Respon Pertumbuhan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L ... · pertumbuhan tanaman yang digunakan...
Transcript of Respon Pertumbuhan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L ... · pertumbuhan tanaman yang digunakan...
i
RESPON PERTUMBUHAN
TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS ATLANTIS
DAN SUPER JOHN DALAM SISTEM AEROPONIK
TERHADAP PERIODE PENCAHAYAAN
ANIES MA’RUFATIN
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
i
MAKA NIKMAT TUHAN YANG MANAKAH
YANG ENGKAU DUSTAKAN?
(Q.S. 55:13)
Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu?
Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
Yang memberatkan punggungmu?
Dan Kamu tinggikan bagimu sebutan (nama) mu,
KARENA SESUNGGUHNYA SESUDAH KESULITAN ITU ADA KEMUDAHAN,
SESUNGGUHNYA SESUDAH KESULITAN ITU ADA KEMUDAHAN,
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S 94:1-8)
Karya ini, kupersembahkan untuk:
Bapak dan Ibuku tercinta
Serta seluruh keluarga dan sahabatku tersayang.
ii
ABSTRAK
ANIES MA’RUFATIN. Respon Pertumbuhan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.)
Varietas Atlantis dan Super John dalam Sistem Aeroponik terhadap Periode Pencahayaan.
Dibimbing oleh Handoko dan Bregas Budianto.
Benih kentang (Solanum tuberosum L.) dapat dibudidayakan dengan sistem aeroponik.
Aeroponik merupakan suatu media untuk membudidayakan tanaman dengan cara digantungkan di
udara. Sistem aeroponik dilakukan dalam lingkungan buatan. Dalam lingkungan buatan, untuk
mendapatkan syarat iklim bagi tumbuhan perlu diperhatikan kebutuhan suhu, kelembaban dan
intensitas cahaya. Kebutuhan intensitas cahaya diberikan oleh lampu fluorescent (TL) 40 W.
Perlakuan yang diberikan yaitu membedakan periode pencahayaan antara pencahayaan 12 jam dan
24 jam. Selain itu, perlakuan yang digunakan adalah varietas Atlantis dan varietas Super John.
Daya lampu yang digunakan adalah 320 W (8 x 40 W) untuk 2.4 m2 luas media tanam dengan
jarak 30 cm dari sumber cahaya. Pengukuran intensitas yang dilakukan dengan luxmeter diperoleh
rata-rata hanya 1149 lux atau 9 W/m2.Suhu yang terukur dalam lingkungan buatan untuk
aeroponik berkisar antara 20.0 – 26.5˚C dan kelembaban yang terukur antara 48 - 53%. Suhu udara
relatif tidak terlalu tinggi, namun cahaya yang sangat rendah menjadi kendala utama pertumbuhan
tanaman kentang pada percobaan aeroponik ini. Kebutuhan air dan nutrisi tanaman kentang
diperoleh dari sprayer dengan durasi 13 detik setiap 7 menit secara otomatis. Indikator
pertumbuhan tanaman yang digunakan adalah jumlah daun. Pencahayaan 24 jam mempengaruhi
respon pertumbuhan yang lebih baik daripada pencahayaan 12 jam. Hal tersebut dapat dilihat dari
jumlah daun yang telah terukur selama waktu pengamatan.
Kata kunci : kentang, aeroponik, intensitas cahaya, Atlantis, Super John
iii
ABSTRACT
ANIES MA’RUFATIN. Growth of Potato Plants (Solanum tuberosum L.) var. Atlantic and
Super John in Response to Lighting Period of Fluorescent Lamp in Aeroponic System.
Supervised by Handoko and Bregas Budianto.
This study was conducted to find out responses of growth of seed potato (Solanum
tuberosum L. var. Atlantic and Super John) to different lighting period of fluorescent lamp in an
aeroponic system. The light source was provided by 40 W fluorescent lamps under 12 and 24
hours lighting. The total power was 320 W (8x 40 W) for 2.4 m2 with the distance between the
light sources (lamps) and the plants was 30 cm. In this aeroponic system, the environmental
condition which had low light intensity (average of 1149 lux or 9 W/m2.) and low humidity (48-
53%) resulted a negative impact to the plant growth. The range of diurnal room temperature was
20.0 – 26.5 ˚C. Water was automatically sprayed for 13 seconds at 7 minutes interval to ensure
the plant has sufficient water and nutrients. Plant growth was measured from total number of
leaves. The study resulted that 24 hours lighting period had better effect on growth than 12 hours
lighting period. The growth of Atlantic variety was better than Super John in response to the low
intensity of light shown by higher leaf number both in 12 hours and 24 hours lighting period.
Keywords : potato, aeroponics, light intensity, Atlantic, Super John
iv
RESPON PERTUMBUHAN
TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS ATLANTIS
DAN SUPER JOHN DALAM SISTEM AEROPONIK
TERHADAP PERIODE PENCAHAYAAN
ANIES MA’RUFATIN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
Pada
Program Studi Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
v
Judul : Respon Pertumbuhan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.)
Varietas Atlantis dan Super John dalam Sistem Aeroponik terhadap
Periode Pencahayaan
Nama : Anies Ma’rufatin
NRP : G24070040
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Ir. Bregas Budianto, Ass. Dpl.
NIP. 195911301 98303 1 003 NIP. 19640308 199403 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen
Geofisika dan Meteorologi
(Dr. Ir. Rini Hidayati MS.)
NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus:
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, Alhamdulillahirrabilalamin, penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat, hidayah, petunjuk, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya skripsi yang berjudul “Respon Pertumbuhan Tanaman Kentang (Solanum
tuberosum L.) Varietas Atlantis dan Super John dalam Sistem Aeroponik terhadap Periode
Pencahayaan”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains
pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir.
Handoko, M.Sc selaku pembimbing I atas segala bantuan pendanaan penelitian, bimbingan,
arahan, ilmu, wawasan dan petuah yang sangat berguna bagi penulis serta Ir. Bregas Budianto,
Ass. Dpl. selaku pembimbing II atas segala bimbingan, kritik, saran dan petuah yang membangun sehingga dapat menyelesaikan kendala dalam penelitian. Selanjutnya penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Orangtua penulis, Bapak Ahmad dan Ibu Sri Lestari atas segala bentuk dukungan, doa, kasih
sayang, dan segalanya, semoga karya ini bisa menjadi wujud kebanggaan Bapak dan Ibu serta
adek, Kharir Juniantoro, atas segalanya, semoga bisa menjadi lebih baik.
2. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. selaku Ketua Departemen, ibu Tania June selaku dosen penguji,
Bp. Badru atas bantuan teknis menyelesaikan masalah AC di laboratorium Agrometeorologi,
Bp. Udin atas bantuan masalah teknis material di laboratorium Agrometeorologi, Bp. Supono
atas bantuan memudahkan dalam peminjaman buku, Bp. Aziz dan rekan-rekannya untuk
bantuan administrasi serta seluruh dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi.
3. Ibu Herni (Laboratorium BrMC SEAMEO-Biotrop) atas bimbingan dan bantuan selama proses aklimatisasi plantlet kentang serta seluruh staffnya, khususnya Bp. Hasanudin.
4. Rusianto/Anto, atas segala dukungan, suka duka, persahabatan dan kebersamaannya;
Anria/Blake, atas bantuan elektronika timer dan Fitroh N. Amin, atas persahabatan dan
kekeluargaan dalam berbagi suka duka bersama kalian.
5. Loris P. Simangunsong, teman seperjuangan dalam penelitian ini; Azim atas bantuan
elektronika timer dan lainnya; Nedy, Afdal dan Pepew sebagai sesama anak bimbingan Bp.
Handoko; serta seluruh teman-teman GFM44 lainnya (Firdani/Achi, Resa, Fitrie , Dimas, Tika,
Iwan, Bang Sriyo, Sigit, Bembi, Bang Syam, Andi, Nike, Yasmin, Wari, Ade, Ii, Riri, Iyud,
Pasha, Nono, Rini, Tetet, Winda, Rendra, Harde, Adi-Unduh, Tri-Joko, Dilla, Firda, Eka,
Nanas, Wiwid, Narend, Pujo, Adi Purbo, Teguh, Fandi) atas kebersamaan selama ini.
6. Sri Laksmi Dewi; teman-teman kos PNS; teman-teman B22 TPB 2007/2008; teman-teman
lorong III A1 Asrama Putri TPB 2007/2008; seluruh sahabat di OMDA Madiun; serta seluruh teman perjuangan di BEM FMIPA 2008/2009, BEM KM IPB 2009/2010, HIMAGRETO
2008-2011, FOSMA Alumni ESQ IPB dan di seluruh kepanitian yang pernah diikuti.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap dengan skripsi
yang dibuat ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, 19 Agustus 2011
Anies Ma’rufatin
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 2 Maret 1989 sebagai
anak kedua dari tiga bersaudara, anak pasangan Ahmad dan Sri Lestari.
Penulis menyelesaikan masa sekolah RA Masyitoh Madiun tahun 1996,
MI Islamiyah Madiun tahun 2001 dan SMPN 2 Madiun tahun 2004..
Tahun 2007 penulis lulus SMA N 2 Madiun dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk
IPB) untuk jurusan Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan IPA.
Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan
dalam dan luar Departemen Geofisika dan Meteorologi seperti Organisasi
Mahasiswa Daerah Madiun, Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni ESQ IPB, Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Matematika dan IPA (BEM FMIPA) periode 2008/2009, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB periode
2009/2010. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan dan dalam struktur organisasi Himpunan
Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) tahun 2008/2009. Penulis, sebagai
penanggungjawab kelompok, lolos dalam pendanaan proposal program kreativitas mahasiswa
bidang penelitian oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) 2011. Selain itu, penulis pernah
mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik dan Yayasan Salim
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. xi
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................... 2 2.1 Tanaman Kentang .............................................................................................................. 2
2.2 Sistem Aeroponik Tanaman Kentang.................................................................................. 4
2.3 Kebutuhan Cahaya Tanaman dalam Ruang ......................................................................... 5
III. METODOLOGI .................................................................................................................... 6
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................................. 6
3.2 Bahan dan Alat .................................................................................................................. 6
3.3 Metode Penelitian .............................................................................................................. 6
3.4 Pelaksanaan Penelitian ....................................................................................................... 6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. 9
4.1 Kondisi Lingkungan Ruang Pertumbuhan Kentang ............................................................. 9 4.2 Perlakuan Intensitas dan Lama Pencahayaan .................................................................... 10
4.3 Pengaruh Intensitas dan Lama Pencahayaan terhadap Pertumbuhan Kentang .................... 11
V. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 9
5.1 Simpulan ......................................................................................................................... 12
5.2 Saran ............................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 12
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur tanaman kentang........................................................................................................ 2
2 Fase pertumbuhan tanaman kentang ........................................................................................ 2
3 Subkultur plantlet kentang yang ditumbuhkan dalam tabung reaksi dan gelas .......................... 3
4 Sistem aeroponik .................................................................................................................... 5
5 Desain rangkaian sprinkler ...................................................................................................... 7
6 Jarak lubang pada tutup box .................................................................................................... 7 7 Durasi semprot ....................................................................................................................... 7
8 Timer untuk lampu ................................................................................................................. 7
9 Rangkaian aeroponik .............................................................................................................. 7
10 Skema penataan sistem aeroponik dalam Laboratorium Agrometeorologi ................................ 8
11 Pola suhu dan RH diurnal Laboratorium Agrometeorologi ....................................................... 9
12 Pola suhu pengamatan pukul 10.00 WIB ................................................................................. 9
13 Intensitas cahaya (W/m2) yang diterima oleh tanaman kentang .............................................. 10
14 Penurunan jumlah daun varietas Atlantis ............................................................................... 11
15 Penurunan jumlah daun varietas Super John .......................................................................... 12
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data suhu pengukuran pukul 10.00 WIB ................................................................................. 16
2 Data intensitas cahaya (lux) pukul 10.00 WIB ......................................................................... 17
3 Data intensitas cahaya (W/m2) pukul 10.00 WIB ..................................................................... 18
4 Data pengukuran RH dan TBK (suhu) 24 jam tanggal 03 Agustus 2011 ................................... 19
5 Data jumlah daun varietas Atlantis .......................................................................................... 20
6 Data jumlah daun varietas Super John ..................................................................................... 21
7 Skema pengambilan titik sampel pengamatan .......................................................................... 22 8 Dokumentasi Penelitian .......................................................................................................... 23
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kentang (Solanum tuberosum L.)
merupakan salah satu tanaman pangan
terpenting ketiga di dunia setelah beras dan
gandum untuk konsumsi manusia (CIP 2010).
