referat Erb Ducenne

29
HALAMAN PENGESAHAN Nama : Ines Marianne Santoso, S.Ked NIM : 030.06.127 Fakultas : Kedokteran Universitas : Trisakti Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian : Ilmu Penyakit Saraf Periode : 17 Oktober 2011- 19 November 2011 Judul : PARALISIS ERB-DUCHENNE Pembimbing : Dr. Dyah Nuraini, Sp.S Diajukan : November 2011 Telah diperiksa dan disahkan tanggal : …………………………………………………. Mengetahui, Kepala SMF Ilmu Penyakit Saraf Pembimbing RSUD Kota Semarang Dr. Dyah Nuraini, Sp.S Dr. Dyah Nuraini, Sp.S 1

Transcript of referat Erb Ducenne

Page 1: referat Erb Ducenne

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ines Marianne Santoso, S.Ked

NIM : 030.06.127

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Trisakti

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Penyakit Saraf

Periode : 17 Oktober 2011- 19 November 2011

Judul : PARALISIS ERB-DUCHENNE

Pembimbing : Dr. Dyah Nuraini, Sp.S

Diajukan : November 2011

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : ………………………………………………….

Mengetahui,

Kepala SMF Ilmu Penyakit Saraf Pembimbing

RSUD Kota Semarang

Dr. Dyah Nuraini, Sp.S Dr. Dyah Nuraini, Sp.S

1

Page 2: referat Erb Ducenne

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat dengan judul “PARALISIS

ERB-DUCHENNE ” ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu

Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti diRSUD Kota Semarang periode 17

Oktober 2011- 19 November 2011. Selain itu, referat ini ditujukan untuk menambah

pengetahuan bagi kita semua tentang Paralisis Erb-Duchenne

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih atas bantuan

dan kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada

1. Dr. Abimanyu, MM, selaku direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang

2. Dr. Dyah Nuraini, Sp.S selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf Kota Semarang

dan selaku pembimbing referat.

3. Dr. Mintarti, Sp.S selaku dokter pembimbing kepaniteraan klinik saraf.

4. Para staf medis dan non-medis Ruang Yudistira, Bima, ICU, Arimbi, Banowati

dan Poliklinik penyakit saraf Rumah Sakit Umum Daerah kota Semarang

5. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah

Sakit Umum Daerah Kota Semarang periode 17 Oktober 2011- 19 November

2011.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan

saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, agar referat ini dapat menjadi lebih baik

dan dapat berguna bagi semua yang membacanya. Penulis memohon maaf yang sebesarnya

apabila masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini.

Semarang, November 2011

2

Page 3: referat Erb Ducenne

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ i

KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi............................................................................................................... 2

2.2 Insiden dan Epidemiologi.................................................................................. 2

2.3 Etiologi............................................................................................................... 3

2.4 Patofisiologi…………………………………………………………………….3

2.5 Gejala................................................................................................................. 8

2.6 Diagnosis........................................................................................................... 9

2.7 Komplikasi………………………………………………………………………11

2.8 Penatalaksanaan................................................................................................. 11

2.9 Prognosis............................................................................................................ 14

BAB III KESIMPULAN.................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 16

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak jaman neurologi klasik telah dikenal 3 sindrom, kelumpuhan akibat lesi di

plexus brachialis. Yang pertama ialah kelumpuhan akibat lesi di bagian atas plexus brachialis,

yang menghasilkan sindrom kelumpuhan Erb-Ducenne dan yang kedua ialah kelumpuhan

yang disebabkan oleh lesi di bagian tengah dan yang terakhir lesi di bagian bawah plexus

brachialis ,yang didalam klinik dikenal sebagai sindrom kelumpuhan klumpkey.

Paralisis plexus brachialis pada neonates pertama kali di deskripsikan pada tahun

1779 saat Smellie melaporkan kasus kelemahan pada kedua lengan bayi yang terjadi secara

spontan setelah beberapa hari kelahiran. Pada tahun 1870, penemuan terbaru traksi pada

trunkus atas erb’s palsy atau Erb’s_duchenne palsy.

