Resensi Buku - Baptisan Dan Kepenuhan, Peranan Dan Karya Roh Kudus Masa Kini (John Stott)

download Resensi Buku - Baptisan Dan Kepenuhan, Peranan Dan Karya Roh Kudus Masa Kini (John Stott)

If you can't read please download the document

description

Buku ini menganalisa hal-hal seputar peran Roh Kudus yang menjadi topik hangat kemunculan dan perkembangan Gerakan Karismatik secara global maupun di Indonesia. Tujuannya agar para pembaca lebih jelas memahami warisan rohani dalam Kristus yang sungguh luar biasa ini dan bagaimana besarnya tanggung jawab orang percaya dalam menggunakan karunia rohani yang dianugerahkan. Stott sendiri berupaya dalam pengakuannya bahwa informasi-informasi dan literatur-literatur yang digunakan untuk menuntaskan bukunya ini digunakan seobjektif dan sejujur mungkin, tanpa bermaksud merusak persekutuan di antara orang percaya. Demi tujuan dimaksud maka Stott mengharapkan para pembaca bukunya dapat sama-sama setuju bahwa segala argumentasi harus diuji oleh firman Allah yang telah dinyatakan secara historis dan objektif; bahwa Yesus Kristus haruslah menjadi sentral; dan bahwa keragaman adalah ciptaan Tuhan termasuk keragaman pengalaman rohani yang harus dihargai.

Transcript of Resensi Buku - Baptisan Dan Kepenuhan, Peranan Dan Karya Roh Kudus Masa Kini (John Stott)

  • Resensi Buku

    Baptisan dan Kepenuhan

    Peranan dan Karya Roh Kudus Masa Kini

    (John Stott)

    Oleh: Deflit Dujerslaim Lilo

    Pendahuluan

    Buku Baptisan dan Kepenuhan, Peranan dan Karya Roh Kudus Masa Kini ditulis oleh John

    R.W. Stott; penerjemah: Dr. Harun Hadiwijono ; edisi ketiga; Jakarta; penerbit: Yayasan

    Komunikasi Bina Kasih/OMF , tahun 1999; 156 halaman; ketebalan buku 11 cm; ISBN 979-9143-12-

    8.

    Buku ini menganalisa hal-hal seputar peran Roh Kudus yang menjadi topik hangat

    kemunculan dan perkembangan Gerakan Karismatik secara global maupun di Indonesia.

    Tujuannya agar para pembaca lebih jelas memahami warisan rohani dalam Kristus yang sungguh

    luar biasa ini dan bagaimana besarnya tanggung jawab orang percaya dalam menggunakan

    karunia rohani yang dianugerahkan. Stott sendiri berupaya dalam pengakuannya bahwa

    informasi -informasi dan literatur -literatur yang digunakan untuk menuntaskan bukunya ini

    digunakan seobjektif dan sejujur mungkin, tanpa bermaksud merusak persekutuan di antara

    orang percaya. Demi tujuan dimaksud maka Stott mengharapkan para pembaca bukunya dapat

    sama-sama setuju bahwa segala argumentasi harus diuji oleh firman Allah yang telah dinyatakan

    secara historis dan objektif; bahwa Yesus Kristus haruslah menjadi sentral; dan bahwa keragaman

    adalah ciptaan Tuhan termasuk keragaman pengalaman rohani yang harus dihargai.

    Deskripsi Isi

    Pada bagian Pendahuluan, Stott memulainya dengan menjabarkan bahwa peranan Roh

    Kudus yang membarui memang sangat diperlukan dalam gereja, entah pada zaman gereja mula-

    mula atau masa kini, gereja di dunia barat atau pun di dunia ketiga. Pemahaman terhadap

    peranan Roh Kudus harus berdasar pada pemikiran bahwa maksud Allah harus menjadi landasan

    dari segala keinginan dan tugas orang percaya. Maksud Allah itu tentunya terdapat dalam Firman

    Allah. Oleh karena i tu, kebenaran Firman Allah harus menjadi patokan utama, bukan pengalaman

    hidup siapa pun. Dalam menggali kebenaran Firman Allah maka ajaran -ajaran yang muncul

    menjadi bagian penting untuk disimak dari pada sekadar melihat cerita -cerita yang ada. Stott

    berpendapat bahwa tentunya semua ini bertujuan melihat sisi praktis untuk dipedomani dalam

    kehidupan pribadi bukan demi ranah pertengkaran.

