Referat Targeted Therapy Pada CML
Transcript of Referat Targeted Therapy Pada CML
Tinjauan Pustaka
Targeted Therapy pada Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Oleh: Imam Kris Biantoro 03/1967/IV-SP/0286
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta
2008
Disetujui tanggal: ..............................................................
Pembimbing: dr. Johan Kurnianda, SpPD-KHOM
Dipresentasikan tanggal: ...................................................
Pembimbing: dr. Johan Kurnianda, SpPD-KHOM
ii
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL i DAFTAR ISI ii DAFTAR GAMBAR iii DAFTAR TABEL iii DAFTAR LAMPIRAN iii BAB I. PENDAHULUAN 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5 A. Dasar Molekular CML 5 B. Perjalanan Klinik CML 11 C. Imatinib Mesylate 13 C.1. Clinical studies pada imatinib 15 C.1.1.Fase I 15 C.1.1.1. Fase kronik CML 15 C.1.1.2. Krisis Blastik CML 16
C.1.2. Fase II 16 C.1.3. Fase III: International Randomised Study of
Interferon and STI571 (IRIS) 17 C.2. Efek samping imatinib 18 C.2.1. Toksisitas hematologikal 19 C.2.2. Toksisitas nonhematologik 19 D. Resistensi Imatinib Mesylate 21 D.1. Mekanisme resistensi 22 D.1.1. Mekanisme resistensi Bcr-Abl dependen 22 D.1.2. Mekanisme resistensi Bcr-Abl independen 23 E. Pilihan Terapi pada Pasien dengan Resistensi atau Intoleransi Imatinib 25 E.1. Imatinib dosis tinggi 25 E.2. Transplantasi hematopoeietic stem cell 25 E.3. Dasatinib 26 BAB III. RINGKASAN 30 DAFTAR PUSTAKA 31
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Struktur protein Abl 5 Gambar 2. Struktur protein Bcr 6 Gambar 3. Kejadian-kejadian molekular yang menyebabkan
ekspresi fenotipe penyakit CML 7 Gambar 4. Jalur molekular yang terlibat dalam sinyal Bcr-Abl 10 Gambar 5. Mekanisme aksi imatinib mesylate 13 Gambar 6. Struktur kimia imatinib mesylate 14 Gambar 7. Desain penelitian imatinib fase II 17 Gambar 8. Desain penelitian imatinib fase III 18 Gambar 9. Struktur molekul dasatinib 26 Gambar 10. Algoritme pilihan terapi pada pasien CML resisten imatinib 29
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Important functional domains dari p145Abl, p160Bcr, dan p210Bcr-Abl 8 Tabel 2. Substrat-substrat dari Bcl-Abl 9 Tabel 3. Presentasi klinik dari CML Ph+ 11 Tabel 4. Definisi fase akselerasi CML 12 Tabel 5. Formulasi Sokal dan Hasford untuk menilai risiko relatif progresi dan 12
kematian pasien CML fase kronik Tabel 6. Selektivitas kinase dari Imatinib 15 Tabel 7. Kriteria respon terapi pada imatinib 21 Tabel 8. Definisi respon 22 Tabel 9. Ringkasan data dari program START 27
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Profil imatinib mesylate 33 Lampiran 2. Workup dan terapi primer CML fase kronik 33 Lampiran 3. Follow-up terapi 3 dan 6 bulan 34 Lampiran 4. Follow-up terapi 12 bulan 34 Lampiran 5. Follow-up pasien CML 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit gangguan myeloproliferasi yang
ditandai oleh peningkatan proliferasi dari sel-sel myeloid pada semua tahap maturasi (Faderl
et al., 1999; Forrest et al., 2008). CML merupakan keganasan hematologi pertama yang
dihubungkan dengan lesi genetik spesifik. Gen spesifik yang terdapat pada CML pertama kali
diketahui pada tahun 1845. Kemudian pada tahun1960 oleh Nowell dan Hungerford
dinamakan sebagai kromosom Philadelphia (Ph) (Frazer et al., 2007).
Kromosom Ph timbul dari translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22
(t[9;22][q34;q11]). Konjugasi dari gen breakpoint cluster region (Bcr) pada kromosom 22
dan gen Abelson kinase (Abl) pada kromosom 9 menciptakan onkogen Bcr-Abl, yang
mengkode deregulasi tirosin kinase. Bcr-Abl mengaktivasi jalur transduksi sinyal multipel,
termasuk Ras/Raf/mitogen-activated protein kinase (MAPK), phosphatidylinositol 3 kinase,
STAT5/Janus kinase, dan Myc. Aktivitas Bcr-Abl akan membuat proliferasi sel yang tak
terkontrol dan mereduksi apoptosis, sehingga akan menimbulkan ekspansi malignan dari
pluripotent stem cells di sumsum tulang (Jabbour et al., 2007).
Insidensi CML adalah antara 1-2 kasus per 100.000 orang per tahun, dengan rasio
antara laki-laki dan perempuan 2:1. Median umur kejadian CML adalah 45-55 tahun dan
kejadiannya akan meningkat dengan semakin bertambahnya usia. CML terdapat pada 15-
20% dari seluruh kejadian leukemia pada dewasa (Faderl et al., 1999; Frazer et al., 2007;
Jabbour et al., 2008; Wetzler et al., 2008).
Chronic myeloid leukemia dapat diklasifikasikan dalam 3 fase penyakit, yaitu fase
kronik/chronic phase (CP), fase akselerasi/accelerated phase (AP), dan fase blastik/blastic
phase (BP). Diagnosis CML biasanya terjadi pada CP, yang gambaran kliniknya asimtomatik
2
pada 40% pasien. Hampir dua per tiga pasien pada CP akan berlanjut ke BP terminal dari
CML melalui AP. Sekitar 20-25% pasien CP berlanjut langsung menjadi BP (Jabbour et al.,
2008).
Fase akselerasi biasanya ditandai adanya peningkatan derajat anemia, evolusi klonal
sitogentik, atau terdapat 10-20% blast dalam darah dan/atau sumsum tulang, basofil ≥20%
dalam darah dan/atau sumsum tulang, atau platelet <100.000/µL (Wetzler et al., 2008). Fase
blastik merupakan fase yang agresif ditandai dengan adanya paling sedikit 30% blast pada
darah dan/atau sumsum tulang, atau adanya infiltrasi ekstramedular dari sel-sel blastik
leukemik. Fase ini biasanya resisten terhadap pengobatan dan dihubungkan dengan median
sintasan 3-6 bulan (Jabbour et al., 2008; Wetzler et al., 2008).
Terapi pada CML merupakan cerita sukses dalam pengobatan molekular. Dalam
sejarahnya, kemoterapi CML pertama kali menggunakan arsenikal (cairan Fowler) pada
tahun 1856. Sampai dengan tahun 1950an dilakukan terapi radiasi seluruh tubuh atau splenik,
namun tidak memberikan perubahan sintasan secara keseluruhan. Busulfan diperkenalkan
pertama kali sebagai terapi CML pada tahun 1950an dan hidroksiurea pada tahun 1972.
Namun kemoterapi ini memberikan prognosis yang buruk. Walaupun agen-agen ini mampu
mengontrol manifestasi hematologi dari penyakitnya, mereka tidak mampu menghambat
progresi penyakitnya (Faderl et al., 1999).
