Referat Open Fracture
-
Upload
nurulsyarifah4289 -
Category
Documents
-
view
320 -
download
11
Transcript of Referat Open Fracture
REFRAT RSOP
“MENGAPA OPEN FRACTURE
MERUPAKAN EMERGENSI ORTHOPAEDI”
Oleh:
Izzatul Muna G9911112083
Nuri Puspitasari G9911112114
Nurul Fitri Syarifah G9911112117
Pembimbing:
Anung Budi S., dr., Sp.OT
KEPANITERAAN KLINIK SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSOP PROF. DR. R. SOEHARSO
SURAKARTA
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Refrat dengan judul:
“MENGAPA OPEN FRACTURE MERUPAKAN EMERGENSI
ORTHOPAEDI”
Oleh :
Izzatul Muna G9911112083
Nuri Puspitasari G9911112114
Nurul Fitri Syarifah G9911112117
Pembimbing
Anung Budi S., dr., Sp.OT
2
BAB I
PENDAHULUAN
Meningkatnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sistem transportasi,
baik di darat, laut, maupun udara menyebabkan peningkatan jumlah trauma pada
saat ini. Hal ini didukung oleh kegiatan olahraga yang semakin berkembang, baik
yang bersifat rekreasi maupun kompetitif, serta kegiatan perindustrian yang
semakin kompleks sehingga menyebabkan mobilisasi semakin meningkat (Salter,
1999).
Salah satu trauma muskuloskeletal yang menyebabkan morbiditas yang
tinggi adalah patah tulang terbuka. Patah tulang terbuka adalah terputusnya
kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh trauma, baik trauma langsung ataupun tidak lansung, yang berhubungan
dengan dunia luar atau rongga tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi
kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi (Bedah UGM,
2009).
Patah tulang terbuka dapat menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang
luas, yang meliputi kerusakan otot, vaskuler, dan syaraf. Kerusakan otot dapat
mengakibatkan komplikasi gas gangren yang bisa berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kerusakan vaskuler dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan darah yang banyak sehingga terjadi syok. Delayed union dapat terjadi
jika aliran darah yang diperlukan untuk terjadinya menyatuan tulang tidak
memadai (Apley dan Solomon, 2001).
Patah tulang terbuka merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang
orthopaedi yang membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat yang mana
bersifat life saving dan life threatening (Koval and Zuckerman, 2006).
3
BAB II
ISI
A. DEFINISI
Fraktur terbuka adalah putusnya kontinuitas jaringan tulang
dimana terjadi kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya yang
berhubungan langsung dengan dunia luar. Compound fracture merupakan
nama lain dari fraktur terbuka namun istilah tersebut sudah tidak
digunakan lagi (Koval & Zuckerman, 2006).
Berdasarkan gambaran di bidang orthopaedi, definisi fraktur
terbuka adalah suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri yang menyebabkan
timbulnya komplikasi berupa infeksi atau luka pada kulit, dapat berupa
tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh
karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (Rasjad,
2008).
Cedera jaringan lunak dalam fraktur terbuka mungkin memiliki
tiga konsekuensi penting:
- Kontaminasi dari luka dan patah tulang oleh paparan lingkungan.
- Peremukan, pengelupasan, dan devaskularisasi menyebabkan jaringan
lunak rentan terhadap infeksi.
- Kerusakan atau kehilangan jaringan lunak dapat mempengaruhi
metode imobilisasi fraktur, membahayakan kontribusi dari jaringan
lunak di atasnya untuk penyembuhan (misalnya, kontribusi sel
osteoprogenitor), dan mengakibatkan hilangnya fungsi dari otot, saraf,
tendon, pembuluh darah , ligamen, atau kerusakan kulit.
4
B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyebab dari fraktur terbuka adalah trauma langsung berupa
benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut,
serta trauma tidak langsung bilamana titik tumpul benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan. Sedangkan hubungan dengan dunia luar
dapat terjadi karena:
1. Penyebab rudapaksa merusak kulit, jaringan lunak dan tulang.
2. Fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit.
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian
korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak mengalami cidera yang dapat
menyebabkan keadaan yang menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan
yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah
cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang
hebat yang mengakibatkan syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002),
sementara kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan
kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralisis yang menetap pada
fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah
cidera.
Pada patah tulang, pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah, kedalam jaringan lemak tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan
sisa – sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma
fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru immatur yang
disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Mansjoer Arief,
2002).
5
Pada fraktur terbuka dapat menyebabkan terjadinya berbagai
macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada patah tulang terbuka
bisa berupa komplikasi lokalis maupun generalis. Komplikasi langsung
dapat berupa kehilangan darah, shock, fat embolism, dan kegagalan
kardiovaskular. Komplikasi lokalis yang terjadi dapat dibagi menjadi
komplikasi dini yaitu yang terjadi bersamaan dengan terjadinya patah
tulang atau dalam minggu pertama dan komplikasi lambat (Apley dan
Solomon, 2001).
