Reforma Agraria dan Transisi Agrariaarc.or.id/wp-content/uploads/2019/07/ARC-Dianto...Orat-oret awal...

17
Orat-oret awal (2) 1 Reforma Agraria dan Transisi Agraria Dianto Bachriadi 1 Tulisan Kawan Bosman dalam Literasi.co (25/09/2018) sungguh menarik. Sebab tulisan itu mencoba membuka kembali diskusi tentang reforma agraria (RA) dalam konteks transisi agraria (agrarian transition). Di Indonesia saat ini sudah sangat jarang RA diperbincangkan dalam konteks transisi agraria, bahkan mungkin sudah ditinggalkan. Di tengah hingar-bingar politik dan keriuhan promosi “pelaksanaan program yang disebut sebagai RA”, diskusi-diskusi dan pembahasan RA lebih banyak berpusar pada aspek teknis, kelembagaan, dan dasar-dasar hukum pelaksanaannya. Paling jauh membahas signifikansi program ini dari sudut pandang “keharusan” etis dan politisnya. Perkembangan kapitalisme global dan industrialisasi di Indonesia saat ini sepertinya juga menyiratkan bahwa RA/LR tidak lagi diperlukan. Karena tujuan RA itu sendiri adalah untuk menciptakan “akumulasi yang diperlukan oleh industri” – sebagaimana teori LR yang berkembang pada awal dan pertengahan abad ke-20, menjadikan sektor pertanian sebagai alas utama dan pertama dalam rangka membangun industri nasional. Paling-paling yang tersisa saat ini hanya membincangkan penyelesaian konflik agaria dan konsekuensinya pada ketunakismaan (landlessness) atau hilangnya hak untuk menggarap atau menggunakan tanah – akibat pencaplokan tanah skala besar (land grabs) – yang dikemas dalam bungkusan RA. Situasi ini sangat berbeda ketika land reform (: di sini tidak dibedakan pengertian antara RA dan land reform) dijalankan pada tahun 1960-an. Ketika itu jelas, land reform (LR) dijalankan sebagai jalan untuk mencapai masyarakat sosialis Indonesia (: lihat kembali isi UUPA 1960 yang menjadi induk dari segala aturan hukum pelaksanaan land reform). Dengan kata lain, pada masa itu LR memang diletakkan dalam konteks transisi agraria dan transformasi masyarakat menuju Sosialisme Indonesia. Esai panjang ini ingin berkomentar dan menambahkan beberapa detail atas beberapa isu yang ditekankan Kawan Bosman dalam tulisannya tersebut. Pada intinya, tulisan tersebut mengajak kita untuk “mengembalikan” wacana tentang RA/LR dalam konteks transisi agraria dan perlakuan-perlakuan terhadap sektor pertanian dan kaum tani di tengah transisi tersebut, serta membaca kecenderungan- kecenderungan pengaturan ulang penguasaan tanah – baik di pedesaan maupun perkotaan – yang sangat gencar dilakukan saat ini. Sebelum memberikan ulasan atas “undangan” Kawan Bosman tadi, berikut ini saya sajikan gambar skematik untuk membantu melihat (: ”membaca”) kembali RA/LR dalam konteks transisi agraria, masalah-masalah pertanahan, serta berbagai “program agraria” yang ada saat ini. 1 Peneliti Senior di Agrarian Resources Centre (ARC) Bandung dan menjadi Profesor/Peneliti Tamu di Pusat Kajian Asia Tenggara, Universitas Kyoto, Jepang, tahun 2018-2019.

Transcript of Reforma Agraria dan Transisi Agrariaarc.or.id/wp-content/uploads/2019/07/ARC-Dianto...Orat-oret awal...

Orat-oret awal (2)

1

Reforma Agraria dan Transisi Agraria

Dianto Bachriadi1

Tulisan Kawan Bosman dalam Literasi.co (25/09/2018) sungguh menarik. Sebab tulisan itu mencoba membuka kembali diskusi tentang reforma agraria (RA) dalam konteks transisi agraria (agrarian transition). Di Indonesia saat ini sudah sangat jarang RA diperbincangkan dalam konteks transisi agraria, bahkan mungkin sudah ditinggalkan. Di tengah hingar-bingar politik dan keriuhan promosi “pelaksanaan program yang disebut sebagai RA”, diskusi-diskusi dan pembahasan RA lebih banyak berpusar pada aspek teknis, kelembagaan, dan dasar-dasar hukum pelaksanaannya. Paling jauh membahas signifikansi program ini dari sudut pandang “keharusan” etis dan politisnya.

Perkembangan kapitalisme global dan industrialisasi di Indonesia saat ini sepertinya juga menyiratkan bahwa RA/LR tidak lagi diperlukan. Karena tujuan RA itu sendiri adalah untuk menciptakan “akumulasi yang diperlukan oleh industri” – sebagaimana teori LR yang berkembang pada awal dan pertengahan abad ke-20, menjadikan sektor pertanian sebagai alas utama dan pertama dalam rangka membangun industri nasional. Paling-paling yang tersisa saat ini hanya membincangkan penyelesaian konflik agaria dan konsekuensinya pada ketunakismaan (landlessness) atau hilangnya hak untuk menggarap atau menggunakan tanah – akibat pencaplokan tanah skala besar (land grabs) – yang dikemas dalam bungkusan RA.

Situasi ini sangat berbeda ketika land reform (: di sini tidak dibedakan pengertian antara RA dan land reform) dijalankan pada tahun 1960-an. Ketika itu jelas, land reform (LR) dijalankan sebagai jalan untuk mencapai masyarakat sosialis Indonesia (: lihat kembali isi UUPA 1960 yang menjadi induk dari segala aturan hukum pelaksanaan land reform). Dengan kata lain, pada masa itu LR memang diletakkan dalam konteks transisi agraria dan transformasi masyarakat menuju Sosialisme Indonesia.

Esai panjang ini ingin berkomentar dan menambahkan beberapa detail atas beberapa isu yang ditekankan Kawan Bosman dalam tulisannya tersebut. Pada intinya, tulisan tersebut mengajak kita untuk “mengembalikan” wacana tentang RA/LR dalam konteks transisi agraria dan perlakuan-perlakuan terhadap sektor pertanian dan kaum tani di tengah transisi tersebut, serta membaca kecenderungan-kecenderungan pengaturan ulang penguasaan tanah – baik di pedesaan maupun perkotaan – yang sangat gencar dilakukan saat ini.

Sebelum memberikan ulasan atas “undangan” Kawan Bosman tadi, berikut ini saya sajikan gambar skematik untuk membantu melihat (: ”membaca”) kembali RA/LR dalam konteks transisi agraria, masalah-masalah pertanahan, serta berbagai “program agraria” yang ada saat ini.

1 Peneliti Senior di Agrarian Resources Centre (ARC) Bandung dan menjadi Profesor/Peneliti Tamu di Pusat Kajian Asia Tenggara, Universitas Kyoto, Jepang, tahun 2018-2019.

Orat-oret awal (2)

2

Reforma Agraria (RA) dan “Letaknya” dalam Perubahan Sosial

Transisi agraria – atau peralihan relasi produksi yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan pengerahan tenaga kerja di pedesaan dan atau pada sektor pertanian yang menjadi tumpuan-tolak dari perubahan satu corak produksi ke corak lainnya – merupakan kata kunci untuk memahami letak RA/LR dalam konteks perubahan sosio-kemasyarakatan. Pada masyarakat-masyarakat di mana kapitalisme yang baru berkembang dan memerlukan akumulasi yang cukup untuk mendorong industrialisasi, maka perombakan tata kuasa atas tanah-tanah pertanian dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian hingga menghasilkan surplus-surplus yang bisa digunakan untuk memperkuat industri. Pengubahan atau perombakan tata kuasa (pemilikan dan atau penguasaan) tanah secara masif dengan implikasi pada perubahan pengerahan tenaga kerja juga relasi-relasi produksi di atasnya itu lah yang dikenal dengan sebagai land reform.