Kentang juga merupakan salah satu tanaman
sayuran utama yang ditanam oleh petani di
daerah dataran tinggi (Dimyati 2002).
Budidaya kentang di Indonesia banyak
dilakukan di dataran tinggi antara 800-1800 m
oleh petani skala kecil (FAO 2008). Kebutuhan kentang mengalami
peningkatan yang pesat. Tahun 1991 produksi
kentang dunia mencapai 267 juta ton dan
tahun 2007 meningkat menjadi 320 juta ton
(Setiadi 2009). Produsen kentang tersebut
meliputi negara maju dan negara berkembang.
Secara umum budidaya tanaman kentang di
negara berkembang tidak menggunakan benih
yang berkualitas karena harga yang tinggi dan
masih kekurangan akses untuk memperoleh
benih yang berkualitas (Otazu 2010). Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur (BPTP-Jatim) (2010) menyebutkan bahwa
ketersediaan benih kentang berkualitas saat ini
belum mampu memenuhi kebutuhan petani,
baik penangkar benih maupun produsen
kentang. Pasokan benih kentang di tingkat
penangkar masih tergantung dari ketersediaan
sumber benih berupa Benih Penjenis (G0).
Benih tersebut merupakan umbi hasil
teknologi kultur meristem dengan kriteria
bebas dari penyakit.
Inovasi dalam meningkatkan produksi kentang yang cepat dan berkualitas sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi kentang masyarakat Indonesia.
Salah satu teknologi yang digunakan dengan
alternatif media penanaman menggunakan
media udara atau yang disebut aeroponik.
Tanaman digantungkan pada suatu media
sehingga akar dari tanaman tersebut akan
menggantung di udara untuk mendapatkan air
dan nutrisinya (Roberto 2003).
Aeroponik memiliki kelebihan jika dibanding dengan tanam konvensional (media
tanah). Teknologi tersebut dapat
meningkatkan kualitas benih kentang yang
menggunakan bibit dari hasil kultur jaringan
(plantlet) sehingga benih kentang yang
dihasilkan baik dan terbebas dari hama dan
penyakit (Gunawan 2009). Di Indonesia sudah
mulai dikembangkan teknologi aeroponik ini.
Penelitian lebih lanjut dan pengembangan dari
teknologi aeroponik ini masih diperlukan
(Gunawan dan Afrizal 2009). Jika sistem
aeroponik dapat meningkatkan produksi
benih, baik kualitas maupun kuantitas pada
kentang, maka diharapkan dapat mempercepat
peningkatan produksi kentang, serta akan
memberikan kontribusi yang sangat berarti
bagi perkembangan industri perbenihan
kentang dalam memenuhi kebutuhan nasional
(Muhibbudin et al. 2009).
Pengetahuan mengenai persyaratan iklim
kentang serta respon fisiologis terhadap
lingkungan sangat diperlukan untuk mendapatkan kualitas produksi yang tinggi
(Shock et al. 2005). Pengembangan benih
kentang mengunakan aeroponik dapat
dilakukan di dalam rumah kaca atau di dalam
ruang dengan kondisi lingkungan yang
terkontrol agar sesuai dengan syarat iklim
bagi tanaman (Falah 2006).
Produksi dalam ruang membutuhkan
artificial light atau pencahayaan buatan.
Pencahayaan buatan dilakukan dengan
menggunakan cahaya lampu untuk menggantikan kebutuhan cahaya matahari.
Cahaya merupakan faktor penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Faktor cahaya yang penting untuk
pertumbuhan tanaman yaitu intensitas cahaya
dan lama pencahayaan. Intensitas cahaya
jenuh tanaman kentang menurut Chang (1968)
adalah 32.280 lux atau setara dengan 313,65
W/m2. Otroshy (2006) menyebutkan bahwa
kentang merupakan tanaman hari pendek dan
merupakan tanaman C3 dengan tingkat kejenuhan cahaya yang rendah.
Menurut Hartmann et al. (1981), lampu
yang baik untuk memenuhi kebutuhan
spektrum cahaya oleh tanaman yakni lampu
fluorescent. Lampu tersebut digunakan karena
lebih banyak mengeluarkan spektrum yang
dibutuhkan oleh tanaman yaitu spektrum
merah dan biru. Namun belum diketahui
intensitas cahaya lampu fluorescent yang
optimum untuk pertumbuhan tanaman
kentang varietas Atlantis dan Super John
dengan menggunakan media aeroponik dalam ruang. Dengan mengetahui intensitas optimum
yang diberikan, diharapkan dapat
meningkatkan kualitas tanaman.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
respon pertumbuhan benih kentang (Solanum
tuberosum L.) varietas Atlantis dan Super
John dalam sistem aeroponik terhadap periode
cahaya lampu fluorescent yang diberikan pada
intensitas cahaya tertentu.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kentang
Tanaman kentang berasal dari daerah
dataran tinggi Andes, Amerika Selatan (Smith
1968). International Potato Centre (CIP)
(2010) menyebutkan bahwa daerah tersebut
merupakan pusat konservasi keanekaragaman
hayati kentang. Wilayah tersebut berada pada
ketinggian antara 1500-4000 meter. Tanaman
kentang dapat dibudidayakan di beberapa negara beriklim sedang, tropis dan subtropis
(Otroshy 2006).
Kentang setelah dipanen dapat digunakan
untuk berbagai tujuan. Sekitar 50%
penggunaan kentang adalah untuk konsumsi
segar diseluruh dunia dan sisanya dijadikan
olahan produk dan bahan makanan kentang,
pakan ternak, serta digunakan kembali
sebagai bibit (FAO 2008). Kentang memiliki
kandungan protein, zat lemak, zat besi,
kalium, fosfor, kalori dan karbohidrat (Smith 1968). Kandungan karbohidrat yang tinggi
tersebut membuat kentang dikenal sebagai
bahan pangan yang dapat menggantikan bahan
pangan karbohidrat lainnya seperti padi,
jagung dan gandum (Pitojo 2004). Selain itu,
kentang juga mengandung vitamin B, vitamin
C dan sejumlah vitamin A (Smith 1968).
2.1.1 Morfologi Tanaman Kentang
Klasifikasi ilmiah dari tanaman kentang
yang dikutip dari Setiadi (2009), yakni:
Kingdom :Plantae
Divisi :Magnoliophyta (Spermatophyta) Kelas :Magnoliopsida
(Dicotyledonae/Berkeping dua)
Subkelas : Asteridae
Ordo :Solanales/Tubiflorae (Berumbi)
Famili :Solanaceae (Berbunga terompet)
Genus :Solanum (Daun mahkota
berletakan satu sama lain).
Seksi : Petota
Spesies : Solanum tuberosum
Nama binomial : Solanum tuberosum LINN.
(Solanum tuberosum L.) Menurut Smith (1968), kentang
merupakan salah satu tanaman dikotil yang
bersifat semusim dan berbentuk semak/herba.
Susunan tubuh utama kentang terdiri dari
batang, daun, umbi, akar, bunga, buah, dan
biji. Batang kentang berada di atas permukaan
tanah. Panjang batang sekitar 30 - 100 cm
diatas permukaan tanah (Otroshy 2006). Daun
kentang berupa daun majemuk. Umbi kentang
merupakan perbesaran dari batang di dalam
tanah (stolon) yang menyimpan hasil
fotosintesis. Stolon mulai terlihat biasanya
seminggu atau 10 hari setelah tanaman
muncul ke permukaan (Smith 1968).
Gambar 1 Struktur tanaman kentang.
(Sumber: Lovatt 1997)
Lovatt (1997) menyebutkan bahwa terdapat empat fase pertumbuhan tanaman
kentang, yaitu pertumbuhan vegetatif, inisiasi,
pembesaran dan pemasakan umbi. Fase
vegetatif memerlukan waktu 2-4 minggu dari
muncul tunas sampai inisiasi umbi. Fase
inisiasi dan pembesaran umbi dimulai dengan
pembentukan stolon kemudian
pembesarannya. Waktu yang dibutuhkan
sekitar 7-8 minggu. Fase pemasakan umbi
memerlukan waktu 2-3 minggu. Perubahan
yang terjadi pada fase ini yaitu kulit umbi mulai terbentuk, berat kering umbi
maksimum, bagian atas tanaman berwarna
kekuningan dan mati. Jumlah waktu yang
dibutuhkan tanaman kentang untuk tumbuh
dan berkembang sekitar 13-20 minggu atau
90-140 hari.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2 Fase pertumbuhan tanaman
kentang; (a) Fase vegetatif; (b)
Inisiasi umbi; (c) Perbesaran
umbi; (d) pemasakan.
(Sumber: Lovatt 1997)
3
2.1.2 Benih Kentang
Definisi benih tanaman berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No.12
Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 4, yaitu
benih tanaman, selanjutnya disebut benih,
adalah tanaman atau bagiannya yang
digunakan untuk memperbanyak dan atau
mengembangbiakkan tanaman. Beukema dan
Van der Zaag (1990) dalam Otroshy (2006),
menjelaskan bahwa kentang dapat diperbanyak dengan cara seksual (generatif )
dan aseksual (vegetatif). Dalam
perkembangbiakkan secara generatif, bibit
dapat diperoleh dari benih yang disemaikan.
Sementara perkembangbiakkan secara
vegetatif bibit dapat diartikan sebagai bagian
tanaman yang berfungsi sebagai alat
reproduksi, misalnya umbi. Umbi kentang
menyimpan cadangan makanan yang
dimanfaatkan untuk konsumsi maupun benih.
Kentang rentan terhadap berbagai penyakit yang menghasilkan produksi yang rendah dan
kualitas umbi yang buruk (FAO 2008).
