Referat DN
description
Transcript of Referat DN
REFERAT
NEFROPATI DIABETIK
Pembimbing: dr. Swa Kurniati DTM&H
Oleh :
Priska Valinia K (2014-061-184)
Efsan Adhiputra (2014-061-185)
Irvandi Handana Suryana (2014-061-186)
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA
ATMA JAYA
Periode 17 Agustus 2015 – 24 Oktober 2015
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan kasih
karunia-Nya, penulisan referat dengan judul “Distonia” dapat diwujudkan dengan
baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. George Dewanto, Sp.S atas
bimbingan dan saran Beliau selama penulisan referat ini. Penulis juga berterima
kasih kepada semua pihak yang membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penulisan referat ini.
Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf
yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini. Oleh karena
itu, segala saran atau kritik yang membangun akan dijadikan sebagai pemacu untuk
membuat karya yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini
bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 2015
2
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...............................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan .....................................................................................2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................3
2.1. Definisi Migren..........................................................................................3
2.2. Etiologi Migren .........................................................................................3
2.3. Patofisiologi Migren .................................................................................4
2.4. Manifestasi Klinis Migren.........................................................................5
2.5. Diagnosis Migren.......................................................................................7
2.6. Tatalaksana Migren...................................................................................12
BAB III
KESIMPULAN...................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................22
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Prevalensi diabetes melitus (DM) di seluruh dunia meningkat pesat
seiring dengan dengan peningkatan populasi geriatri, urbanisasi dan perubahan
gaya hidup. Penelitian dari India menunjukkan adanya peningkatan signifikan
penderita diabetes melitus pada area urban (dari 13.9% pada 2000 menjadi
18.2% pada 2006) dan pinggiran (dari 6.4% pada 2000 menjadi 9.2% pada
2006).1 International Diabetes Federation (IDF) memprediksi penderita DM yang
berusia di atas 20 tahun akan meningkat dari 285 juta pada 2010 menjadi 439 juta
pada 2030. Oleh karena itu, komplikasi organ target baik mikrovaskular dan
makrovaskular akan menjadi perhatian medis di masa yang akan datang.2
DM berkontribusi pada sebagian besar pasien yang menerima terapi
pengganti ginjal serta berkaitan dengan angka kejadian penyakit
kardiovaskular. Nefropati diabetik adalah komplikasi mikrovaskular terbanyak
dan menyebabkan gagal ginjal kronik tahap akhir. Orang dengan diabetes
memiliki risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir 12 kali lipat.3 Ciri
nefropati diabetik adalah adanya inflamasi dan akumulasi matriks mesangial,
fibrosis tubulointerstitial bermakna dan hyalinosis vaskular pada tahap akhir.
Diagnosis klinis diabetik nefropati dapat ditegakkan berdasarkan pada
adanya proteinuria > 0.5g/ 24 jam dan atau adanya perubahan kadar kreatinin.
Secara umum, perkembangan nefropati diabetik ditandai dengan adanya
peningkatan laju ekskresi albumin dari normo- menuju mikro- dan
makroalbuminuria. EURODIAB menemukan insiden pasien mikroalbuminuria
pada pasien diabetes tipe 1 adalah 12.6%. Proteinuria terjadi pada 15– 40%
pasien diabetes melitus tipe 1 dengan puncak insiden pada pasien yang 15-20
tahun mengalami diabetes. Pada pasien diabetes tipe 2, prevalensi bervariasi
antara 5 hingga 20%.4
Oleh karena itu, hal ini menarik minat peneliti untuk membahas lebih
lanjut mengenai proses dan mekanisme, alur mendiagnosis, dan bagaimana
mencegah progresivitas nefropati diabetik.
4
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Bagaimana epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, perjalanan
penyakit, diagnosis, dan tatalaksana nefropati diabetik?
1.3. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui definisi nefropati diabetik
2. Mengetahui etiologi dan patofisiologi nefropati diabetik
3. Mengetahui manifestasi klinis nefropati diabetik
4. Mengetahui perjalanan penyakit nefropati diabetik
5. Mengetahui cara menegakkan diagnosis nefropati diabetik
6. Mengetahui tatalaksana nefropati diabetik
5
BAB II
ISI
2.1. Diabetes melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang
mempunyai karakteristik peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia)
kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya5.
