Responsi TB Anak
-
Upload
elienyuwono8279 -
Category
Documents
-
view
74 -
download
3
Transcript of Responsi TB Anak
RESPONSI KASUS DOKTER MUDA
RESPIROLOGI
Pembimbing:
Retno Asih S., dr., Sp.A(K)
Oleh:
Elien Yuwono 010911035
Oggy Satriya P. 010911036
Clarisa Finanda 010911037
DEPARTEMEN / SMF ILMU KESEHATANANAK
RSUD DR. SOETOMO
FAKULTAS KEDOKTERAN- UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit akibat infeksi oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru yang biasa merupakan lokasi infeksi primer.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus
baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB. Kasus baru
diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan
akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan,
pencegahan serta TB dengan keadaan khusus. Pada anak juga sering timbul TB ekstra
thorakal yang sering kali menjadi sebab kematian atau menimbulkan cacat, misal pada TB
Meningitis.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan menemukan kuman TB dari bahan-bahan seperti sputum, bilasan
lambung, biopsy dan lain lain, tetapi hal ini pada anak sulit didapat. Karena sulitnya
mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain
pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena
sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam
positif, sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya
penanganan TB anak kurang diperhatikan.
Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya pengobatan
yang diperlukan. Oleh karena itu pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya penting
yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor risiko
infeksi TB yaitu anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah
endemis, penggunaan obat-obatan intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang tidak sehat
(tempat penampungan atau panti perawatan).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS
1. EPIDEMIOLOGI
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di Negara maju,
salah satunya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2
miliar orang), telah terinfeksi oleh M. tuberkulosis, dengan angka tertinggi di Afrika,
Asia, dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang
timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di Negara
berkembang maupun di negara maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi TB
setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan
pertumbuhan populasi yang cepat.( UKK Respirologi PP IDAI,2008)
1.1 Faktor Risiko
1.1.1 Risiko infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah sebagai berikut: anak yang
memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah endemis, penggunaan
obat-obatan intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang tidak sehat (tempat
penampungan atau panti perawatan). Risiko terinfeksi dengan kuman TB meningkat
bila anak tersebut tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA positif (WHO, 2008).
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak-anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum yang positif, serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien
TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena kuman TB sangat jarang ditemukan dalam sekret
endobrokial, dan jarang terdapat batuk (Rahajoe dkk., 2008).
Hal tersebut karena:
a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi
karena imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit.
b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak
terjadi produksi sputum.
c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.
1.1.2 Risiko sakit TB
Orang yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan mengalami sakit TB
(Rahajoe dkk., 2008) . Terjadinya penyakit TB bergantung pada sistem imun untuk
menekan multiplikasi kuman. Kemampuan tersebut bervariasi sesuai dengan usia,
yang paling rendah adalah pada usia yang sangat muda. HIV dan gangguan gizi
menurunkan daya tahan tubuh; campak dan batuk rejan secara sementara dapat
mengganggu sistem imun. Dalam keadaan seperti ini penyakit TB lebih mudah terjadi
(WHO, 2008). Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB :
a. Usia. Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala
yang akut. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin
(dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi
HIV, keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.
2 PATOGENESIS DAN PERJALANAN ALAMIAH
2.1 Patogenesis
Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung Mikobakterium
tuberkulosis (M.Tb), di alveolus M.Tb akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan
dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag alveolus lemah maka M.Tb
akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan
ditarik secara kemotaksis ke arah M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak
dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel
epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan
menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi
kalsifikasi. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya
kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer).
Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar
limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika fokus primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya komplek primer
secara lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya komplek primer inilah,
infeksi TB primer terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin. Setelah imunitas
seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat mengalami salah satu hal sebagai
berikut, mengalami resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini.
Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi yang disebabkan oleh fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis pengkejuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu yaitu obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal yang akan
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Dapat juga terjadi obstruksi total yang
menyebabkan atelektasis. Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat
terjadi penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk komplek primer. Sedangkan pada
penyebaran hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh dan disebut penyakit sistemik. Penyebaran hematogen sering tersamar (occult
hematogenic spread) sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik terutama apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi
tersebut kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk
dorman dan bisa terjadi reaktivasi jika daya tahan tubuh pejamu turun.
