Referat Obgyn

43
Referat Post Partum Depresi Disusun Oleh: Dafid Pratama 406147037 Pembimbing: dr. Freddy Dinata , Sp. OG

description

referat

Transcript of Referat Obgyn

Referat

Post Partum Depresi

Disusun Oleh:

Dafid Pratama

406147037

Pembimbing:

dr. Freddy Dinata , Sp. OG

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan

Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Jakarta

HALAMAN PENGESAHAN

Nama: Dafid Pratama

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Tarumanagara

Tingkat: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang pendidikan: Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan

Periode Kepaniteraan Klinik:

Judul Referat: Post Partum Depresi

Pembimbing: dr. Freddy Dinata, Sp.OG

Telah diperiksa dan disahkan tanggal :

Disetujui

Pembimbing,

dr. Freddy Dinata, Sp.OG

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSUD Ciawi. Dengan bekal pengetahuan dan pengarahan serta bimbingan yang diperoleh sebelumnya dan selama menjalani kepaniteraan, penulis menyusun referat berjudul Post Partum Depresi. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Freddy Dinata, Sp.OG yang telah membimbing dan membantu dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran diterima dengan tangan terbuka. Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui sedikit banyak mengenai Post Partum Depresi .

Ciawi, Agustus 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN 2

Kata Pengantar 3

Daftar Isi 4

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1. Definisi6

2.2. Epidemologi 6

2.3. Mikrobiologi 7

2.4. Patofisiologi 8

2.5. Manifestasi klinis 10

2.6. Diagnosis 14

2.7. Diagnosis banding15

2.8. Penatalaksanaan 16

2.9. Komplikasi 21

2.10. Prognosis 22

BAB III KESIMPULAN 25

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Secara umum sebagian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah melahirkan. Bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi, mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional. Gangguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara.

Sebagian perempuan menganggap bahwa masamasa setelah melahirkan adalah masamasa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Gangguangangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulanbulan atau bertahun tahun lamanya.

Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan postpartum psychosis.

Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Definisi

Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi pada 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan. Pasien akan mengalami gejala affektive selama periode postpartum, 4 sampai 6 minggu setelah melahirkan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV), sebuah depresi dipertimbangkan sebagai postpartum jika dimulai selama empat minggu setelah kelahiran. Pola gejala pada wanita dengan depresi postpartum sama pada wanita yang mengalami masa depresi selama tidak hamil. Susah berinteraksi dengan perawat dalam keadaan stres dan bayi meningkatkan resiko pendekatan yang tidak aman dan terjadinya masalah kognitiv dan sifat pada anak1,3.

II.2. Epidemiologi2

Karena penggunaan luas dari imunisasi tetanus, kejadian dari tetanus di Amerika Serikat telah berkurang secara bermakna sejak pertengahan tahun 1940.

C tetani dapat ditemukan di tanah, benda sekitar, kotoran binatang, dan kotoran manusia. Tetanus secara umum merupakan penyakit pada negara kurang berkembang. Kuman ini sering pada daerah yang tanahnya diolah, daerah pedesaan, iklim hangat, pada musim panas, dan laki-laki. Pada negara yang tidak memiliki program imunisasi yang komprehensif, tetanus biasanya ada pada neonatus dan anak-anak.

Pada negara berkembang kejadian dari tetanus mirip dengan yang diamati di Amerika Serikat. Secara singkat, hanya 126 kasus dari tetanus yang dilaporkan di Inggris dan Australia dari 1984 1992.

Walaupun tetanus terdapat pada semua, prevalensi tertinggi terdapat pada bayi baru lahir dan anak-anak. Pada 1992, sekitar 578.000 kematian bayi disebabkan karena tetanus neonatus. Pada 1998, 215.000 kematian, lebih dari 50% berasal dari Afrika. Tetanus merupakan target penyakit dari World Health Organization (WHO) Program Perluasan pada imunisasi. Secara umum, insidensi dari tetanus merupakan 0,5-1 juta kasus. WHO memperkirakan pada 2002, sekitar 213.000 kematian dari tetanus, 198.000 di antaranya merupakan anak berumur di bawah 5 tahun.