Klasifikasi DM yang dipakai di Indonesia sesuai dengan klasifikasi
menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, dimana DM terbagi
dalam 4 kategori yaitu5,6:
1. DM tipe 1
Pada DM tipe 1, jumlah insulin yang dihasilkan kurang atau
tidak terjadi sekresi insulin. Hal ini diduga disebabkan oleh karena
sistemimun (autoantibody terhadap sel pankreas, insulin, dan
tyrosine phosphatase) secara gradual menghancurkan sel beta (β) di
pankreas.
2. DM tipe 2
DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum terjadi (90-
95%)dibandingkan dengan DM tipe 1. Pada orang dengan
obesitas,kurangnya aktivitas fisik, peningkatan umur, riwayat keluarga
terkenaDM, diet tinggi lemak dan rendah serat, risiko terkena DM
akan meningkat. DM tipe 2 dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu
resistensi insulin perifer, kegagalan sekresi insulin, dan produksi
glukosa hepar yang berlebih. Pada stadium awal diabetes, walaupun
terdapat resistensi insulin, toleransi glukosa masih dalam angka normal.
Hal tersebut dikarenakan sel beta pankreas melakukan
kompensasidengan cara meningkatkan pengeluaran insulin
(hiperinsulinemia). Jika hal ini terus berlangsung, maka pankreas
sendiri tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia yang
6
mengakibatkan produksi dari insulin menurun sedangkan produksi
glukosa tetap meningkat sehingga terjadilah hiperglikemia.
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan gejala klinik khas dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis klinis umumnya akan dipikirkan apabila ada
keluhan-keluhan khas seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang cepat tanpa sebab yang jelas. Keluhan lain dapat berupa lemah
badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva
pada wanita.
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2006,
diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu7 :
1. Ditemukan keluhan klasik disertai dengan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl.
2. Ditemukan keluhan klasik disertai dengan pemeriksaan glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dl.
3. Bila ada keraguan perlu dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan mengukur kadar glukosa darah 2 jam setelah minum 75 gram
glukosa.
7
Gambar 2.1. Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu
Sumber: Buku Ajar Penyakit Dalam III, edisi IV. 2006
DM dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan genetik, penyakit iatrogenik
akibat steroid, kondisi endokrin seperti hiperpituitarisma atau hipertiroidisme serta
kerusakan sel-sel pulau Langerhans akibat inflamasi, kanker, atau pasca bedah.
Hormon insulin adalah rangkaian asam amino yang dihasilkan oleh sel beta pankreas
yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan glukosa darah antara 60-100 mg/dl
pada waktu puasa dan kadar gula darah dua jam setelah makan sekitar 100-140
mg/dl. Insulin berperan penting pada metabolisme karbohidrat, yang berfungsi dalam
proses utilisasi glukosa pada otot, lemak dan hepar. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi
insulin yang ditandai dengan penurunan jumlah reseptor insulin pada permukaan sel
target dan penurunan aktivitas post-reseptor sehingga sel-sel tersebut menjadi kurang
sensitif terhadap insulin, dan akhirnya resisten. Akibatnya kemampuan sel untuk
menggunakan insulin berkurang sehingga glukosa yang masukke dalam sel akan
berkurang dan glukosa di dalam darah akan meningkat. Tingginya kadar glukosa
dalam darah akan menstimulasi produksi insulin dalam jumlah besar
(hiperinsulinemia) untuk dapat memproses glukosa tersebut. Produksi insulin yang
terus-menerus ini dapat melemahkan fungsi sel beta dan bahkan dapat berakhir
dengan kerusakan permanen. Saat pankreas tidak dapat lagi menghasilkan insulin
yang cukup, maka seseorang akan mengalami hiperglikemia dan didiagnosis sebagai
DM tipe II8.
