Resume DJJ Fiqih

55
Menunjukan dalil tentang thaharoh (d) Menunjukan dalil tentang thaharoh (d) Menunjukan dalil tentang thaharoh (d) Menunjukan dalil tentang thaharoh (d) 3. Peta Kompetensi Menjelaskan materi Fiqih MTs pada aspek thaharah, adzan dan iqomat, shalat fardhu, shalat berjamaah, dan shalat jama’ dan qashar secara mendalam. Menjelaskan macam- macam hadas besar dan hadas kecil serta tata cara mensucikannya (c) Menjelaskan hal- hal yang disunatkan dalam adzan Menjelaskan hal- hal yang membatalkan shalat fardlu(c) Menjelaskan ketentuan makmum masbuk (c) Memjelaskan tatacara shalat jama’ dan qashar (b) Menjelaskan macam- macam najis dan tatacara mensucikannya (b) Menjelaskan definisi thaharah (a) 1 Menjelaskan ketentuan adzan dan iqamat (b) Menjelaskan definisi Adzan dan Iqomah (a) 2 Menjelaskan syarat dan rukun shalat fardu (b) Menjelaskan definisi Shalat Fardu (a) 3 Menjelaskan ketentuan shalat berjam’ah (b) Menjelaskan definisi Shalat berjama’ah (a) 4 Membjelaskan definisi shalat jama’ dan qashar (a) 5 Menjelaskan tentang Konsep Materi Fiqih MTs

description

Deskripsi fiqih

Transcript of Resume DJJ Fiqih

Page 1: Resume DJJ Fiqih

Menunjukan dalil tentang thaharoh (d)

Menunjukan dalil tentang thaharoh (d)

Menunjukan dalil tentang thaharoh (d)Menunjukan dalil

tentang thaharoh (d)

3. Peta Kompetensi

Menjelaskan materi Fiqih MTs pada aspek thaharah, adzan dan iqomat, shalat fardhu, shalatberjamaah, dan shalat jama’ dan qashar secara mendalam.

Menjelaskan macam- macam hadas besar dan hadas kecil serta tata cara mensucikannya (c)

Menjelaskan hal-hal yang disunatkan dalam adzan

Menjelaskan hal-hal yang membatalkan shalat

fardlu(c)

Menjelaskan ketentuan makmum masbuk (c)

Memjelaskan tatacara shalat jama’ dan qashar

(b)

Menjelaskan macam- macam najis dan tatacara

mensucikannya (b)

Menjelaskan definisi thaharah (a)

1

Menjelaskan ketentuan adzan dan iqamat (b)

Menjelaskan definisiAdzan dan Iqomah (a)

2

Menjelaskan syarat dan rukun shalat fardu (b)

Menjelaskan definisiShalat Fardu (a)

3

Menjelaskan ketentuan shalat berjam’ah (b)

Menjelaskan definisiShalat berjama’ah (a)

4

Membjelaskan definisi shalat jama’ dan qashar

(a)

5

Menjelaskan tentang Konsep Materi Fiqih MTs

Page 2: Resume DJJ Fiqih

D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

Bahasan pokok dalam modul ini adalah bagaimana memahami proses

belajar mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) terutama dalam hal

pendalaman materi Fiqih MTs taharah, shalat fardhu, adzan, iqamat, shalat

berjamaah, dan shalat jama’ dan qashar yang mencakup:

1. Thaharah, yang meliputi :

a. Definisi Thaharah,

b. Macam-macam bersuci dan tata cara mensucikannya,

c. Tata cara bersuci dari hadas dan najis

2. Shalat fardhu, yang meliputi :

a. Definisi shalat fardhu,

b. Syarat dan rukun shalat fardhu,

c. Hal-hal yang membatalkan shalat fardhu,

3. Adzan dan Iqamat, yang meliputi:

a. Definisi adzan dan iqamat,

b. Ketentuan adzan dan iqamat,

c. Hal-hal yang disunatkan dalam adzan dan iqamat

4. Shalat berjama’ah, yang meliputi :

a. Definisi shalat berjama’ah,

b. Ketentuan dan tata cara shalat berjam’ah,

c. Ketentuan makmum masbuk

5. Shalat jama’ dan qasar, yang meliputi :

a. Shalat jama’

b. Shalat qashar

Page 3: Resume DJJ Fiqih

BAB II MATERI

POKOK 1

THAHARAH

B. Uraian Materi

1. Definisi Thaharah

a. Taharah menurut bahasa artinya bersuci, bersih

b. Menurut syara’ thaharah bermakna bersuci dari hadas dan najis baik di

badan, pakaian dan tempat yang dipergunakan supaya dapat

menunaikan ibadat khususnya ibadat solat. Dalam hal ini yang

dimaksud adalah bersuci wajib, seperti; mandi junub untuk

menghilangkan hadas besar dan wudhu untuk menghilangkan

hadas kecil ( Abidin, 1998: 87). Sedangkan Imam Nawawi

memberikan definisi taharah adalah suatu pekerjaan menghilangkan

hadas atau najis. Taharah dalam arti menghilangkan hadas adalah

mandi junub, wudlu, dan tayamum, sedangkan dalam arti

menghilangkan najis adalah istinja dengan air dan istijmar dengan

batu ( Suyono, 1998: 87).

Tetapi syariat lazim menggunakan kalimat thaharah (suci) dan

kalimat-kalimat pecahannya, seperti thahura, yath-huru, thahir. Kalimat

nazhafat (bersih) hanya sesekali saja digunakannnya. Alasannya, karena

dalam tradisi syariat kalimat thaharah (suci) dimaksudkan sebagai bersuci

dari hadats kecil dengan berwudhu serta hadats besar dengan cara mandi

janabat, dan juga dimaksudkan membersihkan diri dari kotoran serta

naijs-najis baik yang bisa diindra, seperti air kencing, madzi, darah haid,

dan darah nifas, maupun yang tidak bisa diindra; seperti dosa-dosa yang

Page 4: Resume DJJ Fiqih

17

bersifat batin maupun dosa-dosa yang dilakukan anggauta tubuh (Hasan

Ayub, 2011:5)

Dari beberapa definisi di atas thaharah tersebut di atas menunjukan

bahwa, thaharah adakalanya mengandung hakekat yang sebenarnya,

seperti bersuci dengan air atau menurut hukum bersuci dengan tanah

ketika bertayamum, tetapi juga adakalanya mengandung arti thaharah

bersuci dari dosa-dosa yang telah kita perbuat terutama dosa-dosa yang

kecil yang masih diampuni oleh Allah Swt. seperti dosa yang telah kita

lakukan oleh tubuh kita.