Splenektomi tidak memperbaiki kesintasan pada fase kronik penyakit. Tindakan ini
hanya berhasil pada beberapa pasien dengan splenomegali yang persisten atau simtomatik
dan terjadinya sitopenia yang refraktori. Splenektomi sebelum dilakukan transplantasi stem-
cell akan mengurangi waktu pemulihan sumsum tulang namun tidak berpengaruh pada
prognosis jangka panjang (Faderl et al., 1999).
Transplantasi stem-cell alogenik berpotensi kuratif pada CML. Transplantasi akan
memberikan long-term survival pada 50-80% pasien dan disease-free survival pada 30-70%
3
pasien. Relap dapat terjadi pada 15-30% pasien, dan masa platau dicapai pada 5 tahun setelah
transplantasi. Penerapan transplantasi ini dibatasi oleh sulitnya mendapat pendonor yang
cocok dan batasan umur (Faderl et al., 1999; Forrest et al., 2008).
Terapi CML dengan menggunakan interferon-α (IFN-α) menunjukkan kelebihan yang
signifikan. Terapi ini memberikan respon hematologik dan sitogenik pada pasien fase kronik,
dan meningkatkan kesintasan dibandingkan dengan busulfan atau hidroksiurea (rerata
kesintasan 5 tahun IFN-α 57% dibanding kemoterapi 42%; P <0,00001). Kombinasi
cytarabine (penghambat sintesis deoxynuclei acid/DNA) dengan IFN-α akan memberikan
keuntungan tambahan (Jabbour et al., 2007).
Dengan diketahuinya basis molekular dari CML telah dikembangkan targeted therapy
yang sangat efektif. Agen terapi ini akan memblok aktivitas Bcr-Abl tyrosine kinase (tyrosine
kinase inhibitor/TKI) dimana akan menghambat perjalanan proses molekular CML.
Penggunaan TKI pada CML sejauh ini menunjukkan hasil yang impresif dengan toksisitas
yang minimal dan secara drastis mengubah landscape terapi CML. Walaupun transplantasi
stem-cell alogenik masih merupakan pilihan terapi pada CML, namun bukti-bukti yang ada
saat ini menunjukkan bahwa TKI lebih superior dibanding transplantasi untuk terapi lini
pertama pada fase kronik CML (Jabbour et al., 2008; Forrest et al., 2008).
Imatinib mesylate (Gleevec®/Glivec®) merupakan agen Bcr-Abl TKI yang tersedia
dalam sediaan oral. Obat ini menunjukkan aktivitas yang sangat signifikan pada semua fase
CML. Pada International Randomized Study of Interferon (IFN) and STI571 (IRIS) fase III
menunjukkan bahwa imatinib lebih superior terhadap IFN plus cytarabine (Jabbour et al.,
2008).
Namun dalam perkembangan telah muncul keadaan resistensi imatinib. Ketika
dimana imatinib efektif pada mayoritas pasien CML, beberapa pasien fase kronik dan
sebagian kecil fase lainnya menunjukkan resistensi atau intoleran terhadap imatinib.
4
Resistensi ini biasanya disebabkan karena adanya mutasi Bcr-Abl. Mutasi ini terjadi pada 35-
45% kasus resistensi imatinib. Lebih dari 30 mutasi yang telah diidentifikasi sampai saat ini
(Jabbour et al., 2008).
Saat ini telah tersedia agen TKI baru atau dalam pembuatan yang lebih poten
dibanding imatinib dalam menghambat Bcr-Abl dan memiliki potensi yang lebih rendah
untuk terjadinya resistensi. TKI generasi kedua ini antara lain adalah dasatinib, nilotinib,
bosutinib, dan INNO-406. Kedua agen yang terakhir masih dalam tahap pengembangan
klinikal. Dengan adanya agen-agen baru ini maka pasien-pasien yang resisten terhadap
imatinib atau tidak toleran terhadap terapi imatinib tetap dapat mencapai respon klinis yang
signifikan (Jabbour et al., 2008).
Atas dasar perkembangan molekular dan terapi CML yang sangat pesat, serta muncul
resistensi terhadap imatinib, maka tujuan penulisan tinjauan pustaka ini bertujuan untuk
berusaha menjelaskan tentang basis molekular dari CML yang merupakan dasar dari terapi
CML saat ini, cara kerja imatinib dan mekanisme timbulnya resistensi, serta menjelaskan
agen TKI baru (dasatinib) yang telah beredar di Indonesia. Semoga bermanfaat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Molekular CML
Lebih dari 90% pasien CML memiliki abnormalitas genetik yang dikenal sebagai
kromosom Ph. Kromosom ini merupakan hasil dari fusi translokasi kromosomal resiprokal
gen Abl pada kromosom 9 dan gen Bcr pada kromosom 22. Translokasi ini menghasilkan
onkogen (Bcr-Abl) yang mensandikan onkoprotein, yang merupakan bentuk aktif dari Abl
tyrosine kinase. Aktivitas Bcr-Abl timbul sebagai penyebab dalam patogenesis CML
(O’Dwyer, 2002; Jabbour et al., 2008).
Gen Abl adalah onkogen v-abl homolog manusia yang dibawa oleh Abelson murine
leukemia virus (A-MuLV), yang mengenkode tirosin kinase nonreseptor. Abl manusia
tampak sebagai protein 145 kDa dengan 2 isoform (Ia dan Ib). Beberapa struktur domain
terdapat di dalam protein ini. Tiga SRC homology domain (SH1-SH3) terletak di antara NH2
terminus. Domain SH1 membawa fungsi tirosin kinase, sedangkan SH2 dan SH3
mempermudah interaksi dengan protein lain. Protein Abl normal terlibat dalam regulasi
siklus sel, respon selular terhadap stres genotoksik, dan transmisi informasi tentang
perkembangan selular melalui sinyal yang terintegrasi (Deininger et al., 2000).
Gambar 1. Struktur protein Abl. (Sumber: Deininger et al., 2000)
Keterangan: isoform tipe Ia lebih pendek dibanding Ib, yang berisi myristoylation site (myr) untuk tempat menempelnya membran plasma. Y393 merupakan tempat utama otofosforilasi dengan domain kinase. Gambaran anak panah menunjukkan posisi breakpoint dari fusi protein Bcr-Abl.
6
Breakpoint cluster region (Bcr) merupakan protein dengan ukuran 160 kDa. Beberapa
motif struktural dari protein ini dapat dilihat dalam gambar 2. Ekson N-terminal yang
pertama mengenkode serine-threosine kinase. Di tengah-tengah molekul terdapat sebuah
region dengan domain dbl-like dan pleckstrin-homology (PH) yang merangsang pertukaran
dari guanidine triphosphate (GTP) menjadi guanidine diphosphate (GDP) pada faktor-faktor
pertukaran Rho guanidine, yang pada gilirannya akan mengaktivasi faktor-faktor transkripsi
seperti NF-κB. Bcr dapat memfosforilasi beberapa residu tirosin, khususnya tirosin 177 yang
mengikat Grb-2, sebuah molekul adaptor yang terlibat dalam aktivasi jalur Ras (Frazer et al.,
2006; Deininger et al., 2000).
Gambar 2. Struktur protein Bcr. (Sumber: Deininger et al., 2000)
Keterangan: dimerization domain (DD) dan 2 cyclic adenosine monophosphate kinase (cAMP) merupakan domain homolog yang terdapat pada N-terminus. Y177 merupakan tempat otofosforilasi yang penting untuk berikatan dengan Grb-2. RHO-GEF = Rho guanidine nucleotide exchange factors, CaLB = calcium-dependent lipid binding. Gambaran anak panah menunjukkan posisi breakpoint pada fusi protein Bcr-Abl.
