RELEVANSI KAFÂ’AH TERHADAP KEHARMONISAN RUMAH … › download › pdf › 192642083.pdftingkat...

12
63 Al-Ah} wa> lA. Pendahuluan Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, manusia saling berin- teraksi dan interaksi sosial merupakan kebu- tuhan kodrati yang harus dimiliki setiap manu- sia. 1 Interaksi sosial yang dilakukan berupa subjek dan objek, manusia tidak dapat hidup jika hanya sebagai subjek. Sebaliknya jika ma- nusia hidup sebagai objek maka hidupnya lebih RELEVANSI KAFÂ’AH TERHADAP KEHARMONISAN RUMAH TANGGA PERSPEKTIF NORMATIF DAN YURIDIS Asrizal Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: [email protected] Abstract Kafâ’ah is a concept of equivalence between the couples who want to get married to create family which is sakinah, mawaddah and rahmah. Religious elements is the main and most important in equality while the others just as a supporting factor, such as: education, offspring, position and economic degree. In determining the partner, every one should understand the kafa’ah concepts and criteria in integrated, inductive and comprehensive, what intended to avoid mistakes in choosing a good couple. This article examine the equality relevance on household harmony in terms of normative and juridical value. [Kafâ’ah merupakan suatu konsep kesepadanan antara calon suami dan isteri yang ingin menikah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Unsur agama merupakan unsur utama dan terpenting dalam kafâ’ah sedangkan unsur yang lain hanya sebagai pendukung, seperti pendidikan, keturunan, kedudukan dan ekonomi. Dalam menentukan pasangan hidup, perlu dipahami konsep kafâ’ah dan kriteria-kriteria yang ada di dalamnya secara integratif, induktif dan konprehensif, yang ditujukan agar tidak terjadi kesalahan dalam memilih jodoh yang baik. Artikel ini mencoba mengkaji relevansi kafâ’ah terhadap keharmonisan rumah tangga ditinjau dari nilai normatif dan yuridis.] Kata Kunci: Kafâ’ah, Keharmonisan Rumah Tangga, Normatif dan Yuridis rendah dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain. 2 Pada dasarnya manusia diciptakan paling sem- purna diantara makhluk ciptaan yang lainnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman: Artinya: Sesungguhnya Kami telah men- ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya. 1 U. Syaefullah, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 349 2 Menurut Bimo Walgito dalam bukunya Psikologi Sosial, Interaksi sosial ialah hubungan antara indvidu satu dengan individu lain. Individu satu dapat memperngaruhi individu lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antar individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1990), hlm. 65. Sedangkan Interaksi menurut H. Bonner dalam bukunya “Sosial Psikologi” yang dalam garis besarnya menyatakan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih. Individu manusia dimana kleakuan individu yang selalu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu lain atau sebaliknnya. (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 128-131. 3 At-Tiin (95):4

Transcript of RELEVANSI KAFÂ’AH TERHADAP KEHARMONISAN RUMAH … › download › pdf › 192642083.pdftingkat...

  • 63

    Relevansi Kafâ’ah terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Perspektif Normatif dan Yuridis

    Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    A. PendahuluanManusia adalah makhluk sosial yang tidak

    dapat hidup sendiri, manusia saling berin-teraksi dan interaksi sosial merupakan kebu-tuhan kodrati yang harus dimiliki setiap manu-sia.1 Interaksi sosial yang dilakukan berupasubjek dan objek, manusia tidak dapat hidupjika hanya sebagai subjek. Sebaliknya jika ma-nusia hidup sebagai objek maka hidupnya lebih

    RELEVANSI KAFÂ’AH TERHADAP KEHARMONISAN RUMAHTANGGA PERSPEKTIF NORMATIF DAN YURIDIS

    AsrizalUniversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga YogyakartaEmail: [email protected]

    AbstractKafâ’ah is a concept of equivalence between the couples who want to get married to create family which is sakinah,mawaddah and rahmah. Religious elements is the main and most important in equality while the others just as asupporting factor, such as: education, offspring, position and economic degree. In determining the partner, everyone should understand the kafa’ah concepts and criteria in integrated, inductive and comprehensive, what intendedto avoid mistakes in choosing a good couple. This article examine the equality relevance on household harmony interms of normative and juridical value.

    [Kafâ’ah merupakan suatu konsep kesepadanan antara calon suami dan isteri yang ingin menikahuntuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Unsur agama merupakan unsur utamadan terpenting dalam kafâ’ah sedangkan unsur yang lain hanya sebagai pendukung, seperti pendidikan,keturunan, kedudukan dan ekonomi. Dalam menentukan pasangan hidup, perlu dipahami konsepkafâ’ah dan kriteria-kriteria yang ada di dalamnya secara integratif, induktif dan konprehensif,yang ditujukan agar tidak terjadi kesalahan dalam memilih jodoh yang baik. Artikel ini mencobamengkaji relevansi kafâ’ah terhadap keharmonisan rumah tangga ditinjau dari nilai normatif danyuridis.]

    Kata Kunci: Kafâ’ah, Keharmonisan Rumah Tangga, Normatif dan Yuridis

    rendah dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain.2Pada dasarnya manusia diciptakan paling sem-purna diantara makhluk ciptaan yang lainnya.Sebagaimana Allah SWT berfirman:

    Artinya: Sesungguhnya Kami telah men-ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

    1 U. Syaefullah, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 3492 Menurut Bimo Walgito dalam bukunya Psikologi Sosial, Interaksi sosial ialah hubungan antara indvidu satu dengan

    individu lain. Individu satu dapat memperngaruhi individu lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yangsaling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antar individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompokdengan kelompok. (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1990), hlm. 65. Sedangkan Interaksi menurut H. Bonner dalam bukunya“Sosial Psikologi” yang dalam garis besarnya menyatakan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara duaindividu atau lebih. Individu manusia dimana kleakuan individu yang selalu mempengaruhi, mengubah atau memperbaikikelakuan individu lain atau sebaliknnya. (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 128-131.

