REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA...
Transcript of REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA...
1
REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA KIDUL
(Analisis Semiotika Roland Barthes)
SKRIPSI
(Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi Pada Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi)
Oleh:
ARYA DWI CAHYO
NIM. 6662121464
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
BANTEN
2017
2
3
4
5
MOTTO
“Don’t limit yourself, many people limit themselves to what they can
do. You can go as far as your mind lets you. What you believe,
remember, you can achieve”
(Mary Kay Ash)
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, keluarga dan mereka yang telah
memberikan motivasi dalam bentuk apapun.
6
ABSTRAK
Arya Dwi Cahyo. 6662121464/2016. SKRIPSI. Representasi Makna Jawara
Dalam Film Jawara Kidul (Analisis Semiotika Roland Barthes). Pembimbing I:
Neka Fitria, S.Sos, M.Si.; Pembimbing II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.
Penelitian ini berfokus pada realitas sosial di Banten, yaitu Jawara Banten. Jawara merupakan sebuah elit lokal di Banten yang telah berkembang dari masa kolonial hingga saat ini. Jawara
sebagai elit lokal memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang adat, seni dan budaya. Dalam
perkembangannya muncul berbagai stigma di masyarakat yang membuat persepsi mengenai sosok Jawara mengalami perubahan makna. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk mengidentifikasi karakteristik sosok Jawara dan memahami makna seorang
Jawara dalam Film Jawara Kidul. Film ini menggambarkan bagaimana sosok Jawara sebagai
elit lokal di Banten yang dibalut dengan genre aksi drama. Penelitian ini berdasarkan pada teori semiotika Roland Barthes yang menganalisis dengan tiga tahapan, yaitu denotasi,
konotasi dan mitos. Makna denotasi dimengerti sebagai makna harfiah atau makna yang
sesungguhnya. Sedangkan makna konotasi adalah makna yang tersembunyi atau implisit yang terdapat di dalam film tersebut. Dan makna mitos adalah makna pembenaran bagi suatu
nilai dominan yang berlaku pada suatu periode. Metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif dengan analisis semiotika. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
film Jawara Kidul secara keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti terkait dengan sinematografi, penampilan para pemain, suara, dan desain produksi (lokasi, properti,
dan kostum). Hasil penelitian ini secara denotasi menampilkan bahwa sosok Jawara
merupakan seorang tokoh masyarakat yang berperan penting dalam menjaga
Kadusunan dan melindungi yang lemah. Secara konotasi Jawara digambarkan sebagai
seseorang yang memiliki kharisma, kemampuan fisik dan ilmu supranatural serta
memiliki dasar tentang ilmu keagamaan. Dan mitos yang dibangun dalam film ini
berkaitan dengan berbagai perspektif negatif masyarakat terkait sosok Jawara yang
berkembang di masyarakat.
Kata Kunci: Representasi, Film, Jawara, Semiotika
7
ABSTRACT
Arya Dwi Cahyo. NIM 6662121464/2016. THESIS. Representation Meaning of
Jawara in the Film Jawara Kidul (Semiotic Analysis of Roland Barthes).
University-level instructor I: Neka Fitria, S.Sos, M.Si. University-level instructor
II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.
Focus of this thesis is based on social reality in Banten, namely Jawara Banten.
Jawara is local elite who has grown from the colonial period until nowdays. Jawara
as local elite has strong influence in the field of culture and traditional customs. In
the Jawara’s expansion appears various stigma in society that caused the changes in
the meaning of a Jawara. The purpose of this research is to identify the characteristic
of Jawara and understand the meaning of Jawara in the film Jawara Kidul. This film
represents how characters Jawara as local elite in Banten which wrapped with genre
drama action. This research based on the semiotic analysis of Roland Barthes to
analyze with three stages, namely denotation, the connotation, and myths. The
meaning of denotation understood as meaning literally or the meaning of truth. While
the meaning of the connotation is the meaning of the hidden or implicit. And the
meaning of the myth is the meaning of the justification for a dominant value that
occurs on a period. The research method used is qualitative research with semiotic
analysis. The Unit of analysis used in this research is the film Jawara Kidul overall
as the research object which will be examined related to cinematography, the
appearance of the casts, sound and production design (location property, and
costume). This research concluded that in the denotation, Jawara was described as a
member of the society who play an important role in maintaining a village and
protect the weak peoples. In the connotation, Jawara was described as someone who
has the charismatic personality, physical and supernatural abilities also has the basic
of the religious knowledge. And the myth that was built in the film is associated with
various negative stigma in the society about a Jawara.
Keywords: Representation, Film, Jawara, Semiotic
8
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas Rahmat dan Berkah-
Nya ,yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu
(S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Skripsi ini memiliki banyak tantangan dalam proses penyelesaiannya.
Namun, berkat bantuan serta motivasi dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini
penulis menggucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Soleh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Bapak Darwis Sagita, S.I.Kom., M.I.Kom, selaku Sekertaris Jurusan Program
Studi Ilmu Komunikasi.
i
9
5. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si, selaku Pembimbing I skripsi yang telah
banyak membantu dalam memberikan masukan dan saran kepada Penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Teguh Iman Prasetya, SE., M.Si, selaku Pembimbing II skripsi yang
telah banyak membantu memberikan arahan dan masukan kepada Penulis
dalam proses menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu Isti Nursih, S.IP., M.I.Kom. selaku dosen pembimbing akademik
8. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu
yang sangat bermanfaat.
9. Semua staff dan pegawai di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa yang telah membantu Penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
10. Mama, Papa, Kakak, dan keluarga besar yang selalu memberikan doa,
dukungan dan semangatnya kepada Penulis dari awal hingga akhir
penyusunan skripsi ini.
11. Bayu, Hari, Juhendi dan Revandhika, Irma, Abdul, Deni, Erlin dan Ijong
sebagai sahabat seperjuangan mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini.
12. Rekan-rekan Himabe 2012 yang seru, menyenangkan dan selalu bersama-
sama selama berkuliah.
13. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2012 Program Studi Ilmu Komunikasi
Untirta yang selalu memberikan semangat dan pelajaran dalam hidup di dunia
perkuliahan.
ii
10
14. Komunitas Film Kremov Banten yang dengan sangat baik telah membantu
penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
15. Seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis
yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada semua
pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi
ini. Demikian yang dapat Penulis sampaikan. Mohon maaf jika masih terdapat
banyak kekurangan dalam skripsi ini. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.
Serang, November 2016
Penulis
iii
11
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 10
1.3 Identifikasi Masalah .......................................................................... 10
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 11
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................. 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 12
2.1 Komunikasi Massa ........................................................................... 12
2.2 Film ................................................................................................. 15
iv
12
2.3 Representasi ..................................................................................... 19
2.4 Jawara Banten .................................................................................. 21
2.4.1 Perkembangan Jawara Banten ................................................... 23
2.4.2 Kedudukan dan Peran Jawara ................................................... 25
2.5 Semiotika Film ................................................................................. 28
2.6 Semiotika Roland Barthes ................................................................ 32
2.7 Kerangka Berpikir ............................................................................ 40
2.8 Penelitian Terdahulu.......................................................................... 42
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 49
3.1 Metode Penelitian ............................................................................ 49
3.2 Paradigma Penelitian ........................................................................ 50
3.3 Unit Analisis .................................................................................... 51
3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 55
3.4.1 Observasi ................................................................................. 56
3.4.2 Dokumentasi ............................................................................ 56
3.4.3 Studi Pustaka ........................................................................... 57
3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................ 57
3.6 Instrumen Penelitian ......................................................................... 59
3.7 Jadwal Penelitian .............................................................................. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 61
4.1 Deskripsi Subjek Penelitian .............................................................. 61
4.1.1 Profil Film ............................................................................... 61
v
13
4.1.2 Penokohan dalam Film ............................................................ 62
4.1.3 Sinopsis Film ........................................................................... 63
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................. 64
4.2.1 Analisis Tanda Makna dalam Film Jawara Kidul .................... 62
4.3 Deskripsi Analisis Analisis Semiotik ................................................ 84
4.3.1 Makna Denotasi ...................................................................... 84
4.3.2 Makna Konotasi ...................................................................... 86
4.3.3 Makna Mitos ........................................................................... 88
4.4 Pembahasan ...................................................................................... 89
4.4.1 Film Sebagai Sarana Merepresentasikan Makna Jawara ........... 89
4.4.2 Perlawanan Stigma Negatif Jawara Melalui Film ..................... 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 98
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 98
5.2 Saran ................................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 101
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
\
vi
14
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger 30
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu 46
Tabel 3.1 Bahan Scene Analisis 52
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian 60
Tabel 4.1 Scene 1 Arena Sayembara 65
Tabel 4.2 Scene 2 Arena Sayembara 68
Tabel 4.3 Scene 3 Jalan Setapak 71
Tabel 4.4 Scene 4 Pendopo Kadusunan Kidul 73
Tabel 4.5 Scene 5 Pendopo Kadusunan Kidul 76
Tabel 4.6 Scene 6 Pendopo Kadusunan Kidul 79
Tabel 4.7 Scene 7 Lanpangan Terbuka 82
vii
15
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes 34
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 39
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir 42
Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes 58
Gambar 4.1 Poster Film Jawara Kidul 61
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banten sebagai wilayah yang terletak di bagian barat pulau Jawa, dikenal
karena sejarahnya yang berkaitan dengan berbagai hal mistis, pemberontakan, dan
juga orientasi keislaman masyarakatnya. Sepanjang sejarahnya terdapat tiga elit lokal
Banten yang cukup terkenal yaitu ulama, umaro dan jawara. Mereka menjadi elemen
penting di dalam masyarakat, tidak hanya pada masa kolonial, namun juga pada masa
kemerdekaan hingga saat ini.
Dalam perannya ulama dan jawara memiliki suatu otoritas tertentu yang tidak
dipunyai oleh para pemimpin formal (umaro), seperti Kepala Desa, dan Camat.
Meskipun demikian telah terjadi hubungan yang kuat dalam sistem pemerintahan dan
kemasyarakatan antara ketiga elite tersebut. Ketiga kekuatan yaitu ulama, jawara dan
umaro menjadi suatu konfigurasi kepemimpinan yang satu sama lain saling
menunjang. Ulama memiliki pengaruh kuat dalam bidang keagamaan, jawara
1
2
memiliki pengaruh kuat dalam bidang adat dan umaro memiliki pengaruh kuat dalam
jaringan kekuasaan pemerintahan.1
Namun dari ketiganya, jawara merupakan tokoh yang terbentuk dari
perpaduan pengaruh budaya lokal dan keagamaan yang kuat di wilayah Banten.
Jawara sebagai realitas sosial masyarakat Banten, yang telah menjadi suatu subkultur
di masyarakat. Sosoknya sudah mulai ada semenjak masa kolonial dan terus
berkembang hingga saat ini. Dalam perkembangannya kehadiran sosok jawara mulai
mengalami perubahan persepsi dalam masyarakat, hal tersebut didasari berbagai
stigma negatif yang muncul, tidak heran bahwa sebagian masyarakat memandang
bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk, selalu ingin menang sendiri dan untuk
mewujudkan keinginannya, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik. Sehingga
Ia dikenal sebagai subkultur of violence dalam masyarakat Banten.2 Pergeseran
makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19
ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan. Setidaknya
terjadi lebih dari 6 pemberontakan besar di Banten yang melibatkan kaum jawara
antara lain perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, pemberontakan Pandeglang (1811
M), peristiwa geger Cilegon atau dikenal dengan pemberontakan Petani banten (1888
M), Cikande Udik (1845 M), Peristiwa Kolelet (1866 M), pemberontakan Wakhia
1 Sunatra. Integrasi dan Konflik.Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Lokal. Srudi Kasus
Kepemimpinan Di Banten (Bandung: PPs Unpad, 1997), hal 124.
2 Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”, Alqalam Jurnal keagamaan dan
Masyarakat, (Vol. 25. No.3 September- Desember 2008), hal. 366.
3
(1850 M), sampai dengan pemberontakan Kommunis di Banten ( 1926 M).3 Hal ini
kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma
negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama.
Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi
masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan
perampok.
Peranan jawara dalam kehidupan masyarakat Banten dapat ditelusuri hingga
pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan kekuasaan kolonial sudah tidak
lagi efektif pada abad ke 19 M. Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten
oleh Dandles, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi
semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah
Banten terjadi kekosongan pemerintahan yang menyebabkan kekacauan, dari konflik
dan kekacauan inilah berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin
oleh tokoh masyarakat khususnya para kiai. Dari kondisi seperti inilah jawara muncul
dan tampil bersama para kiai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis
sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang kacau dalam menghadapi
pemberontakan terhadap pemerintahan Hindi Belanda.4
3 Fahmi Irfani. Jawara Banten Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. (Jakarta: YPM Press (Young
Progressive Muslim), 2011), hal 43
4 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), hal 65.
4
Jawara sendiri didefinisikan sebagai seseorang yang dekat dengan kiai karena
selain sebagai muridnya kiai, ia juga memiliki ilmu-ilmu kesaktian dan menguasai
ilmu persilatan.5 Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur tersendiri
yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, Sehingga jawara tidak
hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang
memiliki norma, nilai dan pandangan hidup yang khas. Selanjutnya karakter yang
dimiliki oleh para jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang
ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut
terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan.6
Berpijak dari realitas di atas, kehadiran sebuah film yang mengangkat nilai-
nilai kebudayaan daerah yang kuat, khususnya provinsi Banten yang identik dengan
sosok jawara menjadi suatu hal yang menarik, karena jarang sudah jarang ditemui.
Film Kremov Pictures sebagai salah satu rumah produksi asal Banten membuat
sebuah karya film berjudul “Jawara Kidul”, yang merupakan suatu film yang
mengangkat ciri khas kedaerahan. Film ini diproduksi oleh Kremov Pictures pada
tahun 2015, dengan genre aksi drama. Dalam film ini menceritakan tentang kisah
sebuah kadusunan kidul yang dipimpin oleh Abah Sugidiraja (Cak Purwo), suatu
ketika Abah membuka sayembara calon menantu khusus para jawara untuk puterinya,
Nyimas Ayu (Fauzyyah Angela) dengan tujuan agar Kadusunan Kidul terjaga dan
5 Tihami “Kiai dan Jawara di Banten” (Tesis Master, Universitas Indonesia, Jakarta,1992).
6 Fahmi Irfani. Op. Cit, hal 6.
5
tidak lagi timbul konflik. Sakti (Anton Chandra) dan Prabu (Tubagus Dian
Kurniawan) merupakan jawara yang bertarung memperebutkan Nyimas Ayu, namun
Abah akan memilih salah satu dari mereka yang merupakan jawara sesungguhnya.
Dan Pertarungan panjang dalam sayembara beralih menjadi dendam saat Abah
memutuskan memilih salah satu pemenangnya.7
Film Jawara Kidul ini merupakan film yang mencoba untuk memberikan
gambaran mengenai sosok jawara yang sudah cukup lama berkembang di wilayah
Banten. Terlebih seiring perjalanannya, pandangan masyarakat terhadap sosok jawara
perlahan berubah dan mulai dibayang-bayangi dengan berbagai stigma negatif yang
muncul mengenai sosok jawara. Melalui film ini masyarakat dapat melihat berbagai
pesan terkait nilai-nilai kejawaraan, yang dapat memberikan pemahaman berbeda
mengenai sosok jawara.
Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual yang
begitu populer saat ini. Media massa sebagai saluran komunikasi massa secara
sederhana memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi (to inform), mendidik
(educate), dan menghibur (entertaint).8 Dengan fungsinya yang begitu kompleks,
media massa seperti surat kabar, majalah, film, novel dan bentuk komunikasi lain
dapat berperan dalam segala aktivitas individual, maupun organisasi, termasuk
7 (http://www.kremovpictures.com/2015/02/jawara-kidul-produksi-terbaru-kremov.html, diakses tanggal 18
februari 2016).
8 Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal 54.
6
sebagai sumber informasi yang menciptakan suatu kerangka berpikir bagi
masyarakat. Media massa meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi
terdahulu.9 Selain itu media massa juga dapat menjadi suatu wadah penyampaian
informasi, media hiburan dan pendidikan, juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Oleh
karena itu media massa memiliki peran yang begitu besar dalam melakukan
perubahan sosial di masyarakat, melalui pesan yang disebar luaskan oleh media
massa.
Film berperan sebagai sarana yang digunakan untuk menghibur malalui jalan
cerita yang dihadirkan. Setiap film yang dibuat atau diproduksi tentu menawarkan
suatu pesan kepada para penontonnya, jika dikaitkan dengan kajian komunikasi,
sebuah film yang ada seharusnya memiliki efek yang sesui dengan pesan yang
diharapkan, agar inti pesan yang terkandung dapat tersampaikan kepada penontonnya.
Berkaitan dengan prasangka, peran media sangatlah penting dalam pembentukan
presepsi dalam suatu kelompok. Baik itu media cetak ataupun media elektronik,
keduanya merupakan sarana pendukung yang sangat dominan dalam membentuk
suatu prasangka di dalam masyarakat terlebih pada waktu sekarang ini.
Sebuah film bisa menjadi sebuah komunikator atau sebagai perantara dalam
komunikasi, hal ini dikarenakan sebuah film bisa berhubungan langsung dengan para
penontonnya. Bahkan dalam hal ini film bisa dibuat menjadi bahan representasi,
9 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal 31.
7
terlebih lagi dengan adanya alur, setting, pakaian, bahasa, gesture dan karakter dalam
tokoh yang kemudian mewakili atau disesuaikan dengan tema yang diangkat,
membuat film menjadi media yang menarik dan mudah dipahami. Hal ini berarti di
satu sisi media dapat digunakan sebagai alat penyebaran ideologi penguasa, alat
legitimasi dan alat pengontrol wacana publik. Namun, disisi lainnya media dapat
digunakan sebagai alat untuk membangun suatu kultur dan menjadi alat dimana
berbagai ideologi direpresentasikan. Film yang juga merupakan media komunikasi,
tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi
yang lain, film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari
realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos dan ideologi-ideologi dari
kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus dari medium.10
Keterwakilan terhadap sesuatu yang dimaknai merupakan hal yang dapat
dikaji, hal tersebut menyangkut mindset atau pola pikir khalayak kedepannya sebagai
orang yang akan memaknai kembali atas apa yang sudah coba dimaknai terlebih
dahulu. Dengan mengkaji, diharapkan dapat menggali lebih dalam akan semua makna
atau pesan, karena banyak pesan tak kasat mata yang perlu digali oleh peneliti
sehingga pesan yang diangkat ke khalayak melalui media massa khususnya film ini
dapat diambil secara maksimal. Dalam hal ini, film dijadikan bahan representasi
karena unsur-unsur didalam suatu film banyak memiliki nilai-nilai yang selalu
disandingkan dengan makna, mulai dari bahasa, atribut, latar atau setting dan lainnya.
10 Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application, (Jakarta: Salemba Humanika, 2008),
hal 128.
8
Representasi adalah proses pengkodean (encoding) dan memperlihatkan
(display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan posisi ideologis.11 Secara lebih
tepat representasi didefinisikan sebagai penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan
ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik. 12
Setiap orang dapat merepresentasikan sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Juga dapat merepresentasikan sesuatu berdasarkan tujuan dan kebutuhan
seseorang. Akan tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu, karena banyak hal yang
dapat mempengaruhi seseorang agar mampu dalam merepresentasikan sesuatu hal.
Terdapat nilai-nilai kebudayaan dalam suatu kehidupan masyarakat yang begitu
kompleks dengan berbagai kebiasaan dan pemikiran yang cenderung homogen dalam
memandang suatu hal. Membuat representasi atas suatu hal memerlukan pengkajian
yang mendalam, karena menyangkut suatu pemikiran seseorang terhadap sesuatu.
Dengan pengkajian yang dilakukan, diharapkan dapat menggali suatu pesan atau
makna yang terkandung. Karena pesan tidak selalu terlihat dengan kasat mata dan
memerlukan suatu analisis agar pesan yang disampaikan pada khalayaknya melalui
media massa khususnya dalam film dapat tersampaikan secara menyeluruh.
Sebagaimana film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling
penting dalam film adalah gambar dan suara. Kata yang diucapkan, ditambah dengan
11 James Lull. Media Komunikasi kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Terjemahan oleh A. Setiawan Abadi.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998).
12 Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal 3.
9
suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film. Sistem
semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda
ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.13 Tanda-tanda dapat berupa
audio (suara, bahasa verbal, dialog tokoh, musik, sound effect), serta tanda visual
(gambar, bahasa nonverbal/ gesture/ mimik wajah juga latar).
Jika dicermati lebih mendalam terkait dengan tanda-tanda yang dibagun
dalam film Jawara Kidul, terdapat tanda-tanda atau simbol yang menggambarkan hal
yang mengandung unsur nilai-nilai kejawaraan yang ditampilkan, baik oleh tokoh
maupun suasana yang dibangun dalam film tersebut. Setiap pesan yang disampaikan
dalam film tersebut meliputi pesan verbal dan non verbal yang bersifat simbolis dan
terdiri dari jaringan atau rangkaian tanda-tanda yang kompleks, hal tersebut dapat
terlihat dari berbagai adegan-adegan yang ditampilkan.
Secara keseluruhan, film Jawara Kidul penuh dengan simbol-simbol atau
makna tentang sosok seorang Jawara yang dibangun dalam film ini. Hal itulah yang
membuat peneliti merasa tertarik untuk menelitinya lebih lanjut. Pada penelitian ini
digunakanlah analisis semiotika dari Roland Barthes sebagai alat analisis, yaitu
sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini
didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan komunikasi.
13 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, ( PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006), hal 128.
10
Berdasarkan latar belakang di atas, membuat peneliti tertarik untuk
mengeksplorasi lebih mendalam tentang bagaimana representasi makna jawara dalam
film “Jawara Kidul”. Film ini memiliki banyak unsur-unsur untuk diteliti, dan
dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika sebab film merupakan suatu
bidang komunikasi yang cukup relevan untuk dianalisis dengan teori semiotika.
Setiap pesan yang disampaikan dalam film dapat meliputi pesan verbal dan non
verbal yang bersifat simbolis dan terdiri dari rangkaian tanda-tanda yang kompleks
serta memiliki arti.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, Penulis membuat rumusan
masalah penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana representasi makna jawara dalam film Jawara Kidul?”
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul?
2. Bagaimana makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul?
3. Bagaimana makna mitos sosok jawara dalam film Jawara Kidul?
11
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul.
2. Untuk mengetahui makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul.
3. Untuk mengetahui makna mitos sosok jawara dalam film Jawara Kidul.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Aspek Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
untuk perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media massa
yang akan mengkaji bagaimana sebuah film merepresentasikan sesuatu.
1.5.2 Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau
pemahaman mengenai representasi makna jawara yang digambarkan dalam
film Jawara Kidul. Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi para
pembuat film untuk dapat menghasilkan film yang berkualitas.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Massa
Menurut Gerbner yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi massa
adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar
orang.14
Sementara itu, menurut Black dan Whitney (1988) dalam Nurudin
disebutkan, Komunikasi massa adalah sebuah proses di mana pesan-pesan yang
diproduksi secara massal itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas,
anonim, dan heterogen.15
Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W. Gamble
dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa.
Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai komunikasi massa jika
mencangkup hal-hal sebagai berikut:16
a. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern
untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak
14 Jalalludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hal 188.
15 Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal 12
16 Ibid, hal 8-9.
12
13
yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula
antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau gabungan di antara media
tersebut.
b. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya
bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak
saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam
komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi
yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu
sama lain.
c. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan
diterima oleh banyak orang. Karena itu diartikan milik publik.
d. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti
jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak
berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya
berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba.
e. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya,
pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah
individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. Ini
berbeda dengan komunikasi antar pribadi, kelompok atau publik di mana
yang mengontrol bukan sejumlah individu. Beberapa individu dalam
14
komunikasi massa itu ikut berperan dalam membatasi, memperluas pesan
yang disiarkan.
f. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis
komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya, dalam
komunikasi antar personal. Dalam komunikasi ini umpan balik langsung
dilakukan, tetapi komunikasi yang dilakukan lewat surat kabar tidak bisa
langsung dilakukan alis tertunda (delayed).
Komunikasi massa memiliki beberapa fungsi bagi masyarakat, menurut Black
dan Whitney yang dikutip oleh nurudin, yaitu (1) to inform (menginformasikan), (2)
to entertain (memberi hiburan), (3) to persuade (membujuk), (4) transmission of the
culture (transmisi budaya).17
Lalu jika dipandang dari segi efeknya, komunikasi
massa dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Secara Sederhana Stamm dan Bowes
(1990 dalam Nurudin) membagi kedua bagian dasar yaitu:18
Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Terpaan
media massa yang mengenai audience menjadi salah satu bentuk efek primer. Akan
tetapi lebih bagus lagi jika audience tersebut memperhatikan pesan-pesan media
massa tersebut dengan baik media cetak maupun media elektronik. Ketika kita
memperhatikan berarti ada efek primer yang terjadi dalam diri kita. Bahkan jika kita
17 Ibid, hal 64.
18 Ibid, hal 206.
15
memahami apa yang disiarkan oleh media massa itu sama saja semakin kuat efek
primer yang terjadi.
Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan
pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). Menurut
Bittner, fokus utama efek ini adalah tidak hanya bagaimana media memengaruhi
audiens, tetapi juga bagaimana audiens mereaksi pesan-pesan media yang sampai
pada dirinya. Efek sekunder itu adalah perilaku penerima yang ada di bawah kontrol
langsung komunikator.
2.2 Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian film secara fisik berarti
selaput tipis yang terbuat dari seluloid untuk gambar negatif (yang akan dibuat potret)
atau untuk tempat gambar positif (yang dimainkan di bioskop).19
Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, menyatakan film adalah
karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang
dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertunjukkan.
19 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal 97.
16
Oey Hong Lee dalam Sobur menyebutkan:
“film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia,
mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan
lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar
sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film
dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati , karena ia
tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi
yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam
abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Dan mencapai puncaknya diantara
Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun kemudia merosot tajam setelah
tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi”.20
Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, bahwa film dibangun dengan tanda
semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk sebagai sistem tanda yang bekerja sama
dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis,
rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu,
bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama
digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.21
20 Alex Sobur, Op.Cit, hal. 126.
21 Ibid, hal 128
17
Film secara struktur terbentuk dari sekian banyak shot, scene dan sequence.
Tiap shot membutuhkan penempatan kamera pada posisi yang paling baik bagi
pemandangan mata penonton dan bagi setting secara action pada saat tertentun
dalam perjalanan cerita, itulah sebabnyaseringkali film disebut gabungan dari
gambar-gambar yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang utuh yang bercerita
kepada penontonnya. Sebagai alat komunikasi massa untuk bercerita film memiliki
beberapa struktur, yaitu22
:
a. Shot selama produksi film memiliki arti proses perekaman gambar sejak
kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga diistilahkan
satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot setelah film telah jadi
(pasca produksi) memiliki arti rangkaian gambar utuh yang tidak terinterupsi
oleh potongan gambar (editing).
b. Adegan (scene), adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita
yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang ,
waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri
dari beberapa shot yang berhubungan.
c. Sequen (sequence), salah satu adegan besar yang memperlihatkan satu
rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa
adegan saling berhubungan.
22 Himawan Pratista. Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), hal. 29
18
Dalam pembuatan film diperlukan proses pemikiran dan proses teknis. Proses
pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan dikerjakan. Sedangkan
proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau
cerita menjadi film yang siap ditonton. Sebagai seorang pembuat film yang akan
menuangkan ide dalam sebuah karya film, penting untuk mengetahui jenis-jenis film
sesuai karakteristiknya. Adapun pengelompokan film menurut Ardianto dan Komala
antara lain:23
a. Film Cerita, jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di
gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan didistribusikan sebagai
barang dagangan.
b. Film Berita, film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi, terdapat
nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak.
c. Film Dokumenter, karya ciptaan mengenai kenyataan, hasil interpretasi
pembuatnya mengenai kenyataan dari film tersebut.
d. Film Kartun, film animasi yang segmentasi utamanya adalah anak-anak.
Namun semua kalangan juga menyukai dikarenakan sisi kelucuan yang
biasanya tak lepas hadir dalam tiap tayangannya.
Sebagai media massa umumnya film merupakan cermin atau jendela masyarakat
dimana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku pada
23 Elvinaro Ardianto, Komala. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004),
hal 138.
19
masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Film juga berkuasa
menetapkan nilai-nilai budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh masyarakat,
bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun.24
Film juga sebagai satu bentuk
komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari cerita yang
ditayangkan.
2.3 Representasi
Representasi dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia merupakan gambaran
atau perwakilan.25
Representasi adalah bagaimana dunia ini dikonstruksikan dan
direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita.26
Representasi secara definisi
lain adalah proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik.27
Representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses
dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan
kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia itu sendiri yang juga terus bergerak
dan berubah.28
Istilah representasi merupakan penggambaran (perwakilan) kelompok-
kelompok dan institusional sosial. Penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan
24 Deddy Mulyana. 2008. Komunikasi Massa Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Widya Padjajaran. Hal.
89
25 M. Dahlan Al-Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola, 1994), hal 574.
26 Chris Baker. Cultural Studies Theory and Practice. (London: Sage Publication, 2000), hal 8.
27 Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Skripsi Komunikasi,
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal 122.
28 Ibid, hal 123.
20
tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (atau
nilai) dibalik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah suatu jubah yang
menyembunyikan bentuk makna seseungguhnya dibalik yang ada di baliknya29
Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan,
atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Dalam kajian semiotika,
istilah representasi menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena semiotik bekerja
dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menggabungkan,
menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindra,
dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.30
Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda
(gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret
atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diinderakan, dibayangkan. Dengan atau
dirasakan dalam benda fisik tertentu. Menentukan makna bukanlah perkara yang
mudah, konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat , tujuan pembuatannya dan
sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan.
Representasi merupakan bentuk konkret (petanda) yang berasal dari konsep
abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa
representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik.
Karena representasi tidak terhindar untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga
29 Burton, Graeme. Membicarakan Televisi, (Yogyakarta & Bandung: JalaSutra, 2007), hHal. 41-42
30 Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal 24.
21
beberapa tanda tertentu lebih istimewa dari pada yang lain, ini terkait dengan
bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan
dalam percakapan sehari-hari.31
2.4 Jawara Banten
Asal kata “jawara” berarti juara atau jagoan yang berarti pemenang, yang
ingin dipandang hebat.32
Sejarah munculnya Banten tidak bisa dilepaskan dari
persoalan kaum jawara. Munculnya kelompok masyarakat yang hingga sekarang
masih dikenal, telah melalui proses sejarah yang panjang. Pada abad ke19, ketika
tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, muncul
perlawanan-perlawanan yang melibatkan para kiai. Para kiai umumnya mempunyai
dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuannya. Pertama
adalah santri yang mempunyai kemampuan atau bakat dibidang ilmu agama. Dan
yang kedua adalah para santri yang mempunyai bakat yang berkaitan dengan ilmu
beladiri. Oleh karena itu mereka dibina dalam hal kekuatan fisik. Golongan santri
kedua inilah yang kemudian disebut jawara.33
31 John Hartley. Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta, Jalasutra, 2009), hal
256-257.