Domain SH1 dari Abl mengenkode tirosin kinase non-reseptor. Protein kinase
merupakan enzim-enzim yang mentransfer grup fosfat dari ATP ke substrat protein, dengan
demikian akan menimbulkan proses-proses selular seperti pertumbuhan dan diferensiasi.
Aktivitas Abl tirosin kinase pengaturannya sangat tergantung pada kondisi fisiologis.
Pengaturan ketat aktivitas tirosin kinase merupakan hal yang esensial, karena jika hal ini
tidak dapat dipertahankan deregulasi aktivitas kinase akan memunculkan transformasi dan
malignansi (Frazer et al., 2008).
7
Beberapa bagian Abl yang bertanggung jawab terhadap perintah regulasi dari domain
SH1 hilang selama translokasi resiprokal. Penambahan sekuensi Bcr berturut-turut akan
meningkatkan aktivitas tirosin kinase dari domain SH1. Aktivitas ini akan merampas fungsi-
fungsi fisiologis normal dari Abl (Deininger et al., 2000; Frazer et al., 2008).
Gambar 3. Kejadian-kejadian molekular yang menyebabkan ekspresi fenotipe penyakit CML.
(Sumber: Frazer et al., 2007)
Fusi protein Bcr-Abl berukuran mulai dari 185 kDa sampai 230 kDa (p185bcr-abl –
p230bcr-abl). Pada pasien dengan tipikal CML fase kronik, ukuran proteinnya biasanya 210
kDa. Sel-sel yang tertransfeksi dengan p210bcr-abl menjadi dominan dalam sistem kultur sel
dan berkembang menjadi fenotipe yang benar-benar ganas. Ukuran protein merupakan salah
satu faktor yang menetukan kebiasaan biologik (biologic behavior) dari penyakitnya. Dari
8
penelitian-penelitian yang ada mengindikasikan bahwa protein Bcr-Abl 190 kDa memiliki
aktivitas tirosine kinase yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berukuran 210 kDa
(O’Dowyer, 2002, Kantarjian et al., 2006).
Tabel 1. Important functional domains dari p145Abl, p160Bcr, dan p210Bcr-Abl
(Sumber: Faderl et al., 1999b)
Onkogen Bcr-Abl ditemukan terutama di sitoplasma dan substrat fosforilat multipel.
Bcr-Abl ini akan menyebabkan perubahan pertumbuhan dan kesintasan dari sel-sel
hematopoetik. Substrat-subsrat dari Bcr-Abl itu adalah: Ras yang mengaktivasi jalur sinyal
Ras/Raf/MAPK/ERK dan terlibat dalam kesintasan sel, proliferasi, dan transformasi;
PI3K/Akt, yang terlibat dalam apoptosis, penahanan siklus sel, dan perbaikan DNA. Sebagai
tambahan, Scr-family kinase memiliki bermacam-macam interaksi patologik dengan Bcr-Abl
pada CML. Scr-family kinase Hck, Lyn, dan Fyn Bcr-Abl fosforilat serta perubahan
penyesuaian dan aktivitas sinyalnya akan berkontribusi pada resistensi Bcr-Abl terhadap
imatinib. Scr-family kinase juga merupakan bagian yang esensial untuk sinyal transformasi
oleh Bcr-Abl. Aktivasi STAT5 pada sel-sel CML oleh Bcr-Abl membutuhkan interakasi
9
dengan Hck. Inhibisi pada Scr-family kinase pada sel CML akan menyebabkan tertahannya
pertumbuhan dan induksi dari apoptosis (Kantarjian et al., 2006; Jabbour et al., 2008).
Tabel 2. Substrat-substrat dari Bcl-Abl
(Sumber: Goldman & Melo, 2003)
10
Gambar 4. Jalur molekular yang terlibat dalam sinyal Bcr-Abl.
(Sumber: Goldman & Melo, 2003)
Dasar molekular dari progresi penyakit CML belum diketahui secara pasti. Namun hal
ini mungkin merupakan hasil dari kejadian-kejadian genetik tambahan dalam sel-sel
transformasi Bcr-Abl yang mungkin independen terhadap aktivitas Bcr-Abl. Pengaruh-
pengaruh selular pada sel-sel transformasi Bcr-Abl termasuk penurunan apoptosis, blokade
pada diferensiasi hematopoetik, penurunan surveilan imun, dan timbulnya resistensi obat.
Kejadian-kejadian genetik itu termasuk inaktivasi gen-gen supresor tumor, aktivasi onkogen-
onkogen yang lain, atau instabilitas genomik sehingga akan meningkatkan mutasi-mutasi
kromosomal. Transformasi sel-sel myeloid dapat dimediasi oleh interaksi antara Bcr-Abl dan
Src-family kinase (O’Dowyer, 2002; Jabbour et al., 2008).
11
B. Perjalanan Klinik CML
The Clinical Hallmark dari CML adalah leukositosis, pergeseran ke kiri dari
differential count, dan splenomegali. Kemudian sering ditemukan peningkatan jumlah
platelet, namun jarang ditemukan eritrositosis. Perjalanan klinis CML dibagi dalam 3 fase
penyakit, yaitu fase kronik atau indolen, fase lanjut yang terdiri dari fase akselerasi, dan krisis
blastik (Deininger & Druker, 2003; Frazer et al., 2007, Sessions, 2007).
Selama inisiasi dari fase kronik terjadi ekspansi besar-besaran dari kompartemen sel
myeloid, namun sel-selnya masih mempertahankan kapasitasnya untuk berdiferensiasi dan
berfungsi normal. Gejala-gejala yang ada pada fase kronik pada umumnya ringan dan
sebagian besar pasien asimtomatik, baru terdiagnosis ketika dilakukan pengambilan sampling
darah rutin. Setelah 4-5 tahun penyakit akan berkembang menjadi fase akselerasi, yang
ditandai adanya sel-sel imatur di dalam darah, sering munculnya gejala-gejala konstitusional,
dan berkurangnya respon terhadap terapi. Perkembangan penyakit dari fase kronik ke fase
akselerasi merupakan proses yang kontinyu, bukan suatu tahapan tunggal (Frazer et al.,
2007).
Tabel 3. Presentasi klinik dari CML Ph+
(Sumber: Frazer et al., 1998)
12
Perbedaan mendasar antara fase kronik dan akselerasi adalah peningkatan jumlah
basofil atau blast, abnormalitas jumlah platelet, dan adanya evolusi klonal. Jika pasien telah
terdiagnosis pada fase kronik dan telah mendapat terapi, pada fase akselerasi inilah biasanya
muncul resistensi (Sessions, 2007).
Tabel 4. Definisi fase akselerasi CML.
(Sumber: Sessions, 2007)
Keterangan: BM = bone marrow, IBMTR = International Bone Marrow Transplant Registry, MDACC = MD Anderson Cancer Center, WHO = World Health Organization.
Ketika CML berkembang ke krisis blastik memiliki gambaran yang mirip leukemia
akut. WHO mendefinisikan krisis blastik ketika blast meningkat >20% pada darah perifer
atau sumsum tulang dan proliferasi blast ekstramedular. IBMRT mendefinisikan ketika blast
>30% dengan infiltrasi ekstramedular dari sel-sel leukemik (Sessions, 2007).
Untuk menilai risiko relatif dari progresi dan kematian pada pasien CML fase kronik
dapat dihitung dengan menggunakan formulasi Sokal atau Hasford (Baccarani et al., 2006).
