Responsi Umum CHF Functional III-IV
description
Transcript of Responsi Umum CHF Functional III-IV
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi patologi, dimana terdapat
ketidakmampuan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan
jaringan.1 Angka kejadian gagal jantung kongestif semakin meningkat dari tahun
ke tahun, tercatat 1,5 % - 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita gagal
jantung kongestif dan 700.000 diantaranya harus dirawat di RS per tahun. Faktor
risiko terjadinya gagal jantung kongestif yang paling sering adalah penyakit
jantung koroner dan hipertensi. Faktor resiko lain yang dapat ditemukan adalah
kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal dan penyakit katup jantung.2 Gejala gagal
jantung kongestif adalah sesak, kelelahan, baik dalam keadaan istirahat maupun
dalam keadaan latihan, edema, tanda-tanda objektif adanya disfungsi jantung
dalam keadaan istirahat.1
Pada awal gagal jantung, akibat curah jantung yang rendah di dalam tubuh
terjadi aktifitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta
pelepasan arginin vasopresin yang merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan tekanan darah. Namun setelah beberapa saat, kelainan sistem
neurohumoral ini akan memacu perburukan gagal jantung tidak hanya karena
vasokontriksi serta retensi air dan garam, akan tetapi juga karena adanya efek
toksik langsung dari noradrenalin dan angiotensin terhadap miokard. Apabila
keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload dan preload, hipertrofi/
dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal
jantung yang tidak terkompensasi.3 Diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan
1
kriteria Framingham. Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu
kriteria major dan dua kriteria minor.4 Penilaian derajat fungsional pada gagal
jantung kongestif dapat digunakan kriteria fungsional New York Heart
Association (NYHA).5
Terapi pada pasien gagal jantung kongestif diberikan segera setelah
diagnosis telah ditegakkan, perlu diketahui adanya retensi cairan atau tidak. Jika
tidak ada retensi cairan, pengobatannya yaitu ACE Inhibitor dan beta blocker. Jika
terdapat retensi cairan diberikan diuretik bersama dengan ACE Inhibitor dan beta
blocker.6
Berikut ini akan dibahas suatu laporan kasus tentang seorang perempuan
dengan diagnosa kerja gagal jantung kongestif yang dirawat di instalasi rawat inap
C1.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pasien Ny. SS, usia 63 tahun, sudah menikah, suku minahasa,
pekerjaan wiraswasta, alamat Kema III Lingk. IX, Sulawesi Utara, masuk rumah
sakit tanggal 13September 2013 di Instalasi Rawat Inap C1 dengan keluhan utama
sesak nafas.
Pada anamnesis didapatkan sesak awalnya dialami sejak 1 tahun yang lalu
bersifat hilang timbul. Sesak dirasakan semakin memberat sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terutama saat beraktivitas seperti naik tangga
dan berjalan jauh (± 20-30 meter). Pasien tidur menggunakan tiga bantal dan
pasien sering terkaget bangun tengah malam karena sesak. Pasien mengeluh
bengkak pada kedua kaki yang dialami sejak ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluh batuk sejak ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, lendir
dirasakan sulit keluar, batuk terutama pada malam hari dan lebih berat bila tidur.
Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati dan mual. Tidak ada keluhan demam,
pilek dan muntah,nafsu makan menurun, berat badan menurun. BAB dan BAK
biasa. Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus sejak 12 tahun lalu,
tidak rutin minum obat. Tidak ada riwayat darah tinggi, asam urat, kolesterol,
asma dan ginjal. Riwayat sosial, merokok (-) alkohol (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat dengan
kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 140/80 mmHg,frekuensi nadi 108 kali
permenit reguler dan isi cukup, frekuensi pernapasan 28 kali permenit, suhu badan
aksila 37,0oC. Berat badan 45 kg, tinggi badan 150cm, indeks massa tubuh (IMT)
3
20 kg/m2. Pada pemeriksaan kepala didapatkan rambut hitam, tidak terlalu tebal,
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, pupil bulat isokor. Pada
pemeriksaan hidung tidak ditemukan deviasi septum, sekret tidak ada, pendarahan
tidak ada. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening, trakea letak tengah, pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, jugular venous
pressure (JVP) 5 + 3 cmH2O.