Pengguna heroin, yang menyuntikkan dirinya sendiri secara subkutan, nampak memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena tetanus. Quinine yang digunakan untuk melarutkan heroin dan dapat membantu pertumbuhan dari C tetani. Kejadian tetanus pada orang yang menyuntikkan obatnya sendiri meningkat 7,4% antara tahun 1991 dan 1998, dari 3,6% pada semua kasus antara 1991-1994 menjadi 11% pada tahun 1995-1997. Pengguna obat suntik menjadi 15% dari kasus tetanus di USA antara tahun 1998-2000. Dari 19 orang yang menggunakan obat suntuk dan terinfeksi tetanus pada 1998-2000, hanya 1 yang mengalami luka akut.

II. 3. Mikrobiologi

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.

Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulanbulan bahkan sampai tahunan.

Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak. Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.

Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejangkejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari selsel darah merah.

II.4. Patogenesis

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.

Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. 5

Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai gnada dengan berat 150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang dipengarugi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika otkisn yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. 5

Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas. 5

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegahperlepasan neurotrnasmiter. 6

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu(karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah pemulihan.6

Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 6

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata. 6

II. 5. Manifestsi Klinis

Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari. Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelag 2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu samapi 4 minggu. 5

Ada berbagai macam bentuk dari tetanus, biasanya dibagi beradasar lokal, sefalik, dan generalisata.1

Tetanus Generalisata

Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.

Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan menuunjukkan trismus.

Dalam 2448 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otototot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.

Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otototot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.

Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hatihati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.

Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:

1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum

walaupun dirangsang.

2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum

bila dirangsang.

3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum

yang spontan.

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:

Grade 1: ringan

- Masa inkubasi lebih dari 14 hari

- Period of onset > 6 hari

- Trismus positif tetapi tidak berat

- Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.

Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan

kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.

Grade II: sedang

- Masa inkubasi 1014 hari

- Period of onset 3 had atau kurang

- Trismus ada dan disfagia ada.

Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis

tidak ada.

Grade III: berat

- Masa inkubasi < 10 hari

- Period of onset 3 hari atau kurang

- Trismus berat

- Disfagia berat.

Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat

banyak dan takikardia.

Tetanus Lokal

Merupakan bentuk tetanus benigna. Gejala awal berupa kekakuan, rasa tebal dan nyeri pada otot yang terdapat luka di sekitarnya, diikuti dengan kedutan atau spasme ringan pada otot yang terlibat. Tetanus lokal biasanya muncul dengan kaitan pada luka di tangan atau punggung tangan, jarang terjadi pada abdominal atau otot paravertebral. Secara bertahap, derajat dari spasme involunter menjadi berat. Terdapat tarikan yang terus menerus terhadap otot yang berkaitan dan resistensi dari bagian dengan gerak pasif. Pemaparan pada bagian ini dengan aktifitas motorik yang terus menerus atau kurang berkelanjutan menjadi singkat, spasme kuat, bertahan beberapa detik hingga menit dan timbul secara spontan atau dalam respon terhadap semua variasi stimulasi (Struppler et al). Pada awal penyakit mungkin terdapat periode dimana otot yang terkena lembut pada saat palpasi dan tampak relax. Manuver diagnostik yang berguna pada keadaan ini adalah dengan memerintahkan pasien untuk melakukan gerakan volunter repetitif, sepertti membuka dan menutup tangan, dengan hasil terdapat peningkatan yang bertahap pada kontraksi tonik dan spasme dari otot yang terlibat, diikuti dengan penyebaran ke kelompok otot sekitarnya (recruitment spasm). Walaupun hanya dengan tetanus lokal, adanya trismus merupakan tanda yang sangat berguna dalam mendiagnosa.