    Bab satu digunakan Stott untuk memaparkan janji akan Roh Kudus. Menurutnya, sejak awal

    hingga akhir hidup sebagai orang percaya, Roh Kudus berperan aktif. Proses lahir baru adalah

    proses lahir dalam Roh. Dengan Roh Allah berdiam di dalam kita, maka kita adalah anak -anak

    Allah sehingga melalui doa kita dihantar oleh Roh Kudus berbicara dengan -Nya. Begitu pula

    dengan percaya kepada Kristus maka Roh Allah tinggal di dalam diri kita dengan menyatakan

    dan membentuk Kristus kepada dan di dalam kita. Berdiamnya Roh Kudus di dalam kita,

    memampukan kita untuk hidup dalam buah -buah Roh bahkan menyatukan kita sebagai umat-

    Nya yang kudu s dan menjadi jaminan keselamatan kita hingga akhir zaman. Tapi apakah hal ini

    sama dengan pengertian tentang baptisan Roh Kudus? Stott berpendapat, ya, sama. Pencurahan

  • dan baptisan Roh Kudus sama-sama menunjuk pada hal yang sama yaitu kepada pelayanan Yesus

    Kristus. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, baik para nabi di PL dan para rasul di PB

    dalam penyataan mereka perihal pencurahan dan baptisan Roh Kudus sama-sama merujuk pada

    ciri khas pekerjaan Yesus yang merupakan karunia yang akan diberikan, yaitu pengampunan dosa

    dan karunia Roh Kudus. Karunia Roh Kudus ini sinonim dengan istilah janji Roh, baptisan Roh

    dan pencurahan Roh. Karunia ini bukan hanya bersifat dan ditujukan secara khusus bagi pribadi -

    pribadi tertentu tetapi juga universal, bagi semua kalangan yang menjadi bertobat dan percaya.

    Stott berpendapat bahwa peristiwa Pentakosta itu sendiri merupakan bukti nyata

    pemenuhan harapan-harapan dalam PL dan janji-janji Yesus, meskipun peristiwa tersebut harus

    dimengerti dalam dua konteks berbeda yang terjadi pada 120 orang dan 3.000 orang. Kejadian

    pada kelompok pertama terjadi hanya sekali dan tidak berulang -ulang sedangkan yang kedua

    terus dapat terjadi pada kita hingga masa kini. Pentakosta harus dimengerti sebagai akhir dari

    karya Yesus dan awal zaman Mesianis. Perihal pertobatan di Samaria, Stott menjelaskan bahwa

    kisah tersebut harus dimaknai secara khusus seperti kisah penerimaan Roh Kudus oleh 120 orang

    di Yerusalem sehingga tidak dapat dianggap sebagai sebuah patokan bagi aliran karismatik dalam

    argumen mereka. Begitu pula dengan kisah Paulus di Efesus.

    Lebih lanjut Stott berpendapat bahwa baptisan dengan air adalah tanda sedangkan baptisan

    Roh Kudus adalah realitanya, keduanya tidak dapat dipisahkan. Baptisan dengan Roh merupakan

    awal masuk dan bersatunya semua orang percaya ke dalam kesatuan tubuh bersama Kristus.

    Dalam setiap baptisan ada 4 bagian utama yaitu pelaku, penerima, unsur, dan tujuan baptisan.

    r. 12:13), Roh Kudus

    menjadi unsur baptisan dan Yesus menjadi subjeknya dengan tujuannya yaitu orang percaya

    masuk dalam kesatuan gereja sebagai tubuh Kristus.

    Pada bab dua, Stott memberi porsi pembahasan pada tahapan selanjutnya mengenai

    kepenuhan Roh sebagai akibat dari baptisan Roh. Istilah Kepenuhan Roh harus dimengerti bahwa

    istilah tersebut merujuk pada sifat alami dari sebuah bentuk penyerahan total orang percaya dan

    kelengkapan bagi sebuah tugas pelayanan khusus. Menurut Stott, bukti seseorang dipen uhi oleh

    Roh adalah bahwa orang tersebut datang kepada Yesus dalam pertobatan dan iman secara

    berkesinambungan dan bahwa bagaimana seseorang hidup dalam moralitas yang baik dalam

    perkataan, pujian, ucapan syukur, dan ketaatan yang penuh dengan kerendahan hati kepada

    Allah dan sesama. Kepenuhan Roh dengan tanda-tanda mencolok dan penuh sensasi saat ini

    merupakan tipu muslihat iblis dan hanya memuaskan hasrat jiwa semata dan bukan Roh Allah .

    Pengalaman kepenuhan Roh tidak bersifat statis, dapat ditiru, dan dipaksakan tetapi dinamis dan

    beraneka ragam. Pokok terpentingnya adalah bahwa pengalaman-pengalaman rohani ini tidak

    lebih penting dan menentukan dari pada kasih dan anugerah Allah itu sendiri.