Sesungguhnya bersuci dan berbersih dalam Islam adalah termasuk

hal-hal yang sangat esensial. Seseorang tidak disebut sebagai muslim

sejati dan sempurna tanpa memperhatikan kedua hal tersebut. Jika kita

melihat ada seorang muslim yang tidak memperhatikan kedua hal tersebut

dalam segala urusan kehidupannya, ia adalah orang bersalah yang patut

diceladan orang berdosa yang patut dikecam. Ia telah melakukan

pelanggaran terhadap diri sendiri juga kepada orang yang tidak

memperhatiakan pada hal itu (Hasan Ayub, 2011:6).

Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang

digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin

dibersihkan. Oleh karena itu, modul ini memaparkan secara sederhana

mengenai hukum air, macam-macam najis, bagaimana cara

membersihkan najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat.

Dalam fiqih Islam pembahasan mengenai thaharah mencakup dua

pokok pembicaraan, yaitu bersuci dari najis dan hadas. Ajaran Islam

mengharuskan kebersihan sebagai realisasai dalam kehidupan sehari-hari

agar kita senantiasa merealisasikan ajaran tentang thaharah, karena Islam

sendiri merupakan Agama yang mementingkan kebersihan. Allah Swt.

senantiasa mencintai pada hal-hal yang bersih. Sebagaimana firman Allah

Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 222, yaitu :

Page 5: Resume DJJ Fiqih

18

� ـتلاوابني وحيب لامتطهرين إن لاله حيب

“Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bertaubat dan

menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Soenarjo, dkk., 2006:

22).

Jadi jelas bahwa kewajiban bersuci bagi kaum muslimin itu bukan

karena ketika hendak melakukan ibadah saja. Tetapi karena memiliki

beberapa tujuan lain. Diantaranya adalah untuk menyenangkan sesama

orang muslim ketika berdekatan menunaikan shalat dengan penampilan

yang bagus, dengan hati yang khusyu’, dan dengan jiwa yang rendah,

akan mampu mendekatkan dua kutub yang saling berjauhan, menyatukan

dua pihak yang saling bermusuhan, menimbulakn rasa kecintaan terhadap

saudara sesama muslim, membuat fenomena jamaah Islam nampak

sangat menarik dipandang dan memberikan kesan positif pada jiwa

orang-orang lain (Hasan Ayub, 2011:7).

Fenomena yang bagus tersebut sebagaimana disinyalir dalam

firman Allah Swt. surat al-A’raf ayat 31, sebagai berikut :

� عند كل مس ج د وكلوا واش ربوا وال تس رفواإ نه يا بخين ذواآدزينمتكم

� حي الب لامس رفني

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap

(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-

lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-

lebihan” (Soenarjo, dkk., 2006: 207).

Demikian juga dijelaskan dalam firman Allah Swt. surat al-

Maidah ayat 6, yaitu :

Page 6: Resume DJJ Fiqih

19

� تم إىل لا صالة فاغس لوا وجوهوأكيمديكم إىل لا مرافق يا أيـها لاذين آمنوا إذا قم

� وأرجلكم إىل لا كعبـني وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم

وامسحوا برءوس كم

� أو جاء أحد منكم من لاغائط أ و المس تم نلاساء ـفلم

مرضى أو على سفر� ا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد لاله

دوا ماجتءفـتـيمموا صعيد� ح رج و لكن ي ريد ل يطهركم و ليتم نعمته عليكم ل علكم

ليج عل عليكم م ن

� تش كرون

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (Soenarjo, dkk., 2006: 177).

Nabi Muhammad Saw. bersabda :

� ولن يد نلاظا فة

لىع

� سال م بين ا ال

� بكل ما ا ستطعتم فا ن اهللا ـتعاىلـتنظفوا

( رواهدلا يلىم ) � خلاجلنة اال نظيف

“Jagalah kebersihan semampu mungkin yang dapat kamu laksanakan,

sebab Allah Swt. mendirikan agama Islam atas dasar kebersihan dan

Page 7: Resume DJJ Fiqih

tidak akan masuk surga kecuali yang selalau menjaga kebersihan (H.R.

Ad Dailami) (Abidin dkk, 1998:18)

Oleh karena itu dalam hal yang berkenaan dengan mandi,

pengertian hukumnya ada beberapa macam, diantaranya ada najis yang

tidak nampak oleh mata kita, akan tetapi diyakini adanya najis tersebut

dan ada juga najis tersebut yang dapat dilihat oleh oleh mata kita dan

Page 8: Resume DJJ Fiqih

20

menempel pada badan. Dengan mandi ini semua najis tersebut akan

hilang dan kebersihan badan akan terjaga sehingga tubuh terhindar dari

berbagai macam penyakit. Mandi juga diwajibkan bagi wanita yang habis

haid, selesai nifas, setelah melakukan hubungan badan antara suami istri,

bagi yang keluar mani, bagi yang mimpi keluar mani baik laki-laki

maupun perempuan. Demikian juga wajibnya memandikan mayit,

wajibnya mandi bila terkena najis, serta mereka yang baru masuk Islam

menurut sebagian para ulama fiqih, walaupun ada juga yang tidak

mewajibkannya.

2. Macam-macam Bersuci dan Tata Cara Mensucikannya

Bersuci terbagi kepada dua bagian yaitu :

a. Bersuci dari hadas

b. Bersuci dari najis

Oleh karena itu tata cara menyucikannya mengacu kepada pembagian

bersuci tersebut.

Tata Cara Bersuci dari Hadas

1. Hadas terbagi kepada dua bagian yaitu :

a. Hadas kecil

Tata cara bersuci dari hadas kecil dengan cara wudhu dan

tayamum (dalam kondisi tertentu)

b. Hadas besar

Tata cara bersuci dari hadas besar dengan cara mandi jinabah

(mandi besar) dan tayamum (dalam kondisi tertentu)

2. Najis terbagi kepada tiga klasifikasi

a. Najis Mukhaffafah, cara bersusinya dengan jalan mempercikan

air ke tempat/benda yang terkena najis tersebut.

b. Najis Mutawashitoh, cara bersucinya dengan jalan mencucinya

sampai hilang bau, wujud, dan warnanya.

c. Najis Mughaladzah, cara bersucinya dengan jalan mencucinya

sebanyak tujuh kali cucian yang salah satunya dicampur tanah.