Tabel 5. Formulasi Sokal dan Hasford untuk menilai risiko relatif progresi dan kematian pasien CML fase kronik.
(Sumber: Baccarani et al., 2006)
Keterangan: Risiko menurut Sokal berdasarkan pada pasien yang mendapat kemoterapi konvensional, Hasford berdasarkan pada pasien yang mendapat terapi rejimen IFN-α based. NA = not applicable, * = sentimeter di bawah batas kosta, jarak maksimum, † = risiko relatif dari perhitungan Sokal ditampilkan sebagai eksponensial dari total; perhitungan Hasford ditampilkan sebagai perkalian 1000.
13
C. Imatinib Mesylate
Pengetahuan yang lebih maju terhadap biologi molekular telah melahirkan kelas baru
suatu agen terapi yang menargetkan langsung pada gen supresor tumor dan/atau onkogen.
Imatinib merupakan targeting therapy molekular pertama yang mendapat persetujuan Food
and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat. Pada Mei 2001, imatinib mesylate
(Gleevec®, Glivec®, STI-571) disetujui FDA untuk terapi pasien CML dalam fase krisis
blastik, fase akselerasi, atau fase kronik setelah gagal dengan terapi IFN-α. Pada bulan
Februari 2002, imatinib disetujui untuk terapi pasien dengan unresectable dan/atau metastatic
malignant Gastrointestinal Stromal Tumors (GISTs) yang terekspresi oleh tyrosine kinase
receptor c-kit (Pindolia & Zarowitz, 2002).
Gambar 5. Mekanisme aksi imatinib mesylate.
(Sumber: Mauro & Druker, 2001) Imatinib adalah inhibitor tirosin kinase inhibitor dari kelas 2-phenylaminopyrimidine.
Desain kimianya adalah 4-[(4-methyl-1-piperazinyl) methyl]-N-[4-methyl-3-[[4-(3-
pyridinyl)-2-pyrimidinyl] amino]-phenyl]benzamide methanesulfonate.
14
Gambar 6. Struktur kimia imatinib mesylate.
(Sumber: De Kogel & Schellens, 2007)
Imatinib merupakan Bcr-Abl TKI pertama yang menunjukkan aktivitas yang
signifikan pada semua fase CML. Targetnya adalah melawan semua Abl tirosin kinase,
termasuk Bcr-Abl, v-Abl, dan Abelson-related gene (ARG), kemudian reseptor tirosin kinase
subgrup III, yaitu reseptor c-Kit, reseptor PDGF, dan stem cells factor receptor (Pindolia &
Zarowitz, 2002; Sherbenou & Druker, 2007). Selain itu, imatinib akan berkompetisi dengan
ATP sebagai tempat berikatan dengan reseptor tirosin kinase subgrup III (Pindolia &
Zarowitz, 2002).
15
Tabel 6. Selektivitas kinase dari Imatinib. INHIBITED KINASES
KINASES NOT INHIBITED
Bcr-Abl EGFR-R-ICD v-Src v-Abl Her-2/neu c-Fgr c-Abl Insulin receptor Fit-1 Tel-Abl IGF-I-R Tek PDGFRα c-Lyn c-Met PDGFRβ FIT-3 PPK Tel-PDGFR Kdr KIT Jak-2 ARG TPK c-Fms c-Src
(Sumber: Okuda et al., 2001)
C.1. Clinical studies pada imatinib
C.1.1.Fase I
Penelitian-penelitian fase I pada imatinib dimulai pada Juni 1998 oleh Druker et al.
Penelitian ini didesain untuk menentukan dosis toleransi maksimal, dengan keuntungan klinis
sebagai endpoint sekundernya. Sampel penelitian diambil dari pasien CML fase kronik yang
gagal terapi dengan INF-α (Deininger et al., 2005).
C.1.1.1. Fase kronik CML
Pada fase I dose-escalation study ini, 83 pasien dengan CML fase kronik diikutkan
dalam penelitian dan diberikan imatinib dengan dosis antara 25-1000 mg per hari. Data yang
didapatkan menunjukkan hubungan yang sangat erat antara respon dosis dengan rerata
complete hematologic response (CHR) dari 38% (11/29) pasien yang mendapat imatinib
dibawah 300 mg dan 98% (53/54) pasien yang mendapat imatinib diatas 300 mg atau lebih.
Kadar plasma imatinib pada 300 mg kohort dosis berkorelasi dengan kadar yang dibutuhkan
untuk mencapai target inhibisi Bcr-Abl dan supresi pertumbuhan garis sel CML. Hubungan
respon dosis ini dievaluasi lebih jauh menggunakan model Emaks. Ketika relatif respon
(persentase penurunan leukosit setelah 1 bulan terapi) dihubungkan dengan eksposur
(ditampilkan sebagai dosis harian, area under curve (AUC), Cmin atau Cmaks, atau waktu kadar
16
plasma di atas 1 µM yang menyebabkan apoptosis in vitro), menunjukkan keadaan yang
dose-dependent (Sawyers & Capdeville, 2001, Deininger et al., 2005).
C.1.1.2. Krisis Blastik CML
Berdasarkan hasil penelitian yang sangat menjanjikan, fase 1 ini dikembangkan pada
pasien dengan myeloid atau limfoid krisis blastik dari CML dan pasien dengan ALL Ph+
relap atau refraktori (Deininger et al., 2005). Pada 58 pasien dengan krisis blastik atau
leukemia Ph+ mendapat terapi imatinib dengan dosis antara 300-1000 mg, respon hematologi
juga didapatkan pada 55% pasien dengan krisis blastik myeloid (21/38) dan 70% pasien
dengan krisis blastik limfoid atau ALL Ph+ (14/20) (Sawyers & Capdeville, 2001).
Dalam beberapa kasus, remisi sitogenetik komplet juga diamati. Sayangnya, hampir
semua pasien dengan penyakit limfoid relap dalam 2-3 bulan. Relap juga terjadi pada 60%
pasien dengan krisis blastik myeloid dalam 6 bulan. Dari follow up yang lebih lama
didapatkan data remisi menetap pada 40% pasien, namun tidak lebih dari 1 tahun (Sawyers &
Capdeville, 2001).
Pada penelitian fase I ini, imatinib secara umum ditoleransi dengan baik, dan hampir
semua kejadian efek samping (adverse events/AEs) non-hematologik pada derajat 1/2.
Berdasarkan toksisitas non-hematologik, maximum tolerated dose (MTD) tidak tercapai, dan
peningkatan dosis dihentikan pada 1000 mg (Sawyers & Capdeville, 2001).
C.1.2. Fase II
Penelitian fase II dimulai pada akhir 1999, menggunakan imatinib sebagai agen
tunggal pada semua fase CML. Untuk pasien pada krisis blastik dan ALL Ph+, penelitian ini
menegaskan hasil pada fase I. Pasien-pasien pada fase kronik yang gagal terapi dengan IFN-α
menunjukkan hasil yang lebih baik dari yang diharapkan, dengan rerata complete cytogenetic
response (CCR) 41% dan major cytogenetic remission (MCR) 60%. Dan yang lebih penting
lagi adalah terjadi progession free survival 89,2% pada 18 bulan. Efikasi imatinib pada
17
pasien dengan fase akselerasi adalah intermediat diantara fase kronik dan krisis blastik
(Deininger et al., 2005).
Gambar 7. Desain penelitian imatinib fase II.
(Sumber: Novartis, 2007)
Hasil dari penelitian fase I dan II inilah yang membuat FDA menerima imatinib
sebagai agen terapi pada CML fase lanjut dan setelah gagal terapi interferon (Deininger et al.,
2005).