Komplikasi Dini :
1. Lesi Vaskuler
Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan
vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan
cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi
iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan
kegagalan organ multipel.
Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya
trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar,
iskemia, hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai
tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering pada trauma arteri
ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri
terus-menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia.
Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan
auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda
akut iskemia.
Adanya tanda trauma vaskular pada fraktur terbuka merupakan
suatu indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya
trauma vaskular. Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma
vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah tulang
tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah
adanya defisit neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa
6
baal dan penurunan kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah
yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas
akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak
menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri
kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan
(Rasjad, 2008).
Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma vaskuler antara
lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma
palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang
dapat terjadi segera pascaoperasi, sedangkan fistula arteri-vena dan
aneurisma palsu merupakan komplikasi lama. Rekomstruksi
pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti
sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau
penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat
fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau
terjadi emboli paru (Apley et al., 2001).
2. Sindroma Kompartemen
Patah tulang pada lengan kaki dapat menimbulkan hebat
sekalipun tidak ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema,
radang, dan infeksi dapat meningkatkan tekanan pada salah satu
kompartemen osteofasia. Terjadi penurunan aliran kapiler yang
mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih
jauh, sehingga mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan
iskemia yang lebih hebat. Lingkaran setan ini terus berlanjut dan
berakhir dengan nekrosis saraf dan otot dalam kompartemen setelah
kurang lebih 12 jam (Apley dan Solomon, 2001).
Meningkatnya tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena
dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat
hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik
ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam
7
kompartemen semakin meningkat. Penekanan saraf perifer
disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Bila terjadi peningkatan
intra kompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah
melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran
oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale).
Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Secara
klasik terdapat 5 P yang menggambarkan gejala klinis sindroma
kompartemen, yaitu:
a. Pain
b. Paresthesia
c. Pallor
d. Paralysis
e. Pulseness Osteomyelitis Akut
3. . Gas Gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi
klostridium, terutama C. welchii. Organisme anaerob ini dapat hidup
dan berkembang biak hanya dalam jaringan dengan tekanan oksigen
yang rendah; karena itu, tempat utama infeksinya adalah luka yang
kotor dengan otot mati yang telah ditutup tanpa debridemen yang
memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini menghancurkan
dinding sel dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan,
sehingga memudahkan penyebaran penyakit itu (Apley dan Solomon,
2001).
4. Septic Arthritis
Septic arthritis merupakan proses infeksi bakteri piogenik pada
sendi yang jika tidak segera ditangani dapat berlanjut menjadi
kerusakan pada sendi. Artritis septik karena infeksi bakterial
merupakan penyakit yang serius yang cepat merusak kartilago hyalin
artikular dan kehilangan fungsi sendi yang irreversibel.
8
Penyebab artritis septik merupakan multifaktorial dan
tergantung pada interaksi patogen bakteri dan respon imun hospes.
Proses yang terjadi pada sendi alami dapat dibagi pada tiga tahap
yaitu kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan induksi respon
inflamasi hospes. Kolonisasi bakteri Sifat tropism jaringan dari
bakteri merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya infeksi
sendi. S.aureus memiliki reseptor bervariasi (adhesin) yang
memediasi perlengketan efektif pada jaringan sendi yang bervariasi.
Adhesin ini diatur secara ketat oleh faktor genetik, termasuh regulator
gen asesori (agr), regulator asesori stafilokokus (sar), dan sortase
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak,
malaise, nyeri lokal pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi,
dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak sendi. Sejumlah
pasien hanya mengeluh demam ringan saja. Demam dilaporkan 60-
80% kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada
30-40% kasus sampai lebih dari 39G C. Nyeri pada artritis septik
khasnya adalah nyeri berat dan terjadi saat istirahat maupun dengan
gerakan aktif maupun pasif.
Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup faktor
predisposisi, mencari sumber bakterimia yang transien atau menetap
(infeksi kulit, pneumonia, infeksi saluran kemih, adanya
tindakantindakan invasiv, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi
adanya penyakit sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma
sendi.
5 Osteomielitis Akut
Osteomielitis akut adalah infeksi tulang yang terjadi secara
akut.yang bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui
darah) dari fokus infeksi di tempat lain (misalnya Tonsil yang
terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas atas).
Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi ditempat
9
di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi rendah
kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80%
infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada
osteomielitis meliputi Proteus, Pseudomonas dan Ecerichia coli.
Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten penisilin, nosokomial,
gram negatif dan anaerobik. Awitan osteomielitis setelah pembedahan
ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan stadium
I) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau
infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4
sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama
(stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2
tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respons inisial terhadap infeksi adalah peningkatan
vaskularisasi dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada
pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia
dengan nekrosis tulang sehubungan dengan peningkatan dan dapat
menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya, kecuali bila
proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan terbentuk abses
tulang (Apley et al., 2001).
Komplikasi Lambat :
1. Penyembuhan Terlambat
Pada patah tulang panjang yang sangat tergeser dapat terjadi
robekan pada periosteum dan terjadi gangguan pada suplai darah
intramedular. Kekurangan suplai darah ini dapat menyebabkan pinggir
dari patah tulang menjadi nekrosis. Nekrosis yang luas akan menghambat
penyembuhan tulang. Kerusakan jaringan lunak dan pelepasan periosteum
juga dapat mengganggu penyembuhan tulang (Apley dan Solomon, 2001).
2. Non-Union
Bila keterlambatan penyembuhan tidak diketahui, meskipun patah
tulang telah diterapi dengan memadai, cenderung terjadi non-union.
10
Penyebab lain ialah adanya celah yang terlalu lebar dan interposisi
jaringan (Apley dan Solomon, 2001).
3. Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan,
seperti contoh angulasi, rotasi, atau pemendekan yang tidak dapat
diterima. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya patah tulang secara
cukup, kegagalan mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan,
atau kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang osteoporotik atau
kominutif (Apley dan Solomon, 2001).
4. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak, kerusakan pada fisis dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang abnormal atau terhambat. Patah tulang melintang pada
lempeng pertumbuhan tidak membawa bencana; patahan menjalar di
sepanjang lapisan hipertrofik dan lapisan berkapur dan tidak pada daerah
germinal maka, asalkan patah tulang ini direduksi dengan tepat, jarang
terdapat gangguan pertumbuhan. Tetapi patah tulang yang memisahkan
bagian epifisi pasti akan melintasi bagian fisis yang sedang tumbuh,
sehingga pertumbuhan selanjutnya dapat asimetris dan ujung tulang
berangulasi secara khas; jika seluruh fisis rusak, mungkin terjadi
perlambatan atau penghentian pertumbuhan sama sekali (Apley dan
Solomon, 2001).
Golden periode penanganan fraktur terbuka adalah kurang dari 6-8
jam dikarenakan proses dan pola pertumbuhan bakteri yang terjadi pada
luka fraktur terbukanya. Umumnya jenis bakteri yang sering ditemui pada
luka adalah golongan bakteri Staphylococcus. Staphylococcus aureus yang
patogenik dan yang bersifat invasif menghasilkan koagulase dan
cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik.
Setelah berjalan 6 jam pasca kejadian fraktur terbuka, bakteri
Stapylococcus aureus dapat mengadakan ikatan secara kimiawi ke dinding
sel-sel yang seharusnya mengalami penyembuhan berupa hematom,
inflamasi dan rekonstruksi. Setelah mengalami ikatan, bakteri ini akan
11
mengeluarkan enterotoksin dan eksotoksin yang akhirnya dapat
menyebabkan osteomyelitis (Luchette, 2008).
C. KLASIFIKASI
Tujuan dari sistem klasifikasi patah tulang terbuka manapun adalah
untuk mengira keadaan fraktur dan parameter penatalaksanaan (Cross and
Swiontkowski, 2008). Walau banyak sistem klasifikasi untuk patah tulang
terbuka, sistem klasifikasi Gustillo-Anderson-lah yang paling sering
digunakan di seluruh dunia. Sistem ini menilai patah tulang terbuka
berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan lunak dan
kontaminasi, dan derajat fraktur (Gustillo et al, 1990). Hal-hal lain yang
juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan pada
saraf, energy transfer (derajat comminution dan periosteal stripping ), dan
wound dimension . Terdapat tiga macam patah tulang terbuka pada sistem
klasifikasi Gustillo-Anderson, dengan derajat yang ke tiga dibagi ke
dalam tiga subtype lagi berdasarkan kerusakan periosteal, Ada
tidaknya kontaminasi dan derajat kerusakan pembuluh darah (Gustillo et
al, 1990). Pengklasifikasian patah tulang terbuka menurut Gustillo-
Anderson adalah sebagai berikut:
1. Derajat I: Luka biasanya berupa tusukan kecil dan
bersih berukuran kurang dari 1 cm. Terdapat tulang yang
muncul dari luka tersebut. Sedikit kerusakan jaringan
lunak tanpa adanya crushing dan patah tulang tidak
kominutif. Patah tulang biasanya berupa sederhana,
melintang, atau oblik pendek. Biasanya berupa patah
tulang energi rendah.
