Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari...
Transcript of Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari...
· -<yvutsronmlkihfedcaWUTSRPM
Refleksi 500 TahunProtestantisme dari MalukuzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaZYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
Pcnyunting :
Rudolf Rahabeat
Johan Sairnima
MENUJU GEREJA ORANG
BASUDARAyvutsronmlkihfedcaWUTSRPM
Refleksi 500 Tahun
Protestantisme dari MalukuyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA
Penyunting:
Rudolf Rahabeat, M. Hum~Johan Robert Saimima, M.A
2017
Penerbit:
UKSW Press
Bekerjasama dengan
Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode GPM
275.9854
Men Menuju gereja orang basudara : refleksi 500 Tahun
m Protestantisme dari MalukuJII penyunting Rudy
Rahabeat, Johan Robert Saimima .-- Salatiga :
Satya Wacana University Press, 2017.
vii, 315p. ; 21 em.
ISBN 978-602-1047-77-4
1. Protestant churches--Indonesia--North
Maluku (Province) 2. Church and social
problems 3. Church work--Indonesia--North
Maluku (Province) 4. Protestant Churuc--
MissionsyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA1. Rahabeat, Rudy II. Saimima, Johan
Robert
Cetakan Pertama: 2017
All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this
publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any
nature, or transmitted in any form or by any means electronic,
mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a complete
or partial transcription, without the prior written permission of the
author, application for which should be addressed to author.
Diterbitkan Oleh:yvutsronmlkihfedcaWUTSRPM
Satya Wacana University Press
Universitas Kristen Satya Wacana
JI. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
Telp. (0298) 321212 Ext. 229, Fax. (0298) 311995
Protestantisme dan Pendidikan KristianizyxwvutsrponmlkjihgfedcbaZYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
Justitia Vox Dei Hattu
(Dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta)
Pendahuluan
Protestantisme sudah hadir di Bumi Seribu Pulau sejak
r~tusa~ tahun. yang. lalu. Dalam rentang ratusan tahun itu
dialektika terajut di dalamnya dan mewujud salah satun a
dalam ranah pendidikan. Tulisan sederhana ini hadir sebaiai
sebuah upaya untuk memotret dialektika relasi antara
Protestantisme (Calvinis) dengan konteks Maluku pada ranah
pendidikan. Apa yang hendak saya tawarkan lewat tulisan ini
adalah sebuah refleksi atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani
(yang dibutuhkan) dalam konteks Gereja (Gereja Protestan
Maluku) atau dalam konteks masyarakat kepulauan, yakni
Malu~. S.alah. s~tu pertanyaan utama yang akan dijawab
~elalul tuhsan In! adalah model pendidikan seperti apa yang
dlhar.apka~ muncul dalam konteks bergerejalbermasyarakat di
Bumi Senbu Pulau yang begitu dipenguruhi oleh teologiCalvinis?
. Tulisan ini terbagi atas dua bagian besar: pertama,
tulisanyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA~11I dimulai dengan uraian singkat tentang
Protestantisme (Calvinis) dengan fokus pada pandangan
tentang pendidikan; dan kedua, keterkaitan antara konteks
~ereja atau masyarakat kepulauan dan implikasi yang
dibawasertanya bagi desain Pendidikan (Kristiani) dalam
konteks tersebut, serta bagaimana Pendidikan (Kristiani)
berupaya menjawab tantangan terse but.
Protestantisme (Calvinis) dan Pendidikan: Riwayatmu
Dulu
Ketika bicara tentang Protestantisme, maka ingatan kita
setidaknya dibawa kepada dua nama besar, Luther dan Calvin.
Keduanya memberikan perhatian besar bagi dunia pendidikan.
Bagi mereka, pendidikan adalah tanggung jawab gereja. Luther
dikenal sebagai "salah seorang penggagas pendidikan semesta
(pendidikan bagi semua orang) dan salah satu cara yang
ditempuh untuk mewujudkan gagasannya ini adalah dengan
meningkatkan profesi dan kualitas guru" (Aritonang 2010,
364).