3

Page 4: referat Erb Ducenne

Paralisis Erb-Duchenne adalah paralisis pada lengan yang disebabkan oleh kerusakan

plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan. Kebanyakan penderita

dengan paralisis Erb-Duchenne adalah bayi. Dalam hal ini lesinya disebabkan karena

penarikan kepala bayi saat dilahirkan, dimana salah satu lengannya tidak dapat dikeluarkan.

Pada kasus dewasa dan anak-anak, biasanya ditemukan dengan riwayat trauma atau

kecelakaan dengan jatuh pada bahu dengan kepala yang terlalu menekuk ke samping,

sehingga menyebabkan penarikan yang hebat pada plexus brachialis terutama bagian atas.

Kelumpuhan melanda beberapa otot lengan dan tangan. Oleh karena itu, lengan bergantung

lemas dengan posisis endorotasi pada sendi bahu dengan siku lurus dan lengan bawah sikap

pronasi. Pada umumnya gerakan tangan pada persedian pergelangan tangan masih dapat

digerakan dan gerakan jari-jari tidak ada yang terganggu.

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

2.1.DEFINISI

Paralisis Erb- Ducenne adalah paralisis pada ekstremitas atas yang disebabkan oleh

kerusakan plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan. Kelainan ini

paling sering ditemukan pada bayi atau anak-anak karena distorsia bahu pada kelahiran,

ataupun dapat pula ditemukan pada dewasa dengan riwayat trauma bahu.

Pada kelainan ini ditemukan lesi pleksus atas (radik C5, C6/trunkus superior) pada

pleksopati supraklavikular. Sering timbul secara sendirian, tetapi dapat juga berkaitan dengan

pleksus tengah atau kombinasi dengan lesi pleksus tengah dan bawah (lesi pan-pleksus

supraklavikular). Umumnya terjadi akibat trauma, terutama traksi tertutup yang

4

Page 5: referat Erb Ducenne

menyebabkan pelebaran secara paksa sudut bahu-leher, kecelakaan sepeda motor, jatuh yang

mengenai bahu, dan pukulan pada bahu (mis. oleh benda yang jatuh). Sedangkan penyebab

lainnya adalah iatrogenik (paralisis akibat tindakan persalinan).

Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter kandungan dari Inggris, William Smellie

pada tahun 1768 saat mekaporkan kasus transient paralisis ekstremitas atas bilateral setelah

kelhiran yang sulit. Pada tahun 1861, Guillaume Benjamin Amand Duchenne melaporkan

kelumpuhan plexus brachialis setelah menganalisa 4 infant dengan paralisis yang identik

pada otot-otot lengan dan bahu. Pada tahun 1874, William Heinrich Erb menyimpulkan

tesisnya mengenai kerusakan plexus brachialis yang berhubungan dengan kelumpuhan

deltoid, bicep, dan subscapularis yang berasal karena lesi di radik C5-C6 pada orang dewasa.

2.2.INSIDEN dan EPIDEMIOLOGI

Paralisis Erb- Ducenne's memiliki angka insiden 0,5-4,4 kasus/ 1000 kelahiran bayi

cukup bulan di Amerika. Di Perancis dan Arab Saudi dilaporkan 1,09-1,19 kasus/ 1000

kelhiran bayi hidup. Insiden terjadinya kelumpuhan permanen 3-25% dari kasus yang

ditemukan. Belum ditemukannya hubungan antara ras dengan penyakit ini. Ratio pria dan

wanita yang terkena adalah 49%: 51% dari 191 infant. Faktor usia tidak mempengaruhi

namun biasa ditemukan kelainan sejak lahir.