Dalam perkembangan (awal) kapitalisme, tanah-tanah yang selama ini dikuasai melalui kuasa manorial/feodal atau bentuk penguasaan dan pemilikan lainnya yang dapat dikategorikan sebagai penguasaan/pemilikan tanah pra-kapitalis (pre-capitalist landed properties), diubah menjadi properti kapitalistik (capitalist landed property). Perubahan tata kuasa atas tanah tersebut, yang lebih banyak digunakan untuk kegiatan pertanian, diharapkan akan menghasilkan surplus atau nilai lebih (value added) yang dapat dilipatgandakan (: akumulasi) lebih besar lagi untuk/dalam industri (membangun dan mengembangkan ekonomi industri).

Orat-oret awal (2)

3

Di sejumlah tempat, kapitalisme berkembang akibat proses pengubahan penguasaan tanah yang dimotori oleh kaum bangsawan sendiri atau kelompok elite pemegang kekuasaan politik/negara, baik melalui pemagaran-pemagaran (enclosures) terhadap tanah-tanah yang biasanya bisa diakses secara bebas (the commons) atau pun proses komodifikasi tanah-tanah manorial/feudal. Sejumlah ahli menyebutnya sebagai “perkembangan kapitalisme dari atas” (capitalism from above). Konsekuensi sosial dari proses perubahan tersebut adalah petani atau kelompok penghasil utama produk pertanian tersingkir dari lahan-lahan pertanian skala kecil yang selama ini mereka kuasai dan menjadi sumber penghidupannya. Begitu juga dengan surplus-surplus yang biasanya – sebagai producers of surpluses– mereka serahkan secara langsung kepada penguasa/pemilik tanah (: surplus takers) diubah pula pola pengambilannya.

Kapitalisme mengubah corak pengambilan surplus pertanian dari moda penyerahan langsung dalam bentuk natura, sebagaimana yang biasa berkembang pada masyarakat pra-kapitalis, ke bentuk pertukaran waktu kerja yang diujudkan dalam upah. Nilai lebih (surplus) yang bisa dikumpulkan oleh pemilik tanah jadi bertambah besar yang memungkinkannya untuk melipatgandakannya lagi dalam proses produksi lain di sektor lain. Industrialisasi tumbuh; bertumpu-mula dari nilai lebih (surplus) yang lebih besar yang diperoleh dari kegiatan/sektor pertanian. Komodifikasi tanah dan tenaga kerja memungkinkan terjadiya “akumulasi yang diperlukan untuk industri”.

Pada tempat-tempat lain di mana perkembangan kapitalisme tidak atau belum sampai pada penghancuran yang relatif menyeluruh terhadap “pre-capitalist landed property” dan penguasaan tanah feodal dengan tuan tanah yang masih kuat bercokol, industri tumbuh lambat. Nilai lebih dari tanah-tanah yang masih terkonsentrasi di tangan para tuan tanah tidak cukup besar untuk dilipatgandakan demi percepatan industrialisasi. RA/LR biasanya dijadikan suatu cara untuk memperbesar peluang berkembangnya pelipatgandaan nilai lebih atau “akumulasi yang diperlukan untuk industri”. “Pre-capitalist landed property” dihancurkan melalui RA/LR.

Pada masyarakat-masyarakat feodal taklukan atau bangsa-bangsa yang baru memerdekakan dirinya dari kolonialisme, RA/LR segera menjadi “program favorit” untuk meletakan fondasi baru bagi pembangunan masyarakat. Demikian pula dengan negara-negara di belahan Selatan yang hendak membangun perekonomiannya pasca Perang Dunia II. Tanah-tanah yang masih dikuasai oleh para bangsawan lokal atau para tuan tanah segera menjadi obyek dari RA/LR. Petani-petani penggarap yang memiliki tanah kecil atau sama sekali tidak memiliki tanah diberikan tanah untuk dikerjakan secara produktif. Selain untuk tujuan konsolidasi politik massa di pedesaan, diasumsikan semakin banyak petani yang mengerjakan tanahnya sendiri akan meningkatkan produktivitas tanah dan tenaga kerja ketimbang tanah-tanah dikuasai oleh para tuan tanah. Artinya “akumulasi yang diperlukan untuk industri” bisa dicapai lebih cepat. Akumulasi ini akan mendorong proses penguatan industri nasional yang diperlukan dalam rangka pembangunan nasional.

Konteks pembangunan pasca Perang Dunia ini kemudian membuat land reform menjadi salah satu program penting baik di tingkat nasional maupun internasional. Ia menjadi bagian dari berbagai kerjasama internasional dan program dari badan-badan dunia seperti UN-FAO dan Bank Dunia. “Piagam Kaum Tani” (the Peasant

Orat-oret awal (2)

4

Charter) yang dideklarasikan pada tahun 1979 setelah penyelenggaraan Konferensi Dunia tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (the World Conference on Agrarian Reform and Rural Development, WCARRD 1979) meletakan RA/LR sebagai dasar dari program pembangunan – khususnya pembangunan pedesaan – dan kerja sama multilateral dari negara-negara anggota FAO.

Sementara itu, bersamaan dengan gerakan pembebasan atas kolonialisme yang marak di pertengahan abad ke-20, RA/LR menjadi program favorit. Bukan saja dalam konteks pembangunan, tetapi dijadikan cara untuk membuka jalan bagi transisi ke corak produksi sosialis. Semangat anti kolonialisme dan imperialisme yang dinyatakan sebagai puncak dari perkembangan kapitalisme menjadi semangat zaman di berbagai belahan dunia dan negara-negara yang baru terbentuk/merdeka. Meskipun tidak selalu menjadi model utama, pelaksanaan land reform paska revolusi sosialis di beberapa negara – seperti Uni Soviet, Cina dan Kuba – menjadi penanda untuk menggerakan perubahan ke jalan sosialis di sejumlah negara yang baru merdeka paska PD II. Sejumlah percobaan pembangunan sosialisme yang lain, seperti populisme juga menjadi pilihan yang lain.

Itulah yang terjadi di Indonesia, tak lama setelah kemerdekaan 1945. Bung Karno, misalnya, dalam salah satu pidatonya tahun 1960 menyatakan, “Revolusi Indonesia ibarat rumah kosong jika tidak disertai pelaksaaan land reform” atau, dengan kata lain, land reform menjadi syarat mutlak untuk mencapai cita-cita revolusi nasional. Meskipun ia nyatakan juga bahwa land reform di Indonesia bukan land reform ala komunisme yang akan menghapuskan hak kepemilikan pribadi atas tanah.

Jika ditelaah lebih dalam, terlepas dari retorika politik yang menyertainya, pelaksanaan land reform di Indonesia pada tahun 1960-an – yang bersandar pada tiga undang-undang, yakni UUPBH 2/1960, UUPA 5/1960 dan UU 56/Prp/60 – lebih bertujuan untuk memeratakan penguasaan tanah di pedesaan oleh kaum tani dan meningkatkan produktivitas pertanian serta pedesaan dengan memberikan jaminan pemilikan dan penguasaan tanah kepada unit-unit rumah tangga tani yang akan berproduksi secara mandiri yang kemudian digabung dalam satuan-satuan ekonomi koperasi. Secara garis besar LR cara ini mirip dengan gagasan penguatan ekonomi rumah tangga petani chayanovian. Itu sebabnya seorang pemikir agraria terkemuka di Indonesia, Gunawan Wiradi, sering mengatakan land reform di Indonesia pada tahun 1960-an adalah bukan LR jalan kapitalis, bukan juga LR di jalan sosialis-komunis, tetapi LR jalan sosialis-neo-populis.

