Referat Jiwa - Hubungan Pola Tidur dan Depresi Unipolar
-
Upload
agathariyadi -
Category
Documents
-
view
103 -
download
5
description
Transcript of Referat Jiwa - Hubungan Pola Tidur dan Depresi Unipolar
Referat
Tinjauan Tentang Pola Tidur dan Risiko Unipolar Depression
Disusun oleh :
M. Arief Syaifuddin G9911112090
Gilar Rizki Aji P. G9911112072
Yohana Endrasari G9911112146
Agatha Dinar G9911112006
Pembimbing :
dr. I.G.B. Indro Nugroho, Sp. KJ
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
Tinjauan Tentang Pola Tidur dan Risiko Unipolar Depression
Sabrina T Wiebe, Jamie Cassoff, Reut Gruber
Abstrak: Gangguan psikologis, khususnya gangguan mood, seperti unipolar
depression, sering disertai dengan komorbid gangguan tidur, seperti insomnia, gelisah
saat tidur, dan durasi tidur yang berkurang. Pada dasarnya, hubungan antara unipolar
depression dan gangguan tidur masih belum jelas, dimana gangguan tidur dapat
menjadi faktor risiko perkembangan depresi, menjadi manifestasi awal yang muncul
dari gangguan depresi tersebut, atau menjadi kondisi komorbid depresi yang
dipengaruhi oleh mekanisme sejenis. Berbagai penelitian yang ada telah mengamati
pengaruh dari kurang tidur terhadap munculnya (atau eksaserbasi) dari gejala depresi,
dan mengamati hubungan longitudinal dan bersamaan antara gangguan tidur dengan
unipolar depression. Tinjauan ini membahas fakta bahwa gangguan tidur merupakan
salah satu faktor risiko dalam perkembangan dan timbulnya depresi, sama halnya
seperti mengamati mekanisme lain yang mendasari timbulnya depresi. Perlu
dipertimbangkan adanya pengertian klinis mengenai sifat dasar komorbid dalam
berbagai pola tidur dengan depresi.
Kata kunci: tidur, depresi, insomnia, kurang tidur, perkembangan
Pendahuluan
Kesulitan tidur sering disertai dengan komorbid kondisi psikologis, khususnya
gangguan mood, seperti unipolar depression.1 Akan tetapi, sampai sejauh mana
masalah tidur menjadi faktor risiko perkembangan unipolar depression, atau timbul
menjadi depresi belum jelas. Fakta yang ada menunjukkan bahwa, dalam depresi,
terjadi hubungan timbal balik, misalnya masalah tidur berperan dalam meningkatkan
manifestasi gejala depresi misalnya gangguan mood, dan psikopatologi depresi
berperan dalam memperburuk gangguan tidur.2 Oleh karena itu, tinjauan ini akan
2
mengamati (1) bukti bahwa berbagai aspek tidur menjadi faktor risiko dalam
perkembangan dan eksaserbasi unipolar depression (2) mekanisme umum yang
mendasari antara hubungan gangguan tidur dengan depresi; dan (3) keterlibatan klinis
mengenai interaksi diantara tidur dan depresi.
Metode
Dilakukan pencarian menggunakan sumber data dari PubMed, Google
Scholar, dan PsycInfo. Kata kunci yang digunakan merupakan kombinasi dari:
“tidur”, “psikopatologi”, “depresi”, “faktor risiko”, “penentu”, “perkembangan”,
“pembatasan tidur”, “kurang tidur”, “pola tidur”, “insomnia”, dan “masalah tidur”.
Artikel lain yang berhubungan didapatkan dengan merujuk dari bagian daftar pustaka
dari artikel-artikel yang sesuai. Artikel yang digunakan adalah artikel yang secara
langsung menilai variabel yang penting (yaitu pola tidur dan unipolar depression).