Gejala dapat terus ada pada tempat yang terlokalisir untuk beberapa minggu ataupun bulan. Secara bertahap spasme menjadi jarang muncul dan sulit untuk dibangkitkan, dan akhirnya hilang tanpa gejala sisa. Pulih total dapat diperkirakan, ketika tidak adanya perubahan patologis pada otot, saraf, medula spinalis ataupun otak, walaupun pada bentuk tetanus generalisata yang berat.

Cephalic tetanus

Merupakan bentuk tetanus yang disertai dengan luka pada wajah dan kepala. Masa inkubasinya singkat, 1-2 hari setelah timbulnya luka. Otot yang terlibat (biasanya fasial) menjadi lemah atau paralisis. Namun, dalam kenaikan dari spasme tetani, otot yang lumpuh nampak berkontraksi. Nampaknya, gangguan dari motor neuron fasial cukup untuk mencegah gerakan volunter tetapi tidak cukup untuk mencegah impuls reflex kuat yang dapat mengakibatkan spasme fasial. Spasme dapat melibatkan lidah dan tenggorokan, dengan disartria, disfonia, dan disfagia yang persisten. Oftalmoparesis bisa muncul tetapi sulit untuk dipastikan karena blefarospasme yang berat. Secara lebih dalam, bentuk tetanus sefalik merupakan contoh dari tetanus lokal yang bertahap menjadi generalisata. Banyak dari kasus ini yang menjadi fatal.

II.6. Diagnosis

Penegakkan diagnosa tetanus dibuat berdasarkan gejala klinis dan anamnesa adanya luka yang mendahului. Kejadian yang terakhir terkadang diungkapkan hanya setelah anamnesa yang teliti, luka yang terjadi dianggap tidak berarti, dilupakan dan telah sembuh sepenuhnya. Organisme dapat atau tidak dapat pulih dari luka seiring berjalannya waktu pasien menerima perhatian medis; pemeriksaan laboratorium, selain dari EMG, memiliki sedikit makna. Kadar serum CK dapat meningkat sedang jika terdapat kekakuan generalisata. EMG direkam dari otot yang spasme menunjukkan pengeluaran terus menerus dari unit motot normal seperti yang direkam dari kontraksi otot volunter secara kuat. Karakterisitik dari tetanus, seperti yang telah disebutkan, adalah hilangnya silent period fisiologis yang muncul 50 sampai 100ms setelah refleks kontraksi. Hilangnya periode ini, normalnya diproduksi oleh inhibisi rekuren oleh sel Renshaw, yang dihalangi oleh toksin tetanus. Pada tetanus generalisata hilangnya silent period dapat selalu dilihat pada masseter, dan ditemukan pada otot yang terkena pada tetanus lokal. 1

Tetani yang disebabkan karena hipokalsemi, spasme dari gigitan laba-laba, trismus sebagai akibat dari kondisi nyeri di dalam dan sekitar rahang bawah, disfagia pada rabies, spasme histerikal, kaku dan distonik yang disebabkan obat neuroleptik, dan spasme dari stiff man syndrome semua menyerupai spasme pada tetanus tetapi tidak sulit untuk membedakan ketika semua aspek dari kelainan di atas diperhatikan. Sebaliknya, diagnosa sulit untuk dibuat pada daerah nonendemis. 1

Pemeriksaan spatula merupakan suatu pemeriksaan sisi ranjang singkat yang mengikut dengan cara menyentuh orofaring dengan sebuah spatula atau spatel lidah. Pada keadaan normal, hal ini akan memicu reflex muntah, dan pasien mencoba untuk mengeluarkan spatula (hasil pemeriksaan negatif). Jika terdapat tetanus, pasien akan mengeluarkan refleks spasme dari masseter dan menggigit spatula (hasil pemeriksaan positif).2

Dari 400 pasien, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 94% dan spesifititas 100%. Tidak ada efek tambahan (seperti spasme laring) yang dilaporkan2

II. 7. Diagnosis Banding

1) Meningitis bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.

2) Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

3) Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.

