Referat Eps
description
Transcript of Referat Eps
SINDROMA EKSTRAPIRAMIDAL
NAMA PEMBIMBING :
dr. Suponco Eddi Wahyono, Sp. KJ, MARS
DISUSUN OLEH
Adib Wahyudi (1102010005)
Andhika Dwianto (1102010019)
Arif Gusaseano (1102010033)
Dianta Afina (1102010075)
Gwendry Ramadhany (1102010115)
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RSUD SUBANG
PERIODE MEI 2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta
shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW karena dengan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ” SINDROMA
EKSTRAPIRAMIDAL” sebagai salah satu syarat penilaian pada Stase Jiwa di Rumah
Sakit Umum Daerah Subang.
Penulis menyadari sepenuhnya, dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, tetapi penulis mencoba untuk memberikan yang terbaik dengan segala
keterbatasan yang penulis miliki. Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan
dan dorongan banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan kali ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Suponco Eddi Wahyono, Sp. KJ, MARS selaku Pembimbing Medik
yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran,
nasehat, dan semangat untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih
saya sampaikan, dengan segala kerendahan hati, saya doakan semoga
kebaikan dan bimbingan selama ini diterima oleh Allah SWT dan semoga
selalu dilimpahkan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini,
kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun
bahasa yang disajikan. Oleh karena hal tersebut penulis memohon maaf atas
segala kekurangan dan kekhilafan yang tidak disengaja. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca, dalam memberikan
sumbangan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran. Kritik dan
2
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna memperoleh hasil
yang lebih baik di dalam penyempurnaan makalah ini dari cara penulisan hingga
isi dan pembahasannya.
Akhir kata dengan mengucap Alhamdulillah, semoga Allah
selalu meridhoi semua kebaikan yang kita kerjakan di dunia.
Subang, Mei 2014
Penulis
3
PENDAHULUAN
Gambar 1. Jaras Aferen dan Eferen
Sistem Piramidal
Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang
berasal dari korteks motorik pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak
dan turun ke spinal cord.
Mekanisme Kerja Sistem Piramidal
Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks motorik, impuls
gerakan yang diinginkan di teruskan menuju bagian posterior kapsula interna,
kapsula interna meneruskan impuls kepada medula oblongata, setelah mencapai
medulla oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis substansi kelabu,
yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali diteruskan menuju
ujung-ujung akson yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang
sadar.
Traktus piramidal dibagi menjadi:
1. Traktus piramidal (kortikospinal) lateral
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke
medulla. Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 85%
serabut kortikospinal akan berdekusasi dan terus memanjang sampai tanduk
posterior untuk bersinapsis langsung atau melalui interneuron dengan
4
neuron motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson akan berterminasi pada
lempeng ujung motorik otot rangka.
2. Traktus piramidal (kortikospinal) ventral / anterior
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke
medulla. Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 15%
serabut kortikospinal akan menyilang, lalu secara langsung atau melalui
interneuron dengan neuron motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson
akan berterminasi pada lempeng ujung motorik otot rangka.
Fungsi sistem piramidal :
a. Memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau suatu gerak sadar yang
bersifat halus.
b. Kontraksi otot distal, khususnya pada tangan dan jari.
Sistem Ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak
bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Sistem
ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal ganglia, batang otak,
spinal cord yang keluar dari traktus piramidal. Letak dari ekstrapimidal adalah
terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di
medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan
kontrol postur tubuh.
Traktus ekstrapirimidal dibagi menjadi:
a. Traktus retikulospinal, dari formasio reticular dan berujung pada sisi yang
sama di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla
spinalis.
b. Traktus vestibulospinal lateral, dari nucleus vestibular lateral dan
berujung pada sisi yang sama di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk
anterior medulla spinalis.
c. Traktus vestibulospinal medial, dari nucleus vestibular lateral dan
berujung pada sisi yang sama di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk
5
anterior medulla spinalis. Tanduk ini tidak berdescenden ke bawah area
serviks.
d. Traktus rubrospinal, dari nucleus merah otak tengah, traktus olivispinal
dari olive inferior medulla, traktus tektospinal dari tektum otak tengah.