32 Pius A. Parttanto dan M Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: ARKOLA, 2001), hal 284.
33 Nina Lubis. Banten Dalam Pengumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara. (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hal
127.
22
Jawara dalam kehidupan sosial dan kultur budaya Banten dapat dikatakan
sebagai simbol budaya lokal. Sebagai sebuah kelompok yang bersumber dari tradisi
lokal, komunitas jawara mencerminkan kultur dan budaya yang berbeda dari daerah-
daerah lain di Indonesia. Peranan sosial yang dilakukan jawara adalah seputar
kepemimpinan tradisional informal antara lain: berperan sebagai Kepala Desa (Jaro),
penjaga keamanan, kiai ilmu hikmah, pemain debus dan guru silat.34
Karakter jawara
dapat diamati dari tampilan yang militan, patriotik, dan bahkan fanatik yang
memunculkan sikap membela dan berani yang memotivasinya untuk kepentingan
bersama dalam menegakan kebenaran dan keadilan yang dilandasi oleh sifat kesatria,
jujur, patuh, konsisten, ulet yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran agama dan moralitas
warisan leluhurnya.
Sosok jawara memiliki karakter yang khas, ia cukup terkenal dengan seragam
hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan
setiap persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai
sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan
sombong), terbuka dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia
memiliki kekuatan fisik dan supranatrual.35
Jawara sendiri dapat didefinisikan sebagai
murid kiai yang memiliki keberanian dan kemampuan bela diri dalam mengolah
tubuh dan tenaga dalam, seperti halnya ilmu kekebalan tubuh, ilmu brajamusti,
34 Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 175
35 M.A. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten: Studi Tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan di Desa
Pesanggrahan Serang Banten (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992).
23
kanuragaan, kekuatan magis dan kewibawaan kharisma, selain itu Ia melakukan
aktivitas kegiatan sosial dengan spirit perjuangan, membela rakyat lemah dan
semagat heroisme.36
Dalam proses dinamika masyarakat Banten terdapat salah satu tokoh atau
pemimpin tradisional yang sangat berpengaruh dan memiliki status sosial yang
dihormati dan disegani yakni jawara. Oleh karena itu Banten sering diidentikan
dengan kejawaraannya dan masyarakatnya yang religius, ditandai dengan
komitmennya pada praktek ritual dan simbol-simbol keislaman. Demikian pula
dengan nilai-nilai kejawaraan yang ditanamkan seperti keberanian menghadang
musuh, tidak pantang menyerah, kesetiaan terhadap kelompok, kewajiban untuk
menjaga kehormatan atau harga diri.37
2.4.1 Perkembangan Jawara Banten
Dari semenjak kemunculannya pada masa kolonial, Jawara berkembang dan
terus menunjukan eksistensinya dari masa ke masa hal tersebut dapat dilihat sebagai
berikut:
36 Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 25
37 Saefudin. Jawara banten (Studi Kepemimpinan Tradisional di Desa Tegal Sari, Kec. Walantaka, Kab Serang).
Yogyakarta, 2009, hal 2.
24
a. Jawara Pada Masa Kolonial
Pada hakikatnya jawara ini umumnya merupakan kelompok para kiai yang
mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai kemampuan
mereka. Pertama, yang mempunyai kemampuan atau bakat di bidang ilmu
agama sehingga kelak menjadi ulama. Kedua, para santri yang memiliki
kemampuan yang berkaitan dengan beladiri. Karakter jawara pada awalnya
merupakan ekspresi ketundukan kepada kiai, karena pada abad ke-19 Jawara
bermula dari murid kiai. Oleh karenanya, menjadi hukum pantangan (kwalat)
bagi Jawara manakala Ia melawan kiai yang akan menyebabkan kehilangan
kekuatan magi. Hubungannya kyai dan jawara seperti hubungan anak-orang
tua, sehingga guru harus ditunduki dan dihormati.38
b. Jawara Pada Masa Orde Baru
Pada rezim Orde Baru jawara dilirik sebagai entitas lokal yang memiliki
peranan sosial kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten. Jika kiai
dilirik sebagai mesin politik dalam domain religiusitas kepemimpinan, maka
jawara memiliki potensi dalam bidang keamanan, kepemimpinan, dan
menjaga stabilitas politik di daerah tersebut. Dimana bahwa kekuatan yang
38 Tihami, Kyai dan Jawara Banten: Studi tentang Agama, magi, dan kepemimpinan di Pesanggrahan Serang,
Banten,(Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992) hal 21.
25
cukup dominan di Banten bukan hanya sekedar para kiai melainkan jawara
juga merupakan sumber kekuatan politik.39
c. Jawara Pada Masa Reformasi
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru kelompok jawara Banten melebarkan
sayap pengaruh dan posisinya. Kelompok Jawara dekat dengan kalangan
penguasa. Kedekatan ini tidak lepas dari rekayasa politik Orde Baru yang
memainkan peran sentral dalam mengkondisikan peranan jawara. Pada era
reformasi ini, relasi hubungan terjalin antara kelompok jawara dengan
pemerintahan lokal setempat, dapat dikatakan mendominasi.40
2.4.2 Kedudukan dan Peran Jawara
Jawara dalam perkembangannya memiliki kedudukan dan peran yang cukup
penting dalam sejarah Banten. Diantaranya kedudukan tersebut adalah:
a. Jawara Sebagai Pemimpin Guru Silat
Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di
dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal
istilah “peguron” atau”padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung Karang,
39 Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 117
40 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca Orde Baru (Jakarta: Dian
Rakyat, 2009), hal 89.
26
Pandeglang.41
Pada masa lalu tradisi persilatan nampaknya menjadi
kebutuhan bagi individu-individu tertentu untuk mempertahankan kehidupan
dirinya dan kelompoknya. Oleh karena itu pada masa lalu masyarakat yang
tinggal di daerah-daerah terpencil dan sangat rawan tentunya membutuhkan
keberanian dan memiliki kekuatan fisik yang baik. Inilah yang yang
medorong setiap individu berusaha membekali dirinya dengan kemampuan
beladiri dengan belajar persilatan. Jawara yang juga dimaknai “juara” atau
“pemenang” dikenal sebagai sosok yang ditakuti oleh lawan dan kawan dapat
dipastikan karena memiliki keunggulan dalam keberanian menaklukan lawan-
lawannya. Kemampuan untuk itu pasti ditunjang oleh kelihayan dalam ilmu
persilatan atau bela diri serta dalam memainkan senjata yang dimilikinya yaitu
golok. jawara yang malang melintang dalam dunia persilatan, pada masa
tuanya mendirikan peguron atau padepokan persilatan di dekat tempat
tinggalnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengajari ilmu-ilmu persilatan kepada
anak-anak muda yang berada disekitar tempat tinggalnya.42
b. Jawara Sebagai Pemimpin Guru Ilmu Batin (Magis)
Seorang jawara yang menjadi guru ilmu-ilmu biasanya sudah dikenal
kesaktiannya di kalangan jawara dan masyarakat. Oleh karena itu banyak
41 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia,
(Bnadung:Mizan, 1999), hal 25.
42 Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”. Alqalam Jurnal Keagamaan dan
Masyarakat, (Vol. 25. NO. 3 September - Desember 2009), hal 376.
27
masyarakat setempat yang berguru mempelajari ilmu persilatan atau meminta
pertolongan dalam hal pengobatan. Sumber-sumber magi itu bersumber dari
tarekat-tarekat yang populer dan sebagian lain dari tradisi animisme. Bentuk-
bentuk ilmu yang sering dipergunakan oleh para jawara adalah brajamusti
(kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (pengendali sesuatu
jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau
dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan
kembali orang yang hilang atau kabur) dan sebagainya.43
c. Jawara sebagai pemimpin debus (sebi budaya Banten)
Kepemimpinan jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah kesenian
debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang
dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Debus berasal dari kata
“dabbus” yang artinya jarum tusuk, yakni permainan yang menunjukan
kekebalan tubuh seseorang terhadap senjata tajam dan api. Kepemimpinan
jawara dalam kesenian debus harus bertanggung jawab atas keseluruhan
anggota dalam suatu pertunjukan. Dari tahap persiapan, pemimpin
menentukan siapa yang akan turun dalam suatu pertunjukan, ia adalah orang
43 Saefudin. Jawara banten (Studi Kepemimpinan Tradisional di Desa Tegal Sari, Kec. Walantaka, Kab Serang).
Yogyakarta, 2009, hal 63-64
28
yang dituakan dan disepuhkan di kelompoknya, dan memiliki ilmu lebih
tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.44
2.5 Semiotika Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-
mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik
untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian
gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.45
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda, yang paling penting dalam
film adalah gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya
sendiri yaitu melalui mediumnya, cara membuatnya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor atau layar. Film dan televisi memiliki bahasanya
sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu sendiri atas
semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-
up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran
gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan
(dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek
khusus (special effect).46
Semiotika sebagai bagian dari kajian bidang ilmu
44
Ibid, hal 67
45 Alex Sobur, Op.Cit, hal. 128.
46 Ibid, hal 130-131.
29
komunikasi yang berada dalam wilayah tanda, dapat digunakan sebagai suatu cara
untuk mengkaji terkait film. Pengkajian film dilakukan melalui sistem tanda, yang
terdiri dari bentuk verbal maupun nonverbal.
Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en scene
yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan aktor pada set (blocking),
serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan
sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise en scene berarti
menempatkan sesuatu pada layar, unsur-unsurnya antara lain actor‟s performance
yang terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang
diucapkan oleh pemain film, dan movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan
yang dilakukan oleh pemain film.47
Selain itu mise en scene juga terdiri dari unsur suara (sound). Sound yaitu
latar belakang suara pemain, lagu, sound effect, atau nat sound (suara di sekeliling
pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar.
Adapun kategori suara antara lain: spoken word berupa perkataan, komentar, dialog,
maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua suara selain
ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbolisasi
keadaan. Serta, music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk
membantu transisi antara sequence, membentuk susana latar tempat, membentuk
kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfer, menambah kesan
47 David Bordwell and Kristin Thompson. Film and Art: An Introduction. (New York, Graw Hill, 1993), hal 45.
30
dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal.48
Unsur selanjutnya
dalam mise en scene yaitu production design. Production design yang terdiri dari
setting berupa lokasi pengambilan gambar, property berupa segala peralatan atau
barang yang mendukung pelaksanaan produksi film, dan costume berupa segala
pakaian yang dipakai oleh pemain film.49
Penerapan metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan media
televisi. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan
bahasa verbal, gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide pada orang.
Aspek-aspek yang diperhatikan dari medium yang berfungsi sebagai tanda, untuk
membedakan sebagai pembawa tanda. Apa yang menarik dari TV adalah
pengambilan gambar dari kamera yang dilakukan.50
Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger
Penanda
(pengambilan gambar)
Definisi Penanda (makna)
Close Up Hanya Wajah Keintiman
Medium Shoot Hampir Seluruh Tubuh Hubungan Personal
Long Shoot Setting Karakter Konteks, skope, jarak
Semiotika film publik
48
Ibid, hal 46
49 Ibid,
50 Artur Asa berger. Media Analysis Techniques. (Yogyakarta: Andi Offset, 1999), hal 33
31
Full Shoot Seluruh Tubuh Hubungan sosial
Penanda
(penggerakan kamera)
Definisi Penanda (makna)
Pan Down Kamera mengarah ke
bawah
Kekuasaan,
kewenangan
Pan Up Kamera mengarah ke atas Kelemahan, pengecilan
Dolly In Kamera mengarah ke dalam Observasi, fokus
Penanda
(teknik penyutingan)
Definisi Petanda (makna)
Fade In Gambar kelihatan pada layar kosong Permulaan
Fade Out Gambar di layar menjadi hilang Penutupan
Cut Pindah dari gambar satu ke yang lain Kebersambungan,
menarik
Wipe Gambar terhapus dari layar “Penutupan”
kesimpulan
Sumber: Arthur Asa Berger, 2000. Media Analisis Techniques. Hal 34-35.
Hal di atas menunjukan semacam “tata bahasa” televisi seperti pengambilan
gambar, kerja kamera, dan teknik penyuntingan. Hal tersebut membantu untuk
memahami apa yang terjadi pada sebuah program. Terdapat pula hal lain yang
32
mungkin juga menarik, seperti teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara,
dan musik. Semua penanda tersebut dapat menolong untuk menerjemahkan apa yang
dilihat dan yang didengar dari televisi.
2.6 Semiotika Roland Barthes
Kata “Semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda”
atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasikdan
skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih
bermakna sesuatu hal yang menunjukan pada adanya hal lain.51
Semiotika berusaha
mengali hakikat yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang
mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini
kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti
penunjuk (denotative). Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan
semiotik pada dua makna tersebut adalah Roland Barthes.
Barhes adalah pakar semiotik Prancis yang pada tahun 1950-an menarik
perhatian dengan telaahnya tentang media dan budaya pop menggunakan semiotik
sebagai alat teoritisnya. Tesis tersebut mengatakan bahwa struktur makna yang
terbangun di dalam produk dan genre media diturunkan dari mitos mitos kuno, dan
berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama dengan
signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual keagamaan.
Semiotika dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari
51 Alex Sobur, Op.Cit, hal 16.
33
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to
signify) dalam hal ini dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.52
Representasi menurut Barthes menunjukan bahwa pembentukan makna
tersebut mencangkup sistem tanda menyeluruh yang mendaur ulang berbagai makna
yang tertanam dalam-dalam di budaya barat misalnya, dan menyelewengkannya ke
tujuan komersil. Hal ini kemudian disebut sebagai struktur.53
Sehingga dalam
semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna denotasi, konotasi, dan
mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan
mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out,
rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga
menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut
fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai
penciptaan mitos.
Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
52 Ibid, hal 15
53 Marcel Danesi, Op.Cit, hal 8
34
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two Order of Signification”
(Signifikansi Dua Tahap).
Gambar 2.1 Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hal 88
Melalui gambar di atas, Barthes seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah
tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi. Konotasi
adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Pada signifikasi tahap kedua
yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.54
54 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis
Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal 128.
35
a. Makna Denotasi:
Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan
sebagainya. Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna
denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah
sistem signifikansi tahap pertama. Signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap
realitas eksternal, dan dalam semiotika Barthes, ia menyebutnya sebagai
denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Maka dalam konsep Barthes,
tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Dalam hal ini, denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna55
. Menurut
Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada
kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran56
.
Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikan sebagai makna harfiah,
makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan dengan referensi atau
acuan. Proses signifikasi denotasi biasanya mengacu pada penggunaan bahasa
dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Dalam semiologi Roland
Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, yang
kemudian dilanjutkan oleh sistem signifikasi konotasi yang berada di tingkat
kedua.
55 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hlm 70.
