REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

154
REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA SURAT PENCATATAN CIPTAAN Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan: Nomor dan tanggal permohonan : EC00201822110, 25 Juli 2018 Pencipta Nama : Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H, Dr. NI NYOMAN SUKERTI, S.H., M.H, , dkk Alamat : Jl. Gunung Agung Gg I No 3 Lingkungan Sengguan Semara Pura Kangin Klungkung, KLUNGKUNG , Bali, 80716 Kewarganegaraan : Indonesia Pemegang Hak Cipta Nama : REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA Alamat : KAMPUS BUKIT JIMBARAN UNIVERSITAS UDAYANA, BADUNG, Bali, 80361 Kewarganegaraan : Indonesia Jenis Ciptaan : Buku Judul Ciptaan : HUKUM ADAT LANJUTAN Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia : 5 Februari 2018, di DENPASAR Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dilakukan Pengumuman. Nomor pencatatan : 000112684 adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon. Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS. NIP. 196611181994031001

Transcript of REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

Page 1: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SURAT PENCATATANCIPTAAN

Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:

Nomor dan tanggal permohonan : EC00201822110, 25 Juli 2018

Pencipta

Nama : Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H, Dr. NI NYOMAN SUKERTI, S.H., M.H, , dkk

Alamat : Jl. Gunung Agung Gg I No 3 Lingkungan Sengguan Semara Pura Kangin Klungkung, KLUNGKUNG , Bali, 80716

Kewarganegaraan : Indonesia

Pemegang Hak CiptaNama : REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA

Alamat : KAMPUS BUKIT JIMBARAN UNIVERSITAS UDAYANA, BADUNG, Bali, 80361

Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Ciptaan : Buku

Judul Ciptaan : HUKUM ADAT LANJUTAN

Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia

: 5 Februari 2018, di DENPASAR

Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dilakukan Pengumuman.

Nomor pencatatan : 000112684

adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon. Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS.NIP. 196611181994031001

Page 2: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

LAMPIRAN PENCIPTA

No Nama Alamat

1 Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H

Jl. Gunung Agung Gg I No 3 Lingkungan Sengguan Semara Pura Kangin Klungkung

2 Dr. NI NYOMAN SUKERTI, S.H., M.H Br. Taruna Bhuana C 66, Pemogan Denpasar Selatan

3 Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H., M.Si Lingkungan Padang Tegal Mekar Sari Ubud

4 I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn Br. Dinas Penyalin Samsam Kerambitan

5 I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn Jl Kertha Petasikan IX/6 Sidakarya

Page 3: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

Hukum AdatHUKUM ADAT

BUKU AJAR

L a n j u t a n

L A N J U T A N

Pustaka Ekspresi

PUJI syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas tuntunan dan anugrahnya-Nya, Buku Ajar Hukum Adat

Lanjutan dapat diselesaikan sesuai harapan. Pada akhirnya Buku Ajar ini dapat dihadirkan dengan lebih lengkap setelah menggabungkan bahan ajar Tahun 2008 dan block book Tahun 2012. Perubahan dalam buku ajar ini juga mencakup format, substansi, penugasan yang disesuaikan dengan perbaruan kurikulum.Hal ini bertujuan agar Buku Ajar mata kuliah Hukum Adat Lanjutan menjadi panduan pembelajaran yang sistematis dan sangat praktis sehingga proses perkuliahan dan tutorial dapat berjalan dengan baik.

ISBN

Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H.Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H.

Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H., M.Si.I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn.I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn.

Hu

kum

Ad

at la

nju

tan

2018

Cover Ari Atu.indd 1 27/05/2018 21:41:19

Page 4: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

i

BUKU AJAR HUKUM ADAT LANJUTAN

KODE MATA KULIAH : BII4227

TIM PENYUSUN:Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H.

Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H.Anak Aung Gede Oka Parwata, S.H., M.Si.

I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn.I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

Pustaka Ekspresi

Page 5: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

ii

BUKU AJAR HUKUM ADAT LANJUTAN@ Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H.

Penerbit: Pustaka Ekspresi

Jl. Diwang Dangin No. 54 Br. Lodalang

Desa Kukuh, Marga, Tabanan, Bali

Telp. (0361) 7849103

Email: [email protected]

Sampul : Gede Suarbawa

Tata Letak : Gede Suarbawa

Cetakan Pertama : Mei 2018

ISBN: 978-602-5408-36-9

Page 6: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

iii

Kata Pengantar

Page 7: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

iv

PRAKATA

UJI syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas tuntunan dan anugrahnya-Nya, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan

dapat diselesaikan sesuai harapan. Pada akhirnya Buku Ajar ini dapat dihadirkan dengan lebih lengkap setelah menggabungkan bahan ajar Tahun 2008 dan block book Tahun 2012. Perubahan dalam buku ajar ini juga mencakup format, substansi, penugasan yang disesuaikan dengan perbaruan kurikulum.Hal ini bertujuan agar Buku Ajar mata kuliah Hukum Adat Lanjutan menjadi panduan pembelajaran yang sistematis dan sangat praktis sehingga proses perkuliahan dan tutorial dapat berjalan dengan baik.

Edisi revisi ini memuat substansi yang lebih terstruktur mencakup identitas mata kuliah, capaian pembelajaran, hingga tugas dan evaluasi yang diatur tiap pertemuan secara rinci. Harapannya Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan edisi revisi dapat memberi pemahaman dan meningkatkan kompetensi dalam mendalami hukum adat.

Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati kami ucapakan terima kasih kepada:1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para

Wakil Dekan yang telah senantiasa memberi dukungan atas proses pembelajaran sehingga bukuajar ini dapat diselesaikan

2. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaianrevisi buku ajar ini

Page 8: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

v

Sangat disadari bahwa buku ajar yang kami hasilkan ini sangat jauh dari sempurna sehingga memerlukan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikannya di waktu mendatang. Namun demikian, semoga buku ajar ini memberi arti dan manfaat bagi kita semua.

Denpasar, 5 September 2017Penyusun

Page 9: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

vi

D A F T A R I S I

KATA PENGANTAR ......................................................... iiiPRAKATA ....................................................................... ivDAFTAR ISI ................................................................... viIDENTITAS MATA KULIAH ............................................. 1DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN ......................... 1CAPAIAN PEMBELAJARAN ............................................. 2MANFAAT MATA KULIAH ............................................... 2PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ................... 3ORGANISASI MATERI PERKULIAHAN ........................... 3METODE, STRATEGI DAN PELAKSANAAN PROSES PERKULIAHAN ................................................. 4TUGAS-TUGAS ................................................................ 6UJIAN DAN PENILAIAN ................................................... 6BAHAN PUSTAKA .......................................................... 7JADWAL PERKULIAHAN ............................................... 10

PERTEMUAN I : PERKULIAHAN 1 KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT ....................................... 13

1. Pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ..... 132. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ........................................................ 163. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ..................................... 194. Bahan Bacaan ...................................................... 22

PERTEMUAN II : TUTORIAL 1 KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT.............................................................. 23

1. Tugas : Problem Task .......................................... 232. Bahan Bacaan ..................................................... 24

Page 10: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

vii

PERTEMUAN III : PERKULIAHAN 2 HUKUM TANAH ADAT ...................... 25

1. Tanah Adat Sebagai Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ..................................... 252. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat ........ 253. HAK ULAYAT......................................................... 274. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan ........................................... 314. Bahan Bacaan ..................................................... 34

PERTEMUAN IV : TUTORIAL 2 HUKUM TANAH ADAT ... 331. Pendahuluan ........................................................ 352. Tugas : Problem Task ........................................... 353. Bahan Bacaan ...................................................... 36

PERTEMUAN V : PERKULIAHAN 3 HUKUM ADAT KEKELUARGAAN .......................................................... 37

1. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan ................ 372. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia ....................... 383. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Pada Umumnya .............................. 414. Hubungan Hukum Dalam Hukum Kekeluargaan... 475. Bahan Bacaan ...................................................... 52

PERTEMUAN VI : TUTORIAL 3 HUKUM ADAT KEKELUARGAAN .......................................................... 53

1. Pendahuluan ........................................................ 532. Tugas : Problem Task............................................ 533. Bahan Bacaan ...................................................... 54

Page 11: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

viii

PERTEMUAN VII : UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) .... 55

PERTEMUAN VIII : PERKULIAHAN 4 HUKUM ADAT PERKAWINAN ............................................................... 55

1. Pengertian Hukum Perkawinan Di Indonesia ....... 552. Sejarah Hukum Perkawinan Indonesia ................. 573. Sistem Perkawinan................................................ 594. Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum Adat ... 595. Syarat-Syarat dan Prosedur Pengesahan Perkawinan........................................................ 636. Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adat ........... 657. Larangan-Laragngan Perkawinan........................... 668. Harta Benda Perkawinan ...................................... 679. Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam Hukum Adat.......................................................... 6910. Bahan Bacaan ...................................................... 73

PERTEMUAN IX : TUTORIAL 4 HUKUM ADAT PERKAWINAN ..................................................... 74

1. Tugas : Problem Task .......................................... 742. Bahan Bacaan ..................................................... 74

PERTEMUAN X : PERKULIAHAN 5 HUKUM ADAT PEWARISAN .................................................................. 76

1. Pengertian Dan Unsur-Unsur Pewarisan .............. 762. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris............................................................ 893. Sifat Hukum adat Waris........................................ 894. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris ........ 915. Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris ............................................... 936. Bahan Bacaan ...................................................... 99

Page 12: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

ix

PERTEMUAN XI : TUTORIAL/DISKUSI TENTANG HUKUM ADAT PEWARISAN........................................................ 100

1. Pendahuluan ...................................................... 1002. Tugas : Problem Task ......................................... 1003. Bahan Bacaan ................................................... 102

PERTEMUAN XII : PERKULIAHAN 6 HUKUM ADAT PELANGGARAN .......................................................... 103

1. Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat ....... 1032. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat .............................. 1113. Reaksi Dan Koreksi Adat .................................... 1124. Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan ......... 1165. Bahan Bacaan .................................................... 122

PERTEMUAN XIII : TUTORIAL 6 HUKUM ADAT PELANGGARAN .......................................................... 123

1. Tugas : Problem Task ......................................... 1234. Bahan Bacaan ................................................... 124

PERTEMUAN VII : UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

LAMPIRAN :1. SILABUS ............................................................. 125

LAMPIRAN II : RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)................................................. 131LAMPIRAN III : KONTRAK KULIAHKONTRAK PERKULIAHAN............................................. 137

Page 13: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

1

BUKU AJARHUKUM ADAT LANJUTAN

I. IDENTITAS MATA KULIAHNama Mata Kuliah : Hukum Adat Lanjutan Kode Mata kuliah : BII4227 SKS : Lulus Hukum Adat Prasyarat : -Semester : IVStatus Mata Kuliah : Wajib Fakultas

II. DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN Mata kuliah hukum adat lanjutan merupakan mata kuliah lanjutan dari mata kuliah hukum adat secara umum. Mata kuliah hukum adat lanjutan membahas tentang hukum adat yang berlaku dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beragam, tumbuh dan berlaku bagi Kasatuan Masyarakat Hukum Adat. Hal ini mengingat kondisi kebangsaaan Indonesia yang berbhineka baik dilihat dari suku, bahasa, agama maupun budayanya. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat selain tunduk pada hukum adat juga tunduk pada hukum negara sebagai warganegara dari Negara Republik Indonesia. Mata Kuliah Hukum adat lanjutan akan membahas mengenai bidang-bidang hukum dalam kehidupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya akan dibahas dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan seperti tatanan masyarakat adat yang meliputi: pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum tentang tanah adat, hukum adat tentang keluarga, hukum adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan, hukum adat tentang pelanggaran. Selain mengetahui dan

Page 14: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

2

memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN Pembelajaran Mata kuliah Hukum Adat Lanjutan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiwa tentang berbagai memahami hukum adat secara dengan topik pembahasan yang mendalam yang kemudian mampu menganalisis kasus kasus berkaitan dengan materi dalam lingkaran hukum adat yang meliputi tatanan masayarakat adat yang meliputi: pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum adat tentang keluarga, hukum adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan hukum adat tentang pelanggaran. Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).

IV. MANFAAT MATA KULIAH Mata kuliah hukum adat lanjutan mempunyai manfaat praktis maupun teoritis bagi mahasiswa. Manfaat teoritis, bahwa materi kuliah banyak mengandung isu-isu dan topik menarik untuk diangkat menjadi penelitian untuk penulisan skripsi ataupun artikel jurnal yang berkait dengan materi hukum adat. Selain itu pendalaman belajar hukum adat sebagai hukum yang tumbuh ditengah tengah masyarakat yang secara praktis memiliki peran yang sangat besat saat terjun di tengah tengah masyarakat. Hal ini bisa diaplikasikankelak oleh mahasiswa setelah lulus dan memilih profesi bidang keahlian hukum baik sebagai hakim, jaksa, pengusaha, pendidik.

Page 15: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

3

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAHUntuk menempuh mata kuliah hukum adat lanjutan harus telah menempuh mata kuliah hukum adat.VI. ORGANISASI MATERI PERKULIAHAN

1. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT a. Pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum

Adat b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan

Masyarakat Hukum Adatc. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat 2. HUKUM TANAH ADAT

a. Tanah Adat sebagai Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

b. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat

c. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan

3. HUKUM ADAT KEKELUARGAAN a. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan b. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia c. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut

Hukum Adat Pada Umumnyad. Hubungan Hukum Dalam Hukum

Kekeluargaan 4. HUKUM ADAT PERKAWINAN

a. Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia

b. Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum Adat

Page 16: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

4

c. Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adatd. Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum

Adat e. Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam

Hukum Adat 5. HUKUM ADAT PEWARISAN

a. Pengertian Dan Unsur Unsur Pewarisan b. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat

Waris c. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat

Waris d. Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam

Hukum Adat Waris6. HUKUM ADAT PELANGGARAN

a. Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat b. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat c. Reaksi Dan Koreksi Adat d. Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan

VII. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN

Dalam pemberlajaran pada mata kuliah hukum adat lanjutan akan diatur dengan Problem Based Learning (PBL) yang pusat pembelajarannya ada pada mahasiswa. Metoda ini diterapkan dengan cara belajar (learning) dan bukan mengajar (teaching). Strategi Pembelajaran adalah dengan cara mengkombinasikan antara perkuliahan,diskusi dan tutorial dengan prosentase 50 % (6 kali pertemuan atau perkuliahan) dan 50 % (6 kali pertemuan dengan tutorial dan diskusi), 1 (satu) kali untuk Test Tengah Semester (UTS) dan

Page 17: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

5

1(satu) kali untuk Ujian Akhir Semester (UAS), sehingga total pertemuan untuk bobot 2 SKS adalah 14 (empat belas) kali.Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial yaitu Untuk pelaksanaan perkuliahan dari mata kuliah hukum adat lanjutan ini direncanakan berlangsung 6 (enam) kali pertemuan untuk kuliah yaitu pertemuan ke : 1,3,5,8,10,12 Sedangkan untuk pertemuan tutorial dan diskusi juga 6 (enam) kali yaitu pada pertemuan ke : 2,4,6,9,11,13 Sementara itu evaluasi berlangsung pada pertemuan ke 7 dan 14. Dalam perkuliahan hukum adat lanjutan ini akan dibahas pokok-pokok materi bahasan yang akan disajikan dengan menggunakan alat bantu seperti : papan tulis, power point serta menyiapkan bahan-bahan bacaan tertentu dan apabila dipandang sulit untuk menemukan bahan-bahan bacaan tersebut maka perlu disiapkan seperti : Buku Ajar dan Block Book dari materi mata kuliah yang bersangkutan. Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa wajib mempersiapkan diri (self study) dengan cara mencari bahan (materi) serta memahami materi dari masing-masing pokok bahasan yang akan dikuliahkan ataupun yang akan didiskusikan sesuai dengan apa yang telah diarahkan (guidance) dalam buku ajar.Teknik Perkuliahan yang digunakan yaitu dalam bentuk : pemaparan materi, tanya jawab dan diskusi (model proses pembelajaran dua arah). Pelaksanaan tutorial dilakukan melalui strategi sebagai berikut :

1. Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas (PR) berupa Discussion Task, Study Task dan Problem Task sebagai bagian dari self study, kemudian berdiskusi di kelas dengan cara presentasi dengan menggunakan pawer point.

Page 18: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

6

2. Dalam 6 (enam) kali pertemuan tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan :a. Menyerahkan karya tulis berupa paper atau tugas

lainnya sesuai dengan topik yang akan di bahas.b. Mempresentasikan paper atau tugas yang telah

diberikan dengan menggunakan fasilitas yang tersedia.

c. Memposisikan diri dalam peran masing-masing dalam diskusi apakah sebagai pemandu, notulis atau anggota atau peserta.

VIII. TUGAS-TUGAS Rangkaian tugas sebagai instrument penilaian diatur dengan mewajibkan mahasiswa untuk mengerjakan tugas sesuai buku ajar ataupun variasi bahan saat perkuliahan yang kemudian dibahas saat tutorial.Tugas individu ataupun tugas kelompok menjadi bahan penilaian, bisa melalui paper test, dapat pula mahasiswa yang presentasi.

IX. UJIAN DAN PENILAIAN Ujian akan dilaksanakan 2(dua) kali dalam satu semester dalam bentuk tertulis baik pada Ujian Tengah Semester (UTS) maupun pada Ujian Akhir Semester (UAS). Penilaian akhir (Nilai Akhir = NA) akan disesuaikan dengan rumus yang telah tercantum dalam Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Page 19: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

7

(TT +TTS) + 2 X UAS ––––––––––– 2NA = ––––––––––––––––––––––––––––––– 3

Nilai RangeA 80 – 100

B+ 70 – 79B 65 – 69C+ 60 – 64C 55 – 59

D+ 50 – 59D 40 – 49

Komponen Penunjang Penilaian :Absensi, Kedisiplinan ,Kepribadian (sikap dan prilaku).

X. BAHAN PUSTAKA1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan

Perundang-undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

2. AB Wiranata I Gede; 2005, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.

3. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

4. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

5. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina

Page 20: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

8

Aksara, Jakarta.6. Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia

Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.

7. Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

8. Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan Adat , Alumni, Bandung.

9. --------------------, 1979, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung.

10. --------------------, 1979, Hukum Ketatanegaraan Adat , Alumni, Bandung.

11. --------------------, 1979, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.

12. Hazairin, 1987, Hukum Kekeluargaan Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta.

13. Koesnoe Moch.1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universitas Press, Surabaya.

14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PT. Media Sarana Press, Jakarta.

15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.

17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.

Page 21: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

9

19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.

21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.

22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.

25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang Perlindungan anak.

27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990.

28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).

Page 22: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

10

8

XI. JADWAL PERKULIAHAN

Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN

TOPIK KEGIATAN

1 I

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

(Pengertian, Faktor Pembentuk dan

Struktur) Dalam Masyarakat HUkum

Adat

Perkuliahan

1

2 II

Pndahuluan

Tugas

Penutup

Tutorial 1

3 III

HUkum tanah adat

a.

anah Adat sebagai Hak Ulayat

Kesatuan Masyarakat Hukum

Adat

b.

ungsi Tanah Bagi Masyarakat

Hukum Adat

c. Kedudukan Tanah Adat Dalam

Peraturan Perundang-Undangan

Kuliah 2

4 IV

Pendahluan

Tugas

Penutup Tutorial 2

5 V

Hukum Adat Kekeluargaan

a. Uraian hukum keluarga

Pengertian Hukum Adat

Kekeluargaan

Page 23: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

11

9

b. Sistem Kekeluargaan di Indonesia

c. Keturunan dan Pengangkatan

Anak Menurut Hukum Adat Pada

Umumnya

d. Hubungan Hukum Dalam Hukum

Kekeluargaan

6 VI

Pendahluan

Tugas

Penutup

Tutorial 3

7 VII UTS Terstruktur

8 VIII

Hukum Adat perkawinan

a. Uraian perkawinan Pengertian

Dan Sejarah Hukum Perkawinan

di Indonesia

b. Bentuk-Bentuk Perkawinan

Dalam Hukum Adat

c. Tata Cara Perkawinan Dalam

Hukum Adat

d. Harta Benda Perkawinan Dalam

Hukum Adat

e. Perceraian dan Akibat Hukumnya

Dalam Hukum Adat

Perkuliahan 4

9 IX

Pendahuluan

Tugas

Penutup Tutorial 4

10 X Hukum adat Pewarisan

a. Pengertian dan Unsur Unsur Kuliah 5

Page 24: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

12

10

Pewarisan

b. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam

Hukum Adat Waris

c. Sistem Pewarisan Dalam Hukum

Adat Waris

d. Syarat-Syarat Dan Proses

Pewarisan Dalam Hukum Adat

Waris

11 XI

Pendahukuan

Tugas : Kasus

Kasus Dalam hukum waris adat

Penutup

Tutorial 5

12 XII

Hukum adat Pelanggaran

a. Pengertian Dan Sifat-Sifat

Pelanggaran Adat

b. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat

c. Reaksi Dan Koreksi Adat

d. Pelanggaran Adat Dalam Praktek

Peradilan

Kuliah 6

13 XIII Pembahasan Reaksi dan koreksi adat Tutorial 6

14 XIV UAS Terstruktur

Page 25: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

13

PERTEMUAN I : KULIAH 1 :KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

1. PENGERTIAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADATIstilah masyarakat hukum adat sering juga disebut

dengan persekutuan hukum adat yang pada hakekatnya merupakan terjemahan dari “rechtsgemeenchap”. Ma sya-rakat Indonesia yang terdiri dari berbagai corak dan struktur kemasyarakatannya beraneka ragam dan sebagian terbesar penduduknya bermukim di pedesaan. Salah satu bentuk dari masyarakat hukum adat tersebut contohnya di Bali, dahulu disebut “Desa Adat” tetapi saat ini sudah diubah dengan sebutan “Desa Pakraman”.

Seperti diungkapkan oleh Van Vollenhoven yang dikutip dari bukunya Soepomo : Bab-Bab Tentang Hukum Adat menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah manapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari.1

Badan-badan persekutuan atau masyarakat hukum yang dimaksud diatas bukanlah didasarkan pada sesuatu yang bersifat dogmatik tetapi haruslah pada kehidupan yang nyata dari masyarakat hukum yang bersangkutan, dengan demikian akan dapat diketahui apakah telah ada perubahan ataukah masih ada dan terus hidup.?. Jadi untuk mempelajari dan mengetahui hukum dalam suatu masyarakat, haruslah mempelajari pula badan-badan yang ada dalam masyarakat hukum tersebut. Itu berarti bahwa

1 Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.49.

Page 26: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

14

untuk mempelajari Hukum Adat Lanjutan, perlu dan harus pula mempelajari badan-badan yang ada dalam masyarakat hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari masyarakat hukum adat pada umumnya.

Menurut Ter Haar dalam bukunya Beginseelen en stelsel van het adatrecht Tahun 1939, yang dikutip oleh Soepomo : bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebaga kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bhatin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagi hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pengurus sendiri, dan mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum.2

Secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum itu sebagai kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang sifatnya materiil maupun immatriil, berada dalam suatu pergaulan hidup yang sama dengan kontinuitas hubungan dengan pola berulang tetap.

