Referat Pterigium

37
BAB I PENDAHULUAN Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang patogenesisnya masih belum jelas. Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea. Penyakit ini sering terjadi di masyarakat dan menimbulkan kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri. Karena pada awalnya pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah sepele, hingga lesi mengganggu axis visual. 1,2 Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya pterygium. Diperkirakan 8

description

referat

Transcript of Referat Pterigium

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang patogenesisnya masih belum jelas. Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea. Penyakit ini sering terjadi di masyarakat dan menimbulkan kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri. Karena pada awalnya pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah sepele, hingga lesi mengganggu axis visual. 1,2Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya pterygium. Diperkirakan pterygium disebabkan oleh karena sering terpajan sinar matahari dan radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin kencang. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. 2,3 Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea. Bentuknya menyerupai daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Gejala yang dialami pasien seperti merasakan sensasi benda asing, nyeri, lakrimasi dan penglihatan kabur. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secarabedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.4BAB II

PEMBAHASAN

PTERIGIUM

A. DefinisiMenurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea.2 B. Epidemiologi dan Insidens Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis 'sabuk pterigium' dalam garis peri-khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan khatulistiwa. Pada populasi yang terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita.6,7Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.8

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda dengan beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.8

Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter mata karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%). Tingkat kekambuhan tinggi dan komplikasi penglihatan yang mengancam pada teknik bedah yang berbeda memprovokasi para spesialis mata untuk mencari modalitas baru dan pengobatan yang lebih aman.6

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual ataupenglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.9

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.92. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.9C. EtiologiEtiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai faktor etiologi.1,2Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.1,7 D. Anatomi

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia menghubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan fissura palpebral.10Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian: Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.10Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.10 Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.10Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.10

Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis. Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gam.2) yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.101. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).10

Gambar 2. Histologi konjungtiva normal

(Dikutip dari kepustakaan 10)Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.11

Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva

(Dikutip dari kepustakaan 10)

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior (Gam. 3). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus kornea pada konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal, infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.10E. Patofisiologi Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.11Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.1-8 Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.12Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.10,11,12Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyakdibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.12Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah temporal.10,11,12

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-) membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor- (TGF-) and insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).12

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.12Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen abnormalpada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.12Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell.7 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.12 Defisiensi limbal stem cell menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari segala arah.5 Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.12F. Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 13Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:

Tipe I

Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:13Stadium-I

: belum mencapai limbusStadium-II: pertengahan antara limbus dan pupilStadium-III: mencapai hingga tepi pupilStadium-IV: melewati tepi pupil Gbr 4. Pterigum stadium I. Gbr 5. Pterigium stadium II.

Gbr.6. Pterigium stadium III. Gbr 7. Pterigium stadium IV.Berdasarkan lesinya, pterigium dibagi menjadi:

Membran / fibrosa : lesi tipis dan berwarna pucat, pembuluh darah pada lesi < 5 Vaskuler : lesi hiperemis dengan jumlah pembuluh darah > 5Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:12 Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium). Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi. Tidak terdapat kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:8 T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.G. Gambaran KlinisPterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut Stockers line. Pterigium terdiri dari tiga bagian :11

Caput

Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea), Collum (bagian limbal), Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi kosmetik.10 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.10

Gambar 11. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung7 H. DiagnosisAnamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.9

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi kosmetik.11 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.10

Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.9Pemeriksaan penunjangPemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.9I. Diagnosis BandingPterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigiumadalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.11a) Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.7

Gambar 9. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.12b) Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.7

Gambar 10. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal12c) Ocular Surface Squamous Neoplasm

Gambar 11.OSSN yang searah dengan limbal14Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia, pre-invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spektrum konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan karekteristk berkas dari pembuluh dara pada fissure intrapalpebral. Biasanya pasien dating diikuti dengan gejala mata merah, irigasi dan sensasi benda asing.14PterigiumPseudopterigiumPinguekulumOSSN

SebabProses degeneratifReaksi tubuh penyembuhan dari luka bakar, GO, difteri,dll.Iritasi atau kualitas higienitas air yang kurang.Dispalsia epitel sel squamous

SondeTidak dapat dimasukkan dibawahnyaDapat dimasukkan dibawahnya--

KekambuhanResidifTidakTidakTidak

UsiaDewasaAnak-anakDewasa dan anak-anakDewasa

LokasiSubkonjunctiva yang dapat mencapai korneaBisa terjadi darimana sajaTerbatas pada konjuntiva bulbiDi sekitar daerah limbus

J. PenatalaksanaanPasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.9Terapi KonservatifPengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.9Terapi pembedahanBedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

Mengganggu visus

Mengganggu pergerakan bola mata

Berkembang progresif

Mendahului suatu operasi intraokuler

Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum dan corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.7 Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium:1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium 10Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah yakni sekitar 30-50%.11 Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-iradiasi, dan metode pembedahan.7Transplantasi Membran Amnion

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterigium primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian konjungtiva bulbar. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu transplantasi membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autograft konjungtiva.7

Terapi adjuvant Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi pterigium. Beberapa alternatif medis lainnya, seperti 5-fluorouracil dan daunorubisin, juga telah dicoba.7

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat kekambuhan yang berhubungan dengan terapi mitomycin C secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada dasarnya dua bentuk aplikasi mitomycin C yang saat ini digunakan - aplikasi intraoperatif pada spons bedah yang direndam dalam larutan mitomycin C diterapkan secara langsung ke sclera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal sebagai obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan terkait penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak berbeda secara signifikan.7

Dadeya dan Kamlesh mendemonstrasikan secara statistik perbedaan signifikan dalam perbedaan tingkat kekambuhan pasien yang diobati dengan daunorubisin dan mereka yang diobati dengan plasebo air. Mata yang diobati lebih chemotic (20%), namun, dengan 6,7% setelah epitelisasi tertunda, dibandingkan dengan mata kontrol, yang tidak memiliki komplikasi yang sama.7

K. KomplikasiKomplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia.9

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Sclera dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.9Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.9L. PrognosisPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion.9

DAFTAR PUSTAKA1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics Of Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-13.2. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From : http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-2010.pdf. Accessed March 2015.3. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief Review. Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.4. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.5. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With Premalignant Features. The American Journal Of Pathology. 2011;178(2):817-27.6. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.7. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308313.8. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity, And Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:134146.9. Fisher Pj. Pterigium. Updated : 2012. Available From: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall Accessed March 2015.10. Khurana Ka. Diseases Of The Conjunctiva. In:, Khurana Ka, Editors. Comprehensive Ophthalmology 4th Ed. New Delhi: New Age International. 2007. P. 51 - 82.

11. Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online]. 2010. [Cited March 2015]. Availble From : http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pterigium.pdf. 12. Detorakis T, Spandidos Demetrios. Pathogenetic mechanisms and treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives (Review). Department Of Opthalmology, University Hospital of Heraklion,Crete, Greece. 2009.13. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Updated : 2009. Available From: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf Accessed. March 2015.14. Radhakrishnan Anil. Ocular Surface Squamous Neoplasia [OSSN] A Brief Review. Amrita Institute Of Medical Sciences, Kochi. 201332