C.1.3. Fase III: International Randomised Study of Interferon and STI571 (IRIS)
Berdasarkan hasil yang dicapai pada fase I dan II, maka dilakukan penelitian fase III
yang dilakukan secara multicenter dan open label (IRIS atau study 106). Penelitian ini
membandingkan secara langsung antara imatinib dengan IFN-α plus Ara-C dosis rendah
untuk terapi CML yang baru terdiagnosis pada fase kronik (Novartis, 2007).
18
Gambar 8. Desain penelitian imatinib fase III.
(Sumber: Novartis, 2007)
Total ada 1106 pasien yang dirandomisasi untuk mendapat imatinib (400 mg/hari)
atau kombinasi dari IFN-α (5 juta U/m2/hari) plus Ara-C (20 mg/m2/hari selama 10 hari
setiap bulan). Semua pasien dievaluasi untuk respon hematologik dan sitogenetiknya, AEs
dan rerata progresinya (Druker et al., 2005; Novartis, 2007).
Setelah 19 bulan follow-up, imatinib menunjukkan efikasi yang superior dibandingkan
dengan terapi kombinasi. CCR dicapai pada 76% pasien yang mendapat imatinib dibanding
15% pada IFN-α plus Ara-C (P < 0,001). CHR dicapai pada 95% pasien yang mendapat
imatinib dibanding 55% pada IFN. MCR terdapat pada 85% versus 22%. Rerata 18 bulan
progression free survival adalah 92% versus 74%, dan overall survival-nya adalah 97%
versus 95%. Setelah 60 bulan follow-up, event free survival pada imatinib adalah 83% dan
overall survival 89% (Jabbour et al., 2008).
C.2. Efek samping imatinib
Imatinib secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Walaupun efek samping cukup
sering terjadi, namun biasanya ringan dan jarang menyebabkan pemutusan terapi. Efek
samping lebih sering terdapat pada fase lanjut dari CML, refleksi dari status performa yang
19
buruk dari penderitanya. Toksisitasnya dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu hematologik
dan nonhematologik (Deininger & Druker, 2003).
C.2.1. Toksisitas hematologikal
Myelosupresi bisa merupakan refleksi dari efek terapi dan juga bisa karena toksisitas
kepada sel-sel hemapoetik normal. Neutropenia berat dan trombositopenia biasanya terjadi
pada tahap lanjut penyakitnya, khususnya pada fase krisis blastik. Hal ini bisa terjadi karena
sedikitnya jumlah sumsum tulang Ph- residual yang masih ada untuk menghasilkan
hematopoesis normal. Keadaan ini disebut sebagai imatinib-induced myelosupresi (Deininger
& Druker, 2003).
Manajemen imatinib-induced myelosupresi ini membutuhkan pengamatan yang
lebih ketat. Prinsip manajemennya adalah harus sesuai antara agresivitas terapi CML dengan
agresivitas penyakitnya. Kita masih diperbolehkan untuk melanjutkan terapi imatinib pada
fase lanjut CML walaupun terjadi myelosupresi. Sedangkan pada awal fase kronik dapat
dipertimbangkan memberhentikan terapi imatinib jika terjadi myelosupresi-induced
myelosupresi. Myeloid growth factor dapat digunakan untuk mengobati neutropenia, namun
tidak berpengaruh terhadap prognosisnya (Deininger & Druker, 2003).
C.2.2. Toksisitas nonhematologik
a. Edema dan retensi cairan
Edema superfisial (tersering edema periorbital) terdapat pada sekitar 50% pasien yang
mendapat terapi imatinib. Pada beberapa kasus terdapat keadaan retensi cairan yang lebih
berat, seperti efusi pleura dan perikardial, edema pulmonum, asites, edema anasarka, dan
edema serebral. Kejadian efek samping yang ringan dapat diberikan diuretik, namun pada
keadaan yang berat pemberian imatinib harus dihentikan (Deininger & Druker, 2003).
20
b. Efek samping gastrointestinal
Nausea ringan, nyeri abdomen, dan diare ringan sering terjadi ketika imatinib
diberikan dalam keadaan perut kosong. Walaupun bukti yang ada menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan absorbsi ketika imatinib diberikan bersama dengan makanan. Namun
direkomendasikan untuk memberikan imatinib bersama dengan makan besar. Nausea dan
nyeri abdomen ini disebabkan karena efek iritasi lokal dari imatinib (Deininger & Druker,
2003).
c. Reaksi kulit
Skin rash terlihat pada sepertiga pasien yang mendapat terapi imatinib. Bentuknya
bisa dari ringan sampai berat hingga muncul sindroma Stevens-Johnson. Sebagian besar rash
ini ringan dan bisa sembuh sendiri atau berespon terhadap antihistamin atau steroid. Reaksi
kulit ini sering merupakan alasan untuk menghentikan terapi imatinib. Rash ini biasanya
tidak muncul lagi ketika imatinib dilanjutkan kembali setelah sempat dihentikan (Deininger
& Druker, 2003).
Sebagai bagian dari reaksi drug-induced, urtikaria sering muncul pada awal terapi
imatinib pada pasien dengan angka basofil yang tinggi. Hal ini terjadi karena pelepasan
histamin dari basofil. Dalam beberapa kasus terjadi perubahan pigmentasi kulit dan
menggelapnya warna rambut. Ini terjadi karena efek imatinib pada melanosit yang
mengekspresikan c-Kit (Deininger & Druker, 2003).
d. Atralgia, myalgia, dan nyeri tulang
Nyeri tulang, persendian, dan otot merupakan efek samping imatinib yang sering
terjadi, walaupun ini tidak cukup berat sampai diperlukan penghentian terapi. Keadaan ini
biasanya berespon terhadap suplemen kalsium atau kuinin.
21
D. Resistensi Imatinib Mesylate
Ketika imatinib efektif pada sebagian besar pasien CML, beberapa pasien pada fase
kronik dan fase lanjut menunjukkan resisten atau intoleran terhadap imatinib (Jabbour et al.,
2008). Ada 3 kriteria respon terhadap terapi imatinib pada pasien CML, yaitu resisten/gagal,
respon suboptimal, dan optimal. Kriteria ini berdasarkan pada lamanya waktu respon yang
berhubungan dengan prognosis penyakit (Kantarjian et al., 2007, Ramirez & DiPersio, 2008).
Tabel 7. Kriteria respon terapi pada imatinib.
(Sumber: Ramirez & DiPersio, 2007)
Terdapat 2 macam resistensi yang terjadi terhadap imatinib, yaitu resistensi
primer/intrinsik dan sekunder/didapat. Resistensi terhadap imatinib didefinisikan oleh
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan LeukemiaNet Guidelines sebagai
kegagalan untuk mencapai complete hematologic response (CHR) dalam 3 bulan, cytogenetic
response (CR) dalam 6 bulan, atau major cytogenetic response (MCR) dalam 12 bulan.
Rerata resistensi imatinib berkisar 4% per tahun pada CML yang baru terdiagnosis, tetapi
akan menurun 1-1,5% pada tahun ke 4 sampai 5. Pada pasien yang mencapai complete
cytogenetic response (CCR), rerata resistensinya adalah 1% atau kurang pada tahun ke 3
sampai 4. Namun sebaliknya, beberapa pasien pada CML fase lanjut menunjukkan resistensi
terhadap imatinib. Perkiraan rerata resistensi dalam 4 tahun adalah 20% pada akhir fase
kronik dan 70-90% pada fase akselarasi dan krisis blastik. Resistensi sekunder/didapat adalah
hilangnya respon terapi imatinib pada pasien yang sebelumnya berespon (Kantarjian et al.,
2007, Ramirez & DiPersio, 2008).
