Referat tht sinusitis
-
Upload
yulius-andi-ruslim -
Category
Documents
-
view
205 -
download
4
description
Transcript of Referat tht sinusitis
BAB IPENDAHULUAN
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia12. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.12 Survei Kesehatan Indera Penglihatan
dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan
PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7
propinsi13 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien,
69%nya adalah sinusitis13.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga
penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang
baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.12
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena
hal di atas. Awalnya diberikan terapi antibiotik dan jika telah begitu hipertrofi,
mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan
operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EMBRIOLOGI
2.1.1. EMBRIOLOGI HIDUNG
Perkembangan dari kepala dan leher dibentuk oleh arcus brachial dan
faringeal. Arcus ini terlihat pada minggu keempat dan kelima perkembangan dan ikut
berperan pada tampilan luar dari embrio. Hidung dibentuk oleh nasal placode yang
berasal dari prominensia frontonasalis.1
Pada minggu kelima nasal placode berinvaginasi untuk membentuk nasal pits.
Di sekitar nasal pits dikelilingi oleh jaringan membentuk prominensia nasalis.
Prominensia nasalis berubah menjadi dinding lateral dan medial hidung. Pada minggu
ke enam nasal pits menjadi lebih dalam dan masuk ke dalam mesenkim. Membran
oronasalis memisahkan nasal pits dari rongga mulut melalui koana, membesar di
bagian dinding lateral menjadi konka superior, konka media dan konka lateralis.
Ektoderm pada nasal placode dibentuk menjadi epitel olfaktorius.2
2.1.2. EMBRIOLOGI SINUS PARANASLIS
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV
dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8
tahun. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18
tahun.
Sinus Maksilaris
Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.
Saat dilahirkan sinus maksilaris berukuran 6-8cm3. Sinus maxillaris (Antrum of
Highmore) adalah sinus yang pertama berkembang. Sinus maksilaris terbentuk
sebagai puncak pada dinding lateral dari bagian ethmoid dari kapsul nasal kurang
lebih pada usia 3 bulan kehidupan. Kemudian membesar perlahan sesuai dengan usia
janin. Struktur ini adalah pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan
dari sinus ini adalah biphasic dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.
Sampai usia 3 tahun perkembangan dari sinus maksilaris sangat cepat dan
perkembangannya kemudian melambat sampai usia 7 tahun.
Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah di mana gigi
yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasi dapat sangat luas sampai
akar gigi hanya suatu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka.
Sinus Ethmoidalis
Terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil),
saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis. Sinus ethmoid merupakan
struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama masih janin,
perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara
berangsur-angsur sampai dewasa umur 12 tahun. Sel ini tidak dapat dilihat dengan
sinar x sampai umur 1 tahun. Septa yang secara berangsur-angsur tipis dan
pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel ethmoid bervariasi dan sering ditemukan di
atas orbita, sphenoid lateral, ke atap maxilla dan sebelah anterior diatas sinus frontal.
Sel ini disebut sel supraorbital dan ditemukan 15% dari pasien. Penyebaran sel
ethmoid ke dasar sinus frontal disebut frontal bulla. Penyebaran ke turbinate medial
disebut concha bullosa. Sel yang berada pada dasar sinus maxilla ( infraorbita )
disebut Haller’s sel dan dijumpai pada 10% populasi. Sel-sel ini dapat menyumbat
ostia maxilla dan membatasi infundibulum mengakibatkan gangguan pada fungsi
sinus. Sel yang meluas ke anterior lateral sinus sphenoid disebut Onodi sel. Variasi
dari sel ini penting pada saat preoperative untuk memperjelas anatomi pasien secara
individu.
Sinus Frontalis
Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.6 Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh
pergerakan keatas dari sebagian besar sel-sel ethmoid anterior. Os frontal masih
merupakan selaput (membran) pada saat kelahiran dan tulang mulai untuk mengeras
sekitar usia 2 tahun. Secara radiologi jarang bisa terlihat struktur selaput (membran)
ini. Perkembangannya mulai usia 5 tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun
akan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak sama dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Sinus Sfenoid
Terbentuk pada fetus usia bulan III.6 Sinus sphenoidalis adalah unik oleh karena tidak
dibentuk dari kantong rongga hidung. Sinus ini dibentuk di dalam kapsul rongga
hidung dari hidung janin. Tidak berkembang hingga usia 3 tahun. Pneumatisasi sinus
sphenoid dimulai pada usia 7-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior
rongga hidung. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sella turcica. Usia 18 tahun,
sinus sudah mencapai ukuran penuh.
2.2. ANATOMI dan HISTOLOGI
2.2.1.1. Anatomi Hidung3
a. Hidung Luar
Hidung luar merupakan bagian yang menonjol pada garis tengah di antara
pipi dengan bibir atas.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah :
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Gambar 1. Pembagian hidung bagian luar
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan.
Kerangka tulang terdiri dari :
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prossesus frontalis os maksila
3. Prossesus nasalis os frontalis
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan
yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi
Gambar 2. Tulang-tulang penyusun hidung
Struktur hidung luar terdiri dari tiga bagian yaitu kubah tulang yang tak
dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Kubah tulang dibentuk pross esus maksila yang berjalan ke
atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis
tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis. Kubah kartilago
dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi digaris tengah
serta berfusi dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga
bawah hidung luar atau lobulus hidung dipertahankan bentuknya oleh
katilago lateralis inferior.5
b. Hidung Dalam
Hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga
koana di bagian posterior, yang memisahkan rongga hidung dan
nasofaring.
Gambar 3. Penampang hidung dalam
i. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.
ii. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari :
- lamina perpendikularis os etmoid
- vomer
- krista nasalis os maksila
- krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari :
- kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
- kolumela
iii. Kavum nasi
o Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.
o Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis
os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n.
Olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior.
o Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior,
lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.
o Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media,superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.
o Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasarhidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
o Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum nasi merupakan
struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi dua rongga
hidung.
2.2.1.2. Histologi
1. Mukosa pernafasan hidung
Epitel pada rongga pernafasan biasanya berupa epitel torak bersilia,
bertingkat palsu (pseudostratified). Mukosa pada ujung anterior konka dan
septum sdikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa silia. Sinus mengandung epitel kubus dan silia yang sama
panjang dan jaraknya.
2. Silia
Silia memiliki panjang 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau
sekitar 250 per sel pada saluran napas atas.
Gambar 4. Histologi mukosa hidung
2.2.2.1. Anatomi Sinus
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut : sinus frontal kanan dan kiri, sinus
ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium
highmore), dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa
yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga
hidung melalui ostium masing-masing.6
Gambar 5. Anatomi Sinus Paranasalis
Dinding lateral nasal meliputi bagian dari os ethmoid, os maxilla, os palatina,
os lacrimal, lamina pterygoideus medial os sphenoid, os nasal dan turbinate inferior.
Tiga dari empat turbine dari dinding supreme, superior dan medial menjadi proyeksi
dari os ethmoid. Bagian inferior merupakan suatu struktur yang independen. Masing-
masing struktur ini disebut dengan meatus .Tulang kecil dari projeksi os ethmoid yang
menutup, membuka kesamping menempatkan sinus maxillaris dan membentuk suatu
palung di belakang pertengahan turbinate. Sekat bertulang tipis ini dikenal sebagai
processus uncinatus.
Dinding superior nasal terdiri dari ethmoid sel sinus terletak sebelah lateral
dari epithelium olfactorius dan cribiform plate yang mudah pecah. Bagian superior
dari sebagian besar sel ethmoid anterior barada pada sinus frontal. Bagian posterior
superior dari dinding nasal lateral menjadi dinding anterior dari sinus sphenoidalis
yang mendekap
dibawah sella turcica dan sinus cavernosus.10 Pada meatus medius yang merupakan
ruang di antara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah
sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan
ethmoid anterior.10 Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.
Gambar 6. Anatomi Sinus Paranasalis
A. Sinus Maksilaris
Struktur
Sinus maxillaris orang dewasa adalah berbentuk piramida mempunyai volume kira-
kira 15 ml ( 34 x 33 x 23mm ). Dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan
puncak yang menunjuk ke arah processus zygomaticum. Dinding anterior mempunyai
foramen infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus infraorbital
berjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen itu. Saraf ini dapat dehiscens
(14%). Bagian yang tertipis dari dinding anterior adalah sedikit di atas fossa canina.
Atap dibentuk oleh dasar orbital dan di transeksi oleh nervus infraorbital . Dinding
posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris
dengan arteri maxillaris interna, ganglion sphenopalatina dan saluran Vidian, nervus
palatina mayor dan foramen rotundum. Dasar dari sinus, seperti dibahas di atas,
bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di
atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar sinus secara umum sama dengan dasar
nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi peumatisasi sinus maxillaris. Oleh karena itu
berhubungan erat dengan penyakit pertumbuhan gigi yang dapat menyebabkan
infeksi rahang dan pencabutan gigi dapat mengakibatkan fistula oral-antral.10
Perdarahan
Cabang dari arteri maxillaris internal mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbital
( yang
berjalan dengan nervus infraorbital ), cabang lateral dari sphenopalatine, palatina
mayor,
vena axillaris dan vena jugularis sistem dural sinus.10
Persarafan
Sinus maxilla disarafi oleh cabang dari V.2. yaitu nervus palatina mayor dan cabang
dari
nervus infraorbital.10
Struktur yang terkait
Ductus nasolacrimalis mengalir ke kantung lacrimalis dan berjalan dari fossa
lacrimalis di bawah orbita sebelah posterior dari dinding penunjang rahang yang
vertikal dan kosong di sebelah depan dari meatus inferior. Saluran ini berada sangat
dekat dengan ostium rmaxilla, rata-rata berada pada 4 - 9mm di depan ostium.