RA/LR dan Transformasi Struktur Ekonomi

Pada dasarnya ada tiga isu pokok yang selalu melekat dalam program RA/LR. Di antaranya yakni: peningkatan produktivitas dan perubahan struktur ekonomi, kemiskinan, dan pemerataan/keadilan sosial yang berkaitan dengan ketimpangan penguasaan tanah. Isu yang pertama sangat terkait dengan persoalan transisi agraria. Fenomena ketimpangan itu sendiri dapat dibaca dengan kacamata etis (= ketidakadilan), ekonomi (= kurang berkembangnya produktivitas dan terhambatnya proses peralihan struktur ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi berbasis industri), dan ekonomi-politik (= struktur sosial yang mempengaruhi dan terbentuk akibat perubahan/perkembangan ekonomi).

Orat-oret awal (2)

5

RA/LR seringkali dipilih sebagai program jangka pendek dalam rangka mendorong terciptanya “akumulasi yang diperlukan untuk industri” atau mempercepat proses transisi agraria. Baik dalam jalan kapitalis maupun sosialis. Dalam jalan kapitalis, RA/LR dilakukan untuk mengubah struktur penguasaan tanah serta pengerahan tenaga kerja pertanian di pedesaan sehingga terbentuk struktur ekonomi pertanian kapitalis berbasis rumah tangga tani. Peningkatan produktivitas sektor pertanian sedemikian rupa akan menciptakan akumulasi dan pembentukan kapital di pedesaan yang akan mendorong industrialisasi. Pada gilirannya, industrialisasi akan mengubah struktur ekonomi yang berbasis pada pertanian ke struktur ekonomi industri, yang mana sektor pertanian itu sendiri secara perlahan akan ditinggalkan khususnya oleh petani-petani kecil akibat persaingan usaha. Tenaga kerja pertanian akan beralih ke sektor industri. Sehingga yang tertinggal di sektor pertanian nantinya adalah pertanian-pertnian skala besar atau menengah yang akan semakin mengefisienkan diri dengan penggunaan teknologi.

Logika perkembangan dan perubahan yang sama pada dasarnya juga dianut dalam perubahan di jalan sosialis. Perbedaannya, surplus yang tercipta akibat peningkatan produktivitas itu tidak dimiliki oleh perorangan atau oleh badan-badan usaha swasta (private), tetapi oleh badan-badan usaha milik bersama masyarakat. Sehingga tidak terjadi konsentrasi kekayaan akibat proses perubahan struktur ekonomi tersebut. Tetapi proses peniadaan kepemilikan privat (private ownership) atau pembentukan badan-badan usaha kolektif maupun koperasi akan menghadang kemungkinan-kemungkinan terjadinya konsentrasi kekayaan atau surplus akibat proses akumulasi.

Jadi dalam hal ini ada dua target yang hendak dicapai melalui RA/LR, yaitu perubahan pola penguasaan tanah dan akumulasi. Dengan sendirinya perubahan pola penguasaan tanah juga mengubah struktur penguasaan tanah yang timpang, khususnya di pedesaan atau lebih tepat lagi dalam konteks pertanian, yang selama ini berkembang pada formasi sosial pra-kapitalis (: feodal). Pada gilirannya perkembangan kapitalisme di sejumlah negara juga akan menciptakan ketimpangan penguasaan tanah kembali di tengah kehidupan masyarakat.

Dalam perspektif ekonomi klasik, adanya konsentrasi penguasaan tanah di pedesaan dan hubungan produksi atau pengerahan tenaga kerja di sektor pertanian dengan cara bagi hasil (sharecropping), yang banyak berkembang – sehingga nyaris dapat dikatakan sebagai ciri – pada masyarakat pra-kapitalis, adalah bentuk usaha produkif, yang dalam hal ini adalah usaha tani yang tidak efisien. Produktivitas yang dihasilkan dan harus dibagi kepada dua belah pihak tidak cukup untuk mendorong berkembangnya industri. Malah seringkali dari sisi petani penggarap produktivitas tidak optimal karena kelebihan tenaga kerja yang dicurahkan di atas lahan-lahan garapan yang terbatas jumlahnya. Sementara dari sisi pemilik tanah (tuan tanah), satu-satunya cara untuk meningkatkan surplus yang menjadi bagiannya adalah memainkan kesepakatan bagi hasil yang tidak seimbang, di mana banyak resiko dipindahkan ke tangan petani penggarap. Jika hal ini yang terjadi atau berkembang, maka surplus yang diterima oleh petani penggarap semakin tidak mencukupi untuk diakumulasi dalam kegiatan produktif lainnya; bahkan seringkali untuk konsumsi keluarganya pun pas-pas-an.

Sektor pertanian yang seharusnya bisa dioptimalkan produktivitasnya untuk mendorong industrialisasi, jadi bergerak lambat. Karena itu, untuk lebih meningkatkan produktivitas RA/LR dijalankan untuk menyeimbangkan rasio antara

Orat-oret awal (2)

6

pengerahan tenaga kerja dan luasan lahan. Pilihannya dapat berupa pengalihan lahan-lahan milik tuan tanah kepada petani penggarap atau petani tak bertanah (landless peasant) melalui program redistribusi lahan. Melalui cara ini petani penggarap yang tak bertanah atau bertanah sangat kecil diubah menjadi petani kecil atau petani menengah yang mengelola usahatani rumah tangga yang relatif mandiri. Tanpa rangkaian program intervensi dan perlindungan dari negara, kompetisi akan menggiring mereka berevolusi menjadi petani kapitalis bagi yang bertahan atau terlempar dari sektor pertanian bagi yang tidak bisa bersaing, atau secara “sukarela” beralih ke sektor industri yang sudah tumbuh.

Pilihan lainnya dapat berupa pembatasan penguasaan tanah. Satu aspek penting dari pembatasan ini adalah tanah-tanah luas milik tuan tanah diminta untuk didedikasikan lebih banyak kepada petani penggarap dan pada saat yang sama ditentukan pembagian hasil yang lebih adil (seimbang). Sejumlah ahli ekonomi malah meyakini pilihan kedua ini lebih tepat karena anggapan model usaha tani bagi hasil sebagai bentuk yang tidak efisien adalah salah. Sebaliknya mereka meyakini usaha tani bagi hasil justru lebih efisien.

Cara lain lagi yang ditempuh untuk mengoptimal tenaga kerja yang berlebih adalah dengan cara memasukan mereka lebih banyak ke dalam hamparan tanah-tanah luas yang dikelola sebagai satu satuan usaha untuk mencapai produktivitas yang optimal. Pertanian skala besar yang dimiliki oleh negara oleh masyarakat melalui usaha tani kolektif tujuan pokoknya adalah meningkatkan akumulasi yang diperlukan untuk industri agar segera terjadi transformasi ekonomi.

Apa pun pilihan cara dan tujuan perubahan formasi sosial yang hendak dituju, dalam kacamata ini, RA/LR merupakan bagian dari jawaban atau solusi atas persoalan “diperlukannya akumulasi yang mencukupi” untuk pembangunan industri nasional. Dengan kata lain, RA/LR adalah satu kegiatan programatik yang dirancang untuk menciptakan/membentuk kapital di pedesaan di dan dari sektor pertanian, dan pada gilirannya kemudian akan mendorong lebih cepat transformasi ekonomi pertanian ke industri.

Jadi RA atau LR – terlepas dari tujuan-tujuan “etik”-nya yakni “demi keadilan” – memang ditujukan untuk proses transformasi perekonomian. RA/LR diyakini dapat memperkuat pembentukan kapital (capital formation) di pedesaan, yang berasal dari sektor pertanian, yang kemudian akan bergulir di jalan kapitalis (: memperkuat kapitalisme) atau akan menjadi dasar bagi kegiatan ekonomi non-kapitalis (: sosialis; atau adakah jalan lain ??).