56 Ibid, hal 263
36
b. Makna Konotasi:
Makna yang memiliki sejarah budaya di belakangnya yaitu bahwa ia hanya
bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah
mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti puisi,
novel, komposisi musik, dan karya-karya seni. Istilah konotasi digunakan
Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Kata “konotasi” sendiri
berasal dari bahasa Latin, “connotare” yang memiliki arti “menjadi tanda”
serta mengarah pada makna-makna kultural yang terpisah dengan kata atau
bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Makna konotatif adalah gabungan antara
makna denotatif dengan segala gambar, ingatan dan perasaan yang muncul
ketika indera kita bersinggungan dengan petanda. Sehingga akan terjadi
interaksi saat petanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta
nilai-nilai dari kebudayaannya. Jika ditelaah melalui kerangka Barthes,
konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut sebagai mitos serta
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada
makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya, oleh
karena itu dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Jika denotasi
sebuah kata dianggap sebagai objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah
kata dianggap sebagai makna subjektif atau emosionalnya. Arthur Asa Berger
menyatakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal
37
yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif
dalam pengertian bahwa terdapat pergeseran dari makna umum (denotatif)
karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu57
. Kalau makna denotatif
hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa
dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil.
c. Mitos:
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebut dengan mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode
tertentu, jadi mitos memiliki tugasnya untuk memberikan sebuah justifikasi
ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi.
Dalam Alex Sobur (2009:71) Budiman mengatakan pada kerangka Barthes,
konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan
memiliki fungsi untuk memberikan pembenaran bagi nilai nilai dominan yang
berlaku pada periode tertentu58
. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos biasanya dianggap sama dengan
dongeng, dan dianggap sebagai cerita yang aneh serta sulit dipahami
maknanya katau diterima kebenarannya karena kisahnya irasional (tidak
masuk akal). Namun, berangkat dari ketidakmasuk akalan tersebut lah
57 Ibid
58 Ibid, hal 71
38
akhirnya muncul banyak penelitian tentang mitos yang melibatkan banyak
ilmuwan Barat. Mereka menaruh minat untuk meneliti teks-teks kuno dan
berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan
berbagai suku bangsa di dunia. Dalam mitos pula sebuah petanda dapat
memiliki beberapa penanda. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik
dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi
untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola
tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang
unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya
atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran
kedua.59
Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk
menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos
sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melaui
sejarah tertentu maknanya, peredaran mitos mesti dengan membawa
sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya mencoba
menyangkal hal tersebut, dan menunjukkan maknanya sebagai alami, dan
bukan bersifat historis atau sosial.60
Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan
disajikan oleh sebuah wacana. Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola
59 Alex Sobur, Op.Cit, hal 71.
60 John Friske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007), hal 122
39
tiga dimensi yang disebut Barthes sebagai: penanda, petanda, dan tanda. Ini
bisa dilihat dalam peta tanda Barthes berikut ini:
Gambar 2.2 Peta Tanta Roland Barthes
Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz dalam Sobur (2006: 69).
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material:
hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri,
kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang juga
1. Signifier 2. Signified
(penanda) (petanda)
3. Denotative Sign (tanda Denotatif)
4. Connotative Signifier
5. Connotative
Signified
(penanda Konotatif) (petanda konotatif
6. Connotative Sign (tanda konotatif)
40
melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat
berarti bagi penyempurnaan Semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan
dalam tataran denotatif.61
2.7 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan suatu hal yang penting untuk memberikan arah
penelitian dalam proses penelitiannya.62
Kerangka berpikir penelitian ini menjabarkan
realitas sosok jawara yang menjadi suatu subkultur masyarakat Banten. Realitas yang
ada disekitar kita tidak hanya dapat dilihat secara real, tetapi yang ada juga dapat
diangkat kedalam media massa seperti film. Film merupakan salah satu media
komunikasi yang tepat dalam penyampaian pesan melaui audi-visualnya. Kita dapat
menyaksikan representasi dari sebuah realitas yang terjadi di masyarakat dalam
bentuk karya yang disebut film. Disetiap karya film, terkandung pesan-pesan yang
sengaja ingin disampaikan oleh sang pembuat film.
Dibawah ini merupakan kerangka berpikir peneliti dalam melakukan
penelitian yang berjudul Representasi Makna Jawara dalam Film Jawara Kidul.
Dalam film Jawara Kidul ditemukan adegan-adegan yang mempunyai makna
tertentu. Berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes ditemukan sejumlah penanda
(signifier) dan petanda (signified) berupa setting lokasi, properti, aktor dan kostum
(mise en scene) dan penempatan kamera (sinematografi) dengan didukung dari audio,
61 Alex Sobur, Op.Cit, hal 69.
62 Sugiono. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Alfabeta, 2009), hal 92.
41
visual dan sejumlah tanda lainnya yang menunjukan representasi sosok jawara dalam
film tersebut.
Selanjutnya film yang telah dipilih peneliti sebagai objek penelitian akan di
analisis dengan menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes, dengan fokus
perhatian tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of
signification). Signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan
petanda dalam sebuah realitas. Barthes menyebutnya sebagai makna denotasi yaitu
makna yang nyata dari sebuah tanda. Peneliti melihat visual dan audio-visual berupa
perkataan dari tokoh.
Selanjutnya makna konotasi adalah istilah Barthes untuk menyebut
signifikansi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda
bertemu dengan perasaan atau emosi dari penonton serta nilai-nilai kebudayaan yang
dianut, peneliti akan melihat keterkaitan antara tanda yang terdapat dalam film
dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kemudian hasil analisis
untuk melihat singkronisasi apakah film Jawara Kidul mampu merepresentasikan
makna sosok jawara yang ada didalamnya.
42
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
2.8 Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya,
maka peneliti mengadakan peninjauan terhadap penelitian yang telah ada
sebelumnya, sebagai berikut:
1. Skripsi yang berjudul “Representasi Ibu dalam Film (Analisis Semiotika Film
Rindu Kami karya Garin Nugroho)”, yang disusun oleh Shuvia Rahma tahun 2007,
jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas
Realitas Sosial Jawara Banten
Film Jawara Kidul
Semiotika Film
Semiotika Roland Barthes
Denotasi Konotasi Mitos
Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul
43
Muhammadiyah Malang. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi deskriptif-
kualitatif. Subjek penelitiannya adalah film “Rindu Kami”. Objek penelitiannya
adalah scene yang menandakan bagaimana sosok seorang Ibu . Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori dari Roland
Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sosok Ibu yang
direpresentasikan dalam film Rindu Kami.
Film yang diangkat dalam penelitian ini merupakan film religi yang berkisah
tentang pencarian sosok Ibu oleh anak-anak disebuah pasar. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda penggambaran sosok Ibu dalam scene dan
tanda verbal yang ada dalam film Rindu Kami. Dari hasil analisis dapat dikemukakan
bahwa dalam film Rindu Kami PadaMu, Ibu direpresentasikan sebagai sosok yang
sangat menyayangi anaknya, penuh kehangatan, dan keramahan. Ibu juga
direpresentasikan sebagai sosok yang mampu mengerti kebutuhan dan keinginan
anak-anaknya. Dari representasi tersebut dapat disimpulkan bahwadalam film ini Ibu
direpresentasikan sebagai sosok dominan dalam rumah tanggayang selalu bisa
diandalkan oleh anggota keluarga lainnya. Petuah-petuah yang diajarkan Ibu kepada
anaknya menjadikan Ibu sebagai simbol moralitas bagi anaknya.
2. Skripsi yang berjudul “Representasi TKW Dalam Film Minggu Pagi di Victoria
Park”, yang disusun oleh Faiza Malia tahun 2010, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian ini
termasuk jenis penelitian studi deskriptif kualitatif. Subjek penelitiannya adalah film
“Minggu Pagi di Victoria Park”. Objek penelitiannya adalah scene yang menandakan
44
bagaimana sosok Waria yang ditunjukan melalui berbagai dialog atau adegan yang
ada dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori semiotika Roland Barthes.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sosok Waria yang
direpresentasikan dalam film a PLur.
Dalam Minggu Pagi di Victoria Park menceritakan tentang kehidupan dan
permasalahan para TKW yang mengadu nasib di negeri Hongkong. Dalam film ini
menceritakan bagaimana suka dan duka serta pejuangan para TKW dalam
menyelesaikan permasalahan yang menimpanya ditengah keterbatasan hidup di
negeri orang. Film ini merupakan film berdurasi 100 menit yang diproduksi oleh
Pic[k]lock Production pada tahun 2012.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda mengenai sosok
TKW yang direpresentasikan dalam scene dam tanda verbal yang ada dalam film
Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini menunjukan bahwa pertama, TKW bukan
hanya sosok yang identik dengan korban kekerasan melainkan terlihat bahagia dan
nyaman dengan pekerjaannya. Kedua, memperlihatkan sosok TKW yang modis dan
adanya fenomena lesbian diantara mereka. Ketiga, sosok TKW digambarkan bukan
hanya sebagai pahlawan devisa bagi negara tetapi juga pahlawan bagi keluarganya.
3. Skripsi yang berjudul “Makna Tanda Representasi Waria Dalam Film Kinky
Boots” (Analisis Semiotika Terhadap Film Kinky Boots Karya Julian Jarrold), yang
disusun oleh Kharisma Tri Saputra tahun 2010, Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah, Malang. Penelitian ini termasuk
45
jenis penelitian studi deskriptif-kualitatif subjek penelitiannya adalah film “Kinky
Boots”. Objek penelitiannya adalah scene yang menandakan sosok Waria yang ada
dalam film Kinky Boots. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis
semiotika Roland Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimanakah representasi sosok Waria yang dimunculkan dalam Film Kinky Boots.
Dalam film Kinky Boots menceritakan menceritakan perjalanan seorang anak
muda, Charlie Prince yang berusaha untuk memperjuangkan kelangsungan sebuah
bisnis pabrik sepatu dari ayahnya yang hampir bangkrut. Awalnya dia tidak menyukai
bisnis ini, akhirnya dia terpaksa harus melanjutkan pabrik ayahnya karena kematian
ayahnya. Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan perusahaan dan
kehidupannya sendiri. Memiliki masalah terhadap pegawainya, masalah dengan
pasangannya, sampai memiliki kenalan seorang Waria yang bernama Lola. Dari
banyak hal terjadi itu, tentunya membuat banyak perubahan besar dalam hidupnya
dan perusahaannya.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Film Kinky Boots memanfaatkan
nilai-nilai liberalism untuk kepentingan pencitraan positif dari Waria demi
mendukung keberadaan dan eksistensinya dalam masyarakat ini. Hal ini bias dilihat
dari scene-scene yang menggambarkan Waria dengan gambaran positif.
46
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
1. Nama Shuvia Rahma Faiza Malia Siti Khomsah
2. Judul Representasi Ibu
dalam Film
(Analisis Semiotik
Rindu Kami karya
Garin Nugroho)
Representasi TKW
dalam Film Minggu
Pagi di Victoria
Park
Makna Tanda
Representasi Waria
Dalam Film Kinky
Boots (Analisis
Semiotika
Terhadap Film
Kinky Boots Karya
Julian Jarrold)
3. Tahun 2007 2010 2010
4. Tujuan
Penelitian
Untuk mengetahui
bagaimana sosok
seorang Ibu yang
direpresentasikan
dalam film Rindu
Kami
Untuk mengetahui
bagaimana sosok
TKW yang
direpresetasikan
dalam film Minggu
Pagi di Victoria
Park
Untuk mengetahui
bagaimana
penggambaran
sosok Waria yang
terdapat dalam
Film Kinky Boots
5. Teori Semiotika Roland
Barthes
Semiotika Roland
Barthes
Semiotika Roland
Barthes
47
6. Paradigma Konstruktivis Konstruktivis Kritis
7. Hasil
Penelitian
Hasil penelitiannya
menggambarkan
bahwa sosok Ibu
merupakan sosok
yang mampu
mengerti kebutuhan
dan keinginan
anak-anaknya serta
sosok dominan
dalam rumah
tanggayang selalu
bisa diandalkan
oleh anggota
keluarga lainnya
Hasil penelitiannya
menggambarkan
bahwa sosok TKW
bukan hanya
identik sebagai
korban kekerasan,
TKW yang
digambarkan
memiliki
penampilan yang
modis dan
mencintai
pekerjaannya dan
sosok TKW bukan
hanya sebagai
pahlawan bagi
negara namun juga
bagi keluarganya
Terdapat tanda-
tanda
penggambaran
sosok Waria
seperti kedudukan
mereka yang bisa
lebih tinggi
dibandingkan
masyarakat, bias
mengalah demi
kepentingan
mayoritas, juga
berhak
menentukan apa
yang Ia mau dalam
menjalani
hidupnya mereka.
Selain itu juga
memiliki selera
48
yang tinggi, juga
mendapatkan
dukungan dari
kelompok yang
selama ini masih
konservatif.
49
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Riset kualitatif adalah
riset yang data-datanya berupa statement-statement atau pernyataan-pernyataan dan
berasal dari pendekatan interpretif (subjektif).63
Pendekatan kualitatif ini juga
bertujuan untuk mendapat pemahaman bersifat umum yang diperoleh setelah
melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian,
kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum tetang kenyataan-kenyataan
tersebut.64
Penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan
secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.65
Dipilihnya penelitian kualitatif, karena kemantapan peneliti berdasarkan
63 Rahmat Krisyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal 52.
64 Rosady Ruslan. Metodologi Penelitian Publik Relation dan Komunikasi. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hal 215.
65 Lexy Moleong. Metode Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal 6.
49
50
pengalaman penelitian sebelumnya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian
yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode
kuantitatif. Metode ini bersifat subjektif dalam arti mengekplorasi obyek penelitian
sehingga nantinya akan didapatkan pesan dan maksud pada setiap bagian dari
obyek yang diteliti.
Sifat penelitian yang diambil adalah jenis deskriptif. Metode penelitian
deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menekankan pengetahuan yang
seluas-luasnya terhadap objek penelitian pada saat tertentu.66
Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif karena, penelitian ini tidak untuk mencari atau
menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi melainkan
bertujuan membuat deskripsi yang secara sistematis, faktual dan akurat. Selain itu,
penelitian ini ditujukan juga untuk mengidentifikasi masalah, membuat perbandingan
atau evaluasi, serta pembelajaran atas sesuatu pengalaman.
3.2 Paradigma Penelitian
Penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Paradigma
konstruktivis, yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang
meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu
66 Indiawan Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2011), hal 11.
51
pengetahuan.67
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan kita adalah
konstruksi (bentukan) kita sendiri oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan (realitas).68
Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang
terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan
mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman
yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan
bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan
perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut.69
3.3 Unit Analisis
Unit analisis yang dipakai, yakni film Jawara Kidul yang digunakan peneliti
secara keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti. Unit analisis yang
dikenal sebagai unit produksi, yakni mise en scene yang terkait dengan segala sesuatu
yang tampil di kamera, baik penampilan pemain film, suara dan desain produk
(lokasi, properti dan kostum), serta sinematografi yang berkaitan dengan penempatan
kamera dalam film. Dalam film Jawara Kidul, terdapat 7 scene pilihan yang terdapat
67 Dedy N Hidayat. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. (Jakarta: Departemen Ilmu
Komunikasi FIFIP Universitas Indonesia, 2003), hal 3.
68 Indiawan Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2011), hal 10.
69 Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd edition. (Thousand Oaks, California:
Sage Publications, Inc, 2002), hal 96-97.
