Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

29
Reformasi pendidikan di Indonesia pada awal abad dua puluh Universitas Melbourne, Australia Artikel ini menguji reformasi pendidikan yang telah terjadi di Indonesia yang disertai perubahan social politik dengan ditandai oleh jatuhnya rezim Suharto. Warganegera yang demokratis saat ini secara eksplisit menginginkan Undang-undang Pendidikan tahun 2003. sebagaimana kebijakan desentralisasi dalam pemerintahan yang telah terlaksana, otonomi pendidikan berdampak pada beberapa konsekuensi reformasi. Manajemen berbasis sekolah telah dipilih sebagai sebuah paradigma beru dalam manajemen sekolah, sedangkan kurikulum baru terfokus pada prinsip berbasis kompetensi dan perkembangan berbasis sekolah. Bagaimanapun, hambatan juga muncul termasuk kondisi budaya dan ekonomi yang secara potensial menghambat kesuksesan implementasi reformasi ini, jika tidak diperhatikan secara hati-hati dan tepat. PENDAHULUAN Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 di Indonesia, banyak perubahan sedang ataupun telah

Transcript of Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Page 1: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Reformasi pendidikan di Indonesia pada awal abad dua puluh

Universitas Melbourne, Australia

Artikel ini menguji reformasi pendidikan yang telah terjadi di Indonesia yang

disertai perubahan social politik dengan ditandai oleh jatuhnya rezim Suharto.

Warganegera yang demokratis saat ini secara eksplisit menginginkan Undang-

undang Pendidikan tahun 2003. sebagaimana kebijakan desentralisasi dalam

pemerintahan yang telah terlaksana, otonomi pendidikan berdampak pada

beberapa konsekuensi reformasi. Manajemen berbasis sekolah telah dipilih

sebagai sebuah paradigma beru dalam manajemen sekolah, sedangkan kurikulum

baru terfokus pada prinsip berbasis kompetensi dan perkembangan berbasis

sekolah. Bagaimanapun, hambatan juga muncul termasuk kondisi budaya dan

ekonomi yang secara potensial menghambat kesuksesan implementasi reformasi

ini, jika tidak diperhatikan secara hati-hati dan tepat.

PENDAHULUAN

Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 di Indonesia, banyak perubahan

sedang ataupun telah terjadi. Dalam istilah kebijakan, batasan terhadap dua

periode pemilihan presiden, pemilihan langsung, dan implementasi kebijakan

otonomi merupakan diantara reformasi yang penting. Perubahan ini berdampak

pada pendidikan. Bagaimanapun, informasi mengenai beberapa perubahan dan

pengaruhnya di Indonesia, ditulis dalam artikel-artikel ilmiah dan dapat diakses

secara internasional, sangat sulit ditemukan. Oleh karena itu, artikel ini

merupakan sebuah cara untuk mengurangi kurangnya informasi melalui pengujian

reformasi pendidikan di Indonesia seputar awal abad dua puluh dan menghadirkan

informasi tersebut bagi pembaca internasional. Bagian pertama menggambarkan

perubahan tujuan pendidikan di Indonesia, mengambil laporan Undang-undang

Pendidikan tahun 2003. Bagian kedua menguji reformasi manajemen pendidikan

baru-baru ini mengikuti implementasi Undang-undang Otonomi Regional tahun

Page 2: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

1999. Reformasi ini ditandai dengan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah

(SBM) sebagai sebuah paradigma manajemen baru di sekolah. Bagian ketiga

mengulas reformasi kurikulum sekolah yang saat ini terfokus pada pendekatan

berbasis kompetensi dalam proses pengajaran dan pendekatan berbasis sekolah

dalam pengembangannya. Yang terakhir, artikel ini mengulas beberapa tantangan

yang menghambat kesuksesan pelaksanaan reformasi tersebut, jika tidak ditangani

dengan tepat.

TUJUAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Seiring perubahan social-politik, Undang-undang terkait dengan sistem

pendidikan nasional Indonesia telah diisukan beberapa kali setelah kemerdekaan

tahun 1945 sampai saat baru-baru ini, termasuk pada tahun 1950, 1956, 1989

(Poerbakawatja, 1970; Tilaar, 1995) dan pada tahun 2003. Undang-undang tahun

2003 (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia atau INESA)

menjadi sangat penting sejak Indonesia mengalami perubahan yang sangat

dramatis utamanya dalam sistem politik dengan perubahan dari otorisasi menjadi

demokrasi, yang dimulai setelah jatuhnya Soeharto atau rezim Orde Baru pada

tahun 1998. Sistem pemerintahan juga berubah, dari sentralistis menjadi

desentralistis, atau apa yang terkenal dengan istilah “otonomi yang lebih luas”

yang memiliki arti “otonomi lebih luas” (Jalal & Supriadi, 2001).

Sebagaimana dinyatakan dalam INESA 2003, pendidikan nasional ditujukan pada

pengembangan setiap kemmapuan siswa untuk menjadi orang yang percaya diri

dan beriman pada Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki moral baik, kesehatan

baik, pengetahuan, intelejensi, kreativitas, kebebasan dan menjadi warga Negara

yang demokratis dan bertanggung jawab [terjemahan saya] (Departemen

Pendidikan Nasional, edisi 2003, 2 artikel 2). Terdapat penekanan dalam Undang-

undang tersebut terhadap nilai keagamaan dan moral, kemampuan intelektual,

nilai-nilai demokratis.