Pilihan untuk menjadikan RA/LR menjadi dasar bagi kegiatan ekonomi non-kapitalis memerlukan prasyarat sosial dan politik yang lebih kompleks ketimbang menempatkannya dalam jalan kapitalis. Proses akumulasi yang terjadi di sektor pertanian yang tumbuh bersamaan dengan proses komodifikasi tanah dan menguatnya kepemilikan pribadi atas tanah merupakan dasar-dasar dari perkembangan ekonomi dan pembentukan formasi sosial kapitalisme. Tanpa pemenuhan sejumlah prasyarat sosial-politik secara ketat, menjadikan RA/LR sebagai dasar bagi pembentukan kegiatan perekonomian non-kapitalis di pedesaan tidak akan tercapai. Tanpa mengurus secara serius tersedianya prasyarat-prasyarat tersebut, maka RA/LR akan mengarah pada penguatan bekerjanya kapitalisme di pedesaan atau membantu pengubahan tanah menjadi komoditas. Apalagi jika secara sadar (: dirancang) RA/LR dijalankan dalam rangka memperluas komodifikasi tanah

Orat-oret awal (2)

7

dalam skala-skala kecil sebelum kemungkinan terjadi rekonsentrasi, maka RA/LR pada hakekatnya sedang beroperasi untuk membentuk sirkuit-sirkuit bagi akumulasi kapital.

Sejumlah persoalan yang terkait dengan penguasaan tanah dan relasi produksi yang berubah dalam masa transisi memunculkan serangkaian pertanyaan teoritik yang oleh para ahli agraria disebut dengan agrarian questions. Transformasi struktur ekonomi dari perekonomian yang berbasis pada pertanian ke industri yang mensyaratkan adanya pembentukan kapital dan akumulasi yang cukup untuk menopang proses transformasi tersebut memunculkan istilah agrarian question of capital (AQC). Singkatnya AQC merujuk pada masalah-masalah penguasaan tanah dan relasi produksi dalam rangka pembentukan kapital dan akumulasi yang diperlukan untuk industri. Dalam konteks ini ada tiga isu atau pertanyaan pokok, yakni: (a) bagaimana kapital terbentuk dan proses akumulasinya, (b) bagaimana proses produksi berlangsung, dan (c) di mana posisi kaum tani dalam proses ini. RA/LR yang merupakan program aksi di tengah proses transisi ini pada hakekatnya mengubah ketiga pertanyaan ini menjadi pertanyaan aktif yang saling terkait: (a) bagaimana membentuk kapital dan menciptakan akumulasi yang diperlukan untuk industri melalui peningkatan usaha tani, (b) bagaimana usaha tani yang lebih efisen dibuat agar dapat penopang proses pembentukan kapital dan akumulasi yang diperlukan untuk industri, dan (c) bagaimana memperlakuan atau menempatkan petani di dalam keseluruhan proses ini.

RA/LR, Kemiskinan di Pedesaan dan Politik Etis

Jangan lupa, RA/LR bukan melulu soal peningkatan efisiensi dan mengoptimalkan produktivitas usaha tani melalui keseimbangan rasio pengerahan tanaga kerja dan luasan lahan. Dalam program RA/LR selalu melekat problem “etik”, yakni keadilan. Keadilan yang pada dasarnya adalah isu politik dapat dengan mudah dilekatkan dalam rencana-rencana atau bahkan dijadikan bungkusan dari pelaksanaan RA/LR.

Ketimpangan dan konsentrasi penguasaan tanah selain tidak menghasilkan produktivitas yang optimal untuk mendorong industrialisasi juga dianggap menjadi akar dari masalah kemiskinan di pedesaan. Ketidakadilan akibat ketimpangan penguasaan tanah bukan hanya dilihat dari sebaran penghasilan yang tidak merata antara tuan tanah dan kaum tani (penggarap), tetapi petani penggarap juga harus bekerja berlebih (overwork) dan menanggung resiko usaha yang lebih besar dengan marjin hasil usaha yang tidak sebanding. Akibatnya petani penggarap seperti terus menerus berkutat dengan ekonomi subsistensi untuk tidak mengatakannya lebih banyak berada dalam posisi underconsumption (ketidakmampuan membeli barang konsumsi).

Dari kacamata ekonomi, kondisi underconsumption dari mayoritas populasi tentunya tidak baik karena membuat siklus produksi-konsumsi-produksi menjadi macet dan proses akumulasi berjalan lambat. Dari kacamata “etik”, kondisi underconsumption alias kemiskinan tentunya mencerminkan ketidakadilan sosial. Karenanya “kemiskinan” bukan saja menjadi isu ekonomi, tetapi juga isu politik. Beberapa kajian kriminologi dan sosiologi politik mengungkap bahwa di banyak tempat, tingkat “kemiskinan” berkorelasi positif dengan angka tindak kekerasan dan kriminal, bahkan berkorelasi dengan keresahan sosial dan potensi terjadinya

Orat-oret awal (2)

8

revolusi. Dalam hal ini RA/LR menjadi isu politik yang sangat seksi untuk dua arus tujuan berbeda. Pertama, RA/LR diasumsikan dapat mengurangi ketimpangan penguasaan tanah yang menjadi akar dari kemiskinan di pedesaan. Kedua, program RA/LR digunakan untuk meredam berkembang dan meluasnya keresahan sosial menjadi revolusi.

Pada masyarakat yang masih banyak penduduknya bergantung pada kegiatan pertanian sebagai sumber penghidupan, “kemiskinan” yang berpadu dengan kondisi ketimpangan penguasaan tanah menjadi satu paket persoalan ekonomi dan politik yang harus diselesaikan. RA/LR menjadi program pilihan untuk pembangunan. Argumen-argumen ekonomi dari program RA/LR secara simultan dianggap dapat menjawab persoalan kurangnya produktivitas sektor pertanian untuk menghasilkan “akumulasi yang diperlukan bagi industri”, meningkatkan produktivitas dan kemandirian rumah tangga petani serta menyelesaikan problem overwork dan underconsumption petani-petani kecil (penggarap) yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan pendapatan, dan terbukanya kesempatan-kesempatan kerja baru “yang lebih baik” akibat industrialisasi.

Sementara bagi para politisi atau partai-partai politik populis atau yang sekedar memerlukan dukungan massa dari pedesaan, premis ilmiah yang terkandung dalam program RA/LR memudahkan mereka menyusun “janji-janji” politik tentang perubahan sosial dan keadilan. Para politisi “pembela keadilan” dapat dengan mudah menjadikan program RA/LR sebagai bentuk program “politik etis”. Bagi para politisi “anti reform”, RA/LR dapat segera dijadikan program masif untuk meredam potensi meluasnya keresahan sosial dan berkembangnya revolusi.

AS sebagai Penyokong RA/LR demi Pembangunan di Jalan Kapitalis dan Meredam Revolusi

Pada satu masa di akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, Amerika Serikat pernah memiliki kebijakan luar negeri yang sangat tidak populer di dalam negerinya sendiri, yakni menjadi penyokong pelaksanaan program RA/LR di sejumlah negara Amerika Latin. AS sangat khawatir revolusi sosialis yang terjadi di Kuba tahun 1959 meluas ke kawasan benua Amerika bagian selatan. Tidak tanggung-tanggung kebijakan politik luar negeri ini bukan hanya melibatkan Kementrian Luar Negeri dan gelontoran dana yang disalurkan melalui lembaga kerja sama pembangunan negara-negara Amerika (the Alliance for Progress), tetapi juga melibatkan CIA dan operasi-operasi intelejen. Meskipun di sejumlah negara Amerika Latin sendiri, yang dihimpit dengan masalah kemiskinan dan konsentrasi penguasaan tanah dalam sistem latifundia, program RA/LR merupakan (: sering diubah menjadi) alat konsolidasi politik bagi kelompok-kelompok politik progresif yang kebanyakan beraliran kiri.