Tentang Calvin, sejarah mencatat bahwa setidaknya ada
tiga hal penting yang dilakukan olehnya pada waktu reformasi
digulirkan yang memberikan kontribusi besar bagi dunia
pendidikan, yaitu: memproduksi sebanyak mungkin buku
Tafsiran Alkitab dan materi Penelaahan Alkitab (PA),
menerbitkan buku karangannya berjudulyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAInstitutes of Christian
Religion pad a tahun 1536, dan mendirikan Akademi Geneva~(Anthony & Benson 2003, 209). Akademi Geneva dibagi
menjadi dua sekolah, pertama sekolah privat untuk anak-anak
sampai dengan usia 16 tahun dan kedua sekolah publik yang
kelak menjadi universitas (Reed & Prevost 1993, 197). Calvin
merancang pendidikan yang bertujuan untuk memajukan
kehidupan bergereja termasuk peningkatan kehidupan pribadi
dan masyarakat secara umum. Ia bahkan menerapkan disiplin
yang ketat bagi para guru yang belajar di Akademi Geneva;
para guru ini bertanggung jawab penuh atas proses belajar
mengajar siswa dan ia mengijinkan hukuman fisik, jika itu
diperlukan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa
(Anthony & Benson 2003, 210; Kingdon 2004, 312). Lebih
lanjut, bagi Calvin "para pelayan gereja harus terdidik dalam
ilmu pengetahuan, disamping dalam ajaran dan seluk-beluk
kehidupan gereja" (Aritonang 2010, 364). Pendidikan bagi
Calvin adalah upaya "memajukan agama Kristen, memperbaiki
281
kehidupan manusia, dan menyampaikan ilmu pengetahuan;
pendidikan diperlukan untuk mengamankan pemerintahan
umum, meneegah gereja dari perbuatan jahat dan
mempertahankan kemanusiaan di tengah kehidupan manusia"
(Aritonang 2012, 17-18). Dari penjelasan singkat di atas, kita
bisa melihat bagaimana kedua tokoh reformator, dan
khususnya Calvin, menempatkan pendidikan sebagai arena
pertempuan ideologi (pemikiran).
Lebih lanjut dikatakan bahwa bagi mereka, pendidikan
itu sendiri harus berpusat pada Alkitab. Gereja sebagai
lembaga penyelenggara, harus bisa memegang kontrol atas
pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Itu sebabnya, salah satu
eiri pemikiran teologis Calvinis adalah penekanan pada
pemberitaan Firman. Implikasinya adalah seorang pendeta
mendapatkan perhatian utama, mimbar sebagai pusatJsentral
dari pemberitaan Firman, dan khotbah yang disampaikan harus
mampu mengajar dan mendidik umat (Sukarto 2010, 219).
Selain itu, khotbah yang disampaikan harus Alkitabiah, artinya
apa yang menjadi pesan Allah harus dikhotbahkan tanpa
mengabaikan bagian-bagian apapun. Pemberitaan Firman dan
pengajaran memberikan penekanan penting pada kemampuan
kognitif urnat. Akibatnya, pendidikan dan pengajaran yang
disampaikan dalam khotbah lebih diarahkan pada bagaimana
umat mengembangkan intelektualitas dan iman yang rasional
(Sukarto 2010, 219). Tidak hanya itu, kemampuan umat untuk
mengingat dan menghafal teks-teks Alkitab tertentu, rumusan
Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, 10 Hukum Tuhan,
dan sebagainya, mendapatkan tempat penting dalam desain
pendidikan.
Apa yang diuraikan di atas sedikit banyaknya hidup dan
juga berkembang (meski dalam wama yang berbeda) dala~
konteks gereja-gereja Calvinis di Indonesia, seeara khusus di
Maluku, yang dalam hal ini merujuk kepada Gereja Protestan
Maluku. Kiprah para zendin~ melalui kehadiran Gereja
282
Protestan yang dibawa oleh BelandaNOC pad a abad ke-17 dan
ke-18 dan berlanjut hingga sekarang masih menguasai eara
berge;eja GPM, seeara khusus gaya pendidikan da~
pengajaran. Beberapa di antaranya adalah: pol a ~erelasl
pendidik dan nara didik, pola mengajar yang mas.lh tertuju ~ada
pengisian domain kognitif (dan pemenuhan tntel.ektuahtas)
seseorang, dan pilihan model atau metode pembelaJar~n yang
masih eenderung satu arah. Tiga hal ini akan saya kaji dalam
uraian berikut dengan membaeanya dari perspektif konteks
GPM atau Maluku yang adalah Gereja atau masyarakat
kepulauan.ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA
Pendidikan dan Protestantisme (Calvinis) dalam
Konteks Gereja (dan Masyarakat) Kepulauan di
Maluku
Sebutan yang selalu dikenakan kepada Maluku adalah
Negeri Seribu Pulau. Sebutan ini tepat karena jika melihat
komposisi pulau-pulau yang tersebar di Maluku, maka a.da
kurang lebih 1.430 pulau dengan empat pulau besar, yaitu
Pulau Seram, Pulau Burn, Pulau Yamdena, dan Pulau Wetar,
dan selebihnya adalah pulau-pulau keeil yang tersebar di
seantero kepulauan Maluku (Salampessy 2012, 135). Pulau-
pulau yang terse bar tersebut membentuk gugus pulau yang
terdiri dari 12 gugus pulau, yaitu: Pulau Burn, Seram Barat,
Seram Utara, Seram Timur, Seram Selatan, Banda dan Teon
Nila Serna, Ambon dan PP Lease, Kei, Aru, Tanimbar, Babar,
dan Kepulauan PP Terselatan dan Wetar (SaJampe~s~ 2012,
139). Oleh karena ada dalam lingkup kepulauan mt, maka
masyarakat Maluku memiliki karakteristik tertentu, yang saya
simpulkan dalam dua hal utama berikut ini.