2.2 Perjalanan Alamiah
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif
dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi
TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit
ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan
saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3 – 6
bulan pertama setelah terinfeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis
pleura terjadi dalam 3 -6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal
terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga.
Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih la,a, yaitu 5 – 25 tahun setelah infeksi primer.
Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1
tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah
diagnosis TB.
3. DIAGNOSIS
Diagnosis paling tepat adalah ditemukannya basil Tb dari bahan yang diambil dari
pasien misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dll. Tetapi pada anak hal ini sulit dan
jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis Tb anak didasarkan gambaran klinis,
gambaran radiologis, dan uji tuberkulin.
Untuk itu penting memikirkan adanya Tb pada anak kalau terdapat keadaan atau
tanda-tanda yang mencurigakan seperti dibawah ini :
1. Pada anak harus dicurigai menderita Tb kalau :
1. Kontak erat (serumah) dengan penderita Tb dengan sputum BTA (+)
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG dalam 3-7 hari.
3. Terdapat gejala umum
TB tulang (dalam 3 tahun)
TB ginjal, TB kulit (setelah 5
tahun)
Gambar 1.2 Perjalanan Alamiah Tuberkulosis
2. Gejala-gejala yang harus dicurigai Tb
I. Gejala umum/tidak spesifik
a. Berat badan turun atau malnutrisi tanpa sebab yang jelas atau tidak naik
dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.
b. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
c. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau
infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multiple,
paling sering di daerah leher, axilla dan inguinal.
e. Gejala-gejala respiratorik :
- batuk lama lebih dari 3 minggu
- tanda cairan di dada, nyeri dada
f. Gejala gastrointestinal
- diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare
- benjolan/massa di abdomen
- tanda-tanda cairan dalam abdomen
II. Gejala Spesifik
1. Tb kulit/skrofuloderma
2. Tb tulang dan sendi
Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
Tulang panggul (koksitis) : pincang
Tulang lutut : pincang dan/atau bengkak
Tulang kaki dan tangan
3. Tb Otak dan Saraf
- Meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan
kesadaran menurun
4. Gejala mata : Conjungtivitis phlyctenularis, Tuberkel koroid (hanya terlihat
dengan funduskopi)
5. Lain-lain
3. Uji tuberculin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan intrakutan). Tuberkulin
yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU atau PPD-S kekuatan 5
TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter tranversal
dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam mm, dikatakan positif bila
indurasi : > 10 mm.
4. Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa kemerahan dan
indurasi > 5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis.
5. Foto Rontgen Paru : seringkali tidak khas
Pembacaan sulit, Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran
kelenjar hilus atau kelenjar paratrake al.
Gambaran rontgen paru pada Tb dapat berupa :
Milier, Atelektasis, Infiltrat , pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi
(lobus), reaksi pleura dan/atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis,
kavitas,destroyed lung.
Catatan : diskongkruensi antara gambaran klinis dan gambaran radiologis, harus
dicurigai Tb. Foto Rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral serta dibaca oleh
ahlinya.
6. Pemeriksaan mikrobiologi : pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis) dan kultur dari
sputum (pada anak bilasan lambung karena sputum sulit didapat ).
7. Pemeriksaan serologi (ELISA, PAP, Mycodot, dll) masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
8. Pemeriksaan patologi anatomi.
9. Respon terhadap pengobatan OAT. Kalau dalam 2 bulan terdapat perbaikan klinis
nyata, akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC.
(Setiawati., dkk,
2008)
Keterangan : anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6, ( skor maksimal 13).
Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir, unilateral
atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir
tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip
pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan
penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa
minggu.
4. TATA LAKSANA
Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan. (WHO,
2008)
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif
lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan kecuali pada TB berat). Pemberian
paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk
membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. OAT diberikan setiap hari dengan paduan obat yaitu rifampisin, isoniazid
dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid.
Sedangkan pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid. Untuk kasus TB
tertentu yaitu : TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis
TB, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari, dibagi 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan taffering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid adalah untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadinya perlekatan
jaringan.
4.1.1 Obat TB yang digunakan
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin, INH, pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah PAS, viomisin,
sikloserin, etionamid, kanamisin, dan kapriomisin, yang digunakan jika terjadi
multidrug resistance (MDR). Rifampisin dan INH merupakan obat pilihan utama dan
ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin (Rahajoe dkk., 2008)..
