Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap .../Respon… · Responsivitas Pemerintah Kota...
Transcript of Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap .../Respon… · Responsivitas Pemerintah Kota...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan
Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)
DISUSUN OLEH :
Niken Irmawati
D0105016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Jurusan Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta
JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Niken Irmawati. D0105016. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA). Skripsi Program Studi Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2009.
Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) dan mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
Penelitian ini dilaksanakan pada institusi pemerintah di Surakarta yaitu DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER&TRANS. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data didapat dengan cara wawancara dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dan snowball sampling. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Analisis data dilakukan dengan analisis interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak cukup responsif, namun demikian responsivitas tersebut belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari: a) kemampuan mengenali kebutuhan anak masih terbatas, dimana Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak secara lengkap dan up to date. Tetapi, pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain untuk mengenali kebutuhan anak. b) Kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak, namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk anak jalanan/terlantar. c) Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak. Kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam hal perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak adalah kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak, keterbatasan dana, ego sektoral, pengaruh lingkungan, rendahnya kesadaran orang tua dan anak, serta culture of silence. Upaya yang dilakukan sehubungan dengan kendala tersebut adalah meningkatkan pemahaman perlindungan anak dari aparat pemerintah, meningkatkan kerjasama dengan pihak lain dan optimalisasi sosialisasi kegiatan. Rekomendasi yang diberikan untuk pemerintah adalah meningkatkan sosialisasi tentang perlindungan anak dengan cara mensosialisasikan di rapat pimpinan mengenai pentingnya perlindungan anak, pemerintah harus selalu memperbaharui data base tentang perlindungan anak, pemerintah harus membuat program pendidikan yang bisa menyentuh anak jalanan/terlantar, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perlindungan anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia maka perlu dikembangkan
penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan karakteristik yang selama ini melekat
dalam good governance. Karakteristik tersebut seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas dan responsivitas dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam
penyelenggaraan pelayanan publik (Agus Dwiyanto, 2005:147).
Responsivitas sebagai salah satu karakteristik good governance sangat diperlukan
dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat (Dilulio dalam Agus Dwiyanto, 2002:62). Dengan demikian birokrasi publik
dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas yang
tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi
masyarakat yang diwakilinya. Melalui penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah,
warga sipil, dan para stakeholder melakukan interaksi secara intensif sehingga apabila
pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya dapat
dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para stakeholder. Tujuan pelayanan publik
adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang
diinginkan dan memuaskan. Oleh karena itu, penyedia layanan harus bersikap responsif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sehingga mampu memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
masyarakat.
Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good
governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan
kewajiban ikut serta membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek
dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi Bangsa
Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan materiil. Anak adalah modal
pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan hasil
pembangunan fisik mental dan sosial Indonesia.
Oleh sebab itu, setiap anak memerlukan perlindungan dan dalam hal ini kita telah
memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan
Undang-Undang tersebut maka Negara menjamin hak-hak anak yaitu memiliki tingkat
kebebasan yang optimal, memperoleh pendidikan, mendapatkan perlindungan dan
kesempatan berpartisipasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.
Salah satu bentuk nyata upaya pemerintah dalam perlindungan anak adalah
diwujudkan melalui pengembangan Kota Layak Anak yaitu kota yang menjamin hak setiap
anak sebagai warga kota. Indikator Kota Layak Anak menurut Nirwono Joga (2007) adalah
tersedianya pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan
berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan kebutuhan anak. Di Indonesia target jumlah KLA pada tahun 2015 adalah 15 Kota,
termasuk Kota Solo.
Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebanggaan
bagi Kota Solo, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Solo. Hal ini karena
permasalahan anak di Kota Solo masih cukup tinggi dan beragam. Dari berbagai informasi
yang disarikan dari berbagai sumber, permasalahan anak di Kota Solo meliputi anak putus
sekolah, Anak yang dilacurkan/trafficking dan ESKA, Kekerasan Anak (perkosaan,
pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian), anak terlantar, anak terkena gizi buruk,
pekerja terburuk anak, anak jalanan, pekerja anak. Secara lebih terperinci ragam
permasalahan anak tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1
Ragam Permasalahan Anak di Kota Solo
Kasus Jumlah Keterangan 1 2 3
Anak putus sekolah 547 anak Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007
Anak yang dilacurkan/traficking dan ESKA
164 anak
Radar Solo (Data PPK LPPM UNS Tahun 2008)
Kekerasan Anak (perkosaan, pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian)
49 anak Profil Anak Kota Surakarta (Data PTPAS Tahun 2007)
Anak Terlantar
682 anak Profil Anak Kota Surakarta (Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Tahun 2006)
Anak yang terkena gizi buruk 98 anak Dinas Kesehatan Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tahun 2008 Pekerja terburuk anak 109 anak Sumber : Data LSM Kapas,
LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta Tahun 2005, 2006, dan 2007
Anak jalanan 1.168 anak Sumber : Surakarta belum butuh peraturan anak jalanan, www.korantempo.com 2007
Sumber : Disarikan dari berbagai data
Pemerintah dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai
responsivitas (daya tanggap) yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan,
kebutuhan, keluhan, dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya; mereka cepat memahami
apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha semaksimal mungkin memenuhinya; ia
dapat menangkap masalah yang dihadapi publik dan berusaha untuk mencari solusinya;
mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau
mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan subtansi (Widodo, 2001 : 152).
Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah
mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak (KLA). KLA merupakan istilah yang
diperkenalkan pertama kali oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005
melalui Kebijakan KLA. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di lima kabupaten/kota,
yaitu Jambi, Surakarta, Sidoarjo, Kutai Kartanegara, dan Gorontalo. Sedangkan pada tahun
2007 ditunjuk sepuluh kabupaten/kota lagi. Menurut Hamid Patilima (dalam
www.ykai.net) untuk mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang
sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu prasyarat untuk mencapainya. Prasyarat yang
dimaksud adalah: (1) adanya kemauan dan komitmen pimpinan daerah, (2)tersedia sistem
data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan,
dan evaluasi, (3) sosialisasi hak anak, (4)produk hukum yang ramah anak, (5) partisipasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
anak, (6) pemberdayaan keluarga, (7) adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan
hak dan perlindungan anak, (8) instititusi perlindungan anak.
KLA menjamin setiap hak anak sebagai warga kota. Menurut Nirmono Joga dalam
Membangun Kota Layak Anak (www.kompas.com), indikator KLA adalah tersedianya
pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan berpartisipasi
aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
anak.
Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemeberdayaan
Perempun dan Keluarga Berencana (DKRPP&KB) banyak melakukan sosialisasi
menyangkut ditunjukkannya Kota Solo sebagai proyek percontohan oleh Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, sebagai Kota Layak Anak (KLA). Pertimbangan Kota Solo
sebagai KLA oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan tersebut didasarkan pada: (1)
Pertimbangan adanya beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota
Solo, seperti kebijakan pembebasan biaya untuk pencatatan akta kelahiran. (2) Peraturan
daerah (Perda) tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial (Perda No. 3 tahun
2006). (3) Peraturan Gubernur Jawa Tengah tentang pembentukan organisasi tata kerja
komite aksi Provinsi Jawa Tengah penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak (Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 94 tahun 2006).
Mengingat anak sebagai aset bangsa, maka Pemerintah Kota Surakarta berkewajiban
menjamin kualitas tumbuh kembang dan memberikan perlindungan kepada mereka dan
hak-haknya sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagai pelaksanaan Konvensi PBB Hak Anak. Untuk mewujudkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kondisi tersebut, diperlukan responsivitas pemerintah agar memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak.
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan
Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak
menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?
2. Kendala dan upaya apa yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap
perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan
anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
2. Mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap
perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Masukan bagi Pemerintah Kota Surakarta terhadap upaya perlindungan anak menuju
Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
2. Peningkatan wawasan dan pengetahuan terhadap permasalahan dan upaya perlindungan
anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
3. Sebagai referensi bagi peneliti lain.
E. Tinjauan Pustaka
1. Responsivitas
UNDP (1997) dalam Sedarmayanti (2004:247) mengemukakan bahwa
karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi participation, rule of law,
transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and
efficiency, accountability, strategic vision. Atas dasar uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan
Negara yang bertanggung jawab serta efisien dan efektif.
Menurut Joni Rahman (n.d) yang mengutip karakteristik good governance dari
jurnal internasional (Pubic Administration Journal): Good governance has 8 major
characteristics. It is parcipatory, consensus oriented, accountable, transparent,
responsive, effective and efficient, equitable and inclusive and follows the rule of law.
Karakteristik good governance tersebut digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1
Karakteristik good governance
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dengan demikian, responsivitas merupakan salah satu karakteristik good
governance. Lenvine dalam Agus Dwiyanto (2005:147), produk dari pelayanan
publik di dalam Negara demokratis paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni
responsiveness, responsibility, dan accountability.
Responsivitas yang merupakan salah satu karakteristik good governance adalah
kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun
prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan.
Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan
aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan. Tujuan utama pelayanan publik
adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang
diinginkan dan memuaskan. (Agus Dwiyanto, 2005:152)
Pengertian responsivitas dapat dipahami dari beberapa pendapat para ahli
berikut ini: Dilulio dalam Agus Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa
responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut
merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Agus Dwiyanto
(2002:62) menjelaskan bahwa responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta
mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
Wyer PC (2007)menyatakan bahwa: “Responsiveness can be defined as the ability of research, education, quality improvement, and electronic system to adapt to and incorporate the changes in knowledge that produce changes in practice” Smith dalam Joko Widodo (2001:152) mengartikan responsivitas
(responsiveness) adalah “ability to provide what people demand. In this sense it is an
efficient way of managing local affairs and providing local services”. Dapat dipahami
bahwa responsivitas merupakan kemampuan untuk menyediakan apa yang menjadi
tuntutan rakyat.
Indikator responsivitas pelayanan publik adalah keluhan pengguna jasa, sikap
aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan
pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat
birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat
birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku (Agus Dwiyanto, 2002:60-61).
Mengacu pada pendapat tersebut di atas, dalam penelitian ini pengukuran
responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo
Kota Layak Anak (KLA) ditentukan dari indikator 1) kemampuan mengenali
kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan
perlindungan anak, 3) kemampuan mengembangkan program perlindungan anak.
Di Indonesia, responsivitas pemerintah terhadap permasalahan anak sebagai
dasar atas upaya pemenuhan hak anak telah dilakukan melalui :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Implementasi program melalui penanganan permasalahan anak merupakan
upaya pemerintah untuk melindungi hak anak. Konvensi Hak-Hak Anak menjadi
dasar membangun Kota Layak Anak.
Keberhasilan program pengembangan Kota Layak Anak akan sangat ditentukan
oleh adanya saling pengertian dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan di setiap
tingkatan pembangunan dengan kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota.
Atas kerjasama lintas sektor dan pemangku kepentingan telah berhasil
menyusun sebuah kerangka kebijakan yang bersifat umum sebagai acuan pemerintah
kabupaten/kota, organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, sektor
swasta, masyarakat, dan anak-anak sebagai subjek dari hak-haknya untuk bersama-
sama mengembangkan Kota Layak Anak.
Khususnya di Kota Surakarta, Pemerintah berusaha responsif terhadap
permasalahan anak, yaitu dengan pengembangan Kota Layak Anak (KLA). Program
Kota Layak Anak dibagi dalam 4 bidang yaitu bidang kesehatan, pendidikan,
perlindungan anak, dan partisipasi anak. Akan tetapi, masih banyak permasalahan
yang masih belum terselesaikan seperti anak putus sekolah, eksploitasi anak, anak
jalanan, dan sebagainya.
Melalui DKRPP&KB Kota Surakarta yang menangani masalah perlindungan
anak di Surakarta harus mempunyai strategi dan perencanaan yang baik dalam rangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak. Hal ini dikarenakan masih banyaknya
persoalan yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk segera diselesaikan,
menyangkut permasalahan anak-anak. Seperti kasus anak-anak yang dipekerjakan
pada sektor industri, anak jalanan, pemulung anak, anak yang dilacurkan, anak putus
sekolah, anak berkonflik dengan hukum, dan anak yang menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga, serta permasalahan anak-anak lainnya.
Dalam menghadapi dan menanggulangi masalah anak secara kompleksitas,
berbagai perbuatan perlu ditangani secara lebih serius, sebagai proses untuk
mengantisipasi perkembangan fisik, jiwa dan mental maupun kehidupan sosiologis
yang lebih baik. UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak mengatur mengenai hak-hak anak yang dijumpai pada pasal 2 sebagai berikut:
1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk
tumbuh dan kembang dengan wajar.
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna.
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan.
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar.
Jelas dalam pasal tersebut mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam
rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil dalam rangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap mereka. Hal ini
penting demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diharapkan dalam upaya
perlindungan anak. Dengan demikian, dituntut adanya suatu rasa tanggung jawab
dalam pelaksanaan perlindungan anak dan juga rasa keadilan yang dapat
mempengaruhi kelangsungan kegiatan dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak
tersebut.
2. Perlindungan Anak
Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan
berbagai macam permasalahan yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan,
tetapi harus secara bersama-sama dan penyelesaiannya menjadi tanggungjawab
bersama. Untuk mengetahui terjadinya perlindungan yang baik atau buruk, tepat atau
tidak tepat, maka harus memperhatikan fenomena mana yang relevan, yang
mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita
(1985:3) mengatakan bahwa perlindungan anak/remaja adalah suatu kegiatan bersama
yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan
rohaniah dan jasmaniah anak/remaja itu dilindungi dan yang bertanggung jawab
terhadap adanya dan pelaksanaan perlindungan tersebut. Menurut Undang-Undang
Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan:
“Perlindungan anak adalah serangkaian kegiatan untuk melindungi anak sejak dalam kandungan, agar anak dapat terjamin kelangsungan hidupnya, tumbuh dan berkembang serta terbebas dari perlakuan delinkuensi dan tindak kekerasan fisik, mental, rohani maupun sosial secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan
manusiawi. Perlindungan anak juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam
suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2
ayat (2) dan (3) menyatakan :
“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.
Undang-undang di atas dengan jelas menyatakan perlu adanya perlindungan
anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil
terhadap anak.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak
yang efektif, rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat adalah sebagai
berikut (Sumber: www.kotalayakanak.org):
a. Para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat.
b. Harus dilakukan secara bersama, kerjasama dan koordinasi.
c. Perlu diteliti terlebih dahulu masalah yang merupakan faktor kriminogen atau
faktor viktimogen.
d. Mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan yang melindungi.
e. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
f. Pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta
melindungi diri sendiri.
g. Tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi.
h. Harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.
Perlindungan anak merupakan tanggungjawab secara individu, kolektif, dan
pemerintah demi tercapainya kepentingan bersama dan nasional. Dalam rangka
membuat kebijakan mengenai perlindungan anak, perlu diusahakan inventarisasi
faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak.
Kepastian hukum sangat dibutuhkan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak
dan untuk mencegah akibat-akibat negatif yang tidak diinginkan.
Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan
anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta
menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya
perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 15 menyatakan :
Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
Ayat (4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk
umum.
Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good
governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam bab III
Undang-Undang Perlindungan pasal 4 sampai 19 menjelaskan hak-hak anak sebagai
berikut: hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri, berhak untuk beribadah, berhak mengetahui orang
tuanya, berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, berhak
memperoleh pendidikan, berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak
beristirahat, berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini, peneliti
akan memfokuskan pada empat kategori hak anak, yaitu bidang perlindungan anak,
bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak.
3. Kota Layak Anak
Menurut Nirwono Joga (2007) Kota Layak Anak adalah suatu kota yang di
dalamnya telah diramu semangat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap
anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Kota yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan (fisik dan nonfisik) serta
diskriminasi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mendefinisikan
Kota Layak Anak sebagai kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota.