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya belum dapat
dipastikan, tetapi beberapa faktor banyak berperan, seperti obesitas terutama yang
bersifat sentral, kurang gerak badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat serta
faktor keturunan. Homeostasis glukosa diatur oleh tiga proses yang berhubungan
yaitu produksi glukosa di hati, penggunaan glukosa oleh jaringan periferal (otot), dan
sekresi insulin. Insulin akan berinteraksi dengan sel target dan berikatan dengan
reseptor insulin di permukaan sel target. Insulin dibutuhkan otot, lemak, dan hati agar
jaringan-jaringan tersebut mendapat asupan glukosa dari darah. Insulin tidak
8
dibutuhkan di sistem saraf pusat, maka penyandang DM tidak terkontrol yang
mengalami kekurangan insulin atau penurunan aktivitas insulin tetap dapat
menggunakan karbohidrat dalam kadar normal di otak dan sistem saraf. Namun,
jaringan lain tidak mendapat asupan glukosa yang cukup sehingga terjadi
peningkatan produksi glukosa dari glikogen dan protein. Jadi peningkatan kadar
glukosa darah pada penyandang DM merupakan kombinasi dari kurangnya
penggunaan glukosa dan produksi glukosa yang berlebihan dan metabolisme lemak
yang terganggu8.
Patofisiologi Diabetes.
Komplikasi akibat diabetes dapat berdampak pada beberapa sistem organ dan
ikut andil dalam mortalitas dan morbiditas pasien. Komplikasi dari diabetes biasanya
terjadi pada penderita diabetes setelah dekade ke dua. Diabetes tipe 2 memiliki
periode asimptomatik yang lama hingga terjadi komplikasi, menyebabkan tidak
banyak orang terdiagnosa memiliki diabetes ketika komplikasi telah terjadi.
Komplikasi dari diabetes dapat dibagi menjadi vaskular dan non vaskular.
Komplikasi vaskular dibagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan
neuropati) dan makrovaskular (coronary heart disease, peripheral arterial disease,
cerebrovascular disease)8.
Hiperglikemik kronis memang merupakan etiologi penting pada proses
terjadinya komplikasi dari diabetes, namun mekanisme yang menyebabkan
terjadinya gangguan pada sel tubuh hingga sistem organ belum diketahui. Beberapa
teori yang diperkirkan berperan dalam mekanisme terjadinya komplikasi pada
diabetes, antara lain; (1) Peningkatan kadar glukosa dalam darah menyebabkan
meningkatnya pembentukan dari advance glucose end products (AGEs), yang akan
menempel pada reseptor dari sel tubuh melalui jalur nonenzymatik glycoslaytation
dari intra dan ekstraseluler protein selanjutnya menyebabkan crosslink protein,
mempercepat proses arterosclerosis, disfungsi glomerular, disfungsi endotel,
komposisi ekstraselular matriks yang terganggu; (2) Hiperglikemi menyebabkan
peningkatan metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol yang dipengaruhi enzim
aldose reduktase; (3) Hiperglikemi meningkatkan pembentukan diacylgliserol
menyebabkan aktivasi protein kinase C yang dapat menggangu transkripsi gen pada
fibronectin , kolagen tipe IV, dan protein matriks ekstraseluler dari sel endotel dan
9
neuron. (4) Hiperglikemi menyebabkan gangguan pada fungsi dari glycosylation
proteiin, mengubah ekspresi gen dari TGF-B dan palsminogen activator inhibitor-18.
10
2.1. Nefropati diabetik
2.1.1. Definisi
Kimmelstiel Wilson syndrome atau biasa disebut nefropati diabetikum,
adalah suatu gangguan ginjal yang berhubungan dengan penyakit diabetes
jangka panjang. Gejala utama dari nefropati diabetikum adalah adanya
proteinuria Proteinuria yang harus dicek minimal 2 kali dalam kurun waktu 3
sampai 6 bulan, penurunan GFR, dan hipertensi9.
2.1.2. Epidemiologi
Kurang lebih 20-305 penderita DM mengalami microalbumiuria 15
tahun setelah terkena penyakit diabetes. Gejala nefropati diabetikum lebih sering
terjadi pada diabetes melitus tipe 1. Proteinuria terjadi pada 15-40% penderita
diabetes tipe 1 sedangkan pada diabetes tipe 2 prevalensi terjadinya proteinuria
15-20%10.