    3 At-Tiin (95):4

    mailto:[email protected]

  • 64 Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    Asrizal

    Agama Islam merupakan agama yangmengatur semua bentuk perilaku umat yangmenganut agama tersebut. Termasuk juga da-lam hal pernikahan, yang menjadi wadah ataumonitoring untuk mengatur hubungan antaralaki-laki dan perempuan yang hendak menikah.Penyatuan tersebut adalah dengan suatu akad(perjanjian) yang sakral untuk dapat menjalindan menciptakan hubungan kehidupan secarabersamaan. Tentu hubungan tersebut adalahhubungan yang sah, sehingga terbentuk keluar-ga yang sejahtera. Islam menyebut akad (per-janjian) yang sakral tersebut dengan istilah mi-saqan ghalizan (perjanjian yang suci),4 sebagai-mana Allah SWT berfirman:

    Artinya: Bagaimana kamu akan mengam-bilnya kembali, padahal sebagian kamu telahbergaul (bercampur) dengan yang lain sebagaisuami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telahmengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

    Awal dari kehidupan rumah tangga ada-lah melalui pernikahan. Islam menyebutkan

    bahwa tidak ada seorang pun dapat hidupberumah tangga kecuali mereka menikah terle-bih dahulu. Tentu Islam juga memberikan atur-an-aturan dan etika bagi siapa yang hendakmenikah. Baik itu dari memilih pasangan,syarat-syarat pernikahan dan lain sebagainya.Harapannya tidak lain adalah terciptanya ke-luarga sakinah, mawaddah dan rahmah, AllahSWT berfirman:

    Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasa-an-Nya ialah Dia menciptakan untukmuisteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamucenderung dan merasa tenteram kepadanya,dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dansayang. Sesungguhnya pada yang demikianitu benar-benar terdapat tanda-tanda bagikaum yang berfikir.

    Dalam syariat agama Islam, keseimbang-an, keserasian dan kesepadanan antara calonsuami dan isteri disebut dengan kafâ’ah ataukufu’, sehingga masing-masing calon tidak me-

    4 Hal ini diisyaratkan dengan menetapkan status ikatan (transaksi/akad) nikah sebagai akad yang melebihi dariakad/transaksi-transaksi lain. Dalam hal ini al-Qur’an memproklamasikan perkawinan sebagai satu perjanjian (transaksi)yang kokoh/teguh/kuat ( میثا قا غلیظ ). Dalam al-Qur’an kata kokoh/teguh/kuat/ میثا قا غلیظا ditemukan hanyapada tiga tempat, yakni pertama, dalam surah al-Ahzab (33):7 yang artinya: “Dan (Ingatlah) ketika kami mengambil perjanjiandari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan kami Telah mengambil dari merekaperjanjian yang teguh”. (33):7, Kedua, dalam surah al-Nisa’ (4):154 yang artinya: “Dan Telah kami angkat ke atas (kepala) merekabukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang Telah kami ambil dari) mereka. dan kami perintahkan kepada mereka: “Masuklahpintu gerbang itu sambil bersujud, dan kami perintahkan (pula) kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hariSabtu, dan kami Telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh”. (4):154, Ketiga dalam surah al-Nisa (4):21 yang artinya:“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (4):21. Pada surah al-Ahzab (33):7, kata-digunakan untuk menunjukkan bahwa Allah berjanji kepada Nabi-nabinya. Sedangkan pada surah al میثا قا غلیظا Nisa’ (4):154, kata میثا قا غلیظا menunjukkan akan perjanjian Allah SWT dengan kaum Yahudi. Kemudian pada surahal-Nisa (4):21, kata میثا قا غلیظا menunjukkan akan perjanjian pernikahan. Dengan adanya ungkapan tersebut, menurutProf. Khoiruddin, bahwa kesucian ikatan pernikahan suami isteri mirip dengan kesucian hubungan Allah dan Rasul-Nya. (lihat Khoiruddin Nasution, Hukum perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005), hal. 24-25

    5 An-Nisâ’ (4): 216 Al-Rum (30): 21. Seperti yang dijelaskan oleh Prof Khairuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan I, dari beberapa

    ayat lain juga menunjukkan bahwa hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan cinta dan kasih, misalnya al-Qur’an menggambarkan hubungan Adam dan Hawa. Seperti itu juga menggambarkan dalam surah al-Baqarah (2): 187,

    , bahwa suami dan isteri sebagai pakaian antara keduanya.

  • 65

    Relevansi Kafâ’ah terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Perspektif Normatif dan Yuridis

    Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    rasa berat untuk melangsungkan perkawinan.7

    Artinya laki-laki sepadan dengan calon isteri-nya, sama dalam kedudukan, sebanding dalamtingkat sosial dan sederajat dalam akhlak sertakekayaan. Jadi tekanan dalam hal kafâ’ah ada-lah kesepadanan, keseimbangan, keharmonis-an dan keserasian, terutama dalam hal agama,yaitu akhlak dan ibadah. Sebab jika kafâ’ah di-artikan persamaan harta atau kebangsawanan,maka akan terbentuk kasta, sedangkan manu-sia sama disisi Allah SWT.8

    Sangat jelas disebutkan dalam Islam, aga-ma merupakan penentu stabilitas rumah tang-ga dalam Islam, oleh karena itu prinsip kesepa-danan dijadikan patokan dan sekaligus untukmencapai tujuan membentuk rumah tanggayang sakinah, mawaddah dan rahmah.9

