RESPON SEL LEYDIG DARI MENCIT NEONATAL TERHADAP … filerespon sel leydig dari mencit neonatal...
Transcript of RESPON SEL LEYDIG DARI MENCIT NEONATAL TERHADAP … filerespon sel leydig dari mencit neonatal...
RESPON SEL LEYDIG DARI MENCIT NEONATAL
TERHADAP hCG SELAMA KULTUR IN VITRO
ACHMAD SYAMRONI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Respon Sel Leydig dari
Mencit Neonatal terhadap hCG selama Kultur in Vitro” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Achmad Syamroni
NIM B04120028
ABSTRAK
ACHMAD SYAMRONI. Respon Sel Leydig dari Mencit Neonatal terhadap hCG
selama Kultur in Vitro. Dibimbing oleh KUSDIANTORO MOHAMAD dan
WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS.
Sel Leydig merupakan sel penghasil hormon testosteron pada hewan jantan.
Berdasarkan tingkat kematangan, populasinya terbagi menjadi sel Leydig fetal dan
sel Leydig dewasa. Hormon human chorionic gonadotropin (hCG) adalah salah
satu faktor yang memengaruhi proliferasi dan diferensiasi pada sel Leydig dewasa,
tetapi belum diketahui pengaruhnya pada sel Leydig fetal. Penelitian ini bertujuan
untuk menjajaki respon sel Leydig fetal terhadap penambahan hCG pada kultur in
vitro dengan menggunakan sel Leydig yang diisolasi dari mencit neonatal. Sel
Leydig diisolasi dari mencit neonatal umur tiga hari, dikultur in vitro selama enam
hari, dan diberi perlakuan dengan dan tanpa penambahan hCG. Data yang
dievaluasi berupa tingkat proliferasi (population doubling time, PDT) dan jumlah
sel yang mengekspresikan keberadaan enzim 3β-HSD. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan hCG pada kultur in vitro sel Leydig dewasa
meningkatkan proliferasi sel, sebaliknya pada sel Leydig fetal menurunkan
proliferasi sel. Penambahan hCG tidak memengaruhi persentase jumlah sel Leydig
dari mencit neonatal yang mengekspresikan enzim 3β-HSD. Dapat disimpulkan
bahwa sel Leydig fetal dari mencit neonatal memiliki respon yang berbeda dengan
sel Leydig dewasa terhadap penambahan hCG secara in vitro.
Kata kunci: hCG, kultur in vitro, mencit neonatal, proliferasi, sel Leydig
ABSTRACT
ACHMAD SYAMRONI. Responsiveness of Neonate Mice Isolated Leydig Cells
to hCG during in Vitro Culture. Supervised by KUSDIANTORO MOHAMAD and
WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS.
Leydig cells that producing testosterone in the male are divided into two
different mature populations, i.e. fetal Leydig cells and adult Leydig cells. Human
chorionic gonadotropin (hCG) is one of the factors that influence the proliferation
and differentiation of adult Leydig cells, but it is not known its effect on fetal Leydig
cells. This study aims to examine the responsiveness of the fetal Leydig cells that
isolated from neonate mice to hCG supplementation during in vitro culture. Leydig
cells were isolated from three days old mice, cultured for six days, and treated with
and without hCG supplementation. Data that analyzed were the proliferation rate
(population doubling time, PDT) and the number of cell that expressing the 3β-
HSD enzyme. The results of this study showed that the hCG supplementation
increased the proliferation rate of the adult Leydig cells. In contrast the hCG
supplementation decreased the proliferation rate of fetal Leydig cells from neonate
mice. The hCG supplementation did not affect the number of fetal Leydig cells that
expressing the 3β-HSD enzymes from neonate mice. It can be concluded that the
fetal Leydig cells from neonate mice responsed differently to hCG supplementation
in vitro compared to the adult Leydig cells.
