Referat Open Fracture

33
REFRAT RSOP “MENGAPA OPEN FRACTURE MERUPAKAN EMERGENSI ORTHOPAEDI” Oleh: Izzatul Muna G9911112083 Nuri Puspitasari G9911112114 Nurul Fitri Syarifah G9911112117 Pembimbing:

Transcript of Referat Open Fracture

Page 1: Referat Open Fracture

REFRAT RSOP

“MENGAPA OPEN FRACTURE

MERUPAKAN EMERGENSI ORTHOPAEDI”

Oleh:

Izzatul Muna G9911112083

Nuri Puspitasari G9911112114

Nurul Fitri Syarifah G9911112117

Pembimbing:

Anung Budi S., dr., Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSOP PROF. DR. R. SOEHARSO

SURAKARTA

2012

Page 2: Referat Open Fracture

HALAMAN PENGESAHAN

Refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Refrat dengan judul:

“MENGAPA OPEN FRACTURE MERUPAKAN EMERGENSI

ORTHOPAEDI”

Oleh :

Izzatul Muna G9911112083

Nuri Puspitasari G9911112114

Nurul Fitri Syarifah G9911112117

Pembimbing

Anung Budi S., dr., Sp.OT

2

Page 3: Referat Open Fracture

BAB I

PENDAHULUAN

Meningkatnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sistem transportasi,

baik di darat, laut, maupun udara menyebabkan peningkatan jumlah trauma pada

saat ini. Hal ini didukung oleh kegiatan olahraga yang semakin berkembang, baik

yang bersifat rekreasi maupun kompetitif, serta kegiatan perindustrian yang

semakin kompleks sehingga menyebabkan mobilisasi semakin meningkat (Salter,

1999).

Salah satu trauma muskuloskeletal yang menyebabkan morbiditas yang

tinggi adalah patah tulang terbuka. Patah tulang terbuka adalah terputusnya

kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan

oleh trauma, baik trauma langsung ataupun tidak lansung, yang berhubungan

dengan dunia luar atau rongga tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi

kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi (Bedah UGM,

2009).

Patah tulang terbuka dapat menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang

luas, yang meliputi kerusakan otot, vaskuler, dan syaraf. Kerusakan otot dapat

mengakibatkan komplikasi gas gangren yang bisa berakibat fatal bila tidak

ditangani dengan baik. Kerusakan vaskuler dapat menyebabkan terjadinya

kehilangan darah yang banyak sehingga terjadi syok. Delayed union dapat terjadi

jika aliran darah yang diperlukan untuk terjadinya menyatuan tulang tidak

memadai (Apley dan Solomon, 2001).

Patah tulang terbuka merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang

orthopaedi yang membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat yang mana

bersifat life saving dan life threatening (Koval and Zuckerman, 2006).

3

Page 4: Referat Open Fracture

BAB II

ISI

A. DEFINISI

Fraktur terbuka adalah putusnya kontinuitas jaringan tulang

dimana terjadi kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya yang

berhubungan langsung dengan dunia luar. Compound fracture merupakan

nama lain dari fraktur terbuka namun istilah tersebut sudah tidak

digunakan lagi (Koval & Zuckerman, 2006).

Berdasarkan gambaran di bidang orthopaedi, definisi fraktur

terbuka adalah suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan

luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri yang menyebabkan

timbulnya komplikasi berupa infeksi atau luka pada kulit, dapat berupa

tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh

karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (Rasjad,

2008).

Cedera jaringan lunak dalam fraktur terbuka mungkin memiliki

tiga konsekuensi penting:

- Kontaminasi dari luka dan patah tulang oleh paparan lingkungan.

- Peremukan, pengelupasan, dan devaskularisasi menyebabkan jaringan

lunak rentan terhadap infeksi.

- Kerusakan atau kehilangan jaringan lunak dapat mempengaruhi

metode imobilisasi fraktur, membahayakan kontribusi dari jaringan

lunak di atasnya untuk penyembuhan (misalnya, kontribusi sel

osteoprogenitor), dan mengakibatkan hilangnya fungsi dari otot, saraf,

tendon, pembuluh darah , ligamen, atau kerusakan kulit.