    Salah satu cara yang dilakukan untukmencapai tujuan tersebut, adalah dengan upa-ya mencari calon isteri atau suami yang baik.Upaya tersebut tidak mutlak namun keberada-annya dapat menentukan baik tidaknya dalammembangun rumah tangga.10 Setiap orang me-miliki daya tarik dan selera tertentu dalam me-milih calon pasangan hidupnya. Daya tarik ter-sebut ada yang bersifat lahir, seperti kecantikanatau kegantengan, ada juga yang bersifat me-nempel pada diri seseorang, seperti kekayaan,pangkat atau gelar. Ada juga daya tarik yangmuncul dari dalam diri seseorang, seperti ke-lembutan, kesetiaan, keramahan, dan lain seba-gainya. Selera manusia berbeda-beda, adayang tertarik kepada rupa, ada yang sangatmempertimbangkan harta dan jabatan serta

    status sosial, disamping ada yang seleranya pa-da kualitas hati.11

    Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)Buku I Hukum Perkawinan Bab IV Pasal 23Ayat (1) dan (2), “apabila wali nasab enggan atautidak bersedia menjadi wali, maka wali hakim bisabertindak sebagai wali nikah setelah ada putusandari Pengadilan Agama.12 Pada Bab X Pasal 61dinyatakan bahwa “tidak sekufu tidak dapat dija-dikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecualitidak sekufu karena perbedaan agama (ikhtilâf al-Din)”.13

    Dari uraian diatas jelaslah bahwa alasantidak sekufu tidak dapat dijadikan untuk men-cegah pernikahan. Di samping itu, juga agamamenjadi prioritas utama dalam kafâ’ah.14

    Artinya calon suami dan calon isteri yang akanmenjadi satu keluarga harus satu agama, yaituIslam dan mempunyai tingkatan akhlak ibadahyang seimbang. Sedangkan harta, tahta danketurunan menjadi prioritas selanjutnya sete-lah agama, karena dalam Islam yang membe-dakan derajat antara satu dengan yang lainnyahanyalah ketakwaan.15

    Hukum keluarga Islam sangat erat kaitan-nya dengan masalah rumah tangga. Bahkanjika berkaca pada fenomena yang muncul, isumengenai persoalan ketidakcocokan dalam ru-mah tangga sering terjadi, sehingga berujungkepada perceraian. Data menunjukkan bahwatingkat perceraian di Indonesia semakin me-ningkat karena ketidakseimbangan pasanganyang menikah dilihat dari berbagai latar bela-

    7 Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), IV:178 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munâkahat 1, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 50-51. Lihat juga Abdul

    Rahman Ghozali, Fiqh Munâkahat, cet. 4, (Jakarta: PPHIM, 2006), hlm. 97. Terdapat juga didalam buku Dedi Supriyadi,Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam, (Bandung, Pustaka Al-Fikriis, 2009), hlm. 60

    9 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munâkahat 2, cet. VI (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 2001 0 M. Al-Fatih Suryadilaga, “Memilih Jodoh, dalam Marhumah dan Al-Fatih Suryadilaga (ed), Membina Keluarga Mawaddah

    Warahmah Dalam Bingkai Sunnah Nabi (Yogyakarta: PSW IAIN dan f.f., 2003), hlm. 501 1 Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005), hlm. 117.1 2 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Karya Anda, t.t), hlm. 28-291 3 Ibid., hlm. 451 4 Dedi Supriyadi, Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam, hlm. 62-641 5 Ibid.,

  • 66 Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    Asrizal

    kang.16 Tingginya angka perceraian tersebut,pemerintah membuat program ‘Kursus Prani-kah’ meski tidak sampai diwajibkan.17 Terlepasdari konsep yang diterapkan untuk mencapaikeharmonisan tersebut.

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis mencoba untuk mengkaji ulangkembali tentang relevansi kafâ’ah. Sejauh manakafâ’ah relevan terhadap kehamonisan rumahtangga. Hal ini ditinjau dari nilai normatif danyuridis. Pendekatan normatif-yuridis adalahsuatu pendekatan yang digunakan untuk me-nilai benar atau salah menurut norma dan hu-kum yang ada terhadap suatu masalah.18 Da-lam hal ini berkaitan dengan relevansi kafâ’ahterhadap keharmonisan rumah tangga. Ada-pun norma dan hukum yang dimaksud adalahhukum Islam dan hukum positif yang ada diIndonesia.

    B. KAFÂ’AH DAN KEHARMONISANRUMAH TANGGA

    1. Definisi Kafâ’ah dan KeharmonisanRumah Tangga

    Kafâ’ah atau kufu’, menurut bahasa dapatdiartikan sebagai “setaraf, seimbang atau kese-rasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau se-banding”.19 Sedangkan menurut istilah hukumIslam, kafâ’ah atau kufu’ dapat diartikan sebagaikeseimbangan dan keserasian antara calonisteri dan suami sehingga masing-masing calontidak merasa berat untuk melangsungkan per-nikahan.20 Kafâ’ah dalam pernikahan merupa-kan faktor yang dapat mendorong terciptanyakebahagiaan suami dan isteri, juga lebih menja-

    min keselamatan perempuan dari kegagalanatau kegoncangan rumah tangga.21

    Ketika dihubungkan dengan nikah, kafâ’ahdiartikan dengan keseimbangan antara calonsuami dan isteri, dari segi kedudukan (hasab),agama (dîn), keturunan (nasab) dan semacam-nya. Sementara di dalam istilah para fuqaha,kafâ’ah didefinisikan dengan kesamaan di da-lam hal-hal kemasyarakatan, yang dengan itudiharapkan akan tercipta kebahagiaan dankesejahteraan keluarga kelak dan akan mampumenyingkirkan kesusahan. Namun dari sekiankualifikasi yang ditawarkan untuk tujuan ini,hanya satu kualifikasi yang disepakati fuqaha,yaitu kualifikasi kemantapan agama (dîn)dengan agama (millah), serta taqwa dan kebaik-an (at-Taqwâ wa as-Sîlah).22

    Sedangkan keharmonisan rumah tanggaadalah bentuk hubungan yang dipenuhidengan cinta dan kasih, karena kedua hal terse-but adalah tali pengikat keharmonisan. DalamIslam, kehidupan rumah tangga yang penuhdengan cinta kasih disebut dengan mawaddahwa rahmah, yaitu rumah tangga yang tetapmenjaga perasaan cinta, cinta suami terhadapisteri, begitu juga sebaliknya, cinta orang tuaterhadap anak, juga cinta pekerjaan. Islam me-ngajarkan agar suami menjadi peran utama,sedangkan isteri memarankan peran lawan,yaitu menyeimbangkan karakter suami.23