52
tanda-tanda makna jawara didalamnya yang tercermin dalam adegan dan isi dialog
film, kemudian nantinya akan dianalisis sesuai teori yang dipakai, berikut gambar
lengkapnya:
Tabel 3.1 Bahan Scene Analisis
No Visual Scene
1
Menit (05:50 - 08:12)
53
2
Menit (12:58 - 14:55)
3
Menit (19:52 – 20:45)
54
4
Menit (31:24 - 32:15)
5
Menit (38:21 - 38:45)
55
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk mengumpulkan data yang diperlukan dengan tujuan penelitian
maka penulis menggunakan bebrapa teknik dalam mengumpulkan data. Dengan
6
Menit (39:28 - 40:25)
7
Menit (42:56 - 43:07)
56
menggunakan beberapa cara itu diharapkan dapat memperoleh data yang
representatif. Teknik-teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data tersebut
meliputi:
3.4.1 Observasi
Metode observasi difokuskan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena
riset kualitatif yang mencangkup interaksi (perilaku) dan percakapan yang terjadi
diantara subjek yang diteliti.70
Lewat observasi ini, peneliti akan melihat sendiri
pemahaman yang tidak terucapkan, bagaimana teori digunakan langsung (theory in
use), dan sudut pandang responden yang mungkin tidak tergali saat wawancara.71
Peneliti melakukan kegiatan pengamatan melaui panca indera pada film Jawara
Kidul. Peneliti mencoba menemukan unsur representasi makna jawara melalui
pengamatan secara terfokus dan mendalam.
3.4.2 Dokumentasi
Dokumentasi adalah instrumen pengumpulan data yang sering digunakan dalam
berbagai metode pengumpulan data. Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang
mendukung analisis dan interpretasi data.72
Dokumen merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu. Dokumentasi yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian,
70 Rachmat Krisyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal
107.
71 Chaedar Alwasilah. Pokoknya Kualitatif. (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), hal 155.
72 Rahmat Krisyanto. Op.Cit, hal 118.
57
sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen
yang berbentuk karya, misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patun, film.73
Adapun dalam penelitian ini dilakukan dengan mendokumentasikan scene atau
adegan tanda yang terdapat dalam Film Jawara Kidul yang merepresentasikan sosok
seorang jawara yang terdapat dalam film tersebut.
3.4.3 Studi Pustaka
Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dan informasi dengan
menggunakan data yang diperoleh dari orang lain melalui penelitian sebelumnya, atau
yang diperoleh dari sumber tertulis yang terdapat dalam berbagai referensi buku,
surat kabar dan lain sebagainya.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis dalam penelitian kualitatif ini menggunakan analisis semiotik yaitu
metode penelitian untuk menafsirkan makna dari suatu pesan komunikasi baik yang
tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak tertulis/terucap). Makna yang dimaksud
mulai dari parsial atau sebagian saja hingga makna komprehensif atau luas. Metode
semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga dapat
diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-maksud
tertentu. Melalui analisis semiotika dapat dikupas tanda dan makna yang diterapkan
pada sebuah naskah pidato, iklan, novel, film, dan naskah lainnya. Hasil analisis
73 Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: Alfabeta, 2007), hal 82.
58
rangkaian tanda itu akan dapat menggambarkan konsep pemikiran yang hendak
disampaikan oleh komunikator, dan rangkaian tanda yang terinterpretasikan menjadi
suatu jawaban atas pertanyaan nilai-nilai ideologi dan kultural yang berada di balik
sebuah naskah.
Secara lebih rinci, uraian mengenai langkah-langkah analisisnya diolah dari
analisis semiotik Roland Barthes yang berkaitan pada tatanan signifikasi dua tahap
yaitu sebagai berikut:
Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes
Penelitian ini menggunakan analisis data dengan teknik analisis semiotik teori
Roland Barthes, yang menggunakan penekanan pada pemaknaan dari suatu sistem
tanda (kode) melalui sistem pemaknaan tingkat pertama atau yang biasa disebut
dengan denotasi, selanjutnya ke sistem pemaknaan tingkat kedua yang disebut
konotasi dan yang terakhir berupa pengungkapan mitos mengenai tanda serta simbol
makna jawara. Tahapan-tahapan dalam proses analisisnya adalah sebagai berikut :
59
1. Mengidentifikasi hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content)
di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal sebagai signifikansi tahap
pertama, disebut sebagai denotasi, yang terdapat dalam film Jawara Kidul dan
digambarkan melalui tanda - tanda yang terbentuk dalam scene dan dialog.
2. Mengidentifikasi hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content)
di dalam sebuah tanda terhadap perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-
nilai dari kebudayaannya sebagai signifikansi tahap kedua, yang disebut
sebagai konotasi.
3. Mengidentifikasi bagaimana kebudayaan (konotasi) menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas (denotasi) disebut sebagai mitos.
4. Menjelaskan pemaknaan berkenaan dengan kalimat yang merepresentasikan
makna jawara dalam film Jawara kidul.
5. Menarik suatu kesimpulan.
3.6 Instrumen Penelitian
Peneliti merupakan alat (instrumen) pengumpul data utama, karena peneliti
adalah manusia dan hanya manusia yang dapat berhubungan dengan responden atau
objek lainnya, serta mampu memahami kaitan gambaran-gambaran dalam suatu film.
Oleh karena itu, peneliti berperan sebagai subjek yang memaknai seluruh makna yang
tergambar karena segala sesuatunya belum mempunyai kepastian dan masih perlu
dikembangkan lebih lanjut. Sehingga hanya peneliti itu sendiri sebagai alat yang
dapat mencapainya.
60
3.7 Jadwal Penelitian
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
No Kegiatan
Mare
t
Ap
ril
Mei
Ju
ni
Ju
li
Agu
stu
s
Sep
tem
ber
Ok
tob
er
Novem
ber
Des
emb
er
Jan
uari
1 Pra Penelitian
2 Penelitian Bab
1-3
3 Pengumpulan
data
4 Penyusunan
Bab 4
5 Penyusunan
Bab 5
6 Pelaksanaan
Sidang
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripi Subjek Penelitian
4.1.1 Profil Film
Gambar 4.1 Poster Film Jawara Kidul
JAWARA KIDUL
Produksi : KREMOV PICTURES 2015
61
62
TIM KRU:
Sutradara : Darwin Mahesa / Ass Sutradara : Umu Salamah / Pengarah Seni : Nando
Sumarna / Pengarah musik : Yudhistira Kusuma - Chandra Saputra / Penata Suara :
Martin Romanyah / Pengarah Gaya : Chiko Averoes / Properti : TB. M. Saefullah -
Fitri Chaerunnia - M. Faisal / Penata Kamera : Juhendi - Ade Marzuki - Irwan
Ibrahim / Editor : Sofyandi / Make-up : Wildiana Aghnadya - Cici mahiyah -
Sarifatul Wardah / Penata Busana : Yana Ahmad Rifai - Khusnul Khotimah -
Elistiawati - Puji Rahayu / Casting Pemain : Meli Amelia - Ikhfal Wahyudin / Penata
Cahaya : Ridwan Sholeh - Ahmad Isrondi - Shendityas Anwar.
ORIGINAL SOUNDTRACK
“JAWARA SESUNGGUHNYA” Penyanyi : Anggini Putri / Penulis Lagu : Darwin
Mahesa / Musik : Yushitira Kuuma / Editor Musik Rekaman : Tya Subiakto Studio.
4.1.2 Penokohan Dalam Film
1. Tubagus Dian Kurniawan sebagai Prabu : Tokoh ini merupakan tokoh
utama dalam film ini, dia diceritakan sebagai salah satu jawara yang berasal
dari Kadusunan Kidul. Lalu sebagai Jawara ia dikenal sebagai sosok peduli
dengan Kadusunan Kidul dan menjadi tokoh yang disegani dan berkharisma
dimata warga Kadusunan.
2. Anton Chandra sebagai Sakti : Tokoh ini merupakan salah satu warga
Kadusunan Kidul yang dikenal oleh masyarakat sebagai Jawara setempat,
63
namun karena perbuatan buruknya, kemudian ia diusir dan tidak dianggap lagi
sebagai seorang Jawara.
3. Cak Purwo sebagai Abah Sugidiraja : tokoh ini merupakan seorang
pemimpin dari Kadusunan Kidul, dia dikenal sebagai orang yang bijaksana
dan bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai pimpinan Kadusunan.
4. Fauziyyah Angela sebagai Nyi Mas Ayu : tokoh ini merupakan salah satu
puteri dari Abah Sugidiraja yang ingin dijodohkan, melalui sebuah sayembara
yang diadakan antar jawara dari Kadusunan luar.
4.1.3 Sinopsis Film
Kisah bermula dari seorang pemimpin dari suatu Kadusunan Kidul yang
benama Abah Sugidiraja yang ingin mencarikan seorang pendamping bagi sang putri
yaitu Nyimas Ayu. Lalu untuk itu Abah mengadakan sayembara bagi para jawara dari
Kadusunan luar untuk menjodohkannya dengan sang puteri, karena ingin Kadusunan
Kidul terjaga dan tidak ada lagi konflik. Namun saat acara sayembara akan dimulai
tidak ada satupun jawara dari Kadusunan luar yang datang. Oleh karena itu Abah
memutuskan untuk membuka sayembara bagi jawara dari Kadusunan Kidul.
Kemudian munculah sosok Sakti dan Prabu yang ingin mengikuti sayembara
tersebut. Hingga saat ditengah pertarungan Abah menghentikan pertandingan karena
mengetahui bahwa penyebab jawara Kadusunan luar tidak datang karena telah
dibunuh oleh Sakti. Hal tersebut menyebabkan Sakti dikeluarkan dari pertandingan.
Lalu sejak saat itu, Prabu yang memenangkan sayembara tersebut tersebut, kemudian
64
menjadi sosok yang berpengaruh dan cukup disegani oleh warga Kadusunan Kidul,
karena sosoknya yang mampu melindungi dan menjaga Kadusunan dengan baik
dengan kemampuan beladiri yang dimilikinya. Disamping itu Sakti yang masih tidak
terima dengan kekalahannya dan menyimpan dendam atas kekalahannya telah
menyiapkan rencana untuk membalas kekalahannya tersebut dengan mecoba melukai
Nyimas Ayu, namun Prabu sebagai suami tidak diam untuk melindungi sang Isteri.
Sehingga terjadilah adu kekuatan diantara mereka.
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1 Analisis Tanda Makna dalam Film Jawara Kidul
Penelitian ini bertujuan untuk menetahui tanda-tanda bagaimana sosok jawara
direpresentasikan dalam film Jawara Kidul. Seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya pada bagian metodologi penelitian, bahwa peneliti akan menggunakan
analisis semiotika dari Roland Barthes. Dalam prosesnya peneliti akan mengawali
dengan menghubungkan adegan pada setiap scene, kemudian mengamati makna
tanda yang digunakan dalam film Jawara Kidul yang meliputi elemen visual dan
audio sebagai berikut:
65
Tabel 4.1
Scene 1 Arena Sayembara
Visual
Menit: (05:50 - 08:12)
Audio Type of Shot
Prabu: Maafkan aku
kakang, aku mencintai
Nyimas.
Sakti: Lancang kau
Prabu.
Prabu: Maafkan aku
Nyimas, aku tidak
mungkin bertarung
dengan kakakku
sendiri
Close Shot,
menampilkan wajah
Prabu yang kecewa
karena harus melawan
Sakti.
66
Nyimas: Tunggu
bukan kan aku yang
meminta kakang
untuk memenangkan
sayembara ini apalah
arti cinta kakang jika,
kakang menyerah
begitu saja.
Sakti: Bersiaplah
Prabu
Long Shot, Nyimas
Ayu berlari memanggil
Prabu yang akan
meninggalkan
Sayembara.
Lalu dimulailah
pertarungan antara
Sakti dan Prabu
Medium Shot, Sakti
dan Prabu memulai
pertarungan
Denotasi Prabu mendatangi arena sayembara untuk
mendapatkan cinta Nyimas Ayu
67
Konotasi Pertarungan adu kekuatan sesama jawara untuk
mendapatkan cinta Nyimas Ayu
Mitos Perkelahian sesama jawara merupakan lambang
kejantanan
Pengambilan scene dengan menggunakan teknik Close up, long shot dan
medium shot pada menit 5 lewat 50 detik ini berlatar belakang di sebuah arena
sayembara yang ada di Kadusunan Kidul. Penanda dalam adegan tersebut adalah
Prabu mendatangi suatu arena sayembara yang diadakan khusus bagi para jawara.
Petandanya adalah Prabu ingin mengikuti sayembara yang sedang diadakan untuk
memperjuangkan cintanya kepada seorang wanita yaitu Nyimas Ayu.
Makna denotasi dari adegan yang disajikan ini adalah memperlihatkan bahwa
Prabu sebagai jawara ingin mencoba untuk memperjuangkan cintanya dengan
mengikuti sayembara perjodohan Nyimas Ayu yang diadakan oleh sang ayah yaitu
Abah Sugidiraja. Sedangkan makna konotasi yang didapat adalah bahwa seorang
jawara merupakan sosok seorang petarung atau pendekar dengan berbekal
kemampuan fisik dan bela diri yang dimilikinya. Hal itu terlihat dari keinginan tokoh
Prabu sebagai seorang jawara dengan berani untuk turut serta dalam suatu sayembara
pertarungan agar bisa mendapatkan cinta yang diharapkannya. Sayembara tersebut
juga dapat diindikasikan sebagai bagian dari tradisi amprak jawara yaitu, pertarungan
adu kekuatan diantara para jawara, untuk mengetahui siapa yang lebih hebat. Di sisi
68
lain juga sayembara yang diadakan khusus bagi para jawara dapat mengindikasikan
bahwa sosok jawara merupakan seseorang yang sudah terlatih dalam hal ilmu bela
diri. Sedangkan makna mitos dalam adegan ini adalah perkelahian atau pertaruangan
yang dilakukan semama jawara antara Prabu dan Sakti merupakan suatu lambang
untuk menunjukan kejantanan sebagai seorang pria.
Tabel 4.2
Scene 2 Arena Sayembara
Visual
Menit (12:58 - 14:55)
Dialog / Scene Type Of Shot
Abah: “Cukup! jawara
bukanlah pembunuh
Sakti. Jawara adalah
pelindung bagi yang
lemah, jawara bersikap
kesatria untuk mencapai
tujuannya. Bukan dengan
cara yang licik. Pantas
saja tidak ada Jawara dari
Kadusunan luar yang
datang bukankah, kau
Medium Shot,
menampilkan wajah
Abah yang kesal, karena
mengetahui perbuatan
Sakti yang membunuh
Jawara Kadusunan luar
69
yang telah membunuh
mereka”
Sakti: Ya saya yang
membunuh jawara-
jawara itu, karena saya
tidak ingin mereka
menikahi Nyimas Ayu.
Close Up, Menampilkan
wajah Sakti yang merasa
malu dengan
perbuatannya
Denotasi Kemarahan Abah pada Sakti dan kemudian
menghentikan jalannya sayembara yang sedang
berlangsung antara Prabu dan Sakti
Konotasi Kemampuan fisik atau bela diri merupakan sebuah
simbol sebagai seorang jawara yang harus
digunakan dengan semestinya
Mitos Terkontaminasinya karakter jawara dengan aksi
premanisme
Pengambilan scene dengan menggunakan teknik medium shot pada menit 12
lewat 58 detik ini berlatar belakang di arena sayembara. Dalam adegan ini terjadi
percakapan antara Abah dan Sakti. Hal itu menggambarkan adanya hubungan
personal antara keduanya. Dari scene atau adegan yang tersaji dapat dilihat penanda
70
dalam adegan tersebut adalah percakapan antara Abah dengan Sakti. Sedangkan
petandanya adalah raut kemarahan Abah pada Sakti, sehingga membuatnya menegur
Sakti.
Dalam dialog tersebut secara denotasinya menggambarkan Abah yang kesal
dengan perbuatan Sakti yang telah membunuh para jawara dari Kadusunan luar yang
akan mengikuti sayembara. Scene ini memberikan gambaran ketidaksukaan Abah
atas perbuatan seorang jawara yang membunuh seseorang demi suatu ambisi tertentu.