Benih kentang dibudidayakan dengan
berbagai macam teknik, seperti dengan
penanaman konvensional dan teknik kultur
jaringan. Penanaman benih kentang secara
konvensional yakni yang dibudidayakan
dengan media tanah memiliki kelemahan
seperti membutuhkan area yang luas sekitar
1/3 wilayah tanam untuk produksi benih,
memiliki resiko yang tinggi terhadap penyakit, hama serta membutuhkan kontrol
intensif (Struik dan Wiersema 1999 dalam
Ortoshy 2006). Teknik perbanyakan dengan
sistem yang lebih modern yaitu dengan teknik
in vitro/kultur jaringan. Hasil dari produksi
dengan teknik tersebut yaitu plantlet berupa
tanaman sangat kecil (Struik dan Wiersema
1999 dalam Ortoshy 2006). Dengan teknik
kultur jaringan ini dapat dilakukan
perbanyakan benih secara massal yang
kemudian dilanjutkan dengan perbanyakan
cepat menggunakan stek. Tanaman yang dibudidayakan dengan teknik in vitro
ditumbuhkan dalam tabung gelas atau plastik
transparan. Teknik ini dikenal juga sebagai
mikro propagasi karena tanaman yang
dihasilkan berupa tanaman mini (Pitojo 2004).
Plantlet hasil kultur jaringan ditumbuhkan di
dalam tabung reaksi sehingga memiliki akar,
batang, daun dan tunas. Plantlet dapat
digunakan pada sistem budidaya dengan
teknologi aeroponik dan hidroponik (Struik
2008).
Gambar 3 Subkultur plantlet kentang yang
ditumbuhkan dalam tabung reaksi
(kiri) dan dalam gelas (kanan).
(Sumber: Pitojo 2004)
2.1.3 Varietas Kentang Menurut Setiadi (2009), tidak mudah
mendata varietas apa saja yang pernah
ditanam petani kentang Indonesia. Suatu
varietas dapat dibedakan antara satu dengan
yang lain melalui pendeskripsian yang jelas
dan benar (Sofiasari dan Kusmana 2007).
Saat ini Indonesia belum mampu
menghasilkan varietas kentang unggul.
Varietas kentang unggul di Indonesia,
menurut Wattimena et al. (2001), yaitu
kentang Granola yang dikonsumsi sebagai sayur dan kentang Atlantis yang dimanfaatkan
sebagai keripik (chip) dan kentang goreng
(fries). Dalam ECPD (The European
Cultivated Potato Database) (2011) varietas
Granola diketahui berasal dari Jerman.
Sedangkan varietas Atlantis dilepaskan pada
16 Juli 1976 oleh Agricultural Research
Service dari Departemen Pertanian Amerika
Serikat (Webb et al. 1978).
Salah satu hasil pengembangan varietas
unggul di Indonesia yaitu kentang varietas
Super John. Kentang Super John merupakan salah satu varietas unggulan lokal di daerah
Manado. Informasi tentang varietas ini masih
sangat terbatas. Dalam suatu blog (Hardjanto
2008), disebutkan bahwa varietas kentang
Super John muncul karena ditemukan oleh
seorang warga Manado bernama Jon
Walukow. Tahun 1992, Jon Walukow
menemukan satu pohon kentang Granola
yang setelah tiga kali musim tanam
mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dari
yang lainnya. Kemudian dilakukan pengamatan dan setelah memasuki masa
panen ternyata tanaman kentang tersebut
belum menunjukkan tanda-tanda siap panen.
Masa pemanenan ditunda hingga tanaman
tersebut siap dipanen. Ketika dipanen ternyata
dari satu tanaman tersebut menghasilkan 25
umbi. Hasil tersebut lebih banyak dari hasil
tanaman kentang varietas Granola lainnya
yang hanya menghasilkan 10-15 umbi.
Kemudian Jon Walukow mengembangkan
kentang yang mengalami keanehan dari
4
varietas Granola tersebut. Tahun 1999 bibit
kentang hasil pengembangannya sudah
tersebar luas pada masyarakat sekitarnya dan
menjadi produk andalan Kabupaten Minahasa.
Kentang Atlantis sudah banyak digunakan
oleh petani Indonesia. Keunggulannya
memenuhi kriteria sebagai dimanfaatkan
untuk kentang industri, karena kentang
Atlantis mampu menghasilkan lebih banyak
(48%) umbi berukuran 60 gr (Grade A) jika
dibandingkan dengan varietas lainnya (Setiadi 2009). Umbi kentang Atlantis berbentuk oval
hampir bulat, halus, rata-rata panjang 79.1
mm, lebar 73.2 mm, dan ketebalannya 60.7
mm dan daging kentang berwarna putih
dengan kulit bersisik bersih (Webb et al.
1978).
2.1.4 Faktor Lingkungan Tanaman
Kentang
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi
proses pertumbuhan kentang yakni suhu, lama
penyinaran, intensitas cahaya, media tumbuh serta kelembaban (Smith 1968). Menurut
Lovatt (1997), tanaman kentang pada setiap
fase menghendaki nilai suhu berbeda-beda.
Pada fase vegetatif, suhu sekitar 25°C
tanaman akan mempunyai pertumbuhan
vegetatif yang baik akan tetapi pertumbuhan
umbi akan terhambat. Batang, daun dan akar
kentang dapat tumbuh lebih cepat (Smith
1968). Pada fase inisiasi dan pembesaran
umbi, suhu ideal pembentukan umbi 15-20°C
(Lovatt 1997). Kombinasi suhu rendah dengan penyinaran matahari yang relatif pendek dapat
berpengaruh baik terhadap pembentukan dan
perkembangan umbi kentang (Gunawan
2009).
Kelembaban rata-rata tanaman kentang
yakni sekitar 80-90% (Sunarjono 2007).
Menurut Gunawan (2009), kelembaban
berpengaruh terhadap evapotranspirasi yaitu
tenaga pengisap untuk mengangkat air dan
hara (nutrisi) dari akar ke tajuk tanaman. Bila
kelembaban udara terlalu tinggi maka
evapotranspirasi akan kecil. Kelembaban yang tinggi dapat disebabkan oleh jarak tanam yang
terlalu rapat dan tajuk tanaman yang terlalu
rimbun, sehingga akan mengundang penyakit
cendawan. Apabila kelembaban terlalu
rendah, maka evapotranspirasi akan
meningkat. Air yang menguap akan lebih
banyak diserap oleh akar. Hal tersebut
berakibat sel tanaman kehilangan tekanan
turgor, jaringan mengkerut dan tanaman akan
menjadi layu.
Cahaya diperlukan oleh tanaman untuk melakukan proses fotosintesis, disamping
intensitas cahaya, lama pencahayaan akan
mempengaruhi jumlah energi matahari yang
sampai ke bumi (Gunawan 2009). Intensitas
cahaya merupakan jumlah cahaya yang
diterima pada setiap titik waktu (Runkle
2006). Menurut Chang (1968), intensitas
cahaya mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Tanaman memerlukan tingkat intensitas
cahaya yang berbeda-beda. Kentang
merupakan salah satu tanaman yang
memerlukan intensitas cahaya tinggi untuk
dapat tumbuh dengan baik. Pemberian cahaya akan mempengaruhi bentuk dan ukuran daun.
Photoperiod atau lama pencahayaan
merupakan durasi atau lama tanaman
mendapatkan cahaya sehari-hari (Chang
1968).
Intensitas cahaya diukur dengan lightmeter
(Hartmann et al. 1981). Lightmeter tersebut
sangat sensitif terhadap spektrum cahaya
kuning dan hijau. Satuan yang digunakan
untuk mengukur intensitas cahaya beragam.
Di negara Eropa satuan intensitas cahaya yang digunakan yaitu lux atau kilolux (Runkle
2006). Di Inggris dan Amerika digunakan
satuan footcandles. Selain lux, dan
footcandles satuan intensitas cahaya yang
sering digunakan adalah μmol/m2s, lm/m2,
dan W/m2. Satuan lux dan footcandle
bukanlah cara terbaik untuk mengekspresikan
kepekaan cahaya oleh tanaman akan tetapi
unit tersebut merupakan cara paling umum
untuk mengekspresikan intensitas cahaya
(Hartmann et al. 1981). Satuan W/m2 sering digunakan oleh peneliti untuk membahas unit
energi (Runkle 2006).
2.2 Sistem Aeroponik Tanaman Kentang
Menurut Sutiyoso (2003), aeroponik berasal dari kata aero yang berarti udara dan
ponus yang berarti daya sehingga aeroponik
merupakan media udara yang diberdayakan
untuk bercocok tanam. Dengan metode ini,
tanaman digantungkan pada suatu media
sehingga akar dari tanaman tersebut akan
menggantung di udara untuk mendapatkan air
dan nutrisinya (Roberto 2003).
Menurut Otazu (2010), aeroponik telah
dikembangkan untuk memproduksi benih
kentang yang dapat mengefektifkan biaya dan
menghasilkan benih yang berkualitas untuk dapat diakses oleh petani-petani kecil.
Aeroponik menawarkan potensi untuk
meningkatkan produksi dibandingkan dengan
metode konvensional ataupun metode
hidroponik. Aeroponik efektif memanfaatkan
ruang vertikal dari rumah kaca dan
keseimbangan kelembaban udara untuk
mengoptimalkan perkembangan akar, umbi-
5
umbian, dan dedaunan. Dalam sistem tersebut,
bagian bawah untuk tempat akar tanaman,
merupakan bagian ruang yang gelap dan
tempat pemberian larutan nutrisi melalui
perangkat spray atau semprot. Teknologi
aeroponik yang digunakan untuk produksi
tanaman mempunyai beberapa kelemahan,
seperti: keamanan sistem pengairan yang
diberikan harus selalu diperhatikan untuk
menghindari kekurangan air, biaya
infrastruktur yang tinggi dan penggunaan teknologi tingkat tinggi (Ritter et al. 2000).
Berdasarkan penelitian Ritter et al. (2000),
jika dibandingkan dengan menggunakan
sistem hidroponik, tanaman kentang dalam
sistem aeroponik menunjukkan pertumbuhan
vegetatif yang meningkat cepat tetapi
pembentukan umbi yang lebih lama. Namun,
total produksi dengan sistem aeroponik lebih
tinggi sekitar 70% dan jumlah umbi lebih
tinggi 2,5 kali lipat dari sistem hidroponik.
Gambar 4 Sistem aeroponik.
(Sumber: Otazu 2010)
Dalam melakukan teknik aeroponik
diperlukan komponen pendukung yang
tergabung dalam suatu sistem (Gambar 4).
Selain itu diperlukan juga manajemen khusus
dalam pelaksanaannya. Sistem jarak tanam, durasi penyemprotan, dan nutrisi yang
dibutuhkan harus disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman. Menurut Otazu (2010),
dalam pola distribusi penanaman yang
pertama dapat dilakukan untuk 994 tanaman
pada 80 m2 dengan efisiensi ruang sekitar
63% atau 12,4 tanaman/m2 ruang rumah kaca,
dengan asumsi menggunakan kepadatan 20
tanaman/m2. Jarak tanam yang digunakan
akan sangat mempengaruhi jangkauan dari
pengkabutan/pengairan yang dilakukan nebulizer (alat pembuat kabut). Jangkauan
tersebut dapat efektif mencapai radius 50 cm
dari pusat nebulizer. Lebar kotak aeroponik
dan jarak tanam sangat perlu diperhatikan
untuk kebutuhan penjangkauan kabutnya.