    Selain itu, keharmonisan dalam rumahtangga akan tercipta kalau kebahagiaan salahsatu anggota berkaitan dengan kebahagiaananggota-anggota rumah tangga lainnya. Secarapsikologis dapat diartikan dua hal: (1) Tercip-tanya keinginan-keinginan, cita-cita dan ha-

    1 6 BKKBN online, Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi di Asia-Pasifik, (Jakarta: Badan Kependudukan dan KeluargaBerencana Nasional, diakses dari http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967 , akses pada tanggal 11 Juni 2014

    1 7 Lihat Peraturan Dirjen No. DJ.II/542 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus pranikah.1 8 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm 174.1 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, akses pada tanggal 01 September 20142 0 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munâkahat....., hlm. 962 1 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munâkahat 1....., hlm. 512 2 Jamal al-Din Muhammad ibn Mukarram al-Ansari al-Manzur, Lisân al-Arabi, (Mesir: Dar al-Misriyyah, t.t), hlm. 134.

    Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I...., hlm. 2172 3 Muhammad M. Dlori, Dicinta Suami (Isteri) Sampai Mati, (Yogyakarta: Katahati, 2005), hlm. 30-32

    http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967

  • 67

    Relevansi Kafâ’ah terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Perspektif Normatif dan Yuridis

    Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    rapan-harapan dari semua anggota rumahtangga. (2) Sedikit mungkin terjadi konflik da-lam pribadi masing-masing maupun antar pri-badi.24

    Dari definisi diatas dapat disimpulkan bah-wa keharmonisan rumah tangga merupakankeadaan tercapainya kebahagiaan dan keber-samaan setiap anggota dalam suatu rumahtangga dan sedikit sekali terjadi konflik, sehing-ga para anggota merasa tentram dan dapatmenjalankan perannya masing-masing denganbaik.

    2. Asal usul dan Sebab Munculnya KonsepKafâ’ah

    Berkaitan dengan pembahasan tentangasal-usul konsep kafâ’ah, sekurang-kurangnyaada dua teori yang dimunculkan. Teori pertamadimunculkan oleh M. M. Bravmann. Sebagai-mana ditulis oleh Khairudin Nasution, bahwamenurut Bravmann, konsep ini muncul sejakmasa pra-Islam. Untuk mendukung teori ini,Bravmann membuktikan dengan beberapakasus yang pernah terjadi. Misalnya kasusyang terjadi terhadap rencana pernikahanBilal. Disamping itu juga, ada dua kasus lainyang ditampilkan, didalam pernikahan itusendiri dapat dilihat adanya kafâ’ah. Sampai didalam rencana pernikahan tersebut kafâ’ahsangat jelas disebutkan.25

    Sedangkan teori kedua dimunculkan olehCoulson dan Farhat J. Ziadeh. Mereka menga-takan, konsep ini bermula dari Irak, khususnyaKufah, dari mana Abu Hanifah hidup. Me-nurut teori ini, konsep kafâ’ah tidak ditemukandi buku Malik, yaitu al-Muwatta’. Konsep iniditemukan pertama kali di kitab mazhabMaliki, yaitu al-Mudawwanah. Di dalam kitab

    tersebut sangat sedikit sekali menyinggungpembahasan ini. Bahkan Imam Malik tercatattidak pernah membahasnya. Sehingga dapatdisimpulkan bahwa Imam Malik sendiri tidakmengenal konsep kafâ’ah. 26

    Menurut teori ini konsep kafâ’ah munculkarena kekosmopolitan dan kekomplekanmasalah masyarakat yang hidup di Irak ketikaitu. Kompleksitas masyarakat muncul sebagaiakibat urbanisasi yang terjadi di Irak ketika itu.Urbanisasi melahirkan percampuran sejumlahetnik, seperti percampuran antara orang Arabdengan non-Arab yang baru masuk Islam.Untuk menghindari terjadinya salah pilih pa-sangan dalam pernikahan, teori kafâ’ah men-jadi niscaya. Sehingga dapat disimpulkan bah-wa konsep kafâ’ah muncul pertama kali sebagairespon terhadap persoalan perbedaan sosial(social dictincion) yang kemudian bergeser kepa-da persoalan hukum (legal distincion).27

    3. Kafâ’ah Secara Normatif dan YuridisKajian kafâ’ah dalam hal ini ditinjau berda-

    sarkan nilai normatif dan yuridis. Normatif me-rupakan prinsip-prinsip atau pedoman-pedo-man yang menjadi petunjuk manusia padaumumnya untuk hidup bermasyarakat.28 Kaji-an ini ditujukan kepada masyarakat Islam, ma-ka landasan penulisan ini bersumber dari nashal-Qur’an dan Hadis sebagai dasar normatifyang menjadi pedoman hidup umat Islam. Se-dangkan yuridis merupakan menurut hukumdan perundang-undangan yang berlaku di In-donesia.29 Dalam hal ini adalah Undang-un-dang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

    Secara nomatif, nash-nash al-Qur’an danHadis tidak terlalu menerangkan secara detailtentang keharusan sekufu dalam rumah tang-

    2 4 Sarlito Wirawan Sarwono, Menuju Rumah Tangga Bahagia 4, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara: 1982), hlm. 022 5 M. M. Bravmann, The Spiritual Background of Early Islam (Leiden: E. J. Brill, 1972), hlm. 302-308. Sebagaimana dikutip

    oleh Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I...., hlm. 2182 6 Sahnun, al-Mudawwanah al-Kubra, (Beirut: Dar Sadir, 1323), III:170. Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution,

    Hukum Perkawinan I...., hlm. 218-2192 7 Ibid.,2 8 Hendro Darmawan, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2011), hlm. 4912 9 Ibid., hlm. 751

  • 68 Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    Asrizal

    ga. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Khoiru-din Nasution dalam bukunya bahwa menurutMuhammad ibnu al-Bâqi al Zarqâni dan ma-zhab Maliki, ayat-ayat al-Qur’an yang dijadi-kan landasan hukum oleh penulis ini menun-jukkan keniscayaan bahwa sesungguhnyasesama muslim itu bersaudara, selain itu jugamenyinggung bahwa hanya unsur-unsur ke-baikan yang menjadi ukuran seseorang itu baikatau tidak.30 Sebagaimana nash-nash al-Qur’an yang menerangkan di bawah ini.

    Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelakidan perempuan, sebahagian mereka (adalah)menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,mencegah dari yang munkar, mendirikanshalat, menunaikan zakat dan mereka taat padaAllah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberirahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah MahaPerkasa lagi Maha Bijaksana.31

    Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kamimenciptakan kamu dari seorang laki-laki danseorang perempuan, dan menjadikan kamuberbangsa-bangsa dan bersuku-suku supayakamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnyaorang yang paling mulia diantara kamu disisiAllah ialah orang yang paling taqwa diantarakamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengeta-hui lagi Maha Mengenal. 32

    Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapatberlaku adil terhadap (hak-hak) perempuanyang yatim (bilamana kamu mengawininya),maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang ka-mu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian ji-ka kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budakyang kamu miliki, yang demikian itu adalahlebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.33

    Artinya: Wanita-wanita yang keji adalahuntuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yangkeji adalah untuk wanita-wanita yang keji(pula), dan wanita-wanita yang baik adalahuntuk laki-laki yang baik dan laki- laki yangbaik adalah untuk wanita-wanita yang baik(pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dariapa yang dituduhkan oleh mereka (yang me-nuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezkiyang mulia (surga). 34

    Artinya: Hai orang-orang beriman apabilakamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-la-panglah dalam majlis”, maka lapangkanlah

    3 0 Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I, hlm. 2213 1 At-Taubah (9): 713 2 Al-Hujarat (49): 133 3 An-Nisâ’ (4): 33 4 An-Nur (24): 26

  • 69

    Relevansi Kafâ’ah terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Perspektif Normatif dan Yuridis

    Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk-mu, dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”,maka berdirilah, niscaya Allah akan mening-gikan orang-orang yang beriman di antaramudan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuanbeberapa derajat, dan Allah Maha mengetahuiapa yang kamu kerjakan.35

    Hadis Rasulullah yang menerangkankonsep kafâ’ah:

    Artinya: Janganlah kamu nikahi seorangwanita melainkan yang sekufu’, dan janganlahkamu memperistrikannya melainkan ada walidan janganlah maharnya hanya sebanyaksepuluh dirham. 36

    Artinya: Perempuan itu dinikahi karena empathal: karena kekayaan (harta), kebangsawanan-nya (kedudukan), kecantikannya dan aga-manya. Maka pilihlah perempuan yang ber-agama, semoga kamu beruntung dan selamat.37

    Artinya: Bahwa sesungguhnya RasulullahSAW bersabda: Hai anakku yang putih, ni-kahilah Abi Hindun dan nikahilah ia. 38

    Artinya: Pilihlah wanita yang baik bagispermamu, maka nikahilah olehmu yangsekufu.39

    Sebagian besar ulama yang menjadikanhadis di atas sebagai pegangan, tergolong ke-pada hadis yang sanadnya lemah. Dengan de-mikian dasar yang dipakai sebagai dasar pe-ngesahan konsep kafâ’ah sebenarnya lebih ba-nyak didasari pada alasan maslahah dari padanash, baik dari al-Qur’an maupun hadis Nabi.Sedangkan maslahah yang dimaksud adalahdemi terwujudnya keluarga yang sakinah, ma-waddah dan rahmah yang merupakan penca-paian dari rumah tangga yang harmonis.

    Imam mazhab fikih seperti Hanafi, Syafi’idan Hambali sepakat bahwa kesepadanan itumeliputi Islam, merdeka, keahlian dan nasab.Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal har-ta dan kelapangan hidup. Pandangan lainyang berbeda dengan pendapat Imam mazhabfikih diatas adalah Imamiyah dan Maliki tidakmemandang keharusan adanya kesepadanankecuali dalam hal agama.40

    3 5 Al-Mujadalah (58): 113 6 Diriwayatkan dari ad-Daruqutni dari Jabir ibnu Abdullah, pada riwayat ini Mabsyar ibnu Abdullah yang dalam

    kajian ulumul hadis riwayatnya matruk, dikutip Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fiqh,2004, Juz 4, hlm. 5738 dari Nasb ar-Riwâyah, Juz 3, hlm. 169

    3 7 Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhâri, 4 jilid, Hadis nomor 5090, (Bairut: Dar al-Fikr,1994), hlm. 149-150

    3 8 Diriwayatkan dari Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis nomor 2102, (ttp.: t.p, t.t.), II: 2333 9 Diriwayatkan dari Hadis Anas, Hadis Ibnu Khattab, dari jalur yang semuanya dhoif, dikutip Wahbah az-Zuhaili, al-

    Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fiqh, 2004, IV, hlm. 5739 dari Nasb ar-Riwâyah, Nailul Autar, Al-Makânus Sâbiq4 0 Sebagian fuqaha, memahami bahwa faktor agama saja yang dijadikan pertimbangan, berdasarkan sabda Nabi

    Muahammad SAW, “maka carilah wanita yang taat beragama”, sebagian lain berpendapat bahwa faktor keturunan(nasab) sama kedudukannnya dengan faktor agama, demikian juga faktor kekayaan, dan tidak ada yang keluar darimakna kafa’ah, kecuali yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu kecantikan tidak termasuk dalam kafa’ah. Semua fuqaha yangberpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, sebab keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah.Di kalangan mazhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak laki-laki) termasuksalah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seoarang ayah bagi anak gadisnya.Maksudnya, keinginan yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu faktor harta adalah bagian dari kafa’ah. Meskipun AbuHanifah tidak setuju hal itu. Faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan di kalangan mazhab Maliki bahwa