Page 9: Resume DJJ Fiqih

merupakan sarana diterimanya amal ibadah seseorang yang

berhubungan langsung dengan Allah Swt. yang bersifat horizontal.

Sebagaimana Islam mensyariatkan bersuci dari hadas dan bersuci dari

najis. Hadas kecil dan hadas besar, seperti halnya najis, harus

dihilangkan manakala akan beribadah kepada-Nya. Satu-satunya alat

bersuci yang paling utama disyariatkan adalah air, walaupun dalam

kedaan tertentu boleh menggunakan tanah untuk menghilangkan

hadas, yaitu dengan tayamum, dan untuk menghilangkan najis dari

selain najis mughaladhah dengan menggunakan batu atau benda pada

lainya kecuali tulang. Bersuci dibagi menjadi dua bagian yaitu :

Pertama, bersuci dari hadas, bagian ini tertentu dengan badan; seperti

mandi, mengambil air untuk berwudlu dan tayamum. Kedua, bersuci

dari najis, bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

Page 10: Resume DJJ Fiqih

21

Berdasarkan hadits Rasulullah Saw. ada berbagai macam jenis air,

antara lain sebagai berikut :

a. Air suci lagi menyucikan, artinya keadaan air tersebut suci dan dapat

menyucikan hadas atau najis serta tidak makruh hukum

menggunakannya, seperti : air hujan, air laut, air sumur, air es, air

embun, dan air yang keluar dari mata air. Sebagaimana Firman Allah

Swt. surat al-Anfal ayat 11, yaitu :

� به ليطهركم

ماء

� أمنة منه ويـنـزل ع ليكم من الساءم إذ ـيغشيكم ـنلاعاس

� لاشيطان وليـربط علىـق لوبكم ويـثبت به اقألد ام ويذ هب عنكم رج ز

“(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)” (Soenarjo, dkk., 2006: 240).

Dalam hadits Nabi Saw. yang diterima dari Abi Hurairah r.a.

bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya

Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air

sedikit. Jika air itu kami pakai untuk berwudlu, kami akan kehausan,

maka bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Nabi Bersabda :

ھ تمرذى ) ةسمخلا ححلا صو روها )

�تتهمي

هو لاطهور ماؤهاحل�ل

“ Air laut itu suci mensucikan , bangkaianya halal dimakan” (H.R.

Lima ahli hadits, menurut keterangan Turmudzi bahwa hadits itu

shahih). (Suyono, 1998 : 22)

Page 11: Resume DJJ Fiqih

b. Air suci mennyucikan, tetapi makruh apabila digunakan pada badan.

Adapun yang termasuk dalam air jenis ini adalah air

musyammas, air yang dijemur pada terik matahari dengan

menggunakan bejana selain emas dan perak. Imam syafi’i dalam

kitabnya al-Um berkata bahwa Ibrahim bin Muhammad, bercerita

Page 12: Resume DJJ Fiqih

22

kepada kami, dari Zaid Aslam dari ayahnya, katanya “Dipanaskan air

untuk Umar bin Khatab, lalu ia mandi dan berwudlu dengan air itu.

Dan saya tidak memandang makruh air yang dijemur, kecuali dari segi

kedokteran”.

Selanjutnya dikatakan bahwa, Umar bin Khatab memandang

makruh mandi dengan menggunakan air yang telah dijemur karena

dapat menyebabkan penyakit supak.

c. Air suci tidak menyucikan, baik untuk menghilangkan hadas ataupun

najis.

Air yang jenis di atas dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

1) Air musta’mal, yaitu air yang banyaknya kurang dari dua kullah,

telah terpakai untuk menghilangkan hadats atau najis, dan salah

satu sifatnya tidak berubah.

2) Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur

dengan suatu benda yang suci, selain dari perubahan yang telah

disebutkan di atas, seperti air kopi, air teh, air susu, dan

sebagainya.

3) Air pepohonan atau buah-buahan, seperti air keluar dari tekukan

pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya.

d. Air najis, yaitu air yang kena najis.

Yang termasuk dalam jenis air di atas, adalah :

1) Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur najis,

baik air itu banyak atau sedikit.

2) Air yang terkena najis dan tidak berubah salah satu sifatnya. Air

ini kalau sedikit tidak boleh dipakai, baik untuk menghilangkan

hadas atau najis dan hukum air tersebut najis. Akan tetapi, kalau

airnya banyak, maka hukumnya tetap suci dan menyucikan.

3. Tata Cara Bersuci dari Hadas dan Najis

a. Cara Bersuci dari Hadas

Seseorang yang berhadas kecil maupun hadas besar bila hendak

mengerjakan shalat atau amalan lain yang berhubungan langsung

Page 13: Resume DJJ Fiqih

23

dengan Allah Swt., harus menyucikan diri dengan cara berwudlu

atau tayamum apabila berhadas kecil, dan bila berhadas besar

dengan cara mandi atau tayamum. Sebagaimana firman Allah Swt.

dalam surat al-Maidah ayat 6, sebagai berikut :

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (Soenarjo, dkk., 2006: 114).

b. Cara Bersuci dari Najis

Untuk memngetahui tata cara menyucikan najis, kita harus

mengkaji macam-macam najis menurut syari’at Islam, yaitu sebagai

berikut :

1) Najis Mukhafafah, yaitu najis ringan berupa air kencing anak

laki- laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan selain

air susu ibunya. Tata cara menyucikan najis yang demikian

cukup

Page 14: Resume DJJ Fiqih

24

dengan memercikan air pada benda atau apa saja yang terkena

najis walaupun tidak mengalir (Suyono, dkk., 1998 : 29).

Adapun kencing anak perempuan yang belum dua tahun

dan belum makan kecuali makan air susu ibunya, maka tata cara

menyucikannya hendaknya dibasuh sampai mengalir air di atas

benda yang kena najis itu, dan hilang dzat dan sifat-sifatnya,

sebagaimana menyuci kencing orang dewasa. (Rasyid, 2006 : 36).

Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:” Kencing bayi

laki-laki hanya dipercikan air, sedangkan kencing bayi perempuan

hendaklah dicuci. Qatadah berkata : ini selama keduanya ini

belum diberi makan. Jika sudah diberi makan, maka kencing

mereka hendaklah dicuci. (H.R. Ahmad, lafadz atau susunan

matan hadits ini dari Ahmad dan Ashabus Sunan kecuali an-

Nasa’i).

