Referat Difficult Airways

44
REFERAT ANESTESI DIFFICULT AIRWAYS Pembimbing: Dr. T. Liempy, Sp. An Disusun oleh: Ruhmana Firah Fadilla R 030.09.215 Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 1

description

r

Transcript of Referat Difficult Airways

REFERAT ANESTESIDIFFICULT AIRWAYS

Pembimbing:Dr. T. Liempy, Sp. An

Disusun oleh: Ruhmana Firah Fadilla R 030.09.215

Kepaniteraan Klinik Ilmu AnestesiRumah Sakit Angkatan Laut dr. MintohardjoFakultas Kedokteran Universitas Trisakti JakartaPeriode 16 Maret 18 April 2015

Lembar Pengesahan

Nama: Ruhmana Firah Fadilla R

NIM: 030.09.215

Universitas: Universitas Trisakti

Fakultas: Kedokteran

Bidang Pendidikan: Ilmu Anestesi

Periode Kepaniteraan Klinik: Periode 16 Maret 18 April 2015

Judul Referat: Difficult Airway

TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL :

Bagian Ilmu AnestesiRSAL dr. MintohardjoFakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Co-assistenPenguji

Ruhmana Firah Fadilla Rdr. T. Liempy, Sp.An

BAB IPENDAHULUAN

Jalan napas merupakan hal penting yang harus dipertahankan dan paten dalam anestesi. Dimulai dengan penilaian jalan napas rinci untuk mengidentifikasi kesulitan jalan nafas, dan cara-cara untuk menanganinya. Difficult airway atau kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan jalan napas merupakan interaksi kompleks dari faktor pasien, klinis, dan kemampuan dokter. Kesulitan jalan napas ini, apa bila tidak ditanggulangi dapat berujung pada kematian, brain injury, cardiopulmonary arrest, pembuatan saluran napas secara operasi ayng tidak perlu, trauma airway dan kerusakan pada gigi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMIAnatomi Jalan Napas

Gambar 1.1 Anatomi Jalan Napas

Jalan nafas pada manusia terdiri dari dua jalan, yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis) yang di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring. Faring berbentuk seperti huruf U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis, gerbang laring, pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago: tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme. 1

Gambar 1.2 Anatomi Laring

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula (V3) saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea.1

Gambar 1.3 Persarafan Saluran Nafas

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.1Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara. Gangguan persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol jalan nafas.1Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf laringeal superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari otot krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis saraf laringeal rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti atropi dari otot laringeal).1Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.1Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari arteri karotis externa dan menyilang pada membran krikotiroid bagian atas, yang memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika merencanakan krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.1

2. DIFFICULT AIRWAYDefinisiDifficult airway atau kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di mana anestesi konvensional terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. 2

Klasifikasi Difficult AirwaysMenurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 52 :1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal.2. Kesulitan penempatan SGAPenempatan SGA membutuhkan upaya berulang dengan ada ata tidaknya patologi trakea.3. Kesulitan dilakukan laringoskopiKesulitan untuk melihat bagian pita suara, setelah dicoba beberapa kali dengan laringoskop sederhana.4. Kesulitan intubasi trakeaDibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir lebih dari 10 menit5. Kegagalan intubasiPenempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi

Diagnosis AnamnesisAnemnesis riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas.2

Pemeriksaan fisik METODE LEMONSalah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON.3

L = Look externallyMelihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek, trauma facial, gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.3

E = Evaluate 3 3 2 rule3 3 2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.3

Gambar 2.1 Evaluasi Jari 3 3 2

M = Mallampati scoreMallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil menjulurkan lidah. 3, 4

Gambar 2.2 Skor Mallampati

KlasifikasiKlinis

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IVTampak uvula, pilar fausial dan palatum mole Pilar fausial dan palatum mole terlihatPalatum durum dan palatum mole masih terlihatPalatum durum sulit terlihat

Tabel 2.1 Skor Mallampati pada klinis

O = Obstruction/ObesityMenilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses peritonsil, trauma.Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring.3

N = Neck deformityMenilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal" adalah 35 (The atlanto-oksipital/ A-O joint). 5

Tabel 2. 2 Metode Lemon5

METODE 4MS51. Mallampati Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring.4, 5