Walaupun Indonesia bukanlah Negara theokratis, orang-orang menganggap

agama sebagai salah satu pertimbangan penting dalam aktivitas-aktivitas mereka.

Malahan, UUD (Undang-Undang Negara) 1945 menekankan bahwa setiap warga

Page 3: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Negara harus menganut pada sebuah agama (Menteri Agama (MPR), 2003). Saat

ini terdapat setidaknya lima Negara yang secara formal diakui oleh pemerintah

Indonesia, yang utama yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Oleh

karena itu, dapat dimengerti bahwa agama memiliki peran penting dalam

mempengaruhi aturan pada hampir setiap aspek kehidupan di Indonesia termasuk

pendidikan (Novera, 2004). Nilai-nilai agama menjadi salah satu standard dan

tujuan pendidikan. Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi bagian yang menyatu

dengan kepribadian siswa, dan termanifestasi dalam moralitas mereka (Tilaar,

1999). Tujuan keagamaan dan moral ini telah diulang secara eksplisit dalam setiap

Undang-undang Pendidikan Indonesia (Poerbakawatja, 1970; Tilaar,

1995),walaupun terdapat kekhawatiran terus menerus bahwa tujuan-tujuan

tersebut masih belum dapat dicapai (Adimassana, 2000; Sudarminta, 2000).

Sebagaimana pendidikan yang dapat berkembang menjadi tujuan kognitif,

psikomotor, dan afektif (Bloom, 1956), menjalankan moralitas keagamaan

tidaklah cukup bagi anak untuk dapat bertahan hidup dalam era persaingan ini.

Ada tanda-tanda yang diperlukan seperti kemampuan dasar dan kemampuan

kehidupan (Bailin, Case, Coombs, & Daniels, 1999; Blank, 1982; Bloom, 1956;

Cameron, 1986; Campbell, 1996; Metais, 1999). Bagaimanapun, sebagaimana

yang dinyatakan secara kritis oleh Muhaimin, Suti’ah, dan Ali (2001) serta

Darmangingtyas (2004), bahwa sistem pendidikan Indonesia juga menekankan

pencapaian kognitif siswa. Pengetahuan yang diajarkan dan yang dimiliki oleh

siswa terpisah dari aplikasinya (Darmaningtyas, 2004). Tujuan pembelajaran

nampaknya diformulasikan agar siswa dapat mencapai target isi kurikulum

tertentu tanpa perhatian yang cukup yang diberikan pada isu bagaimana

mempelajari pengetahuan yang dapat diaplikasikan pada kehidupan nyata (Joni,

2000). Konsekuensinya, beberapa lulusan sekolah tidak dapat berperan aktif

dalam masyarakat dan dapat bertahan hidup pada satu waktu manakala terjadi

perubahan dan persaingan yang umum (Darmaningtyas, 2004; Joni, 2000; Tilaar,

1999).

Setelah jatuhnya Soeharto atau rezim Orde baru, Indoensia menjalani perubahan

yang dramatis, utamanya dalam sistem politik, sebagaimana perubahan dari sistem

Page 4: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

otoritas menjadi demokrasi. Hal ini memberikan dampak besar bagi pendidikan,

seperti pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan (Jalal & Supriadi, 2001).

Para siswa perlu mendapatkan nilai-nilai demokratis dan praktek, sebagaimana

yang diindikasikan dalam INESA 2003). Hochschild dan Scovronick (2002)

menyatakan bahwa sekolah memiliki tempat penting untuk mendidik anak agar

menjadi warga Negara yang demokratis, yang memberikan kontribusi terhadap

pembentukan dan penopang Negara demokrasi. Azra (2002) menyatakan bahwa

sistem pemerintahan demokratis menjadi trend yang tidak dapat dicegah lagi

manakala lengsernya rezim Soeharto, baik karena kebutuhan global ataupun

kebutuhan local. Jadi, sebuah tahapanpenting bagi Indonesia telah tercapai dalam

phrase “warga Negara yang demokratis” (warga Negara demokratis) yang secara

eksplisit terdapat dalam Undang-undang 2003, dan tidak ada dalam Undang-

undang 1989, sebagai salah satu dari tujuan pendidikan.

Terdapat tiga aspek tujuan yang harus menyatu dalam kepribadian anak-anak

Indonesia. Yakni mereka diharapkan memiliki kepribadian yang agamis dan

praktek serta nilai moral, memiliki intelejensi, memiliki kemampuan dalam

kehidupan, menjadi demokratis, dan bertanggung jawab terhadap bangsa. Tujuan

ini tentunya memiliki implikasi penting untuk bagian-bagian sistem pendidikan

nasional yang lain, utamanya manajemen dan kurikulum.

REFORMASI MANAJEMEN SEKOLAH

Sebagaimana digambarkan di muka, reformasi politik saat ini ditandai dengan

permulaan jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998, yang memiliki pengaruh besar

terhadap pendidikan. Kebijakan desentraslisasi dalam pemerintahan Negara secara

signifikan mempengaruhi manajemen pendidikan dan kurikulum. Sebagai

dampaknya, pada tahun 1999, ‘Manajemen Berbasis Sekolah’ atau Manajemen

Berbasis sekolah (SBM) telah dikenalkan untuk mengurangi dominasi kekuasaan

pusat (Jakarta) yang berlebihan pada hampir semua aspek sekolah.