2) Najis Mutawasithah, yaitu najis pertengahan yang tidak

ringan dan tidak berat. Yang termasuk jenis najis ini adalah

segala sesuatu yang keluar dari qabul dan dubur apapun

bentuknya, kecuali mani, juga kotoran binatang dan bangkai

selain manusia, belalang, dan ikan.

Najis Mutawasithah dibagi menjadi dua, yaitu : Pertama,

Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang tampak dzatnya secara lahir dan

jelas warna, bau, dan rasanya. Cara menyuci najis jenis ini adalah

membasuhnya dengan air sampai hilang ketiga sifat tersebut.

Adapun kalau sukar menghilangkannya, sekalipun sudah

dilakukan berulang kali, najis tersebut dianggap suci dan

dimaafkan. Kedua, Najis hukmiyah, yaitu najis yang kita yakini

adanya (menurut hukum), tetapi tidak tampak ketiga sifatnya,

seperti kencing yang sudah lama kering sehingga sifatnya hilang.

Tata cara menyucinya adalah cukup dengan mengalirkan air

kepada benda yang terkena najis.

Page 15: Resume DJJ Fiqih

Adapun cara bersuci setelah keluar buang air besar dan

buang air kecil yang disebut dengan istinja adalah dengan

menggunakan air atau batu atau benda padat lainya kecuali

tulang.

3) Najis Mughalazhah, yaitu najis yang berat. Yang termasuk dalam

najis jenis ini adalah ajing dan babi termasuk keturunannya. Cara

menyuci najis atau benda yang terkena najis ini adalah dengan

mencucinya dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya

dicampur dengan debu atau tanah yang suci

D. Rangkuman

Dari beberapa definisi diatas taharah tersebut di atas menunjukan

bahwa, thaharah adakalanya mengandung hakekat yang sebenarnya, seperti

Page 16: Resume DJJ Fiqih

bersuci dengan air atau menurut hukum bersuci dengan tanah ketika

bertayamum.

Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang

digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin

dibersihkan. Oleh karena itu, artikel ini memaparkan secara sederhana

mengenai hukum air, macam-macam najis, bagaimana cara membersihkan

najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat.

Bersuci dibagi menjadi dua bagian yaitu : Pertama, bersuci dari hadas,

bagian ini tertentu dengan badan; seperti mandi, mengambil air untuk

berwudhu dan tayamum. Kedua, bersuci dari najis, bagian ini berlaku pada

badan, pakaian, dan tempat.

Page 17: Resume DJJ Fiqih

BAB III MATERI

POKOK 2

ADZAN DAN IQAMAT

A. Indikator Keberhasilan

Setelah mempelajari materi ini Saudara diharapkan dapat menjelaskan

definisi adzan dan iqamat, ketentuan adzan dan iqamat, dan hal-hal yang

disunatkan dalam adzan dan iqamat dengan benar.

B. Uraian Materi

1. Definisi adzan dan iqamat

Asal arti adzan menurut bahasa memiliki makna; Permakluman

atau pemberitahuan

Adapun yang dimaksud dengan adzan secara syariat adalah

permakluman atau pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan

menggunakan lafazh-lafazh tertentu (Hasan Ayub, 2011 : 154).

Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan adzan secara istilah

adalah memberitahukan, bahwa waktu shalat telah tiba dengan lafadz yang

ditentukan oleh syara’.(1976 : 64). Adzan ini disyariatkan di Madinah

pada tahun pertama Hijriyah, setelah pembangunan masjid Nabi Saw.

Sebab-sebab disyariatkannya adzan itu adalah pada mulanya kaum

muslimin di Madinah mengetahui saat datangnya waktu shalat dengan

ijtihad dari masing-masing mereka, lalu mereka baru kumpul untuk

melakukan shalat. Maka pada suatu hari mereka mengadakan pertemuan

bersama Nabi Saw. untuk bermusyawarah dengan tujuan untuk

mendapatkan masukan dari mereka mengenai cara yang efektif dalam

mengumpulkan manusia untuk menunaikan shalat berjama’ah.

Page 18: Resume DJJ Fiqih

31

Kemudian Umar bin Khatab mengusulkan agar dengan suara

manusia, yaitu ada seseorang yang mengumandangkan panggilan shalat

dengan suaranya. Maka disetujuilah ini. Lalu Nabi Saw. menyuruh Bilal

agar dialah mengumandangkan adazan tersebut, karena suaranya keras

merdu dan indah yang dimilikinya. Lalu diapun memanggil manusia agar

mengerjakan shalat, dengan suara merdu dan indah yang dimilikinya

(tetapi belum menggunakan lafadz adzan seperti yang kita kenal sekarang

ini).

Kemudian suatu ketika ada salah seorang sahabat, yang bernama

Abdullah bin Zaid, bermimpi dalam suatu tidurnya; bahwa ada seseorang

yang mengajarkan kepadanya adzan dengan lafazd sebagaimana yang kita

kenal sekarang ini. Kemudian tatkala pagi, beliau mengabarkan apa yang

dialami dalam mimpinya tersebut kepada Nabi Saw. , maka Nabi Saw.

memerintahkan kepadanya agar mengajarkan pada Bilal untuk

mengumandangkannya, karena keindahan suara yang dimiliki olehnya.

Kemudian tatkala Bilal mengumandangkan adzan dan Umar mendengar

suaranya, dia pergi menemui Nabi Saw. dan berkata kepadanya, “sungguh

aku telah bermimpi dalam tidurku, sebagaimana apa yang telah Abdullah

bin Zaid impikan (Hasan Ayub, 2011 : 155).

Dalam lafadz adzan itu terdapat pengertian yang mengandung

beberapa maksud yang penting, seperti aqidah, bersaksian bahwa tidak ada

Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, kemudian

Page 19: Resume DJJ Fiqih

2. Tata Cara adzan dan iqamat

Syarat-syarat adzan dan iqamat, yaitu :

a. Orang yang menyerukan adzan dan iqamat itu hendaknya orang yang

sudah mumayiz (berakal walau sedikit).

b. Hendaklah dilakukan setelah masuk waktu shalat, terkecuali adzan

subuh, boleh mulai sejak tengah malam (adzan awal).

c. Orang yang adzan dan iqamat itu hendaklah orang Islam.