283
Ciri yang pertama, mereka yang tersebar di gugusan
pulau-pulau tersebut berada dalam wilayah/teritori tertentu dan
diikat oleh sistem nilai dan budaya yang khas (mereka). Dari
segi sosial budaya, ikatan batin para penduduk terhadap tanah
tempat mereka berdiam sangat kuat dan mereka berupaya
semaksimal mungkin untuk bisa menjaga keselarasan dengan
alam, temp at mereka berdiam (Lailossa 2012, 4).
Konsekuensinya adalah apa yang ada dan berkembang di setiap
wilayah bisa saja berbeda satu dengan yang lain. Kepelbagaian
ini jika dilihat dan disikapi secara bijak maka akan menjadi
kekuatan yang luar biasa, dan sebaliknya, jika tidak dilihat
sebagai sebuah kekuatan, pada akhimya dia akan menjadi
bencana besar yang bisa memecah belah masyarakat kepulauanyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA
101.
Ciri yang kedua terkait dengan garis koordinasi dari
pusat ke pinggiran (pulau-pulau) yang masih mendominasi
masyarakat kepulauan. Mereka yang ada di pusat umurnnya
menjadi penentu dan pengambil keputusan (terrnasuk untuk
mereka yang tersebar di berbagai pulau). Menurut saya, pola
relasi ini, sedikit banyaknya memengaruhi gaya berelasi dan
desain pendidikan masyarakat Maluku, tennasuk juga GPM.
Struktur yang demikian membuat segala sesuatu berpusat pada
orang-orang tertentu saja, yang mengakibatkan pengabaian
terhadap kelompok lain yang berada jauh dari mereka (lihat
Sapulete 1995, 87-90). Model pendidikan yang indoktrinatif
masih menjiwai desain pembelajaran kita. Ruang untuk
berelasi dan berkomunikasi dikuasai oleh pola-pola yang
mendikte. Mereka yang di pusat bisa menjadi begitu superior,
dan mereka yang ada di pulau-pulau memiliki rasa diri yang
rendah. Selain itu, wilayah kepulauan ini memungkinkan
persebaran infonnasi terjadi secara tidak merata. Mereka yang
di pusat atau yang dekat dengan pusat akan lebih cepat
menerima informasi, sebaliknya yang jauh akan mengalami
kesulitan dalam mengakses beragam infonnasi dengan cepat.
28.4
Dalam konteks yang demikian di atas, maka pertanyaan
paling mendasar yang bisa ajukan adalah desain Pendidikan
Kristiani seperti apa yang bisa menjawab kebutuhan konteks
ini secara memadai? Saya mencoba mengajukan beberapa
prinsip pendidikan untuk melihat hal ini dalam upaya
menjawab kebutuhan konteks tersebut, sebagai berikut:ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA
1. Pendidikan: Dari yang Bersifat Indoktrinatif ke
Dialogts
Penekanan pada domain kognitif tentu penting, namun
jika terlalu berlebihan maka bisa membuat poIa-poIa
pengajaran kita bersifat indoktrinatif. Akibatnya bisa
berdampak pada minimnya ruang-ruang untuk
mengembangkan kesadaran dan kemampuan berpikir kritis.