Keywords: hCG, in vitro culture, Leydig cell, neonatal mice, proliferation
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
RESPON SEL LEYDIG DARI MENCIT NEONATAL
TERHADAP hCG SELAMA KULTUR IN VITRO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ACHMAD SYAMRONI
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‘ala atas segala
nikmat yang dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Respon Sel Leydig dari Mencit Neonatal terhadap hCG selama Kultur in
Vitro”.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua, adik, dan
seluruh keluarga atas dukungan dan kasih sayang yang selalu dilimpahkan kepada
penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Kusdiantoro Mohamad,
MSi, PAVet dan Drh Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi, PAVet selaku
pembimbing yang senantiasa memberikan motivasi dan masukan selama penelitian
dan penulisan skripsi. Terima kasih kepada Prof Drh Arief Boediono, PhD, PAVet
(K) atas saran dan pengetahuan yang diberikan selama penelitian. Terima kasih
kepada Wahyudin, AMd dan teman sepenelitian “Embrio penuh warna” (Senna,
Herman, Yusa, Riki, Alisa, Septi, Kak Reza, kakak-kakak pascasarjana) atas
bantuan dan kerja sama selama penelitian. Terima kasih kepada Erfan dan Bhetari,
keluarga HKRB 49, teman-teman Astrocyte (FKH 49), dan teman-teman Cahsper
yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016
Achmad Syamroni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Anatomi dan Histologi Testis 2
Perkembangan Sel Leydig 2
Peran hCG dalam Perkembangan Sel Leydig 3
Sintesis Testosteron pada Sel Leydig 3
METODE 4
Tempat dan Waktu 4
Bahan 4
Alat 4
Tahapan Prosedur Kerja 5
Persiapan Cawan Petri 5
Isolasi dan Kultur Sel Leydig 5
Perlakuan Kultur Sel Leydig 5
Evaluasi Hasil Kultur 5
Prosedur Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Proliferasi Sel Leydig in Vitro 7
Identifikasi Sel Leydig 9
SIMPULAN DAN SARAN 10
Simpulan 10
Saran 10
DAFTAR PUSTAKA 10
RIWAYAT HIDUP 12
DAFTAR TABEL
1 Kosentrasi, population doubling time (PDT) dan viabilitas sel Leydig dari
mencit neonatal dan dewasa setelah kultur in vitro selama enam hari 7
2 Persentase sel Leydig dari mencit neonatal berdasarkan keberadaan enzim
3β-HSD setelah kultur in vitro selama enam hari 9
DAFTAR GAMBAR
1 Gambar 1 Mekanisme sintesis testosteron pada sel Leydig 4
2 Gambar 2 Sel Leydig dari mencit neonatal setelah pewarnaan vital dan
3β-HSD 6
3 Gambar 3 Kultur in vitro sel Leydig dari mencit neonatal 8
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sel Leydig merupakan sel penghasil hormon testosteron yang fungsinya
dibantu oleh enzim steroidogenik dan induksi berbagai faktor pertumbuhan yang
lain. Sel Leydig dibagi menjadi dua jenis populasi berdasarkan tingkat kematangan,
yaitu sel Leydig fetal dan sel Leydig dewasa. Sel Leydig fetal dapat ditemukan
selama masa fetal sampai beberapa hari pascalahir, sedangkan sel Leydig dewasa
terdapat pada hewan dewasa, telah terdiferensiasi, dan bersifat fungsional sebagai
penghasil hormon testosteron (Ariyaratne et al. 2000).
Penelitian mengenai proses perkembangan sel Leydig fetal mengarah kepada
tiga pendapat utama, yaitu 1) sel Leydig fetal mengalami degenerasi atau mati,
kemudian digantikan oleh Leydig dewasa, 2) sel Leydig fetal mengalami regresi
membentuk sel pseudo-fibroblas, atau 3) sel Leydig fetal berkembang dan
berdiferensiasi menjadi sel Leydig dewasa. Hal yang menjadi kesamaan dalam
ketiga asumsi tersebut adalah sel Leydig fetal hanya bertahan beberapa hari
pascalahir (Wen et al. 2011).
Human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan hormon yang analog
dengan LH karena sebagian besar komponen dalam hCG merupakan hormon
luteotropik. Hormon LH/hCG pada hewan jantan diketahui memiliki peran penting
dalam menginduksi produksi testosteron dan memicu perkembangan sel Leydig,
baik secara in vivo maupun in vitro (Cole et al. 1991).
Sel Leydig fetal pada saat neonatal dan sel Leydig dewasa diduga akan
menunjukkan perbedaan respon pada saat dipaparkan dengan hCG. Akan tetapi
belum banyak dilaporkan pengaruh hCG terhadap perkembangan sel Leydig fetal
secara in vivo maupun in vitro. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang pengaruh hCG terhadap perkembangan sel Leydig fetal dan
dewasa secara in vitro, sebagai gambaran umum kondisi in vivo.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki perbedaan sifat kultur sel Leydig
fetal dan dewasa terhadap penambahan hCG, ditinjau dari proliferasi dan
diferensiasi sel secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang respon
sel Leydig yang diisolasi dari mencit neonatal terhadap hCG dan strategi dasar
untuk perbanyakan sel tersebut pada kultur in vitro.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi dan Histologi Testis
Testis disusun atas dua komponen utama, yaitu tubulus seminiferus dan
jaringan interstisial. Tubulus seminiferus terdiri dari sel-sel spermatogenik, sel
Sertoli, sel myoid dan jaringan ikat yang berfungsi untuk mempertahankan bentuk
organ. Jaringan interstisial disusun atas sel-sel Leydig sebagai sel utama disamping
pembuluh darah, jaringan ikat, sistem limfatik, makrofag, dan sel-sel fibroblas
(Fawcett et al. 1970).
Sel-sel Leydig berfungsi sebagai sel penghasil hormon testosteron. Hormon
testosteron pada hewan jantan berperan dalam perkembangan karakteristik kelamin
sekunder, peningkatan massa otot dan tulang, status reproduksi serta pertumbuhan
hewan (Campbell et al. 2010).