4.1.1.1 Isoniazid
INH ( Isonikotinik hidrazil ) adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat
ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik
aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap
kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi
ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS),
cairan pleura, cairan acsites, jaringan kaseosa dan angka timbulnya reaksi simpang
(adverse reaction) sangat rendah.
INH diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan (5-15 mg/kg/hari),
maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. INH yag tersedia umumnya
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk syrup 100 mg/5 ml.
Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan cairan serebrospinal dapat dicapai
dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. INH dimetabolisme
melalui asetilasi di hati. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika-
Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Tidak terdapat korelasi antara kecepatan
asetilasi dan efikasi atau reaksi simpang pada anak. INH terdapat pada ASI ibu yang
mendapat INH dan dapat mnembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang
mencapai janin / bayi tidak membahayakan.
INH mempunyai dua efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer,
tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan
bertambahnya usia. Tiga sampai sepuluh persen anak yang menggunakan INH
mengalami peningkatan kadar transaminase darah. Hepatotoksisitas yang bermakna
secara klinis sangat jarang terjadi. Hal ini lebih mungkin terjadi pada remaja atau
anak-anak dengan tuberkulosis yang berat. Idealnya perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksik
maka pemantauan laboratorium tidak rutin kecuali ada gejala dan tanda klinis.
Hepatotoksisitas akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan rifampisin
dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobarbital atau fenitoin dapat
meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya
pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3 kali harga normal atau
terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning.
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH, tetapi manifestasi
klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin tambahan. Namun,
pada remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan
daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI memerlukan
piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati
rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan satu kali sehari 25-50
mg atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg INH.
Manifestasi alergik atau reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh INH sangat
jarang terjadi. Kadang-kadang, INH berinteraksi dengan teofilin sehingga diperlukan
penyesuaian dosis. Efek samping yang jarang terjadi antara lain adalah pellagra,
anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G-6-PD, dan reaksi mirip-
lupus yang disertai ruam dan arthritis (Rahajoe dkk., 2008).
4.1.1.2 Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh
oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui system gastrointestinal pada
saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, Rifampisin
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/ kgBB/hari, dosis maksimal 600
mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jika diberikan bersamaan dengan
INH, dosis Rifampisin tidak melebihi 15 mg/ kgBB/hari dan dosis INH 10
mg/kgBB/hari. Seperti halnya INH, Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan
dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifampisin ke dalam CSS lebih baik dalam
keadaan meningens yang sedang mengalami peradangan dibandingkan dalam keadaan
normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang
efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek yang kurang
menyenangkan pada pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum dan
air mata menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (muntah dan mual) dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang
biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika
rifampisin diberikan bersama INH, terdapat peningkatan risiko hepatotoksisitas, yang
dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian INH menjadi maksimal 10
mg/kg/hari. Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia. Rifampisin umumnya
tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg sehingga kurang sesuai
untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. Suspensi dapat
dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak
diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul malabsorpsi
(Rahajoe dkk., 2008).
4.1.1.3 Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada
suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara oral
dengan dosis 15-30 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum
puncak 45 ?g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500
mg. Penggunaan PZA aman pada anak. PZA diberikan pada fase intensif karena PZA
sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih
sangat banyak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan PZA mengalami efek
samping berupa arthralgia, arthritis, atau gout akibat hiperurisemia, namun pada anak
manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang
timbul pada anak. PZA dapat digerus dan diberikan bersama makanan seperti INH
(Rahajoe dkk., 2008).
4.1.1.4 Etambutol
Etambutol (EMB) jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Dosis EMB 15-20 mg/kg/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal.
Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 2-4 jam.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan EMB
tidak dikenal. EMB tersedia dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Memiliki aktivitas
bakteriostatik, dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat - obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis
tinggi dengan terapi intermitten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian
juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-
anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari. Kemungkinan
toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat
laporan toksisitas optik pada anak-anak. Namun, obat ini tidak digunakan secara luas
karena pada anak-anak kecil tidak dapat dilakukan pemeriksaan lapang pandang dan
ketajaman penglihatan. EMB sebaiknya tidak diberikan pada anak yang belum dapat
dilakukan pemeriksaan penglihatan. Namun, EMB dapat diberikan pada anak dengan
TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat- obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan (Rahajoe dkk., 2008).