Berdasarkan pengertian persekutuan atau masya-rakat hukum seperti tersebut diatas maka dapatlah ditarik be berapa unsur, agar sesuatu kelompok itu disebut dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum antara lain :

2 Ibid, hal.50.

Page 27: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

15

a) Terdiri dari orang-orang sebagai suatu kelompok/kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bathin.

b) Kelompok tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal.

c) Adanya kekuasaan sediri sebagai kelompok yang otonom dan mempunyai pengurus sendiri.

d) Mem punyai harta kekayaan baik milik ke du ni-a wian dan milik gaib (matriil dan spirituil) yang terpisah antara harta kekayaan milik kelompok dengan harta kekayaan anggota.

e) Tidak ada seorangpun dari anggota kelompok yang mempunyai keinginan untuk melepaskan diri dari kelompoknya atau ingin membubarkan ke lompoknya.

Ber dasarkan unsur-unsur di atas sebetulnya be-lum lah dapat dinyatakan suatu kelompok itu sebagai suatu per sekutuan hukum atau masyarakat hukum karena perlu ada faktor lain sebagai penentunya untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok lain seperti kelompok-kelompok sosial biasa. Adapun faktor-faktor penentu itu adalah faktor teritorial dan faktor genealogis. Sehubungan dengan hal ini Soekanto dalam bukunya, Meninjau Hukum Adat di Indonesia menyebutkan bahwa desa di Bali adalah persekutuan teritorial, dimana warganya bersama-sama mempunyai kewajiban dan kemampuan untuk membersihkan wilayah desa bagi keperluan-keperluan yang berhubungan dengan agama. Ini berarti bahwa desa-desa di Bali disamping memiliki unsur-unsur pembentuk (constituent element), juga memiliki unsur yang bersifat magis religius. Unsur pembentuk itu tampak pada adanya wilayah kekuasaan, warga, pemerintahan yang berwibawa dan harta kekayaan

Page 28: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

16

baik materiil maupun immateriil. Sedang unsur yang bersifat religio magis tampak dari keberadaan desa yang menjadi tempat persembahyangan bersama bagi warga desa secara keseluruhan dan pelaksanaan ritual-ritual lain berkenaan dengan kesejahteraan warganya.3

Sesuai dengan uraian diatas maka jelaslah bahwa “Nagari di Minangkabau atau desa adat di Bali” merupakan suatu masyarakat hukum adat yang mempunyai bentuk dan corak tersendiri yang berbeda dengan desa-desa yang ada di Jawa dan Madura atau desa-desa lainnya di Indonesia.

2. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Agar suatu kriteria jelas dapat menunjukkan unsur-unsur dari suatu asyarakat hukum dapat membedakannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain yang bukan merupakan masyarakat hukum adat, perlu dicarikan kretiria lain sebagai identifikasi diluar unsur-unsur yang telah disebutkan diatas yang akan mewujudkan kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat. Sebagai kriteria tambahan yang akan dapat membedakannya dengan kelompok sosial yang lain yaitu berupa faktor-faktor pembentuknya yaitu :

1. Faktor Teritorial, apabila dilihat dari dasar teritorial semata sebagai dasar pembentukan suatu masyarakat hukum adat, yaitu adanya kesamaan wilayah atau tempat tinggal maka kelompok tersebut telah dapat diartikan sebagai suatu masyarakat hukum. Karena

3 Soerjono Soekanto, dan Soleman B Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, hal.73.

Page 29: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

17

contoh dan jumlah masyarakat seperti itu banyak ada di indonesia antara lain di jawa dan bali (desa adat seperti yang dikemukakan oleh Soekanto, seperti tersebut diatas).

2. Faktor Genealogis, yaitu karena adanya hubungan darah. Artinya bahwa kelompok dalam masyarakat hukum itu terbentuk karena anggotanya berasal dari adanya hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.Ter Haar menyatakan faktor genealogis semata

tidaklah dapat mewujudkan kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum. Karena tindakan keluar dari kelompok-kelompok tersebut hanyalah dalam hal-hal tertentu saja yaitu yang berkaitan dengan pemujaan leluhur. Atau kalau toh mereka dianggap persekutuan hukum maka itu hanyalah merupakan persekutuan hukum yang sangat terbelakang dalam pelaksanaan fungsi sosialnya.4

Disamping kedua faktor sebagai pembentuk dari suatu masyarakat hukum adat terjadi pula campuran dari keduanya yaitu faktor teritorial genealogis atau genealogis teritorial yang bentuknya bermacam-macam.5

Uraian di atas nampak bahwa masyarakat hukum adat terbentuk lebih banyak didasarkan atas faktor teritorial. Hal ini karena ada kaitannya dengan sifat hubungan hukum yang tampak dalam kelompok-kelompok tersebut, seperti sifat “Patembayan” lebih menonjol dalam masyarakat hukum adat yang didasari oleh faktor teritorial sedangkan sifat “paguyuban” lebih mendasari masyarakat hukum yang

4 Ter Haar, 1976, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat (diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta, hal.29.5 Soepomo R. Op.Cit, hal.49.

Page 30: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

18

bersifat genealogis.6 Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum

Adat juga menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat terbentuk karena faktor genealogis, maksudnya adalah karena orang-orang tersebut termasuk dalam suatu keturunan yang sama yaitu :

a. Garis keturunan menurut garis bapak (Patrilinial) seperti orang-orang Batak, Nias, Sumba dan Bali.

b. Pertalian darah menurut garis ibu (Matrilinial) seperti : famili di Minangkabau

c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (tata susunan parentil) seperti orang-orang Jawa, Sunda, Aceh dan Kalimantan.

Sedangkan persekutuan hukum atau masyarakat hukum yang terbentuk atas dasar faktor teritorial atau berdasar lingkungan daerah dapat dibagi dalam tiga jenis pula yaitu :

a. Persekutuan desa (dorp).b. Persekutuan daerah (streek).c. Persekutuan dari beberapa desa.Terhadap persekutuan hukum atau masyarakat

hukum teritorial ini orang dapat untuk sementara waktu meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan keanggotaannya dari golongan tersebut. Orang yang dari luar yang masuk ke daerah persekutuan tersebut tidak dengan sendirinya menjadi teman segolongan. Ia harus diterima sebagai teman segolongan menurut hukum adat.7 Arti dari penjelasan di atas bahwa pendatang akan mempunyai hak

6 Djojodigoeno, 1964, Azas-azas Hukum Adat, Yayasan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, hal.5.7 Soepomo R, Op.Cit, hal.51-52.

Page 31: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

19

dan kewajiban yang berbeda dengan penduduk yang sejak awal nenek moyangnya sudah bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan tersebut, oleh karenanyalah mereka pada umumnya mempunyai kedudukan lebih penting daripada penduduk pendatang.

Bahan diskusi :Diskusikan dalam kelompok apakah faktor-faktor pembentuk maupun unsur-unsur dari masyarakat hukum adat pada umumnya dan berikan contoh-contoh dan dimana itu ada ?

3. STRUKTUR PEMERINTAHAN DALAM KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Untuk dapat memahami struktur pemerintahan maupun struktur organisasi dalam masyarakat hukum adat maka perlulah terlebih dahulu memahami struktur masyarakat hukum pada umumnya. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa ada dua faktor pengikat yang membentuk tumbuhnya suatu suatu masyarakat hukum yaitu faktor genealogis yaitu masyarakat hukum yang anggota-anggotanya merasa terikat karena berasal dari nenek moyang yang sama, masyarakat hukum teritorial yaitu masyarakat hukum terbentuk karena anggota-anggotanya merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang sama, dan tipe yang ketiga merupakan gabungan antara faktor genealogis dan teritorial sehingga masyarakat hukum tersebut terbentuk karena anggota-anggotanya merasa terikat atu sama lain dari kedua faktor tersebut.

Masyarakat hukum yang terbentuk karena faktor teritorial, dalam kepustakaan hukum adat dapat dibedakan lagi kedalam (3) tiga jenis antara lain :

Page 32: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

20

a) Persekutuan desa yaitu segolongan orang yang terikat pada suatu tempat kediaman yang sama meliputi perkampungan-perkampungan yang jauh dari pusat pemerintahan dimana pejabat-pejabat desa bertempat tinggal. Contohnya : Banjar di Bali.

b) Persekutuan daerah yaitu kesatuan dari beberapa tempat kediaman yang masing-masing tempat kediaman itu mempunyai pimpinannya sendiri-sendiri, sejenis dan sederajat. Tetapi tempat kediaman tadi merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yang mempunyai hak ulayat atas tanah-tanah yang ada dalam persekutuan hukum tersebut. Contohnya : desa pakraman di Bali.

c) Perserikatan dari beberapa desa yaitu gabungan dari beberapa persekutuan desa yang letaknya saling berdekatan satu sama lain, mengadakan permufakatan untuk saling bekerja sama memelihara kepentingan-kepentingan yang sama atau tujuan yang sama. Contohnya di Bali : kerja sama dibidang pengairan subak, atau kegiatan lain disebut dengan sekaa-sekaa antara lain sekaa manyi (menunai padi), sekaa gong, sekaa semal (tupai kelapa).

Indonesia yang merupakan negara kepulauan sejak 17 Agustus 1945 adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai negara kesatuan yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dapat ditarik kesimpulan akan pengakuan secara

Page 33: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

21

konstitusionil adanya hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian dari kesimpulan tersebut dapat diketahui hak hidup dan terpeliharanya aturan-aturan hukum adat di Indonesia baik secara kenyataan maupun secara yuridisnya mendapat tempat yang wajar.

Pengakuan terhadap hukum yang tidak tertulis seharusnya diterima dan diakui mengingat masyarakat adalah dalam proses kehidupan dan perkembangannya, dan aturan-aturan hidup yang ada diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan hidup dari masyarakat yang bersangkutan maka bentuk aturan-aturan yang tertulis tidak cukup mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan kepentingan masyarakat yang terus berkembang. Menurut Koesnoe, secara tradisional masyarakat hukum adat mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dibedakan antara lain :

a) Fungsi pemerintahan yaitu sebagai fungsi untuk mempertahankan tertib adat dan kesejahteraan warganya.

b) Fungsi pemeliharaan roh yaitu sebagai fungsi untuk menjaga masyarakat dan warganya dalam hubungannya dengan alam gaib.

c) Fungsi pemeliharaan agama yaitu sebagai fungsi untuk merealisir apa yang ditetapkan oleh agama.

d) Fungsi pembinaan hukum adat yaitu sebagai fungsi untuk menampung segala tuntutan perkembangan hukum adat.8

Sedangkan Soepomo mencoba melihat fungsi-fungsi masyarakat hukum adat itu dari aktifitas-aktifitas kepala

8 Koesnoe Moch.1971, Hukum Adat Tata Negara, Puslit UNAIR, Surabaya, hal.24-25.

Page 34: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

22

rakyat (kepala adat) dalam rangka menjaga tertib masyarakat hukum adat. Adapun aktifitas-aktifitas tersebut dapat dibedakan kedalam tiga kelompok yaitu :

a) Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang erat antara tanah dengan masyarakat hukum adat.

b) Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah pelanggaran hukum, supaya hukum berjalan sebagaimana mestinya.

c) Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar.9

Bahan Bacaan :1. Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta.2. Ter Haar Bzn, 1976, Azas-Azas dan Susunan Hukum

adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

3. Soerojo Wignyodipuro, 1968, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

4. Hilman Hadikusuma, 1981, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung.

5. Sagung Ngurah,dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum Dan Masyarakat, Fak.Hukum Universitas Udayana Denpasar.

6. UUD RI 1945.

9 Soepomo R, Op.Cit, hal.66.

Page 35: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

23

PERTEMUAN II : TUTORIAL/DISKUSI TENTANG KMHA

I. TUGAS : PROBLEM TASK Di Indonesia terdiri dari berbagai macam bentuk

kesatuan masyarakat hukum adat diantaranya adalah desa pakraman, subak, dadia, nagari dan desa Dalam kehidupan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut terdapat sistim hukum yang berlaku dan mengikat kesatuan masyarakat hukum adat tersebut.

Suatu saat desa pakraman mengalami suatu masalah yaitu ada seorang krama desa melanggar norma kebiasaan dan adat di desa pakraman setempat, baik dalam konteks pelanggaran di bidang parhyangan, pawongan dan palemahan, dilain pihak desa pakraman tidak memiliki aturan hukum adat secara tertulis, sehingga sulit bagi desa pakraman untuk menjatuhkan sanksi adat untuk para pelanggar norma kebiasaan setempat. Pertanyaan :

1. Apakah yang dimaksud dengan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ?

2. Unsur-unsur apakah yang harus dipenuhi jika persekutuan tersebut dapat dikatakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat?

3. Faktor-faktor apakah yang mempengauuhi terbentuknya KMHA.

4. Apakah KMHA mempunyai hukum tertulis dan apakah KMHA mendapat perlindungan secara hukum.

5. Apakah dapat KMHA menyelesaiakan kasus tersebut dan bagaimana proses penyelesaian III

Page 36: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

24

I. DAFTAR BACAAN

1. Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

2. Ter Haar Bzn, 1976, Azas-Azas dan Susunan Hukum adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

3. Soerojo Wignyodipuro, 1968, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

4. Hilman Hadikusuma, 1981, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung.

5. Sagung Ngurah,dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum Dan Masyarakat, Fak.Hukum Universitas Udayana Denpasar.

6. UUD RI 1945.

Page 37: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

25

PERTEMUAN III : PERKULIAHAN 2HUKUM TANAH ADAT

1. TANAH ADAT SEBAGAI HAK ULAYAT KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Didalam kehidupan masyarakat hukum adat, tanah memegang peranan yang sangat penting dan menentukan. Seperti dikemukakan oleh Soerojo Wignyodipuro, bahwa ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat yaitu : karena sifat dan karena fakta.

2. FUNGSI TANAH BAGI MASYARAKAT HUKUM ADATSebagaimana bahwa tanah merupakan benda yang

sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Adapun fungsi penting dari tanah dalam kehidupan masyarakat hukum adat yaitu :

a. Karena sifatnya :Yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan yang

menkipun mengalami keadaan-keadaan yang bagaimanapun akan masih bersifat tetap dalam keadaan seperti semula dan bahkan menjadi lebih menguntungkan. Seperti misalnya dijatuhi bom, tanah tetap tidak akan lenyap atau berkurang atau kalau terjadi banjir, setelah banjir surut kadang-kadang dapat lebih menyuburkan tanah tersebut.

b. Karena fakta :Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :

Merupakan tempat tinggal persekutuanMemberi penghidupan kepada persekutuan Merupakan tempat dimana para warga persekutuan

yang meninggal dunia di kebumikan

Page 38: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

26

Merupakan pula tempat tinggal danyang-danyang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.10

Bagi masyarakat hukum adat pada umumnya bahwa tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Karena tanah merupakan tempat mereka hidup, tempat mereka tinggal, dan tanah merupakan tempat yang memberikan penghidupan kepada mereka.

Berdasarkan kenyataan ini, maka antara tanah dengan masyarakat hukum dimana mereka tinggal terdapat hubungan yang erat sekali dan bahkan bersifat religio magis, hubungan yang erat dan bersifat religio magis inilah yang menyebabkan masyarakat hukum mempunyai hak untuk menguasai tanah-tanah yang ada dalam masyarakat hukum tersebut dalam arti masyarakat hukum dapat memanfaatkan tanah itu, memungut hasil-hasil dari tumbuh-tumbuhan yang ada diatas tanah tersebut, serta berburu binatang-binatang yang hidup disitu untuk kepentingan hidup dan kehidupannya. Hak semacam ini disebut dengan hak ulayat atau disebut pula dengan istilah “beschikkings recht”. Seperti di Jawa ada tanah disebut dengan “tanah pikulen dan ada “tanah gogol”, sedangkan di Bali ada tanah-tanah dengan nama : tanah PKD (Pekarangan Desa) dan ada tanah AYDS (Ayahan Desa).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Iman Sudiyat, bahwa sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara tersebut, lebih-lebih corak agrarisnya menominasi. Di negara yang rakyatnya

10 Soerojo Wignyodipuro, 1979, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, hal.247.

Page 39: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

27

berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu “conditio sine qua non”.

Hak persekutuan atas tanah seperti yang dijelaskan diatas disebut dengan “Hak Ulayat” antara hak ulayat dengan hak perseorangan atas tanah terdapat asas yang disebut dengan “asas mulur mungkret atau mengembang mengempis”, artinya dimana hak perseorangan kuat maka berarti hak ulayat atas tanah di daerah tersebut menjadi melamah atau berkurang. Demikian sebaliknya dimana hak perseorangan melemah maka berarti hak ulayat di daerah tersebut menjadi kuat.

3. HAK ULAYATHubungan yang erat antara tanah dengan masyarakat

hukum dimana masyarakat huum tersebut berada me nim-bul kan hak menguaai yang ada pada masyarakat hukum itu. Hak atas tanah tersebut disebut dengan “ hak ulayat atau hak pertuanan”. Hak ulayat ini oleh Van Vollenhoven diistilahkan dengan nama “beschikkingsrecht”. Istilah bes-chik kingsrecht ini dipakai oleh Van Vollenhoven sebagai peng ganti istilah yang dipakai sebelumnya adalah “hak egiendom (eigendomsrecht)” dan atau hak yasan komunal.11

Sedangkan para ahli hukum Indonesia memakai istilah-istilah antara lain : Hak purba (Djojodiguno), Hak per-tuanan (Soepomo), Hak bersama (Hazairin), dan Hak ulayat (UUPA). Dan selanjutnya dalam tulisan-tulisan ilmiah lebih populer istilah “Hak Ulayat”.

Istilah beschikkingsrecht seperti yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven harus dibedakan lagi dengan pengertian

11 Ter Haar, Op.Cit, hal.71.

Page 40: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

28

“beschikkingskring”, karena disebut belakangan ini adalah mengenai “lingkungan ulayat”. Lingkungan ulayat ini adalah merupakan tanah wilayah yang dikuasai oleh hak ulayat. Dan terhadap lingkungan ulayat (beschikkingskring) ini di tiap-tiap wilayah Indonesia mempunyai istilah yang berbeda-beda misalnya : patuanan (Ambon), prabumian (Bali).

Jadi hak ulayat adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah, melahirkan suatu hak dari masyarakat hukum terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas-batas lingkungannya.

Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara lain adalah meliputi: tanah (daratan), air (perairan seperti kali, danau, pantai beserta perairannya), tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan, kayu bakar) dan binatang yang hidup liar.

Hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum dengan obyek seperti tersebut diatas, maka masyarakat hukum di dalam menerapkan hak ulayat dilakukan dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, masyarakat hukum berdasarkan wewenangnya membatasi kebebasan warga masyarakatnya untuk memungut hasil tersebut.

Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria, UU No.5 Tahun 1960), hak menguasai dari masyarakat hukum adat seperti dimiliki hak ulayat, beralih kepada negara. Dengan demikian hak-hak atas tanah yang dapat diperoleh oleh Warganegara Republik Indonesia diatur sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA tersebut. Seperti diatur dalam Pasal 16 UUPA, pada intinya menyebutkan pada penjelasannya bahwa UUPA adalah berlandaskan pada hukum adat. Seperti juga tertuang dalam

Page 41: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

29

Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa UUPA berlandaskan hukum adat.

Disimak dari ketentuan-ketentuan tersebut se harus-nya hak-hak atas tanah didasarkan pula pada sistematika hukum adat. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, karena berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 10 UUPA, dinyatakan bahwa hak-hak adat bertentangan dengan kedua pasal ter-sebut seharusnya dihapus. Tetapi karena keadaan ma sya-rakat belum memungkinkan untuk dihapus, maka kemudian diberilah sifat sementara, yang artinya sewaktu-waktu hak-hak adat tersebut akan dihapuskan.

Pengaturan tentang hak ulayat dalam UUPA dapat ditemukan dalam Pasal3, yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Hak ulayat dari masyarakat hukum sepanjang dalam kenyataannya masih ada harus me nye-suaikan diri dengan negara dan nasional.

b. Pelaksanaan daripada hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

c. Pengaturan hak ulayat dilakukan oleh negara dengan Pasal 1 dan 2 UUPA.Penjelasan dari Pasal 3 UUPA, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang didalam perpustakaan hukum adat disebut dengan “beschikkingsrecht”, itu berarti termasuk pula jenis-jenis tanah adat yang ada di Bali yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat Bali seperti desa pakraman menguasai tanah ayahan desa (AYDS) atau tanah pekarangan desa (PKD).

Page 42: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

30

Seperti telah diuraikan diatas bahwa tanah bagi masyarakat hukum adat pada umumnya merupakan hal yang sangat penting, oleh karena tanah merupakan tempat tinggal, tempat hidup dan kehidupannya, tempat “roh” para leluhurnya yang dikebumikan dan disemayamkan oleh anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara tanah dengan masyarakat hukum mempunyai hubungan yang sangat erat sekali.

Hubungan yang demikian itu pula akan melahirkan suatu hak dari masyarakat hukum adat terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas lingkungan wilayahnya, yang oleh Van Dijk dikatakan bahwa hak ulayat ataupun disebut dengan “hak prabumian” di Bali adalah berakibat kedalam dan keluar.12 Yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku kedalam adalah anggota masyarakat hukum adat diperbolehkan untuk menikmati tanah dengan segala isinya yang menimbulkan adanya hubungan antara hak ulayat dengan hak perseorangan atas tanah yang lama kelamaan menjadi kuat, dan akhirnya melahirkan hak milik atas tanah dari anggota masyarakat hukum adat.Bahan Diskusi :Diskusikan dalam kelompok kedudukan hak ulayat ? dan bagaimana menurut UUPA?

12 Selanjutnya baca : I Wayan Beni, Cs, 1983, Hukum Adat Dua (BagianII), Fak.Hukum Unud, hal.4 dan Wayan P Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fak. Hukum Unud, hal.127-128.