Penelitian yang menunjukkan hubungan langsung dari tidur dan psikopatologi lebih
diutamakan. Penelitian dengan lansia dieksklusikan, karena terdapat komplikasi
tambahan yang menyertai seperti peningkatan risiko kesakitan dan cedera, yang dapat
berperan dalam perkembangan masalah tidur dan atau depresi. Dilakukan
pembahasan terhadap dua artikel mengenai penelitian mengenai kurang tidur dan
depresi, bersamaan dengan 12 artikel yang membahas hubungan longitudinal antara
gangguan tidur dengan depresi, dan 14 artikel yang membahas kebiasaan tidur dan
risiko depresi. Walaupun definisi dari istilah tidur bervariasi diantara berbagai
penelitian, dalam tinjauan ini, insomnia mengacu kepada kondisi klinis dari tidur
yang tidak berkualitas, yang tidak dapat memberikan efek kesegaran ketika bangun,
yang biasanya terjadi karena terdapat kesulitan dalam memulai dan atau
mempertahankan tidur, yang mengganggu kegiatan fungsional harian dan terjadi
selama setidaknya 1 bulan;3 kurang tidur dalam hal ini mengacu pada kondisi tetap
terjaga dengan mempunyai tujuan tertentu, setidaknya selama 24 jam;4 dan gangguan
tidur mengacu pada disfungsi tidur, termasuk gangguan tidur yang terdiagnosis,
3
seperti insomnia, parasomnia, dan gangguan tidur lain, dan juga disfungsi dari
kontinuitas dan pola tidur.
Tidur dan Unipolar Depression
Unipolar depression adalah kondisi psikologis yang umum, terdiri dari
perasaan rendah diri, sedih, kurang perasaan tertarik atau senang hati pada aktivitas
yang normalnya menyenangkan, dengan menimbulkan efek buruk pada hubungan
dengan orang lain dan fungsi kehidupan sehari-hari.3 Depresi memiliki angka
prevalensi sekitar 4-11% pada anak dan remaja, 6,7 dan 3-3,5% pada dewasa.8 Hampir
sekitar 90% individu yang pernah mengalami depresi mempunyai komorbid
gangguan tidur,9 karena itu bagian berikut ini akan membahas pengaruh kurang tidur,
insomnia dan kebiasaan tidur dalam perkembangan dan atau eksaserbasi dari gejala
depresi. Hal ini juga disertai dengan pertimbangan dari mekanisme patofisiologi yang
umum. Pada akhirnya, dilakukan pembahasan tentang keterlibatan klinis dari
interaksi antara tidur dan depresi.
Kurang Tidur Sebagai Faktor Risiko Gejala Depresi
Penelitian yang mempelajari tentang pengaruh kurang tidur pada gejala
depresi dapat memberikan keuntungan dalam mengurangi gejala,10 atau dapat
memperburuk atau mempercepat suasana mood yang negatif.11 Fenomena tersebut
semakin mempersulit dalam memahami sifat dasar dari hubungan antara tidur dengan
depresi.
Penelitian yang secara eksperimental memanipulasi jumlah tidur pada
partisipan tanpa gangguan tidur sebelumnya telah menemukan hubungan antara
kekurangan tidur dengan gejala depresi yang meningkat.11 Dalam sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Kahn-Greene et al.,11 partisipan militer yang sehat diminta untuk
melengkapi penilaian dasar untuk penilaian kepribadian dasar,12 yang menilai gejala
dari berbagai gangguan psikologis, dan perlu tetap terjaga selama 56 jam sebelum
4
kemudian melengkapi kembali penilaian kepribadian dasar. Peneliti menemukan
bahwa, jumlah timbulnya komponen gangguan psikologi afektif secara signifikan
meningkat, mengikuti timbulnya gejala kurang tidur. Perlu dicatat bahwa, pada
keadaan kurang tidur, aspek fisik dari gejala depresi tidak berubah, tetapi terdapat
perubahan pada aspek kognitif dan afektif. Walaupun nilainya berada dalam rentang
normal, peneliti mencatat bahwa peningkatan skor depresi dapat dianggap signifikan
secara klinis.
Pada penelitian lain oleh Bernier et al.,13 dengan sampel wanita sehat dan
wanita yang pernah mengalami unipolar depression, dilakukan pembatasan tidur
menjadi 2,5 jam tidur dalam satu malam. Partisipan melengkapi penilaian riwayat
keadaan mood14 di awal penelitian, dan mengikuti program pembatasan tidur.
Walaupun pada wanita yang pernah mengalami depresi keadaan mood negatif tidak
mengalami eksaserbasi, pada wanita sehat mengalami peningkatan signifikan pada
tingkat anhedonia, dari awal penelitian sampai pada keadaan setelah kurang tidur.
Temuan ini penting, karena penelitian tersebut mengemukakan bahwa walaupun
wanita sehat tidak mengalami perkembangan depresi akibat pembatasan tidur, mereka
cenderung mengalami perkembangan gejala mirip depresi yang menyertai
pembatasan tidur akut.
