REFERAT DHF
description
Transcript of REFERAT DHF
REFERAT DHF
Pendahluan
Penyakit demam berdarah atau Dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir diseluruh pelosok Indonesia.
Penyakit DHF ini disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DENV 1, DENV 2, DENV
3, DENV 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthopod borne viruses (arbovirus). Infeksi
oleh salah satu jenis serotype ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak
menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain.
Penularan virus ini terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya yang berasal dari penderita
demam berdarah lainnya. Demam berdarah ini sering terjadi di daerah tropis, lingkungan yang
lembab dan pada musim penghujan.
Penyakit DHF sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus, hal ini
disebabkan karena virus dengue yang menyebabkan DHF bisa bersifat asimtomatik atau tidak
jelas gejalanya. oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit
infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis
yang baik dan lengkap, diagnosis DHF serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat
membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30
nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe
virus yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam
dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
1
merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus
lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus. Dalam laboratorium virus
dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan
primate. Survey epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue
pada hewan kuda, sapid an babi. Penelitian pada artropoda menunjukan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.1
Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus dan vector perantara. Virus dengue dtularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar
liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat
ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk
betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun perannya dalam
penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak didalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di dalam
tubuh manusia virus memerlukan waktu masa tunas 4 – 7 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai
5 hari setelah demam timbul.2
Patogenesis
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan
trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan demam
berdarah dengue. 3,4
2
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas.3 Beberapa teori dan hipotesis
yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksin
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Teori apoptosis. 3
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul teori infeksi
sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi komplemen, dari sini
berkembang menjadi teori infection enhancing antibody kemudian muncul peran endotoksemia
dan limfosit T. 3
Gambar 2. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan oleh
Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD
3
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody
dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami. 4
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat
memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku pada
anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun
ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya IgG anti dengue dari ibu.
Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting
dalam patofisiologi DBD. 4
Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan
infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus
dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui ini saat ini dikenal sebagai
”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis
DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder
dengan serotipe virus dengue heteroolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS.5
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan
masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan
masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum
tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem
humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan
tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor
koagulasi.4
4
Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:
- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).4
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks
imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari bahwa
infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro
menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit
akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan
berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga
penyakit cenderung lebih berat.4
Gambar 3. Teori secondary heterologous infection
Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek sinergistik
dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.5
5
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag).
Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T
(CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain termasuk
makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi
ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet,
produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.
Gambar 4. Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an patogenesis
DBD/DSS
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )
6
Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )
Manifestasi Klinis
Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011
7
Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi
asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever
(sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan
infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome
atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda
patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim
dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis,
DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak
(Gambar ).6
Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue, yaitu
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma dengan derajat
bervariasi pada efusi pleura dan asites
3. Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti disertai
reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma. 6
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue
8
Gambaran klinis
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab
virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala
dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.6
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang, nyeri
retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan,
konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.6
Pemeriksaan fisik
Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan
atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg
normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif dan/atau petekie
Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang
terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia) 6
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa
penyembuhan (convalescence, recovery) (Lampiran 1).
9
Fase demam
Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai facial flush,
muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di
bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
Manifestasi perdarahan
o Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang
paling banyak pada fase demam awal.
o Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
o Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
o Epistaksis, perdarahan gusi
o Perdarahan saluran cerna
o Hematuria (jarang)
o Menorrhagia
Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan plasma
(khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan
ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam. 6
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat demam
ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding kandung
empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi
dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
10
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang merupakan
bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas
cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3
detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan
multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi. 6
Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali merupakan
indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/
aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD. 6
d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan jantung.
Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari
syok yang berkepanjangan. Diagnosis Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria
klinis dan laboratorium (WHO, 2011). Kriteria klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama
2-7 hari
Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah. 6
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥20% dari nilai dasar /
menurut standar umur dan jenis kelamin
11
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/
peningkatan hematokrit20%.
Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
Dijumpai tanda perembesan plasma
o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
o Hipoalbuminemia
Perhatian
o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas, mendukung
diagnosis DSS.
o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis klinis untuk Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue,
berdasarkan WHO tahun 2011:
Manifestasi Klinik
1. Demam : onset akut, demam tinggi dan continue, dua hingga tujuh hari di kebanyakan
kasus
2. Terdapat manifestasi perdarahan seperti positifnya Tourniquet, petechiae, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan pada gusi, hematemesis dan melena
3. Pembesaran hati (hepatomegali)
4. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah, penurunan tekanan nadi, hipotensi kaki dan
tangan dgin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah7
Laboratoris
- Trombositopenia ( 100.000 cells per mm3 or less)
- Hemokonsentrasi; peningkatan hematokrit >20%
12
Dua dari manifestasi klinik disetai dengan trombositopenia dan peningkatan hematokrit,
sudah dapat menegakan diagnosis klinik demam berdarah dengue. Hepatomegali disertai dua
criteria klinik juga curiga diagnosis klinik sebelum terjadinya onset perembesan plasma.