Menurut Laporan Bank Dunia pada tahun 1998, Indonesia memiliki manajemen

yang sangat terpusat sampai pada pendidikan hingga tahun 1999 (Bank Dunia,

1998). Kekuasaan pendidikan terpusat ditentukan hampir pada semua aspek

Page 5: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

sekolah, sedangkan kekuasaan subordinate (pejabat pada tingkat propinsi dan

kabupaten) hanya untuk menjalankan kebijakan pusat tersebut. Konsekuensinya,

sebagaimana disimpulkan oleh Bank Dunia, terdapat aturan institusional yang

kurang efektif dalam sistem pendidikan Indonesia. Aturan yang kurang efektifg

ini berdampak pada beberapa tekanan mayor:

a) Pembagian tanggung jawab untuk menghantarkan pendidikan primer

diantara agen-agen pemerintah yang bermacam-macam serta menteri yang

dapat berdampak pada kurangnya tanggung jawab terhadap hasil;

b) Manajemen yang sangat terpusat pada tingkat sekunder yunior;

c) Otonomi kecil untuk kepala sekolah dan manajer tingkat yang lebih

rendah, mengarah pada manajemen sekolah yang kurang efektif;

d) Proses anggaran belanja yang kaku dan terbagi-bagi; dan

e) Struktur insentif layanan masyarakat sipil yang kurang memberikan upah

baik untuk praktek pengajaran dan mengarah pada alokasi guru-guru yang

tidak merata di sekolah-sekolah (Jiyono dan kawan-kawan., 2001; Bank

Dunia, 1998).

Sesuai dengan manajemen terpusat, sebagaimana dinyatakan oleh Umaedi (2001)

dan Jalal serta Supriadi (2001), manajemen pendidikan Indonesia memiliki

orientasi makro yang sangat besar. Tilaar (1999) menerangkan bahwa kebijakan

mengenai uruan sekolah diisukan berdasarkan analisa pendidikan makro. Bjork

(2003) dan Tilaar menyetujui (1999) bahwa kebijakan berdasarkan studi kasus

sangat sulit ditemukan. Konsekuensinya, kebutuhan-kebutuhan sekolah tertentu

yang berbeda-beda tidak diarahkan berbasis individual. Semua sekolah menerima

perlakuan yang sama.

Melalui Undang-undang No.22/1999 mengenai Otonomi Daerah (Otonomi

Regional) bahwa desentralisasi yang besar dari kebijakan dan manajemen Negara

telah terjadi. Menurut Jalal dan Supriadi (2001, hal. 124-5), tujuan desentralisasi

yaitu:

Page 6: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

1. mengurangi beban pemerintah pusat dan intervensinya terhadap masalah-

masalah local;

2. memperbaiki pemahaman masyarakat dan dukungan mereka untuk

perkembangan social dan ekonomi;

3. perencanaan program yang lebih baik dalam hal memperbaiki social dan

ekonomi pada tingkat local;

4. melatih orang untuk mengatur masalah-masalah mereka sendiri; dan

5. memperkuat persatuan nasional.

Dalam bidang pendidikan, kebijakan desentralisasi tidak hanya menjadi sebuah

masalah nasional, namun juga gerakan global. Bjork (2003) menjelaskan bahwa

organisasi pendanaan internasional pada beberapa tahun terakhir telah

menyediakan sejumlah besar uang untuk promosi sistem pendidikan desentralisasi

di seluruh dunia. Pendukung dari pendekatan ini berargumen bahwa desentralisasi

berdampak pada satu atau beberapa akibat berikut: (a) redistribusi kekuasaan, (b)

peningkatan efisiensi, atau (c) sensitivitas yang lebih besar terhadap budaya local

(Bjork, 2003). Tiga hasil ini sesuai dengan masalah-masalah bahwa Indonesia

telah menghadapi manajemen dan pemusatan yang tumpang tindih, sebagaimana

dijelaskan sebelumnya.

Karena itu desentralisasi pendidikan menjadi salah satu dari perhatian penting

yang berkembang setelah rezim Orde Baru yang ditandai, sebagai contoh, dengan

Undang-undang No. 28/1990 (Jalal & Supriadi, 2001; Tilaar, 1999), tidak ada

perubahan yang serius pada awal tahun 1990an terkait dengan hal tersebut. Kritik

terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut dan keputusan-keputusan terkait

termasuk kurangnya politik yang mengimplementasikan desentralisasi, serta

skope masalah desentralisasi yang terbatas, hanya tertutupi pada perkembangan

dan pemeliharaan fisik sekolah saja (Jalal & Supriadi, 2001). Hal ini tidak

menyentuh pada aspek pendidikan yang sangat mendasar, seperti kurikulum dan

intruksi, serta masalah-masalah manajerial, seperti anggaran belanja dan

perekrutan pengajar serta staf lainnya.