Agrihouse Inc. (2003) menyebutkan
bahwa interval untuk melakukan
penyemprotan nutrisi dengan dikabutkan
(waktu antara air/aplikasi nutrisi) dan durasi
(waktu dari aplikasi semprot) dikendalikan
oleh sistem Hydro Control Unit. Proses
tersebut telah dipatenkan dengan
menggunakan tekanan air yang tinggi untuk
memberikan air/nutrisi/auxins bagi tanaman dalam ruang aeroponik. Proses penyemprotan
dengan sistem pengkabutan dilakukan
sepenuhnya mengelilingi tanaman dalam
ruang (bawah akar). Kekuatan semprot
diperlukan untuk membersihkan tanaman
yang menjaga agar tetap segar sehingga dapat
menyebabkan perkembangan dengan cepat.
Interval semprot memberikan periode oksidasi
yang diperlukan untuk pengembangan akar.
Durasi semprot dapat memberikan
kelembaban yang diperlukan. Kondisi tersebut dapat untuk mengoptimalkan
produksi biomassa dan disesuaikan dengan
tingkatan cahaya yang tepat dan suhu yang
dibutuhkan.
2.3 Kebutuhan Cahaya Tanaman dalam
Ruang
Pertumbuhan tanaman dalam lingkungan
buatan dapat dilakukan dengan baik apabila
diberikan pencahayaan buatan yang tepat
(Hartmann et al. 1981). Sebagai pengganti kebutuhan cahaya matahari untuk
dimanfaatkan oleh tanaman didalam ruang,
diperlukan sumber cahaya yang memenuhi
kriteria spektrum cahaya tanaman. Pemakaian
tipe lampu tertentu harus sesuai dengan
sasaran penyinaran tanaman (Tabel 1).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kentang sangat cocok menggunakan lampu
fluorescent yang dapat membantu proses
pembentukan umbi.
Keuntungan dari penggunaan lampu
fluorescent menurut Hartmann et al. (1981) adalah distribusi cahaya yang menjamin
pertumbuhan tanaman lebih seragam dan hasil
cahaya tampak relatif lebih tinggi. Hartmann
et al. (1981) juga menyebutkan bahwa
meskipun lampu ini masih sangat lemah jika
dibandingkan dengan sinar matahari, dengan
menghidupkan lampu lebih lama dari panjang
hari oleh sinar matahari serta ditambah
reflektor cahaya agar sebanyak mungkin
diserap tanaman akan mengimbangi
kebutuhan cahaya tanaman. Selain itu hal tersebut dapat memaksimalkan kebutuhan
spektrum cahaya oleh tanaman dan
6
mengurangi spektrum cahaya yang terbuang.
Reflektor cahaya sangat berguna bagi
pertumbuhan tanaman. Reflektor yang
berwarna putih atau kaca dapat memantulkan
sampai 90% cahaya yang dikeluarkan oleh
lampu (Hartmann et al. 1981).
Tabel 1 Kecocokan tipe lampu untuk berbagai
sasaran penyinaran tanaman
Sasaran Penyinaran Tipe Lampu
Menambah penyinaran
untuk mempercepat
fotosintesis
1. Mercury
(HO)
2. Mercury
Fluorescent (HPL)
3. Fluorescent
(“TL”)
Penambahan panjang
hari
1. Fluorescent
(“TL”)
2. Tungsten
Pengisian umbi-umbian
dan pembungaan semak
belukar
1. Fluorescent
(“TL”)
2. Tungsten
Budidaya tanpa memakai
cahaya matahari
1. Mercury
Fluorescent
(HPL)
2. Fluorescent
(“TL”)
3. Tungsten
(Sumber: Veen dan Meijer 1962 dalam Husin
1985)
Aeroponics International (2010)
menjelaskan bahwa semakin tinggi daya
lampu (dalam watt), tanaman harus lebih jauh
dari sumber cahaya untuk mencegah stress
panas lingkungan yang dapat menyebabkan
transpirasi tanaman terlalu cepat. Transpirasi
berlebihan dapat mengeringkan tanaman yang
mengarah ke pertumbuhan layu. Sebaliknya
jika tanaman jauh dari sumber cahaya akan
mengalami kekurangan energi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam
melakukan produksi tanaman dalam ruang
maka harus menyesuaikan kebutuhan tanaman
seperti sumber energi cahaya maupun variabel
lingkungan lainnya.
III. METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geoifisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan pada bulan Februari
hingga bulan Agustus 2011.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan pada
penelitian ini, yaitu:
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
antara lain:
1. Bibit kentang kultur jaringan (plantlet)
varietas Atlantis dan Super John
2. Larutan nutrisi AB-mix untuk tanaman
hidroponik 3. Air
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini
antara lain:
a. Pompa (Dinamo Wiper)
b. Nozzle (Tipe L-1)
c. Box plastik (95 liter)
d. Kasa parabola
e. Corong plastik
f. Slang aquarium dan slang 3½” g. Ember
h. Lampu fluorescent (Philips) 40 W
i. Reflektor cahaya (kertas mengkilap warna
putih/alumunium)
j. Catu daya
k. Automatic timer (Heles)
l. Seperangkat elektronik
m. Pendingin ruang (Air Conditioner/AC)
n. Potongan bambu kecil (penegak tanaman)
o. Luxmeter untuk mengukur intensitas
cahaya.
3.3 Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan dua faktor
yang diamati, yaitu:
1. Varietas
a. Varietas Atlantis
b. Varietas Super John
2. Lama pencahayaan
a. Pencahayaan 12 jam
b. Pencahayaan 24 jam
Perlakuan pencahayaan 12 jam dimulai
dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore sedangkan dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi tidak
diberikan pencahayaan. Pada perlakuan
pencahayaan selama 24 jam, lampu TL
dinyalakan terus menerus (24 jam) selama
pertumbuhan.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan empat
tahapan yaitu: perancangan sistem media
aeroponik, aklimatisasi plantlet, penanaman
kentang dan pengukuran.
7
3.4.1 Perancangan Sistem Media
Aeroponik
a. Merangkai sprinkler dengan selang
plastik.
Sprinkler ditegakkan dengan bantuan
corong plastik. Kemudian rangkaian sprinkler
dipasang pada box yang akan digunakan.
Gambar 5 Desain rangkaian sprinkler.
b. Pembuatan lubang tanam pada
tutup box. Tutup box dibuat lubang sejumlah 16
dengan diameter 3 cm. Setiap lubang dipasang
kasa untuk menahan media penegak tanaman.
Kasa tersebut dilapisi rockwool dan tanah
yang sudah disterilkan dengan uap air selama
4 jam.
Gambar 6 Jarak lubang pada tutup box.
c. Pembuatan timer pompa dan
pemasangan timer lampu.
Menurut Farran dan Mingo-Castell (2006)
dalam Otazu (2010) interval waktu yang
digunakan untuk melakukan penyemprotan
aeroponik yaitu 10 detik setiap 20 menit.
Interval semprot dan durasi dapat disesuaikan
untuk kebutuhan lingkungan spesifik dari
tanaman yang ditanam dalam sistem aeroponik.
Rangkaian timer dihubungkan ke pompa
untuk mengatur durasi penyemprotan nutrisi.
Durasi penyemprotan yang digunakan adalah
13 detik per 7 menit atau setiap 7 menit sekali,
pompa akan menyemprotkan air berisi nutrisi
selama 13 detik (Gambar 7).
Gambar 7 Durasi semprot.
Pengatur waktu (timer) juga digunakan
untuk mengatur lama penyinaran lampu TL
menggunakan automatic timer. Lampu diatur
menyala 12 jam dan mati 12 jam pada
perlakuan pencahayaan selama 12 jam.
Gambar 8 Timer untuk lampu.
d. Merangkai sistem pengairan dengan
mencampur nutrisi yang diperlukan.
Air dan nutrisi yang berada pada ember
akan disemprotkan melalui sprinkler dengan
cara dipompa. Air tersebut akan membasahi
akar tanaman kemudian air dan nutrisi yang tidak terserap oleh tanaman akan di alirkan
melalui selang kembali ke ember.
Gambar 9 Rangkaian aeroponik.
e. Merangkai lampu percobaan pada
dua perlakuan. Sistem aeroponik yang digunakan pada
penelitian ini (Gambar 10) pada awal
perancangan adalah sebagai berikut:
1. Empat box tanaman (dua box varietas
Atlantis dan dua box varietas Super
John) dengan 4 x 40 W lampu jenis
fluorescent selama 12 jam
pencahayaan dengan jarak
pencahayaan 30 cm dari sumber
cahaya.
2. Empat box tanaman (dua box varietas
Atlantis dan dua box varietas Super John) dengan 4 x 40 W lampu jenis
fluorescent selama 24 jam
pencahayaan dengan jarak
pencahayaan 30 cm dari sumber
cahaya.
3. Dua box tanaman (satu box varietas
Atlantis dan satu box varietas Super
John) dengan 2 x 40 W lampu jenis
fluorescent dengan jarak 35 cm dari
sumber cahaya.
4. Memasang reflektor cahaya lampu diatas lampu yang sudah dipasang.
8
Luas satu box tanaman 64 cm x 46 cm
= 2944 cm2
= 0,3 m2
Luas empat box
tanaman
4 x 0,3 m2
=1,2 m2
Lampu untuk empat
box
=4 x 40 W
= 160 W
3.4.2 Aklimatisasi Plantlet
Proses aklimatisasi merupakan
penyesuaian bibit kentang dari proses kultur
jaringan (invitro) ke kondisi lingkungan. Usia
plantlet yang digunakan adalah tujuh hari.
Plantlet yang masih dalam botol dikeluarkan dan ditanam dalam media tanam yang
komposisinya terdiri atas tanah : cocopeat :
sekam : kompos yaitu 3 : 2 : 2 : 1 kemudian
diletakkan pada suhu ruang dengan kondisi
box ditutup dengan plastik. Proses ini
dilakukan di laboratorium BrMC SEAMEO-
BIOTROP, Bogor selama tujuh hari. Plantlet-
plantlet tersebut kemudian dipindahkan ke
media tanam aeroponik di laboratorium
Agrometeorologi selama 30 hari dengan
ditutup menggunakan gelas plastik bening.
3.4.3 Penanaman Kentang
Kentang ditanam dengan populasi 16 bibit
tanaman kentang (plantlet) per box. Jenis
kentang yang ditanam adalah varietas Atlantis
dan varietas Super John masing-masing 5
(box) x 16 (bibit).
3.4.4 Pengukuran
a. Kondisi lingkungan
Pengukuran unsur iklim yang dilakukan
untuk mengetahui kondisi lingkungan dalam
ruang pertumbuhan tanaman yaitu intensitas
cahaya. Pengukuran intensitas cahaya
dilakukan rutin setiap hari pada pukul 10.00 WIB. Pengukuran intensitas cahaya
menggunakan luxmeter yang menghasilkan
nilai intensitas cahaya dengan satuan lux.