Sebagian besar mamalia memiliki testis di luar tubuh yang dibungkus oleh
skrotum, suatu lipatan dinding tubuh untuk mempertahankan suhu testis sekitar 2 oC di bawah suhu tubuh. Testis berkembang di dalam rongga abdominal selama
masa fetal, kemudian turun ke kantung skrotum seiring dengan perkembangannya
(Campbell et al. 2010).
Perkembangan Sel Leydig
Perkembangan sel Leydig berlangsung bersamaan dengan proses
organogenesis testis. Sel Leydig merupakan sel somatis yang berasal dari jaringan
mesoderm paraksial, yang kemudian selama masa fetal bermigrasi menuju korda
testikular dan kemudian mengisi jaringan interstisial testis (Huhtaniemi dan
Pelliniemi 1992).
Perkembangan sel Leydig melalui beberapa tahapan, yaitu sel prekursor
(Leydig fetal), sel progenitor, sel leydig dewasa awal, dan sel Leydig dewasa
matang (Mendis-Handagama dan Ariyaratne 2001). Masing-masing tahapan
perkembangannya dipengaruhi oleh sistem endokrin dan faktor induksi yang lain.
Sel Leydig fetal merupakan sel mesenkim yang menjadi prekursor untuk sel
Leydig dewasa (Mendis-Handagama dan Ariyaratne 2001). Sel Leydig fetal
muncul sejak terbentuknya rigi genital sampai beberapa hari pascalahir. Sel Leydig
fetal memiliki bentuk menyerupai fibroblas dengan ciri-ciri mempunyai banyak
retikulum endoplasma halus, lipid droplet dan glikogen sitoplasma, serta memiliki
mitokondria dengan bentuk yang tidak seragam, berlamela dan berbetuk tubular
(Kerr dan Knell 1998).
Jumlah sel Leydig fetal mencapai puncak pada hari ke-17 sampai ke-22
kebuntingan, kemudian mengalami penurunan pada hari ke-3 pascalahir, dan
mencapai jumlah terendah pada hari ke-14 pascalahir (Kerr dan Knell 1998).
Menurut Teerds et al. (1989) setelah itu sel Leydig fetal akan digantikan oleh sel
Leydig dewasa selama hidup hewan.
Unsur yang berperan dalam menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel
Leydig fetal antara lain transforming growth factor alpha (TGFα), platelet
derivated growth factor subunit A (PDGF-A), dan hormon tiroid. Faktor yang
3
menghambat perkembangan sel Leydig fetal menjadi sel Leydig dewasa adalah
hormon androgen, estrogen, dan hormon anti-Mulerian yang dihasikan oleh sel
Sertoli (Mendis-Handagama dan Ariyaratne 2001).
Sel Leydig fetal akan berdiferensiasi menjadi sel progenitor yang
merupakan peralihan dari fase fetal ke fase dewasa (Mendis-Handagama dan
Ariyaratne 2001). Morfologi sel progenitor serupa dengan sel Leydig fetal, tetapi
pada sel progenitor telah terbentuk reseptor enzim 3β-HSD dan hormon LH
meskipun belum fungsional. Sel progenitor pada mencit muncul pada hari ke-10
pascalahir (Hardy et al. 1989). Setelah itu, sel progenitor akan berkembang menjadi
fase dewasa pada hari ke-14 pascalahir, yaitu sel Leydig dewasa tahap awal
kemudian sel Leydig dewasa matang.
Fase dewasa sel Leydig memiliki bentuk yang berbeda dengan fase fetal,
yaitu bentuk lebih bulat, ukuran sel yang lebih besar, sitoplasma dipenuhi
mitokondria dan retikulum endoplasma halus, dan jarang ditemukan lipid droplet
(Kerr dan Knell 1998). Sel Leydig dewasa memiliki organel dan reseptor yang lebih
lengkap daripada sel Leydig fetal, sehingga mampu berfungsi optimal dalam
memproduksi hormon testosteron.
Peran hCG dalam Perkembangan Sel Leydig
Human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan hormon glikoprotein
yang diproduksi oleh plasenta pada wanita hamil. Komposisi hCG sebagian besar
adalah LH sehingga hCG merupakan hormon analog untuk LH (Cole et al. 1991).
Luteinizing hormone (LH) menjadi faktor utama dalam diferensiasi dan
produksi hormon testosteron pada sel Leydig dewasa. Munurut Mendis-
Handagama dan Ariyaratne (2001), LH tidak memengaruhi diferensiasi dan
proliferasi sel Leydig fetal, akan tetapi sangat berpengaruh pada sel Leydig dewasa.
Adanya reseptor LH dan hormon testosteron memungkinkan sel Leydig dewasa
responsif terhadap LH, dan meningkatkan tingkat proliferasi dan diferensiasi sel
Leydig dewasa pada kultur in vitro.