Page 43: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

31

4. KEDUDUKAN TANAH ADAT DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Pokok persoalan mengenai tanah yang pada mulanya terjadi dualisme pengaturan, setelah Negara Republik Indonesia merdeka persoalan-persoalan mengenai tanah ini dibuatkan satu unifikasi hukum tanah yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), yang mulai berlaku sejak 24 September 1960. Dengan demikian sampai saat ini ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanah adalah berpedoman pada UUPA tersebut disamping ketentuan-ketentuan lain yang ada kemudian sebagai peraturan pelaksana dari UUPA tersebut. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kedudukan hukum tanah-tanah adat, tidak lepas dari pengetahuan tentang ketentuan hukum agraria yang berlaku sebelum keluarnya UUPA tersebut.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suasthawa D, bahwa sebelum berlakunya UUPA, di Indonesia berlaku dua macam hukum tanah yaitu : hukum tanah adat dan hukum tanah barat, sehingga dengan demikian menyebabkan ada dua macam tanah yaitu “ tanah adat atau disebut pula tanah Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu. Dan dilain pihak ada “tanah barat” atau disebut pula dengan tanah eropah, yang dapat dikatakan bahwa tanah-tanah ini tunduk pada hukum agraria barat yang kesemuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah menurut “overschrijvingsordonantie” atau ordonansi balik nama (stb.1834 No.27). jadi tanah-tanah yang tunduk pada hukum (agraria) adat adalah termasuk tanah adat yang ada di Bali.13

13 Made Suasthawa.D, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, CV.Kayumas Agung, Denpasar, hal.21-22.

Page 44: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

32

Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang pokok Agraria No.5 Tahun 1960), didalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan Konversi dapat ditemukan bahwa nama-nama hak atas tanah yang terdapat dalam pasal itu persis sama dengan nama-nama hak atas tanah adat atau tanah Indonesia. Adapun nama-nama hak atas tanah adat sebagaiana yang tersebut dalam Pasal II, VI, VII Ketentuan Konversi adalah :

1. Hak agrarisch eigendom;2. Hak milik;3. Yasan;4. Andarbeni;5. Hak atas druwe;6. Hak atas druwe desa;7. Pesini, ......dst.

Proses individualisasi tanah itu pun telah diantisipasi UUPA sebagaimana dapat disimak dari ketentuan pada Pasal 16 UUPA, telah ditetapkan macam-macam hak atas tanah yang dapat dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum sebagai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil dan hak yang tidak termasuk dalam hak tersebut yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.14

Dalam konteks macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam pasal 16 uupa, hak ulayat tidak dimasukkan dalam pengertian hak atas tanah. Pengertian hak ulayat adalah sebagaimana dirumuskan dalam PMNA/

14 Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, h.101

Page 45: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

33

Ka. BPN No.5 Tahun 1999. Kedudukan keberadaan hak ulayat dapat dilihat sebagaimana pelimpahan wewenang dari negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 4 UUPA, hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilimpahkan wewenang hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilimpahkan wewenang hak penguasaan dari negara atas tanah kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat hukum adat.15

Dengan keluarnya Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA, dalam Bab II yang berjudul “Pelaksanaan Ketentuan Konversi, terdiri dari dua bagian yaitu :

• Bagian I, tentang hak-hak yang didaftar menurut overschrijvingsordonansi.

• Bagian II, tentang hak-hak yang tidak didaftar menurut overschrijvingsordonansi. Dan yang dimaksud dengan hak-hak ini adalah hak-hak atas tanah Indonesia (tanah adat).

Selanjutnya dengan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.2 Tahun 1962 dan kemudian dirubah lagi dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK./26/DDA/1970, ditegaskan bahwa hak-hak yang dimaksud dalam Ketentuan Konversi dan pendaftaran bekas-bekas hak Indonesia atas tanah adalah hak-hak atas tanah Indonesia (tanah adat). Disamping itu juga dapat dilihat dari Pasal 3 UUPA, yaitu pasal yang mengatur tentang keberadaan hak ulayat, sedangkan di tingkat daerah diatur dalam PERDA No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman terutama Pasal 9, yang pada pokoknya mengatur tentang pengakuan terhadap eksistensi tanah desa pakraman.

15 Ibid,hal102

Page 46: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

34

Bahan Bacaan :

1. Perlindungan AP, 1989, Undang-Undang Bagi Hasil di Indonesia (suatu studi komparatif), Mandar Maju, Bandung.

2. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.

3. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

4. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

5. UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.6. UU No 10 TAhun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7

Tahun 1992 tentang Perbankan7. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang

Desa Pakraman8. Perda Propinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang LPD9. SK bersama Mentri Keuangan (No. 351.1/KMK.010/2009),

Mentri Dalam Negeri (No. 900-639 A tahun 2009), Menteri Koperasi Dan UKM (No. 01/SKB/M.KUKM/IX/2009), Dan Gubernur Bank Indonesia (No. 11/43A/KEP.GBI/2009) tentang Strategi Pengembbangan Lembaga Keuangan Mikro- Menetapkan LPD sebagai lembaga keuangan mikro-wajib berbadan hukum BPR atau koprasi atau BUMD.

Page 47: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

35

PERTEMUAN IV : TUTORIAL/DISKUSI TENTANG HUKUM TANAH ADAT

I. PENDAHULUAN Hak ulayat dengan hak-hak anggota masyarakat

hukum adat mempunyai hubungan timbal balik yang bertujuan untuk mempertahankan keserasian antara kepentingan masyarakat hukum dan hubungan ini saling desak atau batas membatasi atau disebut pula mempunyai sifat mulur mungkret atau mengembang-mengempis atau tarik ulur yang artinya, dimana hak ulayat kuat disitu hak perseorangan atas tanah menjadi lemah atau sebaliknya. Contohnya di Desa Tenganan Pengingsingan. Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku keluar adalah larangan-larangan terhadap orang luar yang tidak menjadi anggota masyarakat hukum adat kecuali atas seijin desa setelah membayar uang pengakuan atau mesi atau recognitie ( di Bali disebut dengan batu-batu atau penanjung batu).

II. PROBLEM TASK.1. Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus-kasus tentang

jual beli tanah, penyerobotan tanah atau lahan, mendirikan pabrik tanpa izin, pembabatan hutan, illegal loging dan lain sebagainya. Kasus-kasus ini bisa terjadi antara individu dengan individu, kelompok dengan pengusaha, masyarakat dengan pemerintah. Cobalah analisa kasus-kasus tersebut dengan menghubungkannya antara UUPA, Hak Ulayat dengan Hukum Adat.

Page 48: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

36

Bahan Bacaan :

1. Perlindungan AP, 1989, Undang-Undang Bagi Hasil di Indonesia (suatu studi komparatif), Mandar Maju, Bandung.

2. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.

3. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

4. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

5. UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.6. UU No 10 TAhun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7

Tahun 1992 tentang Perbankan7. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001

tentang Desa Pakraman8. Perda Propinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang LPD9. SK bersama Mentri Keuangan (No. 351.1/KMK.010/2009),

Mentri Dalam Negeri (No. 900-639 A tahun 2009), Menteri Koperasi Dan UKM (No. 01/SKB/M.KUKM/IX/2009), Dan Gubernur Bank Indonesia (No. 11/43A/KEP.GBI/2009) tentang Strategi Pengembbangan Lembaga Keuangan Mikro- Menetapkan LPD sebagai lembaga keuangan mikro-wajib berbadan hukum BPR atau koprasi atau BUMD.

Page 49: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

37

PERTEMUAN V : PERKULIAHAN 3HUKUM ADAT KEKELUARGAAN

1. PENGERTIAN HUKUM ADAT KEKELUARGAANIstilah hukum kekeluargaan diantara para sarjana

hukum adat tidak ada kesatuan istilah seperti Ter Haar memakai istilah hukum kesanak saudaraan, Soerjono Soekanto memakai istilah Hukum Keluarga, sedangkan Djaren Saragih maupun Soerojo Wignyodipuro memakai istilah Hukum kekeluargaan. Untuk mengetahui lebih lanjut apa yang dimaksud dengan Hukum Adat Kekeluargaan itu, perlu mencari beberapa pendapat sarjana. Secara umum pengertian yang terkandung dalam hukum adat kekeluargaan itu antara lain :

Menurut Djaren Saragih : Hukum keluarga adalah se kumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hu-bungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis.16

Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan biologis akan beraneka ragam tergantung dari bentuk perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita atau orang tua mereka. Apabila hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita tanpa dilakukan secara sah maka anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut akan menjadi anak tidak sah. Hal seperti ini akan menjadi berbeda apabila hubungan biologis itu dilakukan secara saah maka anak-anak yang dilahirpun akan menjadi anak-anak yang sah.

Sedangkan di Bali, kedudukan seorang anak dalam keluarga dan keluarga besarnya selain ditentukan oleh sah

16 Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal.123.

Page 50: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

38

tidaknya perkawinan orang tuanya, juga ditentukan oleh bentuk perkawinan orang tuanya, apakah dalam bentuk perkawinan biasa atau dalam bentuk perkawinan nyeburin. Karena bentuk perkawinan tersebut akan mempengaruhi pula hubungan-hubungan hukum yang akan timbul baik dengan orang tua maupun keluarga besarnya (kerabatnya).

2. SISTEM KEKELUARGAAN DI INDONESIAUntuk mengetahui sistem hukum kekeluargaan yang

berlaku, perlu terlebih dahulu mengerti dan memahami sistem kekeluargaan yang secara umum dikenal di Indonesia.

Sistem kekeluargaan ini perlu dipahami karena sistem kekeluargaan merupakan kunci untuk dapat memahami persoalan-persoalan yang akan muncul kemudian antara lain seberapa jauh ada hubungan hukum maupun hubungan kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya sehingga dengan mengetahui hubungan-hubungan itu akan dapat diketahui pula apakah ada halangan atau larangan diantara mereka apabila mereka ingin melangsungkan perkawinan, serta untuk dapat mengetahui apakah mereka mempunyai hak atau tidak sebagai ahli waris.

Pada prinsipnya di seluruh Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem kekeluargaan, yaitu cara melihat atau menarik keturunan sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan atau keturunan siapa mereka serta dapat pula diketahui batas-batas hubungan tersebut. Apakah mereka merupakan hubungan sedarah, bukan sedarah atau pada derajat ke berapa mereka berada ?Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di indonesia antara lain :

Page 51: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

39

1. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis laki-laki saja (garis patrilinial), seperti pada masyarakat suku Batak, Nias, Sumba, Bali.

2. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis wanita (ibu) saja (garis matrilinial), seperti masyarakat suku minangkabau.

3. Keturunan yang dilihat baik garis laki-laki maupun garis wanita (garis keturunan yang bersifat parental), seperti suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan lain-lain.

Perbedaan sistem kekeluargaan seperti tersebut diatas hanyalah berfungsi untuk menunjukkan adanya suatu perbedaan kadar hubungan kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya yang ada antara kedua belah pihak yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi antara hubungan kedua belah pihak itu tidak terputus sama sekali.

Sebagai contoh : masyarakat hukum adat di Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial yang menghitung garis keturunan melalui garis ayah, walaupun perkawinannya mungkin berbeda kasta tetap saja hubungan dengan keluarga ibu juga dijaga. Hanya saja porsi hubungan itu lebih tinggi kekeluarga ayah dari pada kekeluarga ibu apalagi dalam peristiwa-peristiwa yang penting seperti dalam upacara dan upacara “Pitra Yadnya”.

Itu berarti keluarga dari pancar laki-laki lebih utama dari keluarga pancar wanita kecuali keluarga dari pancar laki-laki sudah tidak ada lagi, barulah keluarga dari pancar wanita mendapat perhatian baik mengenai penerimaan warisan maupun pemeliharaan anak. Dalam masyarakat

Page 52: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

40

yang berhukum kekeluargaan patrilinial pada umumnya terdapat cara perkawinan, dimana si wanita sesudahnya kawin akan tinggal pada kelompok keluarga suami, demikian pula si anak masuk golongan keluarga (clan) bapaknya. Sebagai corak kedua dalam susunan kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang bersifat “klasifikatoris”, artinya bahwa seluruh generasi dari bapak (dan ibu), seorang anak dari beberapa hal mempunyai kedudukan yang sama dengan bapak serta ibunya, tanpa memperhatikan umur yang bersangkutan.17

Hal diatas adalah berkaitan dengan istilah menyapa dan menyebut atau cara memanggil seseorang dalam keluarga baik keluarga dari bapak maupun dari keluarga ibu tanpa memandang umur dari mereka yang disapa atau disebut tersebut.Bahan diskusi :

a. Apakah ada perbedaan kedudukan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya sebagai akibat adanya hubungan biologis atau karena perbuatan hukum lainnya di Indonesia ?

b. Jelaskan perbedaan konsep dan akibat hukumnya antara patrilinial Batak dengan patrilinial Bali ?

c. Jelaskan pengertian unilateral, bilateral, patrilinial beralih-alih !

17 Gede Panetja, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV.Kayumas, hal.41.

Page 53: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

41

3. KETURUNAN DAN PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT PADA UMUMNYA

a. Pengertian keturunan menurut hukum adat pada umumnya

Berdasarkan pendapat dari Surojo Wignyodipuro yang dimaksud dengan keturunan adalah ketunggalan leluhur, yang artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain.18

Sedangkan menurut T I P. Astiti, Cs : dikatakan bahwa keturunan itu adalah orang-orang laki dan perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan orang yang menurunkannya.19

Dari kedua pendapat tersbut dapat dikatakan bahwa : keturunan adalah merupakan unsur yang mutlak harus ada jika satu keluarga tidak menginginkan dirinya dikatakan tidak ada generasi penerusnya.

Oleh karena itu, jika khawatir akan menghadapi kenyataan tidak mempunyai keturunan maka dapat mela-kukan pengangkatan anak untuk menghindari kepunahan. Orang yang satu sebagai keturunan dari orang yang lain-nya mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban ter-tentu sesuai dengan kedudukan dalam keluarga yang ber-sangkutan.

Keluarga wajib saling membantu, saling mewakili, saling pelihara-memelihara, boleh mempergunakan nama

18 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.128.19 TIP.Astiti,Cs, 1984, Hukum Adat Dua (Bagian II), Dokumentasi dan Publikasi Fak.Hukum Unud, Denpasar, hal.2.

Page 54: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

42

keluarga mereka yang menjadi keturunan seorang bapak akan menjadi anggota pula dari clan bapak.b. Sifat-Sifat KeturunanMenurut sifatnya keturunan ada dua (2), yaitu :a) Keturunan menurut garis lurus keatas dan kebawah,

maksudnya adalah keturunan langsung keatas yaitu apabila rangkaiannya dilihat dari bawah keatas yaitu dari : anak, bapak, kakek. Sedangkan sebaliknya apabila rangkaian itu dilihat dari atas kebawah yang disebut lurus kebawah yaitu dari : kakek, bapak, anak.

b) Keturunan menurut garis menyimpang, menyamping atau bercabang yaitu : apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, yang disebut dengan “sepupu”.

c) Hubungan darah antara seseorang dengan orang lainnya.

Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh dekatnya hubungan tersebut, karena jauh dekatnya hubungan darah ini akan membawa akibat hukum yang berbeda. Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat dekat dengan hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap hubungan darah yang sangat dekat mengakibatkan adanya larangan yang sangat mutlak bahwa diantara mereka ada larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau antara kakek dengan cucunya, atau antara saudara kandung.

Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah cukup jauh secara relatif masih dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan. Dan mereka yang mempunyai hubungan darah yang jauh, diantara mereka sudah tidak ada lagi istilah untuk menyebutkan hubungan itu.20

20 Ibid, hal.3.

Page 55: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

43

Selain ada istilah melihat garis keturunan melalui sifat-sifatnya, maka keturunan dapat pula dilihat melalui derajat atau tingkatannya yang disebut dengan derajat keturunan. Hal ini juga untuk menentukan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang akan bermanfaat dalam menentukan siapa yang akan muncul sebagai ahli waris pertama apabila ada seseorang yang meninggal, apakah dia berada pada derajat I (anak), pada derajat II (kakek), pada derajat III (cucu). Dan seterusnya.Keturunan mempunyai arti penting karena :

a. Sebagai penerus generasi sehingga seseorang tidak dikatakan punah (caput).

b. Merupakan harapan dan tujuan dari setiap perkawinan.

c. Sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal.d. Wadah atau tempat orang tua atau keluarga

berharap dan berlindung.e. Melalui keturunan dapat dibuat ssisilah keluarga

yang akan memberikan gambaran dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami istri, baik yang lurus keatas maupun kebawah, menyimpang, menyamping baupun bercabang.

f. Berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah diantara mereka ada hubungan darah dekat yang merupakan larangan untuk mereka kawin (menjadi suami-istri), misalnya adik dengan kakak sekandung.

Ketiadaan keturunan atau anak dapat menimbulkan berbagai akibat hukum atau peristiwa hukum seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto yaitu perceraian, poligami atau pengangkatan anak, walaupun itu bukan

Page 56: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

44

merupakan alasan satu-satunya dalam perkawinan karena tidak adanya keturunan.21

c. Pengangatan AnakSuami istri yang telah lama melangsungkan perka-

winan dan kemudian tidak mempunyai anak, maka mereka kadang-kadang meminjam anak kecil dari orang lain yang sering disebut istilah pinjam anak kecil sebagai “penuntun”. Tetapi ada pula dengan cara lain untuk mendapatkan anak yaitu dengan cara mengangkat anak.

Mengangkat anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengambil anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang mengangkat dengan orang yang diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.22 Sedangkan menurut Ter Haar, pengangkatan anak mempunyai sifat sebagai suatu perbuatan hukum yang rangkap dab juga bersifat magis religius, terang dan tunai.23 Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pengangkatan anak itu mempunyai sifat:

1. Perbuatan hukum yang rangkap berarti ada dua per-buatan hukum yang harus dilalui dalam proses pe ngan-katan anak yaitu di satu pihak melepaskan anak ter-sebut dari ikatan kekeluargaan dengna orang tua kan-dungnya dan di pihak lain memasukkan anak tersebut ke dalam ikatan kekeluargaan orang tua angkatnya.

2. Magis religius berarti pada saat pengambilan anak tersebut harus disertai suatu upacara penyerahan suatu benda sebagai pengganti anak tersebut.

21 Soerjono Soekanto dan Soleman Biasana Taneko, Op.Cit, hal.275.22 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.141.23 Ter Haar, Op.Cit, hal.153.

Page 57: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

45

3. Terang artinya agar pengangkatan anak tersebut dikatakan sah, maka dalam proses pengesahannya haruslah disaksikan oleh dihadapan kepala desa dan selanjutnya diumumkan secara luas keseluruhan desa.

4. Tunai artinya bahwa pengambilan anak harus disertai dengan penyerahan benda yang kelihatan sebagai pengganti anak tersebut pada saat upacara yang dilaksanakan pada saat yang bersamaan.Pengangkatan anak melalui dua tahapan seperti

tersebut diatas. Dalam pengangkatan anak selalu diadakan upacara keagamaan yang di Bali disebut “upacara pemerasan”. Yang dimaksud dengan perbuatan magis religius dalam pengangkatan anak ini adalah upacara tunai dalam hal penyerahan anak disertai dengan penyerahan benda sebagai pengganti si anak kepada orang tua si anak yang dilakukan pada saat itu juga sedangkan sifat terang yang dimaksudkan disini adalah adanya kesaksian dari pengurus desa. Alasan-Alasan Pengangkatan Anak :

1. Tidak diperolehnya anak dalam suatu perkawinan (karena tidak mempunyai anak);

2. Karena adanya rasa belas kasihan;3. Untuk memperoleh tenaga kerja.

Tujuan pengangkatan anak1. Untuk mendapatkan anak sebagai pelanjut keturunan

atau penerus generasi;2. Sebagai penuntun agar memperoleh anak;3. Untuk menghindari perkawinan yang rangkap atau

bertukar;4. Untuk mendapatkan tenaga kerja.

Pengangkatan anak memerlukan beberapa persyaratan

Page 58: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

46

baik bagi orang tua yang mengangkat maupun bagi anak yang akan diangkat :Persyaratan bagi orang tua angkat antara lain :

1. a. Anak angkat harus dicari dari lingkungan keluarga terdekat menurut garis ayah;b. apabila tidak ada anak dilingkungan keluarga

purusa, maka dapat dicari dari lingkungan keluarga garis ibu.

c. Apabila tidak didapat anak baik dari keluarga bapak maupun keluarga ibu barulah dapat dicari dari keluarga lain dan bahkan dari anak yang tidak ada hubungan kekeluarganya.

2. Harus mendapat persetujuan dari keluarga atau kerabatnya.

3. Sudah pernah atau masih ada dalam ikatan perkawinan bagi suami istri yang akan mengangkat anak. Tetapi keadaan sekarang sudah berubah dan lebih diutamakan adalah adanya hubungan batin antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya.

Persyaratan bagi anak yang akan diangkat :1. Belum dewasa;2. Usianya lebih muda daripada yang mengangkat;3. Diutamakan laki-laki.

Prosedur pengangkatan anak : 1. Secara umum proses pengangkatan anak menurut

hukum adat didahului dengan mencari kesepakatan diantara keluarga si pengangkat dan di keluarga anak yang akan diangkat.

2. Adanya upacara pelepasan antara orangtuanya dengan anak yang akan diangkat. Demi adanya kepastian

Page 59: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

47

hukum saat ini anak angkat dimintakan penetapannya ke Pengadilan Negeri karena anak angkat akan mem-punyai kedudukan yang sama dengan anak kandung.Apabila anak angkat tidak melaksanakan dharmanya

sebagai anak, maka anak angkatpun dapat dipecat sebagai anak misalnya : tidak menuruti perintah yang baik dari orang tua angkatnya, tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang menjadi beban orang tua angkatnya.

4. HUBUNGAN HUKUM DALAM HUKUM KEKELUARGAANApabila yang dimaksud dengan keturunan ini adalah

anak, maka dalam masyarakat hukum adat pada umumnya akan dikenal macam-macam atau jenis-jenis anak yaitu :

1. Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah orang tuanya.

Yang dimaksud dalam kelompok anak yang demikian adalah :

a. Anak kandung.b. Bukan anak kandung, meliputi : anak angkat,

anak tiri dan anak piara.2. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau

anak alam, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan perkawinan yang tidak pernah disahkan. Sebagai konsekwensi dari kedudukan anak yang demikian menurut hukum adat mereka hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja. Dalam UU No.1 Tahun 1974, anak tidak sah hanya mempunyai hubungan keperdataan saja dengan ibu dan keluarga ibu. Berbeda halnya dalam hukum barat, yang perlu mendapatkan pengakuan terlebih dahulu dari ibu maupun laki-laki yang mengawini ibunya. Anak

Page 60: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

48

luar kawin disebut dengan “anak bebinjat atau anak haram”.Dari bermacam-macam jenis anak seperti tersebut

diatas perlu dijelaskan atau diberi pengertian antara lain :- Anak kandung adalah anak yang lahir dari

perkawinan yang sah dari orang tuanya.- Anak angkat adalah anak orang lain yang lahir

dari perkawinan yang sah yang diangkat sebagai anak karena alasan-alasan dan tujuan tertentu.

- Anak tiri adalah anak dari salah satu pihak baik dari suami maupun istri yang dibawa kedalam perkawinan mereka.

- Anak piara adalah anak orang lain yang dipelihara oleh seseorang karena orang tuanya tidak mampu memeliharanya dan status anak yang demikian tetap ada pada orang tua kandungnya.