Berdasarkan Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), anak sebagai warga
kota berarti :
a. Memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara pribadi maupun
terwakilkan, terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota, dan
pelayanan kota.
b. Mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam kehidupan keluarga,
komuniti sosial lainnya.
c. Menerima pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan.
d. Memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan sarana kota yang berkualitas
(sarana air bersih, ruang bermain, jalur sekolah). Persyaratan keselamatan,
persyaratan kesehatan, persyaratan kemudahan, dan persyaratan kenyamanan.
e. Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa
memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun Kota
Layak Anak adalah: (Kebijakan Pengembangan KLA, 2007)
a. Non-diskriminasi: Kota Layak anak adalah kabupaten/kota yang layak dan
inklusif untuk semua anak. Kabupaten/Kota yang memenuhi kebutuhan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
memberikan perhatian khusus pada anak yang mengalami diskriminasi dalam
mengakses hak-hak mereka dalam beberapa cara berbeda.
b. Kepentingan terbaik untuk anak: Kota Layak anak menjamin kepentingan terbaik
untuk anak dan menjadikan anak sebagai pertimbangan utama dalam semua
tindakan yang terkait dengan urusan anak.
c. Setiap anak mempunyai hak hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang
maksimal: Kota Layak Anak berusaha memberikan jaminan untuk hidup dan
kelangsungan hidup kepada anak untuk berkembang optimal dengan menciptakan
kondisi-kondisi yang mendukung pada masa anak-anak, perkembangan dalam
konteks Konvensi Hak-hak Anak berarti perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral, dan perkembangan psikologi dan sosial anak.
d. Mendengar dan menghormati pandangan anak: Anak-anak dilibatkan dan
didengar fikiran dan pendapatnya di dalam Kota Layak Anak. Mereka aktif
berperan serta sebagai warga kota dan pemegang hak untuk mempromosikan dan
mendorong kebebasan mengekspresikan pendapat pada semua persoalan yang
mempengaruhi mereka.
Upaya mewujudkan KLA tidak bisa dilakukan sendiri atau hanya oleh
pemerintah saja. Kementerian dengan berbagai pihak merupakan pilihan utama yang
harus dilakukan. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi
menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya.
Peran dari masing-masing harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang
dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Menurut YKAI, peran dari pemerintah
dan pihak terkait dalam upaya mewujudkan KLA meliputi: (www.ykai.net)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Pemerintah : Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga
melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.
2) Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia : APKSI/APEKSI
sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis
untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk
memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.
3) Pemerintah Kabupaten/Kota : Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab
dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan
KLA.
4) Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan : Organisasi Non
Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam
menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.
5) Sektor Swasta dan Dunia Usaha : Sektor swasta dan dunia usaha merupakan
kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan
yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung
terwujudnya KLA.
6) Lembaga Internasional : Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi
dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya
KLA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7) Komuniti (Masyarakat) : Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan
masukan berupa informasi yang objektif dalam proses monitoring dan evaluasi.
8) Keluarga : Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan
pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan
perlindungan anak.
9) Anak : anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi
peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.
Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan
anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan
situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara
langsung atau tidak langsung. UU Perlindungan Anak pada pasal 15 menyatakan :
Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
Ayat(4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan
dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk
umum.
F. Kerangka Pemikiran
Salah satu karakteristik good governance adalah responsivitas, yaitu kemampuan
organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan,
dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya
tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi, serta tuntutan warga
pengguna layanan (Agus Dwiyanto, 2005:152).
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjelaskan
tentang hak-hak anak yang secara garis besar diklasifikasikan ke dalam empat bidang yaitu:
bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi
anak. Terkait hal tersebut, Pemerintah Surakarta dalam pelaksanaan perlindungan anak
harus responsif apabila ingin tercipta perlindungan anak yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan. Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk:
1) Mengenali kebutuhan anak
2) Menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak
3) Mengembangkan program perlindungan anak
Namun, upaya untuk mewujudkan Kota Layak Anak bukanlah pekerjaan yang
mudah. Pemerintah dalam memberikan perlindungan anak menghadapi berbagai kendala.
Kendala tersebut berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah. Kendala
internal pemerintah yaitu sumber daya manusia, sumber dana, dan ego sektoral. Kendala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
eksternal pemerintah yaitu culture of silence, pengaruh lingkungan, dan rendahnya
kesadaran orang tua dan anak.
Apabila pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan
program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka
upaya mewujudkan Kota Layak Anak akan dapat terwujud. Sebaliknya, jika pemerintah
tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan
prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan
anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka tidak akan terwujud
Kota Layak Anak. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.2
Bagan Kerangka Pemikiran
Responsivitas terhadap perlindungan anak. a.Kemampuan mengenali
kebutuhan anak b.Kemampuan menyusun
agenda & proritas pelayanan terhadap perlindungan anak
c.Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak
Kota Layak Anak a. Jaminan hak-hak
bidang perlindungan anak
b.Jaminan hak-hak bidang kesehatan
c. Jaminan hak-hak bidang pendidikan
d.Jaminan hak-hak bidang partisipasi anak
Good Governance
UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
G. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data bersifat kualitatif
dengan tujuan mengetahui responsivitas pemerintah Surakarta dalam memberikan
perlindungan terhadap anak di Surakarta. Data yang dikumpulkan pada penelitian
kualitatif yaitu data berupa kata, kalimat, gambar yang memiliki arti lebih daripada
sekedar angka atau frekuensi (H. B. Sutopo, 2002 : 35). Selain data kualitatif, juga
Kendala –kendala : a. Internal: · Kapasitas sumber
daya manusia · Kapasitas sumber
dana · Ego sektoral b.Eksternal: · Culture of silence · Pengaruh
lingkungan · Rendahnya
kesadaran orang tua dan anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dikumpulkan data kuantitatif, khususnya dalam upaya mempertegas temuan
penelitian kualitatif.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta khususnya pada beberapa
Dinas yang terkait yaitu:
a. Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
(DKRPP&KB) Kota Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara teknis
mengurusi tentang perlindungan anak di Kota Surakarta.
b. Dinas Kesehatan (DINKES) Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara
teknis mengurusi perlindungan anak di bidang kesehatan.
c. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DISDIKPORA) Surakarta sebagai
Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah pendidikan anak.
d. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Surat (DINSONAKER & TRANS)
Surakarta sebagai Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah anak.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling di mana
peneliti memilih informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi dan
dianggap mengetahui permasalahan perlindungan anak secara mendetail. Selain itu
peneliti juga menggunakan teknik snowball sampling di mana pemilihan informasi
pada waktu di lokasi penelitian berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya, dan
seterusnya bergulir sehingga didapatkan data yang lengkap dan akurat. Pada tahap
penelitian awal, peneliti melakukan penelitian di DKRPP&KB. Selanjutnya
DKRPP&KB merekomendasikan penelitian ke instansi/dinas yang terkait antara lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DINKES, DISDIKPORA, DINSONAKER&TRANS. Setelah mendapat informasi
dari masing-masing instansi/dinas yang terkait, maka didapat titik jenuh dari
informasi ini dan bisa ditarik kesimpulan dari penelitian.
4. Jenis Data
Data adalah suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. Data yang
digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara secara langsung dari
informan yang dianggap tepat dan mengetahui tentang permasalahan
perlindungan anak. Informan penelitian berasal dari unsur Pemerintah Kota
Surakarta dan unsur di luar Pemerintah Kota Surakarta. Informan dari unsur
Pemerintah Kota Surakarta berasal dari: DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA,
dan DINSONAKER & TRANS. Informan dari luar Pemerintah Kota Surakarta
adalah dari Perguruan Tinggi yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender
(P3G) UNS, LSM di Surakarta yaitu PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas,
dan LSM Sari. Data yang dikumpulkan adalah data-data terkait dengan
kemampuan mengenali kebutuhan anak, kemampuan menyusun agenda dan
prioritas pelayanan perlindungan anak, dan kemampuan mengembangkan
program perlindungan anak. Selain itu ditanyakan pula kendala dan upaya yang
dihadapi Pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan anak.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui
penelaahan kepustakaan mengenai permasalahan perlindungan anak. Data
sekunder diperoleh dari arsip-arsip, dokumentasi, catatan-catatan, maupun laporan
hasil pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Data Sekunder yang dimaksud adalah data dan analisis permasalahan anak Di
Kota Surakarta, Keputusan Walikota Surakarta Nomor 130.05/08/1/2008 Tentang
Tim Pelaksana Pengembangan KLA Kota Surakarta, Profil Anak Kota Surakarta
Tahun 2007 (DKRPP&KB Surakarta), dan informasi dari internet tentang
permasalahan anak di Surakarta.
5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data atau informasi
dengan bertanya langsung kepada informan. Menurut Moleong (1998:135),
wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara. Hasil wawancara disajikan dan dianalisis sesuai dengan fokus
kajian dan digunakan sebagai acuan penarikan kesimpulan. Untuk menjamin
kerahasiaan informan, pada laporan penelitian ini tidak disebutkan nama
informan, tetapi diberi kode N1, N2, N3, dan seterusnya. Pada penulisan
laporan ini, ada kemungkinan penyebutan N dari halaman ke halaman tidak
berurutan. Hal ini terjadi karena di bab sebelumnya sudah disebutkan.
b. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui proses
mengadakan atau melihat kembali dokumen yang telah ada dengan mempelajari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kembali informasi yang telah tersimpan, misalnya buku-buku, arsip, tabel-tabel,
dan bahan-bahan dokumentasi lainnya yang bermanfaat sebagai sumber data.
Menurut W. Gulo (2004:123) dokumentasi adalah catatan tertulis tentang
berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan dokumen-dokumen, catatan-catatan dan arsip-arsip yang
ada pada lembaga yang peduli terhadap perlindungan anak antara lain:
DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, DAN DINSONAKER&TRANS,
Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas,LSM Sari, dan P3G UNS. Di
samping dokumen tertulis yang berupa data-data, juga dilakukan pencarian
informasi melalui internet.
6. Validitas Data
Validitas data merupakan pembuktian bahwa data yang diperoleh peneliti
sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Untuk menguji validitas
data, peneliti menggunakan metode triangulasi sumber yaitu mendapatkan data
tidak hanya dari satu sumber melainkan dari beberapa sumber untuk
mengumpulkan data yang sama dan kemudian melakukan kroscek dengan beberapa
sumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini data mengenai
responsivitas diperoleh dari berbagai sumber yaitu informasi dan data dari
pemerintah Surakarta melalui DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan
DINSONAKER & TRANS dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu :
Ketua LSM Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja,
Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari, dan Lembaga Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gender (P3G) UNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
interaktif (interactive model of analysis). Menurut Miles dan Huberman dalam H.
B. Sutopo (2002 : 94-96), dalam model ini terdapat tiga komponen pokok, yaitu:
a. Reduksi Data (Data Reduction). Merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus
sampai laporan akhir Penelitian selesai disusun.
b. Sajian Data (Data Display). Merupakan suatu rakitan informasi yang
memungkinkan kesimpulan. Riset dapat dilakukan dengan melihat suatu
penyajian data, Penulis akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan
Penulis untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan
pemahaman tersebut.
c. Penarikan Simpulan (Conclusion Drawing). Dalam awal pengumpulan data
Penulis sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan
melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan,
konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proporsi sehingga
memudahkan dalam pengambilan data kesimpulan.
Proses analisis data dengan menggunakan model interaktif ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.3
Bagan Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sumber: H.B Sutopo (2002:96)
Secara keseluruhan, aspek yang akan dianalisis, fokus kajian, sumber data, teknik
pengumpulan data serta teknik analisis data disajikan pada tabel 1.3 berikut ini:
Tabel 1.2
Matriks Aspek Analisis, Fokus Kajian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis
Data
No Aspek yang dianalisis
Fokus Kajian Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data
2 3 4 5 Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) Kendala Pemerintah Kota Surakarta terhadap
a. Kemampuan mengenali kebutuhan anak
b. Kemampuan menyusun agenda dan
prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak
c. Kemampuan mengembangkan
program perlindungan anak a. Kendala internal
· Kapasitas sumber daya manusia · Kapasitas sumber dana · Ego sektoral
1. Sumber Data: a. Data Primer berasal dari
dalam Pemerintah Surakarta seperti : DKRPP&KB Surakarta, Dinas Kesehatan Surakarta, DIKPORA Surakarta, dan DINSONAKER & TRANS Surakarta. Dan dari luar Pemerintah Surakarta seperti: Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas, LSM Sari, P3G UNS.
b. Data Sekunder, antara lain:
1. Analisa interaktif, yang terdiri dari tiga komponen:
a. Reduksi Data b. Penyajian Data
(gambar atau skema, tabel, dan matriks)
c. Penarikan kesimpulan
Pengumpulan Data
Penarikan Kesimpulan
Reduksi Data Penyajian Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) Upaya Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)
b. Kendala eksternal
· Culture of silence · Pengaruh lingkungan · Rendahnya kesadaran orang tua
dan anak a. Meningkatkan pemahaman tentang
perlindungan anak dari aparat pemerintah
b. Meningkatkan kerjasama dengan
pihak-pihak lain c. Optimalisasi sosialisasi kegiatan
peraturan perundang-undangan, dokumen, literatur, bacaan yang terkait dengan penelitian ini, serta sumber dari internet.
2. Teknik Pengumpulan Data:
a. Wawancara kepada informan: DKRPP&KB Surakarta, Dinas Kesehatan Surakarta, DIKPORA Surakarta, dan DINSONAKER & TRANS Surakarta. Serta wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu : Ketua LSM PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS.
b. Dokumentasi: Dokumen-dokumen, laporan, dan data-data tentang perlindungan anak.
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA
DAN PERMASALAHAN ANAK
A. Gambaran Umum
Masyarakat seringkali menyebut Kota Surakarta dengan sebutan Kota Solo, Kota
Surakarta disebut Solo karena ditemukan oleh Kiai Sala. Solo adalah rumah bagi dua
keluarga kerajaan yang telah berpengaruh selama beberapa abad dan keberadaannya masih
mewarnai kota ini. Sedangkan Surakarta merupakan keraton Kasunanan Surakarta, pecahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dari Kerajaan Mataram. Jadi tidak mengherankan jika masyarakat menyebut Kota
Surakarta sama dengan Kota Solo.
Berdasarkan data dari Kota Surakarta dalam Angka tahun 2005, Kota Surakarta
merupakan salah satu kota besar di provinsi Jawa Tengah yang menunjang kota-kota
lainnya seperti Semarang dan yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta dikenal dengan nama
‘KOTA SOLO’ merupakan dataran rendah dan berada antara pertemuan sungai Pepe, Jenes
dengan bengawan Solo, dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan air laut dan terletak
antara 110˚ 45'35" bujur timur dan antara 7˚36' dan 7˚56' lintang selatan. Kota Surakarta
merupakan kota yang terletak di tengah, antara kabupaten-kabupaten se-eks Karesidenan
Surakarta, yang berbatasan:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali,
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangannyar dan Kabupaten Sukoharjo,
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo,
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
Keadaan iklim Kota Surakarta ditandai dengan suhu udara rata-rata berkisar antara
25,9˚ C sampai dengan 27,9˚ C. Kelembapan udara berkisar antara 69% sampai dengan
86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Desember dengan jumlah 27 hari. Curah hujan
terbanyak sebesar 1025,8 mm jatuh pada bulan Desember. Rata-rata curah hukan saat hari
hujan terbesar juga jatuh pada bulan Desember sebesar 37,59 mm per hari hujan. Arah
angin rata-rata 5,08 knot. Tekanan udara rata-rata 1010,2 Mbs.