2.3.ETIOLOGI

Penyebab paralisis Erb-Ducenne’s paling sering adalah distonia, dimana letak janin

abnormal sehingga menimbulkan kesulitan saat persalinan. Sebagai contoh, dapat terjadi pada

persalinan dengan  kepala bayi dan leher yang ditarik ke samping, dimana  pada saat yang

bersamaan bahu melewati jalan lahir. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh penarik yang

berlebihan pada pundak pada saat presentasi verteks (kepala pengiriman pertama), atau

dengan tekanan pada lengan karena letak sungsang (kaki pertama) atau dengan bayi besar (>

4kg) sehingga menyulitkan persalinan sehingga memerlukan vacum atau forceps. Paralisis

Erb-Ducenne’s juga dapat disebabkan oleh fraktur klavikula yang tidak terkait

dengan distosia. Pada infant yang lahir dengan paralisis plexus brachialis akan muncul gejala

sejak lahir.

5

Page 6: referat Erb Ducenne

Cedera yang sama dapat juga ditemukan pada setiap usia termasuk orang

dewasa, akibat trauma atau jatuh yang mengenai sisi kepala dan bahu terlebih

dahulu, dimana saraf pleksus akan meregang karena plexus ekstremitas atas mengalami

cedera yang hebat dan selanjutnya meyebabkan kelumpuhan yang terbatas pada otot-

otot yang dipersarafi oleh saraf C5-C6 yaitu m.deltoid, m.bisep brachii (m.brakialis

dan m.coracobrachialis), m.infraspinatus, m.supraspinatus dan m.brachioradialis.

Pleksus brakialis juga dapat terluka oleh kekerasan langsung atau luka tembak,

dengan traksi pada lengan.  Jumlah kelumpuhan tergantung pada jumlah cedera pada saraf

yang terkena.

2.4. PATOFISIOLOGI

Sama dengan semua cedera saraf perifer lainnya, pleksus dapat cedera dengan

berbagai proses. Akibat cedera, pada serabut bermielin akan terjadi demielinisasi dan cedera

akson (kehilangan akson).

a. Demielinisasi

Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik dimana

terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.

Gambar. Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada bagian yang cedera.

Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau edema

dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :

self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema

memerlukan waktu beberapa minggu.

Remielinisasi: Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami

demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih tipis

6

A

B

Page 7: referat Erb Ducenne

dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan konduksi lebih lambat

dari normal.

Gambar. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel Schwann. B: mielin

menghilang. C: komplet remielinisasi.

b. Cedera Akson

Cedera pada akson dapat terjadi satu dari dua bentuk tipe yaitu degenerasi aksonal

atau degenerasi Wallerian. Keduanya dapat mengenai badan sel dan menyebabkan

khromatolisis sentral.

Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu bentuk

kematian saraf yang mulai dari distal dan naik ke proksimal.

Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan kerusakan saraf

fokal atau multifokal setelah 4 – 5 hari. Ini terjadi secara lengkap untuk saraf motorik dalam

7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi aksonal bagian distal dari lokasi cedera

dan bagian proksimal intak.

Gambar. Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.11

7

A

B

C

Page 8: referat Erb Ducenne

Penyebabnya dapat terjadi dari kerusakan fokal, regangan, transeksi atau neuropati

perifer. Perbaikan secara collateral sprouting (proses perbaikan dimana suatu neurit akson

mulai tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi serabut otot denervasi pada unit

motorik yang cedera) dan pertumbuhan kembali aksonal (suatu proses perbaikan dimana

akson akan tumbuh kembali sesuai alurnya menuju serabut saraf, memerlukan kira-kira 1

mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan ikat penyokong tetap intak dan bila tidak intak akan

terbentuk neuroma.

Gambar.Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi wallerian, c) regenerasi

(Seckel,1984)

c. Derajat Cedera Serabut Saraf

Klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh Seddon (1943) dan

Sunderland (1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.

Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf (Gambar 6) yaitu :

1. Neuropraksia : suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan

demielinisasi sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak). Pada tipe

cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses

penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan. Biasanya

akibat dari penekanan dan sembuh karena perbaikan oleh sel Schwann, dimana

memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulan.

2. Aksonotmesis : suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan menyebabkan

degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung endoneural tetap intak.