Sedangkan makna konotasi yang didapat adalah bahwa sebagai seorang jawara yang
memiliki kemampuan fisik dan bela diri, seharusnya digunakan dalam hal kebaikan
dan tidak disalahgunakan dalam hal-hal yang negatif . Hal itu terlihat dari dialog
Abah “Jawara adalah pelindung bagi yang lemah, jawara bersikap kesatria untuk
mencapai tujuannya bukan dengan cara yang licik”. Kemudian mitos yang
didapatkan dalam adegan ini adalah karakter jawara telah terkontaminasi atau
terpengaruh dengan berbagai aksi premanisme, dimana jawara tidak segan untuk
melakukan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuannya. Dimana hal
tersebut tidak terlepas dari sejarah berbagai pemberontakan yang melibatkan kaum
jawara. Memang dengan kemampuan fisik dan bela diri yang dimiliki oleh seorang
jawara tentu rentan dipergunakan untuk hal-hal negatif, oleh karena itu tentu harus
diimbagi dengan kontol emosi yang baik jika tidak tentu jalan kekerasan akan
dilakukan demi memuluskan atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
71
Tabel 4.3
Scene 3 Jalan Setapak
Visual
Menit (19:52 – 20:45)
Dialog / Scene Type Of Shot
Prabu: “Hey lepaskan
Gadis itu”
Begundal: “Oh jadi ieu,
jagoan di Kadusunan
Kidul”
Medium Shot,
menampilkan Prabu
yang sedang menunjuk
ke arah para begundal
Prabu berusaha
menolong seorang gadis
yang akan diculik
dengan bertarung
melawan para begundal
Long shot, menampilkan
perkelahian antara Prabu
dan bedundal yang akan
menculik seorang gadis
Denotasi Prabu mencoba untuk menyelamatkan seorang
gadis yang akan diculik oleh para begundal
72
Konotasi Dengan kemampuan fisik seorang jawara memiliki
peran untuk menjaga keamanan Kadusunan
Mitos Jawara seharusnya menjadi penolong bagi wanita
sebagai kaum yang lemah
Adegan yang berlatar belakang di sebuah jalan setapak, pada menit 19 menit
lewat 52 detik diambil dengan menggunakan teknik medium shot dan long shot . Pada
gambar pertama, diperlihatkan penanda berupa percakapan Prabu dengan para
Begundal, “Hey lepaskan Gadis itu”. Kemudian petanda dalam gambar pertama
tersebut adalah keinginan Prabu untuk menolong seorang Gadis yang akan diculik.
Sedangkan pada gambar kedua, ditemukan penanda berupa perkelahian antara Prabu
dengan para Begundal dan petandanya adalah Prabu mencoba melindungi Gadis yang
lemah dari para Begundal.
Dari adegan tersebut, secara denotasi memperlihatkan pertarungan yang
dilakukan oleh Prabu dan para begundal. Jika melihat dalam scene ini sosok Prabu
sebagai jawara dengan kemampuan bela diri yang dimilikinya tidak segan untuk
membantu salah satu warga yang sedang dalam bahaya. Dari hal tersebut makna
konotasi yang didapat adalah peran dalam menjaga keamanan Kadusunan oleh jawara
dengan berbekal kemampuan fisik dan bela diri yang dimilikinya. Kemudian mitos
yang muncul adalah jawara sebagai seseorang yang berbekal kemampuan fisik dan
bela diri seharusnya dapat menjadi pelindung bagi wanita sebagai kaum yang lemah.
73
Tabel 4.4
Scene 4 Pendopo Kadusunan Kidul
Visual
Menit (31:24 - 32:15)
Dialog / Scene Type Of Shot
Abah: “Aku titipkan
kadusunan ini,
Sepeninggalku bimbing
semua warga ke jalan
yang benar”
Medium Shot,
menampilkan
percakapan antara
Abah, Prabu, Nyimas
dan para sesepuh
Kadusunan
Prabu: “Insya Allah
Abah”
Abah: “Aku yakin kelak
kau akan menjadi
seorang pemimpin yang
adil. Jaga istri dan calon
anakmu dengan baik”
Long Shot,
menampilkan suasana
pecakapan Abah,
Prabu, Nyimas dan
para sesepuh yang
sedang duduk di sebuah
pendopo
74
Denotasi Abah memiliki keinginan menjadikan Prabu
sebagai pemimpin Kadusunan yang akan datang
Konotasi Sebagai pemimpin jawara memiliki kemampuan
fisik dan supranatural untuk melindungi dan
menjaga masyarakat di Kadusunan
Mitos Jawara merupakan sosok pemimpin berkharismatik
Pengambilan Scene pada menit ke 31 lewat 24 detik hingga menit ke 32 lebih
15 detik, ini berlatarkan sebuah pendopo di Kadusunan Kidul. Scene menggunakan
teknik medium shot dan long shot yang memperlihatkan suatu diskusi yang dilakukan
oleh Abah, Prabu, Nyimas Ayu dan para sesepuh Kadusunan. Mereka berkumpul
untuk membicarakan tentang kondisi Kadusunan saat itu. Dan juga perihal kelanjutan
kepemimpinan Kadusunan Kidul dimasa yang akan datang.
Dari adegan di gambar pertama penandanya adalah percakapan Abah dengan
Prabu, yaitu “Aku titipkan kadusunan ini, Sepeninggalku bimbing semua warga ke
jalan yang benar”. Sedangkan petandanya adalah keinginan Abah utuk menjadikan
Prabu sebagai pemimpin di Kadusunan Kidul. Kemudian pada gambar kedua
penandanya adalah pecakapan Abah kepada Prabu yaitu, “Aku yakin kelak kau akan
menjadi seorang pemimpin yang adil”. Sedangkan petandanya adalah keyakinan
Abah kepada Prabu sebagai jawara untuk dapat memimpin Kadusunan.
75
Dalam adegan ini, secara denotasi menggambarkan bahwa Abah akan
menitipkan Kadusunan kepada Prabu sebagai jawara di Kadusunan tersebut yang
kemudian akan memimpin Kadusunan dimasa mendatang. Dalam scene ini
memperlihatkan Abah menilai sosok Prabu merupakan orang yang tepat dengan
kemampuan fisik dan bela diri untuk dapat menjaga keamanan dan kedamaian
Kadusunan. Lalu dalam adegan ini konotasi yang terlihat adalah sosok seorang
jawara sebagai pemimpin memiliki kemampuan fisik dan supranatural yang dapat
diandalkan untuk melindungi dan menjaga kedamaian para warga di Kadusunan.
Lalu makna mitos yang didapat adalah sebagai pemimpin dibutuhkan
kharisma dan jawara terpilih menjadi pemimpin karena sosoknya disegani dan
berkharisma berkat kemampuan fisik dan supranatural yang dimilikinya.
Kepemimpinan jawara sebagai elit lokal dalam masyarakat Banten, memiliki ciri khas
yang berbeda, yakni kharisma yang dimiliki oleh para jawara. Tanpa kharisma,
kepemimpinan yang dimiliki oleh para jawara tidak berbeda jauh dengan model-
model kepemimpinan lainnya di Indonesia.74
Biasanya jawara dalam kepemimpinan
formal akan menjadi pemimpin masyarkat Desa atau Kadusunan. Dan non formal
dapat menjadi guru silat atau debus.
74 Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 103
76
Tabel 4.5
Scene 5 Pendopo Kadusunan Kidul
Visual
Menit (38:21 - 38:45)
Dialog / Scene Type Of Shot
Prabu:
“Astagfirullahaladzim,
sebaiknya Abah dan para
sesepuh pulang ke rumah,
sesuatu terjadi pada
Nyimas Ayu ”
Close Up,
menampilkan wajah
cemas Abah setelah
mendengar kabar
Nyimas Ayu dari
Prabu
Abah: “Apa yang terjadi
pada Nyimas Ayu?”
Prabu: “Abah pulang
saja!, biar aku yang
menghentikannya dari sini”
Close up,
menampilkan wajah
Prabu yang berusaha
menenangkan Abah
dan para sesepuh
Denotasi Keinginan Prabu menyelamatkan sang isteri yang
sedang dalam bahaya seorang diri
77
Konotasi Jawara menganggap bahwa gangguan terhadap sang
isteri merupakan bagian dari suatu pelecehan
terhadap harga dirinya
Mitos Suami merupakan pemimpin dan pelindung bagi
sang isteri
Pengambilan scene pada menit 38 lewat 21 detik, berlatar belakang di sebuah
pendopo Kadusunan Kidul. Scene ini menggunakan teknik close up. Dalam adegan
ini memerlihatkan mimik wajah cemas Prabu setelah mengetahui suatu hal buruk
yang terjadi pada Nyimas Ayu. Saat itu Prabu memberitahukan mengenai keadaan
sang isteri Nyimas Ayu yang sedang dalam bahaya. Dalam gambar yang pertama
penandanya adalah Prabu memberitahukan bahwa terjadi sesuatu kepada Nyimas
Ayu. Sedangkan petandanya adalah mimik wajah Prabu yang berubah menjadi
cemas. Kemudian pada gambar kedua penandanya adalah percakapan Abah kepada
Prabu yaitu, “Apa yang terjadi pada Nyimas Ayu?”. Sedangkan petandanya adalah
kekhawatiran Abah dan para sesepuh kepada Nyimas Ayu.
Dari adegan tersebut secara denotasi memperlihatkan kecemasan dan
kehawatiran Prabu, Abah dan para sesepuh Kadusunan dengan keadaan Nyimas Ayu
yang sedang dalam bahaya. Dalam scene ini terlihat keinginan Prabu untuk menolong
sang isteri seorang diri. Dari adegan ini, konotasi yang didapat adalah keinginan
Prabu untuk melindungi sang isteri seorang diri, hal tersebut didasari karena
78
gangguan terhadap sang isteri dapat diangap sebagai bagian dari pelecehan harga diri
yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Terlebih lagi pelecehan terhadap harga
diri dapat dipahami sebagai pelecehan terhadap peran dan statusnya di masyarakat.
Pelecehan terhadap harga diri diinterpretasikan oleh kalangan jawara sebagai
pelecehan terhadap kapasitas dan kapabilitas diri.
Batasan tentang pelecehkan harga diri itu memang tidak tegas, karena itu
sering dinterpretasikan secara subyektif oleh pelakunya. Sehingga yang menyebabkan
kasus pelecehan harga diri itu berbagai macam seperti tuduhan pencurian, gangguan
terhadap istri atau pacar, balas dendam atau kekalahan dalam politik Desa.75
Kemudian mitos yang muncul dalam adegan tersebut adalah seorang suami
merupakan seorang pemimpin dalam sebuah rumah tangga dan secara langsung
memiliki kewajiban untuk melindungi sang isteri. Oleh karena itu jika terjadi
pelecehan terhadap sang isteri, maka jawara tidak segan untuk melawan atau
melakukan kekerasan.
75 Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”, Alqalam Jurnal keagamaan dan
Masyarakat, (Vol. 25. No.3 September- Desember 2008), hal. 306.
79
Tabel 4.6
Scene 6 Pendopo Kadusunan Kidul dan sebuah gubuk
Visual
Menit (39:28 - 40:25)
Dialog / Scene Type Of Shot
Sakti sedang
melakukan ritual untuk
mengirimkan teluh
pada Nyimas Ayu
menggunakan
selendang milik
Nyimas Ayu yang
telah diambil
sebelumnya
Long Shot,
memperlihatkan Sakti
yang sedang duduk
dan melakukan ritual
untuk mengirimkan
teluh pada Nyimas
Ayu
Prabu sedang
berkonsentrasi
mengumpulkan
kekuatan batin yang
dimilikinya untuk
melawan teluh yang
Medium Shot,
memperlihatkan
sosok Prabu yang
sedang duduk bersila
lalu menutup matanya
dan berkonsentrasi
80
dilakukan Sakti
terhadap Nyimas Ayu.
sambil berzikir untuk
mengumpulkan
kekuatannya
Denotasi Sakti melakukan ritual teluh pada Nyimas Ayu
dan kemudian Prabu mencoba untuk
menghentikannya
Konotasi Terdapat dua aliran Jawara dalam ilmu
kebatinan yaitu jawara aliran hitam dan putih
Mitos Jawara aliran hitam merupakan sosok jahat dan
jawara aliran putih merupakan sosok religius
Pengambilan scene pada menit 39 lewat 28 detik ini, berlatar belakang di
pendopo Kadusunan Kidul dan sebuah gubuk. Scene ini menggunakan teknik long
shot dan medium shot. Dalam adegan ini menampilkan sosok Sakti dan Prabu yang
sedang berkonsentrasi dalam mengumpulkan kekuatan batin atau supranatural yang
dimilikinya. Pada adegan tersebut penandanya adalah Sakti sedang melakukan ritual
untuk mengirimkan teluh pada Nyimas Ayu, disisi lain Prabu berusaha mencegahnya.
Sedangkan petandanya adalah keduanya terlihat begitu serius dan berkonsentrasi
penuh dalam mengumpulkan kekuatan batin yang mereka miliki untuk bisa menang.
81
Dalam scene ini secara denotasi dapat terlihat bahwa Sakti sedang melakukan
ritual untuk mengirimkan teluh pada Nyimas Ayu dengan melakukan ritual dengan
menggunakan keris, selendang Nyimas Ayu dan air kembang, sedangkan disisi lain
Prabu yang mengetahui hal tersebut berusaha menolong Nyimas Ayu dengan
melawan kekuatan tersebut dengan membaca bacaan ayat-ayat suci. Kekuatan batin
atau supranatural merupakan suatu kekuatan yang harus dipelajari secara khusus dan
tidak semua orang bisa menguasinya. Karena terdapat berbagai hal-hal khusus yang
harus dilakukan terlebih dahulu untuk dapat menguasainya. Kemudian secara
konotasi memperlihatkan bahwa dalam menguasai ilmu kebatinan atau supranatural
terdapat dua sisi aliran jawara yang berbeda, yaitu aliran hitam dan putih. Dalam
adegan ini Sakti yang melakukan ritual teluh dengan menggunakan selendang
Nyimas Ayu kemudian mengirimkan binatang hidup kerumah Nyimas Ayu, seperti
ular dan kalajengking, hal tersebut merupakan gambaran dari jawara aliran hitam dan
Prabu yang dalam mengumpulkan kekuatan batinnya menggunakan bacaan ayat suci
dan memegang tasbih dapat menggambarkan jawara aliran putih.
Berdasarkan klasifikasi sumber magis yang diperoleh para jawara. Jawara
beraliran ilmu putih adalah mereka yang memiliki kesaktian magis yang berasal dari
sumber-sumber agama islam. Dan jawara yang beraliran ilmu hitam adalah mereka
yang mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi pra islam. Adapun doa
atau mantra yang mereka gunakan sebagai sumber magis dan kesaktian berasal dari
kepercayaan animisme dan dinamisme, disebut dengan jangjawokan. Bahasa mantra
yang digunakan biasanya berasal dari bahasa Jawa kuno dan sunda kuno yang
82
terkadang sulit untuk dipahami lagi.76
Lalu makna mitos yang terlihat karakter jawara
aliran hitam dipahami sebagai sosok yang jahat karena adanya penggunaan ilmu
hitam yang melibatkan bantuan jin. Sedangkan karakter jawara aliran putih dipahami
sebagai sosok yang religius karena ketaatannya kepada ajaran-ajaran islam.