Page 7: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Bagaimanapun, kebijakan desentralisasi yang ada saat ini dalam bidang

pendidikan secara signifikan ditandai dengan pengenalan Manajemen Berbasis

Sekolah (SBM) untuk sekolah-sekolah primer dan Sekunder pada tahun 1999

(Jalal & Supriadi, 2001; Umaedi, 2001). Pengenalan ini merupakan salah satu cara

pengimplementasian kebijakan otonomi pendidikan yang dinyatakan dalam

Undang-undang No. 22/1999. Hal ini juga sesuai dengan perspektif global bahwa

SBM saat ini menjadi sebuah fenomena umum, dipercaya memberikan harapapan

untuk perbaikan sekolah secara keseluruhan. Pendukung dari pendekatan ini telah

berargumen bahwa dalam sekolah-sekolah SBM, dimana struktur dan budaya

demokratis didukung, perbaikan dalam semua aspek sekolah menjadi lebih

mungkin dan mudah dikerjakan (Caldwell & Spinks, 1998; Cheng, 1996; Everard

& Morris, 1996; Gamage, Sipple, & Patridge, 1996; Mohrman, Wohlstetter, &

Associate, 1994; Wohlstetter, Van Kirk, Robertson, & Mohrman, 1997).

Umaedi, mantan Direktur Pendidikan Sekunder dari Menteri Pendidikan Nasional

(MNE) menyatakan bahwa SBM di Indonesia telah diimplementasikan untuk

meningkatkan kualitas sekolah (Umaedi, 2001). Oleh karena itu, beberap afungsi

harus didesentralisasi dengan sekolah-sekolah tunggal yang mendukung

pencapaian harapan dimana mereka memiliki bagian terbesar terhadap tanggung

jawab dan kemampuan mengerjakannya. Untuk mengembangkan beberapa fungsi

termasuk proses-proses pembelajaran dan pengajaran, prencanaan dan evaluasi

program sekolah, pengembangan kurikulum, manajemen dan rekrutment staff,

pemeliharaan sumberdaya dan fasilitas, manajemen keuangan, layanan siswa,

partnership komunitas sekolah, dan perkembangan budaya sekolah (2001, hal.

22).

Dalam menterjemahkan rencana di atas, Jiyono dan kawan-kawan. (2001, hal.

161-3) melaporkan sebuah model untuk SBM Indonesia, yang memiliki lima

komponen dasar – manajemen, proses pengajaran dan pembelajaran, sumber daya

manusia, sumberdaya dan administrasi, serta dewan sekolah.

1. Manajemen terfokus pada: (a) menyediakan manajemen dan

kepemimpinan organisasi sekolah, (b) mengembangkan perencanaan dan

kebijakan sekolah, (c) mengatur operasi sekolah, (d) menjamin

Page 8: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

pelaksanaan komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat, (e)

mendukung partisipasi komunitas, dan (f) memelihara tanggung jawab

sekolah.

2. Proses pengajaran dan pembelajaran yang berfungsi untuk (a)

meningkatkan pembelajaran siswa, (b) mengembangkan program

pembelajaran yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan siswa, (c)

menawarkan intruksi yang efektif, dan (d) menyediakan bagi siswa

program pengembangan kepribadian.

3. Sumber Daya Manusia berfungsi untuk (a) mendistribusikan dan

menempatkan staff dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan

siswa, (b) memilih staff dengan pengetahuan SBM, (c) mendukung

perkembangan profesional yang berlanjut, (d) menjamin kemakmuran para

staff dan siswa dan (e) mendukung proses diskusi sekolah.

4. Sumberdaya dan administrasi berfungsi untuk (a) mengidentifikasi dan

mengalokasikan sumber daya yang tersedia sesuai dengan kebutuhan, (b)

mengatur pendanaan sekolah, (c) menyediakan dukungan administrasi,

dan (d) menyediakan pemeliharaan bangunan.

5. Komite Sekolah, terdiri dari para partisipan pimpinan masyarakat yang

aktif, para profesional, para kepala sekolah, perwakilan pengajar,

perwakilan dari pejabat pendidikan wilayah, dan perwakilan orang tua,

yang bertanggung jawab untuk memilih dasar-dasar, mengumpulkan dana,

mengontrol pendanaan sekolah yang bersumber dari masyarakat,

memblokir dana, pendanaan pemerintah pusat (kecuali gaji), dan terkait

dengan perkembangan kurikulum.

Agar setiap komponen diatas berfungsi dengan baik, Jiyono dan kawan-kawan

(2001) membuat dua persyaratan. (1) Dana harus dialokasikan dan secara

langsung diberikan kepada sekolah, berkebalikan dengan tradisi lama dimana

dana diberikan pada sekolah melalui jalur birokrasi yang panjang. (2) Staff yang

memiliki skil SBM harus tersedia pertama kali untuk mendukung dan menjamin

pelaksanaan yang efektif. Sekali lagi dua persyaratan tersebut harus dipenuhi,

Page 9: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

menurut Jiyono dan kawan-kawan. (2001), pelaksanaan SBM di Indonesia masih

dalam garis yang benar. Sayangnya, sampai sekarang para peneliti tidak

ditemukan dari literature yang dapat diakses, lebih jauh mengenai fakta-fakta yang

didasarkan pada penelitain mengenai bagaimana SBM dapat dijalankan.