Dari sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris, didapati bahwa
jumlah penderita nefropati diabetik lebih banyak di asia daripada di negara barat.
Hal ini disebabkan pada orang asia, penderita diabetes melitus tipe 2 relatif lebih
muda karena itu kemungkinan terkena nefropati diabetik lebih tinggi. Di
Indonesia sendiri prevalensi nefropati diabetik pada penderita diabetes melitus
sekitar 2-39,3%. Negara Thailand sebesar 29,4%, negara Filipina sebesar 20,8%,
dan di Hongkong sebesar 13,1%11.
2.1.3. Patofisiologi nefropati diabetik
Komplikasi renal pada DM
Nefropati diabetik merupakan penyebab tersering dari chronic kidney
disease (CKD), dan end stage renal disease (ESRD). Diabetik nefropati
merupakan komplikasi mikrovaskular dari diabetes mellitus dimana
patogenesisnya belum diketahui namun diperkirakan berhubungan akibat dari
hiperglikemi kronis yang menyebabkan terjadinya disfungsi dari glomerulus
yaitu perusakan endotel pada ginjal akibat peningkatan dari advance glucose end
products (AGEs). Beberapa mekanisme lainnya yang berperan pada proses
11
terjadinya diabetik nefropati antara lain peningkatan beberapa substrat (growth
factor, angiotensin II, endothelin, AGEs), gangguan hemodinamik dari sirkulasi
renal (glomerular hyperfiltration dan peningkatan tekanan kapiler glomerular),
dan perubahan struktural dari glomerulus (peningkatan matriks ekstraseluler,
penebalan basement membrane, pembesaran lapisan mesangial, dan fibrosis).
Perjalanan penyakit dari diabetik nefropati berawal dari peningkatan
filtrasi glomerular dan hipertrofi renal yang diikuti dengan peningkatan GFR
terjadi pada tahun pertama setelah terdiagnosa diabetes mellitus. Pada 5 tahun
selanjutnya umumnya telah terjadi penebalan dari membran basement
glomerulus, hipertrofi glomerulus, dan pembesaran volume mesangial sehingga
berlanjut dengan GFR yang turun menuju normal. Setelah 5–10 tahun penderita
diabetes mellitus dengan komplikasi pada ginjal mulai ditemukan adanya
albumin pada urin (microalbuminuria) dan terjadi pada 50% berlanjut menjadi
macroalbuminuria setelah 10 tahun. Ketika macroalbuminuria terjadi akan
menyebabkan penurunan dari GFR dan 50% penderita akan mencapai end stage
renal disease 7-10 tahun kemudian8.
Perjalanan penyakit nefropati diabetik12
a. Stadium 1 Early renal hypertrophy and glomerular hyperfiltration
Pada stadium ini tanpa keluhan atau gejala klinis dengan ciri khusus.
Parameter penting untuk evaluasi fungsi ginjal pada DM adalah dengan UAE
yang meningkat pada DM tidak terkontrol. Perubahan UAE ini dapat dilihat
dengan jelas dengan tes provokasi latihan. Setelah beberapa tahun dapat dilihat
adanya perubahan pada membran basalis glomerulus yang merupakan kombinasi
dari perubahan LFG, ukuran ginjal, dan kombinasi perubahan struktural dan
fungsional pada diabetes dini.
b. Stadium II Glomerular lesions without clinically evident disease
Pada stadium ini juga tanpa gambaran klinis dengan ciri khusus, hipertensi
hanya ditemukan 5-10%. Diagnosis nefropati diabetik stadium II berdasarkan:
- nefromegali
- hiperfiltrasi glomerular (hipertensi intraglomerular) (LFG) lebih dari
150 ml per menit
12
- urine albumin excretion rate (UAER per menit) pada keadaan basal
normal dan meningkat setelah uji latihan fisik
- histopatologis ginjal hiperttrofi glomerulus dan membran basal
glomerulus menebal disertai ekspansi matriks mesangial
c. Stadium III ( incipient diabetic nephropathy)
Stadium ini tanpa keluhan yang berhubungan dengan nefropati, selalu
ditemukan hipertensi pada pemeriksaan fisik. Stadium lanjut mungkin dengan
keluhan penyakit luar ginjal seperti retinopati, neuropati dan penyakit vaskular
umum.