Kota Surakarta terdiri dari 5 Kecamatan yang terbagi menjadi 51 Kelurahan, dengan
luas wilayah 4.404,06 Ha. (BPS Surakarta Tahun 2006)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, pada tahun 2006 10,8 % penduduk
Kota Surakarta termasuk kedalam kelompok umur 25-29 tahun dengan jumlah laki-laki
sebanyak 30.441 orang dan perempuan sebanyak 25.185 orang. Adapun penggolangan
penduduk Kota Surakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2006
dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1
Penduduk Kota Surakarta
Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006
No Tahun Jenis Kelamin
Jumlah Persentase (%) Laki-laki Perempuan
1 2 3 4 5 6
1 0-4 18.177 9.053 27.230 5,3
2 5-9 21.243 16.425 37.668 7,3
3 0-14 20.367 21.024 41.391 8,1
4 15-19 20.805 21.681 42.486 8,3
5 20-24 26.061 24.747 50.808 9,9
6 25-29 30.441 25.185 55.626 10,8
7 30-34 23.433 22.557 45.990 9
8 35-39 15.330 17.520 32.850 6,4
9 40-44 18.834 22.338 41.172 8
10 45-49 14.454 18.177 32.631 6,4
11 50-54 16.863 15.111 31.974 6,2
12 55-59 9.855 10.512 20.367 4
13 60-64 6.570 8.541 15.111 2,9
14 65+ 11.826 15.768 27.594 5,4 Jumlah 254.259 258.639 512.898 100
Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta Tahun 2006
Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, jumlah anak di Surakarta umur 0-
19 tahun dari tahun 2004 sampai ke tahun 2006 mengalami jumlah yang terus menurun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, yaitu dari tahun 2004 sejumlah 173.103 jiwa dan
tahun 2005 sebanyak 170.628 jiwa serta tahun 2006 sebanyak 158.775 jiwa. Hal ini berarti
bahwa populasi anak Kota Surakarta masih harus diperhatikan dan juga harus
diperjuangkan peningkatan kesejahteraannya. Beban untuk menanggulangi masalah
kesehatan anak juga terus meningkat.
Tabel 2.2
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin pada usia Anak 0-19 tahun Kota Surakarta
Tahun 2004/2005/2006
No Tahun Usia 0-4 tahun Usia 5-9 tahun Usia 10-14 tahun Usia 15-19 tahun
L P Jml L P Jml L P Jml L P Jml 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1. 2004 14.839 15.884 30.723 19.228 17.974 37.303 19.437 18.810 38.247 24.871 25.498 50.369
2. 2005 18.880 16.284 35.164 17.936 23.128 41.054 23.476 24.780 46.256 24.072 24.072 48.144
3. 2006 18.177 19.053 37.230 21.243 16.425 37.658 20.367 21.024 41.391 20.805 21.681 42.486
Sumber: Kota Surakarta dalam Angka Tahun 2004/2005/2006
Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun
keatas adalah tamat SD (22, 1%), tamat SLTP (21, 7%), dan tamat SLTA (20, 8 %).
Sedangkan yang merupakan tamatan akademi (PT) hanya 7,2 % dan selebihnya tidak tamat
SD (9,2%), belum tamat SD (5,2%) dan tidak sekolah (5,2%). Tabel 2.3 berikut ini
memperlihatkan penggolongan penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun ke atas menurut
tingkat pendidikan pada tahun 2006.
Tabel 2.3
Penduduk Kota Surakarta Usia 5 Tahun Ke Atas
Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006
No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 2 3 4
1 Tamat Akademi/PT 33.823 7,2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2 Tamat SLTA 98.186 20,8
3 Tamat SLTP 102.494 21,7
4 Tamat SD 104.270 22,1
5 Tidak Tamat SD 43.302 9,2
6 Belum Tamat SD 66.223 14 7 Tidak Sekolah 24.389 5,2
Jumlah 472.687 100 Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta
Berdasarkan tingkat kesejahteraan penduduknya, rata-rata penduduk Kota Surakarta
tergolong dalam kelompok Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III),
dan Keluarga Sejahtera I (KS I) ekonomi dan non ekonomi. Tabel 2.4 berikut ini
memperlihatkan banyaknya keluarga sejahtera menurut tahapan di Kota Surakarta pada
tahun 2006.
Tabel 2.4
Banyaknya Keluarga Sejahtera Menurut Tahapan
di Kota Surakarta Tahun 2006
No Tahapan Keluarga Sejahtera Jumlah Persentase (%) 1 2 3 4 1 Pra KS (ekonomi dan non ekonomi) 12.622 10,7 2 KS I (ekonomi dan non ekonomi) 29.038 24,7 3 KS II 30.268 25,7 4 KS III 30.072 25,5 5 KS II Plus 15.745 13,4
Jumlah 117.745 100 Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta
1. Visi dan Misi
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun 2001 tentang Visi dan
Misi Kota Surakarta, menyebutkan bahwa:
a. Visi Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Terwujudnya Kota Sala sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi
perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga.
b. Misi Kota Surakarta
1) Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam
semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat
dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota
Budaya”.
2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan
dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat madani yang
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3) Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh
dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi serta
mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah
lingkungan.
4) Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia
dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya para
penyelenggara pemerintahan.
Misi Kota Surakarta tersebut juga memuat tentang pelaksanaan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang termasuk di dalamya adalah
perlindungan terhadap anak di Surakarta. Oleh karena itu, pemerintah berupaya
mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) melalui Tim Pelaksana
Pengembangan KLA yang melibatkan beberapa institusi internal, LSM, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Perguruan Tinggi. Adapun institusi internal pemerintah yang menangani bidang
kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak yang dapat dilihat
pada tabel 2.5 berikut ini.
Tabel 2.5
Institusi Internal Pemerintah dalam Program Kota Layak Anak
VISI-MISI TUJUAN PERANAN DALAM KLA
1 2 3 1. DKRPP&KB
VISI: Terwujudnya sumber daya manusia dalam keluarga dan masyarakat yang mampu mandiri dan sejahtera. MISI: a) Tersusunnya data yang akurat di
bidang kemasyarakatan guna memberikan informasi yang lengkap dalam upaya mewujudkan pelayanan yang prima kepada masyarakat.
b) Mendorong peningkatan peran masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab dalam melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
c) Menjalin kemitraan secara sinergis dengan pemerintah dan seluruh elemen masyarakat yang bergerak di bidang kemasyarakatan.
a) Untuk lebih memberdayakan peranan organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, organisasi keagamaan, LSM dan organisasi lainnya di dalam melaksanakan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat bersama-sama dengan pemerintah.
b) Untuk lebih meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi masyarakat marginal yang mengalami berbagai permasalah sosial.
c) Untuk lebih memberdayakan keluarga dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.
Melaksanakan pelayanan di bidang sosial Melaksanakan Monitoring dan evaluasi
2. DINKES VISI: Terwujudnya budaya hidup bersih dan sehat serta mutu pelayanan menuju Solo Sehat 2010 MISI: a) Memberdayakan kemandirian
masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.
b) Melaksanakan penanggulangan masalah kesehatan individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan.
c) Meningkatkan kinerja dan upaya kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau.
d) Memantapkan manajemen
a) Menumbuhkan pola hidup sehat dengan menciptakan lingkungan hidup yang kondusif bagi upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
b) Meningkatnya perilaku hidup sehat dengan memberdayakan individu, keluarga dan masyarakat.
c) Tersedianya layanan informasi yang terjangkau, rasional dan berkesinambungan.
Melaksanakan pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit Monitoring dan evaluasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kesehatan yang dinamis dan akuntabel.
3. DINSONAKER & TRANS VISI: Terwujudnya tenaga kerja yang profesional. Berdaya saing tinggi dan hubungan industrial yang harmonis serta perlindungan tenaga kerja. MISI: a) Menciptakan kualitas
profesinalisme aparatur. b) Perluasan kesempatan kerja dan
penempatan tenaga kerja. c) Menciptakan tenaga kerja yang
terampil, mandiri serta profesinal. d) Menciptakan hubungan industrial
yang harmonis guna mewujudkan ketenangan kerja dan usaha agar tercipta kesejahteraan pekerja dan keluarga.
e) Meningkatkan pengawasan norma kerja serta keselamatan kesehatan kerja untuk perlindungan pekerja.
Untuk lebih memberdayakan keluarga dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.
Melaksanakan pelayanan di bidang pelayanan umum Monitoring dan evaluasi
4. DISDIKPORA VISI: Terwujudnya masyarakat Surakarta yang beriman dan bertaqwa, cerdas, sehat, berprestasi dan berbudaya. MISI: a) Mewujudkan masyarakat
Surakarta yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
b) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, inovatif serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
c) Mewujudkan masyarakat yang gemar olahraga, memiliki kesegaran jasmani dan menghasilkan bibit olahragawan yang berprestasi.
d) Mewujudkan generasi muda yang tangguh, terampil dan produktif.
e) Mewujudkan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, berdaya tahan dan mampu memfilter budaya asing.
Meningkatkan sumber daya manusia agar mempunyai kecerdasan yang tinggi, mampu berkreasi dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lewat proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga mampu menjuarai lomba–lomba kreatifitas, memiliki nilai akademis tinggi, serta mampu menciptakan teknologi tepat guna.
Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah Monitoring dan evaluasi
Dari tabel 2.5 dapat diketahui peranan masing-masing institusi internal
pemerintah. DKRPP&KB berperan Melaksanakan pelayanan di bidang sosial dan
melaksanakan monitoring dan evaluasi, DINKES berperan melaksanakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit dan monitoring &
evaluasi, DINSONAKER&TRANS berperan melaksanakan pelayanan di bidang
pelayanan umum dan monitoring & evaluasi, dan DISDIKPORA berperan
Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah dan
monitoring & evaluasi.
Bagan organisasi pada masing-masing institusi internal (lihat lampiran 1-4).
B. Gambaran Permasalahan Anak di Surakarta
Permasalahan anak di Surakarta mencakup masalah anak putus sekolah, masalah
kekerasan anak, masalah anak terlantar, dan masalah pekerja anak. Tabel 2.6 berikut ini
menggambarkan berbagai persoalan tentang pendidikan anak di Kota Surakarta.
Tabel 2.6
Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang, dan Putus Sekolah di Kota Surakarta Tahun
2006/2007
Tingkat Pendidikan
Lulusan 2006/2007
Siswa 2005/2006
Mengulang 2006/2007
Putus Sekolah
Siswa Tk VI
2005/2006 1 2 3 4 5 6
SD 9.940 64.340 1.650 23 10.773 MI 76 259 14 0 45
SMP 9.347 34.445 327 169 10.825 MTs 700 2.587 21 13 790 SMA 6.583 20.442 157 100 6.876 MA 667 2.243 9 0 741
SMK 6.590 20.897 142 242 7.095 JUMLAH 33.903 145.213 2.320 547 37.145
Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007
Berdasarkan tabel 2.6 dapat dilihat kondisi pendidikan dasar dan menengah di Kota
Surakarta di mana masih banyak jumlah anak putus sekolah di Kota Surakarta termasuk
dalam usia wajar 9 tahun. Angka putus sekolah di jenjang SMK sebesar 242 anak, SMP
sebesar 169 anak, dam SD sebesar 23 anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah kekerasan anak. Anak
yang menjadi korban kekerasan adalah anak yang mengalami penderitaan fisik, psikis,
ekonomi, dan seksual. Ada beberapa faktor penyebab anak terjebak dalam ESKA, yaitu (1)
pengalaman seksual dini terutama pengalaman menjadi korban kekerasan seksual.
Akibatnya, anak merasa tidak berharga lagi dan tidak memiliki masa depan. Situasi ini
sering dimanfaatkan oleh orang lain untuk membujuk anak masuk dunia prostitusi. (2)
Keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Di banyak kasus
dijumpai anak dilacurkan memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Ini
menyebabkan anak mencari sosok tempat perlindungan alternatif dari teman maupun
lingkungan yang mau menerima mereka. Dua faktor tersebut merupakan faktor utama yang
menyebabkan anak terjebak dalam ESKA. Anak korban ESKA sangat rentan memperoleh
kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, dan ditampar. Tabel 2.7 berikut ini
menggambarkan kekerasan anak yang dibagi ke dalam beberapa kategori.
Tabel 2.7
Kategori Kekerasan yang Dialami Anak
No Kategori
Kekerasan Jumlah Persentase
(%) 1 2 3 4
1 Kekerasan Seksual 26 53,06
2 Penganiayaan 4 8,16 3 Pelarian 2 4,08 4 ESKA 17 34,69
Jumlah 49 100 Sumber Data : PTPAS Tahun 2007
Berdasarkan tabel 2.7 dapat diketahui bahwa kategori kekerasan yang paling banyak
dialami anak yaitu kekerasan seksual dengan persentase 53,06%. Sedangkan persentase
kekerasan anak yang terendah yaitu pelarian pada anak dengan persentase 4,08%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Selain masalah anak putus sekolah dan masalah kekerasan anak, masalah anak
terlantar juga terjadi di Surakarta. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. (UU No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan data Kota Surakarta pada tahun 2006
tercatat jumlah anak terlantar sebanyak 1.048 anak. Adapun gambaran banyaknya anak
terlantar di Surakarta dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut ini:
Tabel 2.8
Jumlah Anak Terlantar di Kota Surakarta Tahun 2006
Kategori Jenis Kelamin
Jumlah L P 1 2 3 4
Usia <5 tahun 199 167 366 Usia - 18 tahun 378 304 682 Jumlah 577 471 1.048
Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta tahun 2006
Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah anak terlantar. Faktor
utama yang menyebabkan anak menjadi pekerja anak yakni persoalan ekonomi, sehingga
anak-anak dengan sukarela atau terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian
keluarga. Permasalahannya adalah semakin banyak anak yang bekerja di sektor pekerjaan
terburuk anak. Sebetulnya anak tidak boleh bekerja. Kalaupun anak menjadi pekerja anak,
maka mereka harus mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan haknya. Tabel 2.9
menunjukkan jenis pekerjaan dan jumlah anak yang bekerja menurut jenis kelamin tahun
2005, 2006, dan 2007.
Tabel 2.9
Pekerja Terburuk Anak Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005, 2006, dan 2007
No Jenis Pekerjaan L P Jumlah 1 2 3 4 5 1 Pedagang asongan - - - 2 Pemulung 5 3 8 3 Pedagang di tempat - - -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4 Tetap 1 1 2 5 Sektor industri kecil/RT 25 20 45 6 Besar/sedang - - - 7 Sektor Pertanian - - - 8 Sektor Angkutan - - - 9 Sektor Jasa 16 38 54 10 Pengamen - - - 47 62 109
Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta
Tabel 2.9 diketahui dari tahun 2005-2007 jumlah anak yang bekerja sebesar 109 anak.
Anak yang bekerja di sektor jasa menunjukkan angka tertinggi sebesar 54 anak sedangkan
anak yang bekerja tetap menunjukkan angka terendah sebesar 2 anak. Hal ini menjadi
keprihatinan kita bersama karena hak-hak anak kurang terpenuhi karena dia dituntut untuk
bekerja.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian dan pembahasan tentang
responsivitas pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak mencakup 1)
kemampuan mengenali kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas
pelayanan perlindungan anak, 3) kemampuan mengembangkan program perlindungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
anak. Selain itu, akan dibahas kendala dan upaya pemerintah dalam melaksanakan
perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak.
1. Kemampuan mengenali kebutuhan anak
Mengemban predikat Kota Layak Anak menjadi kebanggaan sekaligus tantangan
bagi Kota Solo. Pada kenyataannya mewujudkan perlindungan anak bukan merupakan
hal yang mudah. Dalam hal kemampuan mengenali kebutuhan anak, Pemerintah Kota
Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan
permasalahan anak. Tetapi, pemerintah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya
untuk memperoleh data. Di bidang perlindungan anak, situasi kasus ESKA di Surakarta
diketahui melalui pemetaan PPK UNS pada tahun 2004. PPK UNS memetakan ada 117
korban, sedangkan pada tahun 2008 memetakan ada 164 anak korban prostitusi dan
perdagangan anak untuk tujuan seksual. Selain itu, Yayasan Kakak pada periode 2005-
2008 menjangkau 110 anak korban ESKA. Anak korban ESKA disebabkab beberapa
faktor, yaitu sifat anak yang labil sehingga mencoba segala hal, pergaulan,
permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
staf Yayasan Kakak (N9):
“...kami sering bertanya pada anak-anak korban ESKA yang kami tangani, kebanyakan mereka menjadi korban ESKA karena masih labil, pergaulan, masalah keluarga, dan masalah ekonomi...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2009) Permasalahan yang sering dialami anak korban ESKA ini adalah sering
mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Untuk anak korban ESKA
yang mangkal di pinggir jalan, mereka sering mengalami garukan bahkan bisa enam
kali dalam seminggu. Dalam garukan ini antara anak dan dewasa ditempatkan dan
diberlakukan sama. Selain itu, mereka juga sering mengalami kesehatan reproduksinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mereka tidak tahu harus kemana bercerita dan periksa. Bahkan kebanyakan anak-anak
ini tidak tahu informasi berkaitan dengan HIV/AIDS, mereka hanya tahu kalau dia
harus disuntik KB agar tidak hamil. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua
PPAP Seroja (N10):
“...anak-anak yang digaruk diperlakukan sama, selain itu anak-anak yang menjadi korban ESKA tidak tahu bahayanya HIV/AIDS, taunya cuma suntik KB...” (Wawancata tanggal 17 Maret 2009) Berdasarkan wawancara dengan staf Yayasan Kakak dan Ketua PPAP Seroja,
anak-anak korban ESKA membutuhkan perlindungan khusus dari pemerintah dan
pihak-pihak yang peduli akan permasalahan anak, antara lain :
· Perlu adanya tempat rehabilitasi untuk anak korban ESKA.
· Tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.
· Perlu adanya sosialisasi tentang kesehatan reproduksi karena anak-anak yang
berada di lingkungan prostitusi tidak tahu tentang HIV/AIDS.
Di bidang kesehatan, permasalahan anak gizi buruk juga harus mendapat
perhatian. Pada tahun 2005 anak gizi buruk sebesar 496 dan pada tahun 2006
meningkat menjadi 659. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak
(N8) :
“Anak gizi buruk pada tahun 2005 496 dan meningkat 659 di tahun 2006. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Surakarta.” (Wawancara tanggal 6 April 2009)
Masalah gizi dijumpai akibat kekurangan berbagai jenis zat makanan. Kasus gizi
buruk banyak dijumpai pada anak-anak, khususnya anak balita. Karena pada masa ini
adalah masa yang paling rawan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rendahnya
status gizi masyarakat dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. Status gizi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
balita dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kurangnya wawasan dan pengetahuan
ibu tentang gizi, sehingga keaktifan ibu untuk datang ke Posyandu rendah. Orang tua
yang kurang kooperatif beralasan tidak bisa menunggui anaknya ke rumah sakit juga
bisa menjadi penyebab gizi buruk.
Berdasarkan adanya kasus anak gizi buruk, menurut Yayasan Kakak anak-anak
membutuhkan adanya makanan tambahan untuk anak gizi buruk serta adanya program-
program yang menunjang untuk mengatasi anak gizi buruk.
Bidang pendidikan. Pendidikan merupakan adalah salah satu hak dasar yang mesti
diperoleh anak dan merupakan kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh pemerintah,
orang tua, dan masyarakat. Konvensi Hak Anak memberikan hak kepada setiap anak
untuk memperoleh pendidikan dan mewajibkan Negara untuk menyediakan pendidikan
dasar yang wajib gratis bagi semua anak (Pasal 28). Dengan demikian asumsinya
adalah tidak ada lagi anak putus sekolah serta peningkatan sumber daya manusia.
Namun, permasalahan mengenai anak putus sekolah merupakan keluhan yang tiada
henti dihadapi oleh Kota Solo. Khususnya Kecamatan Jebres dimana wilayah ini
memiliki angka putus sekolah tertinggi dari lima kecamatan yang ada di Kota Solo.
Jumlah putus sekolah usia antara 7-12 tahun sebanyak 1546 terdiri laki-laki 5516 anak
dan perempuan 6030 anak.
Jumlah tersebut cukup besar untuk satu kecamatan. Salah satu alasan yang
dikemukakan, terutama bagi anak putus sekolah adalah karena dipaksa memasuki dunia
kerja guna membantu orang tua. (www.kr.com). Hal ini juga dikemukakan oleh Ketua
PPAP Seroja, sebagai berikut (N10) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“…anak putus sekolah di Surakarta masih tergolong tinggi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah karena agar tercipta Kota yang Layak Anak…” (Wawancara tanggal 6 Mei 2009)
Berdasarkan kasus anak putus sekolah, PPAP Seroja mengatakan bahwa anak-
anak sangat membutuhkan fasilitas dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli
terhadap permasalahan anak, antara lain :
· Adanya sekolah gratis/terjangkau untuk anak-anak kurang mampu agar orang tua
mereka tidak merasa terbebani.
· Perlu adanya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak agar orang tua, anak, dan
masyarakat menyadari pentingnya pendidikan.
Bidang partisipasi anak. Melibatan dan mendengarkan suara anak dalam proses
pengambilan keputusan disegala tingkatan pada dasarnya adalah indikasi pemberian
penghargaan orang dewasa, masyarakat, maupun negara terhadap anak. Ketersediaan
dan aksesbilitas fasilitas pada anak juga merupakan permasalahan yang menjadi agenda
bagi pemerintah Kota Solo. Memang dalam upaya pengebangan kota sudah ada
berbagai fasilitas misalnya Taman Cerdas yang dibangun di beberapa kecamatan.
Namun, fasilitas tersebut kurang bisa diakses khususnya oleh anak kurang mampu dan
difabel. Hal ini dikarenakan susahnya memberikan sosialisasi kepada anak-anak
tersebut. Mereka lebih suka turun ke jalan daripada mendengarkan sosialisasi dari
pemerintah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga P3G UNS
(N11) :
“…fasilitas anak untuk anak yang marginal/anak kurang mampu itu belum bisa menyentuh. Yang ada taman cerdas yang megah, tetapi belum menyentuh anak-anak marginal dan difabel. (Wawancara tanggal 7 April 2009)
Berdasarkan kasus di atas, kebutuhan anak terkait partisipasi anak antara lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
· Perlu ada wadah untuk menampung aspirasi anak.
· Perlu ada dana untuk memfasilitasi partisipasi anak.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Surakarta
baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mengenali
kebutuhan anak. Berdasarkan wawancara kepada Kepala P3G UNS, dinyatakan bahwa
upaya mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) dilakukan Pemerintah Kota Surakarta
melalui penandatanganan MOU tentang KLA antara Pemerintah Kota Surakarta dengan
lembaga di luar pemerintah seperti lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender,
organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli
terhadap perlindungan anak. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kepala P3G UNS bahwa
penandatanganan MOU tersebut merupakan tonggak kemitraan bersama untuk
mendukung terwujudnya KLA sesuai tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga
yang memiliki kemitraan terhadap perlindungan anak. (Wawancara tanggal 16 Maret
2009)
2. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan
anak
Dalam menangani permasalahan anak di Surakarta, pemerintah menyusun agenda
dan prioritas pelayanan yang dibagi ke dalam beberapa bidang, yaitu: perlindungan,
kesehatan, pendidikan, dan partisipasi anak.
Tabel 3.1
Agenda dan Prioritas Pelayanan
Bidang Perlindungan Anak
Permasalahan Agenda dan Prioritas Pelayanan
1 2 3 Perlindungan anak ESKA · Penyelenggaraan rehabilitasi sosial,
dengan adanya Rumah Rehabilitasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Graha Yoga Pertiwi · Adanya PTPAS
Kesehatan Gizi buruk · Program Makanan Tambahan (PMT) · Pondok Kasih Ibu (POKASI)
Pendidikan Anak putus sekolah
· Pendidikan wajib belajar 9 tahun · Kejar paket untuk anak putus sekolah
Partisipasi anak Rendahnya partisipasi anak
· Dibentuknya FAS (Forum Anak Surakarta)
Sumber: DKRPP&KB
Di bidang perlindungan anak, khususnya kasus ESKA pemerintah melakukan
prioritas pelayanan melalui penyelenggaraan rehabilitasi sosial dengan adanya Rumah
Rehabilitasi Graha Yoga Pertiwi. Graha Yoga pertiwi adalah tempat yang berfungsi
memberikan perlindungan dan pelatihan ketrampilan bagi perempuan dan anak korban
ESKA dan perdagangan anak. Diharapkan korban tersebut dapat pulih secara psikologis
atau mental maupun kesehatan dan mampu bersosialisasi dengan keluarga dan
masyarakat. Melalui penyelenggaraan rehabilitasi sosial ini, diharapkan anak korban
ESKA mendapat ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Selain itu, pemerintah
membentuk PTPAS. PTPAS merupakan gabungan dari beberapa
institusi/lembaga/organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan
perempuan dan anak, serta melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak (N9) :
“…sudah ada jaring bersama/kerjasama pemerintah terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan stakeholder-stakeholder yang lain, sehingga bisa terbentuk PTPAS…” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009) Di bidang kesehatan, masalah anak gizi buruk juga perlu mendapat perhatian.
Untuk mengatasi anak gizi buruk, pemerintah membuat Program Makanan Tambahan
(PMT). Fungsi PMT adalah sebagai makanan tamabahan menjadi makanan utama yaitu
sarapan pagi. Selain itu, pemerintah membentuk Pondok Kasih Ibu (POKASI) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, POKASI juga berfungsi
sebagai Posyandu anak balita setiap bulan. Di samping itu, POKASI juga berfungsi
sebagai Posyandu Lansia.
Di bidang pendidikan, masalah anak putus sekolah menjadi permasalahan
yang sulit untuk diselesaikan. Untuk mengatasi anak putus sekolah, pemerintah
membuat program wajib belajar 9 tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun
pemerintah membuat kebijakan yang responsif terhadap persoalan tersebut yakni
berupa pemberian beasiswa pendidikan. Wajib belajar 9 tahun merupakan dasar
operasional bagi Pemerintah Surakarta untuk menyelenggarakan berbagai
pelayanan pendidikan bagi anak dalam hal ini pelayanan beasiswa. Asumsinya
semua warga Surakarta harus mengenyam pendidikan paling tidak 9 tahun. Selain
itu, pemerintah membuat program Kejar paket untuk anak putus sekolah. Program
ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk menjamin terpenuhinya hak
anak akan pendidikan terutama bagi mereka yang tidak lulus dalam sekolah.
Kesempatan pendidikan juga diberikan kepada anak yang tidak bisa mengenyam
pendidikan formal misalnya bagi anak putus sekolah, anak jalanan, anak kasus
ESKA, dan anak yang bekerja. Kejar paket A adalah untuk kategori SD, kejar paket
B untuk kategori SMP dan kejar paket C untuk kategori SMA. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6):
“Anak putus sekolah diarahkan pada pendidikan kesetaraan yaitu Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C. Paket A setara dengan SD, Paket B setara dengan SMP, Paket C setara dengan SMA.” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Di bidang partisipasi anak, khususnya dalam pemenuhan hak partisipasi anak,
Pemerintah Kota Surakarta dalam Program Pengembangan Kota Layak Anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(KLA) membentuk Forum Anak Surakarta (FAS). FAS merupakan aspirasi anak-
anak. Sekretaris Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS (N11) :
“…partisipasi anak di Surakarta sudah lumayan ya mbak, anak sudah mulai dilibatkan oleh pemerintah, kami juga terlibat dalam FAS...” (Wawancara tanggal 17 Maret 2009). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui kemampuan pemerintah
menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan
kebutuhan anak. Namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota
Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk,
anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting
yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk
anak jalanan/terlantar. Untuk mengetahui lebih lanjut perkembangan program
pemerintah, apakah berjalan sesuai harapan anak dan pihak-pihak terkait, akan
dijelaskan pada pembahasan selanjutnya mengenai kemampuan mengembangkan
program perlindungan anak.
3. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak
Kemampuan pemerintah dalam mengembangkan program perlindungan anak
akan dijelaskan sesuai dengan bidang-bidang perlindungan anak yang meliputi: bidang
perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak.
a. Bidang Perlindungan Anak
Kasus ESKA pada anak di Kota Surakarta harus mendapat perhatian yang
serius oleh semua pihak. Melihat keadaan ini, maka lahirlah gagasan untuk
membangun jaringan kerjasama antar institusi lintas sektor untuk mengembangkan
Pelayanan Terpadu bagi korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Surakarta. Kebutuhan ini juga didukung oleh berbagai kebijakan, salah satunya
Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
Menteri Sosial, Menteri Kesehatan dan KAPOLRI (SKB 3 Menteri dan KAPOLRI
yang ditandatangani sebagai langkah awal untuk menjadi dasar adanya pelayanan
terpadu untuk korban Kekerasan).
Setelah melalui serangkaian aktivitas, maka disepakati adanya dokumen
Kesepakatan Dasar Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta
yang bernama Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta
(PTPAS). PTPAS berbentuk konsorsium1, yaitu gabungan dari beberapa
institusi/lembaga/organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan
perempuan dan anak, serta melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. DKRPP&KB selaku
koordinator umum PTPAS bertugas mengkoordinasikan seluruh divisi yang ada di
PTPAS. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Seksi Pemberdayaan Masyarakat
DKRPP&KB (N1) :
”Untuk mengatasi kekerasan perempuan dan anak atau pelanggaran hak anak, di kota Surakarta ada PTPAS. PTPAS ini berupa konsorsium yang terdiri atas 16 unsur diantaranya pemerintah kota Surakarta dalam hal ini DKRPP&KB, rumah sakit, LSM, organisasi pemerintah, poltabes dan lain-lain. PTPAS ini terbentuk pada tahun 2004 dan bertugas menangani korban kekerasan perempuan dan anak-anak” (wawancara 16 Februari 2009)
PTPAS juga melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak sesuai
tugas masing-masing, selaku dinas yang mewakili Pemeritah Kota Surakarta dalam
penanganan masalah tersebut ditunjuklah DKRPP&KB sebagai koordinator umum
1 Konsorsium adalah gabungan berbagai organisasi (sosial, kepemudaan, dsb) untuk mengadakan aktivitas/gerakan bersama (biasanya secara tetap), namun masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri. (Kamus Besar Bahasa Indonesia - Edisi Baru, disusun oleh Team Pustaka Phoenix. http://id.wikipedia.org/wiki/Konsorsium)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang bertugas mengkoordinir setiap institusi/lembaga/organisasi yag tergabung
dalam PTPAS tersebut. Tugas lembaga/organisasi yang tergabung dalam PTPAS
dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2
Data Tugas Lembaga/Organisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Yang tergabung dalam PTPAS
No Nama
Lembaga/Organisasi Divisi Tugas
1 2 3 4 1 DKRPP&KB Kota
Surakarta Koordiator Umum
Koordiator Umum Tugas: Mengkoordinasikan seluruh divisi yang ada di PTPAS, memastikan kerja seluruh divisi sesuai dengan job description-nya masing-masing, mengkoordinasikan monitoring dan evaluasi PTPAS, pelaksanaan koordinasi, penyelenggaraan pusat informasi dan dokumentasi, koordinasi sarana-prasarana, koordinasi pengembangan jaringan. Co. Divisi Pendidikan Publik Tugas: Melakukan sosialisasi program dan layanan PTPAS, melakukan pengorganisasian masyarakat agar mampu melakukan pencegahan terhadap KtPA, menyediakan dan menyebarluaskan informasi tentang KtPA bagi masyarakat, melaksanakan fungsi kehumasan, mengupayakan perubahan kurikulum pendidikan formal dengan jalan memberikan masukan tentang materi KtPA. Co. Divisi Advokasi Tugas: Mengakses, mengumpulkan dan menganalisa data dari Pusat Data PTPAS atau sumber data lain, melakukan study kebijakan dan isu KtPA, melakukan lobby dan negosiasi kepada pengambil kebijakan. Co. Divisi Pelayanan Tugas: Menjadi pos layanan PTPAS, memberikan layanan medis-non medis, menyediakan fasilitas yang mendukung pelayanan korban, mengupayakan shelter.
2 Poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta
Co. Divisi Pelayanan
3 Yayasan Kakak Co. Divisi Dokumentasi dan Informasi
4 GOWS Co. Divisi Pendidikan Publik
5 SPEK-HAM Co. Divisi Advokasi
6 RPK Poltabes Surakarta
Divisi Pelayanan
7 Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surakarta
Divisi Pelayanan
8 ATMA (Advokasi Transformasi Masyrakat)
Divisi Pelayanan dan Divisi Advokasi
9 SARI (Social Analysis Research Institute)
Divisi Pelayanan dan Divisi Advokasi
10 Yayasan Talenta Divisi Pelayanan
11 LEHAMAS Aisyiah Jawa Tengah
Divisi Pelayanan dan Divisi Pendidikan Publik
12 Yayasan Krida Paramitha
Divisi Pelayanan dan Divisi Dokumentasi dan Informasi
13 Kaukus Perempuan Surakarta
Divisi Dokumentasi dan Informasi
14 Bappeda Surakarta Divisi Advokasi
15 PKK Kota Divisi Pendidikan Publik
16 RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Divisi Pelayanan
Sumber: PTPAS
PTPAS terdiri dari 16 lembaga/organisasi pemerintah maupun NGO (Non
Government Organisation) yang memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam
penanganan persoalan perempuan dan anak yang tergabung didalam jaringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PTPAS. Misalnya pihak Rumah sakit melakukan visum dan perawatan kesehatan,
Poltabes melakukan penyidikan dan penyelidikan, dan LSM melakukan tugasnya
sebagai pendamping korban. Pertanggungjawaban dari masing-masing divisi bukan
kepada DKRPP&KB melainkan bersama-sama. Disini peran DKRPP&KB yaitu
sebagai koordinator dari masing-masing divisi saja.