4

Page 5: Referat Open Fracture

B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Penyebab dari fraktur terbuka adalah trauma langsung berupa

benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut,

serta trauma tidak langsung bilamana titik tumpul benturan dengan

terjadinya fraktur berjauhan. Sedangkan hubungan dengan dunia luar

dapat terjadi karena:

1. Penyebab rudapaksa merusak kulit, jaringan lunak dan tulang.

2. Fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit.

Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian

korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak mengalami cidera yang dapat

menyebabkan keadaan yang menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan

yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah

cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang

hebat yang mengakibatkan syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002),

sementara kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan

kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralisis yang menetap pada

fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah

cidera.

Pada patah tulang, pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat

patah, kedalam jaringan lemak tulang tersebut, jaringan lunak juga

biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat

setelah fraktur. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan

peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan

sisa – sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma

fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru.

Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru immatur yang

disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru

mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Mansjoer Arief,

2002).

5

Page 6: Referat Open Fracture

Pada fraktur terbuka dapat menyebabkan terjadinya berbagai

macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada patah tulang terbuka

bisa berupa komplikasi lokalis maupun generalis. Komplikasi langsung

dapat berupa kehilangan darah, shock, fat embolism, dan kegagalan

kardiovaskular. Komplikasi lokalis yang terjadi dapat dibagi menjadi

komplikasi dini yaitu yang terjadi bersamaan dengan terjadinya patah

tulang atau dalam minggu pertama dan komplikasi lambat (Apley dan

Solomon, 2001).

Komplikasi Dini :

1. Lesi Vaskuler

Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan

vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan

cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi

iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan

kegagalan organ multipel.

Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya

trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.

Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar,

iskemia, hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai

tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering pada trauma arteri

ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri

terus-menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia.

Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan

auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda

akut iskemia.

Adanya tanda trauma vaskular pada fraktur terbuka merupakan

suatu indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya

trauma vaskular. Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma

vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah tulang

tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah

adanya defisit neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa

6

Page 7: Referat Open Fracture

baal dan penurunan kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah

yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas

akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak

menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri

kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan

(Rasjad, 2008).

Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma vaskuler antara

lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma

palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang

dapat terjadi segera pascaoperasi, sedangkan fistula arteri-vena dan

aneurisma palsu merupakan komplikasi lama. Rekomstruksi

pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti

sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau

penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat

fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau

terjadi emboli paru (Apley et al., 2001).

2. Sindroma Kompartemen

Patah tulang pada lengan kaki dapat menimbulkan hebat

sekalipun tidak ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema,

radang, dan infeksi dapat meningkatkan tekanan pada salah satu

kompartemen osteofasia. Terjadi penurunan aliran kapiler yang

mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih

jauh, sehingga mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan

iskemia yang lebih hebat. Lingkaran setan ini terus berlanjut dan

berakhir dengan nekrosis saraf dan otot dalam kompartemen setelah

kurang lebih 12 jam (Apley dan Solomon, 2001).

Meningkatnya tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena

dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat

hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik

ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan

kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam

7

Page 8: Referat Open Fracture

kompartemen semakin meningkat. Penekanan saraf perifer

disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Bila terjadi peningkatan

intra kompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah

melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran

oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale).

Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang

akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Secara

klasik terdapat 5 P yang menggambarkan gejala klinis sindroma

kompartemen, yaitu:

a. Pain

b. Paresthesia

c. Pallor

d. Paralysis

e. Pulseness Osteomyelitis Akut

3. . Gas Gangren

Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi

klostridium, terutama C. welchii. Organisme anaerob ini dapat hidup

dan berkembang biak hanya dalam jaringan dengan tekanan oksigen

yang rendah; karena itu, tempat utama infeksinya adalah luka yang

kotor dengan otot mati yang telah ditutup tanpa debridemen yang

memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini menghancurkan

dinding sel dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan,

sehingga memudahkan penyebaran penyakit itu (Apley dan Solomon,

2001).

4. Septic Arthritis

Septic arthritis merupakan proses infeksi bakteri piogenik pada

sendi yang jika tidak segera ditangani dapat berlanjut menjadi

kerusakan pada sendi. Artritis septik karena infeksi bakterial

merupakan penyakit yang serius yang cepat merusak kartilago hyalin

artikular dan kehilangan fungsi sendi yang irreversibel.

