REFERAT DHF

41
REFERAT DHF Pendahluan Penyakit demam berdarah atau Dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus . Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir diseluruh pelosok Indonesia. Penyakit DHF ini disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DENV 1, DENV 2, DENV 3, DENV 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthopod borne viruses (arbovirus). Infeksi oleh salah satu jenis serotype ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Penularan virus ini terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya yang berasal dari penderita demam berdarah lainnya. Demam berdarah ini sering terjadi di daerah tropis, lingkungan yang lembab dan pada musim penghujan. Penyakit DHF sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus, hal ini disebabkan karena virus dengue yang menyebabkan DHF bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DHF serta pemeriksaan penunjang 1

description

ruang n wkt

Transcript of REFERAT DHF

REFERAT DHF

Pendahluan

Penyakit demam berdarah atau Dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang

disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir diseluruh pelosok Indonesia.

Penyakit DHF ini disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DENV 1, DENV 2, DENV

3, DENV 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthopod borne viruses (arbovirus). Infeksi

oleh salah satu jenis serotype ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak

menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain.

Penularan virus ini terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus

betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya yang berasal dari penderita

demam berdarah lainnya. Demam berdarah ini sering terjadi di daerah tropis, lingkungan yang

lembab dan pada musim penghujan.

Penyakit DHF sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus, hal ini

disebabkan karena virus dengue yang menyebabkan DHF bisa bersifat asimtomatik atau tidak

jelas gejalanya. oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit

infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis

yang baik dan lengkap, diagnosis DHF serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat

membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.

Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk

dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30

nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe

virus yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam

dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3

1

merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus

lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus. Dalam laboratorium virus

dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan

primate. Survey epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue

pada hewan kuda, sapid an babi. Penelitian pada artropoda menunjukan virus dengue dapat

bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.1

Cara Penularan

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu

manusia, virus dan vector perantara. Virus dengue dtularkan kepada manusia melalui gigitan

nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat

menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar

liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat

ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk

betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun perannya dalam

penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak didalam tubuh

nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di dalam

tubuh manusia virus memerlukan waktu masa tunas 4 – 7 hari (intrinsic incubation period)

sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila

nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai

5 hari setelah demam timbul.2

Patogenesis

Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan

plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan

trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan demam

berdarah dengue. 3,4

2

Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas.3 Beberapa teori dan hipotesis

yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :

1. Teori virulensi virus

2. Teori imunopatologi

3. Teori antigen antibodi

4. Teori infection enchancing antibody

5. Teori mediator

6. Teori endotoksin

7. Teori limfosit

8. Teori trombosit endotel

9. Teori apoptosis. 3

Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul teori infeksi

sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi komplemen, dari sini

berkembang menjadi teori infection enhancing antibody kemudian muncul peran endotoksemia

dan limfosit T. 3

Gambar 2. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan oleh

Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD

3

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody

dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami. 4

Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat

memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku pada

anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun

ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya IgG anti dengue dari ibu.

Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting

dalam patofisiologi DBD. 4

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory

Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar

imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan

infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus

dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui ini saat ini dikenal sebagai

”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis

DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder

dengan serotipe virus dengue heteroolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS.5

Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan

masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :

- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan

masuk dalam monosit

- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum

tulang (terjadi viremia).

- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem

humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan

tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor

koagulasi.4

4

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:

- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)

- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).4

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks

imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari bahwa

infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro

menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit

akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan

berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga

penyakit cenderung lebih berat.4

Gambar 3. Teori secondary heterologous infection

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun

meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa

kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek sinergistik

dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.5

5

Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk

kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag).

Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T

(CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain termasuk

makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi

ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet,

produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.

Gambar 4. Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an patogenesis

DBD/DSS

(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

6

Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD

(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

Manifestasi Klinis

Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011

7

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi

asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever

(sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan

infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome

atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda

patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim

dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis,

DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak

(Gambar ).6

Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue, yaitu

1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi

2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma dengan derajat

bervariasi pada efusi pleura dan asites

3. Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti disertai

reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma. 6

Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue

8

Gambaran klinis

a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)

Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab

virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala

dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.6

b. Demam dengue (DD)

Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang, nyeri

retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan,

konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.6

Pemeriksaan fisik

Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari

Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada

Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform

Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan

atas, dan tangan

Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg

normal, dapat disertai rasa gatal

Manifestasi perdarahan

Uji bendung positif dan/atau petekie

Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang

terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia) 6

c. Demam berdarah dengue

Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa

penyembuhan (convalescence, recovery) (Lampiran 1).