Di tengah konteks pertarungan politik domestik di negara-negara Amerika Latin tersebut dan geopolitik kawasan, tujuan kebijakan AS untuk menyokong RA/LR sangat jelas, yakni: meningkatkan produktivitas usaha tani dan sektor pertanian secara umum, bukan secara khusus menyasar problem ketimpangan penguasaan tanah (: ketidakadilan). Artinya, RA/LR ala AS tidak bertujuan untuk menghantam para tuan tanah, tapi sebaliknya dan sedapat mungkin melindungi hak-hak kepemilikan pribadi secara hukum, termasuk tanah-tanah luas milik para tuan tanah. Karena itu yang didorong terutama adalah program redistribusi tanah-tanah

Orat-oret awal (2)

9

publik (: atau Tanah Negara) dan tanah-tanah yang dianggap tidak dikerjakan secara produktif (under cultivation), lalu penyediaan bantuan-bantuan teknis dan kredit bagi para petani penerima manfaat.

Kebijakan politik luar negeri AS yang menjadikan RA/LR sebagai cara untuk mendorong industrialisasi dan perkembangan ekonomi di sejumlah negara yang baru membebaskan diri atau dibebaskan dari imperium feodal, sebagaimana yang terjadi di Asia, maka sokongan AS terhadap program RA/LR juga meliputi redistribusi tanah-tanah milik kaum bangsawan. AS menyokong dijalankannya RA/LR di sejumlah negara di Asia Timur, seperti Cina yang baru berubah akibat revolusi nasionalis tahun 1911. Tetapi AS “meninggalkan” Cina ketika kaum komunis mulai menguasai negara tersebut setelah revolusi sosialis pada tahun 1949. Meskipun Cina di bawah kuasa Partai Komunis juga memiliki program LR, AS melanjutkan bantuannya kepada Taiwan – sebagai koloni baru dari kelompok politik Cina nasionalis – untuk menjalankan LR. AS juga mendorong dijalankan LR di Jepang, tak lama setelah PD II yang menempatkan Jepang berada di bawah kuasa tentara pendudukan AS pimpinan Jendral Mac Arthur. Hal yang sama juga dilakukan di Korea Selatan.

Pada intinya sokongan AS terhadap program RA/LR adalah untuk mendorong peningkatan produktivitas pertanian sehingga negara-negara yang menjalaninya dapat mengubah struktur ekonomi dari ekonomi pertanian ke industri di jalan kapitalisme. AS “tidak berminat” sama sekali – bahkan memiliki agenda terbuka untuk menghentikannya – jika LR diletakan sebagai jalan untuk transformasi sosial ke arah sosialisme. Itu yang membuat AS “tidak berminat” dengan pelaksanaan LR di Indonesia pada tahun 1960-an.

RA/LR dan Transisi ke Sosialisme

Negara-negara sosialis seperti Rusia/Soviet, Kuba, Cina, Nikaragua, dan Republik Bolivarian Venezuela, misalnya, menjalankan land reform setelah revolusi. LR menjadi alat untuk melempangkan jalan menuju perubahan formasi sosial ke arah sosialisme. Elemen terpokok dari LR di negara-negara sosialis adalah kolektivisasi yang menghapus hak kemilikan pribadi atas tanah. Kolektif-kolektif pertanian dan koperasi dibentuk dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian dan mendorong terbentuknya “akumulasi yang diperlukan untuk industri” dan pembangunan/pembentukan masyarakat sosialis.

Untuk melempangkan jalan pembentukan masyarakat sosialis, di Rusia seorang aktivis-pemikir dan proponen sosialis yang bernama Preobrazhensky menelaah kemungkinan tetap sulitnya mengembangkan “akumulasi atau reproduksi yang diperlukan untuk perkembangan ekonomi sosialis” pasca revolusi. Ia menegaskan perlunya proses “akumulasi primitif sosialis” (primitive socialist accumulation) sebagai pembuka jalan (transisi) ke sosialisme. Di sini negara mengendalikan sepenuhnya proses akumulasi (: pelipat-gandaan nilai lebih) atas sumber-sumber yang berada di luar unit ekonomi yang dikontrol oleh negara, termasuk sumber-sumber dari/dalam sektor pertanian “terbelakang” (: kurang modern) yang dijalankan oleh kaum tani.

Argumen transisi ke sosialisme meletakan dasar penting untuk memahami bahwa masalah-masalah agraria (agrarian questions) sebagaimana diulas di atas

Orat-oret awal (2)

10

pada dasarnya sangat berkait dengan kondisi perekonomian di pedesaan yang bertumpu pada kegiatan/sektor pertanian yang perlu diubah untuk menciptakan akumulasi (: pelipat-gandaan nilai lebih) yang diperlukan bagi industrialisasi. Lagi-lagi LR dapat dijadikan bagian untuk mempercepat proses tersebut, atau untuk mencegah hilangnya momentum perubahan ke arah sosialisme di tengah transisi agaria yang sedang/akan berlangsung.

Praktek land reform yang ditempuh oleh Venezuela pasca referendum pembentukan Republik Sosialis Bolivarian memperlihatkan model dan langkah-langkah yang lain lagi. Pemerintahan Chavez menjalankan AR/LR dengan tujuan pokok memperkuat kedaulatan pangan (food sovereignty) dan mengurangi kontrol tanah di segelintir orang (kebijakan anti-latifundia) dalam rangka membangun “sosialisme abad 21” sebagai anti-tesis dari dominasi perekonomian kapitalisme neoliberal. Selain melakukan redistribusi tanah, pemerintahan Venezuela di bawah Chavez bahkan merestui dan menyokong klaim-klaim dan aksi-aksi pendudukan tanah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok petani, baik atas tanah-tanah perkebunan besar milik privat (hacienda) maupun tanah-tanah negara.

Perlu diketahui pendudukan tanah oleh petani, khususnya terhadap tanah-tanah yang dianggap tidak dikerjakan secara produktif oleh pemiliknya, diakui dalam Konstitusi Republik Bolivarian Venezuela 1999. Atas klaim-klaim tanah yang dilakukan oleh petani, pemerintah kemudian melegalisasi penguasaan dan penggarapan tanah oleh petani dalam rangka memperkuat dan memperbesar produksi pangan serta mengembangkan kedaulatan pangan. Kesempatan berpoduksi di atas tanah sendiri, memberi kesempatan petani-petani kecil dan atau tak-bertanah (tuna kisma, landless) keluar dari kemiskinan. Kemampuan mereka memperbesar produksi pangan dalam negeri, dan kebijakan negara untuk mengontrol pasar hasil produksi pertanian, tidak hanya membuat pangan jadi lebih terjangkau untuk semua lapisan masyarakat – termasuk kaum miskin di perkotaan – tetapi juga akan mengurangi ketergantungan Venezuela terhadap impor pangan. Sehingga kemampuan negara yang ekonominya disokong terutama oleh industri perminyakan nasional jadi lebih leluasa untuk mendorong perubahan ekonomi negara dan kehidupan sosial ke arah sosialisme.

Kapitalisme Global dan Memudarnya Signifikansi RA/LR

Perkembangan kapitalisme global pasca 1970-an dan perubahan-perubahan strategi pembangunan pedesaan dan pertanian setelah munculnya gagasan pengggunaan teknologi secara intensif, yang kemudian dikenal dengan Revolusi Hijau (Green Revolution), telah mengubah lanskap politik di seputar pentingnya RA/LR. Ditambah dengan terlalu ribet-nya kepentingan politik yang “menunggangi” RA/LR, serta sejumlah keberhasilan meredam berbagai potensi revolusi sosialis di berbagai belahan dunia di tengah perang dingin pasca PD II, membuat gagasan pentingnya RA/LR dalam pembangunan pedesaan dan pembangunan nasional dalam kerangka industrialisasi dan pembangunan ekonomi kapitalis mulai kurang dilirik.

Kapital yang diperlukan untuk industrialisasi tidak lagi “perlu” dibentuk sepenuhnya dari transformasi ekonomi pertanian. Lalu lintas kapital dan perdagangan global pasca perang – walaupun sekarang dunia terbelah dalam dua blok – dengan segala dinamikanya telah kembali intens membuka ruang-ruang baru

Orat-oret awal (2)

11

untuk akumulasi kapital. Sirkuit-sirkuit kapital baru dibentuk. Begitu pun dengan sirkuit-sirkuit lama yang “lemot”, direvitalisasi. Beragam bentuk penyingkiran untuk kepentingan akumulasi berkembang di era baru kapitalisme global pasca PD II, khususnya setelah tahun 1980-an, ketika paham neoliberal makin kukuh menguasai arena-arena pembentukan kebijakan di berbagai level.