Penggolongan anak seperti tersebut diatas mempunyai arti penting dalam hal :

1. Hubungan antara anak dengan orang tuanya.2. Hubungan antara anak dengan kerabat/keluarga.

Perbedaan antara hubungan anak dengan orang tuanya dengan hubungan anak dengan kerabat/keluarga/sanak saudaranya merupakan hal penting untuk diketahui karena hubungan-hubungan tersebut diberbagai sistem kekeluargaan nilai untuk anak akan berbeda dalam berbagai hubungan-hubungan hukum seperti kewajiban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan, hubungan waris dan lain sebagainya.

a. Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Orang TuaHubungan hukum antara anak dengan orang tuanya

Page 61: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

49

dikatan ada, apabila pada waktu anak tersebut lahir, orang tuanya ada dalam perkawinan yang sah. Pekawinan yang sah baik menurut hukum adat maupun Undang-Undang No.1 Tahun 1974 apabila perkawinan itu telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaannya seperti dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.

Pada umumnya terdapat suatu hubungan hukum berdasarkan atas hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan hukum itu adalh beraneka ragam, tergantung dari bentuk perkawinan orang tuanya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah wajib dipelihara oleh orang tuanya. Dan dalam pemeliharaan itu orang tua tidak membedakan jenis kelamin dari anak-anaknya baik yang laki maupun perempuan, anak tertua maupun terkecil sama-sama dipelihara oleh ayah dan ibu mereka. Hubungan hukum antara anak dengan orang tua sudah dimulai sejak si anak masih berada dalam kandungan, kemudian lahir, hidup menjadi dewasa sampai kemudian kawin. Dan hubungan ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara dan upakara yang dilakukan terhadap si anak dan juga memelihara orang tua yang sudah tidak mampu bekerja lagi. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan hukum antara anak dengan orang tua secara umum akan menimbulkan hak dan kewajiban antara anak dengan orang tua secara bertimbal balik. Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya antara lain : memelihara dan mendidiknya, menjamin kesejahteraannya sesuai dengan kemampuan orang tua.

Seperti, upacara perkawinan dan lain sebagainya dan juga memberikan pembagian warisan (kalau punya harta warisan). Dan si anak berhak memakai nama keluarga

Page 62: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

50

bapaknya. Sebaliknya orang tua mengharapkan dari anak-anaknya antara lain mengenai :

- Sebagai penegak dan penerus generasinya.- Menggantikan kedudukan orang tua.- Memberikan nafkah dan memelihara orang tua

kalau sudah tidak mampu lagi.Sebagai akibat hukum atau konsekwensi adanya

hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah :- Adanya larangan kawin diantara mereka. Karena

apabila ketentuan ini dilanggar maka akan timbul adanya delik adat dan pelakunya akan dijatuhi reaksi dan koreksi adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di desa masing-masing.

- Berhak memakai nama keluarga bapaknya.- Berhak sebagai ahli waris.- Timbul hak dan kewajiban antara orang tua

dengan anak (alimentasi).Hubungan antara anak dengan orang tua dapat

putus dalam hal anak dipecat sebagai anak karena dianggap durhaka terhadap orang tua. Akibatnya si anak dapat tidak diberikan hak untuk mewaris.

b. Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Kerabat Orang Tuanya

Dalam sistem kekeluargaan yang bersifat patrilinial, maka hubungan antara anak dengan kerabat ayahnya, lebih erat dan lebih penting daripada hubungan dengan kerabat ibunya penentuan hubungan kekeluargaan ini di dasarkan atas adanya ketunggalan leluhur atau “kawitan” karena garis kebapaan. Disamping itu dapat pula ditentukan hubungan kekeluargaan berdasarkan garis ibu, yang timbul karena

Page 63: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

51

perkawinan.Hubungan anak dengan leluhurnya yang dihitung

lurus ke atas dapat disebutkan dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. Anak, 2. Ayah, 3. Kakek, 4. Buyut, 5... dst. Sedangkan hubungan kekeluargaan kesamping dapat disebut dengan tingkatan-tingkatan seperti : 1. Sepupu dan sebutan lainnya. Adanya hubungan kekeluargaan ini juga berperan untuk menentukan ada dan tidaknya larangan perkawinan, seperti larangan perkawinan antara mereka yang masih ada hubungan darah yang sangat dekat misalnya antara anak dengan bibinya.

Hubungan kekeluargaan antara anak dengan kerabat ibunya tidak menimbulkan adanya hubungan dalam hal waris. Karena itulah yang menyebabkan si anak tidak mempunyai kewajibanhukum pada kerabat ibunya.

c. Pemeliharaan Anak Yatim PiatuDalam sistem kekeluargaan patrilinial dimana

kedudukan keluarga ayah lebih penting dari pada keluarga ibu, hal ini akan lebih jelas tampak di dalam upacara-upacara, terlebih –lebih dalam bidang hukum waris.

Bilamana ayah meninggal dunia terlebih dahulu, maka si ibu meneruskan memegang kekuasaan atas keluarganya. Si ibu tetap mendidik anak-anaknya. Tetapi kalau si ibu kawin lagi dengan orang lain yang bukan dari saudara suaminya, maka kekuasaan dan kewenangannya untuk mendidik maupun memelihara anak-anak menjadi putus dan berarti si ibu tersebut telah memutuskan tali kekeluargaannya dengan keluarga suami dan anak-anaknya tetapi dipelihara dan tetap berada dilingkungan keluarga suami. Demikian pula kalau si ibu yang meninggal dunia

Page 64: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

52

atau orang tuanya yang meninggal dunia, maka si anak tetap berada dan dipelihara oleh keluarga bapaknya yang terdekat. Dalam hubungan dengan pemeliharaan terhadap anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, tidak mempunyai kewajiban hukum terhadap orang yang memeliharanya. Si anak hanya mempunyai kewajiban moral dan kewajiban membantu mereka yang telah memeliharanya.

Bahan Bacaan :1. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta.2. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam

Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.3. Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta

Mas, Jakarta.4. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas

Hukum Adat, Alumni, Bandung.5. Soepomo R, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum adat,

Pradnya Paramita, Jakarta.6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia,

Sumur, Bandung.7. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat

Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

8. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Page 65: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

53

PERTEMUAN VI : TUTORIAL/DISKUSI HUKUM ADAT KELUARGA

I. PENDAHULUAN Kesatuan Hukum Adat di Indonesia membedakan

hubungan kekeluargaan menjadi 3 (tiga) system hubungan kekeluargaan. Hubungan-hubungan ini sangat mempunyai arti yang sangat penting dalam hukum kekeluargaan.Sehubungan dengan hukum kekeluargaan, pernah terjadi konflik dalam satu keluarga Bali-Hindu pada saat pembuatan silsilah keluarga yaitu tidak memasukan anak perempuannya dalam silsilah tersebut. Sebagai akibat maka anak perempuan tersebut menuntut supaya dia dimasukan dan diperhitungkan dalam silsilah tersebut.Pada kasus lain terjadi di keluarga Jawa-Islam juga dalam pembuatan suatu silsilah yaitu tidak memasukan nama anak perempuan tersebut dalam silsilah tersebut, sehingga dari hal itu timbul pula konflik.Pertanyaan :

1. Sebut dan jelaskan system kekeluargaan yang dianut dalam wacana diatas?

2. Jelaskan prinsip-prinsip yang dianut dalam system kekeluargaan dalam wacana diatas?

3. Diskusikan kasus-kasus dalam wacana diatas serta cara penyelesaian konflik-konflik dalam wacanna diatas?.

II. PROBLEM TASK Ada kasus pengangkatan anak yang dilakukan oleh keluarga Bali yang beragama Hindu, dengan mengambil anak di Panti Asuhan dan di Rumah Sakit. Pengambilan

Page 66: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

54

anak tersebut tanpa ada persetujuan dari keluarga besarnya, sehingga kemudian timbullah konflik dalam keluarga besar tersebut yang menyebabkan pengangkatan anak itu menjadi tertunda-tunda. Karena tidak sabar menunggu kemudian keluarga yang mengangkat anak ini mengajukan permohonan ke Pengadilan. Bagaimanakah sikap Hakim dalam menangani kasus seperti itu ? Hukum apakah yang akan diterapkan oleh Hakim, dan apakah permohonan itu akan dikabulkan atau tidak ? Bagaimana pula halnya apabila pengangkatan anak terjadi di Jawa, Minangkabau maupun Batak ?

Bahan Bacaan :1. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta.2. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam

Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.3. Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta

Mas, Jakarta.4. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas

Hukum Adat, Alumni, Bandung.5. Soepomo R, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum adat,

Pradnya Paramita, Jakarta.6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia,

Sumur, Bandung.7. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat

Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

8. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Page 67: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

55

PERTEMUAN KE VII : UJIAN TENGAH SEMESTER

PERTEMUAN VIII : PERKULIAHAN 4HUKUM ADAT PERKAWINAN

1. PENGERTIAN HUKUM PERKAWINANDi dalam mengetahui apa yang dimaksud dengan

perkawinan menurut hukum adat beberapa sarjana akan mengemukakan pendapatnya antara lain :

Ter Haar menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, keluarga, masyarakat, derajat dan pribadi masing-masing pihak yang akan melangsungkan perkawinan.24 Sedangkan menurut hazairin dalam bukunya “Rejang” menyebutkan bahwa perkawinan adalah merupakan tiga buah rentetan peristiwa dan perbuatan magis yang bertujuan menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Yang menurut A.Van Gennep perbuatan magis itu adalah berkaitan dengan upacara-upacara peralihan yang terdiri dari 3 (tiga) stadium disebut dengan “Rites de passage”, meliputi :

• Rites de separation (upacara perpisahan);• Rites de marge (upacara perjalanan);• Rites de aggregation (upacara penerimaan).25 Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-

Undang Perkawinan menentukan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

24 Ter Haar, Loc.Cit, hal.158.25 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.140.

Page 68: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

56

Berdasarkan beberapa pengertian perkawinan seperti tersebut diatas dapat dikatakan bahwa perkawinan itu bersangkut paut dengan :

a. Aspek sosial (pandangan hidup) melalui perkawinan akan dibentuk masyarakat kecil untuk mendapatkan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan, merupakan cita-cita leluhur untuk membentuk keluarga yang bahagia sebagai suatu nilai yang diharapkan dalam hidup.

b. Aspek agama, karena pelaksanaan pengesahan perkawinan senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan upacara-upacara lengkap dengan (Bali : upakara berupa sesajen atau banten).

c. Aspek hukum, bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku di tiap negara atau masyarakat dimana perkawinan itu dilangsungkan. Karena aspek hukum akan membawa akibat hukum terhadap kedudukan istri, kedudukan anak-anak dan harta benda perkawinan.Lembaga perkawinan adalah lembaga suci yang

harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang maha Esa yang artinya bahwa orang tidak dapat seenaknya melakukan kawin cerai karena harus memenuhi syarat-syarat maupun alasannya bila ingin bercerai. Berbeda halnya dengan ketentuan dalam BW atau KUH Perdata yang dasar ketentuannya adalah individual bahwa perkawinan adalah kontrak yang dapat dibuktikan dengan bolehnya mereka membuat perjanjian kawin, bahwa segala akibat yang akan timbul kemudian dapat diperjanjikan terlebih dahulu sebelum mereka melangsungkan perkawinan.

Sedangkan pengertian “ikatan” yang disebutkan

Page 69: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

57

dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bukanlah merupakan perjanjian diantara mereka yang kawin tetapi lebih bersifat “paguyuban” yang artinya ada ketunggalan atau kesatuan dalam keluarga tersebut yang ditujukan dengan adanya perubahan nama atau perubahan panggilan ataupun perubahan sebutan (contoh di Bali, panggilan baru “Pan Kelor, dst).

2. SEJARAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA Hukum perkawinan di Indonesia telah mengalami perkembangan, dan untuk memudahkan memahaminya perkembangan tersebut dibagi dalam beberapa tahap antara lain :

a) Sebelum keluarnya UU No.1 tahun 1974 (Undang-Undang Pokok Perkawinan) di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan sehingga disebut pluralisme dibidang perkawinan. Ketentuan-ketentuan yang berlaku pada saat itu adalah : KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S.1933 -74), Peraturan Perkawinan Campuran (GHR : S .1898 -158), Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Agama.

b) Setelah keluarnya UU No.1 Tahun 1974, yang diundangkan 2 Januari 1974 dan baru dapat berlaku efektif setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975, aturan tentang perkawinan diatur secara nasional. Ini artinya bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini maka yang berlaku adalah undang-undang ini dan peraturan yang lama tidak berlaku lagi, karena undang-undang ini

Page 70: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

58

merupakan unifikasi dalam hukum perkawinan (lebih lanjut baca Pasal 66 UU No.1 Tahun 1975). Di Indonesia undang-undang ini terbentuk setelah melalui perbincangan diberbagai perdebatan dan kesempatan yang juga bertujuan melindungi hak-hak wanita dalam keluarga, maupun emansipasi wanita.

c) Kemudian dalam perkembangan selanjutnya untuk lebih efektifnya undang-undang perkawinan ini berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 selanjutnya keluar lagi PP No.10 tahun 1983 dan kemudian PP ini direvisi lagi dengan PP No.45 Tahun 1990 yang mengatur tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dan untuk lebih mengefektifkan undang-undang perkawinan ini kemudian keluar lagi beberapa perauran perundangan lainnya seperti UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Wanita Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-lain.

d) Dilihat dari sifat UU No.1 Tahun 1974, Hazairin menyebutkan dengan “Unik dan Luas” :• Unik artinya unifikasi tetapi dalam kenyataannya

berlaku lagi ketentuan-ketentuan lain yang dirujuk oleh undang-undang perkawinan.

• Luas artinya bahwa dalam undang-undang perkawinan selain mengatur perkawinan juga mengatur hal-hal yang lain seperti : masalah

Page 71: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

59

anak, perceraian, harta benda perkawinan dan lan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam pasal-pasal seperti : Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (6), Pasal 37 dan Pasal 66.

3. SISTEM PERKAWINANDalam hukum adat dikenal ada 3 sistem perkawinan

yaitu : Endogamy, Exogami dan Eleuthrogami :1. Sistem Endogamy yaitu bahwa dalam sistem ini

seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari sukunya sediri. Sistem ini antara lain terdapat di daerah Toraja;

2. Sistem Exogami yaitu bahwa orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku atau clannya. Artinya dilarang kawin dengan sesama anggota klan. Contohnya : Batak.

3. Sistem Eleuthrogami yaitu bahwa dalam sistem ini tidak dikenal larangan-larangan ataupun keharusan-keharusan seperti yang terdapat dalam sistem Endogamy ataupun Exogami. Dan sistem inilah yang terbanyak di Indonesia.

4. BENTUK-BENTUK PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT

Dilihat dari bentuk-bentuk perkawinan pada prinsipnya ada 3 (tiga) bentuk yang masing-masing merupakan corak khas dari sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia yaitu :a) Perkawinan jujur merupakan corak khas perkawinan

pada masyarakat patrilinial. Dalam perkawinan jujur ditandai dengan pemberian jujur oleh pihak laki-

Page 72: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

60

laki atau yang berstatus laki-laki (Bali). Fungsi jujur : secara yuridis mengubah status salah satu pihak, secara ekonomis, menimbulkan adanya pergeseran harta kekayaan. Dan secara social, kedudukan menjadi lebih dihormati dan bukan sebagai uang pembelian (hak milik). Sifat jujur : lebih bersifat keharusan atau magis dari pemberian. Karena jujur lebih berfungsi sebagai pengganti kedudukan si gadis dalam keluarganya (karena dengan keluarganya seseorang dari kelompok keluarganya dianggap mengganggu keseimbangan magis, perlu ada benda pengganti untuk menetralisir keadaan). Jenis-jenis perkawinan jujur :a. Perkawinan mengabdi/nyalindung kagelung (bila

jujur belum dibayar);b. Perkawinan bertukar/berbesan rangkap (di Bali :

mekedeng ngaad);c. Perkawinan meneruskan (bila istri meninggal, suami

kawin lagi dengan saudara istri);d. Perkawinan mengganti/perkawinan ganti tikar

(bila suami meninggal, janda dikawini oleh saudara suami);

e. Perkawinan pinjam jago, dll.

b) Perkawinan semendo merupakan corak khas perkawinan pada masyarakat matrilineal. Adalah bentuk perkawinan yang tanpa memakai dasar uang jujur sebaga tanda peminangan, karena pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan keturunan pihak wanita (ibu) atau klan istri. Adapun tingkatan-tingkatan perkawinan semendo adalah : perkawinan semendo bertendang, semendo menetap dan semendo bebas. Sedangkan

Page 73: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

61

bentuk-bentuk perkawinan semendo adalah : semendo raja-raja, semendo lepas, semendo nunggu, semendo anak dagang dan semendo ngangkit/nyangkit.

c) Perkawinan bebas (mentas) merupakan corak khas perkawinan pada masyarakat parental.26

Bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari cara si wanita didapat, karena cara-cara si wanita didapat ada bermacam-macam seperti :

1. Dengan cara meminang/melamar.Cara ini pada umumnya dilakukan kedua mempelai

sudah saling cinta mencintai dan telah pula mendapatkan persetujuan dari orang tua kedua belah pihak.

Oleh karena telah ada persetujuan dari kedua belah pihak maka dilanjutkanlah dengan pelamaran diawali dari pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan. Dengan adanya kesepakatan ini lalu diberikanlah kepada pihak suatu tanda yang disebut “Peningset” sebagai tanda bahwa si wanita sudah ada yang melamar. Apabila tidak ada aral melintang dengan didasarkan pada hari baik dan berdasarkan kesepakatan dilakukanlah penjemputan mempelai wanita lengkap dengan membawa pakaian, sirih pinang dengan perlengkapan lainnya sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku pada masing-masing suku di Indonesia. Dan dari sini pulalah akan terlihat berbhinekanya adat istiadat yang ada di Indonesia. Setelah upacara ini selesai lalu si wanita dibawa kerumah mempelai laki-laki untuk disahkan perkawinan mereka. Pada umumnya proses pengesahan perkawinan melalui peminangan ini berjalan sesuai dengan adat istiadat masing-masing daerah yang ada di Indonesia.2. Dengan Cara Kawin Lari Bersama

26 Djaren Saragih, Op.Cit, hal.135-143.

Page 74: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

62

Cara ini lazim dilakukan dengan cara kawin lari bersama-sama yang pada umumnya antara kedua pasangan itu sudah ada hubungan cinta, dan tidak ada unsur paksaan didalamnya, tetapi karena diantara mereka ada sesuatu halangan yang memungkinkan perkawinan itu terancam batal, maka jalan lain yang dapat ditempuh agar perkawinan itu tidak batal adalah dengan cara kawin lari bersama, yang pada awalnya mereka membuat perjanjian yang matang tentang, hari, jam, tempat mempelai wanita dijemput. Berdasarkan kesepakatan itulah mempelai wanita dilarikan menuju kerumah mempelai laki-laki atau ketempat yang lain sebagai tempat persembunyian kedua mempelai. Setelah pelarian ini berjalan mulus barulah pihak laki-laki mengirim utusan kepada keluarga pihak wanita untuk memberi tahukan bahwa anak gadisnya telah dilarikan untuk dikawini oleh si A, misalnya : lengkap dengan identitas mempelai laki-laki maupun identitas orang tua mempelai laki-laki. Utusan ini bertugas sebagai utusan dari mempela laki-laki dan agar tidak mendapatkan halangan dari keluarga mempelai wanita.3. Dengan Cara “Nyeburin”

Perkawinan dengan cara ini hanya dikenal pada masyarakat hukum adat Bali yang umumnya dilakukan diantara keluarga karena orang tua calon mempelai wanita yang tidak mempunyai anak laki-laki. Perkawinan dalam bentuk ini berbeda dengan dua bentuk perkawinan diatas, karena dalam perkawinan “nyeburin” segala proses perkawinan dimulai dari pihak wanita. Uacara pelamaran maupun tempat pengesahan perkawinan mereka dilakukan di rumah mempelai wanita.

Keadaan yang demikian akan membawa perbedaan akibat hukum baik pada laki-laki maupun perempuannya

Page 75: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

63

karena dalam perkawinan “nyeburin” mempelai laki-laki akan berubah status secara hukum menjadi berstatus “predana/wanita” dan yang wanita akan berubah menjadi berstatus “purusa/laki-laki”. Segala hak dan kewajiban baik dalam hukum keluarga maupun hukum waris akan dihitung melalui garis wanita yang telah berstatus laki-laki yang disebut “sentana rajeg atau putrika”.

Didalam perkawinan nyeburin dikenal beberapa istilah yang masing-masing akan memberikan kedudukan yang berbeda kepada pelakunya yaitu :

a) Perkawinan nyeburin biasa.b) Perkawinan nyeburin silih dihi dan nyeburin

kepala dara.

5. SYARAT-SYARAT DAN PROSEDUR PENGESAHAN PERKAWINAN

Pada masyarakat hukum adat tidak ada ukuran yang pasti bagi seseorang yang dianggap pantas untuk melangsungkan perkawinan, karena antara desa yang satu dengan desa yang lainnya memakai kretiria yang berbeda. Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974 kretiria yang dipakai adalah :

• Untuk wanita apabila sudah mentruasi satu kali.• Untuk laki-laki apabila sudah dianggap mampu

untuk mencari nafkah sendiri, atau sudah dapat menggendong padi satu pikul atau sudah mampu melaksanakan kewajiban di desa, atau sudah terjadi perubahan suara (perubahan biologis).27

Tetapi setelah berlakunya UU No.1 Tahn 1974,

27 Tim Peneliti Fak. Hukum Unud, 1980/1981, Hukum Adat Bali, Fak Hukum Unud Bekerjasama dengan BPHN, Denpasar, hal.51.

Page 76: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

64

yang berarti segala ketentuan yang berlakulah tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini akan berlakulah undang-undang ini, (lihat pasal-pasal tentang persyaratan tersebut dalam UU No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya), kecuali belum diatur barulah berlaku ketentuan lain yang juga akan ditunjuk oleh undang-undang ini (Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974).

Oleh karena persyaratan-persyaratan perkawinan telah diatur dalam undang-undang ini maka ketentuan dalam undang-undang inilah yang berlaku dan tidak berlaku lagi ketentuan seperti tersebut diatas.

Disimak dari undang-undang perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa persyaratan untuk dapatnya suatu perkawinan disahkan haruslah melalui antara lain:

• Persyaratan formal : meliputi ketentuan umur dan tidak melanggar larangan-larangannya, yang tercantum dalam Pasal-Pasal : 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 UU No.1 Tahun 1974.

• Persyaratan materiil : meliputi proses dan prosedur pengesahan yang harus dilakukan mengikuti ketentuan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing (misalnya Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No.1 Tahun 1974).

• Disamping kedua persyaratan tersebut harus pula dilengkapi dengan tata administrasi yaitu berupa pencatatan perkawinan yang akan dibuktikan dengan akte perkawinan yang merupakan alat bukti yang kuat.

Sebagai suatu masyarakat hukum yang terikat pada berbagai kepercayaan disamping adanya larangan-larangan seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang ada pula

Page 77: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

65

hal-hal lain yang perlu pula mendapatkan perhatian agar akibat-akibat yang tidak baik atau yang dianggap membawa bencana tidak terjadi, seperti perkawinan antara saudara sekandung atau antara ibu dengan anaknya.