Penelitian eksperimental ini menambah wawasan mengenai pengaruh dari
kekurangan tidur akut atau pembatasan tidur terhadap gejala depresi. Akan tetapi, dari
penelitian ini kurang dijelaskan bagaimana masalah tidur kronis dapat berperan dalam
perkembangan gejala depresi, atau dapat mengarah kepada depresi itu sendiri. Oleh
karena itu, penting untuk mengamati dan melakukan penelitian longitudinal, yang
meneliti tentang efek gangguan tidur kronis, misalnya mengalami insomnia, dan
bagaimana hubungan gangguan tidur kronis tersebut dengan risiko perkembangan
depresi.
5
Insomnia Sebagai Faktor Risiko Dalam Perkembangan Depresi
Setelah mengumpulkan beberapa bukti, hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah tidur, seperti insomnia, merupakan faktor risiko dalam perkembangan
depresi.15 Terdapat hubungan longitudinal yang mengamati hubungan masalah tidur
dengan depresi selama periode waktu yang berbeda-beda, dari 1 sampai 45 tahun, dan
kelompok umur yang berbeda (tabel 1). Walaupun beberapa penelitian tidak berhasil
menemukan hubungan antara masalah tidur dan perkembangan depresi,16,17 secara
umum, adanya insomnia dihubungkan dengan peningkatan risiko sekitar 2.118 sampai
39.815 dalam perkembangan depresi pada follow-up, dibandingkan dengan mereka
yang tidak mengalami insomnia.
Sebuah studi pendahuluan oleh Ford dan Kamerow, dilakukan untuk menguji
apakah masalah tidur mampu memprediksi perkembangan major depression.15 Pada
penelitian ini orang dewasa berusia 18 tahun keatas diwawancarai pada awal
penelitian dan 1 tahun setelahnya menggunakan alur diagnosis klinik untuk masalah
tidur dan major depression. Hal ini menunjukkan bahwa seorang dewasa yang pernah
mengalami insomnia pada awal penelitian dan follow-up berikutnya sebesar 39,8 kali
lebih mudah untuk mengalami depresi dibandingkan dengan orang yang tidak pernah
mengalami insomnia. Besarnya kemungkinan ini berkurang hingga 1,6 kali lebih
rendah jika gejala insomnia dapat diselesaikan selama periode intervensi. Saat
penelitian ini dilakukan, temuan dari hasil penelitian ini sangat mengejutkan, dan
menjadi awal dari penelitian-penelitian selanjutnya yang mempelajari hubungan
antara masalah tidur dan perkembangan depresi.
Satu hal yang menjadi perhatian khusus adalah hubungan antara masalah tidur
pada anak, yang dijelaskan dengan berbagai cara (tabel 1), dan selanjutnya
perkembangan depresi/ ansietas pada remaja (dewasa muda) atau dewasa. Dilaporkan
bahwa biasanya insomnia, atau masalah tidur, dapat dijadikan prediksi akan
munculnya unipolar depression19-21 atau gejala ansietas/depresi,22-24 tetapi tidak
berlaku sebaliknya.19,20,22 Hal ini menyatakan bahwa masalah tidur dapat merupakan
gejala awal dari depresi atau dapat juga meningkatkan kerentanan terhadap
6
perkembangan depresi pada tahap kehidupan selanjutnya. Sehingga deteksi dini
insomnia dan gangguan tidur pada usia dini menjadi sangat penting.