1. Ostium alami.
Ostium maxillaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal
biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum ethmoidalis, atau
disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Tepi posterior dari ostium ini berlanjut
dengan lamina paprycea sekaligus ini menjadi tanda (landmark) untuk batas lateral
dari diseksi pembedahan. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tetapi dapat bervariasi
antara 1-17 mm. Ostium ini jauh lebih kecil dibanding defect pada tulang sebab
mcosa mengisi area ini dan menggambarkan tingkat dari pembukaan itu. 88% dari
ostium maxilla bersembunyi dibelakang processus uncinatus oleh karena itu tidak
bisa dilihat secara endoscopi.
2. Fontanella anterior dan posterior ostium acessorius.
Dua tulang dehiscens dari dinding nasal / dinding medial sinus maxillaris kadang-
kadang ada satu dehiscence tulang yang besar, pada umumnya ditutup oleh mucosa.
Beberapa individu dimana fontanella anterior atau posterior mungkin tetap terbuka
mengakibatkanterdapat suatu ostium assesori. Ostium ini biasanya tidak berfungsi,
mengalirkan sinus jika ostium yang alami dihalangi dan adanya tekanan/gravitasi
gerak intrasinus dari ostium itu. Ostium asesorius pada umumnya ditemukan pada
fontanella posterior.10
B. Sinus Ethmoidalis
Struktur
Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan
mata. Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (3,3 x 2,7 x 1,4
cm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang
tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah
anterior posterior agak miring (15 derajat). Dua pertiga anterior tebal dan kuat
dibentuk oleh os frontal dan faveola ethmoidalis. Sepertiga posterior lebih tinggi
sebelah lateral dan sebelah medial agak miring kebawah kearah cribiform plate.
Perbandingan antara tulang tebal sebelah lateral dan plate adalah sepersepulah kuat
atap sebelah lateral. Perbedaan berat antara atap medial dan lateral bervariasi antara
15-17 mm. Sel ethmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. Dinding
lateralnya adalah lamina paprycea orbita.
Gambar 7. Anatomi Sinus Paranasalis
Perdarahan
Sinus ethmoid mendapat aliran darah dari arteri carotis eksterna dan interna. Arteri
sphenopalatina dan juga arteri opthalmica mendarahi sinus. Pembuluh vena mengikuti
arterinya dan dapat menyebabkan infeksi intracranial.
Persarafan.
Disarafi oleh nervus V.1 dan V.2, nervus V.1 mensarafi bagian superior sedangkan
sebelah inferior disarafi oleh nervus V.2. Persarafan parasimpatis melalui nervus
Vidian, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion sympathetic cervical dan
berjalan bersama pembuluh darah menuju mukosa sinus.
Struktur yang terkait
1. Lamella basal dari turbinate medial
Struktur ini dibentuk oleh pemisahan antara sel ethmoid anterior dan posterior
merupakan pemasangan dari turbinate medial dan berjalan pada tiga tempat yang
berbeda didalamnya dari anterior ke posterior. Sebagian dari bagian anterior adalah
vertikal dan menyisip di crista ethmoidalis dan dasar tengkorak. 1/3 tengah berjalan
miring menyisip ke lamina papyracea. 1/3 akhir menyisip sejajar dengan lamina
papyracea. Ruangan dibawah concha medial disebut meatus medial menuju ethmoid
anterior, sinus frontal, dan aliran sinus maxilla . Kesalahan dalam operasi dapat
merusak turbinate medial anterior dan posterior dan dibagian anteriornya dapat
merusak cribriform plate.
2. Sel ethmoid anterior dan posterior
Sel di bagian anterior menuju lamella basal. Pengalirannya ke meatus medial melalui
infundibulum ethmoid. Termasuk sel agger nasi, bulla ethmoid dan sel-el anterior
lainnya. Sel yang di posterior bermuara ke meatus superior dan berbatasan dengan
sinus sphenoid. Sel bagian posterior secara umum lebih sedikit dalam jumlah dan
lebih besar dari sel bagian anterior.
3. Sel agger nasi
Sel ini dijumpai di os lacrimal anterior dan superior persimpamgan dari turbinate
medial dengan dinding nasal. Sel ini tersembunyi di belakang anterior dari processus
uncinatus dan mengalirkan ke dalam hiatus semilunaris. Ini merupakan sel yang
pertama pneumatisasi pada bayi yang baru lahir sampai masa anak-anak. Terdapat
satu sampai tiga sel. Dinding sel posterior membentuk dinding anterior dari recessus
frontal. Atap sel agger nasi adalah dasar dari sinus frontal, yang merupakan tanda
penting untuk operasi sinus frontal.
4. Bulla ethmoid
Ini penting sebagai pertanda untuk kasus operasi. Terletak diatas infundibulum dan
permukaaan lateral / inferiornya, dan tepi superior processus uncinatus membentuk
hiatus semilunaris. Ini merupakan sel ethmois anterior yang terbesar. Arteri
ethmoidalis anterior umumnya menyilang terhadap atap sel ini. Recessus suprabullar
dan retrobullar dibentuk ketika bulla ethmoid tidak meluas ke dasar tengkorak.
Recessus suprabullar adalah suatu celah antara atap bulla ethmoid dan fovea. Ruang
retrobullar dibentuk ketika ada celah antara lamella basal dan bulla. Ruang retrobular
ini dikenal sebagai hiatus semilunaris superior .
5. Infundibulum ethmoid
Perkembangan infundibulum mendahului sinus. Dibentuk oleh struktur yang
kompleks. Dinding anterior dibentuk oleh processus uncinatus, dinding medial
dibentuk oleh processus frontalis os maxilla dan lamina papyracea. Jika melakukan
operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita
sehingga terjadi Brill Hematoma.6
6. Arteri ethmoid anterior dan posterior
Arteri ethmoid anteior dan posterior berasal dari arteri opthalmica. Arteri ethmoid
anterior menyilang ke rektus medial dan menembus lamina papyracea. Arteri ini
kemudian menyilang ke atap sinus ethmoid pada sebuah tulang tipis ( biasanya
dehisens), mendarahi cribiform plate dan septum anterior. Arteri ini biasanya besar
dan tunggal dan di bagian inferiornya menutupi sel sinus. Letaknya yang tertutup
berhubungan dengan letak strukturyang lebih medial yaitu fovea ethmoid. Arteri
ethmoid posterior menyilang rektus medial, menembus lamina papyracea dan melalui
sel ethmoid posterior menuju septum. Mendarahi sinus ethmoid posterior, turbinate
superior dan medial dan sebagian kecil septum posterior. Arteri ini kecil dan
bercabang-cabang. Letaknya tertutup kebawah diantara sel-sel sinus, bergabung
dengan letak nervus opticus dekat vertex orbita. Sebab perkembangan dari struktur ini
mendahului sinus hubungan ke sel ethmoid dapat bervariasi.10
C. Sinus Frontalis
Struktur
Volume sinus ini sekitar 6 - 7ml (28 x 24 x 20mm). Anatomi sinus frontalis sangat
variasi tetapi secara umum ada dua sinus yang berbentuk seperti corong dan
berbentuk point menaik. Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.6
Kedalaman dari sinus berhubungan dengan pembedahan untuk menentukan batas
yang berhubungan dengan pembedahan. Kedua bentuk sinus frontal mempunyai ostia
yang bergantung dari rongga itu (posteromedial). Sinus ini dibentuk dari tulang
diploe. Bagaimanapun, dinding posterior (memisahkan sinus frontal dari fosa kranium
anterior) lebih tipis. Dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga
mata.
Perdarahan
Sinus frontalis mendapat perdarahan dari arteri opthalmica melalui arteri supraorbita
dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui vena opthalmica superior menuju
sinus cavernosus dan melalui vena-vena kecil didalam dinding posterior yang
mengalir ke sinus dural.
Persarafan
Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang nervus V.1. Secara khusus, nervus-nervus ini
meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.
Struktur terkait
Recessus frontal
Recessus frontal adalah ruang diantara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang
menuju ke aliran sinus. Bagian anterior dibatasi oleh sel agger nasi, superior oleh
sinus frontalis, medial oleh turbinate medial dan bagian lateral oleh lamina
papyracea. Rongga yang menyerupai suatu dambel seperti sinus frontalis merupakan
ostium atau saluran yang kemudian membuka lagi kedalam recesus. Berdasarkan
luasnya pneumatisasi ethmoid, recessus ini dapat kembali menjadi bentuk pipa yang
menghasilkan dambel yang lebih panjang. Struktur yang anomali, seperti sinus
lateralis (bagian posterior ke recessus frontal di dasar tengkorak) dan bula frontalis
(bagian anterior ke receesus di dasar sinus frontalis) menyebabkan salah interpretasi
seperti sinus frontalis ketika operasi sinus.10
.
D. Sinus Sfenoidalis
Struktur
Usia belasan tahun sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5ml (23
x 20 x 17mm). Pneumatisasai sinus ini, seperti sinus frontalis, sangat bervariasi.
Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperior dari rongga
hidung. Pneumatisasi dapat meluas sejauh clivus, ala parva dan ala magna os
sphenoid sampai ke foramen magnum. Dinding sinus sphenoidalis bervariasi
ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1 ? 1,5mm).
dinding yang lain lebih tebal, Bagian paling tipis dari dinding anterior adalah 1 cm
dari fovea ethmoidalis. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya tergantung
dengan tingkat pneumatisasi. Sinus bisa terletak jauh di anterior, di anterior atau
dengan seketika di bawah sella turcica (conchal, presellar, sellar atau postsellar).
Kebanyakan posisi posterior dapat menempatkan sinus bersebelahan ke struktur yang
penting seperti arteri carotid, nervus opticus, nervus maxillaris cabang dari nervus
trigeminal, nervus vidian, pons, sella turcica dan sinus cavernosus. Struktur ini sering
dikenali seperti lekukan di atap dan dinding sinus. Dalam presentase kecil akan
mempunyai dehisens tulang di atas struktur yang penting seperti nervus opticus dan
arteri carotid. Hati-hati ketika memperbaiki septasinus ini mungkin di dalam
kesinambungan dengan carotid dan canalis opticus yang
dapat mengakibatkan kematian dan kebutaan. Ostium sinus sphenoidalis bermuara ke
recessus sphenoethmoidalis. Ukurannya sangat kecil ( 0.5 - 4mm ) dan letaknya
sekitar 10 mm di atas dasar sinus. 30 derajat kebawah dari dasar hidung anterior
mendekati letak ostium diatas dinding posteriosuperior hidung, merupakan garis
tengah persambungan antara 1/3 atas dan 2/3 bawah dari dinding anterior sinus.
Biasanya sebelah medial ke turbinate superior dan hanya beberapa milimeter dari
cribiform plate. Ostium ini, seperti sinus maxillaris, mempunyai tulang dehisens yang
lebih besar yang dibatasi oleh sebuah septum membran.
Perdarahan
Arteri ethmoid posterior mendarahi atap sinus sphenoidalis. Bagian lain dari sinus
mendapat aliran darah dari arteri sphenopalatina. Aliran vena melalui vena maxillaris
ke vena jugularis dan pleksus pterigoid.
Persarafan
Sinus sphenoidalis disarafi oleh cabang nervus V.1 dan V.2. Nervus nasociliaris
(cabang nervus V.1) berjalan menuju nervus ethmoid posterior dan mensarafi atap
sinus. Cabang-cabang nervus sphenopalatina (V.2) mensarafi dasar sinus.
Struktur terkait
1. Recessus sphenoethmoidalis
Recessus sphenoethmoidalis adalah rongga disampinga dan diatas turbinate superior.
Batasan-batasan dari rongga ini dibentuk oleh struktur yang kompleks. Dinding
anterior dsinus sphenoidalis membentuk batas posterior. Septum nasi dan cribiform
plate membentuk batas medial dan superior. Perluasan anteriolateral ditentukan oleh
turbinate superior. Rongga ini keluar ke rongga hidung secara lebih rendah. Sel
ethmoid posterior, seperti halnya sinus sphenoidalis mengalir ke daerah ini.
2. Rostrum sphenoid
Struktur ini hanya proyeksi garis tengah dari dinding sinus sphenoid anterior,
menyambung lamina perpendicular dan os vomer.
3. Onodi sel
Telah dijelaskan diatas, sel ini adalah sel-sel ethmoid yang terletak anteolateral
menuju sinus sphenoidalis. Struktur penting seperti areteri carotis dan nervus opticus
bisa melalui sel ini. Struktur ini sering dehisens. Perlu tindakan pembedahan yang
hati-hati di area ini dan pemeriksaan radiograpi yang baik untuk menghindari hasil
yang tidak diinginkan.10
2.2.2. Histologi Sinus
Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel pseudostratified ciliated columnar yang
berkesinambungan dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis dari
epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar, yaitu epitel ciliated columnar, non ciliated
columnar, sel basal dan sel goblet. Sel-sel ciliated memiliki 50 - 200 silia per sel
dengan tambahan struktur mikrotubulus. Data penelitian menunjukkan sel ini
berdetak 700-800 kali per menit, pergerakan mucosa pada suatu tingkat 9 mm per
menit. Sel yang nonciliated ditandai oleh microvilli yang menutupi daerah apikal sel
dan bertugas untuk meningkatkan area permukaan ( mungkin memudahkan
pembasahan dan kehangatan dari udara inspirasi ). Ini penting untuk meningkatkan
konsentrasi (sampai 50%) dari ostium sinus. Fungsi sel basal belum diketahui, sangat
bervariasi baik dalam bentuk dan jumlah. Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal
dapat bertindak sebagai suatu stem cell yang dapat membedakan jika dibutuhkan. Sel
goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk viskositas dan elastisitas
mukosa. Sel goblet ini disarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Rangsangan saraf
parasimpatis menghasilkan mucous yang lebih kental dan dengan rangsangan saraf
simpatis pengeluaran mucous lebih encer. Lapisan epitel disokong oleh suatu
basement membran yang tipis, lamina propia, dan periosteum. Keduanya, baik
kelenjar serous dan mucinous mengalir ke dalam lamina propia. Studi anatomi
menunjukkan tentang sel goblet dan kelenjar submucosal di sinus dibandingkan di
mukosa hidung. Pada studi tersebut, sinus maxillaris mempunyai sel goblet yang
paling tinggi. Ostia dari rahang, sphenoid dan sinus ethmoid anterior meningkat
dalam jumlah submucosal yang mengandung kelenjar serous dan mucinous.11
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus, yaitu:
- Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum ethmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
Eustachius.
- Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sphenoetmoidalis dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba.
Inilah sebabnya pada sinusitis didapati post nasal drip tetapi belum tentu ada sekret di
rongga hidung.
Fungsi dari sistim mukosiliar ini dapat diketahui dengan metode yang dilakukan oleh
Quinlan et al (1969) dengan memberikan partikel radioisotop berlabel pada mukosa
hidung anterior dan melacaknya dengan gamma camera, namun hal ini tak rutin
dilakukan.
Gambar 8. Struktur halus seperti rambut (silia) pada mukosa sinus membantu drainase
mukus
2.3. FISIOLOGI
2.3.1 HIDUNG
Fungsi hidung ialah untuk :
1. Jalan napas
Berperan pada saat melakukan inspirasi maupun ekspirasi.
2. Alat pengatur kondisi udara (air-conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan
dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Pengaturan
kelembaban udara dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket).
Pengaturan suhu dimungknkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
3. Penyaring udara
Fungsi ini untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri.
Dilakukan oleh : rambut (vibrissae), silia, palut lendir (mucous blanket).
4. Sebagai indera penghidu
Dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum.
5. Untuk resonansi suara
Reonansi penting untuk bersuara atau menyanyi.
6. Turut membantu proses bicara
Pada pembentukkan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka,palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukoa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna,ardiovaskler dan pernafasan.3
2.3.2 SINUS PARANASALIS
Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Negus mengatakan bahwa sinus
berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari
etmokonka, terutama sinus frontalis dan sfenoidalis. Etmokonka yang dilapisi epitel
penghidu dapat ditemukan pada beberapa binatang rendah. Pada manusia, sinus
biasanya kosong dan indra penghidu kita jauh lebih rendah dari misalnya anjing dan
kucing; etmokonka manusia jelas telah menghilang selama proses evolusi.
Fungsi dari sinus paranasal ada beberapa yaitu:
Sebagai pengatur kondisi udara
Sebagai penahan suhu
Membantu keseimbangan
Membantu resonansi suara
Peredam perubahan tekanan udara
Membantu memproduksi mukus untuk membersihkan rongga hidung
2.4. DEFINISI
Rinitis adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus
atau bakteri. 4
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sinus sendiri adalah rongga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan
hidung. Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan
sinusitis frontal dan sinisitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya sinus maksila dan
sinus ethmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.7
Sinusitis paling sering mengenai sinus maksila (Antrum Highmore), karena
merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan
silia, dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi
gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, ostium sinus maksila terletak di meatus
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
2.5. KLASIFIKASI
2.5.1 KLASIFIKASI RHINITIS
1. Rhinitis akut
Rinitis akut merupakan infeksi saluran napas atas terutama hidung, umumnya
disebabkan oleh virus. Sebagian besar yang mencakup virus, meliputi
rhinovirus, Respiratory syncytial viruses (RSV), ECHO, virus parainfluenza,
virus influenza, dan adenovirus. selain virus, bakteri juga berperan dalam
menyebabkan terjadinya rhinitis seperti S.aureus, Streptococcus, dan
Pneumococus. Berikut adalah jenis-jenis rhinitis akut :
rhinitis simpleks
disebabkan oleh virus A,B, dan C dari golongan ortomiksovirus. Gejalanya
adalah bersin, sekret hidung berair, hidung tersumbat tanpa adanya factor
pencetus, dapat juga disertai demam dan nyeri kepala.
rhinitis supuratif
biasanya merupakan infeksi bakteri sekunder pada orang dewasa dan
sering disertai dengan sinusitis bakterialis. Bakteri yang berperan pada
umumnya adalah Pneumococcus, streptococcus, dan staphylococcus.