4.1.1.5 Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraseluler pada
keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Saat ini,
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaanya penting
dalam pengobatan TB yang resisten-obat. Streptomisin dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15—40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, kadar
puncak 40–-50 µg/ml dalam waktu 1—2 jam. Streptomisin sangat baik melewati
selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang.
Sterptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi
melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan
resistensi awal terhadap INH atau jika anak menderita tuberculosis berat. Toksisitas
utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan
dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal
sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat membus plasenta, hingga kontra indikasi
pemberiannya pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, 30%
bayi akan menderita tuli berat (Rahajoe dkk., 2008).
Prinsip dasar obat antituberkulosis harus dapat menembus berbagai jaringan
termasuk selaput otak. Farmakokinetik obat anti tuberkulosis pada anak berbeda
daripada orang dewasa. Toleransi anak terhadap dosis obat per kilogram berat badan
lebih tinggi.
Tabel 1 Obat Anti tuberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya
Nama ObatDosis harian (mg/kg BB/ hari)
Dosis Maksimal (mg per hari)
Efek Samping
Isoniazid* 5 – 15 300Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin**
10 – 20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan.
Pirazinamid 15 – 30 2000Toksisitas hati, artralgia, gastrointestinal
Etambutol 15 – 20 1250
Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah – hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15 - 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10mg/kgBB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin.
4.1.2 Fixed Dose Combination
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif
lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk
Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk
anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:
Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan
komposisi dari tablet KDT tersebut.
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R =
75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50
mg (WHO, 2008)
Tabel 2. Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak
BERAT
BADAN (KG)
2 BULAN TIAP
HARI
4 BULAN TIAP HARI
RH (75/50)
RHZ (75/50/150)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
4.1.3 Evaluasi hasil pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Pentingnya evaluasi pengobatan
adalah karena diagnosis TB pada anak yang sulit dan tidak jarang terjadi salah
diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis,
evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi
klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada
awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain – lain. Apabila respons pengobatan
baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2 – 3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara
rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier,
efusi pleura, atau bronchopneumonia TB. Pada pasien TB millier, foto Rotgen toraks
perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi
pleura TB pengulangan foto Rotgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju Endap
darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi jika pada awal pengobatan nilainya
tinggi.
Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik yaitu gejala masih ada, tidak terjadi
penambahan berat badan, maka obat antituberkulosis tetap diberikan dengan
tambahan merujuk ke sarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Kemungkinan
yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten terhadap OAT. Apabila
setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikan klinis seperti berat badan
meningkat, nafsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka
pengobatan dapat dihentikan.
4.1.4 Evaluasi efek samping pengobatan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, obat-obat tuberkulosis dapat
menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian INH dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas,
ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksisitas.
Efek samping ini jarang terjadi pada pemberian dosis INH yang tidak melebihi 10
mg/kg BB/hari dan dosis rifampisin yang tidak lebih dari 15 mg/kg BB/hari.
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali normal (40 U/L),
peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dL, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan
nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus.
Sebenarnya masih banyak perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai
pemantauan dan penatalaksanaan hepatotoksisitas pada anak. Beberapa pendapat
menyebutkan bahwa pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada
anak dengan penyakit yang berat, seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk,
serta pasien yang memerlukan dosis INH dan rifampisin lebih besar dari dosis yang
dianjurkan. Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama
pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering (misalnya setiap
2 minggu) selama 2 bulan pertama, dan selanjutnya dapat lebih jarang.
Sedangkan pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang
diberikan tidak melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara
rutin. Pada keadaan ini, hanya diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum
pemberian terapi serta pemantauan terhadap gejala klinis hepatotoksisitas.
Penatalaksanaan hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan
perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase
yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian
terapi, sedangkan peningkatan lebih dari 3 kali nilai normal memerlukan penghentian
rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Namun, mengingat pentingnya
rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup
menimbulkan keraguan. Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan pengobatan dengan INH
dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan
dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase lebih dari 5 kali, semua OAT dihentikan,
kemudian kadar enzim trasaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian.
OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah kembali normal. Terapi
berikutnya dilakukan dengan cara memberikan INH dan rifampisin dengan dosis yang
dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium
dengan cermat. Hepatoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya
jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam
paduan pengobatan (Rahajoe dkk., 2008).
Kortikosteroid (prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB, perikarditis
TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 1—2
mg/kg BB/hari selama 4—8 minggu kemudian diturunkan perlahan-lahan hingga 2—6
minggu kemudian.