22
Tabel 8. Definisi respon.
(Sumber: Ramirez & DiPersio, 2008)
Keterangan: RT-PCR = reverse transcriptase polymerase chain reaction.
D.1. Mekanisme resistensi
D.1.1. Mekanisme resistensi Bcr-Abl dependen
Mekanisme Bcr-Abl dependent dianggap sebagai penyebab utama timbulnya resisten
terhadap imatinib. Hal ini terjadi karena adanya mutasi pada domain Abl kinase dari protein
fusi Bcr-Abl. Saat ini telah terdokumentasi sebanyak 90 titik mutasi pada 57 residu dalam
Abl kinase, dan secara umum dibagi dalam 4 regio domain kinase, yaitu ATP binding loop
(P-loop), tempat kontak (misalnya T315I dan F317), tempat ikatan SH2 (misalnya M351),
dan A-loop (Ramirez & DiPersio, 2008).
Mutasi Bcr-Abl paling sering berhubungan dengan P-loop (30-40% dari seluruh
mutasi). Pasien CML yang mengalami mutasi P-loop memiliki prognosis yang buruk
terhadap respon dan kesintasan. Mutasi P-loop banyak terdapat pada CML fase akselerasi
atau krisis blastik. Pada pemeriksaan assay dari kinase menunjukkan bahwa mutasi P-loop
memiliki sensitivitas yang lebih rendah 70-100 kali lipat dibanding Bcr-Abl aslinya terhadap
imatinib (Ramirez & DiPersio, 2008)
Mutasi yang sering terjadi lainnya adalah T315I. T315I resisten terhadap imatinib dan
sebagian besar inhibitor Bcr-Abl generasi kedua. Mutasi ini juga dihubungkan dengan
23
resistensi imatinib sekunder yang biasanya terjadi pada stadium akhir dari penyakit dan
berhubungan dengan usia lanjut, mendapat terapi interferon sebelumnya, inisiasi imatinib
pada fase akselerasi atau krisis blastik, berkembangnya evolusi klonal, skor Sokal yang tinggi
pada saat terdiagnosis, dan gagal mencapai CCR dalam 12 bulan (Ramirez & DiPersio,
2008). Mutasi Bcr-Abl pada resistensi imatinib secara keseluruhan terjadi pada 42-90%
pasien CML (Baccarani et al., 2006).
Mekanisme lainnya dari resistensi imatinib Bcr-Abl dependent adalah adanya
peningkatan produksi Bcr-Abl. Gorre et al. (2001) menunjukkan adanya amplifikasi Bcr-Abl
pada 3 dari 9 pasien CML resisten imatinib. Hochhaus et al. (2002) melaporkan adanya
overekspresi dari mRNA Bcr-Abl pada 4 dari 37 pasien CML resisten imatinib. Walaupun
kedua studi ini menunjukkan bukti adanya peningkatan translasi protein Bcr-Abl , namun
mekanisme ini belum dapat dikonfirmasi secara klinis (Ramirez & DiPersio, 2008).
Mediator lain dari resistensi imatinib adalah protein plasma α-1 acid glycoprotein
(AGP). AGP akan menurunkan konsentrasi intraselular imatinib dengan cara berikatan
dengan imatinib pada konsentrasi fisiologis in vitro, sehingga menyebabkan inhibisi kinase
Abl (Ramirez & DiPersio, 2008).
D.1.2. Mekanisme resistensi Bcr-Abl independen
Walaupun mekanisme resistensi Bcr-Abl dependen bertanggung jawab utama pada
resistensi sekuder/didapat pasien CML, ada beberapa mekanisme independen yang ikut
terlibat dalam proses resistensi (Ramirez & DiPersio, 2008).
Salah satu mekanisme ini adalah adanya aktivasi downstream signaling molekul-
molekul, yang dapat merupakan hasil dari aktivasi dari jalur tanpa memperhatikan inhibisi
Bcr-Abl sehingga menimbulkan resistensi imatinib. Src family kinases (SFKs) adalah salah
satu contoh dari Bcr-Abl signaling ini. SFKs berfungsi meregulasi proliferasi dan kesintasan
sel, dan juga berpengaruh pada perkembangan dari fase akhir dari CML, seperti pada
24
mekanisme independen. Penelitian-penelitian preklinik menunjukkan bahwa transfeksi dari
sel-sel myeloid leukemia dengan kinase-defective Hck (sebuah SFK) mencegah perubahan
aktivitas dari Bcr-Abl, dan fosforilasi region SH2-SH3 dari Bcr-Abl oleh SFK dibutuhkan
untuk aktivitas onkogenik (Ramirez & DiPersio, 2008).
Penelitian-penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sel CML yang mengalami
resistensi imatinib tidak berhubungan dengan Bcr-Abl yang overexpress Lyn dan Hck. Lebih
jauh lagi, koinhibisi dari SFKs dan Bcr-Abl akan merangsang respon apoptotik yang
berlebihan. Sehingga ada rasionalitas yang kuat untuk menggunakan inhibitor ganda dari
SFKs dan Bcr-Abl dalam terapi pasien dengan CML resisten imatinib (Ramirez & DiPersio,
2008).
Kunci dalam terapi CML adalah monitoring pasien untuk mengevaluasi pencapaian
suatu respon terapi. Parameter dan faktor prognostik independen untuk kesintasan jangka
panjang pasien CML adalah CCR dan MMR. Dalam beberapa penelitian dengan imatinib
menunjukkan bahwa lamanya overall survival dan progression-free survival lebih panjang
pada pasien yang mencapai CR pada 3 atau 6 bulan. Dilain pihak, pada pasien-pasien yang
tidak dapat mencapai tujuan terapi awal ini akan menghadapi risiko yang lebih tinggi dalam
progresi penyakit dan kesempatan yang lebih sedikit untuk mencapai CCR atau MMR
kemudian (Ramirez & DiPersio, 2008).
Panduan dari NCCN menggariskan bahwa pada pasien CML yang berespon terhadap
terapi imatinib, tes sitogenetik harus dilakukan setelah 6 dan 12 bulan terapi. Jika CCR tidak
tercapai dalam 12 bulan, evaluasi sitogenetik selanjutnya harus dilakukan pada bulan ke 18.
Strategi terapi alternatif harus dipikirkan pada pasien yang tidak mencapai CHR pada bulan
ke 3, dan CCR pada bulan ke 6, 12, dan 18. Pada pasien yang berespon terhadap terapi,
khususnya CCR, pengukuran berkelanjutan kadar transkrip Bcr-Abl dari darah tepi dengan
25
menggunakan polymerase chain reaction (PCR) kuatitatif direkomendasikan setiap 3 bulan
(Ramirez & DiPersio, 2008).
Penapisan mutasi domain Abl kinase perlu dilakukan pada pasien CML fase kronik
yang mengalami respon awal inadekuat terhadap terapi imatinib, dan pada pasien yang
mengindikasikan adanya kehilangan respon. Penapisan ini dapat dilakukan setiap 3 bulan
tergantung respon terapi (Ramirez & DiPersio, 2008).
E. Pilihan Terapi pada Pasien dengan Resistensi atau Intoleransi Imatinib
E.1. Imatinib dosis tinggi
Pendekatan terapi ini secara rasional dapat dilakukan pada pasien CML dengan
resistensi imatinib. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa beberapa mutasi Bcr-Abl
memiliki sensitivitas yang rendah terhadap imatinib, namun bukan resistensi komplet.