Gejala yang muncul umumnya mirip seperti rhinitis simpleks namun
biasanya ingus menjadi lebih kental (terkadang mengandung pus) dan
sumbatan hidung menjadi lebih bertambah.5
2. Rhinitis kronik
o rhinitis alergika
karena rhinitis ini disebabkan oleh alergi maka pada umunya gejala yang
dapat timbul adalah hidung yang gatal/ingusan, bersin yang pada umunya
dicetuskan oleh paparan alergen, dan hidung yang buntu/mampet. Gejala-
gejala alergi lain termasuk:
o telinga-telinga dan tenggorokan yang gatal,
o mata-mata yang merah/berair
o batuk
o kelelahan/kehilangan konsentrasi/kehilangan energi dari
kekurangan tidur
o sakit-sakit kepala
Seasonal allergic rhinitis (hay fever)
Biasanya disebabkan oleh serbuk sari di udara, dan pasien-pasien yang
sensitif mempunyai gejala-gejala selama musim tahun itu.
Perennial alergik rhinitis
Biasanya disebabkan oleh allergens dalam rumah seperti debu dan
binatang. Gejala-gejala yang timbul sewaktu-waktu (tidak tergantung
musim)
o rhinitis non alergika
rhinitis atrofi
adalah rhinitis kronik dimana terjadi atrofi dari membrane mucus dan
tulang konka. Awalnya mengenai mukosa hidung dimana terdapat
beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis serta terbentuk krusta
kecil serta secret yang kental dan dapat juga terjadi ulserasi ringan dan
perdarahan. Penyebabnya masih belum diketahui namun beberapa
factor yang dianggap sebagai penyebab adalah infeksi kuman,
defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal.
Gejala yang timbul biasanya berupa nafs berbau, ingus kental berwarna
hijau, ada krusta hijau, ganguan penciuman, sakit kepala, dan hidung
tersumbat.
Gambar 9. Rhinitis Atrofika
rhinitis vasomotor
rhinitis vasomotor diperkirakan terjadi karena pengaturan yang
abnormal dari aliran darah hidung dan mungkin diinduksi oleh
fluktuasi-fluktuasi temperatur di lingkungan seperti, udara yang dingin
atau kering, atau irritants seperti:
o polusi udara,
o asap/kabut,
o asap tembakau,
o asap mobil, atau
o bau-bau kuat seperti, detergents atau fragrances (bau-bau wangi)
rhinitis medikamentosa
Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal
(obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan
berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Rhinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound atau rhinitis
kimia karena menggambarkan kongesti mukosa hidung yang
diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal yang berlebihan. Obat-
obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah
antagonis ß-adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil,
dan antihipertensi. Tetapi mekanisme terjadinya kongesti antara
vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga
istilah rhinitis medikamentosa hanya untuk rhinitis yang disebabkan
oleh penggunaan vasokontiktor topikal sedangkan yang disebabkan
oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug
induced rhinitis). Gejala dapat berupa hdung tersumbat terus menerus
dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema konka dengan secret
hidung yang berlebihan.
rhinitis hipertrofik
rhinitis hipertrofik ditandai dengan adanya pembengkakan jaringan
lunak, secret yang banyak, hipertrofi mukosa, penebalan periosteum,
serta pembetukan tulang baru. Timbul akibat infeksi hidung akut yang
berulang atau serangan sinusitis supuratif yang berulang, dapat juga
akrena lanjutan dari rhinitis alergi dan vasomotor. Gejala utamanya
adalah sumbatan hidung, secret biasanya banyak berupa mukpurulen,
dan sering sakit kepala.
rhinitis sicca
rhinitis sicca sering dianggap sebagai suatu gangguan atau perubahan
faal hidung yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terutama
udara inspirasi yang kering. Pada rhinitis ini biasanya krusta sedikit
atau tidak ada. Gejala yang timbul seperti rasa iritasi atau kering di
hidung yang terkadang disertai dengan epistaksis.5
Gambar 10. Rhinitis Sicca
2.5.2 KLASIFIKASI SINUSITIS
Sinusitis Non-Infeksiosa :
- Barosinusitis
- Sinusitis Alergika
Penyakit Sinus Kongenital :
- Agenesis Sinus
- Sindrom Kartagener : kelainan autosomal resesif berupa situs invertus,
bronkiektasis, dan sinusitis.
- Fibrosis Kistik : kelainan autosomal resesif, disebut juga mukovisidosis.
Penyakit Sinus Traumatik :
Fraktur sinus frontalis, fraktur nasoetmoidalis, fraktur tulang pipi pada umumnya
berhubungan dengan sinus paranasalis sehingga merupakan fraktur terbuka.
Penyakit Sinus Neoplastik :
Osteoma : tumor jinak yang berkembang di dalam sinus - paling sering pada sinus
frontalis
Kategori klinis bagi rinosinusitis sebagian besar didasarkan pada durasi dari gejala
yang timbul :
Akut (<4 minggu), subakut (4-12 minggu), kronik (>12 minggu), akut-rekuren (>4
episode/tahun tanpa tanda-tanda intervensi), kronik eksaserbasi akut (perburukan tiba-
tiba dari sinusitis kronik). Klasifikasi ini hanya didasarkan atas gejala dan hanya
dipakai dalam panduan tata laksana.
Kategori sinusitis fungal :
- Sinusitis Fungal Invasif Ganas Akut durasinya <4 minggu dan hampir seluruhya
terdapat pada pasien dengan imunosupresi. Jamurnya menginvasi pembuluh darah dan
menghancurkan tulang serta jaringan lunak.
- Sinusitis Fungal Invasif Kronik umumnya didapati pada penderita diabetes mellitus,
dengan Aspergillus fumigates sebagai patogen paling umum.
- Sinusitis Fungal Invasif Granulomatosa juga disebut Sinusitis Fungal Indolen,
menyerang pasien yang imunokompeten namun tetap bersifat invasif hingga mukosa
superfisial.
- Sinusitis Fungal Alergika merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dengan
diperantarai IgE pada sinus paranasal.
- Rinosinusitis Fungal Eosinofilia diduga merupakan reaksi yang diperantarai sel T.
2.6. ETIOLOGI
Rinosinusitis biasanya timbul diakibatkan karena gangguan alergi yang
melibatkan hidung. Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau
menetap jika disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering
dipakai, atau ingestan dalam diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara serta
yang dapat ditelan terbukti memiliki sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi
terhadap sejumlah agen dan daripada hanya satu inhalan saja.5
Sinus paranasal salah satu fungsinya adalah menghasilkan lendir yang
dialirkan ke dalam hidung, untuk selanjutnya dialirkan ke belakang, ke arah
tenggorokan untuk ditelan ke saluran pencernaan. Semua keadaan yang
mengakibatkan tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung akan
menyebabkan terjadinya sinusitis. Secara garis besar penyebab sinusitis ada 2 macam,
yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal adalah semua kelainan pada
hidung yang dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan; antara lain infeksi, alergi,
kelainan anatomi, tumor, benda asing, iritasi polutan dan gangguan pada mukosilia
(rambut halus pada selaput lendir). Faktor sistemik adalah keadaan di luar hidung
yang dapat menyebabkan sinusitis; antara lain gangguan daya tahan tubuh (diabetes,
AIDS), penggunaan obat-obat yang dapat mengakibatkan sumbatan hidung.
Pada Sinusitis Akut, yaitu:
1. Infeksi virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah adanya infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya Rhinovirus, Influenza virus, dan Parainfluenza virus).
2. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase
dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang
sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam
sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
3. Infeksi jamur
Infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut pada penderita gangguan sistem
kekebalan, contohnya jamur Aspergillus.
4. Peradangan menahun pada saluran hidung
5. Pada penderita rhinitis alergi dan juga penderita rhinitis vasomotor.
6. Septum nasi yang bengkok
7. Tonsilitis yg kronik
8. Adenoiditis
9. Dentogen. Infeksi yang berasal dari gigi rahang atas seperti M1, M2, M3,
P1 & P2.
10. Berenang.
11. Menyelam.
12. Trauma. Menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal.
13. Barotrauma. Menyebabkan nekrosis mukosa sinus paranasal.
Pada Sinusitis Kronik, yaitu:
1. Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh.
2. Alergi
3. Karies dentis ( gigi geraham atas )
4. Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran mucosa.
5. Benda asing di hidung dan sinus paranasal
6. Tumor di hidung dan sinus paranasal.
7. Sinusitus rekuren dapat disebabkan oleh obstruksi nasofaring seperti tumor ganas,
radiasi kobalt disertai radionekrosis atau hipertrofi adenoid juga tumor-tumor
palatinum jika ada perluasan regional.
8. Faktor-faktor sistemik.
Faktor-faktor sistemik yang mempredisposisi perkembangan rinosinusitis ialah :
Keadaan umum yang lemah, seperti malnutrisi.
Diabetes yang tidak terkontrol.
Terapi steroid jangka lama.
Diskrasia darah.