4.2 Pengobatan pencegahan untuk anak
Bila anak balita sehat, yang tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA positif,
mendapatkan skor < 5 pada evaluasi dengan sistem skoring, maka kepada anak balita
tersebut diberikan isoniazid dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak
tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah
pengobatan pencegahan selesai (WHO, 2008)
Obat pencegahan dengan INH : 5-10 mg/kg BB/hari diberikan pada:
1. Profilaksis primer : anak yang kontak erat dengan penderita TB menular (BTA
positip, tetapi belum terinfeksi).
2. Profilaksis sekunder : anak dengan infeksi TB yaitu tuberkulin positip dan klinis
baik, dengan faktor resiko yang memungkinkan menjadi TB aktif.
- umur dibawah 5 tahun
- menderita penyakit infeksi (morbili, varicella)
- mendapat obat imunosupresif (sitostatik, steroid, dll)
- umur akil balik
- kalau ada infeksi HIV (Setiawati, 2008)
Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka
OAT distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid
(H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan
klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi
RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)
BAB III
KASUS
3.1. Identitas
Nama Anak : An. Hariroh
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 12 tahun
Agama : Islam
Alamat : Gunung Buruh Sadah, Bangkalan
Tanggal MRS : 17 November 2013
Tanggal Pemeriksaan : 2 Desember 2013
No. Rekam Medis : 12.28.97.13
Orang tua :
Ayah : Bp. Abdul Manah
Usia : 32 tahun
Pekerjaan : Supir angkutan
Pendidikan : SD
Penghasilan : 20.000 – 50.000 / hari
Ibu : Ny. Lilik
Usia : 30 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SD
Penghasilan : -
3.2. Anamnesis
Keluhan utama
Batuk
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 1 tahun SMRS. Batuk dirasakan semakin
lama semakin memberat. Dahak (+) putih bercampur sedikit kuning dan kental. Tidak
ditemukan darah pada dahak, batuk darah (-). Batuk dirasakan sepanjang hari (pagi,
siang, sore, dan malam hari). Batuk dikeluhkan sedikit memberat saat beraktivitas.
Panas (+) tidak tinggi, hanya sumer-sumer, sejak 1 tahun SMRS. Panas dirasakan naik
turun. Saat panas, ibu pasien mengaku hanya mengompres anak lalu panas pasien
turun.
Sesak (+) dirasakan pasien semakin memberat apabila pasien berbaring miring ke kiri.
Sesak dikeluhkan sedikit memberat saat beraktivitas. Mengi (-) riwayat alergi (-)
Pilek (+) ingus berwarna bening, mual (+), muntah (+), pasien saat ini merasa nafsu
makan menurun dan mual muntah timbul bila mendapat asupan makanan dan
terkadang setelah batuk muncul. Pasien merasa berat badan menurun sejak sakit.
Sariawan (-), diare (-), kejang (-), bintik-bintik merah di anggota gerak (-), riwayat
sakit kuning (-), nyeri perut (-), kebiruan di bibir (-).
Pasien mengaku BAB lancar. BAK lancar, urin berwarna kuning, nyeri (-), keruh (-),
tetapi saat mendapat pengobatan di RSDS ini BAK sempat pernah berwarna
kecoklatan.
Riwayat penyakit dahulu
Bulan November 2012 batuk (+) dahak (+) berwarna putih bercampur sedikit
kuning dan kental. Panas (+) tidak tinggi, hanya sumer-
sumer, menurun saat dikompres oleh ibu pasien. Pilek (+)
sesak (+). Sempat mengonsumsi obat yang dibeli di
apotek (pasien lupa obat apa yang diberikan) tetapi
keluhan tidak mereda. Pasien merasa nafsu makan
menurun. Saat mendapat asupan makan, mual (+) muntah
(+). Berat badaan saat itu sekitar 42 kg.
Bulan Mei 2013 pasien dibawa ke RS bangkalan, lalu mendapat perawatan
selama 7 hari MRS. Di RS tersebut didiagnosis sebagai
infeksi paru. Setelah itu pasien pulang, lalu diberi obat
selama 3 hari. Saat itu pasien mengaku tidak diberi
edukasi untuk kontrol. Batuk (+), panas (+) pilek (+),
sesak (+), pasien tidak mau makan.
17 November 2013 pasien tidak membaik, gejala semakin memberat. Berat
badan turun hingga 27 kg. Keluarga pasien membawa
pasien ke IRD atas permintaan sendiri.
Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat tranfusi darah (-)
Riwayat antenatal, natal dan neonatal
Selama kehamilan, ibu tidak pernah sakit, tidak pernah minum obat-obatan atau jamu
selama hamil. Ibu pasien rutin kontrol ke bidan.
Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara. Usia kehamilan 9 bulan, lahir normal
di bidan. Saat lahir, pasien langung menangis, merah, tidak biru, tidak kuning. Ibu
lupa berat badan lahir dan panjang badan lahir pasien.
Riwayat imunisasi
Ibu pasien mengatakan pasien hanya pernah mendapat imunisasi usia 6 bulan.
Riwayat imunisasi di lengan atas usia 2-3 bulan, saat disuntikkan kulit sampai
melentung disangkal.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Ibu lupa persisnya tahapan perkembangan anak, tetapi dibandingkan dengan saudara
kandungnya tidak jauh berbeda.
Riwayat menarche: menarche pertama usia 12 tahun, 3 bulan terakhir tidak mens
Riwayat makanan dan gizi
Pasien mendapat ASI sejak lahir sampai usia 2,5 tahun disertai pemberian pisang
yang ditumbuk. Pisang yang diberikan sekitar ¼ buah pisang yang diberikan pagi dan
sore hari. Pasien mendapat asupan tambahan berupa bubur mulai saat usia 3 bulan,
nasi tim dan sayuran saat usia 15 bulan, tetapi ibu pasien lupa seberapa banyak asupan
makanan yang diberikan. Riwayat makanan sehari-hari: sebelum sakit pasien makan
nasi 1 piring 3 kali sehari, dengan lauk tempe, tahu, dan pindang, sayur-sayuran suka
bayam dan kangkung, buah-buahan jarang, daging sapi dan ikan jarang, mie instan
hanya 1 minggu 1x.
Riwayatpenyakitkeluarga
Riwayat darah tinggi pada keluarga pasien (+) pada paman dan eyang pasien.
Riwayat sakit seperti pasien pada keluarga disangkal.
Riwayat sakit batuk lama danpengobatan OAT pada keluarga pasien disangkal.
Riwayat keluarga yang mempunyai gizi buruk disangkal.
Riwayat kencingmanis pada keluarga pasien disangkal
Riwayat alergi pada keluarga pasien disangkal.
Riwayat keluarga yang merokok disangkal
Riwayat Sosial
Riwayat sakit batuk lama pada teman dan tetangga pasien disangkal. Saat ini pasien
bertempat tinggal di Bangkalan. Rumah pasien berada di daerah pedesaan dimana
lingkungan yang lenggang. Luas rumah pasien sekitar 3 m x 4 m, dengan halaman
yang luas, ventilasi dan pencahayaan yang cukup. Ditempat oleh 5 anggota keluarga
(bapak, ibu, pasien, adik pasien, dan nenek). Air yang digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari berasal dari sumur
3.3. PemeriksaanFisik(Bona 2, 14Desember 2013)
3.3.1 Status Generalis
Keadaanumum :kurang
Tanda-tanda vital
- Tensi : 110/70 mmHg
- Nadi : 120 kali per menit
- RR :32 kali per menit
- Suhu :36,70 °C (aksiler)
Anthropometri
BB : 32 kg
TB : 152 cm
BB P< 3
TB 10 <P< 25
Status nutrisi : BB / BBi
32 / 40
80 %
Gizi : kurang
KepalaLeher
- Anemis (+),Ikterik (-), Cyanosis (-),Dyspneu (-), mata cowong (-)
Pernapasan cuping hidung (-/-), pembesaran KGB leher (-/-)
Toraks
Bentukdan gerakan dada simetris, retraksi (+) Intercostal space, Subcostal
- Paru :
Pemeriksaan Depan Belakang
Kanan Kiri Kanan Kiri
INSPEKSI
Bentuk Simetris + + + +
Pergerakan Asimetris tertinggal + tertinggal +