Gambar 2.2 A. Skor Mallampati B. Skor Smasoon and Young

A. Klasifikasi MallampatiKlinis

Kelas ITampak uvula, pilar fausial dan palatum mole

Kelas IIPilar fausial dan palatum mole terlihat

Kelas IIIPalatum durum dan palatum mole masih terlihat

Kelas IVPalatum durum sulit terlihat 2,3

Tabel 2.2 Skor Mallampati pada klinis

B. Klasifikasi Samsoon YoungKlinis

Kelas IVisualisasi seluruh bukaan laring

Kelas IIVisualisasi hanya komisura posterior dari bukaan laring

Kelas IIIVisualisasi hanya epiglotis

Kelas IVVisualisasi hanya soft palate

Tabel 2.3 Skor Samsoon and Young untuk penilaian laring

2. Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers 3 Jari. Bukaan mulut.3 Jari. Jarak hypomental = dari manthus sampai leher2 Jari antara thypiod sampai dasar dari mandibula1 - Jari. Subluksasi mandibula

3. Movement of the neckEktensi leher "normal" adalah 35 (The atlanto-oksipital/ A-O joint).Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis, halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal.2,3

Gambar 2.3 Ekstensi leher normal

4. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P) STOPS= Skull (Hidrocephalus dan mikrocephalus) T= Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro mandibula) O= Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and leher) P=Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins, Goldenhars, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)2,3

Tabel 2.4 Metode 4MsJika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult airway5,6

Pemeriksaan PenunjangRadiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.2

3. PENANGANAN JALAN NAPAS SULITEvaluasi Jalan Napas Memperoleh riwayat kesulitan jalan napasRiwayat penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu dalam cara menghadapi kesulitan jalan nafas, riwayat operasi atau riwayat anestesi, jika ada kemudian tanyakan waktu pelaksanaan.2 Pemeriksaan fisikCiri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan leher) dan kemungkinan dari kesulitan jalan nafas.2 Evaluasi tambahanTes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi ) dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas 2

Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas1) Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas2 Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran yang sesuai Endotrakea tube berbagai macam ukuran. Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal tube. Peralatan Intubasi fiberoptik. Peralatan Intubasi retrograd. Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan combitube. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya, cricothyrotomy). Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).2) Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi3) Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam manajemen kesulitan jalan nafas, 4) Melakukan preoksigenasi preanestesi dengan sungkup wajah sebelum memulai manajemen kesulitan jalan nafas, kuran glebih selama 3 menit untuk mencapai hasil saturasi oksigen yang baik5) Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA.

Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas1) Intubasi sadar. Intubasi endotraea dalam keadaan pasien sadar dengan anestesi topikal, pilhan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher, perdaraha, usus, serta kesulitan jalan napas. Ketika intubasi endotrakeal direncanakan dalam keadaan sadar di bawah anestesi topikal, kombinasi obat premedikasi digunakan untuk menghilangkan kecemasan, memberikan jalan napas yang jelas dan kering, dan mencegah aspirasi isi lambung.yaitu antara lain seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika vocalis. Midazolam dalam dosis 20 sampai 40 mg / kg iv, diulang setiap 5 menit yang diperlukan, yang digunakan untuk mencapai tingkat yang diinginkan sedasi (dosis maksimal 100 sampai 200 mg / kg).8 Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar pada pasien yang menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil yang memuaskan 88-100%.22) Laringoskopi dengan bantuan video.Meningkatkan visualisasi laring, frekuensi kesuksesan lebih tinggi dibanding intubasi dengan laringoskop, dan frekuensi yang lebih tinggi dari intubasi upaya pertama; tidak ada perbedaan dalam waktu untuk intubasi, trauma jalan nafas, bibir / trauma karet, trauma gigi, atau sakit tenggorokan.

Gambar 3.1 Laringoskop McGrath3) Intubasi stylets atau tube-changer. 4) SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. 3LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring.

Gambar 3.2 Laryngeal Mask AirwayPemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran. 3

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm). 4KeuntunganKerugian

Perbandingan dengan sungkup Hands-free operasi Segel yang lebih baik pada pasien berjenggot Kurang praktis dalam operasi THT Sering lebih mudah untuk mempertahankan jalan nafas Melindungi terhadap sekresi saluran napas Saraf wajah kurang dan trauma mata Kurang operasi polusi kamar Lebih invasif Risiko lebih dari trauma jalan nafas Membutuhkan keterampilan baru Anestesi yang lebih diperlukan Membutuhkan beberapa mobilitas TMJ N2O difusi ke dalam manset beberapa kontraindikasi

Perbandingan dengan intubasi trakea Kurang invasif Sangat berguna dalam intubasi sulit Kurang gigi dan trauma laring Kurang laringospasme dan bronkospasme Tidak memerlukan relaksasi otot Tidak memerlukan mobilitas leher Tidak ada risiko terserang atau intubasi endobronkial Peningkatan risiko aspirasi gastrointestinal Kurang aman di posisi rawan atau berlipat Batas maksimum PPV Napas kurang aman Risiko yang lebih besar dari kebocoran gas dan polusi dapat menyebabkan distensi lambung