4) Keracunan strichnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5) Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.

6) Retropharingeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

7) Tonsilitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.

8) Efek samping fenotiasin

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,

9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,

miositis leher dan spondilitis leher.

II. 8. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan pada pasien dengan tetanus termasuk2 :

Memberikan terapi suportif

Debridement (pembersihan luka) untuk menghilangkan spora dan mengubah kondisi untuk pertumbuhan bakteri

Menghentikkan produksi dari toksin pada luka

Menetralisir toksin yang tidak terikat

Mengontrol manifestasi penyakit

Mencegah komplikasi

Pasien sebaiknya dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Jika fasilitas kesehatan tidak memiliki ICU, pasien sebaiknya dipindahkan dengan menggunakan ambulans ke fasilitas kesehatan lain yang memiliki fasilitas ICU.2

Pada penatalaksanaan tetanus juga memiliki tujuan untuk mengurangi spasme otot dan untuk menjaga pasien dalam kondisi lemas untuk mencegah spasme yang tidak nyaman. Semua penatalaksanaan dan manipulasi harus diberikan dalam kadar minimal dan koordinasi dengan keluarga sehingga pasien dapat diberikan sedasi sebelumnya.1

Penatalaksanaan Suportif Awal dan Perawatan Luka2

Pasien sebaiknya dirawat di ICU. Karena resiko dari reflex spasme, ruang gelap dan tenang dibutuhkan untuk pasien dengan tetanus.

Intubasi profilaksis harus dengan matang dipertimbangkan pada semua pasien dengan derajat sedang hingga berat berdasar manifestasi klinis. Intubasi dan ventilasi diperlukan pada sekitar 67% pasien. Pemasangan intubasi endotrakeal dapat mencetuskan refleks laringospasme yang berat; persiapan harus disertai dengan kontrol airway operatif yang bersifat emergency. Teknik rapid sequence intubation (contoh dengan menggunakan suksinilkolin) direkomendasikan utnuk mencegah komplikasi.

Trakeostomi sebaiknya dilakukan pada pasien yang memerlukan intubasi lebih dari 10 hari. Trakeostomi juga direkomendasikan setelah onset dari kejang generalisata pertama.

Kemungkinan terjadinya tetanus berhubungan langsung dengan karakteristik luka. Luka yang baru terjadi dengan tepi tajam dengan vaskularisasi yang baik dan tidak terkontaminasi jarang menimbulkan tetanus. Luka lain dianggap terpapar dengan tetanus. Luka yang paling beresiko untuk terjadi tetanus adalah luka yang kotor dan terkontaminasi atau yang disebabkan karena trauma tumpul atau gigitan. Luka harus di eksplorasi, dibersihkan secara berhati-hati, dan dilakukan debridement secara baik.

Luka yang dianggap beresiko untuk terjadinya tetanus adalah :

Luka yang ada lebih dari 6 jam

Kedalaman luka >1cm

Luka terbuka yang terkontaminasi

Luka yang terpapar dengan saliva atau feses, iskemik atau infeksi (termasuk abses)

Luka tusuk, luka sobek atau crush injury

Jika terdapat indikasi untuk dilakukan debridement, maka tindakan ini dilakukan setelah pasien stabil. Rekomendasi saat ini yaitu dengan melakukan eksisi 2cm dari jaringan normal sekitar tepi luka. Abses harus dilakukan insisi dan drained. Karena resiko untuk terjadinya pelepasan tetanospasmin ke dalam darah, manipulasi pada luka harus ditunda hingga beberapa jam setelah pemberian antitoksin.