Page 20: Resume DJJ Fiqih

33

d. Kalimat keduanya hendaknya berturut-turut, berarti tidak diselang

dengan kalimat yang lain atau diselang dengan berhenti.

e. Tertib, artinya kalimat-kalimat teratur sebagai yang tersebut di atas.

3. Hal-hal yang disunatkan dalam adzan dan iqamat

a. Orang yang adzan dan iqamat hendaklah menghadap kiblat

b. Hendaklah berdiri

c. Hendaklah dilakukan adzan itu di tempat yang tinggi, agar lebih jauh

terdengar, kalau sekarang dengan menggunakan pengeras suara.

d. Bilal atau muadzin ( sebutan orang yang mengumandangkan adzan)

hendaklah orang yang keras dan baik suaranya.

e. Bilal atau muadzin ( sebutan orang yang mengumandangkan adzan)

hendaklah suci dari hadas dan najis

f. Bagi si pendengar adzan hendaklah turut pula menyebut dengan

perlahan seperti kalimat yang diucapkan oleh muadzin kecuali ketika

muadzin mengucapkan kalimat “hayya ‘alashalaah dan hayya

‘alal falah” yang mendengar hendaklah membaca “ laa haula wala

quwwata illa billah”.

g. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad Saw.

h. Disunatkan membaca do’a yang lain diantara adzan dan iqamat.

D. Rangkuman

Adzan itu mempunyai maksud untuk memberitahukan orang muslim

bahwa waktu shalat telah tiba agar segera melaksanakan shalat fardu

khususnya shalat berjama’ah. Adzan dan iqamat tidak bisa dikumadangkan di

sembarang waktu, walaupun terkadang adazn dan iqamat juga disunatkan

dikumandangkan ketika anak baru lahir.

Dalam lafadz adzan itu terdapat pengertian yang mengandung beberapa

maksud yang penting, seperti aqidah, bersaksian bahwa tidak ada Tuhan

selain Allah dan Nabi Muhammad Saw. utusan Allah, kemudian diajaknya

pula kepada kemenangan dunia dan akherat. Akhirnya disudahi dengan

kalimat tauhid

Page 21: Resume DJJ Fiqih

BAB IV MATERI

POKOK 3

SHALAT FARDHU

A. Indikator Keberhasilan

Setelah mempelajari materi ini Saudara diharapkan dapat menjelaskan

definisi shalat fardhu, syarat dan rukun shalat fardhu, dan hal-hal yang

membatalkan shalat fardhu dengan benar.

B. Uraian Materi

1. Definisi Shalat Fardhu

Menurut bahasa shalat artinya adalah berdoa, sedangkan menurut

istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan

takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan yang ada.

Abidin dalam bukunya Fiqih Ibadah mngartikan shalat yaitu

bentuk ibadah yang terdiri atas perkataan dan perbuatan yang dimulai

dengan takbir dan diakhiri dengan salam (Abidin, 1998 : 61)

Sedangkan Sulaiam Rasyid mendefinisikan shalat menurut adalah

ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan beberapa perbuatan

yang dimulai dengan takbir disudahi dengan salam, menurut beberpa

syarat yang tertentu (Sulaiman Rasyid, 2006 : 64).

2. Syarat dan Rukun Shalat Fardhu

a. Syarat-syarat shalat fardhu, yaitu :

1) Beragama Islam, adapun orang tidak beragama Islam tidak wajib

atasnya shalat, berarti tidak dituntut di dunia, karena meskipun

mengerjakannya tidak juga sah.

2) Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya.

3) Memiliki akal yang waras sehat, bagi yang yang tidak berakal

tidak wajib melaksnakan shalat.

Page 22: Resume DJJ Fiqih

4) Berusia cukup dewasa (baligh), dapat diketahui umur dewasa itu

dengan salah satu tanda berikut : Pertama, cukup berumur lima

belas tahun, atau keluar mani. Kedua, mimpi bersetubuh. Ketiga,

mulai keluar haid bagi perempuan.

5) Telah sampai dakwah Islam kepadanya (perintah Rasulullah Saw.

kepadnya), orang yang belum menerima perintah tidak dituntut

dengan hukum.

6) Melihat atau mendengar, melihat atau mendengar menjadi syarat

wajib shalat walau pada suatu waktu untuk kesempatan

mempelajari hukum-hukum syara’ orang yang buta dan tuli sejak

dilahirkan tidak dituntut dengan hukum, karena tidak ada jalan

baginya untuk belajar hukum-hukum syara’.

7) Terjaga (tidak tidur), bagi orang yang sedang tidur tidak wajib

melaksanakan shalat demikian juga bagi orang yang lupa.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang artinya : “ Yang terlepas

dari hukum, tiga macam : Pertama, kanak-kanak hingga ia dewasa.

Kedua, orang tidur hingga ia bangun. Ketiga, orang gila hingga

sembuh dari gilanya” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).

b. Syarat sahnya shalat, yaitu :

1) Suci dari hadas besar dan hadas kecil

2) Suci badan dan pakaian

3) Menutup aurat4) Mengetahui adanya waktu shalat

5) Menghadap qiblat (Ka’bah)

Page 23: Resume DJJ Fiqih

4243

c. Rukun shalat yang harus dikerjakan, yaitu :

1) Niat

2) Posisis berdiri bagi yang mampu

3) Takbiratul ihram (membaca “Allahu akbar”)

4) Membaca surat al Fatihah. Bagi orang yang tidak membaca surat

al-Fatihah ketika shalat maka ia dianggap tidak sah shalatnya.

5) Ruku yang tuma’ninah

6) I’tidal yang tuma’ninah

7) Sujud yang tuma’ninah

8) Duduk diantara dua sujud yang tuma’ninah

9) Sujud yang kedua yang tuma’ninah

10) Duduk pada tahiyat akhir

11) Membaca tasyahud akhir

12) Membaca salawat Nabi Saw.

13) Salam ke kanan

14) Menertibkan rukun, artinya meletakan tiap-tiap rukun pada

tempatnya menurut susunan tersebut di atas.