Jarakselaiga normal normal normal normal
PALPASI
Trachea Di tengah
Pergerakan Asimetris tertinggal + tertinggal +
PERKUSI
Suara ketok
Redup
Redup
Redup
Sonor
Sonor
Redup
Redup
Redup
Redup
Sonor
Sonor
Redup
AUSKULTASI
Suara nafas
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Ronkhi
+
(basahkasar)
+
(basahkasar)
+
(basahkasar)
+
(basahhalus)
+
(basahhalus)
+
(basahhalus)
-
+
(basahkasar)
-
-
+
(basahhalus)
-
Wheezing - - - -
- Jantung :
Inspeksi Iktus: tidak tampak
Pulsasi jantung :tak tampak
Palpasi Iktus: teraba, di ICS V, garis Midclavicular sinistra
Pulsasi jantung teraba di apex
Thrill: tidak didapat
Perkusi Batas kanan: di ICS IV, linea parasternal dextra
Batas kiri: ICS V,garis Midclavicular sinistra
Auskultasi S1, S2: tunggal
Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : flat, meteorismus (-)
Palpasi : soepel, hepar : 4x2x2 cm tepi tajam, konsistensi kenyal, permukaan
licin, lien tidak teraba, turgor cukup
Perkusi :timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstrimitas
Akral hangat kering merah,CRT < 2detik, edema -/-, scar BCG -
3.3.2 Status Neurologis
SarafKranialis : Pupil bulat, isokor. Diameter 3mm / 3mm. Refleks cahaya +/+
RefleksFisiologis : +2 | +2
+2 | +2
Klonus (-)
RefleksPatologis : Babinski -/- , Chaddock -/-
Meningeal Sign : (-)
Paresis / Paralisis : (-)
3.4. PemeriksaanPenunjang
- Laboratorium(17 November 2013)
DarahLengkap
WBC :7,7 x103/uL
Limfosit : 15,8 %
Mono : 14,3 %
Granulosit : 69,9 %
RBC : 2,63 x106/uL
HGB : 7,8 g/dL
HCT : 20,4 %
MCV : 77,4 fL
MCH : 29,7 pg
MCHC : 38,2 g/dL
PLT : 307 x103/uL
Kimia Klinik
BUN : 5,3
SK : 0,31
Glukosa :90 mg/dL
SGOT : 30
SGPT : 9
CRP kimia : 122,6
Serum Elektrolit
Kalium : 4,2 mmol/L
Natrium : 131 mmol/L
Klorida : 109 mmol/L
Kalsium : 7,4 mg/dL
pH : 7,488 TCO2 : 21,7
pCO2 : 27,3 BEecf : -2,7
pO2 : 66,2 SO2 : 94,7
HCO3 : 20,9
Alkalosis respiratorik
- Laboratorium(15 Desember 2013)
DarahLengkap
WBC :12.0 x103/uL
Neutrofil : 8.03 %
Limfosit : 3.04 %
Mono : 0.670 %
Eosinofil : 0.080 %
Basofil : 0.168 %
RBC : 3.26 x106/uL
HGB : 8.93 g/dL
HCT : 27,6 %
MCV : 84.6 fL
MCH : 27.4 pg
MCHC : 32.4 g/dL
PLT : 611 x103/uL
Kimia Klinik
BUN : 10
SK : 0.5
SGOT : 36
SGPT : 32
CRP kimia : 2,8
Albumin : 3.1
Faal Hemostasis
PPT (c) : 10.8 (11.9)
APTT (c) : 31.1 (25.0)
- Foto Thorax (17 November 2013)
Kesimpulan: Pneumonia, efusi pleura kanan masif
Foto Thorax (09 Desember 2013 – pra BD)
Foto Thorax (12 Desember 2013 – Post BD)
Foto Thorax (13 Desember 2013 – Evaluasi 1)
Kesimpulan:
i. Keradanganparu
ii. Fluidopneumothoraxkanan
Foto Thorax (15 Desember 2013 – Evaluasi 2)
Kesimpulan:
iii. Keradanganparu
iv. Pneumothorax kanan
v. Atelektasisparukanan
vi. Penebalan pleura kanandanefusi pleura minimal kiri
Analisis Cairan Pleura(17 November 2013)
Jumlah sel pleura : 80.300 sel/uL
Mononuclear 15 %
Polinuclear 85 %
Glukosacairanpleura : 31 mg/dL
Protein cairanpleura : 5,8 g/dL
LDH cairanpleura : 946 U/L
Analisis Cairan Pleura (15 Desember 2013)
Jumlah sel pleura : 2.960 sel/uL
Mononuclear 22 %
Polinuclear 78 %
Glukosa cairan pleura : 52 mg/dL
Protein cairan pleura : 3,9 g/dL
LDH cairan pleura : 915 U/L