Penanganan ESKA2 di Surakarta sendiri telah diusahakan beberapa pihak,
salah satunya Pemerintah Kota Surakarta. Berdasarkan SK Walikota Nomor
462/78/1/2006, Pemkot menyusun kegiatan bertajuk Rencana Aksi Kota
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAK PESKA) Kota Surakarta.
Program lima tahunan ini dilaksanakan sebuah tim yang bernama Gugus Tugas.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Seksi Pemberdayaan Masyarakat
DKRPP&KB (N1) :
“Ada lima bidang konsentrasi program dalam Gugus Tugas, yakni Koordinasi dan Kerjasama, Pencegahan, Perlindungan, Pemulihan dan Rehabilitasi, serta Perlindungan Anak. Sedangkan ketua umumnya dipegang oleh Sekretaris Daerah Kota Surakarta. Anggota Gugus Tugas ini adalah kumpulan dari berbagai elemen masyarakat yang konsen terhadap perlindungan anak” (Wawancara 16 Februari 2009)
Dalam menangani masalah kekerasan anak, DKRPP&KB melakukan
tindakan-tindakan. Yang pertama adalah tindakan preventif atau pencegahan agar
masyarakat bisa menyikapi permasalahan tersebut sebagai persoalan serius yang
perlu dicegah sebelum tindakan kekerasan pada anak terjadi di lingkungan
sekitarnya. Selain itu pendampingan pada anak sekolah dan anak yang rentan
menjadi korban kekerasan seksual diharapkan dapat membekali anak-anak dengan
2 ESKA adalah Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. (www.gugustugastrafficking.org)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pengetahuan untuk mengantisipasi lingkungan di sekitarnya serta melindungi
dirinya sendiri dari bahaya kekerasan seksual pada anak. Kedua, yaitu penanganan.
Tindakan penanganan dilakukan apabila telah terjadi kekerasan seksual pada anak.
Biasanya dilihat dari korban yang melapor. Tindakan penanganan ini dilakukan
oleh beberapa lembaga terkait seperti Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Poltabes
Surakarta selaku penyidik dari kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi,
LSM terkait, dalam hal ini Yayasan Kakak yang memberikan pendampingan pada
korban kekerasan seksual pada anak serta DKRPP&KB sendiri yang membuat
kebijakan dalam penanganan tersebut.
Korban yang mengalami kekerasan seksual diarahkan untuk melaporkan
kejadian yang dialaminya ke RPK Poltabes Surakarta untuk selanjutnya
ditindaklanjuti dengan proses penyidikan sampai dengan proses pelimpahan berkas
kasus ke kejaksaan untuk selanjutnya dijalankan proses hukum bagi tersangka.
Sedangkan Yayasan Kakak bertugas untuk mendampingi korban, memberikan
dukungan secara moral untuk terus menjalankan proses hukum hingga vonis
dijatuhkan pada tersangka.
Mekanisme penanganan kekerasan seksual pada anak di Surakarta yang
dilakukan oleh DKRPP&KB adalah memberikan pelayanan langsung pada korban
melalui Divisi Pelayanan PTPAS dalam hal ini adalah RPK Poltabes Surakarta.
RPK bertugas untuk menerima semua bentuk laporan pertama dari korban
kekerasan seksual pada anak di Surakarta serta menyidik kasus yang dilaporkan
korban tersebut untuk ditindaklanjuti prosesnya secara hukum. Sedangkan untuk
pelayanan visum dan kesehatan korban diserahkan kepada poliklinik Polwil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Surakarta selaku koordinator dari divisi pelayanan PTPAS dan RSUD Dr Moewardi
Surakarta. Kemudian untuk pendampingannya korban diserahkan pada lembaga
terkait dalam hal ini kepada Yayasan Kakak. Tindakan nyata yang telah dilakukan
PTPAS sebagai berikut:
Box 1 Pencegahan dan penanganan ESKA di Karesidenan Surakarta 3 Juni 2008 News Catatan Kegiatan Yayasan Kakak, periode Maret s/d Mei 2008. Untuk kegiatan pencegahan ESKA di tingkat masyarakat, hal-hal yang dilakukan oleh Yayasan Kakak adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi tentang persoalan yang terkait dengan ESKA di
tingkat SMP kerjasama dengan Terres des Homes. Dalam waktu 3 bulan ini (Maret-Mei 2008) Yayasan Kakak masuk ke dua sekolah yang anak-anaknya rentan menjadi korban ESKA.
2. Pendampingan anak dan orang tua di wilayah yang rentan. Dalam waktu 3 bulan ini, Yayasan Kakak melakukan pendampingan. Wilayah rentan yang didampingi adalah salah satu wilayah di mana tempat tersebut menjadi pusat prostitusi.
3. Sosialisasi lewat media elektronik (Radio) kerjasama dengan Terres des Homes. Saat ini media elektronik yang rutin melakukan talkshow adalah Radio GSM FM dan PTPN FM.
4. Kegiatan penanganan korban kekerasan. Ada beberapa pendampingan yang dilakukan yaitu pendampingan hukum atas kasusnya, pendampingan psikologis untuk anak dan keluarga, dan pendampingan medis.
Selain itu, untuk perbaikan ke depan, Yayasan Kakak memberikan masukan-masukan dan rekomendasi kepada pihak pemerintah selaku koordinator pelayanan terpadu. (http://kakak.org/home.php?page=news&id=97)
Dari catatan kegiatan Yayasan Kakak, dapat diketahui upaya-upaya PTPAS
untuk mencegah dan menangani ESKA di Surakarta. Penekanan bahwa anak
sebagai korban sangat dibutuhkan sehingga bisa mendukung untuk melakukan
tindakan penanganan kasus ESKA yang berbasis di masyarakat. Artinya, bagaimana
ketika ada kasus di sekitar masyarakat, mereka bisa melakukan tindakan
penanganan sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Lewat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
media ini juga bisa memberikan gambaran kepada masyarakat tentang beberapa hal
yang terkait dengan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kasus ESKA. Dengan
dipaparkannya penyebab di tingkat masyarakat, mereka akan lebih mengetahui
bagaimana melakukan tindakan pencegahan, karena tindakan pencegahan dapat
dimulai dari tingkat masyarakat yang paling kecil, yaitu keluarga.
Mekanisme penanganan korban kekerasan seksual pada anak yang dilakukan
oleh Divisi Pelayanan PTPAS dapat digambarkan secara visual dengan skema
berikut ini:
Gambar 3.1
Skema penanganan korban pada Divisi Pelayanan PTPAS
Sumber: DKRPP&KB
Dari gambar 3.1 dapat dilihat bahwa penanganan korban kekerasan seksual
pada anak dilakukan secara bersama-sama antar lembaga yang terkait dengan
permasalahan tersebut. Kemanapun korban datang untuk mengadukan persoalan
kekerasan seksual yang menimpanya, lembaga tersebut akan memberikan
penanganan sesuai dengan tugasnya. Sedangkan untuk penanganan lebih lanjut,
lembaga yang menerima korban pertama kali akan merujuk korban sesuai dengan
korban
RPK
Rumah sakit
LSM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kebutuhan penanganan korban secara langsung melalui telepon kepada lembaga
lainnya yang terkait dengan penanganan tersebut.
Dari uraian mengenai penanganan kekerasan seksual ada anak yang dilakukan
DKRPP&KB Kota Surakarta di atas, dapat dilihat bahwa peran dari DKRPP&KB
tersebut adalah memfasilitasi dalam mengkoordinir lembaga-lembaga terkait
dengan penangana kekerasan seksual pada anak di Surakarta sesuai dengan bidang
penganan masing-masing. Karena masalah penanganan kekerasan seksual pada
anak adalah masalah penanganan yang kompleks dan melibatkan banyak
instansi/lembaga/organisasi yang telibat sesuai dengan bidang penanganannya
masing-masing.
Ketiga yaitu tindakan pasca penanganan (pemulihan). Dampak dari kekerasan
seksual pada korban biasanya adalah dampak kesehatan, fisik, psikologis, dampak
sosial. Selain itu biasanya korban mengalami trauma dan beban psikologis yang
cukup berat. Adanya rasa takut dan malu pada lingkungan atau masyarakat di
sekitarnya akan menjadi beban sosial yang berat bagi korban kekerasan seksual
khususnya pada anak. Tindakan pasca penanganan dilakukan untuk memulihkan
kondisi psikologis dari korban.
Tindakan pasca penanganan ini dilakukan oleh LSM terkait dan DKRPP&KB
sendiri. Tindakan pemulihan yang dilakukan oleh DKRPP&KB diselenggarakan
oleh Sub Dinas Pelayanan Rehabilitasi dan Bantuan Sosial dengan membuat panti-
panti anak yang mendorong kelompok atau forum-forum anak untuk menghadapi
permasalahn tersebut dengan suatu sikap yang positif agar hal tersebut tidak
terulang menimpa anak yang lain di kemudian hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sedangkan LSM yang terkait dengan permasalahan tersebut memberikan
pendampingan hingga kondisi psikologis korban benar-benar telah pulih dan bebas
dari trauma dengan cara memberikan konsultasi Psikologi pada korban. Selain itu,
tindakan pasca penanganan ini juga berbentuk pemberian motivasi pada korban
kekerasan seksual pada anak agar korban ini dapat kembali dalam kehidupan
sosialnya tanpa ada perasaan malu, takut, ataupun minder.
Box 2 Catatan Kegiatan Yayasan Kakak, Periode Maret s/d 2008 3 Juni News Untuk pencegahan terjadinya ESKA, Yayasan Kakak melakukan beberapa aktifitas, yaitu: 1. pendampingan keluarga. Pendampingan ini dilakukan untuk
memberikan pemahaman kepada keluarga korban tentang faktor resiko yang dapat dialami korban ESKA. Keluarga diharapkan akan dapat melakukan pengawasan terhadap perilaku dan pergaulan anak.
2. Pendampingan psikologis anak. Korban ESKA sangat rentan mengalami trauma akibat kekerasan yang dialaminya.
3. Pendampingan kelompok. Pendampingan ini bertujuan untuk mencegah agar anak tidak menjadi korban ESKA.( http://kakak.org/home.php?page=news&id=97)
Dari catatan Yayasan kakak periode Maret s/d Mei 2008 dapat diketahui
bentuk-bentuk pendampingan yang dilakukan Yayasan Kakak sebagai salah satu
LSM yang memperhatikan masalah anak di Surakarta. Hal ini dilakukan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kakak bahwa pengalaman
seksual dini dapat mendorong anak masuk dalam dunia ESKA.
Penanganan kekerasan seksual pada anak di Surakarta selain melibatkan
beberapa institusi/ lembaga/ organisasi yang terkait dengan permasalahan tersebut,
juga diperlukan dana guna menunjang operasional penanganan kekerasan pada anak
tersebut. Sumber dana dalam penanganan kekerasan seksual pada anak di Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diperoleh dari pemerintah dan swadaya dari beberapa lembaga yang terkait. Staf
Divisi Anak Yayasan Kakak (N8) mengatakan:
“Responsivitas pemerintah terhadap kasus kekerasan terhadap anak cukup bagus. Sudah ada jaring bersama/kerjasama pemerintah terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan stakeholder-stakeholder yang lain, sehingga bisa terbentuk PTPAS. Jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, pihak PTPAS sudah bisa menangani kasus ini baik secara medis, hukum dan psikologisnya, asal kasus ini dilaporkan sesuai dengan prosedur yang ada, mulai dari kepolisian.” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
Ia juga menambahkan:
“Kalo perlindungan anak di Surakarta, jika kita bicara dari sisi kebijakan, sudah ada kemajuan, karena memang kota Surakarta ditunjuk oleh pemerintah sebagai salah satu pilot project untuk pengembangan Kota Layak Anak diantara beberapa kota yang lain. Kalo kita bicara lebih riil lagi, memang perlu ada upaya-upaya atau peningkatan dalam berbagai hal mengenai sistem atau perlindungan terhadap anak. Karena kecenderungannya kita melihat kasus-kasus kekerasan terhadap anak justru menunjukkan gejala dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan. Kalo kita melihat, sudah ada daya tanggap dari pemerintah, sudah ada peraturan-peraturan daerah yang mulai disusun untuk melindungi anak. Diharapkan peran pemerintah lebih optimal, karena kekerasan pada anak dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan secara kuantitas.” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
Hal senada juga dikatakan oleh Ketua PPAP Seroja (N10):
“…responsivitas pemerintah Surakarta dalam menangani permasalahan anak jika dibandingkan kota-kota lain, sudah bisa dikatakan renponsif. Sudah ada kebijakan-kebijakan yang menyangkut perlindungan terhadap anak.” (wawancara 14 November 2008)
Menurut Yayasan Kakak dan LSM PPAP Seroja, responsivitas pemerintah
terhadap kasus kekerasan terhadap anak cukup bagus. Sudah ada jaring
bersama/kerjasama pemerintah terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
stakeholder-stakeholder yang lain, sehingga bisa terbentuk PTPAS. Jika dilihat dari
sisi kebijakan, sudah ada kemajuan, sudah ada peraturan-peraturan daerah yang
mulai disusun untuk melindungi anak. Kebijakan tersebut diantaranya: Kebijakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pengembangan Kota Layak Anak (KLA), adanya Rencana Aksi untuk menangani
kekerasan pada anak dan pekerja anak. Diharapkan peran pemerintah lebih optimal,
karena kekerasan pada anak dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan secara
kuantitas.
Mekanisme penanganan anak jalanan dan anak terlantar hampir sama dengan
mekanisme penanganan kasus ESKA. Pemerintah melakukan pendataan
bekerjasama dengan LSM dan tokoh masyarakat termasuk di dalamnya PSM
(Pekerja Sosial Masyarakat) dan Karangtaruna. Setelah mengetahui data, lalu
dilakukan identifikasi permasalahan yang ada. Setelah diketahui permasalahannya,
lalu dilakukan pembinaan terhadap mereka. Dalam pembinaan, ada kegiatan-
kegiatan yaitu pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Setelah mereka diberi ketrampilan, selanjutnya pemerintah memberikan paket
bantuan untuk sarana penunjang ketrampilan.
Pada tahun 2008, DKRPP&KB mempunyai alokasi anggaran sebesar Rp.
2.206.724.930,00 yang digunakan untuk anak di Surakarta. Pada tahun 2009 juga
mempunyai alokasi dana sebesar Rp. 967.394.955,00. Anggaran pada tahun 2009
lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2008 karena sebagian anggaran untuk
membayar hutang. Pada tahun 2010 pemerintah berencana membangun Taman
Cerdas.
Advokasi anggaran menjadi kebutuhan penting bagi PTPAS untuk bisa
menjalankan fungsi dan perannya dalam penanganan kasus kekerasan. PTPAS
memulai proses advokasi dengan cara melakukan audiensi bersama dengan masing-
masing Kepala Dinas terkait dan Bapeda, setelah terlebih dahulu melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
workshop untuk menyusun program dan kebutuhan anggaran. Upaya lobby juga
dilakukan melalui audiensi dengan Walikota Surakarta. Dalam proses tersebut,
PTPAS juga mengusulkan adanya kebijakan (peraturan daerah) yang memberikan
perlindungan bagi perempuan dan anak, sekaligus menjadi landasan yang kuat bagi
bekerjanya PTPAS. Proses lobby3 ini juga diperkuat melalui kunjungan serta
audiensi kepada partai politik dan calon anggota legislatif pada tahun 2004.