Charlene Tan (2008) dalam bukunyayxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBATeaching without
Indoctrination menegaskan bahwa indoktrinasi adalah sebuah
upaya untuk melumpuhkan kapasitas intelektual seseorang
yang dicirikan oleh ketidakmarnpuan untuk membenarkan .
keyakinan seseorang dan mempertimbangkan ragam altematif
Jainnya (xiii). Dari definisi ini, maka menurut saya ada tiga
ciri utama indoktrinasi: (1) pola komunikasi satu arah; (2)
mengarahkan orang menerima (begitu saja) informasi yang
diberikan tanpa harus berpikir kritis terhadapnya. Dalam pol a
relasi ini, mereka yang ada di pusat dianggap sebagai orang-
orang yang paling tahu, dan yang ada di pulau-pulau cenderung
tidak banyak tahu atau bahkan tidak tahu sarna sekali; dan (3)
pola relasi yang tercipta bersifat top-down. Kita seperti
mengabaikan kemampuan dan potensi diri yang ada dalam diri
rnereka yang berada di pulau-pulau, tennasuk juga tidak
tersedianya "ruang" yang cukup bagi mereka yang ada di
pulau-pulau untuk mengernbangkan pernikiran-pemikiran
kreatifnya karena harus mengikuti apa yang disampaikan oleh
mereka yang ada di pusat (band. Tilaar 2009, 148-149).
285
lika membaca pola pendidikan yang indoktrinatif ini
dari kacamata Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf
pendidikan ternama dari Brazil yang pokok-pokok
pemikirannya masih terus dilirik oleh banyak kalangan,
termasuk orang Indonesia, maka dalam konteks ini dibutuhkan
apa yang disebut sebagai pendidikan kritis. Bagi Freire,
pendidikan kritis muncul sebagai respons terhadap pendidikan
gaya bankyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA(banking education concept). Meskipun pada
awalnya pemikiran Freire tertuju lebih kepada upaya literasi
bagi para petani di Brazil, namun paling tidak apa yang
disampaikan olehnya itu menjadi relevan untuk konteks
pendidikan masyarakat kepulauan yang juga berhadapan
dengan berbagai isu ketidakadilan.
Dalam mengembangkan teori pendidikan kritisnya,
Paulo Freire melihat manusia dalam dua tipe, sebagai objek
atau subjek. Bagi Freire, jika kita melihat manusia semata-
mata hanya sebagai objek, maka kita menempatkannya atau
memperlakukannya sebagai binatang, tidak lebih (Freire 2009,
63). Dalam posisi ini, tentu mereka tidak memiliki keleluasaan
dan kebebasan untuk mengembangkan diri, hanya mengikuti
apa yang diinstruksikan kepada mereka untuk dilakukan. Tipe
orang ini, akan melihat dirinya berada di bawah kontrol orang
lain. Tipe yang kedua, manusia sebagai subjek, memberikan
ruang kepada manusia untuk berpikir dan berefleksi ten tang
diri dan lingkungan sekitarnya. Berbeda dari tipe yang pertama,
pada tipe ini, manusia memiliki keleluasaan dan kebebasan
untuk mengembangkan dirinya secara maksimal. Selanjutya,
bagi Freire, ada tiga level kesadaran yang dilewati oleh
seseorang, yaitu (Freire 1973, 16-20 dan 44-46):
a)ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBAKesadaran Magis. Orang pad a level ini cenderung
diam dan tertutup. Mereka berada dalam kontrol orang
lain dan hanya akan mengikuti berbagai instruksi yang
disampaikan kepada mereka tanpa punya kemampuan
untuk mengkritisi instruksi -instruksi tersebut. Ketika
286
berhadapan dengan berbagai persoalan ketidakadilan
dalam kehidupan sehari-hari, tipe orang ini akan lebih
memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa.
Bahkan, jika mereka adalah korban dari ketidakadilan,
mereka akan berpikir bahwa ini sudah jalan hidup
mereka, takdir dari Tuhan.
b) Kesadaran Naif. Pada level ini, seseorang sudah
mampu untuk peka dan sadar dengan apa yang dialami
atau terjadi dalam lingkungan sekitarnya meskipun dia
belum mampu untuk melihat hubungan sebab akibat di
antara keduanya. Orang-orang dengan tipe kesadaranyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA
In! cenderung menyalahkan sistem yang menguasai
mereka. Bagi mereka, keberadaan mereka terpisah dari
sistem, bukan bagian integral dari sistem terse but.
c) Kesadaran Kritis. Tipe orang pada level ini sudah
mampu untuk meJihat dan memetakan sebuah persoaJan
secara Jebih komprehensif Orang dengan tipe ini
melibatkan diri daJam realitas dan menjadikan dirinya
subjek atas realitas-realitas tersebut.
Level (atau bentuk) kesadaran ini perlu mendapat
perhatian kita, karena di mana seseorang berada akan sangat
menentukan cara dia memberi respons terhadap persoalan-
persoalan yang dihadapi. Orang dengan tipe kesadaran magis
akan sangat sulit bereaksi terhadap berbagai situasi ketidak-
adilan di lingkungan di mana dia berada, termasuk berbagai
bentuk ketidakadilan yang dialami oleh dirinya sendiri. lalan
keluar untuk situasi ini adalah, orang dengan mudah bisa
mengklaim bahwa apa yang dialaminya adalah kesalahan orang
lain, atau bahkan takdir dari Tuhan yang harus dia terima dan
jalani dalam kehidupannya. Selain itu, Iingkungan sekitar juga
memberikan pengaruh besar bagi bentuk kesadaran sese orang.