Kebiasaan Tidur Sebagai Faktor Risiko dalam Perkembangan dan Berulangnya
Depresi
Pada meta-analisis dari 177 penelitian dengan sampel orang dewasa, yang
mengamati hubungan antara berbagai gangguan psikiatri dan kebiasaan tidur, Benca
et al. menemukan bahwa REM sleep pressure, yang diartikan sebagai pemendekan
REM sleep latency dan juga peningkatan densitas dan durasi keseluruhan dari REM
sepanjang malam, berhubungan dengan peningkatan risiko terhadap perkembangan
dan timbulnya kelainan afektif seperti depresi.26-29 Karakteristik kebiasaan tidur
lainnya yang menunjukkan peningkatan risiko untuk berkembangnya depresi
diantaranya adalah peningkatan sleep onset latency dan penurunan aktivitas
gelombang lambat (slow-wave activity).26-29
Tabel 1: Penelitian yang mengamati risiko perkembangan depresi berdasarkan pada gangguan tidur
Peneliti Ukuran
sampel
Umur
saat T1
Penilaian tidur Penilaian
diagnosis
Kerangka
waktu
Penemuan
utama
Ford dan
Kamerow15
10,534
saat T1;
7954
saat T2
18+
tahun
Penjadwalan
interview
diagnosis63
Penjadwalan
interview
diagnosis63
1 tahun Jika terdapat
insomnia pada
kedua
interview, ada
kemungkinan
39,8 x lebih
besar risiko
terjadinya
depresi;
kemungkinan
ini berkurang
hingga 1,6x
7
jika insomnia
teratasi dengan
follow-up
Vollrath et
al17
457 21 tahun Interview
psikiatri
Kriteria DSM
III64
7 tahun Tingkat
depresi
meningkat
pada orang-
orang
pengidap
insomnia pada
saat follow-up,
tetapi tidak
signifikan
Breslau et
al45
1007
saat T1;
979 saat
T2
21-30
tahun
DIS-III-R66 DIS-III-R66 3.5 tahun Insomnia
diprediksi
mempunyai
kemungkinan
2,1 lebih besar
untuk terjadi
depresi
Chang et
al118
1053
Laki-
laki
~26
tahun
Habit survey
questionnaire
Kuesioner dan
laporan medik
1-45
tahun
(median
34 tahun)
Adanya
insomnia pada
sekolah medic
berhubungan
dengan 2,1
resiko lebih
besar untuk
terjadi depresi
Johnson et
al24
823 saat
T1;717
saat T2
6 tahun Child behavior
checklist68
Child behavior
checklist68 dan
form rapot
5 tahun Kesulitan tidur
berhubungan
dengan
8
guru68 kemungkinan
6.9 lebih besar
meningkatnya
skor ansietas/
depresi;
hubungan
menjadi lebih
kuat pada 11
tahun
disbanding
pada 6 tahun
Gregory
dan
O’Connor22
490 saat
T1; 360
final
4 tahun Child behavior
checklist68
Child behavior
checklist68
11 tahun Masalah tidur
pada umur 4
tahun
memprediksi
skor ansietas/
depresi pada
pertengahan
deasa muda;
skor ansietas/
depresi awal
tidak
memprediksi
masalah tidur
dikemudian
hari
Gregory et
al16
943
anak
5,7,9,21,
26 tahun
Penilaian diri
sendiri untuk
masalah tidur
persisten
Rutter child
behavior
scale69; jadwal
interview
diagnostik63
21 tahun Masalah tidur
tidak
memprediksi
perkembangan
depresi,
9
meskipun 46%
anak dengan
masalah tidur
persisten
memiliki
masalah
ansietas
Johnson et
al20
1014
dewasa
muda
13-15
tahun
Jadwal
interview
diagnostic
terkomputerisa
si untuk anak –
IV70
Jadwal
interview
diagnostic
terkomputerisa
si untuk anak –
IV70
Berdasar
pada
laporan
umur
onset
Insomnia
terjadi
sebelum
depresi pada
69% kasus;
depresi utama
tidak
berhubungan
dengan
kejadian
insomnia di
masa datang
Ong et al21 220 saat
T1 dan
164 saat
final
6-23
tahun
Laporan
retrospektif
untuk dimensi
survey
temperamen71
SADS-L72 dan
K-SADS-E73
20 tahun Jadwal tidur
yang tak
teratur
berhubungan
dengan
kemungkinan
1,3 lebih besar
dari kelainan
depresif berat
pada onset
remaja
Gregory et 2076 4-16 Child behavior Child behavior 14 tahun Kurang tidur,
10
al23 saat
T1;1615
saat T6
tahun checklist68 checklist68 dan
Young adult
self report74
terlalu lelah,
dan kesulitan
tidur
berhubungan
dengan
meningkatnya
kemungkinan
untuk skor
ansietas/
depresi saat
follow-up
(1.43, 1.37,
dan 1.39
kemungkinan
lebih besar.
Secara
berurutan)
Roane dan
Taylor39
4494
saat T1;
3582
saat T2
12-18
tahun
Nonvalidated
questionnaire
Nonvalidated
questionnaire
6-7 tahun Jika insomnia
ada pada
dewasa muda,
ada
kemungkinan
2,3 lebih besar
untuk terjadi
depresi
Gregory et
al19
300
pasang
kembar
saat T1
dan 250
saat T2
8 tahun Children’s
sleep habits
questionnaire75
Children’s
depression
inventory76
~2 tahun Masalah tidur
pada umur 8
tahun
memprediksi
perkembangan
depresi pada
11
umur 11 tahun,
tidak berlaku
sebaliknya.