8

Page 9: referat Erb Ducenne

Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang berat. Regenerasi saraf

tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi (perbaikan lebih baik

pada jarak lesi yang pendek dan letaknya lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik

lebih baik daripada motorik, karena reseptor sensorik lebih lama bertahan dari

denervasi dibandingkan motor end plate (kira-kira 18 bulan).

3. Neurotmesis : kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses

pemulihan sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang terjadi

sering menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung dari serabut

saraf.

Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu:

1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)

2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)

3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan

epineural masih intak

4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural

masih intak

5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural

(neurotmesis).

Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf perifer.11

Paralisis Erb-Ducenne, paralisis otot-otot:

9

Page 10: referat Erb Ducenne

- N. musculocutaneus: m. biceps brachii, m. coracobrachialis, m. brachialis.

- N. axillaris: m.deltoideus, m.teres minor

- N. thorachalis longus: m.serratus anterior

- N. radialis sebagian kecil: m.brachioradialis , m. supinator

- N. suprascapularis: m.supraspinatus, m.infraspinatus

- N. subscapularis: m.subsscapularis

- N. pectoralis lateralis: m.pectoralis major

2.5. GEJALA

Gejala yang timbul pada paralisis Erb-Ducenne’s sesuai dengan kelemahan otot-otot

yang dipersarafi oleh C5-C6. Kelumpuhan dapat sebagian atau lengkap, kerusakan pada

10

Page 11: referat Erb Ducenne

masing-masing saraf dapat  berupa memar atau robeknya saraf tersebut. Paralisis  Erb-

Duchenne palsy merupakan sindrom motor neuron yang terkait dengan gangguan sensiblitas

dan  motorik.

Sehingga menimbulkan gejala seperti gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi

lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Gangguan pada perkembangan

otot apabila berkurangnya aktivitas kontrasi otot sehingga menimbulkan strofi otot dan

kontraktur siku. Reflek bisep dan brakhioradialis menurun atau hilang. Gangguan pada

sistem sirkulasi menyebabkan gangguan pengaturan suhu, dan ketidakmampuan kulit untuk

menyebuhkan diri sehingga mudah terinfeksi, selain itu karena tidak ada/ berkurangnya

rangsang sensoris pada daerah antara bahu dan lengan bawah yang dihantarkan ke

otak,sehingga mudah terjadi trauma dan melukai diri sendiri. Tidak jarang ditemukannnya

bekas luka di daerah lengan. Pemeriksaan sensorik sesuai dengan dermatomnya.

Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan, aduksi

dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi (waiter’s, bellhop’s, atau

policeman’s tip position). Kerusakan pada otot deltoid menimbulkan posisi adduksi bahu

dan medial rotasi, sehingga dapat ditemukannya Putti sign dimana apabila dilakukan abduksi

bahu maka ujung medial skapula akan terlihat menonjol diatas garis bahu. Paralisis m.

serratus anterior akan member gambaran “Winged scapula”. Pasien tidak bisa melakukan

posisi flexi lengan atas, flexi lengan bawah,supinasi lengan bawah, abduksi dan exorotasi

lengan atas. Pasien kurang bisa memegang bahu sisi lain karena lesi N. pectoralis lateralis.

2.6. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan khusus serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan trauma

saat persalinan, trauma karena terjatuh dengan posisi bahu terlebih dahulu ataupun luka

tembak di bahu dan lengan. Dari pemeriksaan fisik ditemukannya gangguan motorik dan

sensorik pada tungkai atas.