Fungsi sistem ekstrapiramidal :
1. Mempertahankan tonus otot
2. Gerakan kasar
3. Perencanaan suatu gerakan
Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang
harus dilakukan, sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk
dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir. Kerjasama
yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam
fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil besar
dalam gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun demikian keduanya memiliki
fungsi yang berbeda dalam menghasilkan gerakan.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,
Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh
Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme
atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).
Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya
penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal
yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering
memberikan efek samping pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat pada
reseptor muskarinik. Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini
terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap
rangsangan.
6
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak
reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga
bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Gejala bermanifestasikan sebagai
gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali
traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi
distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada
beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk
ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia,
dan sindrom parkinson umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat
antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang
mempunyai potensi tinggi. Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien,
biasanya pada pria muda, terutama yang mendapat pengobatan dengan neuroleptik
haloperidol dan flufenarizin. Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30%
pasien yang telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan
atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya 5% pasien yang
memperlihatkan gejala nyata. Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sring
terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan medikasi neuroleptik.
Umumnya pada pasien muda. Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda,
dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Sindrom Neuroleptic Maligna
sangat jarang dijumpai.
7
C. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik
dalam jangka waktu singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan
keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik
dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +
Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:
1. Ketidakseimbangan degeneratif
2. Ketidakseimbangan metabolik
3. Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
4. Inflamasi
5. Racun
6. Tumor atau SOL
7. Anoxia
D. PATOFISIOLOGI
8
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-
inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang
otak, serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan
area 8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh
akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang
melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan
penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit
tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama
(principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan
segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan
korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus
dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah
diserahkan kepada korpus striatum / globus plaidus / thalamus untuk diproses dan
hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks
motorik tambahan.
Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya
menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka
sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1
merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum.
Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-
korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang
dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di
ganglia basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan
gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan
D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi
sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti
haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang
lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
E. MANIFESTASI KLINIS
9
Akibat gangguan sistem ekstrapiramidal pada pergerakan dapat dianggap
terdiri dari defisit fungsional primer (gejala negatif) yang ditimbulkan oleh tidak
berfungsinya sistem dan efek sekunder (gejala positif) yang timbul akibat
hilangnya pengaruh sistem itu terhadap bagian lain. Pada gangguan dalam fungsi
traktus ekstrapiramidal gejala positif dan negatif itu menimbulkan dua jenis
sindrom, yaitu :
1. Sindrom hiperkinetik – hipotonik : asetilkolin ↓ , dopamin ↑
Tonus otot menurun
Gerak involunter / ireguler
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus
2. Sindrom hipokinetik – hipertonik : asetilkolin ↑ , dopamin ↓
Tonus otot meningkat
Gerak spontan / asosiatif ↓
Gerak involunter spontan
Pada : Parkinson
Gejala negatif
Gejala negatif terjadi akibat kekurangn jumlah dopamin karena produksinya
yang berkurang. Gejala negatif, terdiri dari :
1. Bradikinesia
Gerakan volunter yang bertambah lambat atau menghilang sama
sekali. Gejala ini merupakan gejala utama yang didapatkan pada penyakit
parkinson sehingga menimbulkan berkurangnya ekspresi wajah,
berkurangnya kedipan mata dan mengurangi perubahan postur pada saat
duduk.
2. Gangguan postural
Merupakan hilangnya refleks postural normal. Paling sering
ditemukan pada penyakit parkinson. Terjadi fleksi pada tungkai dan badan
karena penderita tidak dapat mempertahankan keseimbangan secara cepat.
Penderita akan terjatuh bila berputar dan didorong.