8

Page 9: Referat Open Fracture

Penyebab artritis septik merupakan multifaktorial dan

tergantung pada interaksi patogen bakteri dan respon imun hospes.

Proses yang terjadi pada sendi alami dapat dibagi pada tiga tahap

yaitu kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan induksi respon

inflamasi hospes. Kolonisasi bakteri Sifat tropism jaringan dari

bakteri merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya infeksi

sendi. S.aureus memiliki reseptor bervariasi (adhesin) yang

memediasi perlengketan efektif pada jaringan sendi yang bervariasi.

Adhesin ini diatur secara ketat oleh faktor genetik, termasuh regulator

gen asesori (agr), regulator asesori stafilokokus (sar), dan sortase

Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak,

malaise, nyeri lokal pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi,

dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak sendi. Sejumlah

pasien hanya mengeluh demam ringan saja. Demam dilaporkan 60-

80% kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada

30-40% kasus sampai lebih dari 39G C. Nyeri pada artritis septik

khasnya adalah nyeri berat dan terjadi saat istirahat maupun dengan

gerakan aktif maupun pasif.

Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup faktor

predisposisi, mencari sumber bakterimia yang transien atau menetap

(infeksi kulit, pneumonia, infeksi saluran kemih, adanya

tindakantindakan invasiv, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi

adanya penyakit sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma

sendi.

5 Osteomielitis Akut

Osteomielitis akut adalah infeksi tulang yang terjadi secara

akut.yang bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui

darah) dari fokus infeksi di tempat lain (misalnya Tonsil yang

terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas atas).

Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi ditempat

9

Page 10: Referat Open Fracture

di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi rendah

kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).

Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80%

infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada

osteomielitis meliputi Proteus, Pseudomonas dan Ecerichia coli.

Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten penisilin, nosokomial,

gram negatif dan anaerobik. Awitan osteomielitis setelah pembedahan

ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan stadium

I) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau

infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4

sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama

(stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2

tahun atau lebih setelah pembedahan.

Respons inisial terhadap infeksi adalah peningkatan

vaskularisasi dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada

pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia

dengan nekrosis tulang sehubungan dengan peningkatan dan dapat

menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya, kecuali bila

proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan terbentuk abses

tulang (Apley et al., 2001).

Komplikasi Lambat :

1. Penyembuhan Terlambat

Pada patah tulang panjang yang sangat tergeser dapat terjadi

robekan pada periosteum dan terjadi gangguan pada suplai darah

intramedular. Kekurangan suplai darah ini dapat menyebabkan pinggir

dari patah tulang menjadi nekrosis. Nekrosis yang luas akan menghambat

penyembuhan tulang. Kerusakan jaringan lunak dan pelepasan periosteum

juga dapat mengganggu penyembuhan tulang (Apley dan Solomon, 2001).

2. Non-Union

Bila keterlambatan penyembuhan tidak diketahui, meskipun patah

tulang telah diterapi dengan memadai, cenderung terjadi non-union.

10

Page 11: Referat Open Fracture

Penyebab lain ialah adanya celah yang terlalu lebar dan interposisi

jaringan (Apley dan Solomon, 2001).

3. Malunion

Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan,

seperti contoh angulasi, rotasi, atau pemendekan yang tidak dapat

diterima. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya patah tulang secara

cukup, kegagalan mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan,

atau kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang osteoporotik atau

kominutif (Apley dan Solomon, 2001).

4. Gangguan pertumbuhan

Pada anak-anak, kerusakan pada fisis dapat mengakibatkan

pertumbuhan yang abnormal atau terhambat. Patah tulang melintang pada

lempeng pertumbuhan tidak membawa bencana; patahan menjalar di

sepanjang lapisan hipertrofik dan lapisan berkapur dan tidak pada daerah

germinal maka, asalkan patah tulang ini direduksi dengan tepat, jarang

terdapat gangguan pertumbuhan. Tetapi patah tulang yang memisahkan

bagian epifisi pasti akan melintasi bagian fisis yang sedang tumbuh,

sehingga pertumbuhan selanjutnya dapat asimetris dan ujung tulang

berangulasi secara khas; jika seluruh fisis rusak, mungkin terjadi

perlambatan atau penghentian pertumbuhan sama sekali (Apley dan

Solomon, 2001).