Untuk mendapatkan hasil intensitas cahaya
dalam satuan W/m2 dilakukan konversi lux ke
W/m2, yaitu 1 lux = 0.0079 W/m2.
Selain itu, diperlukan data suhu dan
kelembaban yang dirujuk pada penelitian yang
dilakukan Simangunsong (2011) pada objek
penelitan yang sama akan tetapi berbeda
kajian yang dibahas.
b. Pertumbuhan tanaman
Pengukuran yang dilakukan terhadap
pertumbuhan tanaman yaitu jumlah daun.
Jumlah daun dihitung dengan cara manual.
Dari rataan sampel tanaman yang digunakan.
Gambar 10 Skema penataan sistem aeroponik dalam Laboratorium Agrometeorologi.
Keterangan:
Box plastik 95 liter Aliran air yang didorong pompa
Ember penampungan air Aliran air buangan menuju ke ember
(dilengkapi pompa)
Lampu Fluorescent 40W Slang plastik aquarium
12 jam 24 jam
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lingkungan Ruang
Pertumbuhan Kentang
Laboratorium Agrometeorologi yang
digunakan untuk melakukan penelitian
aeroponik kentang diatur sedemikian rupa
untuk mendapatkan iklim mikro yang
memungkinkan tanaman kentang dapat
tumbuh. Ketinggian tempat Laboratorium
Agrometeorologi, Kampus IPB, Darmaga, (± 201 m dpl.) tidak memungkinkan untuk
pertumbuhan tanaman kentang karena suhu
yang terlalu tinggi (20.0 – 33.0 oC). Tanaman
kentang menghendaki suhu antara 15.0 –
25.0˚C (Lovatt 1997). Untuk mengatasi hal ini
digunakan pendingin (Air Conditioner / AC)
yang dinyalakan terus menerus selama
penelitian berlangsung.
Suhu yang telah diukur selama 24 jam
memiliki rata-rata 22.6˚C. Nilai terendah dari
suhu yang terukur yaitu 20.0˚C pada pukul
06.00. Suhu tertinggi yaitu 26.5˚C pada pukul
16.00. Kisaran suhu di dalam ruangan
Laboratorium Agrometeorologi cukup
memenuhi kebutuhan suhu untuk
pertumbuhan tanaman kentang.
Berdasarkan pengukuran suhu udara setiap hari pada pukul 10.00 WIB, suhu di sekitar
media tumbuh kentang mempunyai rata-rata
21.3˚C. Pengambilan data unsur cuaca di
Laboratorium tempat percobaan dimulai saat
tanaman yang ditanam di media aeroponik
yaitu19 hari setelah tanam (HST) terhitung
setelah dilakukan aklimatisasi plantlet.
Gambar 11 Pola suhu dan RH diurnal Laboratorium Agrometeorologi.
(Sumber: Simangunsong 2011)
Gambar 12 Pola suhu pengamatan pukul 10.00 WIB.
(Sumber: Simangunsong 2011)
10
Kelembaban udara (RH) yang diukur pada
Laboratorium Agrometeorologi berkisar
antara 48 - 53% (Gambar 11). Nilai RH di
Laboratorium Agrometeorologi tergolong
kering. Hal tersebut karena keberadaan AC
yang bersifat mengeringkan udara dalam
ruang. Udara yang relatif kering tersebut dapat
menyebabkan tanaman kentang layu saat awal
pertumbuhan, sehingga perlu ditutup dengan
gelas plastik untuk menjaga kelembaban udara
di sekitar tanaman. Kebutuhan nutrisi dan air pada sistem
aeroponik ini diperoleh dari penyemprotan
dengan durasi 13 detik setiap 7 menit yang
secara otomatis menyemprotkan air sehingga
membasahi akar tanaman. Dalam sistem
aeroponik ini, air yang tidak terserap oleh
tanaman akan kembali ke ember nutrisinya.
4.2 Perlakuan Intensitas dan Lama
Pencahayaan
Pengukuran intensitas cahaya menggunakan satuan lux. Nilai energi
cahaya matahari yang diterima tanaman biasa
dinyatakan dalam W/m2 Oleh sebab itu, perlu
dilakukan konversi satuan dari lux menjadi
W/m2 untuk mengetahui satuan energi cahaya
yang diterima oleh tanaman kentang tersebut.
Lampu untuk membuat cahaya buatan
menggunakan lampu jenis fluorescent (TL)
berdaya 40 W dengan jarak lampu dari
tanaman sekitar 30 cm.
Pada penelitian ini, pengukuran intensitas cahaya dilakukan untuk mengukur intensitas
cahaya yang diterima oleh semua tanaman.
Total lampu yang digunakan untuk penelitian
ini adalah delapan lampu untuk pengukuran
dan dua lampu untuk tanaman tanpa perlakuan
sebagai tanaman contoh untuk bahan kalibrasi
hubungan antara luas dengan berat daun.
Tanaman tanpa perlakukan ini kemudian tidak
dapat digunakan sebagai kalibrasi,
dikarenakan semua tanaman mati. Daya
lampu yang digunakan pada pengukuran yaitu
8 x 40 W sehingga total daya lampu 320 W
digunakan untuk area tanam 2 x 1.2 m2 = 2,4
m2 merupakan luasan kedua perlakuan
pencahayaan. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan
tiap hari yakni pada pukul 10.00 WIB.
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada
titik tengah dan ujung box tanaman yang
mewakili tanaman dalam mendapatkan
cahaya. Intensitas yang terukur pada titik
tengah pengamatan memiliki nilai tertinggi
sekitar 1750 lux atau 13.8 W/m2, sedangkan
intensitas terendah adalah 728 lux atau 5.8
W/m2 pada ujung/tepi box. Terlihat bahwa
sebaran nilai intensitas sangat beragam, namun nilai rata-rata relatif konstan (Gambar
13). Rata-rata tanaman kentang mendapatkan
energi sekitar 1149 lux atau 9 W/m2.
Perbedaan yang sangat tinggi dari cahaya
yang diterima oleh tanaman pada titik tengah
dengan ujung disebabkan oleh perbedaan
jarak terhadap sumber cahaya. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Hartmann et al.
(1981) bahwa intensitas yang didapatkan akan
semakin kecil dengan semakin jauh lokasi
pengambilan data. Nilai Kebutuhan cahaya kentang dalam ruang pertumbuhan buatan ini
sangat jauh dari tingkat kejenuhan cahaya
tanaman kentang di lapangan yaitu 313.65
W/m2 (Chang 1968).
Gambar 13 Intensitas cahaya (W/m2) yang diterima oleh tanaman kentang.
(Selang pengukuran berkisar antara maksimum dan minimum; titik adalah nilai rata-rata)
11
Kebutuhan cahaya tanaman juga
dipengaruhi oleh lama pencahayaan yang
diberikan. Lama pencahayaan yang diberikan
pada penelitian ini yakni lampu dinyalakan
selama 24 jam penuh (24-h/24 hours
pencahayaan) dan lampu hanya dinyalakan
selama 12 jam (12-h pencahayaan). Ketika
tanaman diberikan perlakuan 12-h
pencahayaan, tanaman kentang mengalami
pertumbuhan yang sangat lambat. Hal tersebut
disebabkan karena cahaya yang digunakan untuk melakukan fotosintesis sangat terbatas.
Tidak sepenuhnya tanaman yang mendapat
perlakuan 12-h pencahayaan tidak
mendapatkan cahaya ketika lampu
dipadamkan. Tanaman tersebut masih
mendapatkan sedikit cahaya lampu yang
berasal dari lampu yang masih dinyalakan
selama 24-h meskipun jumlahnya sangat
kecil. Kedua perlakuan tersebut dibatasi oleh
sekat sehingga pencahayaan 24-h tidak terlalu
mempengaruhi tanaman dengan perlakuan 12-h pencahayaan.
4.3 Pengaruh Intensitas dan Lama
Pencahayaan terhadap Pertumbuhan
Kentang
Pada saat penanaman di media aeroponik,
terlihat bahwa kualitas plantlet (bibit kentang
kultur jaringan) varietas Atlantis lebih baik
dari Super John. Hal tersebut dapat
dibandingkan dari tingkat kehijauan tanaman,
tinggi batang, jumlah daun, dan kondisi akar. Plantlet varietas Atlantis memiliki batang
yang relatif kuat, warna hijau tua, daun lebih
banyak berwarna hijau tua serta kondisi akar
yang sudah cukup panjang. Batang plantlet
varietas Super John berwana hijau muda
kekuningan dan masih banyak yang belum
tumbuh daunnya.
Pertumbuhan tanaman merupakan
perubahan ukuran (massa, luas, tinggi dan
jumlah) selama musim pertumbuhan tanaman
(Handoko 1994). Indikator pertumbuhan
tanaman yang digunakan yaitu jumlah daun.
Nilai 0 jumlah daun menunjukkan bahwa
tanaman tersebut telah mati. Telah diketahui
bahwa intensitas cahaya yang diterima rata-
rata yaitu 9 W/m2. Dengan intensitas cahaya
tersebut kebutuhan cahaya tanaman kentang
tidak terpenuhi secara optimal sehingga
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman yang
kurang baik. Terlihat dari Gambar 14 bahwa terjadi penurunan yang tajam pada jumlah
daun varietas Atlantis dengan perlakuan 12-h.
Begitu juga untuk varietas Super John
(Gambar 15), laju kematian dari varietas
Super John lebih cepat dibandingkan Atlantis.
Tanaman kentang varietas Super John yang
ditanam dengan perlakuan 12-h pencahayaan
mati 16 hari lebih cepat dibandingkan varietas
Atlantis dengan perlakuan yang sama.
Tanaman tersebut mati karena cahaya yang
diberikan sangat rendah dengan pencahayaan selama 12 jam. Pada varietas Atlantis 24-h
pencahayaan, jumlah daun relatif stabil
sedangkan untuk varietas Super John terjadi
penurunan jumlah daun. Selain dipengaruhi
oleh lama pencahayaan yang diberikan,
varietas juga menentukan tingkat
pertumbuhan tanaman. Hal tersebut terlihat
dari varietas Super John yang lebih cepat
jumlah penurunan daun dibanding varietas
Atlantis. Pada Gambar 15 data jumlah daun
varietas Super John dilakukan pengukuran dari data 20 HST. Pengukuran yang dilakukan
pada varietas Super John sehari lebih lambat
dari pengukuran varietas Atlantis. Hal tersebut
karena kondisi tanaman kentang varietas
Super John masih membutuhkan proses
aklimatisasi yang lama dibandingkan dengan
tanaman kentang varietas Atlantis.
Gambar 14 Penurunan jumlah daun varietas Atlantis.
12
Gambar 15 Penurunan jumlah daun varietas Super John.