Pada pemeriksaan dada didapatkan pergerakan dinding dada simetris
dalam keadaan statis dan dinamis, fremitus raba kiri sama dengan kanan, sonor di
kedua lapangan paru, suara pernapasan vesikuler, terdapat ronki basah
halusdibasal kedua lapangan paru dan tidak terdapat wheezing. Pada pemeriksaan
jantung didapatkan ictus cordis tampak pada inspeksi di ICS V linea midclavicula
sinistra, ictus cordis teraba setinggi ICS V linea midclavicula sinistra. Batas
jantung kanan pada ruang interkosta IV linea parasternalis dextra, batas jantung
kiri pada ruang interkosta V linea axilaris anterior sinistra. Auskultasi irama
teratur (M1 > M2, T1 > T2, A2 > A1, P2 > P1, A2 > P2) tanpa adanya bising dan gallop
pada keempat katubnya.
Pada pemeriksaaan abdomen tampak datar, peristaltik usus normal, palpasi
lemas, nyeri tekan tidak ada. Hepar teraba 2 cm bawah arcus costa dengan tepi
tumpul, permukaan datar dan lien tidak teraba, ballottement tidak ada, shifting
dullness tidak ada. Nyeri ketok kostovertebra kiri dan kanan tidak ada. Pada
ekstremitas, akral teraba hangat, oedema (+) kedua tungkai, tidak ada deformitas
jari.
Pemeriksaan laboratorium darah: hemoglobin 12,5 g/dL, hematokrit 37,3
x103/mm3, leukosit 6900/mm3, trombosit 267.000/mm3, eritrosit 3,21 x106/mm3,
4
natrium 123mEq/L , kalium 4,5 mEq/L , chlorida 97 mEq/L,ureum darah
35mg/dL. Foto thorax di dapatkan kardiomegali, dengan CTR 52 %. EKG
didapatkan kesan Left Atrium Hipertrofi dan OMI inferior.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan maka ditegakkan diagnosis kerja sebagai CHF fungsional III
et causa CAD dd/ HHD, Susp. DM Tipe 2, Hipertensi grade I, Hiponatremi.
Pasien direncanakan untuk dilakukan Echocardiography (konsul Kardiologi),
pemeriksaan laboratorium lengkap, GDS 4 porsi, konsul gizi.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu : Oksigen nasal kanul 2-4 L/menit,
IVFD NaCl 0,9% + Furosemide 200 mg 7 tetes/menit, Captopril 3 x 12,5 mg
PO, dulcolactol syrup 1 sendok makan setiap 8 jam, injeksi ranitidin 50 mg setiap
12 jam iv, ambroxol 30 mg tablet setiap 8 jam, takar urin/24 jam, balans cairan,
bedrest.
Hari kedua perawatan, keluhan sesak dirasakan berkurang, masih ada
penurunan nafsu makan. Keadaan umum sakit sedang, kesadaran kompos mentis.
Tekanan darah 140/80 mmHg dengan frekuensi nadi 100 kali permenit reguler,
frekuensi pernapasan 24 kali permenit, suhu badan 37,50 C. Ronki basah halus
dikedua lapangan paru berkurang, edema pada tungkai berkurang. Input : 1100 cc.