Disamping adanya perkawinan-perkawinan yang dilarang, ada juga perkawinan yang dianggap idial bagi masyarakatnya seperti pada masyarakat Minangkabaau, diharapkan laki-laki kawin dengan anak perempuan mamaknya (anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya), di Batak, perkawinan yang dianggap idial adalah anak laki kawin dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya, di Jawa perkawinan yang idial adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat hubungan kekeluargaan. Disana diperbolehkan adanya perkawinan “Karang Wulu” yang artinya perkawinan oleh seorang duda dengan seorang wanita adik dari almarhum istrinya.

6. TATA CARA PERKAWINAN DALAM HUKUM ADATPerkawinan dengan cara meminang mempunyai proses

dan prosedur yang berbeda dengan perkawinan lari bersama.Pada perkawinan meminang selalu dimulai dengan

pelamaran, pembicaraan pengambilan dari rumah mempelai wanita lalu diboyong kerumah mempelai laki-laki, selanjutnya barurah dibuatkan upacara pengesahannya.

Sedangkan dalam perkawinan lari bersama, awalnya dimulai dengan selarian, setelah sampai dirumah mempelai laki-laki atau barulah dilanjutkan dengan pemberitahuan kepada orang tua si gadis melalui utusan yang dikirim oleh keluarga mempelai laki-laki bahwa anak gadisnya telah kawin lari. Dan kemudian ada tidaknya persetujuan dari orang tua si gadis tidak menghalangi proses pengesahan

Page 78: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

66

perkawinannya asalkan semua persyaratan telah dipenuhi, baik menurut undang-undang perkawinan (Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974) maupun menurut hukum adat.

Baik perkawinan itu dilakukan dengan cara meminang atau, dengan cara lari bersama ataupun dengan cara “nyeburin pada masyarakat hukum adat Bali” puncaknya atau pada akhirnya akan melakukan upacara pengesahannya yang pada pokoknya terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu : Upacara penerimaan di rumah mempelai wanita, Upacara perjalanan ke rumah mempelai laki-laki dan Upacara pengesahan pada statusnya yang baru, di rumah mempelai laki-laki.

Tujuannya tiada lain adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkanmuncul kemudian, dan apabila sesuatu terjadi atas perkawinan tersebut maka masyarakat dapat sebagai saksi dalam kasus yang terjadi. Mereka yang sudah sah kawin akan dicatat atau didaftar di desa sebelum ke catatan sipil yang merupakan pertanda bahwa telah resmi menjadi anggota masyarakat yang baru.

Dan pendaftaran atau pencatatan atau pencatatan ini dimasing-masing desa juga berbeda waktunya. Pencatatan atau pendaftaran inipun saat ini akan berkaitan dengan pembuatan akte perkawinan seperti yang diinginkan oleh UU No.1 Tahun 1974 (Pasal 2 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974).

7. LARANGAN-LARANGAN PERKAWINANMengenai larangan-larangan perkawinan menurut

hukum adat terdapat variasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Larangan-larangan perkawinan menurut hukum adat dapat terjadi karena hubungan darah dekat, atau karena perbedaan kedudukan. Larangan perkawinan juga berkaitan dengan sistem perkawinan yang

Page 79: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

67

dianut oleh sesuatu masyaraka.Bagi masyarakat yang menganut sistem endogamy

maka yang menjadi larangan adalah perkawinan dengan orang luar klan (suku), contoh : masyarakat Bali. Sedangkan masyarakat yang menganut sitem perkawinan exogami, dilarang kawin dengan orang yang masih ada dalam satu klan (suku), contoh : masyarakat Batak. Sedangkan masyarakat yang menganut sistem perkawinan eleuthrogami, hanya dikenal larangan perkawinan karena ikatan kekeluargaan yang terdekat, seperti keturunan garis lurus keatas atau kebawah, contoh masyarakat Jawa.

Oleh karena masalah yang menyangkut perkawinan sudah ada unifikasi undang-undang perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974, maka mengenai larangan-larangan perkawinan ini lihat pula Pasal 8 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974.

8. HARTA BENDA PERKAWINANHarta benda dalam perkawinan ini dapat terdiri dari :

a) Harta benda yang dibawa oleh si gadis maupun si laki-laki kedalam perkawinan atas pemberian orang tuanya yang dinamakan “Bawaan”. Harta ini akan diurus sendiri oleh si istri atau suami dan apabila terjadi perceraian harta tersebut tetap diurus oleh mereka masing-masing.

b) Harta yang didapat berasal dari warisan disebut harta pusaka.

c) Harta yang dihadiahkan kepada suami istri tersebut “pemberian”.

d) Harta benda yang diperoleh suami istri sebelum kawin disebut dengan “harta penghasilan”.

Page 80: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

68

e) Harta benda yang diperoleh suami istri baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama selama dalam masa perkawinan berlangsung dinamakan “harta bersama”.28 Penggabungan dari kesemua harta-harta seperti

tersebut diataslah yang dinamakan dengan “harta kekayaan” atau harta benda perkawinan yang dikuasai oleh suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan. Dan harta benda perkawinan ini adalah merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dalam kehidupan mereka berumah tangga. Harta benda perkawinan ini diurus bersama-sama oleh suami istri yang bersangkutan atau dapat dilakukan perjanjian kawin sebelum perkawinan dilangsungkan di Notaris dan apabila terjadi perceraian maka harta tersebut akan dibagi oleh suami istri itu pula, kecuali ada anak atau anak-anak mereka.

DISKUSIKAN :a. Jelaskan bagaimanakah pengesahan perkawinan

menurut UU No.1 Tahun1974 ?b. Jelaskan syarat umur orang boleh kawin baik menurut

hukum adat maupun menurut UU No.1 Tahun 1974 ?

c. Bagaimanakah kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan yang sah dengan yang tidak sah ?

d. Jelaskan pengertian perkawinan “Nyeburin”, perkawinan lari bersama, kawin bawa lari dan perkawinan meminang !

28 Tim Peneliti Fak. Hukum Unud, Ibid, hal.60.

Page 81: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

69

9. PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM HUKUM ADAT

Tujuan perkawinan seperti yang disebutkan dalam UU No.1 Tahun 1974 adalah untuk mewujudkan keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dan untuk mencapai tujuan tersebut undang-undang telah pula membuat syarat-syarat yang ketat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti mempersulit terjadinya perceraian atau memperketat terjadinya poligami. Tetapi kadang-kadang tidak dapat dihindari pula suatu perceraian.

Menurut hukum adat, yang dimaksud dengan perceraian adalah perkawinan yang putus antara suami istri, yang serinng disebut dengan cerai. Sedangkan menurut UU No.1 Tahun 1974 terutama Pasal 38 yang mengatur tentang perceraian, bahwa putusnya perkawinan karena :

a. Putus karena kematian;b. Putus karena cerai;c. Putus karena putusan pengadilan.

a. Alasan-alasan perceraianPada umumnya yang dijadikan alasan untuk bercerai

adalah bervariasi, yang menurut hukum adat antara lain :a. Istri berzinah;b. Istri mandul;c. Suami impoten;d. Suami meninggalkan istri sangat lama atau istri

bertingkah laku tidak baik;e. Kerukunan rumah tangga tidak dapat

dipertahankan lagi;f. Campur tangan pihak mertua atau orang tua

daram urusan rumah tangga anak-anaknya;g. Istri tidak mau dimadu (poligami);

Page 82: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

70

h. Karena adanya suatu penyakit;i. Penganiayaan oleh suami, dan lain sebagainya.29

Alasan-alasan seperti yang telah disebutkan diatas ternyata telah dimasukkan dalam UU No.1 Tahun 1974, Pasal 39 yang menentukan bahwa alasan-alasan yang dapat dipakai sebagai dasar unntuk mengajukan gugatan cerai antara lain :

a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabok, pemadat, penjudi, dan lain-lain.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkwinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. (KDRT).

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak lagi ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Oleh karena UU No.1 Tahun 1974 adalah undang-undang perkawinan yang bersifat nasional dan berbentuk unifikasi, maka itu berarti undang-undang ini berlaku bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia termasuk

29 T.I.P. Astiti, Cs, Op.Cit, hal.44.

Page 83: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

71

masyarakat hukum adat. Sehingga apabila ada anggota masyarakat adat yang akan bercerai maka alasan-alasan yang bisa dijadikan dasar perceraian hanyalah alasan yang telah disebutkan dalam undang-undang perkawinan ini.

b. Sahnya Dan Akibat Hukum PerceraianSahnya Perceraian

Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, perceraian tidak dilakukan melalui proses pengadilan, tetapi cukup melapor kepada “Kepala Desa”.

Dengan keluarnya UU No.1 Tahun 1974, suatu perceraian baru dapat dikatakan sah apabila telah ada putusan pengadilan dan kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil di tempat perkawinannya dulu dicatatkan. Seperti tercantum dalam Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 yo PP No.9 Tahun 1975 Bab V.

Jadi bagi masyarakat yang ingin bercerai, maka haruslah terlebih dahulu memperoleh Putusan Pengadilan, dan putusan perceraian itu juga harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan selanjutnya barulah atas dasar putusan pengadilan itulah diumumkan di desa atau di RT/RW atau Kelurahan. Hanya dengan proses itulah perceraian saat ini dapat dikatakan sah menurut UU No.1 tahun 1974.

Akibat Hukum PerceraianSebagai akibat dari adanya perceraian maka kedua

belah pihakyang dahulunya menjadi suami istri, setelah perceraian dapat kawin lagi dengan orang lain. Dan akibat hukum yang lain adalah tentang anak-anak yang lahir dalam perkawinan mereka, maupun terhadap harta bersama mereka.

Page 84: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

72

Menurut hukum adat, wanita yang sudah bercerai akan kembali lagi kerumah orang tuanya, dan berkedudukan kembali seperti sebelum dia kawin yang disebut dengan “Janda” yang hanya mempunyai hak menikmati harta kekayaan orang tuanya. Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974, akibat hukum yang timbul dari perceraian itu terhadap anak diatur dalam Pasal 41 nya, sebagai berikut :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan si anak. Bilamana terjadi perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Selain UU No.1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa yang lebih berhak mengatur, mengurus dan memelihara anak-anak yang telah lahir dalam perkawinan mereka setelah perceraian, maka undang-undang juga mengatur tentang harta bersama mereka setelah perceraian, seperti diatur dalam Pasal 37 mengenai :

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.Jadi disini maksudnya adalah hukum mana yang

Page 85: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

73

dulunya mengesahkan perkawinan mereka maka hukum tersebut pulalah yang akan menyelesaikan masalah yang menyangkut harta besama mereka.

LATIHAN DAN TUGAS MANDIRIa. Jelaskan apakah perceraian yang dilakukan menurut

hukum adat dapat dinyatakan sah ?b. Jelaskan, apakah perkawinan antar agama dapat

disahkan menurut UU No.1 Tahun 1974 ?c. Jelaskan bagaimanakah kedudukan hukum dari

anak yang lahir dalam perkawinan biasa dan dari perkawinan lari bersama setelah orang tua mereka bercerai ?

Bahan Bacaan : 1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-

undangsan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.

3. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

4. K wantjik Saleh, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

5. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung.

Page 86: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

74

PERTEMUAN IX: TUTORIAL 4 HUKUM ADAT PERKAWINAN 1. PROBLEM TASK I Suci seorang perempuan (Bali Hindu) yang melakukan perkawinan sah dengan yoga (Bali Hindu) dan mempunyai anak 2 (dua) orang (laki berumur 17 tahun dan perempuan masih balita). Selama menjalani perkawinan, usaha yang mereka geluti sangat maju dan berkembang dengan asset 1 hotel bintang lima yang berlokkasi di nusa dua, 3 mobil dan tanah seluas 3 hektar. Suatu saat rumah tangganya mengalami ketidakharmonisan dikarenakan yoga mempunyai wanita idaman lain (WIL), akhirnnya keduanya sepakat untuk menyudahi perkawinan (bercerai) .Pertanyaan :

1. Diskusikan bagaimanakah prosedur yang harus ditempuh untuk dapat dilakukannya persecaraian ?

2. Akibat-akibat apa yang ditimbulkan dari perceraian tersebut.

3. Diskusikan masalah perwalian anak dalam wacana diatas?

Bahan Bacaan :1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-

undangsan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.

3. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

4. K wantjik Saleh, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia,

Page 87: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

75

Ghalia Indonesia, Jakarta.5. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Perkawinan Adat,

Alumni, Bandung.6. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum adat

Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

7. UU No.1 tahun 1974 (UU Perkawinan) beserta peraturan pelaksananya antara lain PP No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP N0.45 tahun 1990.

8. UU No.23 tahun 2004 tentang KDRT.9. UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Page 88: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

76

PERTEMUAN X : PERKULIAHAN 5HUKUM ADAT PEWARISAN

1. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PEWARISAN a. PENGERTIAN PEWARISAN

Untuk memahami pengertian hukum adat waris, terlebih dahulu perlu mengenal pengertian hukum adat waris pada umumnya. Ada beberapa pendapat sarjana yang mengemukakan pengertian hukum adat waris antara lain :

Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat merumuskan bahwa Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immatriil goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.30

Ter Haar mengemukakan bahwa : Hukum adat waris pada pokoknya berisikan aturan-aturan mengenai proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan matriil maupun immatriil dari turunan ke keturunan.31

Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberi rumusan : Hukum adat waris meliputi norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik matriil maupun immatriil yang dapat diserahkan pada keturunannya serta sekaligus mengatur soal cara dan proses peralihannya.32 Hal yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma33 bahwa hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang

30 Soepomo.R, Op.Cit, hal.67.31 Ter Haar, Op.Cit, hal.231.32 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.199.33 Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 211.

Page 89: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

77

mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para ahli waris dari generasi ke generasi berikutnya. Djaren Saragih, mendefinisikan bahwa hokum adat waris adalah suatu complex kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan dan pengoperan dari pada harta baik materiil maupun inmateriil dari suatu generasi ke generasi berikutnya34.

Mencermati beberapa definisi tersebut di atas bahwa hukum adat waris memuat aturan-aturan hukum tentang proses pengoperan harta kekayaan baik yang berwujud benda maupun tidak berwujud benda dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Dengan demikian beberapa pengertian hukum adat waris seperti tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hukum adat waris itu meliputi :

a) Hukum waris adalah merupakan aturan hukumb) Aturan hukum itu mengatur proses penerusan

dan pengoperan harta warisan.c) Harta warisan yang dioperkan atau diteruskan

tersebut dapat berupa harta yang berwujud (matriil) dan harta tidak berwujud (immatriil).

d) Penerusan atau pengoperan itu berlangsung dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Ketentuan hukum adat waris seperti ini menunjukkan corak khas bagi aliran pikiran tradisional Indonesia yang bersendi pada prinsip-prinsip komunal dan konkrit.35

Dengan demikian dalam hukum adat waris, tidak terlepas pula dari prinsip-prinsip komunal dan konkrit seperti tersebut diatas, ditambah dengan prinsip religio magis

34 Djaren Saragih,1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hlm. 162.35 Soepomo.R, Op.Cit, hal.72.

Page 90: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

78

(keagamaan) yang sangat besar pengaruhnya kepada proses penerusan dan pengoperan dalam pewarisan tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hazairin bahwa menyatukan adat dan agama (Hindu) di Bali secara umum merupakan perpaduan yang rampung pada masyarakat Hindu di Bali.36 (Hazairin, 1968, h.24).

Sebagai contoh pengaruh agama Hindu di bidang hukum waris pada masyarakat hukum adat Bali tampak landasannya yaitu dalam sistem kekeluargaannya yaitu patrilinial (sistem purusa), yang menjadi ciri dan corak yang khas pada hukum adat warisnya.

Corak maupun ciri yang khas pada sistem keke-lu argaan patrilinial Bali (purusa) memberikan tempat pa da anak laki-laki sebagai “Puthra” yang akan dapat mem bebaskan arwah leluhur dari penderitaan di dunia akhirat. Jadi sistem kekeluargaan patrilinial di Bali yang memperhitungkan keanggotaan kerabat berdasarkan garis laki-laki mendapat daya dukung yang kuat dari pandangan agama Hindu yang menegaskan pentingnya anak (keturunan) laki-laki bagi kebahagiaan suatu keluarga di dunia dan di akhirat. Artinya : Arti pentingnya anak (keturunan) laki-laki tidak hanya dilihat dari segi kepercayaan agama tetapi juga dapat meneruskan pemenuhan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kemasyarakatan dalam desa pakraman.

b. UNSUR-UNSUR PEWARISANAgar pewarisan atau proses penerusan dan pengo-

peran harta warisan dapat berlangsung maka harus me me nuhi unsur-unsur pewarisan yang meliputi 3 (tiga) unsur yaitu :

36 Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta Mas, Jakarta, hal.24.

Page 91: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

79

a) Pewaris adalah orang yang meninggalkan harta warisan, baik ia itu laki-laki, wanita, janda, duda maupun anak-anak.

Seperti halnya dalam hukum adat waris pada umumnya, bahwa untuk menentukan siapa yang dapat berkedudukan sebagai pewaris, maupun ahli waris pertama-tama haruslah dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh yang bersangkutan, sebelum mengetahui ketentuan yang lain-lainnya. Oleh karena sesuatu masyarakat hukum adat menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka yang berkedudukan sebagai ahli waris utama adalah anak laki-laki, sehingga dengan sendirinya anak laki-laki itulah juga yang akan berkedudukan sebagai pewaris.

Dalam hubungan ini, walaupun telah terkena pengaruh modernisasi dan telah memasuki era globalisasi, yang berkaitan dengan kedudukan pewaris ini dalam hukum adat waris belumlah mengalami perubahan.

Pewaris adalah unsur merupakan unsur esensial dalam proses pewarisan di samping unsuh penting lainnya. Siapa yang dimaksud pewaris itu? Ini perlu ditekakan karena masih banyak orang merancukan antara siapa pewaris dan siapa ahli waris itu? Pewaris adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang (akan) diteruskannya atau yang (akan) dibagi-bagikan kepada para ahli waris setelah dia wafat. Jadi pewaris adalah “empunya” harta peninggalan37. Apakah pewaris itu ayah atau ibu? Pewaris bisa ayah atau ibu atau bisa ayah-ibu ini tergantung sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat setempat.

37 Ibid. h. 214.

Page 92: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

80

b) Ahli Waris adalah orang-orang yang akan menerima warisan dari pewaris.

Pada prinsipnya ahli waris adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dimana orangnya bisa laki-laki atau bisa juga wanita tergantung dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Ahli waris bisa digaris menurun (anak, cucu dan seterisnya), bisa digaris mendaki (orang tua, kakek dan sebagainya) dan digaris menyamping (saudara pewaris, paman, keponakan).

Ahli waris digaris menurun pada prinsipnya anak. Anak dapat mempunyai pengertian yang bermacam-macam yang masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda-beda terhadap harta peninggalan seorang. Selain anak sebagai ahli waris, maka perlu juga dibicarakan kedudukan janda dan duda terhadap harta warisan, karena janda dan duda disini sebenarnya tidak dalam ikatan pertalian darah dengan pewaris.

Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko bahwa untuk memudahkan menentukan ataupun menetapkan siapa yang dapat berkedudukan sebagai ahli waris apabila ada seseorang yang meninggal, dipakailah 2 (dua) garis pokok yaitu :

1. Garis pokok keutamaan yang terdiri dari :Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris.Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris.Kelompok keutamaan III : saudara-saudara

pewaris dan keturunannya.Kelompok keutamaan IV : kakek atau nenek.

Page 93: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

81

2. Garis pokok penggantian yang terdiri dari :Orang yang tidak ada hubungannya dengan

pewaris.Orang yang tidak ada lagi penghubungnya

dengan pewaris.38

Ketentuan yang menyebutkan bahwa yang berhak mewaris dalam masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial seperti masyarakat hukum adat Bali ataupun batak adalah anak kandung laki-laki dari pewaris dapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan (baca : Pangkat, 1972 dan Paneca, 1986). Demikian pula dalam yurisprudensi Makamah Agung No.32K/Sip/1971 tanggal 24 Maret 1971. Juga dalam laporan penelitian Fak.Hukum Unud, 1980/1981, serta Laporan Penelitian Fak.Hukum Unud, 1987/1988.

Jadi berdasarkan putusan-putusan pengadilan serta ditunjang oleh adanya laporan penelitian tersebut diatas maka tampak dengan jelas bahwa yang berkedudukan sebagai ahli waris adalah anak laki-laki sepanjang tidak melakukan perkawinan “keceburin” atau diangkat anak oleh orang lain. Sedangkan anak wanita, baru akan berkedudukan sebagai ahli waris apabila ia sudah berstatus ‘sentana rajeg dan sudah melakukan perkawinan keceburin”.

Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris, tetapi dalam kenyataannya anak wanita tetap dapat menikmati harta kekayaan orang tua mereka selama ia belum kawin. Apabila anak wanita telah kawin dan keluar dari lingkungan orang tuanya secara mewaris ia tidak dapat tetapi orang tuanya akan memberikan bekal hidupna seperti di Bali : ada (pengupa jiwa) yang disebut dengan bekal yaitu berupa : “jiwadana” ataupun

38 Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, Op.Cit, hal.286-287.

Page 94: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

82

“ketipatan dan atau tetadtadan”. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kedudukan wanita dalam hukum adat waris Bali, lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu kedudukan wanita terseebut dalam keluarganya apakah ia berkedudukan sebagai anak saja, sebagai istri atau janda (dalam perkawinan biasa atau dalam perkawinan nyeburin) sebagai “sentana rajeg”, atau sebagai wanita yang “mulih dehe”, karena perbedaan kedudukan maupun status akan mempengaruhi terhadap kedudukannya sebagai ahli waris.39

Untuk sementara ini ternyata berdasarkan penjelasan yang diungkapkan dari putusan pengadilan, yurisprudensi maupun dari laporan-laporan penelitian, bahwa hak janda, istri maupun anak perempuan terhadap harta warisan baik dari keluarga maupun suaminya masih terbatas dan bersyarat, seperti dalam hukum adat waris pada umumnya.

Dengan demikian yang dimaksudkan kedalam golongan ahli waris adalah mereka-mereka yang berada digaris menurun, yang utama adalah anak (kelompok I), bila ini tidak ada barulah mereka yang berada digaris keatas yaitu ayah (kelompok keutamaan II), dan kalau ini tidak ada barulah digaris menyamping yaitu kelompok keutamaan III yaitu saudara-saudara pewaris dan keturunannya, kalau ini tidak ada barulah masuk ke kelompok keutamaan IV yaitu kakek/nenek. Orang-orang yang berada pada kelompok keutamaan III dan IV itulah yang dimaksud dengan garis pokok penggantian atau cucu menggantikan ayahnya sebagai ahli waris karena ayah anak tersebut sudah meninggal dunia.

Selain dikenal anak kandung dan anak angkat, dalam

39 Sagung Ngurah, 1992, Akses Wanita Terhadap Harta Kekayaan Keluarga Ditinjau Dari Hukum Adat Bali, (Studi Kasus di Kelurahan Kuta, Badung) Laporan Penelitian,hal.35.