Alokasi anggaran pertama diperoleh tahun 2005 yaitu empat puluh lima juta
yang dialokasikan untuk anggaran pertemuan/koodinasi masing-masing divisi dan
membiayai visum yang dapat diakses dengan mekanisme re-emburstmen
(penggantian setelah dana digunakan). Anggaran tersebut dialokasikan melalui
dinas yang terkait dengan PTPAS, yakni DKRPP&KB yang juga merupakan
koordinator jaringan PTPAS.
Kekuatan MOU atau Kesepakatan Bersama antar institusi dan SK Walikota
adalah hal terpenting dalam proses advokasi anggaran. Pasca legalitas formal
diperoleh, penguatan dan koordinasi lebih intensif dilakukan untuk terus-menerus
memperbaiki mekanisme pelayanan karena PTPAS merupakan pelayanan terpadu
yang bukan satu atap. PTPAS dibangun untuk menguatakan masing-masing
organisasi pemberi layanan dan mengarahkan kepada pelayanan terpadu berbasis
komunitas.
3 Lobby adalah suatu kegiatan dari orang-orang yang berusaha mempengaruhi orang lain untuk suatu tujuan tertentu, baik itu sebuah lembaga pemerintahan maupun sebuah organisasi tertentu. Fungsi lobby : lobby ialah langkah awal dalam proses menuju negosiasi. Tujuan lobby adalah mempengaruhi orang lain untuk tujuan tertentu, baik dengan cara baik maupun kurang baik. Fungsi lobby sendiri adalah sebagai pembuka jalan negosiasi. Sedangkan, negosiasi bisa terjadi karena adanya konflik dan lobbying ada didalamnya untuk mengurangi konflik. (http://galaxy-semesta.blogspot.com/2009/06/tentang-lobby-dan-diplomasi.html)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Saat ini PTPAS telah mendapatkan alokasi anggaran tetap, bahkan selalu
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada rekapitulasi anggaran tahun 2008,
terdapat Rp.223.118.100,- yang dialokasikan untuk memberikan pelayanan dan
melakukan pencegahan terhadap korban kekerasan. Masih ada bentuk alokasi
lainnya yang bisa diakses di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya.
Bahkan pemerintah membangun sarana untuk rehabilitasi dan perlindungan bagi
korban kekerasan yang disebut Graha Yoga Pertiwi4. Selain alokasi anggaran dan
rumah rehabilitasi, pemerintah juga secara intensif mengkoordinasikan penyusunan
Peraturan Daerah untuk Perlindungan Perempuan dan Anak.
Dana dari pemerintah diperoleh melalui APBD baik APBD tingkat propinsi
maupun APBD kota Surakarta sendiri. hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1):
“...dana diperoleh dengan cara beragumentasi dan memberikan penjelasan pada Dewan anggaran dan DPR untuk bisa mengabulkan program-program yang sudah kita sepakati bersama, dana APBD juga terbatas. Jika tidak bisa dilaksanakan tahun ini, ya dilaksanakan tahun depan. Walaupun ada dana tetap, tetapi kasus kekerasan anak ini selalu meningkat, makanya sering ada kendala masalah dana...” (Wawancara 16 Februari 2009)
b. Bidang Kesehatan
Responsivitas pemerintah di bidang kesehatan dapat dilihat melalui
penanganan anak gizi buruk di Surakarta. Posyandu biasanya memberikan
informasi kepada pemerintah mengenai adanya anak gizi buruk. Lalu diadakan
pemeriksaan di Puskemas. Pemerintah juga melihat kondisi ekonomi keluarga
tersebut. Apabila membutuhkan pemeriksaan klinis, maka dilakukan rujukan ke
4 Graha Yoga Pertiwi adalah tempat yang berfungsi memberikan perlindungan dan pelatihan ketrampilan bagi perempuan dan anak korban eska, perdagangan anak sehingga diharapkan korban tersebut dapat pulih secara psikologis atau mental maupun kesehatan dan mampu bersosialisasi dengan keluarga, masyarakat serta mendapat ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya. (http://www.kotalayakanak.org)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
rumah sakit dan akan ditindaklanjuti di rumah sakit. Minggu ke 1 dan 2 anak
melakukan perawatan di rumah sakit. Apabila sudah membaik, minggu ke 3 anak
dikembalikan ke Puskesmas dan Posyandu. Mekanisme penanganan anak terkena
gizi buruk yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dapat digambarkan
dengan skema berikut ini :
Gambar 3.2
Skema penanganan anak gizi buruk
Sumber: Dinas Kesehatan
Dari gambar 3.2 menggambarkan bahwa anak terkena gizi buruk dibiayai
pemerintah melalui Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS). PKMS
adalah pemberian pemeliharaan pelayanan kesehatan yang meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diberikan oleh pemerintah bagi masyarakat
Surakarta pemegang kartu berobat berlangganan. Tujuannya adalah memberikan
jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat Kota Surakarta terutama bagi
masyarakat miskin. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Sie Perbaikan
Gizi Masyarakat, DINKES (N2):
“Anak gizi buruk ini dibiayai pemerintah menggunakan PKMS. Jadi, masyarakat bisa terlindungi dari masalah kesehatan dan diharapkan masalah gizi buruk ini bisa teratasi dengan baik.” (Wawancara tanggal 10 Maret 2009)
Anak Dirujuk
Yankes Rujukan Dilakukan
periksa klinis
Anak Gizi Buruk
Pulang dan dikembalikan ke Puskesmas dan Posyandu
Rawat Inap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Adapun fasilitas-fasilitas dari pemerintah di bidang kesehatan (Lihat
lampiran). Sumber dana untuk menangani anak gizi buruk berasal dari Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD). Tabel 3.3 adalah alokasi dana di Dinas Kesehatan
Surakarta:
Tabel 3.3
Alokasi Dana APBD Kota Surakarta
Untuk Program Perbaikan Gizi Masyarakat
Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
1 2 3 4 5 6 Jumlah dana program gizi
165.497.000 998.000.000 1.495.693.500 1.515.658.000 912.695.000
PMT-AS (SD)
Sasaran 4281 4010 4000 3500 Dana 616.464.000 649.620.000 480.000.000 315.000.000
PMT-AS (TK)
Sasaran 3026 2148 Dana 363.120.000 193.320.000
Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta
Dari tabel 3.3 dapat diketahui dana yang dialokasikan untuk perbaikan gizi
masyarakat. Dari tahun ke tahun sasaran untuk program perbaikan gizi menurun
dari 4281 anak gizi buruk pada tahun 2006 menurun menjadi 3500 pada tahun
2009. Hal ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah anak gizi buruk.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Kepala Sie Perbaikan Gizi Masyarakat,
DINKES (N2):
“Dana dari pemerintah untuk anak terkena gizi buruk berasal dari SKPD-SKPD, dana ini tidak hanya untuk masalah anak di bidang kesehatan, tetapi juga untuk masalah anak di bidang lain.” (Wawancara tanggal 10 Maret 2009)
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gender (P3G) UNS (N11):
“...dana KLA ini berasal dari SKPD-SKPD, dana ini untuk semua masalah anak di semua bidang.” ( Wawancara tanggal 7 April 2009)
Perkembangan kasus gizi buruk di Kota Surakarta dapat diihat pada tabel 3.4:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 3.4
Perkembangan Kasus Gizi Buruk Di Kota Surakarta
Periode Tahun 2005 s/d 2008
Tahun
Sisa Kasus Tahun Lalu
Jumlah Kasus Tahun Ini Sisa Kasus Tahun Ini
Baru
Jumlah
Mati
Sembuh 1 2 3 4 5 6 7
2005 336 496 832 0 647 185 2006 185 659 841 0 625 216 2007 216 417 633 0 470 161 2008 161 349 510 0 404 106
Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta
Dari tabel 3.4 kasus gizi buruk dari tahun 2005-2008 menurun pada tiap
tahunnya. Dari 336 anak gizi buruk di tahun 2005, menurun 106 di tahun 2008.
Penurunan angka penderita dikarenakan adanya Program Makanan Tambahan
(PMT) serta gencarnya penyuluhan yang dilakukan kepada masyarakat. Pemberian
makanan tambahan bagi balita terkena gizi buruk meliputi pemberian susu, biskuit,
serta makanan pengganti air susu ibu (MP Asi).
Pencapaian Dinas Kesehatan Surakarta dalam Program Perbaikan Gizi Kota
Surakarta tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 3.5:
Tabel 3.5
Pencapaian Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Program Perbaikan Gizi
Kota Surakarta Tahun 2008
No
Kewenangan Wajib
Jenis Pelayanan
Standar Pelayanan Minimal
Capaian 2008 (%)
Target (IS 2010)
Indikator Kinerja
1 2 3 4 5 6 1 Penyelenggaraan
Perbaikan Gizi 1. Pemantauan
Pertumbuhan % balita yang naik berat badannya (N/D)
72,2
80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Balita % balita BGM
1,2
<15
2. Pelayanan Gizi % cakupan balita mendapat Vit.A 2X per tahun % cakupan Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe % cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi BGM dari keluarga miskin % balita gizi buruk mendapat perawatan
96,7
93,8
100
100
90
90
100
100
3. Penyulihan perilaku sehat
% bayi mendapat ASI Eksklusif % Desa dengan garam beryodium baik
27,6
84
80
90
4. Penyelenggaraan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB dan gizi buruk
% desa/kel. Dengan gizi buruk yang ditangani % kecamatan bebas rawan gizi
100
100
100
80
Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta
Capaian balita yang naik berat badannya sebesar 72,2%. Hal ini merupakan
hasil yang baik karena target di tahun 2010 sebesar 80%. Cakupan balita mendapat
Vit.A 2X per tahun justru melebihi target. Target tahun 2010 sebesar 90%
sedangkan capaian di tahun 2008 sebesar 96,7%. Hal yang sama pada cakupan Ibu
hamil mendapat 90 tablet Fe yang melebihi target di tahun 2010. Target 2010
cakupan Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe sebesar 90% sedangkan capaian di taun
2008 sebesar 93,8%. Selain itu, kecamatan bebas rawan gizi juga melebihi target,
karena target di tahun 2010 hanya 80%, sedangkan capaian di tahun 2008 sebesar
100%.
Pencapaian Dinas Kesehatan tersebut diakui oleh Sekretaris Lembaga P3G
UNS (N11) sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“Kalo bidang kesehatan, sudah lumayan mbak, pendataannya juga sudah baik. Penanganan masalah anak bidang kesehatan juga sudah baik.” (Wawancara tanggal 7 April 2009)
Hal senada juga dikatakan oleh salah satu staf Yayasan Kakak (N8):
“Pelayanan di bidang kesehatan sudah lumayan ya mbak, kasus anak gizi buruk juga sudah menurun.” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
Berdasarkan penjelasan tersebut, pemerintah sudah lebih responsif dalam
menangani masalah anak di bidang kesehatan. Pendataan akan adanya masalah
kesehatan terutama pada anak juga sudah baik.
c. Bidang Pendidikan
Anak putus sekolah diarahkan pada pendidikan non-formal yaitu Kejar Paket
A, Kejar Paket B, dan Kejar Paket C. Anak-anak tersebut harus terdaftar di
kelompok belajar Paket B dan Paket C (Paket A masih akan dilaksanakan tahun
2009). Untuk bisa terdaftar pada kelompok belajar, mereka harus melengkapi
administrasi yang dibutuhkan seperti ijazah yang lebih rendah. Di masing-masing
kelompok belajar ada peraturan mengikuti pelajaran sampai selesai dan
melaksanakan 75 persen kehadiran. Setelah itu, dilakukan evaluasi hasil belajar dan
berhak mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK).
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non
Formal DISDIKPORA (N6):
“Anak putus sekolah diarahkan pada pendidikan kesetaraan yaitu Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C. Paket A setara dengan SD, Paket B setara dengan SMP, Paket C setara dengan SMA.” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009)
Salah satu staf Bidang Pendidikan Non Formal juga mengatakan (N7):
”Pada tahun 2007 ada kebijakan pemerintah mengenai Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) bagi anak-anak sekolah formal yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lulus. Kebijakan ini ada karena tidak ada ujian susulan. Pada tahun 2009 disusun juga kurikulum KTSP” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009)
Program Kejar Paket B dan C untuk anak putus sekolah hanya mencapai hasil
50 persen. Hal ini dikarenakan banyak anak-anak yang tidak meneruskan sekolah
non formal ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Bidang Pendidikan
Non Formal DISDIKPORA (N6):
”Hasil yang kita capai dalam program Kejar Paket ini cuma 50 persen. Banyak anak-anak yang tidak lagi datang ke sekolah non formal. Mereka kembali ke jalan dengan alasan mencari uang membantu orang tua. Orang tua juga tidak memberi dorongan supaya anak-anaknya sekolah” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Sumber dana untuk anak putus sekolah berasal dari Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD). Selain itu, ada pula sumber dana dari pihak luar seperti dari Jarum
untuk beasiswa anak. Dana tersebut dialokasikan untuk:
1) Agar anak tidak putus sekolah, pemerintah memberikan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), Bantuan Pelayanan Pendidikan (BPP), bantuan pendidikan dari
pihak swasta, dan sebagainya.
2) Adanya Sekolah Plus untuk anak tingkat SD.
3) Adanya Sekolah Kesetaraan yang tidak dipungut biaya.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf Bidang Pendidikan Dasar SD dan
Anak Usia Dini DISDIKPORA (N13):
“Agar anak tidak putus sekolah, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana ini dari pusat. Selain itu ada juga Bantuan Pelayanan Pendidikan (BPP), dana ini berasal dari Walikota yang berasal dari APBD2. Selain itu, banyak bantuan pendidikan yang dari pengusaha swasta seperti Jarum (rokok).” (Wawancara tanggal 3 Maret 2009)
Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non Formal
DISDIKPORA (N6):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“Anak-anak dalam mengikuti sekolah kesetaraan tidak dipungut biaya. Jadi seharusnya mereka bisa rajin bersekolah. Tapi semua itu kembali lagi pada anaknya.” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009)
Adapun fasilitas-fasilitas dari pemerintah di bidang pendidikan (Lihat
lampiran). Untuk mewujudkan keadaan yang diinginkan lima tahun ke depan
dilakukan strategi sebagai berikut :
a. Bidang peningkatan iman dan takwa dengan mengoptimalkan peran serta
seluruh warga sekolah dengan membiasakan pengamalan agama, seperti berdoa
sebelum dan sesudah proses pembelajaran, optimalisasi pemanfaatan sarana
ibadah yang dimiliki, pemanfaatan moment peringatan hari besar agama untuk
lebih memahami makna dan penerapan kehidupan beragama serta menjalin
kerjasama dengan lingkungan seperti ulama dan lembaga – lembaga keagamaan
dalam rangka pembinaan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan seluruh
warga sekolah. Dalam proses pembelajaran lebih ditekankan praktik
dibandingkan dengan penyampaian materi pembelajaran yang bersifat
pengetahuan.
b. Bidang kecerdasan ditanamkan proses pembelajaran yang mengacu pada empat
pilar pendidikan, yakni belajar untuk mengetahui, belajar untuk berbuat, belajar
agar menjadi milik dirinya sendiri, dan belajar dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari – hari. Akibat dari penekanan pola pembelajaran tersebut perlu
peningkatan profesionalitas guru lewat Kelompok Kegiatan Guru, Musyawarah
Guru Mata Pelajaran, Musyawarah Guru Program Diklat, Musyawarah Kerja
Kepala Sekolah, dan Kelompok Kerja Pengawas Sekolah. Kegiatan lain yang
perlu dipacu adalah penelitian tindakan kelas, guna mencari alternatif model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pembelajaran agar menghasilkan hasil belajar yang optimal. Peda kegiatan
siswa, diposisikan sebagai subjek belajar pada proses pembelajaran, disediakan
wadah kompetitif berupa lomba akademik, lomba karya ilmiah pupuler, lomba
siswa berprestasi, dan lomba – lomba kreativitas lainnya yang memacu berfikir
kritis dan kreatif.