Urine output : 1150 cc. Hasil lab : eosinofil 0 %, basofil 0%, neutrofil batang 0%,
neutrofil segmen 59 %, limfosit 36 %, monosit 5 %, leukosit 7.500/mm3, eritrosit
3,19/mm3,Hb 12,5 g/dL, Hematokrit 36,1% , trombosit 192.000/mm3, GDP 93
mg/dL, protein total 7,0 g/dL, kreatinin 0,7 mg/dL, ureum 40 mg/dL, asam urat
6,0 mg/dL, albumin 3,8 g/dL, globulin 3,2 g/dL, SGOT 33 U/L, SGPT 26 U/L ,
kolesterol total 85 mg/dL, HDL 33 mg/dL, LDL 161 mg/dL, trigliserida 160
5
mg/dL, Natrium 126mEq/L, Kalium 2,41 mEq/L, chlorida 102 mEq/L. Diagnosis
kerja sebagai CHF fungsional III et causa CAD dd/ HHD, DM Tipe 2 terkontrol
tanpa obat, Hipertensi grade I, Hiponatremi. Diterapi dengan Oksigen nasal kanul
2-4 L/menit, IVFD NaCl 0,9%7 tetes/menit, Furosemide 20 mg I-I-0 iv, Captopril
3 x 12,5 mg PO, dulcolactol syrup 1 sendok makan setiap 8 jam, injeksi ranitidin
50 mg setiap 12 jam iv, ambroxol 30 mg tablet setiap 8 jam, takar urin/24 jam,
balans cairan, bedrest.
Hari ketiga perawatan, keluhan sesak dirasakan berkurang, sudah dapat
melakukan aktifitas lebih berat dari sebelumnya, masih ada penurunan nafsu
makan. Keadaan umum sakit sedang dengan kesadaran kompos mentis. Tekanan
darah 110/70 mmHg dengan nadi 84 kali permenit reguler, frekuensi pernapasan
24 kali permenit, suhu badan 36,50 C. Ronki tidak ada, edema berkurang. Input :
1150 cc Urine output : 1250 cc .Diagnosis kerja sebagai CHF fungsional II - II I et
causa CAD dd/ HHD, DM Tipe 2 terkontrol tanpa obat, Hipertensi grade I,
Hiponatremi. Terapi lanjut, diet rendah lemak dan rendah garam.
Hari Keempat perawatan, sesak berkurang, sudah bisa makan sedikit-
sedikit, bengkak dikaki berkurang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 130/80 mmHg dengan nadi 88
kali permenit reguler, frekuensi pernapasan 24 kali permenit, suhu badan 36,30 C.
Input : 1250 cc Urine output : 1300 cc. Diagnosis kerja sebagai CHF fungsional II
et causa CAD dd/ HHD, DM Tipe 2 terkontrol tanpa obat, Hipertensi grade I,
Hiponatremi. Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu : Ganti venflon, injeksi
furosemide 20 mg I-I-0 iv, Captopril 3 x 12,5 mg PO, dulcolactol syrup 1 sendok
makan setiap 8 jam, injeksi ranitidin 50 mg setiap 12 jam iv, ambroxol 30 mg
6
tablet setiap 8 jam, Bisoplrolol 1,25 mg setiap 24 jam, takar urin, balans cairan
negatif, bedrest. Rencana pemeriksaan : DL, Na, K, Cl
Hari kelima perawatan, sesak berkurang, bengkak berkurang, Sudah
dapat melakukan aktivitas fisik seperti berjalan ke toilet. Keadaan umum pasien
tampak sakit sedang dengan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 140/70
mmHg dengan nadi 60 kali permenit reguler, frekuensi pernapasan 20 kali
permenit, suhu badan 36,30 C. Input : 1300 cc, Urin output : 1400 cc. Hasil lab :
LED 10 mm/jam, leukosit 7000/mm3, eritrosit 3,99/mm3, Hb 11, 8 g/dL,
hematokrit 34,2 %, trombosit 170.000/mm3. Diagnosis kerja sebagai CHF
fungsional II et causa CAD dd/ HHD, DM Tipe 2 terkontrol tanpa obat,
Hipertensi grade I, Hiponatremi.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu : furosemid 40 mg tablet dalam 24
jam, ranitidin 150 mg tablet setiap 12 jam, Bisoplrolol 1,25 mg setiap 24 jam,
captopril 12,5 mg tablet setiap 8 jam, bisacodyl sirup 1 sdm setiap 8 jam, asetosal
80 mg tablet setiap 24 jam.