Suhu yang tinggi jika ditambah dengan
insentitas cahaya yang kurang akan
menghasilkan pertumbuhan yang rendah dan tanaman yang panjang serta kecil (Hartmann
et al. 1981). Dalam ruang pertumbuhan
tanaman (Laboratorium Agrometeorlogi)
suhu udara relatif tidak terlalu tinggi, namun
cahaya yang sangat rendah (rata-rata 9 W/m2)
yang menjadi kendala utama pertumbuhan
tanaman kentang pada percobaan aeroponik
ini. Hal ini dibuktikan bahwa pemberian
cahaya 24 jam ternyata mengurangi laju
kematian tanaman dibandingkan dengan
tanaman pada perlakuan cahaya 12 jam.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Lingkungan buatan untuk ruang
pertumbuhan perlu memperhatikan aspek
pendukung yang memenuhi syarat iklim
tanaman tersebut. Kentang (Solanum
tuberosum L.) menghendaki suhu udara yang
rendah, RH yang tidak terlalu rendah dan
intensitas yang cukup. Dalam melakukan percobaan menanam benih kentang varietas
Atlantis dan varietas Super John di dalam
Laboratorium Agrometeorologi diperlukan
pendingin ruan (AC) untuk mendapatkan suhu
yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman
kentang. Selain itu, pencahayaan buatan
dengan menggunakan lampu fluorescent (TL)
40 W.
Suhu udara dalam ruangan tidak terlalu
menjadi kendala (20.0 - 26.5 oC), namun
kelembaban udara (RH) relatif rendah (48 -
53%) dan intensitas cahaya sangat rendah
(rata-rata 9 W/m2) menjadi kendala
pertumbuhan tanaman.
Perbedaan perlakuan lama pencahayaan (12 dan 24 jam) mempengaruhi respon
pertumbuhan tanaman kentang. Selain itu
kondisi bibit yang digunakan serta varietas
juga mempengaruhi respon pertumbuhan
tanaman tersebut.
5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan di
rumah kaca di dataran tinggi untuk
mendapatkan intensitas cahaya dari matahari
serta suhu sesuai untuk tanaman kentang. Namun apabila masih dilakukan penelitian di
dalam ruangan, perlu lampu (sumber cahaya)
yang dapat memenuhi kebutuhan cahaya
(sesuai dengan jenis tanaman). Selain itu perlu
adanya humidifier (penjaga kelembaban) agar
kelembaban tidak terlalu kering untuk ruang
ber-AC.
DAFTAR PUSTAKA
Aeroponics International. 2010.
Understanding light energy for
plant growth. Dalam
http://www.aeroponics.com/aero65.
htm [10 Maret 2011]
Agrihouse Inc. 2003. Genesis series aeroponic
system. Dalam
http://www.biocontrols.com/aero18
b.html [10 Maret 2011]
[BPTP-Jatim]. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Timur. 2010. Ketersediaan benih kentang. Dalam
13
http://jatim.litbang.deptan.go.id [12
Juni 2011]
Chang JH. 1968. Climate and Agriculture. An
Ecological Survey. Aldine.
Chicago.
[CIP]. International Potato Centre. 2011.
Potato in tropical and subtropical
highlands. Dalam
http://www.cipotato.org/ [9
Agustus 2011]
Dimyati A. 2002. Research priorities for potato in Indonesia. Progress in
Potato and Sweetpotato Research in
Indonesia. Proceedings of the CIP-
Indonesia Research Review
Workshop. Bogor.
[ECPD]. The European Cultivated Potato
Database. 2011. Granola. Dalam
http://www.europotato.org/display_
description.php?variety_name=Gr
anola [9 Agustus 2011]
Falah M. 2006. Prespektif pertanian dalam lingkungan yang terkontrol. Inovasi
Online edisi vol.6/XVIII/Maret
2006.
[FAO]. Foods and Agriculture Organisation.
2008. International year of the
potato. Dalam
http://www.potato2008.org/en/potat
o/index.html [7 Maret 2011].
Gunawan dan Afrizal D. 2009. Teknologi
aeroponik terobosan perbanyakan
cepat benih kentang. Iptek Hortikultura No.5 – September
2009.
Gunawan H. 2009. Inovasi baru perbanyakan
bibit kentang G-0 sistem aeroponik.
Pusat Inkubator Agribisnis BBPP
Lembang, 2 Februari 2009.
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Pustaka
Jaya: Jakarta.
-------------. 1994. Dasar Penyusunan dan
Aplikasi Model Simulasi Komputer
untuk Pertanian. Jurusan Geofisika
dan Meteorologi-FMIPA-IPB. Bogor.
Hardjanto YS. 2008. Super Jon: Buah dari
kecermatan. Dalam
http://kabarhijau.blogspot.com/200
8/07/super-jon-buah-dari-
kecermatan.html [9 Maret 2011]
Hartmann HT, Flocker WJ, Kofranek AM.
1981. Plant Science. Growth,
Development, and Utilization of
Cultivated Plant. Prentice-Hall, Inc.
Englewood Cliffs. New Jersey.
Husin C. 1985. Pengaruh penambahan
panjang hari dengan cahaya lampu
fluorescent terhadap produksi
Alfalfa (Medicago sativa L.)
[Skripsi]. Bogor: Jurusan Geofisika
dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Lovatt JL. 1997. Potato Information Kit. The
Agrilink Series. The State of
Queensland, Departemen of
Primary Industries. Australia
Muhibuddin A, Zakaria B, Baharudin dan
Enny L. 2009. Pengembangan
formulasi unsur hara pada produksi
benih kentang hasil kultur jaringan
dengan teknologi aeroponik. Jurnal Sains & Teknologi, Agustus 2009,
Vol. 9 No. 2 : 87-96.
Otazu V. 2010. Manual on Quality Seed
Potato Production Using
Aeroponics. International Potato
Center (CIP), Lima, Peru.
Otroshy M. 2006. Utilization of tissue culture
techniques in a seed potato tuber
production sheme [PhD Thesis].
Wageningen University.
Netherlands.
Pitojo S. 2004. Benih Kentang. Kanisius:
Yogyakarta.
Ritter E, Angulo B, Herran C, Relloso J, Jose
MS. 2000. Comparison of
hidroponic and aeroponic
cultivation systems for the
production of potato minitubers.
Potato research 44 (2001) 127-135.
Roberto K. 2003. How to Hidroponics Fourth
Edition. The Futuregarden Press
Advision of Futuregarden, Inc.
New York.
Runkle E. 2006. Light it Up!. GPN Magazine
July 2006.
Setiadi. 2009. Budidaya Kentang +Berbagai
Pilihan Varietas dan Pengadaan
Benih. Penebar Swadaya: Depok.
Shock C, Clinton dan Pereira AB. 2005. A
review of agrometeorology and
14
potato production. Paper on chapter
13E.
Smith O. 1968. Potatoes: Production, Storing,
Processing. The Avi Publishing
Company, Inc. Westport,
Connecticut.
Simangunsong LP. 2011. Kehilangan Air
Tanaman kentang (Solanum
tuberosum L.) dengan Sistem
Aeroponik. Personal
Communication. Departemen Geofisika dan Meteorologi,
FMIPA-IPB.
Sofiasari E dan Kusmana. 2007. Karakterisasi
Kentang Varietas Granola, Atlantic,
dan Balsa dengan metode UPOV.
Buletin Plasma Nutfah Vol.13 No.
1 Th. 2007.
Struik PC. 2008. The canon of potato science:
minitubers. Potato research (2007)
50:305-308.
Sunarjono. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. Agromedia Pustaka:
Jakarta.
Sutiyoso Y. 2003. Aeroponik sayuran.
Budidaya dengan sistem
pengabutan. Penerbit Penebar
Swadaya: Jakarta.
Thirakomen K. 2002. Humidity control for
tropical climate. ASHRAE
Thailand Chapter. Dalam
http://www.ashraethailand.org [10
Agustus 2011]
Wattimena GA, Purwito A., Machmud H.M,
dan Samanhudi. 2001. Perakitan
Varietas kentang Unggul Indonesia
secara Cepat dengan Metode
turunan Klonal biji Tunggal dan
Pra-Evaluasi secara In Vitro.
Buletin Agronomi Vol. 29 No. 3 :
78-84.
Webb RE, Wilson DR, Sumaker JR, Graves
B, Henninger MR, Watss J, Frank
JA, and Murphey HJ. 1978.
Atlantic: A new potato variety with high solids good processing quality,
and resistance to pets. American
Potato Jurnal Vol. 55 : 141-145.