Kemoterapi dan keadaan depresi metabolisme.8
2.7. GEJALA KLINIS
Sangat sulit untuk membedakan rinosinusitis bakterialis akuta dengan kongesti hidung
akut oleh sebab lain (rhinitis viral, rhinitis alergika/nonalergika). The 1996 Task
Force on Rhinosinusitis membuat suatu guideline bagi diagnosis rinosinusitis
bakterialis akuta. Diagnosis rinosinusitis bakterialis akuta dapat dipakai pada anak-
anak atau dewasa; yakni : dengan infeksi respiratori atas viral yang tidak membaik
dalam 10 hari (atau memburuk dalam 5-7 hari) dan disertai beberapa atau seluruh
tanda &gejala berikut :
Tanda & Gejala Rinosinusitis Bakterialis Akuta
Drainase hidung
Kongesti hidung
Nyeri/Nyeri Tekan fasial (unilateral & pada area sinus tertentu)
PostNasal Drip
Hiposmia/Anosmia
Demam
Batuk
Lemah lesu
Nyeri gigi maksilaris
Rasa penuh/tertekan pada telinga
Tabel 1. Tanda dan Gejala Rinosinusitis Bakterialis Akuta
Sinusitis Maksilaris : demam, malaise, nyeri kepala tidak jelas dan reda dengan obat
analgetik di pasaran. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi nyeri pada gerakan
kepala mendadak. Nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk juga sering terjadi.
Dapat juga disertai batuk iritatif non-produktif dan sekret mukopurulen berbau busuk.
Sinusitis Ethmoidalis : nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata, dan di atas
jembatan hidung, drainase, dan sumbatan hidung.
Sinusitis Frontalis : nyeri kepala yang khas di atas alis mata, biasanya pada pagi hari
dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan mereda hingga menjelang
malam. Dahi terasa nyeri bila disentuh, pembengkakan supraorbita.
Sinusitis Sfenoidalis : nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Gejalanya
menjadi satu dengan gejala
Gejala sinusitis, jika 1 sampai 2 gejala ada – kemungkinan, jika 4 atau lebih gejalanya
ada – pasti sinusitis.
Pernah mengalami flu
Kurang berespon terhadap dekongestan
Nyeri pada muka dan gigi setengah
Nyeri ketika mengunyah
2 fase sebelumnya lebih dari 10 hari
Cairan purulen dari nasal
Nyeri pada sinus yang terinfeksi
2.8. PATOFISIOLOGI
Sensitisasi
Rinosinusitis sebagian besar disebabkan oleh proses alergi. Hal itu merupakan
penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses sensitisasi terhadap alergen
sebelumnya.5 Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di mukosa hidung
yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel Antigen
Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian
antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks
molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini
akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh
sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan lainnya.
IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B
menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan
terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator.
Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut.
Reaksi Alergi Fase Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin,
tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin.
Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan
dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema,
berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung
tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan
sel goblet menyebabkan hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf
sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Reaksi Alergi Fase Lambat
Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel
postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule
(VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel
pada sel endotel. Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel
eosinofil, sel mast, limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung.
Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala
hiperreaktivitas dan hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase
ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.
Gambar 11 : Patofisiologi Sinusitis
GambDi dalam rongga sinus terdapat lapisan yang terdiri dari bulu-bulu halus yang
disebut dengan cilia. Fungsi dari cilia ini adalah untuk mendorong lendir yang
diproduksi di dalam sinus menuju ke saluran pernafasan. Gerakan cilia mendorong
lendir ini berguna untuk membersihkan saluran nafas dari kotoran ataupun organisme
yang mungkin ada.
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan.
Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.7
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga
timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi
klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma
akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid.
Bila proses terus berlanjut, di mana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terjadilah polip.
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti di bawah ini, yang
menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :
1. Jaringan submukosa diinfiltrasi oleh serum. Sedangkan permukaannya kering.
Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan
epitel.
3. Setelah beberapa jam atau hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel yang
melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris, epitel dan mukus.
Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah bercampur dengan
sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan
banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya
pengeluaran leukosit yang memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe
purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih
mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap,
kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka
terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis
dan akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus ke bagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu
tromboflebitis dari vena yang perforasi ; (2) Perluasan langsung melalui bagian
dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik ; (3) Dengan terjadinya defek; dan (4)
Melalui jalur vaskular dalam bentuk bakteremia. Masih dipertanyakan apakah infeksi
dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.
Pada sinusitus kronik perubahan permukaan mirip dengan peradangan akut supuratif
yang mengenai mukosa dan jaringan tulang lainnya. Bentuk permukaan mukosa dapat
granular, berjonjot-jonjot, penonjolan seperti jamur, penebalan seperti bantal dan lain-
lain. Pada kasus lama terdapat penebalan hiperplastik. Mukosa dapat rusak pada
beberapa tempat akibat ulserasi, sehingga tampak tulang yang licin dan telanjang, atau
dapat menjadi lunak atau kasar akibat karies. Pada beberapa kasus didapati nekrosis
dan sekuestrasi tulang, atau mungkin ini telah diabsorpsi.
Pemeriksaan mikroskopik pada bagian mukosa kadang-kadang memperlihatkan
hilangnya epitel dan kelenjar yang digantikan oleh jaringan ikat. Ulserasi pada
mukosa sering dikelilingi oleh jaringan granulasi, terutama jika ada nekrosis tulang.
Jaringan granulasi dapat meluas ke periosteum, sehingga mempersatukan tulang
dengan mukosa. Jika hal ini terjadi, bagian superfisial tulang diabsorpsi sehingga
menjadi kasar. Osteofit atau kepingan atau lempengan tulang yang terjadi akibat
eksudasi plastik, kadang-kadang terbentuk di permukaan tulang.4
2.9. DIAGNOSIS
2.9.1 RHINITIS
Diagnosis rhinitis ditegakkan berdasarkan :
1.Anamnesis
Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung
tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, riwyat penyakit sebelumnya, gejala-gejala
lain yang timbul, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Untuk rinitis alergi seringkali berhubungan dengan
konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi mendukung
diagnosis rinitis alergi dan riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting
dalam menegakkan diagnosis pada anak.
2.Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang
pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok- gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau
livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat
adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang
pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi
dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna
adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu
tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit gores
(scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes
intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran
ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen
penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi.
Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen
langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet
eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).
2.9.2 SINUSITIS
Pemeriksaan
a. Inspeksi
Yang perlu diperhatikan adalah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan pada pipi sampai kelopak mata bawah menunjukkan
sinusitis maksila akut. Sedangkan pembengkakan di kelopak mata atas
dapat menunjukkan sinusitis frontal akut.
b. Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya
sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal didapatkan nyeri tekan di dasar
sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid
menyebabkan adanya nyeri tekan di daerah kantus medius.
c. Transiluminasi
Transiluminasi memiliki manfaat yang sangat terbatas, hanya dapat
dipakai menilai sinus maksila dan sinus frontal bila fasilitas radiologik
tak tersedia.
Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah
infraorbita, mungkin antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum
menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum.
Bila terdapat kista pada sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto Rontgen tampak
perselubungan yang berbatas tegas dalam sinus maksila.
Pemeriksaan transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih
meragukan. Besar kedua sinus frontal seringkali tidak sama. Gambaran
yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal,
sedangkan gambaran yang gelap dapat menunjukkan sinus yang tidak
berkembang, mengingat hal ini terjadi pada 5-15% populasi.
Gambar 12 : Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila kanan.
d. Radiologik
Bila dicurigai adanya kelainan pada sinus paranasalis, maka
dapat dilakukan pemeriksaan radiologis.
Foto Polos (plain radiography)
Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters (occipitomental),
PA, dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan
di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi postero-anterior untuk
menilai sinus frontal, dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal,
sphenoid dan ethmoid.
CT Scan Kepala
Gambar 13 : Foto Waters menunjukkan radiografi dari sinus paranasal. Terdapat gambaran sinusitis pada maksila kanan.
Merupakan pemeriksaan radiologik terbaik untuk menilai
kondisi sinus paranasal. Dan merupakan gold standard bagi diagnosis
kelainan sinus. Keunggulannya antara lain adalah :
- Dinding sinus paranasal (tulang) digambarkan dengan resolusi
tinggi oleh CT Scan.
- Dapat memberikan gambaran anatomis yang sangat baik termasuk
gambaran fluid levels, massa polipoid, kavitas nasal, dan ruangan
postnasal.
- Yang terpenting adalah CT Scan dapat menggambarkan kelainan
pada jaringan di sekitar sinus (jaringan lunak, orbita, otak, fossa
infratemporalis), sehingga dapat dikenali bila telah terjadi
komplikasi.
Kekurangan CT Scan hanyalah tidak dapat menilai gambaran
histologis dan proses patologis secara umum, kecuali bila terjadi
kalsifikasi.
Gambar 14 : Hasil CT Scan potongan koronal menunjukkan sinus yang
normal (tanda panah menunjukkan muara sinus maksilaris).
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Keunggulannya dibanding CT Scan adalah MRI sangat baik
untuk mendiagnosa tumor dibandingkan dengan CT Scan. Karena MRI
Gambar 15 : CT Scan potongan aksial menunjukkan deviasi septum hidung.
memberikan gambaran jaringan lunak dengan resolusi yang lebih baik
daripada CT Scan.
e. Endoskopi Sinus (Sinoskopi)
Merupakan metode penggunaan endoskopi yang dapat
digunakan untuk melakukan diagnosis dan terapi termasuk
pembedahan.
Dengan endoskopi, dapat dilihat keadaan di dalam sinus,
apakah terdapat secret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau
kista, dan keadaan mukosa serta ostium.
Indikasi endoskopi sinus :
- Diagnosis pasti terhadap kelainan sinus paranasal yang gambaran
radiologisnya meragukan.
- Adanya gejala kelainan sinus paranasal namun tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan radiologis, nyeri dan perdarahan
(epistaksis) yang tak diketahui sebabnya.
- Pembedahan intrasinus, dan monitoring respon terapi.