Pemeriksaan khusus : Active Movement Scale

Skala Gerakan Aktif diciptakan oleh Rumah Sakit untuk anak-anak di Toronto. Skala ini

digunakan untuk menilai fungsi motorik pada bayi dengan cedera pleksus brakialis. Seorang

bayi yang dinilai dengan  15 gerakan yang  berdasarkan analisis observasional. Nilai otot

11

Page 12: referat Erb Ducenne

dinilai dari  0 (tidak ada kontraksi)sampai 7 (gerakan penuh) yang ditetapkan

berdasarkan gerakan yang ditimbulkan. Lima belas gerakan dievaluasi dari bahu yang terkena

untuk tangan: bahu abduksi, adduksi,rotasi eksternal,fleksi, dan rotasi internal; siku fleksi dan

ekstensi, lengan bawah pronasi supinasi dan; pergelangan tangan fleksi

dan ekstensi, ekstensi dan fleksi ibu jari dan jari-jari

Gilbert shoulder classification

Grade 0 is a complete flail shoulder.

Grade 1 (sangat buruk) : Abduksi 45°, dengan tanpa rotasi eksternal aktif.

Grade 2 (buruk) : Abduksi kurang dari 90°, dengan tanpa rotasi eksterna.

Grade 3 (cukup) : Abduksi 90°, dengan rotasi eksternal lemah.

Grade 4 (baik) : Abduksi kurang dari 120°, dengan rotasi eksterna inkomplit.

Grade 5 (sangat baik) : Abduksi lebih dari 120°, dengan rotasi eksterna aktif.

Laboratorium tidak memberikan makna diagnostic pada paralisis Erb-Ducenne.

Imaging Studies memberi makna diagnostic untuk menegetahui letaknya,seperti:

Computed tomography (CT) myelography adalah metode standar untuk mengevaluasi

integritas pleksus brakialis, dan tradiografi paling sensitif untuk

mendeteksi cedera akar saraf dengan memnggunakan kontras. Kekurangan utama

untuk prosedur ini adalah paparan radiasi, kebutuhan untuk sedasi, tingkat false-

positif yang signifikan, dan kurangnya informasi tentang pleksus brakialis distal.

MRI adalah studi pencitraan terbaik yang tersedia

untuk mengevaluasi pleksus brakialis cerebral neonatal. MRI tidak

memerlukan paparan radiasi, tidak invasif,dan menyediakan lebih

rinci daripada CT myelography. Tes ini sangat berguna sebelum operasi untuk

menunjukkan tingkat trauma, termasuk pseudomeningocele, dan adanya akar

diforamen saraf.

Radiografi polos dapat membantu dalam mendiagnosis kelumpuhan

hemidiaphragm dari keterlibatan saraf frenikus dan patah tulang klavikula

di atau humerus. Radiografi aksila juga harus dilakukan pada anak yang

menunjukkan hilangnya progresifrotasi eksternal, untuk menyingkirkan dislokasi

bahu posterior.

12

Page 13: referat Erb Ducenne

Electromiogram digunakan sebagai pemeriksaan fisik yang dapat memberikan data

tingkat keparahan dan waktu cedera. Penelitian awal biasanya dilakukan 2-3 minggu setelah

cedera, ketika tanda-tanda denervasi terlihat pada anak dengan cedera sedang atau berat.

Pemeriksaan ini biasanya meliputi studi tentang latency dan

aksila saraf muskulokutaneus. Pada cedera yang lengkap, motor

dan studi konduksi saraf sensorik (NCS) dari median, ulnaris, dan

radiaus. NCS sensoris berguna dalam membedakan cedera avulsi, jika potensi saraf

sensorik masih utuh sedangkan secara klinis lengan mati

rasa. Jika gangguan pernapasan tercatat padakelahiran, konduksi

saraf frenikus ipsilateral juga diuji. EMG jarum dilakukan pada otot dipersarafi

oleh saraf yang terkena. Pada paralisis Erb-Ducenne’s, otot-otot yang diperiksa

termasuk supraspinatus, deltoid,infraspinatus, trisep, dan bisep.

2.6 .KOMPLIKASI

Anak-anak dengan paralisis Erb-Ducenne’s memiliki resiko gangguan

perkembangan, seperti kontraktur yang progresif, deformitas tulang, skoliosis, dislokasi

bahu posterior, infeksi cutaneus dan agnosia dari anggota badan yang terkena.

2.7.PENATALAKSANAAN

Pada beberapa bayi terjadi perbaikan sendiri, beberpa perlu penangan dari spesialis.