Kriteria diagnosis berdasarkan:
- nefromegali
- hiperfiltrasi (LFG 160 ml per menit pada stadium awal dan 130 ml
per menit pada stadium lanjut)
- mikroalbuminuria bervariasi antara 15 sampai 300 mikrogram per
menit
- histopatologi renal: ekspansi matriks mesangial dan penebalan mem-
bran basal.
- kelainan luar ginal: retinopati, neuropati, penyakit jantung iskemik
berhubungan dengan profil lemak
d. Stadium IV overt diabetic nephropathy
Ciri khusus pada stadium ini adalah mikroalbuminuria lebih dari 300 mikrogram
per menit. Gejala renal bergantung dari derajat penurunan faal ginjal (LFG) dan
eksresi protein
- nefromegali
- proteinuria asimtomatis dengan hematuria mikroskopis, sindrom
nefritik kronis, dan sindrom nefrotik
- LFG 70-130 ml per menit
- hipertensi ringan sampai berat dan mempunyai korelasi dengan
derajat penurunan faal ginjal (LFG)
- simtomatologi penyakit luar ginjal makin mencolok seperti
retinopati, neuropati, penyakit vaskuler umum
13
- kelainan histopatologi renal makin nyata terutama ekspansi matriks
mesangial dan penebalan membran basal glomerulus. Adanya
proteinuria masif menunjukkan histopatologi renal makin berat.
e. Stadium V nefropati diabetik terminal
Pasien dengan stadium ini merupakan indikasi terapi pengganti ginjal.
Gambaran klinis nefropati diabetik
1. Proteinuria
Proteinuria asimptomatik merupakan tanda permulaan dari nefropati
diabetik, timbulnya intermitten selama beberapa tahun dan akhirnya menetap
disertai proteinuria masif. Pada stadium permulaan, proteinuria ringan dari
nefropati diabetik ini sulit dibedakan dengan proteinuria karena
glomerulonefritis membranosa karena sebab lain.
Bila telah terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama serta diikuti
oleh gambaran klinis lainnya seperti edema dan hipertensi. Proteinuria pada
nefropati diabetik biasanya non-selektif. Proteinuria ini merupakan indikator
untuk nefropati diabetik namun harus disingkirkan penyebab lainnya seperti
gagal jantung kongestif, ketoasidosis, pielonefritis, dan ortostatik. Nefropati
diabetes beru muncul setelah 20 tahun menderita intoleransi glukosa pada DM
tipe dewasa dan 14 tahun pada tipe juvenii.13
2. Edema
Penimbunan carian pada jaringan ekstraselular sesuai dengan derajat
proteinuria dan hipoalbuminemia. Pada pasien yang keadaanya berat, dapat
terjadi edema anasarka.13
3. Hipertensi
Hipertensi tidak selalu ditemukan pada nefropati diabetik namun
biasanya muncul setelah terdapat kelainan histopatologis berat pada DM tipe I.
Pada DM tipe II sering disertai hipertensi esensial.13
4. Gagal ginjal kronis
Clearance kreatinin tidak selalu tepat menggambarkan nilai LFG,
karena dipengaruhi keadaan hiperglikemia, glukosuria, albuminuria, dan
14
ketoasidosis. Kreatinin serum satu-satunya pemeriksaan laboratorium rutin yang
dapat memperkirakan nilai laju filtrasi glomerulus.13
2.1.4. Diagnosis nefropati diabetik
Anamnesis
Dari anamnesis yang perlu digali adalah identifikasi mengenai faktor
risiko seperti lama menderita DM, apakah ada di keluarga yang menderita
hipertensi, kebiasaan makan sehari-hari terutama yang berkaitan dengan protein
hewani, identifikasi penyakit penyerta lainnya misalnya artritis Gout.