Pengecatan tahan asam :tidak tampak kuman tahan asam dalam sediaan
Sediaan langsung gram / GO :tidak ditemukan kuman gram dalam sediaan
Kultur Aerob Dahak ( 13 Desember 2013) : Klebsiella pneumonia
Laporan tes VCT antibody (19 November 2013) : Non reaktif
Mantoux test (19 November 2013) : diameter 15 mm, indurasi +
TB Score
Kontak TB : tidak jelas : 0
Tuberkulin : negatif : 0
BB / keadaangizi : klinisgiziburuk, BB/TB < 70% : 2
Demam : ≥ 2 minggu : 1
Batuk kronis : ≥ 2 minggu : 1
PembesaranKGB : ≥ 1cm, jumlah ≥ 1, tidaknyeri : 1
Pembengkakansendi : tidakada : 0
Ro Thorax : gambaransugestif TB : 2
Total : 7
3.5. Daftar Masalah
- batuk (membaik)
- dahak (membaik)
- demam (membaik)
- sesak (membaik)
- pilek (membaik)
- nafsu makan menurun (membaik)
- mual(membaik)
- muntah(membaik)
- gizi kurang
- pembesaran KGB leher(membaik)
- paru :
- inspeksi : gerak napas asimetris
- palpasi : pergerakan asimetris
- perkusi : redup pada paru kanan
- auskultasi : vesikuler menurun pada paru kanan, ronkhi basah
halus pada kedua lapang paru
- anemia (membaik)
- hepar : 5x3x2 cm, tepi tajam
- foto thorax : pneumonia, atelectasis paru kanan, efusi pleura
kanan(membaik), pneumothorax, penebalan pleura kanan,efusi pleura
kiri minimal
- TB score : 7
3.6. Assessment
Tuberkulosis Paru + Pneumothorax Dextra + Atelektasis Paru Dextra +
empiema thoracis Dekstra (membaik) + Efusi Pleura Sinistra minimal +
Pneumonia + Anemia (membaik) + Gizi Kurang
3.7. Planning
- Diagnosis :
i. Kultur cairan pleura (kirim 12 Desember 2013)
ii. USG Abdomen (18 Desember 2013)
- Terapi :
- Inj Chloramfenicol 3 x 750 mg (2)
- Inj Cefosulbactam 3x750 mg (2)
- Inj Novalgin 3 x 320 mg
- INH 1 x 300 mg p.o (26)
- PZA 1x700 mg p.o (26)
- Rifampicin 1x300 mg p.o (26)
- Prednison 4 mg – 3 mg – 2 mg
- Fisioterapi : chest fisioterapi, nebulisasi dengan bisolvon 4-6x/hari
(kp), mobilisasi duduk
- Diet TKTP 1700 kal
- Nasi 3x per hari
- Susu 5 x 300 cc
- Req – RDA
- K : 32 x 70 : 2240 kcal
- P : 32 x 1,0 : 32 gram
- C : 32 x (70-85) : 2240 – 2720 cc
- T : 40 x 70 : 2800 kcal
Rute oral – parenteral
- Diet 1700 kkal( nasi 3 x 1 porsi) 1700 kkal
- Dancow 5 x 300 1200 kcal
Total 2900 kcal (> 100% T)
- Monitoring: Balance cairan, keluhan, vital sign
Balance cairan 14/12/2013
Input Output
Minum susu 1500 cc PU 1200 cc (~ 1.5 cc/kg/j)
Air 1000 cc Drain 320 cc
2500 cc IWL 1740 cc
3260 cc
Defisit 760 cc
- Edukasi :
- Menjelaskan kepada orang tua pasien kemungkinan penyakit,
penyebab, pemeriksaan yang akan dilakukan dan terapi yang akan
diberikan. Terapi OAT yang diberikan harus diminum teratur dan
bersamaan untuk mencegah resistensi obat. Serta fisioterapi untuk
pasien dengan mobilisasi duduk dan chest fisioterapi.
- Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai prognosis penyakit
yang dialami pasien dan komplikasi yang dapat timbul. Memberi
pengertian bahwa gizi kurang yang dialami pasien akan merperburuk
prognosis penyakit pasien sehingga keluarga perlu memperhatikan
asupan nutrisi dan memantau kenaikan berat badan pasien.
- Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai apa yang harus
dipatuhi apabila pasien pulang.