Gejala Positif
10
Gejala positif timbul oleh karena terjadi perubahan pelepasan ataupun
disinhibisi dari dopamin, tetapi tidak ditemukan kerusakan struktur, yang terdiri
dari:
1. Gerakan involunter
Tremor
Athetosis
Chorea
Distonia
Hemiballismus
2. Rigiditas
Kekakuan yang dirasakan oleh pemeriksa ketika menggerakkan
ekstremitas secara pasif. Tahanan ini timbul di sepanjang gerakan pasif
tersebut, dan mengenai gerakan fleksi maupun ekstensi sering disebut
sebagai plastic atau lead pipe rigidity. Bila disertai dengan tremor maka
disebut dengan tanda Cogwheel.
Pada penyakit parkinson terdapat gejala positif dan gejala
negatif seperti tremor dan bradikinesia. Sedangkan pada Chorea
huntington lebih didominasi oleh gejala positif, yaitu : Chorea.
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu :
1. Reaksi distonia akut
2. Tardiv diskinesia
3. Akatisia
4. Parkinsonism (Sindrom Parkinson)
1. Reaksi Distonia Akut
11
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet
yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya
menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling
sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping, grimacing), leher
(torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir), seluruh otot tubuh
(opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik).
Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan
disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia
juga dapat terjadi pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga
sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian..Reaksi distonia akut sering terjadi
dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan
saja.
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-
kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik
dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine.
Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan
dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi secara
permanent dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik
menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:
o Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang
tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau
menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi
yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
Kriteria A
Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan
medikasi neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh
(misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring,
disfonia)
12
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar
(disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah
memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau
menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala
ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).
Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental
(misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut :
1. Gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak
sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan
setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi
neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi
medis umum dapat berupa berikut :
2. Gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat
tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala
berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
Dystonia
Manifestasinya sebagai postur tubuh yang abnormal untuk waktu yang
lama yang diakibatkan oleh spasme otot – otot besar yang terdapat di badan dan
ekstremitas, misalnya : retraksi pada kepala. Distonia dapat terjadi umum pada
dystonia musculorum deformans atau fokal pada torticolis.
Dystonia musculorum deformans
13
Onset terjadi pada masa anak – anak dan diturunkan secara autosomal
resesif. Pada awalnya terjadi deformitas pada kaki berupa fleksi ketika berjalan.
Lalu kelainan ini bertambah menjadi generalisata dengan postur kepala, badan,
dan ekstremitas yang abnormal. Diagnosis ditegakkan jika pada pasien memiliki
riwayat perinatal normal dan tidak terdapat bukti laboratorium adanya penyakit
Wilson. Pengobatan penyakit ini dapat dengan levodopa atau karbamazepin.
Namun, pada beberapa pasien tidak memberikan peningkatan yang berarti
sehingga dapat diganti dengan antikolinergik
2. Tardive Dyskinesia (kronik)
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif
reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot
abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya
berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Gejala
hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya
memburuk dengan penarikan neuroleptik.
Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40%
pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar
5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat
melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan
makan.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan
pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif
atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive.
Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit
Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang
ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.
3. Akatisia
Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang
panjang,, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang
tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak
mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan
14
pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
Sejauh ini, akatisia merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan
terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik,
terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang
gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan
sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa
hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan
pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala
objektif akatisia. Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi
neuroleptikdan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman.
Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah
ketidakpatuhan pasien.
4. Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia,
dosis obat, riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri
dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan
dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan,
dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur.
Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu
status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran
untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala
skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula
mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki
diakibatkan karena kekakuan otot.
5. Lain-lain
15
Berikut merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam
setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah
pengobatan bertahun-tahun. Manifestasinya meliputi berikut :
1. Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan,
penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan
penurunan mengunyahyang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada
bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status
perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran
untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan
gejala negative skizofrenia.
2. Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil.
Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai
“sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv,
tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk
mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap medikasi
antikolinergik.
3. Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dengan putaran huruf en
cetak dan hilangnya ayunan lengan.
4. Kekuan otot : terutama dari tipe cogwheeling. Gangguan gerakan yang
kronis progresif yang ditandai oleh adanya tremor, bradikinesia, rigiditas,
dan ketidakstabilan postural.