Skrining dan diagnosis diabetik nefropati
Skrining dan diagnosis diabetik nefropati harus ditegakkan sejak pasien
didiagnosis menderita DM tipe 2 karena lebih kurang 7% pasien mengalami
mikroalbuminuria. Pada pasien dengan DM tipe 1 skrining dapat dilakukan
setelah 5 tahun diagnosis ditegakkan. Pada pasien dengan DM tipe 1 atau 2 dan
mikroalbuminuria harus dites lebih lanjut mengenai kadar albumin setiap tahun
untuk memantau progresivitas penyakit dan respon terhadap terapi4.
Stadium diabetik nefropati dapat dikelompokkan berdasarkan nilai
albumin excretion rate (AER) atau urinary albumin excretion (UAE):
mikroalbuminuria dan makroalbuminuria. Nilai UAE dapat menggambarkan
faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada penderita DM tipe 2.
Progresi menuju mikroalbuminuria dan makroalbuminuria lebih sering pada
penderita DM tipe 2 dengan UAE diatas median (2.5 mg/ 24 jam). Setelah
dilakukan follow-up selama 10 tahun ditemukan bahwa risiko diabetik nefropati
meingkat 29 kali lipat lebih banyak pada pasien dengan UAE diatas 10 μg/
menit4.
American Association of Diabetes (ADA) merekomendasikan bahwa
tahap pertama dalam men-skrining diabetik nefropati adalah mengukur kadar
albumin pada sampel urin pertama di pagi hari atau pada waktu kapan saja.
Pengukuran albumin pada sampel urin 24 jam dapat menggambarkan
konsentrasi albumin pada urin (mg/l) atau rasio albumin/ kreatinin (mg/g atau
mg/ mmol). Kriteria mikroalbuminuria bila terdapat albumin dalam urin 30-300
15
mg/ 24 jam. Pada pasien dengan DM tipe 2 sebanyak 36% pasien mengalami
kerusakan ginjal tanpa mikro- atau makroalbuminuria, sehingga skrining
tahunan diabetik nefropati harus mencakup pengukuran serum kreatinin dan
eGFR. Selain itu juga dapat dilakukan teknik identifikasi mikroalbumiuria
dengan beberapa teknik seperti radioimmuno assay (RIA), Enzyme-linked
immunosorbent Assay (ELISA), turbinometri.13
Skrining pada urin tidak boleh dilakukan pada kondisi yang dapat
meningkatkan UAE seperti infeksi saluran kemih, hematuria, penyakit dengan
demam akut, olahraga berlebihan, hiperglikemia akut, hipertensi tidak terkonrol,
dan gagal jantung. Sampel urin harus diletakkan dalam kulkas bila tidak
digunakan pada hari yang sama. Immunoassay secara rutin dilakukan untuk
mengukur albumin dan sensitif terhadap diabetik nefropati. Selain itu, high-
performance liquid chromatography termasuk immunoreaktif dan
immunounreaktif dapat mendeteksi secara dini diabetik nefropati.