Tabel 4.7
Scene 7 Lapangan Terbuka
Visual
Menit (42:56 – 43:07)
Dialog / Scene Type Of Shot
Abah: “Prabu kau lah
jawara sesungguhnya,
jawara yang
menyebarkan kebaikan
dan mencegah
kemungkaran”
Medium Shot,
menampilkan sosok
Abah yang sedang
memberikan sebuah
golok kepada Prabu
Denotasi Abah memberikan sebuah golok untuk Prabu dan
berpesan untuk menyebarkan kebaikan dan
mencegah kemunkaran
76 Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 27
83
Konotasi Jawara merupakan sosok yang telah memiliki
bekal pengetahuan keagamaan
Mitos Golok merupakan lambang kehormatan seorang
jawara yang digunakan sebagai alat pertahanan
untuk melawan musuh
Pengambilan scene pada menit 42 lebih 56 detik ini, berlatar di lapangan
terbuka. Teknik yang digunakan adalah medium shot.. Scene ini ingin menunjukan
pertemuan antara Abah, Prabu, Nyimas Ayu dan para warga Kadusunan. Penanda
dalam adegan ini adalah perkataan Abah yaitu, “Prabu kau lah jawara sesungguhnya,
jawara yang menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran”. Sedangkan
petandanya adalah pemberian sebuah golok dari Abah kepada Prabu sebagai suatu
tanda semangat perjuangan seorang jawara dalam menyebarkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.
Secara denotasi yang terlihat bahwa Abah sebagai pimpinan Kadusunan
memberikan sebuah golok dan berpesan kepada Prabu sebagai jawara di Kadusunan
Kidul untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Pada scene ini
mengisyaratkan perjuangan seorang jawara untuk selalu berbuat baik dengan berbekal
kemampuan yang telah dimilikinya. Secara konotasi hal ini menggambarkan bahwa
sosok jawara merupakan seseorang yang telah memiliki bekal pengetahuan tentang
agama terutama perannya menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
84
Dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran tentu bukanlah perkara
yang mudah, karena dibutuhkan suatu niat, tekad dan kesabaran yang kuat dalam
mewujudkannya. Kemudian mitos yang muncul adalah golok merupakan sebuah
senjata yang digunakan oleh para jawara sebagai alat pertahanan untuk melawan
musuh atau orang yang berniat mengancam keselamatan. Dan juga golok dapat
dilihat sebagai lambang kehormatan dan derajatnya sebagai jawara.
4.3 Deskripsi Analisis Semiotika
Berdasarkan dari deskripsi data yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dianalisis secara keseluruhan makna denotasi, makna konotasi dan juga mitos yang
terdapat pada scene-scene yang telah dipilih untuk merepresentasikan makna jawara
dalam film Jawara Kidul sebagai berikut:
4.3.1 Makna Denotasi
Makna denotasi yang coba ditonjolkan didalam Film Jawara Kidul ini
adalah:
1. Beradu kekuataan antar sesama jawara, dalam film Jawara kidul, sosok
seorang jawara digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kekuatan
fisik atau bela diri, hal ini diperlihatkan melalui diadakannya pertarungan
antar sesama jawara untuk mendapatkan cinta Nyimas Ayu. Lalu dengan
adanya sayembara seorang jawara dapat mengukur kekuatan bela diri yang
dimilikinya.
85
2. Bersikap kesatria dalam mencapai tujuan, digambarkan dalam film scene
kedua, bahwa Abah berkata bahwa “Jawara bersikap kesatria untuk
mencapai tujuannya. Bukan dengan cara yang licik”. Hal ini
mengidikasikan bahwa perbuatan Sakti yang telah membunuh para jawara
dari Kadusunan luar sebelum menghadiri sayembara, merupakan hal licik
yang tidak pantas dilakukan oleh seorang jawara.
3. Menolong yang lemah, digambarkan bahwa seorang jawara dengan
kemampuan fisik yang dimilikinya, dapat diandalkan untuk dapat
membantu dan melindungi orang yang lemah. Hal tersebut dapat terlihat
dari scene dimana Prabu sedang menolong seorang gadis yang sedang
membutuhkan pertolongan, karena akan diculik oleh para begundal.
4. Kepercayaan jawara sebagai pemimpin Kadusunan, dalam dialog yang
dilakukan Abah yaitu “Aku yakin kelak kau akan menjadi pemimpin yang
adil” hal ini mengisyaratkan karakter seorang jawara merupakan sosok
yang sesuai untuk menjadi pemimpin di Kadusunan.
5. Jawara memiliki pengaruh dan kharisma, jawara yang digambarkan
sebagai salah satu sosok yang memiliki pengaruh dengan segala
kemampuannya memiliki keinginan menyelesaikan masalahnya sendiri
tanpa bantuan orang lain.
6. Penggunaan ilmu magis atau kebatinan bagi seorang jawara, untuk
menjadi seorang jawara dirasa kurang cukup jika hanya mengusasai
kemampuan fisik. Dengan adanya kemampuan fisik tentu akan semakin
86
menyempurnakan kekuatan seorang jawara. Hal ini terlihat dalam scene
ke-6 yang menunjukan Sakti dan Prabu yang sedang berkonsentrasi
mengumpulkan kekuatan supranatural yang dimilikinya masing-masing.
7. Jawara berperan dalam menyebarkan kebaikan, pada scene ke 7
memperlihatkan dialog antara Abah dan Prabu yang menegaskan bahwa
jawara juga memiliki peran untuk menyeberkan kebaikan dengan berbekal
kemampuan yang dimilikinya.
4.3.2 Makna Konotasi
Makna konotasi yang coba ditonjolkan oleh film Jawara Kidul dengan
melihat tanda konotasi yang telah dicantumkan pada deskripsi data diatas
merupakan penegasan bahwa makna Jawara sebagai berikut:
1. Jawara merupakan petarung yang pantang menyerah, dengan kekuatan
fisik yang dimilikinya tentu jawara tidak lepas dari berbagai pertarungan
yang akan dihadapinya baik sesama jawara seperti tradisi amprak jawara
ataupun melawan musuh. Oleh karena itu Jawara terlatih untuk menjadi
seorang petarung yang pantang menyerah.
2. Kemampuan fisik jawara digunakan untuk menolong yang lemah dan
bukan untuk berbuat licik, hal ini menegaskan seorang Jawara seharusnya
dapat mempergunakan kemampuan fisiknya dengan benar.
3. Jawara bertanggung Jawab menjaga Kadusunan, dengan berbekal
kekuatan fisik dan bela diri yang dikuasainya, sosok jawara tentu menjadi
87
tokoh penting untuk dapat berperan menjaga keamanan dan kedamaian di
Kadusunan.
4. Peran jawara sebagai pemimpin di Kadusunan, sosok jawara yang
berbekal kemampuan fisik atau bela diri dan kharisma sebagai tohoh
masyarakat membuat jawara dapat dipercaya untuk menjaga dan
membimbing para warga.
5. Jawara tidak segan melawan jika harga dirinya dilecehkan, sebagai
seseorang yang memiliki kedudukan dan kharisma tersendiri dalam
masyarakat, tentu seorang jawara harus mampu untuk menjaga harga
dirinya didepan orang lain. Disamping itu juga Pelecehan terhadap harga
diri diinterpretasikan oleh kalangan jawara sebagai pelecehan terhadap
kapasitas dan kapabilitas diri
6. Penguasaan ilmu magis atau kebatinan bagi jawara, sebagai jawara
menguasai ilmu magis atau kebatinan merupakan salah satu upaya dalam
menyempurnakan kekuatan bela diri yang dimilikinya, meski harus
melalui proses yang panjang dan tidak mudah untuk dapat menguasainya.
Namun dalam proses penguasaannya terdapat dua aliran yang biasa
digunakan para jawara yaitu aliran hitam dan putih.
7. Penguasaan ilmu keagaamaan bagi seorang jawara, Dalam konteks ini
tentu tidak lepas dari sejarah awal munculnya jawara sebagai salah satu
murid kiai, selain belajar ilmu agama Ia juga dilatih untuk dapat memiliki
kemampuan dalam bela diri.
88
4.3.3 Makna Mitos
Mitos tentang makna jawara yang terdapat dalam film Jawara kidul
berkitan dengan bagaimana sosok jawara yang ingin diidentikan dengan aksi
premanisme, karena kemampuan fisik dan bela diri yang dimilikinya.
Pertarungan antar sesama jawara dipandang sebagai simbol kejantanan
seorang pria. Dan juga tidak terlepas dari pandangan bahwa karakter jawara
aliran hitam dilihat sebagai sosok yang jahat dan jawara aliran putih sebagai
karakter yang religius.
Peran jawara sebagai seorang pemimpin berkharismatik, merupakan
hal yang dapat terlihat semenjak zaman penjajahan, dimana saat terjadi
kekosongan kekuasaan jawara dipercaya untuk menempati posisi tersebut.
Disamping itu dalam hal lain, jawara juga ikut terlibat sebagai pimpinan
kesenian debus. Pandangan tentang penggunaan ilmu hitam oleh jawara dalam
masyarakat dilihat sebagai jawara yang jahat atau tidak taat agama sedangkan
jawara dengan ilmu putih dipandang sebagai jawara yang religius. Serta
penggunaan senjata golok bukan hanya sebagai bagian dari alat perlindungan
saja, namun juga dipandang sebagai lambang kehormatan dan derajatnya
sebagai jawara.
89
4.4 Pembahasan
4.4.1 Film Sebagai Sarana Merepresentasikan Makna Jawara
Komunikasi massa merupakan suatu penyampaian pesan yang disampaikan
kepada khalayak luas melalui suatu media massa. Dalam penyampaiannya
komunikasi massa tentu memerlukan suatu media massa. Media massa merupakan
penyalur pesan yang efektif bagi komunikator unuk dapat menjangkau khalayak
banyak dengan cepat. Media massa saat ini tidak dapat dipungkiri telah berkembang
dengan pesat, baik dengan adanya surat kabar, siaran radio dan televisi, bahkan
hingga film, yang dapat menampilkan potret realitas kehidupan disekitar kita. Film
sebagai salah satu bagian dari komunikasi massa dapat menjadi sebuah saluran bagi
berbagai macam, ide, gagasan, konsep dan informasi yang akan disampaikan kepada
khalayak luas, karena film dapat mempengaruhi pikiran penonton yang melihatnya.
Di dalam film, biasanya para pembuatnya menuangkan gagasannya tersebut melalui
tampilan audio visual yang ditampilkan disertai dengan alur, setting dan penokohan
yang terdapat didalamnya. Selain itu film juga dapat mengaktualisasikan
perkembangan masyarakat dari masa ke masa dengan teknologi maupun tema yang
diangkatnya.
Dalam film Jawara Kidul ini digunakan teknik-teknik pengambilan gambar
yang juga dapat mempengaruhi cara pandang penonton. Diantaranya dalam beberapa
adegan yang diambil sebagai adegan yang merepresentasikan makna sosok jawara,
90
yang sering ditemui dengan cara pengambilan gambar dengan teknik close up dan
medium shot. Close up dapat dimaknai sebagai suatu hubungan yang intim dari
seseorang, baik saat seorang tokoh sedang berdialog dengan lawan main ataupun saat
seorang tokoh itu saat sedang merenung sendirian. Sedangkan dalam teknik medium
shot dapat bermakna hubungan personal yang hendak diperlihatkan di dalam film.
Dengan adanya penggunaan teknik-teknik pengambilan gambar ini dapat
mempengaruhi cara pandang dan pemaknaan tersendiri bagi para penontonnya.
Film dapat digunakan sebagai media massa yang menyajikan konstruksi
realitas kehidupan manusia. Film Jawara Kidul yang diangkat sebagai objek
penelitian dapat mewakili fungsi komunikasi massa. Sebagai media informasi, film
dapat menjadi media yang menarik dan banyak dipilih oleh banyak orang.
Penyampaian informasi dalam sebuah film dapat ditangkap dengan baik oleh
masyarakat, karena saat ini cukup banyak film yang diangkat berdasarkan kisah
nyata. Dari film juga, penonton dapat menangkap dan meniru segala yang
ditampilkannya. Film sendiri telah cukup banyak mempengaruhi khalayak luas.
Diantaranya film mampu mempengaruhi pandangan seseorang terhadap sesuatu.
Setelah menonton film Jawara Kidul, diharapkan penonton dapat menangkap pesan
makna sosok jawara yang terdapat didalamnya. Dari sebuah film ini, diharapkan
mampu mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai seorang jawara.
Jika dilihat dari fungsi mempengaruhi, film Jawara Kidul menyajikan cerita
sosok seorang jawara yang kuat dan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan
91
dan kedamaian Kadusunan. Dalam film ini tokoh jawara tersebut digambarkan
sebagai seorang yang pemberani untuk menjaga Kadusunan, orang yang lemah dan
juga harga dirinya. Sikap yang disajikan oleh tokoh pemeran utama tersebut
diharapkan dapat memberikan pandangan tersendiri tentang sosok seorang jawara.
Dari sisi peneliti, film Jawara Kidul ini mampu mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap sosok jawara. Ditandai dengan beberapa adegan yang
menampilkan tentang karakter sosok jawara dalam film ini. Adegan yang ditampilkan
mampu membuat penonton mengetahui bagaimana makna sesungguhnya seorang
jawara. Dalam film Jawara Kiduul ini juga terdapat fungsi dari media massa lainnya,
yaitu fungsi menginformasikan (inform) memberikan informasi bahwa menjadi
seorang jawara tidaklah mudah karena terdapat nilai-nilai luhur yang harus tetap
dipegang sebagai seorang jawara. Adegan film Jawara kidul secara tidak langsung
dapat mengantarkan pesan yang mempengaruhi dan menginformasikan tentang
bagaimana sosok seorang Jawara sesungguhnya.
Melalui film, khalayak dapat menangkap pesan yang terlihat maupun yang
tersirat, tentu saja hal ini dapat diinterpretasikan oleh khalayak sesuai dengan latar
belakang sosial budaya yang dimilikinya. Dengan demikian munculah efek yang
beragam dari penayangan suatu film. Dan hal itu dapat mengarahkan pandangan
masyarakat terhadap suatu hal tertentu. Representasi merekonstruksi dan
menampilkan fakta sebuah objek sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan
dengan maksimal. Jika dikaitkan dengan karya film, representasi dalam sebuah karya
92
seni film merupakan penggambaran terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran
ini tentu saja melalui sang pencipta film. Representasi dalam karya seni film muncul
sehubungan dengan adanya pandangan dan keyakinan bahwa karya film merupakan
cermin, gambaran atau suatu tiruan atas sebuah kenyataan. Merujuk pada apa yang
telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa sebuah representasi berarti sebuah
cermin atau gambaran sebuah peristiwa nyata atau yang sebenarnya.
Proses representasi dalam film tidak semata-mata meniru kenyataan tetapi
melibatkan renungan yang cukup kompleks atas kenyataan alam. Dalam proses
penciptaan sebuah karya film, pembuat film berhadapan dengan suatu kenyataan atau
realitas yang ditemukannya dalam suatu masyarakat (realitas objektif). Realitas
objektif ini dapat berbentuk peristiwa-peristiwa atau norma-norma, pandangan hidup,
dan lain-lain. Representasi yang digunakan dalam mengkaji film ini sangat erat
kaitannya dengan fungsi film sebagai salah satu sarana untuk merepresentasikan
suatu informasi atau realitas dalam suatu masyarakat.