15
LAMPIRAN
16
Lampiran 1 Data suhu pengukuran pukul 10.00 WIB
No Tanggal HST Suhu (˚C)
Rataan Simpangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 09 Juli 2011 19 19.8 20.0 19.8 19.7 19.7 20.0 20.3 20.3 20.3 20.2 20.0 0.2
2 10 Juli 2011 20 20.8 21.1 21.0 21.0 21.1 21.2 21.3 21.3 21.3 21.3 21.1 0.2
3 11 Juli 2011 21 21.1 21.2 21.3 21.3 21.3 21.2 21.4 21.4 21.5 21.5 21.3 0.1
4 12 Juli 2011 22 21.1 21.4 21.3 21.4 21.4 21.8 21.9 21.8 21.7 21.9 21.6 0.3
5 13 Juli 2011 23 21.0 21.2 21.3 21.3 21.3 21.3 21.6 21.5 21.6 21.5 21.3 0.2
6 14 Juli 2011 24 20.7 20.7 20.7 20.6 20.5 20.6 20.7 20.7 20.7 20.7 20.7 0.1
7 15 Juli 2011 25 21.1 21.2 21.4 21.4 21.2 21.4 21.5 21.4 21.3 21.5 21.3 0.1
8 16 Juli 2011 26 20.8 20.8 20.8 20.7 20.8 21.0 21.0 21.0 21.0 21.0 20.9 0.1
9 17 Juli 2011 27 20.9 21.0 21.0 20.9 20.9 20.9 20.9 21.0 20.9 20.9 20.9 0.0
10 18 Juli 2011 28 20.1 20.1 20.1 20.0 20.0 19.9 20.0 20.0 20.0 20.1 20.0 0.1
11 19 Juli 2011 29 21.2 21.0 21.3 21.2 21.1 21.1 21.2 21.2 21.1 21.3 21.2 0.1
12 20 Juli 2011 30 20.3 20.3 20.6 20.5 20.6 20.4 20.5 20.6 20.5 20.4 20.5 0.1
13 21 Juli 2011 31 22.0 22.2 22.3 22.3 22.1 22.1 22.2 22.3 22.2 22.2 22.2 0.1
14 22 Juli 2011 32 22.7 22.7 22.7 22.7 22.7 22.8 22.8 22.8 22.8 22.8 22.7 0.0
15 23 Juli 2011 33 21.0 21.0 21.0 21.0 21.0 21.3 21.4 21.4 21.4 21.2 21.2 0.2
16 24 Juli 2011 34 20.7 20.7 21.0 21.0 20.9 20.9 21.0 21.0 21.1 21.0 20.9 0.1
17 25 Juli 2011 35 21.9 22.0 22.0 22.0 21.9 21.8 22.0 22.0 21.9 22.2 22.0 0.1
18 26 Juli 2011 36 20.6 20.6 20.5 20.5 20.5 20.6 20.9 20.9 21.0 21.0 20.7 0.2
19 27 Juli 2011 37 21.5 21.6 21.7 21.7 21.6 22.0 22.1 22.1 22.1 22.4 21.9 0.3
20 28 Juli 2011 38 21.8 22.2 22.1 22.1 22.0 22.0 22.2 22.2 22.1 22.1 22.1 0.1
21 29 Juli 2011 39 21.6 21.8 21.9 22.2 22.4 22.2 22.3 22.3 22.4 22.2 22.1 0.3
22 30 Juli 2011 40 21.7 21.8 22.0 22.0 21.8 21.9 22.1 22.2 22.2 22.2 22.0 0.2
23 31 Juli 2011 41 21.3 21.3 21.6 21.6 21.5 21.7 21.8 21.9 21.8 21.7 21.6 0.2
24 01 Agustus 2011 42 20.7 21.1 21.0 21.0 21.1 20.8 21.2 21.1 21.1 21.3 21.0 0.2
25 02 Agustus 2011 43 21.2 21.2 21.6 21.6 21.6 21.7 21.8 21.9 21.7 21.8 21.6 0.3
26 03 Agustus 2011 44 22.0 22.0 22.6 22.6 22.6 22.7 22.9 23.0 22.8 22.8 22.6 0.3
27 04 Agustus 2011 45 19.0 19.1 18.8 18.8 18.7 19.0 19.1 19.3 19.2 19.4 19.0 0.3
28 05 Agustus 2011 46 22.5 22.9 22.9 22.8 22.8 22.9 23.2 23.2 23.0 23.0 22.9 0.2
29 06 Agustus 2011 47 20.6 20.3 20.8 20.7 20.7 20.6 20.7 20.9 21.0 21.0 20.7 0.2
30 07 Agustus 2011 48 20.6 20.6 21.2 21.2 21.1 20.6 21.2 21.2 21.3 21.3 21.0 0.3
31 08 Agustus 2011 49 20.6 20.5 20.8 20.7 20.7 20.9 20.8 21.1 21.0 20.9 20.8 0.2
32 09 Agustus 2011 50 21.7 22.0 22.2 21.8 21.9 21.8 22.0 22.0 22.0 21.8 21.9 0.1
Keterangan:
1,2,3...,10 = titik sampel pengamatan
18
Lampiran 2 Data intensitas cahaya (lux) pukul 10.00 WIB
No Tanggal HST Intensitas Cahaya (Lux)
Maksimum Minimum Rata-rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 09 Juli 2011 19 1663 854 913 815 728 1638 882 1238 1100 803 1663 728 1063.4
2 10 Juli 2011 20 1663 1000 1028 972 948 1689 899 1320 1222 795 1689 795 1153.6
3 11 Juli 2011 21 1677 1057 1020 970 930 1616 983 1230 1212 970 1677 930 1166.5
4 12 Juli 2011 22 1636 1115 1000 950 830 1583 1043 1195 1193 945 1636 830 1149.0
5 13 Juli 2011 23 1656 980 863 837 835 1634 868 1208 1131 855 1656 835 1086.7
6 14 Juli 2011 24 1685 1233 900 958 961 1659 1065 1034 1133 872 1685 872 1150.0
7 15 Juli 2011 25 1620 942 932 862 858 1597 897 1231 1114 823 1620 823 1087.6
8 16 Juli 2011 26 1577 1065 1048 930 878 1616 1010 1200 1127 830 1616 830 1128.1
9 17 Juli 2011 27 1686 1133 1017 987 960 1697 1090 1214 1214 859 1697 859 1185.7
10 18 Juli 2011 28 1570 1110 1028 992 870 1628 997 1273 1232 898 1628 870 1159.8
11 19 Juli 2011 29 1647 1050 1065 950 870 1610 1007 1358 1169 950 1647 870 1167.6
12 20 Juli 2011 30 1668 1068 1012 930 980 1629 1096 1267 1163 902 1668 902 1171.5
13 21 Juli 2011 31 1662 998 956 878 869 1665 847 1141 1130 890 1665 847 1103.6
14 22 Juli 2011 32 1660 1121 1083 980 947 1650 991 1292 1122 965 1660 947 1181.1
15 23 Juli 2011 33 1748 1178 1040 1066 1033 1750 965 1290 1230 890 1750 890 1219.0
16 24 Juli 2011 34 1722 1220 1022 1008 988 1729 1002 1395 1255 965 1729 965 1230.6
17 25 Juli 2011 35 1595 970 990 915 823 1573 910 1222 1077 832 1595 823 1090.7
18 26 Juli 2011 36 1644 1062 960 990 949 1637 940 1262 1096 938 1644 938 1147.8
19 27 Juli 2011 37 1640 982 918 924 810 1671 950 1231 1024 824 1671 810 1097.4
20 28 Juli 2011 38 1638 943 960 961 828 1595 856 1182 1105 823 1638 823 1089.1
21 29 Juli 2011 39 1638 972 953 833 838 1620 953 1243 1026 837 1638 833 1091.3
22 30 Juli 2011 40 1685 1130 988 1075 1008 1703 1095 1360 1213 987 1703 987 1224.4
23 31 Juli 2011 41 1693 1089 933 1030 1045 1673 920 1335 1220 940 1693 920 1187.8
24 01 Agustus 2011 42 1632 996 961 962 862 1652 929 1238 1072 917 1652 862 1122.1
25 02 Agustus 2011 43 1601 1036 987 1129 926 1596 1006 1306 1175 878 1601 878 1164.0
26 03 Agustus 2011 44 1662 1056 1005 989 982 1613 983 1293 1117 902 1662 902 1160.2
27 04 Agustus 2011 45 1655 1045 1030 1048 1020 1611 974 1313 1185 982 1655 974 1186.3
28 05 Agustus 2011 46 1707 1098 973 888 859 1668 954 1292 1095 870 1707 859 1140.4
29 06 Agustus 2011 47 1688 1080 1050 984 933 1645 935 1315 1180 930 1688 930 1174.0
30 07 Agustus 2011 48 1660 1090 1018 1114 948 1675 975 1216 1202 960 1675 948 1185.8
31 08 Agustus 2011 49 1637 1073 1050 1030 1038 1591 1062 1324 1196 903 1637 903 1190.4
32 09 Agustus 2011 50 1607 989 937 840 838 1652 951 1210 1158 927 1652 838 1110.9
Keterangan:
1.2.3....10 = titik sampel pengamatan
17
19
Lampiran 3 Data intensitas cahaya (W/m2) pukul 10.00 WIB
No Tanggal HST Intensitas Cahaya (W/m2)
Maksimum Minimum Rata-rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 09 Juli 2011 19 13.1 6.7 7.2 6.4 5.8 12.9 7.0 9.8 8.7 6.3 13.1 5.8 8.4
2 10 Juli 2011 20 13.1 7.9 8.1 7.7 7.5 13.3 7.1 10.4 9.7 6.3 13.3 6.3 9.1
3 11 Juli 2011 21 13.2 8.4 8.1 7.7 7.3 12.8 7.8 9.7 9.6 7.7 13.2 7.3 9.2
4 12 Juli 2011 22 12.9 8.8 7.9 7.5 6.6 12.5 8.2 9.4 9.4 7.5 12.9 6.6 9.1
5 13 Juli 2011 23 13.1 7.7 6.8 6.6 6.6 12.9 6.9 9.5 8.9 6.8 13.1 6.6 8.6
6 14 Juli 2011 24 13.3 9.7 7.1 7.6 7.6 13.1 8.4 8.2 9.0 6.9 13.3 6.9 9.1
7 15 Juli 2011 25 12.8 7.4 7.4 6.8 6.8 12.6 7.1 9.7 8.8 6.5 12.8 6.5 8.6
8 16 Juli 2011 26 12.5 8.4 8.3 7.3 6.9 12.8 8.0 9.5 8.9 6.6 12.8 6.6 8.9
9 17 Juli 2011 27 13.3 9.0 8.0 7.8 7.6 13.4 8.6 9.6 9.6 6.8 13.4 6.8 9.4
10 18 Juli 2011 28 12.4 8.8 8.1 7.8 6.9 12.9 7.9 10.1 9.7 7.1 12.9 6.9 9.2
11 19 Juli 2011 29 13.0 8.3 8.4 7.5 6.9 12.7 8.0 10.7 9.2 7.5 13.0 6.9 9.2
12 20 Juli 2011 30 13.2 8.4 8.0 7.3 7.7 12.9 8.7 10.0 9.2 7.1 13.2 7.1 9.3
13 21 Juli 2011 31 13.1 7.9 7.6 6.9 6.9 13.2 6.7 9.0 8.9 7.0 13.2 6.7 8.7
14 22 Juli 2011 32 13.1 8.9 8.6 7.7 7.5 13.0 7.8 10.2 8.9 7.6 13.1 7.5 9.3
15 23 Juli 2011 33 13.8 9.3 8.2 8.4 8.2 13.8 7.6 10.2 9.7 7.0 13.8 7.0 9.6
16 24 Juli 2011 34 13.6 9.6 8.1 8.0 7.8 13.7 7.9 11.0 9.9 7.6 13.7 7.6 9.7
17 25 Juli 2011 35 12.6 7.7 7.8 7.2 6.5 12.4 7.2 9.7 8.5 6.6 12.6 6.5 8.6
18 26 Juli 2011 36 13.0 8.4 7.6 7.8 7.5 12.9 7.4 10.0 8.7 7.4 13.0 7.4 9.1
19 27 Juli 2011 37 13.0 7.8 7.3 7.3 6.4 13.2 7.5 9.7 8.1 6.5 13.2 6.4 8.7
20 28 Juli 2011 38 12.9 7.4 7.6 7.6 6.5 12.6 6.8 9.3 8.7 6.5 12.9 6.5 8.6
21 29 Juli 2011 39 12.9 7.7 7.5 6.6 6.6 12.8 7.5 9.8 8.1 6.6 12.9 6.6 8.6
22 30 Juli 2011 40 13.3 8.9 7.8 8.5 8.0 13.5 8.7 10.7 9.6 7.8 13.5 7.8 9.7
23 31 Juli 2011 41 13.4 8.6 7.4 8.1 8.3 13.2 7.3 10.5 9.6 7.4 13.4 7.3 9.4
24 01 Agustus 2011 42 12.9 7.9 7.6 7.6 6.8 13.1 7.3 9.8 8.5 7.2 13.1 6.8 8.9
25 02 Agustus 2011 43 12.6 8.2 7.8 8.9 7.3 12.6 7.9 10.3 9.3 6.9 12.6 6.9 9.2
26 03 Agustus 2011 44 13.1 8.3 7.9 7.8 7.8 12.7 7.8 10.2 8.8 7.1 13.1 7.1 9.2
27 04 Agustus 2011 45 13.1 8.3 8.1 8.3 8.1 12.7 7.7 10.4 9.4 7.8 13.1 7.7 9.4
28 05 Agustus 2011 46 13.5 8.7 7.7 7.0 6.8 13.2 7.5 10.2 8.7 6.9 13.5 6.8 9.0
29 06 Agustus 2011 47 13.3 8.5 8.3 7.8 7.4 13.0 7.4 10.4 9.3 7.3 13.3 7.3 9.3
30 07 Agustus 2011 48 13.1 8.6 8.0 8.8 7.5 13.2 7.7 9.6 9.5 7.6 13.2 7.5 9.4
31 08 Agustus 2011 49 12.9 8.5 8.3 8.1 8.2 12.6 8.4 10.5 9.4 7.1 12.9 7.1 9.4
32 09 Agustus 2011 50 12.7 7.8 7.4 6.6 6.6 13.1 7.5 9.6 9.1 7.3 13.1 6.6 8.8
Keterangan:
1.2.3....10 = titik sampel pengamatan
18
20
Lampiran 4 Data pengukuran RH dan TBK (suhu) 24 jam tanggal 03 Agustus 2011
Jam TBK TBB TBB* TBK-TBB* RH (%)
1 21.5 16.9 15.6 5.9 48