3. Hal-hal yang membatalkan shalat fardhu

Dalam melaksanakan ibadah shalat sebaiknya kita

memperhatikan hal-hal yang mampu membatalkan shalat kita,

diantaranya :

a. Meninggalkan salah satu rukun atau memutuskan rukun sebelum

sempurna dengan sengaja, contohnya ia i’tidal sebelum sempurna

ruku’.

b. Meninggalkan salah satu syarat, seperti berhadas, kena najis yang

tidak dima’afkan baik badan maupun pakaian sedangkan najis itu

tidak bisa dibuang saat itu juga. Kalau najis itu dapat dibuang pada

saat itu juga, maka shalatnya tidak batal. Terbuka auratnya yang tidak

dapat ditutup saat itu juga, kalau dapat ditutup saat itu juga, maka

slatnya tidak batal.

Page 24: Resume DJJ Fiqih

c. Dengan sengaja berkata-kata. Dengan perkataan yang biasa

dihadapkan kepada manusia, walaupun kata-kata yang bersangkutan

dengan shalat sekalipun, kecuali jika lupa.

D. Rangkuman

Dalam Islam shalat menempati kedudukan yang sangat tinggi dibanding

dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Apabila shalat dikerjakan dengan

sungguh-sungguh, maka akan menghidarkan diri dari perbuatan keji dan

munkar bagi pelakunya.

Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu

baik itu syarat shalat (sesuatu yang harus dipenuhi ketika sebelum melaksnakan

shalat), ataupun syarat syahnya shalat (shalat akan menjadi syah jika syarat

syahnya shalat terpenuhi). Disamping syarat dan syarat syahnya shalat ada

juga rukun shalat (sesuatu yang harus dikerjakan ketika melakukan shalat).

BAB V MATERI

POKOK 4

SHALAT BERJAMA’AH

1. Definisi shalat berjama’ah,

Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan minimal oleh dua

orang yang keduanya terdiri dari imam dan makmum.

2. Hukum Shalat Berjama’ah

Menurut sebagian besar ulama mengatakan bahwa, shalat

berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain (wajib ‘aini), sebagian lagi berpendapat

bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya fardhu kifayah, dan sebagian lagi

berpendapat hukum shalat berja’ma’ah itu sunnat mu’akad, pendapat

yang terakhir inilah yang dianggap lebih layak terkecuali shalat jum’at

wajib hukumnya berjama’ah.

Shalat fardhu yang lima waktu bagi laki-laki dilaksanakan di

Page 25: Resume DJJ Fiqih

mesjid lebih baik daripada shalat berjama’ah dilakukan di rumah, kecuali

shalat sunat itu lebih baik.

Dalam shalat berjama’ah ada beberapa hal yang harus diperhatikan,

diantaranya :

a. Shalat berjama’ah makin banyak semakin lebih baik

b. Masih mendapat kebaikan shalat berjama’ah apabila makmum masih

dapat mengikutinya sebelum imam memberi salam, akan tetapi

makmum yang mengikuti dari awal mendapat pahala daripada makmum

yang mengikuti belakangan.

Page 26: Resume DJJ Fiqih

49

c. Imam hendaklah meringkaskan shalatnya, kecuali kalau hanya terdiri

dari kaum yang terbatas dan mereka suka dipanjang-panjangkan.

3. Ketentuan dan Tata Cara Ssalat Berjam’ah

Ketentuan dan tata cara shalat berjama’ah tidak akan terlepas dari

syarat-syarat shnya shalat berjama’ah. Adapun syarat-syarat dan shnya

shalat berjama’ah adalah sebagai berikut :

i. Makmum hendaklah meniatkan mengikuti imam. Adapun imam tidak

menjadi syarat berniat menjadi imam hanya sunat hukumnya agar ia

mendapat pahala shalat berjama’ah.

j. Makmum hendaklah mengikuti imamnya dalam segala gerakannya.

k. Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam, umpamanya dari berdiri ke

ruku’ dari ruku’ ke i’tidal ke sujud dan seterusnya.

l. Keduanya antara imam dan makmum berada dalam satu tempat,

umpamanya dalam satu rumah atau mesjid.

m. Tempat berdiri makmum tidak boleh melebihi posisi imam, maksudnya

adalah posisi lebih ke arah qiblat. Bagi orang yang sednag shalat

berdiri, diukur tumitnya, dan bagi orang yang shalatnya duduk adalah

pinggulnya. Adapun apabila, berjama’ah di mesjid al-Haram, hendaklah

shaf mereka melengkung sekelililing Ka’bah tidak salahnya makmuk

lebih dekat ke Ka’bah dari imam di pihak lain.

n. Imam hendaklah jangan mengikuti kepada orang lain, imam itu

hendaklah berpendirian tidak terpengaruh oleh orang lain, kalau ia

makmum tentu ia akan mengikuti imamnya.

o. Hendaklah sama aturan shalat makmum dengan shalatnya imam.

Maksudnya Tidak sah shalat fardhu yang lima waktu mengikuti shalat

gerhana atau shalat mayat, karena aturan shalat keduanya tidak sama.

Tetapi tidak dilarang orang shalat fardhu yang lima waktu mengikuti

orang yang sedang shalat sunnat yang sama aturanya, sperti orang yang

sedang shalat Isa mengikuti orang yang sedang shalat sunat tarawih dan

sebalinya.

Page 27: Resume DJJ Fiqih

50

p. Seorang laki-laki tidak sah makmum pada seorang perempuan. Adapun

perempuan menjadi imam dan makmumnya perempuan tidak dilarang.

q. Keadaan imam tidak ummi sedangkan makmum qari. Artinya imam

sebaiknya bacaanya lebih baik daripada makmumnya.

r. Janganlah makmum mengikuti imam yang diketahui tidak sah shalatnya

(batal shalatnya).

4. Ketentuan makmum masbuk

Masbuk adalah orang yang mengikuti shalat belakangan (tidak

bersama-sama shalat dari awal dengan imam), ia tidak sempat membaca

fatihah beserta imam di raka’at pertama.

Hukumnya, jika orang yang masbuk takbir sewaktu imam belum

ruku’ hendaklah ia membaca fatihah seberpa mungkin. Apabila imam

ruku’ sebelum habis fatihahnya maka hendaklah ia ruku’ langsung

mengikuti imam. Demikian juga apabila didapatinya imam sedang ruku’,

maka hendaklah ia ruku’ pula. Singkatnya ia hendaklah makmum

mengikuti imam ketika ia sesudah takbiratul ihram.