Page 95: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

83

hukum adat juga dikenal anak yang lain yaitu :• Anak tiri yaitu anak yang dibawa oleh salah satu pihak

kedalam perkawinan mereka yang baru. Anak ini bukanlah ahli waris dari orang tua tirinya tetapi tetap dari orang tua kandungnya saja.

• Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak pernah disahkan, yang dalam hukum adat Bali ada dua jenis.(1) Anak bebinjat, adalah anak yang tidak dikethui

siapa bapak dari anak tersebut. Dalam asal 43 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 ditentukan bahwa anak yang demikian hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu. Tetapi dalam hubungan waris ia hanya mewarisi ibunya saja.

(2) Anak astra, adalah anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang tidak pernah disahkan tetapi dapat diketahui siapa bapak dari anak tersebut. Dalam hukum waris maupun hukum keluarga ia adalah tetap keluarga ahli waris ibunya. Hanya saja kadang-kadang ayah biologisnya memberikan pula biaya-biaya hidup anak tersebut tetapi tidak sebagai ahli waris ayah biologisnya. Demikian pula sebaliknya si anak hanya mempunyai kewajiban moral terhadap ayah biologisnya tetapi tidak tehadap kewajiban hukum.

c) Harta Warisan

Salah satu unsur penting untuk terjadinya pe wa-risan adalah adanya harta warisan di samping unsur pen-ting lainnya. Menurut pengertian umum, warisan adalah sesuatu yang diwariskan, baik berupa harta, nama baik dan

Page 96: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

84

lain-lain40. Dalam pengertiannya yang lebih sempit Hilman Hadikusuma, mengatakan bahwa warisan diartikan sebagai barang-barang berupa harta benda yang ditinggalkan oleh seorang pewaris41. Retnowulan Sutantio, mengatakan bahwa harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dikurangi hibah-hibah dan hutang-hutang almarhum, serta biaya penguburan dan selamatan serta biaya-biaya lain sehubungan dengan kematiannya42. Korn mengatakan bahwa menurut hukum adat Bali, warisan adalah semua harta kekayaan berupa material (yang berwujud) yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris43 sedangkan menurut Windia warisan tidak saja berupa barang-barang berwujud seperti harta benda milik keluarga, melainkan juga berupa hak-hak kemasyarakatan, seperti hak atas tanah karang desa yang melekat pada status seseorang sebagai anggota masyarakat desa (krama desa pakraman), hak memanfaatkan setra (kuburan milik desa), bersembahyang di Kahyangan Desa, dan lain-lain. Dengan demikian dalam konteks hukum adat waris merupakan semua harta yang ditinggalkan pewaris baik harta yang berwujug benda (matriil), harta yang dapat dibagi-bagi atau harta tidak berwujud benda (immatriil) atau harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan hutang-hutang pwaris. Harta peninggalan yang termasuk harta benda yang tidak dapat dibagi-bagi ini adalah berdasarkan atas alasan

40 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hlm. 1269.41 Hilman Hadikusuma I, op.cit., hlm. 35.42 Retnowulan Sutantio, 1979, Wanita dan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 86.43 V.E Korn, 1971, Hukum Adat Waris Bali(Het Adatrecht van Bali Bab-IX), terjemahan I Gede Wayan Pangkat, FH & PM, Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 46.

Page 97: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

85

kenapa tidak dibagi-bagi, dapat dibedakan sebagai berikut :(1) Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk

dibagi-bagi (misalnya barang milik suatu kerabat atau famili).

(2) Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat/jabatan tertentu (misalnya ba-rang-barang keraton yang harus disimpan di Keraton).

(3) Karena belum bebas dari persekutuan hukum (contoh di Bali Tanah Pekarangan Desa).

(4) Karena pembagiannya untuk sementara ditunda.(5) Karena hanya diwariskan pada seseorang saja (sistem

Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing pihak (suami-istri) kedalam perkawinan yang disebut “harta bawaan”. Pada umumnya harta ini nantinya akan menjadi harta warisan bagi keturunannya. Tetapi kalau pasangan ini tidak memiliki keturunan, atau terjadi perceraian maka harta tersebut akan kembali kepada pemiliknya.Harta perkawinan atau harta bersama adalah harta

yang diperoleh selama atau dalam perkawinan, baik harta tersebut diperoleh istri sendiri, suami sendiri atau suami istri bersama-sama. Di Bali harta semacam ini disebut dengan istilah “harta guna kaya atau druwe gabro”, di Jawa disebut dengan “harta gono gini”. Dan terhadap harta ini, apabila terjadi perceraian sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Disamping harta-harta seperti tersebut diatas juga diwariskan seperti hutang-hutang pewaris, hak mem-pergunakan gelar (nama keluarga), kalau di Bali ada hak-hak yang belakunya terbatas yaitu hak untuk bersembahyang di

Page 98: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

86

tempat persembahyangan keluarga.Disamping itu juga termasuk didalamnya hak-

hak yang berkaitan dengan desa pakraman seperti mem-pergunakan kuburan, persembahyangan di pura milik desa dan hak-hak lainnya (berlaku bagi masyarakat hukum adat Bali). Tetapi semua harta yang berupa hak-hak ini har us-lah diimbangi dengan kewajiban-kewajiban, baik berupa ke-wajiban hukum maupun kewajiban moral seperti “ngaben”, me nyembah orang tua sebagai leluhur, maupun membayar hutang-hutangnya (baca UU No.1 Tahun 1974 antara lain Pasal 35, 36 dan 37).

Masing-masing unsur ini pada pelaksanaan proses penerusan serta pengoperan kepada orang yang berhak menerima harta kekayaan itu, selalu menimbulkan persoalan sebagai berikut :

a) Unsur utama menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang meninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaannya dimana si meninggal warisan itu berada.

b) Unsur kedua menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan an tara peninggal warisan dengan ahli waris.

c) Un sur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.44

Berkaitan dengan harta warisan, dalam hukum adat

44 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, hal.9.

Page 99: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

87

bali warisan yang berwujud harta keluarga dilihat dari

sumbernya dapat digolongkan sebagai berikut :1. Tetamian (harta pusaka) berupa harta yang

diperoleh karena pewarisan secara turun temurun. Tetamian meliputi :

a. tetamian yang tidak dapat dibagi, yaitu harta yang mempunyai nilai magis-religius seperti tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan), keris bertuah, alat-alat persembahyanga.

b. tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta yang tidak mempunyai nilai religius, seperti sawah, ladang dan lain-lain.

2. Tetatadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ke dalam perkawinan, baik yang diperoleh atas usahanya sendiri (sekaya) ataupun pemberian/hibah (jiwa dana).

3. Peguna kaya (guna kaya), yaitu harta yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan berlangsung.

Menurut Peswara Pewarisan Tahun 190045, harta warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pe waris setelah dipotongkan hutangnya termasuk juga hutang-hutang yang dibuat untuk ongkos penyelenggaraan pengabenan pewaris. Gde Panetje, menafsirkan Peswara Pewarisan tersebut bahwa hutang pewaris tidak ditanggung oleh ahli warisnya jika harta warisan tidak mencukupi46 sedangkan

45 Peswara Pewarisan Tahun 1900 dikeluarkan tanggal 13 Oktober 1900 oleh Residen Bali dan Lombok dengan pemusyawarahan bersama-sama pedanda-pedanda dan punggawa-punggawa, semula diberlakukan bagi penduduk Hindu Bali Kabupaten Buleleng, tetapi pada tahun 1915 diberlakukan pula untuk seluruh Bali selatan 46 Gde Panetje, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayumas, Denpasar, hlm. 162.

Page 100: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

88

Korn, menemukan kenyataan bahwa hutang-hutang pewaris diwariskan kepada ahli warisnya. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa tidak hanya sisa bersih dari harta warisan yang diwariskan, akan tetapi juga harta warisan yang harus diterima maupun hutang-hutang, kecuali hutang-hutang karena perjudian47.

Seiring dengan kemajuan jaman dan perkembangan masyarakat di wilayah perkotaan warisan dapat juga berupa hotel, restaoran, rumah B.T.N. dan dapat juga berupa tabungan-tabungan di sebuah bank. Jadi dapat dikatakan bahwa secara umum warisan tersebut meliputi harta kekayaan yang berwujud berupa sawah, ladang , hotel, restauran, tabungan dan harta kekayaan yang tidak berwujud (hak-hak kemasyarakatan, hak memakai wangsa) dan juga hutang-hutang pewaris terlepas apakah hutang-hutang itu timbul karena perjuadian atau tidak. Harta warisan tidak selalu bentuknya harta kekayaan tetapi hutang-hutangpun juga merupakan warisan dan ini harus menjadi tanggung jawab ahli waris.

47 V.E. Korn II, op.cit., hlm. 8-12.

Page 101: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

89

2. PRINSIP-PRINSIP PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS

Apabila diteliti lebih seksama, maka secara prinsip dapat diketahui bahwa hukum adat waris adalah mengikuti pula prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku pada masyarakat kekhususan-kekhususan yang harus diperhatikan, seperti sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan karena hukum adat waris seperti halnya Bali yang dalam hukum kekeluargaannya dilandasi oleh hukum agama Hindu, maka dalam hukum warispun dilandasi oleh hukum agama Hindu.

3. SIFAT HUKUM ADAT WARISHukum adat waris menunjukan corak-corak yang

khas dari aliran pikiran tradisional Inndonesia. Hukum adat waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia, oleh karena itu hukum adat waris memperlihatkan perbedaan yang prinsipal dengan hukum waris Barat. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:• Hukum adat tidak mengenal ”legitieme portie”

akan tetapi hukum adat waris menetapkan dasar persamaan hak, hak sama ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Sementara menurut hukum waris Barat mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas bagian tertentu dari harta peninggalan, bagian warisan menurut ketentuan undang-undang(”wettelijk erfdeel” atau ”legitieme portie” pasal 913 sampai dengan 929),di samping dasar persamaan hak

Page 102: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

90

hukum adat waris juga meletakan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris.

• Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris. Sementara hukum waris Barat mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas bagian yang tertentu dari harta peninggalan, bagian warisan menurut ketentuan undang-undang (”wettelijk erfdeel” atau ”legitie portie” pasal 913 sampai dengan 929). Di samping hukum waris Barat juga memenentukan adanya hak mutlak dari ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan (pasal 1066 KUHPerdata)48 Dengan demikian Hukum adat waris pada prinsipnya mempunyai perbedaan-perbedaan dengan hukum waris Barat, terutama dalam hal-hal sebagai berikut :1. Hukum adat waris tidak mengenal “legitieme portie”.2. Proses pembagian berdasarkan kerukunan dan

memperhatikan persamaan hak.3. Ahli waris tidak berhak memaksa agar harta

warisan dibagi.4. Dalam hukum adat terdapat benda-benda yang

menurut sifatnya memang tidak dapat dibagi-bagi.5. Hukum adat waris mengenal sistem penggantian

tempat (plaats vervulling).6. Harta benda tidak merupakan satu kesatuan,

tetapi harus memperhatikan sifat-sifatnya yang khusus.49

48 Surojo Wignjodipuro, 1987, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, h. 163.49 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.194-195.

Page 103: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

91

4. SISTEM PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARISSeperti halnya dalam sistem kekeluargaan menurut

hukum adat pada umumnya mengenal 3 (tiga) sistem, maka dalam sistem pewarisan juga dikenal tiga sistem yang sekaligus sistem ini juga oleh masyarakat hukum adat antara lain:

a. Sistem pewarisan individual, yaitu sistem pe wa-risan dimana harta warisan dapat dibagi secara per seorangan atau masing-masing ahli waris akan mendapatkan bagiannya, tetapi masih tetap mem-perhatikan sifat maupun jenis dari hartsa yang akan dibagi. Sistem pewarisan individual ini di Bali umumnya diterapkan pada barang-barang atau harta warisan yang tidak mempunyai nilai keagamaan atau barang-barang yang termasuk harta benda matriil.

b. Sistem pewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan berada atau dikuasai oleh satu orang dan semua ahli waris hanya mempunyai hak untuk menikmati saja. Tidak ada penerimaan warisan secara perorangan. Dan sistem ini pada masyarakat hukum adat Bali umumnya diterapkan terhadap barang-barang atau harta pusaka yang mempunyai nilai keagamaan atau religio magis (immatriil) seperti : keris pusaka, sanggah/merajan, alat-alat upacara dan upakara dan lain-lain yang dianggap mempunyai nilai seperti itu. Dengan demikian Sistem kewarisan kolektif adalah sistem kewarisan dimana harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama oleh para ahli waris. Jadi harta peninggalan masih bentuk satu kesatuan, akan tetapi terhadap peninggilan tersebut boleh dibagi-bagi terbatas pada

Page 104: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

92

pemakaiannya saja. Sistem kewarisan kolektif itu dianut oleh masyarakat Minangkabau. Sistem ini juga dikenal pada masyarakat patrilineal di Bali, dimana harta peninggalan ada yang tidak dibagi oleh para ahli waris yakni harta yang bernilai non ekonomis atau yang bernilai religio magis seperti Merajan, benda-benda pusaka, Tanah Karang Desa (PKD).

c. Sistem pewarisan mayorat yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan berada dibawah penguasaan seorang ahli waris yang ditunjuk, bisa anak tertua atau anak terkecil tergantung kesepakatan. Menguasai disini tidak berarti memiliki, tetapi hanya bersifat mengatur pemanfaatannya dan dengan konsekwensi harus menghidupi ahli waris yang lain.

Masing-masing sistem pewarisan ini tidak merupakan corak khas dari masing-masing sistem kekeluargaan karena ketiga sistem pewarisan ini dapat menjadi dasar pembagian warisan dalam satu keluarga, sistem yang mana yang akan dipilih adalah tergantung dari kesepakatan masing-masing keluarga. Sistem Pewarisan mayorat terdapat pada masyarakat patrilineal di tanah samendo Sumatra Selatan/Lampung50. Sistem ini juga terdapat di daerah Bali yang kena pengaruh kerajaan jaman dahulu. Di samping sistem kewarisan mayorat juga dikenal sistem kewarisan minorat yaitu harta warisan jatuh pada anak yang terkecil, namun sekarang sudah mengalami suatu pergeseran.

50 Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), ALPABETA, Bandung, h.286.

Page 105: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

93

5. SYARAT-SYARAT DAN PROSES PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS

a. Syarat-Syarat Sebagai Ahli Waris Menurut hukum adat pada prisnsipnya harta warisan

beralih dari pewaris kepada ahli warisnya. Ahli waris yang dimaksudkan itu adalah sesuai menurut asas yang berlaku dalam sistem kekeluargaan yang dianut. Apabila telah memenuhi syarat-syarat antara lain :

a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik itu karena ahli waris me-rupakan keturunannya atau karena ber da sarkan undang-undang atau ketentuan lain.

b. Anak itu harus laki-laki (bila dalam sistem kekeluargaan patrilinial).

c. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah, yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris, misalnya anak angkat.

d. Bila tidak ada anak dan juga tidak ada anak ang-kat, dimungkinkan adanya penggantian melalui penggantinya atau kelompok ahli waaris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak pengganti lainnya yang memenuhi syarat.51

Oleh karena secara nasional belum ada unifikasi dibudang hukum waris, maka ketentuan-ketentuan mengenai pewarisan samapi saat ini masih berlaku ketentuan yang lama, sama seperti halnya untuk menentukan syarat-syarat sebagai ahli waris seperti tersebut di atas.

51 Gde Puja, 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresipir Kedalam Hukum Adat Bali Dan Lombok, CV.Yunasco, Jakarta, hal.91.

Page 106: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

94

b. Proses PewarisanProses pewarisan adalah pengoperan harta warisan

dari pewaris kepada ahli warisnya. Sejak kapan harta warisan tersebut dapat dioperkan atau dialihkan kepada ahli warisnya ?

Menurut Soepomo, bahwa proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta keluarga kepada anak-anaknya sudah dapat dimulai selagi orang tua masih hidup.

Sedangkan menurut ketentuan yang umum berlaku pada masyarakat hukum adat terdapat juga penetapan harta kekayaan semasa pewaris masih hidup yang dapat berupa :

a. Hibah yaitu pemberian lepas dari pewaris kepada ahli warisnya.

b. Hibah wasiat yaitu pemberian yang dilakukan melalui surat wasiat yang baru boleh dibuka setelah pemberi hibah meninggal.

Pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup, tidak dengan sendirinya merupakan pengalihan harta warisan. Penerusan dan pengoperan ini tergantung pada kesepakatan ahli waris, dan kadang-kadang harta warisan tersebut akan dibiarkan tidak terbagi.

Selanjutnya di samping unsur-unsur esensiil yakni pewaris, ahli waris dan harta warisan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai proses pewarisan tersebut. Pewarisan adalah suatu proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan atau warisan baik yang berwujud benda maupun yang tidak berwujud benda dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Yang menjadi persoalan adalah kapan suatu pewarisan dapat dimulai?

Proses penerusan dan pengoperan harta warisan kepada para ahli waris sudah dapat dimulai ketika pewaris

Page 107: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

95

masih hidup agar semunya menjadi jelas. Apabila ahli waris lebih dari seorang, semasih hidup pewaris umumnya sudah membagi-bagikan hartanya kepada para ahli waris dengan tujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan dikemudian hari. Hal itu dapat dilakukan dengan pemberian-pemberian yang bersifat sementara maupun bersifat tetap. Di Bali pemberian-pemberian yang bersifat sementara misalnya adalah pengupa jiwa, pedum pamong atau pedum raksa yang mana nantinya akan diperhitungkan kembali setelah pewaris meninggal dunia. Dengan demikian meninggalnya pewaris bukanlah syarat mutlak dalam pembagian harta warisan akan tetapi meninggalnya pewaris dan pengabenan merupakan moment penting dalam proses pewarisan menurut hukum adat Bali. Setelah meninggal pewaris proses pembagian warisan menjadi tuntas karena dengan meninggalnya pewaris harta warisan dapat dibagi secara tetap.

Pengupa jiwa adalah pemberian yang bersifat sementara harta warisan kepada para ahli waris dengan tujuan untuk beaya hidup rumah tangga sampai menunggu pembagian harta warisan yang bersifat tetap. Misalnya ketika anak laki-laki yang pertama berumah tangga dan hidup mandiri, ia diberikan sebidang tanah apakah sawah atau tegalan untuk dikerjakan dan dihasili sebagai bekal hidup keluargannya, begitu seterusnya terjadi ketika anak laki-laki yang lainnya berumah tangga. Pemberian tersebut hanya bersifat sementara karena akan diperhitungkan kembali ketika pembagian harta warisan yang bersifat tetap telah dilakukan.

Pedum pamong/pedum raksa ialah pembagian harta kekayaan yang bersifat sementara antara para ahli waris,

Page 108: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

96

sampai diadakan pembagian waris secara tetap. Di samping pengupa jiwa dan pedum pamong atau pedum raksa masih ada satu cara penetapan harta kekayaan semasih pewaris hidup yaitu jiwa dana. Jiwa dana atau hibah adalah pemberian lepas dari pewaris kepada ahli waris dan pemberian ini bersifat tetap. Hal ini pada umumnya diberikan kepada anak perempuan pada waktu perkawinan sebagai bekal (tetatadan) yang merupakan harta bawaan. Pemberian yang bersifat tetap (jiwa dana/tetatadan/ketipatan) sebenarnya merupakan hibah, yang mana dapat juga diberikan kepada orang yang bukan berstatus ahli waris termasuk anak perempuan yang kawin ke luar dan laki-laki yang melakukan perkawinan nyeburin/nyentana. Pemberian hibah dapat juga dilakukan kepada orang lain atas dasar keichlasan. Jiwa dana adalah harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan sebagai bekal dan diharapkan dengan harta bawaan baik oleh anak perempuan yang kawin ke luar maupun anak laki-laki yang kawin nyeburin mempunyai status dalam keluarganya yang baru (keluarga suami maupun keluarga istri). Pemberian jiwa dana atau hibah kepada orang yang bukan ahli waris dapat diberikan sepanjang dalam batas-batas yang layak serta tidak merugikan ahli waris. Hal demikian semacam legitieme portie dalam Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerd.)52. Ukuran layak menurut yurisprudensi adalah sebanyak-banyaknya sepertiga bagian dari seluruh harta kekayaan pewaris berdasarkan Keputusan Pengadilan Kertha Singaraja No.81/Sipil, tanggal 24 Nopember 193953. Harta warisan yang dapat diwarisi secara individual oleh para ahli waris adalah harta warisan yang benilai non

52 Ali Afandi, 1986, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab-Undang-Undang HUkum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, hlm.44.53 Gde Panetje, op.cit., hlm. 181.

Page 109: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

97

magis-religius.Pembagian warisan dilakukan secara musyawarah

diantara para ahli waris yang berdasarkan asas selaras, rukun dan patut, yang dipimpin oleh orang tuanya. Berdasarkan lapornan penelitian apabila orang tuanya sudah tidak ada atau meninggal, maka musyawarah dipinpin oleh anak laki-laki tertua, kadang-kadang diundang pejabat desa (desa adat/pakraman untuk menjadi saksi54. Dalam hukum adat pembagian harta warisan didasarkan atas asas kerukunan atau tidak didasarkan atas ilmu hitung. Oleh karena itu tidak ada ketentuan yang tegas mengenai bagian masing-masing ahli waris, kecuali perbandingan bagian antara anak laki-laki dan perempuan yang belum kawin yaitu dua berbanding satu yang dikenal dengan istilah ategen asuun. Di samping harta warisan yang dapat dibagi-bagi terdapat juga golongan harta warisan yang kepemilikannya tidak dapat dibagi-bagi karena bersifat magis-religius seperti merajan/sanggah, laba merajan/sanggah55. Untuk harta warisan golongan ini, umumnya diwarisi secara kolektif. Menurut Suastawa Dharmayuda, untuk tanah-tanah adat seperti tanah Pekarangan Desa (PKD) dan tanah Ayahan Desa (Ay.Ds.) lazimnya diwarisi oleh seorang anak, anak laki-laki sulung atau bungsu (sistem kewarisan moyorat atau sistem minorat) tergantung aturan adat setempat56. Dari keempat

54 Tim Peneliti Fakultas Hukum Unud., 1980/1981, ”Hukum Adat Waris”, Laporan Penelitian, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, hlm. 63.55 Laba merajan/sanggah adalah tanah milik bersama/keluarga yang fungsinya untuk pembiayaan merajan/sanggah.56 Made Suastawa Dharmayuda, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali (selanjutnya disebut Made Suastawa

Page 110: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

98

sistem kewarisan yang ada dalam hukum adat, keempat sistem kewarisan tersebut berlaku dalam masyarakat hukum adat Bali yaitu sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, sistem kewarisan mayorat dan sistem kewarisan minorat tergantung dari jenis harta yang menjadi obyek warisan tetapi tidak berlaku sama diseluruh Bali. Hal tersebut berlaku di samping terhadap obyek warisan, juga tergantung di daerah mana pewarisan itu berlaku, apakah di daerah yang kena pengaruh kerajaan ataukah tida.