Keterangan: T1, time 1 (pemeriksaan pertama); T2 time 2; T6 time 6; DIS-III-R, Diagnostic
Interview Schedule Version 3, Revised; SADS-L, Schedule for Affective Disorders dan
Schizophrenia-Lifetime version; K-SADS-E, Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia in
School-age children
Pertimbangan Perkembangan
Meskipun hasil penelitian mengenai pola tidur dan hubungannya dengan
depresi cukup konsisten pada orang dewasa, namun hubungan antara pola tidur dan
depresi tidak konsisten pada anak-anak dan remaja.30 Beberapa peneliti menemukan
bahwa pada anak-anak dan remaja berisiko depresi, yang mengalami peningkatan
latensi onset tidur, tidur yang kurang efisien, dan peningkatan REM sleep pressure,31-
33 peneliti yang lain menunjukkan tidak ada hubungan antara orang dewasa yang
mengalami depresi dengan karakteristik REM sleep,30 atau terdapat sedikit hubungan,
dengan aspek umum tidur lainnya.34,35 Hal ini menunjukkan bahwa mungkin terdapat
aspek perkembangan yang terkait diantara cara tidur dan depresi, dimana hal ini
konsisten dengan hasil penelitian bahwa fisiologi tidur mengalami
perubahan signifikan dari proses menjadi remaja, melalui pubertas,
dan menjadi dewasa.36,37
Pengamatan selanjutnya dari pola tidur pada anak-anak dan remaja, baik yang
mengalami depresi atau berisiko untuk berkembang menjadi major depression, telah
menemukan bahwa individu yang termasuk dalam kedua kategori tersebut
menunjukkan penurunan sleep spindle activity selama tidur dalam Tahap 2,
dibandingkan dengan kontrol yang sehat.38 Selain itu, hubungan ini lebih erat terkait
pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki,38 yaitu menunjukkan
bahwa anak perempuan yang memperlihatkan penurunan sleep spindle activity
mungkin sangat rentan untuk berkembang menjadi unipolar depression atau bahwa
12
anak perempuan yang menunjukkan perbedaan yang lebih jelas dalam karakteristik
tidurnya paling mungkin untuk berkembang menjadi depresi.
Mengingat bukti yang mendukung peningkatan risiko untuk berkembang
menjadi depresi, atau memiliki kekambuhan untuk menjadi depresi kembali, maka
ketika terdapat karakteristik tidur tertentu, penting untuk memahami patofisiologi
umum gangguan tidur dan depresi, agar dapat mengenali bagaimana kita dapat
mengobati kedua gangguan tersebut.
Pertimbangan Metodologi
Meskipun sejumlah studi telah meneliti hubungan antara berbagai pola tidur
dengan gejala dan risiko depresi, beberapa pertimbangan metodologis perlu
dipertimbangkan. Pertama, depresi dan masalah tidur, seperti insomnia, telah
didefinisikan antar studi dengan cara yang berbeda. Terutama di literatur pediatrik,
depresi sering muncul bersamaan dengan kecemasan,22-24 dan diagnosis ditegakkan
berdasarkan pada kuesioner, daripada melalui penggunaan kriteria diagnostik yang
pasti. Selain itu, pengukuran tidur yang diperoleh dari laporan orang tua atau laporan
diri,16,18,19,21-24,39 bukan menjadi pengukuran obyektif, seperti sebagai polysomnography
atau actigraphy. Penelitian menunjukkan bahwa orang tua mungkin tidak menyadari
kesulitan tidur yang dialami oleh anak-anak mereka,40-42 dan bahwa apa yang
dianggap masalah satu orang tidak dapat dipandang sebagai hal yang sama oleh orang
lain. Selain itu, perkiraan kualitas tidur telah ditemukan memiliki korelasi yang
rendah terhadap pengukuran obyektif, terutama pada individu yang mengalami
unipolar depression,43 yang mana menunjukkan bahwa hasil penelitian mungkin
berbeda, tergantung pada jenis pengukuran yang digunakan.
Masalah lain yang timbul dari penggunaan pengukuran subyektif adalah
kurangnya standarisasi dalam penggunaannya. Masalah tidur sering dijelaskan oleh
sejumlah kecil pertanyaan, dalam penelitian yang berbeda, menggunakan kuesioner
yang berbeda pula (Tabel 1). Dengan demikian, tidak jelas bagaimana berbagai
masalah tidur mungkin berhubungan dengan risiko dalam perkembangan menjadi
13
depresi, dan bagaimana masalah tidur yang ditemukan dalam suatu penelitian
dibandingkan dengan masalah tidur yang dijelaskan dalam penelitian lain.