Program Revolusi Hijau yang orientasi utamanya adalah penyediaan pangan demi stabilitas politik dan produksi komoditas pertanian yang berharga dalam pasar global, segera ditanam (impose) sejak tahun 1970-an saat transformasi pedesaan yang tengah berlangsung di sejumlah negara. Program-program bantuan pembangunan dari badan-badan kerja sama dan lembaga keuangan internasional menggelontor laksana air bah untuk menyokong kecenderungan baru ini tanpa perlu menjadikan RA/LR sebagai program dasarnya. Sejak pertengahan tahun 1970-an itu, sektor pertanian di negara-negara yang “belum” atau “sedang berkembang” dimodernisasi dan kembali diintegrasikan langsung dengan industri melalui sirkuit-sirkuit kapital yang baru, atau melalui proses revitalisasi sirkuit-sirkuit yang sudah ada, yang kebanyakan sudah tersedia sejak abad ke-19 melalui perkebunan-perkebunan besar. Pada saat yang sama kontrol korporasi atas produksi pangan dan agroindustri lainnya secara global mulai menguat dan makin menggurita untuk kemudian melumat pertanian-pertanian kecil melalui beragam mekanisme.

Penetrasi kapital di pedesaan dan wilayah pedalaman juga berlangsung dengan cepat dan masif melalui industri ekstraktif. Komodifikasi tanah dan kekayaan alam merambah luas ke daerah-daerah yang dianggap sebagai wilayah “frontiers” atau pedalaman. Kapitalisme global lebih memerlukan tersedianya sejumlah fasilitas dan kemudahan untuk beroperasi (: memperbesar akumulasi) khususnya di negara-negara yang kaya dengan sumberdaya alam, dengan berbagai retorika dan argumentasi tentang industrialisasi (di semua sektor) dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan industri nasional secara bertahap yang semula diharapkan akan ditopang oleh nilai lebih dan akumulasi dari sektor pertanian, yang salah satu caranya dengan menjalankan program AR/LR, kehilangan relevansi di tengah lalu lalang kapital yang langsung menyeret pembangunan ekonomi dan industrialisasi di berbagai negara dalam pusaran kapitalisme global.

Petani-petani kecil dan komunitas-komunitas yang ekonominya masih bersandar pada kegiatan berburu-meramu atau peladangan berpindah (shifting cultivation) semakin cepat tersingkir. Eksodus atau migrasi ke daerah perkotaan juga terjadi dengan masif menyertai perubahan-perubahan lanskap dan ekologi pedesaan yang berubah drastis. Proses de-peasantization, yang menurut Marx akan terjadi bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme, berlangsung semakin masif secara global, tidak terkecuali di Indonesia, sejak tahun 1970-an. “Kantong-kantong penyedia buruh murah” untuk industri semakin banyak.

De-peasantization berlangsung dengan berbagai cara. Pertama, petani-petani itu sungguh-sungguh kehilangan tanah atau lahan-lahan pertaniannya dilibas oleh penetrasi kapital di pedesaan dan pedalaman. Mereka dicerabut paksa dari lahan-lahan pertaniannya dan berubah menjadi landless (tunakisma) sepenuhnya. Kedua, banyak petani-petani atau pemilik lahan diintegrasikan secara langsung dalam proses industrialisasi pertanian (: masuk ke dalam unit-unit kompleks agro-industri) sebagai smallholders (penggarap lahan dan usaha tani kecil) yang terikat pada sirkuit kapital yang tidak mereka kendalikan. Marx lebih menyebutnya sebagai petty commodity producers (penghasil komoditas kecil-kecilan), baik yang terikat

Orat-oret awal (2)

12

ketat melalui kontrak dengan unit-unit agrobisnis maupun yang dikendalikan oleh kekuatan pasar secara langsung. Cara lainnya adalah petani-petani kecil atau smallholders yang ada mulai meninggalkan sektor pertanian untuk beralih ke sektor ekonomi lain. Satu penyebab utama ditinggalkannya aktivitas pertanian oleh para petani dan atau smallholders adalah karena sektor ini tidak lagi dapat memberikan penghasilan yang memadai akibat persaingan pasar, sementara biaya poduksi terus meningkat.

Salah satu konsekuensi logis dari perkembangan kapitalisme global saat ini adalah ketimpangan penguasaan tanah dalam perspektif keadilan sosial di banyak tempat dalam skala lokal atau nasional – yang merupakan “warisan” masa lalu – cenderung bertahan atau semakin parah. Di sejumlah tempat atau negara yang lebih berperan sebagai sapi perah dalam proses akumulasi kapital skala global pasca tahun 1970-an, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan tidak secara otomatis mengurangi rasio ketimpangan. Rasio ketimpangan, baik ketimpangan pendapatan dan ketimpangan penguasaan tanah, serta kedalaman jurang kemiskinan (: dalam bahasa statistik diistilahkan dengan “kesenjangan kemiskinan” atau “poverty gap”) tetap besar.

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan kumparan-kumparan sirkuit kapital global masa kini (: globalisasi neoliberal), kapital transnasional tidak lagi terlalu mengandalkan surplus di sektor pertanian untuk melipatgandakan (akumulasi) dirinya. Karena itu, Bernstein, misalnya, menganggap kini transisi agraria bukan lagi prakondisi yang diperlukan untuk perkembangan kapitalisme. Agrarian question hari ini, kembali mengikuti jalan fikiran Bernstein, bukan lagi “agrarian question of capital” (AQC) tetapi “agrarian question of labour” (AQL): bagaimana reproduksi tenaga kerja murah – baik yang segera diaktifkan maupun yang tetap ditampung dalam kantong-kantong cadangan buruh murah – di pedesaan dapat berfungsi optimal untuk akumulasi kapital (: perkembangan lanjut kapitalisme).

Komodifikasi tanah dan kekayaan alam (sumberdaya alam) yang semakin meluas telah menciptakan “tuan-tuan tanah baru” (: bukan lagi feudal landlords) dalam berbagai wajah – individu atau korporat. Bagi “tuan-tuan tanah baru” ini tanah tidak lagi sekedar alat produksi yang dikuasai dan digunakan dalam kegiatan produksi yang langsung menghasilkan barang, baik di sektor pertanian maupun sektor lainnya. Di era kapitalisme, menguasai tanah besar meskipun tidak optimal digunakan dalam kegiatan produksi langsung (sektor riil) seperti pertanian tidak menjadi masalah. Sebagai komoditas, tanah dan properti lain yang terkait langsung dengannya tetap dapat menghasilkan uang dan modal melalui proses finansialisasi (: kredit) yang selanjutnya dapat digunakan dalam proses akumulasi di berbagai sektor ekonomi.

Meskipun dunia telah berubah – kapitalisme global semakin kukuh, dan peran negara dalam melindungi warga semakin menciut – fungsi tanah sebagai alat kontrol politik tidak berubah. Jika pada masa pra-kapitalis atau dalam kehidupan feodal tanah adalah sumber sekaligus simbol kekuasaan, maka di era kapitalisme pemilik modal cum tuan tanah di daerah-daerah atau negara-negara yang kaya sumberdaya juga penguasa politik dan pengendali kebijakan publik. Sementara kebutuhan akan tanah sebagai alat produksi dan sebagai sumber penghidupan kaum miskin dan kaum buruh di daerah perkotaan maupun pedesaan – termasuk yang berwajah ”petani tak bertanah” maupun ”penggarap tanah kecil” – turut menguat seiring dengan penetrasi dan akumulasi kapital yang semakin kuat. Pada gilirannya,

Orat-oret awal (2)

13

kebutuhan akan tanah untuk kaum miskin ini mendorong munculnya kembali RA/LR sebagai isu politik khususnya dalam perpolitikan gerakan sosial dan politik pembentukan kebijakan pertanahan global, serta politik reproduksi ruang dalam rangka akumulasi.