Jdealnya adalah orang harus bisa berpindah dari satu tahapan
287
kesadaran ke tahapan kesadaran berikutnya. Perpindahan ini
harus dikondisikan. Apa yang saya maksudkan dengan
pengkondisian adalah bagaimana lingkungan sekitar, terrnasuk
gereja melalui desain-desain pendidikannya, bisa memberikan
pengaruh yang baik bagi seseorang untuk melatih diri dan
mengembangkan kesadarannya secara maksimal menuju ke
tahapan kesadaran kritis.
2. Pendidikan: Olah Pikir, Olah Rasa, dan Olah Raga
Menjadi kritis saja tidak cukup. Pendidikan juga harus
menyentuh domain afeksi dan psikomotorik seseorang. Jika ini
yang terjadi maka pendidikan menyentuh semua dimensi
kehidupan, sehingga pendidikan yang terlaksana tidak hanya
membuat orang tahu tentang sesuatu, melainkan memahaminya
dengan benar dan berupaya semaksimal rnungkin untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ini yang
terjadi, maka pendidikan kita membuka ruang sebesar-besarnya
bagi seseorang untuk tidak hanya berpikir, tetapi juga
mengalami dan merasakan berbagai hal dalam hidup
beragamanya. Dan bukankah ini sesuatu yang khas Indonesia?
Dalam ranah pendidikan karakter, pengembangan domain
kognitif, afektif dan psikomotorik menolong orang untuk: (1)yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
knowing the good - tahu tentang yang baik, (2) desiringlloving
the good - berhasrat untuk melakukan yang baik, dan (3) doing
the good - melakukan yang baik (Koesoema 2015, 157-158).
3. Pendidik dan Nara Didik: Rekan Seperjalanan
Rekan seperjalanan menunjukkan bahwa kolegialitas
menjadi penting. Prinsip mt mengundang kita untuk
menghargai rekan belajar kita. Kita menerima dia dengan
segala keberadaannya, kekuatan namun juga keterbatasannya.
288
Lalu, ketika kita menerima mereka, kita berharap mereka juga
mau menerima kita apa adanya. Prinsip ini mengingatkan saya
kepada empat kalimat mantra dalam berelasi dengan orang lain
yang dikemukakan oleh Thich Naht Hanh, aktivis perdamaian,
dalam percakapannya dengan Oprah Winfrey. Empat kalimat
itu adalah:
a. Darling,JI J am here. Ketika kita mengasihi
seseorang, hal terbaik yang bisa kita tawarkan
kepadanya adalan kehadiran kita.
b. Darling, J know you are there. Bukan hanya
kehadiran kita yang kita tawarkan, lebih dan itu kita
juga perlu mengakui kehadiran orang lain. Dicintai
berarti diakui keberadaannya.
c. Darling, 1 know you are suffering and J am here for
you. Ada bagi orang lain dan menemani/
menolongnya melewati masa yang "sulit" sangat
dibutuhkan dalam berelasi.
d. Darling, J am suffering. Please, help me. Kita
tidak hanya dituntut" untuk mampu peka dan peduli
dengan keberadaan orang lain, tetapi juga berani
dan mampu untuk mengakui keadaan diri kita dan
mengatakan kepada orang lain bahwa kita
membutuhkan pertolongan mereka.
Dimensi lain dari prinsip ini adalah kemampuan kita untuk
menempatkan rekan belajar kita bukan sebagai saingan. Saya
teringat dengan kata-kata bell hooks tentang hal ini begini:
"Competition in the classroom disrupts connection, making
closeness between teacher and students impossible" (Hooks
2003, 130). Jika kita hanya mengedepankan persaingan, maka
relasi dan koneksi akan terabaikan; jika kita hanya
mengutamakan persaingan, maka kedekatan akan terasa sangat
jauh; jika persaingan yang lebih mendominasi kita, maka rasa
belas kasih itu perlahan-Iahan akan hilang kekuatannya.
289
4. Masyarakat Kepulauan: Masyarakat Multi-
kuturalzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaZYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
Multikulturalisme adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk menjelaskan tentang kepelbagaian budaya dalam sebuah
komunitas, dan bagaimana anggota komunitas belajar untuk
menerima dan menghargai kepelbagaian tersebut. H.A.R.