Bedah saraf neonatal/pediatric kadang melakukan perbaikan fraktur avulsi, sehingga terjadi

penyembuhan lesi dan fungsi kembali normal. Fisioterapi diperlukan untuk mendapatkan

kembali fungsi seperti normal. Range of motion dapat kembali normal pada anak kurang dari

satu tahun, apabila setelah satu tahun tidak ada perbaikan fungsi sepenuhnya, harus

diwaspadai timbulnya atritis.

Pada beberapa kasus yang berat, terutama yang berkaitan dengan trauma dimana

terjadi avulsi saraf, intervensi tindakan operatif dilakukan dalam beberapa hari setelah cedera

untuk perbaikan primer, atau setelah beberapa minggu sampai bulan untuk perbaikan

sekunder, dapat meningkatkan fungsi (Spinner dan Kline, 2000). Perbaikan primer yang

segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda tajam. Perbaikan

operatif sekunder setelah 2 – 4 minggu secara umum direkomendasikan untuk cedera tumpul

13

Page 14: referat Erb Ducenne

atau cedera dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf terjadi komplit

atau sangat berat.

Fisioterapi

Sebuah program terapi yang komprehensif harus terdiri dari latihan ROM, fasilitasi gerakan

aktif, penguatan, promosi kesadaran sensorik, dan penyediaan instruksi untuk kegiatan

rumah. Secara keseluruhan tujuan harus fokus pada meminimalkan deformitas tulang dan

kontraktur sendi, sekaligus mengoptimalkan hasil fungsional. Kontraktur berat harus

dihindari dengan latihan terapi yang konsisten, termasuk peregangan pasif dan aktif,

fleksibilitas kegiatan, teknik rilis myofascial, dan mobilisasi sendi.

Awal dan konsisten peregangan Rotator internal harus meminimalkan risiko masalah ini.

Rotasi eksternal, dilakukan dengan adduksi bahu samping dada dan dengan siku tertekuk

sampai 90 °, memberikan peregangan maksimum Rotator internal (khususnya, subskapularis)

dan kapsul bahu anterior. Skapula harus stabil saat peregangan otot bahu korset untuk

mempertahankan mobilitas dan melestarikan beberapa ritme scapulohumeral. Awal

perkembangan kontraktur fleksi di siku adalah umum dan dapat diperburuk oleh dislokasi

kaput disebabkan oleh supinasi paksa. Supinasi lengan agresif, karena itu, harus dihindari.

Mobilitas dan penguatan aktif awalnya difasilitasi melalui kegiatan yang sesuai dengan usia

perkembangan. Sebagai anak bertambah usia, latihan penguatan standar yang digunakan dan

keterampilan fungsional spesifik diperkenalkan. Kelompok otot tertentu dapat ditargetkan

untuk memperkuat melalui gerakan fungsional. Kompensasi dan gerakan pengganti harus

dihindari, karena dapat melestarikan otot lemah dan deformitas.

Belat statis dan dinamis dari lengan berguna untuk mengurangi kontraktur, mencegah

deformitas lebih lanjut, dan dalam beberapa kasus, membantu gerakan. Splints sering

diresepkan termasuk pergelangan tangan istirahat dan bidai, splints siku ekstensi, fleksi siku

dinamis dan splints supinator. Pemilihan yang cermat dan waktu penggunaan belat adalah

penting untuk optimalisasi efek yang diinginkan.

Teknik rekaman dapat digunakan oleh terapis untuk mengendalikan ketidakstabilan skapulae

dan karenanya untuk mempromosikan mobilitas bahu ditingkatkan.

Kegiatan kesadaran sensorik yang berguna untuk meningkatkan kinerja motor aktif, serta

untuk meminimalkan kelalaian dari anggota badan yang terkena. Penggunaan pijat bayi dan

menarik perhatian visual untuk lengan yang terkena dapat dimasukkan dengan mudah ke

dalam kegiatan bermain dan sehari-hari. Kegiatan menahan beban dengan lengan terpengaruh

di semua posisi tidak hanya memberikan masukan proprioseptif yang diperlukan tetapi juga

dapat berkontribusi untuk pertumbuhan tulang.