Sintesis Testosteron pada Sel Leydig
Kolesterol merupakan bahan baku dalam sintesis testosteron. Kolesterol
dari luar dimobilisasi ke dalam sel kemudian diubah menjadi testosteron oleh
enzim-enzim steroidogenik. Proses tersebut diawali dengan pembentukan ikatan
antara reseptor LH dengan cyclic adenosine monophosphate cAMP atau LH yang
akan mengubah C27-kolesterol menjadi C21-steroid (pregnenolon) dengan bantuan
enzim sitokrom P450scc di mitokondria (Gambar 1). Proses selanjutnya yaitu
perombakan pregnenolon menjadi progesteron oleh enzim 3β-HSD. Progesteron
selanjutnya diubah menjadi C17-hidroksilasi progesteron dan androstenedion oleh
enzim sitokrom P45017α. Gugus 17-keton pada androstenidion selanjutnya
dihilangkan oleh enzim 17-ketosteroid reduktase agar menjadi testosteron.
Serangkaian proses ini terjadi di retikulum endoplasma halus sel (Payne dan
Youngblood 1995).
4
Gambar 1 Mekanisme sintesis testosteron pada sel Leydig. 17KSR: 17-ketosteroid
reduktase, SER: retikulum endoplasma halus (Payne dan Youngblood
1995).
METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2016 sampai dengan Juni 2016 di
Laboratorium Embriologi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen
Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain mencit (Mus musculus) jantan umur
3 hari (neonatal) dan 28 hari (dewasa), xylazine (Sigma, USA), ketamine (Sigma,
USA), enzim kolagenase (Sigma, USA), tripsin (Sigma, USA), HAM’s F12
(Biowest, France), Dulbecco’s modified Eagle’s medium (DMEM, Gibco, USA),
New Born Calf Serum (NBCS, Sigma, USA), gentamisin (Sigma, USA), gelatin
(Sigma, USA), Dulbecco’s Phosphate Buffer Saline (DPBS, Gibco, USA), hormon
human chorionic gonadotropin (hCG, Chorulon, Intervet, EU), insulin transferrin
selenium (ITS), nitrotetrazolium blue chloride (Sigma, USA), etiocholanα-01-17-
one (Sigma, USA), dimethyl sulfoxide (DMSO, Sigma, USA), serta β-nicotinamide
adenine dinucleotide (β-NAD, Sigma, USA).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan bedah, botol Scott
(Pyrex) 50 mL dan 100 mL, gelas baker 150 mL, gelas penutup, tabung sentrifugasi,
spuit 5 mL, mikrofilter 0.75 µm, penangas air, mikropipet 100 µL dan 1000 µL,
cawan petri kultur berdiameter 35 mm (Corning, USA), improved haemositometer
Neubaeur, centrifuge swinged-rotor, inkubator dan laminar flow.
5
Tahapan dan Prosedur Kerja
Persiapan Cawan Petri
Sebelum kultur, cawan petri kultur berdiameter 35 mm dilapisi gelatin dengan
cara menambahkan larutan gelatin 0.1% (b/v) sebanyak 1 mL selama 1 jam. Setelah
perendaman, larutan gelatin dibuang dan cawan petri dicuci menggunakan DPBS
dan didiamkan ± 5 menit hingga kering.
Isolasi dan Kultur Sel Leydig
Sel Leydig diisolasi dan dikultur berdasarkan metode yang dilakukan oleh
Chemes et al. (1992) yang telah dimodifikasi. Mencit (Mus musculus) jantan
neonatal diinduksi secara hipotermia menggunakan balok es hingga mencit tidak
bergerak, setelah itu dilakukan dislokasi servikal. Mencit jantan dewasa berumur
28 hari dibius dengan xilazine-ketamin sampai terbius sempurna, kemudian
dilakukan dislokasi servikal. Testis diisolasi dari rongga abdomen dan ditempatkan
pada cawan petri berisi DPBS.
Testis dicuci menggunakan DPBS sebanyak 2 kali dan dilakukan dekapsulasi.
Setelah itu, testis dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi 15 mL yang berisi 2 mL
DPBS dan 200 µL enzim kolagenase 1 mg/mL. Suspensi diinkubasi di dalam
penangas air bersuhu 37 oC selama 20 menit. Setelah itu, sebanyak 3 mL
DPBS+serum (10% NBCS) ditambahkan ke dalam suspensi untuk menghentikan
reaksi enzimatis.
Supernatan hasil pencacahan enzimatis kemudian didiamkan selama 3 menit
untuk mengendapkan jaringan tubulus seminiferus dan supernatan yang
mengandung sel-sel interstisial diambil dengan spoit 5 mL. Supernatan kemudian
disaring menggunakan mikrofilter 0.75 µm, selanjutnya disentrifugasi dengan
kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dibilas kembali
dengan 2 mL DPBS+serum. Setelah itu sel dicuci sebanyak 3 kali menggunakan
media kultur DMEM:HAM’s F12 dengan perbandingan 1:1 dan disuplemetasi
dengan insulin transferrin selenium (ITS), gentamisin, dan serum (DMEM+F12).