Tilaar mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah upaya
pengakuan akan "martabat manusia yang hidup di dalam
komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang
spesifik; lebih daripada itu, multikulturalisme adalah sebuah
pengakuan atas pluralisme budaya" (Tilaar 2012, 919, 930).
Sedangkan Charles Taylor mendefiniskan multikulturalisme
sebagai sebuah "gerakan yang didorong oleh kebutuhan atas
pengakuanyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA(recognition) terhadap -keberadaan individu atau
kelompok yang berbeda" (Taylor 1994, 25). Baik Tilaar
maupun Taylor melihat bahwa pengakuan menjadi salah satu
unsur penting ketika kita masuk dalam ranah interaksi bersama
mereka yang berbeda.
Di Indonesia, pendidikan multikultural muncul sebagai
sebuah gerakan untuk menghargai keanekaragaman (agama
dan budaya) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam hal
ini, pendidikan menolong setiap orang yang terlibat di
dalamnya untuk mengenal lebih dekat budaya dan agama-
agama di luar agama dan budayanya sendiri. Selain itu,
munculnya pendidikan (berbasis) multikultural di Indonesia
merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan sikap
toleransi terhadap budaya-budaya asing yang masuk dan
menjamur di Indonesia, dan pada saat yang bersamaan ia
merupakan sebuah gerakan kebangkitan budaya-budaya lokal
untuk menunjukkan identitas dirinya.
James Banks dalam bukunya berjudulyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBA"An Introduction
to Multicultural Education" mengajukan setidaknya empat
tujuan pendidikan mutikultural, yaitu: (1) menolong setiap
290
orang mengenal siapa dirinya secara utuh. Pengenalan diri ini
tidak didasarkan semata-mata atas penilaian pribadi tetapi lebih
kepada menilai diri dengan menggunakan "kacamata"/
perspektif orang lain; (2) meminimalisir dominasi budaya
tertentu dan memperkenalkan kepada setiap orang altematif
budaya dan etnik yang lain; (3) memperlengkapi setiap orang
dengan ragam informasi dan pengetahuan serta keahlian yang
bisa dikembangkan sesuai dengan budaya dominan maupun
budaya mereka masing-masing; dar. (4) mengurangi "rasa
sakit" yang dirasakan dan diskriminasi yang dialami oleh
kelompok tertentu hanya karena suku atau agama mereka
(Banks 2002, 1-4). Selanjutnya, Banks mengidentifikasi lima
dimensi pendidikan multikultural (berbasis di sekolah, meski
saya sadar sepenuhnya bahwa dimensi-dimensi ini juga bisa
berlaku dalam kehidupan bergereja atau berrnasyarakat secara
luas), yaitu: "content integration, knowledge construction,
prejudice reduction, equitable pedagogy, dan empowering
school culture and social structure" (Banks 2002, 13). Berikut
adalah penjelasan detail kelima' dimensi ini:JI
1. Content integration (integrasi isi/materi) - Dimensi ini
merujuk kepada upaya seorang pendidik untuk
menggunakan contoh-contoh, data, dan ragam
informasi dari berbagai budaya dan kelompok yang
berbeda untuk menjelaskan tentang teori, konsep, dan
prinsip dari pelajaran yang diajarkan (Banks 2002, 14-
15). Dimensi ini mengkritisi kecenderungan pendidik
untuk hanya menggunakan contoh-contoh dari
budayanya, atau budaya dominan yang berlaku.
2. Knowledge construction (konstruksi pengetahuan) -
Dimensi ini menunjukkan bagaimana pengetahuan itu
dibentuk dan bagaimana ras, etnis, gender, dan kelas
sosial dari individu maupun kelompok memberikan
pengaruh kepadanya (Banks 2002, 15-16). Selain
membentuk konsep yang benar tentang diri dan orang
291
lain, dalam praktiknya dimensi ini juga membuka
kesempatan bagi para pendidik dan setiap naradidik
untuk mengevaluasi pemahaman-pemahaman mereka
yang keliru terhadap suku, budaya, atau agama tertentu.yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
3. Prejudice reduction (mereduksi prasangka) - Dimensi
ini menolong pendidik dan naradidik untuk mengurangi
prasangka terhadap mereka yang berbeda termasuk pula
mengembangkan perilaku positif terhadap ragam
perbedaan yang ada (Banks 2002, 16). Dengan
demikian, menurut saya, tanggung jawab pendidik
adalah menciptakan "ruang" bagi terciptanya sebuah
dialog yang sehat agar kesalahpahaman yang dibawabisa diluruskan.