Apabila masbuk mendapati imam sebelum ruku’ atau sedang ruku’

dan ia dapat ruku’ yang sempurna bersama imam, maka ia mendapat satu

raka’at, bearati shalatnya itu terhitung satu raka’at. Kemudian hendaklah

ditambah kekurangan raka’atnya jika belum cukup, sesudah imam

memberi salam. Adapun fatihahnya ditanggung imam; ini pendapat

jumhur ulma’. Sebagian ulama’ yang lain berpendapat, bahwa masbuk

tidak mendapat satu raka’at melainkan apabila ia membaca fatihah

sebelum imam ruku’.

BAB VI MATERI

POKOK 5

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR

1. Shalat Jama’

Shalat jama’ adalah melaksanakan dua shalat dalam satu waktu.

Page 28: Resume DJJ Fiqih

Shalat yang dapat dijama’ adalah zuhur dengan ashar dan shalat maghrib

dengan isya. Syarat-syarat dapat melakuan shalat jama’ adalah :

a. Musafir (orang yang bepergian) atau mukim, sedang saat shalat jum’at

turun hujan.

b. Bepergian bukan untuk maksiat

c. Menetapkan niat

d. Dilakukan secara berturut-turut

e. Jarak perjalanan kurang lebih 88 Km.

Sedangkan Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam

menjelaskan bahwa syarat sah shalat jama adalah sebagai berikut :

a. Perjanan yang dilakukan itu bukan maksiat (terlarang), adakalanya

perjalanan wajib, seperti pergi haji, atau sunat seperti bersilaturahim,

atau harus (mubah) seperti pergi berniaga.

b. Perjanan itu berjarak jauh terhitung jauh dari 80,640 Km atau lebih

(perjalanan sehari semalam)

c. Shalat yang dijam’ itu shalat adaan (tunai). Bukan shalat qadha. Adapun

shalat yang ketinggalan di waktu berjalan boleh diqashar kalau di qadha

dalam perjalanan, tetapi yang ketinggalan sewktu mukim tidak boleh

Page 29: Resume DJJ Fiqih

56

diqadha dengan ashar sewaktu dalam perjalanan. Dengan kata lain

hanya bisa dijama’.

d. Berniat sebelum masuk waktu shalat yang pertama (1976 : 121).

Menjama’ dua shalat ketika bepergian pada salah satu waktu dan

kedua shalat menurut sebagaian besar ulama’ hukumnya boleh, tetapi ada

perbedaan apakah pada saat musafir tersebut sedang berhenti atau sedang

dalam perjalanan. Sebagaimana Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha’

meriwayatkan dari Muaz bahwa : “Pada suatu hari Nabi Saw.

mengundurkan shalat diwaktu perang tabuk dan pergi ke luar,lalu

mengerjakan shalat zuhur dn ashar secara jama’, setelah itu beliau masuk,

kemudian pergi lagi dan mengerjakan shalat maghrib dan isya secara jama’

pula (Slamet, 1998 : 132).

Dalam hal ini imam Syafi’i berkata “kata-kata pergi dan masuk itu

menunjukan bahwa Nabi Saw. sedang dalam keadaan berhenti. Ibnu

Qatadah dalam kitabnya al-Mughni tentang bolehnya melakukan shalat

jama’ berkata “menurut Ibnu Abdil Bar, bahwa hadits tentang shalat jama

itu sah dan kuat sanadnya. Dalam hadits ini terdapat keterangan yang tegas

dan alasan yang kuat untuk menolak pendapat bahwa, menjama’ shalat itu

tidak dibolehkan kecuali bila betul-betul sedang dalam perjalanan.

Bukankah Nabi Saw. menjama’ ketika sedang berhenti, bukan sedang

berjalan, bahkan sedang menetap pula di perkemahan. Beliau keluar dari

tempatnya untuk melakuan shalat secara jama’, kemudian masuk kembali

ke perkemahannya. Hadits ini juga diriwayatkan Muslim dalam shahihnya.

Hadits ini dapat dijadikan pegangan karena sah dan tegas menetapkan

suatu hukum tanpa ada yang menyangkal. Lagi pula harus diingat bahwa,

menjama’ shalat itu adalah suatu keringananu (rukhshah) ketika

bepergian., sehingga tidak dikhususkan hanya waktu sedang dalam

perjalanan saja seperti halnya mengqasar dan mengusap khuf. Hanya saja

yang lebih utama mengta’khirkannya (Suyono, 1998 : 133)

Shalat jama’ dapat dibedakan menjadi jama’ ta qdim dan jama’

ta’khir. Dikatakan jama’ taqdim apabila dua shalat dikerjakan dalam

Page 30: Resume DJJ Fiqih

57

waktu shalat pertama, seperti shalat zhuhur dengan shalat ashar. Apabila

mengerjakan dua shalat pada waktu shalat yang terakhir, maka dinamakan

jama’ ta’khir.

Adapun syarat jama’ taqdim menurut Sulaiman Rasyid adalah

sebagai berikut :

a. Hendahlah dimulai dengan shalat yang pertama, (zuhur sebelum ashar

atau maghrib sebelum isya). Karena waktunya adalah waktu yang

pertama.

b. Berniat jama’ agar berhenti dari shalat yang terdahulu karena lupa

c. Berturut-turut, karena keduanya seolah-olah satu shalat.

Dan dibolehkan pula bagi orang yang tetap (tidak dalam

perjalanan) shalat jama’ taqdim karena hujan dengan beberapa syarat yang

telah lalu dijama’ taqdim. Dan disyaratkan pula, bahwa shalat yang kedua

itu berjama’ah di tempat yang jauh dari rumahnya serta ia dapat kesukaran

pergi ke tempat itu karena hujan

Sedangkan syarat-syarat jama’ ta’khir adalah hendaklah berniat

diwaktu yang pertama, bahwa ia akan melakukan shalat pertama itu

diwaktu yang kedua, supaya ada maksud yang keras akan mengerjakan

shalat pertama itu tiada ditinggalkan begitu saja. (Rasyid, 1976 : 123).

Shalat subuh tidak boleh dijama’, harus dilakukan pada waktunya

sendiri. Dengan demikian, shalat fardhu yang boleh dijama’ adalah zuhur,

ashar, maghrib, dan isya. Orang yang mukim pun diperbolehkan

melakukan shalat jama’ apabila hujan lebat. Demikian al-Aslam

meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman dalam kitab sunan-nya.

Golongan syafi’i membolehkan menjama’ shalat zuhur dengan

ashar dan maghrib dengan isya hanya secara taqdim, dengan syarat adanya

hujan ketika membaca takbiratul ikhram pertama dan hujan masih turun

ketika memulai shalat yang kedua.