Perkembangan Kota dan Masalah-masalah Pertanahan di Kota

Migrasi orang-orang desa ke perkotaan sejalan dengan menyurutnya peluang kerja di desa karena berbagai sebab. Terutama sekali karena sentrum perputaran uang dan titik-titik pengendalian sirkuit kapital kebanyakan berada di area perkotaan atau daerah yang diubah menjadi kota-kota baru. Secara agregat peluang dan kesempatan kerja jadi lebih banyak dan lebih beragam di daerah perkotaan. Infrastruktur penunjang berbagai gaya hidup ”modern” dan konsumtif juga berlimpah tersedia di daerah perkotaan.

Harga tanah dan bangunan di perkotaan terus meningkat tidak hanya akibat peningkatan permintaan akan tempat tinggal dan pembangunan berbagai fasilitas bagi industri jasa dan keuangan, tetapi pembangunan fisik kota-kota dan wilayah perkotaan itu berikut berbagai fasilitas-fasiltas infrastruktur dan penunjang gaya hidup mewah turut melambungkan nilai tanah hanya karena letaknya yang dibuat “menjadi lebih strategis”. Komodifikasi ruang-ruang perkotaan dan diferensiasi kelas sosial di perkotaan menciptakan ketimpangan akses terhadap pelbagai fasilitas untuk menunjang kehidupan, termasuk akses terhadap pemukiman dan fasilitas untuk berusaha. Komodifikasi tanah dan ruang-ruang perkotaan itu juga mendorong beragam aksi pengusiran dan penggusuran kelompok masyarakat yang kurang mampu, yang kebanyakan merupakan orang-orang yang sebelumnya terusir atau migran dari pedesaan. Walaupun kehadiran mereka sebagai tenaga kerja murah atau pekerja-pekerja kasar untuk menyangga kehidupan perkotaan tidak bisa diabaikan begitu saja. Kaum miskin kota, di satu sisi dibutuhkan untuk mengisi ceruk-ceruk pekerjaan kasar dan kotor di perkotaan, tetapi di sisi lain relatif tidak memperoleh akses yang memadai untuk menunjang kehidupannya sendiri secara layak. Komodifikasi fasilitas-fasilitas perkotaan, termasuk tanah dan perumahan, yang menghasilkan nilai tukar (: harga beli atau sewa) yang semakin tinggi, pada akhirnya menciptakan kantong-kantong perkampungan kumuh.

Isu “keadilan ruang” (spatial justice), pemukiman yang layak tetapi terjangkau secara ekonomi, dan keamanan tenurial atas pemukiman masyarakat kelas bawah khususnya mendorong munculnya ”replika” gagasan land reform di perkotaan. Gagasan ini pada dasarnya berangkat dari tujuan untuk menata ulang akses – tepatnya menciptakan akses yang terjangkau (accessability) – kemudian jaminan penguasaan (tenurial security) terhadap tanah-tanah dan lingkungan pemukiman di perkotaan untuk kelompok masyarakat bawah. Tentu saja gagasan “land reform di perkotaan” kemudian dikombinasi dengan rencana-rencana penataan ruang dan pembangunan fisik perkotaan. Padahal penataan ruang dan pembangunan fisik, apalagi di daerah perkotaan, walau bagaimanapun pada hakekatnya adalah menciptakan potensi-potensi peningkatan nilai lebih atas tanah dan wilayah.

Penataan ulang penguasaan tanah di perkotaan (: “urban land reform”) tidak lagi berkaitan dengan gagasan dasar RA/LR yakni penataan – bahkan perombakan – tata kuasa atas tanah dalam rangka “akumulasi untuk industri”. “Urban land reform” adalah konsep penataan akses terhadap ruang di perkotaan khususnya untuk

Orat-oret awal (2)

14

pemukiman, yang telah meninggalkan “rumah utama”-nya yakni transisi agraria. Sebaliknya ”urban land reform” sangat mungkin diperlukan untuk menopang keberlanjutan fungsi kota sebagai pusat pengendalian kapitalisme industri dan keuangan atau sebagai sentrum-sentrum pengendalian sirkuit-sirkuit kapital atau menjadi bagian dari proses reproduksi ekonomi yang dibutuhkan untuk akumulasi kapital.

Gagasan-gagasan penguasaan atau bahkan kepemilikan tanah dan pemukiman secara kolektif di perkotaan, sering dianggap menjadi alternatif atau bahkan anti-tesis dari individualisasi pemilikan tanah (dan pemukiman) di kota yang pada dasarnya memang sudah timpang dan melahirkan konsentrasi. Dalam konteks ini perlu diingat kembali, sebagian besar kota-kota dan wilayah perkotaan di dunia saat ini adalah kota-kota dan wilayah perkotaan yang tumbuh, dikembangkan, dan menjadi sentrum serta pusat pengendali perkembangan kapitalisme. Sekali lagi menyediakan tanah-tanah dan pemukiman “yang layak” bagi kelas pekerja adalah bagian yang perlu diadakan untuk memelihara keberlanjutan kapitalisme itu sendiri. Untuk menjaga keberlanjutan reproduksi buruh, penguasa dan pengelola administrasi kota (: pemerintah) dapat memilih cara keras (menggusur) atau cara lunak melalui relokasi atau aktivitas yang sering dikenal dengan “upgrading area” (slum upgrading). Kolektivisasi penguasaan atau pemilikan tanah/pemukiman di perkotaan bagi kelas pekerja yang mengalami relokasi atau pemukimannya di-upgrade tidak memberi jaminan di kemudian hari tidak mengalami alias “akan bebas sepenuhnya” dari kemungkinan penyingkiran. Kapitalisme adalah corak produksi yang bertumpu pada ketimpangan, dan penyingkiran (dispossession) adalah mekanisme untuk memelihara ketimpangan tersebut atau mekanisme yang diperlukan dalam proses akumulasi kapital.

Kebijakan Pertanahan Global Bank Dunia

Hingga awal tahun 1980-an, Bank Dunia masih melihat RA/LR sebagai upaya yang cukup efektif untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan produktivitas di pedesaan melalui pertanian – sebagaimana dapat dilihat dalam dokumen mereka tentang Land Reform yang diterbitkan pada 1975. Sampai pada masa itu, Bank Dunia masih menganut cara pandang memberikan tanah dan kesempatan berproduksi kepada petani miskin melalui program RA/LR sebagai salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya produktivitas di pedesaan. Dalam analisisnya Bank Dunia juga melihat bahwa konsentrasi penguasaan tanah menjadi salah satu faktor penghambat tidak optimalnya produktivitas masyarakat di pedesaan.

Untuk itu Bank Dunia menyiapkan skema-skema bantuan dan hutang untuk menyokong program land reform di sejumlah negara-negara yang dianggap memerlukannya. Lembaga ini juga mengerti bahwa program RA/LR lebih banyak ditunggangi oleh kepentingan politik kekuasaan ketimbang tujuan-tujuan ekonomi dan penyelesaian masalah pembangunan. Karena itu lembaga keuangan ini sangat hati-hati dalam memilih dan memberikan pinjaman untuk program-program LR/RA. Meskipun patut juga diingat, pinjaman atau bantuan dari Bank Dunia tidak melulu bertujuan untuk menyokong capai-capaian program secara langsung, tetapi lebih karena hendak mengikat negara peminjam ke dalam pusaran pengarahan – atau mendikte – kebijakan-kebijakan pembangunan secara makro.