4. Equitable pedagogy (pedagogik kesetaraan) - Dimensi
ini menolong para pendidik menyesuaikan model
pembelajaran dengan cara belajar dalam rangka
memfasilitasi kemampuan akademik naradidik. Lebih
lanjut, dimensi ini mengundang pendidik untuk
menggunakan ragam teknik dan metode pembelajaran
yang memungkinkan semua orang terlibat secara secara
aktif, tidak didominasi oleh kelompok tertentu saja
(Banks 2002, 17). Menurut Tilaar (2012), pedagogik
kesetaraan memperlihatkan dua prinsip pokok, yaitu
pengakuan akan kebebasan (kemerdekaan) dan
martabat seseorang.
5. Empowering school culture and social structure
(penguatan budaya sekolah dan struktur sosial) -
Dimensi ini mengkritisi budaya dan struktur organisasi
yang berlaku di sekolah selama ini, apakah benar-benar
memberikan peluang bagi para naradidik dari berbagai
latar belakang agama, suku dan ras merasa
diperlakukan setara.
292
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka kita perlu
untuk pertama-tama mengubah paradigma pendidikanl
pembelajaran kita dari yang bersifat tradisi~nal (yang
menekankan otoritas dan dominasi seorang pengajar) kepada
model yang lebih memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan
berdialog bagi naradidik. Pendidikan tidak hanya dipahami
sebagai sebuah proses inisiasi dan upaya untuk meneruskan
tradisi ke generasi berikutnya; mengajar juga bukan hanya
sebuah upaya uutuk mengaplikasikan teks-teks Alkitab.
Mengajar adalah sebuah upaya reinterpretasi, mem~ertanyakan~
menganalisa, dan bahkan menolak apa yang tidak sesuai
(Harris 1989, 116). Kedua, model pendidikan kita perlu
bergerak maju dari yang sifatnya informatif, ke arah
transformatif. Informasi menolong orang mengetahui fakta dan
bukti, namun transformasi menolong orang mengkorelasikan
teks-teks Alkitab yang dibacakan dengan pengalaman hidup
sehari-harinya. Dengan demikian, transforrnasi harusnya
mengakomodasi tiga prinsip pokok pendidikan yang
berorientasi kepada head, heart, dan hands. Ketiga, proses
pembelajaran kita seharusnya menolong naradidik untuk lebi.h
peka terhadap situasi sosial di sekelilingnya dan secara .aktl~
merumuskan respons-respons kritis mereka terhadap situasi
tersebut. Singkatnya, model-model pembelajaran harus lebih
mengarah kepada pengembangan kemampuan berpikir kritis~
pengutamaan dialog antara pendidik dan naradidik, d~n dl
antara naradidik (cooperative learning), termasuk tersedianya
ruang bagi naradidik untuk bisa menuturkan narasi -narasi
kehidupannya dan terus mempertanyakan siapakah dirinya.ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA
5. Muatan Lokal, Nasional, dan Global
Salah satu tantangan masyarakat kepulauan adalah
sentralisasi pendidikan di pusat dan pengabaian terhadap
kekayaan lokal yang memiliki nilai tinggi. Oleh karenanya,
ketika multikultural menjadi bahasa kita, maka pengakuan akan
293
muatan-muatan lokal menjadi sebuah pilihan yang harus
diambil. Pengakuan akan muatan-muatan lokal membuka
sebuah "ruang" bagi pengakuan akan kekayaan-kekayaan lokal
yang tidak mungkin terwadahi secara maksimal dalam
kurikulum-kurikulum yang bersifat sinodal/nasional/global.
Menurut Dannaningtyas dalam bukunya "Pendidikan yang
Memiskinkan," dengan diakomodasinya muatan-muatan 10kaI,
maka gerejalsekolah tidak dengan serta merta mencabut para
naradidik daryxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBAi iingkungan geografis temp at ia tinggal, situasi
ekonomi, sosial, dan budaya yang memengaruhinya
(Darmaningtyas 2015, 106). Tidak hanya itu, dengan
diakomodasinya muatan-muatan lokal dalam desain kurikuluml
bahan ajar kita, maka kita memberikan kepada naradidik
identitasnya (Tilaar 2000, 214). Bagi saya, di sini proses
humanisasi itu terjadi. Kita mengakui keberadaan seseorang
dan berbagai potensi yang ia atau lingkungan sekitamya miliki.ywvutsrponmlkjihgfedcbaUSRPONMLKJIGEDCBA
Penutup
Pendidikan hadir untuk menjawab kebutuhan riiI
konteks, sehingga tidak ada sebuah desain pendidikan yang
kekal sepanjang masa. Pendidikan juga tidak bisa dilepaskan
dari konteksnya. Desain pendidikan (Kristiani) sangat
dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dan pola interaksi yang mengikutinya. Semoga
tulisan sederhana ini menolong kita untuk menghayati dan
menghidupi panggilan kita untuk mendidik dan dididik, serta
mengajar dan diajar.