Penatalaksanaan farmakologi

Pemberian single dose dari antitoksin (3.000-6.000 U dari Human TIG) harus diberikan bersamaan dengan pemberian selama 10 hari penisilin (1.2juta U procaine penisilin setiap hari), metronidazole (500mg setiap 6 jam IV atau 400mg per rektal), atau tetrasiklin (2g per hari). Obat ini efektif dalam mengatasi bentuk vegetatif dari C tetani. Tindakan pembedahan segera dilakukan pada luka (eksisi atau debridement) yang harus dilakukan, dan jaringan sekitar luka harus diinfiltrasi dengan antitoksin. Sedasi dan pelumpuh otot; diazepam 120mg/ hari atau lebih dapat diberikan secara berkala dengan dosis terbagi jika support ventilator memungkinkan; atau dengan midazolam atau propofol yang digunakan secara berkelanjutan secara IV. Short-acting barbiturat atau chlorpromazine dapat digunakan, begitu juga dengan morfin. Baclofen intratekal dan pemberian terus menerus atropin melalui infus dapat digunakan pada kasus berat, dan injeksi toksin botulinum IM dapat digunakan pada trismus dan spasme lokal.1

Tetanus imuno globulin (TIG) direkomendasikan dalam penatalaksanaan tetanus. Harus diingat bawah TIG hanya membantu menghilangkan tetanus toksin yang tidak terikat; TIG tidak bekerja pada toksin yang terikat dengan nerve endings.2

Rekomendasi dari WHO adalah TIG 500 units injeksi IM atau IV - tergantung dari ketersediaan preparat sesegera mungkin; sebagai tambahan, 0,5mL sesuai usia vaksin yang mengandung tetanus toksoid (Td, Tdap, DT, DPT, DtaP, atau tetanus toksoid, tergantung pada umur atau alergi), diberikan secara injeksi IM di tempat terpisah.2

Penyakit tetanus tidak diinduksi dengan imunitas; pasien tanpa riwayat vaksin tetanus toksoid primer harus menerima dosis kedua 1-2 bulan setelah pemberian dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.2

Pengobatan Khusus:

a) Anti Tetanus toksin

Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:

- Toksin bebas dalam darah;

- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.

Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:

- Anamnesa apakah ada riwayat alergi;

- Tes kulit dan mata; dan

- Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.

Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.

Tes mata

Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva.

Tes kulit

Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm. Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap (Besredka).

Dosis

Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 12 jam.

b) Antikonvulsan dan sedatif

Obatobat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakangerakan volunter atau kesadaran.

Obatobat yang lazim digunakan ialah:

- Diazepam

Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahanlahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali.

- Fenobarbital

Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 59 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis.

- Largactil

Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.

c) Antibiotik.

- Penisilin Prokain

Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani. Dosis: 50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.

- Tetrasiklin dan Eritromisin

Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin.

Tetrasiklin : 3050 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.

Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.

d) Oksigen: Bila terjadi asfiksia dan sianosis.

e) Trakeostomi

Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:

- Spasme berkepanjangan dari otot respirasi

- Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan

- Obstruksi larings; dan

- Koma.

f) Hiperbarik

Diberikan oksigen murni pada tekanan 5 atmosfer.

Pencegahan

1) Perawatan luka

Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan spora tetanus.

2) Imunisasi pasif

Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:

- ATS dari serum kuda;

- Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).

Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat

- 15003000 u i.m

- 30005000 u i.m.

Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan mata. Dosis TIHG: 250500 u i.m. Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.

3) Imunisasi aktif

Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus.

Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.

- DPT : diberikan untuk imunisasi dasar

- DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan riwayat demam dan kejang

- TT: diberikan pada: ibu hamil

anak usia 13 tahun keatas.

Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,52 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler.

II. 9. Komplikasi

Laryngospasm (spasme pita suara) dan / atau kejang otot-otot respirasi menyebabkan gangguan bernapas. Patah tulang belakang atau tulang panjangyang diakibatkan dari kontraksi dan kejang-kejang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat mengakibatkan hipertensi dan / atau irama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomial karena perawatn di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat mencakup sepsis, didapatkan dari pemasangan kateter, pneumonia dan ulkus decubitus. 6

Tabel Komplikasi-komplikasi tetanus6

Sistem

Komplikasi

Jalan napas

Aspirasi

Laringospasme/obstruksi

Obstruksi berkaitan dengan sedatif

Respirasi

Apne

Hipoksia

Gagal nafas

ARDS

Komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)