Sang sutradara membuat film ini berhadapan dengan suatu kenyataan yang
ditemukannya dalam suatu masyarakat (realitas objektif), berupa fenomena stigma
negatif seorang jawara, dalam realitas itu Ia menemukan peristiwa-peristiwa yang
kemudian dikaitkan dengan pandangan hidup seorang jawara. Ia mencoba
mengutarakan sesuatu terhadap tragedi itu dan ia ingin berpesan melalui film kepada
orang lain, fakta-fakta yang faktual dirubah menjai fakta imajinatif, yaitu segala
peristiwa mengenai bagaimana seorang jawara bertindak dan berperilaku berusaha
93
dihadirkan dengan adanya bantuan tema, alur cerita, setting tempat dan penokohan
yang buatnya. Dan akhirnya, semua pesan yang ingin Ia sampaikan dan
representasikan, telah terwujud dan terdapat dalam sebuah karya seni film yang
berjudul Jawara Kidul.
Meskipun demikian film ini juga tidak lepas dari kekurangan didalamnya, hal
tersebut dapat dilihat dari penggambaran sosok jawara melalui kostum dan tema lagu
yang dipakai. Dalam film ini yang ingin mengangkat setting awal abad 19 terlihat
kurang sesuai, karena kostum yang digunakan masih terlihat unsur kontemporer
didalamnya. Selain itu dari segi narasi dan soundtrack yang digunakan masih terlihat
terlalu menonjolkan nuansa romantis yang cukup kuat terlihat dari adanya adegan
romantis yang disipkan dibeberapa adegan. Hal tersebut tentu akan mengurangi
esensi penting tema yang ingin diangkat atau disampaikan pada para penontonnya.
Oleh karena itu sebaiknya dalam penentuan kostum benar-benar harus
disesuaikan dengan setting waktu tema film yang akan dibuat. Lalu jika dalam hal
narasi ingin mengangkat tema tentang kedaerahaan, lebih baik untuk mengadaptasi
cerita rakyat atau folklore yang ada atau beredar di masyarakat setempat. Hal tersebut
tentu akan semakin meningkatkan esensi pemahaman masyarakat. Disamping itu pula
narasi yang diadaptasi dari cerita rakyat tentu akan meningkatkan hasrat masyarakat
untuk menonton, terlebih jika cerita rakyat yang diangkat bukan hanya dikenal di
masyarakat setempat tetapi hingga luar daerah. Hal tersebut akan lebih menarik lebih
banyak penonton.
94
4.4.2 Perlawanan Stigma Negatif Jawara Melalui Film
Dalam pandangan masyarakat Banten, sosok jawara merupakan seorang
pimpinan tradisional masyarakat pedesaaan. Jawara merupakan seseorang yang
memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyi ilmu-ilmu kesaktian
(kadigjayaan). Dengan kemampuannya tersebut sosok jawara dapat membangkitkan
rasa hormat dan takut serta kagum bagi orang yang melihatnya. Biasanya peranan
sebagai seorang jawara adalah menjadi Jaro (lurah), guru silat dan ilmu magis atau
supranatural. Jawara sendiri menciptakan suatu kultur yang agak berbeda dengan
kultur dominan masyarakat Banten, sehingga jawara tidak hanya menggambarkan
suatu sosok, tetapi juga telah menjadi suatu kelompok yang memiliki nilai, norma dan
pandangan hidup yang khas. Inilah yang disebut sebagai subkultur komunitas jawara
banten, yang membedakannya dari komunitas lokal daerah lainnya.
Karakter yang dimiliki oleh jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur
budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses
interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya
kejawaraan. Untuk menjadi seorang jawara yang berkharisma dan disegani
dibutuhkan proses panjang dan berat, baik dari segi fisik dan mental. Maka tidak
heran jika seorang jawara tidak hanya cakap secara fisik, melainkan secara rohaniah
spiritual batin telah siap. Seorang jawara biasanya memiliki kemampuan silat dan
ilmu kebatinan yang diatas rata-rata. Maksudnya memiliki kemampuan dalam
95
memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, seperti
kebal senjata tajam, mengusir jin dan mengobati penyakit.
Untuk menggambarkan sosok jawara, film Jawara Kidul sebagai film layar
lebar bergenre aksi drama, mencoba menceritakan tentang kehidupan seorang jawara
di sebuah Kadusunan dengan berlatar belakang kehidupan masyarakat tradisional
Banten. Dimana sosok jawara tersebut berusaha untuk menjaga keamanan dan
kedamaian sebuah Kadusunan. Dalam film ini terdapat berbagai simbol-simbol
tentang sosok seorang jawara seperti berpakaian seperti pendekar, memakai ikat
kepala dan menggunakan senjata berupa golok.
Dari beberapa scene menampilkan sosok jawara yang menunjukan
kemampuan bela diri silatnya dan kemampuan ilmu magis atau supranatural yang
dimilikinya. Selain itu dalam dialog-dialognya mengambarkan bagaimana sosok
tokoh utama Prabu yang menjadi jawara memiliki sifat kesatria dan religius. Dalam
film ini juga diceritakan tentang adanya dua tokoh yaitu Prabu dan Sakti, yang
memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Hal ini menjadi suatu gambaran adanya
perbedaan persepsi masyarakat terhadap sosok seorang jawara. Gambaran mengenai
sosok jawara yang sesungguhnya diperlihatkan dalam setiap scene yang ada. Dari
setiap scene terlihat adanya simbol-simbol bagaimana sosok jawara direpresentasikan
dalam salah satu tokoh yang meggiring presepsi masyarakat mengenai sosok jawara
yang sesungguhnya.
96
Sebagai masyarakat Banten munculnya sosok jawara sebagai suatu elit lokal
Banten, harusnya dipandang sebagai suatu hasil alkulturasi budaya lokal dengan
pengaruh keagamaan. Sosok jawara sendiri memang sudah ada sejak masa kolonial
dan berkembang hingga saat ini. Eksistensi para jawara tak luput dari peranan kiai
dan dunia pesantren, melalui pesantren-pesantren di Banten inilah kemudian muncul
dan berkembangnya jawara Banten. Peran-peran tradisional jawara dalam masyarakat
Banten berlangsung turun naik. Dimana pada waktu situasi sosial kurang stabil, peran
jawara biasanya berperan sangat penting, namun pada saat masyarakat dalam keadaan
damai mereka kurang diperlukan.
Perbedaan pandangan terhadap sosok jawara mulai muncul, disaat golongan
jawara yang mulai menunjukan berprilaku sompral (gaya bahasa yang kasar),
sombong, dan kurang taat beragama, memunculkan pandangan antipati masyarakat
terhadap sosok jawara. Untuk itu diperlukan adanya pemahaman yang mendalam
mengenai sepak terjang jawara itu sesungguhnya dari masa ke masa. Melalui film
Jawara Kidul tentunya masyarakat dapat lebih melihat sosok jawara dari sisi yang
berbeda dan lebih mengenal bagaimana makna seorang jawara yang direpresentasikan
dalam film ini. Karena pada beberapa adegan yang ditampilkan dalam film ini dapat
merepresentasikan karakter seorang jawara.
Sehingga dengan kemunculan film ini, masyarakat yang telah menontonnya
dapat mengambil pesan yang ingin disampaikan sang pembuat film, mengenai makna
sosok jawara. Melalui film sebagai media massa penyebarannya pesan tersebut,
97
membuat pesan dapat lebih cepat dan luas tersebar kepada khalayak ramai, dan efek
dari media massa ini bukan saja dapat menambah informasi atau pengetahuan
mengenai sosok jawara, namun juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat
yang sebelumnya, terhadap sosok seorang jawara.
98
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Film Jawara Kidul merupakan film layar lebar yang diproduksi oleh Kremov
Pictures dengan genre aksi drama, menceritakan tentang kehidupan Jawara dengan
berlatar belakang masyarakat tradisional Banten. Dimana sosok Jawara menjadi
seorang tokoh masyarakat di sebuah Kadusunan. Setelah dilakukan kajian pustaka
dan analisis data tentang film Jawara Kidul, dalam film ini ditemukan tanda yang
dapat merepresentasikan makna sosok jawara. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, penulis menarik kesimpulan yaitu:
1. Secara Denotasi, makna jawara yang direpresentasikan dalam film jawara
Kidul ini memperlihatkan sosok jawara sebagai seorang pendekar yang
cukup berpengaruh dalam berperan menjaga Kadusunan dan melindungi
yang lemah. Sosok jawara dalam film ini digambarkan dengan sikap
positif yang tujuannya untuk mempengaruhi penonton dalam menilai
bagaimana sosok jawara sesungguhnya.
2. Secara konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul ini digambarkan
sebagai sosok yang memiliki karakter petarung berbekal kekuatan fisik
98
99
dan ilmu supranatural yang dimilikinya serta memiliki memiliki dasar
pengetahuan tentang agama Islam.
3. Mitos dalam Film Jawara Kidul dibangun dengan membuat perspektif
berdasarkan sosok jawara yang tergambar di tengah-tengah masyarakat
saat ini antara lain, sosok jawara yang identik dengan aksi premanisme ,
selanjutnya penggambaran sosok jawara dengan karakter jahat dan
religius, juga penggunaan golok bagi jawara sebagai lambang derajat dan
kehormatan.
5.2 Saran
Dengan hasil penelitian seperti ini, ada beberapa saran yang ingin
disampaikan oleh penulis, diantaranya sebagai berikut:
1. Saran Akademis
Bagi Mahasiswa Ilmu Komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat menambah
referensi tentang studi semiotika, karena studi ini efektif dalam mengkaji
tanda, makna, dan pesan sesuai bidang ilmu komunikasi. Sehingga diharapkan
dapat kedepannya memiliki pengetahuan tentang teknik analisis semiotika
yang baik, yang dapat diaplikasikan dalam tugas perkuliahan ataupun tugas
akhir.
100
2. Saran Praktis
Bagi khalayak khususnya masyarakat Banten yang belum menonton film ini
diharapkan dapat lebih cermat dalam memahami pesan-pesan yang
disampaikan dalam film ini. Sehingga dapat melihat sisi lain dari seorang
jawara Banten yang belum diketahui sebelumnya, terlebih dapat memahami
secara mendalam mengenai sosok dan karakter seorang jawara.
3. Saran Sosial
Sebagai masyarakat diharapkan dapat lebih kritis dan selektif terhadap
berbagai tayangan hiburan, serta mampu memahami berbagai pesan-pesan
yang terkandung dalam sebuah film. Selain itu diharapakan juga dapat
memilah dan menilai film yang layak ditonton atau tidak.
101
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Alamsyah, Andi Rahman. (2010). Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik
Banten Pasca- Orde Baru. Jakarta: Dian Rakyat.
Al-Barry, M. Dahlan. (1994). Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta:
Arkola.
Ali, Muhammad. (2003) Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta:
Pustaka Amani.
Alwasilah, Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Baker, Chris. (2000). Cultural Studies Theory and Practice. London: Sage
Publication.
Berger, Artur Asa. (1999). Media Analysis Techniques. Yogyakarta: Andi Offset.
Bordwell, David & Thompson, Kristin. (1993). Film and Art: An Introduction.
New York: Graw Hill.
Danesi, Marcel. (2010) Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta:
Jalasutra.
102
(2010). Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar
Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Elvinaro, Ardianto, Komala. (2004). Komunikasi Massa Suatu Pengantar.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Fiske, John. (2007). Cultural and Communication Studies. Yogyakarta &
Bandung: Jalasutra.
Giles, Judy & Timothy Middleton. (1999). Studying Culture: A Practical
Introduction. Oxford: Wiley-Blackwell.
Hall, Stuart. (2003). The Work of Representation”. Representation: Cultural
Representation and signifying Practices. London: Sage Publication.
Hartley, John. (2010). Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep
Kunci. Yogyakarta: Jalasutra.
Hidayat, Dedy N. (2003). Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik
Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Indonesia.
Irfani, Fahmi. (2011). Jawara Banten Sebuah Kajian Sosial, Politik dan
Budaya. Jakarta: YPM Press (Young Progressive Muslim).
Krisyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
103
Lubis, Nina. (2003). Banten Dalam Pengumulan Sejarah Sultan, Ulama,
Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Lull, James. (1998). Media Komunikasi, kebudayaan, Suatu Pendekatan Global.
Terjemahan oleh A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, Lexy. (2006). Metode Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Alfabeta.
Nurudin. (2011). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers.
Parttanto, Pius A & M Dahlan. (2001). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
ARKOLA.
Rakhmat, Jalalludin. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ruslan, Rosady. (2003). Metodologi Penelitian Publik Relation dan Komunikasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Seto, Indiawan. W. (2011). Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi
Penelitian Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
104
(2001). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
(2009). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Turner. (2008). Introducing Communication Theory: Analysis and Application.
Jakarta: Salemba Humanika.
Uchyana, Onong. (2004). Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
SKRIPSI
Ahmad Abrori, Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik di Banten
(Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2003).
Saefudin. Jawara banten (Studi Kepemimpinan Tradisional di Desa Tegal Sari,
Kec. Walantaka, Kab Serang). Yogyakarta, 2009.
105
Tihami “Kiai dan Jawara di Banten” (Tesis Master, Universitas Indonesia,
Jakarta, 1992).
WEB
http://www.kremovpictures.com/2015/02/jawara-kidul-produksi-terbaru-
kremov.html diakses tanggal 18 februari 2016 pukul 14:20 WIB.
http://www.bantenraya.com/utama/14464-film-jawara-kidul-meluruskan-arti-
jawara-sebenarnya diakses tanggal 8 agustus 2016 pukul 13: 45 WIB.
http://www.beritacilegon.co.id/kota-cilegon/film-jawara-kidul-garapan-kremov-
picture-tayang-di-bioskop-cilegon-22-dan-26-september diakses tanggal 10
Agustus 2016 pukul 15:10 WIB.
https://www.kabar6.com/banten/pandeglang/16041-film-jawara-kidul-bakal-
diputar-di-festival-tanjung-lesung-2015 diakses pada tangga 12 Agustus 2016
pukul10:25 WIB.
http://www.tangeranghits.com/persona/41597/darwin-mahesa-merubah-stigma-
jawara-lewat-syiar-layar-kaca diakses pada tanggal 20 Agustus 2015 pukul 14:44
WIB.
106
LAMPIRAN
http://www.bantenraya.com/utama/14464-film-jawara-kidul-meluruskan-arti-jawara-
sebenarnya
107
https://www.kabar6.com/banten/pandeglang/16041-film-jawara-kidul-bakal-diputar-di-
festival-tanjung-lesung-2015
108
http://www.beritacilegon.co.id/kota-cilegon/film-jawara-kidul-garapan-kremov-picture-
tayang-di-bioskop-cilegon-22-dan-26-september
109
http://www.tangeranghits.com/persona/41597/darwin-mahesa-merubah-stigma-jawara-
lewat-syiar-layar-kaca
110
111
112
113
Curriculum Vitae
DATA PRIBADI
Nama : Arya Dwi Cahyo
Tempat, Tanggal Lahir : Serang, 14 April 1994
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 22 Tahun
Tinggi, Berat Badan : 170 cm, 58 kg
Agama : Islam
Alamat : Perum. Pondok Cilegon Indah, Blok B 39 No. 11,
Kec. Cibeber, Kota.Cilegon, Banten
Status : Belum Menikah
Telepon : 085779550414
Email : [email protected]
PENDIDIKAN
Formal
2012-2016 : S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2009-2012 : SMKN 1 Kota Cilegon
2006-2009 : SMPN 5 Cilegon
2000-2006 : SDN 1 Cilegon
PENGALAMAN KERJA
Nov 2010 – Des 2010 : Departemen Informasi Officer Magang | PT. KHI Pipe
Industries
Okt 2015 - Des 2015 : Public Relations Magang | PT. Anugrah Cipta Karyatama