Beberapa kepala sekolah yang ikut serta dalam workshop SMB meakukan

Pendidikan Berbasis Manajemen (MBE) telah mendefinisikan karakteristik

penting bagi SBM Indonesia. Sedangkan karakteristik ini malahan tidak

tergambarkan dari fenomena actual SBM Indonesia melalui sebuah penelitian

ilmiah, yang menunjukkan pemahaman dan harapan kepala sekolah dari SBM.

Karakteristik tersebut sebagai berikut:

1. Visi dan misi sekolah dirumuskan oleh kepala sekolah, para guru,

perwakilan siswa, alumni sekolah dan para stakeholder lain.

2. Perencanaan pengembangan sekolah didasarkan pada visi dan misi

tersebut.

3. Rencana anggaran belanja sekolah berpedoman pada rencana

pengembangan sekolah, yang dikembangkan secara jelas oleh kepala

sekolah, para guru dan komite sekolah.

4. Otonomi sekolah dapat terealisasi, sebagaimana ditunjukkan oleh sekolah

yang menjadi lebih mendorong diri sendiri serta terfokus pada pemenuhan

kebutuhan local.

5. Berpartisipasi dan pembuatan keputusan yang demokratis

6. Sekolah terbuka untuk mendapat kritikan, masukan dan saran dari

seseorang guna meningkatkan programnya.

7. Setiap orang di sekolah dipersilahkan mengajukan visi dan misi yang

disetujui.

8. Semua kekuatan stakeholder sekolah dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.

9. Bekerja dengan atmosfer yang kondusif untuk meningkatkan kemampuan

sekolah.

10. Terdapat kemampuan untuk membuat rasa bangga diantara staff dan

komunitas local.

Page 10: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

11. Terdapat transparansi dan tanggung jawab public dalam

mengimplementasikan semua aktivitas (Proyek Pendidikan Berbasis

Manajemen (MBE)).

Karakteristik ini mengindikasikan beberapa masalah mendasar SBM termasuk: (a)

struktur pemerintahan di sekolah, (b) otonomi sekolah, (c) pembuatan keputusan

bersama, (d) kurikulum sekolah, (e) manajemen dan kepemimpinan sekoah, dan

(f) pengembangan professional staff. Bagaimanapun, karakteristik-karakteristik

tersebut tidak terkonsep secaar sistematis. Rubiannoor (2003), dalam

penelitiannya mengenai aturan-aturan kepala sekolah dalam menjalankan SBM di

sekolah di Kalimantan Selatan, menyimpulkan bahwa kepala sekolah harus

memahami aturan baru ini dalam pelaksanaan SBM: (a) mengembangkan visi dan

misi sekolah, (b) membentuk strategi untuk peningkatan kualitas, dan (c)

mengimplementasikan manajemen partisipatif. Bagaimanapun, sekolah tidak

hanya pada tahap penyiapaan untuk pelaksanaan SBM, penaksiran yang lebih baik

terhadap phase implementasi yang tidak dapat dilakukan. Dia juga menemukan

bahwa sumber daya manusia seperti halnya staff dan pengajar siap secara kognitif,

mental dan budaya untuk menghadapi berbagai masalah yang mungkin

menghambat kesuksesan pelaksanaan program tersebut (Rubiannor, 2003, hal.

146-9).

REFORMASI KURIKULUM SEKOLAH

Menurut Mohrman dan kawan-kawan. (1994) dan Wohlstetter, Van Kirk,

Robertson dan Mohrman (1997), SBM harus terlihat sebagai bagian rangkaian

perubahan yang sangat sistemik, bukan sebagai inovasi yang terisolasi, karenanya

bukan secara otomatis meningkatkan kemampuan sekolah dan siswa. Rangkaian

perubahan sistemik dalam SBM sekolah mencakup pengenalan pengajaran dan

pembelajaran dengan pendekatan baru. Dengan kata lain, reformasi structural

melalui pelaksanaan SBM harus terjadi menyamping, dengan dan terhubung kuat

pada reformasi kurikulum dan instruksi (Wohlstetter dan kawan-kawan., 1997).

Page 11: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Sesuai dengan argument di atas dan mengikuti implementasi SBM, Otoritas

Pendidikan Indonesia memperkenalkan sebuah kurikulum baru: Kurikulum

Berbasis Kompetensi (KBK: Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada tahun 2003.

Kurikulum ini mulai diimplementasikan pada tahun 2004. Oleh karena itu, nama

resmi untuk kurikulum ini yaitu Kurikulum 2004 (kurikulum tahun 2004).

Menurut MNE, kurikulum baru ini menekankan pada kompetensi terstandarisasi

dimana para siswa mencapai dan memiliki otoritas besar agar stakeholder sekolah

ikut serta dalam pengembangan kurikulum. Kwartolo (2002) menjelaskan bahwa

tujuan pelaksanaan Kurikulum 2004 ini yaitu untuk menghasilkan lulusan siswa

yang memiliki kepribadian kuat, daya saing dan keterampilan bagus, agar dapat

berkembang sukses dengan kualitas bagus dalam hal tenaga kerja ataupun dalam

pendidikan tinggi, serta dapat berinteraksi dengan lingkungan social, budaya dan

alam.