- Diagnosis dini keganasan pada sinus paranasal.
- Kelainan pada daerah di sekitar sinus yang melibatkan sinus
paranasal.
f. Puncture sinus
Untuk mengambil secret sinus untuk kemudian di kultur
Digunakan untuk yang gagal dalam terapi, curiga keganasan
intrakranial dan nosokomial.
Sinusitis Akut
Pemeriksaan :
a. Transiluminasi
Didapatkan cahaya berkurang bila sinus penuh cairan.
b. Radiologi
Gambaran radiologik pada sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa
penebalan mukosa kemudian diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat
mukosa yang membengkak atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi
sinus. Kemudian terbentuk air-fluid level yang khas akibat penumpukan
pus, yang dapat dilihat pada foto tegak sinus maksilaris.
c. Kultur
Untuk mendapatkan bakteri penyebabnya. Biasanya adalah streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza, bakteri anaerob.
Sinusitis Kronik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan bisa bervariasi, di antaranya:
- Nyeri pada penekanan di daerah pipi (sinusitis maksilaris), dahi (sinusitis
frontal), dan kantus medius (sinusitis etmoid).
- Dinding faring nampak eritema, post nasal drip, sekret purulen.
- Dapat ditemukan karies dentis.
- Pada rinoskopi anterior bisa ditemukan kelainan septum nasi, konka, dan
kompleks ostio-meatal. Penyebab lain, seperti tumor dapat disingkirkan.
- Pada otoskopi bisa didapatkan membrane timpani yang retraksi.
- Manifestasi pada mata : proptosis, lakrimasi, kongesti konjungtiva, gangguan
penglihatan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:
(1) Pemeriksaan transiluminasi sinus paranasal
Sudah jarang dilakukan dan kurang memberikan hasil yang bermakna.
(2) Foto Rontgen kepala (plain radiography)
Pemeriksaan foto polos sebenarnya secara umum sudah dapat dikatakan
ketinggalan jaman. Namun di berbagai negara berkembang, seperti Indonesia,
pemeriksaan ini masih sering dilakukan untuk menunjang diagnosis sinusitis.
Posisi yang sering digunakan adalah Posisi Waters, PA dan lateral.Posisi
Caldwell jarang dipakai. Pada foto polos dapat ditemukan gambaran
perselubungan opak yang menunjukkan penebalan mukosa sinus sehingga
menunjang diagnosa sinusitis. Air fluid level jarang ditemukan pada sinusitis
kronis.
Gambar 16 : Foto Waters (kiri) menunjukkan gambaran sinusitis maksilaris bilateral
yang tak tampak pada foto Caldwell (kanan) pada pasien yang sama.
(3) CT Scan kepala
Merupakan gold standard bagi diagnosis sinusitis, terutama sinusitis kronik,
dimana detail anatomi dari jaringan sinus dan sekitarnya ditampilkan dengan
resolusi yang sangat baik. Selain itu CT Scan juga baik untuk pemeriksaan
sebelum dilakukan tindakan bedah. Potongan koronal lebih disukai karena
dapat menggambarkan kompleks ostio-meatal dengan baik dan hubungannya
dengan intervensi bedah.
Gambar 17 : CT Scan pada sinusitis kronik Gambar 18 : CT Scan sinus normal
(4) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Jarang dilakukan, dan hanya dilakukan pada kasus yang kompleks, misalnya
terdapat komplikasi sinusitis ke jaringan sekitar. Karena MRI lebih bagus
menggambarkan jaringan lunak.
.
(5) Endoskopi sinus (Sinoscopy)
Dengan endoskopi, dilakukan pemeriksaan langsung terhadap kondisi sinus
paranasal. Dilakukan selain untuk diagnosis (pengambilan sampel untuk
kultur) juga terapi bedah (FESS).
2.10. TATALAKSANA
2.10.1 TATALAKSANA RHINITIS
Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:
• Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan
ini
diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.
• Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE pada
permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif dengan
imunoterapi.
• Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjut
reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini dinetralisir
dengan obat – obatan antihistamin yang secara kompetitif memperebutkan reseptor
H1 dengan histamin.
•Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya
gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau
lokal.
Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:
Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
Sebagai tambahan pada tindakan-tindakan yang dicatat diatas, obat-obat mungkin
juga digunakan untuk perawatan rhinitis dan post-nasal drip.
Untuk allergic rhinitis dan post-nasal drip banyak obat-obat digunakan.
Semprotan-Semprotan Steroid Hidung
Ahli-ahli merekomendasikan penggunaan intra-nasal glucocorticoids (semprotan-
semprotan steroid diaplikasikan secara langsung kedalam hidung) sebagai perawatan
baris pertama. Steroid-steroid dikenal sebagai agent-agent anti-peradangan dan anti-
alergi yang kuat dan mereka dikenal membebaskan kebanyakan dari gejala-gejala
yang berhubungan dari hidung yang ingusan (meler) dan gatal, hidung yang buntu,
bersin, dan post-nasal drip.
Penggunaan mereka harus dimonitor dan berangsur-angsur dikurangi oleh dokter
yang meresepkannya karena penggunaan jangka panjang mungkin mempunyai efek-
efek sampingan yang signifikan. Contoh-contoh dari steroid-steroid hidung termasuk:
beclomethasone (Beconase),
flunisolide (Nasarel),
budesonide (Rhinocort),
fluticasone propionate (Flonase),
mometasone furoate (Nasonex), dan
luticasone furoate (Veramyst).
Ini umumya digunakan sekali atau dua kali dalam sehari. Direkomendasikan untuk
memiringkan kepala kedepan sewaktu memasukannya untuk menghindari
menyemprot belakang tenggorokan sebagai gantinya dari hidung.
Steroid-Steroid Oral
Obat-obat ini [prednisone, methylprednisolone (Medrol), hydrocortisone
(Hydrocortone, Cortef)] adalah sangat efektif pada pasien-pasien alergi;
bagaimanapun ada potensi untuk efek-efek sampingan yang serius ketika digunakan
untuk periode-periode yang diperpanjang. Mereka paling baik digunakan untuk
pengendalian jangka pendek dari persoalan-persoalan alergi, dan dokter harus selalu
memonitor penggunaan mereka. Ini dicadangkan hanya untuk kasus-kasus yang
sangat parah yang tidak merespon pada perawatan yang biasa dengan steroid-steroid
hidung dan antihistamins.
Antihistamin-Antihistamin
Obat-obat alergi, seperti antihistamin-antihistamin, juga seringkali digunakan pada
allergic rhinitis dan post-nasal drip. Ini umumnya digunakan sebagai perawatan baris
kedua setelah steroid-steroid hidung (nasal steroids) atau dalam kombinasi dengan
mereka. Histamin-histamin adalah kimia-kimia yang terjadi secara alamiah yang
dilepaskan dalam respon pada paparan pada allergen, yang bertanggung jawab untuk
kesumbatan, bersin, dan hidung yang meler (ingusan) yang khas dari reaksi alergi.
Antihistamin-antihistamin adalah obat-obat ang menghalangi reaksi histamin. Obat-
obat ini paling baik bekerja jika diberikan sebelum paparan.
Antihistamin-antihistamin dapat dibagi kedalam dua kelompok-kelompok:
1. Sedating, atau generasi pertama [diphenhydramine (Benadryl),
chlorpheniramine (Chlor-Trimeton), clemastine (Tavist)]. Sedating
antihistamines harus dihindari pada pasien-pasien yang perlu untuk
mengemudi atau menggunakan peralatan yang berbahaya.
2. Non-sedating atau generasi kedua [loratadine (Claritin), cetirizine (Zyrtec)].
Non-sedating antihistamines dapat mempunyai interaksi-interaksi obat yang
serius. Kebanyakan dari ini ditemukan pada obat bebas resep.
Ada juga preparat antihistamin hidung yang telah ditunjukan sangat efektif dalam
merawat allergic rhinitis, disebut azelastine nasal (Astelin).
Semprotan-Semprotan Decongestant
Contoh-contoh dari semprotan-semprotan decongestant termasuk:
oxymetazoline (Afrin), dan
phenylephrine (Neo-Synephrine)
Semprotan-semprotan decongestant dengan cepat mengurangi pembengkakan dari
jaringan-jaringan hidung dengan menyusutkan pembuluh-pembuluh darah. Mereka
memperbaiki pernapasan dan pengaliran melalui jangka pendek. Sayangnya, jika
mereka digunakan lebih dari beberapa hari mereka dapat menjadi sangat
menyebabkan kecanduan (rhinitis medicamentosa). Penggunaan jangka panjang
dapat menjurus pada kerusakan yang serius. Oleh karenanya, penggunaan mereka
harus dibatasi pada hanya 3 sampai 7 hari.
Oral decongestants
Oral decongestants untuk sementara mengurangi bengkak dari sinus dan jaringan-
jaringan hidung yang menjurus pada perbaikan pernapasan dan pengurangan
halangan. Mereka mungkin juga menstimulasi jantung dan menaikan tekanan darah
dan harus dihindari oleh pasien-pasien yang mempunyai tekanan darah tinggi,
ketidakaturan-ketidakaturan jantung, glaucoma, persoalan-persoalan tiroid, atau
kesulitan dalam membuang air kecil. Decongestant yang paling umum adalah
pseudoephedrine (Sudafed).