  • 70 Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    Asrizal

    Perbedaan di kalangan ulama berkaitandengan faktor-faktor yang dapat menjadi kri-teria kafâ’ah, memang memiliki banyak penda-pat. Jika dirinci di setiap mazhab yang empat,seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali, me-reka semua memiliki kriteria tersendiri. Sepertimazhab Maliki, faktor-faktor yang dapat men-jadi kriteria kafâ’ah hanya dari segi agama. Na-mun dalam riwayat lain juga disebutkan bah-wa mazhab ini juga mengakui kriteria-kriteriakafâ’ah dalam tiga hal, yaitu: agama, kemerde-kaan dan bebas dari cacat.41 Bahkan dalam ki-tab al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, dikatakanbahwa ulama Malikiyah juga mempetimbang-kan segi keturunan, kekayaan dan pekerjaansebagai kriteria kafâ’ah.42

    Imam Abu Hanifah, sebagaimana diung-kapkan oleh Imam Ahmad, berpendapat bah-wa kriteria kafâ’ah hanya terbatas pada faktoragama dan nasab saja. Akan tetapi menurutriwayat lain, mazhab ini juga mengakui kriteriakafâ’ah dari segi nasab, kemerdekaan, pekerjaandan kekayaan. Sama halnya dengan mazhabsyafi’i, mereka mengakui beberapa segi yangperlu diperhatikan dalam kafâ’ah yaitu agama,nasab, kemerdekaan dan pekerjaan. Namundikalangan para sahabat Syafi’i juga ditemukanpendapat yang menyatakan bahwa mereka jugamengakui kriteria kafâ’ah dari segi bebas daricacat.43 Sedangkan dari kalangan Hanabilahditemukan dua sumber yang berbeda. Sumberpertama mengatakan bahwa Ahmad mempu-nyai ide yang sama dengan Syafi’i, dengan ca-tatan Ahmad hanya mencantumkan unsur taq-wa sebagai kriteria kafâ’ah sama dengan Malik.44

    Secara yuridis, Indonesia sebagai negarahukum, tentu memiliki aturan hukum dalammengatur segala hal, termasuk masalah kafâ’ah.Indonesia memiliki perundang-undangan per-kawinan, namun masalah kafâ’ah hanya dise-butkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),pada pembahasan pencegahan perkawinan.

    Sebagaimana disebutkan sebelumnya, da-lam pasal 61 dijelaskan bahwa “tidak sekufu ti-dak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perka-winan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan aga-ma atau ikhtilâfu al dîn”. Oleh sebab itu, dapatdisimpulkan bahwa bagi pasangan yang hen-dak melakukan pernikahan tidak dapat dijadi-kan alasan untuk mencegah pernikahan jikamereka tidak sekufu, kecuali beda agama.Dengan demikian, Indonesia adalah negarayang tidak mengenal institusi kafâ’ah, walaupuntidak disebutkan secara tegas.45

    Nilai-nilai kafâ’ah dalam Undang-undangNo. 1 Tahun 1974 selanjutnya dapat dilihat dariadanya pembahasan tentang pencegahan per-kawinan. Masalah ini menunjukkan bahwa ni-lai kehati-hatian dari kedua belah pihak mem-perlihatkan bahwa unsur kesamaan (kafâ’ah)amat diperlukan. Pencegahan perkawinan da-pat dilakukan selama calon mempelai tersebuttidak memenuhi unsur atau syarat sebuah per-kawinan.46

    Undang-undang ini menganut prinsip bah-wa calon suami dan isteri itu telah masuk jiwaraganya untuk dapat melangsungkan pernikah-an, agar dapat diwujudkan tujuan pernikahansecara baik tanpa berakhir pada perceraian danmendapat yang baik dan sehat. Untuk itu, harus

    ia termasuk dalam lingkup pengertian kafa’ah. Hal ini didasarkan adanya hadis shaheh yang memberikan hak khiyar(memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yaitu hak memilih untuk meneruskan atau tidakmeneruskan pernikahnnya dengan suaminya yang masih hamba sahaya). Penjelasan ini ada dalam “Bidayatul Mujtahid”karangan Ibnu Rusyd, dikutip oleh Dedi Supriyadi, Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam, hlm. 63.

    4 1 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970), hlm. 284 2 Abd. Rahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh’ala al-Mazahib al-‘Arba’ah, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm. 584 3 Ibid.4 4 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, hlm. 1584 5 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, hlm. 230-2314 6 Lihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dikenal dengan Undang-undang Perkawinan (UUP) dalam BAB III,

    Pencegahan Perkawinan.

  • 71

    Relevansi Kafâ’ah terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Perspektif Normatif dan Yuridis

    Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    dicegah adanya pernikahan antara calon suamiisteri yang masih di bawah umur.47

    Secara teknis, sistematika adanya kafâ’ahdalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974dimulai dari adanya syarat-syarat pernikahan.Hal ini tertuang dalam BAB II dalam undang-undang ini, yaitu syarat-syarat perkawinan:48

    Pasal 6(1). Perkawinan harus didasarkan atas perse-

    tujuan kedua calon mempelai.(2). Untuk melangsungkan perkawinan se-

    orang yang belum mencapai umur 21(duapuluh satu) tahun harus mendapatizin kedua orang tua.

    (3). Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam ke-adaan tidak mampu menyatakan kehen-daknya, maka izin dimaksud ayat (2) pa-sal ini cukup diperoleh dari orang tua yangmasih hidup atau dari orang tua yangmampu menyatakan kehendaknya.

    (4). Dalam hal kedua orang tua telah mening-gal dunia atau dalam keadaan tidak mam-pu untuk menyatakan kehendaknya, ma-ka izin diperoleh dari wali, orang yangmemelihara atau keluarga yang mempu-nyai hubungan darah dalam garis ketu-runan lurus ke atas selama mereka masihhidup dan dalam keadaan dapat menyata-kan kehendaknya.