Sebanyak 1 x 105 sel hasil isolasi dimasukkan ke dalam cawan petri berisi 2 mL
medium kultur DMEM+F12, kemudian diinkubasi dalam inkubator CO2 5%
dengan suhu 37 oC.
Perlakuan Kultur Sel Leydig
Kultur sel Leydig fetal dan dewasa masing-masing dikelompokkan menjadi
dua kelompok yaitu kelompok kultur tanpa dan dengan penambahan hCG (3 IU/mL
media) yang dilakukan pada hari ke-2 dan ke-4, penambahan hCG dilakukan
bersamaan dengan penggantian media kultur. Kultur diinkubasi di dalam inkubator
CO2 5% dengan suhu 37 oC. Media kultur diganti setiap dua hari sekali, dan hasil
kultur dikoleksi pada hari ke-6.
Evaluasi Hasil Kultur
Evaluasi dilakukan setelah sel hasil kultur dikoleksi dengan tripsin 1 mg/mL
(0.1%, b/v). Parameter yang diukur adalah population doubling time (PDT),
viabilitas sel, dan kemurnian sel Leydig pada setiap perlakuan kultur. Konsentrasi
6
dihitung menggunakan improved haemasitometer Neubaeur dengan rumus: (total
sel pada 5 kotak besar/5) x 104 x faktor pengenceran. Nilai PDT dihitung dengan
rumus menurut Davis (2011):
PDT (hari) =1
(log 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙)𝑥3.32𝑥1
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 (ℎ𝑎𝑟𝑖)
Evaluasi viabilitas dilakukan dengan pewarnaan trypan blue pada saat
penghitungan sel hasil kultur. Sel yang mati akan menyerap warna biru dari trypan
blue karena perubahan permeabilitas membran, sebaliknya sel hidup akan tetap
bening atau tidak terwarnai (Gambar 2A).
Gambar 2 Sel Leydig dari mencit neonatal setelah pewarnaan vital dan 3β-HSD.
A. Trypan blue, sel yang hidup ( ) dan yang mati ( ), B. 3β-HSD,
pewarnaan positif di inti ( ), sitoplasma dan inti ( ) dan negatif ( ).
Garis skala = 50 µm.
Kemurnian kultur sel Leydig dievaluasi dengan pewarnaan enzim 3β-HSD
berdasarkan metode yang dilakukan oleh Chemes et al. (1992) yang dimodifikasi.
Pewarnaan enzim 3β-HSD dilakukan dengan dua macam larutan, yaitu larutan A
dan larutan B. Larutan A dibuat dengan melarutkan 1 mg nitrotetrazolium blue
chloride (Sigma, USA) ke dalam 0.6 mL larutan 1 mg/mL etiocholanα-01-17-one
(Sigma, USA) dalam dimethyl sulfoxide (DMSO, Sigma, USA). Larutan B dibuat
dengan mencampurkan 10 mg β-nicotinamide adenine dinucleotide (β-NAD,
Sigma, USA) ke dalam DPBS hangat.
Sel terlebih dahulu difiksasi menggunakan paraformaldehid 4% selama 2
jam pada suhu ruang, kemudian larutan fiksasi dibuang dan dibilas dengan DPBS
sebanyak dua kali. Setelah itu, larutan A dan B ditambahkan kemudian didiamkan
selama 4-5 jam pada suhu 37 oC. Pewarna kemudian dibuang, dan sisa pewarna
dibilas menggunakan DPBS sebanyak tiga kali. Setelah itu hasil pewarnaan diamati
dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 10 x 20. Sel berwarna biru keunguan
menunjukkan bahwa sel tersebut adalah sel Leydig karena mengekspresikan enzim
3β-HSD (Gambar 2B).
7
Prosedur Analisis Data
Parameter yang diamati adalah konsentrasi sel, viabilitas, PDT dan
kemurnian kultur sel Leydig. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan sidik
ragam ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Tukey.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proliferasi Sel Leydig in Vitro
Menurut Davis (2011) population doubling time (PDT) adalah waktu yang
dibutuhkan oleh populasi sel untuk mencapai jumlah dua kali lipat dari jumlah
semula. Semakin kecil nilai PDT, dapat diartikan bahwa proliferasi sel tersebut
semakin cepat. Hasil kultur in vitro sel Leydig fetal dari testis mencit neonatal dan
sel Leydig dewasa dengan dan tanpa hCG tersaji pada Tabel 1 dengan gambaran
kepadatan sel sebelum dan setelah kultur dapat diamati pada Gambar 3.