Cromolyn sodium (Nasalcrom)
Cromolyn sodium (Nasalcrom) adalah semprotan yang membantu menstabilkan sel-
sel alergi (mast cells) dengan mencegah pelepasan penengah-penengah (mediators)
alergi, seperti histamin. Mereka adalah paling efektif jika digunakan sebelum
mulainya musim alergi atau sebelum paparan pada allergen yang diketahui.
Montelukast (Singulair)
Montelukast (Singulair) adalah agent yang bertindak serupa pada antihistamin,
meskipun ia terlibat pada jalan tapak lain dalam respon alergi. Ia telah ditunjukan
kurang bermanfaat daripada semprotan-semprotan steroid hidung, namun sama
efektifnya seperti beberapa dari antihistamin-antihistamin. Ia mungkin berguna pada
pasien-pasien yang tidak ingin menggunakan semprotan-semprotan hidung atau
mereka yang mempunyai kehadiran asma.
Ipratropium (Atrovent nasal)
Ipratropium (Atrovent nasal) digunaka sebagai semprotan hidung dan membantu
mengontrol aliran hidung yang ditengahi oleh jalan-jalan tapak syaraf. Ia tidak akan
merawat alergi, namun ia mengurangi aliran hidung.
Agent-Agent Pengencer Lendir (ingus)
Agent-agent pengencer lendir (ingus) digunakan untuk membuat sekresi-sekresi lebih
encer dan kurang lengket. Mereka membantu mencegah penyatuan dari sekresi-
sekresi di belakang hidung dan tenggorokan dimana mereka seringkali menyebabkan
tercekik. Sekresi-sekresi yang lebih encer melewatinya lebih mudah. Guaifenesin
(Humibid, Fenesin, Organidin) adalah formulasi yang umum digunakan. Jika rash
berkembang atau ada pembengkakan dari kelenjar-kelenjar air liur, mereka harus
dihentikan. Pemasukan cairan yang tidak mencukupi akan juga menebalkan
(mengentalkan) sekresi-sekresi. Meningkatkan jumlah air yang diminum, dan
menghilangkan kafein dari diet dan penggunaan dari diuretics juga adalah bermanfaat.
Suntikan-Suntikan Alergi (Immunotherapy)
Suntikan-suntikan alergi mengganggu respon alergi. Setelah identifikasi dari allergen,
jumlah-jumlah kecil diberikan kembali pada pasien yang sensitif. Melalui waktu
pasien akan mengembangkan antibodi-antibodi penghalang pada allergen, dan mereka
menjadi kurang sensitif dan kurang reaktif pada unsur yang menyebabkan gejala-
gejala alergi.
Kombinasi-Kombinasi
Obat-obat ini dibuat dari satu atau lebih obat-obat anti-alergi. Mereka biasanya adalah
gabungan dari antihistamin dan decongestant. Kombinasi-kombinasi umum lain
termasuk agent-agent pengencer lendir, agent-agent anti-batuk, aspirin, ibuprofen
(Advil), atau acetaminophen (Tylenol). Mereka membantu menyederhanakan
pendosisan dan seringkali akan bekerja bersama untuk bahkan manfaat yang lebih
atau mempunyai efek-efek sampingan yang menetralkan yang menghilangkan atau
mengurangi efek-efek sampingan total.
Yang Dapat Digunakan Untuk Merawat Non-Allergic Rhinitis
Perawatan non-allergic rhinitis adalah serupa pada perawatan allergic rhinitis.
Semprotan-semprotan steroid hidung dan antihistamin-antihistamin hidung [azelastine
(Astelin)] seperti yang digambarkan lebih detil pada bagian sebelumnya, adalah
sasaran utama dari terapi untuk non-allergic rhinitis. Terapi kombinasi yang
menggunakan semprotan steroid hidung dan antihistamine hidung bersama-sama telah
ditunjukan adalah lebih bermanfaat.
Terapi-terapi lain, seperti ipratropium (Atrovent) dan decongestants, mungkin juga
digunakan pada pasien-pasien yang terus menerus mempunyai gejala-gejala meskipun
dengan terapi yang benar dengan steroid-steroid hidung dan antihistamin-antihistamin
hidung.
2.10.2 TATALAKSANA SINUSITIS
SINUSITIS AKUT
Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi medikamentosa
berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni
golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan
oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau
kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan
sampai 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan, maka diberikan terapi antibiotik lini
II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin
generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan, antibiotik
diteruskan sampai 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan, maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.4
SINUSITIS SUBAKUT
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai
dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis
berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan
mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan
pencucian sinus cara Proetz.8
Pencucian sinus paranasal :
a. Pada sinus maksila
Dilakukan pungsi sinus maksila dan dicuci 2 kali seminggu dengan larutan garam
fisiologis. Caranya ialah : dengan sebelumnya memasukkan kapas yang telah
diteteskan xilokain dan adrenalin ke daerah meatus inferior. Setelah 5 menit, kapas
dikeluarkan, lalu dengan trokar ditusuk di bawah konka inferior, ujung trokar
diarahkan ke batas luar mata. Setelah tulang dinding sinus maksila bagian medial
tembus, maka jarum trokar dicabut, sehingga tinggal pipa selubungnya berada di
dalam sinus maksila. Pipa itu dihubungkan dengan semprit yang berisi larutan garam
fisiologis, atau dengan balon yang khusus untuk pencucian sinus itu.
Pasien yang telah ditataki plastik di dadanya, diminta untuk membuka mulut. Air
cucian sinus akan keluar dari mulut, dan ditampung di tempat bengkok.
Tindakan ini diulang 3 hari kemudian. Karena sudah ada lubang pungsi, maka untuk
memasukkan pipa dipakai trokar yang tumpul. Tapi tindakan seperti ini dapat
menimbulkan kemungkinan trokar menembus melewati sinus ke jaringan lunak pipi
ataupun dasar mata, tertusuk karena arah penusukan salah, timbul emboli udara
karena setelah menyemprot dengan air disemprotkan udara dengan maksud
mengeluarkan seluruh cairan yang telah dimasukkan serta perdarahan karena konka
inferior tertusuk. Lubang pungsi ini dapat diperbesar, dengan memotong dinding
lateral hidung, atau dengan memakai alat, yaitu busi. Tindakan ini disebut antrostomi,
dan dilakukan di kamar bedah, dengan pasien yang diberi anastesi.
b. Pada sinus frontal, etmoid dan sfenoid
Pencucian sinus dilakukan dengan pencucian Proetz. Caranya ialah dengan pasien
ditidurkan dengan kepala lebih rendah dari badan. Ke dalam hidung diteteskan HCL
efedrin 0,5-1,5 %. Pasien harus menyebut “kek-kek” supaya HCL efedrin yang
diteteskan tidak masuk ke dalam mulut, tetapi ke dalam rongga yang terletak di bawah
( yaitu sinus paranasal, oleh karena kepala diletakkan lebih rendah dari badan). Ke
dalam lubang hidung dimasukkan pipa gelas yang dihubungkan dengan alat pengisap
untuk menampung lendir yang terisap dari sinus. Pada pipa gelas itu dibuat lubang
yang dapat ditutup dan dibuka dengan ujung jari jempol. Pada waktu lubang ditutup
maka akan terisap lendir dari sinus. Pada waktu meneteskan HCL ini, lubang di pipa
tidak ditutup. Tindakan pencucian menurut cara ini dilakukan 2 kali seminggu.
SINUSITIS KRONIS
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-
14 hari.
Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II
+ terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternatif 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik
mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan
naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi, maka evaluasi diagnosis.
Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
Pembedahan
Radikal
a. Sinus maksila dengan antrostomi dan operasi Cadhwell-luc.
b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
a. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka
dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
Pembedahan, dilakukan :
a. bila setelah dilakukan pencucian sinus 6 kali, sekret masih tetap kental.
b. bila pada foto rontgen sudah tampak penebalan dinding sinus paranasal.
Persiapan sebelum pembedahan perlu dibuat foto ( pemeriksaan) dengan CT scan.
Macam pembedahan sinus paranasal
1. Sinus maksila
a. Antrostomi yaitu : membuat saluran antara rongga hidung dengan sinus maksila di
bagian lateral konka inferior. Gunanya ialah untuk mengalirkan nanah dan lendir yang
terkumpul di sinus maksila.
Alat yang perlu disiapkan ialah :
- alat pungsi sinus maksila
- semprit untuk mencuci
- pahat untuk memotong dinding lateral hidung
- alat pengisap
- tampon kapas atau kain kasa panjang yang diberi salep
Tindakan dilakukan di kamar bedah, dengan pembiusan ( anestesia ), dan pasien
dirawat selama 2 hari.
Perawatan pasca tindakan :
- pada antrostomi dilakukan pada kedua belah sinus maksila, maka kedua belah
hidung tersumbat oleh tampon. Oleh karena itu pasien harus bernafas melalui mulut,
dan makanan yang diberikan harus lunak.
- tampon diangkat pada hari ketiga, setelah itu, bila tidak terdapat perdarahan, pasien
boleh pulang.
b. Operasi Caldwell-Luc
Operasi ini ialah membuka sinus maksila, dengan menembus tulang pipi. Supaya
tidak terdapat cacat di muka, maka insisi dilakukan di bawah bibir, di bagian superior
( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan di atas tulang pipi diangkat
kearah superior, sehingga tampak tulang sedikit di atas cuping hidung, yang disebut
fosa kanina. Dengan pahat atau bor tulang itu dibuka, dengan demikian rongga sinus
maksila kelihatan. Dengan cunam pemotong tulang lubang itu diperbesar. Isi sinus
maksila dibersihkan. Seringkali akan terdapat jaringan granulasi atau polip di dalam
sinus maksila. Setelah sinus bersih dan dicuci dengan larutan bethadine, maka dibuat
anthrostom. Bila terdapat banyak perdarahan dari sinus maksila, maka dimasukkan
tampon panjang serta pipa dari plastik, yang ujungnya disalurkan melalui antrostomi
ke luar rongga hidung. Kemudian luka insisi dijahit.