c. Bidang olahraga dititikberatkan pada proses pembelajaran praktik dibandingkan
pelajaran teori. Guna menciptakan situasi belajar tersebut diperlukan
ketrampilan guru dalam meproses pembelajaran, sehingga peningkatan
kualifikasi, sertifikasi, dan pembinaan rutin lewat Kelompok Kegiatan Guru,
Musyawarah Guru Mata Pelajaran , mutlak diperlukan. Pemenuhan peralatan
praktik olahraga dan tempat untuk berolahraga perlu ditingkatkan dan
diupayakan. Guna mendukung peningkatan pendidikan olahraga disediakan
wadah untuk kompetisi berupa pekan olahraga, pertandingan, dan festifal untuk
melihat sejauh mana hasil pendidikan dan pembinaan olahraga disekolah,
sekaligus memberikan umpan balik kepada guru untuk membenahi kekurangan
– kekurangan yang mungkin terjadi.
d. Pada bidang pembinaan ketrampilan ditingkatkan kegiatan extra kurikuler baik
pembinaan kepramukaan/kepanduan, pengembangan olahraga, seni, serta
ketrampilan lewat kegiatan life skill untuk seluruh sekolah. Khususnya Sekolah
Menengah Kejuruan ditingkatkan pengelolaannya dengan sertifikat ISO, yang
diharapkan siswa keluarannya memiliki kompetensi keahlian yang dibutuhkan
masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
e. Bidang sosial budaya dikembangkan pelajaran muatan lokal dan pengembangan
seni, baik seni tari, karawitan, musik, teater, maupun olah vokal lewat kegiatan
intra maupun extra kurikuler. Dalam rangka mengevaluasi hasil binaan seni,
diadakan pentas seni, lomba seni, maupun festival seni. Guna mepercepat dan
meningkatkan proses pembinaan seni dan budaya amat diperlukan pemenuhan
peralatan yang meliputi berbagai cabang seni.
f. Untuk menjabarkan strategi tersebut di dalam program kegiatan diperlukan
kebijakan – kebijakan sebagai berikut :
a. perluasan dan pemerataan pendidikan. Kebijakan ini berkaitan erat dengan
pemberian beasiswa pembangunan ruang kelas yang rusak, perluasan tempat
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pemenuhan alat peraga proses
pembelajaran, alat praktik, penyediaan laboratorium, alat praktik olah raga, dan
pembinaan ke semua pemberian beasiswa dan pemenuhan dari sarana ini
diharapakan mendorong untuk memasuki jenjang sekolah, sehingga warga
masyarakat dapat memilih sekolah sesuai dengan keinginannya dan yang belum
sempat bersekolah dapat segera memasuki sekolah, dengan demikian semakin
dapat ditekan angka tidak melanjutkan.Dengan tersediannya beasiswa
diharapkan keluarga yang kurang berkemampuan dapat menikmati sekolah
sesuai dengan keinginannya, karena terbantu segi pembayarannya.
b. peningkatan mutu dan relevansi. Kegiatan Kelompok Kerja Guru dan
sejenisnya, perbaikan proses pembelajaran lewat hasil penelitian tindakan kelas,
peningkatan hasil kualifikasidan sertifikasi bagi guru adalah upaya untuk
peningkatan mutu. Penekanan empat pilar pendidikan adalah upaya perbaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mutu keluaran sekolah. Demikian pula berbagai lomba yang disediakan untuk
siswa, semuanya difokuskan untuk peningkatan mutu siswa. Sedangkan
penyediaan alat – alat praktik dan pemberian life skill adalah untuk
mengupayakan relevansi keluaran dengan kebutuhan di masyarakat.
c. governance dan akuntabilitas. Perumusan kembali untuk mengelola sekolah
amat diperlukan seiring dengan era otonomi daerah. Tiga pilar yang perlu
mendapatkan perhatian dalam hal ini, yakni kepemimpinan yang demokrasi
dengan ciri pemanfaatan keputusan partisipasif, perbaikan mutu proses
pembelajaran dengan ciri pembelajaran dengan metode variatif sehingga
mengaktifkan, memancing inovatif, mengembangkan kreatifitas dan
menyenangkan siswa, serta peningkatan peranserta masyarakat sebagai salah
satu pihak yang ikut bertanggungjawab tehadap pendidikan.
(Sumber:DISDIKPORA Surakarta)
d. Bidang Partisipasi Anak
Ada banyak bentuk partisipasi anak, di antaranya adalah hak untuk
mengutarakan pendapat, hak bertanya untuk memperoleh informasi yang benar, hak
mengajukan ide, hak berekspresi melalui kegiatan seni, dan banyak lainnya.
Partisipasi anak selayaknya tidak dibatasi oleh orang dewasa dan kemampuan anak.
Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan, sedangkan orang dewasa
berkewajiban menyediakan ruang bagi anak untuk berpartisipasi, baik di
lingkungan rumah, sekolah, maupun masyarakat.
Box 3 Artikel Yayasan Kakak, 25-04-2007 Berkaitan dengan partisipasi anak menjadi menarik bila dapat diimplementasikan di dalam semua ruang yang ada tanpa kecuali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam tingkatan pengambian kebijakan atau forum-forum yang ada di pemerintah. Selanjutnya terkait dengan permasalahan tersebut, masuk di Kota Surakarta sendiri sebenarnya masih banyak kendala terkait dengan penanganan permasalahan anak, mulai dari rancangan program yang belum sepenuhnya mendukung dan berspektif pada anak sampai pada tingkatan implementasi dari pembangunan yang diakukan pemerintah. Di sisi lain sebenarnya informasi dan kampanye mengenai hak-hak anak sudah banyak dilakukan oleh banyak pihak diantaranya Ormas, LSM, RS, Akademisi, dll, tetapi memang dalam pelaksanaannya belum maksimal karena banyak kendala dalam pelaksanaannya di lapangan.( http://kakak.org/home.php?page=news&id=97)
Dari artikel Yayasan Kakak Tahun 2007, dapat diketahui partisipasi anak di
Tahun 2007 belum terlihat. Masih banyak kendala terkait dengan penanganan
permasalahan anak, mulai dari rancangan program yang belum sepenuhnya
mendukung dan berspektif pada anak, sampai pada tingkatan implementasi dari
pembangunan yang diakukan pemerintah.
Tetapi, untuk Tahun 2009 khususnya, partisipasi anak dalam pengambilan
program oleh pemerintah. Di Kota Surakarta, saat ini ada Forum Anak Surakarta
(FAS) yang dibentuk dengan tujuan menjadi ruang dan sarana bagi anak-anak di
Kota Surakarta untuk berpartisipasi. Dalam beberapa forum yang diadakan oleh
Pemerintah Kota Surakarta, FAS sudah terlibat dan dimintai masukan, terutama
untuk permasalahan yang berkaitan dengan anak.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Seksi Pemberdayaan Masyarakat
DKRPP&KB (N1) :
“...di Surakarta sudah ada Forum Anak Surakarta (FAS) mbak, di sini ada anak sekolah, ada anak jalanan juga...” (Wawancara 16 Februari 2009)
Ia juga menambahkan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“...program KLA yang meliputi bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan, dan partisipasi anak, ini sudah dilaksanakan semua mbak, yang ditulis ini sudah dilaksanakan semuanya. Taman Anak Cerdas juga sudah ada di lima Kelurahan mbak, yaitu Kelurahan Sumber, Kadipiro, Gandekan, Joyotakan, Pajang, dan Mojosongo...” (Wawancara 16 Februari 2009)
Staf Yayasan Kakak mengatakan (N8):
“…beberapa sahabat Yayasan Kakak sudah terlibat dalam Forum Anak Surakarta. Keterlibatan sejumlah sahabat Yayasan Kakak ini merupakan langkah strategis bagi Yayasan Kakak untuk lebih memperjuangkan hak-hak anak, terutama anak korban kekerasan dan eksploitasi seksual...” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
Hal senada juga dikatakan oleh Ketua PPAP Seroja (N10) dan Sekretaris
Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS (N11):
N10: “…partisipasi anak di Surakarta sudah lumayan ya mbak, anak sudah mulai dilibatkan oleh pemerintah, kami juga terlibat dalam FAS...” (Wawancara tanggal 17 Maret 2009).
N11: “…partisipasi anak di Surakarta sudah lumayan, dari yang tidak ada menjadi ada. Anak juga dilibatkan dalam pengambilan program oleh pemerintah. Di Surakarta ada Forum Anak Surakarta juga untuk menampung aspirasi mereka…” (Wawancara tanggal 7 April 2009)
Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh beberapa informan, dapat
diketahui bahwa partisipasi anak di Surakarta sudah mengalami peningkatan. Di
Surakarta, anak sudah dilibatkan dalam pengambilan program-program oleh
pemerintah. Untuk menampung aspirasi anak, Pemerintah Surakarta juga
membentuk Forum Anak Surakarta (FAS).
Mekanisme penanganan partisipasi anak yaitu pertama, anak-anak diajak
bergabung di Forum Anak Surakarta (FAS). Kedua, melalui Forum Anak Surakarta
anak-anak sudah dilibatkan dalam setiap kegiatan, salah satunya pengambilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
program pemerintah. Sumber dana dalam bidang partisipasi anak berasal dari
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
B. Kendala Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota
Layak Anak (KLA)
Dalam melaksanakan perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak, kendala
yang dihadapi pemerintah berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah.
a. Kendala internal
Sumber daya manusia Pemerintah Kota Surakarta kurang mengerti akan
pentingnya perlindungan anak. Mereka tidak mengerti sepenuhnya hal-hal yang
berkaitan dengan aspek psikologis anak. Padahal, dalam melaksanakan
perlindungan anak, pemerintah harus mengerti dan memahami permasalahan anak.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja (N10) :
“...Satpol PP dalam menggaruk anak jalanan kurang memperhatikan aspek psikologis anak. Mereka asal menggaruk saja. Padahal, kadang anak trauma akan hal itu. Kami juga yang bertugas mendampingi mereka...” (Wawancara tanggal 6 Februari 2009)
Dana merupakan hal vital penentu untuk keberhasilan pencapaian tujuan. Bagi
pemerintah Kota Surakarta dalam program perlindungan anak, ketersediaan dana
merupakan suatu kendala. Untuk menangani masalah anak jalanan dan terlantar
APBD yang tersedia sangat terbatas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf
Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS (N4) :
“…kendala yang kami hadapi adalah dana mbak, dana APBD juga terbatas. Anak jalanan dan anak terlantar sudah kami bekali ketrampilan, dan diharapkan mereka tidak kembali ke jalan…” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam penanganan permasalahan anak, walaupun setiap tahun anggaran
meningkat tetapi jumlah kasus/sasaran lebih tinggi peningkatannya sehingga
alokasi dana tetap tidak terpenuhi. Hal yang sama juga terjadi dalam alokasi
anggaran bagi anak putus sekolah.
Selain kendala di atas, ego sektoral juga menjadi kendala dalam
melaksanakan perlindungan anak. Koordinasi antar institusi belum berjalan
dengan baik. Hal ini tergamabar pada belum adanya sinergitas dalam pelaksanaan
Rencana Aksi Kota. Masing-masing stakeholder selaku anggota gugus tugas
masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sekretaris
P3G UNS (N11) :
“…para stakeholder terkesan berjalan sendiri-sendiri mbak, mereka bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan terkesan bekerja sendiri tanpa berkoordinasi dengan yang lain…” (Wawancara tanggal 17 Maret 2009) Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan kendala internal yang
dihadapi pemerintah, antara lain: sumber daya manusia Pemerintah Kota
Surakarta yang kurang mengerti akan pentingnya perlindungan anak, keterbatasan
dana, dan ego sektoral.
b. Kendala Eksternal
Kendala lain yang dialami pemerintah adalah pengaruh lingkungan.
Lingkungan anak jalanan, anak terlantar dan pekerja anak menjadi faktor yang
sangat mempengaruhi mereka. Mengapa tidak, anak-anak masih sangat mudah
terpengaruh oleh lingkungan sekitar karena mereka masih labil. Jika lingkungan
mereka memberi efek negatif bagi anak-anak, sangat besar kemungkinannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
anak-anak terpengaruh. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf Bidang
Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS (N4) :
“…mereka masih saja kembali ke jalan karena pengaruh lingkungan yang tidak baik dan kurangnya perhatian dari orang tua mereka. Hasil monitoring kami, masih banyak anak jalan yang mencari uang entah itu dari ngamen atau ngemis, uang itu selain buat makan, ya buat beli minuman keras…” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009)
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua PPAP Seroja dan Staf Yayasan
Kakak:
Ketua PPAP Seroja (N10):
“…lingkungan anak jalanan sangat memprihatinkan, minuman keras dan sex bebas ada di sana. Tingkat pendidikannya juga sangat rendah. Kami yang mendampingi mereka berusaha memberikan pengarahan agar anak-anak yang belum terjerumus, mau bersekolah...” (Wawancara 14 Maret 2009)
Staf Yayasan Kakak (N8):
“...faktor ekonomi juga menjadi masalah untuk anak. Anak itu masih labil dan mudah sekali termakan omongan orang yang tidak bertanggung jawab...” (Wawancara tanggal 14 Maret 2009)
Bisa tidaknya anak bersekolah dipengaruhi oleh karakteristik anak dan
situasi yang mempengaruhi mereka. Tingginya bujukan untuk mendapatkan uang,
dapat menyebabkan anak meninggalkan rumah dan pindah ke kota besar daripada
harus bersekolah. Anak-anak ini beresiko dieksploitasi karena terpisah oleh
keluarga, masyarakat, dan sekolah. Terdapat anak jalanan yang mencari uang
seharian dan pulang di malam hari. Anak ini tidak melihat pentingnya nilai
pendidikan dan tidak tertarik dengan sekolah. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Kepala Bagian Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6) :
”...anak-anak tidak ada hasrat untuk sekolah maka tidak maksimal untuk bersekolah. Mereka lebih suka kembali ke jalan, karena di jalan bisa dapat uang...” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keluarga dan masyarakat sebaiknya menjadi pelindung dan memiliki
kepedulian kepada anak. Akan tetapi, kemiskinan sering mempengaruhi anak
untuk bersekolah. Karena masalah ekonomi, orang tua sering terpaksa memenuhi
kebutuhan primer hidup keluarga saja. Dengan demikian, anak harus menolong
keluarganya untuk mencari nafkah dengan mengorbankan pendidikan dan masa
depannya. Oleh karenanya, orang tua menganggap memanfaatkan anak untuk
bekerja lebih bernilai daripada belajar di sekolah. Hal ini sebagaimana
disampaikan Staf Bidang Pendidikan Dasar SD dan Anak Usia Dini
DISDIKPORA (N13) :
”...anak-anak seringkali turun ke jalan, alasannya membantu orang tua. Hal ini bikin program pemerintah tidak berhasil. Orang tua juga kurang mendukung anaknya. Anak putus sekolah ini sering bertambah karena banyak anak pendatang, jadi mereka dari luar Solo. Nah ini juga menjadi permasalahan bagi pemerintah...” (Wawancara tanggal 3 Maret 2009) Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa depan
menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan anak. Biasanya,
orang tua tidak mempedulikan pendidikan anaknya karena dalam pemikiran
mereka, untuk mencukupi hidupnya saja sulit, apalagi untuk membiayai anak
sekolah. Biasanya mereka membiarkan anak-anaknya mencari uang di jalan. Kalau
orang tua sudah mempunyai pemikiran seperti ini, biasanya anak-anak juga ikut-
ikutan tidak memikirkan masa depannya.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi
DINSONAKER & TRANS (N4) :
“…kurangnya perhatian dari orang tua mereka kadang membuat anak tidak punya kesadaran untuk memikirkan masa depan...” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Hal senada juga disampaikan oleh Staf Yayasan Kakak (N8) :
“…kesadaran dari anak dan orang tua yang minim ini menjadi kendala bagi pemrintah untuk mengatasinya. Hal yang kami temui di lapangan, keadaan ini bias menjadi faktor anak terjerumus pada ESKA. Jadi semua sangat berkaitan.,,” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
Anak belum memiliki filter yang cukup kuat untuk memilih dan memilah
apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang seharusnya tidak dilakukan. Anak
cenderung masih labil sehingga dapat dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal
negatif dari lingkungannya. Kondisi ini diperparah dengan semakin
bermunculannya mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang menyebabkan perubahan
gaya hidup masyarakat kota Surakarta. Menjamurnya mall di kota Surakarta secara
tidak langsung mendukung berkembangnya budaya konsumerisme masyarakat.