Kardiovaskuler

Takikardia, hipertensi, iskemia

Hipotensi, bradikardia

Asistol, gagal jantung

Ginjal

High output renal failure

Gagal ginjal oligouria

Stasis urin dan infeksi

Gastrointestinal

Stasis gaster

Ileus

Diare

Perdarahan

Lain-lain

Penurunan berat badan

Tromboembolus

Sepsis dengan gagal organ multipel

Fraktur vertebra selama spasme

Ruptur tendon akibat spasme

II.10. Prognosis2

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philsips, Dakar, Udwadia) yang dilaporkan. 6

Tabel 1.1 Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips)

Variable

Tolak ukur

Nilai

Masa inkubasi

< 48 jam

2- 5 hari

6- 10 hari

11-14 hari

14 hari

5

4

3

2

1

Lokasi infeksi

Internal/umbilical

Leher, kepala, dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

Tidak diketahui

5

4

3

2

1

Imunisasi

Tidak ada

Mungkin ada/ibu dapat

>10 tahun lalu

16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:

DERAJAT I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spasitisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

DERAJAT II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang tampak jalas, spasme singkat sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 kali per menit, disfagia ringan.

DERAJAT III (berat) : Trismus berat, spasitisitas generalisata, spasme reflek berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali per menit, serangan apnea, disfagia berat, dan takikardi ( lebih dari 120 kali per menit).

DERAJAT IV (sangat berat) : Derajat III dengan gangguan otonomik berat, melibatkan sistem kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardi, salah satunya dapat menetap. 6

Mortalitas umumnya lebih banyak pada orang yang usianya lebih dari 60 tahun (40%) dan bagi mereka yang usianya 20-59 tahun (8%). Dari tahun 1998-2000,75% kematian di USA adalah pasien dengan usia lebih dari 60 tahun. Sebagai tambahan, mortalitas dicatat tinggi pada orang yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik (30%) dibandingkan yang tidak (4%).

Tingginya mortalitas dihubungkan dengan hal berikut :

Masa inkubasi yang singkat

Onset awal dari konvulsi

Terlambatnya penatalaksanaan

Lesi yang terkontaminasi pada kepala dan wajah

Tetanus neonatal

Tetanus secara klinis lebih ringan pada pasien yang menerima rangkaian imunisasi tetanus toxoid selama masa hidupnya dibandingkan dengan yang menerima vaksinasi tetapi tidak adekuat atau tidak diimunisasi sama sekali. Mortalitas di USA sekitar 6% pada individual yang sebelumnya menerima 1-2 dosis tetanus toxoid, dibandingkan dengan 15% individual yang tidak divaksinasi.

Sekuel residual neurologi jarang dijumpai. Mortalitas biasanya merupakan hasil disfungsi autonomi (contoh tekanan darah, disritmia, atau henti jantung).

BAB III

KESIMPULAN

Tetanus (lock jaw) merupakan sebuah kelainan dari neurotransmisi yang dihubungkan dengan infeksi dari Clostridium tetani.4 tetanus dikarakteristikkan dengan onset akut terhadap hipertonia, nyeri pada kontraksi muskular (biasanya otot dari rahang bawah dan leher), dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab medis lain yang nyata.2

C tetani dapat ditemukan di tanah, benda sekitar, kotoran binatang, dan kotoran manusia. Tetanus secara umum merupakan penyakit pada negara kurang berkembang. Kuman ini sering pada daerah yang tanahnya diolah, daerah pedesaan, iklim hangat, pada musim panas, dan laki-laki. Pada negara yang tidak memiliki program imunisasi yang komprehensif, tetanus biasanya ada pada neonatus dan anak-anak.