Amplifikasi dan over-ekspresi Bcr-Abl juga dapat menimbulkan resistensi. Dalam kasus
resistensi seperti ini, dihipotesiskan bahwa dosis imatinib yang lebih besar dapat efektif
digunakan (Ramirez & DiPersio, 2008).
Kantarjian et al. (2003) melakukan kasus serial pada 34 pasien CML fase kronik
dengan resistensi sitogenetik atau relap ketika mendapat imatinib 400 mg. Setelah diberikan
600 atau 800 mg/hari dapat memberikan CR pada 19 dari 34 pasien ini.
E.2. Transplantasi hematopoeietic stem cell
Allogeneic stem cell transplantation (SCT) merupakan prosedur baku yang
menawarkan kemampuan kuratif dan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi lini kedua.
Rerata kesintasan 5 tahun SCT dapat mencapai >70% jika dilakukan pada pasien yang
berusia <50 tahun, dan mendapat transplan <1 tahun setelah didiagnosis. Namun aplikasi dari
prosedur ini dibatasi oleh ketersediaan donor yang cocok dan toksisitasnya pada pasien usia
26
lanjut serta luarannya semakin memburuk sesuai dengan durasi penyakitnya (Ramirez &
DiPersio, 2008).
Panduan NCCN menegaskan bahwa SCT merupakan pilihan terapi untuk pasien yang
mendapat imatinib namun tidak dapat mencapai CHR dalam 3 bulan terapi atau CCR dalam
12 bulan, atau yang mengalami fase akselerasi atau krisis blastik (Ramirez & DiPersio,
2008).
E.3. Dasatinib
Dasatinib (Sprycel®) adalah inhibitor Bcr-Abl/Src kinase ganda yang poten dan
merupakan TKI pertama yang diterima di Amerika Serikat dan Eropa sebagai terapi pasien
resisten imatinib dan intoleran imatinib dari semua fase CML dan Ph+ acute lymphoblastic
leukemia (Ph+ ALL). Walaupun targetnya adalah Bcr-Abl, dasatinib secara struktural tidak
mirip dengan imatinib dan berikatan dengan bermacam konformasi dari domain Abl kinase
(Kantarjian et al., 2007; Ramirez & DiPersio, 2008).
Secara in vitro dasatinib menunjukkan aktivitas 325 lipat lebih kuat dalam melawan
Bcr-Abl nativ dibandingkan dengan imatinib, dan menunjukkan efikasi yang lebih baik
melawan semua mutasi Bcr-Abl resisten imatinib dengan perkecualian pada T315I. Dasatinib
juga aktif melawan SFKs, c-Kit, PDGFR, dan reseptor ephrin A (Ramirez & DiPersio, 2008).
Gambar 9. Struktur molekul dasatinib.
(Sumber: Kantarjian et al., 2007)
27
Penelitian fase I dari dasatinib (Talpaz, et al., 2006) menunjukkan bukti bahwa
imatinib efektif pada pasien yang intoleran atau resistensi terhadap imatinib dengan durasi
respon yang baik dan memiliki profil keselamatan yang baik juga.
Evaluasi klinis dari penggunaan dasatinib lebih jauh dilakukan dalam program
Src/Abl Tyrosine kinase inhibition Activity: Research Trials of dasatinib (START) yang
terdiri dari 5 bagian, yaitu START-A, -B, -C, dan –L, serta START-R. Empat START yang
pertama merupakan penelitian besar, multisenter, single-arm, open label pada pasien CML
resisten atau intoleran imatinib fase kronik, fase akselerasi, krisis blastik, dan ALL Ph+. Dan
START-R merupakan penelitian randomisasi yang mengevaluasi pemberian dasatinib 70 mg
2 kali sehari dan imatinib dosis tinggi pada pasien-pasien yang sebelumnya tercatat sebagai
resisten terhadap imatinib (Kantarjian et al., 2007; Ramirez & DiPersio, 2008).
Secara umum program START menunjukkan respon hematologik dan CR yang lama
pada pasien-pasien yang gagal terhadap terapi imatinib dengan alasan adanya resistensi atau
intoleransi. START-C mengevaluasi 288 pasien resisten imatinib dan 99 pasien intoleran
imatinib pada CML fase kronik. Respon yang dicapai tidak berkaitan dengan adanya dan
lokasi mutasi Bcr-Abl. Hal terpenting yang terlihat adalah aktivitas dasatinib tak terbatas
hanya pada subgrupnya, termasuk juga pada pasien dengan mutasi P-loop. Rerata 15 bulan
progression-free survival-nya adalah 88% (Ramirez & DiPersio, 2008).
Tabel 9. Ringkasan data dari program START.
(Sumber: Ramirez & DiPersio, 2008)
Keterangan: HD = high-dose, NA = not applicable.
28
Program START juga menunjukkan bahwa dasatinib memiliki profil keamanan yang
baik. Neutropenia dan trombositopenia memang sering terjadi namun biasanya reversibel dan
dapat ditangani secara efektif dengan interupsi atau reduksi dosisnya. Tosisitas non-
hematologik yang terjadi adalah gejala-gejala gastrointestinal yang ringan sampai sedang
(misalnya nausea dan vomitus) dan retensi cairan. Kejadian efek samping non-hematologik
derajat 3 dan 4 terjadi pada ≤5% pasien. Efusi pleura hanya sering terjadi pada pasien dengan
fase lanjut dibanding fase kronik (17% versus 0%), dan dapat ditangani dengan pengurangan
dosis, dan jika perlu dapat diberikan diuretik dan/atau steroid. Yang lebih penting lagi adalah
tidak ada intoleransi silang antara dasatinib dan imatinib (Ramirez & DiPersio, 2008).
Penelitian besar lainnya yang mengevaluasi dasatinib pada pasien CML fase kronik
adalah penelitian 034. Penelitian ini membandingkan pemberian dasatinib 100 mg/hari, 50
mg 2 kali/hari, 140 mg/hari, dan 70 mg 2 kali/hari. Hasilnya adalah semua rejimen dasatinib
dengan dosis seperti diatas menunjukkan efikasi yang sama. Rejimen 100 mg/hari
berhubungan dengan rendahnya kejadian efusi pleura yang signifikan (7% versus 16%) dan
sitopenia derajat 3 atau 4 (33% versus 42%) jika dibandingkan dengan rejimen 70 mg 2
kali/hari. Hasil penelitian ini menyebabkan perubahan rekomendasi dosis harian untuk pasien
CML fase kronik dar 70 mg 2 kali/hari menjadi 100 mg sekali sehari (Ramirez & DiPersio,
2008).
Dari hasil-hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa pada pasien-pasien yang
resisten atau intoleran terhadap imatinib, penggunaan TKI generasi kedua seperti dasatinib
dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi ketika SCT tidak dapat dilakukan (Ramirez &
DiPersio, 2008).
29
Gambar 10. Algoritme pilihan terapi pada pasien CML resisten imatinib.
(Sumber: Mauro, 2006)
30
BAB III
RINGKASAN
Chronic myeloid leukemia merupakan keganasan hematologi pertama yang
dihubungkan dengan lesi genetik spesifik yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Kromosom Ph ini terjadi pada ± 90% pasien CML. Kromosom ini merupakan hasil dari fusi
translokasi kromosomal resiprokal gen Abl pada kromosom 9 dan gen Bcr pada kromosom
22.