Budaya konsumerisme mendorong munculnya persaingan untuk mendapatkan
penghargaan/pujian terhadap kepemilikan suatu barang. Keinginan yang sangat
besar dalam memiliki suatu barang tidak ditunjang oleh kondisi ekonomi keluarga,
sehingga hal tersebut semakin mendorong seseorang untuk mendapatkan uang
dengan jalan pintas, walaupun cara tersebut tidak sesuai dengan nilai–nilai yang
berlaku di masyarakat. Kondisi anak yang labil dan tingginya budaya
konsumerisme menyebabkan banyak anak dengan latar belakang ekonomi lemah
lebih mudah terjerumus ke dunia prostitusi.
Staf Yayasan Kakak mengatakan bahwa masalah ESKA ini sudah menjadi
suatu mata rantai yang susah untuk diputus (N9) :
“…kondisi ini sangat dilematis. Di lain sisi masyarakat juga butuh uang untuk memenuhi hidupnya. Padahal peran masyarakat sekitar sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dibutuhkan untuk menghentikan maraknya ESKA…” (http://j4rionline.wordpress.com)
Pernyataan ini dipertegas pula oleh Ketua Peneliti ESKA UNS (N12) :
“...sebenarnya seksualitas adalah budaya yang paling lama ada, kalau di Solo, ESKA sudah mulai tampak ketika para orang tua dari Wonogiri memberikan anak gadis mereka kepada raja-raja di Solo. Apalagi saat ini prostitusi anak justru menjadi bisnis yang sangat menggiurkan...” Faktor pemikiran orang tua yang tidak mementingkan pendidikan anak
terutama anak perempuan secara tidak langsung menempatkan anak perempuan
dalam kondisi yang tersubordinasi. Bentuk konkritnya adalah masih banyak
keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah lebih memprioritaskan pendidikan
untuk anak laki-laki daripada anak perempuan. Asumsinya adalah setinggi apapun
tingkat pendidikan anak perempuan pada akhirnya hanya akan berkutat pada
masalah domestik. Kondisi seperti ini mengakibatkan sebagian besar anak
perempuan berpendidikan rendah, cenderung memiliki keterbatasan keterampilan.
Keterbatasan keterampilan tersebut menyebabkan akses pekerjaan mereka rendah.
Implikasinya mereka rentan terhadap dunia prostitusi.
Faktor yang juga bisa meningkatkan jumlah ESKA adalah kondisi keluarga
yang tidak harmonis. Secara psikologis anak belum cukup matang untuk
menghadapi beban yang berat, ketidaksiapan mental mereka mendorong mereka
mencari pelarian. Pada awalnya mereka hanya sekedar keluar malam, dan
nongkrong di suatu tempat untuk melepaskan diri dari kesuntukan. Di tempat itu
mereka bertemu dengan teman yang menghadapi masalah yang sama sehingga
menimbulkan kedekatan di antara mereka. Karakter rmereka yang masih labil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk terjun ke dunia pelacuran. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Ketua PPAP Seroja (N10) :
”...kondisi keluarga anak yang tidak harmonis bisa menjadi faktor anak-anak terjerumus pada prostitusi. Itu merupakan faktor intern yang kadang menjadi bomerang...” (wawancara tanggal 14 Maret 2009)
Culture of silence (budaya menyembunyikan) pada masyarakat. Masyarakat
sering menganggap bahwa permasalahan anak terutama kasus ESKA adalah hal
yang tabu dan merupakan aib keluarga. Hal ini sangat merugikan masa depan anak
sendiri karena kasus mereka tidak diketahui oleh pemerintah dan pihak-pihak yang
peduli akan kasus ESKA. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Staf Yayasan
Kakak (N8) :
“…kalo dari korban kekerasan terhadap anak untuk yang di ESKA dari pertengahan 2005 sampai pertengahan 2008 kita berhasil menjangkau ada sekitar 111 anak korban ESKA, ini sekupnya X Karisidenan Surakarta, tapi kebanyakan mereka datang dari luar Kota Surakarta lalu datang ke Surakarta. Kalo dulu, kasus kekerasan pada anak terutama kekerasan seksual pada anak ini tidak diungkap karena merupakan hal yang tabu merupakan aib bagi keluarga. Jadi banyak kasus yang disembunyikan. Nah ini perlu kita ubah pemikiran masyarakat semacam ini. Karena ini bukan aib tapi ini tindak kejahatan agar pelaku ada efek jera...” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009) Oleh karena itu, culture of silence ini menjadi kendala bagi pemerintah dan
pihak terkait untuk penanganan secara dini mewujudkan perlindungan anak.
C. Upaya Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota
Layak Anak (KLA)
a. Meningkatkan pemahaman tentang perlindungan anak dari aparat pemerintah
Kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan
perlindungan anak menyebabkan sulitnya mengintegrasikan perspektif anak dalam
setiap pengambilan kebijakan. Untuk mengatasi hal ini, dalam setiap pertemuan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pemerintah membekali pengetahuan tentang hak-hak anak dan hal-hal yang
menyangkut perlindungan anak. Diharapkan agar aparat pemerintah paham akan
makna perlindungan anak. Hal ini sebagaimana dikemuakan oleh Seksi
Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1):
“…dalam setiap rapat mengenai permasalahan anak, pemerintah berusaha menekankan pemahaman akan perlindungan anak kepada aparatur-aparatur pemerintah…” (Wawancara tanggal 12 Februari 2009) Dari penjelasan di atas, dapat diketahui upaya pemerintah untuk
meningkatkan pemahaman kepada aparatur pemerintah.
b. Meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait
Ego sektoral memberikan kesan bahwa para stakeholder dalam perlindungan
anak berjalan sendiri-sendiri. Sebagai upaya peningkatan pelayanan, Pemerintah
Kota Surakarta berusaha meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait.
Contoh upaya pemerintah tersebut yaitu dalam hal dana. Sumber dana diperoleh
dari pemerintah dan swadaya dari beberapa lembaga yang terkait. Dana dari
pemerintah diperoleh melalui APBD baik APBD tingkat propinsi maupun APBD
kota Surakarta sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh staf Seksi
Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1) :
“Dana diperoleh dengan cara beragumentasi dan memberikan penjelasan pada Dewan anggaran dan DPR untuk bisa mengabulkan program-program yang sudah kita sepakati bersama, dana APBD juga terbatas. Jika tidak bisa dilaksanakan tahun ini, ya dilaksanakan tahun depan”
Advokasi anggaran menjadi kebutuhan penting bagi PTPAS untuk bisa
menjalankan fungsi dan perannya dalam penanganan kasus kekerasan. PTPAS
memulai proses advokasi dengan cara melakukan audiensi bersama dengan masing-
masing Kepala Dinas terkait dan Bapeda, setelah terlebih dahulu melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
workshop untuk menyusun program dan kebutuhan anggaran. Upaya lobby juga
dilakukan melalui audiensi dengan Walikota Surakarta. Dalam proses tersebut,
PTPAS juga mengusulkan adanya kebijakan (peraturan daerah) yang memberikan
perlindungan bagi perempuan dan anak, sekaligus menjadi landasan yang kuat bagi
bekerjanya PTPAS. Proses lobby ini juga diperkuat melalui kunjungan serta
audiensi kepada partai politik dan calon anggota legislatif pada tahun 2004.
Selain itu, pemerintah bekerjasama dengan stakeholder dan LSM. Seperti
yang diungkapkan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS
(N4) :
“…permasalahan sosial itu tidak ada habisnya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, kita juga bekerjasama dengan stakeholder dan LSM. Jangan semua masalah dibebankan pada pemerintah semua, karena masalah ini juga tanggungjawab masyarakat juga…” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009)
Pernyataan tersebut diperkuat oleh salah satu staf Bidang Pendidikan Dasar
SD dan Anak Usia Dini DISDIKPORA (N13):
“Agar anak tidak putus sekolah, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana ini dari pusat. Selain itu ada juga Bantuan Pelayanan Pendidikan (BPP), dana ini berasal dari Walikota yang berasal dari APBD2. Selain itu, banyak bantuan pendidikan yang dari pengusaha swasta seperti Jarum (rokok).” (Wawancara tanggal 3 Maret 2009)
Dari penjelasan di atas, terlihat peningkatan kerjasama antara pemerintah
dengan pihak-pihak yang peduli terhadap perlindungan anak.
c. Optimalisasi kegiatan sosialisasi
Guna menangani kasus kekerasan pada anak, pemerintah melalui PTPAS
sudah melakukan kegiatan sosialisasi menyangkut kekerasan perempuan dan anak.
Salah satu kegiatan sosialisasi tersebut adalah sosialisasi penghapusan kekerasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terhadap perempuan dan anak di sekolah-sekolah. Sosialisasi tersebut meliputi
beberapa kegiatan, antara lain:
1) Pelatihan pendampingan korban kekerasan bagi guru-guru BP sekolah se Kota
Surakarta.
2) Mengajak anak sekolah untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap
anak dan dapat mensosialisasikan tentang UU.
3) Perlindungan anak dan hak anak dan mengajak guru-guru BP supaya tidak
terjadi kekerasan terhadap anak sekolah.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh staf Seksi Pemberdayaan Masyarakat
DKRPP&KB (N1) :
“Untuk mengatasi hambatan, kami melakukan sosialisasi penghapusan kekerasan anak, melakukan pendampingan terhadap korban, dan memberikan pelatihan kepada guru-guru BP tentang pendampingan anak korban kekerasan.” (Wawanara tanggal 16 Februari 2009)
Dalam kasus anak gizi buruk, pemerintah melakukan sosialisasi sosialisasi
melalui PKK untuk memberikan informasi kepada masyarakat akan bahayanya gizi
buruk terhadap anak dan akibatnya. Dalam sosialisasi tersebut juga dijelaskan
mengenai program pemerintah untuk mengatasi kasus anak gizi buruk yaitu
program Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Kepala Sie Perbaikan Gizi Masyarakat, DINKES (N2):
“...kita sosialisasi lewat PKK untuk memberikan informasi kepada masyarakat akan bahayanya gizi buruk terhadap anak dan akibatnya. Anggaran peningkatan gizi sebesar Rp 10.000 per hari minimal selama tiga bulan. Apabila belum sembuh bisa diperpanjang lagi. Kami juga memberdayakan kader di wilayah balita yang terkena gizi buruk untuk program PMT ini dengan pola ibu asuh…” (Wawancara tanggal 10 Maret 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sosialisasi juga dilakukan pada kasus anak putus sekolah dan partisipasi
anak. Sosialisasi dilakukan di setiap kecamatan dan kelurahan, agar masyarakat
kooperatif dan tumbuh kesadaran akan pentingnya perlindungan anak.
Khususnya dalam program Solo Kota Layak Anak pemerintah melakukan
sosialisasi di setiap kelurahan. Sosialisasi juga dilakukan ke Sekolah TK kota
Surakarta untuk melihat pengembangan sekolah yang ramah anak. Dalam hal ini
orang tua harus bekerja sama dengan guru, antara lain dengan diterapkan surat
menyurat antar guru dan orang tua. Rasa aman pada anak diciptakan antara lain
dengan penyambutan guru-guru di depan sekolah ketika anak-anak tiba. Demikian
pula pada waktu jam pulang sekolah; guru-guru mengantar ke gerbang sekolah dan
selanjutnya diterima orang tua. Manajemen sekolah juga menerapkan peraturan
tanpa kekerasan bagi para guru dan diterapkannya sanksi bagi yang melanggar.
Dalam acara sosialisasi KLA di Kelurahan, beberapa hal yang didiskusikan
dengan masyarakat langsung adalah sebagai berikut (DKRPP&KB):
1) Pelajaran budi pekerti di sekolah yang hilang
2) Sistem evaluasi dan pendataan masalah pekerja anak, pemerintah kota Solo
sedang menyusun mekanisme penanganan pekerja anak
3) Dalam masalah pekerja anak, permasalahan utamanya adalah bukan anak, tetapi
orang dewasa yang mengeksploitasi anak-anak tersebut. Sehingga perlu
dilakukan pendekatan terhadap orang tua.
4) Seringnya dibangun prasarana, seperti taman, namun tanpa dilengkapi toilet,
sehingga anak kesulitan untuk buang air.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5) Untuk pembuatan akte kelahiran, diusulkan kerjasama dengan RS/tempat
bersalin untuk langsung memberikan akte kelahiran bagi anak yang lahir di
tempat-tempat tersebut.
6) Tindak lanjut dari sosialisasi KLA diharapkan agar dilanjutkan dengan
pelatihan-pelatihan.
7) Untuk keberlanjutan forum anak, pendampingan bagi anak-anak di forum anak
dianggap perlu.
Dalam rangka mewujudkan Kota Surakarta yang layak anak tersebut,
Pemerintah Kota juga telah mulai melakukan upaya terciptanya Lapas yang ramah
anak sehingga permasalahan anak yang bersinggungan dengan hukum mendapat
tempat penanganan yang layak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Pemerintah Kota Surakarta sudah cukup responsif terhadap perlindungan anak menuju
Solo Kota Layak Anak, namun responsivitas tersebut belum optimal . Hal ini bisa
dilihat dari:
a. Kemampuan mengenali kebutuhan anak. Begitu kompleksnya kebutuhan anak
terkait dengan perlindungan anak. Pemerintah Kota Surakarta tidak mempunyai
kapasitas yang memadai dalam mengumpulkan data dasar mengenai permasalahan
anak di Surakarta. Pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-
lembaga lainnya untuk mengenali kebutuhan anak.
b. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah
sesuai dengan kebutuhan anak. Namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di
Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi
buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan
penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan
untuk anak jalanan/terlantar.
c. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. Pemerintah melibatkan
Lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender, LSM, Organisasi masyarakat,
Perguruan Tinggi, dan pihak-pihak yang peduli dengan masalah anak untuk
bersama-sama mengatasi permasalahan anak. Namun, dalam mengembangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
program perlindungan anak, Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-
lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak.
2. Kendala dalam melaksanakan perlindungan anak menuji Solo Kota Layak Anak.
Beberapa kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam hal
perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak adalah kurangnya pemahaman dari
aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak, keterbatasan dana, ego sektoral,
pengaruh lingkungan, rendahnya kesadaran orang tua dan anak, serta culture of silence.
Dalam penanganan permasalahan anak di Surakarta, aparat pemerintah tidak mengerti
sepenuhnya hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikologis anak sehingga hal ini
menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan anak. Walaupun setiap tahun anggaran
meningkat tetapi jumlah kasus lebih tinggi peningkatannya sehingga alokasi dana tetap
tidak terpenuhi. Lingkungan anak menjadi kendala pemerintah dalam menangani
permasalahan anak, karena lingkungan yang memberi efek negatif mudah
mempengaruhi anak. Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa
depan menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan anak.
Masyarakat sering menganggap bahwa permasalahan anak terutama kasus ESKA
adalah hal yang tabu dan merupakan aib keluarga sehingga berkembang culture of
silence (budaya menyembunyikan).
3. Upaya yang dilakukan sehubungan dengan kendala tersebut adalah meningkatkan
pemahaman perlindungan anak dari aparat pemerintah, meningkatkan kerjasama
dengan pihak lain dan optimalisasi sosialisasi kegiatan. Sebagai upaya peningkatan
pelayanan dengan kendala keterbatasan dana, pemerintah Kota Surakarta melakukan
kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Sosialisasi juga dilakukan untuk mengatasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
permasalahan anak, baik di bidang perlindungan anak, kesehatan, pendidikan, serta
partisipasi anak.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti
ajukan agar dapat dijadikan sabagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah.
Beberapa saran tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Meningkatkan sosialisasi tentang perlindungan anak dengan cara mensosialisasikan di
rapat pimpinan mengenai pentingnya perlindungan anak.
2. Pemerintah harus selalu memperbaharui data base tentang perlindungan anak dengan
cara mengoptimalkan kemitraan/kerjasama dengan pihak-pihak yang peduli dengan
perlindungan anak.
3. Belum tersentuhnya pendidikan untuk anak jalanan/terlantar, maka pemerintah harus
membuat program yang bisa mengatasi hal tersebut. Pemerintah juga harus
memfasilitasi lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli akan perlindungan anak,
sehingga terwujud pendidikan untuk anak jalanan/terlantar.
4. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perlindungan anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user