Akhirnya, meskipun beberapa penelitian longitudinal telah memberikan
informasi yang sangat menarik dan relevan, sebagian besar penelitian pada dasarnya
subyektif dan korelasional. Meskipun penggunaan pengukuran obyektif dapat relatif
mahal, penelitian longitudinal akan mendapat manfaat dari penggunaan pengukuran
obyektif, pada sampel partisipan, selama periode pengamatan. Penggunaan
pengukuran objektif, dalam hubungannya dengan desain longitudinal, akan
memperkuat hasil penelitian dan membantu kita untuk lebih memahami sifat dari
hubungan antara berbagai gangguan pola tidur dan perkembangan depresi.
Patofisiologi Umum yang Mendasari Gangguan Tidur dan Depresi
Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme yang
mungkin mendasari interaksi antara sistem tidur/bangun dan depresi, termasuk
regulasi oleh prefrontal cortex (PFC) dan sistem serotonergik. Hipotesis ini tidak
saling berdiri sendiri, namun dapat memberikan penjelasan yang lebih baik terkait
dengan alasan tentang gangguan tidur dan terjadinya depresi.
Prefrontal Cortex
PFC terlibat dalam pengaturan keadaan terbangun dari tidur dan pengaturan
mood, karena itu, PFC telah dikemukakan sebagai area otak yang mendasari
hubungan antara gangguan tidur dan depresi.44 Secara khusus, diperkirakan bahwa
PFC memainkan peran yang signifikan dalam koordinasi tidur dan terjaga, seperti
adanya peningkatan aktivitas di PFC mendorong seseorang untuk terjaga, sementara
penurunan aktivitas atau tingkat metabolisme dalam PFC mungkin mendorong
seseorang untuk tidur.45 Pembuktian dari hal ini berasal dari penelitian yang
mengamati aktivitas metabolik di PFC. Perubahan terbesar dalam aktivitas metabolik
PFC terjadi saat keadaan terjaga (ketika fungsi PFC berada dalam aktivitas tertinggi)
berubah menjadi tidur (ketika PFC menampilkan aktivitas terendahnya).46 Selain itu,
14
kurang tidur menyebabkan suatu kebutuhan untuk tidur yang meningkat dan terjadi
penurunan aktivitas di PFC,11 yang selanjutnya menunjukkan bahwa PFC terlibat
dalam pengaturan sistem tidur / bangun.
PFC tidak hanya terkait dengan pengaturan dari tidur dan bangun, tetapi juga
untuk proses pengaturan lain yang lebih tinggi, termasuk pengaturan afek. Area
orbital dan medial dari PFC terhubung (baik secara langsung dan tidak langsung)
dengan struktur amigdala dan hipotalamus dalam sistem limbik, yang penting untuk
pengaturan afek.47 Kurang tidur telah terbukti menyebabkan lemahnya hubungan
fungsional diantara area-area tersebut,48 yang menunjukkan bahwa gangguan akibat
masalah tidur mempengaruhi pengaturan mood. Sebagai bukti dari hal ini, penelitian
menunjukkan bahwa gangguan pada PFC, seperti penurunan volume dan aktivitas
metabolik,49,50 dapat menyebabkan gangguan afektif, seperti depresi.45 Mengingat
bukti peran PFC dalam pengaturan bangun dari tidur dan afek, juga adanya hubungan
antara kurang tidur dan hubungan antar area tersebut yang penting untuk pengaturan
mood, PFC kemungkinan besar merupakan area yang bertanggung jawab atas
terjadinya gangguan tidur dan depresi.
Sistem Serotonergik
Serotonin adalah neurotransmitter yang kadarnya menurun saat tidur, dan
terlibat dalam patofisiologi unipolar depression.51 Meskipun serotonin mempunyai
keterlibatan dengan tidur dan gangguan afektif, baru-baru ini mulai dilakukan
penelitian yang mengamati hubungan antara serotonin, gangguan tidur, dan depresi.