Perbandingan antara Kurikulum 2004 dan yang sebelumnya diulas oleh MNE

(2003c), yang teringkas dalam Tabel 1. Perbandingan ini mengindikasikan,

sebagaimana yang digambarkan Joni (2000), Sindhunata (2000), dan Jalal dan

Supriadi (2001), dalam kurikulum sebelumnya yang berorientasi pada materi, isi

padat dan pengembangannya terpusat.

MNE (2003b, hal 35 – 7) juga memberikan pedoman yang jelas untuk

perkembangan dan manajemen kurikulum pada setiap tingkatan – otoritas pusat

dan local, sebagaimana sekolah. Otoritas pusat memainkan peran penting untuk

memberikan layanan professional bagi pengembang kurikulum regional atau

local, serta seminar dan workshop untuk peningkatan kualitas kurikulum. Otoritas

propinsi berfungsi untuk menyediakan, mendukung, mengawasi dan mengontrol

implementasi silabus dalam distrik. Sementara itu, otoritas distrik menyediakan

dan mendukung perkembangan, evaluasi, perbaikan silabus. Selain itu juga

membuat panduan bagi sekolah dalam mengembangkan silabus, membentuk

sebuah tim pengembang silabus wilayah, membantu dan menganalisa silabus

sekolah, dan mengawasi serta memonitor pengembangan dan implementasi

silabus. Sekolah diharapkan mengembangkan silabus mereka sendiri, atau

Page 12: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

menggunakan silabus sekolah lain serta untuk secara aktif berkoordinasi dengan

Wilayah guna mengembangkan silabus.

Tabel 1. Perbandingan kurikulum 1994 dan 2004

Kemiripan

Kurikulum 1994 Kurikulum 2004

Wajib belajar 9 tahun

Menekankan pada kemampuan

membaca, menulis dan fungsi-fungsi

aritmatika

Konsep-konsep dan materi penting

dalam setiap subyek untuk mencapai

kompetensi

Kurikulum kandungan local

Alokasi waktu belajar 45 menit

dalam satu jam belajar pada setiap

level sekolah

Wajib belajar 9 tahun

Menekankan pada kemampuan

membaca, menulis dan fungsi-fungsi

aritmatika

Konsep-konsep dan materi penting

dalam setiap subyek untuk mencapai

kompetensi

Kurikulum kandungan local

Alokasi waktu belajar 45 menit dalam

satu jam belajar pada setiap level sekolah

Perbedaan

Terpusat

Berisi kompetensi yang tidak

terstandarisasi

tidak ada aktivitas untuk

memfamiliarkan siswa pada

kandungan dan konsep

tidak ada ICT

penilaian dengan pilihan ganda

pendekatan thematic untuk siswa

kelas 1 dan 2 dari sekolah dasar

(hanya anjuran)

tidak ada kompetensi berlanjut

Desentralisasi

Mengandung kompetensi

terstandarisasi

Aktivitas yang terpadu dan

terprogram untuk membuat siswa

familier dengan isi dan konsep

Pengenalan ICT

Penilaian berdasarkan ruang kelas

Pendekatan thematic untuk siswa

kelas 1 dan 2 dari sekolah dasar

(wajib)

Stratifikasi kompetensi berlanjut dari

Page 13: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

tidak ada perbedaan kurikulum

silabus dikembangkan melalui

otoritas pendidikan local atau

kebergantungan sekolah terhadap

kebutuhan.

grade 1 sampai 12 (tingkat sekolah)

Perbedaan kurikulum: kurikulum

khusus dan internasional

Memberikan kesempatan bagi para

guru, sekolah dan otoritas local untuk

elaborasi dan adaptasi program atau

menganalisa materi.

Sebagaimana diindikasikan dalam Blank (1982, hal 3 – 6), prinsip-prinsip

berdasarkan kompetensi tidak hanya berhubungan dengan kurikulum dalam

merumuskan tujuan pembelajaran dan memilih kandungan yang berorientasi pada

kompetensi, namun juga terkait dengan kualitas intruksi. Penting sekali untuk

mengembangkan proses belajar dan mengajar guna mempersiapkan siswa

berkualitas tinggi, pendesainan yang hati-hati, aktivitas yang terpusat pada siswa,

dan dengan materi dan media yang didesain membantu mereka menguasai setiap

tugas dan memiliki kemampuan. Untuk hal tersebut, MNE mengusulkan proses

mengajar dan belajar apa yang harus diberikan dalam konteks implementasi

Kurikulum 2004.

MNE (2003a, hal. 7) mendefinisikan pembelajaran sebagai sebuah langkah aktif

oleh para siswa untuk membangun makna dan pemahaman, sedangkan pengajaran

merupakan tanggung jawab pengajar untuk membuat situasi yang mendukung

terhadap kreativitas para siswa, motivasi dan tanggung jawab untuk berjalannya

pendidikan. MNE (2003a, hal 7 – 11) juga menyediakan sebuah daftar proses

pegajaran dan pembelajaran efektif yang mencakup prinsip-prinsip berikut ini:

1. Makna pembelajaran terbalik: mengacu pada konsep pembangunan

informasi ddan pemahaman oleh siswa, bukan transfer pengetahuan dari

guru pada siswa.

2. Pemusatan pada siswa: Setiap siswa berbeda, dan oleh karenanya proses

pengajaran dan pembelajaran harus melayani pada kebutuhan individu dari

setiap siswa.