Daftar Acuan
Anthony, Michael J. & Warren S. Benson. 2002.yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAExploring
the History and Philosophy of Christian Education:
Principles for the 21st Centurry. Grand Rapids, MI:
Kregel Academic and Professional.
Aritonang, Jan Sihar. "Pendidikan Kristen di Indonesia."
Dalam eds. Elika Dwi Murwani, dkk. 2010.
Education for Change: Pendidikan untuk
Perubahan. Jakarta: BPK PENABUR & BPK
Gunung Mulia.
"Sekolah Zending di Indonesia dan
Keberlanjutannya Sampai Kini." Dalam Luther dan
Pendidikan. Pematangsiantar: Komite Nasional
LWF,2012.
#
Banks, James A. 2002. An Introduction to Multicultural
Education. Boston: Allyn and Bacon.
Dannaningtyas. 2015. Pendidikan yang Memiskinkan.
Malang: Intrans Publishing. Freire, Paulo. 1973.
Education for Critical Consciousness. New York:
The Seabury Press.
_____ . 2006. Pedagogy of the Oppressed. New York:
Continuum.
Harris, Maria. 1989. Fashion Me a People: Curriculum in the
Church. Louisville: Westminster John Knox Press.
294295
Hooks, bell. 2003.yxwvutsrqponmlkjihgfedcbaVUTSRPONMLKJIHGFEDCBATeaching Community: A Pedagogy of .
Hope. New York: Routledge.
Sukarto, Aristarchus. 2010. "Pengaruh Calvinisme dalam
Kehidupan Gereja dan Pendidikan di indonesia."
Dalam Calvinis Aktual, eds. Budiman Heryanto dan
Tim Kompilasi KPT GKl SW Jabar (215-226).
Jakarta: KPT GKl SW Jawa Barat.
Kingdon, Rober M. 2004. "Catechesis in Calvin's Geneva."
Dalam Educating People of Faith: Exploring the
History of Jewish and Christian Communities, John van
Enggen (294-313). Grands Rapids: William B
Eerdmans.
Tan, Charlene. 2008. Teaching without Indoctrination:
Implications for Values Education. Rotterdam: Sense
Publishers.
Koesoema, Doni. 2015. Pendidikan Karakter: Utuh dan
Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.
Lailossa, M. G. 2012. "Visi Pembangunan Provinsi Kepulauan
dalam Bentuk Model Pembangunan Provinsi
Kep~lauan." Dalam Berlayar Dalam Ombak, Berkarya
Bagi Negeri: Pemikiran Anak Negeri untuk Maluku,
Karel Albert Ralahalu (3-10). Ambon: Ralahalu Institut.
Taylor, Charles. 1994. "The Politics of Recognition." Dalam
Amy Gutman, Multiculturalism. New Jersey:
Princeton University Press.
Tilaar, H. A. R. 2000. Paradigm a Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Rineka Cipta.
Reed, James E dan Ronnie Prevost. 1993. A History of
Christian Education. Nashville: Broadman and Holman
Publishers.
_____ .2009. Pendidikan dan Kekuasaan: Manajemen
Pendidikan Nasiontil dalam Pusaran Kekuasaan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Salampessy, Djalaludin. 2012. "Peranan Kearifan Lokal dalam
Pengembangan Wilayah Berbasis Gugus Pulau di
Maluku." Dalam Berlayar dalam Ombak, Berkarya
Bagi Negeri: Pemikiran Anak Negeri untuk Maluku,
Karel Albert Ralahalu (133-150). Ambon: Ralahalu
Institut.
. 2012. "Pendidikan multikultural." Dalam-----
Kaleidoskop Pendidikan Nasional, ed. TheresiayxwvutsrponmlkjihgfedcbaWUTSRPOMLKJIHGFEDCBAK.
Brahim (917-949). Jakarta: Buku Kompas.
Sapulete, H. L. 1995. "GPM dan Pendidikan Teologia."
Dalam Gereja Pulau-pulau: Toma Arus, Sibak Ombak,
Tegar, eds. Wim Davidz dan M. Tapilatu (87-97).
Ambon: Percetakan GPM.
296 297