Pada situasi dimana pengukuran UAE tidak dapat dilakukan,
pengukuran dipstik semikuantitatif untuk mengukur albumin pada urin seperti
Micral Test II dapat dilakukan. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah tes
deteksi proteinuria (dipstik) atau pengukuran protein kuantitatif pada sampel
urin. Adanya dipstik positif atau konsentrasi protein urin >430 mg/l memiliki
sensitivitas 100% pada kedua tes dan spesifitas 82% dan 93% untuk diagnosis
proteinuria. Diagnosis proteinuria dapat ditegakkan bila kadar protein dalam urin
>500mg/ 24 jam4.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan UAE yang normal namun
memiliki penurunan laju filtrasi glomerulus. Pada pasien DM tipe 1 fenomena
ini lebih sering ditemukan pada pasien wanita dengan diabetes yang kronis,
hipertensi dan atau retinopati. Oleh karena itu, pengukuran laju filtrasi
glomerulus (LFG) UAE perlu secara rutin dilakukan (setiap tahun). Pengukuran
LFG dapat dilakukan secara spesifik seperti klirens insulin, Cr-EDTA, I-
iothalamate, dan iobexol. Rekomendasi perhitungan LFG oleh National Kidney
Foundation (NKF) adalah dengan MDRD (Modified Diet in Renal Disease):
LFG in mL/menit per 1.73 m2 175 x SerumCr-1.154 x umur-0.203 x 1.212 (pada
pasien suku bangsa Afrika) x 0.742 (bila wanita).4 Rumus CKD-EPI (Chronic
16
Kidney Disease Epidemiology Collaboration) memberikan hasil LFG yang lebih
akurat dibandingkan MDRD.14
Stadium Cut off nilai albuminuria Karakteristik klinik
Mikroalbuminuria 20-199 μg/ menit Penurunan tekanan darah
nokturnal abnormal dan
peningkatan tekanan darah
30-299 mg/ 24 jam Peningkatakan trigliserida,
kolesterol LDL dan total,
asam lemak jenuh
30-299 mg/ g Peningkatan frekuensi
komponen sindrom
metabolik
Disfungsi endotelial
Berkaitan dengan
retinopati diabetik,
amputasi, dan penyakit
kardiovaskular
Peningkatan mortalitas
akibat penyakit
kardiovaskular
LFG stabil
Makroalbuminuria ≥200 μg/ menit Hipertensi
≥ 300 mg/ 24 jam Peningkatakan trigliserida,
kolesterol LDL dan total,
asam lemak jenuh
> 300 mg/ g Iskemik miokard
asimtomatik
Penurunan LFG progresif
Pemeriksaan penunjang diagnosis13
1. Pemeriksaan laboratorium
17
- urinalisis rutin pada setiap pasien DM
- biakan urin dan uji kepekaan terhadap bermacam-macam antibiotik
- skrining gula darah dan toleransi glukosa
- faal ginjal (LFG dan tubulus)
- HbA1c dan C. Peptide
- kolesterol total, lipoproteinuria, dan trigliserid
- faktor-faktor pembekuan, serum/ urin FDP
2. Pemeriksaan mata (oftalmoskop)
Pemeriksaan oftalmoskop sangat penting untuk melihat perubahan-perubahan
retina: retinopati diabetik dan mikroaneurisma mata dan retinopati hipertensif
3. Pemeriksaan radiologi
- foto thorax
- pemeriksaan pielogram intravena harus hati-hati, kemungkinan bahaya
gagal ginjal akut lebih besar pada DM
4. Pasien dengan overt diabetic nephropathy harus diidentifikasi penyakit-
penyakit di luar ginjal terutama sistem kardiovaskular. Pemeriksaan rutin
elektrokardiogram dan pemeriksaan risiko kardiovaskular (profil lipid,
kolesterol, LDH)
5. Pasien dengan nefropati diabetik terminal (NDT) dipersiapkan memilih
beberapa alternatif terapi pengganti ginjal.
- pemeriksaan hematologis
- pemeriksaan faal hati termasuk marker HbSAg
- pemeriksaan sistem kardiovaskular (EKG dan echocardiogram)
- pemeriksaan elektrolit dan kimia darah
- pemeriksaan tipe jaringan
- pasien yang akan menjalani program hemodialisis harus dibuat AV shunt pada
saat kreatinin serum 6.0 mg%
18
2.1.5. Tatalaksana nefropati diabetik
Terapi optimal pada neuropati diabetik adalah kontrol gula darah.
Albuminuria harus dideteksi sedini mungkin agar terapi memberikan hasil yang
efektif. Terapi nefropati diabetikum ada dasarnya memiliki 4 prinsip yaitu9,11:
1. Pengendalian gula darah
2. Pengendalian tekanan darah
3. Perbaikan fungsi ginjal
4. Pengendalian faktor komorbid
Terapi pada neuropati diabetikum dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi
farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi dari non farmakologis dapat berupa
perubahan gaya hidup yang berfungsi untuk mengkontrol faktor-faktor resiko.