Orat-oret awal (2)

15

Untuk mendorong peningkatan produktivitas sektor pertanian, pada dasarnya Bank Dunia lebih senang untuk membiayai program-program pembangunan pedesaan yang tidak terlalu sensitif secara politik (politically sensitive). Misalnya: revitalisasi perkebunan besar untuk tanaman ekspor, pengembangan pertanian kontrak (contract farming) agar petani kecil terlibat dalam kegiatan pertanian berorientasi ekspor, perbaikan-perbaikan irigasi, pengembangan teknologi pertanian, termasuk perluasan program transmigrasi dan gabungan antara transmigrasi dengan contract farming, dan lain sejenisnya. Kalaupun ada upaya untuk mendukung pelaksanaan land reform, maka program itu didorong untuk dikawinkan dengan program-program di atas.

Memasuki pertengahan 1980-an, sejalan dengan menguatnya paradigma neoliberal, Bank Dunia mengubah haluan strateginya terkait pertanahan. Meskipun masih beranggapan bahwa ketimpangan dan konsentrasi penguasaan tanah sebagai kondisi yang tidak baik dalam sudut pandang “etik” (: keadilan) maupun ekonomi, tetapi soal penguasaan tanah khususnya oleh masyarakat miskin sekarang dilihat dengan cara yang berbeda. Tanah lebih dilihat sebagai aset ekonomi dan komoditas ketimbang sekedar faktor produksi. Sebagai aset ekonomi yang dapat dipertukarkan melalui mekanisme transaksi pasar, aspek legal atau sering disebut dengan “kepastian hukum” atas penguasaan dan/atau pemilikan tanah menjadi sangat penting.

Sejak tahun 1980-an, persoalan “kepastian hukum” dan ekonomi pasar tanah lebih menjadi perhatian Bank Dunia. Mekanisme pasar – termasuk pasar tanah – yang mengalami distorsi dinilai menjadi penyebab macetnya atau lemot-nya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Campur tangan negara dalam berbagai kegiatan ekonomi secara langsung telah menghambat kelancaran investasi swasta dan membuat pasar mengalami distorsi atau tidak berkembang dengan baik. Pasar tanah juga dianggap tidak berkembang dengan baik karena aspek legal penguasaan dan kepemilikan tanah banyak yang dianggap tidak jelas sehingga sangat rentan dipersengketakan. Ketidakpastian hukum juga membuat spekulasi dan percaloan tanah termasuk yang dilakukan oleh aparatus pemerintahan merajalela. Dalam cara pandang neoliberal, investasi untuk proyek-proyek swasta – termasuk keterlibatan swasta dalam proyek-proyek infrastruktur – banyak terhambat, berbiaya tinggi, tidak efisien, serta beresiko masuk ke dalam pusaran konflik dan sengketa dengan masyarakat akibat proses pengadaan tanah (pengalihan hak atas tanah) tidak melalui pasar yang terbuka.

Banyak persil-persil tanah juga dinilai kurang dioptimalkan sebagai komoditas yang dapat memutar roda perekonomian, khususnya perekonomian perbankan. Bank Dunia yang dipandu pemikir ekonomi neoliberal kemudian juga melihat banyak orang miskin tidak bisa terlibat optimal dalam kegiatan ekonomi dan pasar karena mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan modal. Untuk itu resep ”baru” dari Bank Dunia adalah memasifkan proses sertifikasi tanah dan kebijakan-kebijakan lainnya yang dapat melancarkan bekerjanya pasar tanah yang efesien. Dengan sertifikasi, masyarakat kecil bisa mengakses kredit di bank dan ekonomi perbankan terbantu untuk lebih cepat berputar. Jika kredit-kredit tersebut digunakan baik untuk permodalan usaha maupun untuk menyokong kegiatan-kegiatan konsumtif, maka keduanya dinilai dapat mendorong produktivitas ekonomi.

Orat-oret awal (2)

16

Dalam konteks perubahan paradigma ini, AR/LR – dalam tanda kutip – oleh Bank Dunia dianggap cukup efektif menjadi instrumen untuk memperkuat pasar tanah. Selain itu AR/LR dapat menjadi instrumen untuk memperluas kepastian hukum (legalisasi dan sertifikasi) atas tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat sehingga dapat digunakan untuk mengakses kredit-kredit perbankan. Daya dorong AR/LR terhadap peningkatan produktivitas ekonomi sekarang tidak lagi ditumpukan pada penyebaran penguasaan tanah sebagai faktor produksi yang penting di sektor pertanian, tetapi lebih pada kedudukannya sebagai aset dan komoditas yang penting dalam perekonomian pasar tanah maupun perbankan.

Kecenderungan baru untuk memperkuat pasar tanah, memperlancar investasi, dan tanah sebagai komoditas, menjadi agenda global perubahan kebijakan pertanahan yang digawangi secara ketat oleh Bank Dunia. Program-program AR/LR yang saat ini kembali menjadi bagian dari program-program bantuan dan pinjaman Bank Dunia berada dalam pusaran kebijakan pertanahan global tersebut. Kepastian hukum, sertifikasi, dan pasar tanah yang efisien, menjadi kata-kata kunci yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertanahan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan saat ini. Munculnya istilah “reforma agraria perkotaan” atau “land reform di perkotaan” mesti diletakkan dalam wacana perubahan-perubahan aspek penguasaan tanah yang berujung pada peningkatan kepastian hukum, peningkatan valuasi atau nilai tanah sebagai komoditas, dan penguatan pasar tanah.

Dalam kecenderungan penyeragaman kebijakan pertanahan global sekarang ini, konsentrasi penguasaan tanah – dalam cara pandang neoliberal tentunya – bukanlah sesuatu yang “diharamkan” lagi, tidak juga ditempatkan sebagai satu kecenderungan yang harus dicegah melalui kebijakan negara. Biarkan pasar yang mengaturnya; karena pasar tanah yang bekerja sempurna justru akan mendorong peningkatan produktifitas – demikian kredo kebijakan pertanahan global saat ini.

Bank Dunia dengan paradigma neoliberalnya bahkan menilai sejumlah kebijakan pembatasan penguasaan tanah yang dijalankan atau masih berlaku di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, telah mengganggu efektifitas bekerjanya pasar tanah. Implikasinya, menurut Bank Dunia, jika kebijakan AR/LR memang hendak dijalankan, jangan disertai dengan kebijakan pembatasan penguasaan dan atau pemilikan atas tanah. Yang terpenting, beri saja kemungkinan-kemungkinan, khususnya kepada kelompok masyarakat miskin, baik di pedesaan maupun perkotaan, agar mereka dapat mengakses dan menguasai tanah secara formal (: legal), setelahnya biarkan pasar yang bekerja.

Kebijakan pertanahan dan program-program yang dinyatakan sebagai “AR/LR” pada saat ini – di era kapital yang sudah atau menghendaki dapat bergentayangan di mana saja secara bebas, melintasi berbagai hambatan termasuk batas-batas negara – tidak lagi bertujuan untuk membentuk tumpuan-pijak untuk proses akumulasi yang dibutuhkan untuk industri(alisasi), tetapi lebih ditujukan untuk menyediakan “pelumas” yang cukup dalam operasi akumulasi kapital atau pemulihan dan pembentukan sirkuit-sirkuit kapital di berbagai sektor ekonomi.

“Jeritan-jeritan” dan tuntutan kaum tak bertanah (landless) atau nyaris-tak-bertanah (near-to-landless) baik di pedesaan maupun di perkotaan, yang menuntut “hak-haknya” atas tanah saat ini, yang seringkali dinyatakan dalam teriakan-teriakan sloganistis “reforma agraria” atau “land reform”, besar kemungkinan akan ditanggapi oleh pemerintah atau lembaga-lembaga perencana dan pengatur

Orat-oret awal (2)

17

pembangunan di tingkat global dengan skema-skema pemberian hak kepemilikan dan/atau penguasaan tanah yang sesungguhnya berada dalam keranjang kebijakan penguatan pasar tanah atau bagian dari rencana untuk meredam pembesaran atau meluasnya keresahan sosial akibat semakin derasnya penetrasi kapital. Tinggal bagaimana kelompok-kelompok gerakan sosial menyikapinya: mengamini dan turut serta mendukungnya, atau menolaknya sama sekali!