    (5). Dalam hal ada perbedaan pendapat an-tara orang-orang yang disebut dalam ayat(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorangatau lebih diantara mereka tidak menyata-kan pendapatnya, maka Pengadilan da-lam daerah hukum tempat tinggal orangyang akan melangsungkan perkawinanatas permintaan orang tersebut dapatmemberikan izin setelah lebih dahulu men-dengar orang-orang tersebut dalam ayat(2), (3), dan (4) pasal ini.

    (6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai denganayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukummasing-masing agamanya dan kepercaya-annya itu dari yang bersangkutan tidakmenentukan lain.

    Nilai-nilai kafâ’ah dalam Undang-undangNo. 1 Tahun 1974 selanjutnya dapat dilihat dariadanya pembahasan tentang pencegahan per-kawinan. Masalah ini, menunjukkan bahwaunsur kesamaan (kafâ’ah) sangat diperlukan.Pencegahan perkawinan dapat dilakukan sela-ma calon pasangan tersebut tidak memenuhiunsur atau syarat sebuah perkawinan. Pasal-pasal yang berkenaan dengan masalah itu,adalah:Pasal 13Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihakyang tidak memenuhi syarat-syarat untukmelangsungkan perkawinan.

    Pasal 14(1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah

    para keluarga dalam garis keturunan luruskeatas dan kebawah, saudara, wali nikah,wali, pengampu dari salah seorang calonmempelai dan pihak-pihak yang berkepen-tingan.

    (2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasalini berhak juga mencegah berlangsungnyaperkawinan apabila salah seorang dari ca-lon mempelai berada di bawah pengam-puan, sehingga dengan perkawinan terse-but nyata-nyata mengakibatkan kesengsa-raan bagi calon mempelai yang lainnya,yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasalini.

    Dengan demikian, dapat dipahami bahwakonsep kafâ’ah dalam undang-undang Nomor

    47 Dedi Supriyadi, Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam, hlm. 5648 Ibid., hlm. 57

  • 72 Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    Asrizal

    1 Tahun 1974, dimulai dari batas usia perni-kahan. Pembatasan ini menunjukkan nilai ke-dewasaan dan kematangan sebuah pernikah-an. Proses pernikahan terjadi atau tidak, ter-gantung kepada unsur dan syarat yang harusdipenuhi oleh masing-masing kedua pasangan,baik dari segi usia, asal keturunan dan berbagaiaspek kesamaan lainnya.49

    Tujuan perkawinan adalah untuk mem-bentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Makapasal undang-undang ini bertujuan untukmempersulit terjadinya perceraian. Selain itujuga menunjukkan persyaratan pernikahanyang begitu ketat, sehingga mengharuskan se-kufu, baik dari segi usia maupun keturunankedua pihak mempelai.

    C. Relevansi Kafâ’ah TerhadapKeharmonisan Rumah Tangga

    Untuk menjaga keserasian dan keseim-bangan dalam rumah tangga antara suami danisteri, Islam mengenalkan konsep kafâ’ah seba-gai solusi pencapaian rumah tangga yang har-monis, karena kafâ’ah dalam pernikahan akanmendatangkan keluarga yang sakinah, ma-waddah dan rahmah. Kafâ’ah dalam arti bahwaisteri harus pandai melengkapi segala keku-rangan suami, begitu juga sebaliknya, sehinggakehidupan rumah tangga dapat dibina bersa-ma atas dasar saling terbuka, saling menghor-mati, saling menghargai, saling menjaga hakdan kewajiban masing-masing, serta menjagaperan dalam rumah tangga.50

    Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihami lebihmenekankan bahwa kafâ’ah dalam hal perni-kahan haruslah diperhatikan. Kafâ’ah tidak ter-batas pada unsur agama, kejujuran hati sertakeluhuran jiwa, tetapi unsur yang lain juga pen-ting dan perlu diperhatikan.51 Sebenarnya tuju-an pernikahan dalam Islam tidak dapat dicapaihanya dengan adanya kesepadanan dalam se-

    gala hal sebelum terjadi pernikahan saja, tetapisetelah terjadinya pernikahan juga diperlukanadanya keseimbangan, karena roda kehidupanselalu berputar.

    Adanya kafâ’ah dalam pernikahan dimak-sudkan sebagai upaya untuk menghindari ter-jadinya krisis rumah tangga. Keberadaannyadipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dantujuan pernikahan. Dengan adanya kafâ’ah da-lam pernikahan diharapkan masing-masing ca-lon mampu mendapatkan keserasian dan ke-harmonisan. Berdasarkan konsep kafâ’ah, se-orang calon mempelai berhak menentukan pa-sangan hidupnya dengan mempertimbangkansegi agama, keturunan, harta, pekerjaan mau-pun hal yang lainnya. Adanya berbagai pertim-bangan tersebut dimaksudkan untuk menghin-dari ketimpangan dan ketidakcocokan dalamkehidupan berumah tangga.

    Dari definisi-definisi di atas dapat dipa-hami bahwa konsep kafâ’ah sendiri memiliki ke-terikatan langsung dengan masalah pernikahanyang berlanjut kepada keharmonisan rumahtangga, yaitu adanya keseimbangan dan keco-cokan antara suami dan isteri yang akan men-jalani bahtera kehidupan secara bersama-samasehingga tujuan pernikahan untuk membentukkeluarga sakinah, mawaddah dan rahmah akanterwujud.

    Tercapainya tujuan pernikahan, dapat di-dukung karena adanya unsur kafâ’ah dalampernikahan tersebut. Alasannya karena kafâ’ahbertujuan untuk menghindari terjadinya krisisdan polemik dalam rumah tangga. Sebagaima-na dijelaskan sebelumnya bahwa rumah tang-ga yang harmonis dapat tercapai apabila ada-nya kerja sama yang baik antara suami danisteri, sehingga tujuan pernikahanpun tercapai.Tercapainya tujuan pernikahan tidak mutlakoleh faktor kesepadanan semata, namun dapatmenjadi penunjang utama, sedangkan faktor

    49 Ibid., hlm. 58-5950 Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihâmi, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa oleh: M. Thalib, juz 7, hlm. 128-13051 Ibid.,

  • 73

    Relevansi Kafâ’ah terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Perspektif Normatif dan Yuridis

    Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    lain juga lebih penting dan harus diutamakan,seperti agama dan akhlak.