Dalam syarah al-Bajuri Al-Ibnu Qasim, Al-Bajuri mengatakan

bahwa, “orang mukim boleh menjama’ shalat apabila turun hujan lebat

Page 31: Resume DJJ Fiqih

58

ketika masuknya shalat pertama, sehingga sulit untuk ikut berjama’ah ke

mesjid atau tempat jama’ah lainnya yang jaraknya cukup jauh.

Menurut imam Maliki,”boleh menjama’taqdim di dalam mesjid

diantara maghrib dan isya karena hujan yang telah atau yang akan turun.

Juga boleh dikerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam

sangat gelap, sehingga menyulitkan orang yang berjalan memakai sandal,

sedang menjam’ shalat maghrib dengan isya’ hukumnya makruh (Suyono,

1998 : 134).

Adapun golongan Hambali mengatakan bahwa hanya shalat

maghrib dengan isya saja yang boleh dijama’ baik secara taqdim maupun

ta’khir karena adanya sebab, seperti salju, lumpur, dingin yang sangat,

serta hujan yang membasahi pakaian. Keringanan itu hanya khusus bagi

orang yang shalat jama’ah di mesjid dan datang dari tempat yang jauh,

sehingga dengan adanya hujan tersebut dan sebagainya, ia terhalang dalam

perjalanan. Bagi orang yang rumahnya dekat dengan mesjid atau yang

shalat berjamaah di rumah atau ia dapat pergi ke mesjid dengan

melindungi tubuh, maka ia tidak boleh menjama’ (Suyono, 1998 : 135).

Seorang yang dalam keadaan sakit ia boleh menjama’ shalat karena

sakit, baik taqdim maupun taqkhir karena kesukaran waktu itu lebih besar

dibanding kesukaran ketika hujan. Demikian pendapat imam Ahmad, Qadi

Husain, al-Kattabi dan Mutawalli dari golongan Syafi’. Imam Nawawi

berkata, “dari segi alasan, pendpat ini adalah kuat”. Dalam kitabnya al-

Mughni tersebut bahwa sakit yang membolehkan jama’ ialah seandainya

shalat-shalat itu dikerjakan pada waktu masing-masing akan menyebabkan

kesulitan dan lemahnya beban. Singkat kata bahwa shalat jama’ dapat

dikerjakan oleh setiap muslim jika memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan.

Page 32: Resume DJJ Fiqih

59

2. Shalat Qashar

Qashar artinya meringankan atau memendekan. Sedangkan yang

dimaksud dengan shalat qashar adalah melaksanakan shalat empat rakaat

diringkas menjadi dua raka’at. Adapun shalat yang boleh diqashar

(dilaksnakan dengan diringkas menjadi dua raka’at) adalah shalat zuhur,

ashar, dan isya, sedangkan maghrib dan subuh tidak bisa. Sebagaimana

firman Allah Swt. surat an-Nisa ayat 101, sebagai berikut :

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah

mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang

orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang

nyata bagimu" (Soenarjo, dkk., 2006 : 124).

Menurut Pendapat jumhur ulama arti qashar disini ialah:

sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini

ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, Yaitu di

waktu bepergian dalam Keadaan aman dan ada kalanya dengan

meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, Yaitu di waktu dalam

perjalanan dalam Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan

rukun-rukun yang 4 rakaat dalam Keadaan khauf di waktu hadhar.

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa mengqashar shalat boleh

dilakukan jika takut diserang oleh orang kafir. Ini bukan berartidalam

keadaan aman tidak boleh mengqashar shalat. Sehubungan dengan ayat

tersebut Ibnu Umar pernah ditanya, “Berhubung sekarang keadaan sudah

aman dan tidak merasa hawatir kepada siapa pun, apakah masih bleh

mengqashar shalat ?” Ibnu Umar menjawab “Cukuplah bagimu Rasulullah

Saw. menjadi tauladan yang sebaik-baiknya. (Suyono, 1998:136)

Page 33: Resume DJJ Fiqih

60

Shalat qashar dapat sah apabila dilakukan dengan memenuhi syarat

sebagai berikut :

a. Harus dalam bepergian jarak jauh, kira-kira 16 farsakh = 48 Mil

Hasyimi atau kurang lebih 85 Km atau perjalanan selama dua malam

(sehari semalam) berjalan kaki.

b. Bepergian tidak untuk maksiat. Adakalanya perjalanan wajib seperti

haji dan umrah perjalanan sunah seperti silaturahim atau perjalanan

mubah seperti berniaga.

c. Berniat pada waktu takbiratul ikhram

d. Shalat yang diqashar adalah shalat ‘ada’an empat raka’at.

e. Uzurnya harus tetap berlangsung sampai selesai shalat, jika sebelum

shalat selesai uzurnya telah hilang, maka harus menyempurnakan

shalatnya empat raka’at.

Masalah tempat dibolehkannya shalat qashar, jumhur ulama

berpendapat bahwa, mengqasahar shalat itu dapat dimulai setelah

meninggalkan kota dan keluar dari daerah lingkungan. Ini merupakan

syarat, dan seorang musafir diharuskan lagi mencukupkan shalatnya kalau

ia sudah memasuki rumah pertama di daerah itu. Ibnu Munzil

berkata,”saya tidak menemukan sebuah keteranganpun bahwa Nabi Saw.

mengqashar dalam bepergian, kecuali setelah keluar dari Madinah.

D. Rangkuman

Shalat jama’ adalah melaksanakan dua shalat dalam satu waktu.

Shalat yang dapat dijama’ adalah zhuhur dengan ashar dan shalat maghrib

Page 34: Resume DJJ Fiqih

61

dengan isya. Shalat jama’ dapat dibedakan menjadi jama’ taqdim dan

jama’ ta’khir. Dikatakan jama’ taqdim apabila dua shalat dikerjakan

dalam waktu shalat pertama, seperti shalat zuhur dengan shalat ashar.

Apabila mengerjakan dua shalat pada waktu shalat yang terakhir, maka

dinamakan jama’ ta’khir.

Shalat subuh tidak boleh dijama’, harus dilakukan pada waktunya

sendiri. Dengan demikian, shalat fardhu yang boleh dijama’ adalah zuhur,

ashar, maghrib, dan isya. Singkat kata bahwa shalat jama’ dan qashar

dapat dikerjakan oleh setiap muslim jika memenuhi syarat-syarat yang

telah ditentukan.

khairum minan naum