Tabel 1 Kosentrasi, population doubling time (PDT) dan viabilitas sel Leydig dari
mencit neonatal dan dewasa setelah kultur in vitro selama 6 hari
Perlakuan Konsentrasi awal
(105 sel/mL)
Kosentrasi akhir
(105 sel/mL) PDT (hari) Viabilitas (%)
Neonatal -hCG 1 13.16 ± 3.90a 1.65 ± 0.18c 81.36 ± 4.60a
+hCG 1 6.36 ± 1.30b 2.30 ± 0.28b 85.79 ± 10.80a
Dewasa -hCG 1 3.20 ± 0.20c 3.59 ± 0.19a 73.83 ± 7.42a
+hCG 1 6.44 ± 0.40b 2.24 ± 0.08b 71.00 ± 6.90a Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (p<0.01).
Kultur sel Leydig fetal dari mencit neonatal yang tidak diberi perlakuan hCG
mengalami peningkatan konsentrasi yang lebih tinggi secara nyata (p<0.01)
dibandingkan dengan yang diberi perlakuan hCG (Tabel 1, Gambar 3A-B). Hasil
ini berimplikasi pada nilai PDT yang lebih kecil secara nyata (p<0.01). Nilai PDT
yang kecil pada kultur tanpa perlakuan hCG menunjukkan tingkat proliferasi yang
lebih cepat dibadingkan dengan sel yang diberi hCG.
Hasil menunjukkan bahwa hCG menghambat proliferasi sel Leydig fetal
pada kultur in vitro. Respon sel Leydig fetal terhadap hCG berupa peningkatan
produksi cAMP dan hormon testosteron (Warren et al.1984). Menurut Mendis-
Handagama dan Ariyaratne (2001) testosteron merupakan salah satu penghambat
proliferasi sel Leydig fetal. Teori ini didukung oleh Gaytan et al. (1994) dan Teerds
et al. (1999) yang menyatakan bahwa pemberian LH atau hCG dapat menghambat
proses proliferasi sel Leydig fetal atau sel prekursor.
Kelompok kultur sel Leydig dewasa dengan penambahan hCG memiliki
proliferasi yang lebih cepat secara nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kelompok
8
kultur sel Leydig dewasa tanpa penambahan hCG (Tabel 1). Hal ini ditunjukkan
dengan nilai PDT yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok yang tanpa
ditambahkan hCG (Tabel 1). Menurut Saez (1994), LH/hCG merupakan faktor
penting dalam proliferasi dan diferensiasi sel Leydig dewasa. Mendis-Handagama
dan Ariyaratne (2001) juga menyatakan bahwa sel Leydig dewasa memerlukan LH,
androgen, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), transforming growth factor alpha
(TGFα), transforming growth factor beta (TGFβ) dan estrogen untuk proses
proliferasi dan diferensiasi. Pendapat ini sejalan dengan hasil kultur sel Leydig
dewasa, yang menunjukkan bahwa kelompok kultur dengan penambahan hCG
berproliferasi lebih cepat dibanding kelompok yang tanpa penambahan hCG.
Gambar 3 Kultur in vitro sel Leydig dari mencit neonatal. A. Kultur hari kedua
tanpa hCG; B. Kultur hari keenam tanpa hCG; C. Kultur hari kedua
dengan hCG; D. Kultur hari keenam dengan hCG. Garis skala = 50 µm.
Apabila dibandingkan antara kultur sel Leydig fetal tanpa penambahan hCG
(1.65 ± 0.18 hari) dengan kultur sel Leydig dewasa yang sama-sama tanpa
penambahan hCG (3.59 ± 0.19 hari), kultur sel Leydig fetal memiliki nilai PDT
yang lebih kecil dibanding kultur sel Leydig dewasa (Tabel 1). Hasil ini
menunjukkan bahwa pada kondisi tanpa penambahan hCG, tingkat proliferasi sel
Leydig fetal lebih tinggi dibandingkan dengan sel Leydig dewasa. Hipotesis ini
dikuatkan dengan ulasan oleh Moore et al. (1992) yang menyatakan bahwa sel
Leydig fetal memiliki kecepatan mitosis relatif lebih tinggi dibanding sel Leydig
dewasa. Selain itu, Mendis-Handagama et al. (1998) juga menyatakan bahwa tidak
adanya aktivitas diferensiasi pada sel Leydig fetal mengakibatkan tingkat
proliferasi menjadi meningkat.
Penambahan hCG pada media kultur sel Leydig fetal dan dewasa
menunjukkan respon yang berbeda (Tabel 1). Pada kultur sel Leydig fetal,
penambahan hCG menurunkan tingkat proliferasi sel kultur (nilai PDT kelompok
9
kultur tanpa penambahan hCG adalah 1.65 ± 0.18 hari; nilai PDT kelompok kultur
dengan penambahan hCG adalah 2.30 ± 0.28 hari), sebaliknya pada kultur sel
Leydig dewasa penambahan hCG meningkatkan tingkat proliferasinya (nilai PDT
kelompok kultur tanpa penambahan hCG adalah 3.59 ± 0.19 hari; nilai PDT
kelompok kultur dengan penambahan hCG adalah 2.24 ± 0.08 hari). Perbedaan
respon ini disebabkan karena sel Leydig dewasa sudah memiliki reseptor LH/hCG,
sebaliknya pada sel Leydig fetal belum terbentuk, sehingga sel Leydig fetal menjadi
kurang responsif dibanding sel Leydig dewasa (O’Shaughnessy et al. 1998).