Golden periode penanganan fraktur terbuka adalah kurang dari 6-8

jam dikarenakan proses dan pola pertumbuhan bakteri yang terjadi pada

luka fraktur terbukanya. Umumnya jenis bakteri yang sering ditemui pada

luka adalah golongan bakteri Staphylococcus. Staphylococcus aureus yang

patogenik dan yang bersifat invasif menghasilkan koagulase dan

cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik.

Setelah berjalan 6 jam pasca kejadian fraktur terbuka, bakteri

Stapylococcus aureus dapat mengadakan ikatan secara kimiawi ke dinding

sel-sel yang seharusnya mengalami penyembuhan berupa hematom,

inflamasi dan rekonstruksi. Setelah mengalami ikatan, bakteri ini akan

11

Page 12: Referat Open Fracture

mengeluarkan enterotoksin dan eksotoksin yang akhirnya dapat

menyebabkan osteomyelitis (Luchette, 2008).

C. KLASIFIKASI

Tujuan dari sistem klasifikasi patah tulang terbuka manapun adalah

untuk mengira keadaan fraktur dan parameter penatalaksanaan (Cross and

Swiontkowski, 2008). Walau banyak sistem klasifikasi untuk patah tulang

terbuka, sistem klasifikasi Gustillo-Anderson-lah yang paling sering

digunakan di seluruh dunia. Sistem ini menilai patah tulang terbuka

berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan lunak dan

kontaminasi, dan derajat fraktur (Gustillo et al, 1990). Hal-hal lain yang

juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan pada

saraf, energy transfer (derajat comminution dan periosteal stripping ), dan

wound dimension . Terdapat tiga macam patah tulang terbuka pada sistem

klasifikasi Gustillo-Anderson, dengan derajat yang ke tiga dibagi ke

dalam tiga subtype lagi berdasarkan kerusakan periosteal, Ada

tidaknya kontaminasi dan derajat kerusakan pembuluh darah (Gustillo et

al, 1990). Pengklasifikasian patah tulang terbuka menurut Gustillo-

Anderson adalah sebagai berikut:

1. Derajat I: Luka biasanya berupa tusukan kecil dan

bersih berukuran kurang dari 1 cm. Terdapat tulang yang

muncul dari luka tersebut. Sedikit kerusakan jaringan

lunak tanpa adanya crushing dan patah tulang tidak

kominutif. Patah tulang biasanya berupa sederhana,

melintang, atau oblik pendek. Biasanya berupa patah

tulang energi rendah.

12

Page 13: Referat Open Fracture

Gambar 1: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 1(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)

2. Derajat II: Luka lebih besar dari 1 cm, tanpa adanya skin flap

ataupun avulsion. Kerusakan pada jaringan lunak tidak begitu

banyak. Kominusi dan crushing injury terjadi hanya

sedang. Juga terdapat kontaminasi sedang. Bisanya juga

berupa patah tulang energi rendah.

Gambar 2: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 2(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)

3. Derajat III: Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan

lunak, struktur neurovaskuler, dengan adanya kontaminasi

pada luka. Dapat juga terjadi kehilangan jaringan lunak. Luka

yang berat dengan adanya high-energy transfer ke

tulang dan jaringan lunak. Biasanya disebabkan oleh

trauma kecepatan tinggi sehingga fraktur tidak stabil

13

Page 14: Referat Open Fracture

dan banyak komunisi. Amputasi traumatik, patah

tulang segemental terbuka, luka tembak kecepatan tinggi,

patah tulang terbuka lebih dari 8 jam, patah tulang terbuka

yang memerlukan perbaikan vaskuler juga termasuk dalam

derajat ini. derajat III ini dibagi lagi menjadi tiga

subtype:

a. Derajat IIIA : Tulang yang patah dapat

ditutupi oleh jaringan lunak, atau terdapat penutup

periosteal yang cukup pada tulang yang patah.

Gambar 3: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3a(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)

b. Derajat IIIB : Kerusakan atau kehilangan

jaringan lunak yang luas disertai dengan

pengelupasan periosteum dan komunisi yang

berat dari patahan tulang tersebut. Tulang

terekspos dengan kontaminasi yang massif.