    Sebelum menjelaskan perihal karunia-karunia Roh, Stott terlebih dulu menghantar

    tulisannya pada bab tiga dengan topik mengenai buah-buah Roh yang ia dasarkan pada Galatia

    5:22-23a. Penegasannya jelas bahwa buah-buah Roh itu mengatur hubungan kita dengan Allah,

    sesama, dan diri sendiri. Sudah barang tentu Stott hendak menegaskan bahwa buah-buah Roh

    tersebut merupakan hasil dari pekerjaan Roh Kudus itu sendiri. Bukti dari seseorang telah

    mengalami baptisan dan kepenuhan Roh. Menabur dalam Roh menuai buah-buah Roh yang

    menuntun pada pengudusan hidup yang progresif dan matang menuju hidup yang kekal.

    Lalu bagaimana pandangan Stott mengenai karunia-karunia Roh? Pembahasan terakhir

    dalam bab empat mendapat porsi yang cukup banyak untuk hal ini. Menurutnya, Roh

    mempersatukan gereja tetapi karunia Roh diberikan secara berbeda untuk tugas yang berbeda

    pula dalam gereja. Karunia tersebut diberikan oleh Allah secara berdaulat dan cuma -cuma untuk

    memampukan penerimanya melakukan tugas pelayanan. Memang dalam Alkitab khususnya PB,

    ada paling kurang 20 macam karunia Roh tetapi Alla h sanggup untuk memberi lebih banyak

    karunia rohani bagi kita. Apakah karunia Roh bisa disamakan dengan bakat-bakat alami yang

  • dimiliki? Stott berkata tidak. Bakat ada pada setiap orang tetapi karunia Roh hanya untuk orang

    percaya, meskipun tetap ada hubungan yang erat antara keduanya melalui peran Allah. Lebih

    lanjut, saat memberikan contoh mengenai mukjizat sebagai salah satu karunia Roh yang

    supranatural dan paling mengemuka saat ini, Stott berpendapat bahwa kita tidak dapat berdiri

    pada salah satu posisi pandangan tentang hal tersebut, di mana yang satu menegaskan tidak ada

    sama sekali mukjizat pada masa kini dan yang lain berpendapat bahwa semua hal merupakan

    mukjizat. Solusinya, Stott berdiri di tengah -tengah dengan pemikiran terbuka bahwa meskipun

    muk jizat bukan hal umum yang gampang terjadi pada masa kini namun Allah yang berkuasa dan

    berdaulat untuk menyatakan kuasa mukjizat -Nya pada masa kini di mana Ia kehendaki. Akan

    tetapi, tidak semua karunia Roh diberikan -Nya pada masa kini seperti karunia rasu l dan karunia

    nabi.

    Pertanyaannya siapa saja yang dapat menerima karunia-karunia Roh itu? Jawaban Stott

    adalah setiap orang percaya dapat memiliki paling tidak satu karunia untuk melayani. Karunia itu

    harus dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk menolong, menghibur, dan menguatkan

    sesama sebagai bagian yang aktif dalam tubuh Kristus, yaitu gereja. Bagian terakhir dari bab ini

    digunakan Stott untuk memberikan ulasan yang sederhana Berdasarkan

    konteks dalam 1 Korintus

    Pertama, bahasa lidah tersebut adalah bahasa yang dapat dimengerti baik oleh penerimanya

    maupun yang mendengarkan. Kedua, bahasa lidah atau kemudian ia sebut sebagai bahasa roh ini

    hanya bermanfaat bagi diri sendiri sedangkan karunia Roh seharusnya bermanfaat bagi sesama

    dalam tubuh Kristus (gereja). Stott menutup tu lisannya ini dengan memberikan penegasan

    melalui nasihat bahwa karunia Roh yang dimiliki setiap orang hendaklah digunakan atas dasar

    kebenaran dan kasih demi pelayanan dan pertumbuhan iman bersama.

    Evaluasi dan Refleksi Kristis

    Buku ini berusaha menengahi problematika dogmatis seputar f enomena Gerakan Karismatik

    yang luar biasa memengaruhi perkembangan gereja pada masa kini. Konsentrasinya terletak pada

    topik mengenai bagaimana seharusnya memahami baptisan, kepenuhan, dan karunia-karunia Roh

    yang menjadi dasar dari gerakan-gerakan yang mencolok mengenai peran aktif Roh Kudus dalam

    gereja saat ini.

    Stott membahas dan mengelaborasikan ayat-ayat atau kisah-kisah Alkitab khususnya dalam

    PB yang berkaitan dengan topik pembahasan, dengan memberi penafsiran yang mendalam dan

    membuat perbandingan ayat per ayat, yang membuat para pembaca dapat dengan mudah

    memahami topik pembahasan tersebut. Tidak kalah penting adalah analogi -analogi sederhana,

    misalnya hal-hal yang berhubungan dengan agrikultur, digunakan dengan tepat untuk

    menjelaskan argumennya mengenai peran Roh Kudus dalam hidup seorang percaya dengan baik.