5. Chorea Huntington = Chorea Mayor
Merupakan gangguan herediter yang bersifat autosomal dominan, onset
pada usia pertengahan dan berjalan progresif hingga menyebabkan
kematian dalam waktu 10 – 12 tahun. Dapat terjadi pada usia muda (tipe
juvenile) dimana gejalanya kurang tampak dan didominasi oleh gejala
negatif (rigiditas, demensia, perubahan kepribadian, gangguan afektif,
psikosis, hipotonus, reflex primitif)
F. DIAGNOSIS
16
Diagnosa awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu
tanda–tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan
neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan
distonia simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi
adanya antipsikotik tidak tersedia secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam
serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi dengan baik dengan keparahan
klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada pengobatan akut.
Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, keratin
kinase-MM , nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin
dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam
basa, kerusakan otot dan hipoglikemi sebagai penyebab kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot
yang terlihat dari peningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM.
Perusakan otot juga menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga
menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi memperburuk penyerapan ini.
Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindroma putus obat
2. Parkinson Disease
3. Distonia primer
4. Tetanus
5. Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
6. Penyakit Huntington,
7. Chorea Syndenham
8. Anxietas
9. Gejala psikotik yang memburuk
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding dengan
penyakit Hutington dan Khorea Sindenham.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :
17
Non-farmakologis :
Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang
efektif
Farmakologis
Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1
hari dengan total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit
sebelum makan, contoh madopar, sinemet.
Pada pasien muda diberikan DA (dopamine antagonist)
Pemberian dopamine agonist :
Contoh ergot da:
o Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai
total maksimal 40mg/ hari terbagi dalam 3-5 dosis.
o Pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari
sampai 2-4 mg / hari untuk 3x beri
o Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari
o Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari
Contoh Non-ergot da
o Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya
3-4,5 mg / hari
o Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 3-
9 mg/ hari
Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine
Pemberian antikolinergik seperti :
o trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah
itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap
minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu
toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini.
o n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari
100 mg. Dosis umumnya 300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis
o Enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO –B
contoh selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor.
18
o COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) :
entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg,
tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan
meningkatkan efek L-dopa.
Pemberian epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek
menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi
reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari
antipsikotik dapat berkurang.
Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat
dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin
50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg
IM.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan
amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti
klonazepam dan lorazepam.
Pedoman umum :
1. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli
menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada
pasien dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat
neuroleptik poten dosis tinggi.
2. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat
menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya
menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan,
konstipasi dan retensi urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi
gejala psikotik.
3. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan
untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan
seksama terhadap kembalinya gejala.
19
a. Reaksi Distonia Akut (ADR)
Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer
dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah
terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin
(Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari
(TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin
mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan
ADR dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena
“rasa melayang” yang mereka dapat daripadanya.
Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus
diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur
intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV.
Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl)
50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan
benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5
menit.
b. Akatisia
Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali
memerlukan banyak eksperimen. Agen yang paling umum dipakai
adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga
dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal)
sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam
(klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.
c. Sindrom Parkinson
Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi
neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering
digunakan . Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit
Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya
yang berat.
20
d. Tardive Diskinesia
Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang
bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai.
Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat berkurang dengan
peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya
mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan
memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang atau
sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua
tahun.
Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada
banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-
aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga
membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga
digambarkan sebagai efektif tetapi depresi dan hipotensi merupakan
efek samping yang umum. Lesitin lemak kaya kolin sangat
bermanfaat menurut beberapa peneliti, tetapi kegunaannya masih
diperdebatkan.
Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja
terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive
tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat
memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan
pada dosis efektif terendah dapat mempertahankan pasien sementara
meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen
yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.
I. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu
sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak
21
saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada
distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat
menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan
mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine.
Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih
baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada
pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, Pasien dengan
tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak
diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien
yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
22