LATIHAN :a. Jelaskan apakah orang yang tidak ada hubungan darah

dapat berkedudukan sebagai ahli waris ? dan bagaimana dengan kedudukan janda dan duda ?

b. Jelaskan perbedaan pengertian antara hibah, hibah wasiat, bekel dan warisan ?

c. Jelaskan mengapa pewarisan terhadap anak wanita di Bali dikatakan terbatas dan bersyarat ?

Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membuat silsilah keluarga untuk menunjukkan kedudukan se-se orang sebagai ahli waris dengan menggunakan garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian !

Dharmayuda II), Upada Sastra, Denpasar, 2001, hlm. 140.

Page 111: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

99

Bahan Bacaan :1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-

undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.

3. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung.

4. Soepomo, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

5. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung.

7. Sagung Ngurah dkk : Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

8. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.9. Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Page 112: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

100

PERTEMUAN XI : TUTORIAL/DISKUSI TENTANG HUKUM ADAT PEWARISAN

I. PENDAHULUANCara cara pembagian harta peninggalan dalam hukum waris adat sangat memperhatian kegunaan dari harta yang bersangkutan terhadap masing masing ahli waris. Umumnya pihak laki laki mendapat sawah/lading untuk modal usaha. Biasanya kalau peempuan mendapatkan rumah/pekarangan. Dalam pembagian waris, hukum adat tidak didasarkan pada ilmu ilmu matematis( ilmu hitungan) ( geen wiskundig te bereneken erfporties). Melainkan cenderung didasarkan pada asas kerukunan, kepatutan dan persamaan hak.57

II. PROBLEM TASK.1. Wayan seorang laki-laki Bali Hindu menikahi seorang

gadis Jawa Reni yang beragama Islam. Pengesahan perkawinan dilangsungkan di Jawa secara Islam. Karena upacara perkawinan telah selesai lalu mereka kembali ke Bali untuk melaksanakan upacara penge-sa han perkawinan menurut Hukum Adat Bali. Tidak berselang lama ayah si Wayan meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan. Wayan bersaudara lima orang, tiga laki-laki termasuk Wayan dan dua perempuan. Karena upacara dan upakara pengabenan telah selesai, kemudian munculah riak-riak kecil yang menyangkut

57 Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai HUkum Yang Hidup dalam Masyarakat, Alumni, Bandung, hal.142

Page 113: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

101

pembagian warisan. Karena semua merasa benar dan masing-masing mempunyai pembenar sendiri-sendiri, akibatnya persoalan warisan tidak bisa diselesaikan diantara mereka.

Pertanyaannya :a) Lembaga manakah yang berhak menyelesaiakan

kasus tersebut?b) Hukum apakah yang digunakan untuk penye-

lesaian kasus tersebut?c) Se bagai salah satu anak laki-laki dalam ke luar ga

diatas, apakah wayan berhak sebagai ahli waris?

1. Model perkawinan antara Wayan dengan Reni seperti tersebut dalam problem task 1 diatas, ternyata tidak dapat berlangsung lama karena diantara mereka sudah tidak ada kecocokan lagi untuk mempertahankan perkawinan mereka lalu mereka sepakat untuk bercerai walaupun mereka telah mempunyai 3 (tiga) orang anak, satu laki dan dua wanita. Dalam kasus perceraian seperti itu, pengadilan ma-nakah yang berwenang mengadili dan menge sahkan perceraiannya serta bagaimanakah ke du dukan hu-kum dari anak-anak mereka ? Dan bagai ma nakah ke dudukan dari harta perkawinan mereka ?

Page 114: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

102

Bahan Bacaan :1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-

undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.

3. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung.

4. Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai HUkum Yang Hidup dalam Masyarakat, Alumni, Bandung

5. Soepomo, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

6. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

7. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung.

8. Sagung Ngurah dkk : Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

9. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.10. Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Page 115: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

103

PERTEMUAN XII : PERKULIAHAN 6HUKUM ADAT PELANGGARAN

1. PENGERTIAN DAN SIFAT-SIFAT PELANGGARAN ADAT

a. Pengertian Pelanggaran AdatDilihat dari sifat masyarakat hukum adat berbeda

dengan masyarakat biasa yang ada di kota-kota, bahwa masyarakat hukum adat sifat atau alam pikiran komunal dan kosmis (religio magisnya) masih kuat. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting karena akan menjadi latar belakang kemasyarakatan, tempat hukum adat pelanggaran itu berperan. Alam pikran masyarakat hukum adat yang komunal dan kosmis tersebut memandang segala-galanya sebagai satu kesatuan yang homogin dalam kehidupan mereka, dimana kedudukan manusia adalah pusatnya. Manusia merupakan bagian dari alam besar (kosmos), tidak terpisah dari dunia lahir maupun gaib dan malahan berpadu dengan alam hewan dan tumbuh-tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakatnya sendiri sebagai satu kesatuan. Jadi semuanya bersangkut paut, saling pengaruh mempengaruhi dan semuanya berada dalam keseimbangan, yang senantiasa harus dijaga dan jika suatu saat ada gangguan terhadap keseimbangan tersebut haruslah dipulihkan kembali.58

Apa yang telah diungkapkan oleh Bushar Muhammad seperti tersebut diatas, kiranya mempunyai prinsip yang sama dengan yang berlaku di Indonesia, bahwa untuk terwujudnya kebahagiaan haruslah terjaga keseimbangan hubungan yang di Bali dikenal dengan “Tri Hita Karana”.

58 Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.67.

Page 116: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

104

Apabila antara ketiga hubungan tersebut terganggu seperti : hubungan antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, hubungan antara manusia dengan alam lingkungan maupun hubungan antara manusia dengan sesamanya, maka akan muncullah ketidak seimbangan magis yang lebih umum disebut ada “delik adat atau pelanggaran adat”. Jadi alam pikiran yang komunal dan kosmis dalam kehidupan masyarakat hukum adat, merupakan latar belakang timbulnya delik adat atau pelanggaran adat. Di dalam alam pikiran yang tradisional yang bersifat komunal dan kosmis itu, masyarakat hukumnya serta orang-orang tertentu yang dipentingkan dari pada orang-perorangan secara individual.

Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut Bushar Muhammad, yang dimaksud dengan delik adat adalah : Suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat matriil atau immatriil, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong hewan besar atau kecil dan lain-lain.59 Sedangkan menurut Ter Haar, yang disebut dengan delik adalah perbuatan mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma keagamaan, kesusilaan dan sopan santun

59 Bushar Muhammad, Ibid, hal.67-68.

Page 117: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

105

dalam masyarakat dilanggar.60

Istilah-istilah yang dipakai dalam penyebutan terhadap perbuatan melanggar ini oleh beberapa sarjana berbeda karena ada yang memakai istilah delik adat (Soepomo), hukum pelanggaran (Ter Haar), hukum pidana adat (Bushar Muhammad) demikian pula Surojo Wignyodipuro dengan hukum adat delik. Walaupun dengan istilah yang berbeda maksud dan tujuannya sama yaitu menunjukkan segala perbuatan yang melanggar norma-norma maupun yang menyebabkan ketidak seimbangan magis dalam kehidupan masyarakat, tanpa membatasi bidang-bidang tertentu, dan yang utama adalah untuk membedakannya dengan delik dalam hukum Barat, dimana dalam sistem hukum Barat memisahkan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Sedangkan dalam sistem hukum adat, pelanggaran bisa terjadi pada peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat, norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, sopan santun demikian pula hukum adat membedakan antara benda-benda matriil dan benda-benda immatriil, jadi sifat obyeknya adalah homogin. Dan selanjutnya dalam pembahasan lebih lanjut akan dipergunakan istilah “Hukum Pelanggaran Adat”.

b. Sifat-Sifat Hukum Pelanggaran AdatSistem hukum adat menyatakan bahwa segala

perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan yang illegal dan hukum adat sendiri mempunyai ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum (rechtsherstel) jika hukum itu diperkosa.61

Sifat hukum pelanggaran adat yang dilandasi alam

60 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.286.61 Soepomo.R, Op.Cit, hal.110.

Page 118: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

106

pikiran tradisional masyarakat yang mempertautkan antara yang nyata dengan yang tidak nyata, antara alam fana dengan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib antara hukum manusia dengan hukum Tuhan, yang menempatkan manusia itu sebagai bagian dari alam menyebabkan kehidupan manusia itu bertaut dengan alam sehingga kegoncangan alam adalah akibat ketidak seimbangan kehidupan manusia dan sebaliknya kehidupan manusia merupakan ketidak seimbangan dengan kehidupan alam. Oleh karena itulah yang menyebabkan masyarakat hukum adat tidak banyak yang dapat berfikir rasionalistis, intelektualistis atau liberalistis sebagaimana halnya dengan cara berfikir orang Barat sehingga hukum adat bukan hasil ciptaan pikiran yang rasionil, intelektual dan liberal tetapi hasil ciptaan pikiran yang komunal, magis religius atau komunal kosmis.

Sebagai akibat dari pengaruh alam pikiran yang komunal dan kosmis tersebut membawa pengaruh pula terhadap sifat-sifat dari hukum pelanggaran adat yaitu :

1. Menyeluruh dan menyatukan, artinyaKarena latar belakang untuk timbulnya suatu pelanggaran adat dilandasi oleh pikiran yang komunal dan kosmis yang berarti yang satu bertautan dengan yang lain maka yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Demikian pula hukum pelanggaran adat tidak membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Begitu pula hukum pelanggaran adat tidak membedakan apakah itu pelanggaran adat, agama, kesusilaan

Page 119: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

107

atau kesopanan. Kesemua bentuk pelanggaran tersebut akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat dengan pertimbangan keputusannya yang bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum adat pelanggaran dapat dibedakan antara perbuatan yang bersifat kejahatan dengan perbuatan yang bersifat pelanggaran, tetapi hukum adat pelanggaran tidak membedakannya karena hukum adat pelanggaran tidak mementingkan pembagian kekuasaan.

2. Ketentuan yang terbuka, artinyaOleh karena manusia itu tidak akan mampu meramalkan masa datang, maka ketentuan dalam hukum adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang penting yang dijadikan ukuran menurut hukum adat adalah rasa keadilan menurut kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu dan tempat.62 Hal ini disebabkan oleh sifat maupun corak dari hukum adat itu sendiri yaitu bersifat elastis, plastis dan tidak kaku bahkan akan mengikuti perubahan pola pikir dari masyarakat. Jadi tidak menolak perubahan dan juga tidak menghambat perubahan. Di Bali pun keadaan seperti ini diakui yaitu desa, kala, patra dan mengakui pula waktu (atita, nagata, wartamana). Ketentuan yang sifatnya terbuka dalam hukum adat pelanggaran menyebabkan hukum adat pelanggaran

62 Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung, hal.22.

Page 120: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

108

tidak menganut sistem peraturan yang statis, artinya suatu pelanggaran adat tidak selamanya merupakan pelanggaran adat. Demikian pula dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat pelanggaran tidak ada ketentuan dibuat terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Berbeda halnya dalam hukum pidana Barat, peraturannya harus ada terlebih dahulu sebelum menyatakan suatu perbuatan itu melanggar hukum atau tidak (azas legalitas dalam pasal KUHP).

3. Membeda-bedakan permasalahanDalam hukum pelanggaran adat, apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka yang dilihat tidak hanya perbuatan dan akibatnya saja, tetapi diperhatikan pula apa yang menjadi latar belakang perbuatannya dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran yang demikian, maka dalam cara mencari penyelesaian dan melakukan tindakan hukumnya terhadap sesuatu peristiwa menjadi berbeda-beda.63 Menurut hukum adat antara orang-orang yang mempunyai kedudukan penting dalam suatu masyarakat akan berbeda dengan orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan penting. Keadaan seperti ini akan berpengaruh pula terhadap subyek dalam hukum pelanggaran adat, sehingga dikatakan pula hukum adat membeda-bedakan kedudukan orang dalam masyarakat adat. Karena perbedaan ini akan membawa konsekwensi pada akibat hukum terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Orang yang mempunyai kedudukan hukum lebih tinggi di

63 Ibid, hal.23.

Page 121: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

109

masyarakat apabila melakukan pelanggaran adat, maka hukumannya akan lebih berat daripada orang yang melakukan perbuatan yang termasuk kedalam “kejahatan” dengan termasuk “pelanggaran” diatur dalam ketentuan yang berbeda.

4. Lahir dan lenyapnya hukum pelanggaran adatHukum adat tidak menganut sistem yang statis melainkan dinamis, slastis dan plastis. Dengan demikian setiap ketentuan dalam hukum adat dapat timbul, tumbuh, berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru, yang lebih sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat pada saat itu. Demikian pulalah yang berlaku dalam hukum pelanggaran adat, bahwa pelanggaran terhadap hukum adat akan lahir, berkembang dan kemudian lenyap dikarenakan rasa keadilan dan kepatutan serta kesadaran hukum rakyat sudah berubah. Jadi lahirnya hukum adat pelanggaran adalah serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu akan berkembang juga dan kemudian akan lenyap pula dengan adanya perubahan perasaan keadilan yang akan menimbulkan perubahan peraturan. Begitu seterusnya, keadaannya seperti jalannya ombak di pesisir samudra.64 Demikian pula halnya dengan lahir dan lenyapnya pelanggaran

64 Soepomo.R, Op.Cit, hal.111.

Page 122: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

110

adat yang berarti perbuatan-perbuatan uang semula dianggap merupakan pelanggaran adat tetapi karena adanya perubahan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat menyebabkan hukum menjadi berubah akibatnya perbuatan yang tadinya pelanggaran adat menjadi tidak lagi dianggap pelanggaran adat. Hal inilah pula yang menunjukkan adanya perbedaan dengan sistem hukum pidana Barat. Menurut hukum pidana Barat, delik itu lahir dengan diundangkannya suatu peraturan tentang delik tersebut dalam Lembaran Negara. Sedangkan untuk menyatakan delik tersebut tidak berlaku lagi secara formal, haruslah dibuat peraturan baru lagi apapun bentuknya yang nantinya menyatakan bahwa peraturan yang lama tidak berlaku lagi, walaupun secara matrial peraturan itu tetap tercantum dalam Lembaran Negara.

5. Peradilan dengan permintaanUntuk memeriksa dan menyelesaikan perkara pelanggaran, sebagian besar didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan. Artinya petugas hukum tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar hukum. Terhadap beberapa pelanggaran hukum petugas hukum hanya akan bertindak apabila ada permintaan dari orang yang terkena pelanggaran tersebut. Ukuran yang dipakai untuk menentukan kapan saatnya petugas hukum bertindak atas inisiatif sendiri, hukum adat menentukannya yaitu apabila “kepentingan umum terganggu” yang dalam hal ini adalah kepentingan dari

Page 123: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

111

masyarakat hukumnya langsung terkena pelanggaran tersebut. Kepentingan umum inipun maksudnya adalah tertuju pada terganggunya keseimbangan magis dalam masyarakat yang didasarkan pada aliran tradisional yang bersifat kosmis komunalistis.

2. JENIS-JENIS PELANGGARAN ADATTerlebih dahulu haruslah diketahui bahwa perkara delik adat dapat bersifat :a. Melulu delik adat : misalnya pelanggaran adat

terhadap peraturan-peraturan exogami, pelanggaran peraturan panjer, atau peraturan-peraturan khusus adat lainnya.

b. Disamping delik adat, juga bersifat delik-delik terhadap harta kekayaan seseorang, menghina sese-orang, apalagi seseorang tersebut mempunyai ke-dudukan tinggi dalam masyarakat tersebut seperti menghina kepala adat, dll.

Berlainan dengan hukum criminal Barat, hukum adat tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu (sistem praexistente regels), hukum adat tidak mengadakan peraturan semacam Pasal 1 KUHPidana.65

Dalam hukum adat seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Tiap perbuatan atau tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan teman semasyarakat, keselamatan golongan famili dapat merupakan pelanggaran adat.

Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang

65 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.293.

Page 124: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

112

memperkosa keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat, misalnya perbuatan penghianatan, delik terhadap diri pribadi kepala adat.

Karena kepala adat penjelmaan masyarakat. Sedangkan delik yang tidak terdapat dalam KUHPidana, tetapi yang didalam sistem hukum adat masuk golongan perbuatan yang menentang keselamatan masyarakat seluruhnya seperti perbuatan : “sihir atau tenung”. Orang perempuan yang melahirkan di persawahan, di Bali (kembar buncing) mencemarkan tempat suci seperti : langgar, gereja, mata air dan lain sebagainya

3. REAKSI DAN KOREKSI ADATDalam tiap-tiappelanggaran hukum, para petugas

hukum menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan hukum. Tindakan atau upaya (pertahanan adat atau adat reaksi) yang diperlukan mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian.66

Pandecten van het adatrecht bagian X mengumpulkan bahan-bahan mengenai hukum adat delik (adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun 1936 menyebutkan beberapa reaksi dan koreksi adat sebagai berikut :

a) Penggantian kerugian “immatriil” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah tercemar.

b) Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rokhani.

66 Soepomo.R, Op.Cit, hal.114.

Page 125: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

113

c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.

d) Penutup malu, perintaan maaf.e) Pelbagai hukuman badan, hingga hukuman mati.f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang

di luar tata hukum.67

Suatu perbuatan yang mungkin melanggar beberapa norma hukum sekaligus, sehingga untuk memulihkan perimbangan hukum harus diambil beberapa tindakan koreksi, misalnya pengganti kerugian dan selamatan untuk membersihkan masyarakat dan sebagainya. Dan tujuan dari segala reaksi dan koreksi adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu, ialah “memulihkan perimbangan hukum” . Dan perimbangan hukum ini meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yang terdapat dalam sistem hukum pidana Barat rupa-rupanya tidak ada dalam hukum adat tradisional.

Lahirnya delik adat dapat disebabkan karena melanggar aturan-aturan hukum atau tata tertib dilanggar atau karena keseimbangan magis dalam masyarakat terganggu.

Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum apalagi perbuatan tersebut menyangkut kepentingan umum (keseimbangan magis dalam masyarakat) terganggu, maka petugas hukum adat (kepala adat) akan mengambil tindakan konkrit yang disebut dengan “reaksi adat” yang berguna untuk membetulkan hukum yang dilanggar tersebut.

Menurut Hilman Hadikusuma, dalam hal petugas

67 Loc.Cit, hal.115.

Page 126: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

114

hukum melakukan tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan akibat peristiwa yang telah mengganggu keseimbangan masyarakat dengan maksud mengembalikan keseimbangan sebagaimana semula, tidak saja dapat bertindak terhadap pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan pertanggungan jawab terhadap keluarga atau kerabat pelaku atau juga mungkin diperlukan membebankan kewajiban kepada masyarakat bersangkutan atau seluruhnya untuk mengembalikan keseimbangan dengan jalan mengadakan upacara desa atau lain-lain.68

Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa reaksi adat yang digunakan untuk mengembalikan ketidakseimbangan magis dalam masyarakat dapat berupa suatu kewajiban atau upacara selamatan yang kemudian dapat dibebankan kepada pelaku, tapi juga keluarga atau kerabatnya dan bahkan terhadap masyarakatnya.

Dalam hubungan ini dapat pula diketahui bahwa yang dapat menjadi subyek hukum dalam hukum adat pelanggaran tidak hanya orang sepertidalam hukum pidana Barat, tetapi juga keluarga, kerabat atau masyarakatnya ikut bertanggung jawab atas perbuatan pelaku.

Adapun jenis-jenis reaksi dan koreksi adat yang tujuannya untuk mengembalikan ketidakseimbangan magis dalam masyarakat, yang di Bali umum dikenal dengan istilah “danda atau pamidanda”. Danda atau pamidanda ini ada tiga golongan yang disebut “Tri Danda” yaitu :

a. Artha danda yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan hukum berupa denda dalam bentuk uang.

b. Jiwa danda yaitu tindakan hukum yang berupa pengenaan hukuman berupa penderitaan badan

68 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal.24.

Page 127: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

115

maupun rohani bagi pelaku pelanggaran.c. Sangaskara danda yaitu berupa tindakan hukum

untuk mengembalikan keseimbangan magis berupa tindakan untuk melakukan upacara-upacara agama.69

Sedangkan jenis-jenis reaksi dan koreksi adat yang ditemukan dalam penelitian oleh Tim Peneliti Fak.Hukum Unud, dapat digolong-golongkan sebagai berikut :

a) Reaksi atau koreksi adat beupa kewajiban untuk melakukan sesuatu seperti membuat upacara/upakara Agama.

b) Reaksi atau koreksi adat berupa pembayaran sejumlah uang yang dapat dibedakan antara “danda dan dedosan atau dosa”. Danda adalah dikenakan terhadap orang yang melanggar larangan. Sedangkan dedosan atau dosa dikenakan bagi mereka yang melalaikan kewajibannya.

c) Dibuat malu yaitu pada umumnya sanksi yang diberikan kepada mereka yang suka mencuri atau diarak keliling desa.

d) Pencabutan hak yaitu saksi yang dikenakan kepada mereka yang melalaikan kewajibannya pada desa/banjar (tidak melaksanakan ayah-ayahan desa/banjar).

e) Perampasan hak yaitu yang disebut dengan “Kerampag”, berupa pengambilan barang-barang milik seseorang karena tidak membayar hutangnya.70

69 I Wayan.P.Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fak.Hukum Unud, hal.143-144.70 Tim peneliti Fak.Hukum Unud, Op.Cit, hal.79-80.

Page 128: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

116

LATIHAN :a. Jelaskan dimanakah letak perbedaan lahirnya delik

menurut hukum adat dan menurut hukum Barat ?b. Sebutkan alasan-alasan yang dapat menimbulkan

adanya pelanggaran adat!c. Sebutkan jenis-jenis atau penggolongan pelanggaran

adat yang ada di beberapa daerah di Indonesia !

4. PELANGGARAN ADAT DALAM PRAKTEK PERADILANa. Hukum Pelanggaran Adat Dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana. Untuk mengetahui bagaimanakah pelanggaran adat

dalam praktek peradilan, perlu terlebih dahulu mengetahui sifat-sifat dari pelanggaran adat tersebut :

a) Pelanggaran adat yang murni pelanggaran adat, artinya bahwa pelanggaran tersebut benar-benar melanggar peraturan-peraturan adat. Misalnya tentang peraturan mengenai panjer, pelanggaran peraturan Exogami.

b) Pelanggaran adat yang juga merupakan pelanggaran atau delik menurut KUHP. Misalnya delik yang menyangkut harta kekayaan seseorang, menghina seseorang.71

Adapun ketentuan hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pelanggaran adat terdapat perbedaan, sebagai berikut:

a. Sistem pemidanaan.Berbeda halnya dengan hukum pidana Barat, hukum

adat pelanggaran tidak mengenal pelanggaran hukum yang

71 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.293.