Hasil pewarnaan trypan blue menunjukkan viabilitas sel Leydig pada
kelompok kultur yang diberi dan tanpa diberi penambahan hCG tidak berbeda nyata
(p>0.05) pada semua kelompok perlakuan (Tabel 1). Hasil ini berarti penambahan
hCG tidak berpengaruh terhadap daya hidup sel Leydig fetal setelah kultur in vitro.
Identifikasi Sel Leydig
Pewarnaan spesifik 3β-HSD mendeteksi enzim 3β-HSD yang ada di
retikulum endoplasma halus sel Leydig. Enzim 3β-HSD berperan dalam proses
pembentukan testosteron (Payne dan Youngblood 1995). Sel yang bereaksi positif
dengan pewarnaan 3β-HSD menunjukkan bahwa sel tersebut adalah sel Leydig.
Pewarnaan 3β-HSD pada kultur sel Leydig menunjukkan bahwa tingkat kemurnian
kultur sel Leydig dari mencit neonatal berkisar 90%, tidak berbeda nyata (p>0.05)
baik pada perlakuan dengan dan tanpa penambahan hCG. Hasil pewarnaan 3β-HSD
pada kultur sel Leydig dari mencit neonatal disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Persentase sel Leydig dari mencit neonatal berdasarkan keberadaan enzim
3β-HSD setelah kultur in vitro selama 6 hari
Perlakuan Pewarnaan 3β-HSD (%)
Positif (sel Leydig) Negatif (sel non Leydig)
-hCG 93.00 ± 5.57a 7.00 ± 5.57a
+hCG 90.33 ± 5.51a 9.67 ± 5.51a
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kemurnian kultur sel Leydig dari mencit
neonatal cukup tinggi. Kemurnian hasil isolasi sel Leydig yang tinggi membuktikan
bahwa kontaminasi sel spermatogenik pada testis mencit neonatal sangat kecil.
Perkembangan jaringan tubulus seminiferus pada mencit neonatal masih berbentuk
korda testikular dengan kandungan utama berupa sel prasertoli dan sel
praspermatogonia (Kossack et al. 2009), sehingga potensi kontaminasi saat isolasi
sel Leydig dari testis neonatal oleh sel-sel spermatogenik menjadi semakin kecil
jika dibandingkan dari testis dewasa. Hal ini didukung oleh Gassei et al. (2006)
yang menyatakan bahwa testis tikus prapubertal disusun oleh sel interstisial (sel
Leydig), sel Sertoli dan sedikit sel spermatogenik di membran basal tubulus
seminiferus.
10
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sel Leydig dari mencit neonatal memiliki respon yang berbeda dengan yang
dewasa terhadap penambahan hCG secara in vitro. Penambahan hCG pada kultur
sel Leydig dewasa meningkatkan tingkat proliferasi, sebaliknya pada sel Leydig
dari mencit neonatal menurunkan tingkat proliferasi. Penambahan hCG tidak
memengaruhi persentase jumlah sel Leydig dari mencit neonatal yang bereaksi
positif terhadap enzim 3β-HSD.
Saran
Kultur in vitro sel Leydig fetal dengan tujuan meningkatkan jumlah sel atau
proliferasi sebaiknya dilakukan tanpa penambahan hCG.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyaratne HBS, Mendis-Handagama SMLC, Hales DB, Mason JI. 2000. Studies
on the onset of Leydig precursor cells differentiation in the prepubertal rat testis.
Biology of Reproduction. 63:165-171.
Campbell NA, Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV,
Jackson RB. 2010. Biologi jilid 3. Ed ke-8. Wulandari DT, penerjemah; Hardani
W, Adhika P, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Biology.
Ed ke-8.
Chemes H, Cigorraga S, Bergada C, Schteingart H, Rey R, Pellizzar E. 1992.
Isolation of Human Leydig Cell Mesenchymal Precursors from Patients with the
Androgen Insensitivity Syndrome: Testosterone Production and Response to
Human Chorionic Gonadotropin Stimulation in Culture. Biology of
Reproduction. 46:793-801.
Cole LA, Kardana A, Andrade-Gordon P, Gawinowicz M, Morris JC, Bergert ER,
O’Connor J, Birken S. 1991. The heterogeneity of human chorionic
gonadotropin (hCG). III. The Occurrence and Biological and Immunological
Activities of Nicked hCG. Endocrinology. 129(3):1559-1567.
Davis JM. 2011. Basic Techniques and Media, The Maintenance of Cell Lines and
Safety. Di dalam: John MD, editor. Animal Cell Culture Essential Methods.