Gambar 4: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3b(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)

14

Page 15: Referat Open Fracture

c. Derajat IIIC : Semua patah tulang terbuka

dengan kerusakan vaskuler yang perlu diberbaiki,

tanpa meilhat kerusakan jaringan lunak yang terjadi

(Apley dan Solomon, 2001 dan Gustillo et al, 1990).

Gambar 5: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3c(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)

Klasifikasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan

terapi. Klasifikasi ini juga menunjukkan resiko terjadinya

infeksi, dilihat dari derajat kontaminasi, derajat kerusakan

jaringan lunak, dan tindakan operatif pada patah tulang. Resiko

infeksi semakin meningkat seiring dengan derajat yang terjadi.

Resiko terjadinya infeksi pada derajat I adalah 0-12%, pada derajat II 2-

12%, dan pada derajat III 9-55%. Derajat patah tulang terbuka ini juga

sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi, delayed union

dan non-union, dan kecacatan atau penurunan fungsi

ekstermitas. Penentuan derajat patah tulang terbuka secara

definitive dilakukan setelah debridement yang adekuat telah

dilakukan (Gustillo et al, 1990).

15

Page 16: Referat Open Fracture

D. DIAGNOSIS

Anamnesis

Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik

yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan

untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan

cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan

mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

1. Syok, anemia atau perdarahan

2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang

belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen

3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.

Pemeriksaan lokal

1. Inspeksi (Look)

• Bandingkan dengan bagian yang sehat

• Perhatikan posisi anggota gerak

• Keadaan umum penderita secara keseluruhan

• Ekspresi wajah karena nyeri

• Lidah kering atau basah

• Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

• Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk

membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka

• Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa

hari

• Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan

kependekan

• Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-

organlain

• Perhatikan kondisi mental penderita

• Keadaan vaskularisasi

16

Page 17: Referat Open Fracture

1. Palpasi (Feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya

mengeluh sangatnyeri.

• Temperatur setempat yang meningkat

• Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya

disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat

fraktur pada tulang

• Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan

secara hati-hati

• Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi

arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai

dengan anggota gerak yang terkena

• Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian

distal daerah trauma , temperatur kulit

• Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk

mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai

3. Pergerakan (Move)

Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif

dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.

Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri

hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,

disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak

seperti pembuluh darah dan saraf.

4. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan

motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,

aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus

dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan

tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan

selanjutnya.

17

Page 18: Referat Open Fracture

5. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi

serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan

jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai

yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan

pemeriksaan radiologis.

18

Page 19: Referat Open Fracture

BAB III.

KESIMPULAN

Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan

lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga

timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang

yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya

oleh peluru atau trauma langsung.

Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan

penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko dan komplikasi dari fraktur

terbuka.. Hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena penyebab rudapaksa

merusak kulit, jaringan lunak dan tulang atau fragmen tulang merusak jaringan

lunak dan menembus kulit.

Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Karena itu

penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode

terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka tercapai.

19

Page 20: Referat Open Fracture

DAFTAR PUSTAKA

Apley A.G., Nagayam S., Solomon L., Warwick D. 2001. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures: Arnold

Apley, A.G., Nagayam S., Solomon, L., Warwick, D. (2001). Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. :Arnold

Bedah UGM.(2009). Fraktur Terbuka. Retrieved from http://www.bedahugm.net/tag/fraktur-terbuka/ ( 3 April 2012).

Cross & Swiontkowski. (2008). Treatment Principles in the Management of Open Fractures. Indian Journal of Orthopaedics. 42(4). 377-386.

Gustillo, R. B., Merkow, R. L., Templeman, D.(1990).The Management of Open Fractures. The Journal of Bone and Joints Surgery.72-A(2).299-304

http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html

Koval K.J. and Zuckerman J.D. 2006. Handbook of Fractures, 3rd Ed. Lippincott: Williams & Wilkins, pp: 20-29

Luchette F.A. 2008. East Practice Management Guidelines Work Group: Update to Practice Management Guidelines for Prophylactic Antibiotic Use in Open Fractures, Eastern Association For The Surgery Of Trauma. Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Standar Terapi Rumah Sakit Perjan RSUP. DR. M. Djamil Padang.

Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 346-370

Rasjad C. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone, pp: 332-334.

Sjamsuhidajat R. and Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC, pp: 840-841

20