Page 14: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

3. Pembelajaran dengan pengalaman. Proses yang banyak menyediakan

pengalaman kehidupan nyata bagi para siswa terkait dengan pengetahuan

yang mereka peroleh.

4. Pengembangan kemampuan social, kognitif dan emosional: hal ini

menekankan pada interaksi dan komunikasi selama proses belajar.

5. Pengembangan rasa ingin tahu, imajinasi kreatif, dan kualitas

kepercayaan pada Tuhan: proses ini memfasilitasi peningkatan

keingintahuan dan imajinasi siswa. Proses ini juga membentuk kesadaran

terhadap dimensi Ketuhanan.

6. Pembelajaran jangka panjang: proses ini mensuplai para siswa dengan

mempelajari keterampilan yang mencakup percaya diri, keingintahuan,

kemampuan untuk memahami orang lain, dan berkomunikasi serta bekerja

sama dengan orang lain.

7. Kebebasan dan kebergantungan yang menyatu: ini memberikan makna

bahwa proses tersebut mengembangkan jiwa persaingan dalam

kebersamaan.

Selain beberapa daftar komponen tersebut di atas, MNE juga memberikan

pedoman untuk pengajaran yang efektif serta manajemen pembelajaran. Beberapa

pedoman tersebut penting untuk para pengajar di sekolah dalam proses

implementasi kurikulum baru (Departemen Pendidikan Nasional, 2003a). Hal ini

dikarenakan pemahaman yang komprehensif seperti pendekatan berbasis

kompetensi dalam pengajaran, dan oleh karenanya diperlukan para guru yang

lebih bertanggung jawab dan lebih kreatif.

HAMBATAN PELAKSANAAN

Literature tersebut juga menggambarkan beberapa hambatan yang mungkin

menghambat kesuksesan pelaksanaan SBM dan kurikulum 2004 dalam kaitannya

dengan konteks pendidikan Indoensia. Satu dari hambatan tersebut terletak pada

kenyataan bahwa para guru secara cultural telah terbiasa dengan system terpusat.

Penelitian Bjork (2003) mengindikasikan respon yang kurang besar dari para guru

terhadap program desentralisasi dalam perkembangan kurikulum. Walaupun

Page 15: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

penelitian yang dilakukan dalam konteks program Muatan Kurikulum Lokal

(LCC) pada tahun 1998, terkait dengan situasi budaya yang masih serupa antara

waktu penelitiannya dengan yang ada sekarang.

Menurut Bjork (2003), tiga alas an yang teridentifikasi membenarkan respon

pengajar yang masih belum cukup. Pertama, budaya masyarakat mencegah para

guru menjadi para individu yang bebas yang dapat aktif, kreatif dan inovatif.

Layanan budaya masyarakat penuh dengan nilai-nilai loyalitas, kepatuhan,

tanggung jawab, kooperatif dan sebagainya. Sebagaimana yang diteliti oleh

Emmerson (1978), budaya ini menjalar secara langsung dari pimpinan mereka

lebih dari perwakilan komunitas local yang dihasilkan dari praktek-praktek

otoritarian rezim Orde Baru lebih dari tiga decade. Bjork (2003, hal 205) dengan

jelas menyatakan bahwa para guru Indonesia cenderung pada nilai keamanan

kinerja mereka aripada kesempatan untuk memberikan pengaruh terhadap

kebijakan sekolah atau membuat perbedaan dalam hidup para siswa mereka.

Yang kedua, kurangnya upah dan insentif untuk para guru dengan tanggung jawab

baru atau penambahan tanggung jawab. Para guru, dalam penelitian Bjork (2003)

tidak mencurahkan waktu mereka untuk segala hal, tidak tersedianya keuntungan

financial yang lebih bagi mereka. Malahan, tekanan anggaran belanja yang dibuat

pemerintah tidak dapat memberikan upah financial pada para guru yang telah

memenuhi tanggung jawab tambahan tersebut. Tekanan anggaran belanja ini

diakui oleh beberapa ahli seperti Sutjipto dan kawan-kawan. (2001) yang terkait

dengan perumusan kebijakan reformasi pendidikan Indonesia. Menurut laporan

Asia Times Online, anggaran belanja pendidikan di Indonesia paling rendah di

Asia, yang hanya berjumlah tujuh persen dari Anggaran Belanja Negara tahun

2000, sedangkan Negara tetangganya seperti Malaysia, Philippina, Singapur dan

Thailand mengalokasikan dari 25 sampai 35 persen anggaran belanja tahunan

untuk pendidikan (Asia Times, 2000). Rekomendasi terhadap konstitusi untuk

alokasi anggaran belanja sebesar 20 persen untuk pendidikan masih belum dapat

terpenuhi.