Pasien direncanakan rawat jalan dan kontrol poliklinik penyakit jantung.
7
BAB III
PEMBAHASAN
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung gagal
memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk mencukupi kebutuhan
metabolisme.7
Gagal jantung didiagnosis dengan menggunakan kriteria Framingham
yang terdiri kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor terdiri dari : Paroxysmal
nocturnal dyspnea, distensi vena-vena leher, peningkatan vena jugularis, ronki,
kardiomegali, edema paru akut, gallop (bunyi jantung III), refluks hepatojugular
positif. Kriteria minor : Edema ekstremitas, batuk malam, sesak pada aktivitas,
hepatomegali, efusi pleura, kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal, takikardia
(>120 denyut/menit). Kriteria Mayor atau minor : penurunan berat badan ≥ 4,5kg
dalam 5 hari terapi.4 Untuk penilaian kriteria fungsional dari gagal jantung
kongestif bisa dilihat dari tabel dibawah ini, menurut NYHA.
Tabel. 1.Penilaian kriteria fungsional New York Heart Association (NYHA)5
Kelas 1
Pasien dengan penyakit jantung tetapi tanpa gangguan pada aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak menyebabkan lelah, palpitasi, dyspnoe, atau angina.
Kelas 2Pasien dengan penyakit jantung dengan sedikit gangguan pada aktivitas fisik, akan membaik jika istirahat.
Kelas 3Pasien dengan penyakit jantung dengan aktivitas fisik yang terbatas. Akan membaik apabila istirahat. Aktivitas yang sedikit akan menyebabkan lelah, palpitasi, dyspnoe, atau angina.
Kelas 4
Pasien dengan penyakit jantung yang tidak mampu untuk melakukan aktivitas apapun dengan nyaman. Gejala- gejala dari heart failure atau sindroma angina ada muncul pada saat istirahat. Apabila ada aktivitas fisik, akan meningkatkan ketidaknyamanan.
8
Berdasarlan teori diatas, dari anamnesa didapatkan sesak nafas bersifat
hilang timbul.Sesak dirasakan saat beristirahat dan memberat terutama saat
beraktivitas seperti naik tangga dan jalan jauh. Pasien tidur menggunakan tiga
bantal, pasien sering terkaget bangun tengah malam karena sesak. Pasien juga
mengeluh bengkak pada kedua kaki.
Dari pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan tekanan darah 140/80
mmHg , frekuensi nadi 108 kali permenit reguler isi cukup, frekuensi pernapasan
28 kali permenit. Suhu badan aksila 37,0 º C, ditemukan peningkatan JVP 5 + 3
cmH20, Rhonki dibasal paru, pada perkusi batas jantung kiri pada ICS V linea
aksilaris anterior sinistra, hepatomegali 2 cm bawah arcus costa, edema pada
kedua tungkai. Hasil foto thorax didapatkan kardiomegali.
Berdasarkan kriteria Framingham pada pasien ini terdapat 4 kriteria mayor
yaitu paroxysmal nocturnal dispnea, peningkatan tekanan vena jugularis, Rhonki,
kardiomegali. Dengan 3 kriteria minor yaitu edema ekstremitas, sesak pada
aktifitas dan hepatomegali. Berdasarkan kriteria NYHA, pasien dengan sesak
nafas saat beraktifitas maupun istirahat, dapat diklasifikasikan sebagai CHF fc III-
IV.