American Diabetes Association (ADA) menganjurkan olah raga rutin bagi pasien
diabetes dengan resiko nefropati, olahraga yang dianjurkan adalah berjalan 3-5km
per hari dengan kecepatan 10-12 menit per kilometer, 4-5 kali per minggu. Pada
pasien neuropati dibetik juga diharuskan adanya diet rendah protein dan rendah
garam. Pembatasan asupan garam sebanyak 4-5 gram/hari. Target tekanan darah
yang harus dicapai pada psien nefropati diabetik harus kurang dari 130/80 mmHg.
Sedangkan pembatasan protein sebesar 0,8 gram/kilogram berat badan ideal/hari.
Obat utama yang digunakan dalam terapi nefropati dibetik adalah ACE
inhibitor dan ARB. Kedua obat ini memiliki fungsi menurunkan tekanan darah
dan mencegah penurunan GFR lebih lanjut. Setelah 2 sampai 3 bulan terapi pada
pasien albuminuria, jika tidak ada perbaikan maka dosis bisa ditambahkan hingga
albuminuria pada pasien menghilang atau dosis maksimum sudah dicapai. Jika
penggunaan ACE inhibitor atau ARB tidak memungkinkan, obat-obat hipertensi
lain seperti kalsium channel blocker, beta bloker, atau furosemide dapat
digunakan. Tetapi, terapi dengan obat-obat tersebut belum terbukti dapat
mencegah penurunan GFR lebih lanjut8.
19
Jika pasien memiliki penyakit komorbid, penyakit tersebut juga perlu
diterapi. Obat-obatan seperti penurun kolesterol juga dapat diberikan jika pasien
memiliki gangguan dislipidemia. Kontrol gula darah dengan obat-obatan seperti
metformin juga harus tetap diberikan.
Pada pasien dengan neuropati stage 5, terapi farmakologi sudah tidak
memadai lagi. Dialisis atau transplan ginjal dapat dilakukan pada pasien dengan
perjalanan penyakit yang sudah jauh8.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Chen L, Magliano DJ, Zimmet PZ. The worldwide epidemiology of type 2
diabetes mellitus—present and future perspectives. Nat Rev Endocrinol.
2012;8(4):228–36.
2. Luis-Rodríguez D, Martínez-Castelao A, Górriz JL, De-Álvaro F, Navarro-
González JF. Pathophysiological role and therapeutic implications of
inflammation in diabetic nephropathy. World J Diabetes. 2012;3(1):7.
3. Adler AI, Stevens RJ, Manley SE, Bilous RW, Cull CA, Holman RR.
Development and progression of nephropathy in type 2 diabetes: the United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS 64). Kidney Int. 2003;63(1):225–
32.
4. Gross JL, De Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz
T. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes Care.
2005;28(1):164–76.
5. [WHO] World Health Organization. Definition, Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus and its Complication. Geneva: WHO; 1999.
6. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus.Diabetes Care Supl 2013; 36: 67-74.
7. Soegondo et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
di Indonesia 2006. Jakarta: PB PERKENI; 2006.
8. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Ed ke 18. New York: McGrawHill; 2012
9. Hendromartono. Nefropati Diabetik: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. 1942-6.
10. Adam JMF. Komplikasi Kronik Diabetik Masalah Utama Penderita Diabetes dan
Upaya Pencegahan. Supl 26:3;2005.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/9-John
%20Adam.pdf [Diakses 9 September 2015]
11. Boner G, Cooper ME. Management of Diabetic Nephropathy. 2005. London:
Martin Dunitz, Ltd.
21
12. Mogensen CE, Christensen CK, Vittinghus E. The stages in diabetic renal
disease: with emphasis on the stage of incipient diabetic nephropathy. Diabetes.
1983;32(Supplement 2):64–78.
13. Sukandar E. Nefrologi Klinik. 2nd ed. Bandung: ITB Bandung; 1997.
14. Michels WM, Grootendorst DC, Verduijn M, Elliott EG, Dekker FW, Krediet
RT. Performance of the Cockcroft-Gault, MDRD, and New CKD-EPI Formulas in
Relation to GFR, Age, and Body Size. Clin J Am Soc Nephrol. 2010 Jun
1;5(6):1003–9.