England (GB): John Wiley and Sons Ltd.
Fawcett DW, Leak LC, Heidger PM. 1970. Electron microscopic observations on
the ultrastructural components of the blood testis barrier. Reproduction and
Fertility Supplement. 10:105-122.
11
Gassei K, Schlatt S, Ehmcke J. 2006. De novo morphogenesis of seminiferous
tubules from dissociated immature rat testicular cells in xenografts. Andrology.
27(4):611-618.
Gaytan F, Pinilla L, Romero JL, Aguilar E. 1994. Differential effects of the
administration of human chorionic gonadotropin to post-natal rats.
Endocrinology. 142:527–534.
Hardy MP, Zirkin BR, Ewing LL. 1989. Kinetic studies on the development of the
adult population of Leydig cells in testes of prepubertal rat. Endocrinology.
124:762–770.
Huhtaniemi I, Pelliniemi LJ. 1992. Fetal Leydig Cells: Cellular Origin, Morphology,
Life Span, and Special Functional Features. Society for Experimental Biology
and Medicine 201(2):125-140.
Kerr JB, Knell CM. 1998. The fate of fetal Leydig cells during the development of
the fetal and postnatal rat testis. Development. 103(3):535-44.
Kossack N, Meneses J, Shefi S, Nguyen HN, Chavez S, Nicholas C, Gromoll J,
Turek PJ, Reijo-Pera RA. 2009. Isolation and characterization of pluripotent
human spermatogonial stem cell-derived cells. Stem Cells. 27(1):138-49.
Mendis-Handagama SMLC, Ariyaratne HBS, Teunissen van Manen KR, Haupt RL.
1998. Differentiation of adult Leydig cells in the neonatal rat testis is arrested by
hypothyroidism. Biology of Reproduction. 59:351–357.
Mendis-Handagama SMLC, Ariyaratne HBS. 2001. Differentiation of adult Leydig
Cell Population in the postnatal testis. Biology of Reproduction Review. 65:660-
671.
Moore A, Findlay K, Morris ID. 1992. In vitro DNA synthesis in Leydig and other
interstitial cells of the rat testis. Endocrinology. 134:247–256.
O’Shaughnessy PJ, Baker P, Sohnius U, Haavisto AM, Charlton HM, Huhtaniemi
I. 1998. Fetal development of Leydig cell activity in the mouse is independent
of pituitary gonadotroph function. Endocrinology. 139:1141–1146.
Payne AH, Youngblood GL. 1995. Regulation of Expression of Steroidogenic
Enzymes in Leydig Cells. Biology of Reproduction. 52:217-225.
Saez JM. 1994. Leydig Cells: Endocrine, paracrine and autocrine regulation.
Endocrinology Review. 15(5):574-626.
Teerds KJ, de Rooij DG, Rommorts FFG, van den Hurk R, Wensing CJG. 1989.
Proliferation and differentiation of possible Leydig cell precursors after
destruction of existing Leydig cell with ethane dimethane sulphonate: The role
of LH/human chorionic gonadotropin. Endocrinology. 122:689–696.
Teerds KJ, de Boer-Brouwer M, Dorrington JH, Balvers M, Ivell R. 1999.
Identification of markers for precursor and Leydig cell differentiation in the adult
rat testis following ethane dimethyl sulphonate administration. Biology of
Reproduction. 60:1437–1445.
Warren DW, Huhtaniemi IT, Tapanainen J, Dufau ML, Catt KJ. 1984. Ontogeny of
gonadotropin receptors in the fetal and neonatal rat testis. Endocrinology.
114:470-476.
Wen Q, Liu Y, Gao F. 2011. Fate determination of fetal Leydig cells. Frontiers in
Biology. 6(1):12-18.
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 13 Maret 1994.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan
di SD Negeri Sendangcoyo 1 pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2006.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Lasem dan lulus pada tahun
2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Lasem
dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN undangan dan
diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menempuh pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Hewan penulis
mengikuti kegiatan kemahasiswaan seperti Himpro Hewan Kesayangan Satwa
Akuatik (HKSA), Organisasi Mahasiswa Daerah Himpunan Keluarga Rembang di
Bogor (HKRB) dan kegiatan non kampus di Lembaga Bimbingan Belajar Privat
Al-Fattah (Bimbel AF). Penulis aktif di Divisi Kuda Himpro HKSA pada masa
bakti 2013/2014 dan 2014/2015. Penulis membantu dan menyelenggarakan
program-program tahunan Divisi Kuda HKSA. Penulis aktif mengikuti kegiatan
organisasi mahasiswa daerah HKRB sebagai ketua panitia untuk sosialisasi IPB di
Rembang tahun 2013 dan mengadakan canvassing sebagai anggota formatur acara.
Penulis aktif sebagai pengajar di Bimbel AF tahun 2012 sampai sekarang dan
sebagai Tim Menejemen Bimbel periode 2014/2015.