Perawatan pasca bedah :
- beri kompres es di pipi, untuk mencegah pembengkakan di pipi pasca-bedah.
- perhatikan keadaan umum : nadi, tekanan darah, suhu
- perhatikan apakah ada perdarahan mengalir ke hidung atau melalui mulut. Apabila
terdapat perdarahan, maka dokter harus diberitahu.
- makanan lunak
-tampon dicabut pada hari ketiga.
Gambar 19 : Caldwell Luc Surgery
2. Sinus ethmoid
Pembedahan untuk membersihkan sinus etmoid, dapat dilakukan dari dalam hidung
(intranasal) atau dengan membuat insisi di batas hidung dengan pipi (ekstranasal).
a. Ethmoidektomi intranasal
Alat yang diperlukan ialah :
a. spekulum hidung
b. cunam pengangkat polip
c. kuret ( alat pengerok )
d. alat pengisap
e. tampon
Tindakan dilakukan dengan pasien, dibius umum (anastesia). Dapat juga dengan bius
lokal (analgesia). Setelah konka media di dorong ke tengah, maka dengan cunam sel
etmoid yang terbesar ( bula etmoid ) dibuka. Polip yang ditemukan dikeluarkan
sampai bersih. Sekarang tindakan ini dilakukan dengan menggunakan endoskop,
sehingga apa yang akan dikerjakan dapat dilihat dengan baik.
Perawatan pasca-bedah yang terpenting ialah memperhatikan kemungkinan
perdarahan.
b. Etmoidektomi ekstranasal
Insisi dibuat di sudut mata, pada batas hidung dan mata. Di daerah itu sinus etmoid
dibuka, kemudian dibersihkan.
3. Sinus frontal
Pembedahan untuk membuka sinus frontal disebut operasi Killian. Insisi dibuat
seperti pada insisi etmoidektomi ekstranasal, tetapi kemudian diteruskan ke atas
alis.Tulang frontal dibuka dengan pahat atau bor, kemudian dibersihkan. Salurannya
ke hidung diperiksa, dan bila tersumbat, dibersihkan. Setelah rongga sinus frontal
bersih, luka insisi dijahit, dan diberi perban-tekan. Perban dibuka setelah seminggu.
Seringkali pembedahan untuk membuka sinus frontal dilakukan bersama dengan sinus
etmoid, yang disebut fronto-etmoidektomi.
4. Sinus sfenoid
Pembedahan untuk sinus sfenoid yang aman sekarang ini ialah dengan memakai
endoskop. Biasanya bersama dengan pembersihan sinus etmoid dan muara sinus
maksila serta muara sinus frontal, yang disebut Bedah Endoskopi Sinus Fungsional.
Bedah endoskopi sinus fungsional (FESS=functional endoscopic sinus surgery)
Cara pemeriksaan ini ialah dengan mempergunakan endoskop, tanpa melakukan insisi
di kulit muka. Endoskop dimasukkan ke dalam rongga hidung. Karena endoskop ini
dihubungkan dengan monitor (seperti televisi), maka dokter juga melakukan
pembedahan tidak perlu melihat kedalam endoskop, tetapi cukup dengan melihat
monitor.
Dengan bantuan endoskop dapat dibersihkan daerah muara sinus, seperti daerah
meatus medius untuk sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontal.
Endoskop juga dapat dimasukkan ke dalam sinus etmoid anterior dan posterior untuk
membuka sel-sel sinus etmoid. Kemudian dapat diteruskan ke dalam sinus sfenoid
yang terletak di belakang sinus etmoid apabila di CT scan terdapat kelainan di sinus
sfenoid.
Sekitar sinus yang sakit dibersihkan, dilihat juga muara sinus-sinus yang lain. Setelah
selesai, rongga hidung di tampon untuk mencegah perdarahan. Tampon dicabut pada
hari ketiga.5
Gambar 20 : Functional Endoscopy Sinus Surgery
2.11. KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat
infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak, dan kranium. Pemeriksaan ini harus
rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi
sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak,
karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering
kali merekah pada kelompok umur ini.
Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral
yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering
dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis
yang makin bertambah.
Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Gambar 20 : Sinus Cavernosus
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a. Oftalmoplegia.
b. Kemosis konjungtiva.
c. Gangguan penglihatan yang berat.
Kelemahan pasien.
Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.5
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.5
Gambar 21 : Polip intranasal
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar
dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf di dekatnya.5
Gambar 22 : Polip ethmoid
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.5
3. Komplikasi Intra Kranial
Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
Abses dura, adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien
hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus di antara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
Abses otak, setelah sistem vena, mukoperiosteum sinus dapat terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.5
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik
berupa malaise, demam dan menggigil8,9
BAB IIIKESIMPULAN
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang
sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis
dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi
dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik
mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.
Rhinitis adalah kondisi yang sangat umum dan mempunyai banyak sebab-sebab yang
berbeda. Pada dasarnya, rhinitis mungkin ditentukan sebagai peradangan dari lapisan
hidung bagian dalam. Gejala utama rinitis adalah hidung menetes. Hal ini disebabkan
oleh peradangan kronis atau akut selaput lendir dari hidung karena virus, bakteri atau
iritasi. Hasil peradangan dalam menghasilkan jumlah berlebihan lendir, umumnya
menghasilkan pilek tersebut, serta hidung tersumbat dan post-nasal drip.
Ini telah dikaitkan dengan masalah tidur, kondisi telinga, dan bahkan masalah belajar.
Rinitis disebabkan oleh peningkatan histamin. Peningkatan ini paling sering
disebabkan oleh alergi udara. Alergen tersebut dapat mempengaruhi hidung individu,
tenggorokan, atau mata dan menyebabkan peningkatan produksi cairan di dalam area
ini.
Rhinitis dikategorikan menjadi tiga jenis: rinitis infektif termasuk akut dan infeksi
bakteri kronis; nonallergic (vasomotor) rhinitis termasuk otonom, hormonal, obat-
induced, atrofi, dan gustatory rhinitis, serta medicamentosa rinitis, alergi rinitis, reaksi
campuran yang dipicu oleh serbuk sari, jamur, bulu binatang, debu dan alergen hirup
serupa.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan
sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang, pada anak hanya sinus maksila dan
sinus etmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.
Sinusitis terjadi jika ada gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila terjadi
edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling
bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan.
Akibatnya lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Faktor predisposisi sinusitis adalah obstruksi mekanik, seperti deviasi septum,
hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor dalam rongga
hidung. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium
sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk
tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara
dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan mukosa serta kerusakan
silia.
Secara klinis sinusitis dibagi menjadi sinusitis akut, bila gejala berlangsung dari
beberapa hari sampai 4 minggu. Sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu
sampai 3 bulan dan sinusitis kronis bila lebih dari 3 bulan.
Gejala sinusitis yang banyak dijumpai adalah gejala sistemik berupa demam dan rasa
lesu. Lokal pada hidung terdapat sekret kental yang kadang-kadang berbau dan
dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat dan rasa nyeri di
daerah sinus yang terinfeksi serta kadang-kadang dirasakan juga ditempat lain karena
nyeri alih (referred pain). Tetapi pada sinusitis subakut tanda-tanda radang akut
demam, nyeri kepala hebat dan nyeri tekan sudah reda. Sedangkan pada sinusitis
kronis selain gejala-gejala di atas sering ditemukan gejala komplikasi dari sinusitis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil
pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan
pemeriksaan CT Scan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan roentgen gigi
untuk mengetahui adanya abses gigi.
Terapi sinusitis secara umum diberikan medikamentosa berupa antibiotik selama 10-
14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan berupa
golongan penisilin. Diberikan juga dekongestan sistemik dan analgetik untuk
menghilangkan nyeri. Terapi pembedahan dilakukan jika ada komplikasi ke orbita
atau intrakanial; atau bila nyeri hebat karena sekret tertahan oleh sumbatan yang
biasanya disebabkan sinusitis kronis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sahaja. 2008. The Anatomy, Histology, and Development of the Pharynx,
Larynx, and Thyroid Gland dari http : //anatomy
topics.wordpress.com/category/head-neck/
2. Anonim. Head and Neck. Langman’s Medical Embriology. Chapter 15. Hal :
15.
3. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta 2002, 88 – 94.
4. Endang Mangunkusumo, Nusjirwan Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,
editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 111.
5. Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung Dalam. Boies Buku Ajar THT. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994, hal 210 – 211.
6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505.
7. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3,
Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106.
8. Endang Mangunkusumo, Nusjirwan Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,
editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 – 125.
9. http://www.entdoctor.com.sg/articles/pengobatan-sinusitis-sistem-balon.html
10. Anon, Jack B., etal, Anatomy of the Paranasal Sinuses, Theime, New York,
c1996.
11. Watelet J.B., Cauwenberge P. Van, Applied Anatomy and Physiology of the
nose
and Paranasal Sinuses Allergy 1999.
12. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
13. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6