Referat Kulit Ryan

20
TUGAS PRESENTASI KASUS TINEA CORPORIS Pembimbing : dr. Ismiralda Oke P. Sp. KK Disusun oleh : Ryan Aprilian Putri G1A009025

Transcript of Referat Kulit Ryan

Page 1: Referat Kulit Ryan

TUGAS PRESENTASI KASUS

TINEA CORPORIS

Pembimbing :

dr. Ismiralda Oke P. Sp. KK

Disusun oleh :

Ryan Aprilian Putri

G1A009025

JURUSAN KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2012

Page 2: Referat Kulit Ryan

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRESENTASI KASUS

TINEA CORPORIS

Diajukan sebagai syarat untuk melanjutkan proses pembelajaran

Blok Early Clinical and Community Exposure III

Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh :

Ryan Apirlian Putri G1A009025

Disahkan dan dipresentasikan

di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

pada Desember 2012

Pembimbing,

dr Ismiralda Oke P. Sp.KK

Page 3: Referat Kulit Ryan

I. PENDAHULUAN

Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh

baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak

berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. (Sobera, 2003.

Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan

tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya

menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar

pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis (Patel, 2006).

Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada pekerja

yang berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipatan

menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan infeksi.

Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang

terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya

handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.. Ada beberapa macam

variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan

kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari

jamur (Belson, 2004).

Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah

dengan iklim yang panas dan lembab, Tricophyton rubrum merupakan infeksi

yang paling umum diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea

korporis. Tricophyton tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum

menyebabkan tinea kapitis, dan orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik

akan berkembang menjadi tinea korporis. Prevalensi tinea korporis dapat

disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran, Microsporum canis

merupakan organisme ketiga sekitar 14 % menyebabkan tinea korporis (Rushing,

2012).

Page 4: Referat Kulit Ryan

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur

superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada

wajahm badan, lengan, dan tungkai (Siregar, 2008).. Manifestasi tinea

corporis akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak

berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya

menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya

tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis (Patel,

2006).

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan

dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin.

Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus,

yaitu Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp.

Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea korporis, penyebab

yang paling umum adalah Trichophyton Rubrum dan Trichophyton

Mentagrophytes (Patel, 2006)..

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi

pada iklim yang panas (tropis dan subtropis). Ada beberapa macam variasi

klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan

kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari

jamur (Goedadi, 2004).

Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya penyakit ini antara lain

(Rushing, 2006)

a) Kebersihan badan yang kurang terjaga

b) Menggunakan pakaian yang tidak menyerap keringat

c) Kontak dengan binatang,seperti kuda, sapi, kucing, anjing, atau kontak

pasien lain.

.

Page 5: Referat Kulit Ryan

C. Patofisiologi

Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit

kemanusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran

tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas

hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit (Sobera, 2003).

Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan

keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat

ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang

terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai

dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan

keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan

difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit (Rushing,

Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama:

1. Perlekatan ke keratinosit

Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat

pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi

dengan flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan

asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik

(Sobera, 2003).

2. Penetrasi melalui ataupun di antara sel

Setelah terjadi perlekatan spora harus berkembang dan menembus stratum

korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi.

Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim

mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan

maserasi juga membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di

dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi

keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan

terdalam epidermis (Sobera, 2003).

3. Perkembangan respon host

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang

terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type

Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam

Page 6: Referat Kulit Ryan

melawan dermatifita.pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita

sebelumnya inflamasi menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test

hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang

dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa

antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan

dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan

proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang

jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier epidermal

menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera

jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh (Sobera, 2003).

Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu

respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut

ringworm, yang menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi,

dimana bagian aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis

dan menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif

untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit

dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler (Rushing,

2006).

D. Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Pasien mengeluhan rasa gatal-gatal, karena rasa gatal semakin

memberat pasien menggaruk lesi sehingga lesi menjadi lebih luas. Rasa

gatal akan semakin meningkat jika banyak bergeringat. Riwayat pasien

sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada

pada tempat yang beriklim agak lembab dan panas serta memakai pakaian

yang tidak menyerap keringat.

2. Pemeriksaan Lokalis

Gambaran klinis dari tinea korporis merupakan lesi anular, bulat atau

lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang

dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang

Page 7: Referat Kulit Ryan

(tanda peradangan lebih jelas pada daerah tepi) yang sering disebut dengan

central healing. Tapi kadang juga dijumpai erosi dan krusta akibat

garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu

dengan yang lain. Kelainan kulit dapat juga terlihat sebagai lesi-lesi

dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi

satu. Bila tinea korporis ini menahun tanda-tanda aktif jadi menghilang

selanjutnya hanya meningggalkan daerah-daerah yang hiperpigmentasi

dan skuamasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat terjadi bersama-sama

dengan tinea kruris (Djuanda, 2008).