    Penggunaan bahasa yang lugas dan pengajuan pertanyaan-pertanyaan pendek yang menghantar

    pembaca kepada inti topik yang dibahas menjadi ciri khas dari setiap bab buku ini.

    Stott berupaya bersikap sportif untuk mengajak para pembacanya yang belum pernah

    mengalami pengalaman-pengalaman Roh agar dapat mengakui dengan rendah hati pengalaman-

    pengalaman rohani tersebut, sejauh pengalaman-pengalaman tersebut memang alkitabiah dan

    berdampak positif bagi pertumbuhan iman. Sebab menurutnya, kita memang tidak dapat

    membatasi Roh Kudus bekerja dengan cara apa pun bagi siapa pun sehingga dapat berhati-hati

    untuk tidak menghujat Roh Kudus. Begitu pula bagi yang telah mengalaminya tidak bertindak

    memaksakan seolah-olah Roh Kudus menuruti keinginan agar orang lain mengalami pengalaman

    yang sama. Pengalaman tersebut seyogianya menuntun kepada sikap memuliakan Allah.

  • Pada halaman 136-137, Stott paling tidak masih memberikan penilaian yang positif kepada

    Gerakan Karismatik yang berperan dalam mengedepankan kedewasaan setiap orang percaya

    untuk secara bertanggung jawab dalam menggunakan karunia pelayanan. Pelajaran yang

    berharga pada bagian ini adalah bahwa kita semua, entah itu pendeta atau gembala jemaat diajak

    untuk aktif memobilisasi anggota jemaat agar aktif dalam menggunakan talenta yang dimi liki

    untuk terlibat dalam pelayanan gereja, maupun anggota jemaat agar juga menyadari bahwa setiap

    diri mereka memiliki karunia Roh yang harus dipakai untuk kemuliaan Allah dan perkembangan

    iman bersama. Saya sendiri sependapat dengan Stott bahwa meskipun pengalaman-pengalaman

    dari sebuah kepenuhan dan karunia Roh tidak dapat dimaknai secara bergejolak dan penuh emosi

    serta dipaksakan sama dengan orang lain, gereja tetap saja merupakan sebuah persekutuan yang

    kharismatik di mana setiap anggotanya bertanggu ng jawab sebagai tubuh Kristus untuk

    menjalankan fungsinya sesuai dengan karunia yang diberikan oleh Allah (hlm. 138 -139).

    Akan tetapi ada beberapa hal penting yang musti diperhatikan sebagai catatan evaluasi

    terhadap buku ini. Para pembaca yang hendak menemukan pembahasan yang lebih detail

    singkat untuk bagian ini. Namun, kesimpulan yang ditarik untuk hal tersebut sebenarnya dirasa

    cukup untuk dimengerti. Penerjemahan pada edisi ketiga ini juga masih menyisakan beberapa

    kekeliruan atau tidak dapat dikatakan tidak salah mengenai pilihan kata yang tepat untuk

    Begitu pula dengan catatan kaki pada halaman 48 yang salah menyebut nama nas Alkitab

    alaman 91, kalimat

    kedua pada paragraf di tengah. Pernyataan pada bagian ini membingungkan : Kita harus berhati-

    hati dalam menguraikan pengalaman-pengalaman yang lebih mendalam, supaya kita mencemarkan

    kelahiran kembali atau melontarkan cercaan terhadap karya kasih Allah yang kreatif dan menentukan.

    Tidak jelas maksud dari kalimat tersebut. Apakah Stott sendiri memberikan ar gumen yang rancu

    tersebut? Atau, kekeliruan terjadi dalam proses penerjemahan/pencetakan? Semoga ada

    penjelasan dan perbaikan jika telah atau akan diterbitkan edisi selanjutnya.

    Meskipun demikian, u paya yang kritis -positif dari Stott yang tertuang dalam bukunya ini

    patut diperhitungkan sebagai bacaan yang representatif dalam memahami sejauh mana Roh

    Kudus berperan aktif dalam kehidupan orang percaya sejak awal hingga akhir kehidupan

    rohaninya terlebih -lebih saat orang percaya sedang hidup dipenuhi Roh Kudus. Dalam konteks

    berteologi di Indonesia, buku ini dapat menjadi dasar atau pengantar yang signifikan bagi semua

    kalangan pembaca untuk pendalaman dan pemahaman lanjutan mengenai doktrin Roh Kudus.