Page 129: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

117

ditetapkan terlebih dahulu (disebut dengan prae existebte regels). Hukum adat pelanggaran tidak menganut azas legalitas seperti yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP. Pelanggaran adat baru akan menjadi hukum setelah para fungsionaris hukum menjatuhkan sanksi terhadap pelakunya. Hal ini sesuai pula dengan apa yang disampaikan oleh Ter Haar, bahwa adat baru akan menjadi hukum adat setelah diputuskan oleh para fungsionaris hukum (kepala adat, tetua-tetua adat, dan lain-lain). Dan azas ini lebih dikenal dengan “teori keputusan atau beslissingen leer”.

Sedangkan menurut hukum Barat (KUHP) untuk menentukan bahwa seseorang itu melakukan suatu pelanggaran adat atau delik haruslah ada aturannya terlebih dahulu yang akan menyatakan perbuatannya tersebut melanggar atau bertentangan dengan peraturan tersebut. Apabila peraturannya belum ada maka akan sulit menyatakan bahwa seseorang itu melakukan pelanggaran atau tidak. Jadi KUHP dikatakan menganut azas “legalitas” seperti yang diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang bunyinya : tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum melaikan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan tersebut.

b. Perbuatan SalahKUHP menyatakan bahwa perbuatan salah yang

berakibat dapat dijatuhi hukuman ditujukan kepada orang yang berbuat atau orang yang melakukan kesalahan dan perbuatannya tersebut dilakukan dengan sengaja (opzet) atau karena kelalaian (culpa). Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat tidak membedakan apakah perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian, tetapi

Page 130: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

118

lebih memperhatikan pada akibat dari perbuatannya yaitu apakah akibat perbuatannya itu mengganggu keseimbangan magis dalam masyarakat atau tidak.

c. Kesalahan Yang Berulang (Residivise). KUHP menentukan bahwa seseorang yang me la-

ku kan kesalahan beberapa kali henya dapat dihukum atas perbuatannya yang terakhir dan atau terberat an-ca man hukumannya (disini berlaku Prinsip “ne bis in idem”). Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat mem-perhitungkan keseluruhan dari perbuatan yang dila ku-kannya karena perhitungan ini akan menjadi dasar per-timbangan apakah perbuatannya itu dapat dimaafkan atau tidak. Apabila “perbuatan salah itu telah dilakukan berkali-kali maka dalam hukum pelanggaran adat dapat dikenakan sanksi antara lain “diusir” atau kalau di Bali disebut “katundung dari desa” atau “kerampag”. (prinsip ne bis in idem tidak berlaku).

d. Berat ringannya hukumanPenghilangan atau pengurangan hukuman ataupun

penambahan hukuman dalam KUHP ditentukan atas dasar Pasal 44 – 52 KUHP dan Hakim tidak boleh mempergunakan dasar yuridis yang lain dalam pertimbangan hukumnya. Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat justru permintaan maaf dan pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku menjadi pertimbangan dalam pengenaan hukumannya. Hal ini didasarkan atas azas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan dan rasa keadilan masyarakat.

Page 131: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

119

e. Pertanggung jawaban kesalahanKUHP berdasarkan pertanggung jawaban pada kondisi

fisik si pelaku, artinya orang yang dapat dihukum hanyalah orang secara jasmani dan rohani sehat. Orang yang tidak waras (gila) tidak dapat dipidana karena jiwanya tidak dapat dijatuhi sanksi sebagai akibat dari perbuatannya. Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat, kesalahan tidak hanya dapat dijatuhkan kepada pelakunya tetapi juga pada orang tua, sanak saudara atau bahkan pada masyarakat hukum adatnya. Karena hukum adat membedakan kedudukan seseorang di masyarakat adat. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, apabila melakukan kesalahan maka hukumannyapun akan lebih berat. Demikian pula dalam KUHP membedakan antara pelaku (dader) dengan orang yang membantu melakukan (mede plichtigheid) dan orang yang ikut berbuat (mede daderchap), membujuk berbuat (uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare poging) dalam suatu perbuatan pidana. Tetapi dalam hukum pelanggaran adat semua perbuatan dan pelaku dipandang sebagai satu kesatuan dan diperlakukan sama sejauh itu menimbulkan gangguan keseimbangan dalam masyarakat.72

b. Hukum Pelanggaran Adat dan Reaksi atau Koreksi Adat Dalam Praktek Peradilan

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No.1 Tahun 1946 yang mengatur tentang Wetboek van Strafrecht (WVS)” yang lebih dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”. Ketentuan ini dinyatakan berlaku untuk wilayah Republik Proklamasi. Dan selanjutnya berdasarkan 72 I Gede A.B.Wiranata, 2005, Hukum Adat Perkembangan dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.213-216.

Page 132: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

120

UU No.73 Tahun 1958 barulah dinyatakan berlaku untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti diketahui bersama KUHP ini berasal dari Code Penal Prancis yang berlaku di Negeri Belanda sejak Tahun 1810, dan atas perintah Gubernur Jendral Hindia Belanda dibuatlah kodifikasi Tahun 1915 dan kemudian dinyatakan berlaku di Indonesia Tahun 1918.

Kemudian berdasarkan usaha untuk pembentukan KUHP Nasional pada masa yang akan datang, hukum pelanggaran adat masih relevan untuk dikaji, dan peluang ini telah ditunjukkan oleh UU Darurat No.1 Tahun 1951 terutama Pasal 1 ayat 3 yang menunjukkan pada Pasal 3a RO, yang menyatakan bahwa di bekas wilayah Pengadilan Adat Indonesia, hukum pelanggaran adat masih tetap diakui berlaku di daerah tersebut dengan catatan bahwa asas-asas hukum pelanggaran adat dan sanksi-sanksinya tidak boleh ditetapkan lagi. Sanksi yang digunakan adalah sanksi delik yang serupa atau mirip dengan yang terdapat dalam KUHP. Selain itu dalam rancangan KUHP Nasional telah dicantumkan beberapa pasal yang memberikan peluang pada huum pelanggaran adat, seperti Pasal 1 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), Pasal 93 ayat (2), Pasal 93 ayat (3) dan Penjelasan Umum Buku 1 huruf 1.73

Selanjutnya dilihat dari praktek peradilan, bahwa peluang berlakunya hukum adat pada umumnya dan hukum pelanggaran adat pada khususnya dapat diketahui dari UU No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama Pasal 16 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang

73 Ibid, hal.220-221.

Page 133: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

121

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Sedangkan dalam Pasal 28 ditegaskan pula bahwa : Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Undang-undang ini tampaknya menjembatani asas legalitas dalam hukum pidana dari legalitas formal ke arah asas legalitas formal dan material.74

Jadi seolah-olah hukum adat maupun hukum pelanggaran akan mendapat tempat dalam Hukum Pidana nasional yang baru nanti.

LATIHAN :Antara ketentuan hukum pidana menurut KUHP dengan hukum adat pelanggaran dikatakan berbeda. Sebut dan jelaskan dimana letak perbedaannya !a. Jelaskan bagaimanakah eksistensi hukum adat

pelanggaran dalam KUHP Nasional nanti ?b. Jelaskan, sejak kapan dapat dikatakan timbulnya suatu

pelanggaran adat ?Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membahas satu kasus

baru pelanggaran adat yang termasuk ke Pengadilan dan memberikan ko-mentar terhadap keputusan hakim atas kasus tersebut ditinjau dari KUHP dan Hukum Adat Pelanggaran.

74 I Wayan.P.Windia dan I Ketut Sudantra, Op.Cit, hal.153-154.

Page 134: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

122

Bahan Bacaan : 1. Hilman Hadikusuma, 1978, Hukum Pidana Adat,

Alumni, Bandung.2. Soepomo R, 1976, Bab-Bab tentang Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta.3. Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bandung.

4. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

5. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

6. AB Wiranata I Gede, 2005, Hukum Adat Indonesia Per-kem bangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.

7. Soerojo Wiognyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Alumni, Bandung.

Page 135: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

123

PERTEMUAN XIII : TUTORIAL/DISKUSI TENTANG HUKUM PELANGGARAN ADAT

I. PROBLEM TASK Widya dengan kelurganya yang merupakan krama desa Desa pakraman A dikenakan sanksi adat kasepekang (dikucilkan), Adapun kronologis kasusnya adalah ketika ada paruman desa yang menetapkan dan menyiarkan bahwa telah terbentuk lembaga pecalang di desa pakraman A, widya dengan keluarganya tidak setuju dengan alasan mereka tidak ikut membentuk pecalang tersebut dengan bahasa yang dikeluarkan “ tiang tusing taen milu ngae pecalang”. Dengan alasan tersebut (menolak ditetapkan pecalang) maka Widya dan keluarganya dikenakan sanksi adat kasepekang (dikucilkan).Pertanyaannya ;1. Diskusikan wacana diatas, apakah benar tindakan desa

pakraman tersebut ?2. Apa yang harus dilakukan Widya dan Keluarganya, agar

sanksi tersebut dicabut dan mereka masih tetep menjadi krama desa A, mengingat ada factor historis keluarga Widya yang melekat didesa pakraman A.

3. Diskusikan apakah sanksi adat kasepekang masih relevan diterapkan dan bagaimana eksistensi yuridis dari sanksi kasepekang tersebut?

PROBLEM TASK II Ada pencurian “pretima” disebuah Pura di Bali.

”Pretima “ adalah suatu benda yang disakralkan oleh penyungsung Pura tersebut. Dengan hilangnya “pretima” tersebut, bagi orang Bali Hindu itu berarti “Pura “ tersebut

Page 136: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

124

sudah dianggap tercemar (leteh). Dan untuk menghilangkan kesan tercemar tersebut hanya dapat dilakukan dengan upacara dan upakara yang dikenal dalam masyarakat hukum adat Bali.

Setelah dilaporkan ke Polisi ternyata kemudian pencurinya tertangkap dan dia adalah bukan orang Bali. Diskusikan bagaimanakah penyelesaian kasus tersebut. Apakah perbuatan itu dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran adat, atau apakah kasus tersebut dapat diselesaikan di pengadilan, lalu bagaimanakah Hakim akan memberikan sanksi terhadap pelakunya ? Apakah akan berlaku prinsip “ne bis in idem dalam kasus ini ?

Bahan Bacaan : 1. Hilman Hadikusuma, 1978, Hukum Pidana Adat,

Alumni, Bandung.2. Soepomo R, 1976, Bab-Bab tentang Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta.3. Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bandung.

4. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

5. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.

6. AB Wiranata I Gede, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.

7. Soerojo Wiognyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Alumni, Bandung.

Page 137: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

125

PERTEMUAN XIV : UJIAN AKHIR SEMESTER

LAMPIRAN 1 : SILABUS

SILABUS1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Adat Lanjutan 3. Kode Mata kuliah : BII4227 4. Semester : IV 5. SKS : 2 SKS6. Mata Kuliah Prasyarat : -7. Deskripsi Mata Kuliah : Mata kuliah hukum adat lanjutan merupakan mata kuliah lanjutan dari mata kuliah hukum adat secara umum. Mata kuliah hukum adat lanjutan membahas tentang hukum adat yang berlaku dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beragam, tumbuh dan berlaku bagi Kasatuan Masyarakat Hukum Adat. Hal ini mengingat kondisi kebangsaaan Indonesia yang berbhineka baik dilihat dari suku, bahasa, agama maupun budayanya. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat selain tunduk pada hukum adat juga tunduk pada hukum negara sebagai warganegara dari Negara Republik Indonesia. Mata Kuliah Hukum adat lanjutan akan membahas mengenai bidang-bidang hukum dalam kehidupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya akan dibahas dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan seperti tatanan masyarakat adat yang meliputi: pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum tentang tanah adat, hukum adat tentang keluarga, hukum

Page 138: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

126

adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan, hukum adat tentang pelanggaran. Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).

8. CapaianPembelajaran : Pembelajaran Mata kuliah Hukum Adat Lanjutan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiwa tentang berbagai memahami hukum adat secara dengan topik pembahasan yang mendalam yang kemudian mampu menganalisis kasus kasus berkaitan dengan materi dalam lingkaran hukum adat yang meliputi tatanan masayarakat adat yang meliputi: pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum adat tentang keluarga, hukum adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan hukum adat tentang pelanggaran. Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).

9. Bahan KajianBahan Kajian mata kuliah terdiri dari:

I. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT a. Pengertian Kesaruan Masyarakat Hukum

Adat b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat c. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat

Page 139: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

127

II. HUKUM TANAH ADAT a Tanah Adat Sebagai Hak Ulaat Kesatuan

Masyarakat Hukum Adatb Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat c Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan

Perundang-Undangan

III. HUKUM ADAT KEKELUARGAAN a. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan b. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia c. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut

Hukum Adat Pada Umumnyad. Hubungan Hukum Dalam Hukum

Kekeluargaan

IV. HUKUM ADAT PERKAWINAN a. Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan di

Indonesia b. Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum

Adat c. Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adatd. Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum

Adat e. Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam

Hukum Adat

V. HUKUM ADAT PEWARISAN a. Pengertian Dan Unsur Unsur Pewarisan b. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat

Waris

Page 140: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

128

c. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris d. Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam

Hukum Adat Waris

VI. HUKUM ADAT PELANGGARAN a. Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat b. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat c. Reaksi Dan Koreksi Adatd. Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan

10. Referensi1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan

Perundang-undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

2. AB Wiranata I Gede; 2005, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.

3. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

4. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

5. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

6. Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.

7. Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

8. Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan

Page 141: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

129

Adat , Alumni, Bandung.9. --------------------, 1979, Hukum Waris Adat,

Alumni, Bandung.10. --------------------, 1979, Hukum Ketatanegaraan

Adat , Alumni, Bandung.11. --------------------, 1979, Hukum Pidana Adat,

Alumni, Bandung.12. Hazairin, 1987, Hukum Kekeluargaan Nasional,

Pradnya Paramita, Jakarta.13. Koesnoe Moch.1979, Catatan-Catatan Terhadap

Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universitas Press, Surabaya.

14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PT. Media Sarana Press, Jakarta.

15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.

17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.

19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.

21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.

22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Page 142: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

130

Tahun 1945.23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang

Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang Perlindungan anak.

27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990.

28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pengampu Mata Kuliah

Page 143: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

131

LAMPIRAN II : RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

(Catatan: Pada Lampiran II. dilampirkan RPP untuk keseluruhan pertemuan)

RPP PERTEMUAN KE IKESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Adat Lanjutan 3. Kode Mata kuliah : BII4227 4. Semester : IV 5. SKS : 2 SKS6. Mata Kuliah Prasyarat : -7. Capaian Pembelajaran :

Melalui mata kuliah Hukum Adat Lanjutan diharapkan mahasiswa semester IV (empat) mampu mengerti, memahami dan dapat menjelaskan bahwa di Indonesia terdiri dari berbagai macam bentuk kesatuan masyarakat hukum adat diantaranya desa pakraman, subak, dadia, nagari. Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan unsur-unsur maupun faktor-faktor yang menjadi ciri khas dari masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.

8. Indikator Pencapaian :Setelah dijelaskan dan didiskusikan tentang pengertian, unsur-unsur, faktor-faktor pembentuk dari suatu masyarakat hukum adat, baik stuktur pemerintahannya, mahasiswa semester IV Fakultas Hukum Universitas Udayana dapat menjelaskan ciri khas desa, nagari, kampong sebagai suatu masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia

Page 144: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

132

9. Materi Pokoka Pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat b Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat c Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat 10. Metode Pembelajaran

a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).b. Metode: Problem Based Learning (PBL).c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya

jawab.11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.b. LCD, white board, spidol.c. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan PembelajaranAlokasi Waktu

Pendahuluan Dosen menjelaskan kontrak perkuliahan, selanjutnya memberikan ulasan secara umum materi perkuliahan tentang pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Selain itu dosen memfasilitasi dalam membentuk kelompok diskusi (FGD) untuk tutorial

20 menit

Page 145: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

133

Kegiatan Inti Dengan fasilitas yang telah disediakan oleh fakultas berupa LCD, dosen mendiskripsikan materi secara rinci hukum adat lanjutan mengenai pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

60 menit

Penutup Dosen bersama mahasiswa menyimpulkan proses dan hasil pembelajaran yang telah dibahas sebelumnya.Selanjutnya dosen mengevaluasi dan memberikan tugas untuk mempelajari lebih mendalam mengenai pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

10 menit

14. Tugasa. Apakah yang dimaksud dengan Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat ?Jawaban .............................................................

b. Unsur-unsur apakah yang harus dipenuhi jika persekutuan tersebut dapat dikatakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ?Jawaban .............................................................

c. Faktor-faktor apakah yang mempengauuhi terbentuknya kesatuan masyarakat hukum adat ?Jawaban .............................................................

Page 146: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

134

d. Apakah kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai hukum tertulis dan apakah kesatuan masyarakat hukum adat mendapat perlindungan secara hukum ?Jawaban .............................................................

15. Pedoman Peskorana. Skor 0 : Jika mahasiswa tidak menjawabb. Skor 0,5 : Jika jawaban mahasiswa sebagian

yang sesuai dengan indikator jawaban dosenc. Skor 1 : Jika jawaban mahasiswa semuanya

sesuai dengan indikator yang dibuat oleh dosen

16. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan

1 Kejujuran

2 Tanggung jawab

3 Disiplin

4 Kreativitas

5 berkomunikasi

18. Suber Belajar1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Pe run-

dang-undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

2. AB Wiranata I Gede; 2005, Hukum Adat Indonesia, Per kembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Page 147: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

135

3. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

4. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

5. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

6. Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.

7. Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

8. Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan Adat , Alumni, Bandung.

9. --------------------, 1979, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung.

10. --------------------, 1979, Hukum Ketatanegaraan Adat , Alumni, Bandung.

11. --------------------, 1979, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.

12. Hazairin, 1987, Hukum Kekeluargaan Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta.

13. Koesnoe Moch.1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universitas Press, Surabaya.

14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PT. Media Sarana Press, Jakarta.

15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981,

Page 148: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

136

Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-

asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat

Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.

19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.

21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.

22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang

Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang Perlindungan anak.

27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990.

28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pengampu Mata Kuliah

Page 149: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

137

LAMPIRAN III : KONTRAK KULIAHKONTRAK PERKULIAHAN

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Adat Lanjutan 3. Kode Mata kuliah : BII4227 4. Semester : IV 5. SKS : 2 SKS6. Mata Kuliah Prasyarat : -7. Manfaat Mata Kuliah

Mata kuliah hukum adat lanjutan mempunyai manfaat praktis maupun teoritis bagi mahasiswa. Manfaat teoritis, bahwa materi kuliah banyak mengandung isu-isu dan topik menarik untuk diangkat menjadi penelitian untuk penulisan skripsi ataupun artikel jurnal yang berkait dengan materi hukum adat. Selain itu pendalaman belajar hukum adat sebagai hukum yang tumbuh ditengah tengah masyarakat yang secara praktis memiliki peran yang sangat besat saat terjun di tengah tengah masyarakat. Hal ini bisa diaplikasikankelak oleh mahasiswa setelah lulus dan memilih profesi bidang keahlian hukum baik sebagai hakim, jaksa, pengusaha, pendidik.

8. Deskripsi Mata KuliahAdapun ruang lingkup dari mata kuliah hukum adat

lanjutan akan membahas tentang kesatuan masyarakat hukum adat yang meliputi pengertian, faktor pembentuk masyarakat hukum adat dan struktur masyarakat hukum adat. Mata kuliah hukum adat lanjutan juga membahas antara lain, hukum tanah khususnya tanah adat/hak ulayat,

Page 150: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

138

kekeluarga, perkawinan, pewarisan dan pelanggaran. Selain itu dalam materi hukum adat lanjutan perlu pula meng-kaitkannya dengan perkembangan zaman (era globalisasi), bagian-bagian mana dari hukum adat lanjutan yang perlu dilestarikan, dibuang atau diperbaiki serta mengkaitkan dengan peraturan perundang-undangan.

8. Capaian PembelajaranSetelah memahami materi hukum adat lanjutan mahasiswa Fakultas Hukum Unud, dapat menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip hukum adat Indonesia kedalam bentuk kasus-kasus adat yang muncul di masyarakat hukum adat dengan tepat dan benar (C3).

9. Organisasi MateriI. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

a. Pengertian Kesaruan Masyarakat Hukum Adat

b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

c. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

II. HUKUM TANAH ADAT a. Tanah Adat sebagai Hak Ulayat Kesatuan

Masyarakat Hukum Adatb. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum

Adat c. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan

Perundang-Undangan

Page 151: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

139

III. HUKUM ADAT KEKELUARGAAN a. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan b. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia c. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut

Hukum Adat Pada Umumnyad. Hubungan Hukum Dalam Hukum

Kekeluargaan

IV. HUKUM ADAT PERKAWINAN a Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan

di Indonesia b Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum

Adat c Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adatd Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum

Adat e Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam

Hukum Adat

V. HUKUM ADAT PEWARISAN a Pengertian Dan Unsur Unsur Pewarisan b Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum

Adat Waris c Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat

Waris d Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam

Hukum Adat Waris

Page 152: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

140

VI. HUKUM ADAT PELANGGARAN a Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran

Adat b Jenis-Jenis Pelanggaran Adat c Reaksi Dan Koreksi Adat d Pelanggaran Adat Dalam Praktek

11. Strategi PerkuliahanStrategi pembelajaran atau perkuliahan adalah Problem Based Learning (PBL) yang pusat pembelajarannya ada pada mahasiswa dan bukan pada Dosen. Metode ini diterapkan dengan cara belajar (learning) dan bukan mengajar (teaching). Strategi perkuliahan adalah dengan cara mengkombinasikan antara perkuliahan, diskusi dan tutorial dengan prosentasi 50% (6 kali pertemuan atau perkuliahan) dan 50% (6) kali pertemuan dengan tutorial dan diskusi), 1 (satu) kali untuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan 1 (satu) kali untuk Ujian Akhir semester (UAS). Sehingga total pertemuan untuk bobot 2 SKS adalah 14 (empat belas) kali

12. Tugas-TugasTugas diberikan setiap akhir kegiatan pekuliahan se-bagai media evaluasi atas capaian pembelajaran. Tugas yang diberikan dalam bentuk kasus-kasus nyata/riil, selan jutnya akan di diskusian pada saat pertemuan selanjutnya/ tutorial.

13. Kriteria PenilaianPenilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pedoman Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.

Page 153: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

141

14. Jadwal PerkliahanJadwal perkuliahan sudah ditentukan di dalam Block Book.

15. Tata Tertib Perkuliahana. Tata tertib perkuliahan sesuai dengan Pedoman

Etika Dosen, Pegawai (Administrasi) dan Mahasiswa yang ditetapkan dalam Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Bab VII, poin 4 huruf c.

b. Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila dosen dan mahasiswa terlambat daripada batas toleransi, maka akan dikenakan sanksi, kecuali ada pemberitahuan atas keterlambatan tersebut.

Koordinator Kelas, Dosen Pengampu,

.................................. .................................

MengetahuiKetua Bagian Hukum dan Masyarakat,

………………………………………..

Page 154: REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK …

142