9

Fase demam

Anamnesis

Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai facial flush,

muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di

bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik

Manifestasi perdarahan

o Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang

paling banyak pada fase demam awal.

o Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.

o Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

o Epistaksis, perdarahan gusi

o Perdarahan saluran cerna

o Hematuria (jarang)

o Menorrhagia

Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati

(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan plasma

(khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan

ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam. 6

Fase kritis

Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat demam

ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,

Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding kandung

empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi

dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.

10

Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang merupakan

bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma

Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas

cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg,

dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3

detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.

Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan

multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi. 6

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali merupakan

indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/

aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD. 6

d. Expanded dengue syndrome

Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan jantung.

Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari

syok yang berkepanjangan. Diagnosis Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria

klinis dan laboratorium (WHO, 2011). Kriteria klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama

2-7 hari

Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena

Pembesaran hati

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg),

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah. 6

Kriteria laboratorium

Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)

Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥20% dari nilai dasar /

menurut standar umur dan jenis kelamin

11

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/

peningkatan hematokrit20%.

Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

Dijumpai tanda perembesan plasma

o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)

o Hipoalbuminemia

Perhatian

o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas, mendukung

diagnosis DSS.

o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.

DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis klinis untuk Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue,

berdasarkan WHO tahun 2011:

Manifestasi Klinik

1. Demam : onset akut, demam tinggi dan continue, dua hingga tujuh hari di kebanyakan

kasus

2. Terdapat manifestasi perdarahan seperti positifnya Tourniquet, petechiae, purpura,

ekimosis, epistaksis, perdarahan pada gusi, hematemesis dan melena

3. Pembesaran hati (hepatomegali)

4. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah, penurunan tekanan nadi, hipotensi kaki dan

tangan dgin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah7

Laboratoris

- Trombositopenia ( 100.000 cells per mm3 or less)

- Hemokonsentrasi; peningkatan hematokrit >20%

12

Dua dari manifestasi klinik disetai dengan trombositopenia dan peningkatan hematokrit,

sudah dapat menegakan diagnosis klinik demam berdarah dengue. Hepatomegali disertai dua

criteria klinik juga curiga diagnosis klinik sebelum terjadinya onset perembesan plasma.

Efusi Pleura, merupakan tanda objektif dari terjadinya perembesan plasma dimana

hipoalbuminemia menyertai keadaannya. Dua keadaan ini berguna untuk diagnosis dari demam

berdarah dengue pada kondisi pasien :

a) Anemia

b) Perdarahan berat

c) Tidak ada batasan nilai hematokrit yang jelas

d) Peningkatan hematokrit yang <20% dikarenakan rehidrasi intravena segera

Pada kasus dengan syok, tingginya hematokrit dan trombositopenia membantu diagnosis dari

Sindrom Syok Dengue7

13

Komplikasi

Demam Dengue

Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.

Demam Berdarah Dengue

o Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

o Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.

o Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian cairan

pada masa perembesan plasma

o Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat (DIC,

kegagalan organ multipel)

14

o Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan dan

terapi cairan yang tidak sesuai

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan

trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun

sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat

digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat

membedakan penyakit DD/DBD.6

2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue

o Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai

puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir

minggu keempat sakit.

o Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-

14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi

sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.

o Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi

sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun

apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.6

Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue

15

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi,

o Distres pernafasan/ sesak

o Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis

terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%

o Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema paru

karena overload pemberian cairan.

o Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus

kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan

lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.

o Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika felea, dan

dinding buli-buli.6

Tatalaksana

Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan

mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).8

Gambar 12. Sistem triase dalam penatalaksanaan DBD di rumah sakit

Penatalaksanaan Demam Dengue

Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :

16

- Tirah baring selama fase demam akut

- Antipiretik untuk menjaga suhu tbuh tetap dibawah 40 C, sebaiknya diberikan

parasetamol

- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang mengalami nyeri

yang parah

- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat lebih

atau muntah.8

Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue

Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat sehingga

prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran plasma. Penatalaksanaan

fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit

yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam

hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan.9 Kunci keberhasilan pengobatan DBD

ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.10

Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam ketiga hingga

ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari saat demam turun hingga

48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam

sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.

Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi hanya

dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15% memerlukan transfusi darah.

Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal syok ialah Ringer laktat,

Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan

sebagai base corrector untuk mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada

DBD. Untuk DBD stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan

Ringer akibat adanya asidosis berat. 10

Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan bukan

cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus

disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena tidak ada perembesan plasma.10

17

Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid

maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl

starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat bertahan

dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan memiliki kapasitas

mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik.10

Tabel 3. Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD

Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid (20ml/kgBB/30menit)

dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada perbaikan maka diperlukan pemberian

transfusi darah minimal 100 ml dapat segera diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah

dilakukan pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum dapat diatasi.10

Tabel 4. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD

18

Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis

untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi

perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya

juga tidak banyak.10

Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi

perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka

pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung

faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar

hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).10

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam

intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya

oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar

hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan

kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan

tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. 10

Gambar 13. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik pergerakan cairan pada kapiler yang

harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya syok pada DBD

19

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

20

Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

21

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

22

Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

23

Kriteria memulangkan pasien :

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml

7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).11

Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit

Fase Demam

Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak

masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam

Medikamentosa

o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.

o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti

emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan saluran cerna

kortikosteroid tidak diberikan.

o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.6

Supportif

o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit

o Diberikan untuk 48 jam atau lebih

o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai keadaan

klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit.6

24

Fase Kritis

Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit, disertai

monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)

Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat cairan

selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III

Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan bersama

koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium yang tidak

normal

Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah review

hematokrit sebelum resusitasi)

Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat / jalur

arteri)

Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah

Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien sadar

atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua kali

kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui oral.

Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit. 6

Perdarahan hebat

Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera

adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah

yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah

segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.

Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat

digunakan.

Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense

trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat

menyebabkan kelebihan cairan.6

25

DBD ensefalopati

DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.

Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian

ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.

Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau kejang

disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok

Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.

Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati `maka,

cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan, memberikan

cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume intravaskular,

total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan

Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus

meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan

perembesan plasma yang hebat.

Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan

Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.

Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.

Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan

pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis intravena setiap 6-

8 jam.

Menurunkan produksi amonia

Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.

Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan

pemberian

Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan 4-6

mg/kg/jam.

Perbaiki asam basa dan ketidak seimbangan elektrolit

Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5 tahun:10mg.

Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.

26

Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain seperti

suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena kelebihan cairan dapat

meningkatkan tekanan intrakranial.

Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.

Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah perdarahan

saluran cerna.

Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di hati.

Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan. 6

Fase Recovery

Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap 12-24

jam.

Indikasi untuk pulang

Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.

Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

Nafsu makan telah kembali

Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur

Diuresis baik

Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah

trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.6

Pencegahan

- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat

perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga

b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan

c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

- Foging Focus dan Foging Masal

27

d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1

minggu

e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka

waktu 1 bulan

f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan

Swing Fog

Gambar Kegiatan foging

- Penyelidikan Epidemiologi

g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah

menerima laporan kasus

h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

- Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

- Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.12

Kesimpulan

Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (”mosquito

borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.

Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness,

demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat

yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).

28

Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman

mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan

laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam menegakkan diagnosis

dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien.

Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

Daftar Pustaka

1. PAPDI

2. S R Hadinegoro, Soegiyanto S, Wuryadi S. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di

Indonesia. 2006. Depkes RI Indonesia : Jakarta.

3. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS,

Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter

Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43.

4. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,

Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit

Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55.

5. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever.

Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13 th National

Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329.

6. WHO

7. Plianbangchang, Samlee. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue

and Dengue Haemorrhagic Fever. 2011. Available

at:www.searo.who.int/entity/vector.../index.html

8. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin Dunia

Kedokteran 2000; 126 : 5-13.

29

9. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control of

Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi :

WHO.1999

10. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah

Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current

Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan

Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63.

11. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya :

Airlangga University Press 2004.h.1-9.

12. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1 Volume

2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.

30