14

Page 15: referat Erb Ducenne

Sebuah program yang komprehensif yang mencakup latihan peregangan, penanganan yang

aman dan teknik posisi awal, kegiatan pembangunan dan penguatan, dan kesadaran sensorik

harus dikembangkan dan diperbarui jika diperlukan. Pada anak yang lebih tua dengan

kecacatan persisten, fokus pada instruksi rumah bergeser ke kemerdekaan, dengan pasien

belajar mandiri peregangan dan latihan penguatan, serta strategi untuk mencapai

keterampilan hidup tertentu.

Rangsangan listrik neomuskular.

Stimulasi listrik neuromuskuler (NMES) digunakan secara luas untuk anak-anak dengan

paralisis plexus brachialis termasuk paralisis Erb-Duchenne’s. NMES adalah modalitas di

mana otot-otot yang dirangsang oleh arusyang terus menerus. Bentuk utama yang digunakan

adalah batas dan stimulasi listrik fungsional (FES). Yang pertama dapat dimulai ketika pasien

masih muda, itu melibatkan aplikasi dari arus frekuensi rendah pada otot. Teknik ini telah

dilaporkan untuk meningkatkan aliran darah dan mungkin sebagian otot tapi belum diteliti

ketat. FES melibatkan stimulasi dengan arus yang lebih tinggi-frekuensi, menyebabkan otot

berkontraksi dan lengan bergerak.

Stimulator harus dititrasi dengan bantuan dari anak untuk memungkinkan kontraksi otot yang

cukup dan menghindari rasa sakit. Banyak anak dapat bekerja sama cukup dengan prosedur

pada usia 3 tahun, dan teknik ini membantu dalam mendorong otot lemah untuk kontrak

dalam situasi fungsional. NMES telah dilaporkan dalam literatur berguna untuk memfasilitasi

kontraksi otot dan digunakan secara luas untuk meminimalkan atrofi otot yang terkena. Tidak

ada studi besar telah diterbitkan pada penggunaan NMES dengan BPP, dan efeknya pada

reinnervation tidak jelas.

Terapi Toksin botulinum A

Terapi botulinum toxin A sedang digunakan oleh beberapa fasilitas untuk meningkatkan

fleksibilitas dari bahu rotator internal. Hal ini juga digunakan dalam pengobatan co-kontraksi,

dengan memberikan racun yang akan membuat kelumpuhan sementara pada otot yang lemah

sehingga menjadi kuat. Kegunaan intervensi ini masih sedang dipelajari.

Operatif

Tindakan operatif meliputi internal neurolysis, reseksi, dan reanastomosis, atau reseksi dan

grafting. Pada kasus tersebut dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan primer atau

grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis satu saraf dengan yang lain

15

Page 16: referat Erb Ducenne

dapat menjadi pilihan lainnya. Jadi, bila prosedur diatas gagal dan tidak ada reinervasi yang

terjadi atau setelah beberapa tahun sejak cedera, bentuk terapi sekunder lain dapat dicoba,

meliputi transfer tendon dan stabilisasi sendi.

Penyembuhan paralisis Erb-ducenne’s dengan cara pembedahan yang paling sering

dilakukan,ada 3 cara yaitu transplantasi saraf, rilis Sub Scapularis dan transfer tendon

Latissimus Dorsi.

1. Transplantasi saraf biasanya dilakukan pada bayi di bawah usia 9 bulan,

karena perkembangan bayi yang lebih cepat sehingga

meningkatkan efektivitas prosedur. Biasanya tidak dilakukan pada pasien yang lebih

tua daripada ini karena ketika prosedur ini dilakukan pada bayi yang lebih tua, lebih

berbahaya daripada tidak dilakukan dan dapat mengakibatkan kerusakan saraf di

daerah di mana saraf diambil dari. Jaringan parut dapat bervariasi

dari luka samar sepanjang garis leher untuk penuh

"T" bentuk di seluruh bahu tergantung pada pelatihan dokter bedah dan sifat dari

transplantasi.

