shalat karena
sakit, baik taqdim maupun taqkhir karena kesukaran waktu itu lebih besar
dibanding kesukaran ketika hujan. Demikian pendapat imam Ahmad, Qadi
Husain, al-Kattabi dan Mutawalli dari golongan Syafi’. Imam Nawawi
berkata, “dari segi alasan, pendpat ini adalah kuat”. Dalam kitabnya al-
Mughni tersebut bahwa sakit yang membolehkan jama’ ialah seandainya
shalat-shalat itu dikerjakan pada waktu masing-masing akan menyebabkan
kesulitan dan lemahnya beban. Singkat kata bahwa shalat jama’ dapat
dikerjakan oleh setiap muslim jika memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan.
59
2. Shalat Qashar
Qashar artinya meringankan atau memendekan. Sedangkan yang
dimaksud dengan shalat qashar adalah melaksanakan shalat empat rakaat
diringkas menjadi dua raka’at. Adapun shalat yang boleh diqashar
(dilaksnakan dengan diringkas menjadi dua raka’at) adalah shalat zuhur,
ashar, dan isya, sedangkan maghrib dan subuh tidak bisa. Sebagaimana
firman Allah Swt. surat an-Nisa ayat 101, sebagai berikut :
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah
mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang
nyata bagimu" (Soenarjo, dkk., 2006 : 124).
Menurut Pendapat jumhur ulama arti qashar disini ialah:
sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini
ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, Yaitu di
waktu bepergian dalam Keadaan aman dan ada kalanya dengan
meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, Yaitu di waktu dalam
perjalanan dalam Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan
rukun-rukun yang 4 rakaat dalam Keadaan khauf di waktu hadhar.
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa mengqashar shalat boleh
dilakukan jika takut diserang oleh orang kafir. Ini bukan berartidalam
keadaan aman tidak boleh mengqashar shalat. Sehubungan dengan ayat
tersebut Ibnu Umar pernah ditanya, “Berhubung sekarang keadaan sudah
aman dan tidak merasa hawatir kepada siapa pun, apakah masih bleh
mengqashar shalat ?” Ibnu Umar menjawab “Cukuplah bagimu Rasulullah
Saw. menjadi tauladan yang sebaik-baiknya. (Suyono, 1998:136)
60
Shalat qashar dapat sah apabila dilakukan dengan memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Harus dalam bepergian jarak jauh, kira-kira 16 farsakh = 48 Mil
Hasyimi atau kurang lebih 85 Km atau perjalanan selama dua malam
(sehari semalam) berjalan kaki.
b. Bepergian tidak untuk maksiat. Adakalanya perjalanan wajib seperti
haji dan umrah perjalanan sunah seperti silaturahim atau perjalanan
mubah seperti berniaga.
c. Berniat pada waktu takbiratul ikhram
d. Shalat yang diqashar adalah shalat ‘ada’an empat raka’at.
e. Uzurnya harus tetap berlangsung sampai selesai shalat, jika sebelum
shalat selesai uzurnya telah hilang, maka harus menyempurnakan
shalatnya empat raka’at.
Masalah tempat dibolehkannya shalat qashar, jumhur ulama
berpendapat bahwa, mengqasahar shalat itu dapat dimulai setelah
meninggalkan kota dan keluar dari daerah lingkungan. Ini merupakan
syarat, dan seorang musafir diharuskan lagi mencukupkan shalatnya kalau
ia sudah memasuki rumah pertama di daerah itu. Ibnu Munzil
berkata,”saya tidak menemukan sebuah keteranganpun bahwa Nabi Saw.
mengqashar dalam bepergian, kecuali setelah keluar dari Madinah.
D. Rangkuman
Shalat jama’ adalah melaksanakan dua shalat dalam satu waktu.
Shalat yang dapat dijama’ adalah zhuhur dengan ashar dan shalat maghrib
61
dengan isya. Shalat jama’ dapat dibedakan menjadi jama’ taqdim dan
jama’ ta’khir. Dikatakan jama’ taqdim apabila dua shalat dikerjakan
dalam waktu shalat pertama, seperti shalat zuhur dengan shalat ashar.
Apabila mengerjakan dua shalat pada waktu shalat yang terakhir, maka
dinamakan jama’ ta’khir.
Shalat subuh tidak boleh dijama’, harus dilakukan pada waktunya
sendiri. Dengan demikian, shalat fardhu yang boleh dijama’ adalah zuhur,
ashar, maghrib, dan isya. Singkat kata bahwa shalat jama’ dan qashar
dapat dikerjakan oleh setiap muslim jika memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan.
khairum minan naum