C tetani dapat ditemukan dari kotoran manusia dan banyak binatang, khususnya kuda, yang langsung berkontaminasi dengan tanah. Spora dari kuman ini tetap dorman selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, tetapi ketika terpapar pada luka, khususnya jika ada benda asing atau bakteri purulent, kuman ini berubah menjadi bentuk vegetatif, dimana memproduksi eksotoksin tetanospasmin.

Gejala klinis tetanus secara umum dibagi menjadi 3 yaitu tetanus generalisata, tetanus sefalik dan tetanus lokal.

Penegakkan diagnosa tetanus dibuat berdasarkan gejala klinis dan anamnesa adanya luka yang mendahului. Kejadian yang terakhir terkadang diungkapkan hanya setelah anamnesa yang teliti, luka yang terjadi dianggap tidak berarti, dilupakan dan telah sembuh sepenuhnya.

Pemeriksaan spatula merupakan suatu pemeriksaan sisi ranjang singkat yang mengikut dengan cara menyentuh orofaring dengan sebuah spatula atau spatel lidah. Pada keadaan normal, hal ini akan memicu reflex muntah, dan pasien mencoba untuk mengeluarkan spatula (hasil pemeriksaan negatif). Jika terdapat tetanus, pasien akan mengeluarkan refleks spasme dari masseter dan menggigit spatula (hasil pemeriksaan positif).2

Tujuan dari penatalaksanaan pada pasien dengan tetanus termasuk2 :

Memberikan terapi suportif

Debridement (pembersihan luka) untuk menghilangkan spora dan mengubah kondisi untuk pertumbuhan bakteri

Menghentikkan produksi dari toksin pada luka

Menetralisir toksin yang tidak terikat

Mengontrol manifestasi penyakit

Mencegah komplikasi

Pasien sebaiknya dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Jika fasilitas kesehatan tidak memiliki ICU, pasien sebaiknya dipindahkan dengan menggunakan ambulans ke fasilitas kesehatan lain yang memiliki fasilitas ICU.2

Pemberian single dose dari antitoksin (3.000-6.000 U dari Human TIG) harus diberikan bersamaan dengan pemberian selama 10 hari penisilin (1.2juta U procaine penisilin setiap hari), metronidazole (500mg setiap 6 jam IV atau 400mg per rektal), atau tetrasiklin (2g per hari). Obat ini efektif dalam mengatasi bentuk vegetatif dari C tetani

Tetanus imuno globulin (TIG) direkomendasikan dalam penatalaksanaan tetanus. Harus diingat bawah TIG hanya membantu menghilangkan tetanus toksin yang tidak terikat; TIG tidak bekerja pada toksin yang terikat dengan nerve endings.2

Rekomendasi dari WHO adalah TIG 500 units injeksi IM atau IV - tergantung dari ketersediaan preparat sesegera mungkin; sebagai tambahan, 0,5mL sesuai usia vaksin yang mengandung tetanus toksoid (Td, Tdap, DT, DPT, DtaP, atau tetanus toksoid, tergantung pada umur atau alergi), diberikan secara injeksi IM di tempat terpisah.2

Setiap orang harus diimunisasi untuk melawan tetanus dan menerima dosis tambahan toxoid setiap 10 tahun disiplin yang biasa diabaikan dalam manula.

Tingginya mortalitas dihubungkan dengan hal berikut :

Masa inkubasi yang singkat

Onset awal dari konvulsi

Terlambatnya penatalaksanaan

Lesi yang terkontaminasi pada kepala dan wajah

Tetanus neonatal

DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper A.H., Samuels M.A. Adams and Victors Principles of Neurology 9th ed. US: McGraw-Hill: 2009

2. Patrick B Hinfey, MD. Tetanus. Medscape : Mar 26, 2014. http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview#a0101

3. http://www.who.int/topics/tetanus/en/

4. David A. Greenberg, Michael J. Aminoff, Roger P. Simon. Clinical Neurology. 5th ed. US: McGraw-Hill : 2002

5. Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition. McGraw-Hill: United State. 2008.

6. Sudoyo, Aru. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI: Jakarta. 2006. Hal 1777-85.

6