Lesi umumnya bilateral walaupun tidak simetris, berbatas tegas, tepi

meninggi yang dapat berupa bintil-bintil kemerahan atau lenting-lenting

kemerahan, atau kadang terlihat lenting-lenting yang berisi nanah. Bagian

tengah menyembuh berupa daerah coklat kehitaman bersisik. Lesi aktif,

polisiklik, ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak

vesikel kecil-kecil. Biasanya disertai rasa gatal dan kadang-kadang rasa

panas. Garukan terus-menerus dapat menimbulkan gambaran penebalan

kulit. Buah zakar sangat jarang menunjukkan keluhan, meskipun

pemeriksaan jamur dapat positif. Apabila kelainan menjadi menahun maka

efloresensi yang nampak hanya macula yang hiperpigmentasi disertai

skuamasi dan likenifikasi (Djuanda, 2008).

3. Pemeriksaan Penunjang

Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan

pada kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun

diagnosis. Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak

jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis

menjadi lebih tepat (Nugroho, 2004).

Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling

penting untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah

mikroskop memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan

artrospora (hifa yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita

diantara material keratin. Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan

Page 8: Referat Kulit Ryan

(scrapping) dan usapan lesi kulit. Bagian yang terinfeksi dibersihkan

dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada gelas objek

steril dan selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10 %. Sediaan dibiarkan

pada temperatur kamar selama 2-5 menit, dilayangkan beberapa kali di

atas api kecil dan dilihat di bawah mikrosko. Adanya hifa atau konidia

menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur(Nugroho, 2004).

E. Penatalaksanaan

1. Non Medikamentosa

Menurut Rushing (2006) penatalaksanaan non medikamentosa pada tinea

corporis adalah

a) Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang

berlebihan

b) Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan menghindari

pakaian yang panas dan tidak menyerap keringat (karet, nylon)

c) Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing,

anjing, atau kontak pasien lain.

d) Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di

kaki.

e) Faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelaian

endokrin yang lain, leukemia, harus dikontrol.

2. Terapi topikal

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya

hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin

tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan

keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari

selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan

allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi

(Rushing, 2006) Berikut obat yang sering digunakan :

a) Topical azol terdiri atas :

1) Econazol 1 %

2) Ketoconazol 2 %

3) Clotrinazol 1%

Page 9: Referat Kulit Ryan

4) Miconazol 2%

Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-

dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur (Rushing,

2006).

b) Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3

epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan

ergosterol membran sel jamur yaitu aftifine 1 %, butenafin 1%

Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu

bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-

turut (Rushing, 2006).

c) Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja

menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi

tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang

bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta

berspektrum luas.

d) Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan

pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi

steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi

(Rushing, 2006).

3. Terapi sistemik

Menurut Kuswadji (2004) pedoman yang dikeluarkan oleh

American Academy of Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur

(OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada

telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien

imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap

OAJ topikal.

a) Griseofulvin

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap

baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,

Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat

mitosis pada stadium metafase.

Page 10: Referat Kulit Ryan

b) Ketokonazol

Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,

termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

c) Flukonazol

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun

absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

d) Itrakonazol

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,

bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik

maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat

diminum bersama dengan makanan.

e) Amfosterin B

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh

Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah

akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan

sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang

membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.

F. Prognosis

Pada umumnya prognosis untuk tinea corporis adalah baik dengan

terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan

tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau

allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik ( Rushing, 2006).

Penting juga untuk menghilangkan sumber penularan untuk mencegah

reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut (Budimulja, 2001).

G. Komplikasi

Komplikasi yag terjadi akibat tinea corporis adalah ekskoriasi dan

infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan. Bisa juga terjadi selulitis dan

reaksi alergi (Sobera, 2003).

Page 11: Referat Kulit Ryan

III. KESIMPULAN

1. Pasien datang ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan gatal-gatal di regio

antebrachii sinistra.

2. Diagnosis kerja pasien ini tinea corporis.

3. Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah

yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum

diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis.

4. Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti

Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton

5. Penegakkan diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan dengan KOH.

6. Terapi diberikan dengan edukasi untuk meningkatkan higienisitas dan terapi

topikal serta sistemik.

7. Untuk tinea korporis yang bersifat lokal dengan terapi yang benar dan

menjaga kebersihan kulit , tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan

dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan anti jamur

sistemik.

Page 12: Referat Kulit Ryan

IV. DAFTAR PUSTAKA

V.

Budimulja, U., 2001, Dermatomikosis Superficialis. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI. hal: 7-16, 29-43

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.. Bab II. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi

Kelima. Cetakan ke-2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta:2008, halaman 92-99

Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U,

Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.

Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4.

Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono

K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis

superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-16.

Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis.

In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty

S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI,

2004.p.99-106.

Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and

dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical

dermatology. China: Elsenvier inc, 2006. p.185-92.

Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2012 December 14; available from;

http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm

Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2. EGC. Jakarta:2008,

halaman 17-33

Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP,

editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.

Page 13: Referat Kulit Ryan

Lampiran 1

Page 14: Referat Kulit Ryan