    Dapat disimpulkan bahwa adanya kese-imbangan dan keserasian antara suami danisteri yang dirangkum dalam konsep kafâ’ahmenjadi sangat penting, karena rumah tanggaakan menjadi begitu mulia jika didasari atasdasar saling terbuka, saling menghormati, sa-ling menghargai, saling menjaga hak dan kewa-jiban masing-masing, serta menjaga peran da-lam rumah tangga. Namun kebaradaan sekufutidak dipahami secara baku, jika suatu masya-rakat terdapat kebiasaan yang mendatangkankeharmonisan, maka hal itu tidak dipermasa-lahkan.

    D. PenutupBerdasarkan pemaparan di atas dapat

    diperoleh kesimpulan bahwa memilih jodohyang sekufu menurut ajaran agama Islam (nor-matif) adalah pilihan atas dasar pertimbangankekuatan jiwa, agama dan akhlak. Sedangkanmemilih jodoh menurut hukum yang berlakudi Indonesia (yuridis) merupakan pengabdianseorang warga terhadap negaranya. Hal yangperlu diingat adalah bahwa pengertian perni-kahan bukan semata-mata kesenangan ma-nusiawi saja, tetapi juga sebagai jalan untukmembangun kehidupan yang sejahtera, baiksecara zahir maupun batin serta menjaga kese-lamatan agama dan nilai-nilai moral danakhlak bagi setiap individu dalam menjalanikehidupan, inilah yang menjadi penting.

    Namun demikian, perlu digarisbawahibahwa Islam bukannya tidak memberi ruangsama sekali kepada pertimbangan faktor-faktorlain, tetapi Islam menekankan agar pertim-bangan agama dan akhlak menjadi prioritasutama, kemudian baru mempertimbangkanfaktor-faktor yang lain. Sudah jelas, seseorangyang mendapatkan jodoh yang agamanyakuat, cantik atau tampan, kaya dan keturunanserta pangkat yang baik adalah jodoh yang sem-purna, tetapi hal tersebut menjadi niscaya.

    Jelaslah bahwa relevansi kafâ’ah sendiri su-dah dijelaskan dalam ajaran Islam sebagai nilainormatif, sehingga alasan menjadikan kafâ’ahrelevan terhadap keharmonisan rumah tanggajuga berdasarkan hukum Islam yang berlakusebagai nilai normatif dan hukum yang mengi-kat di Indonesia sebagai nilai yuridis, karenasemua kaidah-kaidah atau dalam hal menetap-kan sesuatu tidak bisa terlepas dari hukumyang berlaku di Indonesia. Artinya sesuaidengan aturan hukum yang ada di Indonesia.

    DAFTAR PUSTAKAAbidin, Slamet, Aminudin, 1999, Fiqih

    Munâkahat 1, Bandung, CV Pustaka Setia

    BKKBN online, Angka Perceraian di IndonesiaTertinggi di Asia-Pasifik, (Jakarta: BadanKependudukan dan Keluarga BerencanaNasional, http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967, diakses pada tanggal 11Juni 2014

    Bonner, H., 2003, “Sosial Psikologi”, Malang:UMM Press

    Darajat, Zakiyah, 1995, Ilmu Fiqh, Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf

    Darmawan, Hendro, dkk, 2011, Kamus IlmiahPopuler Lengkap, Yogyakarta: BintangCemerlang

    Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam,(Surabaya: Karya Anda, t.t)

    Dlori, Muhammad M., 2005, Dicinta Suami(Isteri) Sampai Mati, Yogyakarta: Katahati,

    Dzaini, Dahlan H., 1999, Al-Qur’an Karim danTerjemahan, Yogyakarta: UII Press

    Ghozali, Abdul Rahman, 2006, Fiqh Munâkahat,cet. 4, Jakarta: PPHIM

    Jauziyah, Ibn Qayyim al-, 1970, Zad al-Ma’ad,Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ahMustafa al-Babi al-Halabi

    Jazairi, Abd. Rahman al-, 1990, Kitab al-Fiqh’alaal-Mazahib al-‘Arba’ah, Cet. I, Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah

    http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.

  • 74 Al-Ah}wa>l, Vol. 8, No. 1, 2015 M/1436 H

    Asrizal

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online,diakses pada tanggal 01 September 2014

    Mubarok, Achmad, 2005, Psikologi Keluarga,Jakarta: Bina Rena Pariwara

    Nasution, Khoiruddin, 2005, Hukum perkawinanI, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA

    Nazir, Moh., Metode Penelitian, 2005, Bogor:Ghalia Indonesia

    Peraturan Dirjen No. DJ.II/542 Tahun 2003tentang Pedoman PenyelenggaraanKursus pranikah.

    Saebani, Beni Ahmad, 2010, Fiqh Munâkahat 2,cet. VI Bandung: CV Pustaka Setia

    Supriyadi, Dedi, Mustofa, 2009, PerbandinganHukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam,Bandung, Pustaka Al-Fikriis

    Suryadilaga, M. Al-Fatih, 2003 “Memilih Jodoh,dalam Marhumah dan Al-Fatih Suryadi-laga (ed), Membina Keluarga MawaddahWarahmah Dalam Bingkai Sunnah Nabi,Yogyakarta: PSW IAIN dan f.f.

    Syaefullah,U., 2012, Psikologi Perkembangan danPendidikan, Bandung: Pustaka Setia

    Tihâmi, Sayyid Sabiq Muhammad at-, FiqhSunnah, Alih Bahasa oleh: M. Thalib, juz 7

    Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dikenaldengan Undang-undang Perkawinan(UUP) dalam BAB III, PencegahanPerkawinan

    Walgito, Bimo, 1990, Psikologi Sosial,Yogyakarta: Penerbit Andi

    Zuhaili, Wahbah az-, 2004, al-Fiqh al-Islâmi waAdillatuh, Damaskus: Dar al-Fiqh