Efusi Pleura, merupakan tanda objektif dari terjadinya perembesan plasma dimana
hipoalbuminemia menyertai keadaannya. Dua keadaan ini berguna untuk diagnosis dari demam
berdarah dengue pada kondisi pasien :
a) Anemia
b) Perdarahan berat
c) Tidak ada batasan nilai hematokrit yang jelas
d) Peningkatan hematokrit yang <20% dikarenakan rehidrasi intravena segera
Pada kasus dengan syok, tingginya hematokrit dan trombositopenia membantu diagnosis dari
Sindrom Syok Dengue7
13
Komplikasi
Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.
Demam Berdarah Dengue
o Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
o Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
o Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian cairan
pada masa perembesan plasma
o Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat (DIC,
kegagalan organ multipel)
14
o Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan dan
terapi cairan yang tidak sesuai
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan
trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun
sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat
digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat
membedakan penyakit DD/DBD.6
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
o Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
o Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-
14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi
sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
o Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.6
Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
15
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi,
o Distres pernafasan/ sesak
o Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis
terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
o Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema paru
karena overload pemberian cairan.
o Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan
lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
o Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika felea, dan
dinding buli-buli.6
Tatalaksana
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan
mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).8
Gambar 12. Sistem triase dalam penatalaksanaan DBD di rumah sakit
Penatalaksanaan Demam Dengue
Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :
16
- Tirah baring selama fase demam akut
- Antipiretik untuk menjaga suhu tbuh tetap dibawah 40 C, sebaiknya diberikan
parasetamol
- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang mengalami nyeri
yang parah
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat lebih
atau muntah.8
Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue
Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat sehingga
prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran plasma. Penatalaksanaan
fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit
yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam
hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan.9 Kunci keberhasilan pengobatan DBD
ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.10
Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam ketiga hingga
ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari saat demam turun hingga
48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam
sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi hanya
dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15% memerlukan transfusi darah.
Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal syok ialah Ringer laktat,
Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan
sebagai base corrector untuk mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada
DBD. Untuk DBD stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan
Ringer akibat adanya asidosis berat. 10
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan bukan
cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus
disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena tidak ada perembesan plasma.10
17
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat bertahan
dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan memiliki kapasitas
mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik.10
Tabel 3. Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD
Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid (20ml/kgBB/30menit)
dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada perbaikan maka diperlukan pemberian
transfusi darah minimal 100 ml dapat segera diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah
dilakukan pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum dapat diatasi.10
Tabel 4. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD
18
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi
perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya
juga tidak banyak.10
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi
perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka
pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung
faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar
hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).10
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya
oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar
hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan
kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan
tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. 10
Gambar 13. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik pergerakan cairan pada kapiler yang
harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya syok pada DBD
19
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
20
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).11
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit
Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak
masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti
emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan saluran cerna
kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.6
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai keadaan
klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit.6
24
Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit, disertai
monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat cairan
selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan bersama
koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium yang tidak
normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah review
hematokrit sebelum resusitasi)
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat / jalur
arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien sadar
atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua kali
kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui oral.
Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit. 6
Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera
adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah
yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah
segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan.6
25
DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau kejang
disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok
Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati `maka,
cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan, memberikan
cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume intravaskular,
total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan
Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus
meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan
perembesan plasma yang hebat.
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan
Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.
Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan
pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis intravena setiap 6-
8 jam.
Menurunkan produksi amonia
Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.
Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan
pemberian
Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan 4-6
mg/kg/jam.
Perbaiki asam basa dan ketidak seimbangan elektrolit
Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5 tahun:10mg.
Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.
26
Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain seperti
suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena kelebihan cairan dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah perdarahan
saluran cerna.
Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan. 6
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap 12-24
jam.
Indikasi untuk pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.
Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
Nafsu makan telah kembali
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
Diuresis baik
Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.6
Pencegahan
- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
- Foging Focus dan Foging Masal
27
d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
minggu
e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka
waktu 1 bulan
f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan
Swing Fog
Gambar Kegiatan foging
- Penyelidikan Epidemiologi
g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
- Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
- Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.12
Kesimpulan
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (”mosquito
borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness,
demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat
yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).
28
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman
mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan
laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam menegakkan diagnosis
dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien.
Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih baik.
Daftar Pustaka
1. PAPDI
2. S R Hadinegoro, Soegiyanto S, Wuryadi S. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. 2006. Depkes RI Indonesia : Jakarta.
3. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS,
Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43.
4. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit
Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55.
5. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever.
Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13 th National
Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329.
6. WHO
7. Plianbangchang, Samlee. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever. 2011. Available
at:www.searo.who.int/entity/vector.../index.html
8. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin Dunia
Kedokteran 2000; 126 : 5-13.
29
9. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi :
WHO.1999
10. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current
Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63.
11. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya :
Airlangga University Press 2004.h.1-9.
12. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1 Volume
2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.
30