Penyakit Arteri Koroner (Coronary artery disease (CAD) merupakan
penyempitan atau terhambatnya aliran darah dalam pembuluh darah koroner yang
disebabkan oleh aterosklerosis. Aterosklerosis (kadang dikenal sebagai
‘pengerasan’ dari pembuluh darah) merupakan pembentukan timbunan kolesterol
dan lemak (plak) pada bagian dalam pembuluh darah. Plak-plak ini menghambat
aliran darah menuju otot jantung dengan cara menyumbat pembuluh darahnya
ataupun dengan cara menyebabkan fungsi dan bentuk pembuluh darahnya menjadi
9
tidak sempurna. Tanpa adanya pasokan darah yang mencukupi, jantung tersebut
menjadi kekurangan oksigen serta nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan untuk
melakukan tugasnya dengan sempurna, sehingga menyebabkan terjadinya gagal
jantung kongestif.8
Pada pasien ini dengan diagnosis CHF fc III-IV e.c CAD, sesuai dengan
teori diatas yang mengatakan bahwa CAD dapat menyebabkan gagal jantung
kongestif, juga dengan melihat hasil EKG dari pasien ini memberi gambaran OMI
inferior.
Hiponatremia adalah sebuah gangguan elektrolit (gangguan pada garam
dalam darah) di mana konsentrasi natrium dalam plasma lebih rendah dari normal.
Sebagian besar kasus hiponatremia terjadi dalam hasil orang dewasa dari jumlah
berlebih atau efek dari hormon penahan air yang dikenal sebagai hormon
antidiuretik yang biasanya disingkat ADH. Diagnosis hiponatremia bergantung
terutama pada pemeriksaan, riwayat medis klinis dan darah dan tes urine.9
Hiponatremia (natrium plasma < 135 mEq/L) lazim didapatkan pada gagal
jantung dan biasa diikuti dengan prognosis buruk. Jika simtomatik biasanya
dikelola dengan restriksi cairan, yang menghasilkan imbang air negatif,
peningkatan osmolalitas plasma dan peningkatan natrium plasma.10 Penyebab
hiponatremia dapat bermacam-macam, hipovolemik hiponatremia dapat terjadi
akibat kehilangan natrium dan cairan bebas dan diganti oleh cairan hipotonis yang
tidak sesuai. Euvolemik hiponatremia terjadi karena intake cairan yang
berlebihan. Hipervolemik hiponatremia terjadi jika penyimpanan natrium
meningkat secara tidak seharusnya.
10
Diagnosis hiponatremia didapatkan dari hasil laboratorium, dimana
Natrium 123 mEq/L. Pada kasus ini hiponatremia yang terjadi adalah
hipervolemik.
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif dapat berupa penatalaksanaan
umum tanpa obat - obatan dan terapi farmakologi. Terapi umum berupa edukasi,
istirahat, olahraga, aktivitas sehari - hari, serta rehabilitasi. Sedangkan terapi
farmakologinya berupa:
1. Angiotensin-converting enzyme inhibitor/penyekat enzim konversi angiotensin.
dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan
fraksi ejeksi 40 - 45 % untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom.
bila terjadi retensi cairan harus diberikan bersama diuretik dan dititrasi sampai
dosis yang dianggap bermanfaat.
2. Diuretik. Penting untuk pengobatan simptomatik bila ditemukan beban cairan
berlebihan, kongesti paru, atau edema perifer. harus dikombinasi dengan
penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat beta.
3. Beta Blocker (obat penyekat beta). Direkomendasikan untuk semua gagal
jantung ringan, sedang, dan berat. Dengan syarat tidak ditemukan adanya
kontraindikasi terhadap penyekat beta. sampai saat ini hanya beberapa
penyekat beta yang direkomenasikan yaitu bisoprolol karvedilol, metoprolol,
suksinat, dan nebivolol.
4. Antagonis Reseptor Aldosteron. Sebagai tambahan dimana dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas. Merupakan pertimbangan apabila gagal jantung
berat meskipun telah menggunakan penyekat enzim konversi angiotensin
11
maupun diuretik. Yang biasanya digunakan adalah spironolakton 25 mg / hari
dimana harus dilakukan pemeriksaan potasium dan kreatinin.