12
Gambar 1: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 1(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
2. Derajat II: Luka lebih besar dari 1 cm, tanpa adanya skin flap
ataupun avulsion. Kerusakan pada jaringan lunak tidak begitu
banyak. Kominusi dan crushing injury terjadi hanya
sedang. Juga terdapat kontaminasi sedang. Bisanya juga
berupa patah tulang energi rendah.
Gambar 2: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 2(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
3. Derajat III: Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan
lunak, struktur neurovaskuler, dengan adanya kontaminasi
pada luka. Dapat juga terjadi kehilangan jaringan lunak. Luka
yang berat dengan adanya high-energy transfer ke
tulang dan jaringan lunak. Biasanya disebabkan oleh
trauma kecepatan tinggi sehingga fraktur tidak stabil
13
dan banyak komunisi. Amputasi traumatik, patah
tulang segemental terbuka, luka tembak kecepatan tinggi,
patah tulang terbuka lebih dari 8 jam, patah tulang terbuka
yang memerlukan perbaikan vaskuler juga termasuk dalam
derajat ini. derajat III ini dibagi lagi menjadi tiga
subtype:
a. Derajat IIIA : Tulang yang patah dapat
ditutupi oleh jaringan lunak, atau terdapat penutup
periosteal yang cukup pada tulang yang patah.
Gambar 3: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3a(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
b. Derajat IIIB : Kerusakan atau kehilangan
jaringan lunak yang luas disertai dengan
pengelupasan periosteum dan komunisi yang
berat dari patahan tulang tersebut. Tulang
terekspos dengan kontaminasi yang massif.
Gambar 4: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3b(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
14
c. Derajat IIIC : Semua patah tulang terbuka
dengan kerusakan vaskuler yang perlu diberbaiki,
tanpa meilhat kerusakan jaringan lunak yang terjadi
(Apley dan Solomon, 2001 dan Gustillo et al, 1990).
Gambar 5: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3c(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
Klasifikasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan
terapi. Klasifikasi ini juga menunjukkan resiko terjadinya
infeksi, dilihat dari derajat kontaminasi, derajat kerusakan
jaringan lunak, dan tindakan operatif pada patah tulang. Resiko
infeksi semakin meningkat seiring dengan derajat yang terjadi.
Resiko terjadinya infeksi pada derajat I adalah 0-12%, pada derajat II 2-
12%, dan pada derajat III 9-55%. Derajat patah tulang terbuka ini juga
sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi, delayed union
dan non-union, dan kecacatan atau penurunan fungsi
ekstermitas. Penentuan derajat patah tulang terbuka secara
definitive dilakukan setelah debridement yang adekuat telah
dilakukan (Gustillo et al, 1990).
15
D. DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
• Bandingkan dengan bagian yang sehat
• Perhatikan posisi anggota gerak
• Keadaan umum penderita secara keseluruhan
• Ekspresi wajah karena nyeri
• Lidah kering atau basah
• Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
• Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka
• Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa
hari
• Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
• Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-
organlain
• Perhatikan kondisi mental penderita
• Keadaan vaskularisasi
16
1. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangatnyeri.
• Temperatur setempat yang meningkat
• Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
• Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
• Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena
• Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit
• Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
17
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.
18
BAB III.
KESIMPULAN
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga
timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang
yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya
oleh peluru atau trauma langsung.
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko dan komplikasi dari fraktur
terbuka.. Hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena penyebab rudapaksa
merusak kulit, jaringan lunak dan tulang atau fragmen tulang merusak jaringan
lunak dan menembus kulit.
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Karena itu
penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode
terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka tercapai.
19
DAFTAR PUSTAKA
Apley A.G., Nagayam S., Solomon L., Warwick D. 2001. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures: Arnold
Apley, A.G., Nagayam S., Solomon, L., Warwick, D. (2001). Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. :Arnold
Bedah UGM.(2009). Fraktur Terbuka. Retrieved from http://www.bedahugm.net/tag/fraktur-terbuka/ ( 3 April 2012).
Cross & Swiontkowski. (2008). Treatment Principles in the Management of Open Fractures. Indian Journal of Orthopaedics. 42(4). 377-386.
Gustillo, R. B., Merkow, R. L., Templeman, D.(1990).The Management of Open Fractures. The Journal of Bone and Joints Surgery.72-A(2).299-304
http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html
Koval K.J. and Zuckerman J.D. 2006. Handbook of Fractures, 3rd Ed. Lippincott: Williams & Wilkins, pp: 20-29
Luchette F.A. 2008. East Practice Management Guidelines Work Group: Update to Practice Management Guidelines for Prophylactic Antibiotic Use in Open Fractures, Eastern Association For The Surgery Of Trauma. Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Standar Terapi Rumah Sakit Perjan RSUP. DR. M. Djamil Padang.
Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 346-370
Rasjad C. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone, pp: 332-334.
Sjamsuhidajat R. and Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC, pp: 840-841
20