Konjugasi dari gen Bcr pada kromosom 22 dan gen Abl pada kromosom 9
menciptakan onkogen Bcr-Abl, yang mengkode deregulasi tirosin kinase. Aktivitas Bcr-Abl
akan membuat proliferasi sel yang tak terkontrol dan mereduksi apoptosis, sehingga akan
menimbulkan ekspansi malignan dari pluripotent stem cells di sumsum tulang.
Pemahaman yang lebih maju tentang biologi molekular CML telah dapat melahirkan
kelas baru dalam targeting therapy leukemia. Dua agen terapi yang telah beredar di Indonesia
saat ini adalah imatinib mesylate dan dasatinib. NCCN pada tahun 2008 ini telah menerbitkan
panduan klinik dan terapi yang mencantum penggunaan kedua agen ini.
31
DAFTAR PUSTAKA
Baccarani, M., Saglio, G., Goldman, J., Hochhaus, A., Simonsson, B., et al. 2006. Evolving concepts in the management of chronic myeloid leukemia: recommendations from an expert panel on behalf of the European LeukemiaNet. Blood, 108(6):1809-1820.
Deininger, M.W., Goldman, J.M., Melo, J.V. 2000. The Molecular Biology Of Chronic Myeloid Leukemia. Blood, 96(10):3343-3356.
Deininger, M.W.N. & Druker B.J. 2003. Spesific Targeted Therapy of Chronic Myelogenous Leukemia with Imatinib. Pharmacol Rev, 55:401-423.
Deininger, M., Buchdunger, E., Druker, B.J. 2005. The Development of Imatinib as a Therapeutic Agent for Chronic Myeloid Leukemia. Blood, 105(7):2640-2653.
De Kogel. C.E. & Schellens, J.H.M. 2007. Imatinib. The Oncologist, 12:1390-1394. Druker, B.J., Guihot, F., O’Brien, S.G., Gathman, I., Kantarjian, H., et al., and IRIS
investigators. 2006. Five-Year Follow-up of Patients Receiving Imatinib for Chronic Myeloid Leukemia. N Engl J Med, 355:2408-2417.
Faderl, S., Talpaz, M., Estrov, Z., Kantarjian, H. 1999a. Chronic Myelogenous Leukemia: Biology and Therapy. Ann Intern Med, 131:207-219.
Faderl, S., Talpaz, M., Estrov, Z., Kantarjian, H.M., Kurzrock, R. 1999b. The Biology of Chronic Myeloid Leukemia. N Engl J Med, 341(3):164-172.
Forrest, D.L., Jiang, X., Eaves, C.J., Smith, C.L. 2008. An approach to the management of chronic myeloid leukemia in British Columbia. Current Oncology, 15(2):90-97.
Frazer, R., Irvine, A.E., McMullin, M.F. 2007. Chronic Myeloid Leukaemia in The 21st Century. Ulster Med J, 76(1):8-17.
Goldman, J.M. & Melo, J.V. 2003. Chronic Myeloid Leukemia – Advances in Biology and New Approaches to Treatment. N Engl J Med, 349;1451-1464.
Jabbour, E., Cortes, J.E., Giles, F.J., O’Brien, S., Kantarijan H.M. 2007. Current and Emerging Treatment Option in Chronic Myeloid Leukemia. American Cancer Society, 109(11):2171-2181.
Jabbour, E., Cortes, J.E., Ghanem, H., O’Brien, S., Kantarjian, H.M. 2008. Targeted Therapy in Chronic Myeloid Leukemia. Expert Rev Anticancer Ther, 8(1):99-110.
Kantarjian, H.M., Giles, F.J., O'Brien, S.M., Talpaz, M. 1998. Clinical course and therapy of chronic myelogenous leukemia with interferon-alpha and chemotherapy. Hematol Oncol Clin North Am, 12:31-80.
Kantarjian, H.M., Talpaz, M., Giles, F., O’Brien, S., Cortes, J. 2006. New Insights into the Pathophysiology of Chronic Myeloid Leukemia and Imatinib Resistance. Ann Intern Med, 145:913-923.
Kantarjian, H.M, Talpaz, M, O’Brien, S. 2003. Dose Escalation of Imatinib Mesylate Can Overcome Resistance to Standard-Dose Therapy in Patients with Chronic Myelogenous Leukemia. Blood, 101:473– 475.
Kantarjian, H.M., Giles, F., Cardama, A.Q., Cortes, J. 2007. Important Therapeuitic Targets in Chronic Myelogenous Leukemia. Clin Cancer Res, 13(4):1089-1097.
Mauro, M.J. 2006. Defining and Managing Imatinib Resistance. Am Soc of Hemato, 219-225. Mauro, M.J. & Druker, B.J. 2001. STI571: Targeting BCR-ABL as Therapy for CML. The
Oncologist, 6:233-238. National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 2008. NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology. Chronic Myelogenous Leukemia. http://www.nccn.org. Novartis. 2007. CML Clinical Monograph. http://www.glivec.com. O’Dwyer, M. 2002. Multifaceted Aproach to the Treatment of Bcr-Abl-Positive Leukemias.
The Oncologist, 7(suppl 1):30-38.
32
Pindolia, V.K. & Zarowitz, B.J. 2002. Imatinib Mesylate, the First Molecularly Targeted Gene Suppressor. Pharmacotherapy, 22(10):1249-1265.
Ramirez, P. & DiPersio, J.F. 2008. Therapy Options in Imatinib Failures. The Oncologist, 13:424-434.
Sawyers, C.L. & Capdeville, R. 2001. Clinical Development of STI571 in Chronic Myelogenous Leukemia. Am Soc Hem, 87-98.
Sessions, J. 2007. Chronic Myeloid Leukemia in 2007. Am J Health-Syst Pharm, 64(15):S4-S9.
Sherbenou, D.W. & Druker, B.J. 2007. Appling the Discovery of the Philadelphia Chromosome. The Journal of Clin Invest, 117(8):2067-2074.
Talpaz, M., Shah, N.P., Kantarjian, H.M., Donato, N., Nicoll, J., et al. 2006. Dasatinib in Imatinib-Resistant Philadelphia Chromosome–Positive Leukemias. N Engl J Med, 354:2531-2541.
Okuda, K., Weisberg, E., Gilliland, D.G., Griffin, J.D. 2001. ARG Tyrosine Kinase Activity is Inhibited by STI571. Blood, 97:2440-2448.
Wetzler, M., Byrd, J.C., Bloomfield, C.D. 2008. Acute and Chronic Myeloid Leukemia. In A.S. Fauci, D.S. Kasper, D.N. Longo, E. Braunwald, S.L. Hauser, J.L. Jameson, J. Loscolao (Eds.). Harrison’s Principals of Internal Medicine, Volume I, 17th Edition. New York Chicago San Francisco Lisbon London Madrid Mexico City New Delhi San Juan Seoul Singapore Sydney Toronto, The McGraw-Hill Companies, Inc. 677-686.
33
Lampiran 1. Profil imatinib mesylate.
(Sumber: De Kogel & Schellens, 2007)
Lampiran 2. Workup dan terapi primer CML fase kronik.
(Sumber: NCCN, 2008)
34
Lampiran 3. Follow-up terapi 3 dan 6 bulan.
(Sumber: NCCN, 2008)
Lampiran 4. Follow-up terapi 12 bulan.
(Sumber: NCCN, 2008)
35
Lampiran 5. Follow-up pasien CML.
(Sumber: NCCN, 2008)