5. Antagonis penyekat reseptor Angiotensin II. Masih merupakan alternatif bila
pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin. Penyekat
angiotensin II sama efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin pada
gagal jantung kronik guna menurunkan morbiditas dan mortalitas. Dapat
dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin II pada pemakaian
penyekat enzim konversi angiotensin pada pasien yang simptomatik guna
menurunkan mortalitas.
Penanganan yang diberikan pada kasus ini yaitu Oksigen nasal kanul,
IVFD NaCl 0,9% + Furosemide 200 mg untuk penanganan diuretik karena pada
pasien ini ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru, atau edema perifer.
diberikan bisoprolol merupakan beta blocker yang dapat dikombinasikan dengan
diuretik, Dulcolactol mengandung zat aktif laktulosa yang bekerja membuat
suasana asam di usus, sehingga memudahkan buang air besar dengan cara
melunakkan feses. Injeksi ranitidin merupakan golongan H2 blocker untuk
menghambat sekresi pada asam lambung yang menyebabkan nyeri pada ulu hati.
Ambroxol merupakan golongan mucolitik sebagai pengencer dahak serta
mengurangi batuk secara simptomatik, takar urin, balans cairan negatif untuk
melihat adanya efektifitas dari diuretik yang digunakan.
Prognosis pada pasien ini baik, karena belum terjadi komplikasi lebih
lanjut dan segera mendapat penanganan dari gagal jantung kongestif.
12
BAB IV
KESIMPULAN
Seorang pasien perempuan,usia 63 tahun, masuk rumah sakit tanggal 13
September 2013 di Instalasi Rawat Inap C1. Setelah dilakukan pemeriksaan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosa “CHF fungsional III et causa CAD dd/ HHD, DM Tipe 2 terkontrol
tanpa obat, Hipertensi grade I, Hiponatremi.” Dilakukan terapi dengan Oksigen
nasal kanul, injeksi furosemide, dulcolactol syrup, injeksi ranitidin, ambroxol,
takar urin, balans cairan negatif. Prognosis pada pasien ini baik, karena belum
terjadi komplikasi lebih lanjut dan segera mendapat penanganan dari gagal
jantung kongestif.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Ghanie A. Tatalaksana Gagal Jantung Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
2. Braunwald E. Heart Failure and Corpulmonale. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17ed. Chicago: McGraw-Hill; 2008.
3. Istharini A. Gagal jantung kongestif. Patofisiologi gagal jantung kongestif. Agustus 2010.
4. Rani, Aziz A, Dkk. Panduan Pelayanan Medik : Gagal Jantung Kroni. Cetakan ketiga. Jakarta: PB. PAPDI.2009.
5. Rhapael C, Briscoe C, Davies J, Whinnett Z, Manisty C,Sutton R, etc. Limitations of the New York Heart Association Functional Classification
System and Self‐reported Walking Distances in Chronic Heart Failure. Heart. 2007 April; 93(4) : p. 476–82
6. Braunwald E. Heart Failure and Corpulmonale. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18 ed. Chicago: McGraw-Hill; 2008.
7. Definisi gagal jantung. Diunduh dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Gagaljantung.Pada tanggal 17/9/2013
8. Penyakit Arteri Koroner. Diunduh dari : http://theharleystreetclinicsingapore.com/indonesia/heart-disease-types.html.Pada tanggal 20/09/2013.
9. Hiponatremia. Diunduh dari: http://www.news - medical.net/health/Hyponatremia-What-is - Hyponatremia%28Indonesian%29.aspx. Pada tanggal 19/9/2013
10. De Luca L, Klein L, Udelson JE, Orlandi C, SardellaG, Fedele F, Gheorghiade M.Hyponatremia in Patients with Heart Failure. The American Journal of Cardiology Volume 96 Issue 12. Supplement 1,19. December 2005, Pages 19-23.
14