Ketiga, hubungan local terpusat masih merupakan point yang sangat

tersentralisasi dalam rangkaian kesatuan. Walaupun kekuasaan pejabat pendidikan

Page 16: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

pusat menggambarkan komitmen mereka untuk memperkuat otoritas local, namun

mereka gagal untuk memberikan makna yang cukup dan memberikan bantuan

guna mendukung komitmen mereka (Bjork, 2003; Rubiannor, 2003). Bjork (2003,

hal 208) menggambarkan, “dalam teori, mereka (orang-orang pusat) ingin

meningkatkan otoritas local; pada kenyataannya mereka seringkali merusak tujuan

tersebut”. Weston, ketua program proyek MBE, menyatakan, “dalam beberapa

kasus langkah mereka [pejabat pemerintah] kontradiksi dengan kata-kata mereka

(mereka berkata desentralisasi namun pada prakteknya pendekatannya adalah

tersentralisasi). Tidak ada daftar fungsi yang jelas yang terkirimkan pada tingkat

sekolah, dan yang lebih penting, sedikitnya datan yang teralokasi bagi sekolah”

(komunikasi sekolah dengan email, 2003).

Bjork (2003) menyatakan ada tiga alas an budaya gagalnya program LCC yang

menggambarkan sulitnya implementasi agenda reformasi pendidikan di Indonesia.

Situasi social-politik yang berjalan panjang berdampak dalam budaya loyalitas

dan kepatuhan yang berdampak negative terhadap proses-proses desentralisasi.

Rubiannoor (2003, hal 147) menyatakan bahwa budaya menunggu perintah dan

meminta petunjuk atau ‘menunggu perindah dan meminta arahan’ dari otoritas

yang lebih tinggi untuk melakukan perubahan. Situasi social politik saat ini

mungkin berubah sejak agenda reformasi dikeluarkan dan awal kebijakan otonomi

diimplementasikan, namun memerlukan waktu untuk merubah perilaku budaya

para pengajar dan orang lain yang bekerja dalam pendidikan.

KESIMPULAN

System pendidikan Indonesia telah menjalani perubahan yang besar. Perubahan

ini dipicu oleh situasi social politik baru-baru ini, mencakup setidaknya tiga aspek

utama pendidikan. Pertama, terdapat pendefinisian ulang terhadap tujuan

pendidikan nasional, yang menekankan pada pentingnya pencapaian warga

Negara untuk dapat hidup dalam sebuah demokrasi. Yang kedua, pendekatan

manajemen sekolah berubah dari manajemen terpusat menjadi desentralis.

Pergeseran ini terpadu dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (SBM).

Page 17: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Ketiga, terdapat pergeseran paradigma dalam istilah: (a) pembentukan kompetensi

berstandard nasional untuk siswa yang harus dicapai, (b) membuat hubungan yang

jelas antara lulusan sekolah dan kebutuhan kerja, serta (c) mengakomodasi

kebutuhan local dengan mengikutsertakan stakeholder sekolah local dalam

pengembangan sekolah mereka.

Rintangan yang mungkin menghambat kesuksesan implementasi reformasi perlu

diatasi dengan tepat, atau sebaliknya reformasi masih tetap baik dalam tulisan

saja. Beberapa rekomendasi dapat dikembangkan. Pertama, dalam kerangka kerja

komunitas yang terkait dengan pendidikan, sosialisasi setiap kebijakan dan

permulaan yang diambil harus dilakukan secara keseluruhan. Seseorang tidak

dapat tinggal diam jika mereka bukan bagian dari stakeholder pendidikan dan

sekolah-sekolah. Keperluaan ini diikuti dengan program penguatan dari

stakeholder kunci, utamanya para orang tua. Yang kedua, pimpinan pada setiap

tingkatan pendidikan perlu dikembangkan dengan kuat sebagai literature (Fullan,

1999; Leithwood, Jantzi, & Steinbach, 1999; MacBeath, 1998) menggambarkan

apa yang perlu berubah dengan cepat pada waktu tertentu merupakan pimpinan

yang efektif memberikan panduan dan menyediakan arahan. Ketiga, budaya para

guru pegawai negeri sipil perlu dirubah menjadi sebuah budaya yang professional.

Para guru perlu melihat kinerja mereka sebagai sebuah profesi dengan tanggung

jawab tertentu dan cukupnya gaji. Rencana pemerintah terhadap isu Undang-

unang Profesionalisasi Guru tahun 2005 (Rancangan Undang-undang Guru)

merupakan sebuah langkah yang tepat untuk mengambil dan dapat diharapkan

membentuk budaya para guru yang professional (Lie, 2005). Keempat,

pertumbuhan professional perlu menjadi bagian integral dari reformasi dan

dikembangkan dengan cara-cara yang berguna dan disengaja. Kelima, 20 persen

atau lebih anggaran belanja perlu dialokasikan untuk pendidikan sebagaimana

yang direkomendasikan oleh undang-undang guna memberikan pendanaan yang

cukup untuk proses pendidikan. Peningkatan anggaran belanja yang diperlukan

diperlukan untuk mengurangi tingkat korupsi yang besar dalam pendidikan, yang

terjadi pada setiap tingkat birokrasi, termasuk sekolah (Irawan, Eriyanto, Djani, &

Page 18: Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Sunaryanto, 2004). Yang terakhir, beberapa penelitian pada setiap aspek

pendidikan di Indonesia perlu dilakukan sebagai bagian dari agenda reformasi

secara keseluruhan guna memperkirakan dan mengevaluasi pelaksanaan

reformasi. Studi kasus perlu diterima sebagai pendekatan yang sangat luas dimana

dengan studi kasus tersebut dapat mengarahkan masalah-masalah individu dari

setiap aspek yang diteliti.