Dalam dua penelitian terbaru, dilakukan penelitian eksperimental mengenai efek
pembatasan tidur pada sensitivitas reseptor serotonin52, 53 Dari penelitian tersebut,
diambil hipotesis bahwa sensitivitas reseptor serotonin 1A (reseptor yang mengalami
penurunan sensitivitas pada individu yang depresi) akan menurun, mengikuti adanya
pembatasan tidur yang kronis. Pada penelitian ini, tikus dibatasi tidurnya sampai 4
jam per hari selama 2 atau 8 hari, dan dilakukan pengujian serotonin. Tidak
didapatkan perubahan dalam sensitivitas reseptor serotonin 1A selama 2 hari
15
pembatasan tidur.53 Namun, setelah 8 hari dari pembatasan tidur, kedua penelitian
melaporkan desensitisasi signifikan dari reseptor serotonin, dengan respons yang
sama dengan yang ditemukan pada individu yang mengalami depresi.25, 26 Temuan ini
menunjukkan bahwa pembatasan tidur dapat mengarah ke penurunan respon terhadap
serotonin, sehingga membatasi kemampuan otak dalam menggunakan serotonin yang
tersedia secara optimal, dan menciptakan situasi yang juga muncul pada individu
yang menderita unipolar depression.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Roman et al, 53 dilakukan penelitian
eksperimental yang mengamati berapa lama desensitisasi tersebut tetap berlangsung
setelah dilakukan pemulihan tidur. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa
setelah 7 hari sejak dimulai pemulihan tidur, sensitivitas reseptor masih belum
kembali ke keadaan awal. Peneliti menyatakan bahwa pembatasan tidur kronis,
seperti terjadi umumnya dalam masyarakat barat, dan dialami oleh penderita
insomnia, dapat membuat orang lebih rentan terhadap perkembangan depresi.
Bukti lebih lanjut untuk peran serotonin dalam hubungan antara gangguan
tidur dan depresi berasal dari penelitian dengan hewan coba 54, 55, dan manusia 56 57,
yang menunjukkan bahwa ekspresi alel pendek dari gen transporter serotonin
berhubungan dengan adanya insomnia56 dan keadaan yang lebih rentan dalam
perkembangan depresi.54, 55,57,58 Hal ini penting, karena varian alel pendek
berhubungan dengan penurunan efisiensi transkripsi dan ekspresi serotonin,59 yang
mengarah ke penurunan kadar serotonin yang tersedia untuk proses transmisi.
Dengan adanya varian alel pendek yang mempengaruhi gangguan tidur dan
meningkatkan kerentanan terhadap kejadian depresi, hal ini memperkuat dugaan
bahwa serotonin menjadi mekanisme umum yang mendasari hubungan antara
gangguan tidur dengan depresi.
Implikasi Klinis
16
Adanya gangguan tidur sebelum episode depresi, khususnya insomnia dan
peningkatan REM sleep pressure, menandai terjadinya depresi, atau kemungkinan
berulangnya episode depresi. Dengan demikian, dokter dan penyedia layanan
kesehatan sebaiknya memberikan perhatian khusus terhadap pola tidur pada individu
yang mempunyai risiko tertentu dalam perkembangan depresi. Selain itu, terjadinya
kesulitan tidur sebelum terjadinya depresi dapat memberikan jangka waktu untuk
mencegah terjadinya depresi. Ada kemungkinan bahwa dengan mengatasi
permasalahan tidur, risiko untuk terjadinya episode depresi di masa depan dapat
dikurangi. Bukti dari penelitian yang dilakukan oleh Ford dan Kamerow15
mendukung gagasan ini, pada individu yang mempunyai masalah tidur, yang masalah
tidurnya membaik selama penelitian, terjadi penurunan risiko terkena depresi. Setelah
didiagnosis depresi, penting untuk memastikan penatalaksanaan depresi dan
permasalahan tidurnya, sebab dengan mengatasi masalah tidur dapat mempercepat
perbaikan dari gejala depresi. 60 Selain itu, jika masalah tidur teratasi dapat
mengurangi risiko berkembangnya depresi, 15 hal ini menunjukkan bahwa dengan
mengatasi masalah tidur selama depresi dapat mengurangi terjadinya kekambuhan
setelah pengobatan episode depresi berhasil.
Pengurangan waktu tidur dapat bermanfaat bagi pasien yang mengalami
depresi berat,10,13 hal ini diperkirakan menjadi sarana intervensi dalam mengatasi
depresi. Akan tetapi, hal ini masih menjadi metode kontroversial, walaupun telah
terbukti menjadi solusi sementara untuk mengatasi depresi. Meskipun pasien
mengalami perbaikan setelah dibatasi waktu tidur REMnya ataupun selama
semalaman, manfaat dari pembatasan tidur ini dapat menghilang ketika pola tidurnya
tidak dibatasi kembali.13 Karena pengurangan tidur juga dapat memicu munculnya
mood negatif, disamping itu terdapat kemungkinan bahwa pada beberapa individu,
kurang tidur dapat memperburuk gejala depresi. Selain itu, walaupun pengurangan
waktu tidur dapat dilakukan dengan mudah di rumah sakit, metode ini sulit diterapkan
pada pasien rawat jalan, dimana pasien perlu tetap terjaga tanpa bantuan petugas
kesehatan, bahkan ketika keinginan untuk tidur sangat besar.