Tabel 3.1 Perbandingan LMA dengan Sungkup dan Intubasi Trakea

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus bebas seraya pasiennya sadar. 45) SGA untuk intubasi (ILMA),6) Laryngoscopic berbagai desain dan ukuran, Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Gambar 3.3 LaringoskopLaringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

Gambar 3.4 Blade untuk laringoskopi

7) Intubasi dengan bantuan fiberoptik Pada beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil, pergerakan yang terbatas pada sendi temporo mandibular, atau dengan kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB (fiberoptik bronchoscope) yang feksibel mungkin visualisasi indirek dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana intubasi sadar (awake intubation) direncanakan. FOB yang dibuat dari fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan gambaran resolusi tinggi. 4 Gambar 3.5 Alat intubasi fiberoptik

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O2 atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan. 4

Cara intubasi Nasal Fiberoptik FleksibelKedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah. O2 dapat dihembuskan melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip. 4Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat dipasang dalam lubang hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari nasal airway untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan melalui na sal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi. 4

Gambar 3.6 Nasal Flexible Fiberoptic

Jika ada asisten, maka lakukanlah jaw thrust atau lakukan tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas spontan, tarik lidah dengan kasa dapat memfasilitasi intubasi.4Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB. Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik.

8) Stylets menyala atau Ligth Wand.

Akibat dari kesulitan jalan napas Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah: kematian, kerusakan otak, cardiac arrest, trauma jalan napas, kerusakan gigi.

Algoritma Kesulitan Jalan Napas2, 41. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada penanganan dasar: Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien Kesulitan ventilasi sungkup Kesulitan penempatan Supraglottic Airway Kesulitan laringoskopi Kesulitan intubasi Kesulitan akses bedah jalan napas 2. Aktif memberikan oksigen tambahan selama proses manajemen kesulitan jalan napas 3. Mempertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan dari penanganan dasar : Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal untuk intubasi Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi Menjaga Ventilasi spontan vs pelepasan ventilasi spontan 4. Mengembangkan strategi primer dan strategi alternativeKotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. A tidak pada retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi) 2

Gambar 3.7 Algoritma Difficult Airwaya) Pilihan lain termasuk: operasi menggunakan masker wajah atau supraglottic airway (SGA) (Misalnya, LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal atau blokade saraf regional. b) Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas percutaneous, jet ventilation, dan intubasi retrograde.c) Pendekatan alternatif : laringoskopi dengan video, bilah laringoskop alternatif, SGA (LMA atau ILMA) sebagai saluran intubasi (dengan atau tanpa bimbingan serat optik), intubasi dengan serat optik , intubasi dengan stylet atau tabung changer, light wand, dan blind oral or nasal intubation. d) Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau membatalkan operasi. Pemasangan face mask, jika facemask adekuat, masuk jalur nonemergensi ASA-DAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan ventilasi supraglotis dengan LMA. Jika berhasil, dilanjutkan jalur nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi trakea.Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal. 2

Gambar 3.8 Algoritma Difficult Airway Sederhana menurut difficult Airway Society

Gambar 3.9 Algoritma Difficult Airway Pada Intubasi Trakea Pasien Dewasa Menurut Difficult Airway Society

Gambar 3.10 Algoritma Difficult Airway Menurut Difficult Airway Society

Gambar 3.11 Algoritma Difficult Airway Menurut Difficult Airway Society

EkstubasiEkstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelum ekstubasi.4Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang bertujuan menandakan pasien sudah bangun. 2, 4Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi saat anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir hal ini. Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. 2Pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi risiko aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang kemudian dapat disuction. Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin tidak terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah biasanya digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup stabil untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan sungkup wajah dipertahankan selama pengantaran pasien. 2, 4

DAFTAR PUSTAKA1. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book. 2006. pg: 310-2.2. American Society of Anesthesiologists: Practice guidelines for management of the difficult airway: An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology 2013; 118:251703. Birnbaumer DM. Airway Assessment Using "LEMON" Score Predicts Difficult ED Intubation. Emerg Med J 2005 Feb; 22:99-102. Available at: http://www.jwatch.org/em200502160000001/2005/02/16/airway-assessment-using-lemon-score-predicts#sthash.E216Wqd6.dpuf4. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book. 2006. pg: 317-31.5. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict difficulty at intubation in the emergency department? Emerg Med J 2005;22:99-102. Available at: http://emj.bmj.com/content/22/2/996. Magboul A. The Dilemma of Airway Assessment and Evaluation. The Internet Journal of Anesthesiology. 2004 Volume 10 Number 1.7. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI, Jakarta, 2009.8. Rankumar V. Preparation of the patient and the airway for awake intubation. Indian J Anaesth. 2011 Sep-Oct; 55(5): 442447. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3237141/?report=reader9.

1