2. Rilis subskapularis, tidak waktu yang terbatas karena hanya memotong  bentuk "Z”

ke dalam otot subskapularis untuk memberikan peregangan dalam lengan,

dapat dilakukan di hampir usia berapa pun dan dapat dilakukan berulang-ulang

pada lengan yang sama, namun, ini akan membahayakan integritas otot.

3. Latissimus dorsi  transfer tendon yaitu memotongan latissimus dorsi setengah

horizontal dan memasangnya disekitar otot bagian luar biceps. Dengan cara ini

memberikan rotasi eksternal dengan berbagai tingkat keberhasilan.

2.8.PROGNOSIS

Untuk cedera avulsi dan pecah, tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali rekoneksi

bedah dibuat pada waktu yang tepat. Potensi untuk pemulihan bervariasi untuk cedera

neuroma dan neuropraxia. Kebanyakan individu dengan cedera neuropraxia pulih secara

spontan dengan 90-100 persen pengembalian fungsi. Untuk pemulihan yang baik dari fungsi

lengan dengan fisioterapi 50-80%.

16

Page 17: referat Erb Ducenne

BAB III

KESIMPULAN

Paralisis Erb-Duchenne merupakan penyakit kelumpuhan ekstremitas atas

dikarenakan lesi pada plexus brachialis bagian atas, yang mengenai radiks C5-C6. Biasanya

penderita adalah bayi yang lahir dengan distonia bahu atau dapat pula terjadi pada anak-anak

dan dewasa dengan trauma di bahu.

Secara klinis pasien paralisis Erb-Ducenne memiliki gambaran kelumpuhan otot yang

dipersarafunya kha, yaitu posisi lengan tas adduksi dan endorotasi dan lengan bawah posisi

pronasi yang dikenal dengan Waiter’s tip potition.

Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan anamnesis,pemeriksaan fisik, pemeriksaan

CT-Scan atau MRI dan EMG. Penanganan pasien dengan Paralisis Erb-Ducenne harus

dilakukan secara multidisiplin, diagnosis yang sesegera ungkin dan fisioterapi yang tepat

dapat memulihkan 50-80% fungsi yang ada, tergantung keparahan lesi tersebut. Lesi yang

berat sehingga menyebabkan putusnya semua akson hanya dapat dilakukan terapi

pembedahan memberikan hasil yang belum memuaskan dan masih dalam penelitian.

17

Page 18: referat Erb Ducenne

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat,Jakarta.

2. Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com

3. Wedantho Sigit, 2007,Kelumpuhan Plexus Brachialis: Divisi Orthopaedi &

Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

4. http://www.erbspalsynetwork.com/aboutinjury.htm , accesed on october 31, 2011.

5. http://en.wikipedia.org/wiki/Erb%27s_palsy , accesed on october 31, 2011.

6. http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00384 accesed on october 31, 2011.

7. http://emedicine.medscape.com/article/317057-overview , accesed on October 31,2011

8. Sistem Saraf Perifer. Hand Out Perkuliahan Anatomi. Laboratorium Anatomi

Fakultas Kedokteran universitas Trisakti.Jakarta 2005

9. Tortora, G.J., & Anagnostakos, N.P. (1990). Principles of Anatomy and Physiology

(6th ed.). New York: Harper & Row. pp.370-374

10. Warwick, R., & Williams, P.L. (1973) Erb-Duchenne and Dejerine-Klumpke Palsies

Information Page: National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS).

pp.1046

11. Peleg D, Hasnin J, Shalev E (1997). "Fractured clavicle and Erb's palsy unrelated to

birth trauma". American Journal of Obstet. Gynecol. 177 (5): 1038–40

12. Ober WB (1992). "Obstetrical events that shaped Western European history". The

Yale journal of biology and medicine 65 (3): 201–10

18