17
Meskipun terdapat keterbatasan dalam metode pengurangan tidur sebagai
metode pengobatan, hal ini dapat bermanfaat bila digabungkan dengan pengobatan
lainnya, seperti penggunaan obat antidepresan, sleep phase advancement (membuat
pengaturan waktu seperti orang pada umumnya tidur dan bangun), dan terapi cahaya
(menggunakan cahaya terang saat pagi hari untuk mengatur ulang irama sirkadian
seseorang lebih awal).61 Secara khusus, dimana antidepresan dapat memberikan efek
setalah pemberian selama berminggu-minggu, 62 pengurangan tidur dapat digunakan
untuk mempercepat pemulihan dari gejala depresi, biasanya dalam waktu 1 hari.
Pengobatan medikamentosa, sleep phase advancement, dan terapi cahaya
memberikan efek pengobatan yang positif bila dikombinasikan dengan metode
pengurangan tidur.61
Akhirnya, ketika intervensi farmakologis dibutuhkan, penting untuk
mempertimbangkan efek masalah tidur yang komorbid. Obat-obatan yang dapat
meningkatkan gejala insomnia, seperti selective serotonin reuptake inhibitors
tertentu, 60 cenderung mengganggu respon pengobatan. Oleh karena itu, setelah
dilakukan intervensi farmakologis, penting untuk memonitor tidur pasien.
Ringkasan
Bukti saat ini jelas menunjukkan bahwa tidur dan depresi sangat terkait.
Penelitian pengurangan tidur menunjukkan bahwa dapat tidur dapat meningkatkan
gejala depresi, sementara penelitian longitudinal menunjukkan bahwa insomnia dan
masalah tidur dapat menjadi salah satu manifestasi awal dari depresi berulang. Selain
itu, kebiasaan tidur tertentu, seperti sleep onset latency yang memanjang,
pengurangan REM sleep latency, pengurangan sleep spindle activity dapat
menyebabkan individu lebih rentan dalam perkembangan episode depresi. Hubungan
antara kebiasaan tidur dan depresi tampaknya berubah sesuai dengan tahap
perkembangannya, yaitu menunjukkan tanda yang berbeda pada individu pra-
pubertas dan pascapubertas. Kebiasaan tidur juga berhubungan dengan peningkatan
18
risiko dari berulangnya episode depresi, dan menurunkan respon terhadap terapi.
Dengan demikian, pada individu yang berisiko untuk berkembang menjadi depresi
penting untuk mempertimbangan kebiasaan tidur pasien, terutama saat memilih terapi
yang tepat, dan juga perlu monitoring efek terapi dari waktu ke waktu.
Dalam rangka memberikan pengobatan terbaik untuk masalah tidur yang
komorbid dan unipolar depression, penting untuk lebih memahami mekanisme yang
mendasari gangguan ini. Bukti menunjukkan bahwa PFC mungkin terlibat dalam
manifestasi dari kedua gangguan tidur dan depresi, dan juga serotonin yang berperan
penting dalam hubungan ini.
Penelitian mendatang akan mendapat manfaat dari pengamatan yang lebih
detail dari hubungan antara tidur pada individu yang sedang mengalami
perkembangan dan depresi, untuk lebih memahami perubahan yang terjadi selama
perkembangan individu tersebut. Selain itu, penting untuk memahami efek pubertas
pada hubungan tidur dengan depresi, untuk menentukan apakah intervensi yang tepat
untuk orang dewasa juga dapat digunakan untuk remaja. Berdasarkan temuan Ford
dan Kamerow,15 diperlukan penelitian lebih lanjut yang meneliti sejauh mana
mengatasi masalah tidur dapat menurunkan risiko perkembangan unipolar
depression.
Penjelasan lebih lanjut dari PFC dan sistem serotonergik berhubungan dengan
tidur dan adanya gangguan psikologis selama perkembangan dapat membantu
meningkatkan intervensi, dengan menitikberatkan pada ketidakteraturan dan
gangguan tidur yang terlibat pada tahap perkembangan tertentu. Dengan memeriksa
dan memantau gangguan tidur yang mungkin ada pada depresi, maka dapat dibuat
penatalaksanaan yang lebih efisien, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas tidur
dan kondisi psikologis.
19