2 21.0 16.8 15.5 5.5 51
3 21.0 16.8 15.5 5.5 51
4 20.5 16.4 15.1 5.4 53
5 20.5 16.5 15.2 5.3 53
6 20.0 15.8 14.6 5.4 53
7 20.0 16.1 14.9 5.1 53
8 20.5 16.3 15.0 5.5 50
9 21.5 16.9 15.6 5.9 48
10 22.0 17.3 16.0 6.0 48
11 22.5 18.1 16.7 5.8 49
12 24.0 19.5 18.0 6.0 50
13 24.5 19.8 18.3 6.2 50
14 25.0 20.0 18.5 6.5 48
15 26.0 21.1 19.5 6.5 49
16 26.5 21.6 20.0 6.5 49
17 25.0 20.2 18.7 6.3 51
18 24.5 20.2 18.7 5.8 51
19 24.0 19.8 18.3 5.7 50
20 23.0 18.5 17.1 5.9 49
21 22.5 17.9 16.5 6.0 49
22 22.0 17.6 16.2 5.8 48
23 22.0 17.5 16.2 5.8 48
24 22.0 17.1 15.8 6.2 48
Keterangan:
TBK = Termometer Bola Kering. menunjukkan suhu udara di tempat tersebut
TBB = Termometer Bola Basah
RH = Relative Humidity / Kelembaban relatif TBB* = TBB setelah dilakukan kalibrasi alat (yang digunakan)
19
21
Lampiran 5 Data jumlah daun varietas Atlantis
No Tanggal HST
Jumlah Daun Varietas Atlantis 12 Jam Pencahayaan Jumlah Daun Varietas Atlantis 24 Jam Pencahayaan
Box 1* Box 2* Rataan
Box 3* Box 4* Rataan
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
1 09 Juli 2011 19 11 16 6 4 9 14 15 3 6 14 4 3 9 12 9 4 10 13 6 16 19 17 12 7 18 12
2 10 Juli 2011 20 9 10 6 4 11 13 10 3 4 14 4 3 8 13 9 5 7 12 7 12 15 17 13 6 19 11
3 11 Juli 2011 21 11 9 6 4 9 10 7 3 6 14 4 3 7 10 10 4 9 12 7 10 24 17 14 6 20 12
4 12 Juli 2011 22 9 6 6 4 8 11 4 3 4 14 4 3 6 10 10 5 11 11 8 11 24 17 13 6 23 12
5 13 Juli 2011 23 8 4 0 0 3 9 0 0 3 6 3 2 3 10 7 4 7 13 6 10 15 15 14 6 20 11
6 14 Juli 2011 24 6 2 0 0 2 8 0 0 2 5 2 0 2 8 7 3 5 12 6 10 12 12 13 5 20 9
7 15 Juli 2011 25 6 3 0 0 2 8 0 0 2 13 2 0 3 9 8 3 5 12 6 11 13 13 14 7 23 10
8 16 Juli 2011 26 7 2 0 0 3 8 0 0 3 6 2 0 3 8 8 4 5 12 5 7 12 14 14 5 20 10
9 17 Juli 2011 27 8 0 0 0 3 7 0 0 3 7 0 0 2 10 8 5 3 15 7 9 14 16 15 6 24 11
10 18 Juli 2011 28 7 0 0 0 3 8 0 0 2 4 0 0 2 10 8 4 0 14 6 10 12 14 14 6 23 10
11 19 Juli 2011 29 3 0 0 0 2 9 0 0 2 2 0 0 2 8 9 4 0 13 6 9 12 18 15 4 25 10
12 20 Juli 2011 30 2 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 0 1 9 7 5 0 11 6 9 14 13 13 0 25 9
13 21 Juli 2011 31 2 0 0 0 2 9 0 0 0 0 0 0 1 10 10 5 0 12 6 10 14 15 14 0 25 10
14 22 Juli 2011 32 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 0 1 10 9 6 0 12 7 7 13 16 13 0 24 10
15 23 Juli 2011 33 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 1 11 9 6 0 13 7 7 12 16 12 0 24 10
16 24 Juli 2011 34 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 1 12 9 5 0 14 8 7 11 17 12 0 24 10
17 25 Juli 2011 35 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 1 12 10 0 0 13 7 10 12 16 12 0 24 10
18 26 Juli 2011 36 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 1 12 10 0 0 13 7 10 18 18 15 0 26 11
19 27 Juli 2011 37 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 1 11 8 0 0 13 8 10 16 17 14 0 24 10
20 28 Juli 2011 38 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 1 11 8 0 0 12 8 11 17 16 12 0 25 10
21 29 Juli 2011 39 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 1 12 10 0 0 13 8 11 17 17 12 0 25 10
22 30 Juli 2011 40 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 1 12 7 0 0 12 9 11 17 19 12 0 25 10
23 31 Juli 2011 41 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 1 12 8 0 0 12 9 12 16 19 13 0 23 10
24 01 Agustus 2011 42 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 1 11 8 0 0 10 10 12 16 19 13 0 23 10
25 02 Agustus 2011 43 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 1 12 9 0 0 12 9 12 17 20 14 0 21 11
26 03 Agustus 2011 44 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 14 8 0 0 12 10 12 18 21 14 0 21 11
27 04 Agustus 2011 45 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 12 8 0 0 12 10 12 18 21 15 0 21 11
28 05 Agustus 2011 46 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 11 7 0 0 12 9 12 17 19 14 0 19 10
29 06 Agustus 2011 47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 7 0 0 13 9 13 17 19 14 0 18 10
30 07 Agustus 2011 48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 7 0 0 13 9 13 17 18 14 0 17 10
31 08 Agustus 2011 49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 13 9 13 17 19 14 0 17 9
32 09 Agustus 2011 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 14 10 13 17 19 14 0 17 10
20
22
Lampiran 6 Data jumlah daun varietas Super John
No Tanggal HST
Jumlah Daun Varietas SuperJohn
12 Jam Pencahayaan
Jumlah Daun Varietas SuperJohn
24 Jam Pencahayaan
Box 1* Box 2* Rataan
Box 3* Box 4* Rataan
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 10 Juli 2011 20 6 12 5 10 7 8 8 10 5 0 10 11 0 6
2 11 Juli 2011 21 8 13 8 11 8 10 10 10 4 0 10 11 0 6
3 12 Juli 2011 22 7 12 9 11 7 6 9 10 3 0 10 11 0 6
4 13 Juli 2011 23 4 11 4 8 4 5 6 8 3 0 6 11 0 5
5 14 Juli 2011 24 2 10 5 6 4 5 5 9 3 0 5 11 0 5
6 15 Juli 2011 25 2 7 5 7 2 7 5 11 0 0 9 11 0 5
7 16 Juli 2011 26 0 3 5 3 1 4 3 11 0 0 8 8 0 5
8 17 Juli 2011 27 0 4 4 0 1 4 2 11 0 0 8 8 0 5
9 18 Juli 2011 28 0 4 3 0 0 4 2 10 0 0 7 8 0 4
10 19 Juli 2011 29 0 0 2 0 0 2 1 6 0 0 6 7 0 3
11 20 Juli 2011 30 0 0 2 0 0 0 0 4 0 0 5 6 0 3
12 21 Juli 2011 31 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 4 5 0 2
13 22 Juli 2011 32 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 7 0 2
14 23 Juli 2011 33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 7 0 2
15 24 Juli 2011 34 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 8 0 2
16 25 Juli 2011 35 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 6 0 2
17 26 Juli 2011 36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 8 0 2
18 27 Juli 2011 37 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 6 0 2
19 28 Juli 2011 38 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 6 0 2
20 29 Juli 2011 39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 4 0 2
21 30 Juli 2011 40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 5 0 2
22 31 Juli 2011 41 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 5 0 2
23 01 Agustus 2011 42 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 2 0 1
24 02 Agustus 2011 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 1
25 03 Agustus 2011 44 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 1
26 04 Agustus 2011 45 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 1
27 05 Agustus 2011 46 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 1
28 06 Agustus 2011 47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 1
29 07 Agustus 2011 48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 1
30 08 Agustus 2011 49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 1
31 09 Agustus 2011 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 1
Keterangan:
*) Masing-masing varietas memiliki 4 box tanaman. yaitu 2 box tanaman untuk masing-masing perlakuan
pencahayaan
Nilai 0 jumlah daun menunjukkan tanaman tersebut mati.
21
24
Lampiran 7 Skema pengambilan titik sampel pengamatan
Keterangan:
A = Perlakuan 12 Jam pencahayaan lampu fluorescent
B = Perlakuan 24 Jam pencahayaan lampu fluorescent
X = Tanaman untuk kalibrasi*)
T1.T2.....T10 = titik pengambilan data suhu dan intensitas cahaya
p.q = Varietas Atlantis 12 jam pencahayaan
r.s = Varietas Atlantis 24 jam pencahayaan
k.l = Varietas Super John 12 jam pencahayaan
m.n=Varietas Super John 24 jam pencahayaan
1.2.3.4.5.6 = Sampel ulangan pengukuran
*) Tanaman mati sehingga tidak dilakukan pengukuran
22
25
Lampiran 8 Dokumentasi penelitian
No Kegiatan Gambar
1 Persiapan Alat
Melubangi tutup box
bhbj
Pemasangan sprayer
Pemasangan lampu
Rangkaian timer pompa
Menyiapkan kasa penahan
tanaman
23
26
Rangkaian sistem aeroponik
2 Persiapan bibit
kentang
Plantlet ditanam ditanah steril
Plantlet disungkup plastik
3 Penanaman kentang
ab
ab
Lubang tanam dilengkapi
rockwool
Tanaman disungkup
dengan gelas plastik
Tanaman disungkup dengan
gelas plastik
Plantlet dari Laboratorium
BrMC SEAMEO Biotrop
24 17
25 17
26 17
24
17
27
4 Kondisi tanaman
awal penanaman
Tanaman kentang Varietas Atlantis
Tanaman kentang Varieras Super John
5 Kondisi Tanaman
Varietas Atlantis 12
Jam Pencahayaan
Kondisi tanaman masih bagus
Mati pada hari ke-32 HST
6 Kondisi Tanaman
Varietas Atlantis 24
Jam Pencahayaan
Kondisi tanaman bagus
Kondisi masih bagus hari ke-32 HST
25
17
28
7 Kondisi Tanaman
Varietas Super John
12 Jam Pencahayaan
Pada awal penanaman kondisi tanaman
tidak terlalu bagus.
Kondisi banyak yang sudah mati hari ke-32 HST
8 Kondisi Tanaman
Varietas Super
Johns 24 Jam
Pencahayaan
Tanaman yang tersisa.
26
17